€ untuk memangku suatu jabatan adalah ijazah
yang diperolehnya ataupun lulus ujian penyaringan/ujian
dinas. Sistem prestasi kerja/jasa tidak hanya menyangkut soal
pengangkatan, tetapi juga proses kepegawaian berikutnya
(kenaikan gaji/pangkat dan sebagainya).
Keuntungan sistem prestasi kerja berdasarkan adanya ukuran
yang tegas yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan
kenaikan pangkat dan jabatan seseorang, karena hanya
didasarkan atas kecakapan yang dibuktikan dengan lulus ujian
dan prestasi terbukti dengan nyata, dengan menggunakan
ukuran-ukuran tertentu. Sistem prestasi kerja dapat mendorong
pegawai untuk mempertinggi kecakapan dan memperbesar
prestasi kerjanya, karena kecakapan yang semakin tinggi dan
prestasi kerja yang semakin besar akan mendapat penghargaan.
Kerugian sistem ini adalah kesetiaan, pengabdian, dan masa
kerja tidak mendapat penghargaan yang selayaknya sehingga
menimbulkan rasa tidak puas bagi pegawai yang telah
mempunyai masa kerja yang lama serta menunjukkan kesetiaan
dan pengabdian terhadap negara dan pemerintah. Pegawai
yang terampil dalam praktik, tetapi kurang pengetahuan di
bidang teori ada kemungkinan tertinggal di bidang kepangkatan
dan jabatan karena tidak lulus ujian.
3. Sistem karier
Istilah â€Å“karier†digunakan dalam pengertian kemajuan
seseorang; kegemaran seseorang dalam suatu bidang;
serangkaian jenis pekerjaan yang hubungannya satu sama lain
tidak seberapa erat (pengalaman).
Sistem karier dikembangkan atas dasar bahwa seseorang akan
tetap bekerja di bidang tertentu sehingga diharapkan
memperoleh pengalaman yang cukup banyak dan
pengetahuan serta keahlian yang bertambah.
Sistem karier adalah sistem kepegawaian dengan pengangkatan
pertama didasarkan atas kecakapan yang bersangkutan,
sedangkan dalam pengembangannya lebih lanjut didasarkan
pada masa kerja, pengalaman, kesetiaan, pengabdian, dan
syarat objektif lainnya juga turut menentukan.
Dalam sistem karier, naik pangkat tanpa ujian jabatan dan
pengangkatan dalam jabatan dilaksanakan berdasarkan
â€Å“jenjang†yang telah ditentukan.
Keuntungan sistem karier adalah masa kerja, kesetiaan, dan
pengabdian dihargai secara wajar sehingga pegawai yang
berpengalaman, setia dan mengabdi kepada negara dan
pemerintah dan tugas kewajibannya mendapat penghargaan.
Selain itu, seseorang dapat naik pangkat dan jabatan
berdasarkan masa kerja, tentunya dengan memperhatikan
kecakapan, prestasi kerja, dan kesetiaan.
Kerugian dari sistem karier adalah sukar diadakan ukuran yang
tegas untuk kenaikan pangkat dan jabatan. Umumnya â€Å“masa
kerja†yang menentukan. Apabila pembinaan kurang baik,
kenaikan pangkat dan jabatan dapat dianggap seakan-akan
â€Å“hak†sehingga kurang mendorong pegawai untuk
meningkatkan â€Å“prestasi kerjanyaâ€.
Pemeliharaan moral menjadi tanggung jawab setiap pimpinan
dari tingkat yang terendah sampai tingkat yang tertinggi.
Indikasi moral pegawai yang tinggi, antara lain:
1. memiliki tanggung jawab dan disiplin kerja yang tinggi;
2. memegang teguh jabatan;
3. membela kepentingan organisasi;
4 mengutamakan kepentingan organisasi daripada kepentingan
sendiri;
5. memiliki rasa solidaritas yang tinggi dan semangat kerja sama
tinggi;
6. penghormatan dan kepercayaan terhadap atasan.
Adapun indikasi moral pegawai yang rendah, antara lain:
1. tanggung jawab dan disiplin kerja rendah;
2. menyalahgunakan jabatan;
3. rasa solidaritas rendah dan kerja sama sulit dicapai;
4. menjelekkan atasan atau sesama rekan.
Penciptaan dan pemeliharaan moral yang tinggi merupakan
kewajiban setiap pimpinan. Dengan adanya moral yang tinggi di
kalangan pegawai, pelaksanaan pekerjaan akan berjalan lancar. Hal-
hal yang perlu diusahakan untuk memelihara moral yang tinggi,
antara lain sebagai berikut:
1. perlakuan yang adil, yaitu memberikan kesempatan yang
sama dan perlakuan yang sama pada setiap pegawai yang
mempunyai kecakapan, kemampuan, dan prestasi kerja yang
sama;
2. dapat menciptakan suasana kerja yang baik dan serasi dengan
cara persuasif dan edukatif;
3. memperhatikan nasib pegawai lain dalam batas-batas yang
mungkin dapat dilaksanakan;
4. berusaha mempertinggi kualitas pegawai secara berencana dan
terarah;
5. bertindak tegas, yaitu menegur atau jika perlu menghukum yang
bersalah dan memberikan pujian kepada yang berprestasi.
Dalam usaha memotivasi pegawai untuk mencapai tujuan
diperlukan adanya Pegawai Negeri yang memiliki kesetiaan dan
ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara dan
pemerintah serta bersatu padu, bermental baik, berwibawa, berdaya
guna, bersih, berkualitas tinggi dan sadar akan tanggung jawabnya
sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat.
Sebagai aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat
yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-
Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah, Pegawai Negeri harus
memusatkan pikiran serta mengerahkan segala daya dan tenaganya
untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan
secara berdaya guna dan berhasil guna.
Adanya pembinaan Pegawai Negeri secara berdaya guna dan
berhasil guna sangat selaras dengan tujuan pembangunan nasional,
yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu,
pembinaan Pegawai Negeri merupakan kunci pokok dalam
pelaksanaan tujuan nasional sebagaimana dicantumkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni terwujudnya
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
1. Pembinaan Mental Ideologis
a. Jalur Pembinaan
Dalam pembinaan Pegawai Negeri dikenal dua macam
jalur, yaitu:
1. jalur kedinasan menjadi tanggung jawab pemerintah dan
diatur menurut peraturan perundangan yang berlaku.
G. Pemeliharaan Moral
H. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil
2. jalur di luar kedinasan menjadi tanggung jawab Korpri,
sebagai satu-satunya wadah yang menghimpun seluruh
pegawai negeri.
Usaha pembinaan ini untuk membantu Pemerintah dalam
rangka menciptakan pegawai negeri yang setia dan taat
sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, negara dan
pemerintah, pegawai negeri yang bermutu tinggi dan sadar akan
tanggung jawabnya selaku unsur aparatur negara, abdi negara
dan abdi masyarakat.
Usaha pembinaan di luar jalur kedinasan harus sejalan dan
selaras dengan pembinaan kedinasan, dalam arti tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Salah satu cara pengisiannya dengan menggunakan atau
memanfaatkan hubungan fungsional yang telah ada dan selalu
berkonsultasi dengan pimpinan instansi yang bersangkutan.
b. Permasalahan Pembinaan
Permasalahan pembinaan mental ideologis apabila
disederhanakan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. menjadikan Pegawai Negeri Sipil kekuatan yang tangguh
untuk mempertahankan kelestarian Pancasila, UUD 1945,
dan kewibawaan Pemerintah Orde Baru;
2. membina pegawai untuk memiliki jiwa Korps (karsa)
sebagai pegawai Republik Indonesia yang berfungsi sebagai
unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat;
3. membina anggota menjadi pegawai negeri yang penuh
kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, UUD 1945,
negara dan pemerintah;
4. membina anggota menjadi pegawai negeri yang bermental
baik, bersatu padu, berwibawa, kuat, bersih, dan berkualitas
tinggi.
5. menanamkan rasa kesadaran dan tanggung jawab para
warganya terhadap kelestarian Pancasila, UUD 1945,
dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pembinaan Kesejahteraan
Dalam rangka pembinaan Pegawai Negeri, masalah
kesejahteraan sangat dominan terhadap keberhasilan pembinaan
tersebut. Oleh karena itu, di samping kesejahteraan yang telah
menjadi haknya sebagai Pegawai Negeri sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, sangat ideal apabila Pegawai Negeri Sipil dapat
mengusahakan peningkatan kesejahteraan dalam arti yang lebih
luas.
Pembinaan kesejahteraan perlu mendapat perhatian khusus
karena sangat memengaruhi sikap mental para pegawai dan
tentunya juga terhadap dedikasi, disiplin, dan jiwanya. Apabila
kesejahteraan pegawai di lingkungan departemen yang ada dapat
terus meningkat secara berkelanjutan dan bertahap sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai
kemampuan, mereka yakin dapat memusatkan perhatian
sepenuhnya untuk melaksanakan tugasnya.
Untuk merealisasikan gagasan tersebut hendaknya berpedoman
pada:
Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian Bagian Ketujuh Kesejahteraan â€Å“Pasal 32 bahwa (1)Â
Untuk meningkatkan kegairahan bekerja, diselenggarakan usaha
kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil; (2)Â Usaha kesejahteraan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi program pensiun
dan tabungan hari tua, asuransi kesehatan, tabungan perumahan
dan asuransi pendidikan bagi putra putri Pegawai Negeri Sipil; (3)Â
Untuk penyelenggaraan usaha kesejahteraan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), Pegawai Negeri Sipil wajib membayar iuran setiap
bulan dari penghasilannya; (4) Untuk penyelenggaraan program
pensiun dan penyelenggaraan asuransi kesehatan, pemerintah
menanggung subsidi dan iuran; (5)Â Besarnya subsidi dan iuran
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah; (6)Â Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia,
keluarganya berhak memperoleh bantuan.†Dengan demikian, setiap
Pegawai Negeri Sipil diusahakan meningkatkan kesejahteraannya
secara bertahap sesuai dengan kemampuan sehingga pada akhirnya
semua Pegawai dapat memusatkan perhatian secara sepenuhnya
untuk melaksanakan tugasnya. Usaha kesejahteraan yang dimaksud
meliputi kesejahteraan material dan spiritual seperti jaminan hari
tua, bantuan perawatan kesehatan, bantuan kematian, dan ceramah
keagamaan.
Dalam melaksanakan pembinaan kesejahteraan dan membantu
usaha kesejahteraan para anggota PNS (Pegawai Negeri Sipil), baik
di bidang spiritual maupun material diwujudkan dalam berbagai
bidang antara lain kesehatan, keluarga berencana, koperasi, olah
raga, dan pendidikan.
Tujuan dari pembinaan kesejahteraan, antara lain:
a. membina kesejahteraan para Pegawai Negeri Sipil sehingga
dapat memusatkan perhatian sepenuhnya untuk melaksanakan
tugasnya sebagai aparatur negara, abdi negara, dan abdi
masyarakat;
b. memelihara dan meningkatkan kesejahteraan Pegawai Negeri
Sipil beserta keluarganya, baik jasmani maupun rohaniah.
Sasaran pembinaan kesejahteraan, yaitu sebagai berikut.
a. Langsung
Semua pegawai dalam arti luas, termasuk pegawai yang
dipekerjakan/diperbantukan/honorer, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Tidak langsung
Semua anggota keluarga pegawai dalam arti luas.
c. Khusus
Para pensiunan dan keluarga sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Hak-hak dan santunan Pegawai Negeri sebagai sumber pokok
dalam menunjang kesejahteraan diusahakan agar dapat diterima
tepat pada yang bersangkutan, antara lain:
a. Menurut Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999:
1. Gaji.
2. Cuti.
3. Perawatan, apabila ditimpa oleh sesuatu kecelakaan dalam
dan karena menjalankan tugas kewajibannya.
4. Memperoleh tunjangan, bila menderita cacat jasmani atau
cacat rohani dalam dan karena menjalankan tugas
kewajibannya yang mengakibatkannya tidak dapat bekerja
lagi dalam jabatan apa pun juga.
5. Yang tewas, keluarganya berhak memperoleh uang duka.
6. Pensiun.
7. Bila memenuhi syarat berhak mendapat kenaikan pangkat.
b. Ketentuan Pasal 7 menjadi berbunyi sebagai berikut:
(1)Â Â Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil
dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung
jawabnya.
(2)Â Â Â Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu
memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya.
(3)Â Gaji Pegawai Negeri yang adil dan layak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
1. Tujuan dan dasar pembinaan, antara lain:
a. untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan
pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna;
b. berdasarkan sistem karier dan sistem prestasi kerja.
2. Lingkup pembinaan mencakup:
a. formasi dan pengadaan;
b. kepangkatan jabatan, pengangkatan, pemindahan, dan
pemberhentian;
c. sumpah, kode etik, dan peraturan disiplin;
d. pendidikan dan pelatihan;
e. kesejahteraan;
I. Sistem Pembinaan Pegawai
f. penghargaan;
g. peradilan kepegawaian.
3. Pengembangan sistem pembinaan berdasarkan pendekatan
integral mencakup aspek berikut.
a. Pendekatan integral
1) kelembagaan;
2) kepegawaian;
3) ketatalaksanaan.
b. Konsep pengembangan
1) Rencana Pembangunan
2) UU Nomor 43/1999
3) penyempurnaan aparatur pemerintah:
a) penyempurnaan dengan pendekatan kelembagaan,
kepegawaian, dan tata laksana;
b) penyempurnaan aparatur pemerintah pusat;
c) penyempurnaan aparatur pemerintah daerah;
d) aparatur perekonomian negara.
4) penyempurnaan dengan pendekatan mencakup:
a) organisasi dengan unsur:
(1) pimpinan;
(2) pembantu pimpinan;
(3) pelaksana;
(4) pengawasan.
b) penyempurnaan unit pelaksana teknis dari
berbagai departemen;
c) penyempurnaan pola tata hubungan kerja
meningkatkan koordinasi;
d) penyempurnaan kelembagaan dan tata kerja
pengawasan pembangunan;
e) dasar pembinaan UU 43/1999, dengan
penyempurnaan:
(1) cara penetapan formasi;
(2) pengembangan dan pengaturan jabatan;
(3) sistem prestasi kerja;
(4) disiplin kerja.
f) meningkatkan fungsi:
(1) pengaturan;
(2) pengarahan;
(3) bimbingan + penyuluhan;
(4) menciptakan iklim yang menggairahkan.
g. menciptakan iklim yang menggairahkan untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat;
h. kode etik kepegawaian, jiwa karsa dan penerapan
pola dan gaya hidup sederhana (suka bekerja
keras, tekun dan produktif, hemat, wajar).
i. meningkatkan kesadaran membayar pajak.
1. Pembinaan Aparatur Negara
Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional dengan
hasil semaksimal mungkin, pembinaan Pegawai Negeri Sipil
diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan
dan pembangunan secara berhasil guna dan berdaya guna. Oleh
karena itu, untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan
pelaksanaan pembangunan nasional sangat bergantung pada
kesempurnaan aparatur negara, sedangkan kesempurnaan aparatur
negara bergantung pada kesempurnaan Pegawai Negeri.
Pembinaan Pegawai Negeri diatur secara menyeluruh yang
mencakup Pegawai Negeri Pusat dan Pegawai negeri Sipil Daerah.
Bertitik tolak dari arah dan tujuan pembinaan aparatur negara yang
ingin dicapai, strategi pembangunan administrasi yang dianut
meliputi aspek kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan
J. Pembinaan Aparatur
yang ditujukan kepada seluruh aparatur pemerintah, baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah termasuk badan-badan usaha
negara agar seluruh aparatur pemerintah itu menjadi alat
pembangunan yang ampuh, tangguh, tanggap, dan mampu
memenuhi tuntutan pembangunan yang semakin meningkat.
a. Aspek Kelembagaan
Di bidang kelembagaan, penyempurnaan atau pengembangan
organisasi belum mantap dan masih menimbulkan masalah yang
berhubungan dengan penyediaan tenaga, biaya, dan fasilitas. Agar
aparatur pemerintah mampu meningkatkan kemampuannya dan
melaksanakan tugas sebaik-baiknya, diperlukan suatu wadah yang
dapat dilakukan dengan penyempurnaan susunan organisasi
departemen ataupun lembaga-lembaga nondepartemen. Usaha
penyempurnaan tersebut mencakup segi-segi tugas pokok, fungsi,
susunan organisasi, dan tata kerja dari semua jenis unit pelaksanaan
sebagai satuan organisasi yang melaksanakan tugas-tugas
departemen. Usaha penyempurnaan tersebut akan terus berlangsung
karena beban tugas yang memerlukan penyesuaian organisasi terus
berkembang.
Di tingkat daerah, dalam rangka penyempurnaan aparatur
pemerintah, dibentuk Kantor Wilayah Departemen atau Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal sebagai penyelenggara tugas dan fungsi
departemen di tingkat provinsi. Dengan demikian, diharapkan pula
pelayanan terhadap masyarakat akan bertambah baik dan kerja sama
dengan Pemerintah Daerah menjadi lebih meningkat. Serentak
dengan itu, diusahakan pula penyempurnaan aparatur pemerintah
daerah. Usaha yang dilakukan secara berkesinambungan ini meliputi
penyempurnaan administrasi dan peningkatan kemampuan
aparatur ataupun usaha memperkuat organisasi pemerintahan di
daerah.
Di bidang pemerintahan, pemerintah lebih meningkatkan
hubungan fungsional yang semakin mantap dengan lembaga-
lembaga perwakilan rakyat, baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah. Di samping itu, dalam rangka melancarkan pelaksanaan
pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara dalam rangka
membina kesatuan bangsa, hubungan kerja yang serasi antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah terus dikembangkan atas
dasar keutuhan negara kesatuan dan diarahkan pada pelaksanaan
otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab dan
dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi yang dapat
mendorong kemajuan pembangunan daerah.
Untuk memperlancar tugas pemerintahan dan menyerasikan
usaha-usaha pembangunan di daerah perlu ditingkatkan
kemampuan dan kerja sama aparatur pemerintah yang ada di
daerah, baik aparatur pusat maupun aparatur daerah. Dalam
rangka meningkatkan kemampuan untuk menggerakkan masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pembangunan serta menyelenggarakan
administrasi desa yang semakin meluas dan efektif usaha
memperkuat pemerintahan desa perlu dilanjutkan dan lebih
ditingkatkan.
b. Aspek Kepegawaian
Ruang lingkup pembinaan pegawai yang harus diselenggarakan
oleh tiap-tiap unit organisasi kepegawaian dimulai ketika seseorang
akan menjadi pegawai sampai berhenti menjadi Pegawai Negeri
Sipil. Hal tersebut pada dasarnya meliputi:
Umum, terdiri atas:
1. penyusunan rencana formasi;
2. pengadaan pegawai;
3. pengangkatan calon pegawai;
4. penilaian pelaksanaan pekerjaan;
5. pengangkatan calon pegawai menjadi pegawai negeri;
6. penyusunan daftar susunan pangkat;
7. pendidikan dan pelatihan;
8. kenaikan pangkat;
9. kenaikan gaji berkala;
10. tunjangan;
11. mutasi jabatan (tour of duty);
12. mutasi biasa (tour of area);
13. cuti;
14. pemberian penghargaan;
15. pembinaan kesejahteraan (antara lain angkutan/kendaraan
dinas, perumahan dinas, pelayanan kesehatan, dan Iain-lain);
16. taspen;
17. pemberhentian;
18. pensiun.
Khusus, terdiri atas:
1. pembinaan tenaga kekaryaan/perbantuan anggota ABRI;
2. penyelesaian kasus perorangan;
3. penggantian surat yang hilang;
4. peninjauan masa kerja;
5. penyelesaian masalah kepegawaian yang bersifat kemanusiaan
6. penyelesaian NIP/KARPEG dan Taspen.
Kewajiban yang harus dilaksanakan dan ditaati oleh seorang
pegawai negeri sipil dapat diklasifikasi menjadi tiga golongan, yaitu
sebagai berikut.
1. Kewajiban dan larangan serta sanksi terhadap kewajiban dan
larangan yang tidak ditaati.
2. Kewajiban yang ditentukan dalam beberapa ketentuan dan
peraturan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil.
3. Kewajiban yang berdasarkan atas kedudukannya sebagai
Pegawai Negeri Sipil.
Usaha lain di bidang kepegawaian yang telah dilaksanakan,
antara lain penyempurnaan dasar-dasar formasi, pengadaan
pegawai, peraturan gaji, pengangkatan, penilaian pelaksanaan
pekerjaan, dan pembentukan badan pertimbangan kepegawaian.
c. Ketatalaksanaan
Ketatalaksanaan meliputi pedoman, petunjuk dan ketentuan
mekanisme perencanaan, koordinasi pelaksanaan dan pengawasan,
baik dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan, maupun kegiatan rutin dan administrasi yang masih
terbatas.
Dalam rangka mencapai efisiensi dan efektivitas pelaksanaan
pembangunan, prosedur kerja memegang peranan penting. Karena
kompleksnya sistem dan prosedur kerja yang dihadapi, sistem dan
prosedur ini perlu disederhanakan dan kemampuan aparatur harus
disesuaikan dengan penyederhanaan sistem dan prosedur
pelaksanaan pembangunan. Penyederhanaan ini mempunyai arti
penting karena menyangkut pertanggungjawaban bahan
pertimbangan dan pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan
dengan cara efisien dan ekonomis.
Proses penyederhanaan ini sedang berjalan dan apabila dapat
berlanjut dapat dijadikan sebagai konsep pembaharuan manajemen
pelaksanaan pembangunan di daerah, terutama terhindar dari
pemborosan di bidang pembiayaan.
Penyederhanaan kerja ini memerlukan pengintegrasian antara
manajemen dan teknik perbaikan dalam hubungan pendelegasian
wewenang, tanggung jawab yang tegas dan jelas, seleksi
pengawasan, penilaian jabatan dan pembiayaan, sehingga aparatur
negara yang tersedia dan berkewajiban dapat didayagunakan secara
efisien. Semua ini dapat terlaksana dengan baik apabila manusia
sebagai pelaksana pembangunan dapat didayagunakan secara
maksimal.
2. Pendayagunaan Aparatur Negara
Pendayagunaan aparatur negara adalah segala usaha untuk
lebih meningkatkan kemampuan dalam melaksanakan tugas umum
pemerintahan dan pembangunan. Usaha ini tidak terlepas dari
upaya pembinaan yang meliputi kemampuan dalam menyusun
pedoman dan program, kemampuan merumuskan kebijaksanaan,
dan kemampuan dalam pelaksanaan serta kemampuan untuk
mengawasi dan mengendalikan secara efisien dan efektif.
Dengan demikian, upaya peningkatan pendayagunaan aparatur
negara pada hakikatnya adalah peningkatan dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat melalui tugas pokok dan fungsinya
dalam pelaksanaan pembangunan sesuai dengan kebijaksanaan
yang telah ditetapkan. Sehubungan dengan itu, aparatur negara
dapat menjadi sasaran pembangunan ataupun sebagai pelaksanaan
pembangunan.
a. Aparatur Negara sebagai Sasaran Pembangunan
Sasaran akhir pembangunan di bidang aparatur negara adalah
terwujudnya aparatur negara yang bersih dan berwibawa. Untuk
mencapai sasaran tersebut dilaksanakan berbagai upaya yang sejalan
dengan pelaksanaan pembangunan nasional sehingga aparatur
negara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan
nasional dan menjadi salah satu sasaran pembangunan.
b. Aparatur Negara sebagai Pelaksana Pembangunan
Kemampuan aparatur negara diperlukan untuk menggerakkan
partisipasi rakyat dalam mendukung pelaksanaan program
pemerintah, serta menumbuhkan rasa memiliki dan memelihara
hasil-hasil pembangunan.
Dalam upaya menjadikan aparatur negara yang memiliki
kemampuan melaksanakan peningkatan hasil pembangunan,
pendayagunaan harus dilaksanakan secara menyeluruh yang
meliputi bidang organisasi, tatalaksana, dan kepegawaian. Upaya
pendayagunaan ini akan berhasil apabila dalam diri aparatur negara
timbul upaya untuk selalu memperbaiki diri dengan cara
mengorganisasi kegiatannya dalam berbagai tugas dan fungsinya
sesuai dengan tuntutan pembangunan.
Landasan hukum pegawai sebagai aparatur sipil negara
terdapat dalam Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara. Undang-undang ini terbit dengan
pertimbangan sebagai berikut:
a. bahwa dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan
mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki
integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik,
bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu
menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan
mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan
dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara belum
berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan
kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan
kualifikasi yang dimiliki calon dalam rekrutmen, pengangkatan,
A. Landasan Yuridis Aparatur Sipil Negara
KEWAJIBAN PEGAWAI SEBAGAI
APARATUR SIPIL NEGARA
BAB 5
penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata
kelola pemerintahan yang baik;
c. bahwa untuk mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian
dari reformasi birokrasi, perlu ditetapkan aparatur sipil negara
sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan
mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan
kinerjanya dan menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan
manajemen aparatur sipil negara;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian sudah tidak sesuai dengan tuntutan nasional dan
tantangan global sehingga perlu diganti;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk
Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara;
Mengingat : Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN: UNDANG-UNDANG TENTANG APARATUR
SIPIL NEGARA
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah
profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah
dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.
Pasal 14
Jabatan Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
huruf a terdiri atas:
a. jabatan administrator;
b. jabatan pengawas; dan
c. jabatan pelaksana.
Pasal 15
(1) Pejabat dalam jabatan administrator sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 huruf a bertanggung jawab memimpin
pelaksanaan seluruh kegiatan pelayanan publik serta
administrasi pemerintahan dan pembangunan.
(2) Pejabat dalam jabatan pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 huruf b bertanggung jawab mengendalikan pelaksanaan
kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pelaksana.
(3) Pejabat dalam jabatan pelaksana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 huruf c bertanggung jawab melaksanakan kegiatan
pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan
pembangunan.
Pasal 16
Setiap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ditetapkan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan Administrasi dan
kompetensi yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14,
Pasal 15, dan Pasal 16 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Jabatan Fungsional:
Pasal 18
(1) Jabatan Fungsional dalam ASN terdiri atas jabatan fungsional
keahlian dan jabatan fungsional keterampilan.
(2) Jabatan fungsional keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. ahli utama;
b. ahli madya;
c. ahli muda; dan
d. ahli pertama.
(3) Jabatan fungsional keterampilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. penyelia;
b. mahir;
c. terampil; dan
d. pemula.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan Fungsional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Keempat
Jabatan Pimpinan Tinggi
Pasal 19
(1) Jabatan Pimpinan Tinggi terdiri atas:
a. jabatan pimpinan tinggi utama;
b. jabatan pimpinan tinggi madya; dan
c. jabatan pimpinan tinggi pratama.
(2) Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berfungsi memimpin dan memotivasi setiap Pegawai ASN pada
Instansi Pemerintah melalui:
a. kepeloporan dalam bidang:
1. keahlian profesional;
2. analisis dan rekomendasi kebijakan; dan
3. kepemimpinan manajemen.
b. pengembangan kerja sama dengan instansi lain; dan
c. keteladanan dalam mengamalkan nilai dasar ASN dan
melaksanakan kode etik dan kode perilaku ASN.
(3) Untuk setiap Jabatan Pimpinan Tinggi ditetapkan syarat
kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan,
rekam jejak jabatan dan integritas, serta persyaratan lain yang
dibutuhkan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan syarat kompetensi,
kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak
jabatan dan integritas, serta persyaratan lain yang dibutuhkan
Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
(1) Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN.
(2) Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari:
a. prajurit Tentara Nasional Indonesia; dan
b. anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit
Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia dan
Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan ASN tertentu yang
berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan tata cara pengisian
jabatan ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak PNS
Pasal 21
PNS berhak memperoleh:
a. gaji, tunjangan, dan fasilitas;
b. cuti;
c. jaminan pensiun dan jaminan hari tua;
d. perlindungan; dan
e. pengembangan kompetensi.
Bagian Kedua
Hak PPPK
Pasal 22
PPPK berhak memperoleh:
a. gaji dan tunjangan;
b. cuti;
c. perlindungan; dan
d. pengembangan kompetensi.
Bagian Ketiga
Kewajiban
Pegawai ASN
Pasal 23
Pegawai ASN wajib:
a. setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan pemerintah yang sah;
b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa;
c. melaksanakan kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah
yang berwenang;
d. menaati ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian,
kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab;
f. menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku,
ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam
maupun di luar kedinasan;
g. menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan
rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
h. bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak PNS, hak PPPK, dan kewajiban
Pegawai ASN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, dan
Pasal 23 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 25
(1) Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan
pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan
profesi, dan Manajemen ASN.
(2) Untuk menyelenggarakan kekuasaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Presiden mendelegasikan sebagian kekuasaannya
kepada:
a. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang pendayagunaan aparatur negara, berkaitan
dengan kewenangan perumusan dan penetapan kebijakan,
koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, serta pengawasan
atas pelaksanaan kebijakan ASN;
b. KASN, berkaitan dengan kewenangan monitoring dan
evaluasi pelaksanaan kebijakan dan Manajemen ASN untuk
menjamin perwujudan Sistem Merit serta pengawasan
terhadap penerapan asas serta kode etik dan kode perilaku
ASN;
c. LAN, berkaitan dengan kewenangan penelitian, pengkajian
kebijakan Manajemen ASN, pembinaan, dan
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan ASN; dan
d. BKN, berkaitan dengan kewenangan penyelenggaraan
Manajemen ASN, pengawasan dan pengendalian
pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria
Manajemen ASN.
Pasal 26
(1) Menteri berwenang menetapkan kebijakan di bidang
pendayagunaan Pegawai ASN.
(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kebijakan reformasi birokrasi di bidang sumber daya
manusia;
b. kebijakan umum pembinaan profesi ASN;
c. kebijakan umum Manajemen ASN, klasifikasi jabatan ASN,
standar kompetensi jabatan Pegawai ASN, kebutuhan
Pegawai ASN secara nasional, skala penggajian, tunjangan
Pegawai ASN, dan sistem pensiun PNS.
d. pemindahan PNS antarjabatan, antardaerah, dan
antarinstansi;
e. pertimbangan kepada Presiden dalam penindakan terhadap
Pejabat yang Berwenang dan Pejabat Pembina
Kepegawaian atas penyimpangan Sistem Merit dalam
penyelenggaraan Manajemen ASN; dan
f. penyusunan kebijakan rencana kerja KASN, LAN, dan BKN
di bidang Manajemen ASN.
Bagian Kedua
KASN
Paragraf 1
Sifat
Pasal 27
KASN merupakan lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas
dari intervensi politik untuk menciptakan Pegawai ASN yang
profesional dan berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan
netral, serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa.
Paragraf 2
Tujuan
Pasal 28
KASN bertujuan:
a. menjamin terwujudnya Sistem Merit dalam kebijakan dan
Manajemen ASN;
b. mewujudkan ASN yang profesional, berkinerja tinggi, sejahtera,
dan berfungsi sebagai perekat Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
c. mendukung penyelenggaraan pemerintahan negara yang efektif,
efisien dan terbuka, serta bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme;
d. mewujudkan Pegawai ASN yang netral dan tidak membedakan
masyarakat yang dilayani berdasarkan suku, agama, ras, dan
golongan;
e. menjamin terbentuknya profesi ASN yang dihormati pegawainya
dan masyarakat; dan
f. mewujudkan ASN yang dinamis dan berbudaya pencapaian
kinerja.
Paragraf 3
Kedudukan
Pasal 29
KASN berkedudukan di ibu kota negara.
Paragraf 4
Fungsi
Pasal 30
KASN berfungsi mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik dan
kode perilaku ASN, serta penerapan Sistem Merit dalam kebijakan
dan Manajemen ASN pada Instansi Pemerintah.
Paragraf 5
Tugas
Pasal 31
(1) KASN bertugas:
a. menjaga netralitas Pegawai ASN;
b. melakukan pengawasan atas pembinaan profesi ASN; dan
c. melaporkan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan
kebijakan Manajemen ASN kepada Presiden.
(2) Dalam melakukan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
KASN dapat:
a. melakukan penelusuran data dan informasi terhadap
pelaksanaan Sistem Merit dalam kebijakan dan Manajemen
ASN pada Instansi Pemerintah;
b. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi
Pegawai ASN sebagai pemersatu bangsa;
c. menerima laporan terhadap pelanggaran norma dasar serta
kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN;
d. melakukan penelusuran data dan informasi atas prakarsa
sendiri terhadap dugaan pelanggaran norma dasar serta
kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN; dan
e. melakukan upaya pencegahan pelanggaran norma dasar
serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.
Paragraf 6
Wewenang
Pasal 32
(1) KASN berwenang:
a. mengawasi setiap tahapan proses pengisian Jabatan
Pimpinan Tinggi mulai dari pembentukan panitia seleksi
instansi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi,
pengusulan nama calon, penetapan, dan pelantikan Pejabat
Pimpinan Tinggi;
b. mengawasi dan mengevaluasi penerapan asas, nilai dasar
serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN;
c. meminta informasi dari pegawai ASN dan masyarakat
mengenai laporan pelanggaran norma dasar serta kode etik
dan kode perilaku Pegawai ASN;
d. memeriksa dokumen terkait pelanggaran norma dasar serta
kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN; dan
e. meminta klarifikasi dan/atau dokumen yang diperlukan
dari Instansi Pemerintah untuk pemeriksaan laporan atas
pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku
Pegawai ASN.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, KASN berwenang untuk memutuskan adanya
pelanggaran kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.
(3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dan huruf b disampaikan kepada Pejabat Pembina
Kepegawaian dan Pejabat yang Berwenang untuk wajib
ditindaklanjuti.
Pasal 33
(1) Berdasarkan hasil pengawasan yang tidak ditindaklanjuti
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3), KASN
merekomendasikan kepada Presiden untuk menjatuhkan sanksi
terhadap Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang
Berwenang yang melanggar prinsip Sistem Merit dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan;
b. teguran;
c. perbaikan, pencabutan, pembatalan, penerbitan keputusan,
dan/atau pengembalian pembayaran;
d. hukuman disiplin untuk Pejabat yang Berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. sanksi untuk Pejabat Pembina Kepegawaian, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh:
a. Presiden selaku pemegang kekuasan tertinggi pembinaan
ASN, terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian; dan
b. Menteri terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Pejabat
yang Berwenang, dan terhadap Pejabat Pembina
Kepegawaian di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Pasal 34
KASN melaporkan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya,
termasuk yang berkaitan dengan kebijakan dan kinerja ASN paling
kurang 1 (satu) kali pada akhir tahun kepada Presiden.
Paragraf 7
Susunan
Pasal 35
(1) KASN terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota;
b. 1 (satu) orang wakil ketua merangkap anggota, dan
c. 5 (lima) orang anggota.
(2) Dalam hal ketua KASN berhalangan, wakil ketua KASN
menjalankan tugas dan wewenang ketua KASN.
Pasal 36
(1) KASN dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dibantu
oleh asisten dan Pejabat Fungsional keahlian yang dibutuhkan.
(2) Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat
dan diberhentikan oleh ketua KASN berdasarkan persetujuan
rapat anggota KASN.
(3) Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berasal dari PNS maupun non-PNS yang memiliki kualifikasi
akademik paling rendah strata dua (S2) di bidang administrasi
negara, manajemen publik, manajemen sumber daya manusia,
psikologi, kebijakan publik, ilmu hukum, ilmu pemerintahan,
dan/atau strata dua (S2) di bidang lain yang berkaitan dengan
manajemen sumber daya manusia.
(4) Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
sedang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, tidak
merangkap jabatan, serta diseleksi secara terbuka dan kompetitif
dengan memperhatikan rekam jejak, kompetensi, netralitas, dan
integritas moral.
(5) Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
dan melaksanakan nilai dasar, kode etik dan kode perilaku serta
diawasi oleh anggota KASN.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, tata cara pengangkatan
dan pemberhentian, kode etik dan kode perilaku, dan
pengawasan terhadap tugas dan tanggung jawab asisten KASN
diatur dengan Peraturan KASN.
Pasal 37
(1) KASN dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh seorang
kepala sekretariat.
(2) Kepala sekretariat berasal dari PNS.
(3) Kepala sekretariat diangkat dan diberhentikan oleh ketua KASN.
(4) KASN dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara.
Paragraf 8
Keanggotaan
Pasal 38
(1) Anggota KASN terdiri dari unsur pemerintah dan/atau
nonpemerintah.
(2) Anggota KASN harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun pada saat
mendaftarkan diri sebagai calon anggota KASN;
d. tidak sedang menjadi anggota partai politik dan/atau tidak
sedang menduduki jabatan politik;
e. mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan
tugas;
f. memiliki kemampuan, pengalaman, dan/atau pengetahuan
di bidang manajemen sumber daya manusia;
g. berpendidikan paling rendah strata dua (S2) di bidang
administrasi negara, manajemen sumber daya manusia,
kebijakan publik, ilmu hukum, ilmu pemerintahan, dan/
atau strata dua (S2) di bidang lain yang memiliki
pengalaman di bidang manajemen sumber daya manusia;
h. tidak merangkap jabatan pemerintahan dan/atau badan
hukum lainnya; dan
i. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
(3) Anggota KASN yang berasal dari PNS diberhentikan sementara
dari jabatan ASN.
(4) Anggota KASN yang berasal dari PPPK diberhentikan statusnya
dari PPPK.
(5) Anggota KASN yang berasal dari non-pegawai ASN harus
mengundurkan diri sementara dari jabatan dan profesinya.
Paragraf 9
Seleksi Anggota KASN
Pasal 39
(1) Anggota KASN diseleksi dan diusulkan oleh tim seleksi yang
beranggotakan 5 (lima) orang yang dibentuk oleh Menteri.
(2) Tim seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh
Menteri dan melakukan tugas selama 3 (tiga) bulan sejak
pengangkatan.
(3) Anggota tim seleksi harus memiliki pengetahuan dan
pengalaman di bidang ASN, rekam jejak yang baik, integritas
moral, dan netralitas.
(4) Tim seleksi melakukan proses seleksi anggota KASN dengan
mengumumkan secara terbuka lowongan tersebut kepada
masyarakat secara luas, melakukan penilaian pengetahuan,
kompetensi, integritas moral, rekam jejak calon, dan uji publik.
(5) Tim seleksi menyampaikan 2 (dua) kali jumlah anggota KASN
untuk dipilih dan ditetapkan oleh Presiden.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi dan tata cara
pembentukan tim seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 10
Pengangkatan dan Pemberhentian
Pasal 40
(1) Presiden menetapkan ketua, wakil ketua, dan anggota KASN
dari anggota KASN terpilih yang diusulkan oleh tim seleksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (5).
(2) Ketua, wakil ketua, dan anggota KASN ditetapkan dan diangkat
oleh Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam
pelaksanaan kebijakan, pembinaan profesi, dan Manajemen
ASN, untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya
dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(3) Anggota KASN berhenti atau diberhentikan oleh Presiden pada
masa jabatannya, apabila:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. tidak mampu jasmani atau rohani sehingga tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai anggota KASN;
d. dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana umum;
atau
e. menjadi anggota partai politik dan/atau menduduki
jabatan negara.
Pasal 41
(1) Anggota KASN yang berhenti pada masa jabatannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) digantikan oleh
calon anggota yang diusulkan oleh tim seleksi.
(2) Dalam hal Presiden tidak menyetujui atau yang bersangkutan
tidak bersedia, Menteri membentuk tim seleksi untuk menyeleksi
calon anggota pengganti.
(3) Presiden mengesahkan anggota pengganti yang diusulkan tim
seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Masa tugas anggota pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) meneruskan sisa masa kerja anggota yang berhenti
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) KASN memiliki dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku.
(6) Dalam hal terjadi pelanggaran kode etik dan kode perilaku
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Presiden membentuk
majelis kehormatan kode etik dan kode perilaku.
(7) Majelis kehormatan kode etik dan kode perilaku sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) terdiri atas 5 (lima) orang yang berasal
dari luar KASN dan memiliki pengetahuan, pengalaman, dan
kompetensi di bidang ASN, rekam jejak yang baik, integritas
moral, dan netralitas, serta berusia paling rendah 55 (lima puluh
lima) tahun.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan organisasi,
fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab sekretariat, tata kerja,
sistem dan manajemen sumber daya manusia, serta tanggung jawab
dan pengelolaan keuangan KASN sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 sampai dengan Pasal 41 diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
LAN
Paragraf 1
Fungsi dan Tugas
Pasal 43 LAN memiliki fungsi:
a. pengembangan standar kualitas pendidikan dan pelatihan
Pegawai ASN;
b. pembinaan pendidikan dan pelatihan kompetensi manajerial
Pegawai ASN;
c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kompetensi
manajerial Pegawai ASN baik secara sendiri maupun bersama-
sama lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya;
d. pengkajian terkait dengan kebijakan dan Manajemen ASN; dan
e. melakukan akreditasi lembaga pendidikan dan pelatihan
Pegawai ASN, baik sendiri maupun bersama lembaga
pemerintah lainnya.
Pasal 44
LAN bertugas:
a. meneliti, mengkaji, dan melakukan inovasi Manajemen ASN
sesuai dengan kebutuhan kebijakan;
b. membina dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
Pegawai ASN berbasis kompetensi;
c. merencanakan dan mengawasi kebutuhan pendidikan dan
pelatihan Pegawai ASN secara nasional;
d. menyusun standar dan pedoman penyelenggaraan dan
pelaksanaan pendidikan, pelatihan teknis fungsional dan
penjenjangan tertentu, serta pemberian akreditasi dan sertifikasi
di bidangnya dengan melibatkan kementerian dan lembaga
terkait;
e. memberikan sertifikasi kelulusan peserta pendidikan dan
pelatihan penjenjangan;
f. membina dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
analis kebijakan publik; dan
g. membina Jabatan Fungsional di bidang pendidikan dan
pelatihan.
Paragraf 2
Kewenangan
Pasal 45
LAN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 berwenang:
a. mencabut izin penyelenggaraan pendidikan dan latihan Pegawai
ASN yang melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b. memberikan rekomendasi kepada Menteri dalam bidang
kebijakan dan Manajemen ASN; dan
c. mencabut akreditasi lembaga pendidikan dan pelatihan Pegawai
ASN yang tidak memenuhi standar akreditasi.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, tugas, dan kewenangan
LAN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45
diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Keempat
BKN
Paragraf 1 Fungsi dan Tugas PasaI 47 BKN memiliki fungsi:
a. pembinaan penyelenggaraan Manajemen ASN;
b. penyelenggaraan Manajemen ASN dalam bidang pertimbangan
teknis formasi, pengadaan, perpindahan antarinstansi,
persetujuan kenaikan pangkat, pensiun; dan
c. penyimpanan informasi Pegawai ASN yang telah dimutakhirkan
oleh Instansi Pemerintah serta bertanggung jawab atas
pengelolaan dan pengembangan Sistem Informasi ASN.
Pasal 48
BKN bertugas:
a. mengendalikan seleksi calon Pegawai ASN;
b. membina dan menyelenggarakan penilaian kompetensi serta
mengevaluasi pelaksanaan penilaian kinerja Pegawai ASN oleh
Instansi Pemerintah;
c. membina Jabatan Fungsional di bidang kepegawaian;
d. mengelola dan mengembangkan sistem informasi kepegawaian
ASN berbasis kompetensi didukung oleh sistem informasi
kearsipan yang komprehensif;
e. menyusun norma, standar, dan prosedur teknis pelaksanaan
kebijakan Manajemen ASN;
f. menyelenggarakan administrasi kepegawaian ASN; dan
g. mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan norma, standar,
dan prosedur manajemen kepegawaian ASN.
Paragraf 2
Kewenangan
Pasal 49
BKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 berwenang mengawasi
dan mengendalikan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan
kriteria Manajemen ASN.
Pasal 50
Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, tugas, dan kewenangan
BKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 49
diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB VIII
MANAJEMEN ASN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 51
Manajemen ASN diselenggarakan berdasarkan Sistem Merit.
Pasal 52
Manajemen ASN meliputi Manajemen PNS dan Manajemen PPPK.
Bagian Kedua
Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang Berwenang
Paragraf 1
Pejabat Pembina Kepegawaian
Pasal 53
Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN
dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan,
pemindahan, dan pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan
tinggi utama dan madya, dan pejabat fungsional keahlian utama
kepada:
a. menteri di kementerian;
b. pimpinan lembaga di lembaga pemerintah nonkementerian;
c. sekretaris jenderal di sekretariat lembaga negara dan lembaga
nonstruktural;
d. gubernur di provinsi; dan
e. bupati/walikota di kabupaten/kota.
Paragraf 2
Pejabat yang Berwenang
Pasal 54
(1) Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pembinaan
Manajemen ASN kepada Pejabat yang Berwenang di
kementerian, sekretaris jenderal/sekretariat lembaga negara,
sekretariat lembaga nonstruktural, sekretaris daerah provinsi
dan kabupaten/kota.
(2) Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam menjalankan fungsi Manajemen ASN di Instansi
Pemerintah berdasarkan Sistem Merit dan berkonsultasi dengan
Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing.
(3) Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
memberikan rekomendasi usulan kepada Pejabat Pembina
Kepegawaian di instansi masing-masing.
(4) Pejabat yang Berwenang mengusulkan pengangkatan,
pemindahan, dan pemberhentian Pejabat Administrasi dan
Pejabat Fungsional kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di
instansi masing-masing.
Bagian Ketiga
Manajemen PNS
Pasal 55
(1) Manajemen PNS meliputi:
a. penyusunan dan penetapan kebutuhan;
b. pengadaan;
c. pangkat dan jabatan;
d. pengembangan karier;
e. pola karier;
f. promosi;
g. mutasi;
h. penilaian kinerja;
i. penggajian dan tunjangan;
j. penghargaan;
k. disiplin;
l. pemberhentian;
m. jaminan pensiun dan jaminan hari tua; dan
n. perlindungan.
(2) Manajemen PNS pada Instansi Pusat dilaksanakan oleh
pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Manajemen PNS pada Instansi Daerah dilaksanakan oleh
pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Paragraf 1
Penyusunan dan Penetapan Kebutuhan
Pasal 56
(1) Setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah
dan jenis jabatan PNS berdasarkan analisis jabatan dan analisis
beban kerja.
(2) Penyusunan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk jangka
waktu 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun
berdasarkan prioritas kebutuhan.
(3) Berdasarkan penyusunan kebutuhan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Menteri menetapkan kebutuhan jumlah dan jenis
jabatan PNS secara nasional.
Pasal 57
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan
penetapan kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 2
Pengadaan
Pasal 58
(1) Pengadaan PNS merupakan kegiatan untuk mengisi kebutuhan
Jabatan Administrasi dan/atau Jabatan Fungsional dalam suatu
Instansi Pemerintah.
(2) Pengadaan PNS di Instansi Pemerintah dilakukan berdasarkan
penetapan kebutuhan yang ditetapkan oleh Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3).
(3) Pengadaan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui tahapan perencanaan, pengumuman lowongan,
pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, masa percobaan,
dan pengangkatan menjadi PNS.
Pasal 59
Setiap Instansi Pemerintah merencanakan pelaksanaan pengadaan
PNS.
Pasal 60
Setiap Instansi Pemerintah mengumumkan secara terbuka kepada
masyarakat adanya kebutuhan jabatan untuk diisi dari calon PNS.
Pasal 61
Setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama
untuk melamar menjadi PNS setelah memenuhi persyaratan.
Pasal 62
(1) Penyelenggaraan seleksi pengadaan PNS oleh Instansi
Pemerintah melalui penilaian secara objektif berdasarkan
kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan lain yang dibutuhkan
oleh jabatan.
(2) Penyelenggaraan seleksi pengadaan PNS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri dari 3 (tiga) tahap, meliputi seleksi
administrasi, seleksi kompetensi dasar, dan seleksi kompetensi
bidang.
Pasal 63
(1) Peserta yang lolos seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
62 diangkat menjadi calon PNS.
(2) Pengangkatan calon PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian.
(3) Calon PNS wajib menjalani masa percobaan.
(4) Masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan melalui proses pendidikan dan pelatihan
terintegrasi untuk membangun integritas moral, kejujuran,
semangat dan motivasi nasionalisme dan kebangsaan, karakter
kepribadian yang unggul dan bertanggung jawab, dan
memperkuat profesionalisme serta kompetensi bidang.
Pasal 64
(1) Masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3)
bagi calon PNS dilaksanakan selama 1 (satu) tahun.
(2) Instansi Pemerintah wajib memberikan pendidikan dan
pelatihan kepada calon PNS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) selama masa percobaan.
Pasal 65
(1) Calon PNS yang diangkat menjadi PNS harus memenuhi
persyaratan:
a. lulus pendidikan dan pelatihan; dan
b. sehat jasmani dan rohani.
(2) Calon PNS yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diangkat menjadi PNS oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Calon PNS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sebagai calon PNS.
Pasal 66
(1) Setiap calon PNS pada saat diangkat menjadi PNS wajib
mengucapkan sumpah/janji.
140 141
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi
sebagai berikut:
â€Å“Demi Allah/Atas Nama Tuhan Yang Maha Esa, saya
bersumpah/berjanji: bahwa saya, untuk diangkat menjadi
pegawai negeri sipil, akan setia dan taat sepenuhnya kepada
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, negara, dan pemerintah; bahwa saya, akan
mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada
saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung
jawab; bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi
kehormatan negara, pemerintah, dan martabat pegawai negeri
sipil, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara
daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;
bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut
sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan; bahwa
saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat
untuk kepentingan negaraâ€.
Pasal 67
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan PNS dan tata cara
sumpah/janji PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 sampai
dengan Pasal 66 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3
Pangkat dan Jabatan
Pasal 68
(1) PNS diangkat dalam pangkat dan jabatan tertentu pada Instansi
Pemerintah.
(2) Pengangkatan PNS dalam jabatan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan perbandingan
objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang
dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan
persyaratan yang dimiliki oleh pegawai.
(3) Setiap jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikelompokkan dalam klasifikasi jabatan PNS yang
menunjukkan kesamaan karakteristik, mekanisme, dan pola
kerja.
(4) PNS dapat berpindah antar dan antara Jabatan Pimpinan Tinggi,
Jabatan Administrasi, dan Jabatan Fungsional di Instansi Pusat
dan Instansi Daerah berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan
penilaian kinerja.
(5) PNS dapat diangkat dalam jabatan tertentu pada lingkungan
instansi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(6) PNS yang diangkat dalam jabatan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), pangkat atau jabatan disesuaikan
dengan pangkat dan jabatan di lingkungan instansi Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pangkat, tata cara
pengangkatan PNS dalam jabatan, kompetensi jabatan,
klasifikasi jabatan, dan tata cara perpindahan antar Jabatan
Administrasi dan Jabatan Fungsional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 4
Pengembangan Karier
Pasal 69
(1) Pengembangan karier PNS dilakukan berdasarkan kualifikasi,
kompetensi, penilaian kinerja, dan kebutuhan Instansi
Pemerintah.
(2) Pengembangan karier PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mempertimbangkan integritas dan moralitas.
(3) Kompetensi sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi:
a. kompetensi teknis yang diukur dari tingkat dan spesialisasi
pendidikan, pelatihan teknis fungsional, dan pengalaman
bekerja secara teknis;
b. kompetensi manajerial yang diukur dari tingkat pendidikan,
pelatihan struktural atau manajemen, dan pengalaman
kepemimpinan; dan
c. kompetensi sosial kultural yang diukur dari pengalaman
kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal
agama, suku, dan budaya sehingga memiliki wawasan
kebangsaan.
(4) Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diukur dari
kejujuran, kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan, kemampuan bekerja sama, dan pengabdian kepada
masyarakat, bangsa dan negara.
(5) Moralitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diukur dari
penerapan dan pengamalan nilai etika agama, budaya, dan
sosial kemasyarakatan.
Pasal 70
(1) Setiap Pegawai ASN memiliki hak dan kesempatan untuk
mengembangkan kompetensi.
(2) Pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) antara lain melalui pendidikan dan pelatihan, seminar,
kursus, dan penataran.
(3) Pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dievaluasi oleh Pejabat yang Berwenang dan
digunakan sebagai salah satu dasar dalam pengangkatan jabatan
dan pengembangan karier.
(4) Dalam mengembangkan kompetensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun
rencana pengembangan kompetensi tahunan yang tertuang
dalam rencana kerja anggaran tahunan instansi masing-masing.
(5) Dalam mengembangkan kompetensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) PNS diberikan kesempatan untuk melakukan
praktik kerja di instansi lain di pusat dan daerah dalam waktu
paling lama 1 (satu) tahun dan pelaksanaannya dikoordinasikan
oleh LAN dan BKN.
(6) Selain pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pengembangan kompetensi dapat dilakukan melalui
pertukaran antara PNS dengan pegawai swasta dalam waktu
paling lama 1 (satu) tahun dan pelaksanaannya dikoordinasikan
oleh LAN dan BKN.
Paragraf 5
Pola Karier
Pasal 71
(1) Untuk menjamin keselarasan potensi PNS dengan kebutuhan
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan perlu
disusun pola karier PNS yang terintegrasi secara nasional.
(2) Setiap Instansi Pemerintah menyusun pola karier PNS secara
khusus sesuai dengan kebutuhan berdasarkan pola karier
nasional.
Paragraf 6
Promosi
Pasal 72
(1) Promosi PNS dilakukan berdasarkan perbandingan objektif
antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang
dibutuhkan oleh jabatan, penilaian atas prestasi kerja,
kepemimpinan, kerja sama, kreativitas, dan pertimbangan dari
tim penilai kinerja PNS pada Instansi Pemerintah, tanpa
membedakan jender, suku, agama, ras, dan golongan.
(2) Setiap PNS yang memenuhi syarat mempunyai hak yang sama
untuk dipromosikan ke jenjang jabatan yang lebih tinggi.
(3) Promosi Pejabat Administrasi dan Pejabat Fungsional PNS
dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian setelah mendapat
pertimbangan tim penilai kinerja PNS pada Instansi Pemerintah.
(4) Tim penilai kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dibentuk oleh Pejabat yang Berwenang.
Paragraf 7
Mutasi
Pasal 73
(1) Setiap PNS dapat dimutasi tugas dan/atau lokasi dalam 1 (satu)
Instansi Pusat, antar-Instansi Pusat, 1 (satu) Instansi Daerah,
antar-Instansi Daerah, antar-Instansi Pusat dan Instansi Daerah,
dan ke perwakilan Negara Kesatuan Republik Indonesia di luar
negeri.
(2) Mutasi PNS dalam satu Instansi Pusat atau Instansi Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian.
(3) Mutasi PNS antarkabupaten/kota dalam satu provinsi
ditetapkan oleh gubernur setelah memperoleh pertimbangan
kepala BKN.
(4) Mutasi PNS antarkabupaten/kota antarprovinsi, dan antar
provinsi ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan dalam negeri setelah memperoleh
pertimbangan kepala BKN.
(5) Mutasi PNS provinsi/kabupaten/kota ke Instansi Pusat atau
sebaliknya, ditetapkan oleh kepala BKN.
(6) Mutasi PNS antar-Instansi Pusat ditetapkan oleh kepala BKN.
(7) Mutasi PNS dilakukan dengan memperhatikan prinsip larangan
konflik kepentingan.
(8) Pembiayaan sebagai dampak dilakukannya mutasi PNS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada
anggaran pendapatan dan belanja negara untuk Instansi Pusat
dan anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk Instansi
Daerah.
Pasal 74
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan karier,
pengembangan kompetensi, pola karier, promosi, dan mutasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 73
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 8
Penilaian Kinerja
Pasal 75
Penilaian kinerja PNS bertujuan untuk menjamin objektivitas
pembinaan PNS yang didasarkan sistem prestasi dan sistem karier.
Pasal 76
(1) Penilaian kinerja PNS dilakukan berdasarkan perencanaan
kinerja pada tingkat individu dan tingkat unit atau organisasi,
dengan memperhatikan target, capaian, hasil, dan manfaat yang
dicapai, serta perilaku PNS.
(2) Penilaian kinerja PNS dilakukan secara objektif, terukur,
akuntabel, partisipatif, dan transparan.
Pasal 77
(1) Penilaian kinerja PNS berada di bawah kewenangan Pejabat
yang Berwenang pada Instansi Pemerintah masing-masing.
(2) Penilaian kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didelegasikan secara berjenjang kepada atasan langsung dari
PNS.
(3) Penilaian kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat mempertimbangkan pendapat rekan kerja setingkat dan
bawahannya.
(4) Hasil penilaian kinerja PNS disampaikan kepada tim penilai
kinerja PNS.
(5) Hasil penilaian kinerja PNS digunakan untuk menjamin
objektivitas dalam pengembangan PNS, dan dijadikan sebagai
persyaratan dalam pengangkatan jabatan dan kenaikan
pangkat, pemberian tunjangan dan sanksi, mutasi, dan promosi,
serta untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan.
(6) PNS yang penilaian kinerjanya tidak mencapai target kinerja
dikenakan sanksi administrasi sampai dengan pemberhentian
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 78
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kinerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76 dan Pasal 77 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Paragraf 9
Penggajian dan Tunjangan
Pasal 79
(1) Pemerintah wajib membayar gaji yang adil dan layak kepada
PNS serta menjamin kesejahteraan PNS.
(2) Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan sesuai
dengan beban kerja, tanggungjawab, dan resiko pekerjaan.
(3) Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pelaksanaannya
dilakukan secara bertahap.
(4) Gaji PNS yang bekerja pada pemerintah pusat dibebankan pada
anggaran pendapatan dan belanja negara.
(5) Gaji PNS yang bekerja pada pemerintahan daerah dibebankan
pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pasal 80
(1) Selain gaji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, PNS juga
menerima tunjangan dan fasilitas.
(2) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
tunjangan kinerja dan tunjangan kemahalan.
(3) Tunjangan kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibayarkan sesuai pencapaian kinerja.
(4) Tunjangan kemahalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibayarkan sesuai dengan tingkat kemahalan berdasarkan
indeks harga yang berlaku di daerah masing-masing.
(5) Tunjangan PNS yang bekerja pada pemerintah pusat dibebankan
pada anggaran pendapatan dan belanja negara.
(6) Tunjangan PNS yang bekerja pada pemerintahan daerah
dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pasal 81
Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji, tunjangan kinerja, tunjangan
kemahalan, dan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dan
Pasal 80 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 10
Penghargaan
Pasal 82
PNS yang telah menunjukkan kesetiaan, pengabdian, kecakapan,
kejujuran, kedisiplinan, dan prestasi kerja dalam melaksanakan
tugasnya dapat diberikan penghargaan.
Pasal 83
Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dapat berupa
pemberian:
a. tanda kehormatan;
b. kenaikan pangkat istimewa;
c. kesempatan prioritas untuk pengembangan kompetensi; dan/
atau
d. kesempatan menghadiri acara resmi dan/atau acara
kenegaraan.
Pasal 84
PNS yang dijatuhi sanksi administratif tingkat berat berupa
pemberhentian tidak dengan hormat dicabut haknya untuk memakai
tanda kehormatan berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 85
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghargaan terhadap PNS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, Pasal 83, dan Pasal 84
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Paragraf 11
Disiplin
Pasal 86
(1) Untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dalam kelancaran
pelaksanaan tugas, PNS wajib mematuhi disiplin PNS.
(2) Instansi Pemerintah wajib melaksanakan penegakan disiplin
terhadap PNS serta melaksanakan berbagai upaya peningkatan
disiplin.
(3) PNS yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman
disiplin.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai disiplin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Paragraf 12
Pemberhentian
Pasal 87
(1) PNS diberhentikan dengan hormat karena:
a. meninggal dunia;
b. atas permintaan sendiri;
c. mencapai batas usia pensiun;
d. perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang
mengakibatkan pensiun dini; atau
e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat
menjalankan tugas dan kewajiban.
(2) PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak
diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak
berencana.
(3) PNS diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri
karena melakukan pelanggaran disiplin PNS tingkat berat.
(4) PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena:
a. melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau
tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan
jabatan dan/atau pidana umum;
c. menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau
d. dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.
Pasal 88
(1) PNS diberhentikan sementara, apabila:
a. diangkat menjadi pejabat negara;
b. diangkat menjadi komisioner atau anggota lembaga
nonstruktural; atau
c. ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana.
(2) Pengaktifan kembali PNS yang diberhentikan sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian.
Pasal 89
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian,
pemberhentian sementara, dan pengaktifan kembali PNS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 88 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 90
Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1)
huruf c yaitu:
a. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat Administrasi;
b. 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi;
c. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi
Pejabat Fungsional.
Paragraf 13
Jaminan Pensiun dan Jaminan Hari Tua
Pasal 91
(1) PNS yang berhenti bekerja berhak atas jaminan pensiun dan
jaminan hari tua PNS sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) PNS diberikan jaminan pensiun apabila:
a. meninggal dunia; atas permintaan sendiri dengan usia dan
masa kerja tertentu;
b. mencapai batas usia pensiun;
c. perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang
mengakibatkan pensiun dini; atau
d. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat
menjalankan tugas dan kewajiban.
(3) Jaminan pensiun PNS dan jaminan hari tua PNS diberikan
sebagai perlindungan kesinambungan penghasilan hari tua,
sebagai hak dan sebagai penghargaan atas pengabdian PNS.
(4) Jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup jaminan pensiun dan
jaminan hari tua yang diberikan dalam program jaminan sosial
nasional.
(5) Sumber pembiayaan jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS
berasal dari pemerintah selaku pemberi kerja dan iuran PNS
yang bersangkutan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan program jaminan
pensiun dan jaminan hari tua PNS diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Paragraf 14
Perlindungan
Pasal 92
(1) Pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa:
a. jaminan kesehatan;
b. jaminan kecelakaan kerja;
c. jaminan kematian; dan
d. bantuan hukum.
(2) Perlindungan berupa jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan
kerja, dan jaminan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, huruf b, dan huruf c mencakup jaminan sosial yang
diberikan dalam program jaminan sosial nasional.
(3) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
berupa pemberian bantuan hukum dalam perkara yang
dihadapi di pengadilan terkait pelaksanaan tugasnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Manajemen PPPK
Paragraf 1
Umum
Pasal 93 Manajemen PPPK meliputi:
a. penetapan kebutuhan;
b. pengadaan;
c. penilaian kinerja;
d. penggajian dan tunjangan;
e. pengembangan kompetensi;
f. pemberian penghargaan;
g. disiplin;
h. pemutusan hubungan perjanjian kerja; dan
i. perlindungan.
Paragraf 2
Penetapan Kebutuhan
Pasal 94
(1) Jenis jabatan yang dapat diisi oleh PPPK diatur dengan
Peraturan Presiden.
(2) Setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah
dan jenis jabatan PPPK berdasarkan analisis jabatan dan analisis
beban kerja.
(3) Penyusunan kebutuhan jumlah PPPK sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun
yang diperinci per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas
kebutuhan.
(4) Kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PPPK sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Paragraf 3
Pengadaan
Pasal 95
Setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama
untuk melamar menjadi calon PPPK setelah memenuhi persyaratan.
Pasal 96
(1) Pengadaan calon PPPK merupakan kegiatan untuk memenuhi
kebutuhan pada Instansi Pemerintah.
(2) Pengadaan calon PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui tahapan perencanaan, pengumuman
lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, dan
pengangkatan menjadi PPPK.
Pasal 97
Penerimaan calon PPPK dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah
melalui penilaian secara objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi,
kebutuhan Instansi Pemerintah, dan persyaratan lain yang
dibutuhkan dalam jabatan.
Pasal 98
(1) Pengangkatan calon PPPK ditetapkan dengan keputusan Pejabat
Pembina Kepegawaian.
(2) Masa perjanjian kerja paling singkat 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang sesuai kebutuhan dan berdasarkan penilaian
kinerja.
Pasal 99
(1) PPPK tidak dapat diangkat secara otomatis menjadi calon PNS.
(2) Untuk diangkat menjadi calon PNS, PPPK harus mengikuti
semua proses seleksi yang dilaksanakan bagi calon PNS dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 4
Penilaian Kinerja
Pasal 100
(1) Penilaian kinerja PPPK bertujuan menjamin objektivitas prestasi
kerja yang sudah disepakati berdasarkan perjanjian kerja antara
Pejabat Pembina Kepegawaian dengan pegawai yang
bersangkutan.
(2) Penilaian kinerja PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan perjanjian kerja di tingkat individu dan
tingkat unit atau organisasi dengan memperhatikan target,
sasaran, hasil, manfaat yang dicapai, dan perilaku pegawai.
(3) Penilaian kinerja PPPK dilakukan secara objektif, terukur,
akuntabel, partisipatif, dan transparan.
(4) Penilaian kinerja PPPK berada di bawah kewenangan Pejabat
yang Berwenang pada Instansi Pemerintah masing-masing.
(5) Penilaian kinerja PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didelegasikan secara berjenjang kepada atasan langsung dari
PPPK.
(6) Penilaian kinerja PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat mempertimbangkan pendapat rekan kerja setingkat dan
bawahannya.
(7) Hasil penilaian kinerja PPPK disampaikan kepada tim penilai
kinerja PPPK.
(8) Hasil penilaian kinerja PPPK dimanfaatkan untuk menjamin
objektivitas perpanjangan perjanjian kerja, pemberian
tunjangan, dan pengembangan kompetensi.
(9) PPPK yang dinilai oleh atasan dan tim penilai kinerja PPPK tidak
mencapai target kinerja yang telah disepakati dalam perjanjian
kerja diberhentikan dari PPPK.
Paragraf 5
Penggajian dan Tunjangan
Pasal 101
(1) Pemerintah wajib membayar gaji yang adil dan layak kepada
PPPK.
(2) Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan
beban kerja, tanggung jawab jabatan, dan resiko pekerjaan.
(3) Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada
anggaran pendapatan dan belanja negara untuk PPPK di
Instansi Pusat dan anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk PPPK di Instansi Daerah.
(4) Selain gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPPK dapat
menerima tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Paragraf 6
Pengembangan Kompetensi
Pasal 102
(1) PPPK diberikan kesempatan untuk pengembangan kompetensi.
(2) Kesempatan untuk pengembangan kompetensi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) direncanakan setiap tahun oleh Instansi
Pemerintah.
(3) Pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dievaluasi oleh Pejabat yang Berwenang dan
dipergunakan sebagai salah satu dasar untuk perjanjian kerja
selanjutnya.
Paragraf 7
Pemberian Penghargaan
Pasal 103
(1) PPPK yang telah menunjukkan kesetiaan, pengabdian,
kecakapan, kejujuran, kedisiplinan, dan prestasi kerja dalam
melaksanakan tugasnya dapat diberikan penghargaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa pemberian:
a. tanda kehormatan;
b. kesempatan prioritas untuk pengembangan kompetensi;
dan/atau
c. kesempatan menghadiri acara resmi dan/atau acara
kenegaraan.
(3) PPPK yang dijatuhi sanksi administratif tingkat berat berupa
pemutusan hubungan perjanjian kerja tidak dengan hormat
dicabut haknya untuk memakai tanda kehormatan berdasarkan
Undang-Undang ini.
Paragraf 8
Disiplin
Pasal 104
(1) Untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dalam kelancaran
pelaksanaan tugas, PPPK wajib mematuhi disiplin PPPK.
(2) Instansi Pemerintah wajib melaksanakan penegakan disiplin
terhadap PPPK serta melaksanakan berbagai upaya peningkatan
disiplin.
(3) PPPK yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman
disiplin.
Paragraf 9
Pemutusan Hubungan Perjanjian Kerja
Pasal 105
(1) Pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK dilakukan dengan
hormat karena:
a. jangka waktu perjanjian kerja berakhir;
b. meninggal dunia;
c. atas permintaan sendiri;
d. perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang
mengakibatkan pengurangan PPPK; atau
e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat
menjalankan tugas dan kewajiban sesuai perjanjian kerja
yang disepakati.
(2) Pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK dilakukan dengan
hormat tidak atas permintaan sendiri karena:
a. dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan tindak pidana tersebut dilakukan
dengan tidak berencana;
b. melakukan pelanggaran disiplin PPPK tingkat berat; atau
c. tidak memenuhi target kinerja yang telah disepakati sesuai
dengan perjanjian kerja.
(3) Pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK dilakukan tidak
dengan hormat karena:
a. melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau
tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan
jabatan dan/atau pidana umum;
c. menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau
d. dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun atau lebih dan tindak pidana tersebut
dilakukan dengan berencana.
Paragraf 10
Perlindungan
Pasal 106
(1) Pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa:
a. jaminan hari tua;
b. jaminan kesehatan;
c. jaminan kecelakaan kerja;
d. jaminan kematian; dan
e. bantuan hukum.
(2) Perlindungan berupa jaminan hari tua, jaminan kesehatan,
jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
dilaksanakan sesuai dengan sistem jaminan sosial nasional.
(3) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e,
berupa pemberian bantuan hukum dalam perkara yang
dihadapi di pengadilan terkait pelaksanaan tugasnya.
Pasal 107
Ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen PPPK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 95 sampai dengan Pasal 106 diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PENGISIAN JABATAN PIMPINAN TINGGI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 108
(1) Pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya pada
kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga
nonstruktural, dan Instansi Daerah dilakukan secara terbuka
dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan syarat
kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan,
rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang
dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tingkat
nasional.
(3) Pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan secara
terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan
syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan
pelatihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan
jabatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan secara
terbuka dan kompetitif pada tingkat nasional atau
antarkabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Pasal 109
(1) Jabatan pimpinan tinggi utama dan madya tertentu dapat
berasal dari kalangan non-PNS dengan persetujuan Presiden
yang pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif
serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden.
(2) Jabatan Pimpinan Tinggi dapat diisi oleh prajurit Tentara
Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila
dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan
melalui proses secara terbuka dan kompetitif.
(3) Jabatan Pimpinan Tinggi di lingkungan Instansi Pemerintah
tertentu dapat diisi oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia dan
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
kompetensi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 110
(1) Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 109 dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian
dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi Instansi
Pemerintah.
(2) Dalam membentuk panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Pejabat Pembina Kepegawaian berkoordinasi dengan
KASN.
(3) Panitia seleksi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri dari unsur internal maupun eksternal Instansi
Pemerintah yang bersangkutan.
(4) Panitia seleksi dipilih dan diangkat oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian berdasarkan pengetahuan, pengalaman,
kompetensi, rekam jejak, integritas moral, dan netralitas melalui
proses yang terbuka.
(5) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan
seleksi dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi,
kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan,
integritas, dan penilaian uji kompetensi melalui pusat penilaian
(assesment center) atau metode penilaian lainnya.
(6) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjalankan tugasnya untuk semua proses seleksi pengisian
jabatan terbuka untuk masa tugas yang ditetapkan oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian.
Pasal 111
(1) Ketentuan mengenai pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, Pasal 109, dan Pasal
110 dapat dikecualikan pada Instansi Pemerintah yang telah
menerapkan Sistem Merit dalam pembinaan Pegawai ASN
dengan persetujuan KASN.
(2) Instansi Pemerintah yang telah menerapkan Sistem Merit dalam
pembinaan Pegawai ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib melaporkan secara berkala kepada KASN untuk
mendapatkan persetujuan baru.
Bagian Kedua
Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi di Instansi Pusat
Pasal 112
(1) Untuk pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan/atau
madya, panitia seleksi Instansi Pemerintah memilih 3 (tiga)
nama calon untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan.
(2) Tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi utama dan/atau
madya yang terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian.
(3) Pejabat Pembina Kepegawaian mengusulkan 3 (tiga) nama calon
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Presiden.
(4) Presiden memilih 1 (satu) nama dari 3 (tiga) nama calon yang
disampaikan untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi
utama dan/atau madya.
Pasal 113
(1) Pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan oleh
Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu
membentuk panitia seleksi.
(2) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memilih 3
(tiga) nama calon pejabat pimpinan tinggi pratama untuk setiap
1 (satu) lowongan jabatan.
(3) Tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi pratama yang terpilih
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada
Pejabat Pembina Kepegawaian melalui Pejabat yang Berwenang.
(4) Pejabat Pembina Kepegawaian memilih 1 (satu) dari 3 (tiga)
nama calon yang diusulkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3)