membobol ATM 3
Bank merupakan “suatu lembaga keuangan tempat penyimpanan dana atau uang
dari perusahaan-perusahaan, baik badan usaha besar, menengah maupun kecil; baik
perorangan maupun lembaga; pemerintah maupun swasta” . Definisi bank
secara normatif tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(selanjutnya disebut sebagai UU Perbankan), yaitu “bank yaitu badan usaha yang
menghimpun dana dari warga dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada
warga dalam bentuk kredit dan/ atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Sementara pengertian bank menurut A.
Abdurrahman yaitu “suatu jenis lembaga keuangan yang melaksanakan berbagai jasa,
seperti memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, pengawasan terhadap mata
uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan benda-benda berharga, membiayai usaha
perusahaan-perusahaan dan lain-lain” Pasal 1 ayat (2) UU Perbankan menjelaskan bahwa “Bank Umum yaitu bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasar Prinsip
Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”. Dana
simpanan bank menurut Pasal 1 ayat (5) UU Perbankan yaitu “dana yang dipercayakan
oleh warga kepada bank berdasar perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk
giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu”. Bentuk simpanan dana yang berbentuk giro menurut Pasal 1 ayat (6) UU
Perbankan yaitu “simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan
memakai cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan
pemindahbukuan”. Sementara pengertian deposito sesuai Pasal 1 ayat (7) UU Perbankan
yaitu “simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu
berdasar perjanjian Nasabah Penyimpan dengan bank”. Selanjutnya pengertian
tabungan menurut Pasal 1 ayat (9) UU Perbankan yaitu “simpanan yang penarikanya
hanya dapat dilakukan menurut Syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik
dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu”.
Fungsi utama perbankan Indonesia menurut Pasal 3 UU Perbankan yaitu “sebagai
penghimpun dan penyalur dana warga ”. Trisadini P. Usanti dan Abd. Shomad
berpendapat bahwa “fungsi perbankan menurut UU Perbankan merupakan fungsi bank
sebagai lembaga intermediasi, yaitu bank sebagai penghimpun dan penyalur dana
warga (financial intermediary)” ,Bank selain memiliki fungsi
sebagai lembaga intermediasi, bank memiliki posisi sebagai agent of development atau agen
pembangun, yang menurut Pasal 4 UU Perbankan yaitu lembaga yang “bertujuan
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,
pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat
banyak” , Di samping itu, bank juga merupakan agent of trust, yaitu
sebagai “lembaga yang landasannya kepercayaan yang mewajibkan bank untuk
menerapkan prinsip-prinsip perbankan dalam menyelenggarakan pelayanan atau jasajasa kepada perorangan baik kelompok/ perusahaan” Hal ini
dipertegas dalam Pasal 2 UU Perbankan bahwa “Perbankan Indonesia dalam melakukan
usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memakai prinsip kehati-hatian”.
Berbicara mengenai pembinaan dan pengawasaan, Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan
menegaskan sebagai berikut: “Dalam memberikan kredit dan melakukan kegiatan usaha
lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan
nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank”. Dalam praktik perbankan,
terdapat macam-macam kejahatan yang menimpa perbankan Indonesia, seperti
pembobolan bank melalui letter of credit fiktif, pembobolan bank dan dana nasabah oleh
pegawai karena penggelapan, penipuan atau kecurangan di bidang perkreditan, dan
pencurian uang nasabah melalui ATM (skimming).
Skimming merupakan “tindakan pencurian data kartu ATM dengan cara menyalin
(membaca dan menyimpan) informasi yang terdapat pada strip magnetic secara ilegal”.
Pengertian strip magnetic yaitu garis lebar hitam yang terletak di bagian belakang kartu
ATM. “Berfungsi seperti pita kaset, strip magnetic menyimpan data nomor kartu, masa
berlaku dan nama masabah. Card skimming dilakukan dengan cara menempatkan alat
pembaca kartu atau card skimmer pada slot kartu di mesin ATM”
Di Indonesia semakin marak kejahatan skimming dan menurut laporan Edmiraldo
Siregar dalam tulisannya “Indonesia Jadi Target Kejahatan Skimming”, selama enam tahun
berturut-turut sejak tahun 2011, kasus skimming di Indonesia terus meningkat dan pada tahun 2015, terjadi 1.549 kasus skimming atau dengan kata lain, ⅓ kasus skimming di dunia
terjadi di Indonesia. Posisi ini menempatkan Indonesia
sebagai negara yang dominan menyumbang kasus skimming. Dari segi hukum perbankan
Indonesia, kejahatan skimming merupakan salah satu tindak pidana yang ada
hubungannya dengan kegiatan perbankan. berdasar ketentuan pasal-pasal UU
Perbankan di atas dikaitkan dengan kasus pembobolan ATM melalui modus operandi
skimming, menarik bagi saya untuk membahas “Tanggung Jawab Kejahatan Perbankan
Melalui Modus Operandi Skimming”.
berdasar hal ini , artikel ini berupaya untuk menjawab permasalahan
siapakah yang bertanggung jawab atas ATM sebagai sarana transaksi perbankan dan
pihak manakah yang bertanggungjawab atas hilangnya dana simpanan nasabah akibat
adanya skimming.
. Tanggung Jawab ATM Sebagai Sarana Perbankan
Seiring berkembangnya teknologi informasi menimbulkan evolusi yang
merubah strategis berbisnis bank mengarah kepada perbankan digital (digital banking).
Layanan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi atas kegiatan operasional perbankan
dan mutu untuk lebih mengetahui dan memahami pelayanan bank terhadap nasabah.
Yang dimaksud dengan layanan perbankan digital yaitu kegiatan perbankan yang
dilakukan memakai sarana elektronik yang dilakukan secara mandiri. Layanan
perbankan yang berbasis teknologi informasi ini dikenal sebagai electronic banking (ebanking) (www.ojk.go.id, 2016).
E-banking memudahkan nasabah untuk memperoleh informasi, melakukan
transaksi keuangan serta mendapatkan layanan perbankan yang dilakukan secara mandiri
(Daniel, International Journal of Bank Marketing, 1999). E-banking memiliki berbagai
delivery channel, diantaranya yaitu Automatic Teller Machine (ATM) (www.ojk.go.id,
Op.Cit.). Layanan ini memungkinkan nasabah “memperoleh informasi, melakukan
komunikasi, registrasi, pembukaan rekening, transaksi perbankan, dan penutupan
rekening, termasuk memperoleh informasi lain dan transaksi di luar produk perbankan,
antara lain nasihat keuangan (financial advisory), investasi, transaksi sistem perdagangan
berbasis elektronik (e-commerce), dan kebutuhan lainnya dari nasabah bank”
,
Djumhana mengemukakan bahwa jasa perbankan yaitu “refleksi dari kegiatan
lembaga perbankan ini yang berupa: financial intermediary (lembaga perantara
keuangan) sebagai bentuk kegiatan utamanya dan di bidang delivery system sebagai bentuk
kegiatan di bidang administrasi dan layanan” . Dengan kata lain, bank
memiliki usaha pokok untuk menghimpun dan menyalurkan dana warga serta
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Hal ini merupakan fungsi perbankan
yang melekat dan tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, bank memiliki kewajiban untuk
menjaga sarana yang digunakan dalam lalu lintas pembayaran dan melindungi dana
nasabah yang dihimpun dalam sistem pembayaran.
Nasabah yang memakai produk bank, dalam hal ini yaitu memakai
jasa sistem pembayaran untuk transaksi keuangan, dikenal sebagai konsumen
sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/1/PBI/2014 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran (selanjutnyadisebut sebagai PBI No. 16/1/PBI/2014) yang menentukan: “Konsumen Jasa Sistem
Pembayaran yang selanjutnya disebut Konsumen yaitu setiap pihak individu yang
memanfaatkan jasa Sistem Pembayaran dari Penyelenggara untuk kepentingan diri sendiri
dan tidak untuk diperdagangkan”. Dalam hal ini, bank menawarkan produk-produk
kepada konsumen (nasabah) sehingga konsumen dapat menghimpun dana melalui jasa
sistem pembayaran bank.
Sebagaimana dikemukakan di atas, perkembangan teknologi informasi dan
globalisasi telah menggeser layanan (produk) perbankan mengarah pada e-banking. Hal ini
dikarenakan layanan e-banking memberikan kemudahan bagi nasabah untuk “melakukan
transaksi keuangan secara nyaman dan efisien, misalnya transfer antar bank, pembayaran
kartu pembayaran kartu kredit, pembayaran listrik, pembayaran telepon, pembayaran
tagihan ponsel, pembayaran asuransi, pembayaran internet, pembayaran tiket
penerbangan, dan virtual account”
Pengertian e-banking tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia
Nomor 9/15/PBI/2007 tentang Penerapan Manajemen Risiko Dalam Penggunaan
Teknologi Informasi oleh Bank Umum (selanjutnya disebut sebagai PBI No.
9/15/PBI/2007) yakni:
(3) Layanan Perbankan Melalui Media Elektronik atau selanjutnya disebut Electronic
Banking yaitu layanan yang memungkinkan nasabah Bank untuk memperoleh
informasi, melakukan komunikasi, dan melakukan transaksi perbankan melalui
media elektronik antara lain ATM, phone banking, electronic fund transfer, internet
banking, mobile phone.
Adapun salah satu layanan perbankan melalui e-banking yaitu penggunaan
fasilitas ATM (Automatic Teller Machine) atau Anjungan Tunai Mandiri. Definisi ATM
menurut OJK merupakan “suatu terminal/mesin komputer yang terhubung dengan
jaringan komunikasi bank, yang memungkinkan nasabah melakukan transaksi keuangan
secara mandiri tanpa bantuan dari teller ataupun petugas bank lainnya” (www.ojk.go.id,
Op.Cit.). Sementara menurut Suheimi, kartu ATM yaitu “kartu plastik yang dapat
digunakan oleh pemegangnya untuk membeli barang-barang dan jasa secara tunai
maupun kredit dan bisa berguna sebagai penarikan uang secara tunai. sedang ATM
(Automated Teller Machine) yaitu mesin/ komputer yang digunakan oleh bank untuk
melayani transaksi keuangan seperti penyetoran uang, pengambilan uang tunai,
pengecekan saldo, transfer uang dari satu rekening ke rekening lainnya, serta transaksi
keuangan sejenis lainya secara elektronik”
Jenis-jenis ATM dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Mesin ATM yang hanya melayani transaksi non tunai.
2. Mesin ATM yang melayani transaksi penyetoran uang tunai Cash Deposit
Machine atau CDM.
3. Mesin ATM yang dapat melayani semua transaksi yang telah disebutkan di atas
,
Pengguna kartu ATM yaitu “pemilik utama (nasabah) kartu ATM yang dapat
melakukan transaksi keuangan melalui ATM, baik untuk penarikan uang secara tunai
maupun pembelian/ pembayaran barang-barang dan jasa secara tunai maupun kredit Untuk memakai ATM, pengguna “harus memiliki kartu ATM/
debit/kredit dan PIN. PIN yaitu kode (4-6 digit) angka yang dibuat oleh nasabah saat
pertama kali menerima kartu ATM di bank. Kode ini harus dijaga kerahasiaannya
oleh nasabah supaya kartu ATM tidak dapat disalahgunakan oleh orang lain. Nasabah
memasukkan kartu pada slot kartu di mesin ATM dengan memperhatikan sisi kartu yang
harus dimasukkan terlebih dahulu, kemudian nasabah akan diminta untuk memasukkan
PIN. Setelah itu nasabah dapat melakukan transaksi dengan memilih menu yang tertera
pada layar monitor ATM.”
Tujuan adanya fasilitas ATM yaitu untuk “pemenuhan kebutuhan para nasabah
yang bersifat konsumtif-pragmatis” ,. Adapun perjanjian yang timbul dari
nasabah dan bank timbul dari penandatanganan formulir bahwa “calon nasabah
pengguna fasilitas ATM ini menyetujui ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan
pihak bank ini ” . Dengan adanya kesepakatan ini , nasabah dianggap telah
memahami perjanjian penggunaan fasilitas yang berupa penyimpanan dana yang dibuat
oleh pihak bank.
Menurut Ronny Prasetya, perjanjian penggunaan fasilitas ATM dapat
dikategorikan sebagai “perjanjian yang tidak mempunyai nama dan jumlahnya tidak
terbatas (unlimited)” . Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku Undang-Undang yang mengatur bagi mereka
yang membuatnya”. Hal ini berarti perjanjian yang dibuat oleh pihak bank dengan
nasabah merupakan produk bersama karena ketentuan perjanjian telah disepakati oleh
kedua belah pihak yang akhirnya mengikat dan menjadi undang-undang bagi mereka
yang mengadakan perjanjian. Namun dalam praktiknya, perjanjian penggunaan fasilitas
ATM disediakan oleh pihak bank dengan syarat-syarat yang telah ditentukan sehingga
menjadikan perjanjian ini bersifat sepihak. Dalam hal ini, tidak jarang pula timbul
keluhan oleh pihak nasabah dengan ketentuan perjanjian yang telah disediakan oleh bank
(Ronny Prasetya, Op.Cit). Meskipun tidak jarang timbul ketidakpuasan terhadap
layanan yang diselenggarakan oleh bank, kejahatan di dunia maya semakin merak
sehingga tidak ada rasa aman atau jaminan dalam penghimpunan dana di ATM.
Dikatakan demikian karena sarana lalu lintas pembayaran, dalam hal ini yaitu ATM,
menjadi instrumen untuk disalahgunakan oleh pihak ketiga yang menimbulkan kerugian
terhadap nasabah. Suheimi mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pihak ketiga
yaitu “hacker dan phreaker yaitu orang yang pekerjaannya memasuki atau mengakses
secara tidak sah suatu sistem komputer maupun internet”, Oleh karena
itu, bank selaku penyelenggara sarana pembayaran wajib pula memberi perlindungan
hukum bagi pemegang kartu ATM.
Perihal perlindungan hukum terhadap pengguna ATM, Pasal 1 ayat (2) PBI No.
16/1/PBI/2014 menjelaskan bahwa “Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran
yang selanjutnya disebut Perlindungan Konsumen yaitu segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada Konsumen Jasa Sistem
Pembayaran.” ATM merupakan salah satu jenis delivery channel atau sarana lalu lintas
pembayaran yang memperoleh perlindungan hukum sebagaimana tertera dalam Pasal 2
PBI No.16/1/PBI/2014, yakni:
Perlindungan Konsumen yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini
mencakup Perlindungan Konsumen dalam kegiatan jasa Sistem Pembayaran yang
meliputi:
a. penerbitan instrumen pemindahan dana dan/atau penarikan dana;
b. kegiatan transfer dana;
c. kegiatan alat pembayaran dengan memakai kartu;
d. kegiatan uang elektronik;
e. kegiatan penyediaan dan/atau penyetoran uang Rupiah; dan
f. penyelenggaraan Sistem Pembayaran lainnya yang akan ditetapkan dalam
ketentuan Bank Indonesia.
Dipertegas pada Pasal 3 PBI No.16/1/PBI/2014 bahwa perlindungan hukum terhadap
nasabah yang memakai ATM dilandasi dengan prinsip-prinsip:
a. keadilan dan keandalan;
b. transparansi;
c. perlindungan data dan/atau informasi Konsumen; dan
d. penanganan dan penyelesaian pengaduan yang efektif.
Ditinjau dari penjelasan diatas, bank dalam menjalankan tugasnya sebagai
penghimpun dan penyalur dana nasabah memakai berbagai cara, diantaranya yaitu
memanfaatkan sarana ATM. ATM yaitu sarana milik bank yang harus dipantau oleh
bank karena uang yang dikeluarkan atau diterima melalui ATM yaitu uang bank. Hal ini
sesuai dengan Pasal 1367 BW, yaitu “Seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas
kerugian yang dipicu perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang
dipicu perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau
dipicu barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”. Oleh karena itu, bank
sebagai penyedia fasilitas ATM bertanggung jawab atas transaksi perbankan yang
dipicu oleh mesin ATM.
2.2. Tanggung Jawab Tindak Pidana Skimming Atas Dana Nasabah
Dalam perkembangan terakhir menunjukan semakin maraknya tindak pidana di
dunia perbankan Indonesia yang dampaknya cukup besar di kalangan warga , dunia
perdagangan, serta hubungan kerja lintas negara. Permasalahan-permasalahan ini
juga dipicu karena “praktik-praktik kerusakan moral (moral hazard) dan mengabaikan
prinsip-prinsip kehati-hatian”
Kejahatan di sektor perbankan tidak terlepas dari kejahatan ekonomi karena
“kehidupan perbankan merupakan urat nadi kehidupan ekonomi”. Conklin
merumuskan unsur-unsur tindak pidana ekonomi sebagai berikut:
1. Suatu perbuatan melawan hukum yang diancam dengan sanksi pidana.
2. Yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi di dalam pekerjaannya yang sah
atau di dalam pencarian/ usahanya di bidang industri atau perdagangan.
3. Untuk tujuan: memperoleh uang atau kekayaan; menghindari pembayaran uang
atau menghindari kehilangan/ kerugian kekayaan; memperoleh keuntungan
bisnis atau keuntungan pribadi
Tindak pidana perbankan melibatkan dana simpanan nasabah di bank sehingga
perbuatan ini merugikan kepentingan berbagai pihak, diantaranya yaitu bank
selaku badan usaha, nasabah, sistem perbankan, otoritas perbankan, pemerintah serta
warga luas.
Ronny Prasetya mengemukakan bahwa “kejahatan dalam dunia maya (cyberspace)
menghadirkan berbagai persoalan baru dan berat dengan skala internasional dan sangat
kompleks dalam upaya pemberdayaan hukum agar bisa menanganinya. Kejahatankejahatan ekonomi termasuk kartu ATM dan pencurian uang merupakan masalah kedua
yang sangat mengkhawatirkan bagi dunia perbankan, khususnya yang dilakukan di Asia”
Kejahatan di dunia ATM semakin marak dari waktu ke waktu,
sehingga tidak ada lagi rasa aman atau jaminan untuk nasabah sebagai penghimpun dana
di bank. ATM begitu mudah di bobol dan kartu ATM dengan mudah dipalsukan dengan
berbagai macam cara, diantaranya yaitu dengan modus operandi skimming. UU
Perbankan sendiri mengatur tentang ketentuan pidana dan sanksi administratif yang
diatur dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A UU Perbankan, namun tindak pidana
ini umumnya menyangkut pihak internal bank sendiri. H.A.K. Moch. Anwar dalam
bukunya Tindak Pidana di Bidang Perbankan memberikan dua pengertian terkait kejahatan
perbankan. Pertama, “tindak pidana perbankan merupakan pelanggaran terhadap
ketentuan dalam UU Perbankan dan kriminalisasinya tertuang dalam undang-undang itu
sendiri”,Kedua, “tindak pidana di bidang perbankan memiliki
pengertian yang lebih luas, yaitu segala jenis perbuatan melanggar hukum yang
berhubungan dengan kegiatan-kegiatan bank, sehingga pelanggaran ini diancam
dengan ketentuan pidana yang termuat di luar UU Perbankan, misalnya KUHP, UndangUndang Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik” Salah satu contoh tindak
pidana di bidang perbankan yaitu kejahatan perbankan berupa skimming.
Skimming merupakan salah satu jenis tindak pidana siber yang dikenal sebagai
cyber theft atau identity theft. Pengertian skimming menurut Budi Suhariyanto yaitu salah
satu jenis tindak pidana siber yang dilakukan melalui jaringan komputer sistem, yang
tidak mengenal perbatasan geografis, dengan memanfaatkan teknologi untuk mencuri
data atau informasi pribadi nasabah yang terdapat pada magnetic stripe kartu ATM atau
kartu kredit, sehingga pelaku tindak pidana memiliki akses terhadap rekening nasabah
. Sementara menurut OJK, skimming merupakan “tindakan pencurian
data kartu ATM dengan cara menyalin (membaca dan menyimpan) informasi yang
terdapat pada strip magnetic secara ilegal", Pengertian magnetic stripe
pada kartu ATM atau kartu kredit yaitu garis lebar hitam yang terletak pada bagian kartu
ATM atau kartu kredit, dan berfungsi seperti pita kaset yang dapat menyimpan data
Card skimming dilakukan dengan cara menempatkan alat pembaca kartu atau card
skimmer pada slot kartu di mesin ATM. Dalam skimming, pelaku berusaha
mendapatkan data kartu dan PIN dengan dengan cara sebagai berikut:
1. Pelaku memasang alat skimmer pada mesin ATM;
2. Nasabah memasukkan kartu ke mesin ATM yang dipasangi alat skimmer,
sehingga data kartu nasabah terbaca dan tersimpan pada alat ini ;
3. Pelaku berusaha mendapatkan PIN ATM dengan cara mengintip tombol yang
ditekan oleh nasabah atau dapat juga memakai kamera kecil yang dipasang
oleh pelaku di mesin ATM;
4. Pelaku membuat kartu palsu memakai data yang telah diperoleh dan
bertransaksi memakai nya PIN yang telah diketahui (terekam) ,
Suheimi mengemukakan bahwa skimming merupakan akibat dari penyalahgunaan
oleh pihak ketiga. Yang dimaksud dengan pihak ketiga yaitu “hacker dan phreaker, yaitu
orang yang pekerjaannya memasuki atau mengakses secara tidak sah suatu sistem
komputer maupun internet”. Adapun cara-cara hacker mencuri data-data nasabah
pemegang ATM yaitu sebagai berikut:
1. Melalui komputer bank dan perusahaan kartu kredit;
2. Transhing, yaitu suatu cara dimana hacker membongkar/ memeriksa sampah
perusahaan-perusahaan atau toko-toko yang diperkirakan menerima melalui
kartu ATM ,
Terkurasnya dana simpanan nasabah akibat kejahatan skimming menunjukan
bahwa nasabah bank tidak mendapatkan perlindungan hukum secara penuh. Bank
memakai uang nasabah, yang dalam hal ini menghimpun dana sebanyak-banyaknya
dalam bentuk simpanan lalu mengelola dana ini untuk disalurkan kembali ke
kreditur atau nasabah lainnya dalam bentuk pinjaman atau kredit. Nasabah dalam konteks
UU Perbankan dapat dibagi menjadi dua, yakni nasabah penyimpan dan nasabah debitur.
berdasar Pasal 1 ayat 17 UU Perbankan, “Nasabah penyimpan yaitu nasabah yang
menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasar perjanjian bank
dengan nasabah yang bersangkutan”. Sementara menurut Pasal 1 ayat (18) UU Perbankan,
“Nasabah debitur yaitu nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan
berdasar prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasar perjanjian
bank dengan nasabah yang bersangkutan”. Menurut Marhais Abdul Miru, “dalam praktik
perbankan nasabah dibedakan menjadi tiga yaitu: Pertama, nasabah deposan yaitu
nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank, misalnya dalam bentuk giro,
tabungan dan deposito. Kedua, nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit atau
pembiayaan perbankan misalnya kredit kepemilikan rumah. pembiayaan murabahah, dan
sebagainya. Ketiga, nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank
(walk in customer), misalnya transaksi antara importir sebagai pembeli dengan eksportir di
luar negeri dengan memakai fasilitas letter of credit (L/C)”
Ditinjau dari penjelasan di atas, adanya hubungan antara bank dan nasabah
deposan yang terikat dalam suatu perikatan dimana bank bertanggung jawab atas dana
simpanan nasabah. Hal ini dipertegas oleh Sutan Remy Sjahdeini tentang hubungan
hukum antara bank dan nasabah, yakni:
berdasar pada fungsi utama perbankan sebagai Lembaga intermediasi, yaitu
berfungsi menghimpun dana warga dan berfungsi menyalurkan dana
warga , maka terdapat dua hubungan antara bank dan nasabah, yaitu:
1) Hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana.;
2) Hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur.
Hubungan hukum yang sedemikian rupa ibaratnya membicarakan dua sisi
sebuah mata uang logam; membicarakan satu sisi yaitu tidak lengkap
tanpa membicarakan sisi yang lain untuk dapat memahami dengan baik
mata uang logam yang bersangkutan. Kedua sisi dapat dibedakan tetapi
tidak dapat dipisahkan
Selanjutnya, Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa “hubungan hukum
antara bank dan nasabah penyimpan dalam praktik perbankan yaitu konstruksi
hubungan hukum atau perjanjian pinjam-meminjam khususnya perjanjian peminjaman
uang dengan bunga sebagaimana pada Pasal 1754 BW. Hubungan antara bank dan
nasabah penyimpan dana tidak tepat jika merupakan hubungan perjanjian penitipan
sebagaimana pada Pasal 1694 BW atau perjanjian pemberian kuasa pada Pasal 1792 BW”
, Sementara Hermansyah berpendapat “hubungan hukum antara nasabah
penyimpan dana bank didasarkan atas suatu perjanjian” , Oleh karena itu, sudah sepatutnya nasabah penyimpan dana memperoleh
perlindungan hukum, yaitu perlindungan hukum yang diberikan oleh bank sebagai
tanggung jawab utama bank yang dilandasi oleh kepercayaan. Hal ini dapat dilihat
bahwa telah ada political will dari pemerintah untuk melindungi kepentingan nasabah
penyimpan dana dengan UU Perlindungan Konsumen, selain yang diatur dalam UU
Perbankan.
ATM yaitu sarana transaksi perbankan yang ada di bawah pengawasan bank
sehingga bank bertanggung jawab atas segala akibat yang dipicu oleh ATM sesuai
ketentuan Pasal 1367 BW. Skimming yaitu perbuatan pencurian data kartu ATM nasabah
dengan cara menyalin informasi pada strip magnetic secara ilegal. Akibat perbuatan
skimming yaitu uang nasabah yang dipercayakan dalam bank dapat diambil secara
melawan hukum. Dikatakan melawan hukum karena tanpa sepengetahuan dan
persetujuan dari nasabah atau pemilik uang yang dipercayakan dalam bank. Skimming
yang berakibat hilangnya atau berkurangnya uang nasabah di bank jelas merupakan
tanggung jawab bank karena alat yang digunakan, yang dalam hal ini yaitu mesin ATM,
yaitu sarana di bawah pengawasan dan kepemilikan bank. Pertanggungjawaban bank
terhadap hilangnya dana simpanan nasabah ditinjau dari regulasi yang diterapkan oleh
regulator jasa keuangan, yaitu pihak bank harus bertanggung jawab atas hilangnya dana
simpanan nasabah dan kerugian yang menimpa nasabah. Hal ini tertuang dalam Pasal 19
ayat (1) UU Perlindungan Konsumen, yakni “Pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Tanggung
jawab bank atas hilangnya dana simpanan nasabah juga tertuang dalam Pasal 10 PBI No.
16/1/PBI/2014 yakni “Penyelenggara wajib bertanggung jawab kepada Konsumen atas
kerugian yang timbul akibat kesalahan pengurus dan pegawai Penyelenggara.”
Dipertegas dalam Pasal 29 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya disebut sebagai POJK
No.1/POJK.07/2013), bahwa “Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib bertanggung jawab atas
kerugian Konsumen yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian, pengurus, pegawai
Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan
Pelaku Usaha Jasa Keuangan”. Kecuali pelaku skimming ditemukan, yang dalam hal ini
nasabah tetap meminta pertanggungjawaban atau pengembalian kerugian di bank karena
berawalan dari perikatan nasabah dan bank yang mempercayakan uangnya untuk dikelola
bank, baru pihak bank akan menindaklanjuti dengan pelaku skimming yang tertangkap.
Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana, hukum pidana mengenal asas
legalitas (principle of legality), yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu setiap perbuatan pidana harus dirumuskan oleh suatu aturan undangan-undangan sebelum
perbuatan seseorang dapat dipidana. Dikemukakan oleh Moeljatno bahwa asas dalam
pertanggungjawaban pidana ialah: “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen
strafzonder schukd; Actus non facit reum nisi mens sist rea)” ,Perlu diketahui
bahwa perbuatan pidana harus dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana dan
kesalahan. Perbuatan pidana hanya menunjukan sifat larangannya saja, namun untuk
menimbang apakah perbuatannya dapat dipidana atau dapat dipertanggungjawabkan
harus melihat apakah ada kesalahan (guilt). Unsur-unsur kesalahan menurut Moeljatno
yaitu :
1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum).
2. Diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab.
3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan.
4. Tidak adanya alasan pemaaf ,
Jadi, pertanggungjawaban pidana tidak semata-mata melakukan perbuatan
pidana saja (actus reus), tetapi harus adanya niat (mens rea) untuk dapat dipidananya
kejahatan. Skimming merupakan kejahatan yang dalam KUHP secara konvensional tindak
pidana Pasal 263 KUHP dan Pasal 362 KUHP. Pengertian “membuat surat palsu” menurut
Chainur Arrasjid yaitu “membuat surat sedemikian rupa seakan-akan berasal dari
sumber yang benar atau berhak untuk membuat surat ini sama sekali dari pihak yang
tidak benar atau tidak berhak. sedang pengertian “memalsukan surat” yaitu
“mengadakan perubahan dan isinya, sehingga sebab perubahan ini mengakibatkan
materi atau substansi surat ini tidak sesuai lagi dengan isi yang sebenarnya atau
dengan kata lain sudah tidak sesuai lagi dengan redaksi atau bunyi aslinya” , Tindakan pelaku skimming yang dengan sengaja mendapatkan data nasabah secara
melawan hukum yang kemudian mengkloning data yang diperoleh secara melawan
hukum ke dalam kartu ATM yang kosong untuk melakukan aksi skimming merupakan
perbuatan “membuat surat palsu”. Perbuatan pelaku skimming yang memakai surat
palsu sehingga mengakibatkan kerugian terhadap nasabah memenuhi unsur-unsur
pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 263 KUHP.
Kemudian Pasal 362 KUHP tentang pencurian mengenal unsur subyektif dan
unsur obyektif. Pasal 362 KUHP secara eksplisit merumuskan elemen “secara
melawan hukum” yang “menunjuk kepada keadaan lahir atau obyektif yang
menyertai perbuatan” Sifat melawan hukum yang dituju
pada perbuatan atau objeknya yaitu unsur melawan hukum yang obyektif. Di
samping itu, Moeljatno berpendapat bahwa “ada kalanya sifat melawan
hukumnya perbuatan tidak terletak pada keadaan objektif, tetapi pada keadaan
subjektif, yaitu terletak dalam hati sanubari terdakwa sendiri” ). Misalnya dalam Pasal 362 KUHP yang dirumuskan sebagai pencurian, sifat
melawan hukumnya perbuatan pencurian “tidak dinyatakan dari hal-hal lahir,
tapi digantungkan pada niat orang yang mengambil barang tadi. Kalau niat
hatinya itu baik, misalnya barang diambil untuk diberikan pada pemiliknya, maka
perbuatan itu tidak dilarang, karena bukan pencurian. Sebaliknya kalau niat
hatinya itu jelek, yaitu barang akan dimiliki sendiri dengan tak mengacuhkan
kepada pemiliknya menurut hukum, maka hal itu dilarang dan masuk rumusan
pencurian”
Sifat melawan hukum yang tertuju kepada sikap batin terdakwa merupakan unsur
melawan hukum yang subyektif. Niat pelaku skimming untuk memperoleh dan menguasai
dana simpanan nasabah secara melawan hukum telah memenuhi unsur subyektif yang
mensyaratkan adanya unsur “mens rea” untuk dapat dipidananya suatu perbuatan.
Sementara perbuatan pelaku skimming yang mencuri dana simpanan nasabah bank yang
seharusnya bukan miliknya telah memenuhi unsur objektif, yang dalam hal ini yaitu
perbuatan pidana atau actus rea.
Kejahatan skimming yang dilakukan melalui mesin ATM merupakan tindak
pidana yang dilakukan melalui sistem elektronik, yang dalam hal ini dijerat Pasal 30 ayat
(3) jo. Pasal 46 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(selanjutnya disebut sebagai UU ITE) tentang illegal access, yang memiliki sanksi pidana
penjara paling lama 8 tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 800.000.000,- (delapan
ratus juta rupiah). Illegal access merupakan tindakan awal untuk melakukan kejahatan
skimming sehingga perbuatan pelaku skimming telah memenuhi unsur-unsur yang
disyaratkan pada Pasal 30 ayat (3) UU ITE, yakni:
1. Dengan sengaja;
2. Tanpa hak atau melawan hukum;
3. Mengakses Komputer atau Sistem Elektronik;
Unsur dengan sengaja tampak dari sikap batin pelaku yang berniat untuk mencuri
dana nasabah secara ilegal. Unsur tanpa hak atau melawan hukum tampak dari perbuatan
sengaja pelaku skimming yang melanggar peraturan perundang-undangan atau tidak
berdasar hukum. Unsur komputer atau sistem elektronik berkaitan dengan perangkat
teknologi informasi dan komunikasi yang dipergunakan dalam kejahatan skimming, yaitu
mengakses komputer atau sistem elektronik secara melawan hukum untuk mendapatkan
data-data nasabah.
Uraian dan analisa dalam isu hukum ini menunjukkan bahwa bank sebagai
penyedia fasilitas ATM bertanggung jawab atas kerugian yang dipicu oleh mesin
ATM, yang dalam hal ini yaitu hilangnya dana simpanan nasabah akibat skimming, yang
berupa pengembalian uang ke nasabah. Di samping itu, kejahatan skimming merupakan
tindak pidana di bidang perbankan yang disamping melanggar ketentuan UU Perbankan,
merupakan pelanggaran terhadap KUHP dan UU ITE. jika pelaku skimming
tertangkap, pelaku dijerat pasal berlapis yakni Pasal 362 jo. Pasal 263 KUHP dan/ atau
Pasal 30 ayat (3) jo, Pasal 46 ayat (3) UU ITE.
3. Kesimpulan
a. Bank memakai berbagai cara dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,
salah satunya yaitu melalui sarana ATM dalam menghimpun dan menyalurkan
dana warga . Bank sebagai penyedia fasilitas berkewajiban untuk
bertanggung jawab atas setiap transaksi yang dilaksanakan melalui sarana ATM
karena ATM merupakan sarana yang ada di bawah pengawasan bank sesuai
ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata.
b. Pihak yang bertanggung jawab atas kejahatan skimming kartu ATM yaitu pihak
bank BCA. Dikatakan demikian karena ATM yaitu salah satu sarana yang
digunakan oleh bank dalam melayani dan menindaklanjuti penyaluran dan
penerimaan dana dari nasabah debitur maupun kreditur. Kemudian berdasar
hakikat perbankan menurut UU Perbankan sebagaimana diungkapkan di atas,
dan mengingat Pasal 1367 KUHPerdata, dimana menyatakan tanggung jawab atas
sarana maupun alat dalam hal ini yaitu mesin ATM yaitu tanggung jawab
pemilik atas sarana atau alat ini (mesin ATM). Jadi yang bertanggung jawab
atas berkurangnya dana nasabah melalui skimming dengan memakai mesin
ATM yaitu tanggung jawab penuh bank. Skimming merupakan tindak pidana di
bidang perbankan sehingga pada pelaku dapat dijerat Pasal 263 jo. Pasal 362
KUHP dan/atau Pasal 30 ayat (3) jo. Pasal 46 UU ITE
Pencurian uang nasabah bank melalui modus penggandaan kartu ATM (skimming) merupakan
salah satu kejahatan perbankan. Tulisan ini merupakan hasil penelitian dengan memfokuskan pada
kajian mengenai perlindungan hukum terhadap nasabah bank akibat kejahatan skimming.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dengan memakai metode
pengumpulan data melalui studi pustaka yang dilakukan terhadap data sekunder. Selanjutnya
metode analisis data memakai analisis deskriptif analitis. Sementara itu urgensi penelitian ini
diharapkan dapat menjadi sumber rujukan bagi lembaga perbankan untuk melakukan upaya
perlindungan hukum sekaligus bagi aparat penegak hukum dalam melakukan upaya
penanggulangan kejahatan skimming sebagai wujud konkret perlindungan hukum terhadap
nasabah bank yang dirugikan akibat kejahatan skimming, berdasar analisis, diidentifikasikan
bahwa kejahatan pembobolan uang nasabah dengan metode skimming merupakan salah satu
kejahatan berdimensi high-tech (cyber crime) di bidang perbankan. Perbuatan ini termasuk
dalam tindak pidana informasi dan transaksi elektronik yang melarang setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara
apapun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan atau dokumen elektronik
sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (Undang-Undang ITE). Perlindungan terhadap nasabah korban kejahatan skimming
dapat dilakukan dalam konteks penegakan hukum pidana dan penegakan hukum perdata.
Kata kunci: Kejahatan Skimming; Nasabah Bank; Perlindungan Hukum
Perbankan merupakan salah satu perusahaan penyedia layanan jasa
keuangan yang telah memberikan pelayanan kepada warga dan bisnis.
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang
dimaksud dengan Bank yaitu “badan usaha yang menghimpun dana dari
warga dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada warga
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Bank merupakan “suatu
lembaga keuangan tempat penyimpanan dana atau uang dari perusahaanperusahaan, baik badan usaha besar, menengah maupun kecil, baik perorangan
maupun lembaga, pemerintah maupun swasta”1 Bank merupakan suatu lembaga
yang sangat penting di dalam warga , karena bank sebagai salah satu sarana
berjalannya perekonomian yang ada di warga . Pengertian bank dirumuskan
di dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang selanjutnya
disebut dengan UU Perbankan, sebagai berikut: “Bank yaitu badan usaha yang
menghimpun dana dari warga dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada warga dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
Sebagai upaya meningkatkan pelayanan, perbankan telah menerapkan
teknologi di berbagai bidang salah satunya pada anjungan tunai mandiri (ATM).
ATM digunakan sebagai pengganti fungsi kasir dalam bertransaksi seperti
penarikan tunai serta proses transaksi lainnya. Keberadaan lembaga perbankan
memiliki kontribusi dominan dalam menjaga keberlangsungan roda
perekonomian dan memajukan peranan nasabah selaku konsumen produk dan
jasa bank. Munculnya modus operandi kejahatan pembobolan ATM ini, menjadi
pemicu munculnya dampak yang ditimbulkan. Dampak atas kejahatan
pembobolan ATM ini antara lain yaitu terjadinya viktimisasi secara
langsung dan tidak langsung kepada warga . Kerugian secara material dan
non material kepada sistem perbankan secara khusus dan sistem perekonomian
secara umum. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber rujukan bagi
lembaga perbankan untuk melakukan upaya perlindungan hukum sekaligus bagi
aparat penegak hukum dalam melakukan upaya penanggulangan kejahatan
skimming sebagai wujud konkret perlindungan hukum terhadap nasabah bank
yang dirugikan akibat kejahatan skimming.
Kegiatan perbankan dengan electronic transaction (e-banking) melalui
mesin ATM, telepon seluler (phone banking) dan jaringan internet (Internet
banking), merupakan beberapa contoh pelayanan transaksi perbankan dengan
teknologi informasi. Dari sisi keamanan, penggunaan teknologi dapat memberi