membobol ATM 3

Tampilkan postingan dengan label membobol ATM 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label membobol ATM 3. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 30 November 2024

membobol ATM 3


 






Bank merupakan “suatu lembaga keuangan tempat penyimpanan dana atau uang

dari perusahaan-perusahaan, baik badan usaha besar, menengah maupun kecil; baik

perorangan maupun lembaga; pemerintah maupun swasta” . Definisi bank

secara normatif tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

(selanjutnya disebut sebagai UU Perbankan), yaitu “bank yaitu  badan usaha yang

menghimpun dana dari warga  dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada

warga  dalam bentuk kredit dan/ atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka

meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Sementara pengertian bank menurut A.

Abdurrahman yaitu  “suatu jenis lembaga keuangan yang melaksanakan berbagai jasa,

seperti memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, pengawasan terhadap mata

uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan benda-benda berharga, membiayai usaha

perusahaan-perusahaan dan lain-lain” Pasal 1 ayat (2) UU Perbankan menjelaskan bahwa “Bank Umum yaitu  bank

yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasar  Prinsip

Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”. Dana

simpanan bank menurut Pasal 1 ayat (5) UU Perbankan yaitu  “dana yang dipercayakan

oleh warga  kepada bank berdasar  perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk

giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan

dengan itu”. Bentuk simpanan dana yang berbentuk giro menurut Pasal 1 ayat (6) UU

Perbankan yaitu  “simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan

memakai  cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan

pemindahbukuan”. Sementara pengertian deposito sesuai Pasal 1 ayat (7) UU Perbankan

yaitu  “simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu

berdasar  perjanjian Nasabah Penyimpan dengan bank”. Selanjutnya pengertian

tabungan menurut Pasal 1 ayat (9) UU Perbankan yaitu  “simpanan yang penarikanya

hanya dapat dilakukan menurut Syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik

dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu”.

Fungsi utama perbankan Indonesia menurut Pasal 3 UU Perbankan yaitu  “sebagai

penghimpun dan penyalur dana warga ”. Trisadini P. Usanti dan Abd. Shomad

berpendapat bahwa “fungsi perbankan menurut UU Perbankan merupakan fungsi bank

sebagai lembaga intermediasi, yaitu bank sebagai penghimpun dan penyalur dana

warga  (financial intermediary)” ,Bank selain memiliki fungsi

sebagai lembaga intermediasi, bank memiliki posisi sebagai agent of development atau agen

pembangun, yang menurut Pasal 4 UU Perbankan yaitu  lembaga yang “bertujuan

menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,

pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat

banyak” , Di samping itu, bank juga merupakan agent of trust, yaitu

sebagai “lembaga yang landasannya kepercayaan yang mewajibkan bank untuk

menerapkan prinsip-prinsip perbankan dalam menyelenggarakan pelayanan atau jasa￾jasa kepada perorangan baik kelompok/ perusahaan” Hal ini 

dipertegas dalam Pasal 2 UU Perbankan bahwa “Perbankan Indonesia dalam melakukan

usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memakai  prinsip kehati-hatian”.

Berbicara mengenai pembinaan dan pengawasaan, Pasal 29 ayat (4) UU Perbankan

menegaskan sebagai berikut: “Dalam memberikan kredit dan melakukan kegiatan usaha

lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan

nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank”. Dalam praktik perbankan,

terdapat macam-macam kejahatan yang menimpa perbankan Indonesia, seperti

pembobolan bank melalui letter of credit fiktif, pembobolan bank dan dana nasabah oleh

pegawai karena penggelapan, penipuan atau kecurangan di bidang perkreditan, dan

pencurian uang nasabah melalui ATM (skimming).

Skimming merupakan “tindakan pencurian data kartu ATM dengan cara menyalin

(membaca dan menyimpan) informasi yang terdapat pada strip magnetic secara ilegal”.

Pengertian strip magnetic yaitu  garis lebar hitam yang terletak di bagian belakang kartu

ATM. “Berfungsi seperti pita kaset, strip magnetic menyimpan data nomor kartu, masa

berlaku dan nama masabah. Card skimming dilakukan dengan cara menempatkan alat

pembaca kartu atau card skimmer pada slot kartu di mesin ATM” 

Di Indonesia semakin marak kejahatan skimming dan menurut laporan Edmiraldo

Siregar dalam tulisannya “Indonesia Jadi Target Kejahatan Skimming”, selama enam tahun

berturut-turut sejak tahun 2011, kasus skimming di Indonesia terus meningkat dan pada  tahun 2015, terjadi 1.549 kasus skimming atau dengan kata lain, ⅓ kasus skimming di dunia

terjadi di Indonesia. Posisi ini menempatkan Indonesia

sebagai negara yang dominan menyumbang kasus skimming. Dari segi hukum perbankan

Indonesia, kejahatan skimming merupakan salah satu tindak pidana yang ada

hubungannya dengan kegiatan perbankan. berdasar  ketentuan pasal-pasal UU

Perbankan di atas dikaitkan dengan kasus pembobolan ATM melalui modus operandi

skimming, menarik bagi saya untuk membahas “Tanggung Jawab Kejahatan Perbankan

Melalui Modus Operandi Skimming”.

berdasar  hal ini , artikel ini berupaya untuk menjawab permasalahan

siapakah yang bertanggung jawab atas ATM sebagai sarana transaksi perbankan dan

pihak manakah yang bertanggungjawab atas hilangnya dana simpanan nasabah akibat

adanya skimming.


. Tanggung Jawab ATM Sebagai Sarana Perbankan

Seiring berkembangnya teknologi informasi menimbulkan evolusi yang

merubah strategis berbisnis bank mengarah kepada perbankan digital (digital banking).

Layanan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi atas kegiatan operasional perbankan

dan mutu untuk lebih mengetahui dan memahami pelayanan bank terhadap nasabah.

Yang dimaksud dengan layanan perbankan digital yaitu  kegiatan perbankan yang

dilakukan memakai  sarana elektronik yang dilakukan secara mandiri. Layanan

perbankan yang berbasis teknologi informasi ini dikenal sebagai electronic banking (e￾banking) (www.ojk.go.id, 2016).

E-banking memudahkan nasabah untuk memperoleh informasi, melakukan

transaksi keuangan serta mendapatkan layanan perbankan yang dilakukan secara mandiri

(Daniel, International Journal of Bank Marketing, 1999). E-banking memiliki berbagai

delivery channel, diantaranya yaitu  Automatic Teller Machine (ATM) (www.ojk.go.id,

Op.Cit.). Layanan ini  memungkinkan nasabah “memperoleh informasi, melakukan

komunikasi, registrasi, pembukaan rekening, transaksi perbankan, dan penutupan

rekening, termasuk memperoleh informasi lain dan transaksi di luar produk perbankan,

antara lain nasihat keuangan (financial advisory), investasi, transaksi sistem perdagangan

berbasis elektronik (e-commerce), dan kebutuhan lainnya dari nasabah bank”

Djumhana mengemukakan bahwa jasa perbankan yaitu  “refleksi dari kegiatan

lembaga perbankan ini  yang berupa: financial intermediary (lembaga perantara

keuangan) sebagai bentuk kegiatan utamanya dan di bidang delivery system sebagai bentuk

kegiatan di bidang administrasi dan layanan” . Dengan kata lain, bank

memiliki usaha pokok untuk menghimpun dan menyalurkan dana warga  serta

memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Hal ini  merupakan fungsi perbankan

yang melekat dan tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, bank memiliki kewajiban untuk

menjaga sarana yang digunakan dalam lalu lintas pembayaran dan melindungi dana

nasabah yang dihimpun dalam sistem pembayaran.

Nasabah yang memakai  produk bank, dalam hal ini yaitu  memakai 

jasa sistem pembayaran untuk transaksi keuangan, dikenal sebagai konsumen

sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor

16/1/PBI/2014 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran (selanjutnyadisebut sebagai PBI No. 16/1/PBI/2014) yang menentukan: “Konsumen Jasa Sistem

Pembayaran yang selanjutnya disebut Konsumen yaitu  setiap pihak individu yang

memanfaatkan jasa Sistem Pembayaran dari Penyelenggara untuk kepentingan diri sendiri

dan tidak untuk diperdagangkan”. Dalam hal ini, bank menawarkan produk-produk

kepada konsumen (nasabah) sehingga konsumen dapat menghimpun dana melalui jasa

sistem pembayaran bank.

Sebagaimana dikemukakan di atas, perkembangan teknologi informasi dan

globalisasi telah menggeser layanan (produk) perbankan mengarah pada e-banking. Hal ini

dikarenakan layanan e-banking memberikan kemudahan bagi nasabah untuk “melakukan

transaksi keuangan secara nyaman dan efisien, misalnya transfer antar bank, pembayaran

kartu pembayaran kartu kredit, pembayaran listrik, pembayaran telepon, pembayaran

tagihan ponsel, pembayaran asuransi, pembayaran internet, pembayaran tiket

penerbangan, dan virtual account” 

Pengertian e-banking tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia

Nomor 9/15/PBI/2007 tentang Penerapan Manajemen Risiko Dalam Penggunaan

Teknologi Informasi oleh Bank Umum (selanjutnya disebut sebagai PBI No.

9/15/PBI/2007) yakni:

(3) Layanan Perbankan Melalui Media Elektronik atau selanjutnya disebut Electronic

Banking yaitu  layanan yang memungkinkan nasabah Bank untuk memperoleh

informasi, melakukan komunikasi, dan melakukan transaksi perbankan melalui

media elektronik antara lain ATM, phone banking, electronic fund transfer, internet

banking, mobile phone.

Adapun salah satu layanan perbankan melalui e-banking yaitu  penggunaan

fasilitas ATM (Automatic Teller Machine) atau Anjungan Tunai Mandiri. Definisi ATM

menurut OJK merupakan “suatu terminal/mesin komputer yang terhubung dengan

jaringan komunikasi bank, yang memungkinkan nasabah melakukan transaksi keuangan

secara mandiri tanpa bantuan dari teller ataupun petugas bank lainnya” (www.ojk.go.id,

Op.Cit.). Sementara menurut Suheimi, kartu ATM yaitu  “kartu plastik yang dapat

digunakan oleh pemegangnya untuk membeli barang-barang dan jasa secara tunai

maupun kredit dan bisa berguna sebagai penarikan uang secara tunai. sedang  ATM

(Automated Teller Machine) yaitu  mesin/ komputer yang digunakan oleh bank untuk

melayani transaksi keuangan seperti penyetoran uang, pengambilan uang tunai,

pengecekan saldo, transfer uang dari satu rekening ke rekening lainnya, serta transaksi

keuangan sejenis lainya secara elektronik” 

Jenis-jenis ATM dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Mesin ATM yang hanya melayani transaksi non tunai.

2. Mesin ATM yang melayani transaksi penyetoran uang tunai Cash Deposit

Machine atau CDM.

3. Mesin ATM yang dapat melayani semua transaksi yang telah disebutkan di atas

Pengguna kartu ATM yaitu  “pemilik utama (nasabah) kartu ATM yang dapat

melakukan transaksi keuangan melalui ATM, baik untuk penarikan uang secara tunai

maupun pembelian/ pembayaran barang-barang dan jasa secara tunai maupun kredit  Untuk memakai  ATM, pengguna “harus memiliki kartu ATM/

debit/kredit dan PIN. PIN yaitu  kode (4-6 digit) angka yang dibuat oleh nasabah saat

pertama kali menerima kartu ATM di bank. Kode ini  harus dijaga kerahasiaannya

oleh nasabah supaya kartu ATM tidak dapat disalahgunakan oleh orang lain. Nasabah

memasukkan kartu pada slot kartu di mesin ATM dengan memperhatikan sisi kartu yang

harus dimasukkan terlebih dahulu, kemudian nasabah akan diminta untuk memasukkan

PIN. Setelah itu nasabah dapat melakukan transaksi dengan memilih menu yang tertera

pada layar monitor ATM.” 

Tujuan adanya fasilitas ATM yaitu  untuk “pemenuhan kebutuhan para nasabah

yang bersifat konsumtif-pragmatis” ,. Adapun perjanjian yang timbul dari

nasabah dan bank timbul dari penandatanganan formulir bahwa “calon nasabah

pengguna fasilitas ATM ini  menyetujui ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan

pihak bank ini ” . Dengan adanya kesepakatan ini , nasabah dianggap telah

memahami perjanjian penggunaan fasilitas yang berupa penyimpanan dana yang dibuat

oleh pihak bank.

Menurut Ronny Prasetya, perjanjian penggunaan fasilitas ATM dapat

dikategorikan sebagai “perjanjian yang tidak mempunyai nama dan jumlahnya tidak

terbatas (unlimited)” . Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa “Semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku Undang-Undang yang mengatur bagi mereka

yang membuatnya”. Hal ini berarti perjanjian yang dibuat oleh pihak bank dengan

nasabah merupakan produk bersama karena ketentuan perjanjian telah disepakati oleh

kedua belah pihak yang akhirnya mengikat dan menjadi undang-undang bagi mereka

yang mengadakan perjanjian. Namun dalam praktiknya, perjanjian penggunaan fasilitas

ATM disediakan oleh pihak bank dengan syarat-syarat yang telah ditentukan sehingga

menjadikan perjanjian ini  bersifat sepihak. Dalam hal ini, tidak jarang pula timbul

keluhan oleh pihak nasabah dengan ketentuan perjanjian yang telah disediakan oleh bank

(Ronny Prasetya, Op.Cit). Meskipun tidak jarang timbul ketidakpuasan terhadap

layanan yang diselenggarakan oleh bank, kejahatan di dunia maya semakin merak

sehingga tidak ada rasa aman atau jaminan dalam penghimpunan dana di ATM.

Dikatakan demikian karena sarana lalu lintas pembayaran, dalam hal ini yaitu  ATM,

menjadi instrumen untuk disalahgunakan oleh pihak ketiga yang menimbulkan kerugian

terhadap nasabah. Suheimi mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pihak ketiga

yaitu  “hacker dan phreaker yaitu orang yang pekerjaannya memasuki atau mengakses

secara tidak sah suatu sistem komputer maupun internet”,  Oleh karena

itu, bank selaku penyelenggara sarana pembayaran wajib pula memberi perlindungan

hukum bagi pemegang kartu ATM.

Perihal perlindungan hukum terhadap pengguna ATM, Pasal 1 ayat (2) PBI No.

16/1/PBI/2014 menjelaskan bahwa “Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran

yang selanjutnya disebut Perlindungan Konsumen yaitu  segala upaya yang menjamin

adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada Konsumen Jasa Sistem

Pembayaran.” ATM merupakan salah satu jenis delivery channel atau sarana lalu lintas

pembayaran yang memperoleh perlindungan hukum sebagaimana tertera dalam Pasal 2

PBI No.16/1/PBI/2014, yakni:

Perlindungan Konsumen yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini

mencakup Perlindungan Konsumen dalam kegiatan jasa Sistem Pembayaran yang

meliputi:

a. penerbitan instrumen pemindahan dana dan/atau penarikan dana;

b. kegiatan transfer dana;

c. kegiatan alat pembayaran dengan memakai  kartu;

d. kegiatan uang elektronik;

e. kegiatan penyediaan dan/atau penyetoran uang Rupiah; dan

f. penyelenggaraan Sistem Pembayaran lainnya yang akan ditetapkan dalam

ketentuan Bank Indonesia.

Dipertegas pada Pasal 3 PBI No.16/1/PBI/2014 bahwa perlindungan hukum terhadap

nasabah yang memakai  ATM dilandasi dengan prinsip-prinsip:

a. keadilan dan keandalan;

b. transparansi;

c. perlindungan data dan/atau informasi Konsumen; dan

d. penanganan dan penyelesaian pengaduan yang efektif.

Ditinjau dari penjelasan diatas, bank dalam menjalankan tugasnya sebagai

penghimpun dan penyalur dana nasabah memakai  berbagai cara, diantaranya yaitu 

memanfaatkan sarana ATM. ATM yaitu  sarana milik bank yang harus dipantau oleh

bank karena uang yang dikeluarkan atau diterima melalui ATM yaitu  uang bank. Hal ini

sesuai dengan Pasal 1367 BW, yaitu “Seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas

kerugian yang dipicu  perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang

dipicu  perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau

dipicu  barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”. Oleh karena itu, bank

sebagai penyedia fasilitas ATM bertanggung jawab atas transaksi perbankan yang

dipicu  oleh mesin ATM.

2.2. Tanggung Jawab Tindak Pidana Skimming Atas Dana Nasabah

Dalam perkembangan terakhir menunjukan semakin maraknya tindak pidana di

dunia perbankan Indonesia yang dampaknya cukup besar di kalangan warga , dunia

perdagangan, serta hubungan kerja lintas negara. Permasalahan-permasalahan ini 

juga dipicu  karena “praktik-praktik kerusakan moral (moral hazard) dan mengabaikan

prinsip-prinsip kehati-hatian”

Kejahatan di sektor perbankan tidak terlepas dari kejahatan ekonomi karena

“kehidupan perbankan merupakan urat nadi kehidupan ekonomi”. Conklin

merumuskan unsur-unsur tindak pidana ekonomi sebagai berikut:

1. Suatu perbuatan melawan hukum yang diancam dengan sanksi pidana.

2. Yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi di dalam pekerjaannya yang sah

atau di dalam pencarian/ usahanya di bidang industri atau perdagangan.

3. Untuk tujuan: memperoleh uang atau kekayaan; menghindari pembayaran uang

atau menghindari kehilangan/ kerugian kekayaan; memperoleh keuntungan

bisnis atau keuntungan pribadi 

Tindak pidana perbankan melibatkan dana simpanan nasabah di bank sehingga

perbuatan ini  merugikan kepentingan berbagai pihak, diantaranya yaitu  bank

selaku badan usaha, nasabah, sistem perbankan, otoritas perbankan, pemerintah serta

warga  luas.

Ronny Prasetya mengemukakan bahwa “kejahatan dalam dunia maya (cyberspace)

menghadirkan berbagai persoalan baru dan berat dengan skala internasional dan sangat

kompleks dalam upaya pemberdayaan hukum agar bisa menanganinya. Kejahatan￾kejahatan ekonomi termasuk kartu ATM dan pencurian uang merupakan masalah kedua

yang sangat mengkhawatirkan bagi dunia perbankan, khususnya yang dilakukan di Asia”

Kejahatan di dunia ATM semakin marak dari waktu ke waktu,

sehingga tidak ada lagi rasa aman atau jaminan untuk nasabah sebagai penghimpun dana

di bank. ATM begitu mudah di bobol dan kartu ATM dengan mudah dipalsukan dengan

berbagai macam cara, diantaranya yaitu  dengan modus operandi skimming. UU

Perbankan sendiri mengatur tentang ketentuan pidana dan sanksi administratif yang

diatur dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A UU Perbankan, namun tindak pidana

ini  umumnya menyangkut pihak internal bank sendiri. H.A.K. Moch. Anwar dalam

bukunya Tindak Pidana di Bidang Perbankan memberikan dua pengertian terkait kejahatan

perbankan. Pertama, “tindak pidana perbankan merupakan pelanggaran terhadap

ketentuan dalam UU Perbankan dan kriminalisasinya tertuang dalam undang-undang itu

sendiri”,Kedua, “tindak pidana di bidang perbankan memiliki

pengertian yang lebih luas, yaitu segala jenis perbuatan melanggar hukum yang

berhubungan dengan kegiatan-kegiatan bank, sehingga pelanggaran ini  diancam

dengan ketentuan pidana yang termuat di luar UU Perbankan, misalnya KUHP, Undang￾Undang Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang

Informasi dan Transaksi Elektronik” Salah satu contoh tindak

pidana di bidang perbankan yaitu  kejahatan perbankan berupa skimming.

Skimming merupakan salah satu jenis tindak pidana siber yang dikenal sebagai

cyber theft atau identity theft. Pengertian skimming menurut Budi Suhariyanto yaitu  salah

satu jenis tindak pidana siber yang dilakukan melalui jaringan komputer sistem, yang

tidak mengenal perbatasan geografis, dengan memanfaatkan teknologi untuk mencuri

data atau informasi pribadi nasabah yang terdapat pada magnetic stripe kartu ATM atau

kartu kredit, sehingga pelaku tindak pidana memiliki akses terhadap rekening nasabah

. Sementara menurut OJK, skimming merupakan “tindakan pencurian

data kartu ATM dengan cara menyalin (membaca dan menyimpan) informasi yang

terdapat pada strip magnetic secara ilegal", Pengertian magnetic stripe

pada kartu ATM atau kartu kredit yaitu  garis lebar hitam yang terletak pada bagian kartu

ATM atau kartu kredit, dan berfungsi seperti pita kaset yang dapat menyimpan data 

Card skimming dilakukan dengan cara menempatkan alat pembaca kartu atau card

skimmer pada slot kartu di mesin ATM. Dalam skimming, pelaku berusaha

mendapatkan data kartu dan PIN dengan dengan cara sebagai berikut:

1. Pelaku memasang alat skimmer pada mesin ATM;

2. Nasabah memasukkan kartu ke mesin ATM yang dipasangi alat skimmer,

sehingga data kartu nasabah terbaca dan tersimpan pada alat ini ;

3. Pelaku berusaha mendapatkan PIN ATM dengan cara mengintip tombol yang

ditekan oleh nasabah atau dapat juga memakai  kamera kecil yang dipasang

oleh pelaku di mesin ATM;

4. Pelaku membuat kartu palsu memakai  data yang telah diperoleh dan

bertransaksi memakai nya PIN yang telah diketahui (terekam) ,

Suheimi mengemukakan bahwa skimming merupakan akibat dari penyalahgunaan

oleh pihak ketiga. Yang dimaksud dengan pihak ketiga yaitu  “hacker dan phreaker, yaitu

orang yang pekerjaannya memasuki atau mengakses secara tidak sah suatu sistem

komputer maupun internet”. Adapun cara-cara hacker mencuri data-data nasabah

pemegang ATM yaitu  sebagai berikut:

1. Melalui komputer bank dan perusahaan kartu kredit;

2. Transhing, yaitu suatu cara dimana hacker membongkar/ memeriksa sampah

perusahaan-perusahaan atau toko-toko yang diperkirakan menerima melalui

kartu ATM ,

Terkurasnya dana simpanan nasabah akibat kejahatan skimming menunjukan

bahwa nasabah bank tidak mendapatkan perlindungan hukum secara penuh. Bank

memakai  uang nasabah, yang dalam hal ini menghimpun dana sebanyak-banyaknya

dalam bentuk simpanan lalu mengelola dana ini  untuk disalurkan kembali ke

kreditur atau nasabah lainnya dalam bentuk pinjaman atau kredit. Nasabah dalam konteks

UU Perbankan dapat dibagi menjadi dua, yakni nasabah penyimpan dan nasabah debitur.

berdasar  Pasal 1 ayat 17 UU Perbankan, “Nasabah penyimpan yaitu  nasabah yang

menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasar  perjanjian bank

dengan nasabah yang bersangkutan”. Sementara menurut Pasal 1 ayat (18) UU Perbankan,

“Nasabah debitur yaitu  nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan

berdasar  prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasar  perjanjian

bank dengan nasabah yang bersangkutan”. Menurut Marhais Abdul Miru, “dalam praktik

perbankan nasabah dibedakan menjadi tiga yaitu: Pertama, nasabah deposan yaitu

nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank, misalnya dalam bentuk giro,

tabungan dan deposito. Kedua, nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit atau

pembiayaan perbankan misalnya kredit kepemilikan rumah. pembiayaan murabahah, dan

sebagainya. Ketiga, nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank

(walk in customer), misalnya transaksi antara importir sebagai pembeli dengan eksportir di

luar negeri dengan memakai  fasilitas letter of credit (L/C)” 

Ditinjau dari penjelasan di atas, adanya hubungan antara bank dan nasabah

deposan yang terikat dalam suatu perikatan dimana bank bertanggung jawab atas dana

simpanan nasabah. Hal ini dipertegas oleh Sutan Remy Sjahdeini tentang hubungan

hukum antara bank dan nasabah, yakni:

berdasar  pada fungsi utama perbankan sebagai Lembaga intermediasi, yaitu

berfungsi menghimpun dana warga  dan berfungsi menyalurkan dana

warga , maka terdapat dua hubungan antara bank dan nasabah, yaitu:

1) Hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana.;

2) Hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur.

Hubungan hukum yang sedemikian rupa ibaratnya membicarakan dua sisi

sebuah mata uang logam; membicarakan satu sisi yaitu  tidak lengkap

tanpa membicarakan sisi yang lain untuk dapat memahami dengan baik

mata uang logam yang bersangkutan. Kedua sisi dapat dibedakan tetapi

tidak dapat dipisahkan

Selanjutnya, Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan bahwa “hubungan hukum

antara bank dan nasabah penyimpan dalam praktik perbankan yaitu  konstruksi

hubungan hukum atau perjanjian pinjam-meminjam khususnya perjanjian peminjaman

uang dengan bunga sebagaimana pada Pasal 1754 BW. Hubungan antara bank dan

nasabah penyimpan dana tidak tepat jika merupakan hubungan perjanjian penitipan

sebagaimana pada Pasal 1694 BW atau perjanjian pemberian kuasa pada Pasal 1792 BW”

, Sementara Hermansyah berpendapat “hubungan hukum antara nasabah

penyimpan dana bank didasarkan atas suatu perjanjian” , Oleh karena itu, sudah sepatutnya nasabah penyimpan dana memperoleh

perlindungan hukum, yaitu perlindungan hukum yang diberikan oleh bank sebagai

tanggung jawab utama bank yang dilandasi oleh kepercayaan. Hal ini  dapat dilihat

bahwa telah ada political will dari pemerintah untuk melindungi kepentingan nasabah

penyimpan dana dengan UU Perlindungan Konsumen, selain yang diatur dalam UU

Perbankan.

ATM yaitu  sarana transaksi perbankan yang ada di bawah pengawasan bank

sehingga bank bertanggung jawab atas segala akibat yang dipicu  oleh ATM sesuai

ketentuan Pasal 1367 BW. Skimming yaitu  perbuatan pencurian data kartu ATM nasabah

dengan cara menyalin informasi pada strip magnetic secara ilegal. Akibat perbuatan

skimming yaitu  uang nasabah yang dipercayakan dalam bank dapat diambil secara

melawan hukum. Dikatakan melawan hukum karena tanpa sepengetahuan dan

persetujuan dari nasabah atau pemilik uang yang dipercayakan dalam bank. Skimming

yang berakibat hilangnya atau berkurangnya uang nasabah di bank jelas merupakan

tanggung jawab bank karena alat yang digunakan, yang dalam hal ini yaitu  mesin ATM,

yaitu  sarana di bawah pengawasan dan kepemilikan bank. Pertanggungjawaban bank

terhadap hilangnya dana simpanan nasabah ditinjau dari regulasi yang diterapkan oleh

regulator jasa keuangan, yaitu pihak bank harus bertanggung jawab atas hilangnya dana

simpanan nasabah dan kerugian yang menimpa nasabah. Hal ini tertuang dalam Pasal 19

ayat (1) UU Perlindungan Konsumen, yakni “Pelaku usaha bertanggung jawab

memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat

mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Tanggung

jawab bank atas hilangnya dana simpanan nasabah juga tertuang dalam Pasal 10 PBI No.

16/1/PBI/2014 yakni “Penyelenggara wajib bertanggung jawab kepada Konsumen atas

kerugian yang timbul akibat kesalahan pengurus dan pegawai Penyelenggara.”

Dipertegas dalam Pasal 29 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013

tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya disebut sebagai POJK

No.1/POJK.07/2013), bahwa “Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib bertanggung jawab atas

kerugian Konsumen yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian, pengurus, pegawai

Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan

Pelaku Usaha Jasa Keuangan”. Kecuali pelaku skimming ditemukan, yang dalam hal ini

nasabah tetap meminta pertanggungjawaban atau pengembalian kerugian di bank karena

berawalan dari perikatan nasabah dan bank yang mempercayakan uangnya untuk dikelola

bank, baru pihak bank akan menindaklanjuti dengan pelaku skimming yang tertangkap.

Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana, hukum pidana mengenal asas

legalitas (principle of legality), yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu setiap  perbuatan pidana harus dirumuskan oleh suatu aturan undangan-undangan sebelum

perbuatan seseorang dapat dipidana. Dikemukakan oleh Moeljatno bahwa asas dalam

pertanggungjawaban pidana ialah: “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen

strafzonder schukd; Actus non facit reum nisi mens sist rea)” ,Perlu diketahui

bahwa perbuatan pidana harus dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana dan

kesalahan. Perbuatan pidana hanya menunjukan sifat larangannya saja, namun untuk

menimbang apakah perbuatannya dapat dipidana atau dapat dipertanggungjawabkan

harus melihat apakah ada kesalahan (guilt). Unsur-unsur kesalahan menurut Moeljatno

yaitu :

1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum).

2. Diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab.

3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan.

4. Tidak adanya alasan pemaaf ,

Jadi, pertanggungjawaban pidana tidak semata-mata melakukan perbuatan

pidana saja (actus reus), tetapi harus adanya niat (mens rea) untuk dapat dipidananya

kejahatan. Skimming merupakan kejahatan yang dalam KUHP secara konvensional tindak

pidana Pasal 263 KUHP dan Pasal 362 KUHP. Pengertian “membuat surat palsu” menurut

Chainur Arrasjid yaitu  “membuat surat sedemikian rupa seakan-akan berasal dari

sumber yang benar atau berhak untuk membuat surat ini  sama sekali dari pihak yang

tidak benar atau tidak berhak. sedang  pengertian “memalsukan surat” yaitu 

“mengadakan perubahan dan isinya, sehingga sebab perubahan ini  mengakibatkan

materi atau substansi surat ini  tidak sesuai lagi dengan isi yang sebenarnya atau

dengan kata lain sudah tidak sesuai lagi dengan redaksi atau bunyi aslinya” , Tindakan pelaku skimming yang dengan sengaja mendapatkan data nasabah secara

melawan hukum yang kemudian mengkloning data yang diperoleh secara melawan

hukum ke dalam kartu ATM yang kosong untuk melakukan aksi skimming merupakan

perbuatan “membuat surat palsu”. Perbuatan pelaku skimming yang memakai  surat

palsu sehingga mengakibatkan kerugian terhadap nasabah memenuhi unsur-unsur

pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 263 KUHP.

Kemudian Pasal 362 KUHP tentang pencurian mengenal unsur subyektif dan

unsur obyektif. Pasal 362 KUHP secara eksplisit merumuskan elemen “secara

melawan hukum” yang “menunjuk kepada keadaan lahir atau obyektif yang

menyertai perbuatan”  Sifat melawan hukum yang dituju

pada perbuatan atau objeknya yaitu  unsur melawan hukum yang obyektif. Di

samping itu, Moeljatno berpendapat bahwa “ada kalanya sifat melawan

hukumnya perbuatan tidak terletak pada keadaan objektif, tetapi pada keadaan

subjektif, yaitu terletak dalam hati sanubari terdakwa sendiri” ). Misalnya dalam Pasal 362 KUHP yang dirumuskan sebagai pencurian, sifat

melawan hukumnya perbuatan pencurian “tidak dinyatakan dari hal-hal lahir,

tapi digantungkan pada niat orang yang mengambil barang tadi. Kalau niat

hatinya itu baik, misalnya barang diambil untuk diberikan pada pemiliknya, maka

perbuatan itu tidak dilarang, karena bukan pencurian. Sebaliknya kalau niat

hatinya itu jelek, yaitu barang akan dimiliki sendiri dengan tak mengacuhkan

kepada pemiliknya menurut hukum, maka hal itu dilarang dan masuk rumusan

pencurian”


Sifat melawan hukum yang tertuju kepada sikap batin terdakwa merupakan unsur

melawan hukum yang subyektif. Niat pelaku skimming untuk memperoleh dan menguasai

dana simpanan nasabah secara melawan hukum telah memenuhi unsur subyektif yang

mensyaratkan adanya unsur “mens rea” untuk dapat dipidananya suatu perbuatan.

Sementara perbuatan pelaku skimming yang mencuri dana simpanan nasabah bank yang

seharusnya bukan miliknya telah memenuhi unsur objektif, yang dalam hal ini yaitu 

perbuatan pidana atau actus rea.

Kejahatan skimming yang dilakukan melalui mesin ATM merupakan tindak

pidana yang dilakukan melalui sistem elektronik, yang dalam hal ini dijerat Pasal 30 ayat

(3) jo. Pasal 46 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

(selanjutnya disebut sebagai UU ITE) tentang illegal access, yang memiliki sanksi pidana

penjara paling lama 8 tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 800.000.000,- (delapan

ratus juta rupiah). Illegal access merupakan tindakan awal untuk melakukan kejahatan

skimming sehingga perbuatan pelaku skimming telah memenuhi unsur-unsur yang

disyaratkan pada Pasal 30 ayat (3) UU ITE, yakni:

1. Dengan sengaja;

2. Tanpa hak atau melawan hukum;

3. Mengakses Komputer atau Sistem Elektronik;

Unsur dengan sengaja tampak dari sikap batin pelaku yang berniat untuk mencuri

dana nasabah secara ilegal. Unsur tanpa hak atau melawan hukum tampak dari perbuatan

sengaja pelaku skimming yang melanggar peraturan perundang-undangan atau tidak

berdasar  hukum. Unsur komputer atau sistem elektronik berkaitan dengan perangkat

teknologi informasi dan komunikasi yang dipergunakan dalam kejahatan skimming, yaitu

mengakses komputer atau sistem elektronik secara melawan hukum untuk mendapatkan

data-data nasabah.

Uraian dan analisa dalam isu hukum ini menunjukkan bahwa bank sebagai

penyedia fasilitas ATM bertanggung jawab atas kerugian yang dipicu  oleh mesin

ATM, yang dalam hal ini yaitu  hilangnya dana simpanan nasabah akibat skimming, yang

berupa pengembalian uang ke nasabah. Di samping itu, kejahatan skimming merupakan

tindak pidana di bidang perbankan yang disamping melanggar ketentuan UU Perbankan,

merupakan pelanggaran terhadap KUHP dan UU ITE. jika  pelaku skimming

tertangkap, pelaku dijerat pasal berlapis yakni Pasal 362 jo. Pasal 263 KUHP dan/ atau

Pasal 30 ayat (3) jo, Pasal 46 ayat (3) UU ITE.

3. Kesimpulan

a. Bank memakai  berbagai cara dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,

salah satunya yaitu  melalui sarana ATM dalam menghimpun dan menyalurkan

dana warga . Bank sebagai penyedia fasilitas berkewajiban untuk

bertanggung jawab atas setiap transaksi yang dilaksanakan melalui sarana ATM

karena ATM merupakan sarana yang ada di bawah pengawasan bank sesuai

ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata.

b. Pihak yang bertanggung jawab atas kejahatan skimming kartu ATM yaitu  pihak

bank BCA. Dikatakan demikian karena ATM yaitu  salah satu sarana yang

digunakan oleh bank dalam melayani dan menindaklanjuti penyaluran dan

penerimaan dana dari nasabah debitur maupun kreditur. Kemudian berdasar 

hakikat perbankan menurut UU Perbankan sebagaimana diungkapkan di atas,

dan mengingat Pasal 1367 KUHPerdata, dimana menyatakan tanggung jawab atas

sarana maupun alat dalam hal ini yaitu  mesin ATM yaitu  tanggung jawab

pemilik atas sarana atau alat ini  (mesin ATM). Jadi yang bertanggung jawab

atas berkurangnya dana nasabah melalui skimming dengan memakai  mesin

ATM yaitu  tanggung jawab penuh bank. Skimming merupakan tindak pidana di

bidang perbankan sehingga pada pelaku dapat dijerat Pasal 263 jo. Pasal 362

KUHP dan/atau Pasal 30 ayat (3) jo. Pasal 46 UU ITE


Pencurian uang nasabah bank melalui modus penggandaan kartu ATM (skimming) merupakan 

salah satu kejahatan perbankan. Tulisan ini merupakan hasil penelitian dengan memfokuskan pada 

kajian mengenai perlindungan hukum terhadap nasabah bank akibat kejahatan skimming. 

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dengan memakai  metode

pengumpulan data melalui studi pustaka yang dilakukan terhadap data sekunder. Selanjutnya 

metode analisis data memakai  analisis deskriptif analitis. Sementara itu urgensi penelitian ini 

diharapkan dapat menjadi sumber rujukan bagi lembaga perbankan untuk melakukan upaya 

perlindungan hukum sekaligus bagi aparat penegak hukum dalam melakukan upaya 

penanggulangan kejahatan skimming sebagai wujud konkret perlindungan hukum terhadap 

nasabah bank yang dirugikan akibat kejahatan skimming, berdasar  analisis, diidentifikasikan 

bahwa kejahatan pembobolan uang nasabah dengan metode skimming merupakan salah satu 

kejahatan berdimensi high-tech (cyber crime) di bidang perbankan. Perbuatan ini  termasuk 

dalam tindak pidana informasi dan transaksi elektronik yang melarang setiap orang dengan sengaja 

dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara 

apapun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan atau dokumen elektronik 

sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang 

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi 

Elektronik (Undang-Undang ITE). Perlindungan terhadap nasabah korban kejahatan skimming

dapat dilakukan dalam konteks penegakan hukum pidana dan penegakan hukum perdata.

Kata kunci: Kejahatan Skimming; Nasabah Bank; Perlindungan Hukum

Perbankan merupakan salah satu perusahaan penyedia layanan jasa 

keuangan yang telah memberikan pelayanan kepada warga  dan bisnis. 

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang 

dimaksud dengan Bank yaitu  “badan usaha yang menghimpun dana dari 

warga  dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada warga  

dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Bank merupakan “suatu 

lembaga keuangan tempat penyimpanan dana atau uang dari perusahaan￾perusahaan, baik badan usaha besar, menengah maupun kecil, baik perorangan 

maupun lembaga, pemerintah maupun swasta”1 Bank merupakan suatu lembaga 

yang sangat penting di dalam warga , karena bank sebagai salah satu sarana 

berjalannya perekonomian yang ada di warga . Pengertian bank dirumuskan 

di dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan 

atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang selanjutnya 

disebut dengan UU Perbankan, sebagai berikut: “Bank yaitu  badan usaha yang 

menghimpun dana dari warga  dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya 

kepada warga  dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam 

rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

Sebagai upaya meningkatkan pelayanan, perbankan telah menerapkan 

teknologi di berbagai bidang salah satunya pada anjungan tunai mandiri (ATM). 

ATM digunakan sebagai pengganti fungsi kasir dalam bertransaksi seperti 

penarikan tunai serta proses transaksi lainnya. Keberadaan lembaga perbankan 

memiliki kontribusi dominan dalam menjaga keberlangsungan roda 

perekonomian dan memajukan peranan nasabah selaku konsumen produk dan 

jasa bank. Munculnya modus operandi kejahatan pembobolan ATM ini, menjadi 

pemicu munculnya dampak yang ditimbulkan. Dampak atas kejahatan 

pembobolan ATM ini  antara lain yaitu terjadinya viktimisasi secara 

langsung dan tidak langsung kepada warga . Kerugian secara material dan 

non material kepada sistem perbankan secara khusus dan sistem perekonomian 

secara umum. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber rujukan bagi 

lembaga perbankan untuk melakukan upaya perlindungan hukum sekaligus bagi 

aparat penegak hukum dalam melakukan upaya penanggulangan kejahatan 

skimming sebagai wujud konkret perlindungan hukum terhadap nasabah bank 

yang dirugikan akibat kejahatan skimming.

Kegiatan perbankan dengan electronic transaction (e-banking) melalui 

mesin ATM, telepon seluler (phone banking) dan jaringan internet (Internet 

banking), merupakan beberapa contoh pelayanan transaksi perbankan dengan 

teknologi informasi. Dari sisi keamanan, penggunaan teknologi dapat memberi