HAM 8




 punya m dan disabilitas; 

m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran; 

n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan 

o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan 

kondisi orang tuanya.250

250 Pasal 59 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.

--  213212    -

Perlindungan khusus bagi anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 

ayat (1) dilakukan melalui usaha : 

a. Penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi 

secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan 

gangguan kesehatan lainnya; 

b. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; 

c. Pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga tidak 

mampu; dan 

d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses 

peradilan.251

Penjelasan rinci tentang implementasi perlindungan khusus terhadap anak 

yang berada dalam situasi khusus ini  diatur dalam Pasal 60 sampai 71D. 

Diantara perlindungan khusus terhadap pelbagai keadaan khusus anak ini , 

penting disebutkan disini tentang bagaimana perlindungan khusus terhadap anak 

yang berhadapa dengan hukum, yaitu sebagai berikut:252 

a. Perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan 

sesuai dengan umurnya; 

b. Pemisahan dari orang dewasa; 

c. Pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; 

d. Pemberlakuan kegiatan rekreasional; 

e. Pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain 

yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan 

derajatnya; 

f. Penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/atau pidana seumur 

hidup; 

g. Penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali 

sebagai usaha  terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; 

h. Pemberian keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak 

251 Pasal 59A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.

252 Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.

--  213212    -

memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; 

i. Penghindaran dari publikasi atas identitasnya. 

j. Pemberian pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya 

oleh anak; 

k. Pemberian advokasi sosial; 

l. Pemberian kehidupan pribadi; 

m. Pemberian aksesibilitas, terutama bagi anak penyandang disabilitas; 

n. Pemberian pendidikan; 

o. Pemberian pelayanan kesehatan; dan 

p. Pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.”

Pada undang-undang ini dimuat ketentuan pidana maksimal 20 tahun dan 

denda yang relatif tinggi terhadap pelaku tindak pidana anak. Dengan kehadiran 

undang-undang ini, maka hukum hak asasi manusia, telah cukup memberi  

penghormatan dan perlindungan terhadap anak. Selengkapnya ketentuan pidana 

sebagai berikut:

Pasal 89

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 76J ayat (1), dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur 

hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 

20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 

(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus 

juta rupiah). 

(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 76J ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 

(dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit 

Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

--  215214    -

Pada tahun 2016, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah 

Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan 

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 

sebagai respon pemerintah atas desakan warga  atas meningkatnya pelbagai 

kekerasan terhadap anak.

Perubahan penting dalam Perppu ini  yaitu diperberatnya sanksi 

terhadap pelaku, yaitu adanya sanksi kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi 

elektronik.253 Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan 

bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan 

tindakan.254 Hanya saja Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku 

Anak.255 Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan 

untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana 

menjalani pidana pokok.256

T.  UNDANG-UNDANG NOMOR. 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS 

UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2006 MENGENAI PERLINDUNGAN 

SAKSI DAN KORBAN

Proses peradilan akan berlangsung sesuai dengan prinsip persamaan 

di depan hukum (equality before the law) dan asas praduga tidak bersalah 

(the presumption of innocence) sebagai bagian dari prinsip peradilan yang fair 

(fair trial process),  jika  semua pihak dalam peradilan -khususnya saksi dan 

korban- mendapatkan jaminan keamanan dalam memberi  keterangan. Saksi 

dan/atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya 

suatu tindak pidana, seringkali tidak dapat atau takut memberi  keterangan. 

ini disebabkan adanya ancaman; baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. 

Padahal keterangan saki dan/atau korban menjadi salah satu alat bukti yang sah 

dalam proses peradilan pidana guna mencari dan menemukan kejelasan tentang 

253 Pasal 81 ayat (7) Perppu Nomor 1 Tahun 2016.

254 Pasal 81 ayat (8) Perppu Nomor 1 Tahun 2016.

255 Pasal 81 ayat (9) Perppu Nomor 1 Tahun 2016.

256 Pasal 81A ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2016.

--  215214    -

tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.

Atas dasar itulah, pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang 

Nomor 31 Tahun 2014 sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 

2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai instrumen memberi  

perlindungan pada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana 

dalam lingkungan peradilan. Dalam undang-undang ini diatur jelas hak-hak saksi 

dan korban, yaitu:257 

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan 

harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan 

kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; 

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan 

dan dukungan keamanan; 

c. memberi  keterangan tanpa tekanan; 

d. Mendapat penerjemah; 

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat; 

f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; 

g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; 

h. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan; 

i. Dirahasiakan identitasnya; 

j. Mendapat identitas baru; 

k. Mendapat tempat kediaman sementara; 

l. Mendapat tempat kediaman baru; 

m. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan 

kebutuhan; 

n. Mendapat nasihat hukum; 

o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu 

Perlindungan berakhir; dan/atau 

p. Mendapat pendampingan.

257 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.

--  217216    -

Hak ini  diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana 

dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan 

Saksi dan Korban (LPSK). Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, 

korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, 

korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan 

korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

5, juga berhak mendapatkan bantuan medis bantuan rehabilitasi psikososial dan 

psikologis.258 Selain mendapatkan hak-hak itu, juga ada hak berupa kompensasi 

yang diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya kepada Pengadilan Hak Asasi 

Manusia melalui LPSK.259

Perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap penyelidikan 

dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-

undang.260 Sementara saksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam 

ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberi  kesaksian 

tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara ini  sedang diperiksa261, 

dan dapat memberi  kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan 

pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara 

yang memuat tentang kesaksian ini .262 

Saksi dan/atau korban dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung 

melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.263 

Saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, 

baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, 

atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan ini  diberikan tidak 

dengan iktikad baik.264 Dalam hal ada  tuntutan hukum terhadap saksi, korban, 

saksi pelaku, dan/atau pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, 

258 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.

259 Pasal 7 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.

260 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.

261 Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.

262 Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.

263 Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.

264 Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.

--  217216    -

atau telah diberikan, tuntutan hukum ini  wajib ditunda hingga kasus yang ia 

laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh 

kekuatan hukum tetap.265

Lembaga yang diberi wewenang memberi  perlindungan saksi dan 

korban yaitu LPSK: lembaga mandiri yang berkedudukan di Ibu Kota Negara 

Republik negara kita 266, yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian 

perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban berdasarkan tugas dan 

kewenangan sebagaimana diatur dalam undang-undang.267 Undang-Undang 

Nomor 31 Tahun 2014 mengatur sanksi pidana sebagai berikut:

Pasal 37

(1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya dengan memakai 

kekerasan atau cara tertentu, yang memicu  Saksi dan/atau Korban 

tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 

(1) huruf a, huruf i, huruf j, huruf k, atau huruf l sehingga saksi dan/atau 

korban tidak memberi  kesaksiannya pada setiap tahap pemeriksaan, 

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana 

denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). 

(2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada saksi 

dan/atau korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) 

tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus 

juta rupiah). 

(3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) sehingga memicu  matinya saksi dan/atau 

korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan 

pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).” 

265 Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.

266 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.

267 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.

--  219218    -

Pasal 38

Setiap orang yang menghalang-halangi saksi dan/atau korban secara melawan 

hukum sehingga saksi dan/atau korban tidak memperoleh perlindungan atau 

bantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf i, huruf 

j, huruf k, huruf l, huruf p, Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), atau Pasal 7A ayat 

(1) , dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana 

denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).” 

Pasal 39

Setiap orang yang memicu  saksi dan/atau korban atau keluarganya 

kehilangan pekerjaan sebab saksi dan/atau korban ini  memberi  

kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara 

paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 

(lima ratus juta rupiah). 

Pasal 40

Setiap orang yang memicu  dirugikannya atau dikuranginya hak saksi 

dan/atau korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat 

(1), Pasal 7 ayat (1), atau Pasal 7A ayat (1) sebab saksi dan/atau korban 

memberi  kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan 

pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 

100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 

Pasal 41

Setiap orang yang secara melawan hukum memberitahukan keberadaan 

saksi dan/atau korban yang sedang dilindungi dalam suatu tempat kediaman 

sementara atau tempat kediaman baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

5 ayat (1) huruf k dan huruf l dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 

(tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus 

juta rupiah).”

Pasal 42

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 

39, Pasal 40, dan Pasal 41 dilakukan oleh pejabat publik, ancaman pidananya 

ditambah dengan 1/3 (satu per tiga). 

--  219218    -

Pasal 42A

(1)  Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 sampai 

dengan Pasal 41 dilakukan oleh korporasi maka penyidikan, penuntutan, 

dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. 

(2)  Selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana 

yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan 

pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 37 sampai dengan Pasal 41. 

(3)  Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), korporasi dapat 

dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; b. pencabutan 

status badan hukum; dan/atau c. pemecatan pengurus.

Pasal 43

(1)  Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 42, pidana denda ini  

diganti dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. 

(2)  Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud 

pada ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim.

U. UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENYANDANG 

DISABILITAS

Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada 

diri manusia bersifat universal. Ia perlu dilindungi, dihormati, dan dipertahankan, 

sehingga perlindungan dan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan, 

termasuk kepada penyandang disabilitas. Penghormatan, perlindungan, dan 

pemenuhan hak penyandang disabilitas yaitu kewajiban negara. Negara 

Kesatuan Republik negara kita  menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, 

termasuk para penyandang disabilitas yang memiliki  kedudukan hukum dan 

memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai warga negara negara kita . Ia 

juga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara dan warga  

negara kita  dan yaitu amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, untuk 

hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat.

--  221220    -

Penyandang disabilitas selama ini hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, 

dan/atau miskin disebabkan masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitan, 

dan pengurangan atau penghilangan hak penyandang disabilitas; diskriminasi 

yang berakibat belum terpenuhinya pelaksanaan hak penyandang disabilitas. 

Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan 

Convention on the Rights of Persons with Disabilities  (Konvensi Hak-hak 

Penyandang Disabilitas) tanggal 10 November 2011 menunjukkan komitmen 

dan kesungguhan pemerintah negara kita  untuk menghormati, melindungi, dan 

memenuhi hak penyandang disabilitas yang pada akhirnya diharapkan dapat 

meningkatkan kesejahteraan penyandang disabilitas. 

Dengan demikian, penyandang disabilitas berhak untuk bebas dari 

penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat 

manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena. Ia juga 

berhak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya 

berdasarkan kesamaan dengan orang lain, termasuk di dalamnya hak untuk 

mendapatkan perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, 

serta dalam keadaan darurat.

Jangkauan pengaturan dalam undang-undang ini meliputi pemenuhan 

kesamaan kesempatan terhadap penyandang disabilitas dalam segala aspek 

penyelenggaraan negara dan warga , penghormatan, perlindungan, dan 

pemenuhan hak penyandang disabilitas, termasuk penyediaan aksesibilitas dan 

akomodasi yang layak. Pengaturan pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang 

disabilitas bertujuan untuk mewujudkan taraf kehidupan penyandang disabilitas 

yang lebih berkualitas, adil, sejahtera lahir dan batin, serta bermartabat. Selain itu, 

pelaksanaan dan pemenuhan hak juga ditujukan untuk melindungi penyandang 

disabilitas dari penelantaran dan eksploitasi, pelecehan dan segala tindakan 

diskriminatif, serta pelanggaran hak asasi manusia.268

Penyandang disabilitas yang dimaksud dalam peraturan ini yaitu setiap 

orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik 

dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat 

268 Baca penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.

--  221220    -

mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan 

efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.269 Kesamaan 

kesempatan yaitu keadaan yang memberi  peluang dan/atau menyediakan 

akses kepada penyandang disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala 

aspek penyelenggaraan negara dan warga .270

Pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas berasaskan:

a. Penghormatan terhadap martabat; 

b. Otonomi individu; 

c. Tanpa diskriminasi; 

d. Partisipasi penuh; 

e. Keragaman manusia dan kemanusiaan; 

f. Kesamaan kesempatan; 

g. Kesetaraan; 

h. Aksesibilitas; 

i. Kapasitas yang terus berkembang dan identitas anak; 

j. Inklusif; dan 

k. Perlakuan khusus dan perlindungan lebih.271

Tujuan pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas adalah:272

a. Mewujudkan penghormatan, pemajuan, perlindungan, dan 

pemenuhan hak asasi manusia serta kebebasan dasar penyandang 

disabilitas secara penuh dan setara; 

b. Menjamin usaha  penghormatan, pemajuan, perlindungan, 

dan pemenuhan hak sebagai martabat yang melekat pada diri 

penyandang disabilitas; 

c. Mewujudkan taraf kehidupan penyandang disabilitas yang lebih 

berkualitas, adil, sejahtera lahir dan batin, mandiri, serta bermartabat; 

269 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.

270 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.

271 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.

272 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.

--  223222    -

d. Melindungi penyandang disabilitas dari penelantaran dan eksploitasi, 

pelecehan dan segala tindakan diskriminatif, serta pelanggaran hak 

asasi manusia; dan 

e. Memastikan pelaksanaan usaha  penghormatan, pemajuan, 

perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas untuk 

mengembangkan diri serta mendayagunakan seluruh kemampuan 

sesuai bakat dan minat yang dimilikinya untuk menikmati, berperan 

serta berkontribusi secara optimal, aman, leluasa, dan bermartabat 

dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan 

berwarga .

Penyandang Disabilitas memiliki hak:273 

a. Hidup;274 

b. bebas dari stigma;275 

c. privasi;276

d. keadilan dan perlindungan hukum;277 

273 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016

274 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: atas penghormatan integritas; b. tidak 

dirampas nyawanya; c. mendapatkan perawatan dan pengasuhan yang menjamin kelangsungan 

hidupnya; d. bebas dari penelantaran, pemasungan, pengurungan, dan pengucilan; e. bebas dari 

ancaman dan berbagai bentuk eksploitasi; dan f. bebas dari penyiksaan, perlakuan dan penghukuman 

lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.

275 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: Hak bebas dari stigma untuk penyandang 

disabilitas meliputi hak bebas dari pelecehan, penghinaan, dan pelabelan negatif terkait kondisi 

disabilitasnya.

276 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Diakui sebagai manusia pribadi yang 

dapat menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat 

manusia di depan umum; b. Membentuk sebuah keluarga dan melanjutkan keturunan melalui 

perkawinan yang sah; c. Penghormatan rumah dan keluarga; d. Mendapat perlindungan terhadap 

kehidupan pribadi dan keluarga; dan e. Dilindungi kerahasiaan atas data pribadi, surat menyurat, dan 

bentuk komunikasi pribadi lainnya, termasuk data dan informasi kesehatan.

277 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: Hak keadilan dan perlindungan hukum 

untuk penyandang disabilitas meliputi hak: a. Atas perlakuan yang sama di hadapan hukum; b. 

Diakui sebagai subyek hukum; c. memiliki dan mewarisi harta bergerak atau tidak bergerak; d. 

Mengendalikan masalah keuangan atau menunjuk orang untuk mewakili kepentingannya dalam 

--  223222    -

e. pendidikan;278

f. pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi;279 

g. kesehatan;280 

h. politik;281 

urusan keuangan; e. Memperoleh akses terhadap pelayanan jasa perbankan dan nonperbankan; f. 

memperoleh penyediaan aksesibilitas dalam pelayanan peradilan; g. Atas perlindungan dari segala 

tekanan, kekerasan, penganiayaan, diskriminasi, dan/atau perampasan atau pengambilalihan hak milik; 

h. Memilih dan menunjuk orang untuk mewakili kepentingannya dalam hal keperdataan di dalam dan 

di luar pengadilan; dan i. dilindungi hak kekayaan intelektualnya.

278 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Mendapatkan pendidikan yang bermutu 

pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus; b. 

memiliki  kesamaan kesempatan untuk menjadi pendidik atau tenaga kependidikan pada satuan 

pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan; c. memiliki  kesamaan kesempatan sebagai 

penyelenggara pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang 

pendidikan; dan d. Mendapatkan akomodasi yang layak sebagai peserta didik.

279 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Memperoleh pekerjaan yang 

diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau swasta tanpa diskriminasi; b. Memperoleh 

upah yang sama dengan tenaga kerja yang bukan penyandang disabilitas dalam jenis pekerjaan 

dan tanggung jawab yang sama; c. Memperoleh akomodasi yang layak dalam pekerjaan; d. Tidak 

diberhentikan sebab alasan disabilitas; e. Mendapatkan program kembali bekerja; f. Penempatan 

kerja yang adil, proporsional, dan bermartabat; g. Memperoleh kesempatan dalam mengembangkan 

jenjang karier serta segala hak normatif yang melekat di dalamnya; dan h. Memajukan usaha, memiliki 

pekerjaan sendiri, wiraswasta, pengembangan koperasi, dan memulai usaha sendiri.

280 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Memperoleh informasi dan komunikasi 

yang mudah diakses dalam pelayanan kesehatan; b. Memperoleh kesamaan dan kesempatan akses 

atas sumber daya di bidang kesehatan; c. Memperoleh kesamaan dan kesempatan pelayanan 

kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau; d. Memperoleh kesamaan dan kesempatan secara 

mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya; 

e. Memperoleh Alat Bantu Kesehatan berdasarkan kebutuhannya; f. Memperoleh obat yang bermutu 

dengan efek samping yang rendah; g. memperoleh perlindungan dari usaha  percobaan medis; dan 

h. memperoleh perlindungan dalam penelitian dan pengembangan kesehatan

281 Pasal 13: a. memilih dan dipilih dalam jabatan publik; b. menyalurkan aspirasi politik 

baik tertulis maupun lisan; c. memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam 

pemilihan umum; d. membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi warga  dan/

atau partai politik; e. Membentuk dan bergabung dalam organisasi penyandang disabilitas dan untuk 

mewakili penyandang disabilitas pada tingkat lokal, nasional, dan internasional; f. Berperan serta 

secara aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya; 

g. Memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan 

gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan h. Memperoleh pendidikan 

politik.

--  225224    -

i. keagamaan;282 

j. keolahragaan;283 

k. Kebudayaan dan pariwisata;284 

l. Kesejahteraan sosial;285 

m. Aksesibilitas;286 

n. Pelayanan Publik;287

o. Perlindungan dari bencana;288 

282 Pasal 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Memeluk agama dan kepercayaan 

masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya; b. Memperoleh kemudahan 

akses dalam memanfaatkan tempat peribadatan; c. Mendapatkan kitab suci dan lektur keagamaan 

lainnya yang mudah diakses berdasarkan kebutuhannya; d. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan 

kebutuhan pada saat menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaannya; dan e. Berperan aktif 

dalam organisasi keagamaan.

283 Pasal 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Melakukan kegiatan keolahragaan; 

b. Mendapatkan penghargaan yang sama dalam kegiatan keolahragaan; c. Memperoleh pelayanan 

dalam kegiatan keolahragaan; d. Memperoleh sarana dan prasarana keolahragaan yang mudah 

diakses; e. Memilih dan mengikuti jenis atau cabang olahraga; f. Memperoleh pengarahan, dukungan, 

bimbingan, pembinaan, dan pengembangan dalam keolahragaan; g. Menjadi pelaku keolahragaan; 

h. Mengembangkan industri keolahragaan; dan i. Meningkatkan prestasi dan mengikuti kejuaraan 

di semua tingkatan.

284 Pasal 16 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Memperoleh kesamaan dan 

kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan seni dan budaya; b. Memperoleh 

Kesamaan Kesempatan untuk melakukan kegiatan wisata, melakukan usaha pariwisata, menjadi 

pekerja pariwisata, dan/atau berperan dalam proses pembangunan pariwisata; dan c. Mendapatkan 

kemudahan untuk mengakses, perlakuan, dan akomodasi yang layak sesuai dengan kebutuhannya 

sebagai wisatawan.

285 Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: Hak kesejahteraan sosial untuk 

penyandang disabilitas meliputi hak rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan 

perlindungan sosial.

286 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Mendapatkan aksesibilitas untuk 

memanfaatkan fasilitas publik; dan b. Mendapatkan akomodasi yang layak sebagai bentuk aksesibilitas 

bagi individu.

287 Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Memperoleh akomodasi yang layak 

dalam pelayanan publik secara optimal, wajar, bermartabat tanpa diskriminasi; dan b. Pendampingan, 

penerjemahan, dan penyediaan fasilitas yang mudah diakses di tempat layanan publik tanpa tambahan 

biaya.

288 Pasal 20 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Mendapatkan informasi yang mudah 

diakses akan adanya bencana; b. Mendapatkan pengetahuan tentang pengurangan risiko bencana; 

--  225224    -

p. Habilitasi dan rehabilitasi;289 

q. Konsesi

r. Pendataan; ;290

s. Hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam warga ; 291 

t. Berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi; 292 

u. Berpindah tempat dan kewarganegaraan; 293 dan 

v. Bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan 

eksploitasi.294 

c. Mendapatkan prioritas dalam proses penyelamatan dan evakuasi dalam keadaan bencana; 

d. Mendapatkan fasilitas dan sarana penyelamatan dan evakuasi yang mudah diakses; dan e. 

Mendapatkan prioritas, fasilitas, dan sarana yang mudah diakses di lokasi pengungsian

289 Pasal 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Mendapatkan habilitasi dan rehabilitasi 

sejak dini dan secara inklusif sesuai dengan kebutuhan; b. Bebas memilih bentuk rehabilitasi yang 

akan diikuti; dan c. Mendapatkan habilitasi dan rehabilitasi yang tidak merendahkan martabat manusia.

290 Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Didata sebagai penduduk dengan 

disabilitas dalam kegiatan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil; b. Mendapatkan dokumen 

kependudukan; dan c. Mendapatkan kartu penyandang disabilitas.

291 Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Mobilitas pribadi dengan penyediaan 

alat bantu dan kemudahan untuk mendapatkan akses; b. Mendapatkan kesempatan untuk hidup mandiri 

di tengah warga ; c. Mendapatkan pelatihan dan pendampingan untuk hidup secara mandiri; 

d. Menentukan sendiri atau memperoleh bantuan dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk 

menetapkan tempat tinggal dan/atau pengasuhan keluarga atau keluarga pengganti; e. Mendapatkan 

akses ke berbagai pelayanan, baik yang diberikan di dalam rumah, di tempat permukiman, maupun 

dalam warga ; dan f. Mendapatkan akomodasi yang wajar untuk berperan serta dalam kehidupan 

berwarga .

292 Pasal 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Memiliki kebebasan berekspresi dan 

berpendapat; b. Mendapatkan informasi dan berkomunikasi melalui media yang mudah diakses; dan 

c. memakai dan memperoleh fasilitas informasi dan komunikasi berupa bahasa isyarat, braille, 

dan komunikasi augmentatif dalam interaksi resmi.

293 Pasal 25 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Berpindah, mempertahankan, 

atau memperoleh kewarganegaraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. 

Memperoleh, memiliki, dan memakai dokumen kewarganegaraan sesuai dengan ketentuan 

peraturan perundang-undangan; dan c. Keluar atau masuk wilayah negara kita  sesuai dengan ketentuan 

peraturan perundang-undangan.

294 Pasal 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Bersosialisasi dan berinteraksi 

dalam kehidupan berkeluarga, berwarga , dan bernegara tanpa rasa takut; dan b. Mendapatkan 

perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual.

--  227226    -

Perempuan dengan disabilitas memiliki hak295: 

a. Atas kesehatan reproduksi; 

b. Menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi; 

c. Mendapatkan perlindungan lebih dari perlakuan diskriminasi berlapis; 

dan 

d. Untuk mendapatkan perlindungan lebih dari tindak kekerasan, 

termasuk kekerasan dan eksploitasi seksual. 

Anak penyandang disabilitas memiliki hak296: 

a. Mendapatkan perlindungan khusus dari diskriminasi, penelantaran, 

pelecehan, eksploitasi, serta kekerasan dan kejahatan seksual; 

b. Mendapatkan perawatan dan pengasuhan keluarga atau keluarga 

pengganti untuk tumbuh kembang secara optimal; 

c. Dilindungi kepentingannya dalam pengambilan keputusan; 

d. Perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak 

anak;

e. Pemenuhan kebutuhan khusus; 

f. Perlakuan yang sama dengan anak lain untuk mencapai integrasi 

sosial dan pengembangan individu; dan 

g. Mendapatkan pendampingan sosial.

Undang-undang yang memuat 170 pasal ini dilengkapi dengan sanksi 

pidana yang relatif tinggi terhadap siapa saja yang melanggar ketentuan di 

dalamnya. Sanki pidana yang diatur dalam Pasal 144 dan 145 ini menentukan 

sebagai berikut:

Pasal 144

Setiap orang yang melakukan tindakan yang berdampak kepada bertambah, 

berkurang, atau hilangnya hak kepemilikan penyandang disabilitas tanpa 

mendapat penetapan dari pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam 

295 Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.

296 Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.

--  227226    -

Pasal 142 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan 

denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 

Pasal 145

Setiap orang yang menghalang-halangi dan/atau melarang penyandang 

disabilitas untuk mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 

dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling 

banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

--  PB228    -

--  229PB   -

BAB V

HUKUM HAK ASASI MANUSIA BIDANG HAK 

EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA

A. HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA

Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) yaitu bagian penting  

dalam hukum hak asasi manusia internasional, yang menjadi bagian dari The 

International Bill of Human Rights; bersama-sama dengan hak-hak sipil dan politik. 

Kedudukan hak ekosob menjadi acuan pencapaian bersama dalam pemajuan 

ekonomi, sosial dan budaya suatu negara. Selama ini hak ekosob digambarkan 

sekedar sebagai pernyataan politik, yang berbeda jauh dengan hak-hak sipil dan 

politik sebagai hak yang riil. 

Pandangan demikian itu boleh jadi akibat rumusan kedua kovenan yang 

berbeda. Jika hak ekosob memakai formulasi “… undertakes to take 

steps, … to the maximum of its available resources, with a view to achieving 

progressively the full realization of the rights recognized in the present Covenant 

…” ,297 sementara kovenan hak sipil dan politik memakai rumusan: “… 

undertakes to respect and to ensure to all induvidual within its territory and 

subject to its jurisdiction the rights recognized in the present covenant …”. 298

Pada bagian lain dikonsepsikan bahwa hak ekosob yaitu hak-hak 

positif (positive rights),  sementara hak sipil dan politik dikatakan sebagai hak-hak 

negatif (negative rights).  Dikatakan positif, sebab untuk merealisasikan hak-hak 

yang diakui di dalam kovenan ini  diperlukan keterlibatan negara yang besar. 

297  Baca Pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

298  Baca Pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik.

--  231230    -

Sebaliknya dikatakan negatif, sebab negara harus abstain atau tidak bertindak 

dalam rangka merealisasikan hak-hak yang diakui di dalam kovenan.  Sebagai hak-

hak negatif (negative rights) peran negara dirumuskan dalam bahasa “freedom 

from”  (kebebasan dari), sedangkan hak-hak dalam kategori positif dirumuskan 

dalam bahasa “rights to”  (hak atas). 

Kedua kategori hak ini menuntut tanggung jawab negara yang berbeda. 

Jika hak-hak ekosob menuntut tanggung jawab negara dalam bentuk obligations 

of result, maka hak sipil dan politik menuntut tanggung jawab negara dalam 

bentuk obligations of conduct.  Sebagai hak-hak positif, maka pemenuhan hak 

ekosob tidak dapat dituntut di muka pengadilan (non-justiciable ). Sebaliknya hak 

sipil dan politik, sebagai hak-hak negatif ia dapat dituntut di muka pengadilan. 

Misalnya, orang yang kehilangan pekerjaannya tidak dapat menuntut negara ke 

muka pengadilan, sebab pelanggaran ini . Akan tetapi, orang yang disiksa 

oleh aparatur negara dapat dengan segera menuntut tanggung jawab negara atas 

pelanggaran ini  ke muka pengadilan.

Pemahaman demikian itu tentu saja harus dikoreksi, sebab hak ekosob 

tidak sepenuhnya yaitu hak-hak positif. Cukup banyak hak-hak yang diakui 

di dalamnya menuntut negara agar tidak mengambil tindakan guna melindungi 

hak ini  seperti hak berserikat, hak mogok, kebebasan memilih sekolah, 

kebebasan melakukan riset, larangan memakai anak-anak untuk pekerjaan 

berbahaya, dan seterusnya, yang ada  di dalam hak ekosob.  

Ketentuan-ketentuan itu menunjukkan bahwa yang diatur di dalam kovenan 

hak ekosob bukan hanya hak-hak dalam jenis “rights to”,  tetapi juga hak-hak 

dalam jenis “freedom from ”. Oleh sebab itu, rumusan frasa undertakes to take 

steps, to achieve  progressively dan to maximum of its available resources  

pada Pasal 2 ayat (1) hak ekosob harus dilihat sebagai ketentuan yang memiliki 

hubungan yang dinamis dengan semua pasal lainnya. Hakikat kewajiban hukum 

yang timbul dari pasal ini bukan hanya menuntut negara berperan aktif, tetapi 

juga menuntut negara tidak mengambil tindakan (pasif). sebab itu kurang tepat, 

tanggung jawab negara di bidang hak ekosob ini dibedakan antara obligation of 

conduct dan obligation of result.  

--  231230    -

Kedua kewajiban itu yaitu kewajiban yang sekaligus harus dipikul 

oleh negara dalam pelaksanaan hak ekosob. Misalnya, untuk mencukupi 

kebutuhan pangan, negara harus mengambil langkah-langkah dan kebijakan 

yang tepat agar tujuan mencukupi pangan ini  berhasil (obligation of result).  

Tetapi dalam waktu yang bersamaan, negara juga tidak diperbolehkan mengambil 

tindakan yang memicu  seseorang kehilangan kebebasan memilih pekerjaan 

atau sekolah (obligation of conduct).299

Sadar akan penting dan strategisnya kovenan hak ekosob ini , 

pemerintah negara kita  akhirnya meratifikasinya menjadi bagian dari hukum 

negara kita  dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005. Dengan demikian 

negara kita  terikat untuk memenuhi, menghormati dan melindungi hak ekosob 

warga negara negara kita .

B. UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1974 TENTANG PENGAIRAN

Kelangsungan hidup manusia secara fisik dan sosial sangat tergantung 

pada air. Secara biologis, 70% tubuh manusia berisi air, dan secara sosial manusia 

tidak akan mampu melangsungkan kehidupannya tanpa air. Itu sebabnya air 

yaitu salah satu sumber daya yang sangat penting bagi kehidupan manusia. 

Begitu pentingnya air bagi kehidupan pernah menjadi pemicu perang antara Arab 

dan Israel pada tahun 1967. Perang ini memperebutkan sumber daya air yang 

ada  pada sungai Jordan dan sungai-sungai lain di wilayah itu.300 Kriris air 

berimplikasi terhadap kelahiran dan pertumbuhan manusia. Berbagai macam 

persoalan dapat timbul sebagai akibat dari tidak terpenuhinya kebutuhan atas 

air dan minimnya akses terhadap air. 

Pentingnya air dan kaitannya dengan berbagai persoalan yang diakibatkan 

oleh minimnya akses terhadap air telah disadari sejak lama. Pada tahun 2003 

World Health Organization (WHO) mengeluarkan publikasi berjudul The Right 

299  Baca Ifdhal Kasim, “Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Menegaskan Kembali 

Arti Pentingnya”, Makalah,  disampikan dalam lokakarya yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII, 

Yogyakarta, Hotel Jogja Plaza, 25 Januari 2006, hal. 4.

300  Daren Acemoglu, et.al., “A Dynamic Theory of Resoure Wars”, http://economics.mit.

edu/files/8041, diakses tanggal 15 Juli 2017.

--  233232    -

to Water. Dalam publikasi ini, WHO menyatakan bahwa dari 6 miliar penduduk 

bumi, 1,1 miliar di antaranya tidak memiliki akses yang cukup terhadap air minum 

yang aman. Kurangnya akses ini membawa akibat lanjutan, yakni terhalangnya 

pemenuhan akan hak atas kesehatan dan hak asasi manusia lainnya seperti hak 

atas makanan dan tempat tinggal yang memadai.301 

Pernyataan WHO ini  menegaskan bahwa masalah air yaitu masalah 

fundamental yang mempengaruhi kehidupan manusia dalam pelbagai dimensinya; 

tidak hanya kesehatan tetapi juga kelangsungan hidupa manusia. Dengan demikian 

hak atas air yaitu hak asasi manusia, sekalipun dalam Resolusi Majelis Umum 

PBB tentang The Right to Development pada tahun 1999 hak atas air masih 

ditempatkan sebagai bagian dari hak atas pembangunan.302

Pasal 25 Deklarasi Hak Asasi Manusia khususnya pada ayat (1) secara 

implisit menyatakan bahwa setiap orang berhak atas standar kesehatan dan 

kesejahteraan yang cukup untuk dirinya dan keluarganya. Hak ini kemudian diakui 

juga sebagai hak asasi manusia dalam International Covenant on Economic, 

Social and Cultural Rights (ICESCR) atau Kovenan Internasional tentang hak 

ekosob, khususnya dalam Pasal 12 ayat (1). Penegasan tentang pentingnya air 

sebagai benda publik dan sumber daya alam yang terbatas yang fundamental 

untuk kehidupan dan kesehatan ditegaskan kembali dalam General Comment No. 

15 ICESCR yang dikeluarkan oleh Committee on Economic, Social and Cultural 

Rights pada tahun 2002.303

301  Helmi Kasim,  “Penegasan Peran Negara dalam Pemenuhan Hak Warga Negara Atas 

Air”, Jurnal Konstitusi,  Volume 12, Nomor 2, Juni 2015, hal. 356.

302  Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/54/175 tentang the Right to Development yang 

menyatakan, “Reaffirms that in the full realization of the right to development inter alia: (a) The rights 

to food and clean water are fundamental human rights and their promotion constitutesa moral 

imperative both for national Governments and for the international community .” Naskah resolusi ini 

dapat diakses di http://www.worldlii.org/int/other/UNGARsn/1999/261.pdf, diakses tanggal 15 Juli 

2017.  

303  General Comment No. 15 ini terdiri atas 60 paragraf yang dibagi ke dalam enam bagian 

yakni pendahuluan (introduction), aturan ormatif tentang hak atas air (normative content of the rights 

to water), kewajiban negara pihak (states parties’ obligations ), pelanggaran (violations), penerapan 

pada level nasional (implementation at the national level), dan kewajiban aktor non-negara (obligations 

of actors other than states).  

--  233232    -

Komitmen konstitusional negara kita  terhadap perlindungan dan pemenuhan 

hak atas air dimuat dalam Pasal 33 UUD 1945, khususnya yang mengatur 

penguasaan oleh negara atas bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung 

di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Konsep hak menguasai 

negara berdasarkan ketentuan ini telah ditafsirkan Mahkamah Konstitusi (MK) 

melalui putusannya dan menjadi yurisprudensi yang juga dirujuk dalam putusan 

pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air.

Dalam pendapatnya, MK merumuskan makna penguasaan oleh negara 

sebagai mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan 

tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan 

(beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad).  Tafsir ini  menjadi 

yurisprudensi yang digunakan MK dalam memutus perkara-perkara berikutnya 

yakni putusan Nomor 002/PUU-I 2003 perihal Pengujian Undang-Undang 

Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Putusan Nomor 36/

PUU-X/2012. 

Dalam putusan terakhir, MK menegaskan lagi fungsi penguasaan oleh 

negara yakni bahwa penguasaan ini , pada peringkat pertama dan paling 

penting, yaitu negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya 

alam melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pemaknaan ini juga menjadi 

rujukan saat MK membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang 

Sumber Daya Air, di mana ditegaskan pentingnya peran secara langsung BUMN 

dan/atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam pengelolaan sumber daya air.  

Dari perspektif hak asasi manusia, pemenuhan hak warga negara atas air 

diatur utamanya dalam Pasal 28H UUD 1945 mengenai hak untuk hidup sejahtera 

lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik 

dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. 

Di dalam ketentuan ini memang tidak disebutkan secara spesifik mengenai 

hak atas air atau akses terhadap air yang bersih, sehat dan aman. Namun, 

tidak terpenuhinya hak atas air atau akses terhadap air minum yang sehat dan 

aman akan menghalangi terpenuhinya hak-hak ini. Sehingga, dengan demikian, 

pemenuhan hak atas air menjadi prasyarat terpenuhinya hak-hak sebagaimana 

--  235234    -

yang disebutkan dalam Pasal 28H UUD 1945. Pemahaman ini  telah disadari 

saat hak atas kesehatan disebutkan dalam konstitusi WHO 1946 sebagaimana 

telah dijelaskan pada bagian sebelumnya dalam tulisan ini.

Sebagai hak asasi manusia, maka pemenuhan hak atas air dilakukan 

dengan paradigma menghargai (to respect), melindungi (to protect) dan 

memenuhi (to fulfil). Paradigma demikian juga diadopsi dalam UUD 1945 

sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 28I ayat (4) yang mengatur 

tentang tanggung jawab negara, utamanya pemerintah dalam melindungi, 

memajukan, menegakkan dan memenuhi hak asasi manusia. Berdasarkan 

ketentuan ini pula, maka pemenuhan hak atas air sebagai bagian dari hak asasi 

manusia menjadi tanggung jawab negara, khususnya pemerintah.

Terkait dengan pengaturan pengelolaan sumber daya air, pada tanggal 

18 Februari 2015, MK mengeluarkan Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 atas 

gugatan pengujian materi yang kedua terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 

2004 tentang Sumber Daya Air. Putusan ini  antara lain menyatakan bahwa 

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dinyatakan tidak 

berlaku dan tidak memiliki  kekuatan hukum. Untuk menghindari terjadinya 

kekosongan hukum, maka berdasarkan putusan MK ini  Undang-Undang 

Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan dinyatakan berlaku kembali. 

Sehubungan dengan dibatalkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 

2004 tentang Sumber Daya Air, maka sebagai konsekuensinya yaitu peraturan 

pelaksanaan dari undang-undang ini  juga tidak memiliki kekuatan hukum 

mengikat, termasuk diantaranya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 

Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Untuk 

itu, perlu dibentuk pengaturan baru mengenai sistem penyediaan air minum. 

Materi muatannya menyesuaikan dengan prinsip pengelolaan sumber daya air 

sebagaimana tertuang dalam putusan MK.

Atas dasar itulah, pemerintah mengeluarkan PP No. 122 Tahun 2015 

tentang Sistem Penyediaan Air Minum yang dirumuskan sesuai Pasal 28A UUD 

1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak 

untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.  Dalam rangka memenuhi hak 

--  235234    -

setiap warga negara untuk hidup serta untuk mempertahankan hidup, negara 

berkewajiban untuk menjamin pemenuhan hak setiap warga negara. Salah 

satunya yaitu melalui penyediaan kebutuhan pokok air minum sehari-hari. Hal 

ini sejalan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan 

bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat 

hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Juga ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 

1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung 

di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya 

kemakmuran rakyat.

Berdasarkan putusan MK ini , dalam pertimbangan hukumnya 

dinyatakan bahwa sebagai kelanjutan hak menguasai oleh negara dan sebab 

air yaitu sesuatu yang sangat menguasai hajat hidup orang banyak, maka 

prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air yaitu badan usaha milik 

negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah. (BUMD)  Kegiatan pengusahaan 

sumber daya air oleh badan usaha swasta tetap dapat dilakukan dengan 

persyaratan tertentu dan ketat. Terkait dengan ini , pengaturan mengenai 

sistem penyediaan air minum seyogyanya membatasi penguasaan sistem 

penyediaan air minum yang dilakukan sepenuhnya oleh badan usaha swasta. 

Dengan demikian, agar dalam PP ini sejalan dengan putusan MK 

sebagaimana ini  di atas, diatur bahwa penyelenggaraan sistem penyediaan 

air minum diprioritaskan pelaksanaannya kepada BUMN dan BUMD. Dua insititusi 

ini bisa bekerjasama dengan pihak swasta yang mendapatkan pengawasan 

dari pemerintah. jika  suatu daerah tidak terjangkau oleh pelayanan sistem 

penyediaan air minum oleh BUMN atau BUMD, maka pertanggungjawabannya 

beralih ke pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Mereka dapat membentuk 

Unit Pengelola Teknis (UPT) -baik di tingkat pusat atau daerah- untuk melakukan 

pelayanan sistem penyediaan air minum ini. Jika BUMN, BUMD, dan UPT tidak 

juga bisa melaksanakannya, maka kelompok warga  dapat membentuk 

badan usaha tersendiri agar sistem penyediaan air minum bisa terselenggara. 

--  237236    -

Hukum HAM tentang pengairan memuat ketentuan pidana sebagai berikut:

Pasal 15

1. Diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun dan 

atau denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah): 

a. barang siapa dengan sengaja melakukan pengusahaan air dan 

atau sumber-sumber air yang tidak berdasarkan perencanaan dan 

perencanaan teknis tata pengaturan air dan tata pengairan serta 

pembangunan pengairan sebagaimana ini  dalam Pasal 8 ayat 

(1) Undang-undang ini; 

b. barang siapa dengan sengaja melakukan pengusahaan air dan atau 

sumber-sumber air tanpa izin dari Pemerintah sebagaimana ini  

dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ini; 

c. barang siapa yang sudah memperoleh izin dari Pemerintah untuk 

pengusahaan air dan atau sumber-sumber air sebagaimana ini  

dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ini, tetapi dengan sengaja 

tidak melakukan dan atau sengaja tidak ikut membantu dalam 

usaha-usaha menyelamatkan tanah, air, sumber-sumber air dan 

bangunan-bangunan pengairan sebagaimana ini  dalam Pasal 

13 ayat (1) huruf a, b, c, dan d Undang-undang ini. 

2. Perbuatan pidana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini yaitu kejahatan. 

3. Barang siapa sebab kelalaiannya memicu  terjadinya pelanggaran 

atas ketentuan ini  dalam Pasal 8 ayat (1), Pasal 11 ayat (2) dan 

Pasal 13 ayat (1) huruf a, b, c dan d Undang-undang ini, diancam dengan 

hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan atau denda setinggi-

tingginya Rp. 50.000,- (limapuluh ribu rupiah). 

4. Perbuatan pidana dimaksud dalam ayat (3) Pasal ini yaitu pelanggaran.

--  237236    -

C.  UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMINAN SOSIAL 

TENAGA KERJA

Hukum hak asasi manusia bidang ekosob yaitu salah satu hak 

asasi manusia yang tidak bisa dipisahkan dengan hak sipil dan hak politik. 

Mengabaikan hak Ekosob akan berdampak pada pengabaian hak sipil dan politik. 

sebab itu keduanya harus dipenuhi, dihormati dan dilindungi agar eksistensi 

kemanusiaan manusia menjadi utuh. Salah satu hak sosial manusia yang harus 

dihormati, dipenuhi dan dilindungi yaitu hak atas jaminan sosial. Hak ini  

telah dinyatakan sebagai hak asasi manusia dalam  Pasal 28H UUD 1945. 

Disana disebutkan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang 

memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana manusia 

yang bermartabat. Termaktub juga dalam Pasal 34 ayat (2), bahwa negara 

mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan 

warga  yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.  

Di samping itu, Ketetapan MPR No. X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan 

Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR 

RI Tahun 2001 juga menugaskan kepada Presiden untuk membentuk sistem 

jaminan sosial nasional dalam rangka memberi perlindungan sosial yang lebih 

menyeluruh dan terpadu.

Sayang sekali, hukum hak asasi manusia tentang jaminan sosial tenaga 

kerja (Jamsostek) masih memakai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992. 

Tentu saja ini membutuhkan perubahan sesuai dengan perubahan UUD 1945.  

Pengertian Jamsostek menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun 

1992 yaitu suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan, berupa 

uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang 

dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga 

kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia.

Perlindungan hukum yang dapat diberikan oleh PT Jamsostek, bermakna 

menjamin kepastian hukum atas hak-hak menurut peraturan perundang-undangan 

maupun perlindungan tenaga kerja dengan cara partisipasi meningkatkan hak 

tenaga kerja kedalam peraturan perundang-undangan. Perlindungan hukum ini 

--  239238    -

sebagai usaha  preventif. Ruang lingkup program Jamsostek ada  pada Pasal 

6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992, yang meliputi: 

a. Jaminan kecelakaan kerja;

b. Jaminan kematian; 

c. Jaminan hari tua;

d. Jaminan pemeliharaan kesehatan.

Jaminan kecelakaan kerja304 mencakup:  (1) biaya pengangkutan; (2) 

biaya pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan; (3) biaya rehabilitasi; (4) 

santunan berupa uang yang meliputi: a. santunan sementara tidak mampu bekerja; 

b. santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya; c. santunan cacat total untuk 

selama-lamanya baik fisik maupun mental. d. santunan kematian. 

Sedangkan jaminan kematian meliputi:305 a. biaya pemakaman; b. santunan 

berupa uang. Pada Pasal 13 dijelaskan urutan penerima yang diutamakan dalam 

pembayaran santunan kematian dan jaminan kematian sebagaimana dimaksud 

dalam Pasal 9 huruf d butir 4 dan Pasal 12 ialah: 

a. Janda atau duda; 

b. Anak; 

c. Orang tua; 

d. Cucu; 

e. Kakek atau nenek; 

f. Saudara kandung; 

g. Mertua.

Jaminan hari tua dibayarkan secara sekaligus, atau berkala, atau sebagian 

dan berkala, kepada tenaga kerja karena306 telah mencapai usia 55 (lima puluh 

lima) tahun, atau cacat total tetap setelah ditetapkan oleh dokter. Dalam hal 

tenaga kerja meninggal dunia, jaminan ini dibayarkan kepada janda atau duda 

304  Pasal 9 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992.

305  Pasal 12-13 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992.

306  Pasal 14 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992.

--  239238    -

atau anak yatim piatu. Jaminan ini juga dapat dibayarkan sebelum tenaga kerja 

mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun, setelah mencapai masa kepesertaan 

tertentu, yang diatur dengan PP.307 Tenaga kerja, suami atau istri, dan anak berhak 

memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan yang meliputi:

a. Rawat jalan tingkat pertama; 

b. Rawat jalan tingkat lanjutan; 

c. Rawat inap; 

d. Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan; 

e. Penunjang diagnostik; 

f. Pelayanan khusus; 

g. Pelayanan gawat darurat. 308

Pada bagian lain dari undang-undang ini diatur pula ketentuan pidana yang 

dimuat dalam Pasal 29 dan Pasal 30. Pasal 29 ayat (1) menyebutkan bahwa 

barang siapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 

ayat (1); Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 18 ayat (1), ayat (2), 

ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 19 ayat (2); Pasal 22 ayat (1); dan Pasal 

26, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau 

denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). 

Pada ayat selanjutnya ditegaskan bahwa dalam hal pengulangan tindak 

pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk kedua kalinya atau lebih, 

setelah putusan akhir telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pelanggaran 

ini  dipidana kurungan selama-lamanya 8 (delapan) bulan. Pada ayat 

(3) dinyatakan bahwa pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu 

pelanggaran. Sementara Pasal 30 menyatakan bahwa dengan tidak mengurangi 

ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) 

terhadap pengusaha, tenaga kerja, dan badan penyelenggara yang tidak memenuhi 

ketentuan undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya dikenakan sanksi 

administratif, ganti rugi, atau denda yang akan diatur lebih lanjut dengan PP.

307  Pasal 15 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992.

308  Pasal 16 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992.

--  241240    -

D.  UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 1998 TENTANG KESEJAHTERAAN 

LANJUT USIA

Setiap orang yaitu manusia yang berhak diperlakukan sama, lebih-lebih 

bagi individu atau golongan yang dikatagorikan lemah atau rentan, seperti lanjut 

usia. Dikatakan rentan atau lemah sebab golongan ini sulit, tidak mampu atau 

potensial gagal mendapatkan hak-haknya sebab faktor lanjut usia, sekalipun 

dalam kenyataan ada diantaranya yang masih sehat dan kuat secara fisik, tetapi 

konsepsi lanjut usia bukan didasarkan pada kekuatan fisik atau kesehatan tetapi 

pada umur.

Negara wajib memperhatikan dan memberi  hak-hak dan perlindungan 

kepada golongan lanjut usia ini dalam rangka kesejahteraan mereka. Atas dasar 

itulah Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 dibuat sebagai dasar pemberian 

kesejahteraan golongan lanjut usia. Dalam peraturan ini, kesejahteraan dirumuskan 

sebagai suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, baik material maupun 

spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman 

lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan 

pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, 

keluarga, serta warga  dengan menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi 

manusia sesuai dengan Pancasila.309

Lanjut usia memiliki  hak yang sama dalam kehidupan berwarga , 

berbangsa, dan bernegara, dan sebab itu sebagai penghormatan dan penghargaan 

kepada lanjut usia diberikan hak untuk meningkatkan kesejahteraan sosial yang 

meliputi:310 

a. Pelayanan keagamaan dan mental spiritual; 

b. Pelayanan kesehatan; 

c. Pelayanan kesempatan kerja; 

d. Pelayanan pendidikan dan pelatihan; 

e. Kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana 

umum. 

309  Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998.

310  Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998.

--  241240    -

f. Kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum; 

g. Perlindungan sosial; 

h. Bantuan sosial.

usaha  peningkatan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia potensial meliputi: 

a. Pelayanan keagamaan dan mental spiritual; 

b. Pelayanan kesehatan; 

c. Pelayanan kesempatan kerja; 

d. Pelayanan pendidikan dan pelatihan; 

e. Pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan 

fasilitas, sarana, dan prasarana umum 

f. Pemberian kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum; 

g. Bantuan sosial.311

usaha  memberi  kesejahteraan ini , warga  memiliki  hak 

dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam usaha  peningkatan 

kesejahteraan sosial lanjut usia. Peran warga  ini  dapat dilakukan 

secara perseorangan, keluarga, kelompok, masyakarat, organisasi sosial, dan/

atau organisasi kewarga an.312 Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 memuat 

sanksi dengan ketentuan bahwa setiap orang atau badan/atau organisasi 

atau lembaga yang dengan sengaja tidak melakukan pelayanan dalam rangka 

peningkatan kesejahteraan sosial dimana menurut hukum yang berlaku baginya, 

ia wajib melakukan perbuatan ini , diancam dengan pidana kurungan selama-

lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 200.000.000,00 

(dua ratus juta rupiah).313

Begitu pula bagi setiap orang atau badan/atau organisasi atau lembaga 

yang dengan sengaja tidak menyediakan aksesibilitas bagi lanjut usia dapat 

dikenai sanksi administrasi berupa: 

311  Pasal 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998.

312  Pasal 22 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998

313  Pasal 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998.

--  243242    -

a. Teguran lisan; 

b. Teguran tertulis; 

c. Pencabutan izin, yang tata cara pengenaan sanksi administrasi 

ditetapkan oleh Pemerintah.314 

Selanjutnya setiap orang atau badan/atau oraganisasi atau lembaga 

yang telah mendapatkan izin untuk melakukan pelayanan terhadap lanjut 

usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), dan/atau 

mendapatkan penghargaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, 

menyalahgunakan izin dan/atau penghargaan yang diperolehnya dikenai sanksi 

administrasi berupa: 

a. Teguran lisan; 

b. Teguran tertulis; 

c. Pencabutan penghargaan; 

d. Penghentian pemberian bantuan; 

e. Pencabutan izin operasional. 

Tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada 

ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah.315

E. UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN 

KONSUMEN

Sebagai bagian dari hak sipil, hak perlindungan konsumen telah diakui 

secara universal sebagai hak asasi yang harus dilindungi, terutama terkait dengan 

hak untuk mendapatkan keamanan (the rights to safety), hak untuk mendapatkan 

informasi (the rights to be informed),  hak untuk memilih (the right to choose), 

dan hak untuk di dengar (the right to be heard). Konsumen yaitu setiap orang 

pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam warga , baik bagi 

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan 

314  Pasal 27 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998.

315  Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998.

--  243242    -

tidak untuk diperdagangkan,316 sangat rentan dan seringkali terlanggar hak-haknya 

oleh penyedia barang dan atau jasa tanpa memiliki dasar hukum perlindungan 

dan memperjuangkannya. 

Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Nomor 8 Tahun 

1999 yang lahir di era reformasi, disambut baik sebagai kemajuan penting di 

bidang hak sipil di negara kita . Peraturan yangsama juga yang telah diakui dan 

dijalankan di Amerika Serikat dan Eropa pada dekade 1950-1960, serta Afrika dan 

Amerika Latin pada tahun 1965. Kehadiran UUPK didasarkan pada usaha  untuk 

meningkatkan harkat dan martabat konsumen. Hal itu terutama terkait dengan 

kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen 

untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha 

yang bertanggung jawab, serta untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan 

kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang 

sehat.

Perlindungan konsumen dimaknai sebagai segala usaha  yang menjamin 

adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen317, 

dengan tujuan:318 

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen 

untuk melindungi diri; 

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara 

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau 

jasa; 

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, 

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; 

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung 

unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk 

mendapatkan informasi; 

316  Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

317  Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

318  Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

--  245244    -

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya 

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan 

bertanggungjjawab