punya m dan disabilitas;
m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan
o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan
kondisi orang tuanya.250
250 Pasal 59 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
-- 213212 -
Perlindungan khusus bagi anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (1) dilakukan melalui usaha :
a. Penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi
secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan
gangguan kesehatan lainnya;
b. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;
c. Pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga tidak
mampu; dan
d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses
peradilan.251
Penjelasan rinci tentang implementasi perlindungan khusus terhadap anak
yang berada dalam situasi khusus ini diatur dalam Pasal 60 sampai 71D.
Diantara perlindungan khusus terhadap pelbagai keadaan khusus anak ini ,
penting disebutkan disini tentang bagaimana perlindungan khusus terhadap anak
yang berhadapa dengan hukum, yaitu sebagai berikut:252
a. Perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan
sesuai dengan umurnya;
b. Pemisahan dari orang dewasa;
c. Pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. Pemberlakuan kegiatan rekreasional;
e. Pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain
yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan
derajatnya;
f. Penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/atau pidana seumur
hidup;
g. Penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali
sebagai usaha terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h. Pemberian keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak
251 Pasal 59A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
252 Pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
-- 213212 -
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. Penghindaran dari publikasi atas identitasnya.
j. Pemberian pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya
oleh anak;
k. Pemberian advokasi sosial;
l. Pemberian kehidupan pribadi;
m. Pemberian aksesibilitas, terutama bagi anak penyandang disabilitas;
n. Pemberian pendidikan;
o. Pemberian pelayanan kesehatan; dan
p. Pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.”
Pada undang-undang ini dimuat ketentuan pidana maksimal 20 tahun dan
denda yang relatif tinggi terhadap pelaku tindak pidana anak. Dengan kehadiran
undang-undang ini, maka hukum hak asasi manusia, telah cukup memberi
penghormatan dan perlindungan terhadap anak. Selengkapnya ketentuan pidana
sebagai berikut:
Pasal 89
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76J ayat (1), dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76J ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
-- 215214 -
Pada tahun 2016, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
sebagai respon pemerintah atas desakan warga atas meningkatnya pelbagai
kekerasan terhadap anak.
Perubahan penting dalam Perppu ini yaitu diperberatnya sanksi
terhadap pelaku, yaitu adanya sanksi kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi
elektronik.253 Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan
bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan
tindakan.254 Hanya saja Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku
Anak.255 Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan
untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana
menjalani pidana pokok.256
T. UNDANG-UNDANG NOMOR. 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2006 MENGENAI PERLINDUNGAN
SAKSI DAN KORBAN
Proses peradilan akan berlangsung sesuai dengan prinsip persamaan
di depan hukum (equality before the law) dan asas praduga tidak bersalah
(the presumption of innocence) sebagai bagian dari prinsip peradilan yang fair
(fair trial process), jika semua pihak dalam peradilan -khususnya saksi dan
korban- mendapatkan jaminan keamanan dalam memberi keterangan. Saksi
dan/atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya
suatu tindak pidana, seringkali tidak dapat atau takut memberi keterangan.
ini disebabkan adanya ancaman; baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.
Padahal keterangan saki dan/atau korban menjadi salah satu alat bukti yang sah
dalam proses peradilan pidana guna mencari dan menemukan kejelasan tentang
253 Pasal 81 ayat (7) Perppu Nomor 1 Tahun 2016.
254 Pasal 81 ayat (8) Perppu Nomor 1 Tahun 2016.
255 Pasal 81 ayat (9) Perppu Nomor 1 Tahun 2016.
256 Pasal 81A ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2016.
-- 215214 -
tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.
Atas dasar itulah, pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2014 sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai instrumen memberi
perlindungan pada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana
dalam lingkungan peradilan. Dalam undang-undang ini diatur jelas hak-hak saksi
dan korban, yaitu:257
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan
harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan
kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan;
c. memberi keterangan tanpa tekanan;
d. Mendapat penerjemah;
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i. Dirahasiakan identitasnya;
j. Mendapat identitas baru;
k. Mendapat tempat kediaman sementara;
l. Mendapat tempat kediaman baru;
m. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan;
n. Mendapat nasihat hukum;
o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
Perlindungan berakhir; dan/atau
p. Mendapat pendampingan.
257 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.
-- 217216 -
Hak ini diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana
dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK). Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang,
korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan
korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5, juga berhak mendapatkan bantuan medis bantuan rehabilitasi psikososial dan
psikologis.258 Selain mendapatkan hak-hak itu, juga ada hak berupa kompensasi
yang diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya kepada Pengadilan Hak Asasi
Manusia melalui LPSK.259
Perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap penyelidikan
dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-
undang.260 Sementara saksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam
ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberi kesaksian
tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara ini sedang diperiksa261,
dan dapat memberi kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan
pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara
yang memuat tentang kesaksian ini .262
Saksi dan/atau korban dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung
melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.263
Saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum,
baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang,
atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan ini diberikan tidak
dengan iktikad baik.264 Dalam hal ada tuntutan hukum terhadap saksi, korban,
saksi pelaku, dan/atau pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang,
258 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.
259 Pasal 7 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.
260 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.
261 Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.
262 Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.
263 Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.
264 Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.
-- 217216 -
atau telah diberikan, tuntutan hukum ini wajib ditunda hingga kasus yang ia
laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh
kekuatan hukum tetap.265
Lembaga yang diberi wewenang memberi perlindungan saksi dan
korban yaitu LPSK: lembaga mandiri yang berkedudukan di Ibu Kota Negara
Republik negara kita 266, yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian
perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban berdasarkan tugas dan
kewenangan sebagaimana diatur dalam undang-undang.267 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2014 mengatur sanksi pidana sebagai berikut:
Pasal 37
(1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya dengan memakai
kekerasan atau cara tertentu, yang memicu Saksi dan/atau Korban
tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) huruf a, huruf i, huruf j, huruf k, atau huruf l sehingga saksi dan/atau
korban tidak memberi kesaksiannya pada setiap tahap pemeriksaan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada saksi
dan/atau korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
(3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sehingga memicu matinya saksi dan/atau
korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan
pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
265 Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.
266 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.
267 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.
-- 219218 -
Pasal 38
Setiap orang yang menghalang-halangi saksi dan/atau korban secara melawan
hukum sehingga saksi dan/atau korban tidak memperoleh perlindungan atau
bantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf i, huruf
j, huruf k, huruf l, huruf p, Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), atau Pasal 7A ayat
(1) , dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Pasal 39
Setiap orang yang memicu saksi dan/atau korban atau keluarganya
kehilangan pekerjaan sebab saksi dan/atau korban ini memberi
kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Pasal 40
Setiap orang yang memicu dirugikannya atau dikuranginya hak saksi
dan/atau korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat
(1), Pasal 7 ayat (1), atau Pasal 7A ayat (1) sebab saksi dan/atau korban
memberi kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 41
Setiap orang yang secara melawan hukum memberitahukan keberadaan
saksi dan/atau korban yang sedang dilindungi dalam suatu tempat kediaman
sementara atau tempat kediaman baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (1) huruf k dan huruf l dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).”
Pasal 42
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal
39, Pasal 40, dan Pasal 41 dilakukan oleh pejabat publik, ancaman pidananya
ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).
-- 219218 -
Pasal 42A
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 sampai
dengan Pasal 41 dilakukan oleh korporasi maka penyidikan, penuntutan,
dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan
pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 sampai dengan Pasal 41.
(3) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), korporasi dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; b. pencabutan
status badan hukum; dan/atau c. pemecatan pengurus.
Pasal 43
(1) Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 42, pidana denda ini
diganti dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim.
U. UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENYANDANG
DISABILITAS
Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada
diri manusia bersifat universal. Ia perlu dilindungi, dihormati, dan dipertahankan,
sehingga perlindungan dan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan,
termasuk kepada penyandang disabilitas. Penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan hak penyandang disabilitas yaitu kewajiban negara. Negara
Kesatuan Republik negara kita menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara,
termasuk para penyandang disabilitas yang memiliki kedudukan hukum dan
memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai warga negara negara kita . Ia
juga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara dan warga
negara kita dan yaitu amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, untuk
hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat.
-- 221220 -
Penyandang disabilitas selama ini hidup dalam kondisi rentan, terbelakang,
dan/atau miskin disebabkan masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitan,
dan pengurangan atau penghilangan hak penyandang disabilitas; diskriminasi
yang berakibat belum terpenuhinya pelaksanaan hak penyandang disabilitas.
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan
Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Hak-hak
Penyandang Disabilitas) tanggal 10 November 2011 menunjukkan komitmen
dan kesungguhan pemerintah negara kita untuk menghormati, melindungi, dan
memenuhi hak penyandang disabilitas yang pada akhirnya diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan penyandang disabilitas.
Dengan demikian, penyandang disabilitas berhak untuk bebas dari
penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat
manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena. Ia juga
berhak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya
berdasarkan kesamaan dengan orang lain, termasuk di dalamnya hak untuk
mendapatkan perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian,
serta dalam keadaan darurat.
Jangkauan pengaturan dalam undang-undang ini meliputi pemenuhan
kesamaan kesempatan terhadap penyandang disabilitas dalam segala aspek
penyelenggaraan negara dan warga , penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan hak penyandang disabilitas, termasuk penyediaan aksesibilitas dan
akomodasi yang layak. Pengaturan pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang
disabilitas bertujuan untuk mewujudkan taraf kehidupan penyandang disabilitas
yang lebih berkualitas, adil, sejahtera lahir dan batin, serta bermartabat. Selain itu,
pelaksanaan dan pemenuhan hak juga ditujukan untuk melindungi penyandang
disabilitas dari penelantaran dan eksploitasi, pelecehan dan segala tindakan
diskriminatif, serta pelanggaran hak asasi manusia.268
Penyandang disabilitas yang dimaksud dalam peraturan ini yaitu setiap
orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik
dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat
268 Baca penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.
-- 221220 -
mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan
efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.269 Kesamaan
kesempatan yaitu keadaan yang memberi peluang dan/atau menyediakan
akses kepada penyandang disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala
aspek penyelenggaraan negara dan warga .270
Pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas berasaskan:
a. Penghormatan terhadap martabat;
b. Otonomi individu;
c. Tanpa diskriminasi;
d. Partisipasi penuh;
e. Keragaman manusia dan kemanusiaan;
f. Kesamaan kesempatan;
g. Kesetaraan;
h. Aksesibilitas;
i. Kapasitas yang terus berkembang dan identitas anak;
j. Inklusif; dan
k. Perlakuan khusus dan perlindungan lebih.271
Tujuan pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas adalah:272
a. Mewujudkan penghormatan, pemajuan, perlindungan, dan
pemenuhan hak asasi manusia serta kebebasan dasar penyandang
disabilitas secara penuh dan setara;
b. Menjamin usaha penghormatan, pemajuan, perlindungan,
dan pemenuhan hak sebagai martabat yang melekat pada diri
penyandang disabilitas;
c. Mewujudkan taraf kehidupan penyandang disabilitas yang lebih
berkualitas, adil, sejahtera lahir dan batin, mandiri, serta bermartabat;
269 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.
270 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.
271 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.
272 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.
-- 223222 -
d. Melindungi penyandang disabilitas dari penelantaran dan eksploitasi,
pelecehan dan segala tindakan diskriminatif, serta pelanggaran hak
asasi manusia; dan
e. Memastikan pelaksanaan usaha penghormatan, pemajuan,
perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas untuk
mengembangkan diri serta mendayagunakan seluruh kemampuan
sesuai bakat dan minat yang dimilikinya untuk menikmati, berperan
serta berkontribusi secara optimal, aman, leluasa, dan bermartabat
dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan
berwarga .
Penyandang Disabilitas memiliki hak:273
a. Hidup;274
b. bebas dari stigma;275
c. privasi;276
d. keadilan dan perlindungan hukum;277
273 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
274 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: atas penghormatan integritas; b. tidak
dirampas nyawanya; c. mendapatkan perawatan dan pengasuhan yang menjamin kelangsungan
hidupnya; d. bebas dari penelantaran, pemasungan, pengurungan, dan pengucilan; e. bebas dari
ancaman dan berbagai bentuk eksploitasi; dan f. bebas dari penyiksaan, perlakuan dan penghukuman
lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.
275 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: Hak bebas dari stigma untuk penyandang
disabilitas meliputi hak bebas dari pelecehan, penghinaan, dan pelabelan negatif terkait kondisi
disabilitasnya.
276 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Diakui sebagai manusia pribadi yang
dapat menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat
manusia di depan umum; b. Membentuk sebuah keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah; c. Penghormatan rumah dan keluarga; d. Mendapat perlindungan terhadap
kehidupan pribadi dan keluarga; dan e. Dilindungi kerahasiaan atas data pribadi, surat menyurat, dan
bentuk komunikasi pribadi lainnya, termasuk data dan informasi kesehatan.
277 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: Hak keadilan dan perlindungan hukum
untuk penyandang disabilitas meliputi hak: a. Atas perlakuan yang sama di hadapan hukum; b.
Diakui sebagai subyek hukum; c. memiliki dan mewarisi harta bergerak atau tidak bergerak; d.
Mengendalikan masalah keuangan atau menunjuk orang untuk mewakili kepentingannya dalam
-- 223222 -
e. pendidikan;278
f. pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi;279
g. kesehatan;280
h. politik;281
urusan keuangan; e. Memperoleh akses terhadap pelayanan jasa perbankan dan nonperbankan; f.
memperoleh penyediaan aksesibilitas dalam pelayanan peradilan; g. Atas perlindungan dari segala
tekanan, kekerasan, penganiayaan, diskriminasi, dan/atau perampasan atau pengambilalihan hak milik;
h. Memilih dan menunjuk orang untuk mewakili kepentingannya dalam hal keperdataan di dalam dan
di luar pengadilan; dan i. dilindungi hak kekayaan intelektualnya.
278 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Mendapatkan pendidikan yang bermutu
pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus; b.
memiliki kesamaan kesempatan untuk menjadi pendidik atau tenaga kependidikan pada satuan
pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan; c. memiliki kesamaan kesempatan sebagai
penyelenggara pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang
pendidikan; dan d. Mendapatkan akomodasi yang layak sebagai peserta didik.
279 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Memperoleh pekerjaan yang
diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau swasta tanpa diskriminasi; b. Memperoleh
upah yang sama dengan tenaga kerja yang bukan penyandang disabilitas dalam jenis pekerjaan
dan tanggung jawab yang sama; c. Memperoleh akomodasi yang layak dalam pekerjaan; d. Tidak
diberhentikan sebab alasan disabilitas; e. Mendapatkan program kembali bekerja; f. Penempatan
kerja yang adil, proporsional, dan bermartabat; g. Memperoleh kesempatan dalam mengembangkan
jenjang karier serta segala hak normatif yang melekat di dalamnya; dan h. Memajukan usaha, memiliki
pekerjaan sendiri, wiraswasta, pengembangan koperasi, dan memulai usaha sendiri.
280 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Memperoleh informasi dan komunikasi
yang mudah diakses dalam pelayanan kesehatan; b. Memperoleh kesamaan dan kesempatan akses
atas sumber daya di bidang kesehatan; c. Memperoleh kesamaan dan kesempatan pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau; d. Memperoleh kesamaan dan kesempatan secara
mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya;
e. Memperoleh Alat Bantu Kesehatan berdasarkan kebutuhannya; f. Memperoleh obat yang bermutu
dengan efek samping yang rendah; g. memperoleh perlindungan dari usaha percobaan medis; dan
h. memperoleh perlindungan dalam penelitian dan pengembangan kesehatan
281 Pasal 13: a. memilih dan dipilih dalam jabatan publik; b. menyalurkan aspirasi politik
baik tertulis maupun lisan; c. memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam
pemilihan umum; d. membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi warga dan/
atau partai politik; e. Membentuk dan bergabung dalam organisasi penyandang disabilitas dan untuk
mewakili penyandang disabilitas pada tingkat lokal, nasional, dan internasional; f. Berperan serta
secara aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya;
g. Memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan
gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan h. Memperoleh pendidikan
politik.
-- 225224 -
i. keagamaan;282
j. keolahragaan;283
k. Kebudayaan dan pariwisata;284
l. Kesejahteraan sosial;285
m. Aksesibilitas;286
n. Pelayanan Publik;287
o. Perlindungan dari bencana;288
282 Pasal 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Memeluk agama dan kepercayaan
masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya; b. Memperoleh kemudahan
akses dalam memanfaatkan tempat peribadatan; c. Mendapatkan kitab suci dan lektur keagamaan
lainnya yang mudah diakses berdasarkan kebutuhannya; d. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan
kebutuhan pada saat menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaannya; dan e. Berperan aktif
dalam organisasi keagamaan.
283 Pasal 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Melakukan kegiatan keolahragaan;
b. Mendapatkan penghargaan yang sama dalam kegiatan keolahragaan; c. Memperoleh pelayanan
dalam kegiatan keolahragaan; d. Memperoleh sarana dan prasarana keolahragaan yang mudah
diakses; e. Memilih dan mengikuti jenis atau cabang olahraga; f. Memperoleh pengarahan, dukungan,
bimbingan, pembinaan, dan pengembangan dalam keolahragaan; g. Menjadi pelaku keolahragaan;
h. Mengembangkan industri keolahragaan; dan i. Meningkatkan prestasi dan mengikuti kejuaraan
di semua tingkatan.
284 Pasal 16 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Memperoleh kesamaan dan
kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan seni dan budaya; b. Memperoleh
Kesamaan Kesempatan untuk melakukan kegiatan wisata, melakukan usaha pariwisata, menjadi
pekerja pariwisata, dan/atau berperan dalam proses pembangunan pariwisata; dan c. Mendapatkan
kemudahan untuk mengakses, perlakuan, dan akomodasi yang layak sesuai dengan kebutuhannya
sebagai wisatawan.
285 Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: Hak kesejahteraan sosial untuk
penyandang disabilitas meliputi hak rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan
perlindungan sosial.
286 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Mendapatkan aksesibilitas untuk
memanfaatkan fasilitas publik; dan b. Mendapatkan akomodasi yang layak sebagai bentuk aksesibilitas
bagi individu.
287 Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Memperoleh akomodasi yang layak
dalam pelayanan publik secara optimal, wajar, bermartabat tanpa diskriminasi; dan b. Pendampingan,
penerjemahan, dan penyediaan fasilitas yang mudah diakses di tempat layanan publik tanpa tambahan
biaya.
288 Pasal 20 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Mendapatkan informasi yang mudah
diakses akan adanya bencana; b. Mendapatkan pengetahuan tentang pengurangan risiko bencana;
-- 225224 -
p. Habilitasi dan rehabilitasi;289
q. Konsesi
r. Pendataan; ;290
s. Hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam warga ; 291
t. Berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi; 292
u. Berpindah tempat dan kewarganegaraan; 293 dan
v. Bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan
eksploitasi.294
c. Mendapatkan prioritas dalam proses penyelamatan dan evakuasi dalam keadaan bencana;
d. Mendapatkan fasilitas dan sarana penyelamatan dan evakuasi yang mudah diakses; dan e.
Mendapatkan prioritas, fasilitas, dan sarana yang mudah diakses di lokasi pengungsian
289 Pasal 21 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Mendapatkan habilitasi dan rehabilitasi
sejak dini dan secara inklusif sesuai dengan kebutuhan; b. Bebas memilih bentuk rehabilitasi yang
akan diikuti; dan c. Mendapatkan habilitasi dan rehabilitasi yang tidak merendahkan martabat manusia.
290 Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Didata sebagai penduduk dengan
disabilitas dalam kegiatan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil; b. Mendapatkan dokumen
kependudukan; dan c. Mendapatkan kartu penyandang disabilitas.
291 Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Mobilitas pribadi dengan penyediaan
alat bantu dan kemudahan untuk mendapatkan akses; b. Mendapatkan kesempatan untuk hidup mandiri
di tengah warga ; c. Mendapatkan pelatihan dan pendampingan untuk hidup secara mandiri;
d. Menentukan sendiri atau memperoleh bantuan dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk
menetapkan tempat tinggal dan/atau pengasuhan keluarga atau keluarga pengganti; e. Mendapatkan
akses ke berbagai pelayanan, baik yang diberikan di dalam rumah, di tempat permukiman, maupun
dalam warga ; dan f. Mendapatkan akomodasi yang wajar untuk berperan serta dalam kehidupan
berwarga .
292 Pasal 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Memiliki kebebasan berekspresi dan
berpendapat; b. Mendapatkan informasi dan berkomunikasi melalui media yang mudah diakses; dan
c. memakai dan memperoleh fasilitas informasi dan komunikasi berupa bahasa isyarat, braille,
dan komunikasi augmentatif dalam interaksi resmi.
293 Pasal 25 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Berpindah, mempertahankan,
atau memperoleh kewarganegaraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b.
Memperoleh, memiliki, dan memakai dokumen kewarganegaraan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan c. Keluar atau masuk wilayah negara kita sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
294 Pasal 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016: a. Bersosialisasi dan berinteraksi
dalam kehidupan berkeluarga, berwarga , dan bernegara tanpa rasa takut; dan b. Mendapatkan
perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual.
-- 227226 -
Perempuan dengan disabilitas memiliki hak295:
a. Atas kesehatan reproduksi;
b. Menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi;
c. Mendapatkan perlindungan lebih dari perlakuan diskriminasi berlapis;
dan
d. Untuk mendapatkan perlindungan lebih dari tindak kekerasan,
termasuk kekerasan dan eksploitasi seksual.
Anak penyandang disabilitas memiliki hak296:
a. Mendapatkan perlindungan khusus dari diskriminasi, penelantaran,
pelecehan, eksploitasi, serta kekerasan dan kejahatan seksual;
b. Mendapatkan perawatan dan pengasuhan keluarga atau keluarga
pengganti untuk tumbuh kembang secara optimal;
c. Dilindungi kepentingannya dalam pengambilan keputusan;
d. Perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak
anak;
e. Pemenuhan kebutuhan khusus;
f. Perlakuan yang sama dengan anak lain untuk mencapai integrasi
sosial dan pengembangan individu; dan
g. Mendapatkan pendampingan sosial.
Undang-undang yang memuat 170 pasal ini dilengkapi dengan sanksi
pidana yang relatif tinggi terhadap siapa saja yang melanggar ketentuan di
dalamnya. Sanki pidana yang diatur dalam Pasal 144 dan 145 ini menentukan
sebagai berikut:
Pasal 144
Setiap orang yang melakukan tindakan yang berdampak kepada bertambah,
berkurang, atau hilangnya hak kepemilikan penyandang disabilitas tanpa
mendapat penetapan dari pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam
295 Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.
296 Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016.
-- 227226 -
Pasal 142 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 145
Setiap orang yang menghalang-halangi dan/atau melarang penyandang
disabilitas untuk mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
-- PB228 -
-- 229PB -
BAB V
HUKUM HAK ASASI MANUSIA BIDANG HAK
EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA
A. HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA
Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) yaitu bagian penting
dalam hukum hak asasi manusia internasional, yang menjadi bagian dari The
International Bill of Human Rights; bersama-sama dengan hak-hak sipil dan politik.
Kedudukan hak ekosob menjadi acuan pencapaian bersama dalam pemajuan
ekonomi, sosial dan budaya suatu negara. Selama ini hak ekosob digambarkan
sekedar sebagai pernyataan politik, yang berbeda jauh dengan hak-hak sipil dan
politik sebagai hak yang riil.
Pandangan demikian itu boleh jadi akibat rumusan kedua kovenan yang
berbeda. Jika hak ekosob memakai formulasi “… undertakes to take
steps, … to the maximum of its available resources, with a view to achieving
progressively the full realization of the rights recognized in the present Covenant
…” ,297 sementara kovenan hak sipil dan politik memakai rumusan: “…
undertakes to respect and to ensure to all induvidual within its territory and
subject to its jurisdiction the rights recognized in the present covenant …”. 298
Pada bagian lain dikonsepsikan bahwa hak ekosob yaitu hak-hak
positif (positive rights), sementara hak sipil dan politik dikatakan sebagai hak-hak
negatif (negative rights). Dikatakan positif, sebab untuk merealisasikan hak-hak
yang diakui di dalam kovenan ini diperlukan keterlibatan negara yang besar.
297 Baca Pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
298 Baca Pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik.
-- 231230 -
Sebaliknya dikatakan negatif, sebab negara harus abstain atau tidak bertindak
dalam rangka merealisasikan hak-hak yang diakui di dalam kovenan. Sebagai hak-
hak negatif (negative rights) peran negara dirumuskan dalam bahasa “freedom
from” (kebebasan dari), sedangkan hak-hak dalam kategori positif dirumuskan
dalam bahasa “rights to” (hak atas).
Kedua kategori hak ini menuntut tanggung jawab negara yang berbeda.
Jika hak-hak ekosob menuntut tanggung jawab negara dalam bentuk obligations
of result, maka hak sipil dan politik menuntut tanggung jawab negara dalam
bentuk obligations of conduct. Sebagai hak-hak positif, maka pemenuhan hak
ekosob tidak dapat dituntut di muka pengadilan (non-justiciable ). Sebaliknya hak
sipil dan politik, sebagai hak-hak negatif ia dapat dituntut di muka pengadilan.
Misalnya, orang yang kehilangan pekerjaannya tidak dapat menuntut negara ke
muka pengadilan, sebab pelanggaran ini . Akan tetapi, orang yang disiksa
oleh aparatur negara dapat dengan segera menuntut tanggung jawab negara atas
pelanggaran ini ke muka pengadilan.
Pemahaman demikian itu tentu saja harus dikoreksi, sebab hak ekosob
tidak sepenuhnya yaitu hak-hak positif. Cukup banyak hak-hak yang diakui
di dalamnya menuntut negara agar tidak mengambil tindakan guna melindungi
hak ini seperti hak berserikat, hak mogok, kebebasan memilih sekolah,
kebebasan melakukan riset, larangan memakai anak-anak untuk pekerjaan
berbahaya, dan seterusnya, yang ada di dalam hak ekosob.
Ketentuan-ketentuan itu menunjukkan bahwa yang diatur di dalam kovenan
hak ekosob bukan hanya hak-hak dalam jenis “rights to”, tetapi juga hak-hak
dalam jenis “freedom from ”. Oleh sebab itu, rumusan frasa undertakes to take
steps, to achieve progressively dan to maximum of its available resources
pada Pasal 2 ayat (1) hak ekosob harus dilihat sebagai ketentuan yang memiliki
hubungan yang dinamis dengan semua pasal lainnya. Hakikat kewajiban hukum
yang timbul dari pasal ini bukan hanya menuntut negara berperan aktif, tetapi
juga menuntut negara tidak mengambil tindakan (pasif). sebab itu kurang tepat,
tanggung jawab negara di bidang hak ekosob ini dibedakan antara obligation of
conduct dan obligation of result.
-- 231230 -
Kedua kewajiban itu yaitu kewajiban yang sekaligus harus dipikul
oleh negara dalam pelaksanaan hak ekosob. Misalnya, untuk mencukupi
kebutuhan pangan, negara harus mengambil langkah-langkah dan kebijakan
yang tepat agar tujuan mencukupi pangan ini berhasil (obligation of result).
Tetapi dalam waktu yang bersamaan, negara juga tidak diperbolehkan mengambil
tindakan yang memicu seseorang kehilangan kebebasan memilih pekerjaan
atau sekolah (obligation of conduct).299
Sadar akan penting dan strategisnya kovenan hak ekosob ini ,
pemerintah negara kita akhirnya meratifikasinya menjadi bagian dari hukum
negara kita dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005. Dengan demikian
negara kita terikat untuk memenuhi, menghormati dan melindungi hak ekosob
warga negara negara kita .
B. UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1974 TENTANG PENGAIRAN
Kelangsungan hidup manusia secara fisik dan sosial sangat tergantung
pada air. Secara biologis, 70% tubuh manusia berisi air, dan secara sosial manusia
tidak akan mampu melangsungkan kehidupannya tanpa air. Itu sebabnya air
yaitu salah satu sumber daya yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
Begitu pentingnya air bagi kehidupan pernah menjadi pemicu perang antara Arab
dan Israel pada tahun 1967. Perang ini memperebutkan sumber daya air yang
ada pada sungai Jordan dan sungai-sungai lain di wilayah itu.300 Kriris air
berimplikasi terhadap kelahiran dan pertumbuhan manusia. Berbagai macam
persoalan dapat timbul sebagai akibat dari tidak terpenuhinya kebutuhan atas
air dan minimnya akses terhadap air.
Pentingnya air dan kaitannya dengan berbagai persoalan yang diakibatkan
oleh minimnya akses terhadap air telah disadari sejak lama. Pada tahun 2003
World Health Organization (WHO) mengeluarkan publikasi berjudul The Right
299 Baca Ifdhal Kasim, “Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Menegaskan Kembali
Arti Pentingnya”, Makalah, disampikan dalam lokakarya yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII,
Yogyakarta, Hotel Jogja Plaza, 25 Januari 2006, hal. 4.
300 Daren Acemoglu, et.al., “A Dynamic Theory of Resoure Wars”, http://economics.mit.
edu/files/8041, diakses tanggal 15 Juli 2017.
-- 233232 -
to Water. Dalam publikasi ini, WHO menyatakan bahwa dari 6 miliar penduduk
bumi, 1,1 miliar di antaranya tidak memiliki akses yang cukup terhadap air minum
yang aman. Kurangnya akses ini membawa akibat lanjutan, yakni terhalangnya
pemenuhan akan hak atas kesehatan dan hak asasi manusia lainnya seperti hak
atas makanan dan tempat tinggal yang memadai.301
Pernyataan WHO ini menegaskan bahwa masalah air yaitu masalah
fundamental yang mempengaruhi kehidupan manusia dalam pelbagai dimensinya;
tidak hanya kesehatan tetapi juga kelangsungan hidupa manusia. Dengan demikian
hak atas air yaitu hak asasi manusia, sekalipun dalam Resolusi Majelis Umum
PBB tentang The Right to Development pada tahun 1999 hak atas air masih
ditempatkan sebagai bagian dari hak atas pembangunan.302
Pasal 25 Deklarasi Hak Asasi Manusia khususnya pada ayat (1) secara
implisit menyatakan bahwa setiap orang berhak atas standar kesehatan dan
kesejahteraan yang cukup untuk dirinya dan keluarganya. Hak ini kemudian diakui
juga sebagai hak asasi manusia dalam International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights (ICESCR) atau Kovenan Internasional tentang hak
ekosob, khususnya dalam Pasal 12 ayat (1). Penegasan tentang pentingnya air
sebagai benda publik dan sumber daya alam yang terbatas yang fundamental
untuk kehidupan dan kesehatan ditegaskan kembali dalam General Comment No.
15 ICESCR yang dikeluarkan oleh Committee on Economic, Social and Cultural
Rights pada tahun 2002.303
301 Helmi Kasim, “Penegasan Peran Negara dalam Pemenuhan Hak Warga Negara Atas
Air”, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, Juni 2015, hal. 356.
302 Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/54/175 tentang the Right to Development yang
menyatakan, “Reaffirms that in the full realization of the right to development inter alia: (a) The rights
to food and clean water are fundamental human rights and their promotion constitutesa moral
imperative both for national Governments and for the international community .” Naskah resolusi ini
dapat diakses di http://www.worldlii.org/int/other/UNGARsn/1999/261.pdf, diakses tanggal 15 Juli
2017.
303 General Comment No. 15 ini terdiri atas 60 paragraf yang dibagi ke dalam enam bagian
yakni pendahuluan (introduction), aturan ormatif tentang hak atas air (normative content of the rights
to water), kewajiban negara pihak (states parties’ obligations ), pelanggaran (violations), penerapan
pada level nasional (implementation at the national level), dan kewajiban aktor non-negara (obligations
of actors other than states).
-- 233232 -
Komitmen konstitusional negara kita terhadap perlindungan dan pemenuhan
hak atas air dimuat dalam Pasal 33 UUD 1945, khususnya yang mengatur
penguasaan oleh negara atas bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Konsep hak menguasai
negara berdasarkan ketentuan ini telah ditafsirkan Mahkamah Konstitusi (MK)
melalui putusannya dan menjadi yurisprudensi yang juga dirujuk dalam putusan
pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air.
Dalam pendapatnya, MK merumuskan makna penguasaan oleh negara
sebagai mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan
tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad). Tafsir ini menjadi
yurisprudensi yang digunakan MK dalam memutus perkara-perkara berikutnya
yakni putusan Nomor 002/PUU-I 2003 perihal Pengujian Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Putusan Nomor 36/
PUU-X/2012.
Dalam putusan terakhir, MK menegaskan lagi fungsi penguasaan oleh
negara yakni bahwa penguasaan ini , pada peringkat pertama dan paling
penting, yaitu negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya
alam melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pemaknaan ini juga menjadi
rujukan saat MK membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air, di mana ditegaskan pentingnya peran secara langsung BUMN
dan/atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam pengelolaan sumber daya air.
Dari perspektif hak asasi manusia, pemenuhan hak warga negara atas air
diatur utamanya dalam Pasal 28H UUD 1945 mengenai hak untuk hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Di dalam ketentuan ini memang tidak disebutkan secara spesifik mengenai
hak atas air atau akses terhadap air yang bersih, sehat dan aman. Namun,
tidak terpenuhinya hak atas air atau akses terhadap air minum yang sehat dan
aman akan menghalangi terpenuhinya hak-hak ini. Sehingga, dengan demikian,
pemenuhan hak atas air menjadi prasyarat terpenuhinya hak-hak sebagaimana
-- 235234 -
yang disebutkan dalam Pasal 28H UUD 1945. Pemahaman ini telah disadari
saat hak atas kesehatan disebutkan dalam konstitusi WHO 1946 sebagaimana
telah dijelaskan pada bagian sebelumnya dalam tulisan ini.
Sebagai hak asasi manusia, maka pemenuhan hak atas air dilakukan
dengan paradigma menghargai (to respect), melindungi (to protect) dan
memenuhi (to fulfil). Paradigma demikian juga diadopsi dalam UUD 1945
sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 28I ayat (4) yang mengatur
tentang tanggung jawab negara, utamanya pemerintah dalam melindungi,
memajukan, menegakkan dan memenuhi hak asasi manusia. Berdasarkan
ketentuan ini pula, maka pemenuhan hak atas air sebagai bagian dari hak asasi
manusia menjadi tanggung jawab negara, khususnya pemerintah.
Terkait dengan pengaturan pengelolaan sumber daya air, pada tanggal
18 Februari 2015, MK mengeluarkan Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 atas
gugatan pengujian materi yang kedua terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air. Putusan ini antara lain menyatakan bahwa
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dinyatakan tidak
berlaku dan tidak memiliki kekuatan hukum. Untuk menghindari terjadinya
kekosongan hukum, maka berdasarkan putusan MK ini Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan dinyatakan berlaku kembali.
Sehubungan dengan dibatalkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air, maka sebagai konsekuensinya yaitu peraturan
pelaksanaan dari undang-undang ini juga tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat, termasuk diantaranya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16
Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Untuk
itu, perlu dibentuk pengaturan baru mengenai sistem penyediaan air minum.
Materi muatannya menyesuaikan dengan prinsip pengelolaan sumber daya air
sebagaimana tertuang dalam putusan MK.
Atas dasar itulah, pemerintah mengeluarkan PP No. 122 Tahun 2015
tentang Sistem Penyediaan Air Minum yang dirumuskan sesuai Pasal 28A UUD
1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dalam rangka memenuhi hak
-- 235234 -
setiap warga negara untuk hidup serta untuk mempertahankan hidup, negara
berkewajiban untuk menjamin pemenuhan hak setiap warga negara. Salah
satunya yaitu melalui penyediaan kebutuhan pokok air minum sehari-hari. Hal
ini sejalan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Juga ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Berdasarkan putusan MK ini , dalam pertimbangan hukumnya
dinyatakan bahwa sebagai kelanjutan hak menguasai oleh negara dan sebab
air yaitu sesuatu yang sangat menguasai hajat hidup orang banyak, maka
prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air yaitu badan usaha milik
negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah. (BUMD) Kegiatan pengusahaan
sumber daya air oleh badan usaha swasta tetap dapat dilakukan dengan
persyaratan tertentu dan ketat. Terkait dengan ini , pengaturan mengenai
sistem penyediaan air minum seyogyanya membatasi penguasaan sistem
penyediaan air minum yang dilakukan sepenuhnya oleh badan usaha swasta.
Dengan demikian, agar dalam PP ini sejalan dengan putusan MK
sebagaimana ini di atas, diatur bahwa penyelenggaraan sistem penyediaan
air minum diprioritaskan pelaksanaannya kepada BUMN dan BUMD. Dua insititusi
ini bisa bekerjasama dengan pihak swasta yang mendapatkan pengawasan
dari pemerintah. jika suatu daerah tidak terjangkau oleh pelayanan sistem
penyediaan air minum oleh BUMN atau BUMD, maka pertanggungjawabannya
beralih ke pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Mereka dapat membentuk
Unit Pengelola Teknis (UPT) -baik di tingkat pusat atau daerah- untuk melakukan
pelayanan sistem penyediaan air minum ini. Jika BUMN, BUMD, dan UPT tidak
juga bisa melaksanakannya, maka kelompok warga dapat membentuk
badan usaha tersendiri agar sistem penyediaan air minum bisa terselenggara.
-- 237236 -
Hukum HAM tentang pengairan memuat ketentuan pidana sebagai berikut:
Pasal 15
1. Diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun dan
atau denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah):
a. barang siapa dengan sengaja melakukan pengusahaan air dan
atau sumber-sumber air yang tidak berdasarkan perencanaan dan
perencanaan teknis tata pengaturan air dan tata pengairan serta
pembangunan pengairan sebagaimana ini dalam Pasal 8 ayat
(1) Undang-undang ini;
b. barang siapa dengan sengaja melakukan pengusahaan air dan atau
sumber-sumber air tanpa izin dari Pemerintah sebagaimana ini
dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ini;
c. barang siapa yang sudah memperoleh izin dari Pemerintah untuk
pengusahaan air dan atau sumber-sumber air sebagaimana ini
dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ini, tetapi dengan sengaja
tidak melakukan dan atau sengaja tidak ikut membantu dalam
usaha-usaha menyelamatkan tanah, air, sumber-sumber air dan
bangunan-bangunan pengairan sebagaimana ini dalam Pasal
13 ayat (1) huruf a, b, c, dan d Undang-undang ini.
2. Perbuatan pidana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini yaitu kejahatan.
3. Barang siapa sebab kelalaiannya memicu terjadinya pelanggaran
atas ketentuan ini dalam Pasal 8 ayat (1), Pasal 11 ayat (2) dan
Pasal 13 ayat (1) huruf a, b, c dan d Undang-undang ini, diancam dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan atau denda setinggi-
tingginya Rp. 50.000,- (limapuluh ribu rupiah).
4. Perbuatan pidana dimaksud dalam ayat (3) Pasal ini yaitu pelanggaran.
-- 237236 -
C. UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMINAN SOSIAL
TENAGA KERJA
Hukum hak asasi manusia bidang ekosob yaitu salah satu hak
asasi manusia yang tidak bisa dipisahkan dengan hak sipil dan hak politik.
Mengabaikan hak Ekosob akan berdampak pada pengabaian hak sipil dan politik.
sebab itu keduanya harus dipenuhi, dihormati dan dilindungi agar eksistensi
kemanusiaan manusia menjadi utuh. Salah satu hak sosial manusia yang harus
dihormati, dipenuhi dan dilindungi yaitu hak atas jaminan sosial. Hak ini
telah dinyatakan sebagai hak asasi manusia dalam Pasal 28H UUD 1945.
Disana disebutkan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana manusia
yang bermartabat. Termaktub juga dalam Pasal 34 ayat (2), bahwa negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
warga yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Di samping itu, Ketetapan MPR No. X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan
Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR
RI Tahun 2001 juga menugaskan kepada Presiden untuk membentuk sistem
jaminan sosial nasional dalam rangka memberi perlindungan sosial yang lebih
menyeluruh dan terpadu.
Sayang sekali, hukum hak asasi manusia tentang jaminan sosial tenaga
kerja (Jamsostek) masih memakai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992.
Tentu saja ini membutuhkan perubahan sesuai dengan perubahan UUD 1945.
Pengertian Jamsostek menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun
1992 yaitu suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan, berupa
uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang
dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga
kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia.
Perlindungan hukum yang dapat diberikan oleh PT Jamsostek, bermakna
menjamin kepastian hukum atas hak-hak menurut peraturan perundang-undangan
maupun perlindungan tenaga kerja dengan cara partisipasi meningkatkan hak
tenaga kerja kedalam peraturan perundang-undangan. Perlindungan hukum ini
-- 239238 -
sebagai usaha preventif. Ruang lingkup program Jamsostek ada pada Pasal
6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992, yang meliputi:
a. Jaminan kecelakaan kerja;
b. Jaminan kematian;
c. Jaminan hari tua;
d. Jaminan pemeliharaan kesehatan.
Jaminan kecelakaan kerja304 mencakup: (1) biaya pengangkutan; (2)
biaya pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan; (3) biaya rehabilitasi; (4)
santunan berupa uang yang meliputi: a. santunan sementara tidak mampu bekerja;
b. santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya; c. santunan cacat total untuk
selama-lamanya baik fisik maupun mental. d. santunan kematian.
Sedangkan jaminan kematian meliputi:305 a. biaya pemakaman; b. santunan
berupa uang. Pada Pasal 13 dijelaskan urutan penerima yang diutamakan dalam
pembayaran santunan kematian dan jaminan kematian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 huruf d butir 4 dan Pasal 12 ialah:
a. Janda atau duda;
b. Anak;
c. Orang tua;
d. Cucu;
e. Kakek atau nenek;
f. Saudara kandung;
g. Mertua.
Jaminan hari tua dibayarkan secara sekaligus, atau berkala, atau sebagian
dan berkala, kepada tenaga kerja karena306 telah mencapai usia 55 (lima puluh
lima) tahun, atau cacat total tetap setelah ditetapkan oleh dokter. Dalam hal
tenaga kerja meninggal dunia, jaminan ini dibayarkan kepada janda atau duda
304 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992.
305 Pasal 12-13 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992.
306 Pasal 14 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992.
-- 239238 -
atau anak yatim piatu. Jaminan ini juga dapat dibayarkan sebelum tenaga kerja
mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun, setelah mencapai masa kepesertaan
tertentu, yang diatur dengan PP.307 Tenaga kerja, suami atau istri, dan anak berhak
memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan yang meliputi:
a. Rawat jalan tingkat pertama;
b. Rawat jalan tingkat lanjutan;
c. Rawat inap;
d. Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan;
e. Penunjang diagnostik;
f. Pelayanan khusus;
g. Pelayanan gawat darurat. 308
Pada bagian lain dari undang-undang ini diatur pula ketentuan pidana yang
dimuat dalam Pasal 29 dan Pasal 30. Pasal 29 ayat (1) menyebutkan bahwa
barang siapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1); Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 18 ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 19 ayat (2); Pasal 22 ayat (1); dan Pasal
26, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau
denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Pada ayat selanjutnya ditegaskan bahwa dalam hal pengulangan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk kedua kalinya atau lebih,
setelah putusan akhir telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pelanggaran
ini dipidana kurungan selama-lamanya 8 (delapan) bulan. Pada ayat
(3) dinyatakan bahwa pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu
pelanggaran. Sementara Pasal 30 menyatakan bahwa dengan tidak mengurangi
ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2)
terhadap pengusaha, tenaga kerja, dan badan penyelenggara yang tidak memenuhi
ketentuan undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya dikenakan sanksi
administratif, ganti rugi, atau denda yang akan diatur lebih lanjut dengan PP.
307 Pasal 15 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992.
308 Pasal 16 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992.
-- 241240 -
D. UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 1998 TENTANG KESEJAHTERAAN
LANJUT USIA
Setiap orang yaitu manusia yang berhak diperlakukan sama, lebih-lebih
bagi individu atau golongan yang dikatagorikan lemah atau rentan, seperti lanjut
usia. Dikatakan rentan atau lemah sebab golongan ini sulit, tidak mampu atau
potensial gagal mendapatkan hak-haknya sebab faktor lanjut usia, sekalipun
dalam kenyataan ada diantaranya yang masih sehat dan kuat secara fisik, tetapi
konsepsi lanjut usia bukan didasarkan pada kekuatan fisik atau kesehatan tetapi
pada umur.
Negara wajib memperhatikan dan memberi hak-hak dan perlindungan
kepada golongan lanjut usia ini dalam rangka kesejahteraan mereka. Atas dasar
itulah Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 dibuat sebagai dasar pemberian
kesejahteraan golongan lanjut usia. Dalam peraturan ini, kesejahteraan dirumuskan
sebagai suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, baik material maupun
spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman
lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan
pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri,
keluarga, serta warga dengan menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi
manusia sesuai dengan Pancasila.309
Lanjut usia memiliki hak yang sama dalam kehidupan berwarga ,
berbangsa, dan bernegara, dan sebab itu sebagai penghormatan dan penghargaan
kepada lanjut usia diberikan hak untuk meningkatkan kesejahteraan sosial yang
meliputi:310
a. Pelayanan keagamaan dan mental spiritual;
b. Pelayanan kesehatan;
c. Pelayanan kesempatan kerja;
d. Pelayanan pendidikan dan pelatihan;
e. Kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana
umum.
309 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998.
310 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998.
-- 241240 -
f. Kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum;
g. Perlindungan sosial;
h. Bantuan sosial.
usaha peningkatan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia potensial meliputi:
a. Pelayanan keagamaan dan mental spiritual;
b. Pelayanan kesehatan;
c. Pelayanan kesempatan kerja;
d. Pelayanan pendidikan dan pelatihan;
e. Pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan
fasilitas, sarana, dan prasarana umum
f. Pemberian kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum;
g. Bantuan sosial.311
usaha memberi kesejahteraan ini , warga memiliki hak
dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam usaha peningkatan
kesejahteraan sosial lanjut usia. Peran warga ini dapat dilakukan
secara perseorangan, keluarga, kelompok, masyakarat, organisasi sosial, dan/
atau organisasi kewarga an.312 Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 memuat
sanksi dengan ketentuan bahwa setiap orang atau badan/atau organisasi
atau lembaga yang dengan sengaja tidak melakukan pelayanan dalam rangka
peningkatan kesejahteraan sosial dimana menurut hukum yang berlaku baginya,
ia wajib melakukan perbuatan ini , diancam dengan pidana kurungan selama-
lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).313
Begitu pula bagi setiap orang atau badan/atau organisasi atau lembaga
yang dengan sengaja tidak menyediakan aksesibilitas bagi lanjut usia dapat
dikenai sanksi administrasi berupa:
311 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998.
312 Pasal 22 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998
313 Pasal 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998.
-- 243242 -
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis;
c. Pencabutan izin, yang tata cara pengenaan sanksi administrasi
ditetapkan oleh Pemerintah.314
Selanjutnya setiap orang atau badan/atau oraganisasi atau lembaga
yang telah mendapatkan izin untuk melakukan pelayanan terhadap lanjut
usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), dan/atau
mendapatkan penghargaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24,
menyalahgunakan izin dan/atau penghargaan yang diperolehnya dikenai sanksi
administrasi berupa:
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis;
c. Pencabutan penghargaan;
d. Penghentian pemberian bantuan;
e. Pencabutan izin operasional.
Tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah.315
E. UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN
Sebagai bagian dari hak sipil, hak perlindungan konsumen telah diakui
secara universal sebagai hak asasi yang harus dilindungi, terutama terkait dengan
hak untuk mendapatkan keamanan (the rights to safety), hak untuk mendapatkan
informasi (the rights to be informed), hak untuk memilih (the right to choose),
dan hak untuk di dengar (the right to be heard). Konsumen yaitu setiap orang
pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam warga , baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
314 Pasal 27 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998.
315 Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998.
-- 243242 -
tidak untuk diperdagangkan,316 sangat rentan dan seringkali terlanggar hak-haknya
oleh penyedia barang dan atau jasa tanpa memiliki dasar hukum perlindungan
dan memperjuangkannya.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Nomor 8 Tahun
1999 yang lahir di era reformasi, disambut baik sebagai kemajuan penting di
bidang hak sipil di negara kita . Peraturan yangsama juga yang telah diakui dan
dijalankan di Amerika Serikat dan Eropa pada dekade 1950-1960, serta Afrika dan
Amerika Latin pada tahun 1965. Kehadiran UUPK didasarkan pada usaha untuk
meningkatkan harkat dan martabat konsumen. Hal itu terutama terkait dengan
kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha
yang bertanggung jawab, serta untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan
kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang
sehat.
Perlindungan konsumen dimaknai sebagai segala usaha yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen317,
dengan tujuan:318
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau
jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
316 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
317 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
318 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
-- 245244 -
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggungjjawab