HAM 7




 prinsip sebagaimana diuraikan di atas, terutama yang terakhir, melahirkan 

suatu prinsip yang lain bahwa proses peradilan dalam perkara pidana harus 

sampai pada kebenaran materiil, suatu kebenaran yang di dalamnya tidak ada  

lagi keraguan. Dari prinsip yang demikian lahir pula prinsip dalam proses peradilan 

pidana yaitu, “lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada menjatuhkan 

pidana kepada seseorang yang tidak bersalah”. 

Di dalam ungkapan ini  ada  makna yang dalam, bahwa saat 

pengadilan menjatuhkan putusan yang menyatakan seseorang bersalah dan 

sebab itu dijatuhi pidana haruslah benar-benar didasarkan pada suatu fakta 

hukum yang diyakini sebagai suatu kebenaran. Kalau tidak demikian, maka 

akan terjadi bahwa negara melalui pengadilan pidana telah melanggar hak asasi 

manusia, padahal secara konstitusional negara melalui proses peradilan justru 

harus melindungi hak asasi manusia (vide Pasal 24 ayat (1) UUD 1945). 

Kewajiban negara untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia 

sesuai prinsip negara hukum yang demokratis mengharuskan pelaksanaan hak 

asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-

undangan (vide Pasal 28I ayat (5) UUD 1945). Hukum acara pidana yaitu 

implementasi dari penegakan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai 

ketentuan konstitusional dalam UUD 1945. Hal demikian sesuai pula dengan 

prinsip negara hukum yang demokratis, yaitu due process of law.

--  151150    -

Terkait dengan penegakan dan perlindungan hak asasi manusia yang 

juga yaitu hak konstitusional berdasarkan UUD 1945, maka dalam proses 

peradilan pidana yang dialami seseorang haruslah mendapatkan kepastian hukum 

yang adil (vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945). Dalam ini ditekankan bahwa 

kepastian hukum yang acapkali mendominasi suatu proses peradilan diberikan 

syarat yang fundamental, yaitu keadilan yang menjadi kebutuhan dasar bagi 

setiap insan, termasuk saat menjalani proses peradilan. sebab itulah pentingnya 

diatur peninjauan kembali susaha  setiap orang dalam proses peradilan pidana 

yang dijalaninya tetap dapat memperoleh keadilan, bahkan saat putusan telah 

memperoleh kekuatan hukum yang tetap dengan alasan tertentu yang secara 

umum terkait dengan keadilan.

Berdasarkan alasan-alasan PK sebagaimana diuraikan di atas, ada  

satu alasan terkait dengan terpidana, sedangkan kedua alasan lainnya terkait 

dengan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Alasan satu-satunya 

yang terkait dengan terpidana yaitu menyangkut peristiwa yang menguntungkan 

terpidana berupa keadaan baru (novum) yang manakala ditemukan saat proses 

peradilan berlangsung putusan hakim diyakini akan lain (Pasal 263 ayat (2) huruf 

a KUHAP). 

Oleh sebab itu dan sebab terkait dengan keadilan yang yaitu hak 

konstitusional atau hak asasi manusia bagi seseorang yang dijatuhi pidana, selain 

itu pula sebab kemungkinan keadaan baru (novum) dapat ditemukan kapan saja, 

tidak dapat ditentukan secara pasti kapan waktunya, maka adilkah manakala 

PK dibatasi hanya satu kali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 268 ayat (3) 

KUHAP?  Apa sesungguhnya makna keadilan sebagai hak konstitusional bagi 

seseorang yang terpenuhinya yaitu kewajiban negara, jika negara justru 

menutupnya dengan ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP?

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan ini  di atas, MK 

selanjutnya akan mempertimbangkan apakah dalil para pemohon bahwa Pasal 268 

ayat (3) KUHAP yang menyatakan, “Permintaan peninjauan kembali atas suatu 

putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja” bertentangan dengan UUD 1945. 

--  153152    -

usaha  hukum luar biasa PK secara historis-filosofis yaitu usaha  

hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana. Menurut MK, usaha  

hukum PK berbeda dengan banding atau kasasi sebagai usaha  hukum biasa. 

usaha  hukum biasa harus dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum sebab 

tanpa kepastian hukum, yaitu dengan menentukan limitasi waktu dalam pengajuan 

usaha  hukum biasa, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tentu 

akan melahirkan ketidakadilan dan proses hukum yang tidak selesai. Dengan 

demikian, ketentuan yang menjadi syarat dapat ditempuhnya usaha  hukum biasa 

di samping terkait dengan kebenaran materiil yang hendak dicapai, juga terkait 

pada persyaratan formal yaitu terkait dengan tenggang waktu tertentu setelah 

diketahuinya suatu putusan hakim oleh para pihak secara formal pula. 

Adapun usaha  hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan 

dan kebenaran materiil. Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan 

formalitas yang membatasi bahwa usaha  hukum luar biasa (PK) hanya dapat 

diajukan satu kali, sebab mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus, 

ada keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan yang pada saat PK 

sebelumnya belum ditemukan. 

Adapun penilaian mengenai sesuatu itu novum atau bukan novum, 

yaitu kewenangan Mahkamah Agung (MA) yang memiliki kewenangan 

mengadili pada tingkat PK. Oleh sebab itu, yang menjadi syarat dapat ditempuhnya 

usaha  hukum luar biasa yaitu sangat materiil atau substansial dan syarat yang 

sangat mendasar yaitu terkait dengan kebenaran dan keadilan dalam proses 

peradilan pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (2a) KUHAP, 

yang menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar: 

“jika  ada  keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa 

jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, 

hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala 

tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau 

terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.” 

--  153152    -

Karakter kebenaran mengenai peristiwa yang menjadi dasar dalam 

putusan perkara pidana yaitu kebenaran materiil berdasarkan pada bukti yang 

dengan bukti-bukti ini  meyakinkan hakim, yaitu kebenaran yang secara 

rasional tidak ada  lagi keraguan di dalamnya sebab didasarkan pada bukti 

yang sah dan meyakinkan. Oleh sebab itu, dalam perkara pidana, bukti yang 

dapat diajukan hanya ditentukan batas minimalnya, tidak maksimalnya. Dengan 

demikian, untuk memperoleh keyakinan dimaksud hukum harus memberi  

kemungkinan bagi hakim untuk membuka kesempatan diajukannya bukti yang 

lain, sampai dicapainya keyakinan dimaksud.

Sejalan dengan karakter kebenaran ini  di atas, sebab secara 

umum, KUHAP bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dari kesewenang-

wenangan negara -terutama yang terkait dengan hak hidup dan kebebasan sebagai 

hak yang sangat fundamental bagi manusia- sebagaimana ditentukan dalam UUD 

1945, maka dalam mempertimbangkan PK sebagai usaha  hukum luar biasa 

yang diatur dalam KUHAP haruslah dalam kerangka yang demikian, yakni untuk 

mencapai dan menegakkan hukum dan keadilan. usaha  pencapaian kepastian 

hukum sangat layak untuk diadakan pembatasan, namun usaha  pencapaian 

keadilan hukum tidaklah demikian, sebab keadilan yaitu kebutuhan manusia 

yang sangat mendasar, lebih mendasar dari kebutuhan manusia tentang kepastian 

hukum. Kebenaran materiil mengandung semangat keadilan sedangkan norma 

hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan 

asas keadilan. 

Oleh sebab itu, usaha  hukum untuk menemukan kebenaran materiil dengan 

tujuan untuk memenuhi kepastian hukum telah selesai dengan putusan pengadilan 

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan menempatkan status hukum 

terdakwa menjadi terpidana. ini  dipertegas dengan ketentuan Pasal 

268 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali 

atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan 

dari putusan ini . 

Menimbang bahwa Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “dalam 

menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada 

--  155154    -

pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-

mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan 

orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan 

moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu warga  

demokratis.” 

Menurut MK, pembatasan yang dimaksud oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 

1945 ini  tidak dapat diterapkan untuk membatasi pengajuan PK hanya 

satu kali. Alasannya, sebab pengajuan PK dalam perkara pidana sangat terkait 

dengan hak asasi manusia yang paling mendasar, yaitu menyangkut kebebasan 

dan kehidupan manusia. Lagi pula, pengajuan PK tidak terkait dengan jaminan 

pengakuan, serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan tidak 

terkait pula dengan pemenuhan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan 

moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam warga  

yang demokratis.

Menimbang bahwa benar dalam ilmu hukum ada  asas litis finiri 

oportet, yakni setiap perkara harus ada akhirnya, namun menurut MK, hal itu 

berkait dengan kepastian hukum. Sementara untuk keadilan dalam perkara 

pidana, asas ini  tidak secara rigid dapat diterapkan sebab dengan hanya 

membolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi manakala ditemukan 

adanya keadaan baru (novum). Hal itu justru bertentangan dengan asas 

keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman negara kita  

untuk menegakkan hukum dan keadilan (vide Pasal 24 ayat (1) UUD 1945). 

Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan ini  di atas, menurut 

MK, permohonan para pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 

268 ayat (3) KUHAP yaitu beralasan menurut hukum.

Selain memperluas objek praperadilan dan usaha  hukum, MK juga 

memaknai bukti yang menjadi dasar proses hukum. Ada tiga frasa yang 

dipersoalkan, yakni bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang 

cukup. MK menyatakan, pasal-pasal yang memuat tentang bukti, yakni pasal 1 

angka 2, 14; pasal 17; dan pasal 21 ayat (1); bertentangan dengan UUD 1945, 

sepanjang tidak dimaknai bahwa bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang 

--  155154    -

cukup yaitu minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Pasal 

184 KUHAP mengatur lima jenis alat bukti yang bisa dijadikan dasar proses hukum 

terhadap seseorang. Yakni, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan 

keterangan terdakwa. Berdasar putusan ini , penyidik harus mendapatkan 

minimal dua alat bukti yang terdaftar dalam pasal itu.

G.  UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEwarga AN

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pewarga an 

menyatakan bahwa, “sistem pewarga an diselenggarakan dalam rangka 

membentuk Warga Binaan Pewarga an agar menjadi manusia seutuhnya, 

menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengurangi tindak pidana 

sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan warga , dapat aktif berperan 

dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik 

dan bertanggung jawab.” 

Selain itu tujuan penyelenggaraan sistem pewarga an yaitu 

pembentukan warga binaan menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, 

memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana, kembali kewarga , aktif 

dalam pembangunan, hidup wajar sebagai warga negara dan bertanggungjawab. 

Sedangkan fungsinya menjadikan warga binaan menyatu (integral) dengan 

sehat dalam warga  serta dapat berperan bebas dan bertanggungjawab. 

Dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Pewarga an, hak-hak narapidana 

mencakup:

1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;

2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;

3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;

5. Menyampaikan keluhan;

6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa 

lainnya yang tidak dilarang;

7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

8. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu 

--  157156    -

lainnya;

9. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);

10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi 

keluarga;

11. Mendapatkan pembebasan bersyarat;

12. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan

13. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

H. UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN 

MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM

Salah satu hak asasi manusia yang penting dan fundamental yaitu hak 

menyampaikan pendapat atau pikiran secara terbuka di muka umum. Dikatakan 

penting dan fundamental sebab terkait dengan kemampuan alamiah manusia 

yang oleh Tuhan diberi keistimewaan, yaitu kemampuan  berpikir dan berbicara. 

Hak menyampaikan pendapat telah tegas dijamin dalam Pasal 19 Deklarasi 

Universal Hak Asasi Manusia yang berbunyi, “setiap orang berhak atas kebebasan 

menyampaikan dan mengeluarkan pendapat, dalam hak ini termasuk kebebasan 

memiliki  pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, 

menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun 

juga dan dengan tidak memandang batas-batas”. Dijamin juga dalam Pasal 28 

E ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan 

berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. 

Atas dasar itu semua, pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 

9 Tahun 1998, yang dalam pertimbangannya disebutkan bahwa kemerdekaan 

menyampaikan pendapat di muka umum yaitu hak asasi manusia yang dijamin 

oleh UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia; dan kemerdekaan 

setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yaitu 

perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan berwarga , berbangsa, 

dan bernegara. 

--  157156    -

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 menegaskan, 

“setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan 

pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam 

kehidupan berwarga , berbangsa, dan bernegara.” Dalam Pasal 5 disebutkan 

bahwasanya warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak 

untuk: (a) mengeluarkan pikiran secara bebas; (b). memperoleh perlindungan 

hukum. Sementara Pasal 6 memuat pembatasan-pembatasan, yaitu bahwa 

warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan 

bertanggung jawab untuk: 

a. Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain; 

b. Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum; 

c. Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang 

berlaku; 

d. Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan 

e. Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

f. Bentuk dan tata cara penyampaian pendapat di muka umum berupa 

(unjuk rasa atau demonstrasi; pawai; rapat umum; dan atau mimbar 

bebas). 

Penyampaian pendapat di muka umum bisa dilakukan dimana saja, 

kecuali:148 di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, 

rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan 

darat, dan obyek-obyek vital nasional; dan pada hari besar nasional. 

Undang-Undang ini juga memuat sanksi sebagai berikut:

Pasal 15 

Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dapat dibubarkan jika  

tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6149, Pasal 9 

148 Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998.

149 Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan 

bertanggung jawab untuk : a. menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain; b. menghonnati aturan-

aturan moral yang diakui umum; c. menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan 

yang berlaku; d. menjaga dan menghonnati keamanan dan ketertiban umum; dan e. menjaga keutuhan 

persatuan dan kesatuan bangsa.

--  159158    -

ayat (2)150 dan ayat (3)151, Pasal 10152, dan Pasal 11153. 

Pasal l6 

Pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang 

melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai 

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Pasal 17 

Penanggung jawab pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang 

melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-

undang ini dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 

pidana yang berlaku ditambah dengan 1/3 (satu per tiga) dari pidana pokok. 

Pasal 18 

(1)  Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-

halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum 

yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana 

penjara paling lama 1 (satu) tahun. 

(2)  Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu kejahatan.

150 Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 

dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum. kecuali : a. di lingkungan istana kepresidenan, 

tempat ibadah. instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api. terminal 

angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional; b. pada hari besar nasional

151 Pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud 

dalam ayat (1) dilarang membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum.

152 (1) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib 

diberitahukan secara tertulis kepada Polri. (2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud 

dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan. pemimpin, alau penanggungjawab kelompok. 

(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua 

puluh empat ) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat. (4) Pemberitahuan 

secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam 

kampus dan kegiatan keagamaan.

153 Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal l0 ayat (1) memuat : a. 

maksud dan tujuan; b. tempat, lokasi, dan rute; c. waktu dan lama; d. bentuk; e. penanggung jawab; 

f. nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan; g. alat peraga yang dipergunakan; dan 

atau h. jumlah peserta.

--  159158    -

I. UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

Kebebasan pers sebagai perwujudan dari kebebasan berbicara dan 

kebebasan berekspresi memiliki  makna yang penting terhadap peningkatan 

kualitas pemerintahan maupun kecerdasan warga nya. Dengan kebebasan 

pers, pemerintah dan rakyat dapat mengetahui berbagai peristiwa atau realitas 

yang sedang terjadi, maupun berbagai pendapat dan argumentasi yang acapkali 

saling bertentangan. 

Melalui kebebasan pers, komunikasi politik yang berupa kritikan kepada 

pejabat, instansi pemerintah, maupun institusi warga  sendiri dijamin 

oleh negara, tanpa takut ditindak. Kebebasan pers juga menjamin semakin 

terpenuhinya hak warga  untuk tahu terhadap berbagai peristiwa yang sedang 

terjadi sejalan dengan fungsi pers sebagai sarana manusia untuk memahami 

realitas. Jika kebebasan pers mengalami tekanan, informasi yang muncul di 

media massa bukan saja tidak transparan, tetapi juga informasi mengenai fakta 

fakta itu menjadi tidak lengkap (premateur facts).

Dengan adanya kebebasan pers memungkinkan tumbuh kembangnya 

budaya kritik dalam warga . Hal itu sekaligus yaitu sarana kontrol bagi 

pemerintah agar bisa menjalankan wewenang dan tugasnya dengan baik dan 

benar. Kebebasan pers memiliki jaminan konstitusional yang kuat, terutama setelah 

berakhirnya kekuasaan Orde Baru, yaitu termuat dalam Pasal 28 UUD 1945 yang 

berbunyi, “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan 

lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Pasal 28 F 

UUD 1945 menyatakan bahwa, “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan 

memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, 

serta berhak untuk mencari memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, 

dan menyampaikan informasi dengan memakai segala jenis saluran yang 

tersedia” serta dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, 

Bab VI, Pasal 20 da 21 yang isinya:  

1. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi 

untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.

--  161160    -

2. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, 

menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan 

memakai segala jenis saluaran yang tersedia.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan 

bahwa kemerdekaan pers yaitu salah satu wujud kedaulatan rakyat dan 

menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan berwarga , 

berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan 

pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 harus 

dijamin dengan undang-undang. Dalam kehidupan berwarga , berbangsa, 

dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat 

sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, yaitu hak asasi 

manusia yang sangat hakiki. Hal itu diperlukan untuk menegakkan keadilan dan 

kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan 

bangsa. 

Dalam Pasal 2 dijelaskan bahwa kemerdekaan pers yaitu salah satu 

wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, 

dan supremasi hukum.  Oleh sebab itu, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak 

asasi warga negara, dan karenanya terhadap pers nasional tidak dikenakan 

penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.154 Untuk menjamin 

kemerdekaan pers, pers nasional memiliki  hak mencari, memperoleh, dan 

menyebarluaskan gagasan dan informasi. Fungsi Pers dalam negara hukum dan 

demokrasi yaitu  memenuhi hak warga  untuk mengetahui; menegakkan 

nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak 

asasi manusia, serta menghormati kebinekaan; mengembangkan pendapat umum 

berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; melakukan pengawasan, 

kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan 

umum; serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.155

Kehidupan pers nasional semenjak tahun 1998 atau setelah berakhirnya 

154 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.

155 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.

--  161160    -

kekuasaan Orde Baru, sudah dapat dikatakan sejalan dengan tuntutan negara 

hukum, demokrasi dan hak asasi manusia sebab pers telah menikmati 

kebebasannya dalam memberitakan pelbagai hal, termasuk melakukan 

kritik terhadap pemerintah tanpa diliputi kekhawatiran diberangus (dibredel), 

sebagaimana yang sering terjadi di era Orde Baru.

J. UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN 

HAK ASASI MANUSIA 

Sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak 

Asasi Manusia dibentuk, terlebih dahulu terbit Peraturan Pemerintah Pengganti 

Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 1999. Peraturan ini dibuat sebagai respon 

cepat pemerintahan B.J. Habibie terhadap desakan dunia internasional untuk 

mengusut dan menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada 

masa pemerintahan Soeharto, khususnya pelanggaran hak asasi manusia di Timor 

Timur. Namun, Perppu ini  ditolak oleh DPR dalam sidang paripurna di bulan 

Maret 2000. Alasannya yaitu dianggap secara konstitusional tidak memiliki 

alasan kuat berkaitan dengan kegentingan yang memaksa. Subtansi yang diatur 

dalam Perppu juga dianggap lemah, yaitu kurang mencerminkan rasa keadilan 

sebab tidak berlaku surut (retroaktif), sehingga pelanggaran hak asasi manusia 

yang berat yang dilakukan sebelum Perpu ini disahkan menjadi undang-undang 

tidak tercakup pengaturannya.

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 ini, diharapkan 

dapat melindungi hak asasi manusia, baik perseorangan maupun warga , 

dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan, dan perasaan 

aman baik bagi perorangan maupun warga , terhadap pelanggaran hak 

asasi manusia yang berat.  Selain alasan di atas, pembentukan undang-undang 

ini didasarkan pula pada pertimbangan bahwa pelanggaran hak asasi manusia 

yang berat yaitu kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes).  Dampak yang 

ditimbulkan sangat luas  --baik pada tingkat nasional maupun internasional-- dan 

bukan yaitu tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang 

Hukum Pidana (KUHP). 

--  163162    -

Alasan lainnya yaitu menimbulkan kerugian baik materiil maupun 

immateriil yang memicu  perasaan tidak aman, baik terhadap perseorangan 

maupun warga , sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan 

supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketenteraman, keadilan, 

dan kesejahteraan bagi seluruh warga  negara kita .

Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu pengadilan khusus yang berada 

di lingkungan Pengadilan Umum156, yang berkedudukan di daerah kabupaten 

atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan 

Negeri yang bersangkutan. Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan 

Hak Asasi Manusia berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang 

bersangkutan.157  Kewenenangan Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu memeriksa 

dan memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat158, serta 

berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang 

berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik negara kita  

oleh warga negara negara kita .159  

Pembatasannya yaitu bahwa Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak 

berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia 

yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan 

belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan.160  Pelanggaran hak asasi manusia 

yang berat yang menjadi kewenangan Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah: 

1. Kejahatan genosida;161 

156 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

157 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

158 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

159 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

160 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

161 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000: Kejahatan genosida sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 7 huruf a yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk 

menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, 

kelompok agama, dengan cara : (a) membunuh anggota kelompok; (b) memicu  penderitaan 

fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; (c) menciptakan kondisi kehidupan 

kelompok yang akan memicu  kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; (d) 

memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau (e) 

memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. 

--  163162    -

2. Kejahatan terhadap kemanusian;162

Hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat 

dilakukan berdasarkan ketentuan Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam hal tidak 

ditentukan lain dalam undang-undang ini.163 

Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat 

dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,164 yang dapat membentuk 

tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur 

warga . Sementara penyidikan dilakukan oleh Jaksa Agung,165 yang juga 

dapat mengangkat Penyidik Ad Hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan 

atau warga  . Penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang 

berat dilakukan oleh Jaksa Agung, yang dalam pelaksanaan tugasnya dapat 

mengangkat Penuntut Umum Ad Hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan 

atau warga .166

Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan 

untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan 

pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang 

cukup.167  Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang 

162 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000: Kejahatan terhadap kemanusiaan 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai 

bagian dari serangan yang meluas atau sistematlk yang diketahuinya bahwa serangan ini  

ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: (a) pembunuhan; (b) pemusnahan; (c) 

perbudakan; (d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; (e) perampasan kemerdekaan 

atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) 

ketentuan pokok hukum intemasional; (f) penyiksaan; (g) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran 

secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk 

kekerasaan seksual lain yang setara; (h) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau 

perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis 

kelamin atau alasan lain yang telah di,akui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum 

internasional; (i) penghilangan orang secara paksa; atau (j) kejahatan apartheid.

163 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

164 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

165 Pasal 21 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

166 Pasal 23 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

167 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

--  165164    -

melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan 

dan penuntutan.168 Untuk memeriksa perkara pelanggaran hak asasi manusia 

yang berat dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia yang 

berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan Hak 

Asasi Manusia yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang Hakim Ad Hoc. 169 Acara 

Pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, diperiksa 

dan diputus oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam waktu paling lama 180 

(seratus delapan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan 

Hak Asasi Manusia.170

Dalam undang-undang ini diatur juga bahwa setiap korban dan saksi dalam 

pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan 

mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang 

wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara 

cuma-cuma.171 Terkait pertanggungjawaban, undang-undang menentukan bahwa 

Pasal 42 ayat (1): Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak 

sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana 

yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang dilakukan 

oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, 

atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana 

ini  yaitu akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara 

patut, yaitu172 : 

a. Komandan militer atau seseorang ini  mengetahui atau atas 

dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan 

ini  sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran 

hak asasi manusia yang berat; dan 

b. Komandan militer atau seseorang ini  tidak melakukan tindakan 

yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk 

168 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

169 Pasal 27 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

170 Pasal 31 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

171 Pasal 34 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

172 Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

--  165164    -

mencegah atau menghentikan perbuatan ini  atau menyerahkan 

pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan 

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. 

Begitu pula seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung 

jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang 

dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya 

yang efektif, sebab atasan ini  tidak melakukan pengendalian terhadap 

bawahannya secara patut dan benar, yaitu:173 

a. Atasan ini  mengetahui atau secara sadar mengabaikan 

informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang 

melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia 

yang berat; dan 

b. Atasan ini  tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan 

dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau 

menghentikan perbuatan ini  atau menyerahkan pelakunya 

kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, 

penyidikan, dan penuntutan

K.  UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN 

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa setiap orang berhak 

atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda 

yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari 

ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang yaitu hak 

asasi.  Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, menyatakan bahwa  setiap orang berhak 

mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan 

manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. 

Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari 

segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, sebab 

173 Pasal 42  ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

--  167166    -

yaitu pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat 

kemanusiaan yang harus dihapus. Lebih-lebih korban kekerasan dalam rumah 

tangga kebanyakan yaitu perempuan dan anak, yang harus mendapat 

perlindungan dari negara dan/atau warga  agar terhindar dan terbebas 

dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang 

merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. 

Dewasa ini tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran 

rumah tangga acapkali terjadi. Dengan demikian, dibutuhkan perangkat hukum 

yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan 

dalam rumah tangga yang dirumuskan oleh undang-undang ini yaitu setiap 

perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya 

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau 

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, 

pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam 

lingkup rumah tangga.174

Pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau 

tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan 

dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. 

Pembaruan hukum ini  diperlukan sebab undang-undang yang ada belum 

memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum warga . 

Oleh sebab itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam 

rumah tangga secara tersendiri sebab memiliki  kekhasan, walaupun secara 

umum di dalam KUHP telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta 

penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan.

Asas dan tujuan dari penghapusan kekerasan dalam rumah tangga 

yaitu penghormatan hak asasi manusia; keadilan dan kesetaraan gender;  non-

diskriminasi; serta perlindungan korban. Undang-undang juga menjamin hak-hak 

korban untuk mendapatkan: 

1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, 

advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun 

174 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.

--  167166    -

berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; 

2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; 

3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;  

4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap 

tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan 

perundang-undangan; dan 

5. Pelayanan bimbingan rohani.175

Undang-undang ini mencantumkan ketentuan pidana sebagai berikut:

Pasal 44

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup 

rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana 

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling 

banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). 

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memicu  

korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana 

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 

30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). 

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memicu  

matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima 

belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh 

lima juta rupiah). 

(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh 

suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit 

atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian 

atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 

(empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). 

Pasal 45 

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup 

rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana 

175 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.

--  169168    -

dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak 

Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah). 

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh 

suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit 

atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian 

atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 

(empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah). 

Pasal 46 

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 

12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh 

enam juta rupiah). 

Pasal 47 

Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya 

melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf 

b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan 

pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit 

Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 

300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 

Pasal 48 

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 

memicu  korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan 

sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-

kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak 

berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau memicu  

tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling 

singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun 

atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan 

denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

--  169168    -

Pasal 49 

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling 

banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a. 

menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); b. menelantarkan orang lain sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2). 

Pasal 50 

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan 

pidana tambahan berupa: a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan 

untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun 

pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; b. penetapan pelaku mengikuti 

program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. 

Pasal 51 

Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat 

(4) yaitu delik aduan. 

Pasal 52 

Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat 

(2) yaitu delik aduan. 

Pasal 53 

Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang 

dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yaitu delik aduan.

 

L.  UNDANG-UNDANG NOMOR 12  TAHUN 200 6  TENTANG 

KEWARGANEGARAAN REPUBLIK negara kita 

Hak kewarganegaraan yaitu salah satu hak asasi manusia yang 

diatur dalam Pasal 28D ayat 4 dan Pasal 15 ayat (1) Deklarasi Universal 

Hak Asasi Manusia yang tegas menyebutkan,   setiap orang berhak atas 

sesuatu kewarganegaraan. sebab itulah, hukum hak asasi manusia tentang 

kewarganegaraan di banyak negara, termasuk di negara kita , terus diperbaiki 

sejalan dengan tuntutan yang menempatkan status kewarganegaraan sebagai 

hak asasi manusia. 

--  171170    -

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang 

Kewarganegaraan, dipaparkan bahwa warga negara yaitu salah satu unsur 

hakiki dan unsur pokok suatu negara. Status kewarganegaraan menimbulkan 

hubungan timbal balik antara warga negara dan negaranya. Setiap warga 

negara memiliki  hak dan kewajiban terhadap negaranya. Sebaliknya, negara 

memiliki  kewajiban memberi  perlindungan terhadap warga negaranya. 

Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik negara kita , ihwal kewarganegaraan 

diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan 

Penduduk Negara. Peraturan ini  kemudian diubah dengan Undang-Undang 

Nomor 6 Tahun 1947 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 

1946 dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1947 tentang 

Memperpanjang Waktu untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan 

Kewargaan Negara negara kita  dan Undang-Undang No. 11 Tahun 1948 tentang 

Memperpanjang Waktu Lagi untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan 

Kewargaan Negara negara kita . 

Selanjutnya diatur dengan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 

tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang 

Kewarganegaraan Republik negara kita . Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 

ini  secara filosofis, yuridis, dan sosiologis sudah tidak sesuai lagi dengan 

perkembangan warga  dan ketatanegaraan bangsa negara kita . Secara 

filosofis, undang-undang ini  masih mengandung ketentuan-ketentuan yang 

belum sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain: 

1. Bersifat diskriminatif; 

2. Kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antarwarga 

negara, serta; 

3. Kurang memberi  perlindungan terhadap perempuan dan anak-

anak. 

Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan undang-undang 

ini  yaitu UUDS Tahun 1950 yang sudah tidak berlaku sejak Dekrit 

--  171170    -

Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada UUD 1945. Dalam 

perkembangannya, UUD 1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin 

perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak warga negara. Secara 

sosiologis, undang-undang ini  sudah tidak sesuai dengan perkembangan 

dan tuntutan warga  negara kita  sebagai bagian dari warga  internasional 

dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dan 

kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan 

gender. Pengaturan Kewarganegaraan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 

2006 didasarkan pada asas: 

1. Perlindungan maksimum yang menentukan bahwa pemerintah 

wajib memberi  perlindungan penuh kepada setiap warga negara 

negara kita  dalam keadaan apapun baik di dalam maupun di luar 

negeri; 

2. Persamaan di dalam hukum dan pemerintahan yaitu asas yang 

menentukan bahwa setiap warga negara negara kita  mendapatkan 

perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan; 

3. Non diskriminatif yaitu asas yang tidak membedakan perlakuan 

dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara 

atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender; 

4. Pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yaitu 

alas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga 

negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi 

manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 jauh lebih baik dalam mengatur 

status kewarganegaraan sebagai hak asasi manusia, setidak-tidaknya ketentuan 

tentang siapa saja yang bisa menjadi warganegara negara kita  lebih terbuka di 

banding peraturan sebelumnya. Pasal 4 menyebutkan bahwa warga negara 

negara kita  adalah: 

1. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/

atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik negara kita  dengan 

--  173172    -

negara lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi warga 

negara negara kita ; 

2. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan 

ibu warga negara negara kita ; 

3. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga 

negara negara kita  dan ibu warga negara asing; 

4. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga 

negara asing dan ibu warga negara negara kita ; 

5. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu warga 

negara negara kita , tetapi ayahnya tidak memiliki  kewarganegaraan 

atau hukum negara asal ayahnya tidak memberi  kewarganegaraan 

kepada anak ini ; 

6. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah 

ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya 

warga negara negara kita ; 

7. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga 

negara negara kita ; 

8. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga 

negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga negara negara kita  

sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak ini  

berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin; 

9. Anak yang lahir di wilayah negara Republik negara kita  yang pada 

waktu lahir tidak belas status kewarganegaraan ayah dan ibunya; 

10. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik 

negara kita  selama ayah dan ibunya tidak diketahui; 

11. Anak yang lahir di wilayah negara Republik negara kita  jika  ayah 

dan ibunya tidak memiliki  kewarganegaraan atau tidak diketahui 

keberadaannya; 

12. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik negara kita  

dari seorang ayah dan ibu warga negara negara kita  yang sebab 

ketentuan dari negara tempat anak ini  dilahirkan memberi  

--  173172    -

kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan; 

13. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan 

kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia 

sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

Pasal 5 ayat (1) menyebutkan, “anak warga negara negara kita  yang lahir 

di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum 

kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap 

diakui sebagai warga negara negara kita .” Ayat selanjutnya, dinyatakan bahwa, 

“anak warga negara negara kita  yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara 

sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan 

tetap diakui sebagai warga negara negara kita .” 

Dalam hal status Kewarganegaraan Republik negara kita  terhadap anak 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf 1, dan Pasal 

5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, maka setelah berusia, 18 (delapan 

belas) tahun atau sudah kawin anak ini  harus menyatakan memilih salah 

satu kewarganegaraannya. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan dibuat 

secara tertulis dan disampaikan kepada pejabat dengan melampirkan dokumen 

sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.

Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan disampaikan dalam waktu 

paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau 

sudah kawin.176 Di samping itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 memuat 

beberapa pasal ketentuan pidana, yaitu: 

Pasal 36

(1) Pejabat yang sebab kelalaiannya melaksanakan tugas dan kewajibannya 

sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini sehingga memicu  

seseorang kehilangan hak untuk memperoleh atau memperoleh kembali 

dan/atau kehilangan Kewarganegaraan Republik negara kita  dipidana dengan 

pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. 

176 Pasal 6 ayat (1, 2, 3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 

--  175174    -

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan 

sebab kesengajaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) 

tahun. 

Pasal 37

(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberi  keterangan palsu, 

termasuk keterangan di atas sumpah, membuat surat atau dokumen palsu, 

memalsukan surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau 

menyuruh memakai keterangan atau surat atau dokumen yang dipalsukan 

untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik negara kita  atau memperoleh 

kembali Kewarganegaraan Republik negara kita  dipidana dengan pidana 

penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun 

dan denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta 

rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

(2) Setiap orang yang dengan sengaja memakai keterangan palsu, 

termasuk keterangan di atas sumpah, membuat surat atau dokumen palsu, 

memalsukan surat atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling 

lama 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua 

ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu 

miliar rupiah). 

Pasal 38

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dilakukan 

korporasi, pengenaan pidana dijatuhkan kepada korporasi dan/atau 

pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi.

(2) Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana 

denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan 

paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan dicabut izin 

usahanya. 

(3) Pengurus korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan 

pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun 

dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan 

--  175174    -

paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

M.  UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN 

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Dalam konsideran Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dijelaskan bahwa, 

“setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hak-hak asasi 

sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undang-

undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik 

negara kita  Tahun 1945, sebab itu tindakan perdagangan orang, khususnya 

perempuan dan anak, bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan 

melanggar hak asasi manusia, sehingga harus diberantas.”

Begitu juga dalam bagian penjelasan undang-undang ini , dijelaskan 

dengan rinci bahwa perdagangan orang yaitu bentuk modern dari perbudakan 

manusia, serta salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan 

martabat manusia. Maraknya perdagangan orang di berbagai negara, termasuk 

negara kita  dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi 

perhatian negara kita  sebagai bangsa, warga  internasional, dan anggota 

organisasi internasional, terutama PBB.  

Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak yaitu kelompok 

yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban 

diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi 

seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja 

paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu.  

Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, 

pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, 

menjerumuskan, atau memanfaatkan orang ini  dalam praktik eksploitasi 

dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, 

penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, 

atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang 

yang memegang kendali atas korban. 

--  177176    -

Bentuk-bentuk eksploitasi meliputi kerja paksa atau pelayanan paksa, 

perbudakan, dan praktik-praktik serupa perbudakan, kerja paksa atau pelayanan 

paksa yaitu kondisi kerja yang timbul melalui cara, rencana, atau pola yang 

dimaksudkan agar seseorang yakin bahwa jika ia tidak melakukan pekerjaan 

tertentu, maka ia atau orang yang menjadi tanggungannya akan menderita baik 

secara fisik maupun psikis. 

Perbudakan yaitu kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. 

Praktik yang serupa dengan perbudakan yaitu tindakan menempatkan seseorang 

dalam kekuasaan orang lain dimana orang ini  tidak mampu menolak 

suatu pekerjaan yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu 

kepadanya, walaupun orang ini  tidak menghendakinya. 

Tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, 

telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun 

tidak terorganisasi. Tindak pidana perdagangan orang bahkan melibatkan 

tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelenggara negara yang 

menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak pidana 

perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar wilayah dalam 

negeri tetapi juga antar negara. 

Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada dasarnya telah 

diatur dalam  Pasal 297 KUHP. Disana diatur larangan perdagangan wanita dan 

anak laki-laki belum dewasa dan mengkualifikasikan tindakan ini  sebagai 

kejahatan. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan 

Anak, menentukan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak 

untuk diri sendiri atau untuk dijual. Namun, ketentuan KUHP dan undang-undang 

ini  tidak merumuskan pengertian perdagangan orang yang tegas secara 

hukum. Di samping itu, Pasal 297 KUHP memberi  sanksi yang terlalu ringan 

dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan 

perdagangan orang. 

Oleh sebab itu, diperlukan undang-undang khusus tentang tindak pidana 

perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hukum materiil dan formil 

sekaligus. Untuk tujuan ini , undang-undang khusus ini mengantisipasi dan 

--  177176    -

menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi 

yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang, baik yang dilakukan 

antar wilayah dalam negeri maupun secara antar negara, dan baik oleh pelaku 

perorangan maupun korporasi.

Undang-undang ini mengatur perlindungan saksi dan korban sebagai 

aspek penting dalam penegakan hukum, yang dimaksudkan untuk memberi  

perlindungan dasar kepada korban dan saksi. Selain itu, juga memberi  

perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana 

perdagangan orang. Bentuk perhatian itu yaitu  hak restitusi yang harus 

diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian 

bagi korban, dan mengatur juga hak korban atas rehabilitasi medis dan sosial, 

pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara, khususnya bagi 

mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana 

perdagangan orang.

Penyusunan undang-undang ini juga yaitu perwujudan komitmen 

negara kita  untuk melaksanakan Protokol PBB Tahun 2000 tentang Mencegah, 

Memberantas dan Menghukum Tindak Pidana Perdagangan Orang, Khususnya 

Perempuan dan Anak (Protokol Palermo)177 yang telah ditandatangani Pemerintah 

negara kita . 

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dijelaskan 

bahwa yang dimaksud dengan perdagangan orang yaitu tindakan perekrutan, 

pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan 

seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, 

penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, 

penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh 

persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain ini , baik 

yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi 

177 Protokol untuk Pencegahan, Penekanan dan Penghukuman Perdagangan Manusia, 

Khususnya Perempuan dan Anak, Melengkapi Konvensi PBB terhadap Kejahatan Transnasional yang 

Terorganisir Ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 15 Nopember 

2000, yang diberlakukan pada tanggal 25 Desember 2003, dan disahkan dengan Undang-Undang 

Nomor 14 Tahun 2009.

--  179178    -

atau memicu  orang tereksploitasi.

Cakupan tindakan perdagangan orang yang ditentukan dalam undang-

undang ini yaitu eksploitasi, eksploitasi seksual, perekrutan, pengiriman, 

kekerasan dan ancaman kekerasan. Eksploitasi yaitu tindakan dengan atau 

tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja 

atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, 

pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan 

hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh 

atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk 

mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.178 

Eksploitasi seksual yaitu segala bentuk pemanfaatan organ tubuh 

seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, 

termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.179 

Perekrutan yaitu tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, 

atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya.180 Pengiriman 

yaitu tindakan memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu 

tempat ke tempat lain.181 Kekerasan yaitu setiap perbuatan secara melawan 

hukum, dengan atau tanpa memakai sarana terhadap fisik dan psikis yang 

menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya 

kemerdekaan seseorang182. Ancaman kekerasan yaitu setiap perbuatan secara 

melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, 

baik dengan atau tanpa memakai sarana yang menimbulkan rasa takut atau 

mengekang kebebasan hakiki seseorang.183

Korban-korban perdagangan orang ini , selain mendapatkan 

perlindungan hukum berupa pemidanaan terhadap pelaku, juga memperoleh 

restitusi dan rehabilitasi. Restitusi yaitu pembayaran ganti kerugian yang 

178 Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. 

179 Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

180 Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

181 Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

182 Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

183 Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

--  179178    -

dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan 

hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau 

ahli warisnya.184 Sementara rehabilitasi yaitu pemulihan dari gangguan terhadap 

kondisi fisik, psikis, dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara 

wajar baik dalam keluarga maupun dalam warga .185

Sanksi pidana terhadap kejahatan ini diatur sebagai berikut

Pasal 19

Setiap orang yang memberi  atau memasukkan keterangan palsu pada 

dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau 

dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan 

orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling 

lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat 

puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 280.000.000,00 (dua ratus delapan 

puluh juta rupiah). 

Pasal 20

Setiap orang yang memberi  kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu 

atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di 

sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana 

penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana 

denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling 

banyak Rp 280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah). 

Pasal 21

(1) Setiap orang yang melakukan penyerangan fisik terhadap saksi atau 

petugas di persidangan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, 

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling 

lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 

(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus 

juta rupiah).

184 Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

185 Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.

--  181180    -

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memicu  saksi 

atau petugas di persidangan luka berat, maka pelaku dipidana dengan 

pidana penjara