hukum internasional 2

 



pemberontakan ini dapat langsung 

diatasi oleh militer Peru. Selanjutnya, pada tanggal 4 Oktober 1948, Presiden Peru 

mengeluarkan keputusan bahwa pemberontakan ini  didalangi oleh American 

People‟s Revolutionary Alliance (APRA) yang dipimpin oleh Victor Raul Haya de la 

Torre. Kemudian Victor Raul Haya de la Torre melarikan diri ke Columbia untuk 

meminta suaka pada Pemerintahan Colombia.  

Pemerintah Peru tidak menyetujui pemberian suaka ini , sebab  

menurut Peru, Victor bukanlah seseorang yang layak untuk dilindungi yang hanya 

sekadar buangan politik dan telah melakukan aksi kejahatan. Peru melakukan 

protes kepada Colombia dengan menyatakan bahwa dalam hukum kebiasaan 

Amerika Latin, suaka tidak dapat diberikan kepada seseorang yang telah 

melakukan kejahatan, sedang  Colombia menyebutkan bahwa pemberian 

suaka yaitu  sudah merupakan praktik umum negara-negara.  

Atas peristiwa ini kemudian Peru membawa kasus ini ke Mahkamah 

Internasional, yang kemudian Mahkamah Internasional memutuskan bahwa klaim 

Colombia berdasar  kebiasaan internasional tidak terbukti. Dalam analisisnya, 

Mahkamah Internasional mensyaratkan bahwa negara yang mendasarkan 

argumentasinya pada kebiasaan internasional harus membuktikan bahwa 

tindakannya telah mengikat pihak lain dan dilakukan secara konstan serta 

seragam. Fakta yang terjadi justru sebaliknya, Peru melakukan protes atas 

tindakan Kolombia ini , selain itu praktik pemberian suaka juga tidak seragam 

di wilayah Amerika Latin. 

berdasar  Peruvian–Colombian Asylum Case87, Mahkamah telah 

mempertimbangkan berbagai kebiasaan yang bersifat lokal yang terkandung di 

dalam praktek hubungan internasional beberapa negara atau bahkan praktek 

yang dilakukan hanya oleh dua negara. Sekalipun Pasal 38 ayat (1) Statuta 

                                                           

Mahkamah menyebutkan kata “a general practice”, namun Mahkamah telah 

memberikan tempat terhadap berbagai kebiasaan yang bersifat local atau 

regional. Mahkamah mendefinisikan customs sebagai kebiasaan yang bersifat 

sama dan tetap atau terus-menerus (constant and uniform usage), yang diterima 

sebagai hukum (accepted as law), baik kebiasan yang bersifat lokal maupun 

umum dipakai  dalam kehidupan masyarakat internasional. Kebiasaan (usage) 

menurut Mahkamah yaitu  kebiasaan yang dipakai  di dalam praktek 

kehidupan negara-negara. Komisi Hukum Internasional (International Law 

Commission-ILC) memasukkan komponen berikut sebagai bagian dari praktek 

negara-negara, yaitu: treaties, decisions of international and national courts, 

national legislation, diplomatic correspondence, opinions of national legal advisers 

and the practice of international organization.88 Sementara Ian Brownlie 

memasukkan kedalam praktek negara-negara itu, antara lain: policy statements, 

press releases, official manuals on legal questions, executive decisions and 

practices, and comments on drafts produced by the ILC. 

 

4.3.3. Unsur Psikologis 

Unsur penerimaan sebagai hukum mengandung makna bahwa kebiasaan 

itu merupakan perbuatan dalam rangka memenuhi suruhan kaedah atau 

kewajiban hukum (opinion juris sive necessitates). Secara praktis, penerimaan 

demikian itu oleh suatu negara ditunjukkan dalam bentuk tindakan menerima atau 

negara-negara yang bersangkutan tidak menyatakan keberatan. Keberatan itu 

dapat dinyatakan melalui saluran diplomatik atau saluran hukum, contoh  

Mahkamah. Beberapa contoh ketentuan hukum internasional yang terbentuk 

melalui proses kebisaan, contoh : pemakaian  bendera putih sebagai bendera 

parlementer, yaitu bendera yang memberi perlindungan terhadap utusan yang 

dikirim untuk mengadakan hubungan dengan pihak musuh di dalam keadaan 

perang; hukum perlakuan tawanan perang dalam peristiwa perang. Disamping 

banyak kebiasaan internasional yang diterima sebagai hukum, ada  juga 

kebiasaan internasional yang ditinggalkan oleh masyarakat internasional, seperti 

contoh  praktek Jerman menenggelamkan kapal musuh dengan cara menembak 

                                                           

tanpa pemberitahuan terlebih dahulu dan tanpa memberikan kesempatan kepada 

pihak kapal untuk menyelamatkan diri.  

Kebiasaan internasional yang berkembang menjadi hukum dan kebiasaan 

internasional yang ditinggalkan sebagai kebiasaan umumnya didasarkan 

pertimbangan keadilan dan kepatutan di dalam kehidupan masyarakat 

internasional. Kebiasaan internasional yang diterima sebagai hukum, umumnya 

sebab  dinilai memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan. sedang , 

kebiasaan yang semula ada dan dipraktekkan, tetapi kemudian ditinggalkan, 

umumnya sebab  dinilai bertentangan dengan hukum, contoh  hukum perang 

yang berlaku di laut. 

 

4.4. Prinsip-Prinsip Hukum Umum 

Prinsip-prinsip hukum umum yaitu  prinsip-prinsip hukum yang mendasari 

sistem hukum modern, tidak terbatas hanya pada azas-azas hukum internasional, 

melainkan azas-azas hukum pada umumnya, seperti: azas itikad baik (bona 

fides), azas pacta sunt servanda, azas penyalahgunaan hak (abuse of rights), dll. 

Sistem hukum modern yaitu  sistem hukum positif. Sistem hukum ini merupakan 

sistem hukum Barat yang berpijak pada sistem hukum Romari. Prinsip-prinsip 

hukum itu terkandung di dalam sistem hukum Romawi yang dibawa oleh bangsa-

bangsa Barat di dalam proses imperialism dan kolonialisme bangsa-bangsa Eropa 

Barat ke sebagian besar permukaan bumi. Pencantuman prinsip-prinsip hukum 

umum sebagai sumber hukum formal bertujuan untuk memberikan dasar kepada 

hakim Mahkamah untuk mengagali hukum dalam memustus perkara yang 

dihadapkan kepadanya dan membuat hakim menerima setiap perkara yang 

diajukan kepadanya. Hakim tidak dapat menyatakan dirinya tidak dapat 

menangani perkara sebab  alasan tidak tersedianya hukum (non-liquet).89  

Menurut Schwarzenberger, suatu prinsip hukum dapat dikualifikasikan 

sebagai prinsip hukum umum, berdasar  Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah, 

bila memenuhi tiga persyaratan: 

(1) harus merupakan prinsip hukum umum yang dapat dibedakan dengan 

ketentuan hukum yang bersifat terbatas atau sangat sempit (it must be a 

                                                           

general principle of law as distinct from a legal rule of more limited 

functional scope); 

(2) harus diakui oleh bangsa-bangsa beradab, yang berbeda dengan 

masyarakat barbar (it must be recognized by civilized nations as distinct 

from barbarous or savage communities);  

(3) harus merupakan praktek dari beberapa negara dalam jumlah yang wajar, 

dan merupakan bagian dari sistem hukum sebagai pembentuk sistem 

hukum dunia (it must share by a fair number of civilized nations, and it is 

arguable that these must include at least the principal legal sistems of the 

world). 

sebab  itu, praktek berulang-ulang dari suatu kebiasaan di dalam 

wilayah suatu negara belum dapat dikategorikan sebagai sebagai kebiasaan 

yang berlaku diseluruh dunia sampai kebiasaan itu dikaui sebagai kebiasaan di 

dalam penyelesaian suatu kasus tertentu. Penentuan suatu kebiasaan sebagai 

kebiasaan internasional yang diterima sebagai hukum harus diuji secara 

tersendiri dalam setiap kasus, kecuali kebiasaan itu telah diakui, diterima, dan 

berlaku secara umum dalam pergaulan masyarakat internasional.90 

 

4.5. Putusan Pengadilan dan Ajaran Penulis Terkemuka 

Putusan pengadilan dikategorikan sebagai sumber hukum tambahan 

(subsidiary source), di samping sumber hukum utama (primary source). Putusan 

pengadilan dipakai  sebagai dasar untuk membuktikan adsanya kaedah hukum 

internasional berkenaan dengan suatu permasalahan yang timbul dari akibat 

penerapan sumber hukum primer, seperti perjanjian internasional, kebiasaan 

hukum internasional, dan azas-azas hukum umum. Sistem hukum internasional 

tidak mengenal azas putusan pengadilan yang mengikat (rule of binding 

precedent). Pasal 59 Statuta Mahkamah menentukan bahwa: 

“The decision of the Court has no binding force except between the 

parties and in respect of that particular case.” 

Pengertian kata „pengadilan‟ sebagaimana diatur di dalam Pasal 38 ayat (1) 

Statuta Mahkamah mencakup pengadilan secara keseluruhan, baik badan 

peradilan internasional maupun nasional, termasuk mahkamah dan arbitrase.


Pendapat para ahli hukum internasional terkemuka berkenaan dengan 

pendapat-pendapat mereka dalam hasil penelitian mereka, publikasi, maupun 

dalam kaitan dengan kedudukan mereka sebagai tim kodifikasi dalam berbagai 

tim kerja hukum internasional seperti: International Law Association, Institute de 

Dorit International, termasuk tim kerja hukum dalam berbagai organisasi non-

pemerintah dari para ahli demikian itu. 

  

4.6. Resolusi Majelis Umum PBB 

Majelis Umum PBB memegang peran penting dalam pengembangan hukum 

internasional. Lembaga ini menyamai peran legislatif di dalam sistem pemerintah 

domestic negara-negara. Profesor Mochtar Kusumaatmadja menyebut peran 

Majelis demikian itu sebagai quasi legislative. Majelis dengan jumlah anggota 

120an negara dalam menerbitkan berbagai produk hukum Majelis, seperti: 

Resolusi, Charter, dan Deklarasi, yang berkenaan dengan berbagai persoalan 

politik, ekonomi, social dan kebudayaan mengakibatkan produk hukum Majelis itu 

menjadi semacam pendapat umum (communis opinio) yang berpengaruh besar 

terhadap berbagai produk hukum negara-negara dan relevan dirujuk sebagai 

sumber hukum internasional.

 

4.7. Kodifikasi dan Perkembangan Progresif Hukum Internasional 

Sejak abad ke-19, kodifikasi hukum internasional merupakan kegiatan yang 

dilakukan oleh baik badan publik maupun perdata internasional. Kegiatan ini 

merupakan kelanjutan dari keberhasilan yang telah dicapai sebelum Perang Dunia 

I, seperti capaian dalam bentuk Hague Convention 1899 dan 1907, sebagai hasil 

dari Hague Conference tentang the law of war and neutrality. Diantara Perdang 

Dunia I dan Perang Dunia II, the League of Nations mendorong penyelenggaraan 

suatu Codofication Conference di The Hague (1930) yang mengkaji masalah 

kewarganegaraan (nationality), perairan territorial (territorial waters), dan tanggung 

jawab negara (state responsibility). Konferensi ini  menyisakan kekecewaan, 

sebab  hanya berakhir dengan satu keberhasilan, yaitu berkenaan dengan 

masalah kewarganegaraan.  

                                                           

Pada tahun 1946, Majelis Umum PBB, berdasar  Pasal 13 Piagam PBB, 

membentuk International Law Commission (ILC) yang diberi tugas meningkatkan 

usaha pengembangan yang cepat (progressive development) dan 

pengkodifikasian (codification) hukum internasional. Pengembangan huhukum 

internasional yang progresif yaitu  pengembangan berbagai draft hukum 

internasional yang belum ada sebelumnya atau rancangan hukum internasional 

yang belum selesai. sedang  yang dimaksud dengan kodifikasi yaitu  

sistematisasi dan formulasi hukum internasional secara lebih baik, terutama pada 

bidang-bindang yang telah terisi oleh praktek negara-negara, preseden, dan 

doktrin yang telah berkembang secara luas.93   

Berbagai konvensi yang saat ini berlaku merupakan produk dari ILC, 

seperti: Geneva Convention on the Law of the Sea 1958, Vienna Convention on 

Diplomatic Relation 1961, Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, dan  

Vienna Convention on Succession of State in Respect of Treaties 1978. ILC telah 

menyiap draft dari berbagai Konvensi itu, kemudian draft itu dibahas di dalam 

berbagai Konferensi yang diselenggarakan oleh Majelis Umum PBB, untuk 

selanjutnya melalui Konferensi itu ditetapkan sebagai Konvensi. Beberapa hasil 

lain dari hasil kerja ILC, antara lain: Draft Declaration on Rights and Duties of 

States (1949), the Principles of International Law sebagaimana diatur di dalam the 

Charter of the Nurnberg Tribunal dan di dalam the Judgement of the Tribunal 

(1950), Draft Code of Offence against the Peace and Security of Mankind (1954), 

dan Model Rules on Arbitration Procedure (1958).

individu atau badan/lembaga yang memiliki kewenangan kepada orang 

atau masyarakat di dalam sebuah Negara yang berwenang atas mereka). 

Menurutnya hukum internasional itu bukanlah hukum yang sebenarnya 

melainkan hanya moralitas internasional positif (positive international morality) 

yang dapat disamakan dengan kaidah-kaidah yang mengikat suatu kelompok atau 

masyarakat.99 Pendapat Austin ini  terbantahkan oleh dua hal100: 

- Pertama, tidak adanya badan pembuat atau pembentuk hukum bukanlah 

berarti tidak ada hukum. contoh  hukum adat; 

- Kedua, harus dibedakan antara persoalan ada-tidaknya hukum dan ciri-ciri 

efektifnya hukum. Tidak adanya lembaga-lembaga yang diasosiasikan 

dengan hukum dalam tubuh hukum internasional (eksekutif, legislatif, 

kehakiman, kepolisian, dsb) yaitu  ciri-ciri atau pertanda bahwa hukum 

internasional belum efektif tetapi bukan berarti bahwa hukum internasional 

itu tidak ada. 

Mengenai bantahan ini, J. G. Starke menambahkan bahwa “persoalan-

persoalan hukum internasional senantiasa diperlakukan sebagai persoalan-

persoalan hukum oleh kalangan yang menangani urusan internasional dalam 

berbagai Kementerian Luar Negeri  atau melalui berbagai badan administrasi 

internasional.” 

4.1.2. Teori-teori Dasar Kekuatan Mengikat Hukum Internasional 

 Pada kenyataannya hukum internasional tidak memiliki lembaga legislatif, 

eksekutif, yudisial, maupun kepolisian tetapi pada kenyataannya pula hukum 

internasional itu mengikat, maka timbul pertanyaan: mengapa hukum internasional 

itu mengikat? Apa yang menjadi dasar mengikatnya hukum internasional? 

 Dalam hubungan ini telah timbul beberapa teori atau ajaran yang mencoba 

memberikan landasan pemikiran tentang mengikatnya hukum internasional, yaitu 

(1) Mazhab atau Ajaran Hukum Alam; (2) Mazhab atau Ajaran Hukum Positif; dan 

(3) Mazhab Perancis. 

 

(1) Mazhab/Ajaran Hukum Alam. 

 Menurut Mazhab Hukum Alam, hukum internasional mengikat sebab  ia 

yaitu  bagian dari “hukum alam” yang diterapkan dalam kehidupan bangsa-bangsa. Negara-negara tunduk atau terikat kepada hukum internasional dalam 

hubungan antar mereka sebab  hukum internasional itu merupakan bagian dari 

hukum yang lebih tinggi, yaitu “hukum alam”. Tokoh-tokoh dari mazhab ini, antara 

lain, Hugo Grotius (Hugo de Groot), Emmeric Vattel, dll. 

 Kontribusi terbesar mazhab hukum alam bagi hukum internasional yaitu  

bahwa ia memberikan dasar-dasar bagi pembentukan hukum yang ideal. Dalam 

hal ini, dengan menjelaskan bahwa konsep hidup bermasyarakat internasional 

merupakan keharusan yang diperintahkan oleh akal budi (rasio) manusia, mazhab 

hukum alam sesungguhnya telah meletakkan dasar rasionalitas bagi pentingnya 

hidup berdampingan secara tertib dan damai antar bangsa-bangsa di dunia ini 

walaupun mereka memiliki asal-usul keturunan, pandangan hidup, dan nilai-nilai 

yang berbeda-beda. 

 “that „natural‟ obligations of justice became not those of divine law but 

essentially what is necessary for subsistence and self-preservation. Others 

have focused on consent as the key to the binding nature of international 

law. Norms are binding because state consent that they should be.” 103 

(Terjemahan bebas: Kewajiban alami dari keadilan bukanlah hukum Tuhan 

tetapi yang penting untuk penghidupan dan pemeliharaan diri sendiri. Yang 

lainnya difokuskan pada persetujuan sebagai kunci daya ikat hukum 

internasional. Norma-norma mengikat sebab  persetujuan Negara memang 

seharusnya begitu). 

 Meskipun demikian, ia juga mengandung kelemahan yang cukup mendasar 

yaitu tidak jelasnya apa yang dimaksud dengan “hukum alam” itu. Akibatnya, 

pengertian tentang hukum alam itu menjadi sangat subjektif, bergantung pada 

penafsiran masing-masing orang atau ahli yang menganjurkannya.  

 

(2) Mazhab Hukum Positif 

 Ada beberapa mazhab yang termasuk ke dalam kelompok Mazhab Hukum 

Positif, yaitu: 

a. Mazhab atau Teori Kehendak Negara atau Teori Kedaulatan Negara; 

b. Mazhab atau Teori Kehendak Bersama Negara-negara; 

c. Mazhab Wina (Vienna School of Thought). 

                                                           

a. Mazhab/Teori Kehendak Negara. 

 Mazhab ini bertolak dari teori kedaulatan negara. Secara umum inti dari 

mazhab ini yaitu  sebagai berikut: oleh sebab  negara yaitu  pemegang 

kedaulatan, maka negara yaitu  juga sumber dari segala hukum. Hukum 

internasional itu mengikat negara-negara sebab  negara-negara itu atas kehendak 

atau kemauannya sendirilah tunduk atau mengikatkan diri kepada hukum 

internasional.  

 Bagi mazhab ini, hukum internasional itu bukanlah sesuatu yang lebih tinggi 

dari kemauan negara (hukum nasional) tetapi merupakan bagian dari hukum 

nasional (c.q. hukum tata negara) yang mengatur hubungan luar suatu negara 

(auszeres Staatsrecht). Para pemuka mazhab ini, antara lain, Georg Jellinek, 

Zorn, dll.  

 Kritik dan sekaligus kelemahan dari ajaran ini yaitu  bahwa ajaran ini tidak 

mampu menjelaskan bagaimana jika negara-negara itu secara sepihak 

menyatakan tidak mau lagi terikat kepada hukum internasional, apakah dengan 

demikian hukum internasional ini  tidak lagi mengikat? 

Ajaran ini juga tidak mampu menjelaskan negara-negara yang baru lahir sudah 

langsung terikat oleh hukum internasional terlepas dari mereka setuju atau tidak? 

 

b. Mazhab atau Teori Kehendak Bersama Negara-negara. 

 Mazhab ini berusaha untuk menutup kelemahan Mazhab/Teori Kehendak 

Negara sebagaimana telah dikemukan di atas. Menurut mazhab ini, hukum 

internasional itu mengikat bukan sebab  kehendak negara-negara secara sendiri-

sendiri melainkan sebab  kehendak bersama negara-negara itu di mana kehendak 

bersama ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan kehendak negara secara 

sendiri-sendiri. Dikatakan pula oleh mazhab ini bahwa, berbeda halnya dengan 

kehendak negara secara sendiri-sendiri, kehendak bersama ini tidak perlu 

dinyatakan secara tegas atau spesifik.  

 Inilah inti dari ajaran Vereinbarungstheorie yang dikemukakan oleh Triepel. 

Melalui ajarannya itu Triepel sesungguhnya berusaha untuk mendasarkan 

teorinya pada cara mengikat hukum kebiasaan internasional.  Maksudnya, dengan 

mengatakan bahwa kehendak bersama negara-negara untuk terikat pada hukum 

internasional itu tidak perlu dinyatakan secara tegas atau spesifik ia 

sesungguhnya bermaksud mengatakan bahwa negara-negara itu telah 

menyatakan persetujuannya untuk terikat secara implisit atau diam-diam (implied).  

 Kendatipun telah berusaha menjawab kritik terhadap kelemahan 

Mazhab/Teori Kehendak Negara, Mazhab/Teori Kehendak Bersama Negara-

negara ini tetap saja mengandung kelemahan, yaitu: 

- Pertama, mazhab ini tidak mampu memberikan penjelasan yang 

memuaskan terhadap pertanyaan: kalaupun negara-negara tidak 

dimungkinkan menarik persetujuan untuk terikat kepada hukum 

internasional secara sendiri-sendiri, bagaimana jika negara-negara ini  

secara bersama-sama menarik persetujuannya untuk tidak terikat pada 

hukum internasional? Apakah dengan demikian berarti hukum internasional 

menjadi tidak ada lagi? 

- Kedua, dengan mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional itu 

pada kehendak negara, maka (seperti halnya pada Mazhab/Teori 

Kehendak Negara) mazhab ini pun sesungguhnya hanya menganggap 

hukum internasional itu hanya sebagai hukum perjanjian antar negara-

negara. Pendapat ini, sebagaimana telah disinggung di atas, telah terbukti 

sebagai pendapat yang tidak benar.  Sebab hukum internasional bukan 

semata-mata lahir dari perjanjian internasional. 

 

c. Mazhab Wina 

 Kelemahan-kelemahan yang melekat pada mazhab-mazhab yang 

meletakkan dasar kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak negara 

(yang kerap juga disebut sebagai aliran voluntaris) melahirkan pemikiran baru 

yang tidak lagi meletakkan dasar mengikat hukum internasional itu pada kehendak 

negara melainkan pada adanya norma atau kaidah hukum yang telah ada terlebih 

dahulu yang terlepas dari kehendak atau tidak oleh negara-negara (aliran 

pemikiran ini kerap disebut sebagai aliran objektivist). Tokoh terkenal dari aliran ini 

yaitu  Hans Kelsen yang mazhabnya dikenal dengan sebutan Mazhab Wina 

(Vienna School of Thought). 

 Menurut Kelsen, ada dan mengikatnya kaidah hukum internasional 

didasarkan oleh ada dan mengikatnya kaidah hukum lain yang lebih tinggi. Ada 

dan mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi itu didasarkan oleh ada dan 

mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya hingga 

sampai pada suatu puncak piramida  kaidah-kaidah hukum yang dinamakan 

kaidah dasar (grundnorm) yang tidak lagi dapat dijelaskan secara hukum 

melainkan harus diterima adanya sebagai hipotesa asal (ursprungshypothese).  

Menurut Kelsen, kaidah dasar dari hukum internasional itu yaitu  prinsip atau 

asas pacta sunt servanda. 

 Kelemahan dari mazhab atau teori ini yaitu  bahwa memang sepintas 

tampak bahwa konstruksi pemikiran mazhab ini tampak logis dalam menerangkan 

dasar mengikatnya hukum internasional. Di sisi lain, mazhab ini tidak dapat 

menerangkan mengapa kaidah dasar (grundnorm) itu sendiri mengikat?  Lagipula, 

dengan mengatakan bahwa kaidah dasar itu sebagai hipotesa, yang merupakan 

sesuatu yang belum pasti, maka berarti pada akhirnya dasar mengikatnya hukum 

internasional digantungkan pada sesuatu yang tidak pasti. Dengan demikian, 

seluruh konstruksi pemikiran yang mulanya tampak logis itu pada akhirnya 

menjadi sesuatu yang menggantung di awang-awang. 

 Lebih jauh lagi, dengan mengatakan bahwa grundnorm itu sebagai 

persoalan di luar hukum atau tidak dapat dijelaskan secara hukum maka berarti 

persoalan tentang dasar mengikatnya hukum internasional akhirnya dikembalikan 

lagi kepada nilai-nilai kehidupan manusia di luar hukum yaitu rasa keadilan dan 

moral – yang berarti sama saja dengan mengembalikan dasar mengikatnya 

hukum internasional itu kepada hukum alam. 

 

(3) Mazhab Perancis 

 Suatu mazhab yang mencoba menjelaskan dasar mengikatnya hukum 

internasional dengan konstruksi pemikiran yang sama sekali berbeda dengan 

kedua mazhab sebelumnya (Mazhab Hukum Alam dan Mazhab Hukum Positif) 

muncul di Perancis. sebab  itu, Mazhab ini dikenal sebagai Mazhab Perancis. 

Pelopornya, antara lain, Leon Duguit, Fauchile, dan Schelle.  

 Dalam garis besarnya, mazhab ini meletakkan dasar mengikatnya hukum 

internasional – sebagaimana halnya bidang hukum lainnya – pada faktor-faktor 

yang mereka namakan “fakta-fakta kemasyarakatan” (fait social), yaitu berupa 

faktor-faktor biologis, sosial, dan sejarah kehidupan manusia. Artinya, dasar 

mengikatnya hukum internasional itu dapat dikembalikan kepada sifat alami 

manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa memiliki hasrat untuk hidup 

bergabung dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. Kebutuhan dan 

naluri sosial manusia sebagai individu itu juga dimiliki oleh negara-negara atau 

bangsa-bangsa (yang merupakan kumpulan manusia). Dengan kata lain, menurut 

mazhab ini, dasar mengikatnya hukum internasional itu, sebagaimana halnya 

dasar mengikatnya setiap hukum, ada  dalam kenyataan sosial yaitu pada 

kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat. 

 

. Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional 

. Paham Monisme dan Dualisme

  Secara umum ada  dua paham besar mengenai keberlakukan hukum 

internasional, yaitu paham voluntarisme (voluntarism) dan paham objektivisme 

(objectivism).105 Paham voluntarisme memandang bahwa berlakunya hukum 

internasional terletak pada kemauan negara, artinya negara yang bersangkutanlah 

yang menentukan apakah akan tunduk dan mematuhi hukum internasional 

ataukah tidak, oleh sebab  itu maka munculah paham dualisme. Beberapa sarjana 

menyebut paham dualisme ini sebagai paham pluralistic106, sebab  menurut 

penganut paham ini hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional 

melibatkan beberapa  besar sistem hukum domestik, namun demikian menurut 

Starke hal ini membingungkan dan tidak tepat.107 

 Paham dualisme yang dilahirkan oleh paham voluntarisme memandang 

bahwa hukum internasional dan hukum nasional yaitu  dua perangkat hukum 

yang hidup berdampingan dan terpisah. Paham ini pelopornya yaitu  Triepel 

(Jerman) dan Anzilotti (Italia).  

 Paham ini beralasan bahwa antara : 

a) hukum internasional dan hukum nasional mempunyai sumber yang 

berlainan. Hukum nasional bersumber dari kemauan negara, sedang  

hukum internasional bersumber pada kemauan bersama negara-negara 

atau masyarakat negara.  

b) hukum internasional dan hukum nasional memiliki subjek hukum 

yang berlainan. Subjek hukum nasional (baik dalam hukum perdata 

maupun hukum pidana) yaitu  orang perorangan, sedang  subjek 

hukum internasional utama yaitu  negara.  

c) hukum internasional dan hukum nasional memiliki struktur yang 

berbeda. Hukum nasional memiliki mahkamah dan organ dalam bentuk 

yang sempurna, sedang  hukum internasional tidak memiliki hal yang 

serupa itu.  

d) Hukum nasional akan tetap berlaku secara efektif meskipun 

bertentangan dengan hukum internasional.  

  Sebagai akibatnya108 maka (1) tidak akan mungkin dipersoalkan mengenai 

hirarki antara hukum internasional dan hukum nasional, sebab  menurut paham ini 

keduanya pada hakikatnya tidak saja berlainan dan tidak tergantung satu sama 

lain, tetapi juga terlepas satu sama lain, (2) tidak akan mungkin ada pertentangan 

di antara keduanya yang mungkin ada hanya penunjukan dan (3) hukum 

internasional memerlukan transformasi terlebih dahulu untuk dapat berlaku dalam 

lingkungan hukum nasional. 

  Namun demikian paham dualisme ini  memiliki beberapa kelemahan 

dalam argumentasinya, yaitu:  

- Pertama dilihat dari sumbernya pada dasarnya baik hukum 

internasional maupun hukum nasional bersumber dari kemauan 

negara yaitu kemauan negara untuk mengatur kehidupan masyarakat. 

Jadi baik hukum internasional maupun hukum nasional bersumber dari 

kebutuhan manusia untuk hidup teratur dan beradab.  

- Kedua dilihat dari subjeknya, bahwa pada kenyataannya, dewasa ini 

perorangan pun dapat menjadi subjek hukum internasional.  

- Ketiga dilihat dari struktur keduanya, perkembangan hukum nasional 

memang jauh lebih tinggi daripada hukum internasional, sehingga 

wajar saja jika hukum nasional memiliki bentuk organ yang lebih 

sempurna daripada hukum internasional. 

- Keempat dilihat dari efektifitasnya, justru yaitu  sebaliknya pada 

kenyataannya seringkali hukum nasional tunduk pada hukum 

internasional. Pertentangan antara keduanya memang benar adanya 

namun hal ini  bukanlah bukti adanya perbedaan secara 

struktural tetapi hanyalah kekurangefektifan hukum internasional. 

 Selanjutnya paham objektivis memandang keberlakuan hukum internasional 

terlepas dari kemauan negara, artinya tunduk dan mematuhi hukum internasional 

bagi suatu negara yaitu  suatu keniscayaan dan terlepas dari kemauan negara 

yang bersangkutan, dari paham ini kemudian muncul paham monisme yang 

memandang bahwa hukum internasional dan hukum nasional tidak dapat 

dipisahkan satu sama lain, keduanya merupakan bagian dari hal yang lebih besar, 

yaitu hukum. Sebagai akibatnya dari pandangan ini bahwa antara hukum 

internasional dan hukum nasional mungkin ada hubungan hirarki. Paham ini 

melahirkan 2 (dua) teori, yaitu: (1) monisme dengan primat hukum nasional dan 

(2) monisme dengan primat hukum internasional. 

 

a. Monisme dengan Primat Hukum Nasional 

 Menurut teori ini hukum internasional  yaitu  lanjutan hukum nasional 

untuk urusan luar negeri (penganutnya dinamakan mazhab Bonn yang salah satu 

pelopornya yaitu  Max Wenzel). Jadi menurut teori ini hukum internasional 

yaitu  bersumber dari hukum nasional. 

Alasannya: 

a) Tidak ada  satu organisasi di atas negara-negara yang mengatur 

kehidupan negara-negara di dunia. 

b) Dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional yaitu  

terletak pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian 

internasional, jadi ini yaitu  wewenang konstitusional. Kelemahan: hanya 

memandang hukum sebagai hukum tertulis dalam hal ini perjanjian 

internasional. 

 

b. Monisme dengan Primat Hukum Internasional 

  Hukum nasional bersumber dari hukum internasional yang secara 

hirarkis lebih tinggi. Hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan 

kekuatan mengikatnya berdasar  suatu pendelegasian wewenang dari hukum 

                                           

internasional. Penganut teori ini disebut dengan Mazhab Vienna. Kelemahan: (1) 

jika memandang bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional, ini 

artinya hukum internasional ada terlebih dulu daripada hukum nasional, hal ini 

tentu saja bertentangan dengan kenyataan sejarah, yang menyebutkan bahwa 

hukum nasional ada lebih dulu daripada hukum internasional. (2) wewenang 

mengadakan pejanjian terletak pada hukum nasional. 

  Kedua paham dualisme dan monisme ternyata tidak mampu 

menjelaskan hubungan hukum internasional dan hukum nasional.  

  Dikenal doktrin inkorporasi, artinya hukum internasional yaitu  

hukum negara (international law is the law of the land). Doktrin ini pertama kali 

dikemukakan oleh Blackstone (abad 18). Daya berlaku doktrin ini dibedakan untuk 

dua hal: (1) hukum kebiasaan internasional dan (2) hukum internasional yang 

tertulis. 

 Untuk hukum kebiasaan internasional, doktrin ini berlaku dengan 3 

pengecualian

a. tidak bertentangan dengan suatu undang-undang baik yang lebih tua 

maupun yang akan ada kemudian. 

b. Sekali ruang lingkup suatu ketentuan hukum kebiasaan internasional 

ditetapkan oleh keputusan mahkamah tertinggi, maka semua pengadilan di 

bawahnya terikat oleh keputusan itu, walaupun di kemudian hari ternyata 

kebiasaan ini  bertenangan dengan hukum nasional. 

c. Ketentuan hukum kebiasaan ini  harus merupakan ketentuan yang 

umum diterima oleh masyarakat internasional. 

  Penerapan doktrin inkorporasi di Inggris meliputi dua dalil, yaitu: 

a. Dalil konstruksi hukum, yaitu bahwa undang-undang yang dibuat oleh 

parlemen harus ditafsirkan sebagai tidak bertentangan dengan hukum 

internasional. Artinya, dalam melakukan penafsiran terhadap undang-undang ada pra-anggapan bahwa parlemen tidak berniat melakukan 

pelanggaran terhadap hukum internasional. 

b. Dalil tentang pembuktian suatu ketentuan hukum internasional, yaitu bahwa 

HI tidak memerlukan kesaksian para ahli di pengadilan Inggris. 

  Mengenai hukum yang bersumberkan pada perjanjian (hukum 

internasional tertulis), hukum Inggris menyatakan bahwa perjanjian yang 

memerlukan persetujuan parlemen, memerlukan pula pengundangan nasional, 

sedang  perjanjian yang tidak memerlukan persetujuan parlemen dapat berlaku 

langsung setelah penandatanganan. 

  Perjanjian yang memerlukan persetujuan parlemen: 

a. Perjanjian yang memerlukan diadakannya perubahan perundang-undangan 

nasional. 

b. Perjanjian yang menyebabkan perubahan status atau garis batas wilayah 

negara.  

c. Pejanjian yang mempengaruhi hak sipil warga negara Inggris. 

d. Pejanjian yang akan menambah beban keuangan negara. 

  Amerika Serikat juga menganut doktrin inkorporasi. Undang-undang 

yang dibuat dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Congress) 

diusahakan tidak bertentangan dengan hukum internasional, namun jika kemudian 

sebuah undang-undang baru ternyata bertentangan dengan hukum internasional, 

maka yang harus dimenangkan yaitu  undang-undang.118 

  Perbedaan AS dengan Inggris tampak jelas dalam hubungan antara 

perjanjian internasional dengan hukum nasional. Di Amerika Serikat perlu atau 

tidaknya pengundangan secara nasional suau perjanjian internasional ditentukan 

oleh dua hal, yaitu (1) apakah bertentangan dengan konstitusi? Dan (2) apakah 

perjanjian internasional ini  merupakan golongan self executing treaties 

atau non self executing treaties?119 

  Jika pengadilan AS menetapkan bahwa suatu perjanjian 

internasional tidak bertentangan dengan konstitusi dan termasuk golongan 

perjanjian internasional self executing, maka perjanjian ini  dianggap bagian 

dari hukum nasional Amerika Serikat dan tidak memerlukan pengundangan 

                                                           

nasional. sedang  jika perjajian internasional ini  termasuk perjanjian non 

self executing maka diperlukan pengundangan nasional. 

 

. Negara-negara lain 

  Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Jerman dan UUD Perancis 

disebutkan bahwa ketentuan-ketentuan hukum internasional merupakan bagian 

dari hukum nasional Jerman. Ketentuan hukum internasional ini  

kedudukannya lebih tinggi daripada undang-undang nasional dan langsung 

menimbulkan hak dan kewajiban bagi penduduk wilayah federasi Jerman.121 

  Dalam sistem hukum Jerman dan Perancis tidak dipersoalkan 

transformasi perjanjian internasional ke dalam hukum nasional, menurut sistem 

hukum kedua negara ini , pengesahan perjanjian dan pengumuman resmi 

sudah mencukupi syarat suatu perjanjian internasional merupakan bagian dari 

hukum nasional. 

 

. Indonesia 

  Walaupun dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 

Tahun  1945 tidak termuat ketentuan sebagaimana dalam UUD Jerman dan 

Perancis, namun hal ini tidak dapat dijadikan dasar bahwa Indonesia tidak 

mengakui keberlakukan hukum internasional, yang menjadi pertanyaan yaitu  : 

Indonesia menganut paham yang mana, monisme ataukah dualisme?  Untuk 

menjawab hal ini maka kita mesti menelusurinya melalui peraturan perundang-

undangan di bawah UUD NRI 1945. Peraturan perundangan yang dimaksud 

yaitu  Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional 

(selanjutnya disebut UU Perjanjian Internasional). Mengenai hal ini dapat kita lihat 

dalam konsideran menimbang UU Perjanjian Internasional: 

  “bahwa ketentuan mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian 

internasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 

sangat ringkas, sehingga perlu dijabarkan lebih lanjut dalam suatu 

peraturan perundang-undangan.” 

 Kemudian dalam Pasal 9 disebutkan:  

                                                           

(1) Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah RI dilakukan 

sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional ini ;  

(2) Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam 

ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.   

 Selanjutnya dalam Pasal 10 dinyatakan: 

 Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang 

apabila berkenaan dengan:  

a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;  

b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik 

Indonesia;  

c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;  

d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;  

e. pembentukan kaidah hukum baru;  

f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.   

  

 Pasal 11 ayat (1) menyebutkan “Pengesahan perjanjian internasional yang 

materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan 

dengan keputusan presiden. 

 berdasar  ketiga pasal ini  tampak bahwa Indonesia menghendaki 

adanya proses transformasi bagi hukum internasional (dalam hal ini perjanjian 

internasional) untuk dapat menjadi hukum nasional. 

 Mengenai posisi Indonesia dalam memandang hubungan antara hukum 

internasional dan hukum nasional, dapat dilihat dalam dua kasus berbeda yaitu 

Kasus Tembakau Bremen dan Kasus Mobil Nasional. 

 

Kasus Tembakau Bremen 

 Sekitar tahun 1958 Pemerintah Indonesia mengambil alih perusahaan-

perusahaan Belanda, berkaitan dengan perjuangan mengembalikan Irian Barat 

dari pendudukan Belanda. Berkaitan dengan nasionalisasi ini, timbul gugatan 

perusahaan tembakau Belanda di Bremen (Jerman), ketika tembakau dari 

perkebunan di Deli akan dilelang pada pasar tembakau di Bremen.123 

 Duduk perkaranya bermula pada saat pengapalan tembakau dari bekas 

perusahaan Belanda yang dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia. Pemilik 

perusahaan yang dinasionalisasi ini  mengklaim tembakau ini  sebagai 

miliknya. Kemudian, pihak Belanda (De Verenigde Deli Maatschapijen) 

                                                           

menggugat pihak pemerintah Indonesia dan Maskapai Tembakau Jerman-

Indonesia (Deutsch-Indonesia Tabakshandels G.m.b.H). Menanggapi gugatan 

Belanda, Indonesia menyatakan bahwa tindakan pengambilalihan dan 

nasionalisasi itu merupakan tindakan suatu negara yang berdaulat dalam rangka 

perubahan struktur ekonomi bangsa Indonesia dari struktur ekonomi kolonial ke 

ekonomi nasional. 

 Pihak Indonesia dan Maskapai Tembakau Jerman-Indonesia digugat oleh 

pihak Belanda di Pengadilan Bremen (Landesgericht Bremen). Dalam putusannya 

secara tidak langsung membenarkan nasionalisasi perusahaan dan perkebunan 

milik Belanda oleh pemerintah Indonesia. Pihak Belanda mengajukan banding 

atas putusan ini  ke Pengadilan Tinggi Bremen (Oberlandesgericht Bremen) 

dan mendalilkan bahwa tindakan Indonesia dalam menasionalisasi bekas 

perusahaan Belanda tidak sah sebab  ganti rugi yang ditawarkan tidak memenuhi 

apa yang oleh pihak Belanda dianggap sebagai dalil hukum internasional yaitu 

bahwa ganti rugi itu harus prompt, effective dan adequate. Pihak perusahaan 

tembakau Jerman-Indonesia dan pemerintah Indonesia membantah dalil yang 

dikemukakan oleh Belanda, dengan mengatakan bahwa nasionalisasi yang 

dilakukan oleh pemerintah Indonesia yaitu  usaha untuk mengubah struktur 

ekonomi Indonesia dari ekonomi kolonial ke ekonomi yang bersifat nasional 

secara radikal. Menurut pihak tergugat nasionalisasi ini  perlu dilakukan 

dalam rangka perubahan struktur ekonomi ini .125 Dalil klasik prompt, effective 

dan adequate yang berlaku dalam hukum internasional harus tunduk pada hukum 

nasional sebab  interpretasi prompt, effective dan adequate masing-masing 

Negara berbeda disesuaikan dengan kemampuannya.  

 

Kasus Mobil Nasional 

 Indonesia yang secara resmi bergabung dengan World Trade Organization 

dengan meratifikasi konvensi WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 

secara hukum terikat kepada ketentuan-ketentuan General Agreements on Tariff 

and Trade. 

 Kasus ini diawali dengan dikeluarkannya instruksi Presiden Nomor 2 tahun 

1996 mengenai Program Mobil Nasional sebagai terobosan di sektor 

                                                           

 

otomotif Indonesia. Inpres ini bertujuan untuk tercapainya kemajuan dan 

kemandirian bangsa Indonesia dalam industri otomotif. Program Mobil Nasional  

ini yang menunjuk PT Timor Putra Nusantara (TPN) sebagai perusahaan yang 

memproduksi Mobnas. Namun dalam kenyataannya PT TPN belum dapat 

memproduksi mobil di dalam negeri, maka dikeluarkanlah Keputusan Presiden 

Nomor 42 tahun 1996 yang mengizinkan PT TPN mengimpor Mobnas yang 

kemudian diberi merek “Timor” (baik dalam bentuk jadi atau completely build-up/ 

CBU) dari Korea Selatan. Perusahaan ini  juga diberikan hak istimewa, yaitu 

bebas pajak barang mewah dan bebas bea masuk barang impor. Hal ini 

mendatangkan reaksi dari beberapa pihak yaitu Jepang, Amerika Serikat dan 

beberapa negara Eropa. Jepang yang paling berusaha keras kerena mempunyai 

kepentingan kuat dalam industri otomotifnya yang telah menguasai hampir 90% 

pangsa mobil Indonesia. Akhirnya terjadi dialog antara Jepang dan pemerintah 

Indonesia, namun dialog ini menemui jalan buntu.  Kemudian Jepang melalui 

Wakil Menteri Perdagangan Internasional dan Industrinya membawa masalah ini 

ke WTO. Jepang menilai bahwa kebijakan pemerintah ini  sebagai wujud 

diskriminasi dan oleh sebab  itu melanggar prinsip-prinsip perdagangan bebas. 

 Dalam penyelesaian kasus Mobil Nasional ini , WTO memutuskan 

bahwa Indonesia telah melanggar prinsip-prinsip GATT yaitu National Treatment 

dan menilai kebijakan mobil nasional ini  tidak sesuai dengan spirit 

perdagangan bebas WTO, oleh sebab  itu WTO menjatuhkan putusan kepada 

Indonesia untuk menghilangkan subsidi serta segala kemudahan yang diberikan 

kepada PT. Timor Putra Nasional selaku produsen Mobil Timor.127 Keputusan ini 

menunjukkan bahwa hukum nasional tunduk pada hukum internasional. 

 

 Tertib hukum internasional berbeda dibandingkan dengan tertib hukum 

nasional, tertib hukum internasional bersifat koordinatif sedang  tertib hukum 

nasional bersifat subordinatif. Tertib hukum koordinatif mengakui bahwa masing-

masing negara yaitu  merdeka dan berdaulat. Oleh sebab  itu dalam 

kenyataannya, di dalam hukum internasional tidak ada  kekuasaan yang dapat 

diasosiasikan dengan hukum dan pelaksanaannya. 

                                                           

 

 Dalam memandang hubungan antara hukum internasional dan hukum 

nasional, tidak terlepas dari perkembangan zaman. Saat ini, di mana hubungan 

antar negara semakin berkembang pesat, hukum nasional tidak mungkin dapat 

berada di atas hukum internasional. Hal yang paling rasional yaitu  bahwa hukum 

nasional dapat berdiri sejajar dengan hukum internasional.  

 


SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL 


 Pertemuan kelima pada mata kuliah ini mengajak mahasiswa untuk 

mengetahui, mempelajari dan memahami istilah dan pengertian subyek hukum 

internasional, konsep subyek hukum internasional serta jenis-jenis subyek hukum 

internasional berupa (Negara dan bukan Negara). Setelah mahasiswa 

memperoleh materi ini dan mendiskusikannya selama proses belajar mengajar 

maka diharapkan dapat memahami eksistensi, fungsi dan peranan dari subyek 

hukum internasional. Materi perkuliahan kelima ini merupakan salah satu elemen 

penting dalam hukum internasional sebab  subyek hukum internasional yaitu  

aktor yang terlibat dalam hukum internasional. Materi ini sangat diperlukan untuk 

mempelajari materi-materi selanjutnya. 

 

II. Capaian Pembelajaran 

 Mahasiswa melalui pertemuan ini dapat memahami istilah dan pengertian 

subyek hukum internasional, konsep subyek hukum internasional, jenis-jenis 

subyek hukum internasional, derajat personalitasnya, eksistensi, fungsi dan 

peranan subyek hukum internasional. 

 

III. Indikator Capaian 

 Setelah mahasiswa mempelajari dan mendiskusikan materi subyek hukum 

internasional, mereka mampu: 

a. Menjelaskan istilah dan pengertian dari subyek hukum internasional; 

b. Memahami konsep subyek hukum internasional sehingga dapat 

membedakannya dengan subyek hukum nasional; 

c. Menjelaskan jenis-jenis subyek hukum internasional; 

d. Membedakan derajat personalitas subyek hukum internasional; 

e. Memahami eksistensi, fungsi dan peranan subyek hukum internasional 

dalam hukum internasional. 

 

 

IV. Penyajian Materi 

 Materi pada pertemuan bab ini meliputi: 

a. Istilah dan pengertian subyek hukum internasional; 

b. Konsep subyek hukum internasional; 

c. Jenis-jenis subyek hukum internasional. 

 

4.1. Istilah dan Pengertian Subyek Hukum Internasional 

 Subyek hukum (secara umum) yaitu  para pihak yang segala 

aktivitas/tindakan/kegiatan diatur, menimbulkan akibat hukum sehingga memiliki 

kewenangan berupa hak ataupun kewajiban guna melakukan suatu perbuatan 

berdasar  ketentuan hukum positif.128 Subyek hukum dapat dibagi menjadi 2 

(dua) jenis, yaitu: individu alami/orang perseorangan (natuurlijke persoon) dan 

individu buatan/badan hukum (rechtpersoon).129 Secara nyata hanyalah 

manusia/individu alami/orang perseorangan yang menjadi subyek hukum. 

Eksistensi manusia dapat diartikan dalam 2 (dua) hal, yakni manusia sebagai 

mahluk biologis dan manusia sebagai mahluk yuridis.130 Di sisi lain, ada beberapa 

perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum yang bukan natuurlijke 

persoon, seperti badan hukum atau perkumpulan-perkumpulan dipandang 

sebagai subyek hukum. 

Pada dasarnya semua cabang ilmu hukum memiliki subyek hukumnya masing-

masing. Sebagai contoh, individu dan perusahan merupakan subyek hukum 

perdata. Demikian pula halnya dengan individu, lembaga pemerintah ataupun 

badan hukum privat dengan hak dan kewajiban yang berhubungan dengan hukum 

administrasi Negara merupakan subyek hukum administrasi Negara.  

 Di bidang hukum internasional, istilah subyek hukum internasional mewakili 

para pihak; aktor; pelaku di dalam hukum internasional. Sejumah pakar 

sesungguhnya telah memberikan definisi subyek hukum internasional. Martin 

                                                           

 


 

Dixon contoh , memberikan batasan sebagai berikut. “A subject of international 

law is a body or entity that is capable of possessing and exercising rights and 

duties under international.”132 (Terjemahan bebas: Subyek Hukum Internasional 

yaitu  sebuah badan/lembaga atau entitas yang memiliki kemampuan untuk 

menguasai hak dan melaksanakan kewajiban di dalam hukum internasional).  

 berdasar  pengertian di atas, dapat dipahami bahwa tidak semua 

badan/lembaga atau entitas dapat dikategorikan/dikualifikasikan sebagai subyek 

hukum internasional sebab  ada penekanan pada frasa berikut : “…..memiliki 

kemampuan untuk menguasai hak dan kewajiban di dalam hukum internasional.” 

Dengan kata lain hanya pihak; aktor; pelaku yang memiliki hak-hak dan 

kewajiban-kewajiban di mata hukum internasional saja yang dapat dikategorikan 

sebagai subyek hukum internasional. Apa sajakah yang termasuk hak dan 

kewajiban dalam hukum internasional? Menurut Ian Brownlie, ada  3 (tiga) hak 

dan kewajiban dasar dalam hukum internasional, yakni: 133 

“1. Capacity to make claims in respect of breaches of international law 

(Kemampuan untuk mengajukan klaim jika terjadi pelanggaran hukum 

internasional); 

2. Capacity to make treaties and agreements valid on the international plane 

(Kemampuan untuk membuat perjanjian internasional); 

3. The enjoyment of privileges and immunities from national jurisdictions 

(Memiliki keistimewaan dan kekebalan dari yurisdiksi nasional sebuah Negara).” 

 

Ada beberapa tambahan menurut para ahli hukum mengenai hak dan 

kewajiban di dalam hukum internasional, diantaranya menjadi anggota PBB dan 

memiliki perwakilan diplomatik. 

 

. Konsep Subyek Hukum Internasional 

 Sebelum membahas mengenai apa itu konsep subyek hukum internasional, 

ada baiknya untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan konsep. J. Sudarminta 

mengartikan konsep dalam 2 (dua) jenis, yaitu: subyek dan obyek. Konsep 

sebagai subyek yaitu  kegiatan merumuskan dalam pikiran atau menggolong-

golongkan. Sebagai obyek, konsep yaitu  menjelaskan isi kegiatan ini  atau

mengkaji apa makna dari konsep itu sendiri (misal, apa itu pengaturan?). 

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan konsep sebagai suatu 

ide/gagasan yang menjelaskan makna dari suatu hal.135 Konsep didapat dari 

pengertian/definisi suatu obyek. 

 Adapun beberapa elemen pembentuk konsep subyek hukum internasional 

yang ditarik/didapat dari pengertian subyek hukum internasional sendiri. Seperti 

yang telah disebutkan sebelumnya, subyek hukum internasional yaitu  sebuah 

badan/lembaga atau entitas yang memiliki kemampuan untuk menguasai hak dan 

melaksanakan kewajiban di dalam hukum internasional. Dari pengertian ini  

dapat ditarik beberapa konsep subyek hukum internasional, yaitu: 

a. Entitas sebagai pemegang, pengemban, pengampu hak dan kewajiban; 

b. Adanya kemampuan hukum (legal capacity) dari entitas terkait; 

c. Hak dan kewajiban dalam hukum internasional. 

 Setiap subyek hukum yaitu  pemegang, pengemban, pengampu hak dan 

kewajiban tetapi apakah setiap subyek hukum memiliki kemampuan hukum (legal 

capacity) untuk melakukan hak dan kewajiban dalam hukum internasional? 

Jawabannya yaitu  tergantung dari hasil analisis dengan memakai  indikator 

hak dan kewajiban oleh Ian Brownlie (yang telah disebutkan sebelumnya); apakah 

memiliki hak untuk bersengketa atau disengketakan jika terjadi pelanggaran 

hukum internasional melalui badan peradilan/arbitrase internasional? (legal 

standing); apakah mempunyai hak sekaligus kewajiban untuk menjadi pihak 

dalam perjanjian internasional?; serta apakah memiliki hak keistimewaan 

(privileges) dan kekebalan (immunities) dalam hukum internasional?.136  

 Ketiga indikator legal capacity di atas berkaitan dengan personalitas hukum 

(legal personality) sebuah subyek hukum internasional. Pada saat sebuah subyek 

hukum memiliki kapasitas/kemampuan hukum internasional (international legal 

capacity) maka subyek hukum ini  memiliki personalitas hukum internasional 

(international legal personality). Terpenuhi atau tidaknya ketiga indikator ini  

akan menentukan derajat personalitas hukum internasional sebuah subyek hukum 

internasional. Sebuah subyek hukum internasional yang dapat memenuhi ketiga 

indikator hak dan kewajiban dalam hukum internasional maka memiliki 


kemampuan hukum penuh (full legal capacity) dan personalitas hukum penuh (full 

legal personality) sedang  subyek hukum internasional yang hanya bisa 

memenuhi 1 (satu) atau 2 (dua) indikator hanya memiliki kemampuan hukum 

terbatas (limited legal capacity) dan personalitas hukum terbatas (limited legal 

personality). Perbedaan derajat ini  akan terlihat pada uraian jenis-jenis 

subyek hukum internasional di bawah ini. 

 

. Jenis-jenis Subyek Hukum Internasional; 

 Jenis-jenis subyek hukum internasional yang dibedakan ke dalam 2 (dua) 

kelompok, yaitu: subyek hukum negara (state actor) dan subyek-subyek hukum 

bukan Negara (non-state actors). Pembedaan subyek hukum internasional ke 

dalam 2 (dua) kelompok ini akan mempermudah pemahaman subyek hukum 

internasional dengan full legal capacity dan limited legal capacity. Adapun subyek-

subyek hukum internasional: 

1. Negara (States); 

2. Tahta Suci (Vatican/The Holy Emperor); 

3. Organisasi Internasional (International Organizations); 

4. Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross); 

5. Kaum pemberontak (Belligerents;Insurgents); 

6. Individu (Individual); 

7. Perusahaan Multinasional (Multinational Corporations) / Perusahaan 

Transnasional (Transnational Corporations); 

8. Organisasi Non-Pemerintah (Non-Governmental Organizations). 

 

. Negara (States) 

 Sebagaimana telah dibahas pada Bab I mengenai Istilah, Definisi dan 

Bidang Kajian Hukum Internasional, dari sisi sejarah hukum internasional awalnya 

mengatur hubungan antara Negara-negara. Hal ini dapat dilihat dari sejarah 

perkembangan hukum internasional, seperti pada zaman India kuno yang sudah 

mengenal hukum bangsa-bangsa; perlakuan terhadap diplomat atau duta sebagai 

utusan raja termasuk bagaimana cara melakukan perang, siapa yang boleh 

menyerang dan diserang (adaya pembedaan secara tegas antara 

penyerang/tentara (combatant) dan penduduk sipil (civilians).138 Selain itu, ada 

pernyataan di dalam buku edisi pertama Hall‟s International Law pada tahun 1880 

yang menjadi cikal bakal syarat-syarat terbentuknya sebuah Negara yang diadopsi 

oleh Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara tahun 1933 (The 

Montevideo Convention on the Rights and Duties of the States):  

     “Primarily international law governs the relations of such of the communities 

of independent of states as voluntarily subject themselves to it…..The marks of an 

independent States are, that the community consisting it is permanently 

established for a political end, that it possesses a defined territory, that it is 

independent of external control.” 139 (Terjemahan bebas: Hukum internasional 

terutama mengatur hubungan antara komunitas Negara-negara merdeka yang 

secara sukarela menjadi subyek dalam hubungan itu……Tanda/ciri dari Negara-

Negara merdeka yaitu  memliki komunitas permanen untuk kepentingan politik, 

memiliki wilayah yang jelas, terbebas dari kontrol pihak lain/luar). 

 Bukti lain yang menunjukkan bahwa Negara yaitu  subyek utama dalam 

hukum internasional dapat dilihat pada perjanjian-perjanjian internasional yang 

ada. Pembentukan perjanjian-perjanjian internasional didominasi oleh Negara-

negara, sebagai contoh Konvensi Jenewa I, II, III, IV tahun 1949 (Geneva 

Conventions) yang mengatur mengenai tata cara perang termasuk perlakuan 

tawanan dan korban perang dibentuk, disetujui dan dilaksanakan oleh Negara-

negara. Bahkan pada tahun 1969 dibentuk konvensi yang khusus mengatur tata 

cara pembentukan perjanjian internasional oleh Negara-negara, yaituKonvensi 

Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of 

Treaties). 

 berdasar  bukti-bukti di atas, Negara yaitu  salah satu subyek hukum 

internasional tetapi apakah semua Negara dapat dikualifikasikan sebagai subyek 

hukum internasional? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini  dapat 

memakai  Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 (Montevideo Convention on the 

Rights and Duties of States) sebagai rujukan: “The state as a person of 

international law should possess the following qualifications: (a) a permanent 

population; (b) a defined territory; (c) government; and (d) capacity to enter into 

relations with the other states.” (Terjemahan bebas: Negara sebagai subyek 

hukum internasional harus memenuhi kualifikasi sebagai berikut: (a) penduduk 

yang permanen; (b) wilayah yang jelas; (c) pemerintah; (d) kemampuan untuk 

melakukan hubungan dengan Negara lainnya). Sebuah wilayah jika sudah 

memenuhi persyaratan di atas, dalam keadaan merdeka (tidak berada di bawah 

kendali Negara lain) maka otomatis memiliki kedaulatan dan dapat dikualifikasikan 

sebagai subyek hukum internasional. 

 Lalu bagaimana dengan Negara federal, Negara Protektorat ataupun 

Negara-negara yang belum mendapatkan pengakuan tetapi sudah menjadi 

anggota PBB atau sebaliknya jika sebuah Negara keluar dari keanggotaan PBB? 

Negara federal yaitu  sebuah Negara yang terdiri dari Negara-negara bagian, 

dimana ada  kesepakatan diantara keduanya untuk membagi kewenangan 

mereka. Baik Negara Federal maupun Negara Bagian memiliki Pemerintahan dan 

konstitusinya masing-masing. Pada ruang lingkup hukum internasional, yang 

menjadi subyek hukum internasional yaitu  Negara Federal namun pada tahun 

1994, Ukraina dan Belarus (sebagai Negara Bagian) diberikan hak oleh Uni Soviet 

(USSR) untuk menjadi pihak dalam pembentukan perjanjian internasional 

sekaligus mendaftar sebagai anggota PBB. Ada beberapa wilayah di belahan 

dunia ini yang berupa Negara federasi, seperti Amerika Serikat, Australia, Afrika 

Selatan, Kanada, Meksiko, Argentina dan Swiss. Negara-negara federal ini  

tidak semuanya memakai  istilah Negara bagian.  

 Negara Protektorat yaitu  Negara yang sudah merdeka dan kesepakatan 

melalui perjanjian internasional berada di bawah perlindungan sebuah Negara 

yang memiliki kekuatan lebih. Di dalam perjanjian internasional ini  dimuat 

mengenai pembagian kekuasaan yang jelas diantara Negara Protektorat dan 

Negara Pelindungnya. Maroko dan Tunisia pernah menjadi Negara Protektorat 

dari Perancis sedang  Puerto Rico yaitu  Negara Protektorat dari Amerika 

Serikat.

sebab  dianggap belum memiliki kapasitas yang cukup untuk memerintah 

wilayahnya sendiri. Dewan Perwalian PBB bertugas untuk membantu wilayah-

wilayah perwalian ini  agar bisa menjadi menjadi Negara yang merdeka, 

memiliki kedaulatan penuh sehingga bisa mengatur segala sesuatu di dalam 

wilayahnya. Sebelum tahun 1970-an, Amerika Serikat memiliki beberapa wilayah 

perwalian, yakni: Palau, Kepulauan Marshall, Marianas Utara dan Micronesia yang 

pada akhirnya berubah menjadi Negara Protektorat Amerika Serikat pada tahun 

1990-an. 

 Secara geografis Taiwan yaitu  salah satu pulau yang berada di wilayah 

pesisir Tiongkok Selatan. Taiwan dan Cina memiliki pandangan yang berbeda 

akan status Taiwan. Cina menganggap bahwa Taiwan yaitu  salah satu provinsi 

di bawah Pemerintahannya sedang  Taiwan menganggap dirinya sebagai 

wilayah yang memiliki pemerintahannya sendiri sejak tahun 1949. Keadaan ini 

sesungguhnya dipicu oleh perbedaannya interpretasi akan Consensus 1992 yang 

pada saat itu Taiwan diwakili oleh The Chinese Communist Party (CCP) dan The 

Kuomintang. Konsensus ini  menyatakan hanya ada 1 (satu) Cina ; 

pernyataan ini disetujui oleh Beijing serta Taipei bahwa Taiwan berada di bawah 

Pemerintahan Cina sedang  CCP dan the Kuomintang memiliki interpretasi 

yang berbeda bahwa Taiwan yaitu  wilayah yang independen dari Cina. 

 Sampai dengan sekarang hubungan antara Cina dan Taiwan tetap 

membingungkan sebab  meskipun masih berada di bawah Pemerintahan Cina, 

sudah ada beberapa Negara yang mengakui Taiwan sebagai sebuah Negara 

yang memiliki kedaulatan. Indonesia sendiri bagaimana? Dimana Indonesia 

memposisikan dirinya? Di Jakarta ada  Kantor Perwakilan Dagang Taiwan. 

Jika demikian, apakah Indonesia mengakui Taiwan sebagai sebuah Negara atau 

tidak? Selain itu Taiwan juga menjadi anggota dari beberapa organisasi                                                          

internasional, seperti World Trade Organizations (WTO), Asia-Pacific Economic 

Cooperation (APEC), the Asian Development Bank dan International Olympic 

Committee namun belum menjadi anggota PBB.  

 

. Tahta Suci/Vatican (The Holy Emperor) 

 Dikualifikasikannya Vatican sebagai salah satu subyek hukum internasional 

tidak bisa terlepas dari sejarah yang melatarbelakanginya. Pada pertengahan 

abad di zaman Romawi ada  perbedaan pimpinan pada kerajaan (kekaisaran) 

dan kehidupan Gereja. Kekaisaran dipimpin oleh seorang Kaisar sedang  

Gereja dipimpin oleh seorang Paus. Pada saat itu seorang Paus memiliki 

kewenangan yang menandingi kekuasaan Kaisar.146 Tahta Suci (The Holy 

Emperor) berada di Vatican City yang berada di Italia. Sejak tahun 1870, Tahta 

Suci dianeksasi oleh Italia dan terus mengalami konflik diantara keduanya. Konflik 

ini  berakhir dengan dibuatnya Lateran Treaty (Perjanjian Lateran) pada 

tahun 1929.147 Pada perjanjian ini  Italia menyerahkan sebidang tanah di 

Vatican City kepada Tahta Suci. Sejak saat itu, Tahta Suci memiliki wilayah 

kedaulatan di Vatican City dan organ-organ yang mengurusi jalannya Tahta Suci 

bahkan memiliki beberapa kantor perwakilan di beberapa Negara, termasuk 

Indonesia.148  

 Di dalam Perjanjian Lateran, Italia mengakui kedaulatan Tahta Suci dalam 

hubungan internasional sebagai hak Tahta Suci yang dimilikinya berdasar  

sejarah Gereja Katolik dengan berbagai tradisi kunonya serta eksistensinya 

sebagai subyek hukum yang independen.149 Tahta Suci melakukan hubungan 

internasional dengan Negara-negara lain terkait hal-hal yang bersifat politik dan 

diplomatik.150 Ada beberapa organisasi internasional yang menerima Tahta Suci 

sebagai anggotanya, yakni: International Postal Union, the International Atomic 

Energy Agency dan the International Telecommunication Union.151 Takhta Suci 

juga terlibat dalam beberapa perjanjian internasional, seperti the Convention on 

Stateless Persons 1954, the Convention on Diplomatic Relations 1961, the 

Convention on Consular Relations 1963, dan the Vienna Convention on the Law of 

Treaties 1969.  

 . Organisasi Internasional (International Organizations) 

 ada  berbagai macam definisi yang berbeda-beda mengenai organisasi 

internasional dari beberapa ahli hukum. Kesulitan dalam mendefinisikan 

organisasi internasional disebabkan oleh perbedaan tujuan pendiriannya, ada 

yang didirikan untuk menyelesaikan masalah di antara Negara-negara atau 

didirikan untuk melakukan kerja sama di bidang perdagangan, contoh  World 

Trade Organization (WTO) didirikan untuk memajukan perdagangan internasional 

di antara Negara-negara anggotanya; International Centre for Settlement of 

Investment Disputes (ICSID) didirikan untuk menyelesaikan masalah-masalah 

investasi diantara individu/badan hukum yang berada di wilayah Negara anggota 

ICSID. 

 Berikut ini akan diberikan beberapa definisi oleh para ahli hukum untuk 

mewakili apa yang dimaksud dengan organisasi internasional. Di dalam buku 

Bowett‟s Law of International Institution yang dimaksud dengan organisasi 

internasional harus memenuhi beberapa karakteristik di bawah ini, yaitu: 

a. “Its membership must be composed of states and/or other international 

organisations; 

b. It must be established by treaty or other instrument governed by 

international law, such as resolution adopted in an international conference; 

c. It must have an autonomous will distinct from that of its members and be 

vested with legal personality; and 

d. It must be capable of adopting norms (in the broadest sense) addressed to 

its members.” 

(Terjemahan bebas:  

a. Keanggotaannya terdiri dari Negara-negara dan/atau organisasi 

internasional lainnya; 

b. Harus didirikan berdasar  perjanjian atau instrumen hukum lainnya yang 

diatur oleh hukum internasional, seperti resolusi yang diadopsi pada saat 

konferensi internasional; 

c. Organisasi internasional memiliki hak autonomi yang berbeda dengan 

anggotanya dan memiliki personalitas hukum; 

d. Sebuah organisasi internasional memiliki kemampuan hukum untuk 

mengadopsi norma (dalam arti luas) yang ditujukan kepada para 

anggotanya.) 

 

 D.W. Bowett sendiri memberikan definisi mengenai organisasi internasional 

yaitu  “…..they were permanent association of governments, or administration, 

based upon a treaty of a multilateral rather than a bilateral type and with some 

definite criterion purpose.”153 (Terjemahan bebas: organisasi internasional yaitu  

asosiasi pemerintah yang permanen, didirikan berdasar  perjanjian multilateral 

dengan beberapa tujuan yang jelas). Organisasi internasional menurut Leroy 

Bennet mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:154 

a. “A permanent organization to carry on a continuing set of function; 

b. Voluntary membership of eligible parties; 

c. Basic instrument stating goals, structure and methods of operation; 

d. A broadly representative conference organ; 

e. Permanent secretariat to carry on continuous administrative, research and 

information functions.” 

(Terjemahan bebas: 

a. Organisasi yang permanen dengan memiliki beberapa fungsi yang 

berkelanjutan; 

b. Keanggotaannya bersifat sukarela sepanjang memang memiliki 

kemampuan untuk menjadi anggota sebuah organisasi internasional; 

c. Memiliki instrumen pendirian yang berisikan tujuan, struktur dan 

manajemen organisasi; 

d. Memiliki organ/perwakilan konsultatif untuk menghadiri konferensi; 

e. Memiliki Sekretariat permanen yang berfungsi untuk mengurusi fungsi-

fungsi administrasi, penelitian dan informasi.) 

 

 Dari beberapa definisi di atas, ada  perbedaan satu dengan lainnya; 

ada yang menyatakan dengan tegas bahwa Organisasi Internasional 

beranggotakan Negara-negara, ada yang menyebutkan keanggotaan sebuah 

organisasi internasional bersifat sukarela (ini tidak jelas; siapakah subyek hukum 

internasional yang dapat menjadi anggota sebuah Organisasi Internasional). 

Pendirian sebuah Organisasi Internasional pun beraneka ragam, ada yang 

menyebutkan berdasar  perjanjian internasional, ada yang tidak jelas 

menyebutkan dasar pendirian sepanjang organisasi ini  didirikan 

berdasar  suatu instrumen yang berisikan tujuan, struktur dan manajemen 

Organisasi Internasional terkait.  

 berdasar  fakta, sebuah Organisasi Internasional cenderung 

beranggotakan Negara-negara, seperti PBB, World Trade Organization (WTO), 

International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), Organization of the 

Petroleum Exporting Countries (OPEC). Jadi dengan mengacu kepada beberapa 

pendapat ahli di atas dan fakta mengenai Organisasi Internasional, dapat 

disimpulkan bahwa Organisasi Internasional yaitu  sebuah organisasi pemerintah 

yang beranggotakan Negara-negara, pendiriannya berdasar  perjanjian 

internasional dengan tujuan tertentu, personalitasnya terpisah dengan Negara-

negara anggotanya dan berfungsi sebagai lembaga pembentuk norma atau 

pengimplementasian norma dari suatu instrumen hukum internasional.  

 Keberadaan Organisasi Internasional sebagai salah satu subyek hukum 

internasional juga tidak bisa terlepas dari sejarah perkembangan Hukum 

Internasional. Berdirinya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) sebagai Organisasi 

Internasional pertama yang tidak hanya khusus mengurusi suatu bidang (misal, 

kerjasama Negara-negara di bidang transportasi dan komunikasi atau kerjasama 

ekonomi)155 tapi lebih kepada tujuan untuk menjamin perdamaian dan 

menciptakan keamanan bersama dengan mencegah terjadinya perang 

merupakan salah satu penanda sejarah perkembangan Hukum Internasional 

modern. LBB didirikan pada tahun 1919 melalui Perjanjian Versailles (Versailles 

Treaty) setelah Perang Dunia I (PD I). Dalam perjalanannya, LBB tidak berhasil 

melaksanakan tujuannya, yaitu untuk mencegah perang sehingga terjadilah 

Perang Dunia II (PD II). Salah satu penyebab kegagalan LBB  yaitu  lemahnya 

kovenan pendirian LBB. Kovenan ini  disusun tidak berdasar  itikad baik 

sehingga dengan mudah anggotanya untuk mengundurkan diri dari LBB, seperti 

Jepang dan Jerman.156 Namun demikian keberadaan LBB memegang peranan 

penting dalam perkembangan hukum internasional berikutnya, yakni berdirinya 

PBB. 

 

 PBB merupakan Organisasi Internasional umum yang didirikan setelah 

kegagalan LBB mencegah terjadinya Perang Dunia II dari tahun 1939-1945. 

Pendirian PBB melalui sejarah yang panjang, dimulai dari diselenggarakannya 

Piagam Atlantik (Atlantic Charter). Deklarasi PBB (Declaration by United Nations), 

Konferensi Moskow, Konferensi Teheran, Konferensi Dumbarton Oaks, Konferensi 

Yalta hingga Konferensi San Fransisco yang dilaksanakan pada 25 April 1945. 

Konferensi San Fransisco ini dikenal dengan The United Nations Conference on 

International Organization. Sejak saat ini mulai disusunnya Piagam PBB (The 

Charter of the United Nations) dengan substansi mengenai asas dan tujuan PBB, 

keanggotaan, Sekretariat dan pokok-pokok amandemen terhadap Piagam; 

kekuasaan dan tanggung jawab Majelis Umum; Dewan Keamanan dan status 

Mahkamah Internasional. Piagam PBB ini mulai berlaku sejak 24 Oktober 1945 

dan Majelis Umum PBB memutuskan bahwa tanggal ini  menjadi tanggal 

resmi berdirinya PBB.157 Sampai dengan saat ini dapat diasumsikan bahwa PBB 

yaitu  Organisasi Internasional Utama yang berpengaruh terhadap 

perkembangan dan implementasi Hukum Internasional. 

 Kelahiran PBB tidak secara otomatis menjadikannya sebagai salah satu 

subyek Hukum Internasional. Sebuah Organisasi Internasional diakui sebagai 

subyek Hukum Internasional sejak kasus terbunuhnya Pangeran Bernadotte 

sebagai salah satu agen PBB pada saat melaksanakan tugasnya (Reparation for 

Injuries Suffered in the Service of the United Nations). Pangeran Bernadotte 

yaitu  agen PBB yang berkewarganegaraan Swedia terbunuh pada tanggal 17 

September 1948 di Jerrusalem-Palestina saat bertugas sebagai mediator oleh 

kelompok teroris.159 Kejadian ini  menggerakkan PBB untuk mengajukan 

Advisory Opinion (AO) kepada Mahkamah Internasional (International Court of 

Justice), sebagai berikut: 

     “In the event of an agent of the United Nations in the performance of his 

duties suffering injury in circumstances involving the responsibility of a State, has 

the United Sations, as an Organization, the capacity to bring an international claim 

against the responsible de jure or de facto government with a view to obtaining the 

reparation due in respect of the damage caused (a) to the United Nations, (b) to 

the victim of the persons entitled through him ?”  (Terjemahan bebas: Pada saat 

agen PBB melaksanakan tugasnya mengalami cidera/luka yang melibatkan 

tanggung jawab Negara, apakah PBB sebagai sebuah organisasi memiliki 

kapasitas untuk mengajukan klaim kepada Pemerintah (secara de facto atau de 

jure) yang bertanggungjawab untuk mendapatkan ganti kerugian/reparasi atas 

kerusakan/kerugian yang dialami oleh (a) PBB dan (b) korban/orang yang 

berkedudukan sebagai agen PBB?) 

 

berdasar  submission AO di atas, Mahkamah Internasional mengeluarkan 

fatwa bahwa PBB dikategorikan sebagai salah subyek hukum internasional 

dengan melihat karakteristik dari PBB pada piagam pendiriannya. PBB diberikan 

mandat oleh anggotanya untuk memelihara keamanan dan perdamaian 

internasional, pembinaan hubungan baik diantara Negara-negara, kerjasama 

internasional untuk memberikan solusi terhadap masalah-masalah ekonomi, 

sosial, budaya dan kemanusiaan.161 Dengan pemberian mandat ini , PBB 

memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakannya sehingga mempunyai 

personalitas hukum internasional berikut kemampuan hukum (legal capacity) yang 

di dalamnya termasuk hak untuk mengajukan klaim ke lembaga penyelesaian 

sengketa internasional. 

 

. Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross) 

 Cikal bakal lahirnya Palang Merah Internasional (International Committee of 

the Red Cross/ICRC) sesungguhnya sudah terlebih dahulu dirintis sebelum 

didirikannya PBB. Asal usul pendirian ICRC diawali oleh ide dari Henry Dunant 

yang sampai sekarang dikenal dengan sebutan Bapak Palang Merah 

Internasional. Pada tanggal 24 Juni 1859 dalam perjalanan bisnisnya, Henry 

Dunant melewati Solferino (salah satu kota di bagian utara Italia), melihat 

pertempuran sengit selama 16 jam antara tentara Austria dan Perancis yang 

mengakibatkan 40.000 (empat puluh ribu) orang terluka dan meninggal. Ketika itu 

Henry Dunant berinisiatif untuk menolong para korban dengan meminta bantuan 

kepada warga sekitar agar memberikan perawatan kepada kedua belah pihak 

(baik tentara Austria dan Perancis). 

 Sekembalinya Henry Dunant ke Swiss, pengalamannya ini  dibukukan 

dan dipublikasikan dengan judul “A Memory of Solverino” yang memuat beberapa 

ide kemanusiaan terkait perang, yakni: 

“- for relief societies to be formed in peacetime, with nurses who would be 

ready to care for the wounded in wartime; 

 - for these volunteers, who would be called upon to assist the army medical 

services, to be recognized and protected through an international agreement.” 

(Terjemahan bebas: membebaskan masyarakat dari perang agar mereka berada 

dalam keadaan damai, menyediakan perawat yang akan merawat korban perang 

pada saat perang; kepada para relawan yang membantu memberikan bantuan 

medis di medan perang, harus diakui dan dilindungi melalui perjanjian 

internasional.) 

 Ide-ide Henry Dunant ini  pada tahun 1863 oleh sebuah asosiasi amal 

“The Geneva Society for Public Welfare” diimplementasikan dengan membentuk 

komisi yang beranggotakan 5 (lima) orang, yaitu: Gustave Moynier, Guillaume-

Henri Dufour, Louis Appia, Theodore Maunoir dan Henry Dunant. Komisi ini 

mendirikan The International Committee for Relief to the Wounded yang nantinya 

berubah menjadi The International Committee of the Red Cross.165 ICRC ini 

beranggotakan individu-individu dan didirikan berdasar  hukum Swiss. Oleh 

sebab  itu para ahli hukum menyebut ICRC sebagai Organisasi Non Pemerintah 

(Non-Governmental Organizations/NGO‟s) Swiss dengan karakter sui generis.

ICRC tidak beranggotakan pemerintahan dari Negara-negara tetapi memiliki 

beberapa kantor perwakilan yang menyebar di beberapa Negara, seperti 

Indonesia, Timor-Timur dan Malaysia. Keberadaan ICRC pun diakui oleh keempat 

Konvensi Jenewa (Geneva Conventions) 1949.167 Sebagai contoh, ada 13 (tiga 

belas) pasal dalam Konvensi Jenewa III dan 18 (delapan belas) pasal dalam 

Konvensi Jenewa IV. ICRC telah membuat perjanjian dengan kurang lebih 60 

(enam puluh) Negara untuk memberikan imunitas kepada delegasi/stafnya yang 

sedang bertugas di wilayah perang dari proses yudisial atau pun arbitrase 

internasional.168 Menurut Menno Kamminga, perjanjian yang dibuat oleh ICRC 

ini  dikualifikasikan sebagai perjanjian internasional. Hal ini menunjukkan 

betapa besar peran ICRC untuk mengimplementasikan keempat Konvensi 

Jenewa yang dibuat oleh Negara-Negara.169 Negara-negara juga berkewajiban 

memberikan akses kepada para delegasi/staf ICRC untuk masuk ke tempat-

tempat penampungan atau penjara tahapan perang dan penduduk sipil. 

 Misi utama dari ICRC yaitu  melindungi dan membantu para penduduk 

sipil (termasuk kombatan) akibat korban perang serta konflik internal dengan 

menjunjung tinggi prinsip netral dan ketidakberpihakan pada Negara-negara yang 

terlibat perang/konflik. Adapun beberapa tugas yang dimiliki oleh ICRC dalam 

memenuhi misinya, yaitu: 

     - “visits to prisoners of war and civilian detainees (mengunjungi tawanan 

perang dan penduduk sipil); 

     - searching for missing persons (pencarian orang hilang); 

     - transmission of messages between family members separated by conflict 

(pengiriman pesan kepada anggota keluarga yang terpisah akibat konflik); 

     - reunification of dispersed families 

      (menyatukan keluarga yang terpisah ); 

     - provision of food, water and medical assistance to civilians without access 

to these basic necessities (menyediakan makanan, minuman p;akses akan 

kebutuhan ini ); 

     - spreading knowledge of humanitarian law (menyebarkan pengetahuan     

mengenai hukum humaniter); 

     - monitoring compliance with that law (mengawasi kepatuhan terhadap 

hukum humaniter); 

     - drawing attention to violations, and contributing to the development of 

humanitarian law (memusatkan perhatian kepada pelanggaran dan kontribusinya 

terhadap perkembangan hukum humaniter).” 

 

. Kaum Pemberontak (Belligerents) 

 Kaum pemberontak yaitu  sekelompok orang yang melakukan 

pemberontakan terhadap pemerintah sah di dalam suatu Negara. Kaum 

pemberontak ini biasanya melakukan pelanggaran terhadap undang-undang 

nasional;170 mereka bertujuan ingin menggulingkan Pemerintahan yang sah dan 

membuat Pemerintah tandingan atau bahkan ingin membentuk suatu Negara 

baru. 

 Pemberontakan yang terjadi di dalam suatu Negara sering disebut dengan 

istilah Non-International Armed Conflict (NIAC). Pemberontakan NIAC diatur 

dalam Pasal 3 pada keempat Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur tentang 

konflik yang tidak bersifat internasional (biasa disebut sebagai Common Articles 3) 

dan Protokol Tambahan II 1977 dari Konvensi Jenewa (Protocol Additional to The 

Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to The Protection of Victims 

of Non-International Armed Conflicts/Protocol II) yang mengatur tentang 

perlindungan korban akibat konflik yang tidak bersifat internasional.  Di dalam 

kedua instrumen hukum internasional ini  diatur beberapa ketentuan yang 

harus ditaati pihak pemberontak, seperti: larangan tindakan kekerasan (jiwa dan 

raga); penyanderaan; perkosaan; memberikan hukuman mati tanpa melalui 

prosedur yang benar; angkatan bersenjata pemberontak harus memiliki komando, 

melakukan pengawasan terhadap sebagian wilayah, melaksanakan operasi militer 

secara bersama-sama. 

 Adakalanya kaum pemberontak diakui keberadaannya sebagai (belligerent) 

oleh Negara-negara lain jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 

a. Memiliki struktur organisasi yang jelas sehingga kaum pemberontak 

teroganisir dengan baik; 

b. Memiliki tanda pengenal dan memakai nya dengan konsisten sehingga 

menunjukkan identitasnya sebagai kaum pemberontak; 

c. Sudah menguasai sebagian besar wilayah di tempat kaum pemberontak 

melakukan pemberontakan sehingga sudah memiliki kekuasaan secara efektif 

terhadap wilayah ini ;  

d. Mendapatkan dukungan dari rakyat yang berada di wilayah yang telah 

dikuasainya secara efektif. 

 

Pada saat kaum pemberontak dapat dikualifikasikan sebagai belligerents maka 

kelompok ini  dapat diakui sebagai subyek hukum internasional. Pengakuan 

terhadap belligerents sangat sulit diberikan oleh suatu Negara. Ketika sebuah 

Negara memberikan pengakuan kepada belligerents otomatis akan merusak 

hubungan Negara ini  dengan Negara dimana belligerents melakukan 

pemberontakan. Tujuan diberikannya pengakuan terhadap belligerents tidak lain 

demi alasan kemanusiaan sebab  mereka bukanlah kriminal. 

. Individu (Individual) 

 Berkaitan dengan individu sebagai salah satu subyek hukum internasional, 

ada  2 (dua) pandangan yang berbeda. Di satu pihak, ada beberapa ahli 

hukum internasional yang menyatakan bahwa Hukum Internasional yaitu  sistem 

yang dibentuk oleh, dari dan untuk Negara-Negara. Openheim berpendapat 

bahwa pandangan ini dipengaruhi oleh aliran hukum positif dan terminologi The 

Law of Nations (berkaitan dengan BabI mengenai peristilahan Hukum 

Internasional) yang berlaku hanya untuk Negara-Negara.174 Di lain pihak, ada 

beberapa ahli hukum, yaitu: Scelle, Lauterpacht, Philip Allott dan Warbricks. Scelle 

(1948) dan Warbrick memiliki pendapat yang sama bahwa aktor sesungguhnya di 

dalam setiap Negara yaitu  individu. Sebuah Negara tidak akan ada/terbentuk 

tanpa adanya individu individu