hukum internasional 2
pemberontakan ini dapat langsung
diatasi oleh militer Peru. Selanjutnya, pada tanggal 4 Oktober 1948, Presiden Peru
mengeluarkan keputusan bahwa pemberontakan ini didalangi oleh American
People‟s Revolutionary Alliance (APRA) yang dipimpin oleh Victor Raul Haya de la
Torre. Kemudian Victor Raul Haya de la Torre melarikan diri ke Columbia untuk
meminta suaka pada Pemerintahan Colombia.
Pemerintah Peru tidak menyetujui pemberian suaka ini , sebab
menurut Peru, Victor bukanlah seseorang yang layak untuk dilindungi yang hanya
sekadar buangan politik dan telah melakukan aksi kejahatan. Peru melakukan
protes kepada Colombia dengan menyatakan bahwa dalam hukum kebiasaan
Amerika Latin, suaka tidak dapat diberikan kepada seseorang yang telah
melakukan kejahatan, sedang Colombia menyebutkan bahwa pemberian
suaka yaitu sudah merupakan praktik umum negara-negara.
Atas peristiwa ini kemudian Peru membawa kasus ini ke Mahkamah
Internasional, yang kemudian Mahkamah Internasional memutuskan bahwa klaim
Colombia berdasar kebiasaan internasional tidak terbukti. Dalam analisisnya,
Mahkamah Internasional mensyaratkan bahwa negara yang mendasarkan
argumentasinya pada kebiasaan internasional harus membuktikan bahwa
tindakannya telah mengikat pihak lain dan dilakukan secara konstan serta
seragam. Fakta yang terjadi justru sebaliknya, Peru melakukan protes atas
tindakan Kolombia ini , selain itu praktik pemberian suaka juga tidak seragam
di wilayah Amerika Latin.
berdasar Peruvian–Colombian Asylum Case87, Mahkamah telah
mempertimbangkan berbagai kebiasaan yang bersifat lokal yang terkandung di
dalam praktek hubungan internasional beberapa negara atau bahkan praktek
yang dilakukan hanya oleh dua negara. Sekalipun Pasal 38 ayat (1) Statuta
Mahkamah menyebutkan kata “a general practice”, namun Mahkamah telah
memberikan tempat terhadap berbagai kebiasaan yang bersifat local atau
regional. Mahkamah mendefinisikan customs sebagai kebiasaan yang bersifat
sama dan tetap atau terus-menerus (constant and uniform usage), yang diterima
sebagai hukum (accepted as law), baik kebiasan yang bersifat lokal maupun
umum dipakai dalam kehidupan masyarakat internasional. Kebiasaan (usage)
menurut Mahkamah yaitu kebiasaan yang dipakai di dalam praktek
kehidupan negara-negara. Komisi Hukum Internasional (International Law
Commission-ILC) memasukkan komponen berikut sebagai bagian dari praktek
negara-negara, yaitu: treaties, decisions of international and national courts,
national legislation, diplomatic correspondence, opinions of national legal advisers
and the practice of international organization.88 Sementara Ian Brownlie
memasukkan kedalam praktek negara-negara itu, antara lain: policy statements,
press releases, official manuals on legal questions, executive decisions and
practices, and comments on drafts produced by the ILC.
4.3.3. Unsur Psikologis
Unsur penerimaan sebagai hukum mengandung makna bahwa kebiasaan
itu merupakan perbuatan dalam rangka memenuhi suruhan kaedah atau
kewajiban hukum (opinion juris sive necessitates). Secara praktis, penerimaan
demikian itu oleh suatu negara ditunjukkan dalam bentuk tindakan menerima atau
negara-negara yang bersangkutan tidak menyatakan keberatan. Keberatan itu
dapat dinyatakan melalui saluran diplomatik atau saluran hukum, contoh
Mahkamah. Beberapa contoh ketentuan hukum internasional yang terbentuk
melalui proses kebisaan, contoh : pemakaian bendera putih sebagai bendera
parlementer, yaitu bendera yang memberi perlindungan terhadap utusan yang
dikirim untuk mengadakan hubungan dengan pihak musuh di dalam keadaan
perang; hukum perlakuan tawanan perang dalam peristiwa perang. Disamping
banyak kebiasaan internasional yang diterima sebagai hukum, ada juga
kebiasaan internasional yang ditinggalkan oleh masyarakat internasional, seperti
contoh praktek Jerman menenggelamkan kapal musuh dengan cara menembak
tanpa pemberitahuan terlebih dahulu dan tanpa memberikan kesempatan kepada
pihak kapal untuk menyelamatkan diri.
Kebiasaan internasional yang berkembang menjadi hukum dan kebiasaan
internasional yang ditinggalkan sebagai kebiasaan umumnya didasarkan
pertimbangan keadilan dan kepatutan di dalam kehidupan masyarakat
internasional. Kebiasaan internasional yang diterima sebagai hukum, umumnya
sebab dinilai memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan. sedang ,
kebiasaan yang semula ada dan dipraktekkan, tetapi kemudian ditinggalkan,
umumnya sebab dinilai bertentangan dengan hukum, contoh hukum perang
yang berlaku di laut.
4.4. Prinsip-Prinsip Hukum Umum
Prinsip-prinsip hukum umum yaitu prinsip-prinsip hukum yang mendasari
sistem hukum modern, tidak terbatas hanya pada azas-azas hukum internasional,
melainkan azas-azas hukum pada umumnya, seperti: azas itikad baik (bona
fides), azas pacta sunt servanda, azas penyalahgunaan hak (abuse of rights), dll.
Sistem hukum modern yaitu sistem hukum positif. Sistem hukum ini merupakan
sistem hukum Barat yang berpijak pada sistem hukum Romari. Prinsip-prinsip
hukum itu terkandung di dalam sistem hukum Romawi yang dibawa oleh bangsa-
bangsa Barat di dalam proses imperialism dan kolonialisme bangsa-bangsa Eropa
Barat ke sebagian besar permukaan bumi. Pencantuman prinsip-prinsip hukum
umum sebagai sumber hukum formal bertujuan untuk memberikan dasar kepada
hakim Mahkamah untuk mengagali hukum dalam memustus perkara yang
dihadapkan kepadanya dan membuat hakim menerima setiap perkara yang
diajukan kepadanya. Hakim tidak dapat menyatakan dirinya tidak dapat
menangani perkara sebab alasan tidak tersedianya hukum (non-liquet).89
Menurut Schwarzenberger, suatu prinsip hukum dapat dikualifikasikan
sebagai prinsip hukum umum, berdasar Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah,
bila memenuhi tiga persyaratan:
(1) harus merupakan prinsip hukum umum yang dapat dibedakan dengan
ketentuan hukum yang bersifat terbatas atau sangat sempit (it must be a
general principle of law as distinct from a legal rule of more limited
functional scope);
(2) harus diakui oleh bangsa-bangsa beradab, yang berbeda dengan
masyarakat barbar (it must be recognized by civilized nations as distinct
from barbarous or savage communities);
(3) harus merupakan praktek dari beberapa negara dalam jumlah yang wajar,
dan merupakan bagian dari sistem hukum sebagai pembentuk sistem
hukum dunia (it must share by a fair number of civilized nations, and it is
arguable that these must include at least the principal legal sistems of the
world).
sebab itu, praktek berulang-ulang dari suatu kebiasaan di dalam
wilayah suatu negara belum dapat dikategorikan sebagai sebagai kebiasaan
yang berlaku diseluruh dunia sampai kebiasaan itu dikaui sebagai kebiasaan di
dalam penyelesaian suatu kasus tertentu. Penentuan suatu kebiasaan sebagai
kebiasaan internasional yang diterima sebagai hukum harus diuji secara
tersendiri dalam setiap kasus, kecuali kebiasaan itu telah diakui, diterima, dan
berlaku secara umum dalam pergaulan masyarakat internasional.90
4.5. Putusan Pengadilan dan Ajaran Penulis Terkemuka
Putusan pengadilan dikategorikan sebagai sumber hukum tambahan
(subsidiary source), di samping sumber hukum utama (primary source). Putusan
pengadilan dipakai sebagai dasar untuk membuktikan adsanya kaedah hukum
internasional berkenaan dengan suatu permasalahan yang timbul dari akibat
penerapan sumber hukum primer, seperti perjanjian internasional, kebiasaan
hukum internasional, dan azas-azas hukum umum. Sistem hukum internasional
tidak mengenal azas putusan pengadilan yang mengikat (rule of binding
precedent). Pasal 59 Statuta Mahkamah menentukan bahwa:
“The decision of the Court has no binding force except between the
parties and in respect of that particular case.”
Pengertian kata „pengadilan‟ sebagaimana diatur di dalam Pasal 38 ayat (1)
Statuta Mahkamah mencakup pengadilan secara keseluruhan, baik badan
peradilan internasional maupun nasional, termasuk mahkamah dan arbitrase.
Pendapat para ahli hukum internasional terkemuka berkenaan dengan
pendapat-pendapat mereka dalam hasil penelitian mereka, publikasi, maupun
dalam kaitan dengan kedudukan mereka sebagai tim kodifikasi dalam berbagai
tim kerja hukum internasional seperti: International Law Association, Institute de
Dorit International, termasuk tim kerja hukum dalam berbagai organisasi non-
pemerintah dari para ahli demikian itu.
4.6. Resolusi Majelis Umum PBB
Majelis Umum PBB memegang peran penting dalam pengembangan hukum
internasional. Lembaga ini menyamai peran legislatif di dalam sistem pemerintah
domestic negara-negara. Profesor Mochtar Kusumaatmadja menyebut peran
Majelis demikian itu sebagai quasi legislative. Majelis dengan jumlah anggota
120an negara dalam menerbitkan berbagai produk hukum Majelis, seperti:
Resolusi, Charter, dan Deklarasi, yang berkenaan dengan berbagai persoalan
politik, ekonomi, social dan kebudayaan mengakibatkan produk hukum Majelis itu
menjadi semacam pendapat umum (communis opinio) yang berpengaruh besar
terhadap berbagai produk hukum negara-negara dan relevan dirujuk sebagai
sumber hukum internasional.
4.7. Kodifikasi dan Perkembangan Progresif Hukum Internasional
Sejak abad ke-19, kodifikasi hukum internasional merupakan kegiatan yang
dilakukan oleh baik badan publik maupun perdata internasional. Kegiatan ini
merupakan kelanjutan dari keberhasilan yang telah dicapai sebelum Perang Dunia
I, seperti capaian dalam bentuk Hague Convention 1899 dan 1907, sebagai hasil
dari Hague Conference tentang the law of war and neutrality. Diantara Perdang
Dunia I dan Perang Dunia II, the League of Nations mendorong penyelenggaraan
suatu Codofication Conference di The Hague (1930) yang mengkaji masalah
kewarganegaraan (nationality), perairan territorial (territorial waters), dan tanggung
jawab negara (state responsibility). Konferensi ini menyisakan kekecewaan,
sebab hanya berakhir dengan satu keberhasilan, yaitu berkenaan dengan
masalah kewarganegaraan.
Pada tahun 1946, Majelis Umum PBB, berdasar Pasal 13 Piagam PBB,
membentuk International Law Commission (ILC) yang diberi tugas meningkatkan
usaha pengembangan yang cepat (progressive development) dan
pengkodifikasian (codification) hukum internasional. Pengembangan huhukum
internasional yang progresif yaitu pengembangan berbagai draft hukum
internasional yang belum ada sebelumnya atau rancangan hukum internasional
yang belum selesai. sedang yang dimaksud dengan kodifikasi yaitu
sistematisasi dan formulasi hukum internasional secara lebih baik, terutama pada
bidang-bindang yang telah terisi oleh praktek negara-negara, preseden, dan
doktrin yang telah berkembang secara luas.93
Berbagai konvensi yang saat ini berlaku merupakan produk dari ILC,
seperti: Geneva Convention on the Law of the Sea 1958, Vienna Convention on
Diplomatic Relation 1961, Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, dan
Vienna Convention on Succession of State in Respect of Treaties 1978. ILC telah
menyiap draft dari berbagai Konvensi itu, kemudian draft itu dibahas di dalam
berbagai Konferensi yang diselenggarakan oleh Majelis Umum PBB, untuk
selanjutnya melalui Konferensi itu ditetapkan sebagai Konvensi. Beberapa hasil
lain dari hasil kerja ILC, antara lain: Draft Declaration on Rights and Duties of
States (1949), the Principles of International Law sebagaimana diatur di dalam the
Charter of the Nurnberg Tribunal dan di dalam the Judgement of the Tribunal
(1950), Draft Code of Offence against the Peace and Security of Mankind (1954),
dan Model Rules on Arbitration Procedure (1958).
individu atau badan/lembaga yang memiliki kewenangan kepada orang
atau masyarakat di dalam sebuah Negara yang berwenang atas mereka).
Menurutnya hukum internasional itu bukanlah hukum yang sebenarnya
melainkan hanya moralitas internasional positif (positive international morality)
yang dapat disamakan dengan kaidah-kaidah yang mengikat suatu kelompok atau
masyarakat.99 Pendapat Austin ini terbantahkan oleh dua hal100:
- Pertama, tidak adanya badan pembuat atau pembentuk hukum bukanlah
berarti tidak ada hukum. contoh hukum adat;
- Kedua, harus dibedakan antara persoalan ada-tidaknya hukum dan ciri-ciri
efektifnya hukum. Tidak adanya lembaga-lembaga yang diasosiasikan
dengan hukum dalam tubuh hukum internasional (eksekutif, legislatif,
kehakiman, kepolisian, dsb) yaitu ciri-ciri atau pertanda bahwa hukum
internasional belum efektif tetapi bukan berarti bahwa hukum internasional
itu tidak ada.
Mengenai bantahan ini, J. G. Starke menambahkan bahwa “persoalan-
persoalan hukum internasional senantiasa diperlakukan sebagai persoalan-
persoalan hukum oleh kalangan yang menangani urusan internasional dalam
berbagai Kementerian Luar Negeri atau melalui berbagai badan administrasi
internasional.”
4.1.2. Teori-teori Dasar Kekuatan Mengikat Hukum Internasional
Pada kenyataannya hukum internasional tidak memiliki lembaga legislatif,
eksekutif, yudisial, maupun kepolisian tetapi pada kenyataannya pula hukum
internasional itu mengikat, maka timbul pertanyaan: mengapa hukum internasional
itu mengikat? Apa yang menjadi dasar mengikatnya hukum internasional?
Dalam hubungan ini telah timbul beberapa teori atau ajaran yang mencoba
memberikan landasan pemikiran tentang mengikatnya hukum internasional, yaitu
(1) Mazhab atau Ajaran Hukum Alam; (2) Mazhab atau Ajaran Hukum Positif; dan
(3) Mazhab Perancis.
(1) Mazhab/Ajaran Hukum Alam.
Menurut Mazhab Hukum Alam, hukum internasional mengikat sebab ia
yaitu bagian dari “hukum alam” yang diterapkan dalam kehidupan bangsa-bangsa. Negara-negara tunduk atau terikat kepada hukum internasional dalam
hubungan antar mereka sebab hukum internasional itu merupakan bagian dari
hukum yang lebih tinggi, yaitu “hukum alam”. Tokoh-tokoh dari mazhab ini, antara
lain, Hugo Grotius (Hugo de Groot), Emmeric Vattel, dll.
Kontribusi terbesar mazhab hukum alam bagi hukum internasional yaitu
bahwa ia memberikan dasar-dasar bagi pembentukan hukum yang ideal. Dalam
hal ini, dengan menjelaskan bahwa konsep hidup bermasyarakat internasional
merupakan keharusan yang diperintahkan oleh akal budi (rasio) manusia, mazhab
hukum alam sesungguhnya telah meletakkan dasar rasionalitas bagi pentingnya
hidup berdampingan secara tertib dan damai antar bangsa-bangsa di dunia ini
walaupun mereka memiliki asal-usul keturunan, pandangan hidup, dan nilai-nilai
yang berbeda-beda.
“that „natural‟ obligations of justice became not those of divine law but
essentially what is necessary for subsistence and self-preservation. Others
have focused on consent as the key to the binding nature of international
law. Norms are binding because state consent that they should be.” 103
(Terjemahan bebas: Kewajiban alami dari keadilan bukanlah hukum Tuhan
tetapi yang penting untuk penghidupan dan pemeliharaan diri sendiri. Yang
lainnya difokuskan pada persetujuan sebagai kunci daya ikat hukum
internasional. Norma-norma mengikat sebab persetujuan Negara memang
seharusnya begitu).
Meskipun demikian, ia juga mengandung kelemahan yang cukup mendasar
yaitu tidak jelasnya apa yang dimaksud dengan “hukum alam” itu. Akibatnya,
pengertian tentang hukum alam itu menjadi sangat subjektif, bergantung pada
penafsiran masing-masing orang atau ahli yang menganjurkannya.
(2) Mazhab Hukum Positif
Ada beberapa mazhab yang termasuk ke dalam kelompok Mazhab Hukum
Positif, yaitu:
a. Mazhab atau Teori Kehendak Negara atau Teori Kedaulatan Negara;
b. Mazhab atau Teori Kehendak Bersama Negara-negara;
c. Mazhab Wina (Vienna School of Thought).
a. Mazhab/Teori Kehendak Negara.
Mazhab ini bertolak dari teori kedaulatan negara. Secara umum inti dari
mazhab ini yaitu sebagai berikut: oleh sebab negara yaitu pemegang
kedaulatan, maka negara yaitu juga sumber dari segala hukum. Hukum
internasional itu mengikat negara-negara sebab negara-negara itu atas kehendak
atau kemauannya sendirilah tunduk atau mengikatkan diri kepada hukum
internasional.
Bagi mazhab ini, hukum internasional itu bukanlah sesuatu yang lebih tinggi
dari kemauan negara (hukum nasional) tetapi merupakan bagian dari hukum
nasional (c.q. hukum tata negara) yang mengatur hubungan luar suatu negara
(auszeres Staatsrecht). Para pemuka mazhab ini, antara lain, Georg Jellinek,
Zorn, dll.
Kritik dan sekaligus kelemahan dari ajaran ini yaitu bahwa ajaran ini tidak
mampu menjelaskan bagaimana jika negara-negara itu secara sepihak
menyatakan tidak mau lagi terikat kepada hukum internasional, apakah dengan
demikian hukum internasional ini tidak lagi mengikat?
Ajaran ini juga tidak mampu menjelaskan negara-negara yang baru lahir sudah
langsung terikat oleh hukum internasional terlepas dari mereka setuju atau tidak?
b. Mazhab atau Teori Kehendak Bersama Negara-negara.
Mazhab ini berusaha untuk menutup kelemahan Mazhab/Teori Kehendak
Negara sebagaimana telah dikemukan di atas. Menurut mazhab ini, hukum
internasional itu mengikat bukan sebab kehendak negara-negara secara sendiri-
sendiri melainkan sebab kehendak bersama negara-negara itu di mana kehendak
bersama ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan kehendak negara secara
sendiri-sendiri. Dikatakan pula oleh mazhab ini bahwa, berbeda halnya dengan
kehendak negara secara sendiri-sendiri, kehendak bersama ini tidak perlu
dinyatakan secara tegas atau spesifik.
Inilah inti dari ajaran Vereinbarungstheorie yang dikemukakan oleh Triepel.
Melalui ajarannya itu Triepel sesungguhnya berusaha untuk mendasarkan
teorinya pada cara mengikat hukum kebiasaan internasional. Maksudnya, dengan
mengatakan bahwa kehendak bersama negara-negara untuk terikat pada hukum
internasional itu tidak perlu dinyatakan secara tegas atau spesifik ia
sesungguhnya bermaksud mengatakan bahwa negara-negara itu telah
menyatakan persetujuannya untuk terikat secara implisit atau diam-diam (implied).
Kendatipun telah berusaha menjawab kritik terhadap kelemahan
Mazhab/Teori Kehendak Negara, Mazhab/Teori Kehendak Bersama Negara-
negara ini tetap saja mengandung kelemahan, yaitu:
- Pertama, mazhab ini tidak mampu memberikan penjelasan yang
memuaskan terhadap pertanyaan: kalaupun negara-negara tidak
dimungkinkan menarik persetujuan untuk terikat kepada hukum
internasional secara sendiri-sendiri, bagaimana jika negara-negara ini
secara bersama-sama menarik persetujuannya untuk tidak terikat pada
hukum internasional? Apakah dengan demikian berarti hukum internasional
menjadi tidak ada lagi?
- Kedua, dengan mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional itu
pada kehendak negara, maka (seperti halnya pada Mazhab/Teori
Kehendak Negara) mazhab ini pun sesungguhnya hanya menganggap
hukum internasional itu hanya sebagai hukum perjanjian antar negara-
negara. Pendapat ini, sebagaimana telah disinggung di atas, telah terbukti
sebagai pendapat yang tidak benar. Sebab hukum internasional bukan
semata-mata lahir dari perjanjian internasional.
c. Mazhab Wina
Kelemahan-kelemahan yang melekat pada mazhab-mazhab yang
meletakkan dasar kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak negara
(yang kerap juga disebut sebagai aliran voluntaris) melahirkan pemikiran baru
yang tidak lagi meletakkan dasar mengikat hukum internasional itu pada kehendak
negara melainkan pada adanya norma atau kaidah hukum yang telah ada terlebih
dahulu yang terlepas dari kehendak atau tidak oleh negara-negara (aliran
pemikiran ini kerap disebut sebagai aliran objektivist). Tokoh terkenal dari aliran ini
yaitu Hans Kelsen yang mazhabnya dikenal dengan sebutan Mazhab Wina
(Vienna School of Thought).
Menurut Kelsen, ada dan mengikatnya kaidah hukum internasional
didasarkan oleh ada dan mengikatnya kaidah hukum lain yang lebih tinggi. Ada
dan mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi itu didasarkan oleh ada dan
mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya hingga
sampai pada suatu puncak piramida kaidah-kaidah hukum yang dinamakan
kaidah dasar (grundnorm) yang tidak lagi dapat dijelaskan secara hukum
melainkan harus diterima adanya sebagai hipotesa asal (ursprungshypothese).
Menurut Kelsen, kaidah dasar dari hukum internasional itu yaitu prinsip atau
asas pacta sunt servanda.
Kelemahan dari mazhab atau teori ini yaitu bahwa memang sepintas
tampak bahwa konstruksi pemikiran mazhab ini tampak logis dalam menerangkan
dasar mengikatnya hukum internasional. Di sisi lain, mazhab ini tidak dapat
menerangkan mengapa kaidah dasar (grundnorm) itu sendiri mengikat? Lagipula,
dengan mengatakan bahwa kaidah dasar itu sebagai hipotesa, yang merupakan
sesuatu yang belum pasti, maka berarti pada akhirnya dasar mengikatnya hukum
internasional digantungkan pada sesuatu yang tidak pasti. Dengan demikian,
seluruh konstruksi pemikiran yang mulanya tampak logis itu pada akhirnya
menjadi sesuatu yang menggantung di awang-awang.
Lebih jauh lagi, dengan mengatakan bahwa grundnorm itu sebagai
persoalan di luar hukum atau tidak dapat dijelaskan secara hukum maka berarti
persoalan tentang dasar mengikatnya hukum internasional akhirnya dikembalikan
lagi kepada nilai-nilai kehidupan manusia di luar hukum yaitu rasa keadilan dan
moral – yang berarti sama saja dengan mengembalikan dasar mengikatnya
hukum internasional itu kepada hukum alam.
(3) Mazhab Perancis
Suatu mazhab yang mencoba menjelaskan dasar mengikatnya hukum
internasional dengan konstruksi pemikiran yang sama sekali berbeda dengan
kedua mazhab sebelumnya (Mazhab Hukum Alam dan Mazhab Hukum Positif)
muncul di Perancis. sebab itu, Mazhab ini dikenal sebagai Mazhab Perancis.
Pelopornya, antara lain, Leon Duguit, Fauchile, dan Schelle.
Dalam garis besarnya, mazhab ini meletakkan dasar mengikatnya hukum
internasional – sebagaimana halnya bidang hukum lainnya – pada faktor-faktor
yang mereka namakan “fakta-fakta kemasyarakatan” (fait social), yaitu berupa
faktor-faktor biologis, sosial, dan sejarah kehidupan manusia. Artinya, dasar
mengikatnya hukum internasional itu dapat dikembalikan kepada sifat alami
manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa memiliki hasrat untuk hidup
bergabung dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. Kebutuhan dan
naluri sosial manusia sebagai individu itu juga dimiliki oleh negara-negara atau
bangsa-bangsa (yang merupakan kumpulan manusia). Dengan kata lain, menurut
mazhab ini, dasar mengikatnya hukum internasional itu, sebagaimana halnya
dasar mengikatnya setiap hukum, ada dalam kenyataan sosial yaitu pada
kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat.
. Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional
. Paham Monisme dan Dualisme
Secara umum ada dua paham besar mengenai keberlakukan hukum
internasional, yaitu paham voluntarisme (voluntarism) dan paham objektivisme
(objectivism).105 Paham voluntarisme memandang bahwa berlakunya hukum
internasional terletak pada kemauan negara, artinya negara yang bersangkutanlah
yang menentukan apakah akan tunduk dan mematuhi hukum internasional
ataukah tidak, oleh sebab itu maka munculah paham dualisme. Beberapa sarjana
menyebut paham dualisme ini sebagai paham pluralistic106, sebab menurut
penganut paham ini hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional
melibatkan beberapa besar sistem hukum domestik, namun demikian menurut
Starke hal ini membingungkan dan tidak tepat.107
Paham dualisme yang dilahirkan oleh paham voluntarisme memandang
bahwa hukum internasional dan hukum nasional yaitu dua perangkat hukum
yang hidup berdampingan dan terpisah. Paham ini pelopornya yaitu Triepel
(Jerman) dan Anzilotti (Italia).
Paham ini beralasan bahwa antara :
a) hukum internasional dan hukum nasional mempunyai sumber yang
berlainan. Hukum nasional bersumber dari kemauan negara, sedang
hukum internasional bersumber pada kemauan bersama negara-negara
atau masyarakat negara.
b) hukum internasional dan hukum nasional memiliki subjek hukum
yang berlainan. Subjek hukum nasional (baik dalam hukum perdata
maupun hukum pidana) yaitu orang perorangan, sedang subjek
hukum internasional utama yaitu negara.
c) hukum internasional dan hukum nasional memiliki struktur yang
berbeda. Hukum nasional memiliki mahkamah dan organ dalam bentuk
yang sempurna, sedang hukum internasional tidak memiliki hal yang
serupa itu.
d) Hukum nasional akan tetap berlaku secara efektif meskipun
bertentangan dengan hukum internasional.
Sebagai akibatnya108 maka (1) tidak akan mungkin dipersoalkan mengenai
hirarki antara hukum internasional dan hukum nasional, sebab menurut paham ini
keduanya pada hakikatnya tidak saja berlainan dan tidak tergantung satu sama
lain, tetapi juga terlepas satu sama lain, (2) tidak akan mungkin ada pertentangan
di antara keduanya yang mungkin ada hanya penunjukan dan (3) hukum
internasional memerlukan transformasi terlebih dahulu untuk dapat berlaku dalam
lingkungan hukum nasional.
Namun demikian paham dualisme ini memiliki beberapa kelemahan
dalam argumentasinya, yaitu:
- Pertama dilihat dari sumbernya pada dasarnya baik hukum
internasional maupun hukum nasional bersumber dari kemauan
negara yaitu kemauan negara untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Jadi baik hukum internasional maupun hukum nasional bersumber dari
kebutuhan manusia untuk hidup teratur dan beradab.
- Kedua dilihat dari subjeknya, bahwa pada kenyataannya, dewasa ini
perorangan pun dapat menjadi subjek hukum internasional.
- Ketiga dilihat dari struktur keduanya, perkembangan hukum nasional
memang jauh lebih tinggi daripada hukum internasional, sehingga
wajar saja jika hukum nasional memiliki bentuk organ yang lebih
sempurna daripada hukum internasional.
- Keempat dilihat dari efektifitasnya, justru yaitu sebaliknya pada
kenyataannya seringkali hukum nasional tunduk pada hukum
internasional. Pertentangan antara keduanya memang benar adanya
namun hal ini bukanlah bukti adanya perbedaan secara
struktural tetapi hanyalah kekurangefektifan hukum internasional.
Selanjutnya paham objektivis memandang keberlakuan hukum internasional
terlepas dari kemauan negara, artinya tunduk dan mematuhi hukum internasional
bagi suatu negara yaitu suatu keniscayaan dan terlepas dari kemauan negara
yang bersangkutan, dari paham ini kemudian muncul paham monisme yang
memandang bahwa hukum internasional dan hukum nasional tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, keduanya merupakan bagian dari hal yang lebih besar,
yaitu hukum. Sebagai akibatnya dari pandangan ini bahwa antara hukum
internasional dan hukum nasional mungkin ada hubungan hirarki. Paham ini
melahirkan 2 (dua) teori, yaitu: (1) monisme dengan primat hukum nasional dan
(2) monisme dengan primat hukum internasional.
a. Monisme dengan Primat Hukum Nasional
Menurut teori ini hukum internasional yaitu lanjutan hukum nasional
untuk urusan luar negeri (penganutnya dinamakan mazhab Bonn yang salah satu
pelopornya yaitu Max Wenzel). Jadi menurut teori ini hukum internasional
yaitu bersumber dari hukum nasional.
Alasannya:
a) Tidak ada satu organisasi di atas negara-negara yang mengatur
kehidupan negara-negara di dunia.
b) Dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional yaitu
terletak pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian
internasional, jadi ini yaitu wewenang konstitusional. Kelemahan: hanya
memandang hukum sebagai hukum tertulis dalam hal ini perjanjian
internasional.
b. Monisme dengan Primat Hukum Internasional
Hukum nasional bersumber dari hukum internasional yang secara
hirarkis lebih tinggi. Hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan
kekuatan mengikatnya berdasar suatu pendelegasian wewenang dari hukum
internasional. Penganut teori ini disebut dengan Mazhab Vienna. Kelemahan: (1)
jika memandang bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional, ini
artinya hukum internasional ada terlebih dulu daripada hukum nasional, hal ini
tentu saja bertentangan dengan kenyataan sejarah, yang menyebutkan bahwa
hukum nasional ada lebih dulu daripada hukum internasional. (2) wewenang
mengadakan pejanjian terletak pada hukum nasional.
Kedua paham dualisme dan monisme ternyata tidak mampu
menjelaskan hubungan hukum internasional dan hukum nasional.
Dikenal doktrin inkorporasi, artinya hukum internasional yaitu
hukum negara (international law is the law of the land). Doktrin ini pertama kali
dikemukakan oleh Blackstone (abad 18). Daya berlaku doktrin ini dibedakan untuk
dua hal: (1) hukum kebiasaan internasional dan (2) hukum internasional yang
tertulis.
Untuk hukum kebiasaan internasional, doktrin ini berlaku dengan 3
pengecualian
a. tidak bertentangan dengan suatu undang-undang baik yang lebih tua
maupun yang akan ada kemudian.
b. Sekali ruang lingkup suatu ketentuan hukum kebiasaan internasional
ditetapkan oleh keputusan mahkamah tertinggi, maka semua pengadilan di
bawahnya terikat oleh keputusan itu, walaupun di kemudian hari ternyata
kebiasaan ini bertenangan dengan hukum nasional.
c. Ketentuan hukum kebiasaan ini harus merupakan ketentuan yang
umum diterima oleh masyarakat internasional.
Penerapan doktrin inkorporasi di Inggris meliputi dua dalil, yaitu:
a. Dalil konstruksi hukum, yaitu bahwa undang-undang yang dibuat oleh
parlemen harus ditafsirkan sebagai tidak bertentangan dengan hukum
internasional. Artinya, dalam melakukan penafsiran terhadap undang-undang ada pra-anggapan bahwa parlemen tidak berniat melakukan
pelanggaran terhadap hukum internasional.
b. Dalil tentang pembuktian suatu ketentuan hukum internasional, yaitu bahwa
HI tidak memerlukan kesaksian para ahli di pengadilan Inggris.
Mengenai hukum yang bersumberkan pada perjanjian (hukum
internasional tertulis), hukum Inggris menyatakan bahwa perjanjian yang
memerlukan persetujuan parlemen, memerlukan pula pengundangan nasional,
sedang perjanjian yang tidak memerlukan persetujuan parlemen dapat berlaku
langsung setelah penandatanganan.
Perjanjian yang memerlukan persetujuan parlemen:
a. Perjanjian yang memerlukan diadakannya perubahan perundang-undangan
nasional.
b. Perjanjian yang menyebabkan perubahan status atau garis batas wilayah
negara.
c. Pejanjian yang mempengaruhi hak sipil warga negara Inggris.
d. Pejanjian yang akan menambah beban keuangan negara.
Amerika Serikat juga menganut doktrin inkorporasi. Undang-undang
yang dibuat dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Congress)
diusahakan tidak bertentangan dengan hukum internasional, namun jika kemudian
sebuah undang-undang baru ternyata bertentangan dengan hukum internasional,
maka yang harus dimenangkan yaitu undang-undang.118
Perbedaan AS dengan Inggris tampak jelas dalam hubungan antara
perjanjian internasional dengan hukum nasional. Di Amerika Serikat perlu atau
tidaknya pengundangan secara nasional suau perjanjian internasional ditentukan
oleh dua hal, yaitu (1) apakah bertentangan dengan konstitusi? Dan (2) apakah
perjanjian internasional ini merupakan golongan self executing treaties
atau non self executing treaties?119
Jika pengadilan AS menetapkan bahwa suatu perjanjian
internasional tidak bertentangan dengan konstitusi dan termasuk golongan
perjanjian internasional self executing, maka perjanjian ini dianggap bagian
dari hukum nasional Amerika Serikat dan tidak memerlukan pengundangan
nasional. sedang jika perjajian internasional ini termasuk perjanjian non
self executing maka diperlukan pengundangan nasional.
. Negara-negara lain
Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Jerman dan UUD Perancis
disebutkan bahwa ketentuan-ketentuan hukum internasional merupakan bagian
dari hukum nasional Jerman. Ketentuan hukum internasional ini
kedudukannya lebih tinggi daripada undang-undang nasional dan langsung
menimbulkan hak dan kewajiban bagi penduduk wilayah federasi Jerman.121
Dalam sistem hukum Jerman dan Perancis tidak dipersoalkan
transformasi perjanjian internasional ke dalam hukum nasional, menurut sistem
hukum kedua negara ini , pengesahan perjanjian dan pengumuman resmi
sudah mencukupi syarat suatu perjanjian internasional merupakan bagian dari
hukum nasional.
. Indonesia
Walaupun dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tidak termuat ketentuan sebagaimana dalam UUD Jerman dan
Perancis, namun hal ini tidak dapat dijadikan dasar bahwa Indonesia tidak
mengakui keberlakukan hukum internasional, yang menjadi pertanyaan yaitu :
Indonesia menganut paham yang mana, monisme ataukah dualisme? Untuk
menjawab hal ini maka kita mesti menelusurinya melalui peraturan perundang-
undangan di bawah UUD NRI 1945. Peraturan perundangan yang dimaksud
yaitu Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
(selanjutnya disebut UU Perjanjian Internasional). Mengenai hal ini dapat kita lihat
dalam konsideran menimbang UU Perjanjian Internasional:
“bahwa ketentuan mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945
sangat ringkas, sehingga perlu dijabarkan lebih lanjut dalam suatu
peraturan perundang-undangan.”
Kemudian dalam Pasal 9 disebutkan:
(1) Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah RI dilakukan
sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional ini ;
(2) Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.
Selanjutnya dalam Pasal 10 dinyatakan:
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang
apabila berkenaan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia;
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Pasal 11 ayat (1) menyebutkan “Pengesahan perjanjian internasional yang
materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan
dengan keputusan presiden.
berdasar ketiga pasal ini tampak bahwa Indonesia menghendaki
adanya proses transformasi bagi hukum internasional (dalam hal ini perjanjian
internasional) untuk dapat menjadi hukum nasional.
Mengenai posisi Indonesia dalam memandang hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional, dapat dilihat dalam dua kasus berbeda yaitu
Kasus Tembakau Bremen dan Kasus Mobil Nasional.
Kasus Tembakau Bremen
Sekitar tahun 1958 Pemerintah Indonesia mengambil alih perusahaan-
perusahaan Belanda, berkaitan dengan perjuangan mengembalikan Irian Barat
dari pendudukan Belanda. Berkaitan dengan nasionalisasi ini, timbul gugatan
perusahaan tembakau Belanda di Bremen (Jerman), ketika tembakau dari
perkebunan di Deli akan dilelang pada pasar tembakau di Bremen.123
Duduk perkaranya bermula pada saat pengapalan tembakau dari bekas
perusahaan Belanda yang dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia. Pemilik
perusahaan yang dinasionalisasi ini mengklaim tembakau ini sebagai
miliknya. Kemudian, pihak Belanda (De Verenigde Deli Maatschapijen)
menggugat pihak pemerintah Indonesia dan Maskapai Tembakau Jerman-
Indonesia (Deutsch-Indonesia Tabakshandels G.m.b.H). Menanggapi gugatan
Belanda, Indonesia menyatakan bahwa tindakan pengambilalihan dan
nasionalisasi itu merupakan tindakan suatu negara yang berdaulat dalam rangka
perubahan struktur ekonomi bangsa Indonesia dari struktur ekonomi kolonial ke
ekonomi nasional.
Pihak Indonesia dan Maskapai Tembakau Jerman-Indonesia digugat oleh
pihak Belanda di Pengadilan Bremen (Landesgericht Bremen). Dalam putusannya
secara tidak langsung membenarkan nasionalisasi perusahaan dan perkebunan
milik Belanda oleh pemerintah Indonesia. Pihak Belanda mengajukan banding
atas putusan ini ke Pengadilan Tinggi Bremen (Oberlandesgericht Bremen)
dan mendalilkan bahwa tindakan Indonesia dalam menasionalisasi bekas
perusahaan Belanda tidak sah sebab ganti rugi yang ditawarkan tidak memenuhi
apa yang oleh pihak Belanda dianggap sebagai dalil hukum internasional yaitu
bahwa ganti rugi itu harus prompt, effective dan adequate. Pihak perusahaan
tembakau Jerman-Indonesia dan pemerintah Indonesia membantah dalil yang
dikemukakan oleh Belanda, dengan mengatakan bahwa nasionalisasi yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia yaitu usaha untuk mengubah struktur
ekonomi Indonesia dari ekonomi kolonial ke ekonomi yang bersifat nasional
secara radikal. Menurut pihak tergugat nasionalisasi ini perlu dilakukan
dalam rangka perubahan struktur ekonomi ini .125 Dalil klasik prompt, effective
dan adequate yang berlaku dalam hukum internasional harus tunduk pada hukum
nasional sebab interpretasi prompt, effective dan adequate masing-masing
Negara berbeda disesuaikan dengan kemampuannya.
Kasus Mobil Nasional
Indonesia yang secara resmi bergabung dengan World Trade Organization
dengan meratifikasi konvensi WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994
secara hukum terikat kepada ketentuan-ketentuan General Agreements on Tariff
and Trade.
Kasus ini diawali dengan dikeluarkannya instruksi Presiden Nomor 2 tahun
1996 mengenai Program Mobil Nasional sebagai terobosan di sektor
otomotif Indonesia. Inpres ini bertujuan untuk tercapainya kemajuan dan
kemandirian bangsa Indonesia dalam industri otomotif. Program Mobil Nasional
ini yang menunjuk PT Timor Putra Nusantara (TPN) sebagai perusahaan yang
memproduksi Mobnas. Namun dalam kenyataannya PT TPN belum dapat
memproduksi mobil di dalam negeri, maka dikeluarkanlah Keputusan Presiden
Nomor 42 tahun 1996 yang mengizinkan PT TPN mengimpor Mobnas yang
kemudian diberi merek “Timor” (baik dalam bentuk jadi atau completely build-up/
CBU) dari Korea Selatan. Perusahaan ini juga diberikan hak istimewa, yaitu
bebas pajak barang mewah dan bebas bea masuk barang impor. Hal ini
mendatangkan reaksi dari beberapa pihak yaitu Jepang, Amerika Serikat dan
beberapa negara Eropa. Jepang yang paling berusaha keras kerena mempunyai
kepentingan kuat dalam industri otomotifnya yang telah menguasai hampir 90%
pangsa mobil Indonesia. Akhirnya terjadi dialog antara Jepang dan pemerintah
Indonesia, namun dialog ini menemui jalan buntu. Kemudian Jepang melalui
Wakil Menteri Perdagangan Internasional dan Industrinya membawa masalah ini
ke WTO. Jepang menilai bahwa kebijakan pemerintah ini sebagai wujud
diskriminasi dan oleh sebab itu melanggar prinsip-prinsip perdagangan bebas.
Dalam penyelesaian kasus Mobil Nasional ini , WTO memutuskan
bahwa Indonesia telah melanggar prinsip-prinsip GATT yaitu National Treatment
dan menilai kebijakan mobil nasional ini tidak sesuai dengan spirit
perdagangan bebas WTO, oleh sebab itu WTO menjatuhkan putusan kepada
Indonesia untuk menghilangkan subsidi serta segala kemudahan yang diberikan
kepada PT. Timor Putra Nasional selaku produsen Mobil Timor.127 Keputusan ini
menunjukkan bahwa hukum nasional tunduk pada hukum internasional.
Tertib hukum internasional berbeda dibandingkan dengan tertib hukum
nasional, tertib hukum internasional bersifat koordinatif sedang tertib hukum
nasional bersifat subordinatif. Tertib hukum koordinatif mengakui bahwa masing-
masing negara yaitu merdeka dan berdaulat. Oleh sebab itu dalam
kenyataannya, di dalam hukum internasional tidak ada kekuasaan yang dapat
diasosiasikan dengan hukum dan pelaksanaannya.
Dalam memandang hubungan antara hukum internasional dan hukum
nasional, tidak terlepas dari perkembangan zaman. Saat ini, di mana hubungan
antar negara semakin berkembang pesat, hukum nasional tidak mungkin dapat
berada di atas hukum internasional. Hal yang paling rasional yaitu bahwa hukum
nasional dapat berdiri sejajar dengan hukum internasional.
SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL
Pertemuan kelima pada mata kuliah ini mengajak mahasiswa untuk
mengetahui, mempelajari dan memahami istilah dan pengertian subyek hukum
internasional, konsep subyek hukum internasional serta jenis-jenis subyek hukum
internasional berupa (Negara dan bukan Negara). Setelah mahasiswa
memperoleh materi ini dan mendiskusikannya selama proses belajar mengajar
maka diharapkan dapat memahami eksistensi, fungsi dan peranan dari subyek
hukum internasional. Materi perkuliahan kelima ini merupakan salah satu elemen
penting dalam hukum internasional sebab subyek hukum internasional yaitu
aktor yang terlibat dalam hukum internasional. Materi ini sangat diperlukan untuk
mempelajari materi-materi selanjutnya.
II. Capaian Pembelajaran
Mahasiswa melalui pertemuan ini dapat memahami istilah dan pengertian
subyek hukum internasional, konsep subyek hukum internasional, jenis-jenis
subyek hukum internasional, derajat personalitasnya, eksistensi, fungsi dan
peranan subyek hukum internasional.
III. Indikator Capaian
Setelah mahasiswa mempelajari dan mendiskusikan materi subyek hukum
internasional, mereka mampu:
a. Menjelaskan istilah dan pengertian dari subyek hukum internasional;
b. Memahami konsep subyek hukum internasional sehingga dapat
membedakannya dengan subyek hukum nasional;
c. Menjelaskan jenis-jenis subyek hukum internasional;
d. Membedakan derajat personalitas subyek hukum internasional;
e. Memahami eksistensi, fungsi dan peranan subyek hukum internasional
dalam hukum internasional.
IV. Penyajian Materi
Materi pada pertemuan bab ini meliputi:
a. Istilah dan pengertian subyek hukum internasional;
b. Konsep subyek hukum internasional;
c. Jenis-jenis subyek hukum internasional.
4.1. Istilah dan Pengertian Subyek Hukum Internasional
Subyek hukum (secara umum) yaitu para pihak yang segala
aktivitas/tindakan/kegiatan diatur, menimbulkan akibat hukum sehingga memiliki
kewenangan berupa hak ataupun kewajiban guna melakukan suatu perbuatan
berdasar ketentuan hukum positif.128 Subyek hukum dapat dibagi menjadi 2
(dua) jenis, yaitu: individu alami/orang perseorangan (natuurlijke persoon) dan
individu buatan/badan hukum (rechtpersoon).129 Secara nyata hanyalah
manusia/individu alami/orang perseorangan yang menjadi subyek hukum.
Eksistensi manusia dapat diartikan dalam 2 (dua) hal, yakni manusia sebagai
mahluk biologis dan manusia sebagai mahluk yuridis.130 Di sisi lain, ada beberapa
perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum yang bukan natuurlijke
persoon, seperti badan hukum atau perkumpulan-perkumpulan dipandang
sebagai subyek hukum.
Pada dasarnya semua cabang ilmu hukum memiliki subyek hukumnya masing-
masing. Sebagai contoh, individu dan perusahan merupakan subyek hukum
perdata. Demikian pula halnya dengan individu, lembaga pemerintah ataupun
badan hukum privat dengan hak dan kewajiban yang berhubungan dengan hukum
administrasi Negara merupakan subyek hukum administrasi Negara.
Di bidang hukum internasional, istilah subyek hukum internasional mewakili
para pihak; aktor; pelaku di dalam hukum internasional. Sejumah pakar
sesungguhnya telah memberikan definisi subyek hukum internasional. Martin
Dixon contoh , memberikan batasan sebagai berikut. “A subject of international
law is a body or entity that is capable of possessing and exercising rights and
duties under international.”132 (Terjemahan bebas: Subyek Hukum Internasional
yaitu sebuah badan/lembaga atau entitas yang memiliki kemampuan untuk
menguasai hak dan melaksanakan kewajiban di dalam hukum internasional).
berdasar pengertian di atas, dapat dipahami bahwa tidak semua
badan/lembaga atau entitas dapat dikategorikan/dikualifikasikan sebagai subyek
hukum internasional sebab ada penekanan pada frasa berikut : “…..memiliki
kemampuan untuk menguasai hak dan kewajiban di dalam hukum internasional.”
Dengan kata lain hanya pihak; aktor; pelaku yang memiliki hak-hak dan
kewajiban-kewajiban di mata hukum internasional saja yang dapat dikategorikan
sebagai subyek hukum internasional. Apa sajakah yang termasuk hak dan
kewajiban dalam hukum internasional? Menurut Ian Brownlie, ada 3 (tiga) hak
dan kewajiban dasar dalam hukum internasional, yakni: 133
“1. Capacity to make claims in respect of breaches of international law
(Kemampuan untuk mengajukan klaim jika terjadi pelanggaran hukum
internasional);
2. Capacity to make treaties and agreements valid on the international plane
(Kemampuan untuk membuat perjanjian internasional);
3. The enjoyment of privileges and immunities from national jurisdictions
(Memiliki keistimewaan dan kekebalan dari yurisdiksi nasional sebuah Negara).”
Ada beberapa tambahan menurut para ahli hukum mengenai hak dan
kewajiban di dalam hukum internasional, diantaranya menjadi anggota PBB dan
memiliki perwakilan diplomatik.
. Konsep Subyek Hukum Internasional
Sebelum membahas mengenai apa itu konsep subyek hukum internasional,
ada baiknya untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan konsep. J. Sudarminta
mengartikan konsep dalam 2 (dua) jenis, yaitu: subyek dan obyek. Konsep
sebagai subyek yaitu kegiatan merumuskan dalam pikiran atau menggolong-
golongkan. Sebagai obyek, konsep yaitu menjelaskan isi kegiatan ini atau
mengkaji apa makna dari konsep itu sendiri (misal, apa itu pengaturan?).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan konsep sebagai suatu
ide/gagasan yang menjelaskan makna dari suatu hal.135 Konsep didapat dari
pengertian/definisi suatu obyek.
Adapun beberapa elemen pembentuk konsep subyek hukum internasional
yang ditarik/didapat dari pengertian subyek hukum internasional sendiri. Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, subyek hukum internasional yaitu sebuah
badan/lembaga atau entitas yang memiliki kemampuan untuk menguasai hak dan
melaksanakan kewajiban di dalam hukum internasional. Dari pengertian ini
dapat ditarik beberapa konsep subyek hukum internasional, yaitu:
a. Entitas sebagai pemegang, pengemban, pengampu hak dan kewajiban;
b. Adanya kemampuan hukum (legal capacity) dari entitas terkait;
c. Hak dan kewajiban dalam hukum internasional.
Setiap subyek hukum yaitu pemegang, pengemban, pengampu hak dan
kewajiban tetapi apakah setiap subyek hukum memiliki kemampuan hukum (legal
capacity) untuk melakukan hak dan kewajiban dalam hukum internasional?
Jawabannya yaitu tergantung dari hasil analisis dengan memakai indikator
hak dan kewajiban oleh Ian Brownlie (yang telah disebutkan sebelumnya); apakah
memiliki hak untuk bersengketa atau disengketakan jika terjadi pelanggaran
hukum internasional melalui badan peradilan/arbitrase internasional? (legal
standing); apakah mempunyai hak sekaligus kewajiban untuk menjadi pihak
dalam perjanjian internasional?; serta apakah memiliki hak keistimewaan
(privileges) dan kekebalan (immunities) dalam hukum internasional?.136
Ketiga indikator legal capacity di atas berkaitan dengan personalitas hukum
(legal personality) sebuah subyek hukum internasional. Pada saat sebuah subyek
hukum memiliki kapasitas/kemampuan hukum internasional (international legal
capacity) maka subyek hukum ini memiliki personalitas hukum internasional
(international legal personality). Terpenuhi atau tidaknya ketiga indikator ini
akan menentukan derajat personalitas hukum internasional sebuah subyek hukum
internasional. Sebuah subyek hukum internasional yang dapat memenuhi ketiga
indikator hak dan kewajiban dalam hukum internasional maka memiliki
kemampuan hukum penuh (full legal capacity) dan personalitas hukum penuh (full
legal personality) sedang subyek hukum internasional yang hanya bisa
memenuhi 1 (satu) atau 2 (dua) indikator hanya memiliki kemampuan hukum
terbatas (limited legal capacity) dan personalitas hukum terbatas (limited legal
personality). Perbedaan derajat ini akan terlihat pada uraian jenis-jenis
subyek hukum internasional di bawah ini.
. Jenis-jenis Subyek Hukum Internasional;
Jenis-jenis subyek hukum internasional yang dibedakan ke dalam 2 (dua)
kelompok, yaitu: subyek hukum negara (state actor) dan subyek-subyek hukum
bukan Negara (non-state actors). Pembedaan subyek hukum internasional ke
dalam 2 (dua) kelompok ini akan mempermudah pemahaman subyek hukum
internasional dengan full legal capacity dan limited legal capacity. Adapun subyek-
subyek hukum internasional:
1. Negara (States);
2. Tahta Suci (Vatican/The Holy Emperor);
3. Organisasi Internasional (International Organizations);
4. Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross);
5. Kaum pemberontak (Belligerents;Insurgents);
6. Individu (Individual);
7. Perusahaan Multinasional (Multinational Corporations) / Perusahaan
Transnasional (Transnational Corporations);
8. Organisasi Non-Pemerintah (Non-Governmental Organizations).
. Negara (States)
Sebagaimana telah dibahas pada Bab I mengenai Istilah, Definisi dan
Bidang Kajian Hukum Internasional, dari sisi sejarah hukum internasional awalnya
mengatur hubungan antara Negara-negara. Hal ini dapat dilihat dari sejarah
perkembangan hukum internasional, seperti pada zaman India kuno yang sudah
mengenal hukum bangsa-bangsa; perlakuan terhadap diplomat atau duta sebagai
utusan raja termasuk bagaimana cara melakukan perang, siapa yang boleh
menyerang dan diserang (adaya pembedaan secara tegas antara
penyerang/tentara (combatant) dan penduduk sipil (civilians).138 Selain itu, ada
pernyataan di dalam buku edisi pertama Hall‟s International Law pada tahun 1880
yang menjadi cikal bakal syarat-syarat terbentuknya sebuah Negara yang diadopsi
oleh Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara tahun 1933 (The
Montevideo Convention on the Rights and Duties of the States):
“Primarily international law governs the relations of such of the communities
of independent of states as voluntarily subject themselves to it…..The marks of an
independent States are, that the community consisting it is permanently
established for a political end, that it possesses a defined territory, that it is
independent of external control.” 139 (Terjemahan bebas: Hukum internasional
terutama mengatur hubungan antara komunitas Negara-negara merdeka yang
secara sukarela menjadi subyek dalam hubungan itu……Tanda/ciri dari Negara-
Negara merdeka yaitu memliki komunitas permanen untuk kepentingan politik,
memiliki wilayah yang jelas, terbebas dari kontrol pihak lain/luar).
Bukti lain yang menunjukkan bahwa Negara yaitu subyek utama dalam
hukum internasional dapat dilihat pada perjanjian-perjanjian internasional yang
ada. Pembentukan perjanjian-perjanjian internasional didominasi oleh Negara-
negara, sebagai contoh Konvensi Jenewa I, II, III, IV tahun 1949 (Geneva
Conventions) yang mengatur mengenai tata cara perang termasuk perlakuan
tawanan dan korban perang dibentuk, disetujui dan dilaksanakan oleh Negara-
negara. Bahkan pada tahun 1969 dibentuk konvensi yang khusus mengatur tata
cara pembentukan perjanjian internasional oleh Negara-negara, yaituKonvensi
Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of
Treaties).
berdasar bukti-bukti di atas, Negara yaitu salah satu subyek hukum
internasional tetapi apakah semua Negara dapat dikualifikasikan sebagai subyek
hukum internasional? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini dapat
memakai Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 (Montevideo Convention on the
Rights and Duties of States) sebagai rujukan: “The state as a person of
international law should possess the following qualifications: (a) a permanent
population; (b) a defined territory; (c) government; and (d) capacity to enter into
relations with the other states.” (Terjemahan bebas: Negara sebagai subyek
hukum internasional harus memenuhi kualifikasi sebagai berikut: (a) penduduk
yang permanen; (b) wilayah yang jelas; (c) pemerintah; (d) kemampuan untuk
melakukan hubungan dengan Negara lainnya). Sebuah wilayah jika sudah
memenuhi persyaratan di atas, dalam keadaan merdeka (tidak berada di bawah
kendali Negara lain) maka otomatis memiliki kedaulatan dan dapat dikualifikasikan
sebagai subyek hukum internasional.
Lalu bagaimana dengan Negara federal, Negara Protektorat ataupun
Negara-negara yang belum mendapatkan pengakuan tetapi sudah menjadi
anggota PBB atau sebaliknya jika sebuah Negara keluar dari keanggotaan PBB?
Negara federal yaitu sebuah Negara yang terdiri dari Negara-negara bagian,
dimana ada kesepakatan diantara keduanya untuk membagi kewenangan
mereka. Baik Negara Federal maupun Negara Bagian memiliki Pemerintahan dan
konstitusinya masing-masing. Pada ruang lingkup hukum internasional, yang
menjadi subyek hukum internasional yaitu Negara Federal namun pada tahun
1994, Ukraina dan Belarus (sebagai Negara Bagian) diberikan hak oleh Uni Soviet
(USSR) untuk menjadi pihak dalam pembentukan perjanjian internasional
sekaligus mendaftar sebagai anggota PBB. Ada beberapa wilayah di belahan
dunia ini yang berupa Negara federasi, seperti Amerika Serikat, Australia, Afrika
Selatan, Kanada, Meksiko, Argentina dan Swiss. Negara-negara federal ini
tidak semuanya memakai istilah Negara bagian.
Negara Protektorat yaitu Negara yang sudah merdeka dan kesepakatan
melalui perjanjian internasional berada di bawah perlindungan sebuah Negara
yang memiliki kekuatan lebih. Di dalam perjanjian internasional ini dimuat
mengenai pembagian kekuasaan yang jelas diantara Negara Protektorat dan
Negara Pelindungnya. Maroko dan Tunisia pernah menjadi Negara Protektorat
dari Perancis sedang Puerto Rico yaitu Negara Protektorat dari Amerika
Serikat.
sebab dianggap belum memiliki kapasitas yang cukup untuk memerintah
wilayahnya sendiri. Dewan Perwalian PBB bertugas untuk membantu wilayah-
wilayah perwalian ini agar bisa menjadi menjadi Negara yang merdeka,
memiliki kedaulatan penuh sehingga bisa mengatur segala sesuatu di dalam
wilayahnya. Sebelum tahun 1970-an, Amerika Serikat memiliki beberapa wilayah
perwalian, yakni: Palau, Kepulauan Marshall, Marianas Utara dan Micronesia yang
pada akhirnya berubah menjadi Negara Protektorat Amerika Serikat pada tahun
1990-an.
Secara geografis Taiwan yaitu salah satu pulau yang berada di wilayah
pesisir Tiongkok Selatan. Taiwan dan Cina memiliki pandangan yang berbeda
akan status Taiwan. Cina menganggap bahwa Taiwan yaitu salah satu provinsi
di bawah Pemerintahannya sedang Taiwan menganggap dirinya sebagai
wilayah yang memiliki pemerintahannya sendiri sejak tahun 1949. Keadaan ini
sesungguhnya dipicu oleh perbedaannya interpretasi akan Consensus 1992 yang
pada saat itu Taiwan diwakili oleh The Chinese Communist Party (CCP) dan The
Kuomintang. Konsensus ini menyatakan hanya ada 1 (satu) Cina ;
pernyataan ini disetujui oleh Beijing serta Taipei bahwa Taiwan berada di bawah
Pemerintahan Cina sedang CCP dan the Kuomintang memiliki interpretasi
yang berbeda bahwa Taiwan yaitu wilayah yang independen dari Cina.
Sampai dengan sekarang hubungan antara Cina dan Taiwan tetap
membingungkan sebab meskipun masih berada di bawah Pemerintahan Cina,
sudah ada beberapa Negara yang mengakui Taiwan sebagai sebuah Negara
yang memiliki kedaulatan. Indonesia sendiri bagaimana? Dimana Indonesia
memposisikan dirinya? Di Jakarta ada Kantor Perwakilan Dagang Taiwan.
Jika demikian, apakah Indonesia mengakui Taiwan sebagai sebuah Negara atau
tidak? Selain itu Taiwan juga menjadi anggota dari beberapa organisasi
internasional, seperti World Trade Organizations (WTO), Asia-Pacific Economic
Cooperation (APEC), the Asian Development Bank dan International Olympic
Committee namun belum menjadi anggota PBB.
. Tahta Suci/Vatican (The Holy Emperor)
Dikualifikasikannya Vatican sebagai salah satu subyek hukum internasional
tidak bisa terlepas dari sejarah yang melatarbelakanginya. Pada pertengahan
abad di zaman Romawi ada perbedaan pimpinan pada kerajaan (kekaisaran)
dan kehidupan Gereja. Kekaisaran dipimpin oleh seorang Kaisar sedang
Gereja dipimpin oleh seorang Paus. Pada saat itu seorang Paus memiliki
kewenangan yang menandingi kekuasaan Kaisar.146 Tahta Suci (The Holy
Emperor) berada di Vatican City yang berada di Italia. Sejak tahun 1870, Tahta
Suci dianeksasi oleh Italia dan terus mengalami konflik diantara keduanya. Konflik
ini berakhir dengan dibuatnya Lateran Treaty (Perjanjian Lateran) pada
tahun 1929.147 Pada perjanjian ini Italia menyerahkan sebidang tanah di
Vatican City kepada Tahta Suci. Sejak saat itu, Tahta Suci memiliki wilayah
kedaulatan di Vatican City dan organ-organ yang mengurusi jalannya Tahta Suci
bahkan memiliki beberapa kantor perwakilan di beberapa Negara, termasuk
Indonesia.148
Di dalam Perjanjian Lateran, Italia mengakui kedaulatan Tahta Suci dalam
hubungan internasional sebagai hak Tahta Suci yang dimilikinya berdasar
sejarah Gereja Katolik dengan berbagai tradisi kunonya serta eksistensinya
sebagai subyek hukum yang independen.149 Tahta Suci melakukan hubungan
internasional dengan Negara-negara lain terkait hal-hal yang bersifat politik dan
diplomatik.150 Ada beberapa organisasi internasional yang menerima Tahta Suci
sebagai anggotanya, yakni: International Postal Union, the International Atomic
Energy Agency dan the International Telecommunication Union.151 Takhta Suci
juga terlibat dalam beberapa perjanjian internasional, seperti the Convention on
Stateless Persons 1954, the Convention on Diplomatic Relations 1961, the
Convention on Consular Relations 1963, dan the Vienna Convention on the Law of
Treaties 1969.
. Organisasi Internasional (International Organizations)
ada berbagai macam definisi yang berbeda-beda mengenai organisasi
internasional dari beberapa ahli hukum. Kesulitan dalam mendefinisikan
organisasi internasional disebabkan oleh perbedaan tujuan pendiriannya, ada
yang didirikan untuk menyelesaikan masalah di antara Negara-negara atau
didirikan untuk melakukan kerja sama di bidang perdagangan, contoh World
Trade Organization (WTO) didirikan untuk memajukan perdagangan internasional
di antara Negara-negara anggotanya; International Centre for Settlement of
Investment Disputes (ICSID) didirikan untuk menyelesaikan masalah-masalah
investasi diantara individu/badan hukum yang berada di wilayah Negara anggota
ICSID.
Berikut ini akan diberikan beberapa definisi oleh para ahli hukum untuk
mewakili apa yang dimaksud dengan organisasi internasional. Di dalam buku
Bowett‟s Law of International Institution yang dimaksud dengan organisasi
internasional harus memenuhi beberapa karakteristik di bawah ini, yaitu:
a. “Its membership must be composed of states and/or other international
organisations;
b. It must be established by treaty or other instrument governed by
international law, such as resolution adopted in an international conference;
c. It must have an autonomous will distinct from that of its members and be
vested with legal personality; and
d. It must be capable of adopting norms (in the broadest sense) addressed to
its members.”
(Terjemahan bebas:
a. Keanggotaannya terdiri dari Negara-negara dan/atau organisasi
internasional lainnya;
b. Harus didirikan berdasar perjanjian atau instrumen hukum lainnya yang
diatur oleh hukum internasional, seperti resolusi yang diadopsi pada saat
konferensi internasional;
c. Organisasi internasional memiliki hak autonomi yang berbeda dengan
anggotanya dan memiliki personalitas hukum;
d. Sebuah organisasi internasional memiliki kemampuan hukum untuk
mengadopsi norma (dalam arti luas) yang ditujukan kepada para
anggotanya.)
D.W. Bowett sendiri memberikan definisi mengenai organisasi internasional
yaitu “…..they were permanent association of governments, or administration,
based upon a treaty of a multilateral rather than a bilateral type and with some
definite criterion purpose.”153 (Terjemahan bebas: organisasi internasional yaitu
asosiasi pemerintah yang permanen, didirikan berdasar perjanjian multilateral
dengan beberapa tujuan yang jelas). Organisasi internasional menurut Leroy
Bennet mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:154
a. “A permanent organization to carry on a continuing set of function;
b. Voluntary membership of eligible parties;
c. Basic instrument stating goals, structure and methods of operation;
d. A broadly representative conference organ;
e. Permanent secretariat to carry on continuous administrative, research and
information functions.”
(Terjemahan bebas:
a. Organisasi yang permanen dengan memiliki beberapa fungsi yang
berkelanjutan;
b. Keanggotaannya bersifat sukarela sepanjang memang memiliki
kemampuan untuk menjadi anggota sebuah organisasi internasional;
c. Memiliki instrumen pendirian yang berisikan tujuan, struktur dan
manajemen organisasi;
d. Memiliki organ/perwakilan konsultatif untuk menghadiri konferensi;
e. Memiliki Sekretariat permanen yang berfungsi untuk mengurusi fungsi-
fungsi administrasi, penelitian dan informasi.)
Dari beberapa definisi di atas, ada perbedaan satu dengan lainnya;
ada yang menyatakan dengan tegas bahwa Organisasi Internasional
beranggotakan Negara-negara, ada yang menyebutkan keanggotaan sebuah
organisasi internasional bersifat sukarela (ini tidak jelas; siapakah subyek hukum
internasional yang dapat menjadi anggota sebuah Organisasi Internasional).
Pendirian sebuah Organisasi Internasional pun beraneka ragam, ada yang
menyebutkan berdasar perjanjian internasional, ada yang tidak jelas
menyebutkan dasar pendirian sepanjang organisasi ini didirikan
berdasar suatu instrumen yang berisikan tujuan, struktur dan manajemen
Organisasi Internasional terkait.
berdasar fakta, sebuah Organisasi Internasional cenderung
beranggotakan Negara-negara, seperti PBB, World Trade Organization (WTO),
International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), Organization of the
Petroleum Exporting Countries (OPEC). Jadi dengan mengacu kepada beberapa
pendapat ahli di atas dan fakta mengenai Organisasi Internasional, dapat
disimpulkan bahwa Organisasi Internasional yaitu sebuah organisasi pemerintah
yang beranggotakan Negara-negara, pendiriannya berdasar perjanjian
internasional dengan tujuan tertentu, personalitasnya terpisah dengan Negara-
negara anggotanya dan berfungsi sebagai lembaga pembentuk norma atau
pengimplementasian norma dari suatu instrumen hukum internasional.
Keberadaan Organisasi Internasional sebagai salah satu subyek hukum
internasional juga tidak bisa terlepas dari sejarah perkembangan Hukum
Internasional. Berdirinya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) sebagai Organisasi
Internasional pertama yang tidak hanya khusus mengurusi suatu bidang (misal,
kerjasama Negara-negara di bidang transportasi dan komunikasi atau kerjasama
ekonomi)155 tapi lebih kepada tujuan untuk menjamin perdamaian dan
menciptakan keamanan bersama dengan mencegah terjadinya perang
merupakan salah satu penanda sejarah perkembangan Hukum Internasional
modern. LBB didirikan pada tahun 1919 melalui Perjanjian Versailles (Versailles
Treaty) setelah Perang Dunia I (PD I). Dalam perjalanannya, LBB tidak berhasil
melaksanakan tujuannya, yaitu untuk mencegah perang sehingga terjadilah
Perang Dunia II (PD II). Salah satu penyebab kegagalan LBB yaitu lemahnya
kovenan pendirian LBB. Kovenan ini disusun tidak berdasar itikad baik
sehingga dengan mudah anggotanya untuk mengundurkan diri dari LBB, seperti
Jepang dan Jerman.156 Namun demikian keberadaan LBB memegang peranan
penting dalam perkembangan hukum internasional berikutnya, yakni berdirinya
PBB.
PBB merupakan Organisasi Internasional umum yang didirikan setelah
kegagalan LBB mencegah terjadinya Perang Dunia II dari tahun 1939-1945.
Pendirian PBB melalui sejarah yang panjang, dimulai dari diselenggarakannya
Piagam Atlantik (Atlantic Charter). Deklarasi PBB (Declaration by United Nations),
Konferensi Moskow, Konferensi Teheran, Konferensi Dumbarton Oaks, Konferensi
Yalta hingga Konferensi San Fransisco yang dilaksanakan pada 25 April 1945.
Konferensi San Fransisco ini dikenal dengan The United Nations Conference on
International Organization. Sejak saat ini mulai disusunnya Piagam PBB (The
Charter of the United Nations) dengan substansi mengenai asas dan tujuan PBB,
keanggotaan, Sekretariat dan pokok-pokok amandemen terhadap Piagam;
kekuasaan dan tanggung jawab Majelis Umum; Dewan Keamanan dan status
Mahkamah Internasional. Piagam PBB ini mulai berlaku sejak 24 Oktober 1945
dan Majelis Umum PBB memutuskan bahwa tanggal ini menjadi tanggal
resmi berdirinya PBB.157 Sampai dengan saat ini dapat diasumsikan bahwa PBB
yaitu Organisasi Internasional Utama yang berpengaruh terhadap
perkembangan dan implementasi Hukum Internasional.
Kelahiran PBB tidak secara otomatis menjadikannya sebagai salah satu
subyek Hukum Internasional. Sebuah Organisasi Internasional diakui sebagai
subyek Hukum Internasional sejak kasus terbunuhnya Pangeran Bernadotte
sebagai salah satu agen PBB pada saat melaksanakan tugasnya (Reparation for
Injuries Suffered in the Service of the United Nations). Pangeran Bernadotte
yaitu agen PBB yang berkewarganegaraan Swedia terbunuh pada tanggal 17
September 1948 di Jerrusalem-Palestina saat bertugas sebagai mediator oleh
kelompok teroris.159 Kejadian ini menggerakkan PBB untuk mengajukan
Advisory Opinion (AO) kepada Mahkamah Internasional (International Court of
Justice), sebagai berikut:
“In the event of an agent of the United Nations in the performance of his
duties suffering injury in circumstances involving the responsibility of a State, has
the United Sations, as an Organization, the capacity to bring an international claim
against the responsible de jure or de facto government with a view to obtaining the
reparation due in respect of the damage caused (a) to the United Nations, (b) to
the victim of the persons entitled through him ?” (Terjemahan bebas: Pada saat
agen PBB melaksanakan tugasnya mengalami cidera/luka yang melibatkan
tanggung jawab Negara, apakah PBB sebagai sebuah organisasi memiliki
kapasitas untuk mengajukan klaim kepada Pemerintah (secara de facto atau de
jure) yang bertanggungjawab untuk mendapatkan ganti kerugian/reparasi atas
kerusakan/kerugian yang dialami oleh (a) PBB dan (b) korban/orang yang
berkedudukan sebagai agen PBB?)
berdasar submission AO di atas, Mahkamah Internasional mengeluarkan
fatwa bahwa PBB dikategorikan sebagai salah subyek hukum internasional
dengan melihat karakteristik dari PBB pada piagam pendiriannya. PBB diberikan
mandat oleh anggotanya untuk memelihara keamanan dan perdamaian
internasional, pembinaan hubungan baik diantara Negara-negara, kerjasama
internasional untuk memberikan solusi terhadap masalah-masalah ekonomi,
sosial, budaya dan kemanusiaan.161 Dengan pemberian mandat ini , PBB
memiliki tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakannya sehingga mempunyai
personalitas hukum internasional berikut kemampuan hukum (legal capacity) yang
di dalamnya termasuk hak untuk mengajukan klaim ke lembaga penyelesaian
sengketa internasional.
. Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross)
Cikal bakal lahirnya Palang Merah Internasional (International Committee of
the Red Cross/ICRC) sesungguhnya sudah terlebih dahulu dirintis sebelum
didirikannya PBB. Asal usul pendirian ICRC diawali oleh ide dari Henry Dunant
yang sampai sekarang dikenal dengan sebutan Bapak Palang Merah
Internasional. Pada tanggal 24 Juni 1859 dalam perjalanan bisnisnya, Henry
Dunant melewati Solferino (salah satu kota di bagian utara Italia), melihat
pertempuran sengit selama 16 jam antara tentara Austria dan Perancis yang
mengakibatkan 40.000 (empat puluh ribu) orang terluka dan meninggal. Ketika itu
Henry Dunant berinisiatif untuk menolong para korban dengan meminta bantuan
kepada warga sekitar agar memberikan perawatan kepada kedua belah pihak
(baik tentara Austria dan Perancis).
Sekembalinya Henry Dunant ke Swiss, pengalamannya ini dibukukan
dan dipublikasikan dengan judul “A Memory of Solverino” yang memuat beberapa
ide kemanusiaan terkait perang, yakni:
“- for relief societies to be formed in peacetime, with nurses who would be
ready to care for the wounded in wartime;
- for these volunteers, who would be called upon to assist the army medical
services, to be recognized and protected through an international agreement.”
(Terjemahan bebas: membebaskan masyarakat dari perang agar mereka berada
dalam keadaan damai, menyediakan perawat yang akan merawat korban perang
pada saat perang; kepada para relawan yang membantu memberikan bantuan
medis di medan perang, harus diakui dan dilindungi melalui perjanjian
internasional.)
Ide-ide Henry Dunant ini pada tahun 1863 oleh sebuah asosiasi amal
“The Geneva Society for Public Welfare” diimplementasikan dengan membentuk
komisi yang beranggotakan 5 (lima) orang, yaitu: Gustave Moynier, Guillaume-
Henri Dufour, Louis Appia, Theodore Maunoir dan Henry Dunant. Komisi ini
mendirikan The International Committee for Relief to the Wounded yang nantinya
berubah menjadi The International Committee of the Red Cross.165 ICRC ini
beranggotakan individu-individu dan didirikan berdasar hukum Swiss. Oleh
sebab itu para ahli hukum menyebut ICRC sebagai Organisasi Non Pemerintah
(Non-Governmental Organizations/NGO‟s) Swiss dengan karakter sui generis.
ICRC tidak beranggotakan pemerintahan dari Negara-negara tetapi memiliki
beberapa kantor perwakilan yang menyebar di beberapa Negara, seperti
Indonesia, Timor-Timur dan Malaysia. Keberadaan ICRC pun diakui oleh keempat
Konvensi Jenewa (Geneva Conventions) 1949.167 Sebagai contoh, ada 13 (tiga
belas) pasal dalam Konvensi Jenewa III dan 18 (delapan belas) pasal dalam
Konvensi Jenewa IV. ICRC telah membuat perjanjian dengan kurang lebih 60
(enam puluh) Negara untuk memberikan imunitas kepada delegasi/stafnya yang
sedang bertugas di wilayah perang dari proses yudisial atau pun arbitrase
internasional.168 Menurut Menno Kamminga, perjanjian yang dibuat oleh ICRC
ini dikualifikasikan sebagai perjanjian internasional. Hal ini menunjukkan
betapa besar peran ICRC untuk mengimplementasikan keempat Konvensi
Jenewa yang dibuat oleh Negara-Negara.169 Negara-negara juga berkewajiban
memberikan akses kepada para delegasi/staf ICRC untuk masuk ke tempat-
tempat penampungan atau penjara tahapan perang dan penduduk sipil.
Misi utama dari ICRC yaitu melindungi dan membantu para penduduk
sipil (termasuk kombatan) akibat korban perang serta konflik internal dengan
menjunjung tinggi prinsip netral dan ketidakberpihakan pada Negara-negara yang
terlibat perang/konflik. Adapun beberapa tugas yang dimiliki oleh ICRC dalam
memenuhi misinya, yaitu:
- “visits to prisoners of war and civilian detainees (mengunjungi tawanan
perang dan penduduk sipil);
- searching for missing persons (pencarian orang hilang);
- transmission of messages between family members separated by conflict
(pengiriman pesan kepada anggota keluarga yang terpisah akibat konflik);
- reunification of dispersed families
(menyatukan keluarga yang terpisah );
- provision of food, water and medical assistance to civilians without access
to these basic necessities (menyediakan makanan, minuman p;akses akan
kebutuhan ini );
- spreading knowledge of humanitarian law (menyebarkan pengetahuan
mengenai hukum humaniter);
- monitoring compliance with that law (mengawasi kepatuhan terhadap
hukum humaniter);
- drawing attention to violations, and contributing to the development of
humanitarian law (memusatkan perhatian kepada pelanggaran dan kontribusinya
terhadap perkembangan hukum humaniter).”
. Kaum Pemberontak (Belligerents)
Kaum pemberontak yaitu sekelompok orang yang melakukan
pemberontakan terhadap pemerintah sah di dalam suatu Negara. Kaum
pemberontak ini biasanya melakukan pelanggaran terhadap undang-undang
nasional;170 mereka bertujuan ingin menggulingkan Pemerintahan yang sah dan
membuat Pemerintah tandingan atau bahkan ingin membentuk suatu Negara
baru.
Pemberontakan yang terjadi di dalam suatu Negara sering disebut dengan
istilah Non-International Armed Conflict (NIAC). Pemberontakan NIAC diatur
dalam Pasal 3 pada keempat Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur tentang
konflik yang tidak bersifat internasional (biasa disebut sebagai Common Articles 3)
dan Protokol Tambahan II 1977 dari Konvensi Jenewa (Protocol Additional to The
Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to The Protection of Victims
of Non-International Armed Conflicts/Protocol II) yang mengatur tentang
perlindungan korban akibat konflik yang tidak bersifat internasional. Di dalam
kedua instrumen hukum internasional ini diatur beberapa ketentuan yang
harus ditaati pihak pemberontak, seperti: larangan tindakan kekerasan (jiwa dan
raga); penyanderaan; perkosaan; memberikan hukuman mati tanpa melalui
prosedur yang benar; angkatan bersenjata pemberontak harus memiliki komando,
melakukan pengawasan terhadap sebagian wilayah, melaksanakan operasi militer
secara bersama-sama.
Adakalanya kaum pemberontak diakui keberadaannya sebagai (belligerent)
oleh Negara-negara lain jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Memiliki struktur organisasi yang jelas sehingga kaum pemberontak
teroganisir dengan baik;
b. Memiliki tanda pengenal dan memakai nya dengan konsisten sehingga
menunjukkan identitasnya sebagai kaum pemberontak;
c. Sudah menguasai sebagian besar wilayah di tempat kaum pemberontak
melakukan pemberontakan sehingga sudah memiliki kekuasaan secara efektif
terhadap wilayah ini ;
d. Mendapatkan dukungan dari rakyat yang berada di wilayah yang telah
dikuasainya secara efektif.
Pada saat kaum pemberontak dapat dikualifikasikan sebagai belligerents maka
kelompok ini dapat diakui sebagai subyek hukum internasional. Pengakuan
terhadap belligerents sangat sulit diberikan oleh suatu Negara. Ketika sebuah
Negara memberikan pengakuan kepada belligerents otomatis akan merusak
hubungan Negara ini dengan Negara dimana belligerents melakukan
pemberontakan. Tujuan diberikannya pengakuan terhadap belligerents tidak lain
demi alasan kemanusiaan sebab mereka bukanlah kriminal.
. Individu (Individual)
Berkaitan dengan individu sebagai salah satu subyek hukum internasional,
ada 2 (dua) pandangan yang berbeda. Di satu pihak, ada beberapa ahli
hukum internasional yang menyatakan bahwa Hukum Internasional yaitu sistem
yang dibentuk oleh, dari dan untuk Negara-Negara. Openheim berpendapat
bahwa pandangan ini dipengaruhi oleh aliran hukum positif dan terminologi The
Law of Nations (berkaitan dengan BabI mengenai peristilahan Hukum
Internasional) yang berlaku hanya untuk Negara-Negara.174 Di lain pihak, ada
beberapa ahli hukum, yaitu: Scelle, Lauterpacht, Philip Allott dan Warbricks. Scelle
(1948) dan Warbrick memiliki pendapat yang sama bahwa aktor sesungguhnya di
dalam setiap Negara yaitu individu. Sebuah Negara tidak akan ada/terbentuk
tanpa adanya individu individu