membobol ATM 4
Pencurian uang nasabah bank melalui modus penggandaan kartu ATM (skimming) merupakan
salah satu kejahatan perbankan. Tulisan ini merupakan hasil riset dengan memfokuskan pada
kajian mengenai perlindungan hukum terhadap nasabah bank akibat kejahatan skimming.
riset ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan metode
pengumpulan data melalui studi pustaka yang dilakukan terhadap data sekunder. Selanjutnya
metode analisis data menggunakan analisis deskriptif analitis. Sementara itu urgensi riset ini
diharapkan dapat menjadi sumber rujukan bagi lembaga perbankan untuk melakukan upaya
perlindungan hukum sekaligus bagi aparat penegak hukum dalam melakukan upaya
penanggulangan kejahatan skimming sebagai wujud konkret perlindungan hukum terhadap
nasabah bank yang dirugikan akibat kejahatan skimming, berdasar analisis, diidentifikasikan
bahwa kejahatan pembobolan uang nasabah dengan metode skimming merupakan salah satu
kejahatan berdimensi high-tech (cyber crime) di bidang perbankan. Perbuatan ini termasuk
dalam tindak pidana informasi dan transaksi elektronik yang melarang setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara
apapun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan atau dokumen elektronik
sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (Undang-Undang ITE). Perlindungan terhadap nasabah korban kejahatan skimming
dapat dilakukan dalam konteks penegakan hukum pidana dan penegakan hukum perdata.Perbankan merupakan salah satu perusahaan penyedia layanan jasa
keuangan yang telah memberikan pelayanan kepada warga dan bisnis.
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang
dimaksud dengan Bank yaitu “badan usaha yang menghimpun dana dari
warga dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada warga
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Bank merupakan “suatu
lembaga keuangan tempat penyimpanan dana atau uang dari perusahaanperusahaan, baik badan usaha besar, menengah maupun kecil, baik perorangan
maupun lembaga, pemerintah maupun swasta”1 Bank merupakan suatu lembaga
yang sangat penting di dalam warga , karena bank sebagai salah satu sarana
berjalannya perekonomian yang ada di warga . Pengertian bank dirumuskan
di dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang selanjutnya
disebut dengan UU Perbankan, sebagai berikut: “Bank yaitu badan usaha yang
menghimpun dana dari warga dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada warga dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
Sebagai upaya meningkatkan pelayanan, perbankan telah menerapkan
teknologi di berbagai bidang salah satunya pada anjungan tunai mandiri (ATM).
ATM dipakai sebagai pengganti fungsi kasir dalam bertransaksi seperti
penarikan tunai serta proses transaksi lainnya. Keberadaan lembaga perbankan
memiliki kontribusi dominan dalam menjaga keberlangsungan roda
perekonomian dan memajukan peranan nasabah selaku konsumen produk dan
jasa bank. Munculnya modus operandi kejahatan pembobolan ATM ini, menjadi
pemicu munculnya dampak yang ditimbulkan. Dampak atas kejahatan
pembobolan ATM ini antara lain yaitu terjadinya viktimisasi secara
langsung dan tidak langsung kepada warga . Kerugian secara material dan
non material kepada sistem perbankan secara khusus dan sistem perekonomian
secara umum. riset ini diharapkan dapat menjadi sumber rujukan bagi
lembaga perbankan untuk melakukan upaya perlindungan hukum sekaligus bagi
aparat penegak hukum dalam melakukan upaya penanggulangan kejahatan
skimming sebagai wujud konkret perlindungan hukum terhadap nasabah bank
yang dirugikan akibat kejahatan skimming.
Kegiatan perbankan dengan electronic transaction (e-banking) melalui
mesin ATM, telepon seluler (phone banking) dan jaringan internet (Internet
banking), merupakan beberapa contoh pelayanan transaksi perbankan dengan
teknologi informasi. Dari sisi keamanan, pemakaian teknologi dapat memberi perlindungan keamanan data dan transaksi.2 Namun tampaknya, di balik
perkembangan ini terdapat berbagai permasalahan hukum yang berkaitan dengan
kejahatan informasi dan transaksi elektronik di bidang perbankan, jika tidak
diantisipasi dengan baik, tentu akan merugikan bank, warga dan nasabah.
Dalam tatanan implementasi, teknologi informasi dan komunikasi layaknya pisau
bermata dua. Satu sisi teknologi informasi memberikan manfaat yang tidak
sedikit terhadap peningkatan kesejahteraan dan peradaban manusia serta
peningkatan sektor pelayanan baik pelayanan publik maupun pelayanan internal.
Di sisi lain teknologi informasi dipakai oleh orang-orang yang tidak
bertanggungjawab dengan melakukan perbuatan yang sifatnya melawan hukum,
yang menyerang berbagai kepentingan hukum orang banyak, warga , dan
negara.3
Telah ada beberapa riset terdahulu yang relevan dengan riset ini
antara lain oleh Ramdhan (2019) yamg memfokuskan pada perlindungan hukum
nasabah korban skimming ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.4
riset ini lebih banyak menguraikan pengaturan pertanggungjawaban
bank dalam kontrak perjanjian nasabah dengan bank dalam hal terjadinya
pencurian data nasabah yang menimbulkan kerugian finansial nasabah.
Selanjutnya riset juga mengkaji kejahatan skimming
yang memfokuskan kajian tentang tanggung jawab kejahatan perbankan melalui
modus operandi skimming.
5
riset ini banyak menguraikan tanggung
jawab kejahatan perbankan melalui modus operandi skimming, tanpa
menyinggung lebih jauh perlindungan terhadap nasabah bank korban kejahatan
skimming. riset ini
memfokuskan kajian tentang perlindungan nasabah bank dari tindakan kejahatan
skimming ditinjau dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan.6
riset ini hanya fokus secara normatif pada UndangUndang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dengan melihat
OJK sebagai lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain,
yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana di maksud dalam UU No. 21Tahun
2011, termasuk dalam hal terjadinya kejahatan skimming. riset yang
terdahulu ini , dapat dikatakan masih sebatas membahas fenomena skimming
sebagai bagian dari kejahatan perbankan yang belum mengkaji secara kongret tentang perlindungan hukum bagi nasabah bak korban kejahatan skimming.
riset ini bertujuan membahas tentang perlindungan hukum terhadap
nasabah bank sebagai korban kejahatan skimming, baik perlindungan dari aspek
hukum perdata sekaligus juga dari aspek hukum pidana.
Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan dikaji dalam
riset yang objeknya yaitu permasalahan hukum (sedangkan hukum yaitu
kaidah atau norma yang ada di warga ), maka jenis riset hukum yang
dipakai yaitu riset hukum normatif. riset hukum normatif
berupaya untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi,7
terkait
kejahatan skimming. Spesifikasi deskriptif analitis, Soerjono Soekanto memaknai
deskriptif sebagai riset yang dimaksudkan untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.8
riset
ini akan mendeskripsikan hasil analisis mengenai perlindungan hukum terhadap
nasabah bank korban kejahatan skimming. Data yang terkumpul baik sekunder
dan primer selanjutnya dianalisa secara kualitatif.
Pembobolan Kartu ATM (Card Skimming) sebagai Kejahatan
Teknologi Informasi di Bidang Perbankan
Seiring perkembangan zaman dan semakin canggihnya teknologi,
kejahatan siber (cyber crime) berevolusi menjadi berbagai macam jenis kejahatan
baru dengan modus operandi yang baru pula. Bentuk kejahatan siber (cyber
crime) terus berkembang, mulai dari yang dikenal umum seperti hacking,
cracking, carding hingga yang lebih spesifik lagi seperti: probe (usaha untuk
memperoleh akses kedalam suatu sistem); scan (probe dalam jumlah besar);
account compromise (pemakaian account secara illegal); root compromise
(account compromise dengan previlege bagi si penyusup); danial of service atau
dos (membuat jaringan tidak berfungsi karena kebanjiran traffic);
penyalahgunaan domain name, dan lain-lain.9
Perkembangan teknologi
memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peningkatan kesejahteraan,
kemajuan dan peradaban manusia, namun demikian terdapat pula dampak negatif
yang tidak dapat dihindari, seperti pencurian dana nasabah bank melalui
penggandaan kartu ATM, yang lebih dikenal dengan istilah skimming.
Teknik skimming yaitu kegiatan atau upaya seseorang untuk membobol
data dari pita magnetik kartu ATM/debit sehingga sang pelaku dapat mengetahui
data dari korban. Selanjutnya, setelah melakukan teknik ini sang pelaku dapat mengakses data korban secara illegal.10 Skimming yaitu tindak kejahatan
pencurian informasi kartu kredit atau debit dengan cara menyalin informasi yang
terdapat pada strip magnetik kartu kredit atau debit secara illegal. Skimming
yaitu salah satu jenis penipuan yang masuk ke dalam metode phishing,
metode ini sering dipakai untuk mendapat data nasabah saat nasabah sedang
bertransaksi di ATM.11 Pelaku skimming menggunakan suatu alat elektronik
untuk memperoleh informasi tesebut. Alat itu disebut skimmer yang harganya
murah, yaitu di bawah US$ 50 atau sekitar Rp 450.000,00-. saat kartu ATM
nasabah digesek melalui skimmer, maka informasi yang terdapat dalam magnetic
stripe pada kartu anda akan dibaca oleh skimmer dan disimpan di dalam alat
komputer yang tersambung dengan alat itu.12
Selanjutnya menurut Budi Suhariyanto, skimming termasuk salah satu
kejahatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem
komunikasi baik lokal maupun global (internet) dengan memanfaatkan teknologi
informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang
dapat dilihat secara virtual dengan melibatkan pengguna internet sebagai
korbannya.13 Skimming merupakan suatu hi-tech method, yaitu si pencuri
memperoleh informasi mengenai pribadi atau mengenai rekening dari kartu
kredit, surat ijin mengemudi (SIM), kartu tanda penduduk (KTP), atau paspor.
Pelaku skimming menggunakan alat elektronik (electronic drive) untuk
memperoleh informasi ini .14 Hal itu dilakukan oleh pelakunya dengan
memasukkan suatu card trapping drive ke dalam ATM card slot. saat kartu
ATM anda dimasukkan ke dalam ATM card slot ini , maka card trapping
drive yang ada dalam ATM card slot membaca data dalam kartu ATM dan
menyimpannya untuk di kemudian hari dipakai melalui kejahatan skimming.
Upaya pencurian dana nasabah bank melalui pembobolan/penggandaan
kartu ATM (skimming), pelaku kejahatan biasanya menggunakan teknologi
komputer dan memanipulasi data dengan cara memindahkan data elektronik
yang terdapat pada kartu ATM korbannya ke kartu ATM milik pelaku
dengan bantuan program komputer, sehingga dalam kejahatan komputer
dimungkinkan adanya delik formil dan delik materil. Delik formil yaitu
perbuatan seseorang yang memasuki komputer orang lain tanpa izin, sedangkan delik materil yaitu perbuatan yang menimbulkan akibat kerugian
bagi orang lain. Bank dalam menyedia dan fasilitas layanannya, harus
menciptakan sistem keamanan agar tidak terjadi hal yang merugikan nasabah.
Keamanan memang faktor utama dalam pemakaian ATM. Kejahatan perbankan
di Indonesia semakin berkembang di Indonesia, transaksi di ATM juga rawan
terhadap pengintaian dan penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab. Sebuah mesin ATM selayaknya dilengkapi standar
keamanan yang lengkap untuk menjamin bahwa fungsi yang disediakan pada
mesin ATM hanya dimanfaatkan oleh mereka yang betul-betul berhak.
Sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009, kartu ATM
diartikan sebagai APMK yang dapat dipakai untuk melakukan penarikan tunai
dan/atau pemindahan dana, yakni kewajiban pemegang kartu dipenuhi sesaat
dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada bank atau
lembaga selain bank (LSB) yang berwenang menghimpun dana sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Sutherland menegaskan bahwa kejahatan kerah putih bisa didefinisikan
secara garis besar sebagai suatu tindak kejahatan yang dilakukan oleh orang yang
memiliki status terhormat dan status sosial yang tinggi dalam pekerjaannya.
Kejahatan kerah putih (white collar crime) yaitu istilah untuk menyebut
berbagai tindak kejahatan di lembaga pemerintahan yang terjadi, baik secara
struktural yang melibatkan sekelompok orang maupun secara individu. kejahatan
kerah putih sebagai penyalahgunaan jabatan yang legitim sebagaimana telah
ditetapkan oleh hukum, sedangkan tindak pidana di bidang perbankan merupakan
salah satu bentuk dari tindak pidana di bidang ekonomi, yaitu tindak pidana
konvensional yang mencari keuntungan dengan motif-motif ekonomi seperti:
pencurian, penggelapan, perampokan penipuan, dan lain sebagainya yang
dalam hal ini ditunjukkan terhadap bank.
Kejahatan pembobolan uang nasabah dengan metode skimming
merupakan salah satu kejahatan siber (cyber crime). Kejahatan siber (cyber
crime) yaitu kejahatan yang terjadi di dunia maya (cyber space) yang
menggunakan tekonologi informasi dan komunikasi sebagai alat untuk
melakukan kejahatan.18 Skimming merupakan salah satu kejahatan dalam cyber
crime dimana kejahatan ini dilakukan melalui jaringan sistem komputer, baik
lokal maupun global, dengan memanfaatkan teknologi dengan cara menyalin
informasi yang terdapat pada magnetic stripe kartu ATM secara illegal untuk
memiliki kendali atas rekening korban. Pelaku cyber crime ini memiliki latar
belakang kemampuan yang tinggi di bidangnya sehingga sulit untuk melacak dan memberantasnya secara tuntas.
Menurut penjelasan yang dipaparkan oleh laman How Stuff Works, card
skimming yaitu aktivitas menggandakan informasi yang terdapat dalam pita
magnetik (magnetic stripe) yang terdapat pada kartu kredit maupun ATM/debit
secara ilegal. Ini artinya, dapat disimpulkan bahwa skimming yaitu aktivitas
yang berkaitan dengan upaya pelaku untuk mencuri data dari pita magnetik kartu
ATM/debit secara ilegal untuk memiliki kendali atas rekening korban.
Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Bank Korban Kejahatan
Skimming
Philipus M. Hadjon menyatakan, bahwa perlindungan hukum yaitu
perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak
asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hokum berdasar ketentuan hukum
dari kesewenangan. Perlindungan hukum juga sebagai kumpulan peraturan
atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya.21 Berkaitan
dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak
pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak ini .
Mengkaji mengenai perlindungan hukum, terdapat dua bentuk perlindungan
hukum, yaitu:22 Pertama, Perlindungan Hukum Preventif. Pada perlindungan
hukum preventif ini, subjek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan
keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat
bentuk yang definitif. Tujuannya yaitu mencegah terjadinya sengketa. Kedua,
Perlindungan Hukum Represif. Perlindungan hukum yang represif bertujuan
untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh pengadilan
umum dan peradilan administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan
hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu
dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hakhak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep
tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan
kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban warga dan
pemerintah.
Menelusuri kedudukan korban dalam suatu tindak pidana maka kita akan
menyinggung peranan serta hak dan kewajiban korban dalam terjadinya tindak
pidana. Peranan korban dalam terjadinya tindak pidana akan mempengaruhi
penilaian dan penentuan hak dan kewajiban korban dalam suatu tindak pidana dan penyelesaiannya. Korban mempunyai peranan dan tanggung jawab fungsional
dalam penentuan dirinya sebagai korban. Sebagai pertimbangan penentuan hak dan
kewajiban korban yaitu taraf keterlibatan dan tanggung jawab fungsional korban
dalam tindak pidana itu.
Perlindungan hukum pada korban kejahatan secara memadai tidak saja
merupakan isu nasional, tetapi juga internasional. Permasalahan ini perlu
memperoleh perhatian yang serius. Pentingnya perlindungan korban kejahatan
memperoleh perhatian serius, dapat dilihat dari dibentuknya Konvensi
Internasional yaitu “Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime
and Abuse of Power” oleh Perserikatan Bangsa-bangsa, sebagai hasil dari The
Seventh United Nation Conggres on the Prevention of Crime and the Treatment of
Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia, September 1985.
Apabila dikaji lebih dalam, permasalahan yang cukup mendasar atas
munculnya korban kejahatan skimming dalam sistem perbankan dapat diuraikan
korban kejahatan menjadi 2 macam, yaitu:24 Pertama, Perusahaan perbankan
sebagai penyedia jasa penyimpanan rekening. Perusahaan perbankan menjadi
korban atau pihak yang dirugikan dalam kejahatan skimming, sehinga ada beberapa
faktor yaitu: perusahaan perbankan sebagai penyedia jasa penyimpanan atas
rekening nasabah yang dititipkan berdasar perjanjian dan kesepakatan yang
terlampir dan disetujui oleh ke dua belah pihak, sehingga bank yang menjadi
pemegang hak atas penyimpan dana dari nasabah berkewajiban mengganti atas
kerugian materiil yang terjadi atau ditimbulkan atas kelalaian dan kesalahan dari
pihak perbankan atas hilangnya atau dicurinya dana nasabah dalam hal ini
berkaitan dengan masalah tindak kejahatan carding berdasar Undang-Undang
No.7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No.10 Tahun 1998 tentang
Perbankan.
Selanjutnya perusahaan perbankan menjadi korban atas pencurian data-data
perusahaan dan data nasabah. Perusahaan perbankan menjadi korban atas
pembobolan, perusakan dan pengacauan jaringan atau sistem operasional komputer
dan kerahasiaan perbankan dari adanya hacking yang dilakukan oleh pelaku
kejahatan dalam proses carding Sesuai dengan Pasal 406 ayat (1) KUHP. ” Barang
siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum menghancurkan, merusak,
membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya
atau sebagian yaitu kepunyaan orang lain, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus ribu rupiah”.
Perusahaan perbankan juga menjadi korban non materiil atas terjadinya
kejahatan pembobolan rekening nasabah oleh pelaku kejahatan, sehingga muncul
efek ketidak percayaan konsumen atas lembaga perbankan. berdasar KUHAP,
pihak perbankan dapat membuat laporan atas kerugian yang diderita melalui mekanisme sistem peradilan pidana. berdasar Pasal 1 butir 24 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP)
disebutkan bahwa: “Laporan yaitu pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang
karena hak atau kewajiban berdasar undang-undang kepada pejabat yang
berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa
pidana.” berdasar pasal ini , setiap orang dapat melaporkan suatu tindak
pidana, baik atas kemauannya sendiri maupun atas kewajiban yang dibebankan
kepadanya oleh undang-undang. Isi dari laporan ini merupakan hal-hal yang
berkaitan dengan tindak pidana yang disaksikan, diketahui, atau dialami sebagai
korban.
Kedua, nasabah dari perusahaan perbankan. Nasabah menjadi korban
kejahatan skimming yaitu atas hilangnya atau dicurinya dana rekening yang
disimpan pada perusahaan perbankan, dalam hal ini terdapat hak-hak dan
kewajiban nasabah, antara lain, yaitu nasabah berhak mendapatkan perlindungan
atas tabungan atau rekening yang disimpan pada suatu bank. berdasar Pasal 29
ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
berdasar prinsip kehati-hatian. Nasabah berhak mendapatkan informasi yang
berkaitan dengan kemungkinan terjadinya risiko kerugian sehubungan dengan
transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank (ATM). berdasar Pasal 29 ayat
(4) Undang- Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Selanjutnya nasabah huberhak mendapatkan ganti kerugian atas dana atau
rekening yang hilang atau dicuri dari bank pemegang hak simpanan. Selain itu juga
perlindungan hukum yang diterima nasabah penyimpan dana terhadap segala
resiko kerugian yang timbul dari suatu kebijaksanaan atau timbul dari kegiatan
usaha yang dilakukan oleh bank, sedangkan kewajiban nasabah yaitu nasabah
berkewajiban aktif memberitahukan informasi atas kejanggalan atau kerugian yang
dideritanya kepada pihak bank, sehingga dapat diproses lebih lanjut. Nasabah juga
berkewajiban memberikan keterangan dalam proses peradilan sebagai saksi apabila
terjadi masalah hukum, dalam hal ini adanya kejahatan percurian dana nasabah
dengan modus skimming dari bank yang bersangkutan.
Data nasabah termasuk data-data pribadi nasabah merupakan suatu dokumen
dan atau informasi yang wajib dirahasiakan oleh bank. Bank tidak boleh
memberikan data-data nasabah kepada pihak ketiga kecuali hal ini
diperjanjikan sebelumnya. Data-data perbankan nasabah seperti PIN (Personal
Indentification Number), nomor kartu kredit dan sejenisnya harus dijaga
kerahasiaan oleh bank. Pelanggaran terhadap kerahasiaan nasabah oleh pihak
bank dapat dituntut secara pidana.
Pada dasarnya tidak semua pengaduan nasabah yang melaporkan
kehilangan uang dalam rekeningnya mendapatkan pengembalian dari pihak bank.
Pihak bank akan melakukan klarifikasi terlebih dahulu terhadap pengaduan nasabah ini , apakah pengaduan nasabah itu memang kehilangan uang dalam
rekeningnya karena kejahatan penggandaan kartu ATM atau uang nasabah
ini hilang karena sebab lain terutama disebabkan karena kelalaian nasabah.
Perlidungan hukum terhadap nasabah dapat dilakukan dalam 2 cara yaitu:
Pertama, perlindungan tidak langsung, yaitu perlindungan hukum yang diberikan
kepada nasabah terhadap semua resiko kerugian yang mungkin timbul akibat
suatu kebijaksanaan atau kegiatan usaha bank. Kedua, perlindungan langsung,
yaitu perlindungan secara langsung terhadap nasabah terhadap kemungkinan
resiko kerugian yang timbul dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank.
Menurut Fadhil Hasan selaku pengamat perbankan, tindakan bank
memberikan penggantian terhadap nasabah yang menjadi korban pembobolan
ATM memang bagus karena membebaskan korban dari risiko kehilangan dana,
tapi tindakan itu saja tidak cukup bisa meredakan keresahan warga
menyangkut keamanan dana mereka di perbankan nasional. Selama aparat
berwenang tidak mampu untuk segera mengungkap kasus-kasus pembobolan
yang sudah terjadi, dan di sisi lain pengelola perbankan tidak bisa meyakinkan
warga menyangkut sistem pengamanan dana nasabah, keresahan
warga bisa tetap semakin menjadi-jadi dan meluas. Apabila sudah terjadi
demikian, perbankan nasional harus menanggung risiko dampak sistemik kasus
pembobolan ATM.
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
menjelaskan bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian ini ”. Dalam regulasi sektor jasa keuangan,
pihak perbankan harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang menimpa para
nasabah. Hal ini dapat dilihat dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan
pelaku usaha dalam hal ini perbankan bertanggung jawab memberikan ganti rugi
atas kerugian konsumen akibat mengkonsumsi jasa yang dihasilkan.
Perlindungan hukum terhadap nasabah bank yang mengalami kerugian akibat
kejahatan skimming juga dapat dilihat melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor
16/1/PBI/2014 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran. Pasal
10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/1/PBI/2014 ini menyebutkan
“Penyelenggara wajib bertanggung jawab kepada konsumen atas kerugian yang
timbul akibat kesalahan pengurus dan pegawai penyelenggara.” Perlindungan
konsumen jasa sistem pembayaran yang selanjutnya disebut perlindungan
konsumen yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen jasa sistem pembayaran.Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (PJOK) juga mewajibkan perbankan
mengganti kerugian yang dialami nasabah. Pasal 29 PJOK Nomor
1/PJOK.07/2013menyebutkan “Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib bertanggung
jawab atas kerugian konsumen yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian,
pengurus, pegawai pelaku usaha jasa keuangan dan/atau pihak ketiga yang
bekerja untuk kepentingan pelaku usaha jasa keuangan.”
Sebagaimana telah dijelaskan di awal bahwa kejahatan skimming termasuk
dalam pelanggaran terhadap Pasal 30 ayat (2) UU ITE, yaitu tindak pidana
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer
dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Sanksi Pidana terhadap Pasal
30 ayat (2) UU ITE terdapat pada Pasal 46 ayat (2) UU ITE, yang berbunyi
“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah)”.
Perbuatan pidana (actus reus) dari tindak pidana ini di atas yaitu
“mengakses”, sedangkan Niat (mens rea) dari tindak pidana ini diatas
yaitu “dengan sengaja”. Objek dari tindak pidana ini yaitu “Komputer
dan/atau Sistem Elektronik”. Tujuan tindak pidana ini yaitu “untuk
memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik”. Artinya
seseorang hanya dapat dipidana berdasar ketentuan Pasal 30 ayat (2) jo Pasal
46 ayat (2) UU ITE apabila yang diakses oleh pelaku yaitu komputer dan/atau
sistem elektronik. Yang menjadi korban tindak pidana ini yaitu pemilik
komputer dan/atau sistem elektronik dan atau pemilik data.
Agar pelaku dapat dipidana sesuai dengan ketentuan Pasal 46 ayat (2)
ini , maka pihak nasabah sebagai korban harus melaporkan tindak pidana
ini kepada pihak bank kemudian melaporkannya kepada pihak kepolisian.
Penyidik berdasar laporan yang ada harus melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap kasus skimming yang terjadi agar pelaku segera tertangkap
dan membuktikan unsur-unsur pidana sebagaimana terdapat dalam Pasal 30 ayat
(2) UU ITE.
Kejahatan pembobolan uang nasabah dengan metode skimming merupakan
salah satu kejahatan siber (cyber crime). Perbuatan ini termasuk dalam
tindak pidana informasi dan transaksi elektronik yang melarang setiap orang
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan atau
sistem elektronik dengan cara apapun dengan tujuan untuk memperoleh informasi
elektronik dan atau dokumen elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat
(2) UU ITE. Sementara itu perlindungan terhadap nasabah bank korban kejahatan
skimming dapat dilakukan dalam konteks penegakan hukum pidana dan penegakan
hukum perdata. Apabila nasabah mengalami kerugian finansial atas tindakan
skimming dalam perbankan yang bukan diakibatkan oleh nasabah itu sendiri maka pelaku usaha yaitu bank bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang
dialami oleh nasabah sebagai konsumen, dan kerugian yang dialami nasabah atas
tindakan skimming yaitu dengan hilangnya uang nasabah maka pihak bank wajib
mengganti uang nasabah ini secara utuh. OJK juga turut bertanggung jawab
apabila nasabah mengalami kerugian dalam bertransaksi menggunakan jasa
perbankan dikarenakan OJK yaitu badan pengawas perbankan.
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum serta pertanggungjawaban pihak bank
terhadap keamanan data pribadi nasabah maupun dana simpanan nasabah yang ada pada bank
dalam kasus card skimming. riset ini menggunakan pendekatan normatif-empiris yaitu
pendekatan undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut lalu dikaitkan dengan penerapannya
yang terjadi di lapangan. riset ini bersifat deskriptif analisis yang mana menggambarkan
peraturan-peraturan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dalam praktek pelaksanaannya.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara library research dan wawancara. Hasil riset ini
menunjukkan bahwa bank bertanggungjawab terhadap kerugian yang dialami nasabah atas pencurian
dengan modus card skimming, dengan catatan harus dibuktikan dengan rekaman kamera cctv dan
tidak ada unsur kelalaian dari pihak nasabah yang menjadi korban. Perlindungan hukum kepada
nasabah berkaitan dengan pertanggungjawaban yang diberikan pihak bank yaitu berdasar
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, PBI No. 16/1/PBI/2014 tentang
Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran dan POJK No. 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Bank sebagai lembaga utama di bidang keuangan diharapkan dapat menjaga
kepercayaan warga atas simpanan yang ditanamkan kepadanya. Mengingat
tugas ini memiliki sifat yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya,
pengaturan atas industri perbankan nasional mutlak diperlukan untuk menjaga
keseimbangan di antara tugas-tugas di atas. Dalam hal ini peranan Bank Indonesia
dan Otoritas Jasa Keuangan sebagai otoritas perbankan nasional di tanah air
menjadi sangat strategis. Oleh karena itu, menurut Shelagh Heffernan, bahwa bank
yaitu salah satu pemangku regulasi tertinggi karena kegagalan bank akan
menimbulkan biaya sosial yang tinggi berupa hilangnya peran bank sebagai
lembaga intermediasi dan transmisi dalam sistem pembayaran.1
Saat ini sebagian besar perbankan telah mengeluarkan produk kartu plastik
sebagai upaya memberikan kepuasan kepada nasabah. Kartu ATM (Anjungan
Tunai Mandiri), biasanya diberikan kepada setiap nasabah yang ingin memiliki
kartu untuk kemudahan dalam melakukan transaksi keuangan. Beberapa bank
juga memberikan fasilitas kartu debit pada kartu ATM yang dapat dipakai
untuk transaksi pembelian barang. Pada dasarnya kartu plastik bertujuan untuk
mengurangi pemakaian uang tunai dalam melakukan berbagai transaksi
keuangan. Hal ini dilakukan dengan alasan kemudahan serta keamanan.2
Fasilitas bank berupa ATM merupakan sarana teknologi yang dapat melayani
kebutuhan nasabah secara otomatis setiap saat (24 jam) dan 7 hari dalam seminggu
termasuk hari libur,3 namun dibalik kemudahan dan keamanan teknologi mesin
ATM ternyata masih terdapat kelemahan. Kenyataan yang terjadi di lapangan,
warga dikejutkan dengan hilangnya sejumlah dana nasabah melalui mesin
ATM tanpa diketahui siapa dan kapan transaksi ini dilakukan sedangkan
nasabah pemilik kartu tidak merasa melakukan transaksi yang dimaksud.
Nasabah sebagai konsumen wajib mendapat perlindungan hukum atas
pemanfaatan produk jasa yang ditawarkan oleh bank. Perlindungan hukum merupakan suatu upaya dalam mempertahankan serta memelihara kepercayaan
warga luas khususnya nasabah.4 Permasalahan hilangnya dana nasabah ini
merupakan akibat kurangnya perlindungan bank terhadap para nasabahnya.
Kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun pada orang lain
yang tidak pernah melakukan transaksi, misalnya dalam hal ini pencurian dana
nasabah bank melalui modus skimmer (penggandaan kartu Anjungan Tunai
Mandiri/ATM). Pencurian dana nasabah bank melalui modus penggandaan kartu
ATM merupakan salah satu kejahatan teknologi di bidang perbankan. Beberapa
waktu lalu, modus pencurian dana nasabah bank melalui penggandaan kartu ATM
semakin meningkat. Hal ini sebetulnya telah lama diketahui bersama dan telah
banyak kasus yang terjadi. Kejadian pun terulang kembali sampai berita tentang
pencurian dana 200 nasabah BCA melalui ATM, diketahui oleh warga .5
Salah satu korban bernama Grace Simon yang merupakan seorang penyanyi
populer pada 1970-an, telah melapor kepada pihak kepolisian sebagai salah satu
korban pembobolan ATM. Grace kehilangan Rp. 20.000.000,00 dari rekeningnya di
Bank BCA. Akan tetapi, pihak bank BCA telah mengganti kerugian yang
dialaminya.
Kasus lain terjadi pada seorang nasabah Bank Mandiri bernama Surianty
yang merasa telah kehilangan dana sebesar Rp. 19.450.000,00 pada rekeningnya,
padahal si nasabah merasa tidak melakukan transaksi penarikan dari tabungan.
Kemudian si nasabah mencari tahu penyebab raibnya uang simpanannya. Ternyata
memang benar telah terjadi transaki dengan menggunakan kartu ATM.
Masalahnya, respon bank cukup sederhana, bank menganggap tidak ada
masalah sama sekali pada proses transaksi dan memosisikan pengadu untuk
bertanggung jawab sendiri atas masalah itu. Menurut bank semua proses transaksi
sah dan tidak ada yang mencurigakan.Merujuk pada Pasal 37 B angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan yang telah Diubah menyebutkan, “setiap bank wajib menjamin
dana warga yang disimpan pada bank yang bersangkutan”. Kasus di atas
menunjukkan masih terdapat kelemahan pada penerapan tanggung jawab bank
kepada nasabah.
Berbagai kejahatan yang terjadi dengan menggunakan fasilitas
perkembangan teknologi khususnya pencurian dana nasabah bank bermacammacam bentuknya, salah satunya dengan menggunakan modus penggandaan
kartu ATM. Oleh karena itu, Penulis tertarik untuk melakukan riset
pencurian dengan modus penggandaan kartu ATM ini .
Rumusan Masalah
Adapun dari uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik rumusan
masalahnya yaitu : pertama, bagaimana tanggung jawab bank terhadap kerugian
yang diderita nasabah dikarenakan adanya pencurian dana simpanannya dengan
modus card skimming pada saat melakukan transaksi di ATM ? Kedua, bagaimana
perlindungan hukum bagi nasabah yang mengalami kerugian atas modus card
skimming pada saat melakukan transaksi di ATM ?
Tujuan riset
Atas dasar permasalahan yang telah dikemukakan di atas, tujuan yang hendak
dicapai dari riset ini yaitu : pertama, untuk mengetahui perlindungan hukum
dalam sistem hukum di Indonesia yang dapat diberikan kepada nasabah bank
pengguna ATM. Kedua, untuk mengetahui pertanggungjawaban yang dapat
diberikan oleh pihak Bank berkenaan dengan kerugian yang diderita nasabah bank
pengguna ATM dalam melakukan transaksi yang dikarenakan modus kejahatan
skimmer.
Metode riset
Dalam pembuatan jurnal ini, penulis menggunakan metode riset secara
Yuridis Empiris yaitu melakukan pengkajian pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan secara faktual pada peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam warga .9 riset ini bersifat Deskriftif yaitu mendeskripsikan dan
atau menggambarkan pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan untuk
memecahkan permasalahan.10
Kemudian dijelaskan langkah-langkah pihak bank apabila menerima
komplain atau laporan dari nasabahnya mengenai masalah kehilangan dana pada
rekening akibat pemakaian kartu ATM. Setelah itu dijelaskan tindak lanjut pihak
bank berkaitan dengan pengembalian dana nasabah apabila dari hasil pemeriksaan
ternyata dana nasabah yang hilang bukan karena kesalahannya melainkan karena
kejahatan penggandaan kartu ATM.
Data Primer yang dipakai dalam riset ini yaitu data yang bersumber
dari riset lapangan yaitu di Bank Indonesia Cabang Banjarmasin, Otoritas Jasa
Keuangan Cabang D.I. Yogyakarta, Bank Mandiri Cabang Banjarmasin. Sedangkan
data sekunder yang dipakai dalam riset ini yaitu data yang bersumber dari
data-data berupa dokumen yang sudah ada dalam bentuk bahan hukum.
Hasil riset dan Pembahasan
Teknik Pencurian Dana Simpanan Nasabah Melalui Mesin ATM dengan Modus
Card Skimming
Bank yaitu suatu badan usaha yang berbadan hukum yang bergerak di
bidang jasa keuangan. Bank sebagai badan hukum berarti secara yuridis yaitu
merupakan subyek hukum yang berarti dapat mengikatkan diri dengan pihak
ketiga.
Sesuai dengan perkembangan zaman, dewasa ini kegiatan menabung sudah
beralih dari rumah ke lembaga keuangan seperti bank. Untuk menarik dana yang
ada di rekening tabungan dapat dipakai berbagai sarana atau alat penarikan.
Dalam praktiknya ada beberapa alat penarikan yang dapat dipakai , hal ini
tergantung bank masing-masing. Salah satu alat penarikan yang dipakai untuk
menarik dana yaitu berupa kartu yang terbuat dari plastik. Kartu ATM merupakan
kartu plastik yang dilengkapi dengan magnetic stripe pada magnetic stripe akan terekam secara elektronik nomor kartu ATM, nama pemilik kartu, dan informasiinformasi lainnya yang diperlukan oleh sistem komputer.12
Sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009, kartu ATM
diartikan sebagai APMK yang dapat dipakai untuk melakukan penarikan tunai
dan/atau pemindahan dana, yakni kewajiban pemegang kartu dipenuhi sesaat
dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada bank atau
lembaga selain bank (LSB) yang berwenang menghimpun dana sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.13
Di samping segi-segi positif ini , pengguna ATM juga tidak lepas dari
kekurangan atau dampak yang sifatnya negatif. Kekurangan ini misalnya
adanya kemungkinan kejahatan yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam transaksi
melalui ATM, yaitu dengan pemakaian langsung kartu ATM nasabah yang telah
diketahui nomor PIN (Personal Identification Number)-nya, pemalsuan kartu, atau
pencurian data nasabah pengguna ATM.
Terkait pencurian dana nasabah melalui mesin ATM dengan modus card
skimming, pihak Bank Mandiri Lambung Mangkurat Cabang Banjarmasin
menyebutkan terdapat berbagai macam teknik pencurian dana simpanan nasabah
melalui mesin ATM,14 Adapun cara pertama yaitu dengan melakukan
penggandaan kartu ATM. Proses diawali dengan pemasangan skimmer dan kamera
di mesin ATM yang tersebar di beberapa wilayah. Skimmer dipasang dengan
menggunakan double tape pada mulut slot kartu ATM. Tujuan pemasangan skimmer
ini yaitu untuk merekam dan menjgambil data kartu ATM yang tertera pada pita
magnetic stripe yaitu permukaan berwarna hitam pada kartu ATM. Sedangkan
kamera sengaja dipasangi pelindung berwarna sesuai dengan mesin ATM agar
tidak dapat terlihat, kemudian dipasang di atas keypad agar dapat melihat nomor
PIN yang ditekan oleh nasabah. Pemasangan skimmer dan kamera ini
dipasang sekitar lima sampai dengan tujuh jam selanjutnya dilepas dan diambil
datanya.
Setelah data kartu ATM milik nasabah yang sudah terekam di skimmer
diambil, kemudian data dikirimkan kepada salah satu sindikat pelaku yang berada
di luar negeri yaitu Bulgaria untuk dilakukan pengolahan data dengan cara
menyesuaikan antara data yang terekam di skimmer dengan data nomor PIN yang
terekam pada kamera tersembunyi. Pengolahan data ini dilakukan dengan
waktu selama sekitar tiga bulan. Setelah pengolahan data selesai, hasilnya
dikirimkan lagi kepada sindikat pelaku ke Indonesia.
Dari data yang sudah diterima ini , kemudian dibaca menggunakan alat
bernama Magnetic Card Reader (MCR) yaitu alat pembaca data kartu magnetik yang
sudah dihubungkan dengan komputer. Data masing-masing nasabah yang sudah
ditata kemudiansatu persatu dibuatkan duplikat kartu ATM dengan cara digesek /
swipe pada alat MCR sehingga secara otomatis data langsung masuk ke dalam kartu
ATM ini . Selanjutnya kartu ATM dimasukkan ke dalam amplop dan di amplop
ditulis nomor PIN masing-masing kartu ATM untuk memudahkan pemakaian nya.
Setelah proses duplikasi kartu ATM ini selesai, kemudian semua kartu
ATM yang sudah jadi dibagikan kepada beberapa anggota sindikat, masing-masing
membawa dua puluh sampai dengan tiga puluh kartu ATM. Selanjutnya para pelaku
melakukan pengambilan dana di mesin-mesin ATM dengan menggunakan semua
kartu ATM duplikat ini . Setelah semua kartu dilakukan penarikan, para pelaku
berkumpul kembali untuk mengumpulkan uang hasil penarikan kartu selanjutnya
uang hasil kejahatan ini dibagikan kepada semua pelaku.
Yang kedua mengganti card reader, tetapi cara ini sudah tergolong kuno dan
untuk mengganti card reader, si pelaku harus membuka ATMnya. Pada mesin ATM
terdapat fascia (bukaan pintu) atas yang terdiri dari CPU, AC box, Card Reader,
Receipt Printer, EPP, Softkey, Monitor dan faskia (bukaan pintu) bawah yang berisi
uang.
Cara ketiga, yaitu dengan menambahkan alat perekam pada EDC, dan
menggunakan tusuk gigi, tusuk gigi ini dimasukkan kedalam lubang tempat
memasukkan kartu. Jadi, apabila si nasabah pertama kali memasukkan kartu ATM ke dalam mesin, akan mengalami kesulitan karena terganjal tusuk gigi tadi, setelah
dipaksa masuk barulah kartu ATM ini bisa dimasukkan ke dalam mesin
ATM, akan tetapi kartu ATM yang telah dimasukkan akan terjebak di dalam card
reader, karena terganjal oleh tusuk gigi yang telah dipasang oleh pelaku sebagai
perangkap kartu ATM yang dimasukkan nasabah. Secara spontan nasabah yang
kartu ATM nya telah terjebak pada card reader tadi menjadi panik dan bingung,
disaat itulah si pelaku mendatangi korban dengan berpura-pura untuk menolong.
Setelah si pelaku berpura-pura memeriksa mesin ATM, ditukarlah kartu ATM
nasabah yang asli dengan yang palsu, lalu si pelaku menyerahkan kartu ATM yang
palsu ini kepada nasabah.
Di sini letak kelalaian nasabah, terkadang nasabah panik dan disitulah
kesempatan bagi si pelaku untuk memainkan emosi korbannya. Otomatis si korban
menjadi tidak fokus terhadap kartu ATM nya, dan langsung menerima apa saja
yang diserahkan oleh si pelaku. Lalu si pelaku membawa alat perekam yang telah
ditambahkan pada EDC tadi beserta kartu yang sudah terjebak di dalamnya, tetapi
dengan catatan si pelaku juga telah menambahkan spy cam pada mesin ATM untuk
merekam nomor PIN yang ditekan oleh si nasabah yang menjadi korban. Jadi
saat pelaku berpura-pura menolong korban, pelaku menyuruh korban untuk
mencoba memasukkan PIN agar terlihat bahwa mesin ATM bekerja dengan wajar,
pada saat itulah, spy cam ini merekam tombol angka yang ditekan oleh korban
pada mesin ATM.
Tanggung Jawab Bank Terhadap Nasabah Yang Mengalami Kerugian atas
pencurian dana simpanannya melalui mesin ATM dengan Modus Card
Skimming
Menurut Fadhil Hasan selaku pengamat perbankan, tindakan bank
memberikan penggantian terhadap nasabah yang menjadi korban pembobolan
ATM memang bagus karena membebaskan korban dari risiko kehilangan dana.
Tapi tindakan itu saja tidak cukup bisa meredakan keresahan warga
menyangkut keamanan dana mereka di perbankan nasional. Selama aparat
berwenang tidak mampu untuk segera mengungkap kasus-kasus pembobolan
yang sudah terjadi, dan di sisi lain pengelola perbankan tidak bisa meyakinkan
warga menyangkut sistem pengamanan dana nasabah, keresahan warga bisa tetap semakin menjadi-jadi dan meluas. Apabila sudah terjadi demikian,
perbankan nasional harus menanggung risiko dampak sistemik kasus pembobolan
ATM.15
Menurut Abdul Kadir Muhammad, teori tanggung jawab dalam perbuatan
melanggar hukum dibagi menjadi beberapa teori, yaitu:16 pertama, tanggung jawab
akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja, tergugat
harus sudah melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan
penggugat atau mengetahui bahwa apa yang dilakukan tergugat akan
mengakibatkan kerugian. Kedua, tanggung jawab akibat kerugian perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan karena kelalaian, didasarkan pada konsep
kesalahan yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah bercampur baur.
Ketiga, tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa
mempersoalkan kesalahan, didasarkan pada perbuatannya baik secara sengaja
maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan kesalahannya tetap bertanggung
jawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatannya.
Adapun peneliti melakukan wawancara terhadap salah satu bank di
Banjarmasin terkait penerapannya dalam melakukan tanggung jawab terhadap
nasabah yang mengalami kerugian atas hilangnya dana simpanan yang diduga
melalui mesin ATM. Pambudi mengatakan Modus pembobolan ATM dengan card
skimming biasanya menggunakan kamera kecil. Beliau mengharapkan agar
nasabah, khususnya Bank Mandiri, untuk tidak perlu khawatir. Sebab, Bank
Mandiri telah menerapkan IT Security yang kuat dan menerapkan anti-skimming.
Lebih jauh beliau menuturkan, dengan anti-skimming, ATM Bank Mandiri
tidak memiliki celah untuk ditembus dengan micro camera itu, jadi dapat dikatakan
bahwa ATM bank Mandiri untuk sementara masih aman. “Untuk saat ini memang,
kartu ATM nasabah Bank Mandiri belum dipasang chip. Namun, tanpa itupun
ATM sudah cukup aman. Jika ternyata ada nasabah yang mengalami pembobolan saldo yang diduga melalui mesin ATM, bisa langsung melaporkannya ke call
center 14000 atau datang langsung ke kantor cabang terdekat. Pihak bank akan
melakukan verifikasi, apabila memang nasabah tidak melakukan transaksi, tetapi
saldo yang dimilikinya berkurang, dan memang terbukti benar bukan nasabah
yang bersangkutan yang melakukan transaksi dengan dibuktikan melalui rekaman
CCTV maka saldo yang hilang akan diganti. Dengan cara, nasabah cukup
membawa kartu ATM dan buku tabungannya”.18
Apabila terdapat unsur kelalaian pada nasabah dalam menjaga kerahasiaan
PIN, misalnya saat nasabah melakukan transaksi pada mesin ATM, tetapi dia
tidak berusaha menutupi keyboard yang dia tekan, dan saat dia menekan tombol
dapat membuat orang yang sedang mengantri di belakang bisa melihat, dan
terbukti dengan adanya rekaman cctv, maka hal seperti itu pihak bank tidak akan
memberikan ganti rugi apabila terjadi pencurian saldo rekening yang dimiliki oleh
nasabah ini , jadi semua tergantung bagaimana nasabah menjaga kerahasiaan
PIN nya. Akan tetapi apabila nasabah sudah berusaha untuk menutupi keyboard
pada mesin ATM saat melakukan transaksi, namun ternyata ada alat lain yang
dipasangi pada mesin ATM ini dan itu di luar kemampuan nasabah dalam
mengurangi resiko kebocoran PIN ATM yang dia miliki dan secara prosedur dia
tidak melakukan kesalahan, dia sudah berusaha menutupi keyboard, dan terbukti
dengan rekaman cctv, maka bank akan bertanggung jawab dengan memberikan
ganti rugi.
Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank yang Mengalami Kerugian
Finansial atas pembobolan ATM melalui teknik Card Skimming
Pada dasarnya tidak semua pengaduan nasabah yang melaporkan kehilangan
uang dalam rekeningnya mendapatkan pengembalian dari pihak bank. Pihak bank
akan melakukan klarifikasi terlebih dahulu terhadap pengaduan nasabah ini ,
apakah pengaduan nasabah itu memang kehilangan uang dalam rekeningnya
karena kejahatan penggandaan kartu ATM atau uang nasabah ini hilang
karena sebab lain terutama disebabkan karena kelalaian nasabah. Perlidungan hukum terhadap nasabah dapat dilakukan dalam 2 cara yaitu :19
pertama, perlindungan tidak langsung, yaitu perlindungan hukum yang diberikan
kepada nasabah terhadap semua resiko kerugian yang mungkin timbul akibat
suatu kebijaksanaan atau kegiatan usaha bank. Kedua, perlindungan langsung,
yaitu perlindungan secara langsung terhadap nasabah terhadap kemungkinan
resiko kerugian yang timbul dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank.
Nasabah sebagai konsumen menurut ketentuan Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 45
ayat (1) dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen menyebutkan sengketa konsumen dapat diselesaikan di luar
pengadilan dan melalui pengadilan. Setiap konsumen yang dirugikan dapat
menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan umum (UUPK Pasal 45
ayat (1)) ataupun penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui
pengadilan atau diluar pengadilan berdasar dengan pilihan sukarela para
pihak yang bersengketa (UUPK Pasal 45 ayat (2)).
Menurut UUPK Pasal 48 penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan
melalui jalur Pengadilan Negeri (PN) yaitu penyelesaian sengketa yang mengacu
pada ketentuan peradilan umum yang berlaku. Penyelesaian sengketa melalui
pengadilan dapat dilakukan oleh konsumen yang telah dirugikan atau ahli waris
yang bersangkutan, sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang
sama, pemerintah dan/atau instansi terkait ataupun lembaga perlindungan
konsumen swadaya warga (LPKSM).
Menurut Pasal 19 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
konsumen yang merasa dirugikan dapat menuntut secara langsung penggantian
kerugian kepada produsen dan produsen harus memberi tanggapan dan/atau
penyelesaian dalam jangka waktu 7 hari setelah transaksi berlangsung.20 Selain itu,
penyelesaian sengketa konsumen juga tidak menutup kemungkinan penyelesaian
secara damai oleh pihak yang bersengketa. Adapun Otoritas Jasa Keuangan mempunyai tugas untuk memberikan
perlindungan hukum kepada konsumen lembaga jasa keuangan. Terkait kasus card
skimming yang mengakibatkan kerugian bagi nasabah bank, Undang-Undang
Otoritas Jasa Keuangan mengatur mengenai perlindungan konsumen dan
warga dengan melakukan tindakan pencegahan kerugian konsumen dan
warga , yang meliputi:21
1. Memberikan informasi dan edukasi kepada warga atas karakteristik
sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya;
2. Meminta lembaga jasa keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila
kegiatan ini berpotensi merugikan warga ; dan
3. Tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
“Kami selaku Otoritas Jasa Keuangan dalam memberikan perlindungan
terhadap nasabah yang mengalami kerugian berdasar pada Undang-Undang
Otoritas Jasa Keuangan”, terang Diantika selaku pihak OJK.22
Di samping upaya pencegahan pelanggaran ketentuan dalam Undangundang Otoritas Jasa Keuangan, terdapat beberapa instrumen untuk pelayanan
pengaduan konsumen atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yang
meliputi:23
1. Menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan
konsumen yang dirugikan oleh pelaku di lembaga jasa keuangan;
2. Membuat mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di
lembaga jasa keuangan; dan
3. Memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh
pelaku di lembaga jasa keuangan sesuai dengan peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan memuiliki 2 (dua) kewenangan dalam pembelaan
hukum bagi konsumen, yaitu:24
1. Memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada pelaku usaha
sektor jasa keuangan untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang
dirugikan oleh pelaku usaha sektor jasa keuangan dimaksud;
2. Mengajukan gugatan:
a. Untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan
dari pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah
penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun
dibawah penguasaan pihak lain dengan itikad baik; dan/atau
b. Untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan
kerugian pada konsumen dan/atau lembaga jasa keuangan sebagai
akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan.
Pada 2013 sebagai salah satu bentuk kewenangannya, Otoritas Jasa Keuangan
menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Prinsip perlindungan yang
dimuat dalam peraturan ini yaitu transparansi, perlakuan adil, keandalan,
kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen, dan penanganan
pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat dan
biaya ringan.25
Adapun pihak Bank Indonesia menjelaskan, perlindungan hukum terhadap
nasabah yang mengalami kerugian dapat dilihat melalui Peraturan Bank Indonesia
Nomor 16/1/PBI/2014 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran.
Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran yang selanjutnya disebut
Perlindungan Konsumen yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada Konsumen Jasa Sistem Pembayaran.
Namun Bank Indonesia menegaskan tidak ada judgement terhadap bank
tertentu untuk memberikan ganti rugi kepada nasabah yg mengalami kerugian
terkait pembobolan dana nasabah melalui mesin ATM dengan modus card
skimming, tetapi hanya memberikan fasilitas berupa mediasi antara pihak nasabah
yang mengalami kerugian dengan bank yang menyimpan dana nasabah ini .26
Terhadap kerugian yang dialami nasabah, Bank Indonesia telah menghimbau
bank untuk tetap memperhatikan prinsip perlindungan nasabah. Dalam hal ini,
apabila nasabah merasa terdapat transaksi yang mencurigakan pada rekeningnya,
dapat segera menghubungi bank di mana nasabah membuka rekening. Bank akan
melakukan investigasi terhadap laporan yang masuk berdasar bukti-bukti
yang ada sesuai dengan aturan/prosedur yang ada.
“Sebetulnya, pertanggungjawaban bank terhadap nasabah yang dirugikan
ini ialah kewenangan bank yang lalai itu sendiri. Mereka semestinya sudah
memiliki SOP (Standart Operational Procedure) sendiri-sendiri, tetapi tetap
mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia. Detail bagaimana
pertanggungjawabannya tetap masing-masing bank itu sendiri yang memiliki
kebijakan”. Terang Abdul. Hal ini sesuai dengan Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia
tentang Perlindungan konsumen jasa sistem pembayaran yang berbunyi
“Penyelenggara wajib bertanggung jawab kepada Konsumen atas kerugian yang timbul
akibat kesalahan pengurus dan pegawai Penyelenggara”.
Selanjutnya Bank Indonesia menegaskan bahwa bank wajib memiliki dan
melaksanakan mekanisme penanganan pengaduan bagi konsumen, adapun
mekanismenya wajib dituangkan dalam bentuk tertulis yang meliputi penerimaan
pengaduan, penanganan dan penyelesaian pengaduan serta pemantauan
penanganan dan penyelesaian pengaduan.27 Mekanisme penanganan pengaduan
ini wajib diberitahukan kepada konsumen.
Penyelesaian pengaduan nasabah yaitu melalui proses mediasi perbankan
melalui Bank Indonesia. Mediasi perbankan merupakan kelanjutan dari
pengaduan nasabah apabila nasabah merasa tidak puas atas penanganan dan
penyelesaian yang diberikan pihak bank. Dalam pelaksanaan kegiatan usaha
perbankan seringkali hak-hak nasabah tidak dapat terlaksana dengan baik
sehingga menimbulkan friksi antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan
dengan munculnya pengaduan nasabah.
Apabila pengaduan nasabah tidak diselesaikan dengan baik oleh bank, maka
berpotensi menjadi perselisihan atau sengketa antara nasabah dengan bank yang
cenderung berlarut-larut. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan cukup banyaknya
keluhan-keluhan nasabah di berbagai media. Munculnya keluhan-keluhan yang
tersebar pada publik melalui berbagai media ini dapat menurunkan reputasi
bank di mata warga dan berpotensi menurunkan kepercayaan warga
pada lembaga perbankan.
Untuk mengurangi publikasi negatif terhadap operasional bank dan
menjamin terselenggaranya mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah secara
efektif dalam jangka waktu yang memadai, maka bank menetapkan standar
minimum mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor: 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah yang
wajib dilaksanakan oleh seluruh Bank. Tetapi penyelesaian pengaduan nasabah
oleh bank yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 ini
tidak selalu dapat memuaskan nasabah. Ketidakpuasan ini dikarenakan tidak
terpenuhinya tuntutan nasabah bank baik seluruhnya maupun sebagian sehingga
berpotensi menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank.
Pihak Bank Indonesia menyatakan tidak ada perangkat hukum yang khusus
untuk mengatasi kasus pembobolan dana nasabah melalui mesin ATM dengan
modus card skimming, karena kejahatan yang berkaitan dengan ATM pasti
menyangkut teknologi, yang mana teknologi itu terus berkembang dan dinamis.
Diakui pihak Bank Indonesia memang terkadang terdapat beberapa hal yang tidak
terduga diluar kemampuan Bank Indonesia. Artinya apabila Bank Indonesia
membuat ketentuan khusus terkait kasus card skimming, maka justru mempersulit
ruang gerak bank dalam melakukan kegiatannya.28
Dalam memberikan kepastian hukum, Bank Indonesia sudah memberikan
koridor masing-masing untuk memberikan ruang gerak bagi bank dalam
melakukan kegiatan usahanya. Oleh karena itu, ketentuan terkait kasus card
skimming jelas tidak ada, dengan kata lain bank harus berhati-hati dan handal
dalam menjalankan sistem pembayaran. Karena bisa jadi dalam beberapa waktu,
metode pembobolan mesin ATM dengan card skimming sudah tidak menjadi trend
lagi bagi para pelaku dalam mencuri dana simpanan nasabah.
Dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat sekarang ini, nasabah
dalam pemakaian kartu juga sudah dianggap barang lama. “Seperti yang kita
ketahui sekarang, nasabah sudah banyak yang beralih menggunakan e-banking
yang mana dapat diakses melalui smartphone dan dianggap lebih fleksibel dari
pada mesin ATM itu sendiri”. Tutup beliau
Penutup
berdasar hasil riset serta pembahasan yang telah penulis sajikan
pada bab-bab terdahulu, berikut disajikan kesimpulan yang merupakan jawaban
terhadap permasalahan dalam riset ini:
Pertama, pertanggungjawaban yang dilakukan pihak bank terhadap peristiwa
tindak pidana penggandaan kartu ATM yang menyebabkan kerugian hilangnya
dana nasabah yaitu pihak bank memberikan ganti rugi terhadap dana nasabah
yang hilang ini dengan terlebih dahulu memastikan bahwa hilangnya dana
nasabah apakah karena memang benar disebabkan oleh perbuatan tersangka
penggandaan kartu ATM ataukah karena kelalaian nasabah sendiri, sehingga
apabila hilangnya dana nasabah yang disebabkan oleh kelalaian nasabah sendiri,
maka pihak bank tidak wajib mengembalikan kerugian yang dialami nasabah.
Kedua, perlindungan hukum terhadap korban kejahatan penggandaan kartu
ATM antara lain: upaya hukum yang dapat dilakukan pihak nasabah apabila
mengalami kerugian atas hilangnya dana simpanan; menurut Pasal 19 ayat (1) dan
(3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, konsumen yang merasa dirugikan
dapat menuntut secara langsung penggantian kerugian kepada produsen dan
produsen harus memberi tanggapan dan/atau penyelesaian dalam jangka waktu 7
hari setelah transaksi berlangsung; dan setiap konsumen yang dirugikan dapat
menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan umum ataupun
penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan (UUPK
Pasal 45 ayat (1)) atau diluar pengadilan berdasar dengan pilihan sukarela para
pihak yang bersengketa (UUPK Pasal 45 ayat (2)).
Upaya penindakan yang dilakukan oleh pihak bank yaitu klarifikasi
pengaduan nasabah yang kehilangan dana dengan cara melakukan pengecekan data rekening nasabah untuk mengetahui transaksi-transaksi yang menyebabkan
berkurangnya saldo rekening nasabah, lalu nasabah menyampaikan transaksi yang
dirasa janggal atau tidak pernah dilakukan oleh nasabah. Selain itu juga dilakukan,
pengecekan transaksi nasabah yang diduga janggal berdasar penyampaian
nasabah, salah satunya yaitu pengecekan CCTV pada mesin ATM yang
penarikan uangnya tidak diakui oleh nasabah. Dari hasil pengecekan transaksi ini
akan diketahui dan disimpulkan apakah transaksi ini sah atau transaksi
janggal. Selanjutnya yaitu pengembalian dana nasabah yang hilang, apabila
sudah disimpulkan bahwa nasabah tidak melakukan transaksi yang tercatat pada
rekening nasabah ini . Yang terakhir yaitu pembuatan laporan tindak pidana
penggandaan kartu ATM di Kepolisian untuk dapat dilakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap pelaku.
Sedangkan upaya pencegahan yang dilakukan oleh pihak bank yaitu
pemasangan tutup pelindung keypad atau tombol angka pada mesin ATM agar
tidak terlihat kode angka yang ditekan nasabah pada saat memasukkan kode PIN,
pemasangan alat anti skimmer pada lubang pembaca kartu ATM dan
mengoptimalkan operasional CCTV di seluruh mesin ATM, memasang himbauan
kepada nasabah untuk berhati-hati dalam kegiatan transaksi di mesin ATM dan
melaksanakan pengecekan secara berkala terhadap kondisi mesin dan ruang ATM,
dan penerapan teknologi chip sebagai pengganti pita magnetik (magnetic stripe)
pada kartu ATM yang efektif berlaku untuk seluruh nasabah bank di Indonesia.
berdasar hasil riset di atas, penulis menyarankan: pertama, agar
pemerintah menerbitkan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan pihak
bank meningkatkan keamanan mesin ATM yang dimiliki oleh bank dan
menerapkan sanksi yang berat terhadap bank yang tidak melaksanakan hal
ini sehingga dapat melindungi nasabah perbankan dari kejahatan
penggandaan kartu ATM.
Kedua, agar Bank Indonesia konsisten memberlakukan aturan pemakaian
teknologi chip pada kartu ATM sebagai pengganti kartu ATM dengan pita
magnetik dan memberikan bantuan kepada bank untuk proses pengadaan kartu
dan infrastruktur kartu ATM dengan teknologi chip serta tidak mempersulit proses
pengembalian dana nasabah korban kejahatan penggandaan kartu ATM dan
segera memperbaharui kartu ATM dengan teknologi chip untuk menjaga
keamanan dana nasabah di rekening bank.
Ketiga, agar Bank Indonesia harus bekerjasama dengan bank umum perlu
peningkatan penyuluhan dan edukasi kepada warga luas pada umumnya
dan nasabah bank pada khususnya. Bank harus bersedia menjelaskan secara
terbuka proses dan cara penyelesaian persengketaan antara nasabah dengan pihak
bank, khususnya pada proses penyelesaian pengaduan kerugian nasabah yang
disebabkan oleh pencurian melalui card skimming pada mesin ATM. Dengan
demikian bagi warga awam akan dapat memperoleh suatu pembelajaran
karena mereka akan mengetahui bagaimana penyelesaian yang dilakukan bank.
Keempat, agar para nasabah lebih waspada dan berhati-hati dalam melakukan
transaksi di mesin ATM serta selalu melakukan penggantian nomor PIN ATM
secara berkala untuk meminimalisir kemungkinan resiko menjadi korban
kejahatan penggandaan kartu ATM