cyber crime 23
ikriminalisasi dalam pasal 35 yaitu
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum,
melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan,
penghilangan, pengeruskan informasi elektronik atau
dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi
elektronik atau dokumen elektronik tersbut dianggap
seolah-olah data yang otentik.
j. Perbuatan yang dikriminalisasi dalam pasal 36 yaitu
dengan senagaja dan tanpa haka tau melawan hukum
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 s/d
Pasal 34 yang dapat mengakibtkan kerugian bagi orang
lain.
k. Ketentuan pasal 37 tidak mengatur perbuatan yang
dilarang tetapi mengatur mengenai yurisdiksi atas
perbuatan yang dilakuakn di luar wilayah Indonesian
terhadap sasaran atau objek yang ada di wilayah
indonesia.
berdasar rumusan perbuatan yang dikriminalisasi sebagai tindak
pidana siber dalam UU ITE terdapat unsur delik yang dirumuskan,
yaitu unsur ―dengan sengaja‖ dan ―tanpa hak‖. Dalam beberapa pasal
unsur ―tanpa hak‖ dirumuskan alternatif dengan ―melawan hukum‖,
yaitu Pasal 30 sampai dengan Pasal 36. pemakaian kata ―dengan
sengaja‖ menagndung arti bahwa tindak pidana Siber sebagaimana
diatur dalam UU ITE diancam dengan pidana apanila dilakukanb
dentgan sengaja. Perbuatan yang dilakukan dengan kelalaian atau
kebetulan bukan merupakan tindak pidana dan tidak diancam dengan
pidana. CYBERCRIME
A. Pengertian dan Karakteristik Cybercrime
Secara terminologis, kejahatan di bidang teknologi informasi
dengan basis komputer sebagaimana terjadi saat ini, dapat disebut
dengan beberapa istilah yaitu computer misuse, computer abuse,
computer fraud, computer-related crime, computer-assisted crime,
atau computer crime.13
Istilah cyberspace pertama kali digunakan untuk menjelaskan
dunia yang terhubung langsung (online) ke internet oleh Jhon Perry
Barlow pada tahun 1990. Secara etimologis, istilah cyberspace
sebagai suatu kata merupakan suatu istilah baru yang hanya dapat
ditemukan di dalam kamus mutakhir Cambridge Advanced Learner's
Dictionary memberikan definisi cyberspace sebagai “the Internet
considered as an imaginary area without limits where you can meet
people and discover information about any subject”. Yakni
pertimbangan internet sebagai suatu area imajiner tanpa batas,dimana
anda bisa bertemu dengan banyak orang dan memperoleh informasi
tentang berbagai hal. Perkembangan teknologi komputer juga
menghasilkan berbagai bentuk kejahatan komputer di lingkungan
cyberspace yang kemudian melahirkan istilah baru yang dikenal
dengan Cybercrime
Dalam dua dokumen Kongres PBB yang dikutip oleh Barda
Nawawi Arief, mengenai The Prevention of Crime and the Treatment
of Offenders di Havana Cuba pada tahun 1990 dan di Wina Austria
pada tahun 2000, menjelaskan adanya dua istilah yang terkait dengan
pengertian Cyber crime, yaitu cyber crime dan computer related
crime. Dalam back ground paper untuk lokakarya Kongres PBB
X/2000 di Wina Austria, istilah cyber crime dibagi dalam dua
kategori. Pertama, cyber crime dalam arti sempit (in a narrow sense)
disebut computer crime. Kedua, cyber crime dalam arti luas (in a
broader sense) disebut computer related crime. Lengkapnya sebagai
berikut:15
1. Cyber crime in a narrow sense (computer crime): any legal
behaviour directed by means of electronic operations that targets
the security of computer system and the data processed byh them.
2. Cyber crime in a broader sense (computer related crime): any
illegal behaviour committed by means on in relation to, a
computer system or network, including such crime as illegal
possess Pion, offering or distributing information by means of a
computer system or network.
Istilah cybercrime saat ini merujuk pada suatu aktivitas
kejahatan yang berhubungan dengan dunia maya (cyberspace) dan
komputer yang berbasis pada kecanggihan perkembangan teknologi
internet sebagai media utama untuk melangsungkan kejahatan.16
.
Secara umum pengertian Cybercrime yaitu perbuatan tanpa ijin dan
melawan hukum dengan memakai komputer sebagai fasilitas
utama atau target untuk melakukan kejahatan, dengan atau tanpa
merubah dan atau merusak sistem komputer yang digunakan.17
Perlu kita ketahui pelaku cybercrime yaitu mereka yang
memiliki keahlian tinggi dalam ilmu computer, pelaku cybercrime
umumnya menguasai algoritma dan pemrograman computer unutk
membuat script/kode malware, mereka dapat menganalisa cara kerja
system computer dan jaringan, dan mampu menemukan celah pasa
system yang kemudian akan memakai kelemahan ini untuk
dapat masuk sehingga tindakan kejahatan seperti pencurian data dapat
berhasil dilakukan.
Karakteristik khusus dari kejahatan siber antara lain
menyangkut 5 hal sebagai berikut :18
1. Ruang lingkup kejahatan
Sesuai sifat global internet, ruang lingkup kejahatan ini juga bersifat
global.Cybercrime sering kali dilakukan secara transnasional,
melintasi batas antarnegara sehingga sulit dipastikan yuridiksi hukum
Negara mana yang berlaku terhadapnya.
2. Sifat Kejahatan
Sifat kejahatan di dunia maya yang non-violence, atau tidak
menimbulkan kekacauan yang mudah terlihat. Jika kejahatan
konvensional sering kali menimbulkan kekacauan maka kejahatan
di internetbersifat sebaliknya.Oleh sebab itu, ketakutan atas
kejahatan ini tidak mudah timbul meskipun bias saja kerusakan
yang diakibatkan oleh kejahatan cyber dapat lebih dahsyat dari pada
kejahatan – kejahatan lain.
3. Pelaku Kejahatan
Jika pelaku kejahatan konvensional mudah diidentifikasi dan memiliki
tipe tertentu maka pelakucybercrime bersifat lebih universal meski
memiliki ciri khusus yaitu kejahatan dilakukan oleh orang – orang
yang menguasai pemakaian internet beserta aplikasinya. Pelaku
kejahatan ini tidak terbatas pada usia dan stereotip tertentu.
4. Modus Kejahatan
Dalam hal ini, keunikan kejahatan ini yaitu pemakaian tekhnologi
informasi dalam modus operandi. Itulah sebabnya mengapa modus
operandi dalam dunia cyber ini sulit dimengerti oleh orang –
orang yang tidak menguasai pengetahuan tentang komputer, tekhnik
pemrogramannya dan seluk beluk dunia cyber.
5. Jenis Kerugian yang ditimbulkan
Kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan ini dapat bersifat material
maupun non-material. Cybercrime berpotensi menimbulkan kerugian
pada banyak bidang seperti politik, ekonomi, sosial budaya yang lebih
besar dampaknya dibandingkan dengan kejahatan berintensitas tinggi
lainnya.
B. Jenis-jenis Cyber Crime
Beberapa jenis cybercrime, dalam beberapa literature dan praktiknya
dikelompokan dalam beberapa bentuk, antara lain :19
1. Unauthorized Access Merupakan kejahatan yang terjadi
ketika seseorang emasuki atau menyusup ke dalam suatu
sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin, atau
tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer
yang dimasukinya.
2. Illegal Contents Merupakan kejahatn yang dilakukan
dengan memasukkan data atau informasi ke internet
tentang suatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat
dianggap melanggar hukum atau menggangu ketertiban
umum, contohnya yaitu penyebaran pornografi.
3. Penyebaran virus secara sengaja, Penyebaran virus pada
umumnya dilakukan dengan memakai email. Sering
kali orang yang sistem emailnya terkena virus tidak
menyadari hal ini. Virus ini kemudian dikirimkan ke
tempat lain melalui emailnya.
4. Data Forgery, Kejahatan jenis ini dilakukan dengan tujuan
memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang
ada di internet. Dokumen-dokumen ini biasanya dimiliki
oleh institusi atau lembaga yang memiliki situs berbasis
web database.
5. Cyber Espionage, Sabotage, and Extortion, Cyber
Espionage merupakan kejahatan yang memanfaatkan
jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata
terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan
komputer pihak sasaran. Sabotage and Extortion
merupakan jenis kejahatan yang dilakukan dengan
membuat gangguan, perusakan atau penghancuran
terhadap suatu data, program komputer atau sistem
jaringan komputer yang terhubung dengan internet.
6. Cyberstalking Kejahatan jenis ini dilakukan untuk
mengganggu atau melecehkan seseorang dengan
memanfaatkan komputer, misalnya memakai e-mail
dan dilakukan berulang-ulang. Kejahatan ini
menyerupai teror yang ditujukan kepada seseorang dengan
memanfaatkan media internet. Hal itu bisa terjadi sebab
kemudahan dalam membuat email dengan alamat tertentu
tanpa harus menyertakan identitas diri yang sebenarnya.
7. Carding, Carding merupakan kejahatan yang dilakukan
untuk mencuri nomor kartu kredit milik orang lain dan
digunakan dalam transaksi perdagangan di internet.
8. Hacking dan Cracker, Istilah hacker biasanya mengacu
pada seseorang yang punya minat besar untuk mempelajari
sistem komputer secara detail dan bagaimana
meningkatkan kapabilitasnya. Adapun mereka yang sering
melakukan aksi-aksi perusakan di internet lazimnya
disebut cracker. Boleh dibilang cracker ini sebenarnya
yaitu hacker yang yang memanfaatkan kemampuannya
untuk hal-hal yang negatif. Aktivitas cracking di internet
memiliki lingkup yang sangat luas, mulai dari pembajakan
account milik orang lain, pembajakan situs web, probing,
menyebarkan virus, hingga pelumpuhan target sasaran.
Tindakan yang terakhir disebut sebagai DoS (Denial Of
Service). Dos attack merupakan serangan yang bertujuan
melumpuhkan target (hang, crash) sehingga tidak dapat
memberikan layanan.
9. Cybersquatting and Typosquatting, Cybersquatting
merupakan kejahatan yang dilakukan dengan
mendaftarkan domain nama perusahaan orang lain dan
kemudian berusaha menjualnya kepada perusahaan
ini dengan harga yang lebih mahal. Adapun
typosquatting yaitu kejahatan dengan membuat domain
plesetan yaitu domain yang mirip dengan nama domain
orang lain. Nama ini merupakan nama domain
saingan perusahaan.
10.Hijacking, Hijacking merupakan kejahatan melakukan
pembajakan hasil karya orang lain. Yang paling sering
terjadi yaitu Software Piracy (pembajakan perangkat
lunak).
11.Cyber Terorism Suatu tindakan cybercrime termasuk cyber
terorism jika mengancam pemerintah atau warganegara,
termasuk cracking ke situs pemerintah atau militer.
C. Faktor Pendorong Terjadinya Cyber Crime
Kemajuan teknologi informasi dapat ditandai dengan
meningkatnya pemakaian internet, meningkatnya pemakaian
internet dapat memberikan dampak positif namun dampak negatif
akibat kemajuan teknologi sangat banyak dan sering kali menjadi
pidana.. Menurut Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, bahwa
cyber crime lahir disebabkan sebab faktor kurangnya kemampuan
atau pengetahuan dari aparat penegak hukum dalam menangani kasus
siber.20
Antara teknologi informasi dengan operator yang mengawaki
memiliki hubungan yang erat sekali, keduanya tidak dapat
dipisahkan. Sumber daya manusia dalam teknologi informasi
memiliki peranan penting sebagai pengendali dari sebuah alat.
Apakah alat itu digunakan sebagai sarana kebajikan untuk mencapai
kesejahteraan umat manusia, ataukah alat itu akan dikriminalisasikan sehingga dapat merusak kepentingan negara dan warga .
Teknologi sebagai hasil temuan dan pengembangan manusia
kemudian dimanfaatkan, untuk perbaikan umat, namun di sisi lain
dapat membawa petaka bagi umat manusia sebagai akibat adanya
penyimpangan. Di Indonesia sumber daya pengelola teknologi
informasi ini cukup, namun sumber daya manusia untuk memproduksi
atau menciptakan teknologi ini masih kurang. Penyebabnya ada
berbagai hal, di antaranya kurangnya tenaga peneliti dan kurangnya
biaya penelitian atau mungkin kurangnya perhatian dan apresiasi
terhadap penelitian. sehingga sumber daya manusia di Indonesia lebih
banyak sebagai pengguna saja dan jumlahnya cukup banyak.21
Dengan adanya teknologi sebagai sarana untuk mencapai tujuan,
di antaranya media internet sebagai wahana untuk berkomunikasi,
secara sosiologi terbentuklah sebuah komunitas baru di dunia maya
yakni komunitas para pecandu internet yang saling berkomunikasi,
bertukar pikiran berdasar prinsip kebebasan dan keseim– bangan
di antara para pecandu atau maniak dunia maya ini . Komunitas
ini yaitu sebuah populasi gaya baru sebagai gejala sosial, dan sangat
setrategis untuk diperhitungkan, sebab dari media ini banyak hikmah
yang bisa didapat. Dari hal yng tidak tahu menjadi tahu, yang tahu jadi
semakin pintar, sementara yang pintar semakin canggih. Terjadinya
perkembangan teknologi dan laju perkembangan warga diketahui
dengan cepat dan akurat, dan mereka saling bertukar pikiran serta
dapat melakukan rechecking di antara mereka sendiri.
Secara emosional, mereka melekatkan dirinya kepada teman di
dunia maya. salah satu bentuk komunitasa itu yaitu mailing list. Di
yahoo terdapat komunitas dan kemudian difasilitasi oleh yahoo dalam
bentuk group.yahoo.com. Dalam mailing list mereka dapat berdiskusi
tentang suatau masalah, namun mereka tidak harus menghidupkan
komputer dan internet secara bersamaan, sedangkan chatting, di antara
mereka harus sama-sama menghidupkan komputer.22
Selain tiga faktor diatas, ada juga beberapa hal yang menyebabkan
makin maraknya kejahatan komputer diantaranya :23
Akses internet yang tidak terbatas, Di zaman sekarang ini internet
bukanlah hal yang langka lagi, sebab semua orang telah
memanfaatkan fasilitas internet. Dengan memakai internet kita
diberikan kenyamanan kemudahan dalam mengakses segala sesuatu
tanpa ada batasannya. Dengan kenyaman itu lah yang merupakan
faktor utama bagi sebagian oknum untuk melakukan tindak kejahatan
Cybercrime dengan mudahnya. Kelalaian pengguna computer, Hal ini
merupakan salah satu penyebab utama kejahatan komputer. Seperti
kita ketahui orang-orang memakai fasilitas internet selalu
memasukan semua data-data penting ke dalam internet. Sehingga
memberikan kemudahan bagi sbagian oknum untuk melakukan
kejahatan.
Mudah dilakukan dengan resiko keamanan yang kecil dan tidak
diperlukan peralatan yang super modern, Inilah yang merupakan
faktor pendorong terjadinya kejahatan di dunia maya. sebab seperti
kita bahwa internet merupakan sebuah alat yang dengan mudahnya
kita gunakan tanpa memerlukan alat-alat khusus dalam
mengunakannya. Namunpendorong utama tindak kejahatan di internet
yaitu susahnya melacak orang yang menyalahgunakan fasilitas dari
internet ini . Para pelaku merupakan orang yang pada umumnya cerdas,
memiliki rasa ingin tahu yang besar, dan fanatik akan teknologi
komputer, Hal ini merupakan faktor yang sulit untuk di hindari,
sebab kelebihan atau kecerdasan dalam mengakses internet yang di
miliki seseorang di zaman sekarang ini banyak yang di salah gunakan
demi memperoleh keuntungan semata. Sehingga sulit untuk di
hindari.
Sistem keamanan jaringan yang lemah, Seperti kita ketahui bahwa
orang-orang dalam memakai fasilitas internet kebanyakan lebih
mementingkan desain yang di milikinya dengan menyepelekan tingkat
keamanannya. Sehingga dengan lemahnya sistem keamanan jaringan
ini menjadi celah besar sebagian oknum untuk melakukan tindak
kejahatan.
Kurangnya perhatian warga , warga dan penegak hukum
saat ini masih memberi perhatian yang sangat besar terhadap
kejahatan konvensional. Pada kenyataannya para pelaku kejahatan
komputer masih terus melakukan aksi kejahatannya. Hal ini
disebabkan sebab rendahnya faktor pengetahuan tentang pemakaian
internet yang lebih dalam pada warga .
CYBER CRIME SEBAGAI KEJAHATAN TRANSNASIONAL
A. Pengertian Kejahatan Transnasional
Cyber crime merupakan suatu kejahatan yang dapat dikatakan
sebagai kerjahatan baru, sebab kejahatan siber memiliki karakteristik
yang sangat khusus jika dibandigkan dengan kejahatan-kejahatan
konvensional. Cyber Crime muncul bersamaan dengan lahirnya
kemajuan teknologi informasi. R. Nitibaskara mengatakan bahwa:
―Interaksi sosial yang meminimalisir kehadiran secara fisik,
merupakan ciri lain revolusi teknologi informasi. Dengan interaksi
semacam ini, penyimpangan hubungan sosial yang berupa kejahatan
(crime), akan menyesuaikan bentuknya dengan karakter baru
ini .‖ Ringkasnya, sesuai dengan ungkapan ―kejahatan merupakan
produk dari warga nya sendiri‖ (crime is a product of society its
self), ―habitat‖ baru ini, dengan segala bentuk pola interaksi yang ada
di dalamnya, akan menghasilkan jenis-jenis kejahatan yang berbeda
dengan kejahatan-kejahatan ini berada dalam satu kelompok besar
yang dikenal dengan istilah ―cyber crime”. 24
Dengan memperhatikan jenis-jenis cyber crime yang dibahas pada
bab sebelumnya dapat digambarkan bahwa cyber crime memiliki cirriciri khusus, yaitu (1) tanpa kekerasan, (2) sedikit melibatkan kontak
fisik, (3) memakai peralatan, (4) memanfaatkan jaringan
telematika (telekomunikasi, media, dan informatika) global.25 Melihat
cirri ke 3 dan 4, terlihat jelas cyber crime dapat dilakukan dimana saja,
kapan saja, serta berdampak kemana saja, seperti tanpa batas
(borderless). Kondisi ini mengakibatkan tempat terjadinya cyber
crime, pelaku, korban, serta akibat yang timbul bisa terjadi di
beberapa Negara, disinilah terlihat aspek dari transnasional cyber
crime.
Dari penjelasan diatas kemudian dapat didefinisikan bahwa
kejahatan transnasional atau transnational crime yaitu kejahatan
dengan akibat yang ditimbulkan terjadi di lebih dari satu negara,
dengan melibatkan warga negara lebih dari satu negara, sarana dan
prasarana serta metoda-metoda yang dipergunakan melampaui batasbatas teritorial suatu negara.
Jadi istilah kejahatan transnasional dimaksudkan untuk
menunjukkan adanya kejahatan-kejahatan yang sebenarnya nasional
(di dalam batas wilayah negara), tetapi dalam beberapa hal terkait
kepentingan negara-negara lain. Sehingga lebih dari satu negara yang
berkepentingan atau yang terkait dengan kejahatan itu. Kejahatan
transnasional jelas menunjukkan perbedaannya dengan kejahatan atau
tindak pidana dalam pengertian nasional semata-mata. Sifatnya yang
transnasional yang meliputi hampir semua aspek nasional maupun
internasional, baik privat maupun publik, politik maupun bukan
politik. Oleh sebab itu, dalam memberantas cyber crime diperlukan
penanganan yang serius serta melibatkan kerjasama internasional baik
yang sifatnya regional maupun multilateral.
B. Yurisdiksi Suatu Negara dalam Kejahatan Transnasional
Cyber space merupakan dunia virtual atau biasa disebut dengan
dunia maya dimana dunia virtual ini tidak mengenal batas
wilayah, sehingga dapat menimbulkan masalah tersendiri yang
berkaitan dengan yurisdksi, Yurisdiksi merupakan suatu wilayah
dalam hal berlakunya suatu peraturan perundang-undangan dalam
kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap orang, benda atau
peristiwa (hukum). Mengacu kepada asas umum dalam hukum
internasional, bahwasannya setiap negara itu memiliki kedaulatan
dalam wilayahnya, sehingga suatu negara tidak dapat malampui
kedaulatannya dalam melaksanakan suatu tindakan yang berada dalam
wilayah negara lain.26
Penerapan yurisdiksi criminal suatu Negara berdaulat berdasar
hukum internasional dilaksanakan berdasar beberpa prinsip
yurisdiksi antara lain :
1. Prinsip Teritorial, Dapat menerapkan yuriskdiksi nasionalnya
terhadap semua orang (baik warga negara atau asing), badan
hukum dan semua benda yang berada di dalamnya. Prinsip
territorial merupakan prinsip yurisdiksi yang utama yang
dilaksankan dalam melaksanakan yurisdiksi Negara
2. Prinsip Nasional Aktif, Prinsip berdasar pada nasionalitas
atau kewarganegaraan. Dalam hal ini nasionalitas pelaku
kejahatan. Di sini kewarganegaraan pelaku menjadi titik taut
diberlakukannya yurisdiksi negara asal. berdasar prinsip
ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warga negaranya
yang melakukan tindak pidana di dalam yurisdiksi Negara
lain.
3. Prinsip Nasional Pasif, Prinsip yang didasarkan pada
kewarganegaraan dari korban kejahatan. berdasar prinsip
ini sutau Negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku
tindak pidana di luar negeri yang merugikan warga
negaranya.
4. Prinsip Perlindungan Hukum internasional menyatakan
bahwasannya suatu negara dapat menerapkan hukum
nasionalnya kepada pelaku kejahatan walupun kejahatan itu
dilakukan di luar wilayah negara ini , yang mana tindak pidana kejahatan yang dilakukan merupakan suatu tindakan
yang dapat mengacam kepentingan negara yang
bersangkutan.
5. Prinsip Universal pada dasarnya tidak mensyaratkan adanya
suatu hubungan, sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu
hukum pidana dapat diberlakukan jika dalam suatu tindak
pidana yang telah dilakukan oleh seseorang itu bertentangan
dengan nilai-nilai universal dalam suatu negara dan
bertentngan dengan kepentingan warga secara luas.
Secara garis besar, yurisdiksi dapat dibedakan menjadi dua yaitu
pertama yaitu yurisdiksi perdata dimana kewenangan hukum suatu
negaraterdapat obyek perkara dalam yang di dalamnya dalam lingkup
hukum privat yang memikiki unsur asing maupun unsur nasional,
yang kedua yaitu yurisdiksi pidana dimana kewenangan hukum
suatu negara terdapat obyek perkara yang dalam ketentuannya telah
melanggar hukum publik dan memiliki unsur asing.
Asas au dedere au Judicare merupakan salah satu pedoman yang
dapat dijadikan tolak ukur dalam hal penanggulangan tindak pidana
internasional, asas ini secara tersurat menyebutkan bahwa setiap
negara berkwajiban untuk berkolaborasi dengan negara lain untuk
dapat menunutu serta mengadili setiap orang yang patut di duga telah
melakukan suatu tindak pidana internasional. Tentang masalah
yurisdiksi di internet/cyber space, Darrel Menthe mengemukakan
suatu teori bahwa dalam hal berinteraksi dalam dunia virtual terdapat
dua hal yang mendasari yaitu memberikan informasi dan mengambil
informasi kedalam serta keluar dunia virtual atau dalam hal ini yaitu
dunia cyber.
Dalam hal ini ada dua peran yang berbeda secara nyata yaitu the
uploader yang memberi informasi ke dalam dunia cyber dan the downloader sebagai pengambil informasi di kemudian hari; dengan
tidak memperhatikan identitas keduanya (baik the uploader maupun
the downloader). Teori yang dikemukakan oleh Darrel Menthe ini
disebut sebagai The Theory of the Uploader and the Downloader.
Johnson dan Post berpendapat bahwa penerapan prinsip-prinsip
tradisional dari “Due Process and personal jurisdiction” tidak sesuai
dan mengacaukan jika diterapkan pada cyberspace. Menurut
Johnson dan Post, cyberspace harus diperlakukan sebagai suatu ruang
yang terpisah dari dunia nyata dengan menerapkan hukum yang
berbeda untuk cyberspace (cyberspace should be treated as a separate
“space” from the “real world” by applying distinct law to
cyberspace).
Selanjutnya menurut Barda Nawawi Arief, bahwa sistem hukum
dan jurisdiksi nasional/teritorial memang memiliki keterbatasan
sebab tidaklah mudah menjangkau pelaku tindak pidana di ruang
cyber yang tidak berbatas. Namun tidak berarti ruang cyber dibiarkan
bebas tanpa hukum. Ruang cyber merupakan bagian atau perluasan
dari ―lingkungan‖ (―environment‖) dan ―lingkungan hidup‖ (“life
environment”) yang perlu dipelihara dan dijaga kualitasnya; jadi
merupakan suatu ―kepentingan hukum‖ yang harus dilindungi. Oleh
sebab itu, jurisdiksi legislatif atau “jurisdiction to prescribe” , tetap
dapat dan harus difungsikan untuk menanggulangi “cybercrime” yang
merupakan dimensi baru dari ”environmental crime”. Masalah
yurisdiksi yang timbul lebih banyak sebagai yurisdiksi horisontal,
artinya negara manakah yang berhak untuk memutuskan atau
melaksanakan yurisidiksi di dunia mayantara (cyberspace); hal ini
muncul sebab sulitnya untuk menetapkan diwilayah mana dunia
mayantara (cyberspace) dapat dikenai jurisdiksi.
Menghadapi masalah jurisdiksi di dunia mayantara ini serta memperhatikan ketentuan dalam Convention on Cybercrime, Barda
Nawawi Arief mengemukakan ,digunakannya asas universal atau
prinsip ubikuitas (the principle of ubiquity) untuk menanggulangi
masalah kejahatan cyber. Prinsip ubikuitas yaitu prinsip yang
menyatakan bahwa delik-delik yang dilakukan/terjadi sebagian
wilayah teritorial negara dan sebagian di luar teritorial suatu negara,
harus dapat dibawa ke dalam jurisdiksi setiap negara yang terkait.
Prinsip ubikuitas ini pernah direkomendasikan dalam “International
Meeting of Experts on The Use of Criminal Sanction in The Protection
of Environment, Internationally, Domestic and Regionally di Portland,
Oregon, Amerika Serikat, tanggal 19-23 Maret 1994.27
C. Yurisdiksi Hukum Pidana Indonesia dalam Cybercrime
Tindak pidana siber merupakan salah satu kejahatan tarnsnasional
dimana kejahatan ini terjadi tanpa batas, dalam hal ini akan terdapat
permasalahan terkait dengan yurisdiksi suatu negara dalam hal
menegakan hukum jika terjadi kejahatan siber. Negara Indonesia
telah memiliki paying hukum terkiat peraturan perundang-undangan
yang khusus mengatur mengenai kejahatan siber dan didalamnya
termuat aturan mengenai yurisdiksi yang telah memiliki asas universal
yaitu Undnag-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE) Hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 2 Undang-Undang ITE yang menyebutkan bahwa :
―Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan
perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik
yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah
hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum
Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan
kepentingan Indonesia‖.
Undang-undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi yang sangat
luas, pada pokoknya menjelaskan mengenai bahwa Undang-Undang
ITE mengatur mengenai perbuatan hukum yang dilakukan di
Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga
dapat berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan diluar wilayah
negara Indonesia dan/atau dilkukan oleh warga negara Indonesia
maupun warga negara asing yang memiliki akibat hukum di wilayah
negara Indonesia dengan menimbulkan kerugian. Yang dimaksud
dengan ―merugikan‖ meliputi tetapi tidak terbatas pada kepentingan
ekonomi nasioanl, perlindungan data strategis, harkat dan martabat
bangsa, pertahanan dan keamnan negara, kedaulatan negara, warga
negara serta badan hukum Indonesia.
Di dalam tindak pidana yang tidak bersifat lintas batas negara
dikenal tiga macam yurisdiksi:
1. Yurisdiksi legislatif (jurisdiction to prescribe), yaitu
kekuasaan membuat peraturan atau perundang-undangan yang
mengatur hubungan atau status hukum orang atau peristiwaperistiwa hukum di dalam wilayahnya. Kewenangan seperti
ini biasanya dilaksanakan oleh badan legislatif sehingga
seringkali disebut pula sebagai yurisdiksi legislatif atau
preskriptif.
2. Yurisdiksi yudikatif (jurisdiction to adjudicate), yaitu
kekuasaan pengadilan untuk mengadili orang (subyek hukum)
yang melanggar peraturan atau perundang-undangan.
3. Yurisdiksi eksekutif (jurisdiction to enforce), yaitu kekuasaan
negara untuk memaksakan atau menegakkan (enforce) agar
subyek hukum menaati hukum. Tindakan pemaksaan ini
dilakukan oleh badan eksekutif negara yang umumnya tampak
pada bidang-bidang ekonomi, misalnya kekuasaan untuk
menolak atau memberi izin, kontrak-kontrak, dan lain- lain.
berdasar ketiga kategori yurisdiksi di atas, perbuatan yang
dapat menimbulkan masalah dalam Undang-Undang ITE yaitu
ketika Warga Negara Indonesia melakukan tindak pidana di luar
wilayah negara Indonesia dan akibatnya tidak timbul di wilayah
negara Indonesia. Hal tesebut berkaitan erat dengan masalah
yurisdiksi dimana kewenangan mengadili dan penerapan hukum serta
kewenangan melaksanakan putusan, sebab hal ini berkaitan pula
dengan keadualayan suatu wilayah dan kedaualatan hukum suatu
negara. sebab konstitusi suatu negara tidak dapat dipaksakan kepada
negara lain sebab dapat bertentangan dengan kedaulatan dan
konstitusi negara lain, oleh sebab itu hanya berlaku di negara yang
bersangkutan saja, sehingga dibutuhkan kesepakatan Internasional dan
kerjasama dengan negara-negara lain dalam menanggulangi tindak
pidana teknologi informasi.
D. Penegekan Hukum Tindak Pidama Cybercrime
Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan hukum
inilah yang nantinya menjadi pikiran badan pembuat undang-undang
yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Perumusan
pikiran pembuat hukum dituangkan dalam peraturan hukum yang
nantinya menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.
Pada kenyataannya proses penegakan hukum memuncak pada
pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum.28 Aparat penegak
hukum di Indonesia yaitu hakim, jaksa, polisi. Hakim yaitu salah
satu aparat penegak hukum yang melaksanakan suatu sistem peradilan
yang memiliki tugas untuk menerima dan memutus perkara dengan
seadil-adilnya.
Hakim yaitu pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman
yang diatur dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman. Dalam rangka penegakan hukum di Indonesia
tugas hakim yaitu menegakkan hukum dan keadilan melalui perkaraperkara yang dihadapkan kepadanya. Jaksa yaitu aparat penegak
hukum yang merupakan pejabat fungsional yang diberikan wewenang
oleh undangundang dan pelasanaan putusan pengadilan. Selanjutnya
yaitu Polisi, polisi sebagai penegak hukum dituntut melaksanakan
profesinya secara baik dengan dilandasi etika profesi. Etika profesi
ini berpokok pangkal pada ketentuan yang menentukan peranan
polisi sebagai penegak hukum. Polisi dituntut untuk melaksanakan
profesinya dengan adil dan bijaksana, serta mendatangkan keamanan
dan ketenteraman. Penegakan hukum selalu akan melibatkan manusia
di dalamnya dan dengan demikian hal ini tingkah laku manusia
terlibat di dalamnya. Hukum tidak bias tegak dengan sendirinya
sehingga melibatkan aparat penegak hukum, dan aparat dalam
mewujudkan tegaknya hukum harus dengan undang-undang, sarana ,
dan kultur, sehingga hukum dapat ditegakkan dengan seadil-adilnya
sesuai dengan cita hukum itu sendiri.
Hal ini menunjukan bahwa tanntangan yang dihadapi oleh aparat
penegak hukum bukan tidak mungkin sangatlah banyak Penegak
hukum tidak hanya dituntut untuk professional dan tepat dalam menerapkan normannya akan tetapi juga dituntut dapat membuktikan
kebenaran atas dakwaan kejahatan yang terkadang dipengaruhi oleh
rangsangan dari prilaku masyrakat untuk sama-sama menjadi
pelanggar hukum. Pendapat Soerjono Soekanto mengatakan bahwa
pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor ini , yaitu sebagai berikut:29
1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia.
2. Faktor penegk hukum, yakni pihak-pihak yang
membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum
4. Faktor warga , yakni lingkungan dimana hukum
ini berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan
rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam
pergaulan hidup.
Dari kelima faktor ini saling berkaitan dengan eratnya sebab
antara yang satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Kelima
faktor ini dapat dikatakan esensi dari penegakan hukum, dan
dapat dijadikan tolok ukur daripada keefektifitasan penegak hukum di
Indonesia.
Kejahatan teknologi informasi atau cybercrime memiliki karakter
yang berbeda dengan tindak pidana lainnya baik dari segi pelaku,
korban, modus operandi dan tempat kejadian perkara sehingga butuh
penanganan dan pengaturan khusus di luar Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan juga Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Terkait dengan hukum pembuktian biasanya
akan memunculkan sebuah posisi dilema, di salah satu sisi diharapkan
agar hukum dapat mengikuti perkembangan zaman dan teknologi, di
sisi yang lain perlu juga pengakuan hukum terhadap berbagai jenisjenis perkembangan teknologi digital untuk berfungsi sebagai alat
bukti di pengadilan. Pembuktian memegang peranan yang penting
dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Pembuktian inilah yang
menentukan bersalah atau tidaknya seseorang yang diajukan di muka
pengadilan. jika hasil pembuktian dengan alat bukti yang
ditentukan dengan undang-undang tidak cukup membuktikan
kesalahan dari orang ini maka akan dilepaskan dari hukuman,
sebaliknya jika kesalahan dapat dibuktikan maka dinyatakan
bersalah dan dijatuhi hukuman. Oleh sebab itu harus berhati-hati,
cermat dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan masalah
pembuktian.30
Muncul kesulitan dalam penerapan hukum dan penegakan hukum
terhadap tindak pidana cybercrime yakni dalam penyelesaian tindak
pidana ini , kondisi yang paperless (tidak memakai kertas)
ini menimbulkan masalah dalam pembuktian mengenai informasi
yang diproses, disimpan, atau dikirim secara elektronik. mendasar
pemakaian bukti elektronik dalam proses pembuktian perkara pidana,
khususnya yaitu tidak adanya patokan atau dasar pemakaian bukti
elektronik di dalam perundang-undangan kita. Selain itu sulitnya
mengungkap tindak pidana ini baik pelaku, dan kejahtan yang
sering sekali sulit untuk dibuktikan sehingga hal ini menjadi
tantangan tersendiri dalam penegakan hukum tindak pidana
cybercrime. Setiap penegak hukum diberi kewenangan berdasar Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku untuk menjelaskan tugasnya.
Dalam penanganan tindak pidana cybercrime, hukum acara yang
digunakan yaitu hukum acara berdasar KUHAP. Hal ini
memang tidak disebutkan secara jelas dalam atas Undang-undan
Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
tetapi sebab undang-undang ini tidak menetukan lain maka
KUHAP berlaku bagi tindak pidana yang termuat dalam Undangundan Nomor 11 tahun 2008. Dalam Pasal 42 UU Undang-undan
Nomor 11 tahun 2008 disebutkan : ―Penyidikan terhadap tindak
pidana sebagimana dimaksud dalam undang-undang ini dilakukan
berdasar ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan Ketentuan
dalam Undang-undang ini.‖ Hal ini juga ditegaskan dalam UU
No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No 11 tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, bahwa dalam perubahan
ini sama sekali tidak merubah Pasal 43.
berdasar pasal ini sehingga dapat ditafsirkan bahwa
Hukum Acara Pidana yang diatur dalam KUHAP merupakan lex
genaralis, sedangkan ketentuan acara dalam UU No 11 tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU No 19 Tahun
2016 tentang perubahan atas UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, ini merupakan lex specialis. Dengan
demikian sepanjang tidak terdapat ketentuan lain maka ketentuan
hukum acara yang digunakan seperti yang terdapat dalam KUHAP.
Ketentran yang diatur lain dalam UU ITE ini yaitu menyangkut proses
penyidikan dan penambahan satu alat bukti lain dalam penanganan
tindak pidana yang diatur dalam UU ITE. Pelaksanaan penyelidikan
tindak pidana cybercrime agak sedikit berbeda dengan penyelidikan
tindak pidana lainya, pejabat dalam hal ini yaitu pejabat polisi
Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penyelidikan (Pasal 1 angka 4 KUHAP)
dihadapkan pada masalah dari mana dan dimana penyelidikan harus
dimulai. Akibat perbuatan tindak pidana cybercrime seperti cyber
porno, cyber terrorism, hacking , dll baik yang diketahui pertama kali
oleh penyelidik yang sedang melukan cyber-patroling maupun
berdasar laporan dari korban tindak pidana cybercrime, diketahui
melalui layar monitor suatu komputer yang terhubung dengan jaringan
melalui koneksi internet, ataupun terjun langsung ke warnet-warnet.
Proses awal penyelidikan harus melibatkan komputer, alat elektronik
seperti handphone maupun android, tablet, dan jaringannya yang
terkoneksi dengan suatu jaringan dan terkoneksi melalui internet.
Bukti-bukti dalam suatu tindak pidan cybercrime biasanya sealu dapat
tersimpan di dalam sistem alat alat elektronik ini ataupun sistem
komputer.
Dengan Demikian inti dari suatu proses penyelidikan yaitu
bagaimana menemukan dan selanjutnya menyita alat alat atau barang
elektronik maupun komputer milik tersangka. Dari komputer
ini lah penyelidikan dapat menentukan apakah ada bukti-bukti
tindak pidana. Karakteristik tindak pidana cybercrime berbeda dengan
tindak pidana yang lain , karakteristik bentuk tindak pidana
cybercrime antara yang satu dengan yang lain pun berbeda hal ini
disebab kan modus operandi yang digunakan berbeda. Sehingga
dengan demikian dalam penegakan hukum dan dalam proses
beracaranya dari tahap penyelidikan dan penyidikan memerlukan
ketentuan khusus. Ketentuan khusus yang berkaitan dengan acara
pidana yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008,
yang telah dirubah oleh Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang informasi dan transaksi elektronik yaitu sebagai berikut;
1. Diakuinya alat bukti elektronik yang berupa informasi
elektronik dan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang
sah dalam pembuktian tindak pidana cybercrime.
2. Adanya wewenang khusus yang diberiakan kepada
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan
Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di
bidang Teknologi Informasi dan transaksi elektronik
sebagai penyidik.
3. Adanya kewenangan penyidik, penuntut umum, dan
hakim untuk meminta keterangan kepada penyedia jasa
dan penyelenggara sistem elektronik mengenai data-data
yang berhubungan dengan tindak pidana, dengan tetap
terikat terhadap privasi, kerahasian, dan kelancaran
layanan publik, integritas data dan keutuhan data.
4. Adanya wewenang terhadap penyidik untuk melakukan
penggeledahan, penyitaan terhadap sistem elektronik yang
terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas
izin ketua pengadilan negeri setempat, hal ini menghindari
agar sistem elektronik ini tidak bias hapus oleh
pelaku dan menghindari agar pelacakan pelaku berjalan
cepat, sehingga jejak pelaku mudah untuk ditemukan.
usaha penegakan hukum terhadap tindak pidana cybercrime
selain dengan aturan-aturan ini seharusnya juga diimbangi
dengan skill dan kemampuan penegak hukumnya dalam
pemberantasan tindak pidana cybercrime. Hal ini disebab kan modusmodus tindak pidana cybercrime semakin hari semakin berkembang
dikhawatirkan kejahatan ini akan merajalela dan pelaku-pelaku
sulit untuk dilacak dan ditangkap, sehingga dapat merugikan
warga dan Negara dan bahkan dunia luas.
Dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia, terdapat beberapa
doktrin pengelompokan alat bukti, yang membagi alat bukti ke dalam
kategori oral evidence, documentary evidence, material evidence, dan
electronic evidence. Berikut pembagian pada masing-masing kategori:
1. Oral Evidence
a. Perdata (keterangan saksi, pengakuan, dan sumpah)
b. Pidana (keterangan saksi, keterangan ahli, dan
keterangan terdakwa)
2. Documentary Evidence
a. Perdata (surat dan pesangkaan)
b. Pidana (surat dan petunjuk)
3. Material Evidence
a. Perdata (tidak dikenal)
b. Pidana (barang yang digunakan untuk melakukan
tindak pidana, barang yang digunakan untuk
membantu tindak pidana, barang yang merupakan hasil
dari suatu tindak pidana, barang yang diperoleh dari
suatu tindak pidana, dan informasi dalam arti khusus)
4. Electronic Evidence
a. Konsep pengelompokan alat bukti menjadi alat bukti
tertulis dan elektronik. Tidak dikenal di Indonesia
b. Konsep ini terutama berkembang di Negara-negara
common law.
c. Pengaturannya tidak melahirkan alat nukti baru, tetapi
memperluas alat bukti yang masuk kategori
documentary evidence.
KUHAP telah mengatur mengenai alat bukti yang sah yang
dapat diajukan dalam sidang peradilan, pembuktian tidak dirumuskan
dalam KUHAP dapat dianggap bahwa alat bukti ini tidak
memiliki kekuatan hukum yang mngikat. Adapun alat bukti yang sah
menurut Pasal 184 KUHAP yaitu sebagai berikut :
1. Keterangan Saksi
Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah
sebagaimna disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, pembuktian dalam
perkara pidana akan selalu merujuk pada keterangan saksi. Pengertian
saksi menurut KUHAP yaitu orang yang mengetahui tentang suatu
peristiwa hukum pidana yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri,
sehingga dapat membuat terang suatu peristiwa hukum pidana dalam
proses penyidikan, penuntutan serta peradilan
Dalam Pasal 185 KUHAP menjelaskan bahwa, keterangan saksi dapat
dinyatakan sebagai alat bukti yaitu jika saksi menyatakan di
hadapan pengadilan, keterangan satu orang saksi tidak cukup
menjadikan keterangan ini sebagai bukti, sebab satu orang saksi
tidak bisa dianggap sebagai bukti sehingga harus disertai dengn suatu
alat bukti yang sah lainnya. Keterangan beberapa saksi yang berdiri
sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan
sebagai suatu alat bukti yang sah jika keterangan saksi itu ada
hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat
membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Dalam hal
ini jika keterangan yang diberikan oleh saksi merupakan suatu hasil
pemikiran saja biak itu merupakan suatu pendapat atau rekaan maka
hal ini tidak dapat dikatakan sebagai sketerangan saksi.
Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, Hakim harus
dengan sungguh-sungguh memperhatikan terkait hal-hal beriku, yaitu
persamaan keterangan saksi yang satu dengan saksi yang lainnya,
persamaan antara keterangan saksi dengan alat bukti lainnya yang
berhubungan dengan peristiwa hukum ini , dasar yang digunakan
oleh saksi dalam hal memberikan keterangan tertentu.
Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan
yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun jika keterangan dari
saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti
sah yang lain.
Pada umumnya semua orang dapat menjadi seorang saksi, namun
demikian ada pengecualian khusus yang menjadikan mereka tidak
dapat bersaksi. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 168
KUHAP yang pada pooknya menyebutkan bahwa Keluarga sedarah
atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat
ketiga dari terdakwa atau bersama-sama sebagai sebagai terdakwa,
saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang memiliki
hubungan sebab perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa
samapai derajat ketiga, dan suami atau istri terdakwa meskipun sudah
bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Selanjutnya dalam pasal 171 KUHAP juga menambahkan
pengecualian untuk memberikan kesaksiaan dibawah sumpah, yakni
berbunyi :
a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum
pernah kawin;
b. Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadangkadang ingatannya baik kembali.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa keterangan saksi
yang dinyatakan dimuka sidang mengenai apa yang ia lihat, ia
rasakan, ia alami yaitu keterangan sebagai alat bukti (pasal 185 ayat
(1)), bagaimana terhadap keterangan saksi yang diperoleh dari pihak
ketiga? Misalnya, pihak ketiga menceritakan suatu hal kepada saksi
bahwa telah terjadi pembunuhan. Kesaksian demikian yaitu
disebut testimonium de auditu. Sesuai dengan penjelasan KUHAP
yang mengatakan kesaksian de auditu tidak diperkenankan sebagai
alat bukti. Selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yang
mencari kebenaran material, dan pula untuk perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia dimana keterangan seorang saksi yang hanya
mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya, maka
kesaksian de auditu atau hearsay evidence patut tidak dipakai di
Indonesia pula.
Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh hakim.
Walaupun tidak memiliki nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat
memperkuat keyakinan hakim bersumber pada dua alat bukti yang
lain. Dalam hal lain juga dalam KUHAP tentang prinsip minimum
pembuktian. Hal ini terdapat dalam pasal 183 yang berbunyi:
―Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
kepada seorang kecuali jika dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya‖.
Dalam pasal 185 ayat (2) juga menyebutkan sebagai berikut:
―Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap terhadap dakwaan yang didakwakan
kepadanya‖.
M. Yahya Harahap megungkapkan bahwa bertitik tolak dari ketentuan
pasal 185 ayat (2), keterangan seorang saksi saja belum dianggap
sebagai suatu alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa (unus testis nullus testis). Ini berarti jika alat bukti yang
dikemukakan penuntut umum yang terdiri dari seorang saksi saja
tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang
lain, kesaksian tunggal seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti
yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan
dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Namun jika disuatu pesidangan seorang terdakwa mangaku
kesalahan yang didakwakan kepadanya, dalam hal ini seorang saksi
saja sudah dapat membuktikan kesalahan terdakwa. sebab selain
keterangan seorang saksi tadi, juga telah dicukupi dengan alat bukti
keterangan terdakwa. Akhirnya telah terpenuhi ketentuan minimum
pembuktian yakni keterangan saksi dan keterangan terdakwa.
2. Keterangan ahli
Pengertian keterangan ahli sebagai alat bukti hanya bisa didapat
dengan melakukan pencarian dan menghubungkan dari beberapa
ketentuan yang terpencar dalam pasal KUHAP, mulai dari Pasal 1
angka 28, Pasal 120, Pasal 133, dan Pasal 179 dengan jalan merangkai
pasal-pasal ini maka akan memperjelas pengertian ahli sebagai
alat bukti :
a. Pasal 1 angka 28
Pasal ini memberi pengertian apa yang dimaksud dengan
keterangan ahli, yaitu keterangan yang diberikan oleh seorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperluakan
untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan.
b. Pasal 120 ayat (1) KUHAP
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta
pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian
khusus. Dalam pasal ini kembali ditegaskan yang dimaksud
dengan keterangan ahli ialah orang yang memiliki keahlian
khusus yang akan memberi keterangan menurut
pengetahuannya dengan sebaik-baiknya.
c. Pasal 133 (1) KUHAP
Dalam hal penyidikan untuk kepentingan peradilan mengenai
seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang
diduga sebab peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada
ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
d. Pasal 179 KUHAP menyatakan:
1) Setiap orang diminta pendapatnya sebagai ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli
lainnya wajib memberi keterangan ahli demi
keadilan.
2) Semua ketentuan ini diatas untuk saksi
berlaku juga bagi mereka yang memberikan
keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa
mereka mengucapkan sumpah atau janji akan
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya
dan yang sebenarnya menurut pengetahuan
dalam bidang keahliannya.
Sebenarnya jika kita hubungkan Pasal 133 dan Pasal 186 KUHAP,
maka dapat dilihat bahwa ternyata keterangan saksi tidak hanya
diberikan di depan persidangan tetapi juga diberikan dalam rangka
pemeriksaan penyidikan.
3. Surat
Alat bukti surat harus dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan
dengan sumpah, diantaranya yaitu sebagai berikut :
a. Berita acara atau surat resmi yang telah dibuat oleh
pejabat yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya,
yang di dalamnya memuat mengenai fakta-fakta suatu
kejadian baik yang didengar, dilihat atau yang dialaminya
sendiri hatus disertai dengan alasan yang jelas dan tegas;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai
hal yang termasuk dalam tata laksanan yang menjadi
tanggungjawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian
sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasar keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
4. Petunjuk
Dalam KUHAP, alat bukti petunjuk dapat dilihat dalam Pasal 188,
Petunjuk yaitu perbuatan, kejadian atau keadaan yang sebab
persamaannya, Keternagan saksi
a. Surat;
b. Keterangan Terdakwa.
Peniaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk atas
kekusaha n suatu pembuktian dilakukan oleh hakim dengan
pemeriksaan yang cermat dan harus berdasar hati nuraninya.
Dari penjelasan pasal diatas, maka dapat disimpulkan bahwa petunuk
yaitu meruapkah salah satu alat bukti yang tidak langsung sebab
dalam prosesnya hakim haruslah dapat menghubungkan suatu alat
bukti dengan alat bukti lainnya dan haruslah memiliih yang ada
persamaannya antara yang satu de