membobol ATM 6

Tampilkan postingan dengan label membobol ATM 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label membobol ATM 6. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 30 November 2024

membobol ATM 6


 


Pada tahun 1980-an, era baru yang disebut globalisasi dimulai oleh negara￾negara dengan perekonomian maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara 

anggota Uni-Eropa.

 Pada era ini pemikiran orang-orang didunia yaitu  bukan 

lagi terbatas pada pemikiran kapitalisme moderen, namun untuk menciptakan perdagangan yang sifatnya internasional.

 Sebagai dampak dari era globalisasi, 

teknologi yang pada mulanya disebut sebagai ARPANET yang merupakan jaringan 

penghubung satu komputer dengan komputer lain yang pada tahun 1975 hanya 

dipakai  sebagai komunikasi pasukan tempur Amerika Serikat, pada tahun 1995 

dibuka untuk penggunaan privat dan hingga sekarang di kenal sebagai internet.

Internet dalam dunia perbankan memungkinkan setiap orang untuk 

melakukan transaksi perbankan dengan mudah dan cepat. Untuk transfer dana 

tidak perlu lagi datang ke teller bank seperti cara konfensional, namun cukup 

dengan memakai  gawai seperti telepon genggam atau komputer dengan 

jaringan internet. Sedangkan untuk penarikan tunai ataupun pembayaran mengacu 

pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 Tentang Penyelenggaraan 

Kegiatan Alat Pembayaran Dengan memakai  Kartu sebagaimana telah diubah 

dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 14 / 2 /PBI/ 2012 Tentang Perubahan 

Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 Tentang Penyelenggaraan 

Kegiatan Alat Pembayaran Dengan memakai  Kartu, dapat dilakukan dengan 

memanfaatkan media internet yakni secara elektronik memakai  kartu 

elektronik, baik itu kartu automated teller machine (selanjutnya disebut kartu 

ATM), kartu Debet, dan/atau kartu kredit.

Terhadap kemajuan teknologi yang begitu pesat di dunia perbankan sendiri 

sebenarnya kurang begitu terdukung dengan peraturan perundang-undangan terkait 

perbankan yang ada sekarang. Adapun tindak pidana yang diatur dalam dalam 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, 

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan 

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473, sebagaimana telah diubah 

dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang 

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, 

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790 (selanjutnya disebut Undang￾Undang Perbankan) dan Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan 

Syariah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan 

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867 (selanjutnya disebut Undang￾Undang Perbankan Syariah) yaitu :

a. Tindak pidana berkaitan dengan perizinan; 

b. Tindak pidana berkaitan dengan rahasia bank;

c. Tindak pidana berkaitan dengan pengawasan bank;

d. Tindak pidana berkaitan dengan kegiatan usaha bank;

e. Tindak pidana berkaitan dengan pihak terafiliasi;

f. Tindak pidana berkaitan dengan pemegang saham;

g. Tindak pidana berkaitan dengan ketaatan terhadap ketentuan. 

Pengaturan terkait pidana ini  hanya mengatur terkait perbuatan￾perbuatan yang dilakukan oleh pihak bank atau pihak terafiliasi. Yang diaksud Pihak 

Terafiliasi menurut Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Perbankan yaitu  anggota 

dewan komisaris, pengawas, direksi atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank; 

anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan 

bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan 

perundangundangan yang berlaku; pihak yang memberi  jasanya kepada bank, 

antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya; 

dan pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia (saat ini OJK) turut serta 

mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, 

keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus. 

Pemikiran dari pembentukan ketentuan pidana terkesan hanya memikirkan bank 

dan pihak terafiliasinya sebagai subjek pada posisi yang dominan tanpa memikirkan 

bahwa bank dapat pula mengalami kerugian diakibatkan oleh tindak pidana, sebagai 

contoh dapat terjadi “pembobolan bank”.

Pada saat penulisan penelitian ini, kejahatan terkait perbankan yang sedang 

ramai dibicarakan yaitu  Skimming, mengingat kasus Skimming bank BRI. 

Dalam modus operandi “pembobolan bank” dengan cara Skimming dilakukan dengan mekanisme mencuri data nasabah yang tersimpan dalam magnetik strip 

pada kartu ATM dan dikirim secara nirakabel. Cara pencurian data ini dilakukan 

dengan beberapa langkah, yaitu umumnya pertama-tama pelaku memasang alat 

skimmer(electronic data capture) pada mulut mesin ATM, lalu pelaku memasang 

kamera tersembunyi untuk menangkap gerakan jari nasabah saat menekan 

pin ATM yang ditutupi, misalnya dengan kotak brosur. Selain itu, pelaku juga 

mengkondisikan ATM untuk mengeluarkan pesan isi dari ATM sedang habis 

padahal sudah memasukkan pin dan kartu, selanjutnya sesudah  pelaku mendapat 

data nasabah maka pelaku menyalindata ini  kedalam kartu palsu. Dalam 

beberapa kasus pelaku tidak memasang kamera tersembunyi namun hanya dengan 

mengintip dari balik bahu nasabah.5 Pada perkembangannya pelaku Skimming

tidak lagi perlu memakai  kamera tersembunyi atau dengan mengintip dari 

balik bahu nasabah, namun memakai  keypad/papan tombol palsu pada mesin 

ATM untuk merekam pin nasabah secara otomatis.

Terlepas dari modus operandi yang dipakai , tindakan Skimming dan 

mendapatkan pin ATM pada akhirnya akan diikuti dengan perbuatan memindahkan 

data yang didapatnya kedalam kartu ATM palsu. Kartu ATM palsu ini  

selanjutnya dipakai  untuk mengambil uang memakai  mesin ATM. Sistem 

mesin ATM yang bekerja secara Real Time Online memakai  jaringan internet, 

maka penarikan maupaun pemindahan (Transfer) dana akan dibebankan terhadap 

simpanan nasabah dan secara otomatis sistem ATM akan melakukan pengurangan 

jumlah simpanan nasabah pada bank. 

Perbuatan mengambil dana memakai  kartu palsu yang menimpa 

nasabah sering dipandang sebagai pencurian uang pada rekening, seperti pada 

putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 687/Pid.B/2012/PN.DPS, dimana 

pada amarnya menyatakan terdakwa FIRDAUS THEODY alias IRDA FIRDAUS 

alias WAHYUDI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian dalam keadaan memberatkan dan Pencucian uang”. Pandangan 

demikian ditimbulkan oleh berkurangnya saldo simpanan nasabah yang ditampilkan 

pada sistem milik bank. Namun pada khasus Skimming bank BRI (Bank Rakyat 

Indonesia) pada hari Senin 12 Maret 2018 pihak bank memberi  dana pengganti 

uang simpanan nasabah yang berkurang akibat praktik Skimming. Adanya pemulihan 

dana oleh bank membuat seakan-akan kerugian diambil alih atau bahkan bank benar￾benar menjadi subjek yang menerima kerugian akibat praktik Skimming, sedangkan 

nasabah tidak lagi terdampak oleh kerugian yang ditimbulkan oleh penarikan dana 

memakai  kartu palsu hasil Skimming.

Pada satu sisi dengan adanya sikap perbankan yang mengambil alih kerugian 

yang diakibatkan penarikan dana memakai  kartu palsu hasil Skimming membuat 

kepentingan nasabah menjadi terlayani, namun di sisi yang lain menimbulkan kekaburan 

terhadap bentuk kerugian yang ditimbulkan oleh praktik Skimming. Kekaburan ini  

menjadi titik anjak dari beberapa pertanyaan seperti “Siapa sebenarnya korban tindak 

pidana Skimming dan penarikan dana memakai  kartu palsu hasil Skimming?”, dan 

lebih lanjut mengingat kerugian yang timbul “Apa mungkin bank diapandang sebagai 

korban tindak pidana dan dapat mengajukan restitusi?”.

Modus Pembobolan Atm Dengan memakai  Teknik Skimming

Pembobolan bank dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

A. Error Omission

Yaitu “pembobolan bank” dengan melakukan pelanggaran terhadap sistem atau 

prosedur yang sifatnya pasif atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya 

dilakukan. Prosedur yang sifatnya pasif disini mengacu pada prosedur dan 

prinsip accounting, yaitu pada fungsi operasi klerikal, pencatatan transaksi, dan 

penjurnalan.

 Pelanggaran ini memiliki bentuk aturan yang jelas dan juga sanksi yang jelas, umumnya sanksi administratif;

 dan

B. Error Commission

Yaitu “pembobolan bank” yang dilakukan secara aktif dengan melaukan perbuatan 

yang salah, tetapi karena tidak tertulis dalam sistem dan prosedur maka dilakukan. 

Pelanggaran ini sangat berkenaan dengan integeritas dari orang-orang pada bank 

itu sendiri.

 Pelanggaran ini akan dikenai sanksi yang sifatnya normatif, namun 

biasanya diatur dalam code of conduct (kode etik).

Hal kejahatan “pembobolan bank” sendiri seiring dengan perkembangan 

teknologi yang ada maka timbul perkembangan terkait dengan Modus Operandi 

yang dipakai . Adapun beberapa jenis Modus Operandi yang kerap dilakukan 

yaitu :

a. Pemalsuan Dokumen;

b. Pembukuan ganda;

c. Penggelapan uang nasabah;

d. Mekanisme transfer dana;

e. Pembobolan dengan memakai  L/C; 

f. Phishing (Password harvesting fishing); 

g. Cyber Malware;

h. Skimming. 

Skimming dilakukan dengan mencuri data digital yang tersimpan pada kartu 

ATM dengan memakai  alat berupa electronic data capture yang disebut skimmer. 

Skimmer bekerja dengan cara menyalin data pada magnetic strip/ pita magnetik yang

menyimpan data pribadi nasabah yang dipakai  dalam sistem perbankan untuk 

mengidentifikasi nasabah yang hendak melakukan transaksi di mesin ATM. 

Skimming dapat dilakukan dengan merekrut orang-orang yang bekerja 

sebagai pelayan restoran dengan memberi  Skimmer berukuran kecil. Skimmer 

ini  dipakai  untuk menggesek kartu saat ada pelanggan restoran yang hendak 

melakukan pembayaran dengan memakai  kartu, prosesnya hanya memakan 

waktu beberapa detik dan dilakukan saat pemilik kartu tidak melihat sehingga 

proses Skimming susah untuk disadari.

16 Selain dipakai  dengan merekrut orang, 

skimmer biasanya dipasang pada mesin ATM, Skimmer dipasang sehingga seolah￾olah seperti bagian dari mesin ATM dengan tujuan agar nasabah selaku pemilik 

kartu ATM secara sukarela memasukkan kartu ATM milikknya.

Pada awalnya skimmer berukuran besar dan tidak terlihat seperti bagian dari 

mesin ATM, namun seiring perkembangannya Skimmer berukuran kecil dan bekerja 

cukup dengan memakai  baterai, umumnya dipasang pada tempat memasukkan 

kartu ATM dengan memakai  selotip dua sisi sehingga kartu ATM nasabah akan 

masuk melewati Skimmer saat nasabah hendak melakukan transaksi. Data yang 

diperoleh melalui skimmer selanjutnya dimasukkan kedalam kartu palsu yang juga 

memiliki magnetic strip/pita magnetik agar dapat dipergunakan pada mesin ATM 

seperti nasabah memakai  kartu ATM.

Berbeda dengan Phishing dan Cyber Mallware yang langsung mendapat 

seluruh data nasabah, pada Skimming, proses pembobolan juga melibatkan proses 

memperoleh nomor pin nasabah agar pelaku Skimming dapat mengakses mesin 

ATM memakai  data nasabah dengan. Untuk memperoleh pin nasabah dapat 

dilakukan dengan beberapa cara, yang paling sederhana yaitu  dengan mengintip 

melalui belakang bahu nasabah saat nasabah memasukkan pin, selain itu dapat 

dilakukan dengan memasang kamera untuk merekam gerakan jari nasabah saat memasukkan pin atau lebih canggih lagi dilakukan penggantian papan tombol pada 

mesin ATM oleh pelaku sehingga pin nasabah akan terekam secara otomatis saat 

nasabah menekan papan tombol.

 sesudah  pelaku memperoleh data nasabah yang 

telah dimasukkan kedalam kartu palsu dan pin nasabah maka pelaku Skimming 

dapat melakukan transaksi memakai  kartu ATM baik penarikan tunai, transfer 

dana, maupun transaksi debet.

Dalam “pembobolan bank” umumnya melibatkan pihak dalam bank, karena 

pihak ini  memiliki pengetahuan dan akses terkait seluk beluk, mekanisme 

dan sistem kemanan bank yang hendak dibobol.20 Namun keterlibatan orang dalam 

bank bukanlah menjadi syarat mutlak bagi suatu operasi “pembobolan bank”. 

Kedelapan Modus Operandi dalam “pembobolan bank” yang telah dijabarkan 

diatas menunjukkan adanya keragaman dalam hal pelaku pembobolannya (dader￾nya). Terhadap keragaman pelaku “pembobolan bank” secara umum dapat 

dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. “pembobolan bank” oleh orang dalam bank (interen) dan murni atas inisiatifnya 

sendiri;

2. “pembobolan bank” oleh pihak diluar bank (eksteren); dan

3. “pembobolan bank” oleh kolaborasi antara orang dalam bank dengan pihak 

luar bank (kombinasi). 

Dikaitkan dengan pembagian terkait pelaku/dader “pembobolan bank”, 

modus-modus “pembobolan bank” juga memiliki perbedaan dari bentuk perbutan 

atau cara untuk melakukan “pembobolan bank” itu sendiri dan juga sumber perolehan 

uang dalam Modus Operandi itu sendiri. berdasar  kedelapan Modus Operandi 

yang sebelumnya telah dipaparkan maka bentuk-bentuk perbuatan dalam Modus 

Operandi sendiri meliputi pemalsuan, manipulasi, penggelapan, dan memperoleh 

data pribadi nasabah untuk melakukan transaksi atas nama nasabah. Sedangkan Sumber perolehan uang dalam “pembobolan bank” pun meliputi kredit fiktif, 

pencairan surat berharga fiktif, L/C, dan secara langsung dari rekening nasabah. 

Secara sederhana dapat digambarkan dengan matriks sebagai berikut:


berdasar  matriks ini , “pembobolan bank” oleh orang dalam bank 

(interen) meliputi Modus Pembukuan Ganda, Penggelapan Uang Nasabah, dan 

Mekanisme Transfer Dana, “pembobolan bank” oleh pihak diluar bank (eksteren) 

meliputi Modus Phishing, Cyber Malwere, dan Skimming, sedangkan “pembobolan 

bank” oleh kolaborasi antara orang dalam bank dengan pihak luar bank (kombinasi) 

meliputi Modus Pemalsuan Dokuman dan Pembobolan dengan memakai  L/C. 

Secara umum setiap kelompok Modus Operandi memiliki ciri-ciri khusus, baik 

itu “pembobolan bank” oleh orang dalam bank, “pembobolan bank” oleh pihak 

diluar bank, maupun “pembobolan bank” oleh kolaborasi antara orang dalam bank 

dengan pihak luar bank.

Pada “pembobolan bank” oleh orang dalam bank, Secara sederhana dapat 

digambarkan dalam dua buah skema sebagai berikut:


“Pembobolan bank” oleh kolaborasi antara orang dalam bank dengan pihak 

luar bank (kombinasi) dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:

Seperti sebelumnya telah dibahas, walaupun umumnya melibatkan pihak 

dalam bank, namun “pembobolan bank” dapat dilakukan dengan oleh pihak diluar 

bank. Terhadap “pembobolan bank” oleh pihak luar bank maka secara umum dapat 

digambarkan melalui skema sebagai berikut:


Pada skema ini  dalam hal dikaitkan dengan teknik Phishing dan Cyber 

Malwere memang cukup mudah untuk dipahami, karena prosesnya yang sederhana. 

Pada Phishing cukup dengan penipuan melalui media email dan website palsu, 

sedangkan pada Cyber Malwere dilakukan secara otomatis memakai  aplikasi 

computer secara digital. Berbeda dengan Phishing dan Cyber Malwere yang 

cukup sederhana, pada modus Skimming memiliki tingkat kerumitan yang lebih 

tinggi dimana perlu melibatkan perbuatan memasang Electronic Data Capture, 

memperoleh pin nasabah dan pembuatan kartu elektronik palsu.

Secara spesifik dalam “pembobolan bank” memakai  teknik Skimming

maka dapat di digambarkan lebih jelas berdasar  skema sebagai berikut:

Pada proses nomor 3.2 dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya:

1. Mengintip saat nasabah memasukkan kombinasi pin di mesin ATM atau mesin 

Debet;

2. Memasang kamera tersembunyi pada mesin ATM untuk merekam pergerakan 

tangan nasabah saat memasukkan kombinasi pin; atau

3. Memasang Papan tombol palsu yang berfungsi untuk merekam kombinasi pin 

yang dimasukkan oleh nasabah. 

Selanjutnya sesudah  memperoleh data nasabah dan pin nasabah maka 

selanjutnya pada proses nomor 4 pelaku membuat kartu elektronik palsu yang ia 

buat sendiri dengan memasukkan data nasabah yang sebelumnya telah didapatkan. 

Pada pembuatan kartu elektronik palsu ini dimungkinkan dilakukan dengan tiga 

cara yaitu:

1. Cara Altered Card

Yaitu dilakukan dengan memakai  kartu elektronik asli yang diubah 

datanya. Cara ini dilakukan dengan memanaskan relief pada kartu elektronik 

(reembossed) dan selanjutnya diisi dengan data pribadi nasabah (re-encoded).

2. Cara Totally Counterfeit

Yaitu pembuatan kartu elektronik yang seluruhnya palsu. Cara ini menuntut 

pelaku untuk mencetak kartu yang serupa dengan kartu elektronik asli dengan 

mencantumkan gambar, logo, dan nomor hingga seolah-olah kartu elektronik 

yang asli. Pembuatannya melibatkan proses embossing dan encoding.


3. Cara White Plastic Card

Yaitu pembuatan kartu elektronik memakai  kartu plastik putih polos. 

Cara ini hanya melibatkan proses encoding karena kartu palsu ini  hanya 

dilakukan dengan melibatkan data tanpa melakukan pemalsuan pada fisik 

kartu

Kartu elektronik paslu ini dapat dibaca dan dipakai  pada mesin ATM 

maupun mesin Debet layaknya kartu ATM. Pada akhir rangkaian proses ini  

maka pelaku Skimming akan memakai  kartu palsu yang ia buat memakai a 

data nasabah untuk melakukan transaksi perbankan. Karena transaksi perbankan 

dilakukan pelaku dengan memakai  jaringan komputer yang aksesnya 

memakai  data nasabah, maka sistem secara otomatis akan mengenali transaksi 

ini  sebagai transaksi atas nama nasabah.

Tindak Pidana Pada Pembobolan Bank memakai  Teknik Skimming

“Pembobolan bank” dengan teknik Skimming dapat dibagi kedalam segmen 

sebagai berikut:

A. Memperoleh data nasabah;

B. Membuat kartu elektronik palsu; dan

C. Melakukan transaksi dengan memakai  kartu elektronik palsu.

Perbuatan memperoleh data nasabah dengan memakai  Skimmer sesuai 

dengan Pasal 46 ayat (2) UU ITE yang berbunyi sebagai berikut: “(2). Setiap Orang 

yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana 

dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak 

Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah)”.

Pasal 46 ayat (2) UU ITE ini  menjelaskan perbuatan memperoleh 

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berbunyi sebagai berikut: 

“(2). Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum 

mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun 

dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen 

Elektronik”.

Perbuatan yang diuraikan dalam Pasal 30 ayat (2) UU ITEini  dapat 

dijabarkan kedalam unsur-unsur sebagai berikut:

1. Sengaja;

2. Tanpa hak atau melawan hukum;

3. Mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik; dan

4. Tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

Terkait dengan unsur kesengajaan sebenarnya menjelaskan terkait dengan 

bentuk kesalahan pada delik yang diatur. Pengaturan terhadap bentuk kesalahan 

secara jelas ini berarti pembentukan pasal ini dilakukan dengan padangan monistis, 

dimana dalam perbuatan pidana (Strafbaar feit) unsur perbuatan dan unsur kesalahan 

merupakan satu kesatuan.33 Kesalahan sendiri harus lah memiliki kesengajaan 

(Dolus) atau kealpaan (Culpa).

Terhadap kesengajaan ini  pemenuhannya dijelaskan berdasar  dua 

teori, yaitu Teori Pengetahuan (Voorstellings Theorie) dan Teori Kehendak (Wills 

Theorie). Teori Pengetahuan (Voorstellings Theorie) memandang bahwa kesengajaan 

terhadap suatu akibat tidak dapat direncanakan, namun terhadap suatu akibat dapat 

dibayangkan (Voorstellen) saat akan melakukan suatu perbuatan, sehingga titik 

beratnya yaitu  pengetahuan akan suatu akibat dari tindak pidana yang dilakukan.

Teori Kehendak (Wills Theorie) memandang bahwa kesengajaan ditimbulkan oleh 

perbuatan dan kehendak terhadap suatu tindak pidana serta siap menanggung 

akibatnya.36 Pada Memorie van Toelichting (M.v.T) Wetboek van Strafrecht (W.v.S) 

Belanda dijelaskan “pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada 

barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang dan dikehendaki (Willens) dan 

diketahui (Wetens)”.

Kesengajaan ini  dapat dibedakan menjadi tiga:

A. Kesengajaan sebagai maksud (Dolus als oogmerk);

B. Kesengajaan dengan Kepastian (zekenheids bewustzijn);

C. Kesengajaan dengan Kemungkinan (Dolus eventualis / In Kauf Nehmen).

Pada perbuatan memperoleh data nasabah dengan Skimmer jelas memiliki 

berupa Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk memperoleh data 

nasabah itu sendiri.

Unsur tanpa hak atau melawan hukum menjelaskan terkait dengan sifat dari 

tindak pidana ini  mewajibkan bahwa tindak pidana ini  hanya dilanggar bila 

dilakukan tanpa hak atas akses komputer dan/atau Sistem Elektronik atau dilakukan 

dengan melawan hukum. Pada Skimming, perbuatan memperoleh data pribadi 

nasabah memiliki sifat melawan hukum yang jelas dimana melanggar ketentuan 

peraturan perundang-undangan. Pelanggaran yang menimbulkan sifat melawan 

hukum ini  perlu diperhatikan Pasal 26 ayat (1) UU ITE yang berbunyi: “(1). 

Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap 

informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus 

dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan”. Sehingga jelas bahwa pada 

perolehan data nasabah dilakukan secara tanpa hak dan juga melawan hukum.

Unsur mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik merupakan 

unsur perbuatan dalam tindak pidana yang diatur. Pasal 1 angka 14 UU ITE 

mendefinisikan “Komputer yaitu  alat untuk memproses data elektronik, magnetik, 

optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan”. 

Pasal 1 angka 5 UU ITE “Sistem Elektronik yaitu  serangkaian perangkat dan 

prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, 

menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau 

menyebarkan Informasi Elektronik”.

Dalam memperoleh data nasabah, pelaku memakai  alat Skimmer untuk 

mengakses data nasabah. Akses yang dilakukan oleh pelaku ditujukan pada kartu 

elektronik yang berisi data nasabah. berdasar  definisi Informasi Elektronik 

maka pada dasarnya yaitu  data elektronik secara luas dengan bentuk yang tidak 

terbatas pada apa yang dijelaskan pada definisi ini . Terkait dengan konten atau 

isi dari data elektronik tidak disyaratkan sehingga bukan merupakan persoalan. 

Dikaitkan dengan analisa terkait perolehandata pribadi nasabah sebagai 

Informasi Elektronik maka unsur tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik 

dan/atau Dokumen Elektronik jelas terpenuhi. 

Selanjutnya, berdasar  Modus Operandi, pembuatan kartu elektronik palsu 

ada  dua dimensi yang dapat dikatakan palus, yaitu yang pertama yaitu  data dalam kartu elektronik dengan encoding dan yang kedua yaitu  fisik dari kartu 

palsu ini  dengan embossing. Mengingat kartu elektronik dalam hal ini yaitu  

APMK maka kartu elektronik ini  merupakan surat berharga berdasar  

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, hal ini mengindikasikan jelas bahwa hal 

dilakukan pemalsuan fisik kartu elektronik pada “pembobolan bank” memakai  

teknik Skimming merupakan tindak pidana (Delik) dalam Pasal 263 Kitab Undang￾Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHAP). Terkait pemalusan data 

pada kartu palsu merupakan pemalsuan yang terkait dengan komputer sehingga 

memakai  Pasal 51 ayat (1) UU ITE

Selanjutnya terkait dengan perbuatan segmen ketiga pada “pembobolan bank” 

memakai  teknik Skimming yaitu melakukan transaksi dengan memakai  

kartu elektronik palsu. Telah dijelaskan sebelumnya pada bagian Modus Operandi 

bahwa tansaksi disini merupakan transaksi atas nama terdakwa dengan memakai  

data nasabah yang diperoleh melalui tindak pidana pada segmen pertama. Perbuatan 

pelaku melakukan transaksi memakai  data pribadi nasabah memiliki indikasi 

terhadap adanya penggunaan identitas palsu, yakni pelaku bertindak seolah-oleh ia 

yaitu  nasabah yang data pribadinya dipakai . Kaitannya dengan tindak pidana 

sendiri penggunaan identitas palsu erat kaitannya dengan perbuatan curang (Bedrog). 

Adapun unsur-unsur dari pasal 378 KUHP ini  dikelompokkan 

berdasar  sifatnya maka ada  unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur 

maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan juga unsur melawan 

hukum merupakan unsur subjektif. Sedangkan unsur memakai  nama palsu 

atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan dan 

unsur menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, 

atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang merupakan unsur 

objektif.Terkait unsur-unsur subjektif pada perbuatan melakukan transaksi atas nama 

nasabah memakai  kartu elektronik palsu jelas terpenuhi. Unsur maksud untuk 

menguntungkan diri sendiri atau orang lain, jelas telihat dari rangkaian perbuatan 

yang telah dijelaskan pada bagian Modus Operandi yakni tujuan perolehan uang 

sebagai tujuan akhir dari “pembobolan bank” itu sendiri. Sedangkan unsur secara 

melawan hukum terlihat dari penggunaan kartu elekrtonik palsu yang berisi data 

nasabah yang telah diperoleh yang merupakan hasil dari tindak pidana.

Unsur memakai  nama palsu, atau martabat palsu, atau tipu muslihat, 

atau rangkaian kebohongan merupakan unsur perbuatan. Pada unsur ini perbuatan 

yang disayaratkan disusun secara alternatif, pemenuhan salah satu perbuatan 

saja cukup untuk memenuhi unsur ini . Pada transaksi atas nama nasabah 

memakai  kartu elektronik palsu melibatkan baik mesin ATM ataupun mesin 

debet, yang mana dapat diartikan sebagai Komputer, jaringan Komputer, dan/atau 

media elektronik lainnya dalam definisi transaksi elektronik dalam Pasal 1 angka 

2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Karena tansaksi ini  

merupakan Transaksi Elektronik, maka cara transaksi dilakukan merupakan 

interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik 

sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan 

Transaksi Elektronik. Dengan terbatasnya interaksi dalam Transaksi Elektronik 

pada Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, maka pada transaksi 

atas nama nasabah memakai  kartu elektronik palsu, penggunaan Informasi 

Elektronik berupa data pribadi nasabah oleh pelaku merupakan bentuk dari nama 

palsu dan martabat palsu. 

Unsur menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu 

kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang berarti ada 

orang yang terbujuk untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya 

memberi utang maupun menghapuskan piutang. Pada transaksi dengan kartu palsu, 

secara fisik yang bertemu yaitu  pelaku dengan mesin. Mesin ATM yaitu  mesin/

komputer yang dipakai  oleh bank untuk melakukan kegiatan-kegiatan penyetoran 

uang, pengambilan uang, pengecekan saldo, transfer antar rekening, dan transaksi keuangan lain yang dilakukan secara elektronik.41 Sehingga transaksi dengan mesin 

ATM yang terjadi bukanlah antara pelaku dengan mesin karena transaksi ini  

merupakan Transaksi Elektronik, kedudukan mesin dalam transaksi ini  

merupakan Sistem Elektronik dan bukan merupakan subjek hukum sehingga dalam 

hal penarikan tunai pada mesin ATM memakai  kartu elektronik palsu bukan 

berarti pelaku menggerakkan mesin ATM untuk menyerahkan sejumlah uang. Bila 

mengacu pada Pasal 1 angka 3, 4, 5, dan 6 PBI Penyelenggaraan APMK maka 

sebenarnya perbuatan hukum yang timbul dalam Transaksi Elektronik memakai  

APMK yaitu  dengan Prinsipal. Pasal 1 angka 8 PBI Penyelenggaraan APMK 

mendefinisikan mengenai prinsipal sebagai berikut:

 “Prinsipal yaitu  Bank atau Lembaga Selain Bank yang bertanggung jawab 

atas pengelolaan sistem dan/atau jaringan antar anggotanya, baik yang berperan 

sebagai penerbit dan/atau acquirer, dalam transaksi APMK yang kerjasama dengan 

anggotanya didasarkan atas suatu perjanjian tertulis”.

Penyerahan uang melalui mesin ATM pada transaksi memakai  

kartu elektronik palsu merupakan Transaksi Elektronik antara pelaku (dengan 

mengatasnamakan nasabah yang data pribadinya dipakai ) dengan bank selaku 

Prinsipal. Unsur menggerakkan orang lain dalam hal ini mengacu pada bank sebagai 

subjek hukum dalam hubungan hukum yang timbul saat Transaksi Elektronik 

terjadi. Demikian unsur menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang 

sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang 

telah terpenuhi, sehingga transaksi memakai  kartu elektronik palsu pada 

“pembobolan bank” dengan teknik Skimming merupakan tindak pidana (Delik) 

dalam Pasal 378 KUHP.

Korban Tindak Pidana Pembobolan Atm Dengan memakai  Teknik 

Skimming Terkait Dengan Pengajuan Restitusi

Menentukan korban suatu tindak pidana menjadi penting dalam menentukan siapa yang berhak atas hak-hak tertentu yang diberikan oleh undang-undang. 

Menurut Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Saksi dan Korban, Korban yaitu  

“orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang 

diakibatkan oleh suatu tindak pidana”

 Pemikiaran-pemikiran diatas terkesan mengartikan korban yaitu  individu 

saja. Namun, penimbulan korban dalam “pembobolan bank” memakai  teknik 

Skimming merupakan penimbulan korban pada modus operandi canggih, sehingga 

korbannya bukan saja individu konkrit namun juga subjek yang masal dan abstrak.

Penderitaan yang ditimbulkan dalam “pembobolan bank” dengan teknik Skimming

sendiri juga tidak lagi penderitaan fisik seperti pada penimbulan korban yang 

sifatnya konvensional, namun juga penderitaan moril dan psikologis yang bersifat 

struktural dan non-struktural.

Barsama dengan perkembangan kejahatan, memang korban tidak lagi terbatas 

pada perseorangan, namun meluas dan kompleks. 

Sellin dan Wolfgang berpendapat pula dalam teorinya mengenai tipologi 

korban, yaitu korban dapat dibagi menjadi: 

1. Primary victimization, yaitu korban berupa individu perorangan yang secara 

langsung dilukai atau dirugikan. 

2. Secondary victimization, yaitu korban kelompok dalam arti tidak personal, 

kolektif, dan komersial.

3. Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat dalam arti yang sangat luas dan 

tidak termasuk dalam Primary victimization dan Secondary victimization .

4. Mutual victimiazation, yaitu korban yang terlibat dalam kondisi yang bersifat 

timbal balik.

5. No victimization, umumnya dipakai  dalam mengkategorikan dalam kenakalan 

anak. 

Dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, pada pasal 1 angka 9 pun 

mengakui bahwa subjek setiap orang yang diatur di dalamnya tidak terbatas 

pada individu, namun termasuk pula korporasi. Lebih lanjut di dalam penjelasan

umum UU Perlindungan Saksi dan Korban dijelaskan pula “Ketentuan mengenai 

subjek hukum yang dilindungi dalam UndangUndang ini diperluas selaras dengan 

perkembangan hukum di masyarakat.” Sehingga menjadi jelaslah bahwa sebenarnya 

yang dapat disebut sebagai korban tidak hanya terbatas pada individu.

Pasal 378 KUHP untuk transaksi memakai  kartu palsu sendiri seperti 

yang telah dijelaskan pada sub sebelumnya mengakibatkan bank selaku badan 

hukum menyerahkan sejumlah uang kepada pelaku “pembobolan bank”. Jelas 

bahwa penderitaan yang timbul yaitu  kerugian ekonomi, yaitu sejumlah uang. 

Perlu dipahami pula bahwa uang yang ada dalam mesin ATM merupakan simpanan 

nasabah, dimana simpanan timbul berdasar  perjanjian penyimpanan dana yang 

bersifat riil, dimana penyerhannya dilakukan secara nyata dan uang yang telah 

diserahkan kepada bank menjadi milik bank dan penggunaannya jadi wewenang 

penuh bank.45 Hal penyerahan uang oleh bank didasarkan penggunaan kartu palsu 

hasil Skimming maka sebenarnya secara yuridis kerugian ada pada bank.

Manjadi persoalan juga terkait dengan penentuan teransaksi mana yang 

benar-benar dilakukan oleh nasabah dan transaksi mana yang dilakukan oleh 

pelaku pembobolan. Terkait hal ini  Direktur Perencanaan Strategis dan 

Humas Bank Indonesia, Dyah Ni Makhijani menjelaskan bahwa dana nasabah akan 

diganti oleh bank dengan mekanisme nasabah melapor dengan membawa bukti 

kepemilikan rekening, bukti bahwa bukan yang bersangkutan yang melakukan 

transaksi dan merupakan akibat pembobolan dan akan di verivikasi terlebih 

dahulu.46 Dikaitkan dengan mekanisme ini  sebenarnya menimbulkan ketidak 

pastian terkait penimbulan korbannya, karena bank menganggap transaksi yang 

dilakukan memakai  data nasabah yaitu  oleh nasabah itu sendiri sampai 

terbukti sebaliknya. Bank memberi  kewajiban pembuktian kepada nasabah 

agar kegiatan bank berjalan mulus dan kerugian tidak ada pada pihak bank.47 Bank 

dalam hal ini  mendasarkan pada 2 teori, yaitu Teori Statement of Account, yaitu kewajiban nasabah untuk memeriksa dan memberitahukan pada bank ketimpangan 

rekeningnya, dalam hal tidak diberitahu maka statement of account dianggap 

benar dan Teori Contributory Negligence, diaman laporan berkala saja sudah 

menggambarkan keadaan sebenarnya sampai nasabah membuktikan sebaliknya.48

Penerapan teori-teori ini  oleh bank menimbulkan dua kemungkinan 

dalam penggantian uang nasabah. Dua Kemungkinan ini  dapat dibandingkan 

dari kasus atas nama terdakwa Tumino alias Petruk bin Sarimin dalam Putusan 

Pengadilan Negeri Semarang Nomor 600/Pid.B/2014/PN Smg. Pada keterangan 

saksi-saksinya menunjukkan bahwa Saksi Irene Ludang Nurhayati dan Saksi Andi 

Susilo bin Mudjtahidin mendapat penggantian uang dari Bank BNI, sedangkan 

Saksi Risdianto Dwi Purnama Putra, S.Ked dikatakan “belum ada penggantian”. 

Terhadap kasus ini  dapat disimpulkan ada  kemungkinan dilakukan 

penggantian dan kemungkinan tidak dilakukan penggantian oleh bank.

Nasabah yang tidak mampu membuktikan rekeningnya menjadi korban 

pembobolan namun mengalami kerugian sendiri merupakan korban yang terdampak 

secara tidak langsung oleh “pembobolan bank” memakai  teknik Skimming¸ 

akibat dari kebijakan yang diambil oleh bank. Kebijakan yang diambil oleh bank 

tidak bersifat melawan hukum, namun nasabah menjadi dirugikan. Pada transaksi 

memakai  kartu palsu, nasabah menjadi korban secara vicarious, dimana yang 

dialamai yaitu  vicarious victimization, dimana seorang menjadi korban atas 

kerugian yang dialami akibat viktimisasi terhadap subjek lain.

Damikian, jelasalah bahwa korban yang timbul dalam pembobolan ATM 

memakai  teknik Skimming bergantung pada bank dan nasabah. Kondisi yang 

pertama yaitu  nasabah mampu membuktikan adanya transaksi oleh pihak lain 

sehingga bank memulihkan rekening nasabah dan kerugian berada pada pihak 

bank. Kondisi yang kedua yaitu  nasabah tidak mampu membuktikan adanya 

transaksi oleh pihak lain sehingga bank menolak untuk memulihkan rekeningnya 

dan kerugian berada pada pihak nasabah. Sebagai implikasi dari dua kondisi yang 

ada maka ada  variasi terhadap korban yang timbul, dalam hal terjadi kondisi 

yang pertama maka yang menjadi korban yaitu  bank, sedangkan pada kondisi 

yang kedua yang menjadi korban yaitu  nasabah.

Bank maupun nasabah sebagai korban pada pembobolan ATM memakai  

teknik Skimming memiliki hak untuk memperoleh ganti kerugian yang diakibatkan 

oleh perbuatan pelaku. Ganti rugi dalam bentuk restitusi ini berbeda dari kompensasi 

yang hanya dibatasi untuk korban tindak pidana yang merupakan pelanggaran hak 

asasi manusia yang berat dan tindak pidana terorisme saja, pada restitusi tidak 

ditentukan secara spesifik mengenai tindak pidana apa saja yang dapat dimintakan 

restitusi.

Terkait legal standing korban untuk mengajukan restitusi tentunya harus 

memenuhi kualifikasi sebagai korban atau ahli waris korban dalam hal korban 

meninggal dunia, dan selanjutnya memenuhi persyaratan pada Pasal 7A ayat (2) 

UU Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu tindak pidana sebagaimana dimaksud 

pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan LPSK. Pada “pembobolan bank” 

memakai  teknik Skimming maka ada  dua subjek korban yang dimungkinkan 

untuk memperoleh restitusi, yaitu bank atau nasabah.

 Hal restitusi kerugian yang timbul menimbulkan keuntungan bagi pihak 

pelaku dengan jumlah yang setara dengan kerugian yang ditimbulkan, sehingga 

patut dan layak bila pengembalian kerugian dalam hal restitusi dibebankan terhadap 

pelaku. Namun, lain halnya bila uang yang diperoleh pelaku disita sebagai barang 

bukti, tentu pada putusan akan secara otomatis dikembalikan pada korban selaku 

pemilik sehingga kondisi semula telah tercapai dan restitusi tidak perlu diajukan. 

Hal memang uang yang diperoleh pelaku telah ditransaksikan maka barulah perlu 

dimohonkan restitusi. Pembebanan kerugian terhadap pelaku ini diharapkan dapat 

memulihkan keadaan sesuai dengan tujuan dari restitusi sendiri. 

Hal nasabah yang memang dirugikan dan pelaku tidak dapat mengganti 

kerugian ini  maka berdasar  Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah 

Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi Korban, restitusi

dapat diberikan oleh pihak ketiga. Mengingat andil bank dalam viktimisasi yang 

diterima nasabah, seyogyanya bila pelaku tidak mampu mengganti uang nasabah, 

maka bank lah yang dibebani pembayaran restitusi ini . Dengan pengajuan 

restitusi yang dibebankan kepada bank maka memberi solusi bagi nasabah yang 

menjadi korban karena tidak mampu membuktikan ia tidak melakukan transaksi. 

Beban pembuktian yang tadinya dibebankan bank kepada nasabah, melalui 

mekanisme restitusi dipermudah, menjadi cukup dengan pembuktian oleh penuntut 

umum di muka persidangan, pun penyimpangan terhadap kebijakan yang dibuat 

oleh bank nantinya akan didasarkan pada putusan yang berkekuatan hukum tetap. 


Teknik Skimming merupakan modus opernadi canggih yang dilakukan oleh 

pihak luar bank dalam melakukan “pembobolan bank. Perbuatan memperoleh data 

nasabah melanggar Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi 

Elektronik. Perbuatan membuat kartu elektronik palsu melanggar Pasal 35 Undang￾Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Perbuatan melakukan transaksi atas 

nama nasabah memakai  kartu elektronik palsu berisi data nasabahmelanggar 

Pasal 378 KUHP. Pelanggaran beberapa aturan pidana ini  berdiri sendiri￾sendiri dan terhadap kesemuanya tentu akan diadili sekaligus, sehingga berlaku 

konkursus realis (Meerdaadse Samenloop). 

Penentuan korban yang berhak mengajukan restitusi pada pembobolan ATM 

dengan memakai  teknik Skimming menjadi sangat kondisional berdasar  

dengan siapa yang menjadi korban antara bank dan nasabah.

Teknologi telah membawa keuntungan dengan memudahkan hidup 


manusia, juga kerugian yang mempermudah penjahat melakukan 


kejahatan. Teknologi memberi  pengaruh yang signifikan dalam 


pemahaman mengenai kejahatan, terutama terhadap pemahaman￾pemahaman dalam kriminologi yang menitikberatkan pada faktor manusia, 


baik secara lahir maupun psikologis.1


Kemajuan teknologi merupakan rangkaian perubahan yang diikuti 


berbagai macam cara yang mempermudah pekerjaan manusia. Hal ini 


berarti, semakin berkembang suatu zaman maka semakin maju pula 


teknologi yang digunakan. Kemajuan ini juga berpengaruh terhadap 


berbagai aspek kehidupan, baik segi positif maupun segi negatif.2


Pengaruh positif kemajuan teknologi informasi dapat dirasakan 


dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya kemudahan dalam melakukan 


pekerjaan,3


terutama bagi mereka yang memiliki mobilitas tinggi dan 


membutuhkan waktu 24 jam dalam melakukan transaksi.4 Dahulu, 

kesepakatan antara penjual dan pembeli hanya dapat dilakukan jika 


keduanya berada pada suatu tempat yang sama dan harus saling bertatap 


muka, tetapi dengan kemajuan teknologi informasi, antara penjual dan 


pembeli cukup memakai  alat komunikasi dan keduanya bisa 


melakukan transaksi dari tempat manapun.5


Meskipun demikian, kemajuan teknologi ini juga diikuti dengan akibat 


negatif, seperti6 penipuan, skimming, dan pembobolan di dunia perbankan 


atau lembaga keuangan lainnya yang dimana hal ini dapat berdampak pada 


hilangnya kepercayaan masyarakat pada reputasi dan bisnis itu sendiri. 


Banyak sekali ragam kejahatan yang dilakukan dengan memanfaatkan 


teknologi informasi. Kejahatan-kejahatan ini  selain menimbulkan 


dampak yang bahkan lebih besar dari kejahatan biasa juga pelakunya 


sangat sulit dilacak dan diadili.7


Tidak dapat dipungkiri, dunia perbankan semakin gencar melakukan 


digitalisasi sehingga semakin banyak pula kejahatan dan tindak kriminal 


yang dapat terjadi. Kebutuhan dan penggunaan teknologi informasi ini 


dengan internet dapat ditemukan dalam berbagai bidang seperti e￾commerce, e-banking, e-education dan banyak lagi yang telah menjadi hal 


yang biasa.

Saat ini, teknologi mengalami kemajuan di seluruh belahan dunia, 


termasuk Indonesia.


9 Setiap manfaat dan keringanan yang didapatkan akan 


ada  pula beberapa kekurangan dan kerugian yang didapatkan dari 


penggunaan teknologi yang tersedia. Kekurangan ini  diantaranya,


yaitu hadirnya tindak kriminal Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau 


Cyber Crime, seperti pada kasus pembobolan terhadap sistem keamanan 


rekening atau dikenal juga sebagai hacking dan pembobolan sistem 


elektronik nasabah dalam sistem perbankan nasional memakai  


identitas dan sarana prasarana milik orang lain10 dengan cara pembajakan 


nomor ponsel telah banyak terjadi.


Pada masa ini, cyber crime merupakan salah satu bagian dari 


kejahatan yang mendapatkan tempat yang luas dalam kehidupan 


masyarakat.11 Perbuatan kejahatan ini yaitu  perbuatan yang dilakukan 


dengan membobol saldo rekening nasabah bank memakai  identitas 


yang dipalsukan. Pembobolan merupakan suatu prosedur atau kegiatan 


menjebolkan sesuatu. Membobol berarti mendobrak, menjebol, dan 


mengacaukan dengan kekejaman, atau mendobrak dengan suatu paksaan. 


Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya berarti hubungan timbal balik 


atas perbuatan yang dilakukan oleh pembuat pidana atas kejahatan yang 


diperbuatnya.12 Dengan demikian, Pertanggungjawaban kejahatan berisi 


unsur objek dan unsur subjek yang menurut faktual berarti pembuat

kejahatan telah berbuat delik (kejahatan) dimana secara eksklusif si 


pembuat kejahatan patut dipersalahkan atas delik yang diperbuatnya 


sehingga dapat dipidana.13


Menurut Tulus, kasus pembobolan rekening nasabah merupakan 


suatu kejadian yang amat buruk dan berpotensi merusak kepercayaan 


masyarakat terhadap bank. Padahal, menurutnya, industri jasa keuangan


yaitu  bisnis yang menitikberatkan kepercayaan antara nasabah dan pihak 


perbankan. Kasus pembobolan rekening telah beberapa kali terjadi, walau 


dengan sifat kasus yang berbeda-beda.14


Pada kasus dengan pembajakan nomor ponsel yang dimiliki korban 


kebanyakan dilakukan oleh pelaku dengan memakai  identitas yang 


dipalsukan. Pelaku yang telah memiliki dan menguasai data diri milik target 


serta memasang foto dirinya dalam data target dapat dengan mudah 


mengelabui petugas gerai operator seluler untuk mendapatkan nomor 


ponsel target. Pada kasus kartu seluler, ada  pula modus sim card 


recycle atau daur ulang kartu seluler.15


Pelaku memulai aksinya dengan cara mengambil alih nomor ponsel 


korban melalui gerai resmi operator seluler. Setelah memiliki nomor ponsel 


korban, pelaku dapat memperoleh akses menuju akun perbankan milik 


korban. Hal ini dikarenakan pihak bank menetapkan nomor ponsel nasabah 


sebagai salah satu metode verifikasi, termasuk pengiriman kode password


sekali pakai (One Time Password) ke nomor ponsel milik nasabah.

Contoh kasus yang pernah terjadi pada tahun 2020:


Baru-baru ini jagat maya dihebohkan dengan modus pengurasan 


saldo rekening bank hanya dengan nomor ponsel. Kepolisian RI pun 


berhasil membongkar modus operandi dari pembobolan ini.


Ternyata, pelaku menjual data-data ke orang-orang yang tidak 


bertanggung jawab, seharga Rp 100.000 per data. Data itu berisi 


nama lengkap nasabah si calon korban, nomor telepon, alamat, 


hingga jumlah uang.17


Hal ini berawal dari data nasabah yang ada di Sistem Layanan 


Informasi Keuangan (SLIK) yang ada di Otoritas Jasa Keuangan 


(OJK). SLIK yang dahulu biasa dikenal dengan BI Checking ini berisi 


informasi seperti nomor KTP, hingga jumlah tagihan atau utang yang 


ada di industri perbankan.18


“SLIK OJK di situ ada data-data pribadi lengkap seseorang yang 


memiliki rekening atau limit rekening yang ada secara random dia 


bisa tahu,” kata Yusri dilansir detik.com belum lama ini. 


Pelaku yakni H (inisial tersangka) kemudian menjual data ini ke 


orang-orang yang tidak bertanggung jawab, salah satunya D (inisial 


tersangka), yang kemudian memilih secara acak nasabah yang siap 


menjadi korban. Sampailah kala itu nama Ilham Bintang. Ilham Bintang 


yaitu  seorang pengusaha Indonesia, pelopor jurnalistik infotainment.19


Penjahat-penjahat ini  kemudian membuat sebuah KTP palsu 


sesuai dengan data Ilham Bintang di SLIK OJK. Pelaku kemudian 


memakai  foto oknum lain bernama A. KTP ini  digunakan para 


penjahat ini ke Gerai Indosat di Bintaro, Tangerang Selatan. Pada 4 Januari 


2020, A dan dibantu para penjahat lain mengaku ingin mengganti nomor 


atau sim card dan beralasan ponselnya hilang

Setelah proses pemindahan sim card sukses, para pelaku kemudian 


dapat dengan mudah mengakses e-mail pribadi korban dengan 


memakai  One Time Password (OTP) yang dikirim ke nomor ponsel. 


OTP digunakan jika  pengguna lupa password. Setelah berhasil 


menduplikat nomor ponsel korban, para tersangka dapat membobol e-mail


serta mengganti password dan kode m-banking milik korban. Tersangka D 


yang berlokasi di Palembang langsung beraksi menguras uangnya.21


Ilham Bintang kemudian melaporkan kasus pembobolan ponsel dan 


rekening ke Polda Metro Jaya pada 17 Januari 2020. Polisi mengusutnya 


hingga menangkap 8 tersangka itu. Para tersangka memiliki peran masing￾masing dari otak perencanaan, membuat sim card korban, membuat KTP 


palsu korban, hingga menguras uang Ilham.22


Yusri mengatakan, “Setelah e-mail terbuka keluarlah data Bank BNI 


dan Commmonwealth yang dilaporkan Ilham Bintang kalau 2 rekening 


beliau habis terkuras. Kerugian total dari Commonwealth kami belum 


dengar kabar sampai saat ini.”23


Pihak OJK melalui Juru Bicara, Sekar Putih Djarot, memberi  


klarifikasi soal SLIK. “yang menyatakan bahwa ada  oknum bank yang 


menyalahgunakan data SLIK, dengan ini OJK menegaskan bahwa SLIK 


merupakan sistem pelaporan dari LJK kepada OJK yang berisi data fasilitas 


pinjaman debitor dan bukan data simpanan nasabah. OJK akan membantu 


pihak kepolisian untuk dapat segera mengungkap kasus in

B. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah ini  diatas, maka Penulis 


merumuskan permasalahan dalam penulisan tesis ini sebagai berikut:


1. Bagaimanakah tanggung jawab bank terhadap pembobolan 


saldo rekening nasabah bank dengan cara pemalsuan identitas?


2. Bagaimanakah perspektif hukum pidana terkait pembobolan 


saldo rekening nasabah bank dengan cara pemalsuan identitas?


C. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan yang ingin dicapai Penulis dalam penelitian tesis 


yaitu  sebagai berikut:


1. Untuk menganalisis tanggung jawab bank terhadap pembobolan 


saldo rekening nasabah bank dengan cara pemalsuan identitas.


2. Untuk menganalisis perspektif hukum pidana terkait pembobolan 


saldo rekening nasabah bank dengan cara pemalsuan identitas.


D. Manfaat Penelitian


Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini yaitu :25


1. Manfaat Teoritis


a) Penelitian ini diharapkan dapat memberi  sumbangan 


pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pidana khususnya 


mengenai pembobolan saldo rekening nasabah bank dengan cara 


pemalsuan identitas.

b) Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi 


penelitian lainnya berhubungan dengan hukum pidana untuk 


mengetahui tentang pembobolan saldo rekening nasabah bank 


dengan cara pemalsuan identitas.


2. Manfaat Praktis


Penelitian ini diharapkan dapat memberi 26 informasi kepada 


masyarakat atau pembaca tentang pembobolan saldo rekening 


nasabah bank dengan cara pemalsuan identitas.


3. Manfaat Akademis


a) Penelitian ini diharapkan berguna bagi mahasiswa sebagai bahan 


acuan atau kajian dalam rangka pengembangan upaya hukum 


secara nyata.


b) Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi akademisi 


terutama dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya.


E. Orisinalitas Penelitian


Penelitian sebelumnya berkaitan dengan pembobolan saldo 


rekening:


1. Tesis “Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian 


Uang oleh Perbankan”, tesis oleh Evan Satria, Program Studi 


Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga 2017. Tesis ini  


membahas tentang bagaimana kegiatan perbankan yang 


berimplikasi tindak pidana pencucian uang, bagaimana

pertanggungjawaban pidana bank sebagai penyedia jasa electronic 


banking jika terjadi tindak pidana pencucian uang, sedangkan 


penulis membahas tentang tanggung jawab bank terhadap 


pembobolan saldo rekening nasabah bank dengan cara pemalsuan 


identitas, perspektif hukum pidana terkait pembobolan saldo 


rekening nasabah bank dengan cara pemalsuan identitas.


2. Tesis “Perlindungan Hukum Nasabah Bank dalam cyber crime 


Terhadap Internet Banking dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 


11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”, Tesis 


oleh Khairil Aswan Harahap Sekolah Pascasarjana Universitas 


Sumatera Utara 2009. Tesis ini  membahas tentang bagaimana 


pengaturan internet banking di Indonesia, bagaimana bentuk cyber 


crime di bidang perbankan, bagaimana perlindungan hukum 


nasabah bank dalam cyber crime terhadap internet banking dikaitkan 


dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi 


dan Transaksi Elektronik, sedangkan penulis membahas tentang 


tanggung jawab bank terhadap pembobolan saldo rekening nasabah 


bank dengan cara pemalsuan identitas, perspektif