membobol ATM 6
Pada tahun 1980-an, era baru yang disebut globalisasi dimulai oleh negaranegara dengan perekonomian maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara
anggota Uni-Eropa.
Pada era ini pemikiran orang-orang didunia yaitu bukan
lagi terbatas pada pemikiran kapitalisme moderen, namun untuk menciptakan perdagangan yang sifatnya internasional.
Sebagai dampak dari era globalisasi,
teknologi yang pada mulanya disebut sebagai ARPANET yang merupakan jaringan
penghubung satu komputer dengan komputer lain yang pada tahun 1975 hanya
dipakai sebagai komunikasi pasukan tempur Amerika Serikat, pada tahun 1995
dibuka untuk penggunaan privat dan hingga sekarang di kenal sebagai internet.
Internet dalam dunia perbankan memungkinkan setiap orang untuk
melakukan transaksi perbankan dengan mudah dan cepat. Untuk transfer dana
tidak perlu lagi datang ke teller bank seperti cara konfensional, namun cukup
dengan memakai gawai seperti telepon genggam atau komputer dengan
jaringan internet. Sedangkan untuk penarikan tunai ataupun pembayaran mengacu
pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 Tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Dengan memakai Kartu sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 14 / 2 /PBI/ 2012 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 Tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Dengan memakai Kartu, dapat dilakukan dengan
memanfaatkan media internet yakni secara elektronik memakai kartu
elektronik, baik itu kartu automated teller machine (selanjutnya disebut kartu
ATM), kartu Debet, dan/atau kartu kredit.
Terhadap kemajuan teknologi yang begitu pesat di dunia perbankan sendiri
sebenarnya kurang begitu terdukung dengan peraturan perundang-undangan terkait
perbankan yang ada sekarang. Adapun tindak pidana yang diatur dalam dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473, sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790 (selanjutnya disebut UndangUndang Perbankan) dan Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867 (selanjutnya disebut UndangUndang Perbankan Syariah) yaitu :
a. Tindak pidana berkaitan dengan perizinan;
b. Tindak pidana berkaitan dengan rahasia bank;
c. Tindak pidana berkaitan dengan pengawasan bank;
d. Tindak pidana berkaitan dengan kegiatan usaha bank;
e. Tindak pidana berkaitan dengan pihak terafiliasi;
f. Tindak pidana berkaitan dengan pemegang saham;
g. Tindak pidana berkaitan dengan ketaatan terhadap ketentuan.
Pengaturan terkait pidana ini hanya mengatur terkait perbuatanperbuatan yang dilakukan oleh pihak bank atau pihak terafiliasi. Yang diaksud Pihak
Terafiliasi menurut Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Perbankan yaitu anggota
dewan komisaris, pengawas, direksi atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank;
anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan
bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku; pihak yang memberi jasanya kepada bank,
antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya;
dan pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia (saat ini OJK) turut serta
mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya,
keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus.
Pemikiran dari pembentukan ketentuan pidana terkesan hanya memikirkan bank
dan pihak terafiliasinya sebagai subjek pada posisi yang dominan tanpa memikirkan
bahwa bank dapat pula mengalami kerugian diakibatkan oleh tindak pidana, sebagai
contoh dapat terjadi “pembobolan bank”.
Pada saat penulisan penelitian ini, kejahatan terkait perbankan yang sedang
ramai dibicarakan yaitu Skimming, mengingat kasus Skimming bank BRI.
Dalam modus operandi “pembobolan bank” dengan cara Skimming dilakukan dengan mekanisme mencuri data nasabah yang tersimpan dalam magnetik strip
pada kartu ATM dan dikirim secara nirakabel. Cara pencurian data ini dilakukan
dengan beberapa langkah, yaitu umumnya pertama-tama pelaku memasang alat
skimmer(electronic data capture) pada mulut mesin ATM, lalu pelaku memasang
kamera tersembunyi untuk menangkap gerakan jari nasabah saat menekan
pin ATM yang ditutupi, misalnya dengan kotak brosur. Selain itu, pelaku juga
mengkondisikan ATM untuk mengeluarkan pesan isi dari ATM sedang habis
padahal sudah memasukkan pin dan kartu, selanjutnya sesudah pelaku mendapat
data nasabah maka pelaku menyalindata ini kedalam kartu palsu. Dalam
beberapa kasus pelaku tidak memasang kamera tersembunyi namun hanya dengan
mengintip dari balik bahu nasabah.5 Pada perkembangannya pelaku Skimming
tidak lagi perlu memakai kamera tersembunyi atau dengan mengintip dari
balik bahu nasabah, namun memakai keypad/papan tombol palsu pada mesin
ATM untuk merekam pin nasabah secara otomatis.
Terlepas dari modus operandi yang dipakai , tindakan Skimming dan
mendapatkan pin ATM pada akhirnya akan diikuti dengan perbuatan memindahkan
data yang didapatnya kedalam kartu ATM palsu. Kartu ATM palsu ini
selanjutnya dipakai untuk mengambil uang memakai mesin ATM. Sistem
mesin ATM yang bekerja secara Real Time Online memakai jaringan internet,
maka penarikan maupaun pemindahan (Transfer) dana akan dibebankan terhadap
simpanan nasabah dan secara otomatis sistem ATM akan melakukan pengurangan
jumlah simpanan nasabah pada bank.
Perbuatan mengambil dana memakai kartu palsu yang menimpa
nasabah sering dipandang sebagai pencurian uang pada rekening, seperti pada
putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 687/Pid.B/2012/PN.DPS, dimana
pada amarnya menyatakan terdakwa FIRDAUS THEODY alias IRDA FIRDAUS
alias WAHYUDI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian dalam keadaan memberatkan dan Pencucian uang”. Pandangan
demikian ditimbulkan oleh berkurangnya saldo simpanan nasabah yang ditampilkan
pada sistem milik bank. Namun pada khasus Skimming bank BRI (Bank Rakyat
Indonesia) pada hari Senin 12 Maret 2018 pihak bank memberi dana pengganti
uang simpanan nasabah yang berkurang akibat praktik Skimming. Adanya pemulihan
dana oleh bank membuat seakan-akan kerugian diambil alih atau bahkan bank benarbenar menjadi subjek yang menerima kerugian akibat praktik Skimming, sedangkan
nasabah tidak lagi terdampak oleh kerugian yang ditimbulkan oleh penarikan dana
memakai kartu palsu hasil Skimming.
Pada satu sisi dengan adanya sikap perbankan yang mengambil alih kerugian
yang diakibatkan penarikan dana memakai kartu palsu hasil Skimming membuat
kepentingan nasabah menjadi terlayani, namun di sisi yang lain menimbulkan kekaburan
terhadap bentuk kerugian yang ditimbulkan oleh praktik Skimming. Kekaburan ini
menjadi titik anjak dari beberapa pertanyaan seperti “Siapa sebenarnya korban tindak
pidana Skimming dan penarikan dana memakai kartu palsu hasil Skimming?”, dan
lebih lanjut mengingat kerugian yang timbul “Apa mungkin bank diapandang sebagai
korban tindak pidana dan dapat mengajukan restitusi?”.
Modus Pembobolan Atm Dengan memakai Teknik Skimming
Pembobolan bank dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
A. Error Omission
Yaitu “pembobolan bank” dengan melakukan pelanggaran terhadap sistem atau
prosedur yang sifatnya pasif atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya
dilakukan. Prosedur yang sifatnya pasif disini mengacu pada prosedur dan
prinsip accounting, yaitu pada fungsi operasi klerikal, pencatatan transaksi, dan
penjurnalan.
Pelanggaran ini memiliki bentuk aturan yang jelas dan juga sanksi yang jelas, umumnya sanksi administratif;
dan
B. Error Commission
Yaitu “pembobolan bank” yang dilakukan secara aktif dengan melaukan perbuatan
yang salah, tetapi karena tidak tertulis dalam sistem dan prosedur maka dilakukan.
Pelanggaran ini sangat berkenaan dengan integeritas dari orang-orang pada bank
itu sendiri.
Pelanggaran ini akan dikenai sanksi yang sifatnya normatif, namun
biasanya diatur dalam code of conduct (kode etik).
Hal kejahatan “pembobolan bank” sendiri seiring dengan perkembangan
teknologi yang ada maka timbul perkembangan terkait dengan Modus Operandi
yang dipakai . Adapun beberapa jenis Modus Operandi yang kerap dilakukan
yaitu :
a. Pemalsuan Dokumen;
b. Pembukuan ganda;
c. Penggelapan uang nasabah;
d. Mekanisme transfer dana;
e. Pembobolan dengan memakai L/C;
f. Phishing (Password harvesting fishing);
g. Cyber Malware;
h. Skimming.
Skimming dilakukan dengan mencuri data digital yang tersimpan pada kartu
ATM dengan memakai alat berupa electronic data capture yang disebut skimmer.
Skimmer bekerja dengan cara menyalin data pada magnetic strip/ pita magnetik yang
menyimpan data pribadi nasabah yang dipakai dalam sistem perbankan untuk
mengidentifikasi nasabah yang hendak melakukan transaksi di mesin ATM.
Skimming dapat dilakukan dengan merekrut orang-orang yang bekerja
sebagai pelayan restoran dengan memberi Skimmer berukuran kecil. Skimmer
ini dipakai untuk menggesek kartu saat ada pelanggan restoran yang hendak
melakukan pembayaran dengan memakai kartu, prosesnya hanya memakan
waktu beberapa detik dan dilakukan saat pemilik kartu tidak melihat sehingga
proses Skimming susah untuk disadari.
16 Selain dipakai dengan merekrut orang,
skimmer biasanya dipasang pada mesin ATM, Skimmer dipasang sehingga seolaholah seperti bagian dari mesin ATM dengan tujuan agar nasabah selaku pemilik
kartu ATM secara sukarela memasukkan kartu ATM milikknya.
Pada awalnya skimmer berukuran besar dan tidak terlihat seperti bagian dari
mesin ATM, namun seiring perkembangannya Skimmer berukuran kecil dan bekerja
cukup dengan memakai baterai, umumnya dipasang pada tempat memasukkan
kartu ATM dengan memakai selotip dua sisi sehingga kartu ATM nasabah akan
masuk melewati Skimmer saat nasabah hendak melakukan transaksi. Data yang
diperoleh melalui skimmer selanjutnya dimasukkan kedalam kartu palsu yang juga
memiliki magnetic strip/pita magnetik agar dapat dipergunakan pada mesin ATM
seperti nasabah memakai kartu ATM.
Berbeda dengan Phishing dan Cyber Mallware yang langsung mendapat
seluruh data nasabah, pada Skimming, proses pembobolan juga melibatkan proses
memperoleh nomor pin nasabah agar pelaku Skimming dapat mengakses mesin
ATM memakai data nasabah dengan. Untuk memperoleh pin nasabah dapat
dilakukan dengan beberapa cara, yang paling sederhana yaitu dengan mengintip
melalui belakang bahu nasabah saat nasabah memasukkan pin, selain itu dapat
dilakukan dengan memasang kamera untuk merekam gerakan jari nasabah saat memasukkan pin atau lebih canggih lagi dilakukan penggantian papan tombol pada
mesin ATM oleh pelaku sehingga pin nasabah akan terekam secara otomatis saat
nasabah menekan papan tombol.
sesudah pelaku memperoleh data nasabah yang
telah dimasukkan kedalam kartu palsu dan pin nasabah maka pelaku Skimming
dapat melakukan transaksi memakai kartu ATM baik penarikan tunai, transfer
dana, maupun transaksi debet.
Dalam “pembobolan bank” umumnya melibatkan pihak dalam bank, karena
pihak ini memiliki pengetahuan dan akses terkait seluk beluk, mekanisme
dan sistem kemanan bank yang hendak dibobol.20 Namun keterlibatan orang dalam
bank bukanlah menjadi syarat mutlak bagi suatu operasi “pembobolan bank”.
Kedelapan Modus Operandi dalam “pembobolan bank” yang telah dijabarkan
diatas menunjukkan adanya keragaman dalam hal pelaku pembobolannya (dadernya). Terhadap keragaman pelaku “pembobolan bank” secara umum dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. “pembobolan bank” oleh orang dalam bank (interen) dan murni atas inisiatifnya
sendiri;
2. “pembobolan bank” oleh pihak diluar bank (eksteren); dan
3. “pembobolan bank” oleh kolaborasi antara orang dalam bank dengan pihak
luar bank (kombinasi).
Dikaitkan dengan pembagian terkait pelaku/dader “pembobolan bank”,
modus-modus “pembobolan bank” juga memiliki perbedaan dari bentuk perbutan
atau cara untuk melakukan “pembobolan bank” itu sendiri dan juga sumber perolehan
uang dalam Modus Operandi itu sendiri. berdasar kedelapan Modus Operandi
yang sebelumnya telah dipaparkan maka bentuk-bentuk perbuatan dalam Modus
Operandi sendiri meliputi pemalsuan, manipulasi, penggelapan, dan memperoleh
data pribadi nasabah untuk melakukan transaksi atas nama nasabah. Sedangkan Sumber perolehan uang dalam “pembobolan bank” pun meliputi kredit fiktif,
pencairan surat berharga fiktif, L/C, dan secara langsung dari rekening nasabah.
Secara sederhana dapat digambarkan dengan matriks sebagai berikut:
berdasar matriks ini , “pembobolan bank” oleh orang dalam bank
(interen) meliputi Modus Pembukuan Ganda, Penggelapan Uang Nasabah, dan
Mekanisme Transfer Dana, “pembobolan bank” oleh pihak diluar bank (eksteren)
meliputi Modus Phishing, Cyber Malwere, dan Skimming, sedangkan “pembobolan
bank” oleh kolaborasi antara orang dalam bank dengan pihak luar bank (kombinasi)
meliputi Modus Pemalsuan Dokuman dan Pembobolan dengan memakai L/C.
Secara umum setiap kelompok Modus Operandi memiliki ciri-ciri khusus, baik
itu “pembobolan bank” oleh orang dalam bank, “pembobolan bank” oleh pihak
diluar bank, maupun “pembobolan bank” oleh kolaborasi antara orang dalam bank
dengan pihak luar bank.
Pada “pembobolan bank” oleh orang dalam bank, Secara sederhana dapat
digambarkan dalam dua buah skema sebagai berikut:
“Pembobolan bank” oleh kolaborasi antara orang dalam bank dengan pihak
luar bank (kombinasi) dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:
Seperti sebelumnya telah dibahas, walaupun umumnya melibatkan pihak
dalam bank, namun “pembobolan bank” dapat dilakukan dengan oleh pihak diluar
bank. Terhadap “pembobolan bank” oleh pihak luar bank maka secara umum dapat
digambarkan melalui skema sebagai berikut:
Pada skema ini dalam hal dikaitkan dengan teknik Phishing dan Cyber
Malwere memang cukup mudah untuk dipahami, karena prosesnya yang sederhana.
Pada Phishing cukup dengan penipuan melalui media email dan website palsu,
sedangkan pada Cyber Malwere dilakukan secara otomatis memakai aplikasi
computer secara digital. Berbeda dengan Phishing dan Cyber Malwere yang
cukup sederhana, pada modus Skimming memiliki tingkat kerumitan yang lebih
tinggi dimana perlu melibatkan perbuatan memasang Electronic Data Capture,
memperoleh pin nasabah dan pembuatan kartu elektronik palsu.
Secara spesifik dalam “pembobolan bank” memakai teknik Skimming
maka dapat di digambarkan lebih jelas berdasar skema sebagai berikut:
Pada proses nomor 3.2 dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya:
1. Mengintip saat nasabah memasukkan kombinasi pin di mesin ATM atau mesin
Debet;
2. Memasang kamera tersembunyi pada mesin ATM untuk merekam pergerakan
tangan nasabah saat memasukkan kombinasi pin; atau
3. Memasang Papan tombol palsu yang berfungsi untuk merekam kombinasi pin
yang dimasukkan oleh nasabah.
Selanjutnya sesudah memperoleh data nasabah dan pin nasabah maka
selanjutnya pada proses nomor 4 pelaku membuat kartu elektronik palsu yang ia
buat sendiri dengan memasukkan data nasabah yang sebelumnya telah didapatkan.
Pada pembuatan kartu elektronik palsu ini dimungkinkan dilakukan dengan tiga
cara yaitu:
1. Cara Altered Card
Yaitu dilakukan dengan memakai kartu elektronik asli yang diubah
datanya. Cara ini dilakukan dengan memanaskan relief pada kartu elektronik
(reembossed) dan selanjutnya diisi dengan data pribadi nasabah (re-encoded).
2. Cara Totally Counterfeit
Yaitu pembuatan kartu elektronik yang seluruhnya palsu. Cara ini menuntut
pelaku untuk mencetak kartu yang serupa dengan kartu elektronik asli dengan
mencantumkan gambar, logo, dan nomor hingga seolah-olah kartu elektronik
yang asli. Pembuatannya melibatkan proses embossing dan encoding.
3. Cara White Plastic Card
Yaitu pembuatan kartu elektronik memakai kartu plastik putih polos.
Cara ini hanya melibatkan proses encoding karena kartu palsu ini hanya
dilakukan dengan melibatkan data tanpa melakukan pemalsuan pada fisik
kartu
Kartu elektronik paslu ini dapat dibaca dan dipakai pada mesin ATM
maupun mesin Debet layaknya kartu ATM. Pada akhir rangkaian proses ini
maka pelaku Skimming akan memakai kartu palsu yang ia buat memakai a
data nasabah untuk melakukan transaksi perbankan. Karena transaksi perbankan
dilakukan pelaku dengan memakai jaringan komputer yang aksesnya
memakai data nasabah, maka sistem secara otomatis akan mengenali transaksi
ini sebagai transaksi atas nama nasabah.
Tindak Pidana Pada Pembobolan Bank memakai Teknik Skimming
“Pembobolan bank” dengan teknik Skimming dapat dibagi kedalam segmen
sebagai berikut:
A. Memperoleh data nasabah;
B. Membuat kartu elektronik palsu; dan
C. Melakukan transaksi dengan memakai kartu elektronik palsu.
Perbuatan memperoleh data nasabah dengan memakai Skimmer sesuai
dengan Pasal 46 ayat (2) UU ITE yang berbunyi sebagai berikut: “(2). Setiap Orang
yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah)”.
Pasal 46 ayat (2) UU ITE ini menjelaskan perbuatan memperoleh
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berbunyi sebagai berikut:
“(2). Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik”.
Perbuatan yang diuraikan dalam Pasal 30 ayat (2) UU ITEini dapat
dijabarkan kedalam unsur-unsur sebagai berikut:
1. Sengaja;
2. Tanpa hak atau melawan hukum;
3. Mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik; dan
4. Tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
Terkait dengan unsur kesengajaan sebenarnya menjelaskan terkait dengan
bentuk kesalahan pada delik yang diatur. Pengaturan terhadap bentuk kesalahan
secara jelas ini berarti pembentukan pasal ini dilakukan dengan padangan monistis,
dimana dalam perbuatan pidana (Strafbaar feit) unsur perbuatan dan unsur kesalahan
merupakan satu kesatuan.33 Kesalahan sendiri harus lah memiliki kesengajaan
(Dolus) atau kealpaan (Culpa).
Terhadap kesengajaan ini pemenuhannya dijelaskan berdasar dua
teori, yaitu Teori Pengetahuan (Voorstellings Theorie) dan Teori Kehendak (Wills
Theorie). Teori Pengetahuan (Voorstellings Theorie) memandang bahwa kesengajaan
terhadap suatu akibat tidak dapat direncanakan, namun terhadap suatu akibat dapat
dibayangkan (Voorstellen) saat akan melakukan suatu perbuatan, sehingga titik
beratnya yaitu pengetahuan akan suatu akibat dari tindak pidana yang dilakukan.
Teori Kehendak (Wills Theorie) memandang bahwa kesengajaan ditimbulkan oleh
perbuatan dan kehendak terhadap suatu tindak pidana serta siap menanggung
akibatnya.36 Pada Memorie van Toelichting (M.v.T) Wetboek van Strafrecht (W.v.S)
Belanda dijelaskan “pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada
barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang dan dikehendaki (Willens) dan
diketahui (Wetens)”.
Kesengajaan ini dapat dibedakan menjadi tiga:
A. Kesengajaan sebagai maksud (Dolus als oogmerk);
B. Kesengajaan dengan Kepastian (zekenheids bewustzijn);
C. Kesengajaan dengan Kemungkinan (Dolus eventualis / In Kauf Nehmen).
Pada perbuatan memperoleh data nasabah dengan Skimmer jelas memiliki
berupa Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk memperoleh data
nasabah itu sendiri.
Unsur tanpa hak atau melawan hukum menjelaskan terkait dengan sifat dari
tindak pidana ini mewajibkan bahwa tindak pidana ini hanya dilanggar bila
dilakukan tanpa hak atas akses komputer dan/atau Sistem Elektronik atau dilakukan
dengan melawan hukum. Pada Skimming, perbuatan memperoleh data pribadi
nasabah memiliki sifat melawan hukum yang jelas dimana melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan. Pelanggaran yang menimbulkan sifat melawan
hukum ini perlu diperhatikan Pasal 26 ayat (1) UU ITE yang berbunyi: “(1).
Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap
informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus
dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan”. Sehingga jelas bahwa pada
perolehan data nasabah dilakukan secara tanpa hak dan juga melawan hukum.
Unsur mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik merupakan
unsur perbuatan dalam tindak pidana yang diatur. Pasal 1 angka 14 UU ITE
mendefinisikan “Komputer yaitu alat untuk memproses data elektronik, magnetik,
optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan”.
Pasal 1 angka 5 UU ITE “Sistem Elektronik yaitu serangkaian perangkat dan
prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah,
menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau
menyebarkan Informasi Elektronik”.
Dalam memperoleh data nasabah, pelaku memakai alat Skimmer untuk
mengakses data nasabah. Akses yang dilakukan oleh pelaku ditujukan pada kartu
elektronik yang berisi data nasabah. berdasar definisi Informasi Elektronik
maka pada dasarnya yaitu data elektronik secara luas dengan bentuk yang tidak
terbatas pada apa yang dijelaskan pada definisi ini . Terkait dengan konten atau
isi dari data elektronik tidak disyaratkan sehingga bukan merupakan persoalan.
Dikaitkan dengan analisa terkait perolehandata pribadi nasabah sebagai
Informasi Elektronik maka unsur tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik jelas terpenuhi.
Selanjutnya, berdasar Modus Operandi, pembuatan kartu elektronik palsu
ada dua dimensi yang dapat dikatakan palus, yaitu yang pertama yaitu data dalam kartu elektronik dengan encoding dan yang kedua yaitu fisik dari kartu
palsu ini dengan embossing. Mengingat kartu elektronik dalam hal ini yaitu
APMK maka kartu elektronik ini merupakan surat berharga berdasar
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, hal ini mengindikasikan jelas bahwa hal
dilakukan pemalsuan fisik kartu elektronik pada “pembobolan bank” memakai
teknik Skimming merupakan tindak pidana (Delik) dalam Pasal 263 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHAP). Terkait pemalusan data
pada kartu palsu merupakan pemalsuan yang terkait dengan komputer sehingga
memakai Pasal 51 ayat (1) UU ITE
Selanjutnya terkait dengan perbuatan segmen ketiga pada “pembobolan bank”
memakai teknik Skimming yaitu melakukan transaksi dengan memakai
kartu elektronik palsu. Telah dijelaskan sebelumnya pada bagian Modus Operandi
bahwa tansaksi disini merupakan transaksi atas nama terdakwa dengan memakai
data nasabah yang diperoleh melalui tindak pidana pada segmen pertama. Perbuatan
pelaku melakukan transaksi memakai data pribadi nasabah memiliki indikasi
terhadap adanya penggunaan identitas palsu, yakni pelaku bertindak seolah-oleh ia
yaitu nasabah yang data pribadinya dipakai . Kaitannya dengan tindak pidana
sendiri penggunaan identitas palsu erat kaitannya dengan perbuatan curang (Bedrog).
Adapun unsur-unsur dari pasal 378 KUHP ini dikelompokkan
berdasar sifatnya maka ada unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan juga unsur melawan
hukum merupakan unsur subjektif. Sedangkan unsur memakai nama palsu
atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan dan
unsur menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya,
atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang merupakan unsur
objektif.Terkait unsur-unsur subjektif pada perbuatan melakukan transaksi atas nama
nasabah memakai kartu elektronik palsu jelas terpenuhi. Unsur maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, jelas telihat dari rangkaian perbuatan
yang telah dijelaskan pada bagian Modus Operandi yakni tujuan perolehan uang
sebagai tujuan akhir dari “pembobolan bank” itu sendiri. Sedangkan unsur secara
melawan hukum terlihat dari penggunaan kartu elekrtonik palsu yang berisi data
nasabah yang telah diperoleh yang merupakan hasil dari tindak pidana.
Unsur memakai nama palsu, atau martabat palsu, atau tipu muslihat,
atau rangkaian kebohongan merupakan unsur perbuatan. Pada unsur ini perbuatan
yang disayaratkan disusun secara alternatif, pemenuhan salah satu perbuatan
saja cukup untuk memenuhi unsur ini . Pada transaksi atas nama nasabah
memakai kartu elektronik palsu melibatkan baik mesin ATM ataupun mesin
debet, yang mana dapat diartikan sebagai Komputer, jaringan Komputer, dan/atau
media elektronik lainnya dalam definisi transaksi elektronik dalam Pasal 1 angka
2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Karena tansaksi ini
merupakan Transaksi Elektronik, maka cara transaksi dilakukan merupakan
interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Dengan terbatasnya interaksi dalam Transaksi Elektronik
pada Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, maka pada transaksi
atas nama nasabah memakai kartu elektronik palsu, penggunaan Informasi
Elektronik berupa data pribadi nasabah oleh pelaku merupakan bentuk dari nama
palsu dan martabat palsu.
Unsur menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang berarti ada
orang yang terbujuk untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya
memberi utang maupun menghapuskan piutang. Pada transaksi dengan kartu palsu,
secara fisik yang bertemu yaitu pelaku dengan mesin. Mesin ATM yaitu mesin/
komputer yang dipakai oleh bank untuk melakukan kegiatan-kegiatan penyetoran
uang, pengambilan uang, pengecekan saldo, transfer antar rekening, dan transaksi keuangan lain yang dilakukan secara elektronik.41 Sehingga transaksi dengan mesin
ATM yang terjadi bukanlah antara pelaku dengan mesin karena transaksi ini
merupakan Transaksi Elektronik, kedudukan mesin dalam transaksi ini
merupakan Sistem Elektronik dan bukan merupakan subjek hukum sehingga dalam
hal penarikan tunai pada mesin ATM memakai kartu elektronik palsu bukan
berarti pelaku menggerakkan mesin ATM untuk menyerahkan sejumlah uang. Bila
mengacu pada Pasal 1 angka 3, 4, 5, dan 6 PBI Penyelenggaraan APMK maka
sebenarnya perbuatan hukum yang timbul dalam Transaksi Elektronik memakai
APMK yaitu dengan Prinsipal. Pasal 1 angka 8 PBI Penyelenggaraan APMK
mendefinisikan mengenai prinsipal sebagai berikut:
“Prinsipal yaitu Bank atau Lembaga Selain Bank yang bertanggung jawab
atas pengelolaan sistem dan/atau jaringan antar anggotanya, baik yang berperan
sebagai penerbit dan/atau acquirer, dalam transaksi APMK yang kerjasama dengan
anggotanya didasarkan atas suatu perjanjian tertulis”.
Penyerahan uang melalui mesin ATM pada transaksi memakai
kartu elektronik palsu merupakan Transaksi Elektronik antara pelaku (dengan
mengatasnamakan nasabah yang data pribadinya dipakai ) dengan bank selaku
Prinsipal. Unsur menggerakkan orang lain dalam hal ini mengacu pada bank sebagai
subjek hukum dalam hubungan hukum yang timbul saat Transaksi Elektronik
terjadi. Demikian unsur menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang
sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang
telah terpenuhi, sehingga transaksi memakai kartu elektronik palsu pada
“pembobolan bank” dengan teknik Skimming merupakan tindak pidana (Delik)
dalam Pasal 378 KUHP.
Korban Tindak Pidana Pembobolan Atm Dengan memakai Teknik
Skimming Terkait Dengan Pengajuan Restitusi
Menentukan korban suatu tindak pidana menjadi penting dalam menentukan siapa yang berhak atas hak-hak tertentu yang diberikan oleh undang-undang.
Menurut Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Saksi dan Korban, Korban yaitu
“orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana”
Pemikiaran-pemikiran diatas terkesan mengartikan korban yaitu individu
saja. Namun, penimbulan korban dalam “pembobolan bank” memakai teknik
Skimming merupakan penimbulan korban pada modus operandi canggih, sehingga
korbannya bukan saja individu konkrit namun juga subjek yang masal dan abstrak.
Penderitaan yang ditimbulkan dalam “pembobolan bank” dengan teknik Skimming
sendiri juga tidak lagi penderitaan fisik seperti pada penimbulan korban yang
sifatnya konvensional, namun juga penderitaan moril dan psikologis yang bersifat
struktural dan non-struktural.
Barsama dengan perkembangan kejahatan, memang korban tidak lagi terbatas
pada perseorangan, namun meluas dan kompleks.
Sellin dan Wolfgang berpendapat pula dalam teorinya mengenai tipologi
korban, yaitu korban dapat dibagi menjadi:
1. Primary victimization, yaitu korban berupa individu perorangan yang secara
langsung dilukai atau dirugikan.
2. Secondary victimization, yaitu korban kelompok dalam arti tidak personal,
kolektif, dan komersial.
3. Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat dalam arti yang sangat luas dan
tidak termasuk dalam Primary victimization dan Secondary victimization .
4. Mutual victimiazation, yaitu korban yang terlibat dalam kondisi yang bersifat
timbal balik.
5. No victimization, umumnya dipakai dalam mengkategorikan dalam kenakalan
anak.
Dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, pada pasal 1 angka 9 pun
mengakui bahwa subjek setiap orang yang diatur di dalamnya tidak terbatas
pada individu, namun termasuk pula korporasi. Lebih lanjut di dalam penjelasan
umum UU Perlindungan Saksi dan Korban dijelaskan pula “Ketentuan mengenai
subjek hukum yang dilindungi dalam UndangUndang ini diperluas selaras dengan
perkembangan hukum di masyarakat.” Sehingga menjadi jelaslah bahwa sebenarnya
yang dapat disebut sebagai korban tidak hanya terbatas pada individu.
Pasal 378 KUHP untuk transaksi memakai kartu palsu sendiri seperti
yang telah dijelaskan pada sub sebelumnya mengakibatkan bank selaku badan
hukum menyerahkan sejumlah uang kepada pelaku “pembobolan bank”. Jelas
bahwa penderitaan yang timbul yaitu kerugian ekonomi, yaitu sejumlah uang.
Perlu dipahami pula bahwa uang yang ada dalam mesin ATM merupakan simpanan
nasabah, dimana simpanan timbul berdasar perjanjian penyimpanan dana yang
bersifat riil, dimana penyerhannya dilakukan secara nyata dan uang yang telah
diserahkan kepada bank menjadi milik bank dan penggunaannya jadi wewenang
penuh bank.45 Hal penyerahan uang oleh bank didasarkan penggunaan kartu palsu
hasil Skimming maka sebenarnya secara yuridis kerugian ada pada bank.
Manjadi persoalan juga terkait dengan penentuan teransaksi mana yang
benar-benar dilakukan oleh nasabah dan transaksi mana yang dilakukan oleh
pelaku pembobolan. Terkait hal ini Direktur Perencanaan Strategis dan
Humas Bank Indonesia, Dyah Ni Makhijani menjelaskan bahwa dana nasabah akan
diganti oleh bank dengan mekanisme nasabah melapor dengan membawa bukti
kepemilikan rekening, bukti bahwa bukan yang bersangkutan yang melakukan
transaksi dan merupakan akibat pembobolan dan akan di verivikasi terlebih
dahulu.46 Dikaitkan dengan mekanisme ini sebenarnya menimbulkan ketidak
pastian terkait penimbulan korbannya, karena bank menganggap transaksi yang
dilakukan memakai data nasabah yaitu oleh nasabah itu sendiri sampai
terbukti sebaliknya. Bank memberi kewajiban pembuktian kepada nasabah
agar kegiatan bank berjalan mulus dan kerugian tidak ada pada pihak bank.47 Bank
dalam hal ini mendasarkan pada 2 teori, yaitu Teori Statement of Account, yaitu kewajiban nasabah untuk memeriksa dan memberitahukan pada bank ketimpangan
rekeningnya, dalam hal tidak diberitahu maka statement of account dianggap
benar dan Teori Contributory Negligence, diaman laporan berkala saja sudah
menggambarkan keadaan sebenarnya sampai nasabah membuktikan sebaliknya.48
Penerapan teori-teori ini oleh bank menimbulkan dua kemungkinan
dalam penggantian uang nasabah. Dua Kemungkinan ini dapat dibandingkan
dari kasus atas nama terdakwa Tumino alias Petruk bin Sarimin dalam Putusan
Pengadilan Negeri Semarang Nomor 600/Pid.B/2014/PN Smg. Pada keterangan
saksi-saksinya menunjukkan bahwa Saksi Irene Ludang Nurhayati dan Saksi Andi
Susilo bin Mudjtahidin mendapat penggantian uang dari Bank BNI, sedangkan
Saksi Risdianto Dwi Purnama Putra, S.Ked dikatakan “belum ada penggantian”.
Terhadap kasus ini dapat disimpulkan ada kemungkinan dilakukan
penggantian dan kemungkinan tidak dilakukan penggantian oleh bank.
Nasabah yang tidak mampu membuktikan rekeningnya menjadi korban
pembobolan namun mengalami kerugian sendiri merupakan korban yang terdampak
secara tidak langsung oleh “pembobolan bank” memakai teknik Skimming¸
akibat dari kebijakan yang diambil oleh bank. Kebijakan yang diambil oleh bank
tidak bersifat melawan hukum, namun nasabah menjadi dirugikan. Pada transaksi
memakai kartu palsu, nasabah menjadi korban secara vicarious, dimana yang
dialamai yaitu vicarious victimization, dimana seorang menjadi korban atas
kerugian yang dialami akibat viktimisasi terhadap subjek lain.
Damikian, jelasalah bahwa korban yang timbul dalam pembobolan ATM
memakai teknik Skimming bergantung pada bank dan nasabah. Kondisi yang
pertama yaitu nasabah mampu membuktikan adanya transaksi oleh pihak lain
sehingga bank memulihkan rekening nasabah dan kerugian berada pada pihak
bank. Kondisi yang kedua yaitu nasabah tidak mampu membuktikan adanya
transaksi oleh pihak lain sehingga bank menolak untuk memulihkan rekeningnya
dan kerugian berada pada pihak nasabah. Sebagai implikasi dari dua kondisi yang
ada maka ada variasi terhadap korban yang timbul, dalam hal terjadi kondisi
yang pertama maka yang menjadi korban yaitu bank, sedangkan pada kondisi
yang kedua yang menjadi korban yaitu nasabah.
Bank maupun nasabah sebagai korban pada pembobolan ATM memakai
teknik Skimming memiliki hak untuk memperoleh ganti kerugian yang diakibatkan
oleh perbuatan pelaku. Ganti rugi dalam bentuk restitusi ini berbeda dari kompensasi
yang hanya dibatasi untuk korban tindak pidana yang merupakan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat dan tindak pidana terorisme saja, pada restitusi tidak
ditentukan secara spesifik mengenai tindak pidana apa saja yang dapat dimintakan
restitusi.
Terkait legal standing korban untuk mengajukan restitusi tentunya harus
memenuhi kualifikasi sebagai korban atau ahli waris korban dalam hal korban
meninggal dunia, dan selanjutnya memenuhi persyaratan pada Pasal 7A ayat (2)
UU Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan LPSK. Pada “pembobolan bank”
memakai teknik Skimming maka ada dua subjek korban yang dimungkinkan
untuk memperoleh restitusi, yaitu bank atau nasabah.
Hal restitusi kerugian yang timbul menimbulkan keuntungan bagi pihak
pelaku dengan jumlah yang setara dengan kerugian yang ditimbulkan, sehingga
patut dan layak bila pengembalian kerugian dalam hal restitusi dibebankan terhadap
pelaku. Namun, lain halnya bila uang yang diperoleh pelaku disita sebagai barang
bukti, tentu pada putusan akan secara otomatis dikembalikan pada korban selaku
pemilik sehingga kondisi semula telah tercapai dan restitusi tidak perlu diajukan.
Hal memang uang yang diperoleh pelaku telah ditransaksikan maka barulah perlu
dimohonkan restitusi. Pembebanan kerugian terhadap pelaku ini diharapkan dapat
memulihkan keadaan sesuai dengan tujuan dari restitusi sendiri.
Hal nasabah yang memang dirugikan dan pelaku tidak dapat mengganti
kerugian ini maka berdasar Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah
Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi Korban, restitusi
dapat diberikan oleh pihak ketiga. Mengingat andil bank dalam viktimisasi yang
diterima nasabah, seyogyanya bila pelaku tidak mampu mengganti uang nasabah,
maka bank lah yang dibebani pembayaran restitusi ini . Dengan pengajuan
restitusi yang dibebankan kepada bank maka memberi solusi bagi nasabah yang
menjadi korban karena tidak mampu membuktikan ia tidak melakukan transaksi.
Beban pembuktian yang tadinya dibebankan bank kepada nasabah, melalui
mekanisme restitusi dipermudah, menjadi cukup dengan pembuktian oleh penuntut
umum di muka persidangan, pun penyimpangan terhadap kebijakan yang dibuat
oleh bank nantinya akan didasarkan pada putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Teknik Skimming merupakan modus opernadi canggih yang dilakukan oleh
pihak luar bank dalam melakukan “pembobolan bank. Perbuatan memperoleh data
nasabah melanggar Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Perbuatan membuat kartu elektronik palsu melanggar Pasal 35 UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik. Perbuatan melakukan transaksi atas
nama nasabah memakai kartu elektronik palsu berisi data nasabahmelanggar
Pasal 378 KUHP. Pelanggaran beberapa aturan pidana ini berdiri sendirisendiri dan terhadap kesemuanya tentu akan diadili sekaligus, sehingga berlaku
konkursus realis (Meerdaadse Samenloop).
Penentuan korban yang berhak mengajukan restitusi pada pembobolan ATM
dengan memakai teknik Skimming menjadi sangat kondisional berdasar
dengan siapa yang menjadi korban antara bank dan nasabah.
Teknologi telah membawa keuntungan dengan memudahkan hidup
manusia, juga kerugian yang mempermudah penjahat melakukan
kejahatan. Teknologi memberi pengaruh yang signifikan dalam
pemahaman mengenai kejahatan, terutama terhadap pemahamanpemahaman dalam kriminologi yang menitikberatkan pada faktor manusia,
baik secara lahir maupun psikologis.1
Kemajuan teknologi merupakan rangkaian perubahan yang diikuti
berbagai macam cara yang mempermudah pekerjaan manusia. Hal ini
berarti, semakin berkembang suatu zaman maka semakin maju pula
teknologi yang digunakan. Kemajuan ini juga berpengaruh terhadap
berbagai aspek kehidupan, baik segi positif maupun segi negatif.2
Pengaruh positif kemajuan teknologi informasi dapat dirasakan
dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya kemudahan dalam melakukan
pekerjaan,3
terutama bagi mereka yang memiliki mobilitas tinggi dan
membutuhkan waktu 24 jam dalam melakukan transaksi.4 Dahulu,
kesepakatan antara penjual dan pembeli hanya dapat dilakukan jika
keduanya berada pada suatu tempat yang sama dan harus saling bertatap
muka, tetapi dengan kemajuan teknologi informasi, antara penjual dan
pembeli cukup memakai alat komunikasi dan keduanya bisa
melakukan transaksi dari tempat manapun.5
Meskipun demikian, kemajuan teknologi ini juga diikuti dengan akibat
negatif, seperti6 penipuan, skimming, dan pembobolan di dunia perbankan
atau lembaga keuangan lainnya yang dimana hal ini dapat berdampak pada
hilangnya kepercayaan masyarakat pada reputasi dan bisnis itu sendiri.
Banyak sekali ragam kejahatan yang dilakukan dengan memanfaatkan
teknologi informasi. Kejahatan-kejahatan ini selain menimbulkan
dampak yang bahkan lebih besar dari kejahatan biasa juga pelakunya
sangat sulit dilacak dan diadili.7
Tidak dapat dipungkiri, dunia perbankan semakin gencar melakukan
digitalisasi sehingga semakin banyak pula kejahatan dan tindak kriminal
yang dapat terjadi. Kebutuhan dan penggunaan teknologi informasi ini
dengan internet dapat ditemukan dalam berbagai bidang seperti ecommerce, e-banking, e-education dan banyak lagi yang telah menjadi hal
yang biasa.
Saat ini, teknologi mengalami kemajuan di seluruh belahan dunia,
termasuk Indonesia.
9 Setiap manfaat dan keringanan yang didapatkan akan
ada pula beberapa kekurangan dan kerugian yang didapatkan dari
penggunaan teknologi yang tersedia. Kekurangan ini diantaranya,
yaitu hadirnya tindak kriminal Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau
Cyber Crime, seperti pada kasus pembobolan terhadap sistem keamanan
rekening atau dikenal juga sebagai hacking dan pembobolan sistem
elektronik nasabah dalam sistem perbankan nasional memakai
identitas dan sarana prasarana milik orang lain10 dengan cara pembajakan
nomor ponsel telah banyak terjadi.
Pada masa ini, cyber crime merupakan salah satu bagian dari
kejahatan yang mendapatkan tempat yang luas dalam kehidupan
masyarakat.11 Perbuatan kejahatan ini yaitu perbuatan yang dilakukan
dengan membobol saldo rekening nasabah bank memakai identitas
yang dipalsukan. Pembobolan merupakan suatu prosedur atau kegiatan
menjebolkan sesuatu. Membobol berarti mendobrak, menjebol, dan
mengacaukan dengan kekejaman, atau mendobrak dengan suatu paksaan.
Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya berarti hubungan timbal balik
atas perbuatan yang dilakukan oleh pembuat pidana atas kejahatan yang
diperbuatnya.12 Dengan demikian, Pertanggungjawaban kejahatan berisi
unsur objek dan unsur subjek yang menurut faktual berarti pembuat
kejahatan telah berbuat delik (kejahatan) dimana secara eksklusif si
pembuat kejahatan patut dipersalahkan atas delik yang diperbuatnya
sehingga dapat dipidana.13
Menurut Tulus, kasus pembobolan rekening nasabah merupakan
suatu kejadian yang amat buruk dan berpotensi merusak kepercayaan
masyarakat terhadap bank. Padahal, menurutnya, industri jasa keuangan
yaitu bisnis yang menitikberatkan kepercayaan antara nasabah dan pihak
perbankan. Kasus pembobolan rekening telah beberapa kali terjadi, walau
dengan sifat kasus yang berbeda-beda.14
Pada kasus dengan pembajakan nomor ponsel yang dimiliki korban
kebanyakan dilakukan oleh pelaku dengan memakai identitas yang
dipalsukan. Pelaku yang telah memiliki dan menguasai data diri milik target
serta memasang foto dirinya dalam data target dapat dengan mudah
mengelabui petugas gerai operator seluler untuk mendapatkan nomor
ponsel target. Pada kasus kartu seluler, ada pula modus sim card
recycle atau daur ulang kartu seluler.15
Pelaku memulai aksinya dengan cara mengambil alih nomor ponsel
korban melalui gerai resmi operator seluler. Setelah memiliki nomor ponsel
korban, pelaku dapat memperoleh akses menuju akun perbankan milik
korban. Hal ini dikarenakan pihak bank menetapkan nomor ponsel nasabah
sebagai salah satu metode verifikasi, termasuk pengiriman kode password
sekali pakai (One Time Password) ke nomor ponsel milik nasabah.
Contoh kasus yang pernah terjadi pada tahun 2020:
Baru-baru ini jagat maya dihebohkan dengan modus pengurasan
saldo rekening bank hanya dengan nomor ponsel. Kepolisian RI pun
berhasil membongkar modus operandi dari pembobolan ini.
Ternyata, pelaku menjual data-data ke orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, seharga Rp 100.000 per data. Data itu berisi
nama lengkap nasabah si calon korban, nomor telepon, alamat,
hingga jumlah uang.17
Hal ini berawal dari data nasabah yang ada di Sistem Layanan
Informasi Keuangan (SLIK) yang ada di Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). SLIK yang dahulu biasa dikenal dengan BI Checking ini berisi
informasi seperti nomor KTP, hingga jumlah tagihan atau utang yang
ada di industri perbankan.18
“SLIK OJK di situ ada data-data pribadi lengkap seseorang yang
memiliki rekening atau limit rekening yang ada secara random dia
bisa tahu,” kata Yusri dilansir detik.com belum lama ini.
Pelaku yakni H (inisial tersangka) kemudian menjual data ini ke
orang-orang yang tidak bertanggung jawab, salah satunya D (inisial
tersangka), yang kemudian memilih secara acak nasabah yang siap
menjadi korban. Sampailah kala itu nama Ilham Bintang. Ilham Bintang
yaitu seorang pengusaha Indonesia, pelopor jurnalistik infotainment.19
Penjahat-penjahat ini kemudian membuat sebuah KTP palsu
sesuai dengan data Ilham Bintang di SLIK OJK. Pelaku kemudian
memakai foto oknum lain bernama A. KTP ini digunakan para
penjahat ini ke Gerai Indosat di Bintaro, Tangerang Selatan. Pada 4 Januari
2020, A dan dibantu para penjahat lain mengaku ingin mengganti nomor
atau sim card dan beralasan ponselnya hilang
Setelah proses pemindahan sim card sukses, para pelaku kemudian
dapat dengan mudah mengakses e-mail pribadi korban dengan
memakai One Time Password (OTP) yang dikirim ke nomor ponsel.
OTP digunakan jika pengguna lupa password. Setelah berhasil
menduplikat nomor ponsel korban, para tersangka dapat membobol e-mail
serta mengganti password dan kode m-banking milik korban. Tersangka D
yang berlokasi di Palembang langsung beraksi menguras uangnya.21
Ilham Bintang kemudian melaporkan kasus pembobolan ponsel dan
rekening ke Polda Metro Jaya pada 17 Januari 2020. Polisi mengusutnya
hingga menangkap 8 tersangka itu. Para tersangka memiliki peran masingmasing dari otak perencanaan, membuat sim card korban, membuat KTP
palsu korban, hingga menguras uang Ilham.22
Yusri mengatakan, “Setelah e-mail terbuka keluarlah data Bank BNI
dan Commmonwealth yang dilaporkan Ilham Bintang kalau 2 rekening
beliau habis terkuras. Kerugian total dari Commonwealth kami belum
dengar kabar sampai saat ini.”23
Pihak OJK melalui Juru Bicara, Sekar Putih Djarot, memberi
klarifikasi soal SLIK. “yang menyatakan bahwa ada oknum bank yang
menyalahgunakan data SLIK, dengan ini OJK menegaskan bahwa SLIK
merupakan sistem pelaporan dari LJK kepada OJK yang berisi data fasilitas
pinjaman debitor dan bukan data simpanan nasabah. OJK akan membantu
pihak kepolisian untuk dapat segera mengungkap kasus in
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah ini diatas, maka Penulis
merumuskan permasalahan dalam penulisan tesis ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tanggung jawab bank terhadap pembobolan
saldo rekening nasabah bank dengan cara pemalsuan identitas?
2. Bagaimanakah perspektif hukum pidana terkait pembobolan
saldo rekening nasabah bank dengan cara pemalsuan identitas?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai Penulis dalam penelitian tesis
yaitu sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis tanggung jawab bank terhadap pembobolan
saldo rekening nasabah bank dengan cara pemalsuan identitas.
2. Untuk menganalisis perspektif hukum pidana terkait pembobolan
saldo rekening nasabah bank dengan cara pemalsuan identitas.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini yaitu :25
1. Manfaat Teoritis
a) Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan
pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pidana khususnya
mengenai pembobolan saldo rekening nasabah bank dengan cara
pemalsuan identitas.
b) Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi
penelitian lainnya berhubungan dengan hukum pidana untuk
mengetahui tentang pembobolan saldo rekening nasabah bank
dengan cara pemalsuan identitas.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi 26 informasi kepada
masyarakat atau pembaca tentang pembobolan saldo rekening
nasabah bank dengan cara pemalsuan identitas.
3. Manfaat Akademis
a) Penelitian ini diharapkan berguna bagi mahasiswa sebagai bahan
acuan atau kajian dalam rangka pengembangan upaya hukum
secara nyata.
b) Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi akademisi
terutama dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya.
E. Orisinalitas Penelitian
Penelitian sebelumnya berkaitan dengan pembobolan saldo
rekening:
1. Tesis “Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang oleh Perbankan”, tesis oleh Evan Satria, Program Studi
Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga 2017. Tesis ini
membahas tentang bagaimana kegiatan perbankan yang
berimplikasi tindak pidana pencucian uang, bagaimana
pertanggungjawaban pidana bank sebagai penyedia jasa electronic
banking jika terjadi tindak pidana pencucian uang, sedangkan
penulis membahas tentang tanggung jawab bank terhadap
pembobolan saldo rekening nasabah bank dengan cara pemalsuan
identitas, perspektif hukum pidana terkait pembobolan saldo
rekening nasabah bank dengan cara pemalsuan identitas.
2. Tesis “Perlindungan Hukum Nasabah Bank dalam cyber crime
Terhadap Internet Banking dikaitkan dengan Undang-undang Nomor
11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”, Tesis
oleh Khairil Aswan Harahap Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara 2009. Tesis ini membahas tentang bagaimana
pengaturan internet banking di Indonesia, bagaimana bentuk cyber
crime di bidang perbankan, bagaimana perlindungan hukum
nasabah bank dalam cyber crime terhadap internet banking dikaitkan
dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, sedangkan penulis membahas tentang
tanggung jawab bank terhadap pembobolan saldo rekening nasabah
bank dengan cara pemalsuan identitas, perspektif