Ilmu negara 2
a berarti akan memperoleh keadilan hukum dan
kesejahteraan. Personalitas negara tidak dikenal dalam
pemikirannya, tetapi hal ini tidak banyak dibahas di dalam
karya-karyanya. Ia menegaskan bahwa kesadaran manusia
adalah sumber hukum yang tertinggi.
Thomas Hobbes (1588-1679)
Karena struktur masyarakat Inggris yang terjebak dalam perang
saudara, maka pada waktu itu Thomas Hobbes belum
menggunakan gagasan asal mula negara yang terbuka seperti
Gratius. Hobbes, karena pengalaman hidupnya sendiri, melihat
manusia itu merupakan serigala bagi manusia lain (homo
homini lupus) yang mengakibatkan perang permanen antara
semua lawan semua (bellum omnium comtra omnes) seperti
dikemukakan dalam buku yang berjudul Leviathan (1651).
Namun manusia tidak mungkin terus menerus hidup dalam
situasi seperti itu. Karena itu mereka harus mengadakan
perjanjian di mana mereka menyerahkan segala hak-hak
asasinya kepada negara. Sebagai akibatnya, negara berkuasa
secara mutlak dan dengan kedaulatan yang tidak terbagi, yang
diwujudkan dengan adanya monarki absolut.
Dengan konstruksi pemikiran itu, Hobbes menjadi teoritikus
monarki absolut dan pelopor ateisme di Inggris.16 Ajaran itu
menjadi sandaran bagi penguasa di Eropa lebih dari satu abad
lamanya.
D. Masa Aukflarung
Masa Aukflarung sering juga disebut sebagai Masa Pencerahan
atau Masa Rasionalisme. Seperti sudah dikemukakan di atas,
adanya Perjanjian Westphalia (1648) telah mengakhiri
peperangan antara golongan Katolik dan Protestan di Eropa.
Implikasi perjanjian itu menghasilkan konsep negara yang
sekuler dengan toleransi agama. Semenjak itu penguasa tidak
berwenang lagi menghalangi atau mengharuskan pengalihan
agama dari masing-masing rakyatnya. Di bidang politik,
wewenang monarki untuk menetapkan undang-undang harus
melalui persetujuan parlemen. Intinya, perjanjian itu
menghasilkan balance of power dalam hubungan internasional.
Para pemikir kenegaraan pada masa ini antara lain John
Locke, Montesqiue, dan Immanuel Kant.
John Locke (1632-1704)
Perang Saudara yang berkecamuk di Inggris membuat John
Locke harus hidup dalam pengungsian di Prancis dan Belanda
(1683-1689). Locke mengambil jarak dari ajaran hukum alam
dan Hobbes, serta mengambil sikap yang liberal. Dalam
pandangan Locke, keadaan alamiah (saat individu belum
memformasi negara) bukanlah keadaan kacau, melainkan
keadaan dalam suasana yang tertib.
Dalam buku Two Treaties of Government (1689) Locke
menguraikan cikal bakal konsepnya mengenai pemisahan
kekuasaan, terutama dalam bab XII yang membicarakan
“kekuasaan legislatif, eksekutif, dan federatif dari negara.”
Locke mengajarkan cikal bakal konsep balance of power
dengan memungkinkan rakyat ‘memecat’ raja yang melanggar
perjanjian masyarakat, melalui mana rakyat telah melimpahkan
kekuasaan kepada raja untuk menjalankan pemerintahan.
Rakyat dengan senang hati telah mengikatkan diri pada
perjanjian masyarakat justru untuk melindungi lives, liberty,
dan estates mereka.
Filosof Prancis ini antara lain menulis Lectures persanes
(Surat-Surat dari Prusia, 1721) dan kemudian yang terpenting
De I’esprit des lois (Semangat Undang-Undang, 1748). Dia
memberikan sumbangan utama kepada pemikiran politik dan
hukum melalui konsep formasi-formasi negara dalam kerangka
negara hukum. Montesqieu mengembangkan lebih jauh konsep
John Locke mengenai monarki konstitusional, di mana
kekuasaan yang satu membatasi kekuasaan yang lain.
Kekuasaan absolut dicegahnya melalui pemisahan kekuasaan
yang membagi negara ke dalam 3 poros kekuasaan yaitu
eksekutif, legislatif, dan yudisial.
Menurut konsep ini, kekuasaan eksekutif ada pada raja,
yang menjadwalkan kerja legislatif, dan mempunyai veto
terhadap keputusan legislatif, yang diatur menurut konsep
perwakilan. Kekuasaan yudisial adalah kekuasaan independen.
Ajaran Montesqiue berdampak langsung pada robohnya paham
absolutisme yang sampai zaman itu terutama diwujudkan pada
pemerintahan monarki.
Jean-Jacques Rousseau (1712-1778)
Karya terutama filosof Prancis ini adalah Du Contract Social:
Ou Principle du Droit Politique (Tentang Kontrak Sosial; atau
Prinsip Hak Politik, 1762). Timbulnya Rousseau bukanlah
karena kehendak Tuhan atau alam, akan tetapi karena
perjanjian masyarakat. Adapun perjanjian itu lahir karena ada
hakikat kebebasan yang melekat pada diri manusia.
Kemerdekaan hanya dapat tegak karena pengakuan persamaan.
Kehendak bersama itu merupakan abstraksi dari keseluruhan
kehendak masing-masing warga negara. Atas dasar itulah,
keadaan yang absolut tidak terbagi dan tidak dapat dialihkan
berada di tangan rakyat.
64 | Asal Mula Negara
Immanuel Kant (1724-1804)
Filosof Jerman ini baru pada usia 46 tahun menghasilkan
karya-karya yang penting. Immanuel Kant menyebut dasar
ajarannya adalah filsafat transendental. Sehubungan dengan
negara, Immanuel Kant menekankan pentingnya Rechsstaat
atau Negara Hukum yang meletakkan tugas penting negara
untuk menjamin keamanan setiap warga negaranya. Kant
menolak konsep Negara Polisi (Polizeistat) yang kemudian
membayangkan timbulnya negara menurut aturan-aturan
konstitusional.
Ciri-ciri Negara Hukum ini menurut Kant, meliputi hal
sebagai berikut. Pertama, negara terutama sekali untuk
menjamin hak asasi manusia. Kedua, negara harus mengakui
hak-hak individu. Ketiga, jaminan kesejahteraan rakyat dapat
dicapai apabila negara melaksanakan kewajibannya sebatas apa
yang sudah diatur dalam hukum. Keempat, negara tidak
berdasarkan agama, melainkan kebebasan individu. Kelima,
rakyat harus dilibatkan dalam urusan-urusan publik.
E. Masa Teori Kekuatan
Teori kekuatan berbasis kepada pendapat bahwa kekuasaan
muncul karena adanya keunggulan kekuatan seseorang yang
lain. Jika mereka berada di alam bebas, maka mereka akan
hidup sendiri-sendiri, dan ketika bertemu yang lebih kuat akan
menakhlukkan yang lemah. Jadi, kekunggulan fisik dapat
digunakan untuk menguasai orang lain, guna kepentingan si
kuat tadi, ataupun untuk kepentingan bersama di bawah
perintah si kuat tadi.
Dalam ketatanegaraan modern, orang kuat dapat diartikan
sebagai orang-orang yang memegang kekuasaan peemrintahan.
Jika yang dimaksud kuat dalam alam bebas adalah kekuatan
fisik, maka pada zaman modern kekuatan tidak semata-mata
pada fisik, tetapi juga menyangkut politik, ekonomi dan
militer.18
Beberapa pemikir yang pendapatnya mencerminkan teori
kekuatan antara lain adalah Oppenheimer, Otto van Gierke,
Karl Marx, Harold J. Laski, dan Leon Duguit.
Oppenheimer
Dalam buku yang berjudul Die Sache Oppenheimer
mengatakan bahwa negara merupakan alat dari golongan yang
kuat untuk menertibkan masyarakat. Golongan kuat tadi
mengenakan peraturan ini kepada golongan yang lemah dengan
maksud untuk menyusun dan membela kekerasan yang
dilakukan golongan kuat tadi terhadap orang baik di dalam
maupun di luar sistem, terutama sistem ekonomi. Sedangkan
tujuan akhir dari semuanya ini adalah penghisapan ekonomi
golongan lemah oleh golongan yang kuat.19
Otto van Gierke (1841-1921)
Aliran pemikiran Gierke merujuk kepada mazhab historis yang
didirikan oleh Von Savigny. Menurut Savigny, hukum
merupakan struktur organik yang pertumbuhannya
menggambarkan perkembangan negara. Namun berlainan
dengan Savigny yang mempertahankan hukum Romawi
sebagai elemen pembangunan hukum di Jerman, Gierke justru
menolak, karena menurutnya yang terbaik struktur hukum itu
dibanding atas “hukum asli” Jerman yang telah ada di masa
lampau. Gierke menganggap negara merupakan struktur
organik yang lahir dari perjanjian sosial yang mencerminkan
perilaku orang-orang yang ada di dalamnya.
Karl Marx
Menurut Karl Marx, negara adalah penjelmaan dari
pertentangan-pertentangan kekuatan ekonomi. Negara
dipergunakan sebagai alat dari mereka yang kuat untuk
menindas golongan-golongan yang lemah ekonominya. Yang
dimaksud dengan orang yang kuat adalah mereka yang
memiliki alat-alat produksi. Negara, menurut Marx, akan
lenyap dengan sendirinya kalau dalam masyarakat itu tidak
terdapat lagi perbedaan-perbedaan kelas dan pertentangan-
pertentangan ekonomi.20
Harold J. Laski
Dalam buku yang berjudul The Satet in the Theory and
Practice, Laski berpendapat bahwa negara merupakan suatu
alat pemaksa (Dwang Organizatie) untuk melaksanakan dan
melangsungkan suatu jenis sistem produksi yang stabil.
Pelaksanaan sistem produksi ini semata-mata akan
menguntungkan golongan kuat yang berkuasa. Artinya, andai
kata penguasa itu berasal dari aliran kapitalis, maka organisasi
negara itu tadi selalu akan dipergunakan oleh penguasa untuk
melangsungkan sistem ekonomi kapitalis.21
Leon Duguit (1859-1928)
Dalam buku yang berjudul Traite de Droit Constitutional,
pemikir Prancis ini tidak mengakui adanya hak subjektif atas
kekuasaan, dan juga menolak ajaran perjanjian masyarakat
tentang terjadinya negara dan kekuasaan. Menurutnya yang
terjadi adalah orang-orang yang paling kuat memperoleh power
untuk memerintah karena beberapa negara lain telah menurun
kekuatannya atau dapat dikatakan telah hilang dan cenderung
membicarakan negara sebagai organisasi kemasyarakatan yang
diatur oleh hukum-hukum positif.22
F. Masa Positivisme
Positivisme adalah aliran pemikiran yang bekerja berdasarkan
empirisme, dalam upaya untuk merespon keterbatasan yang
diperlihatkan oleh filsfat spekulatif seperti yang diperlihatkan
oleh Immanuel Kant. Sebagai aliran filsafat, positivisme adalah
suatu aliran yang mula-mula diperkenalkan oleh Saint-Simon
(1760-1825) dari Prancis dan kemudian dikembangkan oleh
Auguste Comte (1798-1857). Beberapa pemikir yang
dikategorikan dalam aliran ini adalah Rudolf von Jhering
(1818-1892), Eugen Erlich (1862-1922), dan Hans Kelsen
(1881-1973).
Rudolf von Jhering
Mula-mula von Jhering menempatkan diri dalam aliran sejarah
yang dipelopori oleh von Savigny di Jerman. Tetapi dalam
buku yang berjudul Der Zweck im Recht dia menegaskan
pandangan positivistik, bahwa negara adalah satu-satunya
sumber hukum. Konsekuensi logis dari pernyataan ini adalah di
luar negara tidak ada hukum dan penerimaan pandangan ini
bisa menjurus ke arah absolutisme.
Eugen Erlich
Bagi Erlich, program pokok dari tatanan hukum adalah
mengembalikan hukum kepada kenyataan eksistensia
(Seinstatsachen). Setiap perilaku yang dilakukan berulang-
ulang, akan dianggap sebagai hukum, sedangkan apa yang
dianggap sebagai norma akan menjadi norma. Menurut
Budiono Kusumohamidjojo, pemikiran seperti itu ada
bahayanya.
Karena masyarakat dapat kalah melawan oligarki yang
korup tetapi solid, orang dapat menjadi semakin apatis
terhadap korupsi dan kolusi sedemikian rupa, sehingga korupsi
dan kolusi dianggap sebagai perilaku yang normal. Apakah
korupsi dan kolusi lalu pantas dijadikan norma juga?
Hans Kelsen
Menurut Kelsen, negara merupakan suatu tertib hukum yang
muncul karena diciptakannya peraturan-peraturan hukum yang
menentukan bagaimana orang di dalam masyarakat atau negara
itu harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Peraturan-
peraturan hukum itu berlaku mengikat, artinya bahwa setiap
orang harus menaatinya. Jadi, negara adalah suatu tertib hukum
yang memaksa.
G. Teori Modern
Gugus pendapat dalam teori modern mengatakan bahwa negara
adalah suatu kenyataan. Negara terikat, waktu, keadaan, dan
tempat. Oleh sebab itu, teori modern lebih condong kepada
hukum tata negara karena membicarakan negara sebagai
kenyataan yang ada.
Menurut Soehino, pemikiran teori modern ini nampak antara
lain dari pendapat Kranenburg dan Logeman.24
Kranenburg
Menurut Kranenburg, negara adalah suatu organisasi
kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang
disebut bangsa. Jadi, terdapat kelompok manusia, lalu
mempunyai kesadaran bersama, dan kemudian mendirikan
organisasi. Organisasi itu bertujuan untuk memelihara
kepentingan kelompok tersebut.
Logeman
Menurut Logeman, negara adalah organisasi kekuasaan yang
menyatukan kelompok manusia yang disebut sebagai bangsa.
Oleh sebab itu, pertama-tama negara merupakan organisasi
kekuasaan, kemudian organisasi itu mempunyai kewibawaan.
Dalam pandangan ini, negara merupakan hal yang utama,
sedangkan manusia atau bangsa sebagai pendukungnya,
merupakan masalah berikutnya.
BENTUK NEGARA
A.
Peninjauan mengenai masalah bentuk negara merupakan
pembahasan mengenai dalam formasi apa organisasi negara itu
menjelma ke dalam masyarakat. Berdasarkan teori kenegaraan
pembahasan masalah ini merupakan batas antara peninjauan
secara sosiologis dan yuridis. Dari segi sosiologis, yang
melihat bangunan negara sebagai satu kebulatan (Ganzeit)
maka pembahasannya adalah mengenai bentuk negara. Akan
tetapi dari segi yuridis yang melihat bangunan negara dalam
struktur atau isi, maka pembahasannya mengenai sistem
pemerintahan.
Kondisi ini mengakibatkan tidak adanya kesepakatan antara
para sarjana dalam memberi pengertian bentuk negara dan
72 | Bentuk Negara
bentuk pemerintahan. Misalnya, beberapa sarjana menyatakan
bahwa bentuk negara adalah kerajaan dan republik, sedangkan
pendapat lain mengatakan bahwa bentuk negara adalah negara
kesatuan atau negara federal. Bahkan, ada yang memberi arti
sama antara bentuk negara dengan bentuk pemerintahan.
Menurut Miriam Budiardjo1, pemisahan itu dilaksanakan
secara horisontal dan vertikal. Pemisahan kekuasaan secara
horisontal kekuasaan dibagi menurut fungsinya yaitu legislatif,
eksekutif, dan yudisial. Sementara itu, pemisahan kekuasaan
secara vertikal tercermin dalam pembagian kekuasaan
berdasarkan tingkat atau hubungan antar-tingkatan
pemerintahan. Dalam konteks pemisahan kekuasaan secara
vertikal itulah maka perbincangan mengenai bentuk negara
menemukan relevansinya.
Dalam tulisan pada bab ini, bentuk negara diartikan sebagai
susunan negara, yang menyangkut pengorganisasian kekuasaan
negara secara vertikal. Dengan demikian, fokus utama dalam
masalah ini adalah bagaimanakah kekuasaan itu dijalankan di
dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi bentuk negara
di sini dibahas menurut susunan kekuasaan. Sedangkan
masalah bentuk pemerintahan, penulis dalam pembahasan bab
lain akan menggunakan istilah sistem pemerintahan. Oleh
sebab itu kajian mengenai bentuk negara dibatasi ke pada 2
bentuk negara yang lazim dikenal dalam literatur yaitu negara
kesatuan (unitary state) dan negara serikat (federal state).
B. Negara Kesatuan
Para ahli umumnya membagi negara kesatuan ke dalam 4
macam model. Pertama, vertical management model. Dalam
model ini, pemerintah pusat mendirikan badan-badan
pemerintahan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di
tingkat lokal. Model ini dianut di Inggris dan Jepang. Kedua,
central representative model. Pada model ini dicirikan adanya
dua badan pemerintahan yaitu badan/organ yang didirikan oleh
pemerintah lokal untuk melayani kepentingannya dan
badan/organ yang didirikan oleh pemerintah pusat di tingkat
lokal. Kedua badan itu bersifat pararel dalam menjalankan
urusan pemerintahan. Model ini dijalankan di negara Swedia,
Spanyol, dan Denmark. Ketiga, unification model. Pemerintah
pusat menempatkan pejabat pilihannya guna menduduki badan
administratif yang didirikan oleh pemerintah lokal. Hal ini
dilaksanakan di Belanda. Keempat, mixed model. Model ini
dianut di Prancis. Dalam model ini, ada tiga kategori organ
yang melaksanakan wewenang, yaitu: (i) badan yang didirikan
oleh pemerintah lokal; (ii) perwakilan pemerintah pusat, baik
dalam distrik maupun pemerintahan provinsi; dan (iii)
perwakilan organ pemerintah pusat di daerah.2
Paling tidak ada lima ciri negara kesatuan. Pertama, hanya
ada satu konstitusi yang berlaku di seluruh negara yang
bersangkutan. Kedua, ada satu pemerintahan di tingkat pusat
yang berdaulat. Ketiga, seluruh penduduk hanya mempunyai
satu kewarga negaraan. Keempat, terdapat satuan pemerintahan
lokal yang merupakan subdivisi pemerintah pusat, dengan
wewenang kepala daerah yang bersifat absolut. Kelima, hanya
pemerintah pusat yang berwenang menjalankan hubungan luar
negeri.3
Dalam konteks negara kesatuan, hubungan pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah (sebagai bagian atau satuan teritorial
negara yang “lebih kecil”) di bidang otonomi bersifat
administrasi negara. Jadi, kekuasaan asli (original power)
melekat kepada negara, yang dalam hal ini diwakili oleh
pemerintah pusat. Oleh sebab itu, pemahaman desentralisasi
dalam konteks negara kesatuan harus dipahami sebagai
penyerahan kekuasaan oleh negara, dalam hal ini pemerintah
pusat, untuk menjadi urusan rumah tangga daerah suatu urusan
pemerintahan kepada daerah. Dalam negara kesatuan,
pemerintah pusatlah yang membentuk cara-cara penentuan
urusan rumah tangga satuan otonomi, yang akan menentukan
juga sifat (luas atau terbatas) atas suatu otonomi. Memang,
dalam konteks negara kesatuan, persoalan hubungan dengan
satuan otonomi “yang lebih rendah” tidak saja mencakup
praktik penentuan urusan otonomi, tetapi juga menyangkut
perosalan hubungan keuangan, hubungan pengawasan, dan
cara menyusun serta menyelenggarakan organisasi
pemerintahan di daerah.
Negara kesatuan sering dibedakan ke dalam dua bentuk,
yaitu negara kesatuan dengan sistem sentralisasi dan negara
kesatuan dengan sistem desentralisasi. Ciri khas sistem
sentralisasi adalah pemerintah pusat senantiasa mendominasi
pelaksanaan urusan pemerintahan dengan mengesampingkan
peran dan hak pemerintah daerah untuk ikut terlibat langsung
dan mandiri dalam rangka mengelola serta memperjuangkan
kepentingan daerahnya. Sementara itu, dalam sistem
desentralisasi, kepada daerah-daerah diberikan kekuasaan
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, yang
disebut dengan daerah otonom.4
Salah satu kecenderungan untuk mengelola pemerintahan di
negara kesatuan adalah fenomena desentralisasi. Dalam hal ini,
Desentralisasi sering dianggap sebagai bentuk konkrit dari
mekanisme pemisahan kekuasaan negara. Sebagai suatu
konsep, terutama di lingkungan negara berkembang,
desentralisasi telah diperdebatkan sejak lama dan ditilik dari
segi pertumbuhan pemahamannya, telah berkembang melalui
tiga gelombang. Ketiga gelombang pertumbuhan desentralisasi
itu digambarkan oleh Syarief Hidayat sebagai berikut.5
Gelombang pertama, terjadi pada tahun 1950-an, di mana
desentralisasi telah mendapatkan perhatian khusus dan telah
diartikulasi sebagai konsep yang paling relevan untuk
memperkuat dan memberdayakan pemerintahan daerah.
Sementara itu, gelombang kedua desentralisasi, terutama di
negara berkembang, terjadi pada dasawarsa 1970-an,
penerimaan konsep desentralisasi lebih bervariatif, dan
pemahamannya lebih ditujukan sebagai alat untuk pencapaian
tujuan pembangunan nasional. Sedangkan gelombang
desentralisasi yang ketiga, ditandai dengan perluasan kajian, di
mana desentralisasi tidak lagi menjadi monopoli fokus ilmu
politik dan administrasi negara saja, tetapi telah menarik
perhatian disiplin yang lain. Dapat disebut di sini misalnya,
ekonomi, hukum, sosiologi, dan antropologi.
Menurut Mawhood, desentralisasi merupakan devolution of
power from central to local government.6 Dalam perspektif
yang lebih luas, Rondinelli dan Cheema merumuskan
desentralisasi sebagai the transfer of planing, decision making,
or administrative authority from central goverment to its field
organisations, local administrative units, semi autonomous and
parastatal organisations, local government, or non-
government organisations.7 Dalam uraian selanjutnya,
Rondinelli dan Cheema merumuskan adanya empat bentuk
desentralisasi.8
Pertama, deconcentration, yaitu distribusi wewenang
administrasi dalam pemerintahan. Kedua, delegation to semi
autonomous or parastatal organisations, yaitu pendelegasian
otoritas manajemen dan pengambilan keputusan atas fungsi-
fungsi tertentu yang sangat spesifik, kepada organisasi-
organisasi yang secara langsung tidak di bawah kontrol
pemerintah. Ketiga, devolution, yaitu penyerahan fungsi dan
otoritas (the transfer of function and authorities) dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan bentuk
keempat, adalah swastanisasi, yaitu penyerahan beberapa
otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab administrasi
tertentu kepada organisasi swasta.
Saya berpendapat bahwa makna desentralisasi beserta
bentuk-bentuknya sebagaimana dikemukakan oleh Rondinelli
dan Cheema di atas cukup komprehensif dan luas. Sifat
komprehensif dan luas nampak dari konseptualisasi
desentralisasi yang disorot dalam aspek teknik, spasial, dan
administratif, sebagai elemen utama. Selanjutnya, makna
desentralisasi juga mencakup pendelegasian wewenang tidak
hanya mengenai teknis pemerintahan tetapi juga mencakup
organisasi semi pemerintah, bahkan di dalam sektor swasta.
Namun demikian saya menganggap cakupan desentralisasi
seperti dikemukakan oleh Rondinelli dan Cheema di atas tidak
menggambarkan secara penuh persoalan hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah. Saya setuju dengan Slater, ketika
mengatakan bahwa aspek penting yang dilupakan oleh definisi
kedua pakar tersebut adalah mengabaikan the transfer of power
from central to peripheral state.9 Lugasnya, definisi itu
mengabaikan the territorial dimension of state power, seperti
dipaparkan oleh Conyers.
Di samping itu, mengutip pendapat Henry Maddick, antara
desentralisasi dengan dekonsentrasi dapat dibedakan.
Desentralisasi dipandang sebagai “pengalihan kekuasaan
secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik
maupun risudal yang menjadi kewenangan pemerintah
daerah”, sedangkan dekonsentrasi merupakan the delegation of
authority adequate for the discharge of specified functions to
staff of a central department who are situated outside the
headquaters.
Mengenai perbedaan desentralisasi dan dekonsentrasi ini,
dengan mengutip pendapat Parson, Syarif Hidayat dan
Bhenyamin Hoessen11 menyatakan bahwa dari aspek politik
desentralisasi merupakan sharing of the govermental power by
a central rulling group with other groups each having
authority within a specefic area of the state. Sementara
dekonsentrasi merupakan the sharing of power between
members of the same rulling group having authority
respectively in different areas of the state.
C. Negara Federal
Kata “federal” berasal dari bahasa Latin foedus, yang berarti
perjanjian. Kata ini menggambarkan ikatan perjanjian di antara
negara-negara bagian untuk melakukan kerja sama, khususnya
dalam rangka pertahanan. Perjanjian itu harus saling
menguntungkan, yang dapat diarahkan untuk mencapai tujuan-
tujuan tertentu, akan tetapi masing-masing pihak harus menaati
perjanjian tersebut. Menurut William Riker, ikatan federasi
pada mulanya digunakan untuk mencapai tujuan militer, yang
kemudian berkembang menjadi kebutuhan untuk mencukupi
logistik, seperti pasar bebas dan penggunaan mata uang
tunggal.12 Perjanjian itu yang kemudian dikenal sebagai
konstitusi federal. Menurut Miriam Budiardjo, untuk
membentuk negara federal, harus dipenuhi dua syarat.
Pertama, adanya perasaan sebangsa di antara kesatuan-
kesatuan politik yang hendak membentuk federasi dan, kedua,
adanya keinginan untuk membentuk ikatan yang terbatas. Jika
ikatan itu dilakukan secara penuh, maka bukan negara federal,
tetapi negara kesatuan.13
Dalam negara federal, sering dijumpai ciri-ciri sebagai
berikut. Pertama, satu wilayah negara terbagi atas negara-
negara bagian. Kedua, ada kedaulatan ganda, di mana masing-
masing antara pemerintahan federal dan pemerintahan negara
bagian mempunyai otonomi untuk melaksanakan urusan
pemerintahan. Ketiga, hubungan antara pemerintah federal
dengan pemerintahan daerah bersifat koordinatif atau
kooperatif.14 Dalam hal hubungan tersebut bersifat koordinatif,
maka ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut. Pertama,
masing-masing pihak mempunyai kewenangan yang bersifat
eksklusif. Kedua, masing-masing pihak mempunyai susunan
pemerintahan. Ketiga, masing-masing pihak mempunyai
kewenangan untuk menetapkan perpajakan. Keempat,
kebutuhan untuk kerja sama di antara masing-masing pihak
amat minimal.
Sementara itu, hubungan antara pemerintah federal dengan
negara bagian berlangsung dalam bentuk kooperatif apabila
ditemua lima ciri khas. Pertama, masing-masing wewenang
pemerintahan dibagi di antara kedua pihak. Kedua, pemerintah
federal dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan diatur
melalui sebuah Undang-Undang, yang kemudian menjadi
pedoman bagi negara bagian untuk melaksanakannya. Ketiga,
ada pembagian mekanisme perpajakan. Keempat, negara
bagian mempunyai sistem perwakilan di lembaga perwakilan
federal. Kelima, ada kebutuhan kuat untuk melakukan kerja
sama.
Dalam pelaksanaan selama bertahun-tahun, hubungan antara
pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian
mempunyai kecenderungan untuk bergeser dari koordinatif
menjadi kooperatif. Hal ini disebabkan oleh minimal tiga hal.
Pertama, tantangan pemerintahan modern yang semakin
kompleks, sehingga urusan pemerintahan tidak dilaksanakan
secara kaku menurut list wewenang dalam konstitusi. Kedua,
adanya hubungan keuangan yang mengarah kepada pencapaian
perimbangan di antara tingkat pemerintahan. Ketiga, kebijakan
diadakan sehubungan dengan adanya pencapaian kepentingan
tertentu di setiap tingkat pemerintahan.
Dalam buku teks mengenai federalisme, umum dijumpai
pembagian model negara federal dalam tiga model.15 Pertama,
model Amerika Serikat. Dalam model ini, kewenangan
pemerintah federal (yang disebut sebagai listed authority)
ditetapkan dalam ketentuan konstitusi, sedangkan selebihnya
yang dikenal sebagai kept power merupakan wewenang negara
bagian. Kedua, model Kanada. Dalam model ini, wewenang
pemerintahan provinsi ditentukan secara rinci dalam ketentuan
konstitusi, sedangkan sisanya merupakan wewenang
pemerintah federal. Ketiga, model India. Dalam model ini, baik
wewenang pemerintah federal maupun wewenang pemerintah
negara bagian diatur secara rinci di dalam konstitusi, diikuti
dengan klausula, bahwa dalam situasi tertentu, wewenang
pemerintah negara bagian dapat diambil alih oleh pemerintah
federal.
Di dalam praktik, komposisi negara federal cenderung
dilaksanakan dalam penduduk yang bersifat multietnik,
sehingga hubungan di antara tingkat pemerintahan berlangsung
koordinatif. Setiap negara bagian mempunyai susunan
pemerintahan sendiri-sendiri. Praktik semacam ini dikenal
sebagai asymetric federalism. Sudah tentu tantangan yang
muncul adalah instabilitas pemerintahan yang dapat terjadi
sewaktu-waktu. Salah satu variasi dari asymetrci federalism
adalah seperti praktik di Belgia, di mana federasi ditentukan
oleh dua hal yaitu konflik dan penggunaan bahasa. Wilayah
Belgia yaitu Flanders, Wallonia, dan Brussels, ditetapkan
sebagai daerah khusus karena faktor ekonomi dengan
penggunaan bahasa masing-masing Belanda, Jerman, dan
Prancis. Ketentuan ini diatur dalam konstitusi federal (1993).
Variasi lain adalah praktik etnofederalism, yaitu pemerintah
negara bagian masing-masing merupakan tempat konsentrasi
etnis tertentu. Pola semacam ini lahir karena ada dominasi
mayoritas dan perlawanan minoritas. Hal ini dipraktikkan di
India, Afrika Selatan, Spanyol, dan Kanada; seperti juga
praktik di bekas Yugoslavia, Cekoslvakia, dan Uni Soviet.
TUJUAN NEGARA
A.
Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik dan bahkan
menjadi pokok dari kekuasaan politik. Negara merupakan alat
dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur
hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan
menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Oleh
sebab itu, negara mempunyai karakter untuk dapat
memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua
golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan
tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Untuk mencapai hal
itu, maka negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai
di mana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama
itu. Dengan demikian, negara dapat mengintegrasikan dan
84 | Tujuan Negara
membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari warganya untuk
mencapai tujuan bersama.
Tujuan bersama tersebut menjadi dasar dari segenap
aparatur negara dalam menjalankan tugas. Tujuan negara
menjadi kompos penunjuk jalan bagi pemerintah negara
tersebut dan juga menjadi barometer bagi pengukur sejauh
mana pemerintah berhasil menjalankan pekerjaannya.
Berikut ini akan dilihat formulasi tujuan negara yang telah
lama dikemukakan oleh para ahli maupun dalam kenyataan
praktik, yang mana di abad modern ini sekali pun, tiap-tiap
negara mempunyai tujuan yang tidak sama dengan negara yang
lain. Adapun formulasi tujuan negara itu meliputi pendapat
sebagai berikut:
1. Teori Lord Shang
2. Teori Nicollo Machiavelli
3. Teori Dante Alleghiere
4. Teori John Locke
5. Teori Immanuel Kant
6. Pandangan Paham Sosialis
7. Pandangan Paham Liberalis-Kapitalis; dan
8. Pandangan Sosial Demokrat.
B. Teori Lord Shang
Lord Shang merupakan pemikir Tiongkok yang hidup sekita
abad ke-3. Pendapat mengenai tujuan negara dapat dilihat
dalam buku A Classic of Chinese School of Law. Semasa
hidupnya keadaan di Tiongkok adalah sangat kacau dan penuh
dengan kerusuhan, pemerintahannya lemah, di mana tingkat
pemerintahan yang rendah tidak lagi tunduk kepada
pemerintahan yang lebih tinggi.
Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum. | 85
Menurut Shang, tujuan negara adalah membuat
pemerintahan negara menjadi berkuasa penuh terhadap rakyat.
Supaya negara dapat berkuasa penuh, maka rakyat harus dalam
kondisi lemah dan miskin; sebaliknya jika rakyat dijadikan
kuat dan kaya maka negara menjadi lemah.1
C. Teori Nicollo Machiavelli
Menurut Nicollo Machiavelli, tujuan negara adalah untuk
mengusahakan terselenggaranya ketertiban, keamanan, dan
ketenteraman. Oleh karena itu, kedudukan pemerintah harus
ditempatkan di atas segala aliran-aliran yang ada. Bagaimana
pun lemahnya, pemerintahan harus diperlihatkan sebagai yang
lebih berkuasa, sehingga dengan demikian banyak harapan
demi tercapainya kemakmuran.2
Sebagai penganut paham realistis, Machiavelli menyatakan
bahwa negara itu ada untuk kepentingannya sendiri dan harus
mengejar tujuan dan kepentinganya dengan cara yang dianggap
paling tepat, bahkan dengan cara yang licik sekali pun. Untuk
mencapai tujuan negara, pemerintah terkadang harus bersikap
seperti singa terhadap rakyatnya agar rakyat takut dan tunduk
kepada pemerintah.3
D. Teori Dante Alghieri
Dante Alghieri (1266-1321) merupakan filosof dan penyair
asal Italia. Salah satu pendapat yang dinilai cukup berani guna
menentramkan situasi di Italia pada waktu itu adalah usul agar
Paus hanya berkonsentrasi mengenai masalah-masalah
kerohanian saja dan tidak campur tangan dalam masalah
politik. Sebaliknya, negara harus turut mengatur hal-hal yang
bersifat keagamaan. Upaya ini perlu ditempuh guna
menghindari kompetisi antara negara dengan gereja yang
menyebabkan keadaan merosot dan tidak stabil.
Dalam pandangan Dante, tujuan negara adalah untuk
menciptakan perdamaian dunia. Karena itu, undang-undang
yang seragam bagi umat manusia perlu diciptakan untuk dapat
mencapai tujuan tersebut.
E. Teori John Locke
Menurut John Locke, negara didirikan untuk memenuhi dan
melindungi hak-hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup, hak
kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi. Jika hak-hak asasi itu
dilanggar maka akan timbul kekacuan. Dengan pernyataan ini,
Locke menolak pikiran yang berkembang sebelumnya bahwa
rakyat telah menyerahkan seluruh kedaulatannya kepada
negara. Menurut Locke tidak seluruh hak asasi itu diserahkan,
hak-hak yang bersifat alamiah seperti hak untuk hidup, hak
kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi tidak diserahkan.
Bagi Locke, negara yang merampas seluruh hak asasi itu
adalah negara yang tidak sesuai dengan fungsinya yaitu
melindungi manusia yang menjadi warga negaranya. Karena
tidak sesuai dengan tujuan didirikannya negara, negara ini
menjadi tidak sah. Dia kehilangan keabsahannya.4
F. Teori Immanuel Kant
Menurut Immanuel Kant, negara mempunyai tujuan untuk
menegakkan hak dan kebebasan warganya yang telah diatur
dalam hukum. Pemerintah bersama-sama rakyat merupakan
subjek hukum, dan sebagai subyek hukum, keduanya harus
tunduk dan patuh kepada hukum. Kehidupan rakyat dalam
suatu negara bukan atas kemurahan hati pemerintah tetapi
karena kemampuan diri sendiri untuk hidup.
Menurut Kant, manusia dilahirkan sederajat dan sama.
Perbedaan hanya ditimbulkan oleh harta dan pangkat manusia.
Segala kemauan dan kehendak dalam masyarakat harus melalui
dan berdasarkan undang-undang. Peraturan-peraturan hukum
sebagai kehendak negara juga harus dirumuskan karena dia
menjadi dasar pelaksanaan negara.
G. Pandangan Paham Sosialis
Dengan memandang manusia sebagai makhluk yang setara,
maka tujuan negara menurut paham sosialis adalah
memberikan kebahagiaan hidup yang merata dan sama kepada
setiap warganya. Kebahagiaan yang merata perlu
dipertahankan dengan pemberian pekerjaan, sehingga manusia
dapat hidup layak. Negara juga perlu memberi jaminan bahwa
hak-hak asas tidak dilanggar tanpa memandang kelasnya.
Mengenai pemerintahan, paham ini berpendapat bahwa
penguasa berasal dari keseluruhan masyarakat tanpa ada
perbedaan kelompok dalam pemerintahan. Sistem
pemerintahan negara tidak mengenal partai. Negara bertujuan
untuk mengatur kehidupan masyarakat secara komunal.
H. Pandangan Paham Liberalis Kapitalis
Paham liberal kapitalis pada dasarnya memandang manusia
sebagai makhluk hidup yang individualis. Pengertian manusia
sebagai makhluk individu sangat ditonjolkan dan karena itu dia
sangat berbeda dengan paham sosialis.
88 | Tujuan Negara
Tujuan negara menurut paham ini adalah memberikan
kebebasan penuh bagi setiap warga negara untuk memperoleh
kebahagiaan hidup masing-masing. Negara bertugas untuk
menjaga agar pelanggaran hak pribadi tidak terjadi. Dalam
bidang perekonomian, juga berlaku kebebasan bersaing atau
free fight liberalism. Dalam bidang ekonomi, negara tidak
banyak turut campur karena diserahkan kepada mekanisme
pasar.
I. Pandangan Sosial Demokrat
Sebagai suatu ideologi, pandangan sosial demokrat merupakan
reaksi terhadap sistem kapitalis, yang mulai berkembang pada
awal abad ke-20. Tujuan sistem sosial demokrat adalah untuk
mensejahterakan rakyat melalui peran aktif negara dalam
memberikan jaminan kesejahteraan. Adapun kesejahteraan itu
diwujudkan dalam lima pilar, yaitu demokrasi, rule of law,
perlindungan hak asasi manusia, keadilan sosial, dan anti
diskriminasi.
TEORI KEDAULATAN
A.
Pembahasan mengenai kekuasaan negara akan menyentuh hal
yang disebut sebagai “kedaulatan.” Jika kekuasaan
dikonstruksikan dalam kerangka yuridis, maka kekuasaan itu
disebut kedaulatan.1 Jadi, kedaulatan adalah kekuasaan dalam
perspektif yuridis.
Istilah kedaulatan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris
dan Jerman, soverignty atau souvereinteit yang secara ekstrim
menunjuk kepada pengertian “kekuasaan yang tertinggi.”
Orang yang pertama kali mengemukakan konsep kedaulatan
adalah Jean Bodin. Pemikir Prancis ini mengatakan bahwa
kedaulatan adalah “wewenang tertinggi yang tidak dapat
dibatasi oleh hukum.” Wewenang tersebut ada pada penguasa
yang menguasai seluruh warga negara dan orang-orang lain
dalam ruang lingkup wilayahnya. Pemikiran Bodin itu
kemudian berkembang seiring dengan perkembangan sejarah
politik yang bergeser dari kuatnya sistem monarki (kerajaan)
menjadi sistem demokrasi (kedaulatan rakyat) yang masih
disanjung tinggi hingga penghujung milinium ketiga saat ini.
Dalam buku teks kenegaraan, dijumpai minimal 6 teori
kedaulatan, yaitu:
1. Teori kedaulatan Tuhan;
2. Teori kedaulatan Raja;
3. Teori Kedaulatan Rakyat;
4. Teori Kedaulatan Negara; dan
5. Teori Kedaulatan Hukum.
B. Teori Kedaulatan Tuhan
Dalam teori ini kekuasaan tertinggi ada di Tangan Tuhan. Oleh
karena itu, seluruh perintah negara haruslah merupakan
implementasi dari kedaulatan Tuhan.2 Seluruh gerak dari
pemerintahan dan rakyat harus sesuai dengan kehendak-
kehendak Tuhan tersebut.
Dalam lintasan sejarah disebutkan banyak penguasa zaman
kuno yang mengaku dirinya sebagai Tuhan. Ada yang
menyembahnya secara sadar dan sukarela, namun lebih banyak
yang menyembah karena terpaksa atau dipaksa oleh aparat
penguasa. Adapula yang mengaku sebagai wakil atau titisan
Tuhan. Agar kekuasaanya mempunyai legitimasi, banyak juga
penguasa yang merasa representasi sah dari Tuhan semesta
alam. Kedua tipe dari teori kedaulatan Tuhan itu menghasilkan
pemerintahan yang absolut. Oleh sebab itu kemudian teori ini
mulai ditinggalkan.
C. Teori Kedaulatan Raja
Raja biasanya bersandar pada kemampuan untuk menyakinkan
rakyat bahwa ia dan keturunannya yang berhak diangkat dalam
kedaulatan atau kekuasaan yang tertinggi. Tuhan lah yang
memberikan hak untuk memerintah secara mutlak kepada para
raja. Oleh karena itu, kekuasaan politik yang dimiliki para raja
tidak dapat dicabut oleh rakya jelata.3
Kekuasaan yang mutlak pada raja dan banyaknya
penyelewengan kekuasaan ini ke dalam tirani menyebabkan
rakyat tidak lagi percaya kekuasaan tertinggi harus di tangan
raja. Mereka mulai memberontak terhadap raja dan mulai
menyadari kekuatannya “sendiri” sebagai rakyat yang
beridentitas dan berhak.
D. Teori Kedaulatan Rakyat
Timbulnya teori kedaulatan rakyat merupakan reaksi atas teori
kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan monopoli dan
penyimpangan kekuasaan yang akhirnya menyebabkan tirani
dan kesengsaraan rakyat. Ada indikasi kuat bahwa paham
kedaulatan rakyat itu telah membawa secara inheren kepada
semangat sekulerisme dan antroposentrisme. Hal ini
disebabkan oleh paradigma baru yang dibawa oleh kedaulatan
rakyat adalah suatu pembangkangan terhadap legitimasi
kekuasaan Tuhan yang diatasnamakan oleh raja sebagai
pendasaran kekuasaannya.
Jean Jacques Rousseau menggemakan kedaulatan rakyat
lewat buku Du Contract Social. Dalam teori fiksi mengenai
“perjanjian masyarakat” ia mengatakan bahwa dalam suatu
negara, natural liberty telah berubah menjadi civil liberty di
mana rakyat memiliki hak-haknya. Kekuasaan rakyat sebagai
yang tertinggi dalam hal ini melampaui perwakilan yang
berdasarkan suara terbanyak dari suatu kehendak bersama
(general will, volonte generale). Kehendak bersama harus
berdasarkan kepentingan dari golongan yang terbanyak. Jadi,
apabila hanya kepentingan satu golongan minoritas yang
diutamakan, maka bukan menjadi apa yang disebut sebagai
kepentingan umum.
Teori kedaulatan rakyat, yang kemudian secara politik
menjadi gagasan dasar dalam sistem demokrasi, hendak
mengatakan bahwa rakyat sendiri yang berwenang untuk
menentukan bagaimana ia mau dipimpin dan oleh siapa.
Karena semua anggota masyarakat sama kedudukannya
sebagai manusia dan warga negara, dan berdasarkan keyakinan
bahwa tidak ada orang atau kelompok orang yang begitu saja
berhak untuk memerintah orang lain, wewenang untuk
memerintah masyarakat harus berdasarkan penugasan dan
persetujuan para warga masyarakat sendiri.
E. Teori Kedaulatan Negara
Teori kedaulatan negara merupakan reaksi terhadap teori
kedaulatan rakyat. Namun demikian, teori ini sebenarnya
melanggengkan dan melangsungkan teori kedaulatan raja
dalam suasana kedaulatan rakyat.
Dalam hal ini, perwujudan negara yang abstrak dikonkritkan
dalam diri raja. Ajaran ini dikenal sebagai Verkulpritstheorie,
yang artinya negara menjelma dalam tubuh raja. Di sini negara
berdaulat karena rakyat, selanjutnya kedaulatan itu dimiliki
oleh negara yang dimanifestasikan dalam diri raja, sehingga
pada hakikatnya ajaran ini sama dengan teori kedaulatan raja.
F. Teori Kedaulatan Hukum
Teori kedaulatan hukum merupakan penyangkalan terhadap
teori kedaulatan negara. Seperti dikemukakan oleh Krabbe,
bahwa kekuasaan tertinggi tidak pada raja dan negara, tetapi
berada pada hukum, yang bersumber kepada kesadaran hukum
setiap orang. Dalam teori kedaulatan negara, hukum
ditempatkan di bawah negara, sehingga negara tidak tunduk
kepada hukum. Oleh sebab itu, sehubungan dengan hak asasi
manusia, sudah semestinya negara tidak boleh melanggar
hukum. Kalau pun hendak mengadakan perubahan, maka harus
dengan persetujuan rakyat.
Perasaan kesadaran hukum ini terjelma ke dalam naluri
hukum (Rechts instink) di dalam negara melalui adanya
lembaga legislatif. Dengan demikian, lembaga legislatif, yang
populer disebut parlemen, hanyalah suatu lembaga atau alat
untuk menjelmakan kesadaran hukum dari rakyat.
KONSTITUSI
A. Pengertian Konstitusi
Lazim dipahami bahwa salah satu sendi hukum ketatanegaraan
yang paling utama adalah konstitusi. Boleh dikatakan dewasa
ini setiap negara di dunia memiliki konstitusi. Konstitusi
berasal dari Bahasa Latin, constitutio.1 Istilah ini berkaitan
dengan kata jus atau ius, yang berarti hukum atau prinsip.2 Saat
1 M. Solly Lubis menyebutkan kata konstitusi berasal dari kata dalam
bahasa Prancis constituer. Lihat M. Solly Lubis, 1978, Asas-asas Hukum
Tata Negara, Cetakan 2, Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 44. Sementara Sri
Soemantri menyebutkan bahwa asal usul istilah konstitusi adalah dari
bahasa Inggris constitution. Lihat dalam Sri Soemantri, 1982,
Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Jakarta, Rajawali, hlm. 44.
2 Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme di
Indonesia, Jakarta, Penerbit Konpress, hlm. 1.
96 | Konstitusi
ini, bahasa yang biasa dijadikan rujukan istilah konstitusi
adalah bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Italia, Spanyol,
Portugis, dan Belanda.
Menurut Jimly Asshiddiqie, untuk pengertian constitution
dalam bahasa Inggris, bahasa Belanda membedakan antara
constitutie dan grondwet, sedangkan bahasa Jerman
memebdakan antara verfassung dan gerundgesetz. Bahkan
dalam bahasa Jerman pengertian tentang konstitusi ini
dibedakan pula antara gerundrecht dengan gerundgesetz seperti
antara grondrecht dengan grondwet dalam bahasa Belanda.
Gerundrecht (Jerman) dan grondrecht (Belanda) secara
harfiah berarti hak dasar, tetapi sering juga diartikan sebagai
hak asasi manusia.3
Dalam bahasa Prancis, digunakan istilah Droit
Constitutionel untuk pengertian luas, sedangkan pengertian
sempit, yaitu konstitusi yang tertulis digunakan istilah Loi
Constitutionnel. Droit Constitutionnel identik dengan
pengertian konstitusi, sedangkan Loi Constitutionnel identik
dengan Undang-Undang Dasar dalam bahasa Indonesia, yaitu
dalam arti konstitusi tertulis.4
Dalam bahasa Italia, istilah yang dipakai untuk pengertian
konstitusi adalah Dirrito Constitutionale. Dalam bahasa Arab
dipakai pula beberapa istilah yang terkait dengan pengertian
konstitusi itu, yaitu Masturiyah, Dustuur, atau Qanun Asasi
Di Negeri Belanda, pada awalnya digunakan istilah
staatsregeling untuk menyebut konstitusi. Tetapi, atas prakarsa
Gijbert Karel van Hogendorp pada tahun 1813, istilah
grondwet digunakan untuk menggantikan istilah staatsregeling
yang juga memiliki pengertian undang-undang dasar atau
konstitusi.6 Menurut Jimly Asshiddiqie, di berbagai negara di
Eropa Kontinental, yang menganut tradisi civil law, istilah
konstitusi memang selalu dibedakan antara pengertian
konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis.
Konstitusi yang tertulis itulah yang biasa disebut dengan
istilah-istilah grondwet (Belanda), gerundgesetz (Jerman), Loi
Constituionnel (Prancis). Sementara itu, kata constitutie,
verfassung, gerundrecht, grondrecht, Droit Constitutionnel,
Dirrito Constitutionale, merupakan istilah-istilah yang dipakai
dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang
digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian dalam arti
sempit tersebut. Tulisan ini memaknai konstitusi sama dengan
Undang-Undang Dasar. Tetapi perlu diperingatkan bahwa
konstitusi hanya salah satu sumber hukum tata negara. Selain
konstitusi, ada berbagai kaidah-kaidah lain, baik dalam
formasi peraturan perundang-undangan, kebiasaan (konvensi),
dan yurisprudensi, yang menjadi sumber dan aturan-aturan
hukum tata negara.
Dalam penyusunan konstitusi tertulis, nilai-nilai dan norma
dasar yang hidup dalam masyarakat dan dalam praktik
penyelenggaraan negara turut mempengaruhi perumusan suatu
norma ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Karena itu,
suasana kebatinan (geistichenhentergrund) yang menjadi latar
belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis, perumusan
yuridis suatu ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami
dengan saksama, untuk dapat dimengerti sebaik-baiknya
ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar.
Konsep tentang negara itu dapat dikenali karena lazimnya
dituangkan dalam ketentuan pasal-pasal konstitusi, tentu
dengan catatan jika negara yang bersangkutan mempunyai
konstitusi sebagai dokumen tertulis. Hanya saja, perumusan
undang-undang dasar tidak selalu mengatur secara lengkap dan
rinci segala sesuatunya atau rumusannya masih mengandung
makna ganda atau ketidakpastian, sehingga sering dibutuhkan
pedoman lain untuk menanggulangi masalah yang timbul.
Selain dari penjelasan resmi yang tersedia, pedoman ini antara
lain didapat melalui berbagai cara penafsiran atas rumusan
yang terkandung dalam konstitusi tadi.
Pada sisi lain, seperti dikatakan oleh Kusnu Goesniadhie,
setiap kurun waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-
kondisi kehidupan yang memformasi dan mempengaruhi
kerangka pemikiran (frame of reference) dan medan
pengalaman (field of experience) dengan muatan kepentingan
yang berbeda, sehingga proses pemahaman terhadap konstitusi
dapat terus berkembang dalam praktik di kemudian hari.
Berkaitan dengan hal ini, maka penafsiran terhadap konstitusi
pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang,
memerlukan rujukan standar yang dapat
dipertanggungjawabkan sebaik-baiknya, sehingga konstitusi
tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak
oleh pihak mana pun juga.10 Seperti yang dikatakan oleh Bagir
Manan, tidaklah cukup untuk memahami hukum
ketatanegaraan suatu negara kalau hanya menggantungkan atau
mengukur segala sesuatu dengan asas atau aturan yang ada
dalam konstitusi.11
Menurut Moh. Mahfud M.D. keberadaan konstitusi pada
awal pertumbuhan negara-bangsa modern tidak lepas dari
pengakuan adanya paham demokrasi, yang pada intinya
menyatakan bahwa kekuasaan negara yang tertinggi berada di
tangan rakyat.12 Dalam hal ini, negara terformasi karena
adanya “kontrak sosial” antara individu-individu dengan
penguasa di mana kepada sang penguasa diberi mandat untuk
menjamin pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi individu
tersebut.Tidak semua hak-hak asasi tadi diserahkan kepada
penguasa, namun sebatas apa yang tertuang di dalam “kontrak”
pada saat pemformasian negara tadi. Dalam khasanah
peradaban modern, “kontrak” tersebut dituangkan dalam
formasi konstitusi. Dengan demikian, maka konstitusi
1
merupakan fungsi residual dari hak asasi manusia dan bukan
sebaliknya.13
Dengan tertib berpikir demikian, maka dipahami bahwa
konstitusi merupakan sarana untuk membatasi penguasa
negara. Penggunaan konstitusi sebagai sarana untuk membatasi
kekuasaan negara telah menimbulkan paham
konstitusionalisme. Di dalam gagasan konstitusionalisme
tersebut, konstitusi atau undang-undang dasar tidak hanya
merupakan suatu dokumen yang mencerminkan pembagian
kekuasaan (anatomy of a power relationship) saja, tetapi
dipandang sebagai suatu lembaga yang mempunyai fungsi
khusus, yaitu di satu pihak untuk menentukan dan membatasi
kekuasaan dan di pihak lain untuk menjamin hak-hak asasi
politik warga negaranya. Konstitusi dipandang sebagai
perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh
negara dan pejabat-pejabat pemerintah, sesuai dengan dalil
“Government by laws, not by men”.
Bagir Manan menunjuk hakikat konstitusi sebagai
perwujudan paham tentang konstitusi atau konstitusionalisme
yaitu pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan di satu
pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga negara maupun
setiap penduduk di pihak lain.14 Tetapi, Bagir Manan juga
mengingatkan bahwa adanya rangkaian kaidah atau ketentuan
yang membatasi kekuasaan pemerintah disertai jaminan hak-
hak dasar belum berarti hakikat konstitusi telah diwujudkan.
Kesemuanya harus dilihat dalam kehidupan sehari-hari negara
yang bersangkutan. Suatu negara mungkin memilih rangkaian
kaidah konstitusi yang lengkap, tetapi bukan negara
konstitusional. Sebab dalam kenyataan pemerintah negara
tersebut menjalankan kekuasaan tanpa batas dan hak-hak
rakyat sama sekali ditelantarkan.15
Dengan demikian, pembuatan konstitusi didorong oleh
kesadaran politik yang tinggi mengenai keperluan pengaturan
penyelenggaraan pemerintahan negara sebaik mungkin. Baik
sebagai kaidah hukum maupun sebagai pernyataan prinsip dan
cita-cita, konstitusi sebagaimana juga perundang-undangan
yang lain, merupakan the resultan of a pralellogram of forces-
political, economic, and social of its adoption, kata Ni’matul
Huda.16 Dalam hal ini konstitusi sebenarnya membawa pesan
tentang bagaimana relativitas kekuasaan pemerintah
distrukturkan.
Singkat kata, suatu konstitusi merupakan buatan manusia
dan dirumuskan oleh pemimpin-pemimpin negara dan para
sarjana serta praktisi politik untuk dipatuhi rakyat. Ini
merupakan fenomena sosial dan mencerminkan adanya nilai-
nilai, ide-ide, kepentingan-kepentingan golongan, dan juga
kepentingan perumusnya. Suatu konstitusi dengan demikian
dipahami sebagai produk dari suatu proses politik yang
seharusnya secara demokratis menampung dan menyalurkan
aspirasi-aspirasi politik yang utama, yang sebenarnya
mencerminkan pandangan rakyat tentang tata norma etis sosial,
ketertiban umum, keadilan, tata nilai sosial, dan budaya,
peranan serta hubungan antar lembaga-lembaga sosial.17
Secara akademik uraian di atas hendak menyatakan bahwa
semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat
perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang
perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya. Menurut Ivo
D. Duchacek, “pembatasan kekuasaan pada umumnya
merupakan corak umum materi konstitusi.”18 Secara filsafati,
ada anggapan bahwa sebelum sebuah aturan hukum diformasi,
termasuk konstitusi, selalu ada nilai yang dianggap mengawali,
lebih utama, dan mendasari [keberlakuan] serta dijadikan dasar
untuk memberi formasi dan isi aturan-aturan hukum tersebut.
B. Model Penyusunan Konstitusi
Kajian tentang hukum konstitusi semakin hari dianggap
semakin penting bagi kebanyakan negara di dunia, khususnya
oleh negara-negara yang memiliki sistem negara demokrasi
konstitusional. Hal tersebut menjadi relevan mengingat
konstitusi adalah hukum tertinggi di dalam suatu negara (the
supreme law of the land). Oleh karena konstitusi merupakan
landasan fundamental terhadap segala formasi hukum atau
peraturan perundang-undangan, maka sebagai prinsip hukum
yang berlaku secara universal, formasi hukum dan peraturan
perundang-undangan tersebut tidak boleh bertentangan dengan
konstitusi.
Konstitusi kini juga dipahami bukan lagi sekedar suatu
dokumen mati, tetapi lebih dari itu, konstitusi telah menjelma
dan berfungsi sebagai prinsip-prinsip dasar dalam
penyelenggaraan suatu negara yang selalu hidup mengikuti
perkembangan zamannya (the living constitution). Dilihat dari
sudut kedudukannya, konstitusi adalah kesepakatan umum
(general consensus) atau persetujuan bersama (common
agreement) dari seluruh rakyat mengenai hal-hal dasar yang
terkait dengan prinsip dasar kehidupan dan penyelenggaraan
negara, serta struktur organisasi suatu negara.19 Artinya,
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam konstitusi memiliki
makna penting dan konsekuensi besar untuk dilaksanakan
dengan sungguh-sungguh dan tanpa terkecuali, baik melalui
beragam kebijakan maupun produk peraturan perundangan-
undangan.
Prinsip-prinsip perekonomian nasional yang harus
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi yang jelas
termaksud dalam UUD 1945, menyebabkan konstitusi negara
kita itu berbeda dari konstitusi negara lain, seperti misalnya
Konstitusi Amerika Serikat yang sama sekali tidak mengatur
urusan-urusan perekonomian dalam konstitusi. Para perumus
Konstitusi Amerika Serikat (1878) berpandangan bahwa urusan
perekonomian mutlak merupakan urusan pasar sehingga tidak
perlu diatur dalam konstitusi. Dalam tradisi Amerika Serikat,
yang bersumber dari tradisi hukum common law di Inggris20,
masalah-masalah perekonomian dipandang sebagai fenomena
pasar (market) yang berkembang dalam dinamika masyarakat
sendiri, sehingga tidak memerlukan pengaturan ketat oleh
negara.
Keseluruhan naskah konstitusi, yang sudah diamamandemen
hingga 27 kali, tidak ada satu pun pasal yang berkaitan dengan
soal-soal perekonomian atau hak-hak ekonomi. Kalau pun ada
pasal yang berkaitan dengan ekonomi dan keuangan, hanya
yang berhubungan dengan kebijakan administrasi negara yang
berkaitan dengan bidang keuangan (moneter), fiskal, dan
anggaran (budgeting). Walaupun sudah tentu pasal-pasal tadi
berpengaruh dalam dinamika perekonomian yang terjadi di
dalam masyarakat, akan tetapi lebih bersifat administrasi
negara daripada misalnya pola hubungan antara peran pasar
dengan negara dalam pengelolaan hak milik dan manajemen
kekayaan alam yang secara langsung berhubungan dengan ciri-
ciri liberalisme atau sosialisme.21
Pola pengaturan semacam itu kemudian ditiru oleh negara di
dunia, sehingga sebagian besar negara-negara demokrasi Barat
20 Kerajaan Inggris dikenal tidak mempunyai konstitusi, dalam arti
dokumen yang memuat aturan dasar, akan tetapi tidaklah serta merta dicap
tidak konstitusional. Inggris adalah monarki konstitusional, di mana
kekuasaan raja/ratu serta pemerintahannya diatur melalui hukum dasar yang
tidak tertulis. Negara ini sebenarnya juga memiliki dokumen-dokumen
tertulis sebagai rujukan dasar dalam penyelenggaraan kegiatan kekuasaan
negara, di samping berbagai konvensi yang tumbuh dan hidup dalam
praktik. Sekalipun lama di bawah koloni Inggris, saat merdeka Amerika
Serikat menyimpang dari tradisi bernegara semacam itu, dan sering ditunjuk
sebagai negara modern pertama yang menyusun konstitusi.
juga tidak mencantumkan soal-soal perekonomian itu dalam
konstitusi. Dapat dilihat dalam konstitusi Prancis, Italia,
Belanda, Jepang, Filipina, Meksiko, Korea Selatan, Malaysia,
Thailand, dan sebagainya. Lagi pula dalam tradisi common law
berakar keyakinan tidak semua hal harus diatur dalam hukum
tertulis. Jika timbul masalah, cukup pengadilan yang
mengambil peran untuk menyelesaikannya dengan putusan
yang final dan menjadi menjadi sumber hukum bagi kasus-
kasus berikutnya yang terkait dengan persoalan yang sama.
Dilacak lebih jauh, negara seperti Amerika Serikat dan
Inggris, sudah “mempunyai pengalaman sendiri mengenai
kegiatan perekonomian.”22 Sejak semula, kegiatan bisnis pada
pokoknya memang terpisah dari soal kenegaraan. Inggris
merupakan negara pertama yang mengembangkan sistem yang
kemudian dikenal sebagai kapitalisme klasik. Pada awalnya,
terutama pada abad ke-14 dan ke-15, setiap cabang
perdagangan dan industri di Inggris terhambat oleh peraturan-
peraturan yang rumit dari penguasa-penguasa feodal dan
berdasarkan ajaran-ajaran abad pertengahan itu. Tetapi
peraturan-peraturan itu dihancurkan dan diganti oleh peraturan-
peraturan baru didasarkan pada usaha peningkatan
industrialisasi. Kebebasan pribadi, kemerdekaan berkontrak,
merupakan asas-asas yang secara mutlak dijunjung setinggi-
tingginya. Segala campur tangan pemerintah terhadap industri
dan perdagangan ditolak dan oleh karena itu lalu dapat
berkembang pesat. Selama 50 tahun sejak tahun 1760-an,
Inggris mengalami masa jaya, karena penguasa mendapatkan
kebebasan untuk mengejar keuntungan sebesar-besarnya
dengan memperkerjakan petani-petani yang menjadi miskin
karena industrialisasi, kaum perempuan, dan anak-anak.
Negara-negara Eropa lainnya atas motif ekonomi juga
melakukan pendudukan serta penjajahan ke seluruh dunia,
yaitu di benua Asia, Afrika, Australia, dan Amerika melalui
perusahaan-perusahaan multinasional yang dikembangkan oleh
perorangan warga negara. Demikian juga pasukan-pasukan
perang dari penjajah itu, berkolaborasi dengan perusahaan-
perusahaan besar mengeksploitasi sumber daya ekonomi di
negara jajahan untuk keuntungan negara penjajah.
Sesudah dekolonisasi, negara-negara dalam tradisi civil law
tidak terlampau risau soal penting atau tidaknya pemisahan
kegiatan politik dan ekonomi. Sebaliknya, negara common law
bersikukuh mempertahankan tradisi pemisahan itu. Urusan
politik dianggap sebagai urusan negara dan pemerintah,
sedangkan urusan bisnis diserahkan sepenuhnya kepada
dinamika yang berkembang dalam masyarakat sendiri yang
diatur berdasarkan mekanisme pasar. Paradigma inilah yang di
kemudian hari dikenal sebagai kapitalisme, yaitu paham yang
mengutamakan kapital, yang menekankan peranan perusahaan
sebagai penggerak roda perekonomian dalam masyarakat.
Berbeda dengan negara dengan tradisi civil law, yang juga
menganut paham kapitalisme-liberalisme, yang secara umum
memang semenjak awal mempunyai naskah konstitusi. Diawali
dari Prancis (1791), kemudian juga negara Jerman, Belanda,
Swedia, Belgia, Italia, Spanyol, Portugal, Irlandia, dan lain-
lain. Sekalipun sistem ekonomi bersifat kapitalisme-
liberalisme, tetapi tradisi menuangkan kebijakan-kebijakan
pemerintahan dalam formasi hukum tertulis, mendorong juga
untuk menuangkan kebijakan ekonomi dalam undang-undang,
dan bahkan dalam derajat yang lebih tinggi sebagai ketentuan
undang-undang dasar.23
Hal itu sangat berbeda dengan UUD 1945 yang sejak awal
mencantumkan ketentuan tentang haluan atau politik
perekonomian itu dalam 1 bab tersendiri, yakni Bab XIV.
Bahkan, bab yang semula berjudul “Kesejahteraan Sosial”,
sesudah reformasi, yaitu melalui Perubahan Ke-4 2002,
dilengkapi menjadi “Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial”. Dengan demikian, UUD 1945 dewasa
ini telah makin tegas mempermaklumkan diri sebagai
konstitusi ekonomi (economic constitution, the constitution of
economic policy), di samping sebagai konstitusi politik
(political constitution) dan konstitusi sosial (social
constitution).
Artinya, semua kebijakan-kebijakan ekonomi yang kita
kembangkan haruslah mengacu dan/atau tidak boleh
bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam UUD
1945. Sekarang, masalahnya bukan lagi persoalan setuju/tidak
setuju dengan ketentuan konstitusional semacam ini. Undang-
undang dasar sebagai hukum tertinggi merupakan kesepakatan
kewarganegaraan dan konsensus kebangsaan yang tertinggi
yang harus dijadikan pegangan bersama dalam segenap
aktivitas penyelenggaraan negara. Jika kesepakatan ini
dilanggar, kebijakan yang melanggar demikian itu dapat
dibatalkan melalui proses peradilan.
Dalam perjalanan sejarah, memang berkembang kelompok
pendapat yang berusaha menafsirkan ketentuan Pasal 33 UUD
1945 menurut alur pikirannya sendiri, yang seolah-olah adanya
Pasal 33 itu tidak mempunyai makna sama sekali. Pasal 33
ditafsirkan seolah tidak menolak ekonomi pasar liberal asal
tujuan akhirnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pengertian demikian tentu sama saja jika Pasal 33 itu
dihapuskan sama sekali dari rumusan UUD 1945. Memang
cukup besar hasrat para pakar dan para wakil rakyat yang
berhimpun di Majelis Permuswaratan Rakyat pada tahun 2001-
2002 menjelang Perubahan Keempat disahkan untuk
menghapuskan sama sekali Pasal 33 itu dari UUD 1945. Akan
tetapi, keinginan seperti itu mendapat perlawanan dan tidak
berhasil diwujudkan. Sebaliknya, rumusan Pasal 33 itu
dilengkapi dan bahkan bunyi judul XIV pun dilengkapi
menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”
Rumusan lengkap Pasal 33 menjadi terdiri atas 5 ayat,
ditambah lagi dengan Pasal 34 yang juga dilengkapi menjadi 4
ayat. “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan”, “(2) Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan memenuhi hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara”, “(3) Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”, “(4) Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”,
“(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini
diatur dalam undang-undang”.
“(1) Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh
negara”, “(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan”, “(3) Negara bertanggungjawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum yang layak”, dan “(4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
undang”.
Gagasan demokrasi ekonomi tercantum eksplisit dalam
konstitusi sebagai hukum tertinggi di negara kita. UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 memang mengandung gagasan
demokrasi politik dan sekaligus demokrasi ekonomi. Artinya,
dalam pemegang kekuasaan tertinggi di negara kita adalah
rakyat, baik di bidang politik maupun ekonomi. Seluruh
sumber daya politik dan ekonomi dikuasai oleh rakyat yang
berdaulat. Dalam sistem demokrasi yang dibangun tentu tidak
semuanya secara langsung dikuasai oleh rakyat. Beberapa
bagian yang pokok diwakilkan pengurusannya kepada negara,
dalam hal ini kepada (i) MPR, DPR, DPD, dan Presiden dalam
urusan penyusunan haluan-haluan dan perumusan kebijakan-
kebijakan resmi bernegara, dan (ii) kepada Presiden dan
lembaga-lembaga eksekutif pemerintahan lainnya dalam
urusan-urusan melaksanakan haluan-haluan dan kebijakan-
kebijakan negara itu, serta (iii) secara tidak langsung kepada
lembaga peradilan dalam urusan mengadili pelanggaran
terhadap haluan dan kebijakan-kebijakan negara itu.
Namun, terlepas dari adanya pendelegasian kewenangan
dari rakyat yang berdaulat kepada para delegasi rakyat, baik di
bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif itu, makna
kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi menurut sistem
demokrasi politik dan demokrasi ekonomi itu tidak dapat
110 | Konstitusi
dikurangi dengan dalih kewenangan rakyat sudah diserahkan
kepada para pejabat. Dalam konteks bernegara, kedaulatan
rakyat itu bersifat ‘relatif mutlak’, meskipun harus diberi
makna yang terbatas sebagai perwujudan ke-Maha-Kuasaan
Allah sebagaimana diakui dalam Alinea Ketiga Pembukaan
UUD 1945. Sebagai konsekuensi tauhid, yaitu keimanan
bangsa Indonesia kepada Allah Swt, Tuhan Yang Maha Esa,
maka setiap manusia Indonesia dipahami sebagai khalifah
Tuhan di atas muka bumi yang diberi kekuasaan untuk
mengolah dan mengelola alam kehidupan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran bersama berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 33
ayat (4) UUD 1945.
Seperti dikatakan oleh Kusnu Goesniadhie, setiap kurun
waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi
kehidupan yang memformasi dan mempengaruhi kerangka
pemikiran (frame of reference) dan medan pengalaman (field of
experience) dengan muatan kepentingan yang berbeda,
sehingga proses pemahaman terhadap konstitusi dapat terus
berkembang dalam praktik di kemudian hari.24 Pada tahun
1940-an, mencantumkan urusan perekonomian dalam
ketentuan konstitusi tentu tidak lazim, kecuali di lingkungan
negara-negara sosialis-komunis. Akan tetapi, sesudah
komunisme sendiri runtuh, sekarang banyak sekali negara
demokrasi terbuka yang justru mengadopsi gagasan konstitusi
perekonomian. Republik China (Taiwan) yang menganut
sistem demokrasi dan anti komunis juga memuat ketentuan
pokok mengenai kebijakan ekonomi nasionalnya dalam
konstitusi, pada Bab XIII tentang Fundamental National
Policies, Section 3, mulai dari article 142 s/d artikel 157.
Misalnya, artikel 142 menentukan, “National economy shall
be based on the Principle of People’s Livelihood and shall seek
to effect equalization of land ownership and restriction of
private capital in order to attain a well-balanced sufficiency in
national wealth and people’s livelihood”. Pada bagian dari
artikel 143 ditentukan pula, “... Mineral deposits which are
embedded in the land, and natural power which may, for
economic purpose, be utilized for public benefit shall belong to
the State, regardless of the fact that private individuals may
have acquired ownership over such land”. “If the value of a
piece of land has increased, not through the exertion of labor
or the employment of capital, the State shall levy thereon an
increment tax, the proceeds of which shall be enjoyed by the
people in common”.
Selanjutnya, artikel 144 menentukan, “Public utilities and
other enterprises of a monopolistic nature shall, in principle,
be under public operation. In cases permitted by by law, they
may be operated by private citizens”. Artikel 145 menentukan
pula, “With respect to private wealth and privately operated
enterprises, the State shall restrict them by law if they are
deemed detrimental to a balanced development of national
wealth and people’slivelihood”. “Cooperative enterprises shall
receive encouragement and assistance from the State”.
“Private citizens’ productive enterprises and foreign trade
shall receive encouragement, guidance, dan protection from
the State”.
Memang dapat diakui juga bahwa sebagian ketentuan-
ketentuan konstitusional yang demikian itu sudah ketinggalan
zaman, jika dikaitkan dengan perkembangan globalisasi
dewasa ini. Namun demikian, perlu dicatat bahwa sampai
sekarang –terlepas dari masalah politiknya dengan Republik
Rakyat Cina– Taiwan telah berkembang menjadi salah satu
negara tanpa hutang di dunia. Perekonomian rakyat tumbuh
merata sampai ke desa-desa. Padahal Taiwan bukan negara
komunis dan bahkan anti komunis sejak awal berdirinya.
Selain Taiwan, tentu banyak lagi negara-negara lain yang
dapat dibahas berkenaan dengan pengaturan konstitusional
kebijakan ekonomi negaranya. Misalnya, Konstitusi Afrika
Selatan memuat ketentuan seperti Pasal 34 UUD 1945 yang
mengatur serangkaian hak-hak warga negara di bidang
ekonomi dan sosial yang membebani Pemerintah dengan
kewajiban untuk menyediakan “basic goods and services”
untuk warganya. Demikian pula banyak negara demokrasi
lainnya yang tidak membiarkan kegiatan perekonomian
rakyatnya bergerak sendiri tanpa regulasi dan campur tangan
pemerintah di mana dan kapan diperlukan, semata-mata untuk
menjaga agar dinamika pasar tidak merugikan kepentingan
rakyat banyak yang harus dilindungi oleh negara.
Bahkan, di Amerika Serikat sendiri diskusi-diskusi tentang
konstitusionalisasi kebijakan ekonomi ini juga sangat
berkembang. Pentingnya peran dan intervensi negara ke dalam
mekanisme pasar terus meningkat dari waktu ke waktu.
Apalagi, di tengah krisis keuangan Amerika Serikat sekarang
dan kebijakan “bail-out” yang diterapkan untuk mengatasinya
sekarang justru menambah bukti mengenai pentingnya peranan
negara dalam perekonomian masa kini. Misalnya, Frank I.
Michelman dalam bukunya “Socio Economic Rights in
Constitutional Law: Explaining American Way”, menyatakan,
“... this article suggests why inclusion (pen: maksud pemuatan
ketentuan tentang ekonomi dalam konstitusi) could be
demanded, nonetheless, as a matter of political-moral
principle. It then canvasses possible responses to the American
case. These include both a possible denial that socio-economic
guarantees are,in fact, lacking from US constitutional law and
a possible claim that omitting them is the correct choice for the
US as a matter of non ideal political morality”.
Malah, secara khusus, James M. Buchanan Jr., dalam Prize
Lecture-nya guna memperingati Alfred Nobel (1986) menulis
judul “The Constitution of Economic Policy”. Menurutnya, “In
the standard theory of choice in markets, there is little or no
concern with the constitution of the choice environment”.
“There is no institutional barrier between the revealed
expression of preference and direct satisfaction”. Akan tetapi,
dalam kesimpulannya ia menyatakan, “.... the political
economist who seek to remain within the normative constraints
imposed by the individualistic canon may enter the ongoing
dialogue on constitutional policy”. “The whole contractarian
exercise remains empty if the critical dependence of politically-
generated results upon the rules that constrain political action
is denied. If end states are invariant over shifts in
constitutional structure, there in no role for constitutional
political economy. On the other hand, if institutions do, indeed,
matter, the role is well defined”.
114 | Konstitusi
Dengan menempatkannya sebagai norma-norma konstitusi,
maka ketentuan-ketentuan konstitusional perekonomian itu
mempunyai kedudukan yang dapat memaksa untuk dipakai
sebagai standar rujukan dalam semua kebijakan ekonomi. Jika
bertentangan, kebijakan demikian dapat dituntut
pembatalannya melalui proses peradilan. Dengan demikian,
ekonomi dapat diharapkan membantu dalam membuat
perhitungan, tetapi yang memutuskan adalah politik
berdasarkan ketentuan hukum sesuai dengan apa yang sudah
disepakati bersama oleh seluruh anak bangsa sebagaimana
yang tercermin dalam konstitusi sebagai kontrak sosial.
Dengan perkataan lain, ekonomi memperhitungkan, politik
memutuskan, tetapi hukum lah yang akhirnya menentukan.
Jangan biarkan ekonomi memutuskan segala sesuatu dengan
logikanya sendiri. Politik juga tidak boleh dibiarkan
memutuskan nasib seluruh anak negeri hanya dengan
logikanya sendiri. Inilah hakikat makna bahwa negara kita
adalah negara demokrasi konstitusional, Negara Hukum,
Rechtsstaat, the Rule of Law, not of Man.
C. Penafsiran Konstitusi
Penafsiran konstitusi selama bertahun-tahun, dalam sistem di
Amerika Serikat, dan sekarang di Indonesia dalam pelaksanaan
pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi, telah
berkembang sedemikian rupa dalam putusan perkara hukum
konkrit.25 Tidak ada definisi yang pasti mengenai jenis
penafsiran konstitusi karena setiap peneliti dapat
mengembangkan kajian sendiri mengenai hal ini.26 Dalam
tulisan ini coba diuraikan mengenai jenis penafsiran hukum
yang paling sering dianalisis.27 Adapun jenis penafsiran
tersebut adalah yang berhubungan dengan keberadaan
konstitusi sebagai dokumen hukum, yang sering disebut
sebagai metode original, yang variasinya terbagi ke dalam 3
formasi penafsiran yaitu: (i) tekstual; (ii) struktur; dan (iii)
doktrinal.
1. Penafsiran Tektual
Konstitusi merupakan dokumen hukum yang terdiri atas narasi
yang terbagi ke dalam pasal-pasal dan perubahan.28 Para
penyusunnya merumuskan ketentuan-ketentuan konstitusi yang
berlaku pada masa yang terus menerus, dengan keraguan-
raguan mengenai komitmen generasi yang akan datang.29
Ketentuan itu sendiri merupakan akhir dari pembahasan dalam
persoalan-persoalan tertentu.30
Persoalan sehubungan dengan ketentuan tekstual konstitusi
adalah keterbatasan dan metodologi. Keterbatasan itu
menyangkut relasi dengan persoalan-persoalan yang sifatnya
abstrak. Di Amerika Serikat, mayoritas hakim agung hal itu
dirasakan menimbulkan keragu-raguan, sehingga rumusan
pendapat hukum yang muncul dirasakan sebagai suatu kreasi
hukum dibandingkan penafsiran hukum.31 Dalam kritik
literatur, keterbatasan tekstualisme karena metode ini harus
dihubungkan dengan kenyataan pada saat pertama kali
ketentuan itu disepakati oleh penyusunnya. Sebagai contoh
pendapat Ketua Mahkamah Agung mengenai wewenang
Kongres dalam memformasi Bank Sentral (1889). Menurut
Marshall, Kongres berwenang mengatur perdagangan dan mata
uang, akan tetapi tidak mempunyai kekuasaan untuk
memformasi bank. Marshall mencoba untuk melihat kebutuhan
dan tujuan pelaksanaan diskresi Kongres yang diperlebar
sehubungan dengan masalah itu. Dari segi kebutuhan, Kongres
dibatasi wewenangnya untuk menentapkan Undang-Undang
untuk memastikan penyelenggaraan negara oleh pemerintah,
yang mana klausula ini mempunyai sifat sebagai nessicerity,
bukan absolute.
Suatu perancangan amandemen Konstitusi juga telah
melalui proses pembahasan yang panjang. Dengan demikian,
originalitas sebagai cara penafsiran adalah memperhatikan
kepada riset yang dilakukan dalam rangka penetapan aturan
yang kemudian menjadi amandemen Konstitusi itu.
Kesulitan menyangkut metode meliputi beberapa hal.
Dengan banyaknya penyusun yang membahas dan
membicarakan konstitusi, menjadi kesulitan, pendapat siapakah
yang akan dianut untuk menjadi pijakan penafsiran? Dapatkah
seketika orang menanyakan kepada penyusunnnya maksud
mengenai dirumuskannya aturan dalam konstitusi? Sebagai
contoh, Hakim Agung Souter berpendapat bahwa klasula
kebebasan beragama dalam ketentuan konstitusi tidak merujuk
kepada preferensi agama tertentu. Sebaliknya, Hakim Agung
Scalia mempunyai pendapat berbeda, bahwa Geraja Inggris
didirikan selama masa kolonialisasi dan pendasaran sumpah
George Washington sebagai Presiden untuk pertama kalinya
merujuk kepada agama itu, sehingga hal itu menunjukkan
komitmen preferensi agama tertentu.
2. Penafsiran Struktural
Konstitusi menetapkan dan mengakui pembagian kekuasaan
vertikal dan horizontal. Secara vertikal, terdapat pemerintahan
nasional, yang menjalankan kekuasaan residu dibandingkan
pemerintahan di bawahnya, ada hubungan antara pusat dan
daerah. Secara horizontal, ada separation of power, yang
memformasi cabang kekuasaan legislatif, yudisial, dan
eksekutif. Pengadilan menjadi penentu akhir dalam
pelaksanaan konstitusi diantara kedua cabang kekuasaan lain.
Oleh karena itu, penafsiran ini berhubungan dengan persoalan
distribusi kekuasaan diantara cabang kekuasaan negara.
Pengadilan sering kali memutuskan ketentuan yang
bertentangan dengan ketentuan yang ada, bahkan mengubah
ketentuan untuk menetapkan perintah pelaksanaan wewenang
yang dilaksanakan oleh suatu cabang kekuasaan negara.
Dengan demikian, pengadilan akan memutuskan bagaimana
cabang kekuasaan harus dilaksanakan secara lebih baik. Hal ini
dapat dibaca bagaimana Mahkamah Agung di Amerika Serikat
membatalkan suatu Undang-Undang yang disetujui oleh
Kongres, atau membatalkan tindakan-tindakan yang
118 | Konstitusi
dilaksanakan oleh Presiden dengan alasan bertentangan dengan
pembagian kekuasaan dalam konstitusi.
3. Penafsiran Doktrinal
Dalam hal ini, penafsiran berpijak kepada pendapat para ahli
atau sarjana hukum sehubungan dengan masalah-masalah yang
harus ditafsirkan atas ketentuan dalam Undang-Undang Dasar.
Banyak putusan pengadilan mengenai hal ini menyangkut
persoalan-persoalan yang bersifat mendasar. Misalnya
keabsahan pejabat yang dipilih melalui pemilu.
Untuk memutus perkara tersebut, pengadilan harus
menetapkan bahwa ketentuan dalam konstitusi berlaku jelas
dan konsisten dengan pertanggungjawaban sosial dan
keberlanjutan. Hal ini disebabkan doktrin adalah hasil
perkembangan pemikiran secara bertahap dari satu waktu ke
waktu berikutnya. Hasil putusan dengan metode penafsiran ini
dapat memperluas ketentuan dalam konstitusi maupun
inkremental.
PEMISAHAN
KEKUASAAN
Sebelum dikenalnya pemisahan kekuasaan dalam negara,
seluruh kekuasaan yang ada dalam negara dilaksanakan oleh
raja. Monarki absolut tersebut terjadi di seluruh Eropa. Perang
berkepanjangan menyebabkan para raja tersebut menarik pajak
yang tinggi dari masyarakat dan meminta bantuan keuangan
pada para bangsawan di negaranya yang merupakan cikal bakal
parlemen di beberapa negara. Hal tersebut antara lain dapat
dilihat pada negara Inggris yang memiliki parlemen pertama di
dunia yang diformasi pada tahun 12651, dan juga Prancis, di
mana Pemerintah Prancis yang bangkrut pada tahun 178
.jpeg)
