Ilmu negara 2

Tampilkan postingan dengan label Ilmu negara 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilmu negara 2. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 Desember 2025

Ilmu negara 2


 


a berarti akan memperoleh keadilan hukum dan

kesejahteraan. Personalitas negara tidak dikenal dalam

pemikirannya, tetapi hal ini tidak banyak dibahas di dalam


karya-karyanya. Ia menegaskan bahwa kesadaran manusia

adalah sumber hukum yang tertinggi.

Thomas Hobbes (1588-1679)

Karena struktur masyarakat Inggris yang terjebak dalam perang

saudara, maka pada waktu itu Thomas Hobbes belum

menggunakan gagasan asal mula negara yang terbuka seperti

Gratius. Hobbes, karena pengalaman hidupnya sendiri, melihat

manusia itu merupakan serigala bagi manusia lain (homo

homini lupus) yang mengakibatkan perang permanen antara

semua lawan semua (bellum omnium comtra omnes) seperti

dikemukakan dalam buku yang berjudul Leviathan (1651).

Namun manusia tidak mungkin terus menerus hidup dalam

situasi seperti itu. Karena itu mereka harus mengadakan

perjanjian di mana mereka menyerahkan segala hak-hak

asasinya kepada negara. Sebagai akibatnya, negara berkuasa

secara mutlak dan dengan kedaulatan yang tidak terbagi, yang

diwujudkan dengan adanya monarki absolut.

Dengan konstruksi pemikiran itu, Hobbes menjadi teoritikus

monarki absolut dan pelopor ateisme di Inggris.16 Ajaran itu

menjadi sandaran bagi penguasa di Eropa lebih dari satu abad

lamanya.

D. Masa Aukflarung

Masa Aukflarung sering juga disebut sebagai Masa Pencerahan

atau Masa Rasionalisme. Seperti sudah dikemukakan di atas,

adanya Perjanjian Westphalia (1648) telah mengakhiri

peperangan antara golongan Katolik dan Protestan di Eropa.

Implikasi perjanjian itu menghasilkan konsep negara yang


sekuler dengan toleransi agama. Semenjak itu penguasa tidak

berwenang lagi menghalangi atau mengharuskan pengalihan

agama dari masing-masing rakyatnya. Di bidang politik,

wewenang monarki untuk menetapkan undang-undang harus

melalui persetujuan parlemen. Intinya, perjanjian itu

menghasilkan balance of power dalam hubungan internasional.

Para pemikir kenegaraan pada masa ini antara lain John

Locke, Montesqiue, dan Immanuel Kant.

John Locke (1632-1704)

Perang Saudara yang berkecamuk di Inggris membuat John

Locke harus hidup dalam pengungsian di Prancis dan Belanda

(1683-1689). Locke mengambil jarak dari ajaran hukum alam

dan Hobbes, serta mengambil sikap yang liberal. Dalam

pandangan Locke, keadaan alamiah (saat individu belum

memformasi negara) bukanlah keadaan kacau, melainkan

keadaan dalam suasana yang tertib.

Dalam buku Two Treaties of Government (1689) Locke

menguraikan cikal bakal konsepnya mengenai pemisahan

kekuasaan, terutama dalam bab XII yang membicarakan

“kekuasaan legislatif, eksekutif, dan federatif dari negara.”

Locke mengajarkan cikal bakal konsep balance of power

dengan memungkinkan rakyat ‘memecat’ raja yang melanggar

perjanjian masyarakat, melalui mana rakyat telah melimpahkan

kekuasaan kepada raja untuk menjalankan pemerintahan.

Rakyat dengan senang hati telah mengikatkan diri pada

perjanjian masyarakat justru untuk melindungi lives, liberty,

dan estates mereka.

Filosof Prancis ini antara lain menulis Lectures persanes

(Surat-Surat dari Prusia, 1721) dan kemudian yang terpenting

De I’esprit des lois (Semangat Undang-Undang, 1748). Dia

memberikan sumbangan utama kepada pemikiran politik dan

hukum melalui konsep formasi-formasi negara dalam kerangka

negara hukum. Montesqieu mengembangkan lebih jauh konsep

John Locke mengenai monarki konstitusional, di mana

kekuasaan yang satu membatasi kekuasaan yang lain.

Kekuasaan absolut dicegahnya melalui pemisahan kekuasaan

yang membagi negara ke dalam 3 poros kekuasaan yaitu

eksekutif, legislatif, dan yudisial.

Menurut konsep ini, kekuasaan eksekutif ada pada raja,

yang menjadwalkan kerja legislatif, dan mempunyai veto

terhadap keputusan legislatif, yang diatur menurut konsep

perwakilan. Kekuasaan yudisial adalah kekuasaan independen.

Ajaran Montesqiue berdampak langsung pada robohnya paham

absolutisme yang sampai zaman itu terutama diwujudkan pada

pemerintahan monarki.

Jean-Jacques Rousseau (1712-1778)

Karya terutama filosof Prancis ini adalah Du Contract Social:

Ou Principle du Droit Politique (Tentang Kontrak Sosial; atau

Prinsip Hak Politik, 1762).  Timbulnya Rousseau bukanlah

karena kehendak Tuhan atau alam, akan tetapi karena

perjanjian masyarakat. Adapun perjanjian itu lahir karena ada

hakikat kebebasan yang melekat pada diri manusia.

Kemerdekaan hanya dapat tegak karena pengakuan persamaan.

Kehendak bersama itu merupakan abstraksi dari keseluruhan

kehendak masing-masing warga negara. Atas dasar itulah,

keadaan yang absolut tidak terbagi dan tidak dapat dialihkan

berada di tangan rakyat.

64 | Asal Mula Negara

Immanuel Kant (1724-1804)

Filosof Jerman ini baru pada usia 46 tahun menghasilkan

karya-karya yang penting. Immanuel Kant menyebut dasar

ajarannya adalah filsafat transendental. Sehubungan dengan

negara, Immanuel Kant menekankan pentingnya Rechsstaat

atau Negara Hukum yang meletakkan tugas penting negara

untuk menjamin keamanan setiap warga negaranya. Kant

menolak konsep Negara Polisi (Polizeistat) yang kemudian

membayangkan timbulnya negara menurut aturan-aturan

konstitusional.

Ciri-ciri Negara Hukum ini menurut Kant, meliputi hal

sebagai berikut. Pertama, negara terutama sekali untuk

menjamin hak asasi manusia. Kedua, negara harus mengakui

hak-hak individu. Ketiga, jaminan kesejahteraan rakyat dapat

dicapai apabila negara melaksanakan kewajibannya sebatas apa

yang sudah diatur dalam hukum. Keempat, negara tidak

berdasarkan agama, melainkan kebebasan individu. Kelima,

rakyat harus dilibatkan dalam urusan-urusan publik.

E. Masa Teori Kekuatan

Teori kekuatan berbasis kepada pendapat bahwa kekuasaan

muncul karena adanya keunggulan kekuatan seseorang yang

lain. Jika mereka berada di alam bebas, maka mereka akan

hidup sendiri-sendiri, dan ketika bertemu yang lebih kuat akan

menakhlukkan yang lemah. Jadi, kekunggulan fisik dapat

digunakan untuk menguasai orang lain, guna kepentingan si

kuat tadi, ataupun untuk kepentingan bersama di bawah

perintah si kuat tadi.

Dalam ketatanegaraan modern, orang kuat dapat diartikan

sebagai orang-orang yang memegang kekuasaan peemrintahan.

Jika yang dimaksud kuat dalam alam bebas adalah kekuatan


fisik, maka pada zaman modern kekuatan tidak semata-mata

pada fisik, tetapi juga menyangkut politik, ekonomi dan

militer.18

Beberapa pemikir yang pendapatnya mencerminkan teori

kekuatan antara lain adalah Oppenheimer, Otto van Gierke,

Karl Marx, Harold J. Laski, dan Leon Duguit.

Oppenheimer

Dalam buku yang berjudul Die Sache Oppenheimer

mengatakan bahwa negara merupakan alat dari golongan yang

kuat untuk menertibkan masyarakat. Golongan kuat tadi

mengenakan peraturan ini kepada golongan yang lemah dengan

maksud untuk menyusun dan membela kekerasan yang

dilakukan golongan kuat tadi terhadap orang baik di dalam

maupun di luar sistem, terutama sistem ekonomi. Sedangkan

tujuan akhir dari semuanya ini adalah penghisapan ekonomi

golongan lemah oleh golongan yang kuat.19

Otto van Gierke (1841-1921)

Aliran pemikiran Gierke merujuk kepada mazhab historis yang

didirikan oleh Von Savigny. Menurut Savigny, hukum

merupakan struktur organik yang pertumbuhannya

menggambarkan perkembangan negara.  Namun berlainan

dengan Savigny yang mempertahankan hukum Romawi

sebagai elemen pembangunan hukum di Jerman, Gierke justru

menolak, karena menurutnya yang terbaik struktur hukum itu

dibanding atas “hukum asli” Jerman yang telah ada di masa

lampau. Gierke menganggap negara merupakan struktur

organik yang lahir dari perjanjian sosial yang mencerminkan

perilaku orang-orang yang ada di dalamnya.

Karl Marx

Menurut Karl Marx, negara adalah penjelmaan dari

pertentangan-pertentangan kekuatan ekonomi. Negara

dipergunakan sebagai alat dari mereka yang kuat untuk

menindas golongan-golongan yang lemah ekonominya. Yang

dimaksud dengan orang yang kuat adalah mereka yang

memiliki alat-alat produksi. Negara, menurut Marx, akan

lenyap dengan sendirinya kalau dalam masyarakat itu tidak

terdapat lagi perbedaan-perbedaan kelas dan pertentangan-

pertentangan ekonomi.20

Harold J. Laski

Dalam buku yang berjudul The Satet in the Theory and

Practice, Laski berpendapat bahwa negara merupakan suatu

alat pemaksa (Dwang Organizatie) untuk melaksanakan dan

melangsungkan suatu jenis sistem produksi yang stabil.

Pelaksanaan sistem produksi ini semata-mata akan

menguntungkan golongan kuat yang berkuasa. Artinya, andai

kata penguasa itu berasal dari aliran kapitalis, maka organisasi

negara itu tadi selalu akan dipergunakan oleh penguasa untuk

melangsungkan sistem ekonomi kapitalis.21

Leon Duguit (1859-1928)

Dalam buku yang berjudul Traite de Droit Constitutional,

pemikir Prancis ini tidak mengakui adanya hak subjektif atas

kekuasaan, dan juga menolak ajaran perjanjian masyarakat

tentang terjadinya negara dan kekuasaan. Menurutnya yang

terjadi adalah orang-orang yang paling kuat memperoleh power

untuk memerintah karena beberapa negara lain telah menurun

kekuatannya atau dapat dikatakan telah hilang dan cenderung

membicarakan negara sebagai organisasi kemasyarakatan yang

diatur oleh hukum-hukum positif.22

F. Masa Positivisme

Positivisme adalah aliran pemikiran yang bekerja berdasarkan

empirisme, dalam upaya untuk merespon keterbatasan yang

diperlihatkan oleh filsfat spekulatif seperti yang diperlihatkan

oleh Immanuel Kant. Sebagai aliran filsafat, positivisme adalah

suatu aliran yang mula-mula diperkenalkan oleh Saint-Simon

(1760-1825) dari Prancis dan kemudian dikembangkan oleh

Auguste Comte (1798-1857). Beberapa pemikir yang

dikategorikan dalam aliran ini adalah Rudolf von Jhering

(1818-1892), Eugen Erlich (1862-1922), dan Hans Kelsen

(1881-1973).

Rudolf von Jhering

Mula-mula von Jhering menempatkan diri dalam aliran sejarah

yang dipelopori oleh von Savigny di Jerman. Tetapi dalam

buku yang berjudul Der Zweck im Recht dia menegaskan

pandangan positivistik, bahwa negara adalah satu-satunya

sumber hukum. Konsekuensi logis dari pernyataan ini adalah di

luar negara tidak ada hukum dan penerimaan pandangan ini

bisa menjurus ke arah absolutisme.

Eugen Erlich

Bagi Erlich, program pokok dari tatanan hukum adalah

mengembalikan hukum kepada kenyataan eksistensia

(Seinstatsachen). Setiap perilaku yang dilakukan berulang-

ulang, akan dianggap sebagai hukum, sedangkan apa yang

dianggap sebagai norma akan menjadi norma. Menurut

Budiono Kusumohamidjojo, pemikiran seperti itu ada

bahayanya.

Karena masyarakat dapat kalah melawan oligarki yang

korup tetapi solid, orang dapat menjadi semakin apatis

terhadap korupsi dan kolusi sedemikian rupa, sehingga korupsi

dan kolusi dianggap sebagai perilaku yang normal. Apakah

korupsi dan kolusi lalu pantas dijadikan norma juga?

Hans Kelsen

Menurut Kelsen, negara merupakan suatu tertib hukum yang

muncul karena diciptakannya peraturan-peraturan hukum yang

menentukan bagaimana orang di dalam masyarakat atau negara

itu harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Peraturan-

peraturan hukum itu berlaku mengikat, artinya bahwa setiap

orang harus menaatinya. Jadi, negara adalah suatu tertib hukum

yang memaksa.

G. Teori Modern

Gugus pendapat dalam teori modern mengatakan bahwa negara

adalah suatu kenyataan. Negara terikat, waktu, keadaan, dan

tempat. Oleh sebab itu, teori modern lebih condong kepada

hukum tata negara karena membicarakan negara sebagai

kenyataan yang ada.

Menurut Soehino, pemikiran teori modern ini nampak antara

lain dari pendapat Kranenburg dan Logeman.24

Kranenburg

Menurut Kranenburg, negara adalah suatu organisasi

kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang

disebut bangsa. Jadi, terdapat kelompok manusia, lalu

mempunyai kesadaran bersama, dan kemudian mendirikan

organisasi. Organisasi itu bertujuan untuk memelihara

kepentingan kelompok tersebut.

Logeman

Menurut Logeman, negara adalah organisasi kekuasaan yang

menyatukan kelompok manusia yang disebut sebagai bangsa.

Oleh sebab itu, pertama-tama negara merupakan organisasi

kekuasaan, kemudian organisasi itu mempunyai kewibawaan.

Dalam pandangan ini, negara merupakan hal yang utama,

sedangkan manusia atau bangsa sebagai pendukungnya,

merupakan masalah berikutnya.


BENTUK NEGARA

A. 

Peninjauan mengenai masalah bentuk negara merupakan

pembahasan mengenai dalam formasi apa organisasi negara itu

menjelma ke dalam masyarakat. Berdasarkan teori kenegaraan

pembahasan masalah ini merupakan batas antara peninjauan

secara sosiologis dan yuridis. Dari segi sosiologis, yang

melihat bangunan negara sebagai satu kebulatan (Ganzeit)

maka pembahasannya adalah mengenai bentuk negara. Akan

tetapi dari segi yuridis yang melihat bangunan negara dalam

struktur atau isi, maka pembahasannya mengenai sistem

pemerintahan.

Kondisi ini mengakibatkan tidak adanya kesepakatan antara

para sarjana dalam memberi pengertian bentuk negara dan

72 | Bentuk Negara

bentuk pemerintahan. Misalnya, beberapa sarjana menyatakan

bahwa bentuk negara adalah kerajaan dan republik, sedangkan

pendapat lain mengatakan bahwa bentuk negara adalah negara

kesatuan atau negara federal. Bahkan, ada yang memberi arti

sama antara bentuk negara dengan bentuk pemerintahan.

Menurut Miriam Budiardjo1, pemisahan itu dilaksanakan

secara horisontal dan vertikal. Pemisahan kekuasaan secara

horisontal kekuasaan dibagi menurut fungsinya yaitu legislatif,

eksekutif, dan yudisial. Sementara itu, pemisahan kekuasaan

secara vertikal tercermin dalam pembagian kekuasaan

berdasarkan tingkat atau hubungan antar-tingkatan

pemerintahan. Dalam konteks pemisahan kekuasaan secara

vertikal itulah maka perbincangan mengenai bentuk negara

menemukan relevansinya.

Dalam tulisan pada bab ini, bentuk negara diartikan sebagai

susunan negara, yang menyangkut pengorganisasian kekuasaan

negara secara vertikal. Dengan demikian, fokus utama dalam

masalah ini adalah bagaimanakah kekuasaan itu dijalankan di

dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi bentuk negara

di sini dibahas menurut susunan kekuasaan. Sedangkan

masalah bentuk pemerintahan, penulis dalam pembahasan bab

lain akan menggunakan istilah sistem pemerintahan. Oleh

sebab itu kajian mengenai bentuk negara dibatasi ke pada 2

bentuk negara yang lazim dikenal dalam literatur yaitu negara

kesatuan (unitary state) dan negara serikat (federal state).


B. Negara Kesatuan

Para ahli umumnya membagi negara kesatuan ke dalam 4

macam model. Pertama, vertical management model.  Dalam

model ini, pemerintah pusat mendirikan badan-badan

pemerintahan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di

tingkat lokal. Model ini dianut di Inggris dan Jepang. Kedua,

central representative model. Pada model ini dicirikan adanya

dua badan pemerintahan yaitu badan/organ yang didirikan oleh

pemerintah lokal untuk melayani kepentingannya dan

badan/organ yang didirikan oleh pemerintah pusat di tingkat

lokal. Kedua badan itu bersifat pararel dalam menjalankan

urusan pemerintahan. Model ini dijalankan di negara Swedia,

Spanyol, dan Denmark. Ketiga, unification model. Pemerintah

pusat menempatkan pejabat pilihannya guna menduduki badan

administratif yang didirikan oleh pemerintah lokal. Hal ini

dilaksanakan di Belanda. Keempat, mixed model. Model ini

dianut di Prancis. Dalam model ini, ada tiga kategori organ

yang melaksanakan wewenang, yaitu: (i) badan yang didirikan

oleh pemerintah lokal; (ii) perwakilan pemerintah pusat, baik

dalam distrik maupun pemerintahan provinsi; dan (iii)

perwakilan organ pemerintah pusat di daerah.2

Paling tidak ada lima ciri negara kesatuan. Pertama, hanya

ada satu konstitusi yang berlaku di seluruh negara yang

bersangkutan. Kedua, ada satu pemerintahan di tingkat pusat

yang berdaulat. Ketiga, seluruh penduduk hanya mempunyai

satu kewarga negaraan. Keempat, terdapat satuan pemerintahan

lokal yang merupakan subdivisi pemerintah pusat, dengan

wewenang kepala daerah yang bersifat absolut. Kelima, hanya

pemerintah pusat yang berwenang menjalankan hubungan luar

negeri.3

Dalam konteks negara kesatuan, hubungan pemerintah pusat

dengan pemerintah daerah (sebagai bagian atau satuan teritorial

negara yang “lebih kecil”) di bidang otonomi bersifat

administrasi negara. Jadi, kekuasaan asli (original power)

melekat kepada negara, yang dalam hal ini diwakili oleh

pemerintah pusat. Oleh sebab itu, pemahaman desentralisasi

dalam konteks negara kesatuan harus dipahami sebagai

penyerahan kekuasaan  oleh negara, dalam hal ini pemerintah

pusat, untuk menjadi urusan rumah tangga daerah suatu urusan

pemerintahan kepada daerah. Dalam negara kesatuan,

pemerintah pusatlah yang membentuk cara-cara penentuan

urusan rumah tangga satuan otonomi, yang akan menentukan

juga sifat (luas atau terbatas) atas suatu otonomi. Memang,

dalam konteks negara kesatuan, persoalan hubungan dengan

satuan otonomi “yang lebih rendah” tidak saja mencakup

praktik  penentuan urusan otonomi, tetapi juga menyangkut

perosalan hubungan keuangan, hubungan pengawasan, dan

cara menyusun serta menyelenggarakan organisasi

pemerintahan di daerah.

Negara kesatuan sering dibedakan ke dalam dua bentuk,

yaitu negara kesatuan dengan sistem sentralisasi dan negara

kesatuan dengan sistem desentralisasi. Ciri khas sistem

sentralisasi adalah pemerintah pusat senantiasa mendominasi

pelaksanaan urusan pemerintahan dengan mengesampingkan

peran dan hak pemerintah daerah untuk ikut terlibat langsung 

dan mandiri dalam rangka mengelola serta memperjuangkan

kepentingan daerahnya. Sementara itu, dalam sistem

desentralisasi, kepada daerah-daerah diberikan kekuasaan

untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, yang

disebut dengan daerah otonom.4

Salah satu kecenderungan untuk mengelola pemerintahan di

negara kesatuan adalah fenomena desentralisasi. Dalam hal ini,

Desentralisasi sering dianggap sebagai bentuk konkrit dari

mekanisme pemisahan kekuasaan negara. Sebagai suatu

konsep, terutama di lingkungan negara berkembang,

desentralisasi telah diperdebatkan sejak lama dan ditilik dari

segi pertumbuhan pemahamannya,  telah berkembang melalui

tiga gelombang. Ketiga gelombang pertumbuhan desentralisasi

itu digambarkan oleh Syarief Hidayat sebagai berikut.5

Gelombang pertama, terjadi pada tahun 1950-an, di mana

desentralisasi telah mendapatkan perhatian khusus dan telah

diartikulasi sebagai konsep yang paling relevan untuk

memperkuat dan memberdayakan pemerintahan daerah.

Sementara itu, gelombang kedua desentralisasi, terutama di

negara berkembang, terjadi pada dasawarsa 1970-an,

penerimaan konsep desentralisasi lebih bervariatif, dan

pemahamannya lebih ditujukan sebagai alat untuk pencapaian

tujuan pembangunan nasional. Sedangkan gelombang


desentralisasi yang ketiga,  ditandai dengan perluasan kajian, di

mana desentralisasi tidak lagi menjadi monopoli fokus ilmu

politik dan administrasi negara saja, tetapi telah menarik

perhatian disiplin yang lain. Dapat disebut di sini misalnya,

ekonomi, hukum, sosiologi, dan antropologi.

Menurut Mawhood, desentralisasi merupakan devolution of

power from central to local government.6 Dalam perspektif

yang lebih luas, Rondinelli dan Cheema merumuskan

desentralisasi sebagai the transfer of planing, decision making,

or administrative authority from central goverment to its field

organisations, local administrative units, semi autonomous and

parastatal organisations, local government, or non-

government organisations.7 Dalam uraian selanjutnya,

Rondinelli dan Cheema merumuskan adanya empat bentuk

desentralisasi.8

Pertama, deconcentration, yaitu distribusi wewenang

administrasi dalam pemerintahan. Kedua, delegation to semi

autonomous or parastatal organisations, yaitu pendelegasian

otoritas manajemen dan pengambilan keputusan atas fungsi-

fungsi tertentu yang sangat spesifik, kepada organisasi-

organisasi yang secara  langsung tidak di bawah kontrol

pemerintah. Ketiga, devolution, yaitu penyerahan fungsi dan

otoritas (the transfer of function and authorities) dari

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan bentuk

keempat, adalah swastanisasi, yaitu penyerahan beberapa

otoritas dalam perencanaan  dan tanggung jawab administrasi

tertentu kepada organisasi swasta.

Saya berpendapat bahwa makna desentralisasi beserta

bentuk-bentuknya sebagaimana dikemukakan oleh Rondinelli

dan Cheema di atas cukup komprehensif dan luas.  Sifat

komprehensif dan luas nampak dari konseptualisasi

desentralisasi yang disorot dalam aspek teknik, spasial, dan

administratif, sebagai elemen utama. Selanjutnya, makna

desentralisasi juga mencakup pendelegasian wewenang tidak

hanya mengenai teknis pemerintahan tetapi juga mencakup

organisasi semi pemerintah, bahkan di dalam sektor swasta.

Namun demikian saya menganggap cakupan desentralisasi

seperti dikemukakan oleh Rondinelli dan Cheema di atas tidak

menggambarkan secara penuh persoalan hubungan antara

pemerintah pusat dan daerah. Saya setuju dengan Slater, ketika

mengatakan bahwa aspek penting yang dilupakan oleh definisi

kedua pakar tersebut adalah mengabaikan the transfer of power

from central to peripheral state.9 Lugasnya, definisi itu

mengabaikan the territorial dimension of state power, seperti

dipaparkan oleh Conyers.

Di samping itu, mengutip pendapat Henry Maddick, antara

desentralisasi dengan dekonsentrasi dapat dibedakan.

Desentralisasi dipandang sebagai “pengalihan kekuasaan

secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik

maupun risudal yang menjadi kewenangan pemerintah

daerah”, sedangkan dekonsentrasi merupakan the delegation of

authority adequate for the discharge of specified functions to

staff of a central department who are situated outside the

headquaters.

Mengenai perbedaan desentralisasi dan dekonsentrasi ini,

dengan mengutip pendapat Parson, Syarif Hidayat dan

Bhenyamin Hoessen11 menyatakan bahwa dari aspek politik

desentralisasi merupakan sharing of the govermental power by

a central rulling group with other groups each having

authority within a specefic area of the state. Sementara

dekonsentrasi merupakan the sharing of power between

members of the same rulling group having authority

respectively in different areas of the state.

C. Negara Federal

Kata “federal” berasal dari bahasa Latin foedus, yang berarti

perjanjian. Kata ini menggambarkan ikatan perjanjian di antara

negara-negara bagian untuk melakukan kerja sama, khususnya

dalam rangka pertahanan.  Perjanjian itu harus saling

menguntungkan, yang dapat diarahkan untuk mencapai tujuan-

tujuan tertentu, akan tetapi masing-masing pihak harus menaati

perjanjian tersebut. Menurut William Riker, ikatan federasi

pada mulanya digunakan untuk mencapai tujuan militer, yang

kemudian berkembang menjadi kebutuhan untuk mencukupi


logistik, seperti pasar bebas dan penggunaan mata uang

tunggal.12 Perjanjian itu yang kemudian dikenal sebagai

konstitusi federal. Menurut Miriam Budiardjo, untuk

membentuk negara federal, harus dipenuhi dua syarat.

Pertama, adanya perasaan sebangsa di antara kesatuan-

kesatuan politik yang hendak membentuk federasi dan, kedua,

adanya keinginan untuk membentuk ikatan yang terbatas. Jika

ikatan itu dilakukan secara penuh, maka bukan negara federal,

tetapi negara kesatuan.13

Dalam negara federal, sering dijumpai ciri-ciri sebagai

berikut. Pertama, satu wilayah negara terbagi atas negara-

negara bagian. Kedua, ada kedaulatan ganda, di mana masing-

masing antara pemerintahan federal dan pemerintahan negara

bagian mempunyai otonomi untuk melaksanakan urusan

pemerintahan. Ketiga, hubungan antara pemerintah federal

dengan pemerintahan daerah bersifat koordinatif atau

kooperatif.14 Dalam hal hubungan tersebut bersifat koordinatif,

maka ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut. Pertama,

masing-masing pihak mempunyai kewenangan yang bersifat

eksklusif. Kedua, masing-masing pihak mempunyai susunan

pemerintahan. Ketiga, masing-masing pihak mempunyai

kewenangan untuk menetapkan perpajakan. Keempat,

kebutuhan untuk kerja sama di antara masing-masing pihak

amat minimal.

Sementara itu, hubungan antara pemerintah federal dengan

negara bagian berlangsung dalam bentuk kooperatif apabila

ditemua lima ciri khas. Pertama, masing-masing wewenang

pemerintahan dibagi di antara kedua pihak. Kedua, pemerintah

federal dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan diatur

melalui sebuah Undang-Undang, yang kemudian menjadi

pedoman bagi negara bagian untuk melaksanakannya. Ketiga,

ada pembagian mekanisme perpajakan. Keempat, negara

bagian mempunyai sistem perwakilan di lembaga perwakilan

federal. Kelima, ada kebutuhan kuat untuk melakukan kerja

sama.

Dalam pelaksanaan selama bertahun-tahun, hubungan antara

pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian

mempunyai kecenderungan untuk bergeser dari koordinatif

menjadi kooperatif. Hal ini disebabkan oleh minimal tiga hal.

Pertama, tantangan pemerintahan modern yang semakin

kompleks, sehingga urusan pemerintahan tidak dilaksanakan

secara kaku menurut list wewenang dalam konstitusi. Kedua,

adanya hubungan keuangan yang mengarah kepada pencapaian

perimbangan di antara tingkat pemerintahan. Ketiga, kebijakan

diadakan sehubungan dengan adanya pencapaian kepentingan

tertentu di setiap tingkat pemerintahan.

Dalam buku teks mengenai federalisme, umum dijumpai

pembagian model negara federal dalam tiga model.15 Pertama,

model Amerika Serikat. Dalam model ini, kewenangan

pemerintah federal (yang disebut sebagai listed authority)

ditetapkan dalam ketentuan konstitusi, sedangkan selebihnya

yang dikenal sebagai kept power merupakan wewenang negara

bagian. Kedua, model Kanada. Dalam model ini, wewenang

pemerintahan provinsi ditentukan secara rinci dalam ketentuan

konstitusi, sedangkan sisanya merupakan wewenang

pemerintah federal. Ketiga, model India. Dalam model ini, baik

wewenang pemerintah federal maupun wewenang pemerintah

negara bagian diatur secara rinci di dalam konstitusi, diikuti

dengan klausula, bahwa dalam situasi tertentu, wewenang

pemerintah negara bagian dapat diambil alih oleh pemerintah

federal.

Di dalam praktik, komposisi negara federal cenderung

dilaksanakan dalam penduduk yang bersifat multietnik,

sehingga hubungan di antara tingkat pemerintahan berlangsung

koordinatif. Setiap negara bagian mempunyai susunan

pemerintahan sendiri-sendiri. Praktik semacam ini dikenal

sebagai asymetric federalism. Sudah tentu tantangan yang

muncul adalah instabilitas pemerintahan yang dapat terjadi

sewaktu-waktu. Salah satu variasi dari asymetrci federalism

adalah seperti praktik di Belgia, di mana federasi ditentukan

oleh dua hal yaitu konflik dan penggunaan bahasa. Wilayah

Belgia yaitu Flanders, Wallonia, dan Brussels, ditetapkan

sebagai daerah khusus karena faktor ekonomi dengan

penggunaan bahasa masing-masing Belanda, Jerman, dan

Prancis. Ketentuan ini diatur dalam konstitusi federal (1993).

Variasi lain adalah praktik etnofederalism, yaitu pemerintah

negara bagian masing-masing merupakan tempat konsentrasi

etnis tertentu. Pola semacam ini lahir karena ada dominasi

mayoritas dan perlawanan minoritas. Hal ini dipraktikkan di

India, Afrika Selatan, Spanyol, dan Kanada; seperti juga

praktik di bekas Yugoslavia, Cekoslvakia, dan Uni Soviet.


TUJUAN NEGARA

A. 

Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik dan bahkan

menjadi pokok dari kekuasaan politik. Negara merupakan alat

dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur

hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan

menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Oleh

sebab itu, negara mempunyai karakter untuk dapat

memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua

golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan

tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Untuk mencapai hal

itu, maka negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai

di mana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama

itu. Dengan demikian, negara dapat mengintegrasikan dan

84 | Tujuan Negara

membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari warganya untuk

mencapai tujuan bersama.

Tujuan bersama tersebut menjadi dasar dari segenap

aparatur negara dalam menjalankan tugas. Tujuan negara

menjadi kompos penunjuk jalan bagi pemerintah negara

tersebut dan juga menjadi barometer bagi pengukur sejauh

mana pemerintah berhasil menjalankan pekerjaannya.

Berikut ini akan dilihat formulasi tujuan negara yang telah

lama dikemukakan oleh para ahli maupun dalam kenyataan

praktik, yang mana di abad modern ini sekali pun, tiap-tiap

negara mempunyai tujuan yang tidak sama dengan negara yang

lain. Adapun formulasi tujuan negara itu meliputi pendapat

sebagai berikut:

1. Teori Lord Shang

2. Teori Nicollo Machiavelli

3. Teori Dante Alleghiere

4. Teori John Locke

5. Teori Immanuel Kant

6. Pandangan Paham Sosialis

7. Pandangan Paham Liberalis-Kapitalis; dan

8. Pandangan Sosial Demokrat.

B. Teori Lord Shang

Lord Shang merupakan pemikir Tiongkok yang hidup sekita

abad ke-3. Pendapat mengenai tujuan negara dapat dilihat

dalam buku A Classic of Chinese School of Law. Semasa

hidupnya keadaan di Tiongkok adalah sangat kacau dan penuh

dengan kerusuhan, pemerintahannya lemah, di mana tingkat

pemerintahan yang rendah tidak lagi tunduk kepada

pemerintahan yang lebih tinggi.

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum. | 85

Menurut Shang, tujuan negara adalah membuat

pemerintahan negara menjadi berkuasa penuh terhadap rakyat.

Supaya negara dapat berkuasa penuh, maka rakyat harus dalam

kondisi lemah dan miskin; sebaliknya jika rakyat dijadikan

kuat dan kaya maka negara menjadi lemah.1

C. Teori Nicollo Machiavelli

Menurut Nicollo Machiavelli, tujuan negara adalah untuk

mengusahakan terselenggaranya ketertiban, keamanan, dan

ketenteraman. Oleh karena itu, kedudukan pemerintah harus

ditempatkan di atas segala aliran-aliran yang ada. Bagaimana

pun lemahnya, pemerintahan harus diperlihatkan sebagai yang

lebih berkuasa, sehingga dengan demikian banyak harapan

demi tercapainya kemakmuran.2

Sebagai penganut paham realistis, Machiavelli menyatakan

bahwa negara itu ada untuk kepentingannya sendiri dan harus

mengejar tujuan dan kepentinganya dengan cara yang dianggap

paling tepat, bahkan dengan cara yang licik sekali pun. Untuk

mencapai tujuan negara, pemerintah terkadang harus bersikap

seperti singa terhadap rakyatnya agar rakyat takut dan tunduk

kepada pemerintah.3

D. Teori Dante Alghieri

Dante Alghieri (1266-1321) merupakan filosof dan penyair

asal Italia. Salah satu pendapat yang dinilai cukup berani guna

menentramkan situasi di Italia pada waktu itu adalah usul agar

Paus hanya berkonsentrasi mengenai masalah-masalah


kerohanian saja dan tidak campur tangan dalam masalah

politik. Sebaliknya, negara harus turut mengatur hal-hal yang

bersifat keagamaan. Upaya ini perlu ditempuh guna

menghindari kompetisi antara negara dengan gereja yang

menyebabkan keadaan merosot dan tidak stabil.

Dalam pandangan Dante, tujuan negara adalah untuk

menciptakan perdamaian dunia. Karena itu, undang-undang

yang seragam bagi umat manusia perlu diciptakan untuk dapat

mencapai tujuan tersebut.

E. Teori John Locke

Menurut John Locke, negara didirikan untuk memenuhi dan

melindungi hak-hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup, hak

kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi. Jika hak-hak asasi itu

dilanggar maka akan timbul kekacuan. Dengan pernyataan ini,

Locke menolak pikiran yang berkembang sebelumnya bahwa

rakyat telah menyerahkan seluruh kedaulatannya kepada

negara. Menurut Locke tidak seluruh hak asasi itu diserahkan,

hak-hak yang bersifat alamiah seperti hak untuk hidup, hak

kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi tidak diserahkan.

Bagi Locke, negara yang merampas seluruh hak asasi itu

adalah negara yang tidak sesuai dengan fungsinya yaitu

melindungi manusia yang menjadi warga negaranya. Karena

tidak sesuai dengan tujuan didirikannya negara, negara ini

menjadi tidak sah. Dia kehilangan keabsahannya.4

F. Teori Immanuel Kant

Menurut Immanuel Kant, negara mempunyai tujuan untuk

menegakkan hak dan kebebasan warganya yang telah diatur

dalam hukum. Pemerintah bersama-sama rakyat merupakan

subjek hukum, dan sebagai subyek hukum, keduanya harus

tunduk dan patuh kepada hukum. Kehidupan rakyat dalam

suatu negara bukan atas kemurahan hati pemerintah tetapi

karena kemampuan diri  sendiri untuk hidup.

Menurut Kant, manusia dilahirkan sederajat dan sama.

Perbedaan hanya ditimbulkan oleh harta dan pangkat manusia.

Segala kemauan dan kehendak dalam masyarakat harus melalui

dan berdasarkan undang-undang. Peraturan-peraturan hukum

sebagai kehendak negara juga harus dirumuskan karena dia

menjadi dasar pelaksanaan negara.

G. Pandangan Paham Sosialis

Dengan memandang manusia sebagai makhluk yang setara,

maka tujuan negara menurut paham sosialis adalah

memberikan kebahagiaan hidup yang merata dan sama kepada

setiap warganya. Kebahagiaan yang merata perlu

dipertahankan dengan pemberian pekerjaan, sehingga manusia

dapat hidup layak. Negara juga perlu memberi jaminan bahwa

hak-hak asas tidak dilanggar tanpa memandang kelasnya.

Mengenai pemerintahan, paham ini berpendapat bahwa

penguasa berasal dari keseluruhan masyarakat tanpa ada

perbedaan kelompok dalam pemerintahan. Sistem

pemerintahan negara tidak mengenal partai. Negara bertujuan

untuk mengatur kehidupan masyarakat secara komunal.

H. Pandangan Paham Liberalis Kapitalis

Paham liberal kapitalis pada dasarnya memandang manusia

sebagai makhluk hidup yang individualis. Pengertian manusia

sebagai makhluk individu sangat ditonjolkan dan karena itu dia

sangat berbeda dengan paham sosialis.

88 | Tujuan Negara

Tujuan negara menurut paham ini adalah memberikan

kebebasan penuh bagi setiap warga negara untuk memperoleh

kebahagiaan hidup masing-masing. Negara bertugas untuk

menjaga agar pelanggaran hak pribadi tidak terjadi. Dalam

bidang perekonomian, juga berlaku kebebasan bersaing atau

free fight liberalism. Dalam bidang ekonomi, negara tidak

banyak turut campur karena diserahkan kepada mekanisme

pasar.

I. Pandangan Sosial Demokrat

Sebagai suatu ideologi, pandangan sosial demokrat merupakan

reaksi terhadap sistem kapitalis, yang mulai berkembang pada

awal abad ke-20. Tujuan sistem sosial demokrat adalah untuk

mensejahterakan rakyat melalui peran aktif negara dalam

memberikan jaminan kesejahteraan. Adapun kesejahteraan itu

diwujudkan dalam lima pilar, yaitu demokrasi, rule of law,

perlindungan hak asasi manusia, keadilan sosial, dan anti

diskriminasi.


TEORI KEDAULATAN

A. 

Pembahasan mengenai kekuasaan negara akan menyentuh hal

yang disebut sebagai “kedaulatan.” Jika kekuasaan

dikonstruksikan dalam kerangka yuridis, maka kekuasaan itu

disebut kedaulatan.1 Jadi, kedaulatan adalah kekuasaan dalam

perspektif yuridis.

Istilah kedaulatan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris

dan Jerman, soverignty atau souvereinteit yang secara ekstrim

menunjuk kepada pengertian “kekuasaan yang tertinggi.”

Orang yang pertama kali mengemukakan konsep kedaulatan

adalah Jean Bodin. Pemikir Prancis ini mengatakan bahwa

kedaulatan adalah “wewenang tertinggi yang tidak dapat

dibatasi oleh hukum.” Wewenang tersebut ada pada penguasa

yang menguasai seluruh warga negara dan orang-orang lain

dalam ruang lingkup wilayahnya. Pemikiran Bodin itu

kemudian berkembang seiring dengan perkembangan sejarah

politik yang bergeser dari kuatnya sistem monarki (kerajaan)

menjadi sistem demokrasi (kedaulatan rakyat)  yang masih

disanjung tinggi hingga penghujung milinium ketiga saat ini.

Dalam buku teks kenegaraan, dijumpai minimal 6 teori

kedaulatan, yaitu:

1. Teori kedaulatan Tuhan;

2. Teori kedaulatan Raja;

3. Teori Kedaulatan Rakyat;

4. Teori Kedaulatan Negara; dan

5. Teori Kedaulatan Hukum.

B. Teori Kedaulatan Tuhan

Dalam teori ini kekuasaan tertinggi ada di Tangan Tuhan. Oleh

karena itu, seluruh perintah negara haruslah merupakan

implementasi dari kedaulatan Tuhan.2 Seluruh gerak dari

pemerintahan dan rakyat harus sesuai dengan kehendak-

kehendak Tuhan tersebut.

Dalam lintasan sejarah disebutkan banyak penguasa zaman

kuno yang mengaku dirinya sebagai Tuhan. Ada yang

menyembahnya secara sadar dan sukarela, namun lebih banyak

yang menyembah karena terpaksa atau dipaksa oleh aparat

penguasa.  Adapula yang mengaku sebagai wakil atau titisan

Tuhan. Agar kekuasaanya mempunyai legitimasi, banyak juga

penguasa yang merasa representasi sah dari Tuhan semesta

alam. Kedua tipe dari teori kedaulatan Tuhan itu menghasilkan

pemerintahan yang absolut. Oleh sebab itu kemudian teori ini

mulai ditinggalkan.

C. Teori Kedaulatan Raja

Raja biasanya bersandar pada kemampuan untuk menyakinkan

rakyat bahwa ia dan keturunannya yang berhak diangkat dalam

kedaulatan atau kekuasaan yang tertinggi. Tuhan lah yang

memberikan hak untuk memerintah secara mutlak kepada para

raja. Oleh karena itu, kekuasaan politik yang dimiliki para raja

tidak dapat dicabut oleh rakya jelata.3

Kekuasaan yang mutlak pada raja dan banyaknya

penyelewengan kekuasaan ini ke dalam tirani menyebabkan

rakyat tidak lagi percaya kekuasaan tertinggi harus di tangan

raja. Mereka mulai memberontak terhadap raja dan mulai

menyadari kekuatannya “sendiri” sebagai rakyat yang

beridentitas dan berhak.

D. Teori Kedaulatan Rakyat

Timbulnya teori kedaulatan rakyat merupakan reaksi atas teori

kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan monopoli dan

penyimpangan kekuasaan yang akhirnya menyebabkan tirani

dan kesengsaraan rakyat. Ada indikasi kuat bahwa paham

kedaulatan rakyat itu telah membawa secara inheren kepada

semangat sekulerisme dan antroposentrisme. Hal ini

disebabkan oleh paradigma baru yang dibawa oleh kedaulatan

rakyat adalah suatu pembangkangan terhadap legitimasi

kekuasaan Tuhan yang diatasnamakan oleh raja sebagai

pendasaran kekuasaannya.

Jean Jacques Rousseau menggemakan kedaulatan rakyat

lewat buku Du Contract Social. Dalam teori fiksi mengenai

“perjanjian masyarakat” ia mengatakan bahwa dalam suatu

negara, natural liberty telah berubah menjadi civil liberty di

mana rakyat memiliki hak-haknya. Kekuasaan rakyat sebagai

yang tertinggi dalam hal ini melampaui perwakilan yang

berdasarkan suara terbanyak dari suatu kehendak bersama

(general will, volonte generale). Kehendak bersama harus

berdasarkan kepentingan dari golongan yang terbanyak. Jadi,

apabila hanya kepentingan satu golongan minoritas yang

diutamakan, maka bukan menjadi apa yang disebut sebagai

kepentingan umum.

Teori kedaulatan rakyat, yang kemudian secara politik

menjadi gagasan dasar dalam sistem demokrasi, hendak

mengatakan bahwa rakyat sendiri yang berwenang untuk

menentukan bagaimana ia mau dipimpin dan oleh siapa.

Karena semua anggota masyarakat sama kedudukannya

sebagai manusia dan warga negara, dan berdasarkan keyakinan

bahwa tidak ada orang atau kelompok orang yang begitu saja

berhak untuk memerintah orang lain, wewenang untuk

memerintah masyarakat harus berdasarkan penugasan dan

persetujuan para warga masyarakat sendiri.

E. Teori Kedaulatan Negara

Teori kedaulatan negara merupakan reaksi terhadap teori

kedaulatan rakyat. Namun demikian, teori ini sebenarnya

melanggengkan dan melangsungkan teori kedaulatan raja

dalam suasana kedaulatan rakyat.


Dalam hal ini, perwujudan negara yang abstrak dikonkritkan

dalam diri raja. Ajaran ini dikenal sebagai Verkulpritstheorie,

yang artinya negara menjelma dalam tubuh raja. Di sini negara

berdaulat karena rakyat, selanjutnya kedaulatan itu dimiliki

oleh negara yang dimanifestasikan dalam diri raja, sehingga

pada hakikatnya ajaran ini sama dengan teori kedaulatan raja.

F. Teori Kedaulatan Hukum

Teori kedaulatan hukum merupakan penyangkalan terhadap

teori kedaulatan negara. Seperti dikemukakan oleh Krabbe,

bahwa kekuasaan tertinggi tidak pada raja dan negara, tetapi

berada pada hukum, yang bersumber kepada kesadaran hukum

setiap orang. Dalam teori kedaulatan negara, hukum

ditempatkan di bawah negara, sehingga negara tidak tunduk

kepada hukum. Oleh sebab itu, sehubungan dengan hak asasi

manusia, sudah semestinya negara tidak boleh melanggar

hukum. Kalau pun hendak mengadakan perubahan, maka harus

dengan persetujuan rakyat.

Perasaan kesadaran hukum ini terjelma ke dalam naluri

hukum (Rechts instink) di dalam negara melalui adanya

lembaga legislatif. Dengan demikian, lembaga legislatif, yang

populer disebut parlemen, hanyalah suatu lembaga atau alat

untuk menjelmakan kesadaran hukum dari rakyat.


KONSTITUSI

A. Pengertian Konstitusi

Lazim dipahami bahwa salah satu sendi hukum ketatanegaraan

yang paling utama adalah konstitusi. Boleh dikatakan dewasa

ini setiap negara di dunia memiliki konstitusi. Konstitusi

berasal dari Bahasa Latin, constitutio.1 Istilah ini berkaitan

dengan kata jus atau ius, yang berarti hukum atau prinsip.2 Saat

1 M. Solly Lubis menyebutkan kata konstitusi berasal dari kata dalam

bahasa Prancis constituer. Lihat M. Solly Lubis, 1978, Asas-asas Hukum

Tata Negara, Cetakan 2, Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 44. Sementara Sri

Soemantri menyebutkan bahwa asal usul istilah konstitusi adalah dari

bahasa Inggris constitution. Lihat dalam Sri Soemantri, 1982, 

Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Jakarta, Rajawali, hlm. 44.

2 Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme di

Indonesia, Jakarta, Penerbit Konpress, hlm. 1.

96 | Konstitusi

ini, bahasa yang biasa dijadikan rujukan istilah konstitusi

adalah bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Italia, Spanyol,

Portugis, dan Belanda.

Menurut Jimly Asshiddiqie, untuk pengertian constitution

dalam bahasa Inggris, bahasa Belanda membedakan antara

constitutie dan grondwet, sedangkan bahasa Jerman

memebdakan antara verfassung dan gerundgesetz. Bahkan

dalam bahasa Jerman pengertian tentang konstitusi ini

dibedakan pula antara gerundrecht dengan gerundgesetz seperti

antara grondrecht dengan grondwet dalam bahasa Belanda.

Gerundrecht (Jerman) dan grondrecht (Belanda) secara

harfiah berarti hak dasar, tetapi sering juga diartikan sebagai

hak asasi manusia.3

Dalam bahasa Prancis, digunakan istilah Droit

Constitutionel untuk pengertian luas, sedangkan pengertian

sempit, yaitu konstitusi yang tertulis digunakan istilah Loi

Constitutionnel. Droit Constitutionnel identik dengan

pengertian konstitusi, sedangkan Loi Constitutionnel identik

dengan Undang-Undang Dasar dalam bahasa Indonesia, yaitu

dalam arti konstitusi tertulis.4

Dalam bahasa Italia, istilah yang dipakai untuk pengertian

konstitusi adalah Dirrito Constitutionale. Dalam bahasa Arab

dipakai pula beberapa istilah yang terkait dengan pengertian

konstitusi itu, yaitu Masturiyah, Dustuur, atau Qanun Asasi

Di Negeri Belanda, pada awalnya digunakan istilah

staatsregeling untuk menyebut konstitusi. Tetapi, atas prakarsa

Gijbert Karel van Hogendorp pada tahun 1813, istilah

grondwet digunakan untuk menggantikan istilah staatsregeling

yang juga memiliki pengertian undang-undang dasar atau

konstitusi.6 Menurut Jimly Asshiddiqie, di berbagai negara di

Eropa Kontinental, yang menganut tradisi civil law, istilah

konstitusi memang selalu dibedakan antara pengertian

konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis.

Konstitusi yang tertulis itulah yang biasa disebut dengan

istilah-istilah grondwet (Belanda), gerundgesetz (Jerman), Loi

Constituionnel (Prancis). Sementara itu, kata constitutie,

verfassung, gerundrecht, grondrecht, Droit Constitutionnel,

Dirrito Constitutionale, merupakan istilah-istilah yang dipakai

dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang

digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian dalam arti

sempit tersebut. Tulisan ini memaknai konstitusi sama dengan

Undang-Undang Dasar. Tetapi perlu diperingatkan bahwa

konstitusi hanya salah satu sumber hukum tata negara. Selain

konstitusi, ada berbagai kaidah-kaidah lain, baik dalam

formasi peraturan perundang-undangan, kebiasaan (konvensi),

dan yurisprudensi, yang menjadi sumber dan aturan-aturan

hukum tata negara.

Dalam penyusunan konstitusi tertulis, nilai-nilai dan norma

dasar yang hidup dalam masyarakat dan dalam praktik

penyelenggaraan negara turut mempengaruhi perumusan suatu

norma ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Karena itu,

suasana kebatinan (geistichenhentergrund) yang menjadi latar

belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis, perumusan

yuridis suatu ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami

dengan saksama, untuk dapat dimengerti sebaik-baiknya

ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar.

Konsep tentang negara itu dapat dikenali karena lazimnya

dituangkan dalam ketentuan pasal-pasal konstitusi, tentu

dengan catatan jika negara yang bersangkutan mempunyai

konstitusi sebagai dokumen tertulis. Hanya saja, perumusan

undang-undang dasar tidak selalu mengatur secara lengkap dan

rinci segala sesuatunya atau rumusannya masih mengandung

makna ganda atau ketidakpastian, sehingga sering dibutuhkan

pedoman lain untuk menanggulangi masalah yang timbul.

Selain dari penjelasan resmi yang tersedia, pedoman ini antara

lain didapat melalui berbagai cara penafsiran atas rumusan

yang terkandung dalam konstitusi tadi.

Pada sisi lain, seperti dikatakan oleh Kusnu Goesniadhie,

setiap kurun waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-

kondisi kehidupan yang memformasi dan mempengaruhi

kerangka pemikiran (frame of reference) dan medan

pengalaman (field of experience) dengan muatan kepentingan

yang berbeda, sehingga proses pemahaman terhadap konstitusi

dapat terus berkembang dalam praktik di kemudian hari.

Berkaitan dengan hal ini, maka penafsiran terhadap konstitusi

pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang,

memerlukan rujukan standar yang dapat

dipertanggungjawabkan sebaik-baiknya, sehingga konstitusi

tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak

oleh pihak mana pun juga.10 Seperti yang dikatakan oleh Bagir

Manan, tidaklah cukup untuk memahami hukum

ketatanegaraan suatu negara kalau hanya menggantungkan atau

mengukur segala sesuatu dengan asas atau aturan yang ada

dalam konstitusi.11

Menurut Moh. Mahfud M.D. keberadaan konstitusi pada

awal pertumbuhan negara-bangsa modern tidak lepas dari

pengakuan adanya paham demokrasi, yang pada intinya

menyatakan bahwa kekuasaan negara yang tertinggi berada di

tangan rakyat.12 Dalam hal ini, negara terformasi karena

adanya “kontrak sosial” antara individu-individu dengan

penguasa di mana kepada sang penguasa diberi mandat untuk

menjamin pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi individu

tersebut.Tidak semua hak-hak asasi tadi diserahkan kepada

penguasa, namun sebatas apa yang tertuang di dalam “kontrak”

pada saat pemformasian negara tadi. Dalam khasanah

peradaban modern, “kontrak” tersebut dituangkan dalam

formasi konstitusi. Dengan demikian, maka konstitusi

1

merupakan fungsi residual dari hak asasi manusia dan bukan

sebaliknya.13

Dengan tertib berpikir demikian, maka dipahami bahwa

konstitusi merupakan sarana untuk membatasi penguasa

negara. Penggunaan konstitusi sebagai sarana untuk membatasi

kekuasaan negara telah menimbulkan paham

konstitusionalisme. Di dalam gagasan konstitusionalisme

tersebut, konstitusi atau undang-undang dasar tidak hanya

merupakan suatu dokumen yang mencerminkan pembagian

kekuasaan (anatomy of a power relationship) saja, tetapi

dipandang sebagai suatu lembaga yang mempunyai fungsi

khusus, yaitu di satu pihak untuk menentukan dan membatasi

kekuasaan dan di pihak lain untuk menjamin hak-hak asasi

politik warga negaranya. Konstitusi dipandang sebagai

perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh

negara dan pejabat-pejabat pemerintah, sesuai dengan dalil

“Government by laws, not by men”.

Bagir Manan menunjuk hakikat konstitusi sebagai

perwujudan paham tentang konstitusi atau konstitusionalisme

yaitu pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan di satu

pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga negara maupun

setiap penduduk di pihak lain.14 Tetapi, Bagir Manan juga

mengingatkan bahwa adanya rangkaian kaidah atau ketentuan

yang membatasi kekuasaan pemerintah disertai jaminan hak-

hak dasar belum berarti hakikat konstitusi telah diwujudkan.

Kesemuanya harus dilihat dalam kehidupan sehari-hari negara

yang bersangkutan. Suatu negara mungkin memilih rangkaian

kaidah konstitusi yang lengkap, tetapi bukan negara

konstitusional. Sebab dalam kenyataan pemerintah negara

tersebut menjalankan kekuasaan tanpa batas dan hak-hak

rakyat sama sekali ditelantarkan.15

Dengan demikian, pembuatan konstitusi didorong oleh

kesadaran politik yang tinggi mengenai keperluan pengaturan

penyelenggaraan pemerintahan negara sebaik mungkin. Baik

sebagai kaidah hukum maupun sebagai pernyataan prinsip dan

cita-cita, konstitusi sebagaimana juga perundang-undangan

yang lain, merupakan  the resultan of a pralellogram of forces-

political, economic, and social of its adoption, kata Ni’matul

Huda.16 Dalam hal ini konstitusi sebenarnya membawa pesan

tentang bagaimana relativitas kekuasaan pemerintah

distrukturkan.

Singkat kata, suatu konstitusi merupakan buatan manusia

dan dirumuskan oleh pemimpin-pemimpin negara dan para

sarjana serta praktisi politik untuk dipatuhi rakyat. Ini

merupakan fenomena sosial dan mencerminkan adanya nilai-

nilai, ide-ide, kepentingan-kepentingan golongan, dan juga

kepentingan perumusnya. Suatu konstitusi dengan demikian

dipahami sebagai produk dari suatu proses politik yang

seharusnya secara demokratis menampung dan menyalurkan

aspirasi-aspirasi politik yang utama, yang sebenarnya

mencerminkan pandangan rakyat tentang tata norma etis sosial,

ketertiban umum, keadilan, tata nilai sosial, dan budaya,

peranan serta hubungan antar lembaga-lembaga sosial.17

Secara akademik uraian di atas hendak menyatakan bahwa

semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat

perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang

perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya. Menurut Ivo

D. Duchacek, “pembatasan kekuasaan pada umumnya

merupakan corak umum materi konstitusi.”18 Secara filsafati,

ada anggapan bahwa sebelum sebuah aturan hukum diformasi,

termasuk konstitusi, selalu ada nilai yang dianggap mengawali,

lebih utama, dan mendasari [keberlakuan] serta dijadikan dasar

untuk memberi formasi dan isi aturan-aturan hukum tersebut.

B. Model Penyusunan Konstitusi

Kajian tentang hukum konstitusi semakin hari dianggap

semakin penting bagi kebanyakan negara di dunia, khususnya

oleh  negara-negara yang memiliki sistem negara demokrasi

konstitusional. Hal tersebut menjadi relevan mengingat

konstitusi adalah hukum tertinggi di dalam suatu negara (the

supreme law of the land). Oleh karena konstitusi merupakan

landasan fundamental terhadap segala formasi hukum atau

peraturan perundang-undangan, maka sebagai prinsip hukum

yang berlaku secara universal, formasi hukum dan peraturan

perundang-undangan tersebut tidak boleh bertentangan dengan

konstitusi.

Konstitusi kini juga dipahami bukan lagi sekedar suatu

dokumen mati, tetapi lebih dari itu, konstitusi telah menjelma

dan berfungsi sebagai prinsip-prinsip dasar dalam

penyelenggaraan suatu negara yang selalu hidup mengikuti

perkembangan zamannya (the living constitution). Dilihat dari

sudut kedudukannya, konstitusi adalah kesepakatan umum

(general consensus) atau persetujuan bersama (common

agreement) dari seluruh rakyat mengenai hal-hal dasar yang

terkait dengan prinsip dasar kehidupan dan penyelenggaraan

negara, serta struktur organisasi suatu negara.19 Artinya,

ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam konstitusi memiliki

makna penting dan konsekuensi besar untuk dilaksanakan

dengan sungguh-sungguh dan tanpa terkecuali, baik melalui

beragam kebijakan maupun produk peraturan perundangan-

undangan.

Prinsip-prinsip perekonomian nasional yang harus

diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi yang jelas

termaksud dalam UUD 1945, menyebabkan konstitusi negara

kita itu berbeda dari konstitusi negara lain, seperti misalnya

Konstitusi Amerika Serikat yang sama sekali tidak mengatur

urusan-urusan perekonomian dalam konstitusi. Para perumus

Konstitusi Amerika Serikat (1878) berpandangan bahwa urusan

perekonomian mutlak merupakan urusan pasar sehingga tidak

perlu diatur dalam konstitusi. Dalam tradisi Amerika Serikat,

yang bersumber dari tradisi hukum common law di Inggris20,

masalah-masalah perekonomian dipandang sebagai fenomena

pasar (market) yang berkembang dalam dinamika masyarakat

sendiri, sehingga tidak memerlukan pengaturan ketat oleh

negara.

Keseluruhan naskah konstitusi, yang sudah diamamandemen

hingga 27 kali, tidak ada satu pun pasal yang berkaitan dengan

soal-soal perekonomian atau hak-hak ekonomi. Kalau pun ada

pasal yang berkaitan dengan ekonomi dan keuangan, hanya

yang berhubungan dengan kebijakan administrasi negara yang

berkaitan dengan bidang keuangan (moneter), fiskal, dan

anggaran (budgeting). Walaupun sudah tentu pasal-pasal tadi

berpengaruh dalam dinamika perekonomian yang terjadi di

dalam masyarakat, akan tetapi lebih bersifat administrasi

negara daripada misalnya pola hubungan antara peran pasar

dengan negara dalam pengelolaan hak milik dan manajemen

kekayaan alam yang secara langsung berhubungan dengan ciri-

ciri liberalisme atau sosialisme.21

Pola pengaturan semacam itu kemudian ditiru oleh negara di

dunia, sehingga sebagian  besar negara-negara demokrasi Barat

20 Kerajaan Inggris dikenal tidak mempunyai konstitusi, dalam arti

dokumen yang memuat aturan dasar, akan tetapi tidaklah serta merta dicap

tidak konstitusional. Inggris adalah monarki konstitusional, di mana

kekuasaan raja/ratu serta pemerintahannya diatur melalui hukum dasar yang

tidak tertulis. Negara ini sebenarnya juga memiliki dokumen-dokumen

tertulis sebagai rujukan dasar dalam penyelenggaraan kegiatan kekuasaan

negara, di samping berbagai konvensi yang tumbuh dan hidup dalam

praktik. Sekalipun lama di bawah koloni Inggris, saat merdeka Amerika

Serikat menyimpang dari tradisi bernegara semacam itu, dan sering ditunjuk

sebagai negara modern pertama yang menyusun konstitusi.

juga tidak mencantumkan soal-soal perekonomian itu dalam

konstitusi. Dapat dilihat dalam konstitusi Prancis, Italia,

Belanda, Jepang, Filipina, Meksiko,  Korea Selatan, Malaysia,

Thailand, dan sebagainya. Lagi pula dalam tradisi common law

berakar keyakinan tidak semua hal harus diatur dalam hukum

tertulis. Jika timbul masalah, cukup pengadilan yang

mengambil peran untuk menyelesaikannya dengan putusan

yang final dan menjadi menjadi sumber hukum bagi kasus-

kasus berikutnya yang terkait dengan persoalan yang sama.

Dilacak lebih jauh, negara seperti Amerika Serikat dan

Inggris, sudah “mempunyai pengalaman sendiri mengenai

kegiatan perekonomian.”22 Sejak semula, kegiatan bisnis pada

pokoknya memang terpisah dari soal kenegaraan. Inggris

merupakan negara pertama yang mengembangkan sistem yang

kemudian dikenal sebagai kapitalisme klasik. Pada awalnya,

terutama pada abad ke-14 dan ke-15, setiap cabang

perdagangan dan industri di Inggris terhambat  oleh peraturan-

peraturan yang rumit dari penguasa-penguasa feodal dan

berdasarkan ajaran-ajaran abad pertengahan itu. Tetapi

peraturan-peraturan itu dihancurkan dan diganti oleh peraturan-

peraturan baru didasarkan pada usaha peningkatan

industrialisasi. Kebebasan pribadi, kemerdekaan berkontrak,

merupakan asas-asas yang secara mutlak dijunjung setinggi-

tingginya. Segala campur tangan pemerintah terhadap industri

dan perdagangan ditolak dan oleh karena itu lalu dapat

berkembang pesat. Selama 50 tahun sejak tahun 1760-an,

Inggris mengalami masa jaya, karena penguasa mendapatkan

kebebasan untuk mengejar keuntungan sebesar-besarnya

dengan memperkerjakan petani-petani yang menjadi miskin

karena industrialisasi, kaum perempuan, dan anak-anak.

Negara-negara Eropa lainnya atas motif ekonomi juga

melakukan pendudukan serta penjajahan ke seluruh dunia,

yaitu di benua Asia, Afrika, Australia, dan Amerika melalui

perusahaan-perusahaan multinasional yang dikembangkan oleh

perorangan warga negara. Demikian juga pasukan-pasukan

perang dari penjajah itu, berkolaborasi dengan perusahaan-

perusahaan besar mengeksploitasi sumber daya ekonomi di

negara jajahan  untuk keuntungan negara penjajah.

Sesudah dekolonisasi, negara-negara dalam tradisi civil law

tidak terlampau risau soal penting atau tidaknya pemisahan

kegiatan politik dan ekonomi. Sebaliknya, negara common law

bersikukuh mempertahankan tradisi pemisahan itu. Urusan

politik dianggap sebagai urusan negara dan pemerintah,

sedangkan urusan bisnis diserahkan sepenuhnya kepada

dinamika yang berkembang dalam masyarakat sendiri yang

diatur berdasarkan mekanisme pasar. Paradigma inilah yang di

kemudian hari dikenal sebagai kapitalisme, yaitu paham yang

mengutamakan kapital, yang menekankan peranan perusahaan

sebagai penggerak roda perekonomian dalam masyarakat.

Berbeda dengan negara dengan tradisi civil law, yang juga

menganut paham kapitalisme-liberalisme, yang secara umum

memang semenjak awal mempunyai naskah konstitusi. Diawali

dari Prancis (1791), kemudian juga negara Jerman, Belanda,

Swedia, Belgia, Italia, Spanyol, Portugal, Irlandia, dan lain-

lain. Sekalipun sistem ekonomi bersifat kapitalisme-

liberalisme, tetapi tradisi menuangkan kebijakan-kebijakan

pemerintahan dalam formasi hukum tertulis, mendorong juga

untuk menuangkan kebijakan ekonomi dalam undang-undang,

dan bahkan dalam derajat yang lebih tinggi sebagai ketentuan

undang-undang dasar.23

Hal itu sangat berbeda dengan UUD 1945 yang sejak awal

mencantumkan ketentuan tentang haluan atau politik

perekonomian itu dalam 1 bab tersendiri, yakni Bab XIV.

Bahkan, bab yang semula berjudul “Kesejahteraan Sosial”,

sesudah reformasi, yaitu melalui Perubahan Ke-4 2002,

dilengkapi menjadi “Perekonomian Nasional dan

Kesejahteraan Sosial”. Dengan demikian, UUD 1945 dewasa

ini telah makin tegas mempermaklumkan diri sebagai

konstitusi ekonomi (economic constitution, the constitution of

economic policy), di samping sebagai konstitusi politik

(political constitution) dan konstitusi sosial (social

constitution).

Artinya, semua kebijakan-kebijakan ekonomi yang kita

kembangkan haruslah mengacu dan/atau tidak boleh

bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam UUD

1945. Sekarang, masalahnya bukan lagi persoalan setuju/tidak

setuju dengan ketentuan konstitusional semacam ini. Undang-

undang dasar sebagai hukum tertinggi merupakan kesepakatan

kewarganegaraan dan konsensus kebangsaan yang tertinggi

yang harus dijadikan pegangan bersama dalam segenap

aktivitas penyelenggaraan negara. Jika kesepakatan ini

dilanggar, kebijakan yang melanggar demikian itu dapat

dibatalkan melalui proses peradilan.

Dalam perjalanan sejarah, memang berkembang kelompok

pendapat yang berusaha menafsirkan ketentuan Pasal 33 UUD

1945 menurut alur pikirannya sendiri, yang seolah-olah adanya

Pasal 33 itu tidak mempunyai makna sama sekali. Pasal 33

ditafsirkan seolah tidak menolak ekonomi pasar liberal asal

tujuan akhirnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pengertian demikian tentu sama saja jika Pasal 33 itu

dihapuskan sama sekali dari rumusan UUD 1945. Memang

cukup besar hasrat para pakar dan para wakil rakyat yang

berhimpun di Majelis Permuswaratan Rakyat pada tahun 2001-

2002 menjelang Perubahan Keempat disahkan untuk

menghapuskan sama sekali Pasal 33 itu dari UUD 1945. Akan

tetapi, keinginan seperti itu mendapat perlawanan dan tidak

berhasil diwujudkan. Sebaliknya, rumusan Pasal 33 itu

dilengkapi dan bahkan bunyi judul XIV pun dilengkapi

menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”

Rumusan lengkap Pasal 33 menjadi terdiri atas 5 ayat,

ditambah lagi dengan Pasal 34 yang juga dilengkapi menjadi 4

ayat. “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama

berdasar atas asas kekeluargaan”, “(2) Cabang-cabang

produksi yang penting bagi negara dan memenuhi hajat hidup

orang banyak dikuasai oleh negara”, “(3) Bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”, “(4) Perekonomian nasional

diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan

prinsip kebersamaan, efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan,

berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga

keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”,

“(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini

diatur dalam undang-undang”.

“(1) Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh

negara”, “(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial

bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang

lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat

kemanusiaan”, “(3) Negara bertanggungjawab atas

penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas

pelayanan umum yang layak”, dan “(4) Ketentuan lebih lanjut

mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-

undang”.

Gagasan demokrasi ekonomi tercantum eksplisit dalam

konstitusi sebagai hukum tertinggi di negara kita. UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 memang mengandung gagasan

demokrasi politik dan sekaligus demokrasi ekonomi. Artinya,

dalam pemegang kekuasaan tertinggi di negara kita adalah

rakyat, baik di bidang politik maupun ekonomi. Seluruh

sumber daya politik dan ekonomi dikuasai oleh rakyat yang

berdaulat. Dalam sistem demokrasi yang dibangun tentu tidak

semuanya secara langsung dikuasai oleh rakyat. Beberapa

bagian yang pokok diwakilkan pengurusannya kepada negara,

dalam hal ini kepada (i) MPR, DPR, DPD, dan Presiden dalam

urusan penyusunan haluan-haluan dan perumusan kebijakan-

kebijakan resmi bernegara, dan (ii) kepada Presiden dan

lembaga-lembaga eksekutif pemerintahan lainnya dalam

urusan-urusan melaksanakan haluan-haluan dan kebijakan-

kebijakan negara itu, serta (iii) secara tidak langsung kepada

lembaga peradilan dalam urusan mengadili pelanggaran

terhadap haluan dan kebijakan-kebijakan negara itu.

Namun, terlepas dari adanya pendelegasian kewenangan

dari rakyat yang berdaulat kepada para delegasi rakyat, baik di

bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif itu, makna

kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi menurut sistem

demokrasi politik dan demokrasi ekonomi itu tidak dapat

110 | Konstitusi

dikurangi dengan dalih kewenangan rakyat sudah diserahkan

kepada para pejabat. Dalam konteks bernegara, kedaulatan

rakyat itu bersifat ‘relatif mutlak’, meskipun harus diberi

makna yang terbatas sebagai perwujudan ke-Maha-Kuasaan

Allah sebagaimana diakui dalam Alinea Ketiga Pembukaan

UUD 1945. Sebagai konsekuensi tauhid, yaitu keimanan

bangsa Indonesia kepada Allah Swt, Tuhan Yang Maha Esa,

maka setiap manusia Indonesia dipahami sebagai khalifah

Tuhan di atas muka bumi yang diberi kekuasaan untuk

mengolah dan mengelola alam kehidupan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran bersama berdasar atas demokrasi

ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,

berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta

dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan

ekonomi nasional, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 33

ayat (4) UUD 1945.

Seperti dikatakan oleh Kusnu Goesniadhie, setiap kurun

waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi

kehidupan yang memformasi dan mempengaruhi kerangka

pemikiran (frame of reference) dan medan pengalaman (field of

experience) dengan muatan kepentingan yang berbeda,

sehingga proses pemahaman terhadap konstitusi dapat terus

berkembang dalam praktik di kemudian hari.24 Pada tahun

1940-an, mencantumkan urusan perekonomian dalam

ketentuan konstitusi tentu tidak lazim, kecuali di lingkungan

negara-negara sosialis-komunis. Akan tetapi, sesudah

komunisme sendiri runtuh, sekarang banyak sekali negara

demokrasi terbuka yang justru mengadopsi gagasan konstitusi

perekonomian. Republik China (Taiwan) yang menganut

sistem demokrasi dan anti komunis juga memuat ketentuan

pokok mengenai kebijakan ekonomi nasionalnya dalam

konstitusi, pada Bab XIII tentang Fundamental National

Policies, Section 3, mulai dari article 142 s/d artikel 157.

Misalnya, artikel 142 menentukan, “National economy shall

be based on the Principle of People’s Livelihood and shall seek

to effect equalization of land ownership and restriction of

private capital in order to attain a well-balanced sufficiency in

national wealth and people’s livelihood”. Pada bagian dari

artikel 143 ditentukan pula, “... Mineral deposits which are

embedded in the land, and natural power which may, for

economic purpose, be utilized for public benefit shall belong to

the State, regardless of the fact that private individuals may

have acquired ownership over such land”. “If the value of a

piece of land has increased, not through the exertion of labor

or the employment of capital, the State shall levy thereon an

increment tax, the proceeds of which shall be enjoyed by the

people in common”.

Selanjutnya, artikel 144 menentukan, “Public utilities and

other enterprises of a monopolistic nature shall, in principle,

be under public operation. In cases permitted by by law, they

may be operated by private citizens”. Artikel 145 menentukan

pula, “With respect to private wealth and privately operated

enterprises, the State shall restrict them by law if they are

deemed detrimental to a balanced development of national

wealth and people’slivelihood”. “Cooperative enterprises shall

receive encouragement and assistance from the State”.

“Private citizens’ productive enterprises and foreign trade


shall receive encouragement, guidance, dan protection from

the State”.

Memang dapat diakui juga bahwa sebagian ketentuan-

ketentuan konstitusional yang demikian itu sudah ketinggalan

zaman, jika dikaitkan dengan perkembangan globalisasi

dewasa ini. Namun demikian, perlu dicatat bahwa sampai

sekarang –terlepas dari masalah politiknya dengan Republik

Rakyat Cina– Taiwan telah berkembang menjadi salah satu

negara tanpa hutang di dunia. Perekonomian rakyat tumbuh

merata sampai ke desa-desa. Padahal Taiwan bukan negara

komunis dan bahkan anti komunis sejak awal berdirinya.

Selain Taiwan, tentu banyak lagi negara-negara lain yang

dapat dibahas berkenaan dengan pengaturan konstitusional

kebijakan ekonomi negaranya. Misalnya, Konstitusi Afrika

Selatan memuat ketentuan seperti Pasal 34 UUD 1945 yang

mengatur serangkaian hak-hak warga negara di bidang

ekonomi dan sosial yang membebani Pemerintah dengan

kewajiban untuk menyediakan “basic goods and services”

untuk warganya. Demikian pula banyak negara demokrasi

lainnya yang tidak membiarkan kegiatan perekonomian

rakyatnya bergerak sendiri tanpa regulasi dan campur tangan

pemerintah di mana dan kapan diperlukan, semata-mata untuk

menjaga agar dinamika pasar tidak merugikan kepentingan

rakyat banyak yang harus dilindungi oleh negara.

Bahkan, di Amerika Serikat sendiri diskusi-diskusi tentang

konstitusionalisasi kebijakan ekonomi ini juga sangat

berkembang. Pentingnya peran dan intervensi negara ke dalam

mekanisme pasar terus meningkat dari waktu ke waktu.

Apalagi, di tengah krisis keuangan Amerika Serikat sekarang

dan kebijakan “bail-out” yang diterapkan untuk mengatasinya

sekarang justru menambah bukti mengenai pentingnya peranan

negara dalam perekonomian masa kini. Misalnya, Frank I.

Michelman dalam bukunya “Socio Economic Rights in

Constitutional Law: Explaining American Way”, menyatakan,

“... this article suggests why inclusion (pen: maksud pemuatan

ketentuan tentang ekonomi dalam konstitusi) could be

demanded, nonetheless, as a matter of political-moral

principle. It then canvasses possible responses to the American

case. These include both a possible denial that socio-economic

guarantees are,in fact, lacking from US constitutional law and

a possible claim that omitting them is the correct choice for the

US as a matter of non ideal political morality”.

Malah, secara khusus, James M. Buchanan Jr., dalam Prize

Lecture-nya guna memperingati Alfred Nobel (1986) menulis

judul “The Constitution of Economic Policy”. Menurutnya, “In

the standard theory of choice in markets, there is little or no

concern with the constitution of the choice environment”.

“There is no institutional barrier between the revealed

expression of preference and direct satisfaction”. Akan tetapi,

dalam kesimpulannya ia menyatakan, “.... the political

economist who seek to remain within the normative constraints

imposed by the individualistic canon may enter the ongoing

dialogue on constitutional policy”. “The whole contractarian

exercise remains empty if the critical dependence of politically-

generated results upon the rules that constrain political action

is denied. If end states are invariant over shifts in

constitutional structure, there in no role for constitutional

political economy. On the other hand, if institutions do, indeed,

matter, the role is well defined”.

114 | Konstitusi

Dengan menempatkannya sebagai norma-norma konstitusi,

maka ketentuan-ketentuan konstitusional perekonomian itu

mempunyai kedudukan yang dapat memaksa untuk dipakai

sebagai standar rujukan dalam semua kebijakan ekonomi. Jika

bertentangan, kebijakan demikian dapat dituntut

pembatalannya melalui proses peradilan. Dengan demikian,

ekonomi dapat diharapkan membantu dalam membuat

perhitungan, tetapi yang memutuskan adalah politik

berdasarkan ketentuan hukum sesuai dengan apa yang sudah

disepakati bersama oleh seluruh anak bangsa sebagaimana

yang tercermin dalam konstitusi sebagai kontrak sosial.

Dengan perkataan lain, ekonomi memperhitungkan, politik

memutuskan, tetapi hukum lah yang akhirnya menentukan.

Jangan biarkan ekonomi memutuskan segala sesuatu dengan

logikanya sendiri. Politik juga tidak boleh dibiarkan

memutuskan nasib seluruh anak negeri hanya dengan

logikanya sendiri. Inilah hakikat makna bahwa negara kita

adalah negara demokrasi konstitusional, Negara Hukum,

Rechtsstaat, the Rule of Law, not of Man.

C. Penafsiran Konstitusi

Penafsiran konstitusi selama bertahun-tahun, dalam sistem di

Amerika Serikat, dan sekarang di Indonesia dalam pelaksanaan

pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi, telah

berkembang sedemikian rupa dalam putusan perkara hukum

konkrit.25 Tidak ada definisi yang pasti mengenai jenis

penafsiran konstitusi karena setiap peneliti dapat


mengembangkan kajian sendiri mengenai hal ini.26 Dalam

tulisan ini coba diuraikan mengenai jenis penafsiran hukum

yang paling sering dianalisis.27 Adapun jenis penafsiran

tersebut adalah yang berhubungan dengan keberadaan

konstitusi sebagai dokumen hukum, yang sering disebut

sebagai metode original, yang variasinya terbagi ke dalam 3

formasi penafsiran yaitu: (i) tekstual; (ii) struktur; dan (iii)

doktrinal.

1. Penafsiran Tektual

Konstitusi merupakan dokumen hukum yang terdiri atas narasi

yang terbagi ke dalam pasal-pasal dan perubahan.28 Para

penyusunnya merumuskan ketentuan-ketentuan konstitusi yang

berlaku pada masa yang terus menerus, dengan keraguan-

raguan mengenai komitmen generasi yang akan datang.29

Ketentuan itu sendiri merupakan akhir dari pembahasan dalam

persoalan-persoalan tertentu.30

Persoalan sehubungan dengan ketentuan tekstual konstitusi

adalah keterbatasan dan metodologi. Keterbatasan itu

menyangkut relasi dengan persoalan-persoalan yang sifatnya

abstrak. Di Amerika Serikat, mayoritas hakim agung hal itu

dirasakan menimbulkan keragu-raguan, sehingga rumusan

pendapat hukum yang muncul dirasakan sebagai suatu kreasi

hukum dibandingkan penafsiran hukum.31 Dalam kritik

literatur, keterbatasan tekstualisme karena metode ini harus

dihubungkan dengan kenyataan pada saat pertama kali

ketentuan itu disepakati oleh penyusunnya. Sebagai contoh

pendapat Ketua Mahkamah Agung mengenai wewenang

Kongres dalam memformasi Bank Sentral (1889). Menurut

Marshall, Kongres berwenang mengatur perdagangan dan mata

uang, akan tetapi tidak mempunyai kekuasaan untuk

memformasi bank. Marshall mencoba untuk melihat kebutuhan

dan tujuan pelaksanaan diskresi Kongres yang diperlebar

sehubungan dengan masalah itu.  Dari segi kebutuhan, Kongres

dibatasi wewenangnya untuk menentapkan Undang-Undang

untuk memastikan penyelenggaraan negara oleh pemerintah,

yang mana klausula ini mempunyai sifat sebagai nessicerity,

bukan absolute.

Suatu perancangan amandemen Konstitusi juga telah

melalui proses pembahasan yang panjang. Dengan demikian,

originalitas sebagai cara penafsiran adalah memperhatikan

kepada riset yang dilakukan dalam rangka penetapan aturan

yang kemudian menjadi amandemen Konstitusi itu.

Kesulitan menyangkut metode meliputi beberapa hal.

Dengan banyaknya penyusun yang membahas dan

membicarakan konstitusi, menjadi kesulitan, pendapat siapakah

yang akan dianut untuk menjadi pijakan penafsiran? Dapatkah

seketika orang menanyakan kepada penyusunnnya maksud

mengenai dirumuskannya aturan dalam konstitusi? Sebagai

contoh, Hakim Agung Souter berpendapat bahwa klasula

kebebasan beragama dalam ketentuan konstitusi tidak merujuk

kepada preferensi agama tertentu. Sebaliknya, Hakim Agung

Scalia mempunyai pendapat berbeda, bahwa Geraja Inggris

didirikan selama masa kolonialisasi dan pendasaran sumpah

George Washington sebagai Presiden untuk pertama kalinya

merujuk kepada agama itu, sehingga hal itu menunjukkan

komitmen preferensi agama tertentu.

2. Penafsiran Struktural

Konstitusi menetapkan dan mengakui pembagian kekuasaan

vertikal dan horizontal. Secara vertikal, terdapat pemerintahan

nasional, yang menjalankan kekuasaan residu dibandingkan

pemerintahan di bawahnya, ada hubungan antara pusat dan

daerah. Secara horizontal, ada separation of power, yang

memformasi cabang kekuasaan legislatif, yudisial, dan

eksekutif. Pengadilan menjadi penentu akhir dalam

pelaksanaan konstitusi diantara kedua cabang kekuasaan lain.

Oleh karena itu, penafsiran ini berhubungan dengan persoalan

distribusi kekuasaan diantara cabang kekuasaan negara.

Pengadilan sering kali memutuskan ketentuan yang

bertentangan dengan ketentuan yang ada, bahkan mengubah

ketentuan untuk menetapkan perintah pelaksanaan wewenang

yang dilaksanakan oleh suatu cabang kekuasaan negara.

Dengan demikian, pengadilan akan memutuskan bagaimana

cabang kekuasaan harus dilaksanakan secara lebih baik. Hal ini

dapat dibaca bagaimana Mahkamah Agung di Amerika Serikat

membatalkan suatu Undang-Undang yang disetujui oleh

Kongres, atau membatalkan tindakan-tindakan yang

118 | Konstitusi

dilaksanakan oleh Presiden dengan alasan bertentangan dengan

pembagian kekuasaan dalam konstitusi.

3. Penafsiran Doktrinal

Dalam hal ini, penafsiran berpijak kepada pendapat para ahli

atau sarjana hukum sehubungan dengan masalah-masalah yang

harus ditafsirkan atas ketentuan dalam Undang-Undang Dasar.

Banyak putusan pengadilan mengenai hal ini menyangkut

persoalan-persoalan yang bersifat mendasar. Misalnya

keabsahan pejabat yang dipilih melalui pemilu.

Untuk memutus perkara tersebut, pengadilan harus

menetapkan bahwa ketentuan dalam konstitusi berlaku jelas

dan konsisten dengan pertanggungjawaban sosial dan

keberlanjutan. Hal ini disebabkan doktrin adalah hasil

perkembangan pemikiran secara bertahap dari satu waktu ke

waktu berikutnya. Hasil putusan dengan metode penafsiran ini

dapat memperluas ketentuan dalam konstitusi maupun

inkremental.

PEMISAHAN

KEKUASAAN

Sebelum dikenalnya pemisahan kekuasaan dalam negara,

seluruh kekuasaan yang ada dalam negara dilaksanakan oleh

raja. Monarki absolut tersebut terjadi di seluruh Eropa. Perang

berkepanjangan menyebabkan para raja tersebut menarik pajak

yang tinggi dari masyarakat dan meminta bantuan keuangan

pada para bangsawan di negaranya yang merupakan cikal bakal

parlemen di beberapa negara. Hal tersebut antara lain dapat

dilihat pada negara Inggris yang memiliki parlemen pertama di

dunia yang diformasi pada tahun 12651, dan juga Prancis, di

mana Pemerintah Prancis yang bangkrut pada tahun 178