TV digital 4

 




 kanal UHF untuk TVRI. Dalam perkembangan

selanjutnya, semakin banyak izin penyelenggaraan TV swasta

yang dikeluarkan, sehingga secara teknis sudah sulit untuk

diakomodasi.

 

 

 

 

 

 

[Sumber TVRI-Pusat] 

Lembaga Penyiaran Publik:  

 - TVRI,  

 - 24 Stasiun Penyiaran,  

 - + 376 Satuan Transmisi. 

Lembaga Penyiaran Swasta:  

- 10 Stasiun: RCTI, SCTV, INDOSIAR, 

ANTEVE, TPI, METROTV, TV7,  

TRANSTV, LATIVI, GLOBALTV,  

 - + 300 Satuan Transmisi. 

Lembaga Penyiaran Komunitas: Sekolah dan 

kampus 

Tabel 8.1: Lembaga Penyiaran Di negara kita 

Karena jalur UHF juga sudah penuh sesak maka master plan pita

UHF secara perlahan mengalami modifikasi, yang tertuang dalam

Keputusan Menteri Perhubungan No: KM76/2003 tentang Rencana

Induk (Master Plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan

Telekomunikasi khusus untuk Keperluan Televisi Siaran Analog.

Keputusan menteri ini juga telah mempertimbangkan kemungkinan

migrasi ke sistem digital, dengan mempersiapkan kanal yang dapat

digunakan untuk proses transisi ke sistem digital.

Jenis layanan dan penggunaan spektrum frekuensi diatur oleh ITU

secara internasional. Pada tingkat nasional, pemerintah

mengusahakan sedapat mungkin mengacu pada pengaturan ITU

tersebut. Pita-pita spektrum yang dipertimbangkan untuk digunakan

oleh sistem penyiaran digital adalah pita MF, HF, VHF I, II dan III,

pita UHF IV dan V dan pita 1,5 GHz, 2,5GHz dan 3,5 GHz.

Pita-pita frekuensi di atas digunakan bersamaan dengan layanan

komunikasi radio, dan dalam beberapa kasus, layanan sekunder

seperti radio amatir, mikrofon nirkabel dan perangkat pengawasan.

Selain itu, negara kita  memiliki kondisi geografis yang berbatasan

dengan sejumlah negara, yaitu Singapura, Malaysia, Timor Leste,

Papua Nugini, Filipina dan Australia, sehingga perlu diperhatikan

dalam koordinasi penggunaan frekuensi internasional di daerah

perbatasan, termasuk frekuensi penyiaran. Asumsi penjatahan

kanal frekuensi UHF (Tabel 8.3).

 

Tabel 8.2: Kanal Penyiaran TV Di negara kita  [Setiawan-2003]

Regulasi Master Plan Frekuensi berdasarkan Keputusan Menteri

Perhubungan Nomor: KM 76/2003  tentang: Rencana Induk (Master

Plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus

untuk Keperluan Televisi Siaran Analog pada Pita Ultra High

Frequency (UHF)menurut Bab III Pasal 6  adalah sebagai berikut:

O Wilayah layanan yang dialokasikan sebanyak 13 (tiga belas)

atau 14 (empat belas) kanal frekuensi, 2 (dua) kanal frekuensi

di antaranya disediakan untuk kanal transisi televisi digital

sebagaimana tercantum dalam lampiran IV keputusan ini.

O Wilayah layanan yang dialokasikan sebanyak kurang dari atau

sama dengan 7 (tujuh) kanal frekuensi, 1 (satu) kanal frekuensi

di antaranya disediakan untuk kanal transisi televisi digital

sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV keputusan ini.

O Kanal transisi televisi digital sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) dan (2) merupakan kanal frekuensi peralihan untuk

pengoperasian/pemancaran televisi siaran digital pada pita UHF

dimana televisi siaran digital dan televisi siaran analog dapat

beroperasi bersama-sama pada kanal frekuensi yang berbeda

(simulcast).

[ , ]

 

 

Jumlah 

Kanal 

TV 

Swasta 

Jumlah 

Kanal 

TVRI 

Jumlah 

Kanal 

TV 

Digital 

Jumlah 

Kanal TV 

Lokal 

Jabotabek dan 

Ibu-Kota 

Provinsi 

10 1 2 1 

Daerah lainnya 5 0 1 1 

Tabel 8.3: Asumsi Penjatahan Kanal pada Master Plan UHF

                  [Setiawan, 2003]

O Ketentuan penggunaan kanal transisi televisi digital

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur

dengan Keputusan tersendiri.

Belakangan ini semakin banyak lagi permohonan izin penyiaran

TV yang diajukan oleh banyak pihak di daerah, termasuk juga untuk

TV komunitas dan lembaga penyiaran daerah. Keinginan untuk

memiliki layanan penyiaran daerah dan komunitas ini didorong oleh

perkembangan otonomi daerah dan keinginan yang sangat tinggi

dari komunitas masyarakat beserta jajaran pimpinan di daerah

agar bisa menyebarkan secara cepat dan langsung program-

program komunitas dan kedaerahan mereka. Namun permohonan

izin tersebut masih belum bisa diproses oleh Departemen

Komunikasi dan Informatika karena keterbatasan kanal yang

tersedia.

Patut dicermati pula adanya konflik pada kanal 27 untuk area

cakupan Jakarta dan sekitarnya yang oleh Departemen

Komunikasi dan Informatika digunakan untuk uji coba dan transisi

TV digital, akan tetapi sudah digunakan oleh  suatu lembaga

penyiaran swasta lokal yang memperoleh izin penyiaran dari Dinas

Perhubungan DKI Jakarta. Berbagai fenomena di atas mendorong

solusi penggunaan penyiaran digital, yang menjanjikan

penggunaan kanal frekuensi yang lebih optimal, dengan tetap

mempertimbangkan aturan dan layanan yang telah ada.

Namun, sebelum memutuskan alokasi kanal frekuensi dan

perizinan, haruslah lebih dulu dilakukan kajian yang mendalam

yang tentang tingkat kesesuaian, atau ketidaksesuaian, pita-pita

frekuensi tersebut bagi sistem penyiaran digital di negara kita . Selain

itu, harus pula dipertimbangkan kesesuaian dengan standar TV

digital yang dipilih dan persinggungannya dengan layanan

telekomunikasi lainnya. Sejumlah alternatif untuk memungkinkan

tersedianya spektrum frekuensi dan pengkanalan yang tepat bagi

layanan penyiaran digital di negara kita  antara lain:

- Mencari spektrum yang bersebelahan (adjacent channels)

dengan layanan penyiaran yang sudah ada di sejumlah pita

frekuensi;

- Menggeser layanan  yang sudah ada ke pita-pita yang lain;

- Menukar layanan dalam suatu pita supaya tersedia spektrum

yang memadai dan bersih untuk layanan penyiaran digital;

- Membatasi jumlah radio analog atau TV analog dalam pita-

pita frekuensi yang terkait.

- Memperketat pengawasan dan pelaksanaan aturan yang

telah dibuat atau akan dibuat untuk memberikan layanan yang

baik bagi pihak badan penyiaran maupun pengguna layanan

TV atau radio (pemirsa atau pendengar).

8.4. Model Struktur Bisnis Penyiaran TV-Digital

Bentuk jasa pelayanan sistem penyiaran TV digital akan sangat

berbeda dibandingkan dengan bentuk jasa pelayanan sistem

penyiaran TV analog. Bentuk jasa sistem penyiaran TV analog

umumnya bersifat vertikal. Artinya, para pemilik lembaga penyiaran

tersebut di samping menyediakan konten program siarannya harus

pula menyediakan infrastruktur jaringannya mulai dari pemancar,

relay sampai ke transponder di satelit. Sedangkan pada sistem

penyiaran TV digital para pemilik konten program (content provider)

tidak harus memiliki infrastruktur jaringan TV.

Pada layanan sistem penyiaran TV digital secara blok jaringan

akan terpisah-pisah yaitu mulai dari penyedia program atau yang

biasa disebut “content creator atau content provider” kemudian

akan dikirim ke “content agregator” yang berfungsi sebagai

pendistribusi program yang kemudian program tersebut diubah

dalam bentuk format MPEG2 atau MPEG4 untuk dikirim   ke MPEG

multiplexer provider dan kemudian disalurkan ke pemirsa melalui

jaringan pemancar TV digital oleh network transport provider .

Masing-masing bentuk layanan tersebut bisa membentuk badan

usaha yang disesuaikan dengan kompetensi layanannya.

Semua aktivitas layanan jasa itu memang dimungkinkan untuk

ditangani oleh satu badan usaha seperti pada era sistem TV

penyiaran analog, tetapi tentu akan diperlukan modal usaha yang

sangat besar. Dengan pemisahan  ini maka masing-masing bisa

lebih berkonsentrasi pada bidang bisnisnya sendiri, sehingga

masyarakat pemirsa TV akan memperoleh kualitas layanan yang

lebih beragam dan tentunya lebih baik.

Sistem penyiaran TV digital membuka jasa layanan baru seperti

informasi laporan lalu lintas, ramalan cuaca, berita, olah raga,

pendidikan, bursa saham, kesehatan dan informasi-informasi

layanan masyarakat lainnya. Para penyedia content hanya

terkonsentrasi pada isi program saja dan tidak perlu mengurus

penyiapan infrastruktur jaringan dan pengoperasiannya, cukup

membayar sewa jaringan transmisi saja atau bisa dijual kepada

content distributor.

Migrasi dari sistem penyiaran analog ke sistem digital diharapkan

akan diikuti oleh terjadinya konverjensi layanan TV yang lebih

mengarah kepada layanan yang lebih atraktif, interaktif dan variatif,

bahkan layanan yang bersifat on demand. Di samping itu sistem

penyiaran digital juga menawarkan keuntungan-keuntungan yang

tidak dimiliki oleh sistem analog seperti:

· Pemanfaatan kanal frekuensi yang lebih hemat, karena 1

kanal analog bisa dimanfaatkan 4 sampai 6 program siaran

· Layanan bergerak (mobile TV) dengan kualitas yang jauh lebih

baik dari analog

· Adanya electronic program guide yang bisa memberikan

keterangan atau informasi berharga tentang materi atau

konten dari program siaran tersebut.


· Layanan berbentuk data sebagai fitur untuk akses data dan

pesan atau yang biasa disebut sebagai data casting.

· Layanan berbasis high definition televisión untuk program-

program yang bersifat hiburan.

Dari keuntungan-keuntungan ini siaran TV digital tentunya akan

menyebabkan pergeseran karakteristik pola-pola siaran program

televisi seperti:

· Berkembangnya layanan televisi yang sebelumnya bersifat

free to air berpindah menjadi layanan yang bersifat langganan

(pay per view).

· Layanan yang sebelumnya hanya bersifat satu arah bisa

menjadi lebih interaktif dengan pola transmisi hybrid (return

channel path yang berbeda dengan kanal siaran), yang

memungkinkan interaksi antara program dengan

pemirsanya.

· Peluang bisnis baru melalui media elektronik yang semakin

atraktif seperti tele-advertising, tele-education dan tele-

shopping

· Semakin tipisnya perbedaan batas layanan media baik yang

melalui saluran telekomunikasi maupun saluran televisi,

khususnya untuk layanan yang berbasis video streaming.

Pergeseran pola-pola layanan di atas tentunya akan berdampak

kepada tumbuhnya pola-pola bisnis baru di bidang multimedia

seperti layanan tele-advertising yang bisa langsung masuk ke

rumah dengan teknologi multimedia home platform (MHP) yang

lebih atraktif dibanding dengan layanan iklan sebelumnya dan

layanan ini lebih bersifat personifikasi yang lebih menarik bagi para

pemirsanya.

Layanan tele-edukasi yang sebelumnya menggunakan jaringan

Internet pun bisa dimanfaatkan lewat jaringan TV digital dengan

tambahan fitur interaktif. Juga layanan electronic government untuk

keperluan informasi perizinan dan sosialisasi pada publik dan lain-

lain.

Dari pergeseran pola-pola layanan yang semakin interaktif tersebut

tentunya akan berdampak pada bentuk dan pola kebijakan

pemerintah (policy) dan peraturan (regulation) demi penyelarasan

layanan-layanan itu, khususnya interaksi antara layanan yang

berbasis pada televisi dengan telekomunikasi.

Oleh sebab itu, negara-negara berkembang yang cepat atau

lambat harus menjalani migrasi dari sistem analog ke sistem TV

digital itu perlu merencanakan dengan lebih matang dan terperinci

agar tidak merugikan atau membebani masyarakat, bahkan malah

menimbulkan kesenjangan baru (digital divide) bagi masyarakat

dalam mengakses siaran televisi. Apalagi, agenda dari negara-

negara maju yang pasti berkepentingan terhadap migrasi tersebut,

pada dasarnya sarat dengan kepentingan ekonomi, sosial-budaya

dan ideologi-politiknya.

Sejumlah negara maju seperti, Kanada dan Australia, telah

melakukan kajian mendalam tentang migrasi ke sistem TV digital

dan konverjensi. Di dua negara tersebut berkembang berbagai

wacana untuk dapat merumuskan kebijakan-kebijakan yang tepat

guna mengantisipasi transisi tersebut. Salah satu wacana yang

mengemuka adalah peran sosial dan budaya dari media dalam

era digital/ konverjensi. Terdapat kekhawatiran bahwa aturan yang

sudah ada dalam UU penyiaran mereka tidak akan sesuai lagi bila

dipakai dalan era media digital/konverjensi. Dikhawatirkan

kecenderungan dominasi pendekatan komersial akan mengabaikan

fungsi sosial dan budaya dari media khususnya media penyiaran.

Australia sudah punya guidance tentang fungsi dan tujuan sosial-

budaya dari penyiaran, yang  dirumuskan sebagai berikut:

· Penyiaran memiliki peranan penting dalam membangun

karakter nasional sebagai sumber dari informasi publik dan

pemanfaatan pengalaman serta sebagai ekspresi dari

identitas budaya nasional dan sebagai cara menjembatani

perbedaan serta membangun komunikasi antara daerah maju

dan tertinggal.

· Penyiaran ditujukan sebagai media yang sangat strategis

dalam mengekspresikan budaya, dan penyiaran memiliki

kapasitas dalam mempertahankan keanekaragaman budaya.

· Penyiaran dimaksudkan untuk meningkatkan kehidupan

berkewarganegaraan, mempromosikan secara benar

informasi yang terkait dengan pengetahuan tentang

demokrasi, menciptakan pengetahuan umum dan bisa

merefleksikan dan mengomunikasikan cara pandang yang

berbeda-beda.

· Penyiaran dimaksudkan untuk membentuk standar

komunitas tentang pembentukan cita-rasa dan tata-

kesopanan.

· Industri penyiaran dimaksudkan untuk berkembang dan

berjalan lebih kompetitif, efisien dan responsif.


negara kita  belum memiliki kebijakan formal yang mengatur khusus

tentang penyiaran digital. UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

belum membahas penyiaran digital secara khusus. Padahal

penyiaran digital memiliki karakteristik tersendiri dan

membutuhkan kebijakan yang spesifik setelah proses konsultasi

publik dilakukan. Sebagai alternatif dapat digunakan kebijakan

penyiaran yang sekarang berlaku untuk mengakomodasi seoptimal

mungkin penyiaran digital.

Kebijakan penyiaran digital diperlukan untuk mendukung proses

migrasi dari analog ke digital pada saat yang bersamaan di masa

depan. Ketika pemegang lisensi penyiaran yang sekarang akan

mengajukan pembaharuan lisensi, maka pemohon lisensi yang

tidak berkomitmen untuk migasi ke digital memiliki keunggulan

kompetitif terhadap pemohon yang memiliki komitmen untuk

migrasi. Oleh karena itu sebaiknya setiap pemohon lisensi harus

memasukkan proposal untuk dapat memberikan layanan

simulcast. Usulan ini dapat menjadi momentum untuk penyiaran

digital.

Kerangka hukum untuk penyiaran di negara kita  dilakukan melalui

dua produk hukum yaitu :

1. UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang

mengatur tentang penyelenggaraan Telekomunikasi baik

berupa Jaringan, Jasa dan Telsus; Standarisasi (Sertifikasi);

penggunaan spektrum frekuensi radio, yang dilaksanakan

oleh Dirjen Postel.

2. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang mengatur

tentang penyiaran radio dan televisi baik publik, swasta,

berlangganan dan komunitas, dan dalam hal ini

dilaksanakan oleh Direktorat Penyiaran Direktorat Jenderal

Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi. Namun UU

ini tidak secara khusus membahas penyiaran digital.

Saat ini Dirjen Postel yang berada di bawah Departemen

Komunikasi dan Informatika hanya memberikan lisensi penyiaran

kepada lembaga penyiaran analog. Meskipun UU Penyiaran tidak

mengatur mengenai teknologi akan tetapi perkembangan teknologi

baru membutuhkan perubahan payung hukum. Kebutuhan-

kebutuhan tersebut termasuk penggunaan spektrum frekuensi dan

bandwidth, lisensi perizinan untuk stasiun penyelenggara penyiaran

digital, prosedur kebijakan migrasi analog ke digital, masa transisi

penggantian pesawat penerima analog, penggunaan single

frequency network dan lain-lain. Untuk membahas masalah

tersebut dibutuhkan pengkajian kembali produk hukum yang ada,

untuk membuat produk hukum yang baru.

Regulasi di bidang penyiaran saat ini membentuk suatu struktur

industri yang terhubung secara vertikal dalam satu kesatuan antara

lembaga penyiaran, konten penyiaran, fasilitas jaringan, dan akses

spektrum frekuensi. Konsekuensinya, setiap operator broadcasting

harus memiliki infrastruktur transmisi sendiri dengan menggunakan

kanal frekuensi radio sendiri untuk setiap lokasi dalam mengirimkan

program kepada pemirsanya. Jenis hubungan seperti ini sudah

tidak sesuai lagi dalam era konverjensi.

Regulasi penyiaran saat ini tidaklah mudah dalam menyelesaikan

permasalahan penyelenggaraan layanan multimedia yang telah

mengalami konverjensi dari sisi konten. Konten baik untuk

komunikasi maupun untuk penyiaran dapat dikirimkan melalui

banyak alternatif jaringan transportasi seperti fixed services,

satellite, broadband ADSL, Wireless broadband, Digital televisi

dan mobile telephony.

Dalam kaitan untuk kepentingan nilai atau kompetisi dalam

pemanfaatan spektrum frekuensi, regulasi dalam penyiaran tidak

mengenal kepentingan di atas. Frekuensi untuk penyiaran harus

dialokasikan terpisah dengan pemanfaatan yang diperuntukkan

hanya khusus untuk siaran baik TV maupun radio.  Pemanfaatan

sumber daya frekuensi di kanal-kanal UHF oleh institusi-institusi

penyiaran dipandang tidaklah setara dengan nilai sumber daya

kanal frekuensi yang mereka pakai, mengingat kanal-kanal UHF

yang dipakai pada sistem penyiaran TV sangatlah bernilai tinggi

apabila dimanfaatkan bagi penyelenggaran jaringan telekomunikasi

dan multimedia bergerak.

Tren regulasi internasional sangatlah mendorong adanya

konverjensi karena dalam pengaturannya akan terjadi pemisahan

antara penyelenggara konten dengan penyelenggara jaringan. Ini

berarti layanan konten ke depan akan diregulasi sesuai dengan

sifat dari konten itu sendiri. Hal ini juga berarti bahwa regulasi dan

akses terhadap jaringan akan didominasi oleh interkoneksi kepada

jaringan dan akses kepada infrastruktur. Kerangka ini tentunya akan

menjadikan sumber daya spektrum frekuensi menjadi suatu aset

yang bernilai baik bagi negara dan masyarakat. 


Dengan tren internasional yang mendorong adanya layanan yang

berbentuk konverjensi maka perlu dipakai pendekatan model

horizontal untuk suatu regulasi dalam sistem penyiaran digital, yaitu

dengan melakukan pemisahan antara jenis-jenis layanan, konten,

mux operator dan network operator. Jadi ke depan nantinya untuk

penyiaran TV digital terestrial terdapat tiga jenis layanan yang akan

muncul yaitu layanan multiplex, layanan program televisi dan

layanan tambahan.

1.Operator Multiplex

Operator multiplex bertugas menggelar jaringan pemancar digital

terestrial, mengatur alokasi kapasitas kanal dari multiplex untuk

layanan program televisi maupun layanan tambahan dan

memancarkan layanan tersebut. Meskipun tidak berhubungan

langsung dengan pemirsa, namun operator multiplex merupakan

penghubung antara pemirsa dengan penyedia jasa layanan

program televisi dan atau penyedia jasa layanan tambahan.

2.Penyedia Layanan Program Televisi

Penyedia jasa program televisi menyediakan layanan televisi

termasuk data program. Penyedia layanan program televisi juga

sebagai penanggung jawab isi dari layanan program.

3.Penyedia jasa layanan tambahan.

Melalui aplikasi teknologi digital, data-data selain program, televisi

juga dapat dipancarkan dan diterima oleh pesawat penerima tanpa

mempengaruhi kualitas gambar meskipun menggunakan kanal

frekuensi yang sama. Layanan tambahan meliputi home banking,

home shopping, layanan interkatif dan multimedia. Layanan

tambahan dapat meningkatkan fitur layanan penerimaan teknologi

digital ini untuk pemirsa.


Untuk pemberian lisensi-perizinan terhadap tiga jenis layanan

tersebut terdapat dua pendekatan. Pendekatan pertama yaitu

lisensi kombinasi yang mana lembaga penyiaran diberi lisensi

untuk menyediakan layanan program televisi dan menggelar serta

mengoperasikan multiplex untuk menyiarkan layanan program

mereka sendiri. Kapasitas multiplex yang tersisa dapat digunakan

oleh penyedia layanan program lainnya atau untuk penyedia

layanan jasa tambahan. Pendekatan ini sama dengan layanan

program televisi analog yang sekarang diberikan kecuali bahwa

pemegang lisensi analog tidak diperkenankan untuk menyewakan

kapasitas pemancarnya kepada penyedia jasa lainnya.

Pendekatan yang kedua adalah memisahkan antara lisensi

operator multiplex, penyedia jasa layanan program televisi dan

penyedia jasa layanan tambahan. Untuk pendekatan ini kanal

frekuensi tidak dialokasikan bagi lembaga penyiaran tetapi diberikan

kepada operator multiplex yang mengatur (berdasarkan kontrak

bisnis) layanan program televisi maupun layanan tambahan pada

tiap kanal frekuensi. Dengan pendekatan ini penyedia jasa layanan

mungkin tidak ingin terlibat dalam pengoperasian multiplex. Namun,

perusahaan yang berminat untuk menjadi operator multiplex

sekaligus menjadi penyedia layanan program dapat memohon

lisensi keduanya.

Kedua pendekatan tersebut tentunya perlu dikonsultasikan terlebih

dahulu kepada publik atau stakeholder terkait. Berikut ini berapa

masukan yang bisa dipakai sebagai Rekomendasi untuk Lisensi :

· Pemberian lisensi untuk penyiaran TV digital sebaiknya

menggunakan pendekatan terpisah yaitu lisensi untuk

operator multiplex, penyedia jasa layanan program dan

penyedia jasa layanan tambahan.

· Sebuah perusahaan tidak diizinkan untuk meminta lebih dari

dua lisensi untuk operator multiplex.

· Jumlah lisensi untuk penyedia jasa layanan program televisi

akan dibatasi oleh ketersediaan spektrum frekuensi.

· Pemegang lisensi penyedia jasa layanan program televisi

baik berbayar ataupun free to air tidak diperbolehkan

memenuhi kapasitas lebih dari satu multiplex.

· Pemegang lisensi operator multiplex diperbolehkan untuk

menyediakan maximal 25% dari kapasitasnya untuk

memberikan jasa layanan tambahan.

Untuk itu perlu disempurnakan atau disusun regulasi baru dalam

penyiaran yang bersifat horizontal, yakni terjadinya pemisahan

aturan yang terkait paling tidak antara konten, layanan dengan

infrastruktur jaringan. Dengan regulasi yang mengedepankan model

horizontal ini maka penyiaran digital bisa disalurkan melalui

berbagai media seperti 3G mobile telephony, Cable TV, Broadband

Wireless Access dan jaringan terestrial TV digital itu sendiri.

8.5. Strategi Implementasi Penyiaran TV Digital

Pada Maret 2007 Pemerintah telah memutuskan sistem penyiaran

TV digital, melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika

Republik negara kita  Nomer: 07/P/M.KOMINFO/3/2007, tentang

Standar Penyiaran Digital Terestrial Untuk Televisi Tidak Bergerak

di negara kita . Sistem Penyiaran Digital Terestrial untuk TV tidak

bergerak yang akan dipakai adalah : DVB-T (Digital Video

Broadcasting-Terestrial). Disebutkan pula pada Peraturan Menteri

tersebut, sebagai konsekuensi diputuskannya sistem DVB-T, yaitu

mengenai beberapa hal yang terkait dengan penyelenggaraan

penyiaran TV digital terestrial, seperti:

1. Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Penyiaran Digital

Terestrial.

2. Standarisasi perangkat penyiaran digital terestrial tersebut

3. Jadwal  (time schedule) proses pelaksanaan peralihan

(migrasi) dari sistem penyiaran analog ke sistem penyiaran

digital termasuk masa transis penyelenggaraan penyiaran

analog dan digital secara bersamaan (simulcast periode).

Dengan keputusan tersebut maka akan terjadi proses perubahan

yang sangat berarti bagi negara kita . Perubahan-perubahan akan

terjadi baik di sisi teknis implementasi, kebijakan regulasi, sampai

pada sisi bisnis aplikasinya. Proses peralihan (migrasi) ini

sebaiknya harus disikapi oleh Pemerintah dengan sangat hati-hati,

mengingat dampak ekonomi, sosial politik dan budaya dari proses

digitalisasi media penyiaran ini akan sangat berpengaruh bagi

masyarakat.

Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika,

sejak Juni tahun 2004 telah membentuk Tim Nasional Migrasi

Penyiaran Sistem Analog ke Digital. Tim ini beranggotakan

sejumlah pejabat dan para pakar yang mewakili unsur-unsur

pemerintah, akademisi, lembaga riset, industri, serta asosiasi-

asosiasi di bidang TIK dan Penyiaran seperti antara lain Direktorat

Jenderal Postel, Direktorat Jenderal Sarana Komunikasi dan

Diseminasi Informasi, Departemen Perindustrian, Departemen

Keuangan, BPPT, Bappenas, TVRI, RRI, ATVSI, ATVLI, PRSSNI,

AEBI, PT LEN, PT Elektrindo Nusantara dan lainnya.

Tugas utama Tim ini adalah mempelajari berbagai aspek migrasi,

di antaranya mempelajari kesiapan regulasi, kesiapan

penyelenggara siaran, kesiapan industri dalam kaitan dengan set-

top box dan pesawat TV, kesiapan masyarakat baik dari segi teknis

maupun sosial, budaya, dan ekonomi. Tim juga membuat

pertimbangan dari aspek politis berkaitan dengan sinkronisasi

sistem standar dengan negara tetangga. Selain itu, Tim juga

merencanakan transisi analog  ke digital yang diawali dengan masa

simulcast selama beberapa tahun. Pada masa transisi ini sistem

analog dan digital dipancarkan bersamaan sampai akhirnya sistem

analog dihentikan (analog cut off).

Salah satu tugas dari Tim adalah melaksanakan uji coba

penggunaan sistem TV digital  di Jakarta. Uji coba telah

dilaksanakan sejak tahun 2006 oleh Tim Nasional bekerja-sama

dengan TVRI-Pusat Jakarta, lembaga riset-BPPT dan

Kementerian Riset & Teknologi dibantu beberapa akademisi dari

Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) dengan

menggunakan perangkat Pemancar DVB-T dari Rohde&Shwarz

dan Thales serta pemancar DMB-T dari China milik PT Supersave

dengan perangkat preventif monitoring dari Pixelmetrix milik

Alphatron Asia-PTE Ltd. Uji coba ini cukup memuaskan  Proses Migrasi sebagai Momentum Nasional

Sistem penyiaran digital akan mengubah secara signifikan

pemanfaatan kanal frekuensi. Penggunaan kanal menjadi sangat

efisien. Dengan sistem penyiaran analog saat ini 1 kanal frekuensi

hanya bisa diisi oleh satu program. Namun,  dengan sistem

penyiaran digital 1 kanal frekuensi akan bisa diisi antara 4 sampai

6 program sekaligus. Sebagai contoh, 10 program siaran TV

swasta nasional saat ini menduduki 10 kanal di UHF, kelak dengan

sistem digital hanya akan menduduki 2 atau 3 kanal saja.

Sistem transmisi analog juga boros kanal.  Karena, dari dua kanal

frekuensi yang digunakan selalu harus ada 1 kanal kosong sebagai

kanal perantara atau disebut guard channel, atau taboo channel.

Sedangkan pada sistem transmisi digital kanal perantara tidak ada.

Artinya kanal-kanal frekuensi di sistem digital bisa dimanfaatkan

secara bersebelahan.

Sebagai ilustrasi penggunaan alokasi kanal UHF untuk area

pelayanan di Jakarta. Kanal-kanal yang tidak digunakan di band

UHF bisa dimanfaatkan untuk siaran TV digital secara simulcast,

misalnya kanal 34, 36, 38 dan 40. Kanal-kanal tersebut akan

dimanfaatkan sebagai Multiplexer 1, Multiplexer 2, Multiplexer 3

dan Multiplexer 4 yang masing-masing multiplexer tersebut bisa

menyalurkan minimal 4 program siaran sekaligus. Sehingga hanya

dengan 4 kanal saja kita sudah bisa menikmati 16 program siaran

di Jakarta untuk siaran simulcast nanti. [sumber: presentasi Tim

Nasional Migrasi Sistem Digital & TVRI di Bali Nopember 2006]

Proses migrasi dari sistem penyiaran analog ke digital tentu saja

menyebabkan penambahan anggaran atau biaya pada operator

broadcasting dan masyarakat. Operator penyiaran perlu

menambah investasi peralatan pemancar digital, sedangkan

masyarakat perlu membeli peralatan penerima sinyal digital (set-

top box).

Untuk itu, sebelum memasuki era penyiaran digital penuh,

Pemerintah perlu menggariskan proses transisi migrasi

(simulcast) Tujuannnya adalah meminimalkan risiko kerugian pada

operator TV (broadcaster) maupun masyarakat pemirsa.

12/12/2006 38

TIM NASIONAL MIGRASI SISTEM PENYIARAN

Ch 40MUX 4

Ch 38MUX 3

Ch 36MUX 2

Ch 34MUX 1

PERIODE TRANSISI ~ 4 MUX(JAKARTA) (Ilustrasi)

Effisiensi Penggunaan Frequensi


Masa transisi simulcast, yaitu masa dimana sebelum masyarakat

mampu membeli pesawat penerima digital atau alat tambahan

yang diperlukan, pesawat penerima analog yang dimilikinya harus

tetap dapat dipakai menerima siaran (analog) dari pemancar TV

yang menyiarkan siaran digitalnya.

Masa transisi ini juga sebagai uji coba agar proses digitalisasi

sistem penyiaran berjalan sesuai dengan tahapan yang

dikehendaki serta selaras dengan peraturan yang berlaku. Contoh

proses tahapan dalam digitalisasi TV terestrial yang perlu dilalui

adalah pemanfaatan single frequency networks, penggunaan

portable atau mobile TV  dan bahkan ke interactive access, serta

High Definition Television Program dan lain-lain.

Arah dan pentahapan menuju era penyiaran tersebut jelas sangat

kompleks, dan menyangkut kepentingan yang strategis. Karena

itulah peran Pemerintah dalam memberi arah menjadi amat

crucial.

Mengingat nilai strategisnya, maka sudah sewajarnya Pemerintah

bisa memanfaatkan masa transisi ini sebagai momentum bagi

perkembangan sistem penyiaran nasional. Era ini bisa dijadikan

momentum bagi Pemerintah untuk memacu perkembangan

industri dalam negeri baik dari sisi penyediaan perangkat keras,

perangkat lunak dan sumber daya manusianya. Dengan demikian

kandungan lokal pada sistem penyiaran digital kelak menjadi

optimum, yang tentu saja akan menguntungkan ekonomi nasional.

Pemilihan standar tentunya perlu dilakukan dengan persiapan dan

pengkajian secara komprehensif. Karena begitu sistem penyiaran

digital dipilih dan mulai diimplementasikan perlu didukung oleh

perangkat peraturan perundang-undangan yang telah dipersiapkan

secara matang sehingga semua pihak dapat ikut berperan serta

secara aktif serta dapat berkontribusi sesuai dengan kompetensi

yang dimiliki.

Sebagai contoh,  pihak akademisi membantu dari segi penelitian

dan pengembangan teknologi, pihak industri berperan dalam

memproduksi perangkat digital baik perangkat pemancar maupun

penerima, broacaster berperan menambah konten siaran yang

lebih variatif, selektif dan terfokus, Pemerintah bertugas

memberikan kebijakan dan peraturan yang lebih berpihak kepada

masyarakat dan industri dalam negeri.

Dalam hal keseriusan dalam memasuki era digital tersebut, kita

patut mencermati negara tetangga; Malaysia dan Singapura.

Pemerintah dua negara ini menjadikan momentum migrasi sebagai

ajang peningkatan kemampuan industri mereka baik industri

manufaktur dan jasa di bidang perangkat keras, perangkat lunak,

sumber daya manusia dan industri konten sekaligus.

Kedua negara ini sangat antusias dalam mengembangkan

teknologi dan bisnis TV digital. Hal ini tampak pada acara tahunan

ASEAN-Broadcast Forum. kedua negara ini sangat berambisi

menjual kemampuan mereka kepada negara-negara tetangga

khususnya negara kita , yang memiliki potensi pasar paling besar

di ASEAN baik di bidang perangkat penyiaran digital maupun

kontennya.

8.5.2. Langkah-Langkah Pelaksanaan

Pelaksanaan sistem penyiaran digital harus dijalankan secara hati-

hati dan cermat, karena perubahan sistem digital akan membawa

dampak yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat luas.

Perlu dilakukan persiapan dan pengkajian yang matang dan

komprehensif. Karena apabila hanya didorong oleh faktor bisnis

semata maka akan menguntungkan pihak-pihak yang memiliki

kepentingan tertentu yang nantinya akan berusaha memengaruhi

kebijakan dan langkah yang akan diambil Pemerintah.

Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) saat ini

tengah mempersiapkan “peta jalan” (road map) yang berisi langkah-

langkah konkrit pelaksanaan migrasi. Juga akan diterbitkan “buku

putih” bertopik “Migrasi dari Sistem Penyiaran Analog ke Digital di

negara kita ” sebagai pegangan bagi masyarakat luas untuk

mengetahui apa dan bagaimana sistem TV digital dilaksanakan

pada masa transisi ini.

Dalam pelaksanaan sistem penyiaran TV Digital nanti sangat

penting diperhatikan sejumlah aspek ini:

a. Lisensi layanan dan bentuk perizinannya

b. Peningkatan kualitas SDM

c. Standarisasi dan pengembangan industri set-top box

nasional

d. Peningkatan aksesibilitas informasi khususnya untuk

daerah rural, daerah terpencil & perbatasan

e. Penataan kembali alokasi kanal frekuensi penyiaran

Lisensi pelayanan penyiaran TV digital untuk masa awal transisi

sebaiknya ditawarkan kepada operator TV yang sudah ada, baik

publik, swasta maupun lokal  agar mereka bisa melaksanakan

siaran simulcast. Untuk itu perlu dipertimbangkan pemberian

insentif atau keringanan kepada operator penyelenggara konten

siaran TV digital yang free-to air. Karena mereka terbebani

tambahan investasi untuk penyelenggaraan TV digital bersamaan

dengan sistem analog. Sub-bab mengenai kerangka lisensi dan

perizinan telah dibahas 

Momentum migrasi ke TV digital ini sebaiknya juga digunakan

sebagai kesempatan untuk peningkatan kualitas SDM baik di

bidang teknik pengoperasian sistem maupun pada teknik

memproduksi perangkat digital. Penyiapan SDM yang handal ini

harus dilaksanakan sejak awal pelaksanaan transisi, dengan

sesering dan sebanyak mungkin melibatkan lembaga-lembaga

terkait yang bergerak dalam peningkatan kualitas SDM seperti

lembaga penelitian dan pengembangan departemen terkait,

institusi riset seperti BPPT, LIPI dan perguruan tinggi serta pusat-

pusat pelatihan multimedia. Pemerintah seyogyanya berupaya

melakukan pengembangan SDM profesional melalui pembentukan

pusat-pusat unggulan teknologi atau disebut center of excellences.

Selain itu, pelaku industri penyiaran diberi kesempatan

memperoleh akses yang lebih besar bagi terjadinya proses alih

teknologi TV digital baik melalui inhouse training, field training

maupun factory training sehingga ketergantungan pada pihak

pemasok luar negeri menjadi berkurang. [Satya-Satriyo-2006]

Diharapkan nanti dalam proses transisi akan dihasilkan SDM-SDM

lokal yang bisa dibanggakan bahkan bisa menjadi tenaga TV digital

bagi pihak luar negara kita . Sebab, teknologi TV digital bakal

berkembang menjadi alternatif  akses informasi yang sangat

dibutuhkan baik dilihat dari potensi pemanfaatannya dan prospek

jumlah penggunanya di dunia.

Perlu diprioritaskan peningkatan akses informasi di daerah rural,

terpencil dan perbatasan. Pembangunan pemancar televisi di

daerah perbatasan dan terpencil sangat penting dan strategis

khususnya untuk wilayah perbatasan di Kalimantan yang langsung

serta sangat dekat dengan negara tetangga seperti Malaysia.

Dasar pertimbangan yang melandasi pentingnya pembangunan

infrastruktur televisi  perbatasan adalah sebagai berikut :

- Pemerintah negara kita  perlu menyampaikan informasi yang

benar melalui saluran-saluran TV yang resmi mengenai

kebijakan negara kita  untuk masyarakat di wilayah-perbatasan

tersebut.

- Televisi merupakan media yang paling efektif untuk

menyiarkan informasi-informasi positif dan produktif seperti

informasi pendidikan, kesehatan, teknologi tepat guna dan

lain-lain.

- Percepatan pembangunan sarana pendidikan, penerangan

dan hiburan, baik yang bersifat nasional maupun lokal.

Karena program-program siaran dari pemerintah lokal bisa

langsung disiarkan kepada masyarakatnya.

- Saat ini satu-satunya pemancar yang ada di wilayah

perbatasan dan terpencil adalah milik TVRI yang umumnya

sudah berumur lebih kurang 10 sampai 20 tahun. Kondisi ini

berakibat kurang stabilnya perangkat tersebut yang

berdampak mengganggu program siarannya serta daya

jangkau siarannya juga sangat terbatas.

Untuk itu peningkatan akses informasi masyarakat di daerah rural,

daerah terpencil dan daerah perbatasan juga perlu mendapatkan

kesempatan dalam pemanfaatan sistem penyiaran TV digital.  Ini

untuk menyeimbangkan akses informasi dengan masyarakat

perkotaan.

Masyarakat di Jakarta dan kota besar lainnya dapat menikmati

kurang lebih 15 program siaran TV baik dari TVRI, swasta maupun

lokal. Sedangkan masyarakat di daerah terpencil hanya bisa

menikmati 1 program siaran dari TVRI (itupun jika ada dan on air),

kecuali apabila mereka membeli antena parabola untuk menerima

siaran dari satelit.

Pemanfaatan kanal dengan multiplexer sangat membantu daerah

untuk bisa memiliki banyak pilihan program siaran karena 1

kanal dengan multiplexer bisa menyiarkan lebih dari satu program,

sehingga mereka bisa melihat siaran TV lainnya, tidak hanya dari

1 saluran TVRI saja.

Dari sisi kebutuhan akan set-top box (STB), perlunya dikaji tidak

hanya dari aspek ekonomi melainkan juga dari aspek peningkatan

kemampuan riset dan pengembangan industri nasional. Perlu

keberpihakan dari Pemerintah terhadap industri dalam negeri agar

momentum transisi ini bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin bagi

kemampuan riset mereka.

Dalam hal ini, misalnya, industri didorong untuk mengembangkan

dan mendesain STB khas negara kita , seperti memiliki fitur

aplikasi khusus untuk kebutuhan peringatan akan bahaya bencana

(early warning system). Di samping itu perangkat STB yang akan

beredar di negara kita  harus memerhatikan kaidah-kaidah yang

ditetapkan dalam SNI (Standar Nasional negara kita ) agar

perlindungan terhadap konsumen bisa dijamin

Dengan memberi peluang sebesar mungkin kepada industri

domestik dalam mengembangkan dan memproduksi STB, maka

diharapkan dapat dihasilkan STB yang harganya terjangkau

masyarakat. Karena, harga STB sebesar US $ 50 sampai US $

100 di Singapura dan Malaysia (tahun 2006). Harga ini tentu cukup

tinggi bagi sebagian besar penduduk negara kita . Karena itu, jika

dihasilkan oleh industri elektronika nasional diharapkan harganya

bisa di kisaran US$ 15 - US $25. Pertimbangan penentuan harga

seekonomis mungkin ini tentunya berdasarkan jumlah pemirsa

TV di negara kita  yang jauh lebih banyak dibanding pemirsa TV di

Singapura dan Malaysia.

Salah satu cara untuk menekan harga STB antara lain dengan

meminimalkan fiturnya. Hal ini karena sistem penyiaran TV digital

memungkinkan memberikan banyak layanan yang bisa diakses

dengan STB yang sesuai. Semakin banyak fiturnya maka akan

semakin mahal harga STB.

Di sisi lain standarisasi nasional STB produk negara kita  diperlukan

agar pasar kita tidak dibanjiri oleh STB dari luar negeri yang

mungkin jauh lebih murah dibanding STB nasional. Salah satu

bentuk proteksi kepada konsumen agar tidak menggunakan STB

berharga murah dan berkualitas rendah adalah dengan

memberlakukan standarisasi STB negara kita  dengan

mengharuskan label SNI (Standard Nasional negara kita ). Selain

itu, perlu dipertimbangkan kerja sama dengan pihak operator

broadcasting agar hanya STB nasional saja yang bisa menangkap

siaran TV digital terestrial di negara kita .

Pola perlindungan terhadap produk pasar dalam negeri semacam

itu sudah dilakukan oleh beberapa negara. Namun, gagasan untuk

membuat satu standar STB secara regional juga berkembang di

negara-negara anggota ASEAN. Hanya saja, saat ini belum semua

negara ASEAN, termasuk negara kita ,  menerapkan standar STB

transmisi TV digitalnya. Karena itu, ide satu standar STB ASEAN

tampaknya belum bisa terealisasi.

Hal yang juga amat mendasar adalah perlunya suatu kajian indikator

sosial ekonomis yang mendalam untuk menentukan kapan

negara kita  akan beralih secara total dari sistem analog ke digital.

Negara-negara lain umumnya memberi batas waktu paling lama

10 tahun untuk proses transisi ini, yang biasanya ditinjau kembali

apabila kesiapan-kesiapan migrasi itu mengalami perubahan.

Negara tetangga terdekat, Malaysia, bahkan sudah menetapkan

2014 sebagai tahun beralihnya secara total siaran TV dari sistem

analog ke sistem digital.

Kebutuhan lain yang juga menjadi prasyarat masa transisi itu

adalah pengaturan kembali alokasi spektrum frekuensi untuk

televisi, yang dituangkan dalam master plan frekuensi TV yang

baru. Sebab, salah satu keunggulan sistem TV digital adalah

penggunaan SFN (Single Frequency Network), yang

memungkinkan perluasan area cakupan dengan stasiun

pemancar yang tersebar namun semua beroperasi pada kanal

frekuensi yang sama. Dengan demikian, terjadi efisiensi yang tinggi

dalam penggunaan kanal frekuensi.

Karena itu, Pemerintah sebagai regulator perlu punya master plan

baru, sehingga pemanfaatan kanal frekuensi bisa lebih hemat,

tetapi juga menunjang transisi yang mulus dari analog ke digital,

serta mengakibatkan saling interferensi yang serendah-rendahnya,

baik untuk stasiun pada kanal frekuensi yang sama maupun yang

bersebelahan.

Sebagai regulator, kiranya sudah tepat bila pada masa transisi ini

Pemerintah segera mempersiapkan perencanaan jaringan TV

digital secara menyeluruh dengan menggunakan perangkat-

perangkat perencanaan seperti Network Planning Tools, Network

Monitoring Tools dan Network Measurement Tools. Semua

kesiapan itu diperlukan semata-mata supaya kelak, ketika

penyiaran digital digelar secara komersial, bisa berjalan sesuai

dengan apa yang diinginkan baik oleh regulator, operator jaringan

dan juga pengguna.