HAM 4

Tampilkan postingan dengan label HAM 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HAM 4. Tampilkan semua postingan

Rabu, 06 Maret 2024

HAM 4


 




Konvensi ILO No. 87/1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan 

Hak untuk Berorganisasi, konvensi ini  diratifikasi pada tanggal 9 Juni 

1998. Tujuan dari Konvensi ini yaitu untuk memberi  jaminan kepada 

pekerja atau buruh dan pengusaha, akan kebebasan untuk mendirikan dan 

menjadi anggota organisasinya, demi kemajuan dan kepastian dari kepentingan-

kepentingan pekerjaan mereka, tanpa sedikitpun ada keterlibatan negara.

Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 ini juga menjamin perlindungan bagi 

organisasi yang dibentuk oleh pekerja ataupun pengusaha, sehingga tanpa adanya 

campur tangan dari institusi publik. Jaminan perlindungan itu berupa,Pasal 3: 

(1) Organisasi pekerja dan pengusaha berhak untuk membuat anggaran dasar 

dan peraturan-peraturan, secara bebas memilih wakil-wakilnya, mengelola 

administrasi dan aktifitas, dan merumuskan program. (2) Penguasa yang 

berwenang harus mencegah adanya campur tangan yang dapat membatasi 

hak-hak ini atau menghambat praktek-praktek hukum yang berlaku.

negara kita  meratifikasi konvensi ini dengan Keputusan Presiden (Kepres) 

Nomor 83 Tahun 1998 yang dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 98. Sejalan 

dengan ratifikasi ini , pemerintah negara kita  mengesahkan Undang-Undang 

Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh yang menjamin:

1. Hak pekerja untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja;57

2. Hak serikat pekerja untuk melindungi, membela dan meningkatkan 

kesejahteraan pekerja beserta keluarganya; dan

3. Perlindungan terhadap pekerja dari tindakkan diskriminatif dan 

intervensi serikat pekerja

9. Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 Tahun 

1973

Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 mengenai Usia Minimum untuk 

Diperbolehkan Bekerja yang disetujui pada Konferensi Ketenagakerjaan 

Internasional ke-58 tanggal 26 Juni 1973 di Jenewa, yaitu salah satu 

konvensi yang melindungi hak asasi anak. Konvensi ini mewajibkan setiap 

negara anggota ILO yang telah meratifikasi, menetapkan batas usia menimum 

untuk diperbolehkan bekerja. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) konvensi 

ini, negara kita  melampirkan pernyataan (declaration) yang menetapkan bahwa 

batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang diberlakukan di wilayah 

Republik negara kita  yaitu 15 (lima belas) tahun.

Konvensi ini pada pokoknya meminta negara anggota ILO menetapkan 

kebijakan nasional untuk menghapuskan praktek mempekerjakan anak dan 

meningkatkan usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Pekerjaan-pekerjaan 

57 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000:Setiap pekerja/buruh berhak 

membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

--  9190    -

yang membahayakan kesehatan, keselambatan, atau moral anak harus diusaha kan 

tidak boleh kurang dari 18 (delapan belas) tahun, kecuali untuk pekerjaan 

ringan tidak boleh kurang dari 16 (enam belas) tahun. Negara anggota ILO yang 

mengesahkan konvensi ini wajib menetapkan usia minimum untuk diperbolehkan 

bekerja, aturan mengenai jam kerja, dan menetapkan hukuman atau sanksi guna 

menjamin pelaksanaannya. Negara anggota ILO yang mengesahkan konvensi ini 

juga wajib melaporkan pelaksanaannya.

negara kita  telah mengesahkan konvensi ini dengan Undang-Undang 

Nomor 20 Tahun 1999 yang termuat dalam Lembaran Negara (LN) No. 56, dan 

Tambahan Lembaran Negara (TLN) No. 3835. Pertimbangan utama negara kita  

mengesahkannya yaitu sebab negara kita  sangat menghormati, melindungi dan 

menjunjung tinggi hak asasi manusia, seperti tercermin dalam Pancasila dan 

UUD 1945. Ditambah lagi dengan adanya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang 

Hak Asasi Manusia yang menugasi Presiden Republik negara kita  dan DPR untuk 

meratifikasi berbagai instrumen PBB yang berkaitan dengan hak asasi manusia. 

negara kita  telah meratifikasi Konvensi PBB tanggal 30 September 1990 mengenai 

Hak-Hak Anak. Disamping itu,presiden telah ikut menandatangani Keputusan 

Pertemuan Tingkat Tinggi mengenai Pembanguan Sosial di Kopenhagen Tahun 

1995. Keputusan pertemuan ini  antara lain mendorong anggota PBB 

meratifikasi tujuh Konvensi ILO yang memuat hak-hak dasar pekerja, termasuk 

Konvensi No. 138 Tahun 1973 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan 

Bekerja.

10.  Konvensi Perlind ungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota 

Keluarganya

Pada tanggal 18 Desember 1990, Majelis Umum Perserikatan PBB telah 

mengeluarkanResolusi Nomor A/RES/45/158 mengenai International Convention 

on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their 

Families  (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja 

Migran dan Anggota Keluarganya). Resolusi ini  memuat seluruh hak-hak 

pekerja migran dan anggota keluarganya dan menyatakan akan mengambil 

langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan konvensi ini. 

Pada tanggal 22 September 2004 di New York, Pemerintah negara kita  

telah menandatangani resolusi ini tanpa reservasi. Penandatanganan ini  

menunjukkan kesungguhan negara kita  untuk melindungi, menghormati, memajukan 

dan memenuhi hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya yang 

diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para pekerja migran dan anggota 

keluarganya.Ratifikasi konvensi ini diharapkan dapat mendorong terciptanya 

ratifikasi universal dan penerapan prinsip serta norma standar internasional bagi 

perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya secara 

global.

Isi pokok dari konvensi yaitu bahwa setiap pekerja migran dan anggota 

keluarganya memiliki hak atas kebebasan untuk meninggalkan, masuk dan 

menetap di negara manapun, hak hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak 

untuk bebas dari perbudakan, hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan 

beragama, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas privasi, hak untuk bebas dari 

penangkapan yang sewenang-wenang, hak diperlakukan sama di muka hukum, 

hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hak terkait kontrak atau 

hubungan kerja, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak mendapatkan perawatan 

kesehatan, hak atas akses pendidikan bagi anak pekerja migran, hak untuk 

dihormati identitas budayanya, hak atas kebebasan bergerak, hak membentuk 

perkumpulan, hak berpartisipasi dalam urusan pemerintahan di negara asalnya, 

hak untuk transfer pendapatan. Termasuk hak-hak tambahan bagi para pekerja 

migran yang tercakup dalam kategori-kategori pekerjaan tertentu (pekerja lintas 

batas, pekerja musiman, pekerja keliling, pekerja proyek, dan pekerja mandiri).

Tujuan dari konvensi yaitu untuk menetapkan standar-standar yang 

menciptakan suatu model bagi hukum serta prosedur administrasi dan peradilan 

masing-masing Negara Pihak. Terobosan utama konvensi ini yaitu bahwa 

orang-orang yang memenuhi kualifikasi sebagai pekerja migran dan anggota 

keluarganya, sesuai ketentuan-ketentuan konvensi, berhak untuk menikmati 

hak asasi manusia, apapun status hukumnya.Dengan pelbagai pertimbangan 

ini  negara kita  mengesahkan konvensi ini dengan Undang-Undang Nomor 6 

--  9392    -

Tahun 2012 yang termuat dalam Lembaran Negara (LN) No. 115, dan Tambahan 

Lembaran Negara (TLN) No. 5314

11. Konvensi Hak Anak

Gagasan mengenai hak anak sudah mengemuka sejak berakhirnya Perang 

Dunia I sebagai respon terhadap penderitaan anak-anak akibat Perang Dunia I 

ini .Situasi ini mendorong Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada tahun 1924 

mendeklarasikan hak anak, yang dikenal sebagai Deklarasi Jenewa. Barulah 

setelah Perang Dunia II Majelis Umum PBB mengadopsi hak anak pada 10 

Desember 1948, dan menjadi bagian dari Deklarasi Universal HAM.Konvensi 

Hak Anak memuat empat (4) prinsip penting, yaitu: 

1. Prinsip non-diskriminasi. 

 Prinsip ini menekankan bahwa semua hak yang diakui dan 

terkandung dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada 

setiap anak tanpa pembedaan apapun.58 Prinsip yang ini tertuang 

dalam Pasal 2 Konvensi Hak Anak, yakni: “Negara-negara peserta 

akan menghormati dan menjamin hak-hak yang diterapkan dalam 

konvensi ini bagi setiap anak yang berada dalam wilayah hukum 

mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang 

ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik 

atau pandangan-pandangan lain, asal-usul kebangsaan, etnik atau 

sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status 

lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua atau walinya 

yang sah.”(Ayat 1). 

 “Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah yang perlu 

untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi 

atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang 

dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah 

atau anggota keluarga.”(Ayat 2). 

58  Pasal 2 Konvensi Hak Anak

2. Prinsip yang terbaik bagi anak (best interest of the child). 

 Prinsip ini menegaskan bahwa dalam semua tindakan yang 

menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga 

kesejahteraan sosial pemerintah atau badan legislatif. Maka dari itu, 

kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan 

utama (Pasal 3 ayat 1). 

3. Prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (the rights 

to life, survival and development) .

 Negara-negara Pihak mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang 

melekat atas kehidupan (Pasal 6 ayat 1). Disebutkan juga bahwa 

negara-negara peserta akan menjamin sampai batas maksimal 

kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6 ayat 2). 

4. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the 

views of the child). Maksudnya bahwa pendapat anak, terutama 

jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu 

diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan. Prinsip ini 

tertuang dalam Pasal 12 ayat (1) Konvensi Hak Anak, yaitu: “Negara-

negara peserta akan menjamin agar anak-anak yang memiliki  

pandangan sendiri akan memperoleh hak untuk menyatakan 

pandangan-pandangannya secara bebas dalam semua hal yang 

mempengaruhi anak, dan pandangan ini  akan dihargai sesuai 

dengan tingkat usia dan kematangan anak.”

negara kita  telah meratifikasi Konvensi Hak Anak dengan pertimbangan 

bahwa anak memiliki  hak dan butuh untuk dilindungidari eksploitasi ekonomi 

dan bekerja pada pekerjaan yang membahayakan atau mengganggu pendidikan 

anak, merusak kesehatan fisik, mental, spiritual, moral, dan perkembangan 

sosial anak; begitu pula kegiatan penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi 

anak yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus diberantas; dan 

negara kita  sebagai bagian dari warga  internasional harus turut serta secara 

aktif mencegah, memberantas, dan menghukum pelaku tindak pidana penjualan 

anak, prostitusi anak, dan pornografi anak yang diwujudkan dalam Optional 

Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, 

Child Prostitution and Child Pornography  (Protokol Opsional Konvensi Hak-hak 

Anak mengenai  Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak).

Selanjutnya dalam Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa tujuan 

Pemerintah Negara negara kita  yaitu melindungi segenap bangsa negara kita  dan 

seluruh tumpah darah negara kita , dan untuk memajukan kesejahteraan umum, 

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang 

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam rangka 

mewujudkan salah satu tujuan ini , yaitu memberi  perlindungan dan 

kesejahteraan bagi anak, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, 

dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, 

sebagaimana tercantum dalam Pasal 28B UUD 1945.

Ketentuan ini , mengandung arti bahwa anak memiliki  hak untuk 

dilindungi dari eksploitasi ekonomi. Anak juga dilindungi dari  pekerjaan yang 

membahayakan atau mengganggu pendidikan anak, merusak kesehatan fisik, 

mental, spiritual, moral dan perkembangan sosialanak. Pembinaan kesejahteraan 

anak termasuk pemberian kesempatan untuk mengembangkan haknya, 

pelaksanaannya tidak saja yaitu tanggung jawab orang tua, keluarga, 

bangsa, dan negara melainkan diperlukan pula kerja sama internasional. 

Dengan meningkatnya penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi 

anak dalam lalu lintas internasional, perlu diperkuat penegakan hukum secara 

nyata dalam mencegah dan memberantas tindak pidana penjualan anak, prostitusi 

anak, dan pornografi anak. Untuk lebih memperkuat komitmen negara kita  dalam 

usaha  mencegah, memberantas, dan menghukum pelaku tindak pidana  penjualan 

anak, prostitusi anak, dan pornografi anak, Pemerintah Republik negara kita  telah 

menandatangani Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child 

on the Sale of Children, Child Prostitution a nd Child Pornography  (Protokol 

Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai  Penjualan Anak, Prostitusi Anak, 

dan Pornografi Anak) pada tanggal 24 September 2001. 

Penandatanganan ini  yaitu salah satu komitmen 

bangsa negara kita  sebagai bagian dari warga  internasional untuk 

mengimplementasikan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang 

Hak-hak Anak) sebagai hasil Sidang Majelis Umum PBB yang diterima pada 

tanggal 20 November 1989.Kewajiban Negara Pihak sesuai dengan ketentuan 

Protokol Opsional, memiliki  kewajiban sebagai berikut:

1. Melarang penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak; 

2. Menjamin adanya perbuatan yang diatur dalam hukum pidana atau 

pemidanaannya, baik yang dilakukan orang perseorangan maupun 

badan hukum (korporasi) mengenai perbuatan menawarkan, 

menyediakan, dan menerima anak dengan cara apapun untuk 

tujuan eksploitasi seksual, jual beli organ tubuh, atau kerja paksa; 

memperoleh persetujuandengan cara-cara yang tidak semestinya 

untuk adopsi anak sehingga melanggar instrumen hukum 

internasional mengenai adopsi anak; menawarkan, memperoleh, 

menyediakan seorang anak untuk prostitusi; memproduksi, 

mendistribusikan, menyebarluaskan, mengimpor, mengekspor, 

menawarkan, menjual atau memiliki hal-hal untuk tujuan pornografi 

anak;

3. Memastikan bahwa pelanggaran-pelanggaran ini  dapat 

dikategorikan sebagai pelanggaran yang dapat diekstradisikan;

4. Melakukan kerja sama internasional dalam memberi  bantuan 

hukum timbal balik dalam masalah pidana mengambil langkah-

langkah untuk menetapkan perampasan dan penyitaan benda, harta 

kekayaan, dan barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak 

pidana serta mencabut izin, baik sementara maupun permanen 

terhadap tempat usaha yang digunakan untuk melakukan tindak 

pidana sesuai dengan hukum nasional;

5. Mengambil langkah-langkah untuk melindungi hak-hak dan 

kepentingan terbaik bagi anak yang menjadi korban, termasuk 

dengan mengakui kebutuhan khususnya, mempertimbangkan 

--  9796    -

dengan sungguh-sungguh pendapatnya, memberi  dukungan 

yang diperlukan selama dalam proses hukum,dan membebaskan 

dari segala bentuk ancaman dan balas dendam;

6. memberi  perlindungan terhadap hak dan kepentingan anak 

sebagai korban dari tindakan yang dilarang dalam Protokol Opsional 

ini terutama dilakukan dengan menjamin bahwa keraguan mengenai 

usia korban tidak menghalangi dimulainya suatu penyelidikan; 

7. Mengambil langkah-langkah untuk memastikan pemberian pelatihan 

yang sesuai, khususnya di bidang hukum dan psikologis bagi para 

pendamping korban; mengambil langkah-langkah untuk menjamin 

keselamatan dan integritas orang-orang dan/atau organisasi yang 

melakukan usaha  pencegahan dan/atau perlindungan dan rehabilitasi 

korban;

8. Mengadopsi, memperkuat, menyebarluaskan, dan melaksanakan 

undang-undang, kebijakan, dan program-program sosial serta 

dukungan administratif untuk mencegah pelanggaran sebagaimana 

dimaksud dalam protokol ini; 

9. Meningkatkan kesadaran di warga  luas, termasuk anak-anak, 

melalui pendidikan dan pelatihan, serta informasi dengan berbagai 

cara yang sesuai mengenai tindakan pencegahan dan dampak yang 

merusak akibat pelanggaran; 

10. Mengambil langkah-langkah yang memungkinkan dalam rangka 

menjamin tersedianya bantuan yang layak bagi korban pelanggaran, 

termasuk reintegrasi sosial dan pemulihan fisik dan psikis secara 

penuh;

11. Meyakinkan bahwa semua anak korban pelanggaran yang diatur 

dalam protokol ini tanpa diskriminasi memperoleh akses terhadap 

prosedur untuk memperoleh kompensasi atas kerugian dari pihak 

yang bertanggung jawab;

12. Mengambil langkah-langkah yang tepat dan efektif untuk melarang 

produksi dan penyebaran materi iklan yang mengandung tindak 

--  9796    -

pidana yang diatur dalam Protokol ini;

13. Mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memperkuat 

kerja sama internasional melalui perjanjian multilateral, regional 

dan bilateraldalam rangka pencegahan, penyelidikan, penyidikan, 

penuntutan, dan hukuman bagi pihak-pihak yang bertanggung jawab 

atas tindakan yang terkait dengan penjualan anak, prostitusi anak, 

pornografi anak;

14. Meningkatkan kerja sama internasional untuk membantu anak yang 

menjadi korban dalam pemulihan fisik dan psikis, pemulangan, dan 

reintegrasi sosial mereka;

15. Memperkuat kerja sama internasional untuk mengatasi akar masalah, 

seperti kemiskinan dan ketidakberdayaan yang melandasi kerentanan 

anak-anak terhadap terjadinya penjualan anak-anak, prostitusi anak, 

pornografi anak;

16. Menyerahkan laporan dalam waktu dua tahun setelah berlakunya 

Protokol untuk setiap pihak, kepada Komite Hak-hak Anak mengenai 

informasi yang komprehensif tentang tindakan-tindakan yang diambil 

untuk implementasi ketentuan dalam protokol.

Dengan alasan dan pertimbangan-pertimbangan di atas, negara kita  telah 

mengesahkan konvensi hak anak ini dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 

2012, yang dimuat dalam Lembaran Negara (LN) No. 149, dan Tambahan 

Lembaran Negara (TLN) No. 5330.

12. Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas

Konvensi ini disepakati pada tanggal 13 Desember 2006 oleh Majelis 

Umum PBB dengan Resolusi 61/106 dan terbuka untuk ditandatangani oleh 

negara-negara anggota PBB pada tanggal 30 Maret 2007. Empat tahun kemudian 

negara kita  meratifikasi konvensi ini  melalui Undang-Undang Nomor 19 

Tahun 2011 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas 

pada tanggal 18 Oktober 2011 

--  9998    -

Dalam pembukaan konvensimenguraikan sejumlah konsideran atau 

alasan-alasan mendasar lahirnya konvensi ini, yaitu:59

1. Mengingat kembaliprinsip-prinsip yang diproklamasikan dalam 

Piagam PBB yang mengakui harga diri dan nilai (dignity and 

worth) yang tidak terpisahkan serta hak-hak yang sama dan tidak 

terpisahkan bagi seluruh anggota keluarga kemanusiaan sebagai 

dasar dari kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia; 

2. Mengakui bahwa PBB, di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi 

Manusia dan di dalam kovenan-kovenan internasional mengenai 

hak asasi manusia, telah memproklamasikan dan menyetujui bahwa 

semua orang berhak atas seluruh hak dan kebebasan yang tercantum 

di dalamnya, tanpa perbedaan dalam bentuk apa pun; 

3. Menegaskan kembaliuniversalitas, ketidakterpisahkan, kesaling-

tergantungan, dan kesaling-terkaitan dari semua hak asasi manusia 

dan kebebasan-kebebasan fundamental serta kebutuhan bagi 

penyandang disabilitas untuk dijamin pemenuhan hak-haknya tanpa 

diskriminasi; 

4. Mengingat kembali Kovenan Internasional mengenai Hak-hak 

Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kovenan Internasional mengenai 

Hak-hak Sipil dan Politik;Konvensi Internasional mengenai 

Penghilangan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial; Konvensi mengenai 

Penghilangan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; 

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman 

Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat 

Manusia; Konvensi Hak-Hak Anak; dan Konvensi Internasional 

mengenai Perlindungan Hak-Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota 

Keluarganya;

5. Mengakui bahwa disabilitas yaitu suatu konsep yang terus 

berkembang dan disabilitas yaitu hasil dari interaksi antara 

orang-orang dengan keterbatasan kemampuan dan sikap dan 

lingkungan yang menghambat partisipasi penuh dan efek mereka 

di dalam warga  berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya;

6. Mengakui pentingnya pedoman prinsip-prinsip dan kebijakan yang 

termuat dalam Program Aksi Dunia mengenai Penyandang Disabilitas 

(World Programme of Action Concerning Disabled Persons) dan 

Peraturan-peraturan Standar mengenai Persamaan Kesempatan 

bagiPenyandang Disabilitas (Standard Rules on the Equalization of 

Opportunities for Persons with Disabilites) dalam mempengaruhi 

promosi, perumusan dan evaluasi atas kebijakan, rencana, program 

dan aksi pada tingkat nasional, regional dan internasional untuk 

mengajukan kesempatan bagi penyandang disabilitas; 

7. Menekankan pentingnya pengarusutamaan isu-isu disabilitas sebagai 

bagian integral dari strategi yang relevan bagi pembangunan yang 

berkesinambungan; 

8. Mengakui juga bahwa diskriminasi atas setiap orang berdasarkan 

disabilitas yaitu pelanggaran terhadap martabat dan nilai yang 

melekat pada setiap orang;

9. Mengakui pula keragaman penyandang disabilitas; 

10. Mengakui perlunya memajukan dan melindungi hak asasi manusia 

semua penyandang disabilitas, termasuk mereka yang memerlukan 

dukungan intensif  yang lebih; 

11. Memperhatikan bahwa, walaupun telah ada berbagai bahan tertulis 

dan usaha , penyandang disabilitas masih terus menghadapi 

hambatan dalam partisipasi mereka sebagai anggota warga  

yang setara dan menghadapi pelanggaran terhadap hak asasi 

manusia mereka di seluruh penjuru dunia; 


12. Mengakui pentingnya kerjasama internasional bagi meningkatkan 

kondisi kehidupan penyandang disabilitas di setiap negara, 

khususnya di negara-negara berkembang; 

13. Mengakui bahwa nilai-nilai yang ada dan potensi kontribusi yang 

diberikan oleh penyandang disabilitas terhadap keseluruhan 

kesejahteraan dan keragamaan dari komunitas mereka, dan bahwa 

pemajuan dari pemenuhan penikmatan yang menyeluruh dari 

penyandang disabilitas akan hak-hak asasi mereka dan kebebasan 

fundamental dan partisipasi penuh dari penyandang disabilitas akan 

menghasilkan peningkatan rasa kepemilikan dan kemajuan-kemajuan 

yang signi kan di dalam pembangunan kemanusiaan, sosial, dan 

ekonomi warga  serta penghapusan kemiskinan; 

14. Mengakui pentingnya otonomi dan kemerdekaan individual bagi 

penyandang disabilitas, termasuk kebebasan mereka untuk 

menentukan pilihan;

15. Mempertimbangkan bahwa penyandang disabilitas harus memiliki 

kesempatan untuk secara aktif terlibat dalam proses pengambilan 

keputusan mengenai kebijakan dan program termasuk yang terkait 

secara langsung dengan mereka; 

16. Memperhatikan kondisi sulit yang dihadapi penyandang disabilitas 

yang menjadi korban berbagai bentuk diskriminasi yang berulang 

atau penuh kebencian berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, 

bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, kebangsaan, etnis, 

asal usul atau asal kelompok sosial, harta benda, kelahiran, umur, 

atau status lainnya; 

17. Mengakui bahwa penyandang disabilitas perempuan dan penyandang 

disabilitas anak perempuan sering lebih berisiko, baik di dalam 

maupun di luar lingkup kekerasan, cedera atau pelecehan, perlakuan 

yang menelantarkan atau mengabaikan, perlakuan buruk, atau 

eksploitasi,  

18. Mengakui bahwa penyandang disabilitas anak harus mendapatkan 

pemenuhan kenikmatan yang menyeluruh atas semua hak-hak 

asasi manusia dan kebebasan fundamental berdasarkan kesetaraan 

dengan anak-anak lainnya, dan mengingat kembali. kewajiban-

kewajiban yang harus dilakukan oleh Negara Pihak dari Konvensi 

Hak-hak Anak; 

19. Menekankan perlunya memasukkan perspektif gender dalam semua 

usaha  untuk pemajuan pemenuhan hak asasi manusia secara 

menyeluruh bagi penyandang disabilitas;

20. Memperhatikan kenyataan bahwa mayoritas penyandang disabilitas 

hidup dalam kondisi kemiskinan, dan dalam kaitan ini mengakui 

kebutuhan mendesak untuk mengatasi dampak negatif kemiskinan 

terhadap penyandang disabilitas;

21. Mengingat bahwa kondisi perdamaian dan keamanan yang 

berdasarkan pada penghormatan penuh pada tujuan dan prinsip 

yang termuat dalam Piagam PBB dan bahwa pemenuhan dokumen 

tertulis hak asasi manusia yang dapat diterapkan yaitu bagian 

yang tidak terpisahkan bagi perlindungan sepenuhnya penyandang 

disabilitas, khususnya pada saat konflik bersenjata dan pendudukan 

asing;

22. Mengakui pentingnya aksesibilitas kepada lingkungan fisik, sosial, 

ekonomi dan kebudayaan bagi kesehatan dan pendidikan, serta 

informasi dan komunikasi, yang memungkinkan penyandang 

disabilitas untuk menikmati sepenuhnya semua hak-hak asasi 

manusia dan kebebasan fundamental;

23. Menyadari bahwa individu, selain memiliki kewajiban terhadap 

individu lainnya dan warga  dimana dia berada, memiliki  

tanggung jawab untuk memperjuangkan pengajuan dan penegakan 

hak-hak yang diakui di dalam Piagam Internasional Hak-Hak Asasi 

Manusia;

24. Meyakini bahwa keluarga yaitu unit kelompok alani dan fundamental 

dari warga  dan berhak atas perlindungan dari warga  dan 

negara, dan bahwa penyandang disabilitas dan anggota keluarga 

mereka harus memperoleh perlindungan dan bantuan seperlunya 

yang memungkinkan anggota keluarga berkontribusi terhadap 

penikmatan yang penuh dan setara atas hak-hak penyandang 

disabilitas;

--  103102    -

25. Meyakini bahwa suatu konvensi internasional yang komprehensif 

dan integral untuk memajukan dan melindungi hak-hak dan martabat 

penyandang disabilitas akan memberi  sumbangan signifikan 

guna mengatasi keterpurukan sosial penyandang disabilitas dan 

memajukan partisipasi mereka pada lingkup sipil, politik, ekonomi, 

sosial, dan kebudayaan berdasarkan kesempatan yang setara, baik 

di negara berkembang maupun negara maju.

Hak-hak penyandang disabilitas yang diatur dalam konvensi secara 

garis besar yaitu hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, 

tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, 

kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan 

penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan 

orang lain. Termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan 

pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat. 

Tujuan konvensi ini yaitu untuk memajukan, melindungi, dan menjamin 

kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar bagi semua penyandang disabilitas, 

serta penghormatan terhadap martabat penyandang disabilitas sebagai bagian 

yang tidak terpisahkan (inherent dignity). Konvensi juga menyebutkan kewajiban-

kewajiban negara dalam merealisasikan hak yang termuat dalam konvensi, melalui 

penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum dan administrasi dari setiap 

negara, termasuk mengubah peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan 

praktik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, baik perempuan 

maupun anak, menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala aspek 

kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, olah raga, seni dan 

budaya, serta pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi. 

Pemerintah negara kita  telah menandatangani Convention on the Rights of 

Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) 

pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Penandatanganan ini  menunjukan 

kesungguhan negara kita  untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan 

memajukan hak-hak penyandang disabilitas, yang pada akhirnya diharapkan 

dapat memenuhi kesejahteraan para penyandang disabilitas. Pada waktu 

menandatangani konvensi ini, negara kita  menandatanganinya tanpa reservasi. 

Akan tetapi, tidak menandatangani Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak 

Penyandang Disabilitas. 

Sebagai negara penandatangan konvensi, negara kita  memiliki komitmen 

untuk meratifikasi konvensi ini. Dalam usaha  melindungi, menghormati, 

memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, negara kita  telah 

membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur pelindungan 

terhadap penyandang disabilitas. Berbagai peraturan perundang- undangan 

ini  antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak; 

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian;

6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;

7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 200 tentang Sistem Pendidikan

8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan

9. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan;

10. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan 

Sosial;

11. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas

12. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; 

13. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; dan 

14. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir 

Miskin.


HUKUM HAK ASASI MANUSIA BIDANG HAK 

SIPIL DAN POLITIK DI negara kita 

A. HAK SIPIL DAN POLITIK

Hukum hak asasi manusia mencakup hukum-hukum yang menjamin 

hak-hak sipil dan hak-hak politik. Hak sipil yaitu hak dari subjek hukum orang 

sebagai manusia dan warga dari suatu negara. Hak sipil juga harus diberikan dan 

dilindungi oleh negara dari kemungkinan pelanggaran atau bahkan nyata-nyata 

terjadi pelanggaran oleh negara atau oleh aparatur pemerintah; baik yang dilakukan 

secara sengaja (by commission) atau pembiaran (by omission). Sedangkan hak 

politik yaitu hak subjek hukum orang sebagai manusia dan atau warga dari 

suatu negara di bidang politik. Contoh hak politik yaitu hak untuk ikut serta 

dalam organisasi partai politik, ikut serta dalam pemerintahan dan hak pilih dan 

dipilih dalam pemiliham umum. 

Hak-hak politik demikian itu harus dijamin dalam peraturan perundang-

undangan. Semua itu dilakukan agar subjek hukum manusia dan warga negara 

dapat menikmati hak-hak ini  serta melindungi pelanggaran atau potensi 

pelanggaran oleh negara atau oleh aparatur pemerintah dalam pelbagai bentuk 

tindakan, baik dilakukan secara sengaja maupun pembiaran. Hukum hak asasi 

manusia tentang hak sipil dan hak politik di negara kita  sepanjang sejarah di 

negara kita  mengalami pasang surut, seiring dengan karakter kekuasaan yang 

berlangsung. 

Pada era Orde Lama, hukum-hukum hak sipil politik masih sangat terbatas. 

Pada periode demokrasi terpimpin, hak sipil dan hak politik justru dibatasi atau 

bahkan diberangus, terutama kebebasan berekspresi. Soekarno melakukan 

pembatasan-pembatasan terhadap aktivitas pers (media cetak). Pers yang 

kritis mengkritik Soekarno dilarang terbit atau dibredel. Tokoh-tokohnya seperti 

Mochtar Lubis, dan Rosihan Anwar bahkan dipenjarakan. Grup-grup musik yang 

menyanyikan lagu-lagu barat dilarang pentas, bahkan personil grup musik Koes 

Plus ditahan tanpa proses hukum. 

Memasuki era Orde Baru, keadaan hukum hak sipil dan politik tidak 

membaik, bahkan dapat dikatakan semakin memburuk. Pemerintahan Soeharto 

melakukan langkah-langkah hukum dan politik untuk membatasi kebebasan sipil 

dan politik. Hal itu dilakukan sebagai bagian dari strategi Orde Baru menjaga dan 

mempertahankan pemerintahan otoriternya. Menyusul jatuhnya Orde Baru pada 

Mei 1998, maka muncul babak baru kehidupan hak sipil dan politik di negara kita . 

Atas desakan kekuatan pro demokrasi, B.J. Habibie melakukan langkah-langkah 

cepat dan berani meletakkan pondasi pemerintahan baru yang demokratis, 

berdasarkan hukum dan hak asasi manusia.

Dimulai Mei 1998, pemerintahan era reformasi yang diawali oleh B.J. 

Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudoyono, 

dan Joko Widodo, dilakukan pencabutan sejumlah peraturan perundang-undangan 

yang tidak sejalan dengan prinsip negara hukum, demokrasi dan melanggar hak 

asasi manusia. ini sekaligus diikuti dengan disahkannya banyak peraturan 

perundang-undangan untuk mendukung itu semua;  terutama hukum hak asasi 

manusia yang menjamin dan melindungi hak sipil dan politik; baik yang bersifat 

hak-hak keperdataan maupun hak-hak publik.

B. UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DAN AMANDEMENNYA

Undang-Undang Dasar (UUD) --jika dalam tradisi Common Law  disebut 

konstitusi-- yaitu hukum dasar. Isinya memuat pembatasan-pembatasan 

kekuasaan di satu sisi dan melindungi hak asasi manusia dan warga negara di 

sisi lain. UUD yaitu juga norma dasar untuk membatasi absolutisme negara 

(raja)61 melalui seperangkat aturan dalam konstitusi (konstitusionalisme).62 Dalam 

konsepsi Carl J. Friedrich yaitu sebuah gagasan yang menggangap pemerintah 

sebagai suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, yang 

tunduk pada pembatasan konstitusional.

Sebuah konstitusi menurut Sri Soemantri, pada umumnya memuat tiga 

hal yang fundamental, yaitu: (1) adanya jaminan terhadap hak asasi manusia dan 

warganya; (2) ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat 

fundamental; (3) adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan 

yang juga bersifat fundamental.64 Sumbangan spirit kemerdekaan Amerika 

dalam perlindungan hak asasi manusia di dalam konstitusi mereka sangat besar, 

meskipun secara resmi rakyat Perancis sudah lebih dulu memulai sejak masa 

Rousseau. Bagaimanapun juga, deklarasi kemerdekaan Amerika yang disusun 

oleh Thomas Jefferson dan disetujui oleh ke-13 koloni yang memutuskan untuk 

memerdekakan diri dari Inggris,65 menjadi pondasi kuat yang menginspirasi 

gerakan hak asasi manusia di pelbagai belahan dunia.

Deklarasi kemerdekaan Amerika yaitu peperangan untuk 

mempertahankan kebebasan, kemerdekaan, dan penghormatan terhadap hak 

asasi manusia. Selain itu, deklarasi ini  yaitu bentuk penentangan 

terhadap penindasan kepada sesama manusia. Pernyataan kemerdekaan itu 

di antaranya berbunyi,” ... dan dengan sendirinya terang bahwa semua orang 

diciptakan sama, bahwa mereka oleh Tuhan dikaruniai beberapa hak yang 

tidak dapat ditawar gugat. Di antaranya hak untuk hidup, kemerdekaan dan 

kehendak mencapai kebahagiaan”. Bahwa untuk melindungi hak-hak itu, harus 

dilakukan oleh orang-orang yang menerima kekuasaan atas persetujuan mereka 

yang diperintah. Bahwa manakala sesuatu pemerintah membahayakan bagi 

pemeliharaan maksud itu, maka hak rakyat untuk mengganti atau menghapuskan 

pemerintah itu dan membentuk pemerintahan baru.

Atas jasa Presiden Thomas Jefferson, Amerika Serikat menjadi negara 

utama yang memberi pelindungan dan jaminan hak asasi manusia dalam 

konstitusinya. Setelah itu, baru diteruskan oleh presiden-presiden berikutnya. 

Satu diantaranya yang terkenal yaitu pidato Franklin D. Roosevelt tentang 

empat kebebasan yang diucapkannya di depan Kongres Amerika Serikat pada 

6 Januari 1941, yaitu: 

a. Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran; 

b. Kebebasan memilih agama seseuai keyakinan dan kepercayaannya; 

c. Kebebasan dari rasa takut; dan 

d. Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan.

Begitu pentingnya konstitusi menjamin hak asasi manusia, telah 

mendorong Amerika melakukan amandemen berkali-kali.66 Amandemen yang 

cukup penting dikaji antara lain:

Amandemen I: melindungi kebebasan beragama, kebebasan pers, 

kebebasan menyatakan pendapat, dan hak berserikat; 

Amandemen IV: ada klausul hak rakyat untuk merasa aman atas diri, 

rumah, surat-surat, dan surat-surat berharga mereka, dari penggeledahan dan 

penahanan yang tidak masuk akal, yakni sebab tidak adanya surat perintah 

penggeledahan. 

Amandemen V: menjamin hak setiap waga negara untuk tidak ditahan 

dan mempertanggungjawabkan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 

mati, maupun kejahatan keji lainnya, kecuali atas pengajuan atau tuntutan dari 

suatu Juri Agung (putusan pengadilan). Demikian juga dijamin untuk tidak 

dikenai ancaman jiwa maupun anggota badan sebab melakukan dua kali tindak 

pidana yang sama. Hak untuk tidak dipaksa menjadi saksi, hak untuk tidak 

dihilangkan jiwanya, kebebasannya, atau miliknya, tanpa melalui proses hukum 

yang semestinya. Jaminan terhadap milik pribadi yang tidak boleh dipakai untuk 

keperluan umum, tanpa adanya ganti rugi. 

Amandemen VI: menjamin hak untuk mendapat proses pengadilan 

secara terbuka atas semua tuntutan tindak pidana kejahatan. Di mana proses 

persidangan akan dilakukan oleh suatu juri yang tidak memihak dari negara bagian 

maupun pengadilan distrik, tempat di mana tindak kejahatan ini  dilakukan. 

Pengadilan Distrik juga wajib memberitahukan tentang sifat dan sebab tuduhan 

kejahatan untuk dikonfrontasikan dengan saksi yang melawannya, serta wajib 

menghadirkan saksi yang meringankan serta mendapatkan bantuan pengacara 

untuk melakukan pembelaan. 

Sebagaimana Amerika dan negara-negara Eropa lainnya, negara kita  

yang mengalami masa penjajahan sekitar 3,5 (tiga setengah) abad lamanya, 

telah menempatkan kemerdekaan negara kita  sebagai perjuangan dan deklarasi 

pembebasan hak asasi manusia dari belenggu penjajahan. Sekalipun di dalam 

deklarasi kemerdekaan67 itu tidak menyebutkan kata-kata “hak asasi manusia” 

secara langsung, tetapi kata “merdeka” tidak lain yaitu kebebasan (freedom), 

dan kebebasan yaitu hak asasi manusia. Hanya dengan bebas atau merdeka, 

manusia memiliki dirinya utuh sebagai manusia, sekaligus bernilai sebagai 

manusia. Itulah sebabnya dalam Pembukaan UUD 1945, yang dicetuskan jauh 

sebelum Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 dengan terang menyatakan:   

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan 

oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan sebab 

tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”68

Penjajahan yaitu perampasan kemerdekaan atau kebebasan manusia 

dan warganegara terhadap hak fundamental manusia. Oleh sebab itu, setiap 

perjuangan pembebaskan diri dari perampasan kebebasan oleh individu, kelompok 

67  Isi deklarasi kemerdekaan “Kami bangsa negara kita  dengan ini menyatakan 

kemerdekaan…”

68  Jauh sebelum kemerdekaan, para perintis bangsa ini telah memercikkan pikiran-pikiran 

untuk memperjuangkan harkat dan martabat manusia yang lebih baik. Percikan pikiran ini  dapat 

dibaca dalam surat-surat R.A. Kartini yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, karangan-karangan 

politik yang ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, 

petisi yang dibuat oleh Sutardjo di Volksraad atau pledoi Soekarno yang berjudul ”negara kita  

Menggugat” dan Hatta dengan judul ”negara kita  Merdeka” yang dibacakan di depan pengadilan Hindia 

Belanda. Percikan-percikan pemikiran pada masa pergerakan kemerdekaan itu, yang terkristalisasi 

dengan kemerdekaan negara kita , menjadi sumber inspirasi saat konstitusi mulai diperdebatkan di 

Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan negara kita  (BPUPKI). Di sinilah terlihat bahwa 

para pendiri bangsa ini sudah menyadari pentingnya hak asasi manusia sebagai pondasi bagi negara.

atau negara yaitu perjuangan kemanusian dalam rangka menegakkan eksistensi 

manusia dan kemanusiaan. 

Sekalipun substansi deklarasi kemerdekaan negara kita  dengan jelas dan 

terang yaitu komitmen bangsa negara kita  terhadap hak asasi manusia, tetapi 

pada saat akan dilakukan perumusan naskah UUD tentang hak asasi manusia 

tidaklah semudah mamatrikan kata “merdeka” dalam deklarasi. Perbedaan tajam 

antara Soekarno dan Soepomo di satu sisi, dengan Moh. Hatta dan Moh. Yamin 

di sisi lain, menandai sejarah hak asasi manusia dalam konstitusi negara kita . 

Soekarno menyatakan,  “Jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan 

negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham 

gotong royong, dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap paham 

individualisme dan liberalisme dari padanya.” Di pihak lain, Moh. Hatta 

menyanggah pernyataan Soekarno. Hatta mengatakan, “walaupun yang dibentuk 

negara kekeluargaan, namun perlu ditetapkan beberapa hak warga negara agar 

jangan timbul negara kekuasaan (machtsstaat).” 

Maka pada akhirnya tercapai kesepakatan bahwa hak asasi dimasukkan 

dalam UUD 1945, meskipun dalam jumlah yang terbatas, yang dimuat pada 

sejumlah pasal, yaitu:

(1) Pasal 27 ayat (1): segala warga negara bersamaan kedudukannya 

di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan 

pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; dan pada ayat (2): 

tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang 

layak bagi kemanusiaan. 

(2) Pasal 28, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan 

pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan 

undang-undang. 

(3) Pasal 29 ayat (2): negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk 

untuk memeluk agamannya masing-masing dan untuk beribadat 

menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 

(4) Pasal 30 ayat (1): tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta 

dalam usaha pembelaan negara. 

--  111110    -

(5) Pasal 31 ayat (1): tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan 

pengajaran. 

(6) Pasal 33 ayat (1): perekonomian disusun sebagai usaha bersama 

atas asas kekeluargaan.

(7) Pasal 34 ayat (1): fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara 

oleh negara. 

Secara garis besar, materi muatan yang ada  dalam UUD 1945 adalah: 

perlindungan terhadap hak-hak dibidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, dan 

pertahanan keamanan (bela negara), jaminan persamaan kedudukan di depan 

hukum dan pemerintahan, dan atas pekerjaan yang layak, hak atas kebebasan 

berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, hak kebebasan beragama, hak 

mendapatkan perlindungan dari ancaman, hak untuk mendapatkan pendidikan dan 

pengajaran, hak untuk melakukan usaha bersama, serta hak untuk mendapatkan 

jaminan bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar.

Gejolak politik beberapa tahun setelah berlakunya UUD 1945 yang 

disahkan menjadi UUD pada 18 Agustus 1945, telah merubah UUD 1945 menjadi 

Konstitusi Republik negara kita  Serikat (RIS) yang mulai berlaku 27 Desember 

1949 hingga 17 Agustus 1950. Dalam Konstitusi RIS yang berlaku singkat itu, 

dimuat jaminan hak asasi manusia yang lebih lengkap, yaitu:

1. Hak diakui sebagai person, Pasal 7 ayat (1).

2. Hak persamaan di hadapan hukum, Pasal 7 ayat (2).

3. Hak persamaan perlindungan menentang diskriminasi, Pasal 7 ayat 

(3).

4. Hak atas bantuan hukum, Pasal 7 ayat (4).

5. Hak atas keamanan personal, Pasal 8.

6. Hak atas kebebasan bergerak, Pasal 9 Ayat (1)

7. Hak untuk meninggalkan negeri, Pasal 9 ayat (2).

8. Hak untuk tidak diperbudak, Pasal 10.

9. Hak mendapatkan proses hukum, Pasal 11.

10. Hak untuk tidak dianiaya, Pasal 12.

--  113112    -

11. Hak atas peradilan yang adil, Pasal 13 ayat (1).

12. Hak atas pelayanan hukum dari para hakim, Pasal 13 ayat (2).

13. Hak dianggap tidak bersalah, Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3)

14. Hak atas kebebasan berpikir dan beragama, Pasal 18.

15. Hak atas kebebasan berpendapat, Pasal 19.

16. Hak kebebasan berkumpul, Pasal 20.

17. Hak atas penuntutan, Pasal 21 ayat (1)

18. Hak turut serta dalam pemerintahan, Pasal 22 ayat (1)

19. Hak akses dalam pelayanan publik, Pasal 22 ayat (2)

20. Hak mempertahankan negara, setiap warga negara berhak dan 

berkewajiban turut serta dan sungguh-sungguh dalam pertahanan 

kebangsaan, Pasal 23.

21. Hak atas kepemilikan, Pasal 25 ayat (1)

22. Hak untuk tidak dirampas hak miliknya, Pasal 25 ayat (2)

23. Hak mendapatkan pekerjaan, Pasal 27 ayat (1)

24. Hak atas kerja, Pasal 27 ayat (2)

25. Hak untuk membentuk serikat kerja, Pasal 28

Meskipun usia RIS relatif singkat, yaitu dari tanggal 27 Desember 1949 

sampai 17 Agustus 1950, namun baik sistem kepartaian multi partai maupun 

sistem pemerintahan parlementer yang dicanangkan pada kurun waktu pertama 

berlakunya UUD 1945, masih berlanjut. Konstitusi RIS yang kemudian diganti 

dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950), melalui Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1950 dan mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1950 memuat 

hak asasi manusia lebih rinci. Setidaknya ada sekitar 27 hak yang diakui oleh 

konstitusi yang termuat dalam sekitar 31 pasal. 

Pasal 1 dan 35 diatur tentang hak menetukan nasib sendiri; Pasal 7  diatur 

tentang hak diakui sebagai pribadi dihadapan undang-undang, hak persamaan 

di hadapan hukum, hak atas bantuan hukum; Pasal 8 diatur tentang hak atas 

keamanan pribadi dan hak atas kepemilikan; Pasal 26 diatur kembali tentang 

hak atas kepemilikan. Selanjutnya Pasal 9 diatur tentang hak atas kemerdekaan 

bergerak; Pasal 10 diatur tentang hak untuk tidak diperbudak; Pasal 11 sampai 

16 diatur tentang hak atas pengakuan hukum, hak untuk tidak dianiaya, hak untuk 

tidak ditangkap tanpa perintah yang sah, hak atas peradilan yang tidak memihak, 

hak atas tidak dianggap tidak bersalah; Pasal 17 diatur tentang hak atas rahasia 

pribadi; Pasal 18 dan 43 diatur tentang hak atas agama; Pasal 19 diatur tentang 

hak atas kebebasan berpendapat; Pasal 20 diatur tentang hak atas kebebasan 

berkumpul; Pasal 21 diatur tentang hak atas demontrasi dan mogok.

Kemudian Pasal 22 diatur tentang hak atas pengaduan kepada pemerintah; 

Pasal 23 dan 36 diatur tentang hak atas partisipasi pemilihan umum; Pasal 24 

diatur tentang hak atas pertahanan negara; Pasal 28 diatur hak atas kerja dan 

hak atas upah yang adil; Pasal 29 diatur tentang hak membentuk serikat kerja; 

Pasal 30 diatur tentang hak atas pendidikan; Pasal 31 diatur tentang hak atas 

kerja-kerja sosial; Pasal 36 dan 39 diatur tentang hak atas jaminan sosial; Pasal 

37 dan 38 diatur tentang hak atas kesejahteraan sosial; Pasal 40 diatur tentang 

hak atas kebebasan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, dan Pasal 42 diatur 

tentang hak atas jaminan kesehatan.

UUDS 1950 juga mengatur adanya hak milik sebagai fungsi sosial atau 

ketentuan-ketentuan lainnya yang bersifat sosial warga . Pendek kata, UUDS 

1950 mengatur hak asasi manusia secara rinci, sebab ditetapkan sesudah 

diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.  Periode kekuasaan 1949-

1959 dalam dua UUD (Konstitusi RIS dan UUDS 1950) dapat dikatakan sebagai 

periode sistem politik demokrasi liberal atau parlementer yang baik. Bahkan pada 

periode ini, suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal sangat 

terasa, sehingga dapat dikatakan bahwa baik pemikiran maupun aktualisasi hak 

asasi manusia pada periode ini mengalami “pasang” dan menikmati suasana 

“bulan madu”, karena:69 

1. Semakin banyaknya tumbuh partai politik dengan beragam 

ideologinya masing-masing; 

2. Kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul 

menikmati kebebasannya; 

3. Pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam 

suasana kebebasan, fair dan demokratis; 

4. Parlemen atau dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari 

kedaulatan rakyat menunjukan kinerja dan kelasnya sebagai wakil-

wakil rakyat dengan melakukan kontrol atau pengawasan; 

5. Wacana dan pemikiran tentang hak asasi manusia memperoleh iklim 

yang kondusif.

Setelah berlaku selama hampir 9 tahun, gejolak politik kembali terjadi 

dan akhirnya kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.70 Latar  

belakang keluarnya Dekrit Presiden yaitu kegagalan Badan Konstituante untuk 

70  Isi lengkap Dekrit: Kami Presiden Republik negara kita /Panglima Tertinggi Angkatan 

Perang, Dengan ini menyatakan dengan khidmat: 

1. Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945, yang disampaikan 

kepada segenap Rakyat negara kita  dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak 

memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam UUDS; 

2. Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar anggota Sidang Pembuat UUD, untuk 

tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan 

oleh Rakyat kepadanya; 

3. Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan 

dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai 

warga  yang adil dan makmur; 

4. Bahwa dengan dukungan bagian terbesar dari Rakyat negara kita  dan didorong oleh keyakinan 

kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi; 

5. Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 

dan yaitu yaitu satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi ini . 

Kami Presiden Republik negara kita /Panlima Tertinggi Angkatan Perang: a. Menetapkan pembubaran 

Konstituante; b. Menetapkan UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa negara kita  dan seluruh 

tumpah darah negara kita , terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini dan tidak berlakunya lagi 

Undang-Undang Dasar Sementara; c. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, 

yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari 

daerah-daerah dan golongan-golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, 

akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya. 

Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 Juli 1959 Atas nama Rakyat negara kita  Presiden Republik 

negara kita / Panglima Tertinggi Angkatan Perang  (SOEKARNO)

menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950.71 Anggota konstituante 

yang mulai bersidang pada 10 November 1956, tetapi sampai tahun 1958 

belum juga berhasil merumuskan UUD yang baru, yang diharapkan lebih baik 

dan lengkap. Ketidakberhasilan konstituante ini  bersamaan pula dengan 

kuatnya desakan warga  untuk kembali kepada UUD 1945. 

Menanggapi situasi ini , Soekarno menyampaikan amanat 

di depan Sidang Konstituante pada 22 April 1959. Isinya menganjurkan 

untuk kembali ke UUD 1945.  Atas amanat Soekarno ini , pada 30 Mei 

1959, Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya, 269 suara 

menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan 

setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus diulang, sebab jumlah 

suara tidak memenuhi quorum. Pemungutan suara kembali dilakukan pada 

tanggal 1 dan 2 Juni 1959, tetapi kembali gagal sebab belum juga mencapai 

quorum. Situasi itulah yang memicu  Soekarno akhirnya mengeluarkan 

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan menyatakan kembali ke UUD 1945. Dengan 

kembali ke UUD 1945, berarti kembali ke UUD awal yang minim pengaturan dan 

jaminan tentang hak asasi manusia. 

Dekrit itu berisi: (1) Pembubaran Konstituante. (2) Berlakunya kembali 

UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950, serta (3) Pembentukkan MPRS 

menempatkan Soekarno menjadi figur dan kekuatan tunggal dalam perpolitikan 

negara kita  masa itu. Demokrasi terpimpin yang dijalankan Soekarno paska dekrit 

itu kian menegaskan pandangan Soekarno tentang liberalisme dan individualisme, 

yang ia katakan sebagai gaya Barat yang harus dibuang, sebab yaitu 

sumber dari segala malapetaka yang telah menimpa dalam dasawarsa yang lalu.

Jakarta, 1995 memberi catatan berbeda. Menurut Buyung, konstituante tidak bisa dianggap gagal 

sebab konstituante sesungguhnya tidak diberikan kesempatan untuk menyelesaikan perdebatan 

mengenai dasar negara secara bebas, padahal itikad baik untuk melakukan kompromi di antara para 

pihak yang bertikai yaitu faksi Islam dan faksi Pancasila sudah mulai terlihat. 

Soekarno yang selalu mengatakan bahwa revolusi belum selesai, perlu 

memberi arah yang jelas untuk mencapai maksud ini . Soekarno menyatakan, 

“sekarang roda revolusi sudah berputar kembali atas dasar hukum-hukum klasik 

dari semua revolusi. Apakah hukum-hukum klasik daripada revolusi itu? Satu: 

tiada revolusi jikalau ia tidak menjalankan konfrontasi terus menerus. Dua: tiada 

revolusi jikalau ia tidak berupa satu disiplin di bawah satu pimpinan.”73

Sistem politik demokrasi terpimpin tidak memberi  keleluasaan ataupun 

menenggang adanya kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran 

dengan tulisan. Di bawah naungan demokrasi terpimpin, pemikiran tentang hak 

asasi manusia dihadapkan pada restriksi atau pembatasan yang ketat oleh 

kekuasaan. Dengan begitu, memicu  kemunduran (set back)  sebagai sesuatu 

yang berbanding terbalik dengan situasi pada masa Demokrasi Parlementer. 

Jaminan hak asasi manusia yang terbatas dan pengaturan kekuasaan yang 

longgar dalam UUD 1945 telah menjadikan Soekarno mempraktikkan kekuasaan 

otoritarian. Kebebasan berpendapat, bereksperesi, dan berorganisasi dibatasi. 

Sejumlah surat kabar dilarang terbit, seperti negara kita  Radja  milik Mochtar Lubis 

dan Pedoman milik Rosihan Anwar sebab dianggap sebagai kontra revolusi. 

Pemerintah Orde Lama tidak hanya mematikan media massa yang tidak 

sepaham dengan garis politik Soekarno, tetapi juga menahan tokoh jurnalis 

yang dianggap berbahaya. Salah satunya yaitu Mochtar Lubis. Membubarkan 

sejumlah partai politik, antara lain Masyumi dan PSI melalui Keputusan Presiden 

(Kepres) No. 200 Tahun 1960. Soekarno juga memenjarakan sejumlah tokoh, yaitu 

Moh. Natsir, Syafrudin Prawiranegara, Simbolon, Burhanudin Harahap, Syahrir, 

Prawoto, Moh Roem, Anak Agung Gde Agung, atas dasar kecurigaan terlibat 

usaha pembunuhan Soekarno di Makasar pada tahun 1962.

Demokrasi Terpimpin ala Soekarno akhirnya jatuh. Situasi ini kemudian 

melahirkan rezim Orde Baru,  yang berjanji untuk menegakkan Pancasila dan 

melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Pada awal kekuasaannya, 

perdebatan mengenai perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia muncul 

kembali pada Sidang Umum MPRS Tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS saat 

itu telah membentuk Panitia Ad Hoc Penyusunan hak asasi manusia. 

Hasilnya yaitu sebuah “Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam 

Hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara”. Tetapi sayang 

sekali, rancangan ini  tidak berhasil diajukan ke Sidang Umum MPRS untuk 

disahkan sebagai ketetapan MPRS. Alasannya --terutama diajukan oleh fraksi 

Karya Pembangunan dan ABRI-- akan lebih tepat jika piagam yang penting itu 

disiapkan oleh MPR hasil pemilu, bukan oleh MPRS yang bersifat “sementara”. 

Piagam dimaksud akhirnya tidak pernah terwujud hingga Orde Baru berakhir.

Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto secara sempurna 

menyalahgunakan wewenang. Ini sebagai dampak dari lemahnya UUD 1945 dalam 

menjamin hak asasi manusia serta longgarnya pengaturan wewenang kekuasaan 

presiden. Akhirnya selama 31 tahun di bawah kekuasaan Orde Baru, kondisi hak 

asasi manusia di negara kita  mencapai titik terendah dalam sejarah. Pelanggaran 

hak-hak sipil dan hak-hak politik terjadi sepanjang kekuasaan Orde Baru (1968-

1998) dalam pelbagai bentuk, seperti antara lain penyiksaan, eksekusi mati 

tanpa proses hukum dalam kasus penembakan misterius (Petrus), pemberedelan 

pers, pelarangan buku-buku, pemberangusan partai politik, penangkapan dan 

penahanan secara sewenang-wenang terhadap aktivis mahasiswa, tokoh-tokoh 

kritis, dan seterusnya.

Kekuasaan otoritarian yang dipraktikkan Soeharto itu pada akhirnya 

tumbang oleh kekuatan rakyat pada 21 Mei 1998. Ia dipaksa turun dan 

menyatakan berhenti dari jabatan presiden. Kejatuhan pemimpin Orde Baru itu 

direspon cepat oleh kekuatan pro demokrasi dengan mendesakkan dilakukannya 

perubahan UUD 1945 yang dianggap menjadi penyebab munculnya otoritarian 

versi Soekarno dan Soeharto. Perubahan penting UUD 1945 mencakup:

1. Menegaskan negara kita  yaitu negara hukum, Pasal 1 ayat (3).

2. Pembatasan masa jabatan presiden, Pasal 7.

3. Pengawasan Presiden, Pasal 7A dan 7B.

4. Membenahi Pemilu, Pasal 22 E.

5. Menegaskan kekuasaan kehakiman yang merdeka, Pasal 24.

--  119118    -

6. Penguatan dan penambahan perlindungan hak asasi manusia, Pasal 

27, 28, dan Pasal 28A hingga 28J (pasal khusus hak asasi manusia).

C. KETETAPAN MPR NOMOR XVII/MPR/1998

Kejatuhan kekuasaan otoritarian Orde Baru pada 21 Mei 1998 diikuti 

dengan perubahan pelbagai kebijakan politik dan hukum di bidang hak asasi 

manusia. Satu diantaranya yang penting yaitu Ketetapan MPR (Tap MR) yang 

secara khusus memuat pandangan, sikap dan piagam hak asasi manusia, 

yang menjadi sumber hukum peraturan perundang-undangan bidang hak asasi 

manusia. Tap MPR ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia sebagai 

makhluk Tuhan Yang Maha Esa dianugerahi hak dasar, yaitu hak asasi, untuk dapat 

mengembangkan diri pribadi, peranan dan sumbangan bagi kesejahteraan bidup 

manusia. Begitu pula dengan Pembukaan UUD 1945 yang telah mengamanatkan 

pengakuan, penghormatan, dan kehendak bagi pelaksanaan hak asasi manusia 

dalam penyelenggaraan kebidupan berwarga , berbangsa dan bernegara; 

serta komitmen bangsa negara kita  terhadap Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 

PBB, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak-asasi manusia.

Tap MPR memuat semacam perintah kepada lembaga-lembaga tinggi 

negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan 

menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh 

warga ; menugaskan kepada Presiden Republik negara kita  dan Dewan 

Perwakilan Rakyat Republik negara kita  untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB 

tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan 

UUD 1945, serta melakukan  penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian dan 

mediasi tentang hak asasi manusia, dilakukan oleh suatu komisi nasional hak 

asasi rnanusia yang ditetapkan dengan undang-undang.74

Tap MPR ini juga menggariskan pandangan bangsa negara kita  tentang 

hak asasi manusia 75 dengan meletakkan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang 

Maha Esa. Mahluk yang secara kodrati dianugerahi hak dasar yang disebut hak 

74  Baca TAP MPR Nomor XVIII/MPR/1998.

75  Ibid.

--  119118    -

asasi, tanpa perbedaan antara satu dengan lainnya. Dengan hak asasi ini , 

manusia dapat mengembangkan diri pribadi, peranan, dan sumbangannya bagi 

kesejahteraan hidup manusia. Manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai 

warga negara --dalam mengembangkan diri-- berperan dan memberi  

sumbangan bagi kesejahteraan hidup manusia, yang ditentukan oleh pandangan 

hidup dan kepribadian bangsa. Pandangan hidup dan kepribadian bangsa 

negara kita  sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa negara kita , menempatkan 

manusia pada keluhuran harkat dan martabat makhluk Tuhan Yang Maha Esa 

dengan kesadaran mengemban kodratnya sebagai makhluk pribadi dan juga 

makhluk sosial, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Bangsa negara kita  menghormati setiap usaha  suatu bangsa untuk 

menjabarkan dan mengatur hak asasi manusia sesuai dengan sistem nilai dan 

pandangan hidup masing-masing. Bangsa negara kita  menjunjung tinggi dan 

menerapkan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila sebagai pandangan 

hidup bangsa. Sejarah dunia mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan 

kesenjangan sosial yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas 

dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin, 

dan status sosial lainnya. Menyadari bahwa perdamaian dunia serta kesejahteraan 

yaitu dambaan umat manusia, maka hal-hal yang menimbulkan penderitaan, 

kesengsaraan dan kesenjangan serta yang dapat menurunkan harkat dan martabat 

manusia harus ditanggulangi oleh setiap bangsa.

Bangsa negara kita , dalam perjalanan sejarahnya mengalami kesengsaraan 

dan penderitaan yang disebabkan oleh penjajahan. Oleh sebab itu, Pembukaan 

UUD 1945 mengamanatkan bahwa kemerdekaan yaitu hak segala bangsa 

dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan sebab tidak sesuai dengan 

perikemanusiaan dan perikeadilan. Bangsa negara kita  bertekad ikut melaksanakan 

ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial 

yang pada hakikatnya yaitu kewajiban setiap bangsa. Bangsa negara kita  juga 

berpandangan bahwa hak asasi manusia tidak terpisahkan dengan kewajibannya.

Tap MPR juga menggariskan pemahaman bahwa hak asasi yaitu 

hak dasar seluruh umat manusia tanpa ada perbedaan. Hak dasar yaitu 

--  121120    -

anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan begitu, pengertian hak asasi 

manusia yaitu hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada 

diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan 

martabat manusia. Setiap manusia diakui dan dihormati memiliki  hak asasi 

yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama, 

usia, pandangan politik, status sosial, dan bahasa serta status lain. Pengabaian 

atau perampasann