HAM 4
Konvensi ILO No. 87/1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan
Hak untuk Berorganisasi, konvensi ini diratifikasi pada tanggal 9 Juni
1998. Tujuan dari Konvensi ini yaitu untuk memberi jaminan kepada
pekerja atau buruh dan pengusaha, akan kebebasan untuk mendirikan dan
menjadi anggota organisasinya, demi kemajuan dan kepastian dari kepentingan-
kepentingan pekerjaan mereka, tanpa sedikitpun ada keterlibatan negara.
Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 ini juga menjamin perlindungan bagi
organisasi yang dibentuk oleh pekerja ataupun pengusaha, sehingga tanpa adanya
campur tangan dari institusi publik. Jaminan perlindungan itu berupa,Pasal 3:
(1) Organisasi pekerja dan pengusaha berhak untuk membuat anggaran dasar
dan peraturan-peraturan, secara bebas memilih wakil-wakilnya, mengelola
administrasi dan aktifitas, dan merumuskan program. (2) Penguasa yang
berwenang harus mencegah adanya campur tangan yang dapat membatasi
hak-hak ini atau menghambat praktek-praktek hukum yang berlaku.
negara kita meratifikasi konvensi ini dengan Keputusan Presiden (Kepres)
Nomor 83 Tahun 1998 yang dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 98. Sejalan
dengan ratifikasi ini , pemerintah negara kita mengesahkan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh yang menjamin:
1. Hak pekerja untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja;57
2. Hak serikat pekerja untuk melindungi, membela dan meningkatkan
kesejahteraan pekerja beserta keluarganya; dan
3. Perlindungan terhadap pekerja dari tindakkan diskriminatif dan
intervensi serikat pekerja
9. Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 Tahun
1973
Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 mengenai Usia Minimum untuk
Diperbolehkan Bekerja yang disetujui pada Konferensi Ketenagakerjaan
Internasional ke-58 tanggal 26 Juni 1973 di Jenewa, yaitu salah satu
konvensi yang melindungi hak asasi anak. Konvensi ini mewajibkan setiap
negara anggota ILO yang telah meratifikasi, menetapkan batas usia menimum
untuk diperbolehkan bekerja. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) konvensi
ini, negara kita melampirkan pernyataan (declaration) yang menetapkan bahwa
batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang diberlakukan di wilayah
Republik negara kita yaitu 15 (lima belas) tahun.
Konvensi ini pada pokoknya meminta negara anggota ILO menetapkan
kebijakan nasional untuk menghapuskan praktek mempekerjakan anak dan
meningkatkan usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Pekerjaan-pekerjaan
57 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000:Setiap pekerja/buruh berhak
membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
-- 9190 -
yang membahayakan kesehatan, keselambatan, atau moral anak harus diusaha kan
tidak boleh kurang dari 18 (delapan belas) tahun, kecuali untuk pekerjaan
ringan tidak boleh kurang dari 16 (enam belas) tahun. Negara anggota ILO yang
mengesahkan konvensi ini wajib menetapkan usia minimum untuk diperbolehkan
bekerja, aturan mengenai jam kerja, dan menetapkan hukuman atau sanksi guna
menjamin pelaksanaannya. Negara anggota ILO yang mengesahkan konvensi ini
juga wajib melaporkan pelaksanaannya.
negara kita telah mengesahkan konvensi ini dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1999 yang termuat dalam Lembaran Negara (LN) No. 56, dan
Tambahan Lembaran Negara (TLN) No. 3835. Pertimbangan utama negara kita
mengesahkannya yaitu sebab negara kita sangat menghormati, melindungi dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, seperti tercermin dalam Pancasila dan
UUD 1945. Ditambah lagi dengan adanya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia yang menugasi Presiden Republik negara kita dan DPR untuk
meratifikasi berbagai instrumen PBB yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
negara kita telah meratifikasi Konvensi PBB tanggal 30 September 1990 mengenai
Hak-Hak Anak. Disamping itu,presiden telah ikut menandatangani Keputusan
Pertemuan Tingkat Tinggi mengenai Pembanguan Sosial di Kopenhagen Tahun
1995. Keputusan pertemuan ini antara lain mendorong anggota PBB
meratifikasi tujuh Konvensi ILO yang memuat hak-hak dasar pekerja, termasuk
Konvensi No. 138 Tahun 1973 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan
Bekerja.
10. Konvensi Perlind ungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota
Keluarganya
Pada tanggal 18 Desember 1990, Majelis Umum Perserikatan PBB telah
mengeluarkanResolusi Nomor A/RES/45/158 mengenai International Convention
on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their
Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja
Migran dan Anggota Keluarganya). Resolusi ini memuat seluruh hak-hak
pekerja migran dan anggota keluarganya dan menyatakan akan mengambil
langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan konvensi ini.
Pada tanggal 22 September 2004 di New York, Pemerintah negara kita
telah menandatangani resolusi ini tanpa reservasi. Penandatanganan ini
menunjukkan kesungguhan negara kita untuk melindungi, menghormati, memajukan
dan memenuhi hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya yang
diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para pekerja migran dan anggota
keluarganya.Ratifikasi konvensi ini diharapkan dapat mendorong terciptanya
ratifikasi universal dan penerapan prinsip serta norma standar internasional bagi
perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya secara
global.
Isi pokok dari konvensi yaitu bahwa setiap pekerja migran dan anggota
keluarganya memiliki hak atas kebebasan untuk meninggalkan, masuk dan
menetap di negara manapun, hak hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak
untuk bebas dari perbudakan, hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan
beragama, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas privasi, hak untuk bebas dari
penangkapan yang sewenang-wenang, hak diperlakukan sama di muka hukum,
hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hak terkait kontrak atau
hubungan kerja, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak mendapatkan perawatan
kesehatan, hak atas akses pendidikan bagi anak pekerja migran, hak untuk
dihormati identitas budayanya, hak atas kebebasan bergerak, hak membentuk
perkumpulan, hak berpartisipasi dalam urusan pemerintahan di negara asalnya,
hak untuk transfer pendapatan. Termasuk hak-hak tambahan bagi para pekerja
migran yang tercakup dalam kategori-kategori pekerjaan tertentu (pekerja lintas
batas, pekerja musiman, pekerja keliling, pekerja proyek, dan pekerja mandiri).
Tujuan dari konvensi yaitu untuk menetapkan standar-standar yang
menciptakan suatu model bagi hukum serta prosedur administrasi dan peradilan
masing-masing Negara Pihak. Terobosan utama konvensi ini yaitu bahwa
orang-orang yang memenuhi kualifikasi sebagai pekerja migran dan anggota
keluarganya, sesuai ketentuan-ketentuan konvensi, berhak untuk menikmati
hak asasi manusia, apapun status hukumnya.Dengan pelbagai pertimbangan
ini negara kita mengesahkan konvensi ini dengan Undang-Undang Nomor 6
-- 9392 -
Tahun 2012 yang termuat dalam Lembaran Negara (LN) No. 115, dan Tambahan
Lembaran Negara (TLN) No. 5314
11. Konvensi Hak Anak
Gagasan mengenai hak anak sudah mengemuka sejak berakhirnya Perang
Dunia I sebagai respon terhadap penderitaan anak-anak akibat Perang Dunia I
ini .Situasi ini mendorong Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada tahun 1924
mendeklarasikan hak anak, yang dikenal sebagai Deklarasi Jenewa. Barulah
setelah Perang Dunia II Majelis Umum PBB mengadopsi hak anak pada 10
Desember 1948, dan menjadi bagian dari Deklarasi Universal HAM.Konvensi
Hak Anak memuat empat (4) prinsip penting, yaitu:
1. Prinsip non-diskriminasi.
Prinsip ini menekankan bahwa semua hak yang diakui dan
terkandung dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada
setiap anak tanpa pembedaan apapun.58 Prinsip yang ini tertuang
dalam Pasal 2 Konvensi Hak Anak, yakni: “Negara-negara peserta
akan menghormati dan menjamin hak-hak yang diterapkan dalam
konvensi ini bagi setiap anak yang berada dalam wilayah hukum
mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik
atau pandangan-pandangan lain, asal-usul kebangsaan, etnik atau
sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status
lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua atau walinya
yang sah.”(Ayat 1).
“Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah yang perlu
untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi
atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang
dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah
atau anggota keluarga.”(Ayat 2).
58 Pasal 2 Konvensi Hak Anak
2. Prinsip yang terbaik bagi anak (best interest of the child).
Prinsip ini menegaskan bahwa dalam semua tindakan yang
menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
kesejahteraan sosial pemerintah atau badan legislatif. Maka dari itu,
kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan
utama (Pasal 3 ayat 1).
3. Prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (the rights
to life, survival and development) .
Negara-negara Pihak mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang
melekat atas kehidupan (Pasal 6 ayat 1). Disebutkan juga bahwa
negara-negara peserta akan menjamin sampai batas maksimal
kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6 ayat 2).
4. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the
views of the child). Maksudnya bahwa pendapat anak, terutama
jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu
diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan. Prinsip ini
tertuang dalam Pasal 12 ayat (1) Konvensi Hak Anak, yaitu: “Negara-
negara peserta akan menjamin agar anak-anak yang memiliki
pandangan sendiri akan memperoleh hak untuk menyatakan
pandangan-pandangannya secara bebas dalam semua hal yang
mempengaruhi anak, dan pandangan ini akan dihargai sesuai
dengan tingkat usia dan kematangan anak.”
negara kita telah meratifikasi Konvensi Hak Anak dengan pertimbangan
bahwa anak memiliki hak dan butuh untuk dilindungidari eksploitasi ekonomi
dan bekerja pada pekerjaan yang membahayakan atau mengganggu pendidikan
anak, merusak kesehatan fisik, mental, spiritual, moral, dan perkembangan
sosial anak; begitu pula kegiatan penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi
anak yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus diberantas; dan
negara kita sebagai bagian dari warga internasional harus turut serta secara
aktif mencegah, memberantas, dan menghukum pelaku tindak pidana penjualan
anak, prostitusi anak, dan pornografi anak yang diwujudkan dalam Optional
Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children,
Child Prostitution and Child Pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak-hak
Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak).
Selanjutnya dalam Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa tujuan
Pemerintah Negara negara kita yaitu melindungi segenap bangsa negara kita dan
seluruh tumpah darah negara kita , dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam rangka
mewujudkan salah satu tujuan ini , yaitu memberi perlindungan dan
kesejahteraan bagi anak, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 28B UUD 1945.
Ketentuan ini , mengandung arti bahwa anak memiliki hak untuk
dilindungi dari eksploitasi ekonomi. Anak juga dilindungi dari pekerjaan yang
membahayakan atau mengganggu pendidikan anak, merusak kesehatan fisik,
mental, spiritual, moral dan perkembangan sosialanak. Pembinaan kesejahteraan
anak termasuk pemberian kesempatan untuk mengembangkan haknya,
pelaksanaannya tidak saja yaitu tanggung jawab orang tua, keluarga,
bangsa, dan negara melainkan diperlukan pula kerja sama internasional.
Dengan meningkatnya penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi
anak dalam lalu lintas internasional, perlu diperkuat penegakan hukum secara
nyata dalam mencegah dan memberantas tindak pidana penjualan anak, prostitusi
anak, dan pornografi anak. Untuk lebih memperkuat komitmen negara kita dalam
usaha mencegah, memberantas, dan menghukum pelaku tindak pidana penjualan
anak, prostitusi anak, dan pornografi anak, Pemerintah Republik negara kita telah
menandatangani Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child
on the Sale of Children, Child Prostitution a nd Child Pornography (Protokol
Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak,
dan Pornografi Anak) pada tanggal 24 September 2001.
Penandatanganan ini yaitu salah satu komitmen
bangsa negara kita sebagai bagian dari warga internasional untuk
mengimplementasikan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang
Hak-hak Anak) sebagai hasil Sidang Majelis Umum PBB yang diterima pada
tanggal 20 November 1989.Kewajiban Negara Pihak sesuai dengan ketentuan
Protokol Opsional, memiliki kewajiban sebagai berikut:
1. Melarang penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak;
2. Menjamin adanya perbuatan yang diatur dalam hukum pidana atau
pemidanaannya, baik yang dilakukan orang perseorangan maupun
badan hukum (korporasi) mengenai perbuatan menawarkan,
menyediakan, dan menerima anak dengan cara apapun untuk
tujuan eksploitasi seksual, jual beli organ tubuh, atau kerja paksa;
memperoleh persetujuandengan cara-cara yang tidak semestinya
untuk adopsi anak sehingga melanggar instrumen hukum
internasional mengenai adopsi anak; menawarkan, memperoleh,
menyediakan seorang anak untuk prostitusi; memproduksi,
mendistribusikan, menyebarluaskan, mengimpor, mengekspor,
menawarkan, menjual atau memiliki hal-hal untuk tujuan pornografi
anak;
3. Memastikan bahwa pelanggaran-pelanggaran ini dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran yang dapat diekstradisikan;
4. Melakukan kerja sama internasional dalam memberi bantuan
hukum timbal balik dalam masalah pidana mengambil langkah-
langkah untuk menetapkan perampasan dan penyitaan benda, harta
kekayaan, dan barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana serta mencabut izin, baik sementara maupun permanen
terhadap tempat usaha yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana sesuai dengan hukum nasional;
5. Mengambil langkah-langkah untuk melindungi hak-hak dan
kepentingan terbaik bagi anak yang menjadi korban, termasuk
dengan mengakui kebutuhan khususnya, mempertimbangkan
-- 9796 -
dengan sungguh-sungguh pendapatnya, memberi dukungan
yang diperlukan selama dalam proses hukum,dan membebaskan
dari segala bentuk ancaman dan balas dendam;
6. memberi perlindungan terhadap hak dan kepentingan anak
sebagai korban dari tindakan yang dilarang dalam Protokol Opsional
ini terutama dilakukan dengan menjamin bahwa keraguan mengenai
usia korban tidak menghalangi dimulainya suatu penyelidikan;
7. Mengambil langkah-langkah untuk memastikan pemberian pelatihan
yang sesuai, khususnya di bidang hukum dan psikologis bagi para
pendamping korban; mengambil langkah-langkah untuk menjamin
keselamatan dan integritas orang-orang dan/atau organisasi yang
melakukan usaha pencegahan dan/atau perlindungan dan rehabilitasi
korban;
8. Mengadopsi, memperkuat, menyebarluaskan, dan melaksanakan
undang-undang, kebijakan, dan program-program sosial serta
dukungan administratif untuk mencegah pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam protokol ini;
9. Meningkatkan kesadaran di warga luas, termasuk anak-anak,
melalui pendidikan dan pelatihan, serta informasi dengan berbagai
cara yang sesuai mengenai tindakan pencegahan dan dampak yang
merusak akibat pelanggaran;
10. Mengambil langkah-langkah yang memungkinkan dalam rangka
menjamin tersedianya bantuan yang layak bagi korban pelanggaran,
termasuk reintegrasi sosial dan pemulihan fisik dan psikis secara
penuh;
11. Meyakinkan bahwa semua anak korban pelanggaran yang diatur
dalam protokol ini tanpa diskriminasi memperoleh akses terhadap
prosedur untuk memperoleh kompensasi atas kerugian dari pihak
yang bertanggung jawab;
12. Mengambil langkah-langkah yang tepat dan efektif untuk melarang
produksi dan penyebaran materi iklan yang mengandung tindak
-- 9796 -
pidana yang diatur dalam Protokol ini;
13. Mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memperkuat
kerja sama internasional melalui perjanjian multilateral, regional
dan bilateraldalam rangka pencegahan, penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan hukuman bagi pihak-pihak yang bertanggung jawab
atas tindakan yang terkait dengan penjualan anak, prostitusi anak,
pornografi anak;
14. Meningkatkan kerja sama internasional untuk membantu anak yang
menjadi korban dalam pemulihan fisik dan psikis, pemulangan, dan
reintegrasi sosial mereka;
15. Memperkuat kerja sama internasional untuk mengatasi akar masalah,
seperti kemiskinan dan ketidakberdayaan yang melandasi kerentanan
anak-anak terhadap terjadinya penjualan anak-anak, prostitusi anak,
pornografi anak;
16. Menyerahkan laporan dalam waktu dua tahun setelah berlakunya
Protokol untuk setiap pihak, kepada Komite Hak-hak Anak mengenai
informasi yang komprehensif tentang tindakan-tindakan yang diambil
untuk implementasi ketentuan dalam protokol.
Dengan alasan dan pertimbangan-pertimbangan di atas, negara kita telah
mengesahkan konvensi hak anak ini dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2012, yang dimuat dalam Lembaran Negara (LN) No. 149, dan Tambahan
Lembaran Negara (TLN) No. 5330.
12. Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas
Konvensi ini disepakati pada tanggal 13 Desember 2006 oleh Majelis
Umum PBB dengan Resolusi 61/106 dan terbuka untuk ditandatangani oleh
negara-negara anggota PBB pada tanggal 30 Maret 2007. Empat tahun kemudian
negara kita meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2011 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas
pada tanggal 18 Oktober 2011
-- 9998 -
Dalam pembukaan konvensimenguraikan sejumlah konsideran atau
alasan-alasan mendasar lahirnya konvensi ini, yaitu:59
1. Mengingat kembaliprinsip-prinsip yang diproklamasikan dalam
Piagam PBB yang mengakui harga diri dan nilai (dignity and
worth) yang tidak terpisahkan serta hak-hak yang sama dan tidak
terpisahkan bagi seluruh anggota keluarga kemanusiaan sebagai
dasar dari kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia;
2. Mengakui bahwa PBB, di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia dan di dalam kovenan-kovenan internasional mengenai
hak asasi manusia, telah memproklamasikan dan menyetujui bahwa
semua orang berhak atas seluruh hak dan kebebasan yang tercantum
di dalamnya, tanpa perbedaan dalam bentuk apa pun;
3. Menegaskan kembaliuniversalitas, ketidakterpisahkan, kesaling-
tergantungan, dan kesaling-terkaitan dari semua hak asasi manusia
dan kebebasan-kebebasan fundamental serta kebutuhan bagi
penyandang disabilitas untuk dijamin pemenuhan hak-haknya tanpa
diskriminasi;
4. Mengingat kembali Kovenan Internasional mengenai Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kovenan Internasional mengenai
Hak-hak Sipil dan Politik;Konvensi Internasional mengenai
Penghilangan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial; Konvensi mengenai
Penghilangan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan;
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat
Manusia; Konvensi Hak-Hak Anak; dan Konvensi Internasional
mengenai Perlindungan Hak-Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota
Keluarganya;
5. Mengakui bahwa disabilitas yaitu suatu konsep yang terus
berkembang dan disabilitas yaitu hasil dari interaksi antara
orang-orang dengan keterbatasan kemampuan dan sikap dan
lingkungan yang menghambat partisipasi penuh dan efek mereka
di dalam warga berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya;
6. Mengakui pentingnya pedoman prinsip-prinsip dan kebijakan yang
termuat dalam Program Aksi Dunia mengenai Penyandang Disabilitas
(World Programme of Action Concerning Disabled Persons) dan
Peraturan-peraturan Standar mengenai Persamaan Kesempatan
bagiPenyandang Disabilitas (Standard Rules on the Equalization of
Opportunities for Persons with Disabilites) dalam mempengaruhi
promosi, perumusan dan evaluasi atas kebijakan, rencana, program
dan aksi pada tingkat nasional, regional dan internasional untuk
mengajukan kesempatan bagi penyandang disabilitas;
7. Menekankan pentingnya pengarusutamaan isu-isu disabilitas sebagai
bagian integral dari strategi yang relevan bagi pembangunan yang
berkesinambungan;
8. Mengakui juga bahwa diskriminasi atas setiap orang berdasarkan
disabilitas yaitu pelanggaran terhadap martabat dan nilai yang
melekat pada setiap orang;
9. Mengakui pula keragaman penyandang disabilitas;
10. Mengakui perlunya memajukan dan melindungi hak asasi manusia
semua penyandang disabilitas, termasuk mereka yang memerlukan
dukungan intensif yang lebih;
11. Memperhatikan bahwa, walaupun telah ada berbagai bahan tertulis
dan usaha , penyandang disabilitas masih terus menghadapi
hambatan dalam partisipasi mereka sebagai anggota warga
yang setara dan menghadapi pelanggaran terhadap hak asasi
manusia mereka di seluruh penjuru dunia;
12. Mengakui pentingnya kerjasama internasional bagi meningkatkan
kondisi kehidupan penyandang disabilitas di setiap negara,
khususnya di negara-negara berkembang;
13. Mengakui bahwa nilai-nilai yang ada dan potensi kontribusi yang
diberikan oleh penyandang disabilitas terhadap keseluruhan
kesejahteraan dan keragamaan dari komunitas mereka, dan bahwa
pemajuan dari pemenuhan penikmatan yang menyeluruh dari
penyandang disabilitas akan hak-hak asasi mereka dan kebebasan
fundamental dan partisipasi penuh dari penyandang disabilitas akan
menghasilkan peningkatan rasa kepemilikan dan kemajuan-kemajuan
yang signi kan di dalam pembangunan kemanusiaan, sosial, dan
ekonomi warga serta penghapusan kemiskinan;
14. Mengakui pentingnya otonomi dan kemerdekaan individual bagi
penyandang disabilitas, termasuk kebebasan mereka untuk
menentukan pilihan;
15. Mempertimbangkan bahwa penyandang disabilitas harus memiliki
kesempatan untuk secara aktif terlibat dalam proses pengambilan
keputusan mengenai kebijakan dan program termasuk yang terkait
secara langsung dengan mereka;
16. Memperhatikan kondisi sulit yang dihadapi penyandang disabilitas
yang menjadi korban berbagai bentuk diskriminasi yang berulang
atau penuh kebencian berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, kebangsaan, etnis,
asal usul atau asal kelompok sosial, harta benda, kelahiran, umur,
atau status lainnya;
17. Mengakui bahwa penyandang disabilitas perempuan dan penyandang
disabilitas anak perempuan sering lebih berisiko, baik di dalam
maupun di luar lingkup kekerasan, cedera atau pelecehan, perlakuan
yang menelantarkan atau mengabaikan, perlakuan buruk, atau
eksploitasi,
18. Mengakui bahwa penyandang disabilitas anak harus mendapatkan
pemenuhan kenikmatan yang menyeluruh atas semua hak-hak
asasi manusia dan kebebasan fundamental berdasarkan kesetaraan
dengan anak-anak lainnya, dan mengingat kembali. kewajiban-
kewajiban yang harus dilakukan oleh Negara Pihak dari Konvensi
Hak-hak Anak;
19. Menekankan perlunya memasukkan perspektif gender dalam semua
usaha untuk pemajuan pemenuhan hak asasi manusia secara
menyeluruh bagi penyandang disabilitas;
20. Memperhatikan kenyataan bahwa mayoritas penyandang disabilitas
hidup dalam kondisi kemiskinan, dan dalam kaitan ini mengakui
kebutuhan mendesak untuk mengatasi dampak negatif kemiskinan
terhadap penyandang disabilitas;
21. Mengingat bahwa kondisi perdamaian dan keamanan yang
berdasarkan pada penghormatan penuh pada tujuan dan prinsip
yang termuat dalam Piagam PBB dan bahwa pemenuhan dokumen
tertulis hak asasi manusia yang dapat diterapkan yaitu bagian
yang tidak terpisahkan bagi perlindungan sepenuhnya penyandang
disabilitas, khususnya pada saat konflik bersenjata dan pendudukan
asing;
22. Mengakui pentingnya aksesibilitas kepada lingkungan fisik, sosial,
ekonomi dan kebudayaan bagi kesehatan dan pendidikan, serta
informasi dan komunikasi, yang memungkinkan penyandang
disabilitas untuk menikmati sepenuhnya semua hak-hak asasi
manusia dan kebebasan fundamental;
23. Menyadari bahwa individu, selain memiliki kewajiban terhadap
individu lainnya dan warga dimana dia berada, memiliki
tanggung jawab untuk memperjuangkan pengajuan dan penegakan
hak-hak yang diakui di dalam Piagam Internasional Hak-Hak Asasi
Manusia;
24. Meyakini bahwa keluarga yaitu unit kelompok alani dan fundamental
dari warga dan berhak atas perlindungan dari warga dan
negara, dan bahwa penyandang disabilitas dan anggota keluarga
mereka harus memperoleh perlindungan dan bantuan seperlunya
yang memungkinkan anggota keluarga berkontribusi terhadap
penikmatan yang penuh dan setara atas hak-hak penyandang
disabilitas;
-- 103102 -
25. Meyakini bahwa suatu konvensi internasional yang komprehensif
dan integral untuk memajukan dan melindungi hak-hak dan martabat
penyandang disabilitas akan memberi sumbangan signifikan
guna mengatasi keterpurukan sosial penyandang disabilitas dan
memajukan partisipasi mereka pada lingkup sipil, politik, ekonomi,
sosial, dan kebudayaan berdasarkan kesempatan yang setara, baik
di negara berkembang maupun negara maju.
Hak-hak penyandang disabilitas yang diatur dalam konvensi secara
garis besar yaitu hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam,
tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi,
kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan
penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan
orang lain. Termasuk didalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan
pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat.
Tujuan konvensi ini yaitu untuk memajukan, melindungi, dan menjamin
kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar bagi semua penyandang disabilitas,
serta penghormatan terhadap martabat penyandang disabilitas sebagai bagian
yang tidak terpisahkan (inherent dignity). Konvensi juga menyebutkan kewajiban-
kewajiban negara dalam merealisasikan hak yang termuat dalam konvensi, melalui
penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum dan administrasi dari setiap
negara, termasuk mengubah peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan
praktik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, baik perempuan
maupun anak, menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala aspek
kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, olah raga, seni dan
budaya, serta pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi.
Pemerintah negara kita telah menandatangani Convention on the Rights of
Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas)
pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Penandatanganan ini menunjukan
kesungguhan negara kita untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan
memajukan hak-hak penyandang disabilitas, yang pada akhirnya diharapkan
dapat memenuhi kesejahteraan para penyandang disabilitas. Pada waktu
menandatangani konvensi ini, negara kita menandatanganinya tanpa reservasi.
Akan tetapi, tidak menandatangani Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak
Penyandang Disabilitas.
Sebagai negara penandatangan konvensi, negara kita memiliki komitmen
untuk meratifikasi konvensi ini. Dalam usaha melindungi, menghormati,
memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, negara kita telah
membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur pelindungan
terhadap penyandang disabilitas. Berbagai peraturan perundang- undangan
ini antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak;
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian;
6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 200 tentang Sistem Pendidikan
8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan
9. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan;
10. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial;
11. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
12. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
13. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; dan
14. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir
Miskin.
HUKUM HAK ASASI MANUSIA BIDANG HAK
SIPIL DAN POLITIK DI negara kita
A. HAK SIPIL DAN POLITIK
Hukum hak asasi manusia mencakup hukum-hukum yang menjamin
hak-hak sipil dan hak-hak politik. Hak sipil yaitu hak dari subjek hukum orang
sebagai manusia dan warga dari suatu negara. Hak sipil juga harus diberikan dan
dilindungi oleh negara dari kemungkinan pelanggaran atau bahkan nyata-nyata
terjadi pelanggaran oleh negara atau oleh aparatur pemerintah; baik yang dilakukan
secara sengaja (by commission) atau pembiaran (by omission). Sedangkan hak
politik yaitu hak subjek hukum orang sebagai manusia dan atau warga dari
suatu negara di bidang politik. Contoh hak politik yaitu hak untuk ikut serta
dalam organisasi partai politik, ikut serta dalam pemerintahan dan hak pilih dan
dipilih dalam pemiliham umum.
Hak-hak politik demikian itu harus dijamin dalam peraturan perundang-
undangan. Semua itu dilakukan agar subjek hukum manusia dan warga negara
dapat menikmati hak-hak ini serta melindungi pelanggaran atau potensi
pelanggaran oleh negara atau oleh aparatur pemerintah dalam pelbagai bentuk
tindakan, baik dilakukan secara sengaja maupun pembiaran. Hukum hak asasi
manusia tentang hak sipil dan hak politik di negara kita sepanjang sejarah di
negara kita mengalami pasang surut, seiring dengan karakter kekuasaan yang
berlangsung.
Pada era Orde Lama, hukum-hukum hak sipil politik masih sangat terbatas.
Pada periode demokrasi terpimpin, hak sipil dan hak politik justru dibatasi atau
bahkan diberangus, terutama kebebasan berekspresi. Soekarno melakukan
pembatasan-pembatasan terhadap aktivitas pers (media cetak). Pers yang
kritis mengkritik Soekarno dilarang terbit atau dibredel. Tokoh-tokohnya seperti
Mochtar Lubis, dan Rosihan Anwar bahkan dipenjarakan. Grup-grup musik yang
menyanyikan lagu-lagu barat dilarang pentas, bahkan personil grup musik Koes
Plus ditahan tanpa proses hukum.
Memasuki era Orde Baru, keadaan hukum hak sipil dan politik tidak
membaik, bahkan dapat dikatakan semakin memburuk. Pemerintahan Soeharto
melakukan langkah-langkah hukum dan politik untuk membatasi kebebasan sipil
dan politik. Hal itu dilakukan sebagai bagian dari strategi Orde Baru menjaga dan
mempertahankan pemerintahan otoriternya. Menyusul jatuhnya Orde Baru pada
Mei 1998, maka muncul babak baru kehidupan hak sipil dan politik di negara kita .
Atas desakan kekuatan pro demokrasi, B.J. Habibie melakukan langkah-langkah
cepat dan berani meletakkan pondasi pemerintahan baru yang demokratis,
berdasarkan hukum dan hak asasi manusia.
Dimulai Mei 1998, pemerintahan era reformasi yang diawali oleh B.J.
Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudoyono,
dan Joko Widodo, dilakukan pencabutan sejumlah peraturan perundang-undangan
yang tidak sejalan dengan prinsip negara hukum, demokrasi dan melanggar hak
asasi manusia. ini sekaligus diikuti dengan disahkannya banyak peraturan
perundang-undangan untuk mendukung itu semua; terutama hukum hak asasi
manusia yang menjamin dan melindungi hak sipil dan politik; baik yang bersifat
hak-hak keperdataan maupun hak-hak publik.
B. UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DAN AMANDEMENNYA
Undang-Undang Dasar (UUD) --jika dalam tradisi Common Law disebut
konstitusi-- yaitu hukum dasar. Isinya memuat pembatasan-pembatasan
kekuasaan di satu sisi dan melindungi hak asasi manusia dan warga negara di
sisi lain. UUD yaitu juga norma dasar untuk membatasi absolutisme negara
(raja)61 melalui seperangkat aturan dalam konstitusi (konstitusionalisme).62 Dalam
konsepsi Carl J. Friedrich yaitu sebuah gagasan yang menggangap pemerintah
sebagai suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, yang
tunduk pada pembatasan konstitusional.
Sebuah konstitusi menurut Sri Soemantri, pada umumnya memuat tiga
hal yang fundamental, yaitu: (1) adanya jaminan terhadap hak asasi manusia dan
warganya; (2) ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat
fundamental; (3) adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan
yang juga bersifat fundamental.64 Sumbangan spirit kemerdekaan Amerika
dalam perlindungan hak asasi manusia di dalam konstitusi mereka sangat besar,
meskipun secara resmi rakyat Perancis sudah lebih dulu memulai sejak masa
Rousseau. Bagaimanapun juga, deklarasi kemerdekaan Amerika yang disusun
oleh Thomas Jefferson dan disetujui oleh ke-13 koloni yang memutuskan untuk
memerdekakan diri dari Inggris,65 menjadi pondasi kuat yang menginspirasi
gerakan hak asasi manusia di pelbagai belahan dunia.
Deklarasi kemerdekaan Amerika yaitu peperangan untuk
mempertahankan kebebasan, kemerdekaan, dan penghormatan terhadap hak
asasi manusia. Selain itu, deklarasi ini yaitu bentuk penentangan
terhadap penindasan kepada sesama manusia. Pernyataan kemerdekaan itu
di antaranya berbunyi,” ... dan dengan sendirinya terang bahwa semua orang
diciptakan sama, bahwa mereka oleh Tuhan dikaruniai beberapa hak yang
tidak dapat ditawar gugat. Di antaranya hak untuk hidup, kemerdekaan dan
kehendak mencapai kebahagiaan”. Bahwa untuk melindungi hak-hak itu, harus
dilakukan oleh orang-orang yang menerima kekuasaan atas persetujuan mereka
yang diperintah. Bahwa manakala sesuatu pemerintah membahayakan bagi
pemeliharaan maksud itu, maka hak rakyat untuk mengganti atau menghapuskan
pemerintah itu dan membentuk pemerintahan baru.
Atas jasa Presiden Thomas Jefferson, Amerika Serikat menjadi negara
utama yang memberi pelindungan dan jaminan hak asasi manusia dalam
konstitusinya. Setelah itu, baru diteruskan oleh presiden-presiden berikutnya.
Satu diantaranya yang terkenal yaitu pidato Franklin D. Roosevelt tentang
empat kebebasan yang diucapkannya di depan Kongres Amerika Serikat pada
6 Januari 1941, yaitu:
a. Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran;
b. Kebebasan memilih agama seseuai keyakinan dan kepercayaannya;
c. Kebebasan dari rasa takut; dan
d. Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan.
Begitu pentingnya konstitusi menjamin hak asasi manusia, telah
mendorong Amerika melakukan amandemen berkali-kali.66 Amandemen yang
cukup penting dikaji antara lain:
Amandemen I: melindungi kebebasan beragama, kebebasan pers,
kebebasan menyatakan pendapat, dan hak berserikat;
Amandemen IV: ada klausul hak rakyat untuk merasa aman atas diri,
rumah, surat-surat, dan surat-surat berharga mereka, dari penggeledahan dan
penahanan yang tidak masuk akal, yakni sebab tidak adanya surat perintah
penggeledahan.
Amandemen V: menjamin hak setiap waga negara untuk tidak ditahan
dan mempertanggungjawabkan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman
mati, maupun kejahatan keji lainnya, kecuali atas pengajuan atau tuntutan dari
suatu Juri Agung (putusan pengadilan). Demikian juga dijamin untuk tidak
dikenai ancaman jiwa maupun anggota badan sebab melakukan dua kali tindak
pidana yang sama. Hak untuk tidak dipaksa menjadi saksi, hak untuk tidak
dihilangkan jiwanya, kebebasannya, atau miliknya, tanpa melalui proses hukum
yang semestinya. Jaminan terhadap milik pribadi yang tidak boleh dipakai untuk
keperluan umum, tanpa adanya ganti rugi.
Amandemen VI: menjamin hak untuk mendapat proses pengadilan
secara terbuka atas semua tuntutan tindak pidana kejahatan. Di mana proses
persidangan akan dilakukan oleh suatu juri yang tidak memihak dari negara bagian
maupun pengadilan distrik, tempat di mana tindak kejahatan ini dilakukan.
Pengadilan Distrik juga wajib memberitahukan tentang sifat dan sebab tuduhan
kejahatan untuk dikonfrontasikan dengan saksi yang melawannya, serta wajib
menghadirkan saksi yang meringankan serta mendapatkan bantuan pengacara
untuk melakukan pembelaan.
Sebagaimana Amerika dan negara-negara Eropa lainnya, negara kita
yang mengalami masa penjajahan sekitar 3,5 (tiga setengah) abad lamanya,
telah menempatkan kemerdekaan negara kita sebagai perjuangan dan deklarasi
pembebasan hak asasi manusia dari belenggu penjajahan. Sekalipun di dalam
deklarasi kemerdekaan67 itu tidak menyebutkan kata-kata “hak asasi manusia”
secara langsung, tetapi kata “merdeka” tidak lain yaitu kebebasan (freedom),
dan kebebasan yaitu hak asasi manusia. Hanya dengan bebas atau merdeka,
manusia memiliki dirinya utuh sebagai manusia, sekaligus bernilai sebagai
manusia. Itulah sebabnya dalam Pembukaan UUD 1945, yang dicetuskan jauh
sebelum Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 dengan terang menyatakan:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan
oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan sebab
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”68
Penjajahan yaitu perampasan kemerdekaan atau kebebasan manusia
dan warganegara terhadap hak fundamental manusia. Oleh sebab itu, setiap
perjuangan pembebaskan diri dari perampasan kebebasan oleh individu, kelompok
67 Isi deklarasi kemerdekaan “Kami bangsa negara kita dengan ini menyatakan
kemerdekaan…”
68 Jauh sebelum kemerdekaan, para perintis bangsa ini telah memercikkan pikiran-pikiran
untuk memperjuangkan harkat dan martabat manusia yang lebih baik. Percikan pikiran ini dapat
dibaca dalam surat-surat R.A. Kartini yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, karangan-karangan
politik yang ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat,
petisi yang dibuat oleh Sutardjo di Volksraad atau pledoi Soekarno yang berjudul ”negara kita
Menggugat” dan Hatta dengan judul ”negara kita Merdeka” yang dibacakan di depan pengadilan Hindia
Belanda. Percikan-percikan pemikiran pada masa pergerakan kemerdekaan itu, yang terkristalisasi
dengan kemerdekaan negara kita , menjadi sumber inspirasi saat konstitusi mulai diperdebatkan di
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan negara kita (BPUPKI). Di sinilah terlihat bahwa
para pendiri bangsa ini sudah menyadari pentingnya hak asasi manusia sebagai pondasi bagi negara.
atau negara yaitu perjuangan kemanusian dalam rangka menegakkan eksistensi
manusia dan kemanusiaan.
Sekalipun substansi deklarasi kemerdekaan negara kita dengan jelas dan
terang yaitu komitmen bangsa negara kita terhadap hak asasi manusia, tetapi
pada saat akan dilakukan perumusan naskah UUD tentang hak asasi manusia
tidaklah semudah mamatrikan kata “merdeka” dalam deklarasi. Perbedaan tajam
antara Soekarno dan Soepomo di satu sisi, dengan Moh. Hatta dan Moh. Yamin
di sisi lain, menandai sejarah hak asasi manusia dalam konstitusi negara kita .
Soekarno menyatakan, “Jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan
negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham
gotong royong, dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap paham
individualisme dan liberalisme dari padanya.” Di pihak lain, Moh. Hatta
menyanggah pernyataan Soekarno. Hatta mengatakan, “walaupun yang dibentuk
negara kekeluargaan, namun perlu ditetapkan beberapa hak warga negara agar
jangan timbul negara kekuasaan (machtsstaat).”
Maka pada akhirnya tercapai kesepakatan bahwa hak asasi dimasukkan
dalam UUD 1945, meskipun dalam jumlah yang terbatas, yang dimuat pada
sejumlah pasal, yaitu:
(1) Pasal 27 ayat (1): segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; dan pada ayat (2):
tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.
(2) Pasal 28, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang.
(3) Pasal 29 ayat (2): negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamannya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(4) Pasal 30 ayat (1): tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta
dalam usaha pembelaan negara.
-- 111110 -
(5) Pasal 31 ayat (1): tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan
pengajaran.
(6) Pasal 33 ayat (1): perekonomian disusun sebagai usaha bersama
atas asas kekeluargaan.
(7) Pasal 34 ayat (1): fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
oleh negara.
Secara garis besar, materi muatan yang ada dalam UUD 1945 adalah:
perlindungan terhadap hak-hak dibidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, dan
pertahanan keamanan (bela negara), jaminan persamaan kedudukan di depan
hukum dan pemerintahan, dan atas pekerjaan yang layak, hak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, hak kebebasan beragama, hak
mendapatkan perlindungan dari ancaman, hak untuk mendapatkan pendidikan dan
pengajaran, hak untuk melakukan usaha bersama, serta hak untuk mendapatkan
jaminan bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar.
Gejolak politik beberapa tahun setelah berlakunya UUD 1945 yang
disahkan menjadi UUD pada 18 Agustus 1945, telah merubah UUD 1945 menjadi
Konstitusi Republik negara kita Serikat (RIS) yang mulai berlaku 27 Desember
1949 hingga 17 Agustus 1950. Dalam Konstitusi RIS yang berlaku singkat itu,
dimuat jaminan hak asasi manusia yang lebih lengkap, yaitu:
1. Hak diakui sebagai person, Pasal 7 ayat (1).
2. Hak persamaan di hadapan hukum, Pasal 7 ayat (2).
3. Hak persamaan perlindungan menentang diskriminasi, Pasal 7 ayat
(3).
4. Hak atas bantuan hukum, Pasal 7 ayat (4).
5. Hak atas keamanan personal, Pasal 8.
6. Hak atas kebebasan bergerak, Pasal 9 Ayat (1)
7. Hak untuk meninggalkan negeri, Pasal 9 ayat (2).
8. Hak untuk tidak diperbudak, Pasal 10.
9. Hak mendapatkan proses hukum, Pasal 11.
10. Hak untuk tidak dianiaya, Pasal 12.
-- 113112 -
11. Hak atas peradilan yang adil, Pasal 13 ayat (1).
12. Hak atas pelayanan hukum dari para hakim, Pasal 13 ayat (2).
13. Hak dianggap tidak bersalah, Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3)
14. Hak atas kebebasan berpikir dan beragama, Pasal 18.
15. Hak atas kebebasan berpendapat, Pasal 19.
16. Hak kebebasan berkumpul, Pasal 20.
17. Hak atas penuntutan, Pasal 21 ayat (1)
18. Hak turut serta dalam pemerintahan, Pasal 22 ayat (1)
19. Hak akses dalam pelayanan publik, Pasal 22 ayat (2)
20. Hak mempertahankan negara, setiap warga negara berhak dan
berkewajiban turut serta dan sungguh-sungguh dalam pertahanan
kebangsaan, Pasal 23.
21. Hak atas kepemilikan, Pasal 25 ayat (1)
22. Hak untuk tidak dirampas hak miliknya, Pasal 25 ayat (2)
23. Hak mendapatkan pekerjaan, Pasal 27 ayat (1)
24. Hak atas kerja, Pasal 27 ayat (2)
25. Hak untuk membentuk serikat kerja, Pasal 28
Meskipun usia RIS relatif singkat, yaitu dari tanggal 27 Desember 1949
sampai 17 Agustus 1950, namun baik sistem kepartaian multi partai maupun
sistem pemerintahan parlementer yang dicanangkan pada kurun waktu pertama
berlakunya UUD 1945, masih berlanjut. Konstitusi RIS yang kemudian diganti
dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950), melalui Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1950 dan mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1950 memuat
hak asasi manusia lebih rinci. Setidaknya ada sekitar 27 hak yang diakui oleh
konstitusi yang termuat dalam sekitar 31 pasal.
Pasal 1 dan 35 diatur tentang hak menetukan nasib sendiri; Pasal 7 diatur
tentang hak diakui sebagai pribadi dihadapan undang-undang, hak persamaan
di hadapan hukum, hak atas bantuan hukum; Pasal 8 diatur tentang hak atas
keamanan pribadi dan hak atas kepemilikan; Pasal 26 diatur kembali tentang
hak atas kepemilikan. Selanjutnya Pasal 9 diatur tentang hak atas kemerdekaan
bergerak; Pasal 10 diatur tentang hak untuk tidak diperbudak; Pasal 11 sampai
16 diatur tentang hak atas pengakuan hukum, hak untuk tidak dianiaya, hak untuk
tidak ditangkap tanpa perintah yang sah, hak atas peradilan yang tidak memihak,
hak atas tidak dianggap tidak bersalah; Pasal 17 diatur tentang hak atas rahasia
pribadi; Pasal 18 dan 43 diatur tentang hak atas agama; Pasal 19 diatur tentang
hak atas kebebasan berpendapat; Pasal 20 diatur tentang hak atas kebebasan
berkumpul; Pasal 21 diatur tentang hak atas demontrasi dan mogok.
Kemudian Pasal 22 diatur tentang hak atas pengaduan kepada pemerintah;
Pasal 23 dan 36 diatur tentang hak atas partisipasi pemilihan umum; Pasal 24
diatur tentang hak atas pertahanan negara; Pasal 28 diatur hak atas kerja dan
hak atas upah yang adil; Pasal 29 diatur tentang hak membentuk serikat kerja;
Pasal 30 diatur tentang hak atas pendidikan; Pasal 31 diatur tentang hak atas
kerja-kerja sosial; Pasal 36 dan 39 diatur tentang hak atas jaminan sosial; Pasal
37 dan 38 diatur tentang hak atas kesejahteraan sosial; Pasal 40 diatur tentang
hak atas kebebasan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, dan Pasal 42 diatur
tentang hak atas jaminan kesehatan.
UUDS 1950 juga mengatur adanya hak milik sebagai fungsi sosial atau
ketentuan-ketentuan lainnya yang bersifat sosial warga . Pendek kata, UUDS
1950 mengatur hak asasi manusia secara rinci, sebab ditetapkan sesudah
diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Periode kekuasaan 1949-
1959 dalam dua UUD (Konstitusi RIS dan UUDS 1950) dapat dikatakan sebagai
periode sistem politik demokrasi liberal atau parlementer yang baik. Bahkan pada
periode ini, suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal sangat
terasa, sehingga dapat dikatakan bahwa baik pemikiran maupun aktualisasi hak
asasi manusia pada periode ini mengalami “pasang” dan menikmati suasana
“bulan madu”, karena:69
1. Semakin banyaknya tumbuh partai politik dengan beragam
ideologinya masing-masing;
2. Kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul
menikmati kebebasannya;
3. Pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam
suasana kebebasan, fair dan demokratis;
4. Parlemen atau dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari
kedaulatan rakyat menunjukan kinerja dan kelasnya sebagai wakil-
wakil rakyat dengan melakukan kontrol atau pengawasan;
5. Wacana dan pemikiran tentang hak asasi manusia memperoleh iklim
yang kondusif.
Setelah berlaku selama hampir 9 tahun, gejolak politik kembali terjadi
dan akhirnya kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.70 Latar
belakang keluarnya Dekrit Presiden yaitu kegagalan Badan Konstituante untuk
70 Isi lengkap Dekrit: Kami Presiden Republik negara kita /Panglima Tertinggi Angkatan
Perang, Dengan ini menyatakan dengan khidmat:
1. Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945, yang disampaikan
kepada segenap Rakyat negara kita dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak
memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam UUDS;
2. Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar anggota Sidang Pembuat UUD, untuk
tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan
oleh Rakyat kepadanya;
3. Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan
dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai
warga yang adil dan makmur;
4. Bahwa dengan dukungan bagian terbesar dari Rakyat negara kita dan didorong oleh keyakinan
kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi;
5. Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945
dan yaitu yaitu satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi ini .
Kami Presiden Republik negara kita /Panlima Tertinggi Angkatan Perang: a. Menetapkan pembubaran
Konstituante; b. Menetapkan UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa negara kita dan seluruh
tumpah darah negara kita , terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini dan tidak berlakunya lagi
Undang-Undang Dasar Sementara; c. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara,
yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari
daerah-daerah dan golongan-golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara,
akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 5 Juli 1959 Atas nama Rakyat negara kita Presiden Republik
negara kita / Panglima Tertinggi Angkatan Perang (SOEKARNO)
menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950.71 Anggota konstituante
yang mulai bersidang pada 10 November 1956, tetapi sampai tahun 1958
belum juga berhasil merumuskan UUD yang baru, yang diharapkan lebih baik
dan lengkap. Ketidakberhasilan konstituante ini bersamaan pula dengan
kuatnya desakan warga untuk kembali kepada UUD 1945.
Menanggapi situasi ini , Soekarno menyampaikan amanat
di depan Sidang Konstituante pada 22 April 1959. Isinya menganjurkan
untuk kembali ke UUD 1945. Atas amanat Soekarno ini , pada 30 Mei
1959, Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya, 269 suara
menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan
setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus diulang, sebab jumlah
suara tidak memenuhi quorum. Pemungutan suara kembali dilakukan pada
tanggal 1 dan 2 Juni 1959, tetapi kembali gagal sebab belum juga mencapai
quorum. Situasi itulah yang memicu Soekarno akhirnya mengeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan menyatakan kembali ke UUD 1945. Dengan
kembali ke UUD 1945, berarti kembali ke UUD awal yang minim pengaturan dan
jaminan tentang hak asasi manusia.
Dekrit itu berisi: (1) Pembubaran Konstituante. (2) Berlakunya kembali
UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950, serta (3) Pembentukkan MPRS
menempatkan Soekarno menjadi figur dan kekuatan tunggal dalam perpolitikan
negara kita masa itu. Demokrasi terpimpin yang dijalankan Soekarno paska dekrit
itu kian menegaskan pandangan Soekarno tentang liberalisme dan individualisme,
yang ia katakan sebagai gaya Barat yang harus dibuang, sebab yaitu
sumber dari segala malapetaka yang telah menimpa dalam dasawarsa yang lalu.
Jakarta, 1995 memberi catatan berbeda. Menurut Buyung, konstituante tidak bisa dianggap gagal
sebab konstituante sesungguhnya tidak diberikan kesempatan untuk menyelesaikan perdebatan
mengenai dasar negara secara bebas, padahal itikad baik untuk melakukan kompromi di antara para
pihak yang bertikai yaitu faksi Islam dan faksi Pancasila sudah mulai terlihat.
Soekarno yang selalu mengatakan bahwa revolusi belum selesai, perlu
memberi arah yang jelas untuk mencapai maksud ini . Soekarno menyatakan,
“sekarang roda revolusi sudah berputar kembali atas dasar hukum-hukum klasik
dari semua revolusi. Apakah hukum-hukum klasik daripada revolusi itu? Satu:
tiada revolusi jikalau ia tidak menjalankan konfrontasi terus menerus. Dua: tiada
revolusi jikalau ia tidak berupa satu disiplin di bawah satu pimpinan.”73
Sistem politik demokrasi terpimpin tidak memberi keleluasaan ataupun
menenggang adanya kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran
dengan tulisan. Di bawah naungan demokrasi terpimpin, pemikiran tentang hak
asasi manusia dihadapkan pada restriksi atau pembatasan yang ketat oleh
kekuasaan. Dengan begitu, memicu kemunduran (set back) sebagai sesuatu
yang berbanding terbalik dengan situasi pada masa Demokrasi Parlementer.
Jaminan hak asasi manusia yang terbatas dan pengaturan kekuasaan yang
longgar dalam UUD 1945 telah menjadikan Soekarno mempraktikkan kekuasaan
otoritarian. Kebebasan berpendapat, bereksperesi, dan berorganisasi dibatasi.
Sejumlah surat kabar dilarang terbit, seperti negara kita Radja milik Mochtar Lubis
dan Pedoman milik Rosihan Anwar sebab dianggap sebagai kontra revolusi.
Pemerintah Orde Lama tidak hanya mematikan media massa yang tidak
sepaham dengan garis politik Soekarno, tetapi juga menahan tokoh jurnalis
yang dianggap berbahaya. Salah satunya yaitu Mochtar Lubis. Membubarkan
sejumlah partai politik, antara lain Masyumi dan PSI melalui Keputusan Presiden
(Kepres) No. 200 Tahun 1960. Soekarno juga memenjarakan sejumlah tokoh, yaitu
Moh. Natsir, Syafrudin Prawiranegara, Simbolon, Burhanudin Harahap, Syahrir,
Prawoto, Moh Roem, Anak Agung Gde Agung, atas dasar kecurigaan terlibat
usaha pembunuhan Soekarno di Makasar pada tahun 1962.
Demokrasi Terpimpin ala Soekarno akhirnya jatuh. Situasi ini kemudian
melahirkan rezim Orde Baru, yang berjanji untuk menegakkan Pancasila dan
melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Pada awal kekuasaannya,
perdebatan mengenai perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia muncul
kembali pada Sidang Umum MPRS Tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS saat
itu telah membentuk Panitia Ad Hoc Penyusunan hak asasi manusia.
Hasilnya yaitu sebuah “Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam
Hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara”. Tetapi sayang
sekali, rancangan ini tidak berhasil diajukan ke Sidang Umum MPRS untuk
disahkan sebagai ketetapan MPRS. Alasannya --terutama diajukan oleh fraksi
Karya Pembangunan dan ABRI-- akan lebih tepat jika piagam yang penting itu
disiapkan oleh MPR hasil pemilu, bukan oleh MPRS yang bersifat “sementara”.
Piagam dimaksud akhirnya tidak pernah terwujud hingga Orde Baru berakhir.
Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto secara sempurna
menyalahgunakan wewenang. Ini sebagai dampak dari lemahnya UUD 1945 dalam
menjamin hak asasi manusia serta longgarnya pengaturan wewenang kekuasaan
presiden. Akhirnya selama 31 tahun di bawah kekuasaan Orde Baru, kondisi hak
asasi manusia di negara kita mencapai titik terendah dalam sejarah. Pelanggaran
hak-hak sipil dan hak-hak politik terjadi sepanjang kekuasaan Orde Baru (1968-
1998) dalam pelbagai bentuk, seperti antara lain penyiksaan, eksekusi mati
tanpa proses hukum dalam kasus penembakan misterius (Petrus), pemberedelan
pers, pelarangan buku-buku, pemberangusan partai politik, penangkapan dan
penahanan secara sewenang-wenang terhadap aktivis mahasiswa, tokoh-tokoh
kritis, dan seterusnya.
Kekuasaan otoritarian yang dipraktikkan Soeharto itu pada akhirnya
tumbang oleh kekuatan rakyat pada 21 Mei 1998. Ia dipaksa turun dan
menyatakan berhenti dari jabatan presiden. Kejatuhan pemimpin Orde Baru itu
direspon cepat oleh kekuatan pro demokrasi dengan mendesakkan dilakukannya
perubahan UUD 1945 yang dianggap menjadi penyebab munculnya otoritarian
versi Soekarno dan Soeharto. Perubahan penting UUD 1945 mencakup:
1. Menegaskan negara kita yaitu negara hukum, Pasal 1 ayat (3).
2. Pembatasan masa jabatan presiden, Pasal 7.
3. Pengawasan Presiden, Pasal 7A dan 7B.
4. Membenahi Pemilu, Pasal 22 E.
5. Menegaskan kekuasaan kehakiman yang merdeka, Pasal 24.
-- 119118 -
6. Penguatan dan penambahan perlindungan hak asasi manusia, Pasal
27, 28, dan Pasal 28A hingga 28J (pasal khusus hak asasi manusia).
C. KETETAPAN MPR NOMOR XVII/MPR/1998
Kejatuhan kekuasaan otoritarian Orde Baru pada 21 Mei 1998 diikuti
dengan perubahan pelbagai kebijakan politik dan hukum di bidang hak asasi
manusia. Satu diantaranya yang penting yaitu Ketetapan MPR (Tap MR) yang
secara khusus memuat pandangan, sikap dan piagam hak asasi manusia,
yang menjadi sumber hukum peraturan perundang-undangan bidang hak asasi
manusia. Tap MPR ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dianugerahi hak dasar, yaitu hak asasi, untuk dapat
mengembangkan diri pribadi, peranan dan sumbangan bagi kesejahteraan bidup
manusia. Begitu pula dengan Pembukaan UUD 1945 yang telah mengamanatkan
pengakuan, penghormatan, dan kehendak bagi pelaksanaan hak asasi manusia
dalam penyelenggaraan kebidupan berwarga , berbangsa dan bernegara;
serta komitmen bangsa negara kita terhadap Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
PBB, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak-asasi manusia.
Tap MPR memuat semacam perintah kepada lembaga-lembaga tinggi
negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan
menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh
warga ; menugaskan kepada Presiden Republik negara kita dan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik negara kita untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB
tentang Hak Asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan
UUD 1945, serta melakukan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian dan
mediasi tentang hak asasi manusia, dilakukan oleh suatu komisi nasional hak
asasi rnanusia yang ditetapkan dengan undang-undang.74
Tap MPR ini juga menggariskan pandangan bangsa negara kita tentang
hak asasi manusia 75 dengan meletakkan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa. Mahluk yang secara kodrati dianugerahi hak dasar yang disebut hak
74 Baca TAP MPR Nomor XVIII/MPR/1998.
75 Ibid.
-- 119118 -
asasi, tanpa perbedaan antara satu dengan lainnya. Dengan hak asasi ini ,
manusia dapat mengembangkan diri pribadi, peranan, dan sumbangannya bagi
kesejahteraan hidup manusia. Manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai
warga negara --dalam mengembangkan diri-- berperan dan memberi
sumbangan bagi kesejahteraan hidup manusia, yang ditentukan oleh pandangan
hidup dan kepribadian bangsa. Pandangan hidup dan kepribadian bangsa
negara kita sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa negara kita , menempatkan
manusia pada keluhuran harkat dan martabat makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dengan kesadaran mengemban kodratnya sebagai makhluk pribadi dan juga
makhluk sosial, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Bangsa negara kita menghormati setiap usaha suatu bangsa untuk
menjabarkan dan mengatur hak asasi manusia sesuai dengan sistem nilai dan
pandangan hidup masing-masing. Bangsa negara kita menjunjung tinggi dan
menerapkan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa. Sejarah dunia mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan
kesenjangan sosial yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas
dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin,
dan status sosial lainnya. Menyadari bahwa perdamaian dunia serta kesejahteraan
yaitu dambaan umat manusia, maka hal-hal yang menimbulkan penderitaan,
kesengsaraan dan kesenjangan serta yang dapat menurunkan harkat dan martabat
manusia harus ditanggulangi oleh setiap bangsa.
Bangsa negara kita , dalam perjalanan sejarahnya mengalami kesengsaraan
dan penderitaan yang disebabkan oleh penjajahan. Oleh sebab itu, Pembukaan
UUD 1945 mengamanatkan bahwa kemerdekaan yaitu hak segala bangsa
dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan sebab tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Bangsa negara kita bertekad ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
yang pada hakikatnya yaitu kewajiban setiap bangsa. Bangsa negara kita juga
berpandangan bahwa hak asasi manusia tidak terpisahkan dengan kewajibannya.
Tap MPR juga menggariskan pemahaman bahwa hak asasi yaitu
hak dasar seluruh umat manusia tanpa ada perbedaan. Hak dasar yaitu
-- 121120 -
anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan begitu, pengertian hak asasi
manusia yaitu hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada
diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan
martabat manusia. Setiap manusia diakui dan dihormati memiliki hak asasi
yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, agama,
usia, pandangan politik, status sosial, dan bahasa serta status lain. Pengabaian
atau perampasann