hibah anak angkat
Kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba artinya
pemberian atau hadiah.12 Pemberian ini dilakukan secara sukarela dalam
mendekatkan diri kepada Allah tanpa mengharapkan balasan apa pun.
Sedangkan hibah menurut istilah adalah pemilikan sesuatu benda melalui
transaksi (aqad) tanpa mengharap imbalan yang telah diketahui dengan
jelas ketika pemberi masih hidup. Sesuai dengan firman Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat 177 yang berbunyi:
“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan).”
Menurut Sayid Sabiq menegaskan bahwa “Hibah adalah pemberian
seseorang kepada para ahli warisnya, sahabat handainya, atau kepada
urusan umum sebagian dari pada harta benda kepunyaannya atau seluruh
harta benda kepunyaannya sebelum dia meninggal.”
Menurut Wahbah Az-Zuhaili hibah adalah akad pemberian
kepemilikan kepada orang lain tanpa adanya ganti, yang dilakukan secara
sukarela ketika pemberi masih hidup.
Hibah mencakup hadiah dan sedekah, karena hibah, sedekah,
hadiah, dan ‘athiyah mempunyai makna yang hampir sama. Jika seseorang
bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan memberikan
sesuatu kepada orang yang membutuhkan, maka itu adalah sedekah. Jika
sesuatu tersebut dibawa kepada orang yang layak mendapatkan hadiah
sebagai penghormatan dan untuk menciptakan keakraban, maka itu adalah
hibah. Sedangkan ‘athiyah adalah pemberian seseorang yang dilakukan
ketika dia dalam keadaan sakit menjelang kematian.
Menurt istilah hibah itu semacam akad atau perjanjian yang
menyatakan pemindahan milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia
masih hidup tanpa mengharapkan penggantian sedikitpun. Dalam Islam
seorang dapat menyerahkan atau memberikan harta miliknya kepada orang
lain diwaktu ia masih hidup dan pemindahan milik berlaku pada waktu ia
masih hidup pula atau boleh menyatakan pemberiannya diwaktu ia masih
hidup, tetapi pelaksanaan pemindahan milik dilakukan setelah ia
meninggal dunia.
Satria Effendi memberi defenisi “Hibah adalah suatu pemberian
kepada orang lain tanpa mengharapkan suatu balasan. Dalam praktiknya,
timbang terima pada hibah dilaksanakan langsung pada waktu yang
menghibahkan masih hidup. Hal yang disebut terakhir inilah yang
membedakannya dengan wasiat. Pada wasiat pemberian baru terlaksana
bilamana yang berwasiat telah wafat.
Menurut Rahmat Syafi’e hibah adalah pemilikan sesuatu benda
melalui transaksi (aqad) tanpa mengharap imbalan yang telah diketahui
dengan jelas ketika pemberi masih hidup.
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan hibah adalah pemberian
suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada
orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Ensiklopedi Hukum Islam mengartikan hibah adalah pemberian
yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah swt,
tanpa mengharapkan balasan apapun.
Dalam Buku Pintar Islam mendefinisikan secara etimologi yaitu
pemberian tanpa konpensasi (ganti) dan tujuan. Sedangkan terminologi ia
berarti kontrak yang berisi kepemilikan seseorang terhadap barang orang
lain tanpa konpensasi yang dilakukan ketika hidup dengan sukarela.
Kamus Ilmu Ushul Fiqh juga mengartikan hibah adalah pemberian.
Adapun yang dikehendaki dalam ilmu waris adalah pemberian seseorang
kepada ahli warisnya, sahabatnya atau kepada masyarakat dari sebagian
harta bendanya sebelum meninggal dunia. Bedanya dengan wasiat, jika
hibah diberikan pada waktu masih hidup, sedangkan wasiat diberikan pada
waktu sudah meninggal dunia.
Dari beberapa definisi tersebut sama-sama mengandung makna
pemberian harta kepada seseorang secara langsung tanpa mengharap
imbalan apapun, dan hanya bertujuan mendekatkan diri kepada Allah.
Pada dasarnya setiap orang yang dapat menghibahkan (barang
milik) sebagai penghibah kepada siapa saja yang ia kehendaki ketika
penghibah dalam keadaan sehat. Hibah dilakukan oleh penghibah tanpa
pertukaran apapun dari penerima hibah. Hibah dilakukan secara suka rela
demi kepentingan seseorang atau demi kemaslahatan umat.
Mencermati pengertian diatas dapat ditarik suatu pemahaman
bahwa hibah dapat dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kecakapan
dalam melakukan perbuatan hukum tanpa ada paksaan dari pihak lain.
Hibah juga dapat dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Hibah yang
demikian dapat diperhitungkan sebagai warisan (ps. 211 KHI).24
Diantara hikmah disyariatkannya hibah yaitu untuk menghilangkan
kedengkian dan menumbuhkan rasa cinta dalam hati. Hibah mempunyai
faedah yang sangat banyak. Diantaranya berbuat baik kepada sesama,
meningkatkan rasa kasih sayang, khususnya kepada kerabat atau tetangga.
Hibah juga dapat menjadikan kemaslahatan serta manfaat yang cukup
banyak. Ia juga termasuk salah satu bentuk ibadah yang efeknya dapat
membayar dan menghasilkan banyak keuntungan.25 Hibah ini juga dapat
dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Sebagaimana dikutip dalam
sebuah hadits yang menjelaskan bahwa hibah orang tua kepada anak-
anaknya, hendaklah dilakukan secara adil dan berimbang. Riwayat dari
Nu’man bin Basyir berkata:
Artinya:“Dari Nu'man Ibnu Basyir bahwa ayahnya pernah menghadap
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Aku telah
memberikan kepada anakku ini seorang budak milikku. Lalu
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bertanya: "Apakah
setiap anakmu engkau berikan seperti ini?" Ia menjawab: Tidak.
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Kalau
begitu, tariklah kembali." Dalam suatu lafadz: Menghadaplah
ayahku kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam agar
menyaksikan pemberiannya kepadaku, lalu beliau bersabda:
"Apakah engkau melakukan hal ini terhadap anakmu
seluruhnya?". Ia menjawab: Tidak. Beliau bersabda: "Takutlah
kepada Allah dan berlakulah adil terhadap anak-anakmu." Lalu
ayahku pulang dan menarik kembali pemberian itu. Muttafaq
Alaihi. Dalam riwayat Muslim beliau bersabda: "Carikan saksi
lain selain diriku dalam hal ini." Kemudian beliau bersabda:
"Apakah engkau senang jika mereka (anak-anakmu) sama-sama
berbakti kepadamu?". Ia Menjawab: Ya. Beliau bersabda: "kalau
begitu, jangan lakukan." (Riwayat Muslim)
Kewajiban bertindak adil kepada anak dan keharaman
membedakan yang satu dengan yang lainnya atau mengkhususkan yang
satu daripada yang lainnya. Pengkhususan dan pembedaan ini merupakan
kezhaliman, untuk itu tidak ada kesaksian dalam hal seperti ini, baik
menjadi saksi ataupun memberikan kesaksian. Ulama berpendapat
tindakan seperti itu wajib diingkari. Kerena itu merupakan kezhaliman.
Sebagaimana Nabi saw mengingkari yang dilakukan Basyir kepada
anaknya.
2. Anak Angkat
Istilah anak angkat (adoption) berarti pengangkatan, pemungutan,
atau mengambil anak atau menjadikannya sebagai anak.28 Di dalam Al-
Qur’an surat Al-Ahzab ayat 4 disebutkan "Ad’iyaa’akum” yaitu
menghubungkan asal usul anak kepada seseorang yang bukan ayah
kandungnya.
Mahmud Syaltouth sebagaimana dikutip oleh Yuswirman
mengemukakan bahwa anak angkat adalah mengambil anak orang lain
untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang tanpa
disamakan dengan anak kandung.
Menurut pendapat Hilman Hadi Kusuma “Anak angkat adalah anak
orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi
menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan
keturunan dan atau pemeliharaan atas kekayaan rumah tangga.
Sedangkan Surojo Wignjodipuro memberikan batasan sebagai
berikut: “Adopsi adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain
kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang
memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum
kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orang tua dengan anak
kandungnya sendiri”.
Kompilasi Hukum Islam mengartikan anak angkat adalah anak
yang dalam hal pemeliharanan untuk hidupnya sehari-hari, biaya
pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang asal
kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
Dalam Kamus Hukum anak angkat adalah anak yang diserahkan
kepada orang lain untuk diambil sebagai anak.
Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa apabila seseorang tidak
boleh mengingkari nasab anak-anak yang lahir di tempat tidurnya, maka
dia tidak boleh juga mengangkat anak yang bukan anak kandungnya. Islam
melihat bahwa pengangkatan anak secara mutlak itu merupakan upaya
pemalsuan terhadap keaslian dan kenyataan yang menjadikan orang asing
dari luar keluarga, menjadi anggota keluarga yang dapat berkumpul
dengan wanita-wanita keluarganya, karena anak angkat dianggapnya
sebagai mahram, padahal mereka tidak mempunyai hubungan darah
dengannya. Sebagaimana yang terdapat dalam surat al- Ahzab ayat 4-5:
Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati
dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu
zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu
sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah
perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan
Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak
angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang
lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama
dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu
khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Berdasarkan ayat diatas, hukum Islam membolehkan mengangkat
anak. Namun dalam batas-batas tertentu, yaitu selama tidak membawa
akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan perwalian dan
hubungan waris dari orang tua kandungnya, dan anak tersebut tetap
memakai nama ayah kandungnya bukan memanggil dirinya sebagai anak
dari seseorang yang bukan ayahnya.33 Sebagaimana dinyatakan oleh
Rasulullah saw. Dalam sebuah hadits Riwayat Bukhari:
Artinya : “Tidak seorangpun yang mengakui (membanggakan diri)
kepada bukan ayah yang sebenarnya, edang ia mengetahui bahwa itu
bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur. Dan barangsiapa bukan dari
kalangan kami (kalangan kaum Muslimin), dan hendaklah dia menyiapkan
sendiri tempatnya dalam api neraka. (HR. Muslim)
Aspek hukum menasabkan anak angkat kepada orang tua
angkatnya, atau memutuskan hubungan nasab dengan orang tuanya untuk
kemudian dimasukkan kedalam nasab orang tua angkatnya, adalah yang
paling mendapat kritikan dari Islam, karena sangat bertentangan dengan
ajaran Islam. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslin, juga oleh Imam
Bukhari.
Masuknya anak angkat kedalam salah satu keluarga bisa
menimbulkan pemusuhan dalam keluarga tersebut. Bisa antara anggota
kerabat atau antara mereka dengan anak angkat itu. Seharusnya anak
angkat tidak mendapat warisan, sehingga menutup atau mengurangi bagian
yang harus dibagikan kepada ahli waris lain. Jika Islam membenarkan
adopsi, akan membuka peluang bagi orang yang non Muslim mengadopsi
anak yang beragama Islam. Ini akan berdampak kepada pencampuradukan
agama dalam satu keluarga atau menyeret anak Muslim menjadi kafir, baik
secara paksa atau tidak, hal ini sangat dilarang oleh Islam. Disisi lain, jika
agama bercampur dalam satu keluarga akan berdampak kepada larangan
saling mewarisi.
B. Rukun dan Syarat Hibah
Menurut Ulama Hanafiyah, rukun hibah adalah ijab dan qabul, sebab
keduanya termasuk akad, seperti halnya jual beli. Dalam kitab Al-Mabsuth,
mereka menambahakan dengan qabdhu (pegangan/ penerimaan).
Sebagian ulama Hanafiyah berpendapat bahwa qabul dari penerima
hibah bukanlah rukun. Dengan demikian, dicukupkan dengan adanya ijab dari
pemberi. Hal hibah menurut bahasa adalah sekedar pemberian. Selain itu,
qabul hanyalah dampak dari adanya hibah, yakni pemindahan hak milik.
Menurut Ibnu Rusyd mengatakan bahwa rukun-rukun hibah ada tiga
yaitu: Pemberi hibah, penerima hibah dan hibah itu sendiri.
Tentang pemberi hibah, Para Ulama sepakat bahwa pemberi hibah
dibolehkan hibahnya jika dia memiliki barang yang dihibahkan dengan
kepemilikan yang sah, yaitu jika dia dalam keadaan sehat dan dalam keadaan
menguasai sepenuhnya. Mereka berbeda pendapat ketika dalam keadaan sakit,
idiot dan pailit.
Tentang orang yang sedang sakit, Jumhur mengatakan, hibah tersebut
pada sepertiga hartanya karena disamakan dengan wasiat (maksudnya hibah
yang sempurna dengan terpenuhi syarat-syaratnya).
Sekelompok Ulama dari kalangan salaf dan sekelompok ahli zhahir
mengatakan, bahwa hibahnya dikeluarkan dari harta pokoknya jika dia
meninggal dunia dan tidak ada perselisihan diantara mereka bahwa jika dia
sehat dari sakitya, maka hibahnya sah.
Barang yang dihibahkan, adalah segala sesuatu yang sah milik
seseorang. Para Ulama sepakat bahwa seseorang boleh menghibahkan semua
hartanya kepada orang lain.
Mereka berbeda pendapat tentang seseorang yang melebihkan sebagian
anaknya atas sebagian yang lain dalam hibah. Atau tentang menghibahkan
semua hartanya untuk sebagian orang tanpa sebagian yang lain.
Jumhur Fuqaha mengatakan bahwa hibah tersebut hukumnya makruh,
tetapi jika terjadi hal itu dibolehkan menurut mereka. Ahli zhahir berpendapat
tidak boleh melebihkan, apalagi menghibahkan semua hartanya kepada
sebagian orang.
Sedangkan Malik berpendapat boleh melebihkan dan tidak boleh
meghibahkan semua hartanya kepada sebagian mereka tanpa sebagian yang
lain.
Menurut Jumhur Ulama rukun hibah ada empat yaitu:
a. Wahib (orang yang menghibahkan).
b. Mauhub lah (orang yang menerima hibah).
c. Mauhub (barang yang dihibahkan).
d. Shighat (Ijab dan Qabul).
Sedangkan objek yang dihibahkan disyaratkan:
a. Benar-benar ada.
b. Harta yang bernilai.
c. Dapat dimiliki dzatnya, yakni apa yang biasanya dimiliki, diterima
peredarannya dan kepemilikannya dapat berpindah tangan.
d. Tidak berhubungan dengan tempat milik penghibah dan wajib
dipisahkan dan diserahkan kepada yang diberi hibah sehingga menjadi
milik baginya.
e. Dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum. Namun
Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, dan Abu Tsaur tidak mensyaratkan
demikian, dan menurutnya hibah untuk umum yang tidak dibagi-bagi
itu sah.
Adapun terdapat syarat-syarat Shighah, pemberi hibah dan orang yang
diberi hibah.
1. Syarat-syarat Sighah
Syarat-syarat sighah menurut para Ulama mazhab Syafi’i
adalah sebagai berikut:
a. Bersambungnya antara qabul dengan ijab tanpa adanya pemisah yang
secara syarat dianggap berpengaruh keabsahan ijab-qabul tersebut.
b. Tidak adanya pengaitan dengan syarat, karena hibah adalah pemberian
kepemilikan, dan pemberian kepemilikan tidak bisa dikaitkan dengan
sesuatu yang kemungkinan akan terjadi atau kemungkinan tidak akan
terjadi.
c. Tidak ada keterkaitan dengan waktu, seperti satu bulan atau satu
tahun, karena hibah merupakan pemberian kepemilikan terhadap
benda secara mutlak yang terus menerus, seperti jual beli.40
2. Syarat-syarat pemberi hibah
Disyaratkan bagi pemberri hibah adalah orang yang memiliki
kewenangan untuk memberi sumbangan, yaitu berakal, balig, dan bisa
menjaga harta. Dan ini adalah syarat berlakunya akad pemberian.41
3. Syarat-syarat sesuatu yang dihibahkan
Disyaratkan beberapa hal berikut ini untuk sesuatu yang
dihibahkan.
a. Benda tersebut ada ketika dihibahkan, artinya tidak sah menghibahkan
sesuatu yang tidak ada ketika akad hibah.
b. Benda tersebut adalah benda yang bernilai, maksudnya tidak sah
menghibahkan sesuatu yang dasarnya bukan harta benda, seperti:
bangkai, darah, binatang buruan dan yang lainnya, juga tidak boleh
menghibahkan sesuatu yang tidak bernilai, seperti minuman keras.
c. Benda tersebut dapat dimiliki secara perorangan. Tidak sah hibah
terhadap benda milik orang lain. Syarat ini dan syarat-syarat
sebelumnya adalah syarat berlakunya hibah.
d. Benda tersebut milik pemberi. Tidak sah hibah harta benda milik orang
lain tanpa seizin pemiliknya, karena tidak mungkin seseorang
memberikan kepemilikan atas benda yang bukan miliknya kepada
orang lain.
e. Benda tersebut ditentukan. Menurut para Ulama Mazhab Hanafi, tidak
dibolehkan hibatul musyaa’, yaitu penghibahan sebagian suatu benda
yang bisa dibagi tanpa ditentukan posisi bagian itu pada benda
tersebut, seperti sebagian dari tempat tinggal dan rumah besar.
f. Benda tersebut terpisah dari benda yang lainnya dan tidak sedang
dimanfaatkan untuk benda yang lain.
g. Penerimaan atau pengambillan barang oleh orang yang diberi (al-
Qabdu). Ini merupakan syarat yang terpenting, dan ini merupakan
syarat yang membuat terlaksananya dan sempurnya hibah.
h. Pengambilan barang oleh orang yang diberi harus dengan seizin
pemberi. Syarat yang kedelapan ini merupakan syarat sah hibah yang
ditetapkan oleh Jumhur Ulama. Sehingga jika orang yang diberi
mengambil barang pemberian tanpa seizin pemberi, maka barang itu
tidak menjadi miliknya dan membuatnya harus menjamin ganti barang
itu jika terjadi hal-hal yang tidak di inginkan.
Syarat hibah berkaitan dengan syarat wahib dan mauhub. Ulama
Hanabillah menetapkan 11 (sebelas) syarat:
a. Hibah dari harta yang boleh ditasarrufkan.
b. Terpilih dengan sungguh-sungguh.
c. Harta yang diperjual belikan.
d. Tanpa adanya pengganti.
e. Orang yang sah memilikinya.
f. Sah menerimanya.
g. Walinya sebelum pemberi dipandang cukup waktu.
h. Tidak disertai syarat waktu.
i. Pemberi sudah dipandang mampu tasarruf (merdeka, mukallaf, dan
rasyid).
j. Mauhub harus berupa harta yang khusus dikeluarkan.43
Adapun syarat wahib adalah sebagai berikut:
Wahib disyaratkan harus ahli tabarru (derma), yaitu berakal,
baligh, rasyid (pintar).
Adapun syarat mauhub (barang) adalah sebagai berikut:
a. Harus ada waktu
b. Haus berrupa harta yang kuat dan bermanfaat
c. Milik sendiri
d. Menyendiri, menurut Ulama Hanafiayah, hibah tidak dibolehkan
terhadap barang bercampur dengan milik orang lain, sedangkan
menurut ulama Malikiyah, Hanabilah dan Syafi’iyah, hal itu
dibolehkan.
e. Muhub terpisah dari yang lain, barang yang dihibahkan tidak boleh
bersatu dengan barang yang tidak dihibahkan, sebab akan sulit
untuk memanfaatkan mauhub.
f. Mauhub telah diterima dan dipegang oleh penerima.
g. Penerima memegang hibah atas seizin wahib.
Syarat barang yang dihibahkan hendaknya barang yang
dapat dijual, kecuali:
a. Barang-barang yang kecil seperti dua-tiga biji beras, tidak sah
dijual tapi sah diberikan.
b. Barang yang tidak diketahui tidak sah dijual, tetapi sah diberikan.
c. Kulit bangkai sebelum dimasak tidak sah dijual, tetapi sah dijual.45
Sesuatu yang boleh diperjualbelikan dari benda-benda boleh juga
dihibahkan, karena hibah itu merupakan suatu akad dengan maksud
memiliki sesuatu benda, maka benda yang dihibahkan itu menjadi hak
milik seperti memiliki benda yang diperjualbelikan. Dalam pasal 210
ayat 2 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa harta benda yang
dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.
Tidak sah hibah kecuali dengan ijab dan qabul yang diucapkan.
Hukumnya qabul (serah terima) tidak dituntut lagi oleh Syara’ apabila
sesuatu yang diberikan itu telah berada ditangan orang yang memberi.
Hibah itu sah melalui ijab dan Qabul, bagaimanapun bentuk ijab Qabul
yang ditunjukkan oleh pemberian harta tanpa imbalan. Imam Malik dan
Syafi’i berpendapat, dipegangnya qabul di dalam hibah. Mazhab Hanafi
berpendapat bahwa ijab itu saja sudah cukup, dan itulah yang paling
shahih. Sedang orang-orang Hambali berpendapat bahwa hibah itu sah
dengan pemberian yang menunjukkan kepadanya, karena tidak ada
sunnah yang mensayaratkannya ijab qabul dengan serupa itu.
Hibah sebagai menyerahkan hak milik tanpa imbalan dengan
disertai ijab qabul baik berupa ucapan maupun berupa syarat. Jika hibah
disertai dengan adanya imbalan, maka termasuk penjualan dan berlaku
hukum jual beli. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hibah dengan
syarat adalah hibah, tetapi akhirnya menjadi jual beli. Sebelum diterima
imbalan, hibah semacam itu tidak dimiliki kecuali setelah dipegang
tangan, dan tidak diperkenankan bagi orang yang diberi untuk
mentasarrufkannya sebelum dia pegang, sedangkan pemberi hibah boleh
mentasarrufkannya. Hibah mutlak tidak menghendaki imbalan, baik yang
sama, lebih rendah maupun yang lebih tinggi nilainya. Dalam hibah
dengan imbalan, maka dapat ditarik kembali.
Dalam hibah hak milik yang langsung dan sempurna atas benda
sebenarnya (subtance atau corpus) dari suatu harta diserahkan kepada
orang yang diberi, oleh sebab itu jika hibah sengaja dibubuhi syarat atau
pembetasan tentang pemakaian ataupun penjualan harta tersebut, syarat-
syarat dan pemebetasan yang ditetapkan itu tidah sah dan hibah tersebut
tetap sah.
Imam Ahmad, Ishak, Ats Tsauri dan sebagian pengikut Maliki
berpendapat tidak dihalalkan bagi seseorang untuk memberi untuk
memberi anak-anaknya lebih banyak dari anak-anaknya yang lain, Imam
Ahmad bahkan mengharamkan hal semacam itu, apabila tidak ada hal
yang mendorong untuk itu. Pengikut Hanafi, Asy Syafi’i, Maliki dan
golongan terbanyak berpendapat bahwa pemberian secara sama rata
adalah sunnah, jika dilebihkan pemberian itu kepada salah seorang dari
yang lain adalah sah dan hukumnya makruh. Sunnah bagi bapak dan
seterusnya garis lurus ke atas berlaku adil dalam pemberian kepada anak-
anaknya, dengan menyamaratakan antara laki-laki dan perempuan, sesuai
dengan hadits Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir.
“Tidak wajib dalam pemberian kepada anak secara sama rata, maupun ia
bersifat hibah atau sedekah atau hibah sosial lainnya”. Sulaiman Rasyid
berpendapat bahwa perbedaan paham itu ialah apabila hajat antara anak
itu sama. Jika tidak sama maka tidak ada halangan memberi yang lebih
berkurang.
C. Pendapat Ulama Tentang Hibah dan Anak Angkat
Sedangkan Jumhur Ulama mendefinisikan sebagai akad yang
mengakibatkan harta seseorang tanpa ganti rugi yang dilakukan selama
keadaan masih hidup kepada orang lain secara sukarela.
Mazhab Hanafi mengartikannya sebagai pemilikan harta dari
seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang menerima hibah
boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu
tertentu maupun tidak, dan bendanya ada dan dapat diserahkan.
Penyerahannya ketika pemberi masih hidup tanpa mengharap imbalan.
Secara sederhana hibah adalah merupakan suatu pemberian yang
bersifat suka rela (tidak ada sebab musababnya) tanpa ada kontra prestasi dari
pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si
pemberi masih hidup.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sifat kepemilikan pada hibah
adalah tidak lazim. Dengan demikian, dapat dibatalkan oleh si pemberi
sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah SAW. Dari Abu Hurairah
yang artinya: “Pemberi hibah lebih berhak atas barang yang dihibahkan
selama tidak ada pengganti.”
Dikalangan Ulama Mazhab terkenal seperti Imam Hanafi, Imam
Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali berbeda di dalam memberikan
rumusan dan batasan tentang hibah. Pertama Imam Hanafi, hibah ialah
memberikan hak memiliki suatu benda dengan tanpa ada syarat harus diganti
kepada orang lain dengan tanpa imbalan. Kedua, Imam Malik, hibah ialah
memberikan hak memiliki suatu zat/materi dengan tanpa mengharapkan ganti
rugi/imbalan, semata-mata hanya diperuntukkan bagi orang yang diberi
(mauhub lah). Artinya si pemberri hanya ingin menyenangkan orang yang
diberinya saja tanpa mengharapkan imbalan pahala dari Allah SWT. Ketiga,
Mazhab Syafi’i menurut mazhab ini, hibah mengandung dua pengertian, yaitu
pengertian khusus hibah ialah pemberian yang sifatnya sunnah, dilakukan
dengan ijab dan qabul (penyerahan dan penerimaan) semasa masih hidup tidak
bermaksud menghormati atau memuliakan seseorang atau bukan dorongan
cinta.
Menurut Sulaiman Rasyid berpendapat bahwa hibah adalah
memberikan zat dengan tidak tukarnya dan tidak ada karenya. Sedangkan
Sayid Sabiq mendefinisikan hibah adalah akad yang pokok persoalannya,
pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa
adanya imbalan.
Mayoritas Ulama juga berpendapat bahwa dilarang menarik kembali
hibah yang telah diberikan meskipun antar saudara atau kepada isteri, kecuali
jika hibah itu dari orang tua kepada anaknya, maka orang tua boleh menarik
kembali hibah yang telah diberikan. Demikian pula dibolehkan menarik
kembali hibah dalam kasus jika dia menghibahakan agar mendapatkan ganti
dan imbalan dari hibahnya lantas pihak yang diberi hibah tidak tidak
memberinya imbalan. Ibnu abbas dan Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Nabi
saw. Bersabda:
Artinya: “Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam bersabda: "Tidak halal bagi seorang muslim
memberikan suatu pemberian kemudian menariknya kembali,
kecuali seorang ayah yang menarik kembali apa yang diberikan
kepada anaknya." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits
shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim.
Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Qayyim. Dia berkata: “ Orang
yang tidak boleh mengambil kembali hibahnya adalah orang yang
mendermakan sesuatu secara murni, tidak demi mendapatkan ganti atau
balasan. Dan orang yang boleh mengambil kembali hibahnya afdalah orang
yang berhibah untuk mendapatkan ganti dan balasan atas hibahnya, namun
orang yang diberi hibah tidak memberikannya. Sunnah Rasulullah digunakan
secara keseluruhan, dan tidak dibenturkan satu sama lain.”
Ibnu hajar Al-Asqalani, mengatakan sebagian Ulama berpendapat
bahwa sebab-sebab dinisbahkan seseorang kepada kekafiran kerana ia telah
berbohong kepada Allah swt. Seakan-akan ia mengatakan bahwa ia telah
diciptakan dari hasil sperma fulan, padahal tidak seperti itu.
Hukum Islam hanya mengakui pengangkatan anak dalam pengertian
beralihnya kewajiban untuk memberi nafkah sehari-hari, mendidik,
memelihara, dan lain-lain, dalam konteks beribadah kepada Allah SWT.54
Masalah pengangkatan anak bukanlah masalah baru, termasuk di
Indonesia. Sejak zaman dahulu telah dilakukan pengangkatan anak dengan
cara motivasi yang berbeda-beda, sesuai dengan sistem hukum dan perasaan
hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan. Di
Indonesia sendiri yang belum memiliki peraturan dan perundang-undangan
yang lengkap, pengangkatan anak sudah sejak zaman dahulu dilakukan.
Bedasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa ada dua bentuk
pengangkatan anak (tabanni) yang dipahami dalam perspektif hukum Islam,
yaitu: pertama, bentuk pengangkatan anak (tabanni) yang dilarang
sebegaimana tabanni yang dipraktikan oleh masyarakat Jahiliyah dan hukum
perdata sekuler, yang menjadikan anak angkat sebagai anak kandung dengan
segala hak-haknya sebagai anak kandung, dan memutuskan hubungan hukum
dengan orang tua asalnya, kemudian menisbahkan ayah kandungnya kepada
ayah angkatanya. Kedua, adalah pengangkatan anak (tabanni) yang
dianjurkan, yaitu pengangkatan anak yang didorong oleh motifasi beribadah
kepada Allah swt. Dengan menanggung nafkah sehari-hari, biaya pendidikan,
pemeliharaan, dan lain-lain tanpa harus memutuskan hubungan hukum
dengan orang tua kandungnya, tidak menasabkan dengan orang tua
angkatnya, tidak menjadikan sebagai anak kandung sendiri dengan segala
hak-haknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Syeikh Mahmud Syaltut yang
membagi status anak angkat menjadi dua, yaitu anak angkat yang telah
dibatalkan oleh Islam, dan pengangkatan anak yang justru dianjurkan bahkan
sebagai kewajiban kolektif untuk umat Islam.
Ahmad Al-Bari, megatakan bahwa “Mengambil dan merawat anak
yang terlantar tanpa harus memutus nasab orang tua kandungnya adalah wajib
hukumnya yang menjadi tanggung jawab masyarakat secara kolektif, atau
dilaksanakan oleh beberapa orang sebagai kewajiban kifayah. Tetapi hukum
tersebut berubah menjad fardhu ‘ain apabila seseorang menemukan anak
terlantar atau anak terbuang di temapat yang sangat membahayakan atas
nyawa anak itu.