hukum internasional 1
Terminologi Hukum Internasional yang dipakai di Indonesia
merupakan padanan dari istilah bahasa asing, di antaranya International Law
(Inggris), Droit International (Prancis), dan Internationaal Recht (Belanda). Istilah
Hukum Internasional saat ini telah diterima secara umum untuk
menggambarkan pranata hukum yang berlaku dalam hubungan internasional.
beberapa kepustakaan juga memakai istilah-istilah berbeda yang memiliki
makna yang mendekati atau relatif sama dengan Hukum Internasional, yakni
Hukum Antar Bangsa (The Law of Nations), Hukum Antar Negara (Interstates
Law), Hukum Dunia (World Law), dan Hukum Transnasional (Transnational
Law).
The Law of Nations, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
hukum bangsa-bangsa,1 memiliki akar konseptual pada istilah yang dikenal di
dalam bahasa Romawi, Ius Gentium,2 yakni hukum yang berlaku antara bangsa-
bangsa di jaman Romawi, termasuk kaidah dan asas hukum yang mengatur
hubungan antara orang Romawi dengan orang bukan Romawi dan antara sesama
bukan orang Romawi.3 Dalam perkembangannya, dikenal pula istilah Ius Inter
Gentes yang bermakna hukum antar bangsa yang menandakan awal munculnya
hukum internasional publik.
Istilah Law of Nations juga sering dimaknai serupa dengan istulah Law
among Nations. Di masa menjelang berakirnya Perang Dunia II, seorang Hakim
Mahkamah Agung Amerika Serikat bernama Robert H. Jackson melakukan
refleksi terhadap situasi peperangan saat itu dengan mengemukakan
pentingnya hukum antar bangsa. Ia menyatakannya sebagai berikut,
“Awareness of the effect of war on our fundamental law should bring home to
our people the imperative and practical nature of our striving for a rule of law
among the nations.”5 (Terjemahan bebas: Kesadaran akan dampak perang
terhadap hukum dasar kita harus membawa pulang kepada orang-orang kita
sifat penting dan praktis dari perjuangan kita untuk sebuah peraturan hukum di
antara bangsa-bangsa) beberapa pakar juga seakan masih menegaskan bahwa
Law among Nations merupakan esensi dari hukum internasional publik yang
dipahami saat ini.
Istilah hukum antarnegara” (interstates law) juga dipakai untuk
merujuk hukum yang mengatur hubungan antara satu negara dengan negara
lainnya. Dalam konteks Hukum Internasional kontemporer, istilah ini tentu
mengandung suatu kelemahan bahwa subjek hukum internasional hanyalah negara-negara.7 Faktanya, kendatipun negara merupakan subyek utama dalam
hukum internasional, beberapa entitas yang memiliki kapasitas hukum
internasional terbatas juga telah diakui sebagai subyek hukum internasional.
Perlu untuk diklarifikasi bahwa istilah „interstate‟ juga dapat memiliki
makna lain, yaitu hukum antar negara bagian di suatu negara Federasi, seperti
contoh Amerika Serikat.,Para sarjana hukum internasional nampanyak tidak
terlalu banyak memakai istilah ini sebab cenderung lebih tepat dipakai
untuk isu-isu hukum internasional yang bersifat tematik.
Definisi Hukum Internasional
Perlu dijelaskan di awal bahwa ada beragam definisi Hukum
Internasional yang dikemukakan oleh para ahli. Bijak kiranya untuk memahami
bahwasanya perbedaan batasan terhadap Hukum Internasional sesungguhnya
berangkat dari cara pandang yang beragam pula.
F. Sugeng Istanto mengemukakan definisi hukum internasional dalam
suatu rumusan yang membedakannya dengan Hukum Perdata Internasional
sekaligus menolak pandangan bahwa Hukum Internasional hanyalah merupakan
moral internasional saja.10 Berikut definisi ini dinyatakan “Hukum
Internasional yaitu kumpulan ketentuan hukum yang berlakunya dipertahankan
oleh masyarakat internasional.”
Jawahir Thontowi memberikan ulasan mengenai ruang lingkup Hukum
Internasional sebagai berikut. “Sebagai suatu peraturan hukum yang memiliki
cakupan yang cukup luas, hukum internasional terdiri dari prinsip-prinsip,
peraturan-peraturan, dan kebiasaan internasional tentang tingkah laku negara-
negara dalam hubungan internasional yang terikat untuk mematuhinya dan
melaksanakannya. ... Selain itu, hukum internasional mencakup peraturan-
peraturan hukum tertentu terkait antara individu-individu dengan subyek hukum
non-negara (non-State entities) dan aktor-aktor negara yang baru (new State
actors)
Analisis terminologi Hukum Internasional dapat dilihat pada uraian berikut.
Hukum Internasional merupakan seperangkat aturan yang ditujukan dan dibuat
oleh negara-negara berdaulat secara eksklusif yang dapat didefinisikan sebagai
Sekumpulan peraturan hukum yang sebagian besar mengatur tentang prinsip-
prinsip dan aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh negara-negara (subjek hukum
internasional), dan hubungannya satu sama lain.12 Saat ini, Hukum Internasional
telah mengalami proses humanisasi dan internalisasi, yakni perkembangan makna
dan fungsi hukum internasional yang lebih mengedepankan perlindungan
manusia, baik secara individu maupun kolektif.
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes secara eksplisit
mengemukakan definisi Hukum Internasional Publik untuk membedakannya
dengan Hukum Perdata Internasional. Hukum Internasional Publik didefinisikan
sebagai keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan
bersifat perdata.
Pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ahli ini di atas,
khususnya yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes,
dapat kiranya diformulasikan dalam bahasa yang sedikit berbeda. Hukum
Internasional merupakan seperangkat prinsip dan norma hukum yang melandasi
hubungan antara subyek-subyek Hukum Internasional dan mengatur persoalan-
persoalan hukum publik yang bersifat lintas batas negara. Dengan demikian,
ada 3 (tiga) unsur dari batasan ini , yakni:
1. ada prinsip (asas) hukum dan norma (kaidah) hukum;
2. Berfungsi untuk melandasi hubungan antara subyek-subyek Hukum
Internasional dan mengatur persoalan-persoalan hukum publik yang
bersifat lintas batas negara;
3. Bersifat publik.
Adagium Ubi Societas Ubi Jus, yang bermakna di mana ada masyarakat
maka tentu ada hukum, juga dapat berlaku dalam hubungan internasional.
ada lima (5) nilai dasar sosial yang biasanya dijaga oleh negara-negara
dalam hubungan internasional, yakni keamanan, kebebasan, ketertiban, keadilan,
dan kesejahteraan. Menurut Sefriani, sebagian besar masyarakat internasional
menerima demikian saja adanya nilai-nilai ini tanpa menyadari arti
pentingnya.
Masyarakat internasional merupakan landasan sosiologis Hukum
Internasional.19 Eksistensi masyarakat internasional terindikasikan dari adanya
banyak negara di dunia yang memiliki hubungan di berbagai bidang yang bersifat
tetap dalam suatu kehidupan bersama yang sederajat dan saling membutuhkan.
Hukum internasional kemudian mendapatkan tempatnya, sebab untuk
menertibkan, mengatur, dan memelihara hubungan internasional dibutuhkan
hukum guna menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan
yang teratur.
Apa yang kita bisa pahami saat ini yaitu masyarakat internasional
bukanlah suatu kumpulan negara-negara saja, tetapi telah bertransformasi
menjadi masyarakat yang heterogen. beberapa aktor-aktor bukan negara (non-
State actors) telah secara signifikan terlibat dalam interaksi lintas batas negara
dengan negara-negara di dunia dan juga di antara sesama aktor bukan negara.
Masyarakat internasional pun telah berubah dari waktu ke waktu: perubahan peta
politik pasca Perang Dunia yang ditandai oleh lahirnya negara-negara baru dan
mulai ditinggalkannya kolonialisme; perubahan sebagai dampak kemajuan
teknologi; dan perubahan struktur organisasi masyarakat internasional berkenaan
dengan timbulnya organisasi dan lembaga internasional yang memiliki kedudukan
hukum tersendiri yang lepas dari negara-negara dan timbulnya norma
internasional yang menunjukkan ciri-ciri tertib hukum subordinasi.
. Kedaulatan Negara
Studi Hukum Internasional tidaklah dapat menghindari dari apa yang
dikenal sebagai „kedaulatan‟ sebagai suatu monopoli yurisdiksi teritorial yang
sangat eksklusif baik dilihat dari dimensi internal maupun eksternalnya.24 Istilah
kedaulatan merupakan padanan dari istilah yang dikenal di beberapa bahasa yakni
sovereignty (Inggris), sovereinete (Prancis), dan sovranus (Italia) yang berakar
dari bahasa Latin, superanus yang berarti teratas.25 Ketika dipadukan dengan
konteks negara, Kedaulatan Negara menjadi suatu konsepsi bahwa negara
mempunyai kekuasaan tertinggi.
Nalar yang berangkat dari pemahaman bahwa Hukum Internasional
mengikat negara-negara dalam hubungannya satu dengan yang lain tentu menjadi
terganggu apabila kedaulatan negara harus dimaknai secara sempit dalam
konsepsi ini . Suatu pemahaman yang cukup kompromis memaknai
kedaulatan negara sebagai kekuasaan tertinggi terbatas pada batas wilayah
negara yang memiliki kekuasaan ini dan berakhir di mana kekuasaan suatu
negara lain dimulai.
Pembahasan mengenai kedaulatan negara berdasar perspektif historis,
khususnya berkaitan dengan perkembangan pemikiran mengenai kedaulatan
akan dibahas pada Bab II mengenai Sejarah Perkembangan Hukum Internasional.
Saat ini, hukum internasional telah diterima sebagai salah satu cabang dari
suatu analogi pohon ilmu hukum. Kurikulum pendidikan hukum di perguruan
tinggi juga mengindikasikan bahwa kedudukan hukum internasional dipandang
sama pentingnya dengan Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata,
dan Hukum Administrasi Negara. Situasi ini sesungguhnya telah diprediksi
beberapa sarjana, terutama mereka yang memiliki pandangan bahwa hukum
internasional akan menjadi cabang penting dalam ilmu hukum. Selain itu, realitas
ini juga menepis pandangan klasik yang pernah muncul lebih dari seabad lalu,
terutama ketika John Austin pernah berargumen bahwa hukum internasional
bukanlah hukum dalam arti sebenarnya.
Sebagaimana dijelaskan pada 1.2, Hukum Internasional yang dimaksud yaitu
dalam arti publik. Sejarah Hukum Internasional, sebagaimana akan dieksplorasi
lebih lanjut pada Bab II, menunjukkan bahwa Hukum Perang dan Hukum Laut
telah eksis jauh sebelum Perjanjian Westphalia di tahun 1648 yang merupakan
penanda perkembangan Hukum Internasional modern. Hingga saat ini, Hukum
Perang yang secara luas dikenal sebagai Hukum Humaniter Internasional
(International Humanitarian Law) dan Hukum Laut yang telah secara lazim disebut
sebagai Hukum Laut Internasional (The Law of the Sea) merupakan dua „anak
cabang‟ Hukum Internasional yang selalu memiliki relevansi. Hukum Humaniter
Internasional seolah selalu dibutuhkan mengingat perang di berbagai belahan
bumi faktanya masih terjadi. Adapun Hukum Laut Internasional seolah tidak
pernah kehilangan signifikansinya sebab berkaitan dengan batas teritorial laut
negara-negara, lalu lintas pelayaran internasional, dan eksploitasi sumber daya
laut yang berada di luar laut teritorial suatu negara.
Masih dalam konteks sejarah, Hukum Diplomatik (dan Konsuler)
merupakan bidang kajian yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan internasional yang
berlaku di kalangan wakil-wakil negara. Upaya kodifikasi terhadap kebiasaan-
kebiasaan internasional ini telah menghasilkan beberapa perjanjian
internasional, di antaranya Vienna Convention on Diplomatic Relations (1961),
Vienna Convention on Consular Relations (1963), dan Convention on Special
Missions (1969).
Era dekade 1960-an juga menjadi penanda penting munculnya apa yang saat
ini dikenal sebagai Hukum Perjanjian Internasional (The Law of Treaties),
terutama berkaitan dengan negosiasi multilateral mengenai tata cara pembuatan
perjanjian antar negara yang bermuara pada Vienna Convention on the Law of
Treaties (1969). Bidang kajian ini juga telah merambah pada aspek perjanjian
antara negara dan organisasi internasional serta di antara sesama organisasi
internasional sebagaimana diatur di dalam Vienna Convention on the Law of
Treaties between States and International Organizations or between International
Organizations (1986).
Kelahiran organisasi-organisasi internasional yang dibentuk oleh negara-
negara telah menjadikan Hukum Organisasi Internasional (Law of International
Organization) sebagai bidang baru di abad ke XX. Peran penting the United
Nations (Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB) dalam menangani isu-isu global yang
multidimensional melalui berbagai misi PBB merupakan faktor yang mendukung
Hukum Organisasi Internasional sebagai bidang kajian yang menarik untuk
dipelajari. Bahkan secara lebih spesifik, Hukum Organisasi Internasional telah
dikerucutkan menjadi Hukum Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Law)30
dan Hukum Uni Eropa (European Union Law).
Perlu dicatat betapa organisasi internasional dan lembaga-lembaga PBB
(UN Agencies) turut mempromosikan beberapa bidang hukum internasional.
International Labour Organization (ILO), yang bahkan telah eksis sebelum PBB
didirikan, telah menginisiasi banyak ILO Conventions yang menjadikan Hukum
Perburuhan/Ketenagakerjaan Internasional (International Labour Law) begitu
penting untuk dibahas. Demikian pula halnya dengan peran United Nations
International Organization for Migration (IOM)32 yang mendiseminasikan Hukum
Migrasi Internasional (International Migration Law)33 dan United Nations High
Commissioner for Refugees (UNHCR) dalam menyebarluaskan Hukum Pengungsi
Internasional (International Refugee Law).
Kemajuan di bidang teknologi tidak dapat dipungkiri amat mempengaruhi
perkembangan bidang kajian di ranah hukum internasional. Hukum Udara (Air
Law) merupakan salah satu contoh konkrit betapa Chicago Convention on
International Civil Aviation (1944) dibentuk untuk mengakomodasi sedikitnya, atau
bahkan kekosongan norma, yang mengatur pesatnya pemanfaatan penerbangan
sipil sejak teknologi penerbangan diadopsi menjadi industri penerbangan yang
bersifat masif. Hukum Angkasa (Outer Space Law) juga pernah menjadi tren yang
dikaji di masa Perang Dingin (Cold War) sebagai akibat persaingan teknologi
keruangangkasaan oleh dua kekuatan dunia saat itu, yaitu Amerika Serikat dan
Uni Soviet. Bahkan saat ini, istilah Hukum Siber Internasional (International Cyber
Law)35 dan Hukum Internet Internasional (International Internet Law)36 pun telah
mulai dipakai untuk menggambarkan pranata hukum yang dipakai untuk
mengatasi masalah-masalah hukum di dunia maya yang bersifat lintas batas
negara.
Hukum Lingkungan Internasional (International Environmental Law) juga
menjadi bidang ilmu yang berangkat dari hukum internasional publik berkaitan
dengan isu-isu lingkungan lintas negara dan global. Isu lingkungan lintas negara
dapat tercermin dari lahirnya beberapa instrumen, seperti contoh ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution (2002) yang mengatur pencemaran
asap di Asia Tenggara, dan tercermin pula dari masalah hukum yang timbul akibat
pencemaran lingkungan lintas negara sebagaimana sengketa antara Argentina
dan Uruguay yang diputus oleh Mahkamah Internasional dalam Pulp Mill case.37
Adapun isu lingkungan global berkaitan dengan komitmen negara-negara di dunia
terhadap upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (climate change) yang
melahirkan beberapa instrumen internasional, seperti contoh United Nations
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Aktivitas ekonomi yang amat masif di era globalisasi juga menjadi perhatian
bagi Hukum Internasional. Hukum Ekonomi Internasional menjadi studi lebih
spesifik di bidang hukum internasional yang amat dipengaruhi oleh keberadaan
organisasi dan lembaga internasional yang bergerak di bidang ekonomi seperti
contoh International Monetary Fund (IMF), World Bank, yang selama ini telah
mewarnai kebijakan global di bidang ekonomi. Selanjutnya, Hukum
(Per)dagang(an) Internasional yang ditandai peran United Nations Conference on
Trade and Development (UNCTAD), dan World Trade Organization (WTO)
merupakan bidang hukum yang amat berkait dengan Hukum Ekonomi
Internasional, Hukum Transaksi Bisnis Internasional, dan Hukum Komersial
Internasional serta memiliki pendekatan yang interdisipliner.38 Demikian pula
halnya dengan kajian mengenai pembangunan (ekonomi) dunia, khususnya di
negara-negara berkembang dan kurang berkembang, yang kemudian menjadi
pokok bahasan Hukum Pembangunan Internasional (International Development
Law). Masih di bidang ekonomi, telah diterima aspek-aspek hukum internasional
berkaitan dengan praktik investasi asing di suatu negara (International Law on
Foreign Investment).39 Di samping itu, dikenal pula istilah Hukum Investasi
Internasional (International Investment Law)40 yang tidak hanya memuat unsur
publik, tetapi juga privat.41 Pada titik ini kita menyadari bahwa hukum internasional
yang mencakup aspek ekonomi merupakan jembatan antara hukum publik dan
privat.
Pengakuan terhadap hak-hak individu secara masif di fora global juga
mengintrodusir lahirnya dua disiplin ilmu baru. Pertama yaitu Hukum Pidana
Internasional (International Criminal Law) yang lahir di sekitar pertengahan abad
ke -20 yang terbentuk atas fusi atau kohesi antara asas-asas dan norma-norma
hukum internasional dan hukum pidana nasional.42 Pembahasan mengenai
individu sebagai salah satu subjek hukum internasional (akan dibahas pada Bab
V), khususnya sebagai pelaku kejahatan internasional seperti contoh kejahatan
genosida (crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity), kejahatan perang (war crimes), merupakan titik pijak bagi Hukum
Pidana Internasional. Selain itu, Hukum Pidana Internasional dalam arti luas juga
memuat isu-isu kejahatan lintas batas negara (transnational crime) serta
kejahatan nasional yang berdimensi internasional.43 Disiplin ilmu kedua yaitu
Hukum Hak Asasi Manusia Internasional (International Human Rights Law)
sebagai cabang Hukum Internasional yang juga relatif baru, yakni semenjak
usainya Perang Dunia II dan kemudian berkembang pesat pasca didirikannya
PBB.44 Bidang ilmu ini mengkaji filosofi dan konsep hak asasi manusia (HAM)
internasional yang bersifat universal serta perjanjian internasional dan lembaga
HAM yang memiliki peran strategis dalam menjamin terpenuhinya HAM individu di
seluruh dunia, terlepas dari sekat-sekat kedaulatan negara.
Selain itu, dapat pula dikemukakan munculnya beberapa tematik tersendiri
yang dapat dikaitkan dengan aspek hukum internasional. Contoh pertama yaitu
bidang kepariwisataan global yang terlihat cukup menunjukkan kemajuan dalam
upaya mentransformasikan instrumen internasional yang bersifat tidak mengikat
(voluntary in nature, not-legally binding), seperti contoh Global Code of Ethics
for Tourism, untuk menjadi perjanjian internasional yang mengikat secara
hukum.45 Bahkan beberapa studi mengindikasikan ketertarikan para sarjana
Hukum Internasional untuk meneliti aspek-aspek hukum internasional dalam
mengelola dan mengatur aktivitas kepariwisataan dalam sistem Perserikatan
Bangsa-Bangsa.46 Contoh lain yaitu Hukum Olahraga Internasional
(International Sports Law/Lex Sportiva) yang turut menyeruak sebagai satu disiplin
baru yang berangkat dari pemahaman bahwa aktivitas keolahragaan internasional
yang melibatkan para atlet, ofisial, tim, asosiasi keolahragaan nasional dan
federasi olah raga internasional telah membutuhkan pengaturan tersendiri.
Menariknya, beberapa kalangan di Indonesia juga mendukung gerakan global
untuk melegitimasi Hukum Olahraga melalui penyelenggaraan International
Conference on Lex Sportiva di Jakarta pada 22 September 201047 dan The 19th
International Association of Sports Law Congress: International Legitimacy of
Sports, Sports Law and Sports Tourism, and Lex Sportiva di Bali pada 29-30
Oktober, 2013.48
Bidang-bidang hukum yang disebutkan sebelumnya merupakan Hukum
Internasional dalam arti materiil. Adapun prosedur mengenai penegakan hukum
internasional saat ini dibahas di dalam bidang khusus, yang dapat dipandang
sebagai Hukum Internasional Formil, yakni Hukum Penyelesaian Sengketa
Internasional (International Dispute Settlement). Yurisdiksi dan prosedur beracara
pada lembaga dan organisasi internasional (contoh : International Court of Justice
(ICJ), International Criminal Court (ICC), WTO Dispute Settlement Body,
Dapat disarikan dari Bab ini bahwa terminologi Hukum Internasional yang
dipakai di Indonesia merupakan padanan dari istilah bahasa asing, di
antaranya International Law (Inggris), Droit International (Prancis), dan
Internationaal Recht (Belanda). beberapa kepustakaan juga memakai istilah-
istilah berbeda yang memiliki makna yang mendekati atau relatif sama dengan
Hukum Internasional, yakni Hukum Antar Bangsa (The Law of Nations), Hukum
Antar Negara (Interstates Law), Hukum Dunia (World Law), dan Hukum
Transnasional (Transnational Law).
Beragam definisi Hukum Internasional yang dikemukakan para pakar
setidaknya memiliki benang merah adanya 3 (tiga) unsur dari batasan ini ,
yakni: pertama, ada prinsip (asas) hukum dan norma (kaidah) hukum, kedua,
berfungsi untuk melandasi hubungan antara subyek-subyek Hukum Internasional
dan mengatur persoalan-persoalan hukum publik yang bersifat lintas batas
negara, dan ketiga, bersifat publik.
Berkaitan dengan Bidang Kajian Hukum Internasional, perlu dipahami bahwa
masyarakat internasional merupakan landasan sosiologis Hukum Internasional.
Hukum internasional kemudian mendapatkan tempatnya, sebab untuk
menertibkan, mengatur, dan memelihara hubungan internasional yang dilakukan
oleh para aktor negara dan bukan negara (non-State actors), dibutuhkan hukum
guna menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang
teratur. Dalam hubungannya dengan isu ini, kedaulatan Negara yang
mengonsepsikan bahwa negara mempunyai kekuasaan tertinggi pada prinsipnya
terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan ini dan
berakhir di mana kekuasaan suatu negara lain dimulai. Perlu juga diketahui bahwa
Hukum Internasional publik telah berkembang menjadi beberapa disiplin ilmu baru
yang telah diajarkan di berbagai program studi hukum pada berbagai perguruan
tinggi di dunia, di antaranya Hukum Laut Internasional, Hukum Diplomatik dan
Konsuler, Hukum Perjanjian Internasional, Hukum Organisasi Internasional,
Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan Internasional, Hukum Migrasi Internasional,
Hukum Pengungsi Internasional, Hukum Udara, Hukum Angkasa, Hukum
Lingkungan Internasional, Hukum Ekonomi Internasional, Hukum Perdagangan
Internasional, Hukum Pembangunan Internasional, Hukum Investasi Internasional,
Hukum Pidana Internasional, Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, dan
Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Dapat pula dicatat perkembangan
pesat mengenai Hukum Olahraga Internasional, Hukum Internet Internasional, dan
aspek hukum internasional berkaitan dengan kepariwisataan global. Dengan
demikian, akan menjadi keniscayaan bahwa di kemudian hari akan muncul lagi
disiplin-disiplin ilmu baru yang lahir dari Hukum Internasional Publik
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL
Sejarah perkembangan Hukum Internasional terbagi ke dalam tiga periode
yaitu: periode kuno, periode klasik dan periode modern. Pada periode kuno
kaidah-kaidah perilaku yang mengatur hubungan masyarakat-masyarakat
independen dipandang perlu dan muncul dari kebiasaan yang ditaati oleh
masyarakat dalam hubungan timbal balik, seperti traktat-traktat, kekebalan para
duta besar, peraturan perang ditemukan beberapa abad sebelum lahirnya agama
Kristen.50 Meningkatnya hubungan, kerjasama dan saling ketergantungan antar
negara, muncul negara-negara merdeka baru dalam jumlah yang banyak sebagai
akibat dekolonisasi, berdirinya organisasi-organisasi internasional
dalam jumlah yang sangat banyak telah menyebabkan ruang lingkup hukumintern
asional menjadi lebih luas. Selanjutnya hukum internasional tidak saja mengatur
hubungan antar negara tetapi juga subjek-subjek hukum lainnya.51
Perkembangan Hukum Internasional Modern dapat dilihat dari 400 (empat
ratus) tahun perkembangan kebiasaan internasional dan praktik-praktik negara-
negara di kawasan Eropa, dalam hubungan-hubungan antar mereka dan
komunitas-komunitas mereka. Hal ini dapat dibuktikan dari tulisan ahli-ahli hukum
dari abad ke XVI, XVII, XVIII. Pada masa itu konsep hukum internasional diwarnai
konsep kedaulatan nasional, konsep kedaulatan teritorial, konsep kesamaan
penuh serta konsep kemerdekaan negara-negara. Konsep-konsep ini
sebenarnya dianut pada sistem ketatanegaraan negara-negara kawasan Eropa
namun akhirnya dianut juga oleh negara-negara kawasan non Eropa.
ada hubungan yang erat antara hukum internasional dengan
masyarakat internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmaja bahwa ”untuk
menyakini adanya hukum internasional maka harus ada pula masyarakat
internasional sebagai landasan sosiologis”.
Pada bagian lain dikemukakan juga bahwa: ”Hukum internasional dalam
arti luas, termasuk hukum bangsa-bangsa, maka sejarah hukum internasional itu
telah berusia tua. Akan tetapi bila hukum internasional diartikan sebagai perangkat
hukum yang mengatur hubungan antarnegara, maka sejarah hukum internasional
itu baru berusia ratusan tahun.”
4.1. Sejarah Perkembangan Hukum Internasional
Sejarah Hukum Internasional dalam perkembangannya mengalami
beberapa periode evolusi yaitu: zaman India Kuno, bangsa Yahudi, zaman
Yunani, zaman Romawi, perjanjian Westphalia dan abad kedelapan belas.
4.1.1. Zaman India Kuno
Dalam kebudayaan India Kuno telah ada kaedah dan lembaga hukum
yang mengatur hubungan antar kasta, suku bangsa dan raja-raja. Hukum bangsa-
bangsa pada zaman India kuno telah mengenal ketentuan-ketentuan yang
mengatur kedudukan dan hak-hak istimewa seorang duta.53 Selain itu juga
ada pengaturan mengenai perjanjian-perjanjian, hak dan kewajiban raja dan
juga pengaturan hukum perang. Khusus dalam hukum perang, diatur mengenai
perbedaan antara combatan dan non combatan, juga ketentuan-ketentuan
mengenai perlakuan terhadap tawanan perang dan cara melakukan perang (the
conduct of war).54
Pada zaman ini, seorang raja dalam mengadakan hubungan dengan raja
lainnya telah diatur oleh kebiasaan yang dinamakan Desa Dharma. Pujangga
yang terkenal pada saat itu yaitu Kautilya atau Chanakya, yang menulis buku
yang berjudul Artha Sastra Gautamasutra. Buku ini memuat tentang hukum
kerajaan dan hukum keluarga, serta hukum kasta. Pada abad ke V Sebelum
Masehi muncul undang-undang Manupada. Undang-undang ini memuat tentang
hukum kerajaan, yang mengatur hubungan antara raja-raja.
. Bangsa Yahudi
Pada zaman ini telah dikenal hukum bangsa-bangsa yang merupakan
kebudayaan Yahudi. Juga telah dikenal ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian,
perlakuan terhadap orang asing dan cara melakukan perang. Ada pengecualian di
dalam hukum perang Yahudi dengan hukum perang secara umum terhadap
musuh bebuyutan. Diperbolehkannya untuk melakukan penyimpangan ketentuan
perang pada saat bangsa Yahudi berhadapan dengan musuh bebuyutan.
. Zaman Yunani
Pada permulaan masa Yunani, proses pembentukan kaidah-kaidah
kebiasaan hukum internasional dari adat-istiadat dan praktek-praktek yang ditaati
oleh negara-negara ini dalam hubungan mereka satu sama lain. Pada saat
itu banyak muncul negara merdeka, dan diantara mereka mengadakan hubungan
diplomatik satu sama lain dan hubungan dengan dunia luar maka kemudian
berkembanglah beberapa kaidah kebiasaan yang berkenaan dengan urusan-
urusan diplomatik.
Pada zaman ini juga telah dikenal aturan-aturan yang mengatur hubungan
antara kumpulan-kumpulan manusia yang hidup dalam negara-negara kota. Pada
zaman ini penduduk digolongkan menjadi dua yaitu: golongan Yunani dan orang
luar Yunani yang dianggap sebagai orang-orang biadab (barbar). Masyarakat
Yunani sudah mengenal ketentuan-ketentuan mengenai perwasitan (arbitration)
dan diplomasi yang tinggi tingkat perkembangannya. 58
Sumbangan yang paling berharga dari kebudayaan Yunani bagi
perkembangan hukum internasional yaitu Konsep Hukum Alam yaitu hukum
yang berlaku secara mutlak dimanapun juga dan yang berasal dari ratio atau akal
manusia. Konsep Hukum Alam ini yaitu konsep yang dikembangkan oleh ahli
filsafat yang hidup dalam abad ke III sebelum masehi, Konsep Hukum Alam
diteruskan ke Roma dan Romalah yang memperkenalkan kepada dunia.59
Sebagaimana kita ketahui, ajaran hukum alam ini telah berperan penting dalam
sejarah hukum internasional Mazhab hukum alam memberikan dasar-dasar bagi
pembentukan hukum yang ideal. Dalam hal ini, dengan menjelaskan bahwa
konsep hidup bermasyarakat internasional merupakan keharusan yang
diperintahkan oleh akal budi (rasio) manusia. Mazhab ini sesungguhnya telah
meletakkan dasar rasionalitas bagi pentingnya hidup berdampingan secara tertib
dan damai antarbangsa-bangsa di dunia ini walaupun mereka memiliki asal-usul
keturunan, pandangan hidup, dan nilai-nilai yang berbeda-beda.
“That „natural‟ obligations of justice bacame not those of divine law but
essentially what is necessary for subsistence and self-preservation. Others have
focused on consent as the key to the binding nature of international law. Norms
are binding because state consent that they should be.”
. Zaman Romawi
Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antar
kerajaan-kerajaan tidak mengalami perkembangan yang pesat pada Zaman
Romawi, hal ini sebab pada zaman ini masyarakat dunia merupakan satu
imperium yaitu imperium Roma yang menguasai seluruh wilayah di dalam
lingkungan kebudayaan Romawi. Walaupun demikian hukum Romawi ini sangat
penting bagi perkembangan hukum internasional selanjutnya.61 Hukum Romawi
telah menyumbangkan banyak sekali azas atau konsep yang kemudian diterima
dalam hukum internasional.
Dalam hukum Romawi dikenal asas-asas yang berasal dari hukum perdata
kemudian memegang peranan yang penting dalam hukum internasional, seperti
occupation, servitut, dan bona fides, juga dikenal asas pacta sunt servanda, ini
merupakan warisan pada kebudayaan Romawi yang tentunya masih
dipergunakan saat ini.
Hukum Romawi menjadi dasar pada sebagaian besar sistem-sistem hukum
di Eropa khususnya negara-negara Eropa Barat dan berpengaruh terhadap
perkembangan hukum internasional masa kini. Namun cikal-bakal dari hukum
internasional telah lama diterapkan oleh kekaisaran romawi, yakni istilah hukum
ius gentium yang merupakan hukum yang mengatur hubungan antara orang
Romawi dengan orang yang bukan Romawi serta antara orang bukan Romawi
satu sama lain. Kemudian muncul lagi istilah ius inter gentes yang mengatur
tentang hubungan antara publik dengan individu.62 Dari situlah awal munculnya
hukum yang mengatur tentang hubungan subyek hukum yang melintasi batas
territorial suatu negara.
Pada abad pertengahan dunia barat dikuasai oleh satu sistem feodal yang
berpuncak pada Kaisar, sedang kehidupan Gereja berpuncak pada Paus
sebagai kepala Gereja Katolik Roma. Masyarakat Eropa waktu itu merupakan satu
masyarakat Kristen yang terdiri dari beberapa negara yang berdaulat dan Takhta
Suci, dan sebagai pewaris kebudayaan Romawi dan Yunani.63 Selain Masyarakat
Eropa Barat saat itu dikenal dua masyarakat besar yang berbeda yaitu Kekaisaran
Byzantium dan dunia Islam. Kekaisaran Byzantium memperkenalkan praktek
diplomasi dan memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum internasional,
sedang dunia Islam memberikan sumbangan perkembangan di bidang hukum
perang.
Pada periode terakhir kekuasaan Kekaisaran Romawi yang meluas
mencakup hampir seluruh wilayah dunia dan tidak ada satupun negara yang
merdeka sehingga tidak diperlukan adanya hukum bangsa-bangsa. Selama abad
pertengahan, ada 2 (dua) hal khusus yang menjadi penghalang evolusi suatu
sistem hukum internasional yaitu:
a. Kesatuan duniawi dan rohani sebagaian besar Eropa di bawah Imperium
Romawi Suci (Holy Roman Empire); dan
b. Struktur feodal Eropa Barat, yang melekat pada hierarki otoritas yang tidak
hanya menghambat munculnya negara-negara merdeka akan tetapi juga
mencegah negara-negara pada saat itu memperoleh karakter kesatuan dan
otoritas Negara-negara berdaulat modern.
Perjanjian Westphalia
Dalam sejarah hukum, khususnya hukum internasional, Perjanjian
Westphalia merupakan tonggak sejarah dari lahirnya negara-negara modern
menurut hukum internasional. Latar belakang dari lahirnya perjanjian legendaris ini
bukan saja disemangati oleh persoalan-persoalan keagamaan, pertentangan
antara agama Katolik dan Protestan, tetapi lebih jauh dalam soal-soal
perkembangan kenegaraan dan hubungan antara bangsa serta pengakuan
internasional.
Selain dapat mengakhiri perang 30 tahun, juga telah membawa dampak
besar bagi perubahan-perubahan peradaban umat manusia dimuka bumi.
Beberapa Negara yang tadinya menjadi satu kerajaan besar, oleh akibat
keinginan masyarakat kecil berpecah-pecah menjadi beberapa Negara. Seperti
Negara Eropa bagian barat yaitu Luxemburg, Belanda dan Belgia (Benelux) yang
tadinya bersatu menjadi satu negara. Demikian pula dengan adanya kerajaan-
kerajaan kecil oleh keinginan masyarakat bersatu menjadi satu negara, seperti
Italia.65
Bukan itu saja, perubahan-perubahan penting dari sejarah perang 30 (tiga
puluh) tahun yaitu solusi-solusi perdamaian dari akibat perang yang lama
ini serta adanya kodrat manusia yang ingin berdamai. Perjanjian Westphalia
bukanlah solusi perdamaian yang pertama kali berkembang, namun perjanjian ini
merupakan tonggak sejarah mengakhiri perang 30 (tiga puluh) tahun di Eropa.
Demikian pula perjanjian ini telah menghasilkan dokumen-dokumen penting bagi
sejarah umat manusia di muka bumi. Uni Eropa (European Union) dapat
dipandang berasal dari perjanjian ini. Demikaian pula halnya dengan terbentuknya
asosiasi-asosiasi regional banyak mengacu pada Perjanjian Westphalia ini.
Perjanjian Westphalia membangun semangat kebersamaan dalam memandang
bahwa perang, kedengkian, pembinasaan dan pelanggaran hak asasi manusia
yaitu dosa yang tidak terampuni di muka bumi. Semangat kebersaman ini tanpa
memandang perbedaan agama dan ras.66
Dengan demikian Perjajian West Phalia telah meletakkan dasar-dasar bagi
suatu susunan masyarakat internasional yang baru baik mengenai bentuknya yang didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan kerajaan)
maupun mengenai hakekat dari pada negara-negara itu dan pemerintahannya
yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja.
Perjanjian Westphalia ini sebagai suatu peristiwa yang mencanangkan
suatu zaman baru di dalam sejarah masyarakat internasional yang tidak ada
hubungannya dengan masa lampau. Perjanjian ini sebagai titik puncak dari suatu
proses gerakan reformasi dan sekularisasi kehidupan manusia, khususnya
perebutan kekuasaan duniawi antara Gereja dan Negara. Dengan demikian,
ajaran hukum alam pada hukum internasional disekulerkan oleh Hugo Grotius
untuk memenuhi suatu kebutuhan yang sangat dirasakan pada waktu itu, yaitu
mendasarkan berlakunya hukum internasionalnya pada hukum alam. Hugo
Grotius dengan karyanya yang berjudul “ De Jure Belli ac Pacis” yang terbit pada
waktu terjadinya Perang Tiga puluh Tahun melahirkan sistem organisasi
masyarakat negara-negara yang baru di Eropa. Sebelumnya Francisco Vittoria,
seorang biarawan Dominikan yang berkebangsaan Spanyol dalam bukunya yang
berjudul Relectio de Indis yang memuat tentang hubungan Spanyol dan Portugis
dengan orang-orang Indian di Amerika. Dalam tulisannya ini dinyatakan
bahwa negara-negara tidak dapat bertindak sekehendak hatinya, “ius inter gentes”
menurutnya tidak hanya terbatas pada dunia Kristen Eropa melainkan meliputi
seluruh umat manusia.
4.1.6. Abad Ke-18
Mulai bermunculan ahli hukum internasional setelah Hugo Grotius yang
terbagi dalam 2 (dua) aliran, yaitu aliran hukum alam dan aliran positivisme.
Menurut Pufendorf seorang ahli hukum yang berasal dari Belanda, menyatakan
bahwa hukum internasional merupakan bagian dari hukum alam yang berpangkal
pada akal manusia mengatur kehidupan manusia kapan saja dan dimana saja ia
berada, hidup berorganisasi dalam negara atau tidak.
Seorang ahli hukum dan filsafat berkebangsaan Jerman bernama Christian
Wolf, mengemukakan teori mengenai Civitas Maxima.68 Seorang guru besar
hukum perdata di Oxford, Zouche, yang pandangannya lebih mementingkan
praktik negara sebagai sumber hukum sebagaimana terjelma dalam kebiasaan
dan perjanjian-perjanjian, walaupun tidak secara mutlak menolak hukum alam.
Pandangan berbeda dari seorang diplomat berkebangsaan Swiss yaitu Emmerich
Vattel, dia tidak dapat digolongkan ke dalam aliran hukum alam maupun aliran
positivis dan lebih dikenal eclectic yakni orang yang memilih segi-segi baik dari
kedua aliran ini . Pandangan Emmerich Vattel banyak berpengaruh terhadap
perkembangan hukum Internasional, terutama di Amerika Serikat. Seperti
kebiasaan dan perjanjian antarnegara yang berharga sebagai sumber atau
(evidence) hukum.69
Pada abad ini kecenderungan perkembangan di antara para ahli hukum
untuk lebih mengemukakan kaidah-kaidah hukum internasional terutama dalam
bentuk kebiasaan dan traktat, dan mengurangi sedikit mungkin kedudukan “hukum
alam” atau “nalar”, sebagai sumber dari prinsip-prinsip ini .70 Zaman ini
yaitu masa kebangkitan negara-negara baru yang kuat, baik di eropa maupun di
luar Eropa yang ditandai dengan ekspansi peradaban eropa ke wilayah-wilayah
luar benua, modernisasi sarana angkutan dunia, penemuan-penemuan baru, dan
kondisi ini membutukan pengaturan dalam tindakan hubungan-hubungan
internasional.
4.2. Abad Ke-20 Mulai Berdirinya Organisasi Internasional
Perkembangan pada abad ini sebenarnya dipengaruhi oleh perkembangan
akhir abad sebelumnya yaitu Konferensi Perdamaian Tahun 1856 dan Konferensi
Jenewa Tahun 1864, yang mempelopori Konferensi Perdamaian Den Haag Tahun
1899 yang membentuk perjanjian yang berlaku secara umum. Kemudian disusul
Konferensi Perdamaian II pada Tahun 1907 perkembangan hukum internasional
terutama di bidang hukum perang. Kedua Konferensi ini juga membentuk
Mahkamah Arbistrase Permanen. Peristiwa penting lainnya pada masa ini yaitu
pembentukan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dan Briand Kellogg Pact.
Liga Bangsa-Bangsa didirikan setelah Konferensi Perdamaian Paris 1919,
tepatnya 10 Januari 1920. Liga Bangsa-Bangsa ini bertujuan untuk melucuti
senjata, mencegah perang melalui keamanan kolektif, menyelesaikan
pertentangan antar negara-negara melalui negosiasi dan diplomasi, serta
memperbaiki kesejahteraan hidup. Selanjutnya Briand Kellogg Pact yang
diadakan pada tanggal 27 Agustus 1928 di Paris berisi kesepakatan untuk
melarang perang sebagai suatu cara mencapai tujuan nasional.
Liga Bangsa-Bangsa gagal untuk mencegah Perang Dunia II, kemudian
digantikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang didirikan pada tanggal 26 Juni
1945. Perserikatan Bangsa-Bangsa bertujuan untuk menjaga perdamaian dan
keamanan dunia, memajukan dan mendorong hubungan persaudaraan
antarbangsa melalui penghormatan hak asasi manusia, membina kerjasama
internasional dalam pembangunan bidang ekonomi, sosial, budaya dan
lingkungan, menjadi pusat penyelarasan segala tindakan bersama terhadap
Negara yang membahayakan perdamaian dunia, dan menyediakan bantuan
kemanusiaan apabila terjadi kelaparan, bencana alam dan konflik bersenjata.
Baik LBB maupun PBB telah menambah dimensi baru pada masyarakat
internasional modern yang sangat besar artinya dalam perkembangan masyarakat
internasional yaitu fenomena organisasi atau lembaga internasional yang melintasi
batas-batas Negara dan mempunyai wewenang dan tugas.71
Pasca Perang Dunia II terbentuknya PBB berpengaruh besar dalam
masyarakat hukum internasional, banyak sekali perkembangan dan kemajuan
yang dicapai seperti lahirnya negara-negara baru (perubahan peta politik dunia,
polarisasi masyarakat internasional), sebelumnya kelompok negara atau bangsa
penjajah atau terjajah, kemudian perkembangan penghormatan atas Hak Asasi
Manusia baik yang terbentuk dalam deklarasi maupun konvensi. Karakteristik
evolusi paling akhir dari hukum internasional yaitu bahwa ahli-ahli hukum
internasional modern lebih banyak menaruh perhatian kepada praktek dan
keputusan-keputusan pengadilan. Tetapi dalam kaidah hukum internasional
cendrung ke praktek masa lalu, dapat dilihat dalam Konvensi Jenewa1958 tetang
Hukum Laut, pada Konferensi-konferensi Wina Tahun 1961, 1963 dan Tahun
1968-1969 berturut-turut mengenai Hubungan Hubungan Diplomatik, Hubungan-
hubungan Konsuler dan Traktat.
SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
. Umum
Sumber hukum (the source of law) secara umum diartikan sebagai sumber
asli kewenangan dan kekuatan memaksa dari suatu produk hukum positif (the
origins from which particular positive laws derive their authority and coercive
force).73 Sumber hukum, termasuk sumber hukum internasional (the source of
international law), mencakup pengertian:
(a) formal, yaitu sebagai sumber hukum formal; dan
(b) material, yaitu sebagai sumber hukum material.
Menurut Salmond, pengertian sumber hukum formal dan material yaitu
sebagai berikut:
“A formal source is that from which a rule of law derives its force and
validity. The material source , on the other hand, are those from which is
derived the matter, not the validity of the law. The material source
supplies the substance of the rule to which the formal source gives the
force and nature of law.”74
Sumber formal yaitu sumber kekuatan memaksa dan dasar keabsahan
suatu produk hukum, sedang sumber material yaitu sumber materi dari
suatu produk hukum. Contoh: kekuatan mengikat suatu ketentuan hukum.
Suatu ketentuan hukum mengikat secara hukum apabila ketentuan itu
memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan oleh kebiasaan, yang
merupakan sumber hukum formal dari hukum internasional, dan materinya
diperoleh dari praktek negara-negara, yang merupakan sumber material dari
kebiasaan.
. Pengaturan Sumber Hukum Internasional
Sumber hukum internasional (the source of international law) diatur di
dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah International (International Court of
Justice-ICJ). Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah menentukan sebagai berikut:
The Court, whose function is to decide in accordance with international law
such disputes as are submitted to it, shall apply:
a. international conventions, whether general or particular, establishing
rules expressly recognized by the contesting states;
b. international custom, as evidence of a general practice accepted as
law;
c. the general principles of law recognized by civilized nations;
d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the
teachings of the most highly qualified publicists of the various
nations, as subsidiary means for the determination of rules of law.76
Ketentuan ini menentukan bahwa Mahkamah yang mengemban
fungsi utama untuk memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya, harus
memutus perkara berdasar hukum internasional, yang mencakup:
(1) perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat
umum maupun yang bersifat khusus, yang merupakan ketentuan-ketentuan
yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa;
(2) Kebiasaan internasional (international custom), yang merupakan paraktek
yang bersifat umum dan diterima sebagai hukum;
(3) Prinsip atau azas-azas hukum umum yang diakui oleh bangsa-benagsa
beradab;
(4) Putusan-putusan pengadilan dan ajaran dari sarjana yang bereputasi tinggi
dari berbagai bangsa, sebagai sumber tambahan dalam penentuan kaedah
hukum.
Ketentuan ini tidak dapat dipisahkan dari ketentuan Pasal 38 ayat (2)
yang menentukan bahwa keberadaan sumber-sumber hukum internasional itu
tidak dapat mengesampingkan kekuasaan Mahkamah untuk memutus perkara
berdasar azas ex aequo et bono, dalam hal para pihak menerima penerapan
azas itu. Ex aequo et bono merupakan frase yang diambil dari tradisi civil law yang
berarti dalam keadilan dan keterbukaan (in justice and fairness), sesuai dengan
keadilan dan kebaikan (according to what is just and good), atau sesuai dengan
kepatutan dan rasa keadilan (according to equity and conscience).
Sumber hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah
merupakan sumber hukum dalam kategori formil atau sebagai sumber hukum
formil. Sumber hukum sebagaimana diatur di dalam ketentuan ini dapat
diklasifikasikan atas dua kategori, yaitu: sumber hukum primer atau utama dan
sumber hukum tambahan atau subsider. Sumber hukum primer mencakup sumber
hukum sebagaimana dimaksud di dalam huruf a, b, dan c. sedang , sumber
hukum tambahan yaitu sumber hukum sebagaimana dimaksud dalam huruf d.
Urutan sumber hukum itu tidak mencerminkan peringkat urgensi dari masing-
masing sumber. Statuta sama sekali tidak memberikan ketentuan mengenai hal
itu. Setiap sumber memiliki posisi masing-masing dan arti pentingnya tergantung
dari pangkal tolak atau sudut pandang orang yang menentukannya. contoh , dari
perspektif sejarah, maka kebiasaan internasional merupakan sumber hukum yang
terpenting, sebab kebiasaan merupakan sumber hukum yang tertua. Dari
perspektif realitas dan fungsinya dalam kenyataan hidup masyarakat internasional
pada saat ini, maka perjanjian internasional merupakan sumber hukum yang
sangat penting, sebab perjanjian internasional merupakan instrument hukum
utama dalam pengaturan hubungan antar negara, termasuk pengaturan masalah-
masalah yang semula diatur melalui hukum kebiasaan. Dari sudut pandang fungsi
pengembangan hukum, maka prinsip-prinsip hukum umum merupakan sumber
yang terpenting, sebab prinsip-prinsip ini memberikan dasar bagi Mahkamah
dalam mengembangkan kaedah hukum baru dalam penanganan perkara.
. Perjanjian Internasional
Pada mulanya, perjanjian internasional didefinisikan sebagai perjanjian
yang diadakan antar negara dan bertujuan menimbulkan akibat hukum tertentu.
Namun dalam perkembangannya, perjanjian international tidak terbatas hanya
pada perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai subyek hukum internasional,
melainkan juga negara dengan organisasi internasional, contoh Perjanjian
antara Amerika Serikat dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang
tempat kedudukan tetap PBB di New York, dan perjanjian antar organisasi
internasional. Termasuk kedalam kategori perjanjian internasional yaitu
perjanjian antara negara dengan Tahta Suci, sebagai subyek hukum internasional
yang diakui negara-negara. Perjanjian perdata, seperti perjanjian antar serikat
dagang, contoh perjanjian antara East India Company dan Verenigde Oost
Indische Compagnie dengan para raja nusantara di masa lampau; perjanjian
antara negara dengan orang perorangan (natural person) atau perjanjian antara
negara dengan badan hukum (legal person), contoh kontrak antara negara
dengan maskapai minyak; dan perjanjian antara orang dengan orang atau badan
hukum atau antar badan hukum antar negara; tidak dapat dikategorikan sebagai
perjanjian internasional.
Perjanjian internasional diklasifikasikan atas perjanjian yang bersifat
mengikat (hard law) dan yang bersifat tidak mengikat (soft law). Termasuk
kedalam kategori perjanjian yang bersifat mengikat antara lain: Treaty,
Agreement, Pact, dan Convention. Termasuk kedalam kategori bersifat tidak
mengikat antara lain: charter, declaration, dan resolution. Kedua jenis perjanjian
ini dibedakan berdasar materi dan sifat mengikatnya. Dari segi materi,
kelompok yang pertama merupakan perjanjian yang memuat materi yang bersifat
memaksa, mengandung hak, kewajiban, dan sanksi. sedang kelompok yang
kedua cenderung memuat prinsip-prinsip hukum yang mengikatnya didasarkan
pada kerelaan (voluntary based) negara-negara yang memakai nya.
Perjanjian internasional juga diklasifikasikan berdasar prektek
pembentukannya. berdasar praktek pembentukannya, perjanjian internasional
diklasifikasikan atas dua bentuk, yaitu: (1) perjanjian internasional yang tahapan
pembentukannya melalui tiga tahap, yaitu perundingan, penandatangan, dan
peratifikasian; dan (2) perjanjian internasional yang pembentukannya melalui dua
tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan. Jenis perjanjian yang pertama
dipakai untuk perjanjian-perjanjian yang bersifat penting, sehingga memerlukan
persetujuan dari badan-badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian
(treaty making power), seperti contoh Dewan Perwakilan Rakyat. Perjanjian
jenis yang pertama ini juga memerlukan waktu pembentukan yang agak lama
dibandingkan dengan perjanjian jenis yang kedua. sedang , perjanjian jenis
yang kedua merupakan perjanjian yang dipakai untuk perjanjian-perjanjian
yang itdak begitu penting dan memerlukan penyelesaian cepat, seperti perjanjian
perdagangan berjangka pendek. Profesor Mochtar Kusumaatmadja
mengklasifikasikan perjanjian jenis yang pertama sebagai perjanjian internasional
atau traktat (treaty), sedang perjanjian jenis yang kedua sebagai persetujuan
(agreement).80
Perjanjian internasional juga diklasifikasikan berdasar jumlah pihak-
pihak yang membuat perjanjian. berdasar pengklasifikasian ini, perjanjian
internasional diklasifikasikan atas perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral.
Perjanjian bilateral yaitu perjanjian yang dibuat oleh negara, sedang
perjanjian multilateral yaitu perjanjian yang dibuat oleh lebih dari dua negara.
Contoh perjanjian bilateral, contoh Perjanjian antara Republik Indonesia dengan
Republik Rakyat Tiongkok tentang Dwi Kewarganegaraan (1954). sedang
contoh perjanjian multilateral yaitu Konvensi Jenewa tentang Perlindungan
Korban Perang (1949).
Pengklasifikasian lainnya, yang sebetulnya lebih penting, yaitu
pengklasifikasian berdasar akibat hukum yang ditimbulkan oleh perjanjian
yang dibuat. berdasar pengklasifikasian ini, perjanjian internasional
diklasifikasi atas: (1) perjanjian yang mempunyai sifat seperti kontrak,
sebagaimana kontrak di dalam hukum perdata, sebab hanya mengikat para pihak
yang membuatnya. Perjanjian ini disebut TREATY CONTRACT (traite-contract)
dan LAW MAKING TREATIES (traite-lois). TREATY CONTRACT yaitu
perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang membuatnya. Perjanjian ini hanya
menimbulkan hak dan kewajiban serta tanggungjawab diantara pihak-pihak yang
membuatnya. contoh , perjanjian tentang kewarganegaraan, perjanjian
perdagangan, perjanjian pemberantasan penyeludupan, dan perjanjian tentang
batas-batas negara. LAW MAKING TREATIES yaitu perjanjian yang meletakkan
kaedah-kaedah hukum bagi masyarakat internasional sebagai suatu keseluruhan.
contoh , Konvensi tentang Hukum Laut, Konvensi Ruang Angkasa dan Benda-
benda Langit lainnya, Konvensi Ruang Udara, dan lain-lain. Disamping perbedaan
dari segi akibat hukum atau keberlakuan mengikatnya, kedua jenis perjanjian ini
juga dibedakan berdasar peserta yang ikut dalam pembentukan perjanjian
ini . Pada Treaty Contract, hanya pihak-pihak perjanjian yang terlibat dalam
pembentukan perjanjian. Pihak ketiga umumnya tidak diperkenankan iktu dalam
prose pembentukan perjanjian. sedang , peserta dalam Law Making Treaty
bersifat terbuka dan umumnya melibatkan selbagian besar, jika bukan seluruh,
negara.81 Professor Mochtar Kusumaatmadja memandang pembedaan antara
perjanjian yang memiliki sifat sebagai Tretay Contract dan Law Making Treaty
sebagai pembedaan yang kurang tepat, sebab baik Treaty Contract maupun Law
Making Treaty sama-sama merupakan perjanjian dengan sifat dan akibat hukum
yang sama, yaitu mengikat para pihak dan menimbulkan akibat hukum terhadap
para pihak. Demikian juga dalam soal kerberlakuannya. Sekalipun Law Making
Treaty menyediakan kaedah hukum bagi seluruh anggota masyarakat
internasional, Treaty Contract secara tidak langsung juga menyediakan kaedah
hukum bagi masyarakat internasional melalui proses hukum kebiasaan. Negara-
negara bukan anggota perjanjian Treaty Contract juga dapat menyerap atau
memberlakukan Treaty Contract melalui proses hukum kebiasaan. Professor
Mochtar juga menyebut Treaty Contract sebagai perjanjian yang bersifat khusus
dan Law Making Treaty sebagai perjanjian yang bersifat umum. Perjanjian yang
bersifat khusus merupakan perjanjian bilateral, sedang perjanjian yang bersifat
umum merupakan perjanjian multilateral.
Kebiasan Internasional (International Custom)
Hukum kebiasaan internasional semula merupakan sumber hukum yang
terpenting dalam hukum internasional. Tempat ini kemudian digantikan oleh
perjanjian internasional sebagai akibat dari peran perjanjian sebagai instrumen
dominan pengaturan pergaulan internasional. Namun kenyataan ini tidak
menghilangkan arti penting kebiasaan internasional. Salah satu tonggak
diterimanya kebiasaan sebagai hukum dalam masyarakat internsional yaitu
dalam kasus Anglo-Norwegian Fisheries Case.83
Sengketa antara Inggris dan Norwegia ini yaitu sebab adanya perbedaan
penetapan garis pangkal laut territorial antara kedua Negara. Inggris menganggap
penetapan garis pangkal oleh Norwegia yang ditarik dari skjaergaard tidak sesuai
dengan hukum internasional. Skjaergaard rmerupakan wilayah laut yang
memisahkan pulau-pulau kecil, gugusan fjord, dan karang, sedang menurut
Inggris penetapan garis pangkal oleh Norwegia tidak sesuai dengan hukum
internasional, sebab seharusnya garis pangkal ditarik dari daratan yang kering.
Inggris yang merasa dirugikan atas tindakan Norwegia ini , kemudian
mengajukan kasus ini ke Mahkamah Internasional. Inggris menganggap bahwa
Norwegia salah dalam menetapkan garis pangkal sehingga dapat mengekploitasi
daerah sejauh 4 mil laut yang memang kaya akan sumber daya perikanan.
Norwegia mengungkapkan dalam argumentasi-argumentasi mereka bahwa faktor
sejarah dari zona perikanan ini telah disepakati oleh kedua belah pihak
sejak berabad-abad yang lalu.
Mahkamah internasional akhirnya memutus perkara ini pada 18 desember
1951 setelah dua tahun melewati proses persidangan, dengan menghasilkan
keputusan bahwa metode dan hasil dari penetapan garis pangkal laut territorial
oleh Norwegia berdasar dekrit raja ini , telah sesuai dengan hukum
internasional. Pertimbangan Mahkamah Internasional yaitu : Pertama, sudah
menjadi hukum kebiasaan di Norwegia sejak abad XVII daerah ini milik
Norwegia. Kedua, bahwa skjaergaard yang dimaksud masih memiliki hubungan
teritorial dengan daratan Norwegia, sehingga secara yurisdiksi masih menjadi
wilayah kedaulatan Norwegia. Ketiga, bahwa wilayah ini memiliki
kepentingan ekonomi dari penduduk lokal Norwegia, dimana wilayah yang kaya
akan sumber perikanan ini dijadikan sumber mata pencaharian bagi
nelayan-nelayan Norwegia, sejak abad XVII. Keempat, bahwa dengan melihat
kondisi geografis Norwegia yang berupa gugusan pegunungan dan pantai-
pantainya yang berkarang sehingga skjaergaard juga dianggap sebagai daratan.
berdasar keempat pertimbangan ini kemudia Mahkamah Internasional
memutus bahwa kasus ini dimenangkan oleh Norwegia.
Tidak setiap kebiasaan merupakan sumber hukum internasional. Hanya
kebiasaan yang diterima sebagai hukum oleh masyarakat internasional yang
merupakan sumber hukum dalam sistem hukum internasional. sebab itu, dua ciri
utama suatu kebiasaan yang dapat dikategorikan sebagai sumber hukum
internasional yaitu :
(1) merupakan kebiasaan yang bersifat umum; dan
(2) kebiasaan itu diterima sebagai hukum oleh masyarakat internasional.
Menurut Georg Schwarzenberger, hukum kebiasaan internasional
(international customary law) harus mengandung dua elemen, yaitu:
(1) praktek umum negara-negara (a general practice of States); dan
(2) praktek umum itu diterima oleh oleh negara-negara sebagai hukum (the
acceptance by States of this general practice as law).
Untuk membuktikan keberadaan hukum kebiasaan internasional itu, praktek
negara-negara itu tidak cukup hanya dalam bentuk mengikuti kebiasan itu,
melainkan harus dalam kaitan dengan kewajiban yang mengikat negara yang
bersangkutan beserta akibat-akibat hukum dari kewajiban itu. Kewajiban demikian
itu juga ada di dalam praktek kebiasaan umum praktek negara-negara itu.84
berdasar konsep itu, maka praktek negara-negara merupakan bahwa
(raw material) dari hukum kebiasaan. sebab itu, elemen praktek negara-negara
merupakan elemen mendasar dalam penentuan suatu kebiasaan untuk dapat
dikategorikan sebagai kebiasaan hukum internasional. Professor Brierly menyebut
praktek negara-negara itu sebagai „what states do in their relations with one
another‟, atau Professor McDougal menyebut „process of continuous interaction,
of continuous demand and response‟. sebab itu, praktek negara-negara itu
mengandung unsur: (a) perbuatan (any act); (b) penerjemahan dalam bentuk
aturan (articulation); (c) bentuk perbuatan atau perilaku lain dari negara (other
behavior of a States) sepanjang perbuatan itu merupakan bentuk perilaku yang
sadar sebagai bentuk pengakuan terhadap hukum kebiasaan yang sudah ada.
sebab itu, pemahaman terhadap kebiasaan itu memerlukan bukti waktu yang
wajar untuk memahami kebiasaan itu yang membuat suatu negara berperilaku
sesuai dengan kebiasaan itu dan hanya perilaku demikian itu yang dapat
dikualifikasikan sebagai praktek negara-negara, yaitu praktek perilaku negara
yang didasarkan atau merujuk pada kebiasaan yang usdah ada, sebagai bentuk
pengakuan terhadap kebiasaan itu.
ILC memasukkan bentuk-bentuk berikut sebagai „evidence of customary
international law‟, yaitu: treaties, decisions of national and international courts,
national legislations, diplomatic correspondence, opinions of national legal
advisers, practice of international organizations.
. Unsur yang Bersifat Umum
Profesor Mochtar menyebut unsur yang pertama sebagai unsur materiil dan
unsur yang kedua sebagai unsur psikologis. Kedua unsur itu bersifat komulatif.
Terpenuhinya satu unsur saja, contoh unsur materiil atau unsur psikologis, tidak
mengakibatkan suatu kebiasaan menjadi sumber hukum internasional. Suatu
kebiasaan internasional yang memenuhi unsur materiil saja, tidak merupakan
sumber hukum internasional, melainkan kesopanan internasional. Sebagi contoh,
memberikan penghormatan kepada tamu negara dalam bentuk tembakan meriam
merupakan kebiasaan umum dalam penyambutan tamu negara, tetapi seorang
tamu negara tidak dapat menuntut negara tuan rumah untuk melakukan
penyambutan serupa bagi dirinya.
Menurut Profesor Mochtar, suatu pola tindak dikategorikan sebagai
kebiasaan umum bila memenuhi persyaratan berikut:
(a) merupakan kebiasaan atau pola tindak atau serangkaian kebiasaan dalam
bentuk tindakan dalam hal dan keadaan serupa dalam sifat berulang-ulang;
dan
(b) merupakan kebiasaan yang bersifat umum dan berkenaan dengan
hubungan internasional.
. Kebiasan Umum dan Lokal
Kasus yang dapat dipakai untuk membahas hal ini yaitu kasus
Peruvian-Colombian Asylum Case.86 Kasus ini diawali dengan pemberontakan
militer di Peru pada tanggal 3 Oktober 1948. Pemberontakan