hukum internasional 1

  

 




 Terminologi Hukum Internasional yang dipakai  di Indonesia 

merupakan padanan dari istilah bahasa asing, di antaranya International Law 

(Inggris), Droit International (Prancis), dan Internationaal Recht (Belanda). Istilah 

Hukum Internasional saat ini telah diterima secara umum untuk 

menggambarkan pranata hukum yang berlaku dalam hubungan internasional. 

beberapa  kepustakaan juga memakai  istilah-istilah berbeda yang memiliki 

makna yang mendekati atau relatif sama dengan Hukum Internasional, yakni 

Hukum Antar Bangsa (The Law of Nations), Hukum Antar Negara (Interstates 

Law), Hukum Dunia (World Law), dan Hukum Transnasional (Transnational 

Law).  

The Law of Nations, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi 

hukum bangsa-bangsa,1 memiliki akar konseptual pada istilah yang dikenal di 

dalam bahasa Romawi, Ius Gentium,2 yakni hukum yang berlaku antara bangsa-

bangsa di jaman Romawi, termasuk kaidah dan asas hukum yang mengatur 

hubungan antara orang Romawi dengan orang bukan Romawi dan antara sesama 

bukan orang Romawi.3  Dalam perkembangannya, dikenal pula istilah Ius Inter 

Gentes yang bermakna hukum antar bangsa yang menandakan awal munculnya 

hukum internasional publik.

 Istilah Law of Nations juga sering dimaknai serupa dengan istulah Law 

among Nations. Di masa menjelang berakirnya Perang Dunia II, seorang Hakim 

Mahkamah Agung Amerika Serikat bernama Robert H. Jackson melakukan 

refleksi terhadap situasi peperangan saat itu dengan mengemukakan 

pentingnya hukum antar bangsa. Ia menyatakannya sebagai berikut, 

“Awareness of the effect of war on our fundamental law should bring home to 

our people the imperative and practical nature of our striving for a rule of law 

among the nations.”5 (Terjemahan bebas: Kesadaran akan dampak perang 

terhadap hukum dasar kita harus membawa pulang kepada orang-orang kita 

sifat penting dan praktis dari perjuangan kita untuk sebuah peraturan hukum di 

antara bangsa-bangsa) beberapa  pakar juga seakan masih menegaskan bahwa 

Law among Nations merupakan esensi dari hukum internasional publik yang 

dipahami saat ini.

 Istilah hukum antarnegara” (interstates law) juga dipakai  untuk 

merujuk hukum yang mengatur hubungan antara satu negara dengan negara 

lainnya. Dalam konteks Hukum Internasional kontemporer, istilah ini tentu                            

mengandung suatu kelemahan bahwa subjek hukum internasional hanyalah  negara-negara.7 Faktanya, kendatipun negara merupakan subyek utama dalam 

hukum internasional, beberapa  entitas yang memiliki kapasitas hukum 

internasional terbatas juga telah diakui sebagai subyek hukum internasional. 

 Perlu untuk diklarifikasi bahwa istilah „interstate‟ juga dapat memiliki 

makna lain, yaitu hukum antar negara bagian di suatu negara Federasi, seperti 

contoh  Amerika Serikat.,Para sarjana hukum internasional nampanyak tidak 

terlalu banyak memakai  istilah ini sebab  cenderung lebih tepat dipakai  

untuk isu-isu hukum internasional yang bersifat tematik.

 

Definisi Hukum Internasional 

Perlu dijelaskan di awal bahwa ada  beragam definisi Hukum 

Internasional yang dikemukakan oleh para ahli. Bijak kiranya untuk memahami 

bahwasanya perbedaan batasan terhadap Hukum Internasional sesungguhnya 

berangkat dari cara pandang yang beragam pula.    

F. Sugeng Istanto mengemukakan definisi hukum internasional dalam 

suatu rumusan yang membedakannya dengan Hukum Perdata Internasional 

sekaligus menolak pandangan bahwa Hukum Internasional hanyalah merupakan 

moral internasional saja.10 Berikut definisi ini  dinyatakan “Hukum 

Internasional yaitu  kumpulan ketentuan hukum yang berlakunya dipertahankan 

oleh masyarakat internasional.”   

Jawahir Thontowi memberikan ulasan mengenai ruang lingkup Hukum 

Internasional sebagai berikut. “Sebagai suatu peraturan hukum yang memiliki 

cakupan yang cukup luas, hukum internasional terdiri dari prinsip-prinsip, 

peraturan-peraturan, dan kebiasaan internasional tentang tingkah laku negara-

negara dalam hubungan internasional yang terikat untuk mematuhinya dan 

melaksanakannya. ... Selain itu, hukum internasional mencakup peraturan-

peraturan hukum tertentu terkait antara individu-individu dengan subyek hukum 

non-negara (non-State entities) dan aktor-aktor negara yang baru (new State 

actors)  

Analisis terminologi Hukum Internasional dapat dilihat pada uraian berikut.  

Hukum Internasional merupakan seperangkat aturan yang ditujukan dan dibuat 

oleh negara-negara berdaulat secara eksklusif yang dapat didefinisikan sebagai 

Sekumpulan peraturan hukum yang sebagian besar mengatur tentang prinsip-

prinsip dan aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh negara-negara (subjek hukum 

internasional), dan hubungannya satu sama lain.12 Saat ini, Hukum Internasional 

telah mengalami proses humanisasi dan internalisasi, yakni perkembangan makna 

dan fungsi hukum internasional yang lebih mengedepankan perlindungan 

manusia, baik secara individu maupun kolektif. 

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes secara eksplisit 

mengemukakan definisi Hukum Internasional Publik untuk membedakannya 

dengan Hukum Perdata Internasional. Hukum Internasional Publik didefinisikan 

sebagai keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau 

persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan 

bersifat perdata.  

Pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ahli ini  di atas,

khususnya yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 

dapat kiranya diformulasikan dalam bahasa yang sedikit berbeda. Hukum 

Internasional merupakan seperangkat prinsip dan norma hukum yang melandasi 

hubungan antara subyek-subyek Hukum Internasional dan mengatur persoalan-

persoalan hukum publik yang bersifat lintas batas negara. Dengan demikian, 

ada  3 (tiga) unsur dari batasan ini , yakni: 

1. ada  prinsip (asas) hukum dan norma (kaidah) hukum; 

2. Berfungsi untuk melandasi hubungan antara subyek-subyek Hukum 

Internasional dan mengatur persoalan-persoalan hukum publik yang 

bersifat lintas batas negara; 

3. Bersifat publik. 

 


Adagium Ubi Societas Ubi Jus, yang bermakna di mana ada masyarakat 

maka tentu ada hukum, juga dapat berlaku dalam hubungan internasional. 

ada  lima (5) nilai dasar sosial yang biasanya dijaga oleh negara-negara 

dalam hubungan internasional, yakni keamanan, kebebasan, ketertiban, keadilan, 

dan kesejahteraan. Menurut Sefriani, sebagian besar masyarakat internasional 

menerima demikian saja adanya nilai-nilai ini  tanpa menyadari arti 

pentingnya.

Masyarakat internasional merupakan landasan sosiologis Hukum 

Internasional.19 Eksistensi masyarakat internasional terindikasikan dari adanya 

banyak negara di dunia yang memiliki hubungan di berbagai bidang  yang bersifat 

tetap dalam suatu kehidupan bersama yang sederajat dan saling membutuhkan.

Hukum internasional kemudian mendapatkan tempatnya, sebab  untuk 

menertibkan, mengatur, dan memelihara hubungan internasional dibutuhkan 

hukum guna menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan 

yang teratur.

Apa yang kita bisa pahami saat ini yaitu  masyarakat internasional 

bukanlah suatu kumpulan negara-negara saja, tetapi telah bertransformasi 

menjadi masyarakat yang heterogen. beberapa  aktor-aktor bukan negara (non-

State actors) telah secara signifikan terlibat dalam interaksi lintas batas negara 

dengan negara-negara di dunia dan juga di antara sesama  aktor bukan negara. 

Masyarakat internasional pun telah berubah dari waktu ke waktu: perubahan peta 

politik pasca Perang Dunia yang ditandai oleh lahirnya negara-negara baru dan 

mulai ditinggalkannya kolonialisme; perubahan sebagai dampak kemajuan 

teknologi; dan perubahan struktur organisasi masyarakat internasional berkenaan 

dengan timbulnya organisasi dan lembaga internasional yang memiliki kedudukan 

hukum tersendiri yang lepas dari negara-negara dan timbulnya norma 

internasional yang menunjukkan ciri-ciri tertib hukum subordinasi.

 

. Kedaulatan Negara  

Studi Hukum Internasional tidaklah dapat menghindari dari apa yang 

dikenal sebagai „kedaulatan‟ sebagai suatu monopoli yurisdiksi teritorial yang 

sangat eksklusif baik dilihat dari dimensi internal maupun eksternalnya.24 Istilah 

kedaulatan merupakan padanan dari istilah yang dikenal di beberapa  bahasa yakni 

sovereignty (Inggris), sovereinete (Prancis), dan sovranus (Italia) yang berakar 

dari bahasa Latin, superanus yang berarti teratas.25 Ketika dipadukan dengan 

konteks negara, Kedaulatan Negara menjadi suatu konsepsi bahwa negara 

mempunyai kekuasaan tertinggi.  

Nalar yang berangkat dari pemahaman bahwa Hukum Internasional 

mengikat negara-negara dalam hubungannya satu dengan yang lain tentu menjadi 

terganggu apabila kedaulatan negara harus dimaknai secara sempit dalam 

konsepsi ini . Suatu pemahaman yang cukup kompromis memaknai 

kedaulatan negara sebagai kekuasaan tertinggi terbatas pada batas wilayah 

negara yang memiliki kekuasaan ini  dan berakhir di mana kekuasaan suatu 

negara lain dimulai. 

Pembahasan mengenai kedaulatan negara berdasar  perspektif historis, 

khususnya berkaitan dengan perkembangan pemikiran mengenai kedaulatan 

akan dibahas pada Bab II mengenai Sejarah Perkembangan Hukum Internasional.  

 

Saat ini, hukum internasional telah diterima sebagai salah satu cabang dari 

suatu analogi pohon ilmu hukum. Kurikulum pendidikan hukum di perguruan 

tinggi juga mengindikasikan bahwa kedudukan hukum internasional dipandang 

sama pentingnya dengan Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata, 

dan Hukum Administrasi Negara. Situasi ini sesungguhnya telah diprediksi 

                                                          

beberapa  sarjana, terutama mereka yang memiliki pandangan bahwa hukum 

internasional akan menjadi cabang penting dalam ilmu hukum. Selain itu, realitas 

ini juga menepis pandangan klasik yang pernah muncul lebih dari seabad lalu, 

terutama ketika John Austin pernah berargumen bahwa hukum internasional 

bukanlah hukum dalam arti sebenarnya. 

Sebagaimana dijelaskan pada 1.2, Hukum Internasional yang dimaksud yaitu  

dalam arti publik. Sejarah Hukum Internasional, sebagaimana akan dieksplorasi 

lebih lanjut pada Bab II, menunjukkan bahwa Hukum Perang dan Hukum Laut 

telah eksis jauh sebelum Perjanjian Westphalia di tahun 1648 yang merupakan 

penanda perkembangan Hukum Internasional modern. Hingga saat ini, Hukum 

Perang yang secara luas dikenal sebagai Hukum Humaniter Internasional 

(International Humanitarian Law) dan Hukum Laut yang telah secara lazim disebut 

sebagai Hukum Laut Internasional (The Law of the Sea) merupakan dua „anak 

cabang‟ Hukum Internasional yang selalu memiliki relevansi. Hukum Humaniter 

Internasional seolah selalu dibutuhkan mengingat perang di berbagai belahan 

bumi faktanya masih terjadi. Adapun Hukum Laut Internasional seolah tidak 

pernah kehilangan signifikansinya sebab  berkaitan dengan batas teritorial laut 

negara-negara, lalu lintas pelayaran internasional, dan eksploitasi sumber daya 

laut yang berada  di luar laut teritorial suatu negara. 

 Masih dalam konteks sejarah, Hukum Diplomatik (dan Konsuler) 

merupakan bidang kajian yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan internasional yang 

berlaku di kalangan wakil-wakil negara. Upaya kodifikasi terhadap kebiasaan-

kebiasaan internasional ini  telah menghasilkan beberapa  perjanjian 

internasional, di antaranya Vienna Convention on Diplomatic Relations (1961), 

Vienna Convention on Consular Relations (1963), dan Convention on Special 

Missions (1969).  

Era dekade 1960-an juga menjadi penanda penting munculnya apa yang saat 

ini dikenal sebagai Hukum Perjanjian Internasional (The Law of Treaties), 

terutama berkaitan dengan negosiasi multilateral mengenai tata cara pembuatan 

perjanjian antar negara yang bermuara pada Vienna Convention on the Law of 

Treaties (1969). Bidang kajian ini juga telah merambah pada aspek perjanjian 

antara negara dan organisasi internasional serta di antara sesama organisasi 

internasional sebagaimana diatur di dalam Vienna Convention on the Law of 

Treaties between States and International Organizations or between International 

Organizations (1986).  

Kelahiran organisasi-organisasi internasional yang dibentuk oleh negara-

negara telah menjadikan Hukum Organisasi Internasional (Law of International 

Organization) sebagai bidang baru di abad ke XX. Peran penting the United 

Nations (Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB) dalam menangani isu-isu global yang 

multidimensional melalui berbagai misi PBB merupakan faktor yang mendukung 

Hukum Organisasi Internasional sebagai bidang kajian yang menarik untuk 

dipelajari. Bahkan secara lebih spesifik, Hukum Organisasi Internasional telah 

dikerucutkan menjadi Hukum Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Law)30 

dan Hukum Uni Eropa (European Union Law). 

 Perlu dicatat betapa organisasi internasional dan lembaga-lembaga PBB 

(UN Agencies) turut mempromosikan beberapa  bidang hukum internasional. 

International Labour Organization (ILO), yang bahkan telah eksis sebelum PBB 

didirikan, telah menginisiasi banyak ILO Conventions yang menjadikan Hukum 

Perburuhan/Ketenagakerjaan Internasional (International Labour Law) begitu 

penting untuk dibahas. Demikian pula halnya dengan peran United Nations 

International Organization for Migration (IOM)32 yang mendiseminasikan Hukum 

Migrasi Internasional (International Migration Law)33 dan United Nations High 

Commissioner for Refugees (UNHCR) dalam menyebarluaskan Hukum Pengungsi 

Internasional (International Refugee Law).   

Kemajuan di bidang teknologi tidak dapat dipungkiri amat mempengaruhi 

perkembangan bidang kajian di ranah hukum internasional. Hukum Udara (Air 

Law) merupakan salah satu contoh konkrit betapa Chicago Convention on 

International Civil Aviation (1944) dibentuk untuk mengakomodasi sedikitnya, atau 

bahkan kekosongan norma, yang mengatur pesatnya pemanfaatan penerbangan 

sipil sejak teknologi penerbangan diadopsi menjadi industri penerbangan yang 

bersifat masif. Hukum Angkasa (Outer Space Law) juga pernah menjadi tren yang 

dikaji di masa Perang Dingin (Cold War) sebagai akibat persaingan teknologi 

keruangangkasaan oleh dua kekuatan dunia saat itu, yaitu Amerika Serikat dan 

Uni Soviet. Bahkan saat ini, istilah Hukum Siber Internasional (International Cyber 

Law)35 dan Hukum Internet Internasional (International Internet Law)36 pun telah 

mulai dipakai  untuk menggambarkan pranata hukum yang dipakai  untuk 

mengatasi masalah-masalah hukum di dunia maya yang bersifat lintas batas 

negara.       

Hukum Lingkungan Internasional (International Environmental Law) juga 

menjadi bidang ilmu yang berangkat dari hukum internasional publik berkaitan 

dengan isu-isu lingkungan lintas negara dan global. Isu lingkungan lintas negara 

dapat tercermin dari lahirnya beberapa  instrumen, seperti contoh  ASEAN 

Agreement on Transboundary Haze Pollution (2002) yang mengatur pencemaran 

asap di Asia Tenggara, dan tercermin pula dari masalah hukum yang timbul akibat 

pencemaran lingkungan lintas negara sebagaimana sengketa antara Argentina 

dan Uruguay yang diputus oleh Mahkamah Internasional dalam Pulp Mill case.37 

Adapun isu lingkungan global berkaitan dengan  komitmen negara-negara di dunia 

terhadap upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (climate change) yang 

melahirkan beberapa  instrumen internasional, seperti contoh  United Nations 

Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). 

Aktivitas ekonomi yang amat masif di era globalisasi juga menjadi perhatian 

bagi Hukum Internasional. Hukum Ekonomi Internasional menjadi studi lebih 

spesifik di bidang hukum internasional yang amat dipengaruhi oleh keberadaan 

organisasi dan lembaga internasional yang bergerak di bidang ekonomi seperti 

contoh  International Monetary Fund (IMF), World Bank, yang selama ini telah 

mewarnai kebijakan global di bidang ekonomi. Selanjutnya, Hukum 

(Per)dagang(an) Internasional yang ditandai peran United Nations Conference on 

Trade and Development (UNCTAD), dan World Trade Organization (WTO) 

merupakan bidang hukum yang amat berkait dengan Hukum Ekonomi 

Internasional, Hukum Transaksi Bisnis Internasional, dan Hukum Komersial 

Internasional serta memiliki pendekatan yang interdisipliner.38 Demikian pula 

halnya dengan kajian mengenai pembangunan (ekonomi) dunia, khususnya di 

negara-negara berkembang dan kurang berkembang, yang kemudian menjadi 

pokok bahasan Hukum Pembangunan Internasional (International Development 

Law).  Masih di bidang ekonomi, telah diterima aspek-aspek hukum internasional 

berkaitan dengan praktik investasi asing di suatu negara (International Law on 

Foreign Investment).39 Di samping itu, dikenal pula istilah Hukum Investasi 

Internasional (International Investment Law)40 yang tidak hanya memuat unsur 

publik, tetapi juga privat.41 Pada titik ini kita menyadari bahwa hukum internasional 

yang mencakup aspek ekonomi merupakan jembatan antara hukum publik dan 

privat.  

Pengakuan terhadap hak-hak individu secara masif di fora global juga 

mengintrodusir lahirnya dua disiplin ilmu baru. Pertama yaitu  Hukum Pidana 

Internasional (International Criminal Law) yang lahir di sekitar pertengahan abad 

ke -20 yang terbentuk atas fusi atau kohesi antara asas-asas dan norma-norma 

hukum internasional dan hukum pidana nasional.42 Pembahasan mengenai 

individu sebagai salah satu subjek hukum internasional (akan dibahas pada Bab 

V), khususnya sebagai pelaku kejahatan internasional seperti contoh  kejahatan 

genosida (crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against 

humanity), kejahatan perang (war crimes), merupakan titik pijak bagi Hukum 

Pidana Internasional. Selain itu, Hukum Pidana Internasional dalam arti luas juga 

memuat isu-isu kejahatan lintas batas negara (transnational crime) serta 

kejahatan nasional yang berdimensi internasional.43 Disiplin ilmu kedua yaitu  

Hukum Hak Asasi Manusia Internasional (International Human Rights Law) 

sebagai cabang Hukum Internasional yang juga relatif baru, yakni semenjak 

usainya Perang Dunia II dan kemudian berkembang pesat pasca didirikannya 

PBB.44 Bidang ilmu ini mengkaji filosofi dan konsep hak asasi manusia (HAM) 

internasional yang bersifat universal serta perjanjian internasional dan lembaga 

HAM yang memiliki peran strategis dalam menjamin terpenuhinya HAM individu di 

seluruh dunia, terlepas dari sekat-sekat kedaulatan negara.  

Selain itu, dapat pula dikemukakan munculnya beberapa  tematik tersendiri 

yang dapat dikaitkan dengan aspek hukum internasional. Contoh pertama yaitu  

bidang kepariwisataan global yang terlihat cukup menunjukkan kemajuan dalam 

upaya mentransformasikan instrumen internasional yang bersifat tidak mengikat 

(voluntary in nature, not-legally binding), seperti contoh  Global Code of Ethics 

for Tourism, untuk menjadi perjanjian internasional yang mengikat secara 

hukum.45 Bahkan beberapa  studi mengindikasikan ketertarikan para sarjana 

Hukum Internasional untuk meneliti aspek-aspek hukum internasional dalam 

mengelola dan mengatur aktivitas kepariwisataan dalam sistem Perserikatan 

Bangsa-Bangsa.46 Contoh lain yaitu  Hukum Olahraga Internasional 

(International Sports Law/Lex Sportiva) yang turut menyeruak sebagai satu disiplin 

baru yang berangkat dari pemahaman bahwa aktivitas keolahragaan internasional 

yang melibatkan para atlet, ofisial, tim, asosiasi keolahragaan nasional dan 

federasi olah raga internasional telah membutuhkan pengaturan tersendiri. 

Menariknya, beberapa  kalangan di Indonesia juga mendukung gerakan global 

untuk melegitimasi Hukum Olahraga melalui penyelenggaraan International 

Conference on Lex Sportiva di Jakarta pada 22 September 201047 dan The 19th  

International Association of Sports Law Congress: International Legitimacy of 

Sports, Sports Law and Sports Tourism, and Lex Sportiva di Bali pada 29-30 

Oktober, 2013.48  

Bidang-bidang hukum yang disebutkan sebelumnya merupakan Hukum 

Internasional dalam arti materiil. Adapun prosedur mengenai penegakan hukum 

internasional saat ini dibahas di dalam bidang khusus, yang dapat dipandang 

sebagai Hukum Internasional Formil, yakni Hukum Penyelesaian Sengketa 

Internasional (International Dispute Settlement). Yurisdiksi dan prosedur beracara 

pada lembaga dan organisasi internasional (contoh : International Court of Justice 

(ICJ), International Criminal Court (ICC), WTO Dispute Settlement Body, 

Dapat disarikan dari Bab ini bahwa terminologi Hukum Internasional yang 

dipakai  di Indonesia merupakan padanan dari istilah bahasa asing, di 

antaranya International Law (Inggris), Droit International (Prancis), dan 

Internationaal Recht (Belanda). beberapa  kepustakaan juga memakai  istilah-

istilah berbeda yang memiliki makna yang mendekati atau relatif sama dengan 

Hukum Internasional, yakni Hukum Antar Bangsa (The Law of Nations), Hukum 

Antar Negara (Interstates Law), Hukum Dunia (World Law), dan Hukum 

Transnasional (Transnational Law). 

 Beragam definisi Hukum Internasional yang dikemukakan para pakar 

setidaknya memiliki benang merah adanya 3 (tiga) unsur dari batasan ini , 

yakni: pertama, ada  prinsip (asas) hukum dan norma (kaidah) hukum, kedua, 

berfungsi untuk melandasi hubungan antara subyek-subyek Hukum Internasional 

dan mengatur persoalan-persoalan hukum publik yang bersifat lintas batas 

negara, dan ketiga, bersifat publik.  

Berkaitan dengan Bidang Kajian Hukum Internasional, perlu dipahami bahwa 

masyarakat internasional merupakan landasan sosiologis Hukum Internasional. 

Hukum internasional kemudian mendapatkan tempatnya, sebab  untuk 

menertibkan, mengatur, dan memelihara hubungan internasional yang dilakukan 

oleh para aktor negara dan bukan negara (non-State actors), dibutuhkan hukum 

guna menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang 

teratur. Dalam hubungannya dengan isu ini, kedaulatan Negara yang 

mengonsepsikan bahwa negara mempunyai kekuasaan tertinggi pada prinsipnya 

terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan ini  dan 

berakhir di mana kekuasaan suatu negara lain dimulai. Perlu juga diketahui bahwa 

Hukum Internasional publik telah berkembang menjadi beberapa  disiplin ilmu baru 

yang telah diajarkan di berbagai program studi hukum pada berbagai perguruan 

tinggi di dunia, di antaranya Hukum Laut Internasional, Hukum Diplomatik dan 

Konsuler, Hukum Perjanjian Internasional, Hukum Organisasi Internasional, 

Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan Internasional, Hukum Migrasi Internasional, 

Hukum Pengungsi Internasional, Hukum Udara, Hukum Angkasa, Hukum 

Lingkungan Internasional, Hukum Ekonomi Internasional, Hukum Perdagangan 

Internasional, Hukum Pembangunan Internasional, Hukum Investasi Internasional, 

Hukum Pidana Internasional, Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, dan 

Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Dapat pula dicatat perkembangan 

pesat mengenai Hukum Olahraga Internasional, Hukum Internet Internasional, dan 

aspek hukum internasional berkaitan dengan kepariwisataan global. Dengan 

demikian, akan menjadi keniscayaan bahwa di kemudian hari akan muncul lagi 

disiplin-disiplin ilmu baru yang lahir dari Hukum Internasional Publik 

 

 

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL 


Sejarah perkembangan Hukum Internasional terbagi ke dalam tiga periode 

yaitu: periode kuno, periode klasik dan periode modern. Pada periode kuno 

kaidah-kaidah perilaku yang mengatur hubungan masyarakat-masyarakat 

independen dipandang perlu dan muncul dari kebiasaan yang ditaati oleh 

masyarakat dalam hubungan timbal balik, seperti traktat-traktat, kekebalan para 

duta besar, peraturan perang ditemukan beberapa abad sebelum lahirnya agama 

Kristen.50 Meningkatnya hubungan, kerjasama dan saling ketergantungan antar 

negara, muncul negara-negara merdeka baru dalam jumlah yang banyak sebagai 

akibat dekolonisasi, berdirinya organisasi-organisasi internasional 

dalam jumlah yang sangat banyak telah menyebabkan ruang lingkup hukumintern

asional menjadi lebih luas. Selanjutnya hukum internasional tidak saja mengatur 

hubungan antar negara tetapi juga subjek-subjek hukum lainnya.51 

Perkembangan Hukum Internasional Modern dapat dilihat dari 400 (empat 

ratus) tahun perkembangan kebiasaan internasional dan praktik-praktik negara-

negara di kawasan Eropa, dalam hubungan-hubungan antar mereka dan 

komunitas-komunitas mereka. Hal ini dapat dibuktikan dari tulisan ahli-ahli hukum 

dari abad ke XVI, XVII, XVIII. Pada masa itu konsep hukum internasional diwarnai 

konsep kedaulatan nasional, konsep kedaulatan teritorial, konsep kesamaan 

penuh serta konsep kemerdekaan negara-negara. Konsep-konsep ini  

sebenarnya dianut pada sistem ketatanegaraan negara-negara kawasan Eropa 

namun akhirnya dianut juga oleh negara-negara kawasan non Eropa.    

ada  hubungan yang erat antara hukum internasional dengan 

masyarakat internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmaja bahwa ”untuk 

menyakini adanya hukum internasional maka harus ada pula masyarakat 

internasional sebagai landasan sosiologis”.  

Pada bagian lain dikemukakan juga bahwa: ”Hukum internasional dalam 

arti luas, termasuk hukum bangsa-bangsa, maka sejarah hukum internasional itu 

telah berusia tua. Akan tetapi bila hukum internasional diartikan sebagai perangkat 

hukum yang mengatur hubungan antarnegara, maka sejarah hukum internasional 

itu baru berusia ratusan tahun.” 

 

4.1. Sejarah Perkembangan Hukum Internasional 

Sejarah Hukum Internasional dalam perkembangannya mengalami 

beberapa periode evolusi yaitu: zaman India Kuno, bangsa Yahudi, zaman 

Yunani, zaman Romawi, perjanjian Westphalia dan abad kedelapan belas.  

 

4.1.1. Zaman India Kuno 

Dalam kebudayaan India Kuno telah ada  kaedah dan lembaga hukum 

yang mengatur hubungan antar kasta, suku bangsa dan raja-raja. Hukum bangsa-

bangsa pada zaman India kuno telah mengenal ketentuan-ketentuan  yang 

mengatur kedudukan dan hak-hak istimewa seorang duta.53 Selain itu juga 

ada  pengaturan mengenai perjanjian-perjanjian, hak dan kewajiban raja dan 

juga  pengaturan hukum perang. Khusus dalam hukum perang, diatur mengenai 

perbedaan antara combatan dan non combatan, juga ketentuan-ketentuan 

mengenai perlakuan terhadap tawanan perang dan cara melakukan perang (the 

conduct of war).54 

Pada zaman ini, seorang raja dalam mengadakan hubungan dengan raja 

lainnya telah diatur oleh kebiasaan yang dinamakan Desa Dharma. Pujangga 

yang terkenal pada saat itu yaitu  Kautilya atau Chanakya, yang menulis buku 

yang berjudul  Artha Sastra Gautamasutra. Buku ini   memuat tentang hukum 

kerajaan dan hukum keluarga, serta hukum kasta. Pada  abad ke V Sebelum 

Masehi muncul undang-undang Manupada. Undang-undang ini memuat tentang 

 

hukum kerajaan, yang mengatur hubungan antara raja-raja. 

  

. Bangsa Yahudi 

Pada zaman ini telah dikenal hukum bangsa-bangsa yang merupakan 

kebudayaan Yahudi. Juga telah dikenal ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian, 

perlakuan terhadap orang asing dan cara melakukan perang. Ada pengecualian di 

dalam hukum perang Yahudi dengan hukum perang secara umum terhadap 

musuh bebuyutan. Diperbolehkannya untuk melakukan penyimpangan ketentuan 

perang pada saat bangsa Yahudi berhadapan dengan musuh bebuyutan. 

 . Zaman Yunani 

Pada permulaan masa Yunani, proses pembentukan kaidah-kaidah 

kebiasaan hukum internasional dari adat-istiadat dan praktek-praktek yang ditaati 

oleh negara-negara ini  dalam hubungan mereka satu sama lain. Pada saat 

itu banyak muncul negara merdeka, dan diantara mereka mengadakan hubungan 

diplomatik satu sama lain dan hubungan dengan dunia luar maka kemudian 

berkembanglah beberapa  kaidah kebiasaan yang berkenaan dengan urusan-

urusan diplomatik. 

Pada zaman ini juga telah dikenal aturan-aturan yang mengatur hubungan 

antara kumpulan-kumpulan manusia yang hidup dalam negara-negara kota. Pada 

zaman ini penduduk digolongkan menjadi dua yaitu: golongan Yunani dan orang 

luar Yunani yang dianggap sebagai orang-orang biadab (barbar). Masyarakat 

Yunani sudah mengenal ketentuan-ketentuan mengenai perwasitan (arbitration) 

dan diplomasi yang tinggi tingkat perkembangannya. 58 

 Sumbangan yang paling berharga dari kebudayaan Yunani bagi 

perkembangan hukum internasional yaitu  Konsep Hukum Alam yaitu hukum 

yang berlaku secara mutlak dimanapun juga dan yang berasal dari ratio atau akal 

manusia. Konsep Hukum Alam ini yaitu  konsep yang dikembangkan oleh ahli 

filsafat yang hidup dalam abad ke III sebelum masehi, Konsep Hukum Alam 

diteruskan ke Roma dan Romalah yang memperkenalkan kepada dunia.59 

Sebagaimana kita ketahui, ajaran hukum alam ini telah berperan penting dalam 

sejarah hukum internasional Mazhab hukum alam memberikan dasar-dasar bagi 

pembentukan hukum yang ideal. Dalam hal ini, dengan menjelaskan bahwa 

konsep hidup bermasyarakat internasional merupakan keharusan yang 

diperintahkan oleh akal budi (rasio) manusia. Mazhab ini sesungguhnya telah 

meletakkan dasar rasionalitas bagi pentingnya hidup berdampingan secara tertib 

dan damai antarbangsa-bangsa di dunia ini walaupun mereka memiliki asal-usul 

keturunan, pandangan hidup, dan nilai-nilai yang berbeda-beda. 

 “That „natural‟ obligations of justice bacame not those of divine law but 

essentially what is necessary for subsistence and self-preservation. Others have 

focused on consent as the key to the binding nature of international law. Norms 

are binding because state consent that they should be.”  

 

. Zaman Romawi 

Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antar 

kerajaan-kerajaan tidak mengalami perkembangan yang pesat pada Zaman 

Romawi, hal ini sebab  pada zaman ini masyarakat dunia merupakan satu 

imperium yaitu imperium Roma yang menguasai seluruh wilayah di dalam 

lingkungan kebudayaan Romawi. Walaupun demikian hukum Romawi ini sangat 

penting bagi perkembangan hukum internasional selanjutnya.61 Hukum Romawi 

telah menyumbangkan banyak sekali azas atau konsep yang kemudian diterima 

dalam hukum internasional. 

 Dalam hukum Romawi dikenal asas-asas yang berasal dari hukum perdata 

kemudian memegang peranan yang penting dalam hukum internasional, seperti 

occupation, servitut, dan bona fides, juga dikenal asas pacta sunt servanda, ini 

merupakan warisan pada kebudayaan Romawi yang tentunya masih 

dipergunakan saat ini. 

 Hukum Romawi menjadi dasar pada sebagaian besar sistem-sistem hukum 

di Eropa khususnya negara-negara Eropa Barat dan berpengaruh terhadap 

perkembangan hukum internasional masa kini. Namun cikal-bakal dari hukum 

internasional telah lama diterapkan oleh kekaisaran romawi, yakni istilah hukum 

ius gentium yang merupakan hukum yang mengatur hubungan antara orang 

Romawi dengan orang yang bukan Romawi serta antara orang bukan Romawi 

satu sama lain. Kemudian muncul lagi istilah ius inter gentes yang mengatur 

tentang hubungan antara publik dengan individu.62 Dari situlah awal munculnya 

hukum yang mengatur tentang hubungan subyek hukum yang melintasi batas 

territorial suatu negara.  

 Pada abad pertengahan dunia barat dikuasai oleh satu sistem feodal yang 

berpuncak pada Kaisar, sedang  kehidupan Gereja berpuncak pada Paus 

sebagai kepala Gereja Katolik Roma. Masyarakat Eropa waktu itu merupakan satu 

masyarakat Kristen yang terdiri dari beberapa negara yang berdaulat dan Takhta 

Suci, dan sebagai pewaris kebudayaan Romawi dan Yunani.63 Selain Masyarakat 

Eropa Barat saat itu dikenal dua masyarakat besar yang berbeda yaitu Kekaisaran 

Byzantium dan dunia Islam. Kekaisaran Byzantium memperkenalkan praktek 

diplomasi dan memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum internasional, 

sedang  dunia Islam memberikan sumbangan perkembangan di bidang hukum 

perang. 

 Pada periode terakhir kekuasaan Kekaisaran Romawi yang meluas 

mencakup hampir seluruh wilayah dunia dan tidak ada satupun negara yang 

merdeka sehingga tidak diperlukan adanya hukum bangsa-bangsa. Selama abad 

pertengahan, ada  2 (dua) hal khusus yang menjadi penghalang evolusi suatu 

sistem hukum internasional yaitu: 

a. Kesatuan duniawi dan rohani sebagaian besar Eropa di bawah Imperium 

Romawi Suci (Holy Roman Empire); dan 

b. Struktur feodal Eropa Barat, yang melekat pada hierarki otoritas yang tidak 

hanya menghambat munculnya negara-negara merdeka akan tetapi juga 

mencegah negara-negara pada saat itu memperoleh karakter kesatuan dan 

otoritas Negara-negara berdaulat modern.

Perjanjian Westphalia 

Dalam sejarah hukum, khususnya hukum internasional, Perjanjian 

Westphalia merupakan tonggak sejarah dari lahirnya negara-negara modern 

menurut hukum internasional. Latar belakang dari lahirnya perjanjian legendaris ini 

bukan saja disemangati oleh persoalan-persoalan keagamaan, pertentangan 

antara agama Katolik dan Protestan, tetapi lebih jauh dalam soal-soal 

perkembangan kenegaraan dan hubungan antara bangsa serta pengakuan 

internasional.  

 Selain dapat mengakhiri perang 30 tahun, juga telah membawa dampak 

besar bagi perubahan-perubahan peradaban umat manusia dimuka bumi. 

Beberapa Negara yang tadinya menjadi satu kerajaan besar, oleh akibat 

keinginan masyarakat kecil berpecah-pecah menjadi beberapa Negara. Seperti 

Negara Eropa bagian barat yaitu Luxemburg, Belanda dan Belgia (Benelux) yang 

tadinya bersatu menjadi satu negara. Demikian pula dengan adanya kerajaan-

kerajaan kecil oleh keinginan masyarakat bersatu menjadi satu negara, seperti 

Italia.65 

Bukan itu saja, perubahan-perubahan penting dari sejarah perang 30 (tiga 

puluh) tahun yaitu  solusi-solusi perdamaian dari akibat perang yang lama 

ini  serta adanya kodrat manusia yang ingin berdamai. Perjanjian Westphalia 

bukanlah solusi perdamaian yang pertama kali berkembang, namun perjanjian ini 

merupakan tonggak sejarah mengakhiri perang 30 (tiga puluh) tahun di Eropa.  

Demikian pula perjanjian ini telah menghasilkan dokumen-dokumen penting bagi 

sejarah umat manusia di muka bumi. Uni  Eropa (European Union) dapat 

dipandang berasal dari perjanjian ini. Demikaian pula halnya dengan terbentuknya 

asosiasi-asosiasi regional banyak mengacu pada Perjanjian Westphalia ini. 

Perjanjian Westphalia membangun semangat kebersamaan dalam memandang 

bahwa perang, kedengkian, pembinasaan dan pelanggaran hak asasi manusia 

yaitu  dosa yang tidak terampuni di muka bumi. Semangat kebersaman ini tanpa 

memandang perbedaan agama dan ras.66 

Dengan demikian Perjajian West Phalia telah meletakkan dasar-dasar bagi 

suatu susunan masyarakat internasional yang baru baik mengenai bentuknya yang didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan kerajaan) 

maupun mengenai hakekat dari pada negara-negara itu dan pemerintahannya 

yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja. 

Perjanjian Westphalia ini sebagai suatu peristiwa yang mencanangkan 

suatu zaman baru di dalam sejarah masyarakat internasional yang tidak ada 

hubungannya dengan masa lampau. Perjanjian ini sebagai titik puncak dari suatu 

proses gerakan reformasi dan sekularisasi kehidupan manusia, khususnya 

perebutan kekuasaan duniawi antara Gereja dan Negara. Dengan demikian, 

ajaran hukum alam pada hukum internasional disekulerkan oleh Hugo Grotius 

untuk memenuhi suatu kebutuhan yang sangat dirasakan pada waktu itu, yaitu 

mendasarkan berlakunya hukum internasionalnya pada hukum alam. Hugo 

Grotius dengan karyanya yang berjudul “ De Jure Belli ac Pacis” yang terbit pada 

waktu terjadinya Perang Tiga puluh Tahun melahirkan sistem organisasi 

masyarakat negara-negara yang baru di Eropa. Sebelumnya Francisco Vittoria, 

seorang biarawan Dominikan yang berkebangsaan Spanyol dalam bukunya yang 

berjudul  Relectio de Indis yang memuat tentang hubungan Spanyol dan Portugis 

dengan orang-orang Indian di Amerika. Dalam tulisannya ini  dinyatakan 

bahwa negara-negara tidak dapat bertindak sekehendak hatinya, “ius inter gentes” 

menurutnya tidak hanya terbatas pada dunia Kristen Eropa melainkan meliputi 

seluruh umat manusia. 

 

4.1.6. Abad Ke-18  

 Mulai bermunculan ahli hukum internasional setelah Hugo Grotius yang 

terbagi dalam 2 (dua) aliran, yaitu aliran hukum alam dan aliran positivisme. 

Menurut Pufendorf seorang ahli hukum yang berasal dari Belanda, menyatakan 

bahwa hukum internasional merupakan bagian dari hukum alam yang berpangkal 

pada akal manusia mengatur kehidupan manusia kapan saja dan dimana saja ia 

berada, hidup berorganisasi dalam negara atau tidak.  

 Seorang ahli hukum dan filsafat berkebangsaan Jerman bernama Christian 

Wolf, mengemukakan teori mengenai Civitas Maxima.68 Seorang guru besar 

hukum perdata di Oxford, Zouche, yang pandangannya lebih mementingkan 

praktik negara sebagai sumber hukum sebagaimana terjelma dalam kebiasaan 

                                                          

dan perjanjian-perjanjian, walaupun tidak secara mutlak menolak hukum alam. 

Pandangan berbeda dari seorang diplomat berkebangsaan Swiss yaitu Emmerich 

Vattel, dia tidak dapat digolongkan ke dalam aliran hukum alam maupun aliran 

positivis dan lebih dikenal eclectic yakni orang yang memilih segi-segi baik dari 

kedua aliran ini . Pandangan Emmerich Vattel banyak berpengaruh terhadap 

perkembangan hukum Internasional, terutama di Amerika Serikat. Seperti 

kebiasaan dan perjanjian antarnegara yang berharga sebagai sumber atau 

(evidence) hukum.69 

 Pada abad ini kecenderungan perkembangan di antara para ahli hukum 

untuk lebih mengemukakan kaidah-kaidah hukum internasional terutama dalam 

bentuk kebiasaan dan traktat, dan mengurangi sedikit mungkin kedudukan “hukum 

alam” atau “nalar”, sebagai sumber dari prinsip-prinsip ini .70 Zaman ini 

yaitu  masa kebangkitan negara-negara baru yang kuat, baik di eropa maupun di 

luar Eropa yang ditandai dengan ekspansi peradaban eropa ke wilayah-wilayah 

luar benua, modernisasi sarana angkutan dunia, penemuan-penemuan baru, dan 

kondisi ini  membutukan pengaturan dalam tindakan hubungan-hubungan 

internasional. 

 

4.2. Abad Ke-20  Mulai Berdirinya Organisasi Internasional 

  Perkembangan pada abad ini sebenarnya dipengaruhi oleh perkembangan 

akhir abad sebelumnya yaitu Konferensi Perdamaian Tahun 1856 dan Konferensi 

Jenewa Tahun 1864, yang mempelopori Konferensi Perdamaian Den Haag Tahun 

1899 yang membentuk perjanjian yang berlaku secara umum. Kemudian disusul 

Konferensi Perdamaian II pada Tahun 1907 perkembangan hukum internasional 

terutama di bidang hukum perang. Kedua Konferensi ini juga membentuk 

Mahkamah Arbistrase Permanen. Peristiwa penting lainnya pada masa ini yaitu  

pembentukan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dan Briand Kellogg Pact.  

 Liga Bangsa-Bangsa didirikan setelah Konferensi Perdamaian Paris 1919, 

tepatnya 10 Januari 1920. Liga Bangsa-Bangsa ini bertujuan untuk melucuti 

senjata, mencegah perang melalui keamanan kolektif, menyelesaikan 

pertentangan antar negara-negara melalui negosiasi dan diplomasi, serta 

memperbaiki kesejahteraan hidup. Selanjutnya Briand Kellogg Pact yang 

                                                          

diadakan pada tanggal 27 Agustus 1928 di Paris berisi kesepakatan untuk 

melarang perang sebagai suatu cara mencapai tujuan nasional.  

 Liga Bangsa-Bangsa gagal untuk mencegah Perang Dunia II, kemudian 

digantikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang didirikan pada tanggal 26 Juni 

1945. Perserikatan Bangsa-Bangsa bertujuan untuk menjaga perdamaian dan 

keamanan dunia, memajukan dan mendorong hubungan persaudaraan 

antarbangsa melalui penghormatan hak asasi manusia, membina kerjasama 

internasional dalam pembangunan bidang ekonomi, sosial, budaya dan 

lingkungan, menjadi pusat penyelarasan segala tindakan bersama terhadap 

Negara yang membahayakan perdamaian dunia, dan menyediakan bantuan 

kemanusiaan apabila terjadi kelaparan, bencana alam dan konflik bersenjata. 

 Baik LBB maupun PBB telah menambah dimensi baru pada masyarakat 

internasional modern yang sangat besar artinya dalam perkembangan masyarakat 

internasional yaitu fenomena organisasi atau lembaga internasional yang melintasi 

batas-batas Negara dan mempunyai wewenang dan tugas.71 

Pasca Perang Dunia II terbentuknya PBB berpengaruh besar dalam 

masyarakat hukum internasional, banyak sekali perkembangan dan kemajuan 

yang dicapai seperti lahirnya negara-negara baru (perubahan peta politik dunia, 

polarisasi masyarakat internasional), sebelumnya kelompok negara atau bangsa 

penjajah atau terjajah, kemudian perkembangan penghormatan atas Hak Asasi 

Manusia baik yang terbentuk dalam deklarasi maupun konvensi. Karakteristik 

evolusi paling akhir dari hukum internasional yaitu  bahwa ahli-ahli hukum 

internasional modern lebih banyak menaruh perhatian kepada praktek dan 

keputusan-keputusan pengadilan. Tetapi dalam kaidah hukum internasional 

cendrung ke praktek masa lalu, dapat dilihat dalam Konvensi Jenewa1958 tetang 

Hukum Laut, pada Konferensi-konferensi Wina Tahun 1961, 1963 dan Tahun 

1968-1969 berturut-turut mengenai Hubungan Hubungan Diplomatik, Hubungan-

hubungan Konsuler dan Traktat.


SUMBER HUKUM INTERNASIONAL 

 


. Umum 

Sumber hukum (the source of law) secara umum diartikan sebagai sumber 

asli kewenangan dan kekuatan memaksa dari suatu produk hukum positif (the 

origins from which particular positive laws derive their authority and coercive 

force).73 Sumber hukum, termasuk sumber hukum internasional (the source of 

international law), mencakup pengertian: 

(a) formal, yaitu sebagai sumber hukum formal; dan  

(b) material, yaitu sebagai sumber hukum material.  

Menurut Salmond, pengertian sumber hukum formal dan material yaitu  

sebagai berikut: 

“A formal source is that from which a rule of law derives its force and 

validity. The material source , on the other hand, are those from which is 

derived the matter, not the validity of the law. The material source 

supplies the substance of the rule to which the formal source gives the 

force and nature of law.”74    

Sumber formal yaitu  sumber kekuatan memaksa dan dasar keabsahan 

suatu produk hukum, sedang  sumber material yaitu  sumber materi dari 

suatu produk hukum. Contoh: kekuatan mengikat suatu ketentuan hukum. 

Suatu ketentuan hukum mengikat secara hukum apabila ketentuan itu 

memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan oleh kebiasaan, yang 

merupakan sumber hukum formal dari hukum internasional, dan materinya 

diperoleh dari praktek negara-negara, yang merupakan sumber material dari 

kebiasaan.

 

. Pengaturan Sumber Hukum Internasional 

Sumber hukum internasional (the source of international law) diatur di 

dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah International (International Court of 

Justice-ICJ). Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah menentukan sebagai berikut: 

 The Court, whose function is to decide in accordance with international law 

such disputes as are submitted to it, shall apply:   

a. international conventions, whether general or particular, establishing 

rules expressly recognized by the contesting states; 

b. international custom, as evidence of a general practice accepted as 

law;   

c. the general principles of law recognized by civilized nations;   

d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the 

teachings of the most highly qualified publicists of the various 

nations, as subsidiary means for the determination of rules of law.76   

Ketentuan ini  menentukan bahwa Mahkamah yang mengemban 

fungsi utama untuk memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya, harus 

memutus perkara berdasar  hukum internasional, yang mencakup: 

(1) perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat 

umum maupun yang bersifat khusus, yang merupakan ketentuan-ketentuan 

yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa; 

(2) Kebiasaan internasional (international custom), yang merupakan paraktek 

yang bersifat umum dan diterima sebagai hukum; 

(3) Prinsip atau azas-azas hukum umum yang diakui oleh bangsa-benagsa 

beradab; 

(4) Putusan-putusan pengadilan dan ajaran dari sarjana yang bereputasi tinggi 

dari berbagai bangsa, sebagai sumber tambahan dalam penentuan kaedah 

hukum. 

Ketentuan ini  tidak dapat dipisahkan dari ketentuan Pasal 38 ayat (2) 

yang menentukan bahwa keberadaan sumber-sumber hukum internasional itu 

tidak dapat mengesampingkan kekuasaan Mahkamah untuk memutus perkara 

berdasar  azas ex aequo et bono, dalam hal para pihak menerima penerapan 

azas itu. Ex aequo et bono merupakan frase yang diambil dari tradisi civil law yang 

berarti dalam keadilan dan keterbukaan (in justice and fairness), sesuai dengan 

                                                           

keadilan dan kebaikan (according to what is just and good), atau sesuai dengan 

kepatutan dan rasa keadilan (according to equity and conscience).  

Sumber hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah 

merupakan sumber hukum dalam kategori formil atau sebagai sumber hukum 

formil. Sumber hukum sebagaimana diatur di dalam ketentuan ini  dapat 

diklasifikasikan atas dua kategori, yaitu: sumber hukum primer atau utama dan 

sumber hukum tambahan atau subsider. Sumber hukum primer mencakup sumber 

hukum sebagaimana dimaksud di dalam huruf a, b, dan c. sedang , sumber 

hukum tambahan yaitu  sumber hukum sebagaimana dimaksud dalam huruf d. 

Urutan sumber hukum itu tidak mencerminkan peringkat urgensi dari masing-

masing sumber. Statuta sama sekali tidak memberikan ketentuan mengenai hal 

itu. Setiap sumber memiliki posisi masing-masing dan arti pentingnya tergantung 

dari pangkal tolak atau sudut pandang orang yang menentukannya. contoh , dari 

perspektif sejarah, maka kebiasaan internasional merupakan sumber hukum yang 

terpenting, sebab  kebiasaan merupakan sumber hukum yang tertua. Dari 

perspektif realitas dan fungsinya dalam kenyataan hidup masyarakat internasional 

pada saat ini, maka perjanjian internasional merupakan sumber hukum yang 

sangat penting, sebab  perjanjian internasional merupakan instrument hukum 

utama dalam pengaturan hubungan antar negara, termasuk pengaturan masalah-

masalah yang semula diatur melalui hukum kebiasaan. Dari sudut pandang fungsi 

pengembangan hukum, maka prinsip-prinsip hukum umum merupakan sumber 

yang terpenting, sebab  prinsip-prinsip ini memberikan dasar bagi Mahkamah 

dalam mengembangkan kaedah hukum baru dalam penanganan perkara.     

 

. Perjanjian Internasional 

Pada mulanya, perjanjian internasional didefinisikan sebagai perjanjian 

yang diadakan antar negara dan bertujuan menimbulkan akibat hukum tertentu. 

Namun dalam perkembangannya, perjanjian international tidak terbatas hanya 

pada perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai subyek hukum internasional, 

melainkan juga negara dengan organisasi internasional, contoh  Perjanjian 

antara Amerika Serikat dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang 

                                                          

tempat kedudukan tetap PBB di New York, dan perjanjian antar organisasi 

internasional. Termasuk kedalam kategori perjanjian internasional yaitu  

perjanjian antara negara dengan Tahta Suci, sebagai subyek hukum internasional 

yang diakui negara-negara. Perjanjian perdata, seperti perjanjian antar serikat 

dagang, contoh  perjanjian antara East India Company dan Verenigde Oost 

Indische Compagnie dengan para raja nusantara di masa lampau; perjanjian 

antara negara dengan orang perorangan (natural person) atau perjanjian antara 

negara dengan badan hukum (legal person), contoh  kontrak antara negara 

dengan maskapai minyak; dan perjanjian antara orang dengan orang atau badan 

hukum atau antar badan hukum antar negara; tidak dapat dikategorikan sebagai 

perjanjian internasional. 

Perjanjian internasional diklasifikasikan atas perjanjian yang bersifat 

mengikat (hard law) dan yang bersifat tidak mengikat (soft law). Termasuk 

kedalam kategori perjanjian yang bersifat mengikat antara lain: Treaty, 

Agreement, Pact, dan Convention. Termasuk kedalam kategori bersifat tidak 

mengikat antara lain: charter, declaration, dan resolution. Kedua jenis perjanjian 

ini dibedakan berdasar  materi dan sifat mengikatnya. Dari segi materi, 

kelompok yang pertama merupakan perjanjian yang memuat materi yang bersifat 

memaksa, mengandung hak, kewajiban, dan sanksi. sedang  kelompok yang 

kedua cenderung memuat prinsip-prinsip hukum yang mengikatnya didasarkan 

pada kerelaan (voluntary based) negara-negara yang memakai nya.  

Perjanjian internasional juga diklasifikasikan berdasar  prektek 

pembentukannya. berdasar  praktek pembentukannya, perjanjian internasional 

diklasifikasikan atas dua bentuk, yaitu: (1) perjanjian internasional yang tahapan 

pembentukannya melalui tiga tahap, yaitu perundingan, penandatangan, dan 

peratifikasian; dan (2) perjanjian internasional yang pembentukannya melalui dua 

tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan. Jenis perjanjian yang pertama 

dipakai  untuk perjanjian-perjanjian yang bersifat penting, sehingga memerlukan 

persetujuan dari badan-badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian 

(treaty making power), seperti contoh  Dewan Perwakilan Rakyat. Perjanjian 

                                                          

jenis yang pertama ini juga memerlukan waktu pembentukan yang agak lama 

dibandingkan dengan perjanjian jenis yang kedua. sedang , perjanjian jenis 

yang kedua merupakan perjanjian yang dipakai  untuk perjanjian-perjanjian 

yang itdak begitu penting dan memerlukan penyelesaian cepat, seperti perjanjian 

perdagangan berjangka pendek. Profesor Mochtar Kusumaatmadja 

mengklasifikasikan perjanjian jenis yang pertama sebagai perjanjian internasional 

atau traktat (treaty), sedang  perjanjian jenis yang kedua sebagai persetujuan 

(agreement).80 

Perjanjian internasional juga diklasifikasikan berdasar  jumlah pihak-

pihak yang membuat perjanjian. berdasar  pengklasifikasian ini, perjanjian 

internasional diklasifikasikan atas perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral. 

Perjanjian bilateral yaitu  perjanjian yang dibuat oleh negara, sedang  

perjanjian multilateral yaitu  perjanjian yang dibuat oleh lebih dari dua negara. 

Contoh perjanjian bilateral, contoh  Perjanjian antara Republik Indonesia dengan 

Republik Rakyat Tiongkok tentang Dwi Kewarganegaraan (1954). sedang  

contoh perjanjian multilateral yaitu  Konvensi Jenewa tentang Perlindungan 

Korban Perang (1949). 

Pengklasifikasian lainnya, yang sebetulnya lebih penting, yaitu  

pengklasifikasian berdasar  akibat hukum yang ditimbulkan oleh perjanjian 

yang dibuat. berdasar  pengklasifikasian ini, perjanjian internasional 

diklasifikasi atas: (1) perjanjian yang mempunyai sifat seperti kontrak, 

sebagaimana kontrak di dalam hukum perdata, sebab  hanya mengikat para pihak 

yang membuatnya. Perjanjian ini disebut TREATY CONTRACT (traite-contract) 

dan LAW MAKING TREATIES (traite-lois). TREATY CONTRACT yaitu  

perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang membuatnya. Perjanjian ini hanya 

menimbulkan hak dan kewajiban serta tanggungjawab diantara pihak-pihak yang 

membuatnya. contoh , perjanjian tentang kewarganegaraan, perjanjian 

perdagangan, perjanjian pemberantasan penyeludupan, dan perjanjian tentang 

batas-batas negara. LAW MAKING TREATIES yaitu  perjanjian yang meletakkan 

kaedah-kaedah hukum bagi masyarakat internasional sebagai suatu keseluruhan. 

contoh , Konvensi tentang Hukum Laut, Konvensi Ruang Angkasa dan Benda-

benda Langit lainnya, Konvensi Ruang Udara, dan lain-lain. Disamping perbedaan 


dari segi akibat hukum atau keberlakuan mengikatnya, kedua jenis perjanjian ini 

juga dibedakan berdasar  peserta yang ikut dalam pembentukan perjanjian 

ini . Pada Treaty Contract, hanya pihak-pihak perjanjian yang terlibat dalam 

pembentukan perjanjian. Pihak ketiga umumnya tidak diperkenankan iktu dalam 

prose pembentukan perjanjian. sedang , peserta dalam Law Making Treaty 

bersifat terbuka dan umumnya melibatkan selbagian besar, jika bukan seluruh, 

negara.81  Professor Mochtar Kusumaatmadja memandang pembedaan antara 

perjanjian yang memiliki sifat sebagai Tretay Contract dan Law Making Treaty 

sebagai pembedaan yang kurang tepat, sebab  baik Treaty Contract maupun Law 

Making Treaty sama-sama merupakan perjanjian dengan sifat dan akibat hukum 

yang sama, yaitu mengikat para pihak dan menimbulkan akibat hukum terhadap 

para pihak. Demikian juga dalam soal kerberlakuannya. Sekalipun Law Making 

Treaty menyediakan kaedah hukum bagi seluruh anggota masyarakat 

internasional, Treaty Contract secara tidak langsung juga menyediakan kaedah 

hukum bagi masyarakat internasional melalui proses hukum kebiasaan. Negara-

negara bukan anggota perjanjian Treaty Contract juga dapat menyerap atau 

memberlakukan Treaty Contract melalui proses hukum kebiasaan. Professor 

Mochtar juga menyebut Treaty Contract sebagai perjanjian yang bersifat khusus 

dan Law Making Treaty sebagai perjanjian yang bersifat umum. Perjanjian yang 

bersifat khusus merupakan perjanjian bilateral, sedang  perjanjian yang bersifat 

umum merupakan perjanjian multilateral.

Kebiasan Internasional (International Custom) 

Hukum kebiasaan internasional semula merupakan sumber hukum yang 

terpenting dalam hukum internasional. Tempat ini kemudian digantikan oleh 

perjanjian internasional sebagai akibat dari peran perjanjian sebagai instrumen 

dominan pengaturan pergaulan internasional. Namun kenyataan ini  tidak 

menghilangkan arti penting kebiasaan internasional. Salah satu tonggak 

diterimanya kebiasaan sebagai hukum dalam masyarakat internsional yaitu  

dalam kasus Anglo-Norwegian Fisheries Case.83  

Sengketa antara Inggris dan Norwegia ini yaitu  sebab  adanya perbedaan 

penetapan garis pangkal laut territorial antara kedua Negara. Inggris menganggap 

penetapan garis pangkal oleh Norwegia yang ditarik dari skjaergaard tidak sesuai 

dengan hukum internasional. Skjaergaard rmerupakan wilayah laut yang 

memisahkan pulau-pulau kecil, gugusan fjord, dan karang, sedang  menurut 

Inggris penetapan garis pangkal oleh Norwegia tidak sesuai dengan hukum 

internasional, sebab  seharusnya garis pangkal ditarik dari daratan yang kering. 

Inggris yang merasa dirugikan atas tindakan Norwegia ini , kemudian 

mengajukan kasus ini ke Mahkamah Internasional. Inggris menganggap bahwa 

Norwegia salah dalam menetapkan garis pangkal sehingga dapat mengekploitasi 

daerah sejauh 4 mil laut yang memang kaya akan sumber daya perikanan. 

Norwegia mengungkapkan dalam argumentasi-argumentasi mereka bahwa faktor 

sejarah dari zona perikanan ini  telah disepakati oleh kedua belah pihak 

sejak berabad-abad yang lalu. 

Mahkamah internasional akhirnya memutus perkara ini pada 18 desember 

1951 setelah dua tahun melewati proses persidangan, dengan menghasilkan 

keputusan bahwa metode dan hasil dari penetapan garis pangkal laut territorial 

oleh Norwegia berdasar  dekrit raja ini , telah sesuai dengan hukum 

internasional. Pertimbangan Mahkamah Internasional yaitu  : Pertama, sudah 

menjadi hukum kebiasaan di Norwegia sejak abad XVII daerah ini  milik 

Norwegia. Kedua, bahwa skjaergaard yang dimaksud masih memiliki hubungan 

teritorial dengan daratan Norwegia, sehingga secara yurisdiksi masih menjadi 

                                                           


wilayah kedaulatan Norwegia. Ketiga, bahwa wilayah ini  memiliki 

kepentingan ekonomi dari penduduk lokal Norwegia, dimana wilayah yang kaya 

akan sumber perikanan ini  dijadikan sumber mata pencaharian bagi 

nelayan-nelayan Norwegia, sejak abad XVII. Keempat, bahwa dengan melihat 

kondisi geografis  Norwegia yang berupa gugusan pegunungan dan pantai-

pantainya yang berkarang sehingga skjaergaard juga dianggap sebagai daratan. 

berdasar  keempat pertimbangan ini  kemudia Mahkamah Internasional 

memutus bahwa kasus ini dimenangkan oleh Norwegia.  

Tidak setiap kebiasaan merupakan sumber hukum internasional. Hanya 

kebiasaan yang diterima sebagai hukum oleh masyarakat internasional yang 

merupakan sumber hukum dalam sistem hukum internasional. sebab  itu, dua ciri 

utama suatu kebiasaan yang dapat dikategorikan sebagai sumber hukum 

internasional yaitu : 

(1) merupakan kebiasaan yang bersifat umum; dan  

(2) kebiasaan itu diterima sebagai hukum oleh masyarakat internasional. 

Menurut Georg Schwarzenberger, hukum kebiasaan internasional 

(international customary law) harus mengandung dua elemen, yaitu:  

(1) praktek umum negara-negara (a general practice of States); dan  

(2) praktek umum itu diterima oleh oleh negara-negara sebagai hukum (the 

acceptance by States of this general practice as law).  

Untuk membuktikan keberadaan hukum kebiasaan internasional itu, praktek 

negara-negara itu tidak cukup hanya dalam bentuk mengikuti kebiasan itu, 

melainkan harus dalam kaitan dengan kewajiban yang mengikat negara yang 

bersangkutan beserta akibat-akibat hukum dari kewajiban itu. Kewajiban demikian 

itu juga ada  di dalam praktek kebiasaan umum praktek negara-negara itu.84  

berdasar  konsep itu, maka praktek negara-negara merupakan bahwa 

(raw material) dari hukum kebiasaan. sebab  itu, elemen praktek negara-negara 

merupakan elemen mendasar dalam penentuan suatu kebiasaan untuk dapat 

dikategorikan sebagai kebiasaan hukum internasional. Professor Brierly menyebut 

praktek negara-negara itu sebagai „what states do in their relations with one 

another‟, atau Professor McDougal menyebut „process of continuous interaction, 

of continuous demand and response‟. sebab  itu, praktek negara-negara itu 

                                                          

mengandung unsur: (a) perbuatan (any act); (b) penerjemahan dalam bentuk 

aturan (articulation); (c) bentuk perbuatan atau perilaku lain dari negara (other 

behavior of a States) sepanjang perbuatan itu merupakan bentuk perilaku yang 

sadar sebagai bentuk pengakuan terhadap hukum kebiasaan yang sudah ada. 

sebab  itu, pemahaman terhadap kebiasaan itu memerlukan bukti waktu yang 

wajar untuk memahami kebiasaan itu yang membuat suatu negara berperilaku 

sesuai dengan kebiasaan itu dan hanya perilaku demikian itu yang dapat 

dikualifikasikan sebagai praktek negara-negara, yaitu praktek perilaku negara 

yang didasarkan atau merujuk pada kebiasaan yang usdah ada, sebagai bentuk 

pengakuan terhadap kebiasaan itu.  

ILC memasukkan bentuk-bentuk berikut sebagai „evidence of customary 

international law‟, yaitu: treaties, decisions of national and international courts, 

national legislations, diplomatic correspondence, opinions of national legal 

advisers, practice of international organizations.  

 

. Unsur yang Bersifat Umum 

Profesor Mochtar menyebut unsur yang pertama sebagai unsur materiil dan 

unsur yang kedua sebagai unsur psikologis. Kedua unsur itu bersifat komulatif. 

Terpenuhinya satu unsur saja, contoh  unsur materiil atau unsur psikologis, tidak 

mengakibatkan suatu kebiasaan menjadi sumber hukum internasional. Suatu 

kebiasaan internasional yang memenuhi unsur materiil saja, tidak merupakan 

sumber hukum internasional, melainkan kesopanan internasional. Sebagi contoh, 

memberikan penghormatan kepada tamu negara dalam bentuk tembakan meriam 

merupakan kebiasaan umum dalam penyambutan tamu negara, tetapi seorang 

tamu negara tidak dapat menuntut negara tuan rumah untuk melakukan 

penyambutan serupa bagi dirinya.  

Menurut Profesor Mochtar, suatu pola tindak dikategorikan sebagai 

kebiasaan umum bila memenuhi persyaratan berikut: 

(a) merupakan kebiasaan atau pola tindak atau serangkaian kebiasaan dalam 

bentuk tindakan dalam hal dan keadaan serupa dalam sifat berulang-ulang; 

dan 

                                                           

(b) merupakan kebiasaan yang bersifat umum dan berkenaan dengan 

hubungan internasional. 

 

. Kebiasan Umum dan Lokal 

Kasus yang dapat dipakai  untuk membahas hal ini yaitu  kasus 

Peruvian-Colombian Asylum Case.86 Kasus ini diawali dengan pemberontakan 

militer di Peru pada tanggal 3 Oktober 1948. Pemberontakan