administrasi kepegawaian 3




 an

mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan

dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara belum

berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan

kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan

kualifikasi yang dimiliki calon dalam rekrutmen, pengangkatan,

119

A. Landasan Yuridis Aparatur Sipil Negara

KEWAJIBAN PEGAWAI SEBAGAI

APARATUR SIPIL NEGARA

BAB 5

penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata

kelola pemerintahan yang baik;

c. bahwa untuk mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian

dari reformasi birokrasi, perlu ditetapkan aparatur sipil negara

sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan

mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan

kinerjanya dan menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan

manajemen aparatur sipil negara;

d. bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-

Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian sudah tidak sesuai dengan tuntutan nasional dan

tantangan global sehingga perlu diganti;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud

dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk

Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara;

Mengingat : Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN: UNDANG-UNDANG TENTANG APARATUR

SIPIL NEGARA

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah

profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah

dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.

Pasal 14

Jabatan Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13

huruf a terdiri atas:

a. jabatan administrator;

b. jabatan pengawas; dan

c. jabatan pelaksana.

Pasal 15

(1) Pejabat dalam jabatan administrator sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 14 huruf a bertanggung jawab memimpin

pelaksanaan seluruh kegiatan pelayanan publik serta

administrasi pemerintahan dan pembangunan.

(2) Pejabat dalam jabatan pengawas sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 14 huruf b bertanggung jawab mengendalikan pelaksanaan

kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pelaksana.

(3) Pejabat dalam jabatan pelaksana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 14 huruf c bertanggung jawab melaksanakan kegiatan

pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan

pembangunan.

Pasal 16

Setiap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14

ditetapkan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.

Pasal 17

Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan Administrasi dan

kompetensi yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14,

Pasal 15, dan Pasal 16 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga

Jabatan Fungsional:

Pasal 18

(1) Jabatan Fungsional dalam ASN terdiri atas jabatan fungsional

keahlian dan jabatan fungsional keterampilan.

(2) Jabatan fungsional keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) terdiri atas:

a. ahli utama;

b. ahli madya;


c. ahli muda; dan

d. ahli pertama.

(3) Jabatan fungsional keterampilan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) terdiri atas:

a. penyelia;

b. mahir;

c. terampil; dan

d. pemula.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan Fungsional

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

Bagian Keempat

Jabatan Pimpinan Tinggi

Pasal 19

(1) Jabatan Pimpinan Tinggi terdiri atas:

a. jabatan pimpinan tinggi utama;

b. jabatan pimpinan tinggi madya; dan

c. jabatan pimpinan tinggi pratama.

(2) Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berfungsi memimpin dan memotivasi setiap Pegawai ASN pada

Instansi Pemerintah melalui:

a. kepeloporan dalam bidang:

1. keahlian profesional;

2. Analisa  dan rekomendasi kebijakan; dan

3. kepemimpinan manajemen.

b. pengembangan kerja sama dengan instansi lain; dan

c. keteladanan dalam mengamalkan nilai dasar ASN dan

melaksanakan kode etik dan kode perilaku ASN.

(3) Untuk setiap Jabatan Pimpinan Tinggi ditetapkan syarat

kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan,

rekam jejak jabatan dan integritas, serta persyaratan lain yang

dibutuhkan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan syarat kompetensi,

kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak

jabatan dan integritas, serta persyaratan lain yang dibutuhkan

Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 20

(1) Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN.

(2) Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari:

a. prajurit Tentara Nasional Indonesia; dan

b. anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(3) Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit

Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara

Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia dan

Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan ASN tertentu yang

berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota

Kepolisian Negara Republik Indonesia dan tata cara pengisian

jabatan ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Kesatu

Hak PNS

Pasal 21

PNS berhak memperoleh:

a. gaji, tunjangan, dan fasilitas;

b. cuti;

c. jaminan pensiun dan jaminan hari tua;

d. perlindungan; dan

e. pengembangan kompetensi.


Bagian Kedua

Hak PPPK

Pasal 22

PPPK berhak memperoleh:

a. gaji dan tunjangan;

b. cuti;

c. perlindungan; dan

d. pengembangan kompetensi.

Bagian Ketiga

Kewajiban

Pegawai ASN

Pasal 23

Pegawai ASN wajib:

a. setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik

Indonesia, dan pemerintah yang sah;

b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa;

c. melaksanakan kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah

yang berwenang;

d. menaati ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian,

kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab;

f. menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku,

ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam

maupun di luar kedinasan;

g. menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan

rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan; dan

h. bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Pasal 24

Ketentuan lebih lanjut mengenai hak PNS, hak PPPK, dan kewajiban

Pegawai ASN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, dan

Pasal 23 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII

KELEMBAGAAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 25

(1) Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan

pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan

profesi, dan Manajemen ASN.

(2) Untuk menyelenggarakan kekuasaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), Presiden mendelegasikan sebagian kekuasaannya

kepada:

a. Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan

di bidang pendayagunaan aparatur negara, berkaitan

dengan kewenangan perumusan dan penetapan kebijakan,

koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, serta pengawasan

atas pelaksanaan kebijakan ASN;

b. KASN, berkaitan dengan kewenangan monitoring dan

evaluasi pelaksanaan kebijakan dan Manajemen ASN untuk

menjamin perwujudan Sistem Merit serta pengawasan

terhadap penerapan asas serta kode etik dan kode perilaku

ASN;

c. LAN, berkaitan dengan kewenangan penelitian, pengkajian

kebijakan Manajemen ASN, pembinaan, dan

penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan ASN; dan

d. BKN, berkaitan dengan kewenangan penyelenggaraan

Manajemen ASN, pengawasan dan pengendalian

pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria

Manajemen ASN.


Pasal 26

(1) Menteri berwenang menetapkan kebijakan di bidang

pendayagunaan Pegawai ASN.

(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. kebijakan reformasi birokrasi di bidang sumber daya

manusia;

b. kebijakan umum pembinaan profesi ASN;

c. kebijakan umum Manajemen ASN, klasifikasi jabatan ASN,

standar kompetensi jabatan Pegawai ASN, kebutuhan

Pegawai ASN secara nasional, skala penggajian, tunjangan

Pegawai ASN, dan sistem pensiun PNS.

d. pemindahan PNS antarjabatan, antardaerah, dan

antarinstansi;

e. pertimbangan kepada Presiden dalam penindakan terhadap

Pejabat yang Berwenang dan Pejabat Pembina

Kepegawaian atas penyimpangan Sistem Merit dalam

penyelenggaraan Manajemen ASN; dan

f. penyusunan kebijakan rencana kerja KASN, LAN, dan BKN

di bidang Manajemen ASN.

Bagian Kedua

KASN

Paragraf 1

Sifat

Pasal 27

KASN merupakan lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas

dari intervensi politik untuk menciptakan Pegawai ASN yang

profesional dan berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan

netral, serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa.

Paragraf 2

Tujuan

Pasal 28

KASN bertujuan:

a. menjamin terwujudnya Sistem Merit dalam kebijakan dan

Manajemen ASN;

b. mewujudkan ASN yang profesional, berkinerja tinggi, sejahtera,

dan berfungsi sebagai perekat Negara Kesatuan Republik

Indonesia;

c. mendukung penyelenggaraan pemerintahan negara yang efektif,

efisien dan terbuka, serta bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan

nepotisme;

d. mewujudkan Pegawai ASN yang netral dan tidak membedakan

masyarakat yang dilayani berdasarkan suku, agama, ras, dan

golongan;

e. menjamin terbentuknya profesi ASN yang dihormati pegawainya

dan masyarakat; dan

f. mewujudkan ASN yang dinamis dan berbudaya pencapaian

kinerja.

Paragraf 3

Kedudukan

Pasal 29

KASN berkedudukan di ibu kota negara.

Paragraf 4

Fungsi

Pasal 30

KASN berfungsi mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik dan

kode perilaku ASN, serta penerapan Sistem Merit dalam kebijakan

dan Manajemen ASN pada Instansi Pemerintah.


Paragraf 5

Tugas

Pasal 31

(1) KASN bertugas:

a. menjaga netralitas Pegawai ASN;

b. melakukan pengawasan atas pembinaan profesi ASN; dan

c. melaporkan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan

kebijakan Manajemen ASN kepada Presiden.

(2) Dalam melakukan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

KASN dapat:

a. melakukan penelusuran data dan informasi terhadap

pelaksanaan Sistem Merit dalam kebijakan dan Manajemen

ASN pada Instansi Pemerintah;

b. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi

Pegawai ASN sebagai pemersatu bangsa;

c. menerima laporan terhadap pelanggaran norma dasar serta

kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN;

d. melakukan penelusuran data dan informasi atas prakarsa

sendiri terhadap dugaan pelanggaran norma dasar serta

kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN; dan

e. melakukan usaha  pencegahan pelanggaran norma dasar

serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.

Paragraf 6

Wewenang

Pasal 32

(1) KASN berwenang:

a. mengawasi setiap tahapan proses pengisian Jabatan

Pimpinan Tinggi mulai dari pembentukan panitia seleksi

instansi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi,

pengusulan nama calon, penetapan, dan pelantikan Pejabat

Pimpinan Tinggi;

b. mengawasi dan mengevaluasi penerapan asas, nilai dasar

serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN;

c. meminta informasi dari pegawai ASN dan masyarakat

mengenai laporan pelanggaran norma dasar serta kode etik

dan kode perilaku Pegawai ASN;

d. memeriksa dokumen terkait pelanggaran norma dasar serta

kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN; dan

e. meminta klarifikasi dan/atau dokumen yang diperlukan

dari Instansi Pemerintah untuk pemeriksaan laporan atas

pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku

Pegawai ASN.

(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf b, KASN berwenang untuk memutuskan adanya

pelanggaran kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.

(3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf

a dan huruf b disampaikan kepada Pejabat Pembina

Kepegawaian dan Pejabat yang Berwenang untuk wajib

ditindaklanjuti.

Pasal 33

(1)  Berdasarkan hasil pengawasan yang tidak ditindaklanjuti

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3), KASN

merekomendasikan kepada Presiden untuk menjatuhkan sanksi

terhadap Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang

Berwenang yang melanggar prinsip Sistem Merit dan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. peringatan;

b. teguran;

c. perbaikan, pencabutan, pembatalan, penerbitan keputusan,

dan/atau pengembalian pembayaran;

d. hukuman disiplin untuk Pejabat yang Berwenang sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

e. sanksi untuk Pejabat Pembina Kepegawaian, sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh:

a. Presiden selaku pemegang kekuasan tertinggi pembinaan

ASN, terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Pejabat

Pembina Kepegawaian; dan

b. Menteri terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Pejabat

yang Berwenang, dan terhadap Pejabat Pembina

Kepegawaian di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Pasal 34

KASN melaporkan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya,

termasuk yang berkaitan dengan kebijakan dan kinerja ASN paling

kurang 1 (satu) kali pada akhir tahun kepada Presiden.

Paragraf 7

Susunan

Pasal 35

(1) KASN terdiri atas:

a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota;

b. 1 (satu) orang wakil ketua merangkap anggota, dan

c. 5 (lima) orang anggota.

(2) Dalam hal ketua KASN berhalangan, wakil ketua KASN

menjalankan tugas dan wewenang ketua KASN.

Pasal 36

(1) KASN dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dibantu

oleh asisten dan Pejabat Fungsional keahlian yang dibutuhkan.

(2) Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat

dan diberhentikan oleh ketua KASN berdasarkan persetujuan

rapat anggota KASN.

(3) Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

berasal dari PNS maupun non-PNS yang memiliki kualifikasi

akademik paling rendah strata dua (S2) di bidang administrasi

negara, manajemen publik, manajemen sumber daya manusia,

psikologi, kebijakan publik, ilmu hukum, ilmu pemerintahan,

dan/atau strata dua (S2) di bidang lain yang berkaitan dengan

manajemen sumber daya manusia.

(4) Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

sedang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, tidak

merangkap jabatan, serta diseleksi secara terbuka dan kompetitif

dengan memperhatikan rekam jejak, kompetensi, netralitas, dan

integritas moral.

(5) Asisten KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki

dan melaksanakan nilai dasar, kode etik dan kode perilaku serta

diawasi oleh anggota KASN.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, tata cara pengangkatan

dan pemberhentian, kode etik dan kode perilaku, dan

pengawasan terhadap tugas dan tanggung jawab asisten KASN

diatur dengan Peraturan KASN.

Pasal 37

(1) KASN dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh seorang

kepala sekretariat.

(2) Kepala sekretariat berasal dari PNS.

(3) Kepala sekretariat diangkat dan diberhentikan oleh ketua KASN.

(4) KASN dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara.

Paragraf 8

Keanggotaan

Pasal 38

(1) Anggota KASN terdiri dari unsur pemerintah dan/atau

nonpemerintah.

(2) Anggota KASN harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. warga negara Indonesia;

b. setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun pada saat

mendaftarkan diri sebagai calon anggota KASN;

d. tidak sedang menjadi anggota partai politik dan/atau tidak

sedang menduduki jabatan politik;

e. mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan

tugas;

130 131

f. memiliki kemampuan, pengalaman, dan/atau pengetahuan

di bidang manajemen sumber daya manusia;

g. berpendidikan paling rendah strata dua (S2) di bidang

administrasi negara, manajemen sumber daya manusia,

kebijakan publik, ilmu hukum, ilmu pemerintahan, dan/

atau strata dua (S2) di bidang lain yang memiliki

pengalaman di bidang manajemen sumber daya manusia;

h. tidak merangkap jabatan pemerintahan dan/atau badan

hukum lainnya; dan

i. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

(3) Anggota KASN yang berasal dari PNS diberhentikan sementara

dari jabatan ASN.

(4) Anggota KASN yang berasal dari PPPK diberhentikan statusnya

dari PPPK.

(5) Anggota KASN yang berasal dari non-pegawai ASN harus

mengundurkan diri sementara dari jabatan dan profesinya.

Paragraf 9

Seleksi Anggota KASN

Pasal 39

(1) Anggota KASN diseleksi dan diusulkan oleh tim seleksi yang

beranggotakan 5 (lima) orang yang dibentuk oleh Menteri.

(2) Tim seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh

Menteri dan melakukan tugas selama 3 (tiga) bulan sejak

pengangkatan.

(3) Anggota tim seleksi harus memiliki pengetahuan dan

pengalaman di bidang ASN, rekam jejak yang baik, integritas

moral, dan netralitas.

(4) Tim seleksi melakukan proses seleksi anggota KASN dengan

mengumumkan secara terbuka lowongan ini  kepada

masyarakat secara luas, melakukan penilaian pengetahuan,

kompetensi, integritas moral, rekam jejak calon, dan uji publik.

(5) Tim seleksi menyampaikan 2 (dua) kali jumlah anggota KASN

untuk dipilih dan ditetapkan oleh Presiden.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi dan tata cara

pembentukan tim seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 10

Pengangkatan dan Pemberhentian

Pasal 40

(1) Presiden menetapkan ketua, wakil ketua, dan anggota KASN

dari anggota KASN terpilih yang diusulkan oleh tim seleksi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (5).

(2) Ketua, wakil ketua, dan anggota KASN ditetapkan dan diangkat

oleh Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam

pelaksanaan kebijakan, pembinaan profesi, dan Manajemen

ASN, untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya

dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

(3) Anggota KASN berhenti atau diberhentikan oleh Presiden pada

masa jabatannya, apabila:

a. meninggal dunia;

b. mengundurkan diri;

c. tidak mampu jasmani atau rohani sehingga tidak dapat

menjalankan kewajiban sebagai anggota KASN;

d. dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang

telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan

tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana umum;

atau

e. menjadi anggota partai politik dan/atau menduduki

jabatan negara.

Pasal 41

(1) Anggota KASN yang berhenti pada masa jabatannya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) digantikan oleh

calon anggota yang diusulkan oleh tim seleksi.

(2) Dalam hal Presiden tidak menyetujui atau yang bersangkutan

tidak bersedia, Menteri membentuk tim seleksi untuk menyeleksi

calon anggota pengganti.

(3) Presiden mengesahkan anggota pengganti yang diusulkan tim

seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4) Masa tugas anggota pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) meneruskan sisa masa kerja anggota yang berhenti

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(5) KASN memiliki dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku.

(6) Dalam hal terjadi pelanggaran kode etik dan kode perilaku

sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Presiden membentuk

majelis kehormatan kode etik dan kode perilaku.

(7) Majelis kehormatan kode etik dan kode perilaku sebagaimana

dimaksud pada ayat (6) terdiri atas 5 (lima) orang yang berasal

dari luar KASN dan memiliki pengetahuan, pengalaman, dan

kompetensi di bidang ASN, rekam jejak yang baik, integritas

moral, dan netralitas, serta berusia paling rendah 55 (lima puluh

lima) tahun.

Pasal 42

Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan organisasi,

fungsi, tugas, wewenang, dan tanggung jawab sekretariat, tata kerja,

sistem dan manajemen sumber daya manusia, serta tanggung jawab

dan pengelolaan keuangan KASN sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 27 sampai dengan Pasal 41 diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Ketiga

LAN

Paragraf 1

Fungsi dan Tugas

Pasal 43 LAN memiliki fungsi:

a. pengembangan standar kualitas pendidikan dan pelatihan

Pegawai ASN;

b. pembinaan pendidikan dan pelatihan kompetensi manajerial

Pegawai ASN;

c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kompetensi

manajerial Pegawai ASN baik secara sendiri maupun bersama-

sama lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya;

d. pengkajian terkait dengan kebijakan dan Manajemen ASN; dan

e. melakukan akreditasi lembaga pendidikan dan pelatihan

Pegawai ASN, baik sendiri maupun bersama lembaga

pemerintah lainnya.

Pasal 44

LAN bertugas:

a. meneliti, mengkaji, dan melakukan inovasi Manajemen ASN

sesuai dengan kebutuhan kebijakan;

b. membina dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan

Pegawai ASN berbasis kompetensi;

c. merencanakan dan mengawasi kebutuhan pendidikan dan

pelatihan Pegawai ASN secara nasional;

d. menyusun standar dan pedoman penyelenggaraan dan

pelaksanaan pendidikan, pelatihan teknis fungsional dan

penjenjangan tertentu, serta pemberian akreditasi dan sertifikasi

di bidangnya dengan melibatkan kementerian dan lembaga

terkait;

e. memberikan sertifikasi kelulusan peserta pendidikan dan

pelatihan penjenjangan;

f. membina dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan

analis kebijakan publik; dan

g. membina Jabatan Fungsional di bidang pendidikan dan

pelatihan.

Paragraf 2

Kewenangan

Pasal 45

LAN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 berwenang:

a. mencabut izin penyelenggaraan pendidikan dan latihan Pegawai

ASN yang melanggar ketentuan peraturan perundang-

undangan;

b. memberikan rekomendasi kepada Menteri dalam bidang

kebijakan dan Manajemen ASN; dan

c. mencabut akreditasi lembaga pendidikan dan pelatihan Pegawai

ASN yang tidak memenuhi standar akreditasi.

Pasal 46

Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, tugas, dan kewenangan

LAN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45

diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Keempat

BKN

Paragraf 1 Fungsi dan Tugas PasaI 47 BKN memiliki fungsi:

a. pembinaan penyelenggaraan Manajemen ASN;

b. penyelenggaraan Manajemen ASN dalam bidang pertimbangan

teknis formasi, pengadaan, perpindahan antarinstansi,

persetujuan kenaikan pangkat, pensiun; dan

c. penyimpanan informasi Pegawai ASN yang telah dimutakhirkan

oleh Instansi Pemerintah serta bertanggung jawab atas

pengelolaan dan pengembangan Sistem Informasi ASN.

Pasal 48

BKN bertugas:

a. mengendalikan seleksi calon Pegawai ASN;

b. membina dan menyelenggarakan penilaian kompetensi serta

mengevaluasi pelaksanaan penilaian kinerja Pegawai ASN oleh

Instansi Pemerintah;

c. membina Jabatan Fungsional di bidang kepegawaian;

d. mengelola dan mengembangkan sistem informasi kepegawaian

ASN berbasis kompetensi didukung oleh sistem informasi

kearsipan yang komprehensif;

e. menyusun norma, standar, dan prosedur teknis pelaksanaan

kebijakan Manajemen ASN;

f. menyelenggarakan administrasi kepegawaian ASN; dan

g. mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan norma, standar,

dan prosedur manajemen kepegawaian ASN.

Paragraf 2

Kewenangan

Pasal 49

BKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 berwenang mengawasi

dan mengendalikan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan

kriteria Manajemen ASN.

Pasal 50

Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, tugas, dan kewenangan

BKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 49

diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB VIII

MANAJEMEN ASN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 51

Manajemen ASN diselenggarakan berdasarkan Sistem Merit.

Pasal 52

Manajemen ASN meliputi Manajemen PNS dan Manajemen PPPK.

Bagian Kedua

Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang Berwenang

Paragraf 1

Pejabat Pembina Kepegawaian

Pasal 53

Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN

dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan,

pemindahan, dan pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan

tinggi utama dan madya, dan pejabat fungsional keahlian utama

kepada:

a. menteri di kementerian;

b. pimpinan lembaga di lembaga pemerintah nonkementerian;

c. sekretaris jenderal di sekretariat lembaga negara dan lembaga

nonstruktural;

136 137

d. gubernur di provinsi; dan

e. bupati/walikota di kabupaten/kota.

Paragraf 2

Pejabat yang Berwenang

Pasal 54

(1) Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pembinaan

Manajemen ASN kepada Pejabat yang Berwenang di

kementerian, sekretaris jenderal/sekretariat lembaga negara,

sekretariat lembaga nonstruktural, sekretaris daerah provinsi

dan kabupaten/kota.

(2) Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dalam menjalankan fungsi Manajemen ASN di Instansi

Pemerintah berdasarkan Sistem Merit dan berkonsultasi dengan

Pejabat Pembina Kepegawaian di instansi masing-masing.

(3) Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

memberikan rekomendasi usulan kepada Pejabat Pembina

Kepegawaian di instansi masing-masing.

(4) Pejabat yang Berwenang mengusulkan pengangkatan,

pemindahan, dan pemberhentian Pejabat Administrasi dan

Pejabat Fungsional kepada Pejabat Pembina Kepegawaian di

instansi masing-masing.

Bagian Ketiga

Manajemen PNS

Pasal 55

(1) Manajemen PNS meliputi:

a. penyusunan dan penetapan kebutuhan;

b. pengadaan;

c. pangkat dan jabatan;

d. pengembangan karier;

e. pola karier;

f. promosi;

g. mutasi;

h. penilaian kinerja;

i. penggajian dan tunjangan;

j. penghargaan;

k. disiplin;

l. pemberhentian;

m. jaminan pensiun dan jaminan hari tua; dan

n. perlindungan.

(2) Manajemen PNS pada Instansi Pusat dilaksanakan oleh

pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(3) Manajemen PNS pada Instansi Daerah dilaksanakan oleh

pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Paragraf 1

Penyusunan dan Penetapan Kebutuhan

Pasal 56

(1) Setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah

dan jenis jabatan PNS berdasarkan Analisa  jabatan dan Analisa 

beban kerja.

(2) Penyusunan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk jangka

waktu 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun

berdasarkan prioritas kebutuhan.

(3) Berdasarkan penyusunan kebutuhan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), Menteri menetapkan kebutuhan jumlah dan jenis

jabatan PNS secara nasional.

Pasal 57

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan

penetapan kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

138 139

Paragraf 2

Pengadaan

Pasal 58

(1) Pengadaan PNS merupakan kegiatan untuk mengisi kebutuhan

Jabatan Administrasi dan/atau Jabatan Fungsional dalam suatu

Instansi Pemerintah.

(2) Pengadaan PNS di Instansi Pemerintah dilakukan berdasarkan

penetapan kebutuhan yang ditetapkan oleh Menteri

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3).

(3)   Pengadaan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

melalui tahapan perencanaan, pengumuman lowongan,

pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, masa percobaan,

dan pengangkatan menjadi PNS.

Pasal 59

Setiap Instansi Pemerintah merencanakan pelaksanaan pengadaan

PNS.

Pasal 60

Setiap Instansi Pemerintah mengumumkan secara terbuka kepada

masyarakat adanya kebutuhan jabatan untuk diisi dari calon PNS.

Pasal 61

Setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama

untuk melamar menjadi PNS sesudah  memenuhi persyaratan.

Pasal 62

(1) Penyelenggaraan seleksi pengadaan PNS oleh Instansi

Pemerintah melalui penilaian secara objektif berdasarkan

kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan lain yang dibutuhkan

oleh jabatan.

(2) Penyelenggaraan seleksi pengadaan PNS sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) terdiri dari 3 (tiga) tahap, meliputi seleksi

administrasi, seleksi kompetensi dasar, dan seleksi kompetensi

bidang.

Pasal 63

(1) Peserta yang lolos seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

62 diangkat menjadi calon PNS.

(2) Pengangkatan calon PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan dengan keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian.

(3) Calon PNS wajib menjalani masa percobaan.

(4) Masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

dilaksanakan melalui proses pendidikan dan pelatihan

terintegrasi untuk membangun integritas moral, kejujuran,

semangat dan motivasi nasionalisme dan kebangsaan, karakter

kepribadian yang unggul dan bertanggung jawab, dan

memperkuat profesionalisme serta kompetensi bidang.

Pasal 64

(1) Masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3)

bagi calon PNS dilaksanakan selama 1 (satu) tahun.

(2) Instansi Pemerintah wajib memberikan pendidikan dan

pelatihan kepada calon PNS sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) selama masa percobaan.

Pasal 65

(1) Calon PNS yang diangkat menjadi PNS harus memenuhi

persyaratan:

a. lulus pendidikan dan pelatihan; dan

b. sehat jasmani dan rohani.

(2) Calon PNS yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diangkat menjadi PNS oleh Pejabat

Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(3) Calon PNS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sebagai calon PNS.

Pasal 66

(1) Setiap calon PNS pada saat diangkat menjadi PNS wajib

mengucapkan sumpah/janji.

140 141

(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi

sebagai berikut:

“Demi Allah/Atas Nama Tuhan Yang Maha Esa, saya

bersumpah/berjanji: bahwa saya, untuk diangkat menjadi

pegawai negeri sipil, akan setia dan taat sepenuhnya kepada

Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, negara, dan pemerintah; bahwa saya, akan

mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku

dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada

saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung

jawab; bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi

kehormatan negara, pemerintah, dan martabat pegawai negeri

sipil, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara

daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;

bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut

sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan; bahwa

saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat

untuk kepentingan negara”.

Pasal 67

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan PNS dan tata cara

sumpah/janji PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 sampai

dengan Pasal 66 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3

Pangkat dan Jabatan

Pasal 68

(1) PNS diangkat dalam pangkat dan jabatan tertentu pada Instansi

Pemerintah.

(2) Pengangkatan PNS dalam jabatan tertentu sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan perbandingan

objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang

dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan

persyaratan yang dimiliki oleh pegawai.

(3) Setiap jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dikelompokkan dalam klasifikasi jabatan PNS yang

menunjukkan kesamaan karakteristik, mekanisme, dan pola

kerja.

(4) PNS dapat berpindah antar dan antara Jabatan Pimpinan Tinggi,

Jabatan Administrasi, dan Jabatan Fungsional di Instansi Pusat

dan Instansi Daerah berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan

penilaian kinerja.

(5) PNS dapat diangkat dalam jabatan tertentu pada lingkungan

instansi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

(6) PNS yang diangkat dalam jabatan tertentu sebagaimana

dimaksud pada ayat (5), pangkat atau jabatan disesuaikan

dengan pangkat dan jabatan di lingkungan instansi Tentara

Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pangkat, tata cara

pengangkatan PNS dalam jabatan, kompetensi jabatan,

klasifikasi jabatan, dan tata cara perpindahan antar Jabatan

Administrasi dan Jabatan Fungsional sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 4

Pengembangan Karier

Pasal 69

(1) Pengembangan karier PNS dilakukan berdasarkan kualifikasi,

kompetensi, penilaian kinerja, dan kebutuhan Instansi

Pemerintah.

(2) Pengembangan karier PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan dengan mempertimbangkan integritas dan moralitas.

(3) Kompetensi sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi:

a. kompetensi teknis yang diukur dari tingkat dan spesialisasi

pendidikan, pelatihan teknis fungsional, dan pengalaman

bekerja secara teknis;

b. kompetensi manajerial yang diukur dari tingkat pendidikan,

pelatihan struktural atau manajemen, dan pengalaman

kepemimpinan; dan

142 143

c. kompetensi sosial kultural yang diukur dari pengalaman

kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal

agama, suku, dan budaya sehingga memiliki wawasan

kebangsaan.

(4) Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diukur dari

kejujuran, kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-

undangan, kemampuan bekerja sama, dan pengabdian kepada

masyarakat, bangsa dan negara.

(5) Moralitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diukur dari

penerapan dan pengamalan nilai etika agama, budaya, dan

sosial kemasyarakatan.

Pasal 70

(1) Setiap Pegawai ASN memiliki hak dan kesempatan untuk

mengembangkan kompetensi.

(2) Pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) antara lain melalui pendidikan dan pelatihan, seminar,

kursus, dan penataran.

(3) Pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) harus dievaluasi oleh Pejabat yang Berwenang dan

digunakan sebagai salah satu dasar dalam pengangkatan jabatan

dan pengembangan karier.

(4) Dalam mengembangkan kompetensi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun

rencana pengembangan kompetensi tahunan yang tertuang

dalam rencana kerja anggaran tahunan instansi masing-masing.

(5) Dalam mengembangkan kompetensi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) PNS diberikan kesempatan untuk melakukan

praktik kerja di instansi lain di pusat dan daerah dalam waktu

paling lama 1 (satu) tahun dan pelaksanaannya dikoordinasikan

oleh LAN dan BKN.

(6) Selain pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), pengembangan kompetensi dapat dilakukan melalui

pertukaran antara PNS dengan pegawai swasta dalam waktu

paling lama 1 (satu) tahun dan pelaksanaannya dikoordinasikan

oleh LAN dan BKN.

Paragraf 5

Pola Karier

Pasal 71

(1) Untuk menjamin keselarasan potensi PNS dengan kebutuhan

penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan perlu

disusun pola karier PNS yang terintegrasi secara nasional.

(2) Setiap Instansi Pemerintah menyusun pola karier PNS secara

khusus sesuai dengan kebutuhan berdasarkan pola karier

nasional.

Paragraf 6

Promosi

Pasal 72

(1) Promosi PNS dilakukan berdasarkan perbandingan objektif

antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang

dibutuhkan oleh jabatan, penilaian atas prestasi kerja,

kepemimpinan, kerja sama, kreativitas, dan pertimbangan dari

tim penilai kinerja PNS pada Instansi Pemerintah, tanpa

membedakan jender, suku, agama, ras, dan golongan.

(2) Setiap PNS yang memenuhi syarat mempunyai hak yang sama

untuk dipromosikan ke jenjang jabatan yang lebih tinggi.

(3) Promosi Pejabat Administrasi dan Pejabat Fungsional PNS

dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesudah  mendapat

pertimbangan tim penilai kinerja PNS pada Instansi Pemerintah.

(4) Tim penilai kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

dibentuk oleh Pejabat yang Berwenang.

Paragraf 7

Mutasi

Pasal 73

(1) Setiap PNS dapat dimutasi tugas dan/atau lokasi dalam 1 (satu)

Instansi Pusat, antar-Instansi Pusat, 1 (satu) Instansi Daerah,

antar-Instansi Daerah, antar-Instansi Pusat dan Instansi Daerah,

dan ke perwakilan Negara Kesatuan Republik Indonesia di luar

negeri.

144 145

(2) Mutasi PNS dalam satu Instansi Pusat atau Instansi Daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat

Pembina Kepegawaian.

(3) Mutasi PNS antarkabupaten/kota dalam satu provinsi

ditetapkan oleh gubernur sesudah  memperoleh pertimbangan

kepala BKN.

(4) Mutasi PNS antarkabupaten/kota antarprovinsi, dan antar

provinsi ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan

urusan pemerintahan dalam negeri sesudah  memperoleh

pertimbangan kepala BKN.

(5) Mutasi PNS provinsi/kabupaten/kota ke Instansi Pusat atau

sebaliknya, ditetapkan oleh kepala BKN.

(6) Mutasi PNS antar-Instansi Pusat ditetapkan oleh kepala BKN.

(7) Mutasi PNS dilakukan dengan memperhatikan prinsip larangan

konflik kepentingan.

(8) Pembiayaan sebagai dampak dilakukannya mutasi PNS

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada

anggaran pendapatan dan belanja negara untuk Instansi Pusat

dan anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk Instansi

Daerah.

Pasal 74

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan karier,

pengembangan kompetensi, pola karier, promosi, dan mutasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 73

diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 8

Penilaian Kinerja

Pasal 75

Penilaian kinerja PNS bertujuan untuk menjamin objektivitas

pembinaan PNS yang didasarkan sistem prestasi dan sistem karier.

Pasal 76

(1) Penilaian kinerja PNS dilakukan berdasarkan perencanaan

kinerja pada tingkat individu dan tingkat unit atau organisasi,

dengan memperhatikan target, capaian, hasil, dan manfaat yang

dicapai, serta perilaku PNS.

(2) Penilaian kinerja PNS dilakukan secara objektif, terukur,

akuntabel, partisipatif, dan transparan.

Pasal 77

(1) Penilaian kinerja PNS berada di bawah kewenangan Pejabat

yang Berwenang pada Instansi Pemerintah masing-masing.

(2) Penilaian kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

didelegasikan secara berjenjang kepada atasan langsung dari

PNS.

(3) Penilaian kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dapat mempertimbangkan pendapat rekan kerja setingkat dan

bawahannya.

(4) Hasil penilaian kinerja PNS disampaikan kepada tim penilai

kinerja PNS.

(5) Hasil penilaian kinerja PNS digunakan untuk menjamin

objektivitas dalam pengembangan PNS, dan dijadikan sebagai

persyaratan dalam pengangkatan jabatan dan kenaikan

pangkat, pemberian tunjangan dan sanksi, mutasi, dan promosi,

serta untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan.

(6) PNS yang penilaian kinerjanya tidak mencapai target kinerja

dikenakan sanksi administrasi sampai dengan pemberhentian

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 78

Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian kinerja sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 76 dan Pasal 77 diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

Paragraf 9

Penggajian dan Tunjangan

Pasal 79

(1) Pemerintah wajib membayar gaji yang adil dan layak kepada

PNS serta menjamin kesejahteraan PNS.

(2) Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan sesuai

dengan beban kerja, tanggungjawab, dan resiko pekerjaan.

146 147

(3) Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pelaksanaannya

dilakukan secara bertahap.

(4) Gaji PNS yang bekerja pada pemerintah pusat dibebankan pada

anggaran pendapatan dan belanja negara.

(5) Gaji PNS yang bekerja pada pemerintahan daerah dibebankan

pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pasal 80

(1) Selain gaji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, PNS juga

menerima tunjangan dan fasilitas.

(2) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

tunjangan kinerja dan tunjangan kemahalan.

(3) Tunjangan kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dibayarkan sesuai pencapaian kinerja.

(4) Tunjangan kemahalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dibayarkan sesuai dengan tingkat kemahalan berdasarkan

indeks harga yang berlaku di daerah masing-masing.

(5) Tunjangan PNS yang bekerja pada pemerintah pusat dibebankan

pada anggaran pendapatan dan belanja negara.

(6) Tunjangan PNS yang bekerja pada pemerintahan daerah

dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pasal 81

Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji, tunjangan kinerja, tunjangan

kemahalan, dan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dan

Pasal 80 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 10

Penghargaan

Pasal 82

PNS yang telah menunjukkan kesetiaan, pengabdian, kecakapan,

kejujuran, kedisiplinan, dan prestasi kerja dalam melaksanakan

tugasnya dapat diberikan penghargaan.

Pasal 83

Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dapat berupa

pemberian:

a. tanda kehormatan;

b. kenaikan pangkat istimewa;

c. kesempatan prioritas untuk pengembangan kompetensi; dan/

atau

d. kesempatan menghadiri acara resmi dan/atau acara

kenegaraan.

Pasal 84

PNS yang dijatuhi sanksi administratif tingkat berat berupa

pemberhentian tidak dengan hormat dicabut haknya untuk memakai

tanda kehormatan berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 85

Ketentuan lebih lanjut mengenai penghargaan terhadap PNS

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, Pasal 83, dan Pasal 84

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Paragraf 11

Disiplin

Pasal 86

(1) Untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dalam kelancaran

pelaksanaan tugas, PNS wajib mematuhi disiplin PNS.

(2) Instansi Pemerintah wajib melaksanakan penegakan disiplin

terhadap PNS serta melaksanakan berbagai usaha  peningkatan

disiplin.

(3) PNS yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman

disiplin.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai disiplin sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

148 149

Paragraf 12

Pemberhentian

Pasal 87

(1) PNS diberhentikan dengan hormat karena:

a. meninggal dunia;

b. atas permintaan sendiri;

c. mencapai batas usia pensiun;

d. perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang

mengakibatkan pensiun dini; atau

e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat

menjalankan tugas dan kewajiban.

(2) PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak

diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena

melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara

paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak

berencana.

(3) PNS diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri

karena melakukan pelanggaran disiplin PNS tingkat berat.

(4) PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena:

a. melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

b. dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap

karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau

tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan

jabatan dan/atau pidana umum;

c. menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau

d. dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang

telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan

tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2

(dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.

Pasal 88

(1) PNS diberhentikan sementara, apabila:

a. diangkat menjadi pejabat negara;

b. diangkat menjadi komisioner atau anggota lembaga

nonstruktural; atau

c. ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana.

(2) Pengaktifan kembali PNS yang diberhentikan sementara

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat

Pembina Kepegawaian.

Pasal 89

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian,

pemberhentian sementara, dan pengaktifan kembali PNS

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 88 diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Pasal 90

Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1)

huruf c yaitu:

a. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat Administrasi;

b. 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi;

c. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi

Pejabat Fungsional.

Paragraf 13

Jaminan Pensiun dan Jaminan Hari Tua

Pasal 91

(1) PNS yang berhenti bekerja berhak atas jaminan pensiun dan

jaminan hari tua PNS sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(2) PNS diberikan jaminan pensiun apabila:

a. meninggal dunia; atas permintaan sendiri dengan usia dan

masa kerja tertentu;

b. mencapai batas usia pensiun;

150 151

c. perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang

mengakibatkan pensiun dini; atau

d. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat

menjalankan tugas dan kewajiban.

(3) Jaminan pensiun PNS dan jaminan hari tua PNS diberikan

sebagai perlindungan kesinambungan penghasilan hari tua,

sebagai hak dan sebagai penghargaan atas pengabdian PNS.

(4) Jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) mencakup jaminan pensiun dan

jaminan hari tua yang diberikan dalam program jaminan sosial

nasional.

(5) Sumber pembiayaan jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS

berasal dari pemerintah selaku pemberi kerja dan iuran PNS

yang bersangkutan.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan program jaminan

pensiun dan jaminan hari tua PNS diatur dalam Peraturan

Pemerintah.

Paragraf 14

Perlindungan

Pasal 92

(1) Pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa:

a. jaminan kesehatan;

b. jaminan kecelakaan kerja;

c. jaminan kematian; dan

d. bantuan hukum.

(2) Perlindungan berupa jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan

kerja, dan jaminan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a, huruf b, dan huruf c mencakup jaminan sosial yang

diberikan dalam program jaminan sosial nasional.

(3) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,

berupa pemberian bantuan hukum dalam perkara yang

dihadapi di pengadilan terkait pelaksanaan tugasnya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat

Manajemen PPPK

Paragraf 1

Umum

Pasal 93 Manajemen PPPK meliputi:

a. penetapan kebutuhan;

b. pengadaan;

c. penilaian kinerja;

d. penggajian dan tunjangan;

e. pengembangan kompetensi;

f. pemberian penghargaan;

g. disiplin;

h. pemutusan hubungan perjanjian kerja; dan

i. perlindungan.

Paragraf 2

Penetapan Kebutuhan

Pasal 94

(1) Jenis jabatan yang dapat diisi oleh PPPK diatur dengan

Peraturan Presiden.

(2) Setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah

dan jenis jabatan PPPK berdasarkan Analisa  jabatan dan Analisa 

beban kerja.

(3) Penyusunan kebutuhan jumlah PPPK sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun

yang diperinci per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas

kebutuhan.

(4) Kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PPPK sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

152 153

Paragraf 3

Pengadaan

Pasal 95

Setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama

untuk melamar menjadi calon PPPK sesudah  memenuhi persyaratan.

Pasal 96

(1)  Pengadaan calon PPPK merupakan kegiatan untuk memenuhi

kebutuhan pada Instansi Pemerintah.

(2)  Pengadaan calon PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan melalui tahapan perencanaan, pengumuman

lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, dan

pengangkatan menjadi PPPK.

Pasal 97

Penerimaan calon PPPK dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah

melalui penilaian secara objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi,

kebutuhan Instansi Pemerintah, dan persyaratan lain yang

dibutuhkan dalam jabatan.

Pasal 98

(1) Pengangkatan calon PPPK ditetapkan dengan keputusan Pejabat

Pembina Kepegawaian.

(2)  Masa perjanjian kerja paling singkat 1 (satu) tahun dan dapat

diperpanjang sesuai kebutuhan dan berdasarkan penilaian

kinerja.

Pasal 99

(1) PPPK tidak dapat diangkat secara otomatis menjadi calon PNS.

(2) Untuk diangkat menjadi calon PNS, PPPK harus mengikuti

semua proses seleksi yang dilaksanakan bagi calon PNS dan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4

Penilaian Kinerja

Pasal 100

(1) Penilaian kinerja PPPK bertujuan menjamin objektivitas prestasi

kerja yang sudah disepakati berdasarkan perjanjian kerja antara

Pejabat Pembina Kepegawaian dengan pegawai yang

bersangkutan.

(2) Penilaian kinerja PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan berdasarkan perjanjian kerja di tingkat individu dan

tingkat unit atau organisasi dengan memperhatikan target,

sasaran, hasil, manfaat yang dicapai, dan perilaku pegawai.

(3) Penilaian kinerja PPPK dilakukan secara objektif, terukur,

akuntabel, partisipatif, dan transparan.

(4) Penilaian kinerja PPPK berada di bawah kewenangan Pejabat

yang Berwenang pada Instansi Pemerintah masing-masing.

(5) Penilaian kinerja PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

didelegasikan secara berjenjang kepada atasan langsung dari

PPPK.

(6) Penilaian kinerja PPPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat mempertimbangkan pendapat rekan kerja setingkat dan

bawahannya.

(7) Hasil penilaian kinerja PPPK disampaikan kepada tim penilai

kinerja PPPK.

(8) Hasil penilaian kinerja PPPK dimanfaatkan untuk menjamin

objektivitas perpanjangan perjanjian kerja, pemberian

tunjangan, dan pengembangan kompetensi.

(9) PPPK yang dinilai oleh atasan dan tim penilai kinerja PPPK tidak

mencapai target kinerja yang telah disepakati dalam perjanjian

kerja diberhentikan dari PPPK.

154 155

Paragraf 5

Penggajian dan Tunjangan

Pasal 101

(1) Pemerintah wajib membayar gaji yang adil dan layak kepada

PPPK.

(2) Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan

beban kerja, tanggung jawab jabatan, dan resiko pekerjaan.

(3) Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada

anggaran pendapatan dan belanja negara untuk PPPK di

Instansi Pusat dan anggaran pendapatan dan belanja daerah

untuk PPPK di Instansi Daerah.

(4) Selain gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPPK dapat

menerima tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Paragraf 6

Pengembangan Kompetensi

Pasal 102

(1) PPPK diberikan kesempatan untuk pengembangan kompetensi.

(2) Kesempatan untuk pengembangan kompetensi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) direncanakan setiap tahun oleh Instansi

Pemerintah.

(3) Pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) harus dievaluasi oleh Pejabat yang Berwenang dan

dipergunakan sebagai salah satu dasar untuk perjanjian kerja

selanjutnya.

Paragraf 7

Pemberian Penghargaan

Pasal 103

(1) PPPK yang telah menunjukkan kesetiaan, pengabdian,

kecakapan, kejujuran, kedisiplinan, dan prestasi kerja dalam

melaksanakan tugasnya dapat diberikan penghargaan.

(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

berupa pemberian:

a. tanda kehormatan;

b. kesempatan prioritas untuk pengembangan kompetensi;

dan/atau

c. kesempatan menghadiri acara resmi dan/atau acara

kenegaraan.

(3) PPPK yang dijatuhi sanksi administratif tingkat berat berupa

pemutusan hubungan perjanjian kerja tidak dengan hormat

dicabut haknya untuk memakai tanda kehormatan berdasarkan

Undang-Undang ini.

Paragraf 8

Disiplin

Pasal 104

(1) Untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dalam kelancaran

pelaksanaan tugas, PPPK wajib mematuhi disiplin PPPK.

(2) Instansi Pemerintah wajib melaksanakan penegakan disiplin

terhadap PPPK serta melaksanakan berbagai usaha  peningkatan

disiplin.

(3) PPPK yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman

disiplin.

Paragraf 9

Pemutusan Hubungan Perjanjian Kerja

Pasal 105

(1) Pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK dilakukan dengan

hormat karena:

a. jangka waktu perjanjian kerja berakhir;

b. meninggal dunia;

c. atas permintaan sendiri;

d. perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang

mengakibatkan pengurangan PPPK; atau

e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat

menjalankan tugas dan kewajiban sesuai perjanjian kerja

yang disepakati.

156 157

(2) Pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK dilakukan dengan

hormat tidak atas permintaan sendiri karena:

a. dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena

melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling

singkat 2 (dua) tahun dan tindak pidana ini  dilakukan

dengan tidak berencana;

b. melakukan pelanggaran disiplin PPPK tingkat berat; atau

c. tidak memenuhi target kinerja yang telah disepakati sesuai

dengan perjanjian kerja.

(3) Pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK dilakukan tidak

dengan hormat karena:

a. melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

b. dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap

karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau

tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan

jabatan dan/atau pidana umum;

c. menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau

d. dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang

telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan

tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling

singkat 2 (dua) tahun atau lebih dan tindak pidana ini 

dilakukan dengan berencana.

Paragraf 10

Perlindungan

Pasal 106

(1) Pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa:

a. jaminan hari tua;

b. jaminan kesehatan;

c. jaminan kecelakaan kerja;

d. jaminan kematian; dan

e. bantuan hukum.

(2) Perlindungan berupa jaminan hari tua, jaminan kesehatan,

jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d

dilaksanakan sesuai dengan sistem jaminan sosial nasional.

(3) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e,

berupa pemberian bantuan hukum dalam perkara yang

dihadapi di pengadilan terkait pelaksanaan tugasnya.

Pasal 107

Ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen PPPK sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 95 sampai dengan Pasal 106 diatur dalam

Peraturan Pemerintah.

BAB IX

PENGISIAN JABATAN PIMPINAN TINGGI

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 108

(1) Pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya pada

kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga

nonstruktural, dan Instansi Daerah dilakukan secara terbuka

dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan syarat

kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan,

rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang

dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(2) Pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada tingkat

nasional.

(3) Pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan secara

terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan

syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan

pelatihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan

158 159

jabatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(4) Pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan secara

terbuka dan kompetitif pada tingkat nasional atau

antarkabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.

Pasal 109

(1) Jabatan pimpinan tinggi utama dan madya tertentu dapat

berasal dari kalangan non-PNS dengan persetujuan Presiden

yang pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif

serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden.

(2) Jabatan Pimpinan Tinggi dapat diisi oleh prajurit Tentara

Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik

Indonesia sesudah  mengundurkan diri dari dinas aktif apabila

dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan

melalui proses secara terbuka dan kompetitif.

(3) Jabatan Pimpinan Tinggi di lingkungan Instansi Pemerintah

tertentu dapat diisi oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia dan

anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan

kompetensi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pasal 110

(1) Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 109 dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian

dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi Instansi

Pemerintah.

(2) Dalam membentuk panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) Pejabat Pembina Kepegawaian berkoordinasi dengan

KASN.

(3) Panitia seleksi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) terdiri dari unsur internal maupun eksternal Instansi

Pemerintah yang bersangkutan.

(4) Panitia seleksi dipilih dan diangkat oleh Pejabat Pembina

Kepegawaian berdasarkan pengetahuan, pengalaman,

kompetensi, rekam jejak, integritas moral, dan netralitas melalui

proses yang terbuka.

(5) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan

seleksi dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi,

kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan,

integritas, dan penilaian uji kompetensi melalui pusat penilaian

(assesment center) atau metode penilaian lainnya.

(6) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

menjalankan tugasnya untuk semua proses seleksi pengisian

jabatan terbuka untuk masa tugas yang ditetapkan oleh Pejabat

Pembina Kepegawaian.

Pasal 111

(1) Ketentuan mengenai pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, Pasal 109, dan Pasal

110 dapat dikecualikan pada Instansi Pemerintah yang telah

menerapkan Sistem Merit dalam pembinaan Pegawai ASN

dengan persetujuan KASN.

(2) Instansi Pemerintah yang telah menerapkan Sistem Merit dalam

pembinaan Pegawai ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

wajib melaporkan secara berkala kepada KASN untuk

mendapatkan persetujuan baru.

Bagian Kedua

Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi di Instansi Pusat

Pasal 112

(1) Untuk pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan/atau

madya, panitia seleksi Instansi Pemerintah memilih 3 (tiga)

nama calon untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan.

(2) Tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi utama dan/atau

madya yang terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian.

(3) Pejabat Pembina Kepegawaian mengusulkan 3 (tiga) nama calon

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Presiden.

(4) Presiden memilih 1 (satu) nama dari 3 (tiga) nama calon yang

disampaikan untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi

utama dan/atau madya.

160 161

Pasal 113

(1) Pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan oleh

Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu

membentuk panitia seleksi.

(2) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memilih 3

(tiga) nama calon pejabat pimpinan tinggi pratama untuk setiap

1 (satu) lowongan jabatan.

(3) Tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi pratama yang terpilih

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada

Pejabat Pembina Kepegawaian melalui Pejabat yang Berwenang.

(4) Pejabat Pembina Kepegawaian memilih 1 (satu) dari 3 (tiga)

nama calon yang diusulkan sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) dengan memperhatikan pertimbangan Pejabat yang

Berwenang untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi

pratama.

Bagian Ketiga

Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi di Instansi Daerah

Pasal 114

(1) Pengisian jabatan pimpinan tinggi madya di tingkat provinsi

dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih

dahulu membentuk panitia seleksi.

(2) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memilih 3

(tiga) nama calon pejabat pimpinan tinggi madya untuk setiap

1 (satu) lowongan jabatan.

(3) Tiga calon nama pejabat pimpinan tinggi madya yang terpilih

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada

Pejabat Pembina Kepegawaian.

(4) Pejabat Pembina Kepegawaian mengusulkan 3 (tiga) nama calon

pejabat pimpinan tinggi madya sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) kepada Presiden melalui menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.

(5) Presiden memilih 1 (satu) nama dari 3 (tiga) nama calon yang

disampaikan untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi

madya.

Pasal 115

(1) Pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan oleh

Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu

membentuk panitia seleksi.

(2) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memilih 3

(tiga) nama calon pejabat pimpinan tinggi pratama untuk setiap

1 (satu) lowongan jabatan.

(3) Tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi pratama yang terpilih

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada

Pejabat Pembina Kepegawaian melalui Pejabat yang Berwenang.

(4) Pejabat Pembina Kepegawaian memilih 1 (satu) dari 3 (tiga)

nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk

ditetapkan dan dilantik sebagai pejabat pimpinan tinggi

pratama.

(5) Khusus untuk pejabat pimpinan tinggi pratama yang memimpin

sekretariat daerah kabupaten/kota sebelum ditetapkan oleh

bupati/walikota dikoordinasikan dengan gubernur.

Bagian Keempat

Penggantian Pejabat Pimpinan Tinggi

Pasal 116

(1) Pejabat Pembina Kepegawaian dilarang mengganti Pejabat

Pimpinan Tinggi selama 2 (dua) tahun terhitung sejak pelantikan

Pejabat Pimpinan Tinggi, kecuali Pejabat Pimpinan Tinggi

ini  melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan

dan tidak lagi memenuhi syarat jabatan yang ditentukan.

(2) Penggantian pejabat pimpinan tinggi utama dan madya sebelum

2 (dua) tahun dapat dilakukan sesudah  mendapat persetujuan

Presiden.

Pasal 117

(1) Jabatan Pimpinan Tinggi hanya dapat diduduki paling lama 5

(lima) tahun.

(2) Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat diperpanjang berdasarkan pencapaian kinerja, kesesuaian

kompetensi, dan berdasarkan kebutuhan instansi sesudah 

162 163

mendapat persetujuan Pejabat Pembina Kepegawaian dan

berkoordinasi dengan KASN.

Pasal 118

(1)   Pejabat Pimpinan Tinggi harus memenuhi target kinerja tertentu

sesuai perjanjian kinerja yang sudah disepakati dengan pejabat

atasannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(2)  Pejabat Pimpinan Tinggi yang tidak memenuhi kinerja yang

diperjanjikan dalam waktu 1 (satu) tahun pada suatu jabatan,

diberikan kesempatan selama 6 (enam) bulan untuk

memperbaiki kinerjanya.

(3) Dalam hal Pejabat Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) tidak menunjukan perbaikan kinerja maka pejabat

yang bersangkutan harus mengikuti seleksi ulang uji kompetensi

kembali.

(4) Berdasarkan hasil uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) Pejabat Pimpinan Tinggi dimaksud dapat dipindahkan

pada jabatan lain sesuai dengan kompetensi yang dimiliki atau

ditempatkan pada jabatan yang lebih rendah sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Bagian Kelima

Pejabat Pimpinan Tinggi yang Mencalonkan sebagai Gubernur dan

Wakil Gubernur, Bupati/Walikota, dan Wakil Bupati/

Wakil Walikota

Pasal 119

Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama

yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur,

bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib

menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak

mendaftar sebagai calon.

Bagian Keenam

Pengawasan dalam Proses Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi

Pasal 120

(1)  Dalam pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi, Pejabat Pembina

Kepegawaian memberikan laporan proses pelaksanaannya

kepada KASN.

(2) KASN melakukan pengawasan pengisian Jabatan Pimpinan

Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) baik berdasarkan

laporan yang disampaikan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian

maupun atas inisiatif sendiri.

(3) Dalam melakukan pengawasan proses pengisian jabatan

pimpinan tinggi utama dan jabatan pimpinan tinggi madya di

Instansi Pusat dan jabatan pimpinan tinggi madya di Instansi

Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 dan Pasal 114,

KASN berwenang memberikan rekomendasi kepada Pejabat

Pembina Kepegawaian dalam hal:

a. pembentukan panitia seleksi;

b. pengumuman jabatan yang lowong;

c. pelaksanaan seleksi; dan

d. pengusulan nama calon.

(4) Dalam melakukan pengawasan pengisian jabatan pimpinan

tinggi pratama di Instansi Pusat dan Instansi Daerah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 dan Pasal 115, KASN

berwenang memberikan rekomendasi kepada Pejabat Pembina

Kepegawaian dalam hal:

a. pembentukan panitia seleksi;

b. pengumuman jabatan yang lowong;

c. pelaksanaan seleksi;

d. pengusulan nama calon;

e. penetapan calon; dan

f. pelantikan.

(5) Rekomendasi KASN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan

ayat (4) bersifat mengikat.

164 165

(6) KASN menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada

Presiden.

BAB X

PEGAWAI ASN YANG MENJADI PEJABAT NEGARA

Pasal 121

Pegawai ASN dapat menjadi pejabat negara

Pasal 122

Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu:

a. Presiden dan Wakil Presiden;

b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan

Rakyat;

c. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat;

d. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah;

e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada

Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada

semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;

f. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;

g. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;

h. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;

i. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;

j. Menteri dan jabatan setingkat menteri;

k. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang

berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa

Penuh;

l. Gubernur dan wakil gubernur;

m. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan

n. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.

Pasal 123

(1) Pegawai ASN dari PNS yang diangkat menjadi ketua, wakil

ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; ketua, wakil ketua,

dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; ketua, wakil ketua,

dan anggota Komisi Yudisial; ketua dan wakil ketua Komisi

Pemberantasan Korupsi; Menteri dan jabatan setingkat menteri;

Kepala perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang

berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa

Penuh diberhentikan sementara dari jabatannya dan tidak

kehilangan status sebagai PNS.

(2) Pegawai ASN dari PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat

negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaktifkan kembali

sebagai PNS.

(3) Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan

menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan

anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan

anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil

gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota

wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS

sejak mendaftar sebagai calon.

Pasal 124

(1) PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) dapat

menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi,

atau Jabatan Fungsional, sepanjang tersedia lowongan jabatan.

(2)  Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun

PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat.

Pasal 125

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan, pemberhentian,

pengaktifan kembali, dan hak kepegawaian PNS yang diangkat

menjadi pejabat negara dan pimpinan atau anggota lembaga

nonstruktural diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XI

ORGANISASI

Pasal 126

(1) Pegawai ASN berhimpun dalam wadah korps profesi Pegawai

ASN Republik Indonesia.

166 167

(2) Korps profesi Pegawai ASN Republik Indonesia memiliki tujuan:

a. menjaga kode etik profesi dan standar pelayanan profesi

ASN; dan

b. mewujudkan jiwa korps ASN sebagai pemersatu bangsa.

(3) Dalam mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

korps profesi ASN Republik Indonesia memiliki fungsi:

a. pembinaan dan pengembangan profesi ASN;

b. memberikan perlindungan hukum dan advokasi kepada

anggota korps profesi ASN Republik Indonesia terhadap

dugaan pelanggaran Sistem Merit dan mengalami masalah

hukum dalam melaksanakan tugas;

c. memberikan rekomendasi kepada majelis kode etik Instansi

Pemerintah terhadap pelanggaran kode etik profesi dan

kode perilaku profesi; dan

d. menyelenggarakan usaha untuk peningkatan kesejahteraan

anggota korps profesi ASN Republik Indonesia sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai korps profesi Pegawai ASN

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XII

SISTEM INFORMASI ASN

Pasal 127

(1) Untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akurasi pengambilan

keputusan dalam Manajemen ASN diperlukan Sistem Informasi

ASN.

(2) Sistem Informasi ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diselenggarakan secara nasional dan terintegrasi antar-Instansi

Pemerintah.

(3) Untuk menjamin keterpaduan dan akurasi data dalam Sistem

Informasi ASN, setiap Instansi Pemerintah sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) wajib memutakhirkan data secara

berkala dan menyampaikannya kepada BKN.

(4) Sistem Informasi ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2) berbasiskan teknologi informasi yang mudah

diaplikasikan, mudah diakses, dan memiliki sistem keamanan

yang dipercaya.

Pasal 128

(1) Sistem Informasi ASN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127

ayat (1) memuat seluruh informasi dan data Pegawai ASN.

(2) Data Pegawai ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling

kurang memuat:

a. data riwayat hidup;

b. riwayat pendidikan formal dan non formal;

c. riwayat jabatan dan kepangkatan;

d. riwayat penghargaan, tanda jasa, atau tanda kehormatan;

e. riwayat pengalaman berorganisasi;

f. riwayat gaji;

g. riwayat pendidikan dan latihan;

h. daftar penilaian prestasi kerja;

i. surat keputusan; dan

j. kompetensi.

BAB XIII

PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 129

(1) Sengketa Pegawai ASN diselesaikan melalui usaha  administratif.

(2) usaha  administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri

dari keberatan dan banding administratif.

(3) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan secara

tertulis kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum

dengan memuat alasan keberatan dan tembusannya

disampaikan kepada pejabat yang berwenang menghukum.

(4) Banding administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

diajukan kepada badan pertimbangan ASN.

168 169

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha  administratif dan badan

pertimbangan ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan

ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 130

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/

Duda Pegawai (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1969

Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor

2906) dan peraturan pelaksanaannya tetap berlaku sampai

ditetapkannya peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini yang

mengatur mengenai program pensiun PNS.

Pasal 131

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, terhadap jabatan

PNS dilakukan penyetaraan:

a. jabatan eselon Ia kepala lembaga pemerintah nonkementerian

setara dengan jabatan pimpinan tinggi utama;

b. jabatan eselon Ia dan eselon Ib setara dengan jabatan pimpinan

tinggi madya;

c. jabatan eselon II setara dengan jabatan pimpinan tinggi

pratama;

d. jabatan eselon III setara dengan jabatan administrator;

e. jabatan eselon IV setara dengan jabatan pengawas; dan

f. jabatan eselon V dan fungsional umum setara dengan jabatan

pelaksana, sampai dengan berlakunya peraturan pelaksanaan

mengenai Jabatan ASN dalam Undang Undang ini.

BAB XV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 132

Kebijakan dan Manajemen ASN yang diatur dalam Undang-Undang

ini dilaksanakan dengan memperhatikan kekhususan daerah tertentu

dan warga negara dengan kebutuhan khusus.

Pasal 133

Sistem Informasi ASN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 dan

Pasal 128 paling lama tahun 2015 dilaksanakan secara nasional.

Pasal 134

Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan

paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini

diundangkan.

Pasal 135

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, PNS Pusat dan PNS

Daerah disebut sebagai Pegawai ASN.

Pasal 136

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran

Negara Republik lndonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan

Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3041) sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974

tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik

lndonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara

Republik lndonesia Nomor 3890), dicabut dan dinyatakan tidak

berlaku.

Pasal 137

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai

Kepegawaian Daerah yang diatur dalam Bab V Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana

telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4844) dan peraturan pelaksanaannya, dicabut dan dinyatakan tidak

berlaku.

170 171

Pasal 138

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan peraturan

perundang-undangan mengenai kode etik dan penyelesaian

pelanggaran terhadap kode etik bagi jabatan fungsional tertentu

dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan

Undang-Undang ini.

Pasal 139

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan

perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974

Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor

3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43

Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara

Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran

Negara Republik lndonesia Nomor 3890) dinyatakan masih tetap

berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti

berdasarkan Undang Undang ini.

Pasal 140

KASN dibentuk paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang

ini diundangkan.

Pasal 141

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 15 Januari 2014

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 15 Januari 2014

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014

NOMOR 6

Disiplin Pegawai Negeri Sipil diatur oleh Peraturan Pemerintah

RI Nomor 53 tahun  2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Peraturan ini  ditetapkan dengan mem–pertimbangkan hal-hal

sebagai berikut:

a. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang

Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil sudah tidak sesuai

dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan;

b. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 30

Undang- Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-

Pokok Kepegawaian, perlu mengganti Peraturan Pemerintah

Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai

Negeri Sipil;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud

dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan

Pemerintah tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil;

Mengingat:

1.   Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

B. Disiplin Pegawai Negeri Sipil


2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok

Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG DISIPLIN

PEGAWAI NEGERI SIPIL.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah kesanggupan Pegawai

Negeri Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari

larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-

undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak

ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin.

2. Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah

PNS Pusat dan PNS Daerah.

3. Pelanggaran disiplin adalah setiap ucapan, tulisan, atau

perbuatan PNS yang tidak menaati kewajiban dan/atau

melanggar larangan ketentuan disiplin PNS, baik yang

dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja.

4. Hukuman disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan kepada

PNS karena melanggar peraturan disiplin PNS.

5. Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat, Pejabat Pembina

Kepegawaian Daerah Provinsi, dan Pejabat Pembina

Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota adalah sebagaimana

dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang

mengatur wewenang pengangkatan, pemindahan, dan

pemberhentian PNS.

6. usaha  administratif adalah prosedur yang dapat ditempuh oleh

PNS yang tidak puas terhadap hukuman disiplin yang

dijatuhkan kepadanya berupa keberatan atau banding

administratif.

7. Keberatan adalah usaha  administratif yang dapat ditempuh

oleh PNS yang tidak puas terhadap hukuman disiplin yang

dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang menghukum kepada

atasan pejabat yang berwenang menghukum.

8. Banding administratif adalah usaha  administratif yang dapat

ditempuh oleh PNS yang tidak puas terhadap hukuman disiplin

berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan

sendiri atau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS

yang dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang menghukum,

kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian.

Pasal 2

Ketentuan Peraturan Pemerintah ini berlaku juga bagi calon PNS.

BAB II KEWAJIBAN DAN LARANGAN

Bagian Kesatu Kewajiban

Pasal 3

Setiap PNS wajib:

1. mengucapkan sumpah/janji PNS;

2. mengucapkan sumpah/janji jabatan;

3. setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan

Republik Indonesia, dan Pemerintah;

4. menaati segala ketentuan peraturan perundang-undangan;

5. melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada PNS

dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;

6. menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan

martabat PNS;

7. mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan

sendiri, seseorang, dan/atau golongan;

174 175

8. memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya atau menurut

perintah harus dirahasiakan;

9. bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk

kepentingan negara;

10. melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila

mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan

negara atau Pemerintah terutama di bidang keamanan,

keuangan, dan materiil;

11. masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja;

12. mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan;

13. menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara

dengan sebaik-baiknya;

14. memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat;

15. membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas;

16. memberikan kesempatan kepada bawahan untuk

mengembangkan karier; dan

17. menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang

berwenang.

Bagian Kedua

Larangan

Pasal 4

Setiap PNS dilarang:

1. menyalahgunakan wewenang;

2. menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi

dan/atau orang lain\ dengan menggunakan kewenangan orang

lain;

3. tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk

negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional;

4. bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga

swadaya masyarakat asing;

5. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau

meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak,

dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah;

6. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat,

bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan

kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan,

atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung

merugikan negara;

7. memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada

siapapun baik secara langsung atau tidak langsung dan dengan

dalih apapun untuk diangkat dalam jabatan;

8. menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun

juga yang  berhubungan dengan jabatan dan/atau

pekerjaannya;

9. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;

10. melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan

yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak

yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang

dilayani;

11. menghalangi berjalannya tugas kedinasan;

12. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden,

Dewan   Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara:

a. ikut serta sebagai pelaksana kampanye;

b. menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut

partai atau atribut PNS;

c. sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain;

dan/atau

d. sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas

negara;

13.  memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden

dengan cara:

a. membuat keputusan dan/atau tindakan yang meng–

untungkan atau merugikan salah satu pasangan calon

selama masa kampanye; dan/atau

b. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan

terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu

176 177

sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi

pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian

barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya,

anggota keluarga, dan masyarakat;

14. memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan

Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala

Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto

kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda

Penduduk sesuai peraturan pe