Ilmu negara 3

Tampilkan postingan dengan label Ilmu negara 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilmu negara 3. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 Desember 2025

Ilmu negara 3


 


9

terpaksa memanggil kembali States-general yang tidak pernah

bersidang lagi pada tahun 1614.2 Pemisahan kekuasaan harus

dilaksanakan karena seperti dikatakan oleh Montesqiue, “when

the legislative and executive power are united in the same

person,or in the same body of magistrates,there can be

liberty.”3

Pemikir pertama yang mengemukakan teori pemisahan

kekuasaan dalam negara adalah John Locke dalam bukunya

Two Treaties on Civil Government (1690). Pada bab XII buku

tersebut yang berjudul the Legislative, Executive, and

Federative Power of the Commenwealth, John Locke

memisahkan kekuasaan dalam tiap-tiap negara dalam

kekuasaan legislatif, eksekutif, dan federatif. Locke sendiri

kemudian menandaskan bahwa  legislatif merupakan lembaga

yang dipilih dan disetujui oleh warga (chosen and appointed),

berwenang membuat undang-undang, dan merupakan

kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara. Kekuasaan legislatif

tidak perlu dilsakanakan dalam sebuah lembaga yang

permenen, selain karena bukan merupakan pekerjaan rutin,

juga dikhawatirkan adanya penyimpangan kekuasaan jika

dijabat oleh seseorang dalam waktu yang lama.4

Diilhami oleh pendapat John Locke tersebut, Montesqieu

dalam buku The Spiriti of Law (1748) pada bab XI menulis

tentang Konstitusi Inggris. Montesqieu memisahkan 3 (tiga)

jenis kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan


eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif

memiliki kekuasaan membuat, mengubah, dan menghapus

undang-undang; kekuasaan eksekutif memiliki kekuasaan yang

menyatakan perang atau damai, mengirimkan atau menerima

duta, menjamin keamanan umum serta menghalau musuh yang

masuk; sedangkan kekuasaan yudisial memiliki kekuasaan

menghukum para penjahat atau memutuskan perselisihan yang

timbul diantara orang perseorangan.5 Berbeda dengan John

Locke, yang memasukkan kekuasaan yudisial dalam kekuasaan

eksekutif, Montesqieu mamandang kekuasaan yudisial sebagai

kekuasaan yang berdiri sendiri.

Persamaan antara teori yang dikemukakan oleh John Locke

dan Montesqieu adalah bahwa kekuasaan dalam negara tidak

diperbolehkan hanya dimiliki oleh satu orang atau satu

lembaga. Persamaan lainnya tentang adanya kekuasaan

legislatif dan eksekutif dalam negara, yang masing-masing

secara umum memiliki kekuasaan membuat undang-undang

dan melaksanakan undang-undang. Sementara itu, perbedaan

pemikiran John Locke dengan Montesqiue yang paling penting

mencakup 3 (tiga) hal.

Pertama, John Locke membagi kekuasaan dalam negara

atas legislatif, eksekutif, dan federatif dan kekuasaan legislatif

adalah kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara; sedangkan

Montesqieu membaginya dalam legislatif, eksekutif, dan

kekuasaan yudisial, di mana kekuasaan federatif menurut

Montesqiue dikategorikan sebagai bagian dari kekuasaan

eksekutif. Kedua, Montesqieu memisahkan secara tegas

masing-masing cabang kekuasaan, eksekutif hanya mempunyai

bagian dalam pemformasian undang-undang berupa menolak

(the power of rejecting), sedangkan menurut John Locke

kekuasaan eksekutif ikut membahas dan menyetujui undang-

undang. Ketiga, Montesqieu menjelaskan secara rinci tentang

parlemen baik dari fungsi, struktur organsiasi, dan sistem

pemilihannya.

Dalam perkembangannya, teori pemisahan kekuasaan yang

dikemukakan oleh Montesqieu dikembangkan lebih lanjut

sebagaimana dilihat dalam konstitusi Amerika Serikat  yang

dikenal sebagai checks and balnces. Oleh Immanuel Kant,

ajaran Monestqieu tadi dalam banyak literatur hukum dan

politik di Indonesia dikenal sebagai ajaran Trias Politica.

Menurut Moh. Mahfud M.D., ajaran Trias Politica ini

kemudian melahirkan sistem pemerintahan yang berbeda-

beda.6

Pembicaraan mengenai pemisahan kekuasaan dapat diawali

dengan  konstitusi. Menurut James Bryce, sebagai suatu hukum

dasar, konstitusi suatu negara “the form of its government and

the respective rights and duties of the government towards the

citizens and of the citizens towards the government.”7

Konstitusi menyediakan suatu “restraints on theexercise of

political power for the purpose of protecting basic human

rights and privileges.”8 Tetapi, suatu negara yang mempunyai

konstitusi tidak serta merta melekatkan sifat penghormatan

konstitusionalisme. Bagaimana pun, “Constitutional

government needs much more than a well-written

constitution.”9 Dalam konteks ini, seperti ungkapan Brain

Tamanaha, bahwa “positive law is not always the primary

source of political power.”10 Pada tataran praktis, “there is

substantial disagreement about exactly what sort of

fundamental law a constitution is and about what gives it its

normative force.”11 Sehubungan dengan hal ini, maka kajian

mengenai kaidah konstitusi suatu negara “could  be understood

essentially as a theoretic of higher law grounded in the power

of  uniquely  constituted  and  inward-looking  political

communities.”12

Dalam pandangan kaum positivis seperti Hart, mengartikan

konstitusi sebagai “a rule of recognitionas, in other words, a

socio-cultural fact, binding insofar as it has beenaccepted.”13

Tetapi paham demokrasi deliberatif seperti  argumen Immanuel

Kant mengatakan bahwa konstitusi merupakan  “a

transcendent rule of right reason, regulative and binding as

such.”14 Sementara dari kalangan legislatif, suatu konstitusi

merupakan “defines the substantive and procedural limits  on

lawmaking.”15 Oleh sebab itu, konstitusi dalam suatu negara

merupakan “the proper share of work  to eah and every part of

the organism of  the State, and thus maintains a proper

connection between the different parts.”16

Menarik untuk disimak, bahwa sementara pakar

menegaskan bahwa asal usul konstitusi adalah pengakuan

demokrasi, sedangkan demokrasi sendiri merupakan “is an

attractive way to organize the country.”17 Relasi konstitusi

dengan demokrasi itu antara lain terwujud ke dalam

ketersediaan norma yang mengakui fundamental rights dan

upaya hukum yang ada untuk penuntutan pemenuhannya.18

Dalam konteks inilah, konstitusi meneguhkan prinsip

pemisahan kekuasaan. Peneguhan ini dimaksudkan untuk “to

avoidance of  the  tyranny of  the  individuals  invoking  state

power, but  not  to  the  regulation  of  the  substantive  ends

for  which  that power might  be  invoked.”19 Dalam konteks ini

relevan apa yang dikatakan oleh de Smith and Brazier, bahwa,

“The  doctrine  of  the  separation  of  powers  is  often

assumed  to  be  one  of  the cornerstones of  fair

government.”20 Singkatnya, doktrin pemisahan kekuasaan

bertujuan untuk “to  limit  the concentration  of  power  within

any  one  branch  of  government.”21 Prinsip pemisahan

kekuasaan sendiri dalam konstruksi filosofis dirumuskan sejak

masa Aristoteles, dan kemudian dikembangkan lebih lanjut

oleh pemikir John Locke dan Montesqiue selama abad ke-18

dan 19.22

Teori pemisahan kekuasaan berada dalam kerangka

pembahasan “doctrine related to the division of executive,

legislative, and judicial power.”23 Berbagai kajian mengenai

pemisahan kekuasaan mencakup “fundamental questions about

the  character, development, and proper operation of the

1

overall system of separated powers.”24 Di Inggris, mekanisme

pemisahan kekuasaan menampakkan “the pure doctrine of

unseparated powers”, di mana “a political movement need win

only one election before gaining plenary authority.”25 Hal lain

yang menentukan adalah PM’s ability  to determine the time of

the next election (with only a five-year deadline constraining

this decision).26

Dalam pandangan ilmuwan hukum dan politik di Amerika

Serikat, masalah pemisahan kekuasaan acap kali dikaitkan

dengan legislative veto27, executive privelege28, dan

independensi negara bagian sehubungan dengan pemerintah

pusat.29 Konstitusi Amerika Serikat menentukan bahwa “that





Konstruksi pemisahan kekuasaan di Amerika Serikat

merupakan reaksi terhadap sistem pemeritnahan di Kerajaan

Inggris. Hal ini seperti diidentifikasi  oleh Brucke Ackerman

sebagai berikut.32

Generally, English-speaking critics of American

separationism have looked to Great Britain as the source of a

competing model of democratic government. The modern

British Constitution famously concentrates lawmaking power

in the House of Commons, giving the Prime Minister and her

Cabinet effective control over the legislative agenda.  The real-

world operation of this “Westminster model” has  provided

critics with a club to batter American self-confidence.  Given

the British success in avoiding the in-exorable slide into

tyranny predicted by Madison and Montesquieu.

Sekali pun mendapatkan pengaruh Amerika Serikat,

doktrin pemisahan kekuasaan yang dianut oleh Jepang dalam

Konstitusi (1947) tidak mencerminkan gaya presidensial33,

akan tetapi mendekati sistem Westminter di Kerajaan Inggris.

Kasus di Jerman menunjukkan implementasi lain, ketika

trauma dengan kekuatan Presiden Adolf Hitler, Sekutu

mendiktekan konstitusi yang menghindari adanya pemilihan

presiden langsung.35 Sekali pun masih menentukan penyusunan

konstitusinya, Italia “were entirely unprepared to build a

presidential platform upon which future Mussolinis might vie

for (democratic) preeminence.”36

Khususnya di negara-negara Eropa Tengah dan Eropa

Timur, pemisahan kekuasaan dalam desain konstitusi mereka

menggambarkan suatu “outcomes as a distinctive blend of

Western and socialist ideas.”37 Negara Spanyol misalnya,

pasca kedikatatoran Franco, telah berhasil menyusun skema

pemisahan kekuasaan dengan meniru model Jerman.38

Pengalaman Brazil sampai era 1980-an, yang mengadopsi gaya

Amerika Serikat, memicu munculnya kediktatoran militer dan

“had considerable success in leading the constitutional

tetapi kekuatan ini tidak seimbang dengan kewenangan Majelis Tinggi.

Lihat uraian ini dalam Brucke Ackerman, “The New Separation of Power”,

op.cit., 

convention to consider seriously a fundamental break with this

system.”39

Model Prancis dan Amerika Serikat, yang mengadopsi

sistem pemilihan presiden langsung dipadukan dengan

pemisahan tegas antara eksekutif dan legislatif menjadi model

yang paling berpengaruh di dunia dewasa ini.40 Sekali pun

pengaruh itu, dalam pandangan Feature tidak selalu berjalan

mulus seperti kasus di Polandia pada dasawarsa pasca

komunias 1990-an.41 Namun di Rusia, “the American model

has been invoked to justify grants of power that in many

instances far exceed those wielded by the American

President.”42

Di negara Amerika Latin, adopsi gaya pemisahan kekuasaan

Amerika Serikat mengalami kegagalan karena “their ‘founding

fathers’ were in fact rural oligarchs (caudillos) who adopted

this system, not to guarantee personal freedom, but rather to

establish a strong executive power for the purposesof

preventing the disintegration of their newly independent

states.43 Implementasi sistem tersebut di negara kawasan

Amerika Latin menunjukkan “the model of governance

concentrated around the executive power.”44 Lagi pula,

semenjak masa penjajahan Portugis dan Spanyol, “almost all

Latin American constitutions are provisions that permit both

democracy and dictatorship.”45 Hal ini diperparah juga dengan

kenyataan bahwa “constitutions are not entrenched because

political leaders do not fear citizen mobilization when

fundamental rules of the game are violated.”46

Dari uraian tadi dapat diperoleh gambaran bahwa

perbincangan mengenai pemisahan kekuasaan umumnya

bertumpu pada relasi eksekutif dan legislatif. Walaupun

sesungguhnya percakapan “The separation of powers involves

not only presidents and parliaments, but also the constitutional

status of courts and administrative agencies.”47 Pemisahan

kekuasaan terkait dengan sistem demokrasi yang melekatkan

kepada perlindungan hak asasi manusia. Hal ini sejalan dengan

pendapat Brucke Ackerman yang mengatakan bahwa:48

In one way or another, separation may serve (or hinder) the

project of popular self-government.  The second ideal is

professional competence.  Democratic laws remain purely

symbolic unless courts and bureaucracies can implement them

in a relatively impartial way.  The third ideal is the protection

and enhancement of fundamental rights.  Without these,

democratic rule and professional administration can readily

become engines of tyranny.

Dalam pemisahan kekuasaan di Prancis, “The President is

directly elected for a fixed term of seven years but is obliged to

appoint a Premier who has majority support in the National

Assembly.”49 Hanya saja karena Majelis Nasional (the National

Assembly) harus diperbarui setiap lima tahun sekali, maka ada

kemungkinan ada perbedaan pengaruh kekuasaan Presiden

dengan Perdana Menteri dalam melaksanakan kekuasaan

pemerintahan.

Ketika partai politik Presiden dominan dalam koalisi

pemerintahan, maka Presiden mempunyai kekuasaan yang

besar seperti terjadi pada pemerintahan Presiden Charles de

Gaulle (1962-1969), Presiden Georges Pompidou (1969-1974),

Presiden Francois Mitterand (1981-1986), dan Presiden

Jacques Chirac (1995-1997). Akan tetapi jika koalisi

mendukung Presiden akan tetapi Presiden tidak mengendalikan

koalisi, maka kekuasaan Perdana Menteri biasanya relatif




otonom seperti kasus Giscard d’Estaing (1974-1981) dan

Francois Mitterand (1988-1989). Pada kerangka semacam ini

maka yang terjadi adalah kohibitasi (cohabitation)

pemerintahan seperti kasus Presiden Francois Mitterand dari

Partai Sosialis harus berbagi kekuasaan dengan Perdana

Menteri Jacques Chirac dari Partai Konservatif (186-1988) dan

Balladur (1993-1995).  Masa kohibitasi berikutnya terjadi pada

pemerintahan Presiden Jacques Chirac dengan Perdana Menteri

Lionel Jospin (1997-2002).

Dibandingkan dengan pemisahan kekuasaan di Amerika

Serikat, kondisi di Prancis menunjukkan pemisahan yang

relatif lemah karena “On the political side, the French

President must worry mostly about hostility from the National

Assembly, since the French Senate is not very powerful.”50

Namun demikian, Presiden dapat kembali mengontrol

kekuasaan dengan melaksanakan pemilihan umum untuk

Majelis Nasional dalam waktu yang ditetapkannya sendiri.51

Dari uraian di atas, nampak bahwa pengertian pemisahan

kekuasaan jauh dari sekedar sebuah definisi. Seperti

diungkapkan oleh Martin S. Flaherty, bahwa “separation of

powers refers to a theory about the appropriate allocation of

government authority among the institutions of the national

government. It means, on the one hand, classification of

governmental power into three categories, allocation of that

authority to three different institutions, with separation of

RULE OF LAW

Sebagaimana lazimnya suatu pengertian, konsep rule of law

senantiasa berkembang dan mengalami penafsiran ulang dari

waktu ke waktu.1 Kata ini merujuk kepada pengertian suatu

doktrin, bahkan dapat dikatakan suatu ideologi, mengenai

bagaimanakah penyelenggaraan pemerintahan harus

dilaksanakan, dan dianggap sinonim dengan konsep demokrasi

konstitusional, dan kadang-kadang diberikan pengertian

sebagai “pemerintahan yang demokratis.”2 Berbagai


sinonimitas itu dalam teori banyak diuraikan melalui

penjelasan yang singkat dan mengupayakan ketegasan

hubungannya dengan rule of law serta berbagai hubungannya

dengan lembaga-lembaga hukum yang lain. Sekali pun konsep

ini pada awalnya adalah gagasan yang berkembang di Barat,

akan tetapi sejumlah sarjana di kawasan Asia akhir-akhir ini

menghimpun perdebatan yang dipandang sebagai sesuatu yang

khas Timur.3 Dalam banyak kasus negara-negara di banyak

kawasan telah mempunyai konstitusi, akan tetapi konstitusi itu

tidak mempunyai pengertian yang sama, sekali pun rumusan

teks atau penamaan lembaga-lembaga negara mempunyai

kesamaan dalam penetapannya di konstitusi. Persoalan

mendasar yang mengemuka adalah sejarah, politik, dan

ekonomi suatu negara telah mempertajam perbedaan setiap

konstitusi tersebut.

Sudut pandang modern mengenai rule of law merupakan

suatu istilah doctrinal, yang berkembang pada abad ke-19.

Istilah yang dikemukakan oleh A.V. Dicey (1959) ini

mempunyai persamaan gagasan dengan apa yang diungkapkan

oleh W.E. Hearn, seorang guru besar hukum dari University of

Melbourne. Sudut pandang Dicey dipengaruhi oleh perjalanan

kariernya sebagai seorang hakim dan pengacara praktik. Dalam

pandangannya, rule of law di Inggris harus mengandung

formulasi rumusan kelembagaan sebagai berikut.

Pertama, tak seorang pun dapat diberikan hukuman kecuali

oleh badan pengadilan yang berlaku umum. Kedua, bahwa

tidak ada seorang pun yang berada di atas hukum, apa pun

derajat dan kondisinya, tunduk kepada hukum yang berlaku

umum yang dapat diajukan tuntutan ke pengadilan yang

sifatnya umum juga, atau ada kesetaraan hukum dan ini berlaku

juga para pejabat resmi yang memerintah warga negara. Kedua,

prinsip-prinsip umum konstitusi merupakan hasil dari putusan

penadilan yang menentukan hak-hak pribadi dari seseorang

khususnya yang diputus oleh pengadilan.

Penentuan unsur-unsur rule of law itu dianggap lumrah

dalam negara yang menganut doktrin continental. Tetapi Dicey

tetap bertahan dengan argumen itu. Salah satu problem yang

muncul adalah bahwa doktrin itu lebih dekat dengan sistem di

Inggris dan mengabaikan kemungkinan adanya  bermacam-

macam sistem hukum, yang menganut institusi hukum yang

juga bermacam-macam. Asumsi yang dibangun oleh Dicey

adalah bahwa hukum merupakan sesuatu yang tegas dan pasti

sementara di negara Inggris kekuasaan diskresi Pemerintah

telah berkembang semenjak abad ke 18 dan berkembang lebih

luas lagi dalam masa-masa sesudahnya.

Pada abad ke-19, banyak sarjana hukum yang berpandangan

bahwa hakim harus menemukan hukum, walaupun dalam

kenyataannya mereka menafsirkan hukum, dan sesungguhnya

tidak membuat hukum. Setelah kematian Dicey, aparatur

negara berkembang pesat dan perjuangan melalui hukum

administrasi telah menemukan cara baru untuk melindungi

prinsip-prinsip hukum melalui Ombudsman, Kebebasan

Memperoleh Informasi, dan pelembagaan control kepada

eksekutif. 

Versi akhir dari doktrin ini menekankan formalitas daripada

kandungan aspek hukum yang bersifat substantif, sehubungan

dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, dan dalam

kenyataannya, adalah pandangan politik Barat.5 Dengan kata

lain, peraturan adalah fakultatif, bukan substantif, dan bukanlah

sesuatu yang secara otomatis melekat untuk menjamn suatu

keadaan yang lebih baik.6 Dalam argumen Teori Formal hanya

melihat dalam sebagian hal secara politik, yang mengingkari

kenyataan adanya bermacam-macam tradisi hukum di Barat,

dan juga secara ekonomi tidak memperhatikan aspek ekonomi

dalan kerangka Welfare State. Kerangka Teori Formal nampak

lebih menunjukkan dimensinya sebagai suatu garis ideologis.7

Padahal hukum sendiri menapakkan diri ke dalam  bermacam-

macam formasi dan criteria antara lain diundangkan untuk

diketahui umum dan tidak diam-diam, pada umumnya berlaku

prospektif dan tidak retroaktif, tidak memungkinkan untuk

diuji, jelas dan berkesinambungan satu dengan yang lain serta

stabil; disusun dengan panduan aturan hukum; pihak yang

memuat dan pemerintah bertanggung jawab atas

pemformasiannya; dan pengelolaannya sejajar dengan prinsip-

prinsip hukum itu sendiri.

Pendapat terakhir dewasa ini memasukkan unsur-unsur

formal penataan kelembagaan seperti independensi kekuasaan

kehakiman terhadap Pemerintah dalam memutus perkara

individual, ada profesi hukum mandiri, akses ke pengadilan,

penerapan keadilan alamiah (dalam hal ini pengambilan

keputusan yang tidak bias hukum dan mendengarkan para

pihak secara setara), dan imparsialitas dan kejujuran dalam

penegakan hukum. 9

Sesungguhnya, suatu proses juga merupakan unsur yang

penting dalam penekanan pemeriksaan yang adil (dua process

of law), seperti memberikan kesempatan yang sama kepada

para pihak, oleh pengadilan atau pejabat yang independen,

untuk memperoleh keputusan rasional yang didasarkan kepada

hukum.10 Dengan landasan Teori Formal, tak ada argumen

untuk menjelaskan bahwa suatu rezim bersifat demokratis atau

humanis atau sebaliknya menolak hak asasi manusia, jika

masih terjadi diskriminasi dan hambatan kebebasan beragama.

Sepanjang rezim mengakui susunan hukum dalam pengertian

formal, maka di situlah hukum itu terasa telah dihadirkan.

Di sejumlah negara kawasan Asia Timur seperti Cina,

bahwa hukum yang ditentukan oleh seseorang merupakan hal

yang berbahaya. Pengalaman terjadinya Revolusi Kebudayaan

(1966-1976) telah membuktikannya. Dengan kata lain rule by

law, pemerintahan yang dilaksanakan menurut hukum

dibandingkan pengaturan dalam kedikatatoran, merupakan

sesuatu penting, baik secara politik mapun sarana untuk

menuju modernisasi.12 Dalam argumen ini, aturan-aturan yang

ditentukan hukum, lebih baik dibandingkan aturan-aturan yang

bersifat personal. Dengan demikian, hukum menjadi rasional

untuk mengatur atau menentukan arah perkembangan

masyarakat.13 P

ada sisi lain, berlawanan dengan keyakinan ini, ada

keyakinan yang tipis diantara pimpinan pemerintahan senior

mengenai pentingnya akuntabilitas, yang sejumlah sektor

mereka dengan efektif bisa mengabaikan hukum, sekali pun itu

pimpinan rendahan dalam perang melawan korupsi. Dari sudut

pandang instrumentalis, kenyataan yang bertentangan ini

menunjukkan ada hubungan antara hukum dalam partai tunggal

dan pengaturan hukum merupakan sesuatu yang problematik.

Pada satu hal partai harus mengesampingkan hukum,

sementara di sisi lain partai harus memandu negara, dalam hal

ini adalah melalui hukum. Sekali pun secara resmi adanya yang

mengatakan bahwa hal ini bukanlah suatu penyimpangan,

tetapi ada suatu kenyataan bahwa pimpinan partai politik dapat

berada di atas hukum. China sendiri telah menentukan bahwa

partai harus mematuhi hukum karena partai lah yang

menyediakan personil untuk memimpin negara.

Di kawasan ASEAN (Association of South East Asia

Nations) berkembang suatu rule of law yang bersifat “tipis”, di

mana Pemerintah mengedepankan positivisme untuk

mewujudkan pertumbuhan ekonomi dengan menekankan

aspek-aspek formal atau instrumental dari setiap sistem hukum.

Prinsip yang muncul yaitu “hukum adalah apa yang ditulis”,

yang mendorong pemahaman kepada variasi baru sebagai rule

by law.

Demikian apa yang terjadi dengan Laos, Vietnam, dan

Kamboja, yang pada tahun 1990-an menganut rule of law

“tipis”, partai-partai komunis yang berkuasa di negara itu

berada di atas hukum dan dengan pemikiran merendahkan

hukum. Menurut Ronald Bruce St-John, akibatnya pemerintah

negara itu daam decade setelah 1975 menghadapi kendala-

kendala yang luar biasa dalam memberlakukan rule of law

karena penemapatannya melibatkan pertentangan dasar antara

penghormatan terhadap otoritas dan tradisi serta kerangka

hukum yang dianggap oleh banyak ekonom dan sarjana lainnya

penting bagi ekonomi pasar.14

Sebaliknya, secara oposisional pakar lain mengajukan

konsep rule of law yang “tebal”, yang mencakup cita-cita

substantif seperti Hak Asasi Manusia dan tata pemerintahan

yang baik. Thailand “telah berusaha membawa hukum

mengikuti perkembangan ekonomi dan sosial saat ini dan

perlindungan terhadap hak-hak individu menurut rule of law.15

Konstitusi (1997), yang sempat dianggap konstitusi partisipatif,

yang memberikan perlindungan tehradap proses hukum dan

kebebasan, diformasi oleh pelajaran dari pengalaman negara

tas hukum keadaan perang. Namun demikian, jaminan-jaminan

formal terhadap Hak Asasi Manusia melalui rule of law tidak

selalu memberikan pengaruh dalam praktiknya.

Suatu kesulitan membicarakan negara di kawasan Asia

Timur dan Tenggara, yang secara faktual wilayahnya

terbentang dari Jepang hingga ke Burma dan Korea Utara pada

sisi yang lain, yang mengalami dilema antara kerumitan hukum

dengan pertumbuhan ekonomi.16 Perlu dicatat bahwa di negara-

negara ini politik, ekonomi, dan lembaga-lembaga lainnya tak

selalu berkesesuaian. Filipina (sejak 1986) mempunyai

konstitusi modern, ada kebebasan pers, akan tetapi mengalami

kemunduran dalam hal ekonomi karena adanya mekansime

feodalisme dalam penguasaan tanah. Hal yang sama terjadi di

India, sementara Pakistan mempunyai demokrasi lemah,

ekonomi semifeodal, dan serupa dengan Bangladesh, marak

kronikal politisi dan korupsi yang meluas.

Singapura pada sisi lain, bersih dari korupsi, mempunyai

birokrasi yang efisien dan modern, standar hidup yang tinggi,

tetapi menjalankan partai tunggal yang paranoid terhadap

oposisi. Karakteristik serupa dijumpai di Malaysia, hanya

karena kemajemukan masyarakatnya menghasilkan sistem

demokrasi, pengadilan dan pers yang lebih terbuka

dibandingkan dengan tetatangganya itu.

Brunei Darussalam, masih dikelola dalam format negara

dalam keadaan darurat (sejak 1962) dan isu-ksu seperti tata

pemerintahan yang baik sangat bergantung kepada individual

tanpa kerangka institutisonal untuk menjamin kelanjutan

perdamaian dan stabilitas. Kebebasan berbicara dibatasi oleh

Undang-Undang Penistaan (Deformation Act), Undang-

Undang Surat kabar (Newspaper Act), Undang-Undang

Pemberontakan (Sedition Act), dan diperbolehkannya

penggunaan hukum fisik bagi pelanggaran imigrasi. Konstitusi

1959, yang diubah tahun 1984 dan 2004, memperbesar

kekuasaan sultan dengan menghapus wewenang Dewan

Legislatif guna mengawasi Dewan Eksekutif, oleh sebab itu

pemisahan kekuasaan menjadi absen.

Di Myanmar, dari 1988-2011, diperintah oleh sekelompok

perwira militer yang disebut State Law and Orde Restoration

Council (SLORC) dan State Peace and Devopment Council

(SPDC). Pemerintah dan pejabatnya tidak bertanggung jawab

secara hukum. Kekebalan ini terus berlangsung hingga

disahkannya Konstitusi 2008 sehingga sekali pun konstitusi ini

mempunyai lembaga peradilan yang ditulis independen, akan

tetapi ia akan menerima tantangan baru mengenai keabsahan,

cakupan, atau penerapan klausul kekebalan tersebut. Konstitusi

juga mengesahkan dan melanggengkan aturan militer, di mana

antara lain angkatan bersenjata diberikan wewenang untuk

mengambil segala tindakan jika dipandang perlu dalam rangka

“berpartisipasi dalam kepemimpinan politik negara”, yang

mana klausula ini tidak dapat diganggu gugat. Sementara itu,

setiap diperlukan panglima angkatan bersenjata dapat

144 | Rule of Law

melakukan kapan pun reposisi kekuasaan eksekutif, legislatif,

dan yudisial, atas nama langkah-langkah yang diperlukan

dalam situasi darurat. Ciri pengaturan ini unik diantara

konstitusi di negara-negara anggota ASEAN, jika tidak dapat

dikatakan satu-satunya di dunia.

Taiwan menjadi negara pertama yang menerapkan

demokrasi modern dan mampu mengadopsinya dengan kultur

China,17sebagaimana juga di Korea Selatan.18 Indonesia di

masa Orde Baru, mempunyai sistem politik yang didominasi

militer tetapi pelanggaran HAM masih terjadi19, yang dalam

konteks ini sering disebut soft-authoritarianism.

Pada sisi lain, kelahiran rule of law membutuhkan dukungan

baik dalam taraf gagasan maupun praktik. Minimal, konstitusi

yang ada mewadahi prinsip-prinsip tersebut, atau lebih dari itu,

konstitusi diberi kedudukan sebagai hukum yang tertinggi

sebagai pedoman dalam pemformasian hukum maupun

kebijakan (policy). Dengan sendirinya, jika  unsur tersebut

dipenuhi, akan mencerminkan keterwakilan konstitusi sebagai

sebuah instrumen. Sudah semestinya, jika instrumen itu

didukung oleh suatu peradilan yang independen dan

pemformasian Undang-Undang oleh lembaga politik yang

dipilih melalui pemilihan. Sebagai implikasinya, Mahkamah

Agung diberikan wewenang untuk menguji Undang-Undang,

untuk menghilangkan pertentangan proses pemilihan umum

maupun tata cara penyusunan Undang-Undang tersebut. Sudah

tentu, mekanisme semacam itu akan ditolak, sampai kemudian

prinsip-prinsip hukum itu dihormati. Untuk menjamin

konstitusi dan akuntabilitas hukum, di samping mekanisme

pengujian (judicial review) oleh badan pengadilan yang

independen, sejumlah negara juga memformasi Ombudsman,

lembaga antikorupsi, dan pengadilan tata usaha negara. Jika

lembaga-lembaga itu ada dan berjalan secara efektif, maka

akan memperluas semua persoalan dikontrol secara eksternal

oleh hukum, dan memperdalam fungsi hukum dalam proses-

proses administrasi pemerintahan. Sekali pun jaminan hak-hak

individual diperdebatkan, akan tetapi sejumlah negara telah

mengadopsi kontrol terhadap tindakan pemerintahan tersebut.

20

Dalam tataran sebagai suatu ideologi, rule of law telah

ditelaah dari sudut pandang liberal, sejumlah pakar, yang

sebagian meninjau dari perspetif “kiri”, mengkritisi topeng

ideologi dalam akses mengenai retorika sehubungan dengan

kesetaraan di muka hukum dan imparsialitas sebagai topeng

yang menggarisbawahi ketidaksetaraan dan eksploitasi.21

Dalam berbagai tulisan itu, digunakan bermacam-macam

varian. Pandangan E.P. Thompson, misalnya, dalam kajian

20 Lihat analisis lengkap dalam R. H. Hickling dan D. A. Wishart,

“Malaysia: Dr Mahathir's Thinking on Constitutional Issues”, Lawasia ,

1988-1989, hlm. 47-79.

21 Jones, op.cit., 204; Roberto Unger , 1976, Law in Modern Society:

Towards a Criticism of Social Theory. New York: Free Press.: 52-57, 66-

76, 166-181, 192-216, dan 238-242.

146 | Rule of Law

yang hati-hati sejarah Inggris abad ke-18, mengikuti gagasan

ini, akan tetapi, menyimpulkan bahwa dalam sistem yang

dikuasai oleh golongan kelas, menerima penerapan hukum

dalam rangka menjaga kepentingannya atau untuk memberikan

legitimasi.22 Dengan kata lain, sebagai akibat golongan kelas

menggunakan hukum maka akan menyamarkan aksi politik

sesungguhnya yang dikehendakinya. Tahap pertama dari

perkembangan ini adalah para pemegang kekuasaan politik

meletakkan mereka yang diperintah dalam garis yang

ditentukannya. Akan tetapi, “these campaigns have a habit of

creating demands to extend the rules even higher to encompass

the behaviour of the ruling class.”23

Untuk itu, dalam rangka memahami rule of law, ia tidak bisa

mengenai segala sesuatu yang baik yang diiinginkan oleh

rakyat dan pemerintahannya. Godaan terus menerus untuk

memahami rule of law demikian adalah bukti kekuasaan

simbolis dan rule of law, tetapi hal ini seharusnya tidak

dituruti. Rule of law dapat digunakan untuk bermacam-macam

kepentingan. Ia dapat digunakan sebagai sebuah pedang oleh

para pembuat kebijakan asing dan donor yang mencoba untuk

mengekspor teori-teori dan kebijakan-kebijakan etnosentris,

terlepas dari apakah teori-teori ini dapat diterima oleh

masyarakat di negara yang berkembang. Sebagai contoh,

semenjak di bawah otoritas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

pada tahun 1992-1993, Kamboja telah menerima miliaran dolar

dalam formasi bantuan asing untuk mereformasi lembaga-

lembaga peradilan utama. Tetapi bantuan dana tidak selalu

berarti adanya hasil-hasil positif yang abadi karena tidak

adanya penilaian empiris oleh konsultan domestik.

Rule of law juga telah digunakan sebagai tameng oleh

negara-negara berkembang yang ingin mengurangi atau

meniadakan pentingnya hak-hak individu, dan dengan mudah

memberikan legitimasi kepada ajaran-ajaran komunitarian

tertentu. Dipelopori oleh Indonesia, Malaysia, dan Singapura,

Deklarasi Bangkok (1993) mengemukakan bahwa “nilai-nilai

Asia” yang dimiliki oleh kawasan itu bertentangan dengan

nilai-nilai Barat yang didasarkan kepada individu.


SISTEM

PEMERINTAHAN

A. Pengertian

Secara teoritis, sistem pemerintahan menunjuk kepada cara

kerja lembaga-lembaga negara dan hubungannya satu sama

lain.1 Dalam pandangan Moh. Mahfud M.D. sistem

pemerintahan diartikan sebagai sistem hubungan dan tata kerja

antara lembaga-lembaga negara.2 Meskipun dalam cakupan

lebih sempit, Sri Soemantri menegaskan bahwa ditinjau dari

1 Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung, Penerbit

Alumni, hlm. 199.

2 Moh. Mahfud M.D., 1993, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta,

Penerbit LP3ES, hlm. 83.

150 | Sistem Pemerintahan

hukum tata negara  sistem pemerintahan menggambarkan

hubungan antara legislatif dengan lembaga eksekutif 3

Pendapat Sri Soemantri mirip dengan I Gede Pantja  Astawa

yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan merupakan

hubungan kekuasaan, wewenang, atau fungsi antara dua organ

negara ataupun pemerintahan secara timbal balik, terutama

hubungan antara eksekutif dan legislatif.4 Penelitian ini

sepenuhnya merujuk kepada pemaknaan sistem pemerintahan

dalam perspektif hukum tata negara terutama sebagai jalinan

relasi kekuasaan antara lembaga eksekutif dengan lembaga

legislatif.

Dalam perspektif ini, kecenderungan teoritis pada akhirnya

menunjukkan adanya 2 (dua) model sistem pemerintahan yang

satu sama lain bersifat ekstrim, yaitu sistem presidensial dan

sistem parlementer. Walaupun demikian, kiranya diakui,

bahwa sebagai sistem politik, sistem pemerintahan

mengandung variasi-variasi tertentu ketika dipraktikkan dalam

suatu negara. Tetapi sistem presidensial dan sistem parlementer

mempunyai ciri-ciri yang secara akademik dapat dibedakan

satu dengan yang lainnya.

Menurut Moh. Mahfud M.D., sistem presidensial

mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1) Kepala Negara menjadi kepala pemerintahan (eksekutif);

2) Pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen

(DPR), parlemen dan pemerintah adalah sejajar;

3) Menteri-menteri diangkat dan bertanggung jawab kepada

presiden;

4) Eksekutif dan legislatif sama-sama kuat.

Sementara itu sistem parlementer mengandung ciri-ciri

sebagai berikut:

1) Kepala Negara tidak berkedudukan sebagai Kepala

Pemerintahan karena ia lebih bersifat simbol nasional

(Pemersatu bangsa);

2) Pemerintah dilakukan oleh sebuah kabinet yang dipimpin

oleh seorang Perdana Menteri;

3) Kabinet bertanggung jawab kepada dan dapat dijatuhkan

oleh parlemen melalui mosi;

4) Kedudukan eksekutif (kabinet) lebih rendah (dan

bergantung kepada) parlemen.

Sebagai imbangan dari lemahnya kabinet ini, Kabinet dapat

meminta kepada kepala negara untuk membubarkan parlemen

dengan alasan yang sangat kuat sehingga parlemen dinilai tidak

representatif. Akan tetapi, jika demikian yang terjadi dalam

waktu yang relatif pendek kabinet harus menyelenggarakan

pemilu untuk memformasi parlemen baru.

Dari uraian di atas, secara singkat dikatakan bahwa ranah

teoritis sistem pemerintahan dalam penelitian ini menunjuk

kepada sistem hubungan antara eksekutif dengan legislatif.

Hubungan tersebut menciptakan sistem pemerintahan yang

dapat dipilah dalam 2 kategori besar yaitu sistem presidensial

dan sistem parlementer. Dengan mengabaikan berbagai deviasi

152 | Sistem Pemerintahan

dalam ranah praksis, masing-masing sistem itu mempunyai ciri

pembeda satu sama lain.

Pemerintahan demokrasi dengan sistem parlementer

ditandai oleh hubungan yang erat antara organ eksekutif dan

parlemen. Ditinjau dari proses pembuatan undang-undang di

Indonesia, nampak adanya koordinasi yang erat antara presiden

dan DPR. Pada pembuatan undang-undang menurut kebiasaan

dalam sistem parlementer, kepala negara dilibatkan dalam

pengesahan undang-undang sehingga sifatnya hanya formal.

Dalam negara republik yang bersistem presidensial,

keterlibatan presiden selaku kepala negara semata-mata bersifat

formal, tetapi presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai

kepentingan sebagai badan yang melaksanakan undang-

undang. Karena itu pengesahan undang-undang oleh presiden

harus diartikan pula sebagai persetujuan terhadap isi undang-

undang.

Menurut Suwoto Mulyosudarmo, di dalam kepustakaan

terdapat kerancuan penggunaan istilah di mana sistem

pemisahan kekuasaan dianggap identik dengan sistem

presidensial dan sistem kekuasaan terpadu (fused powers)

dianggap identik dengan sistem parlementer.6 Dalam hubungan

ini dapat diuraikan lebih lanjut bahwa pembedaan sistem

pemisahan kekuasaan dari sistem kekuasaan terpadu,

didasarkan kepada pembedaan proses pembuatan undang-

undang, sementara pembedaan sistem parlementer dan sistem

Atas dasar pemikiran seperti itu, penulis setuju dengan

argumentasi yang disusun oleh Suwoto Mulyosudarmo ketika

mengatakan bahwa sistem pemerintahan di Indonesia tidak

perlu disebut sebagai perpaduan antara sistem presidensial

dengan sistem parlementer.8 Dalam proses pembuatan undang-

undang, Indonesia menganut sistem kekuasaan terpadu,

sedangkan penyelenggaraan kekuasaan eksekutif memakai

sistem presidensial. Konsekuensi penggunaan sistem

presidensial adalah bahwa setiap keputusan yang dikeluarkan

oleh menteri secara administratif harus dibuat atas nama

presiden. Pilihan lain dari pembuatan keputusan menteri atas

nama Presiden dapat dilakukan dengan formasi Keputusan

Presiden.