Ilmu negara 3
9
terpaksa memanggil kembali States-general yang tidak pernah
bersidang lagi pada tahun 1614.2 Pemisahan kekuasaan harus
dilaksanakan karena seperti dikatakan oleh Montesqiue, “when
the legislative and executive power are united in the same
person,or in the same body of magistrates,there can be
liberty.”3
Pemikir pertama yang mengemukakan teori pemisahan
kekuasaan dalam negara adalah John Locke dalam bukunya
Two Treaties on Civil Government (1690). Pada bab XII buku
tersebut yang berjudul the Legislative, Executive, and
Federative Power of the Commenwealth, John Locke
memisahkan kekuasaan dalam tiap-tiap negara dalam
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan federatif. Locke sendiri
kemudian menandaskan bahwa legislatif merupakan lembaga
yang dipilih dan disetujui oleh warga (chosen and appointed),
berwenang membuat undang-undang, dan merupakan
kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara. Kekuasaan legislatif
tidak perlu dilsakanakan dalam sebuah lembaga yang
permenen, selain karena bukan merupakan pekerjaan rutin,
juga dikhawatirkan adanya penyimpangan kekuasaan jika
dijabat oleh seseorang dalam waktu yang lama.4
Diilhami oleh pendapat John Locke tersebut, Montesqieu
dalam buku The Spiriti of Law (1748) pada bab XI menulis
tentang Konstitusi Inggris. Montesqieu memisahkan 3 (tiga)
jenis kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan
eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif
memiliki kekuasaan membuat, mengubah, dan menghapus
undang-undang; kekuasaan eksekutif memiliki kekuasaan yang
menyatakan perang atau damai, mengirimkan atau menerima
duta, menjamin keamanan umum serta menghalau musuh yang
masuk; sedangkan kekuasaan yudisial memiliki kekuasaan
menghukum para penjahat atau memutuskan perselisihan yang
timbul diantara orang perseorangan.5 Berbeda dengan John
Locke, yang memasukkan kekuasaan yudisial dalam kekuasaan
eksekutif, Montesqieu mamandang kekuasaan yudisial sebagai
kekuasaan yang berdiri sendiri.
Persamaan antara teori yang dikemukakan oleh John Locke
dan Montesqieu adalah bahwa kekuasaan dalam negara tidak
diperbolehkan hanya dimiliki oleh satu orang atau satu
lembaga. Persamaan lainnya tentang adanya kekuasaan
legislatif dan eksekutif dalam negara, yang masing-masing
secara umum memiliki kekuasaan membuat undang-undang
dan melaksanakan undang-undang. Sementara itu, perbedaan
pemikiran John Locke dengan Montesqiue yang paling penting
mencakup 3 (tiga) hal.
Pertama, John Locke membagi kekuasaan dalam negara
atas legislatif, eksekutif, dan federatif dan kekuasaan legislatif
adalah kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara; sedangkan
Montesqieu membaginya dalam legislatif, eksekutif, dan
kekuasaan yudisial, di mana kekuasaan federatif menurut
Montesqiue dikategorikan sebagai bagian dari kekuasaan
eksekutif. Kedua, Montesqieu memisahkan secara tegas
masing-masing cabang kekuasaan, eksekutif hanya mempunyai
bagian dalam pemformasian undang-undang berupa menolak
(the power of rejecting), sedangkan menurut John Locke
kekuasaan eksekutif ikut membahas dan menyetujui undang-
undang. Ketiga, Montesqieu menjelaskan secara rinci tentang
parlemen baik dari fungsi, struktur organsiasi, dan sistem
pemilihannya.
Dalam perkembangannya, teori pemisahan kekuasaan yang
dikemukakan oleh Montesqieu dikembangkan lebih lanjut
sebagaimana dilihat dalam konstitusi Amerika Serikat yang
dikenal sebagai checks and balnces. Oleh Immanuel Kant,
ajaran Monestqieu tadi dalam banyak literatur hukum dan
politik di Indonesia dikenal sebagai ajaran Trias Politica.
Menurut Moh. Mahfud M.D., ajaran Trias Politica ini
kemudian melahirkan sistem pemerintahan yang berbeda-
beda.6
Pembicaraan mengenai pemisahan kekuasaan dapat diawali
dengan konstitusi. Menurut James Bryce, sebagai suatu hukum
dasar, konstitusi suatu negara “the form of its government and
the respective rights and duties of the government towards the
citizens and of the citizens towards the government.”7
Konstitusi menyediakan suatu “restraints on theexercise of
political power for the purpose of protecting basic human
rights and privileges.”8 Tetapi, suatu negara yang mempunyai
konstitusi tidak serta merta melekatkan sifat penghormatan
konstitusionalisme. Bagaimana pun, “Constitutional
government needs much more than a well-written
constitution.”9 Dalam konteks ini, seperti ungkapan Brain
Tamanaha, bahwa “positive law is not always the primary
source of political power.”10 Pada tataran praktis, “there is
substantial disagreement about exactly what sort of
fundamental law a constitution is and about what gives it its
normative force.”11 Sehubungan dengan hal ini, maka kajian
mengenai kaidah konstitusi suatu negara “could be understood
essentially as a theoretic of higher law grounded in the power
of uniquely constituted and inward-looking political
communities.”12
Dalam pandangan kaum positivis seperti Hart, mengartikan
konstitusi sebagai “a rule of recognitionas, in other words, a
socio-cultural fact, binding insofar as it has beenaccepted.”13
Tetapi paham demokrasi deliberatif seperti argumen Immanuel
Kant mengatakan bahwa konstitusi merupakan “a
transcendent rule of right reason, regulative and binding as
such.”14 Sementara dari kalangan legislatif, suatu konstitusi
merupakan “defines the substantive and procedural limits on
lawmaking.”15 Oleh sebab itu, konstitusi dalam suatu negara
merupakan “the proper share of work to eah and every part of
the organism of the State, and thus maintains a proper
connection between the different parts.”16
Menarik untuk disimak, bahwa sementara pakar
menegaskan bahwa asal usul konstitusi adalah pengakuan
demokrasi, sedangkan demokrasi sendiri merupakan “is an
attractive way to organize the country.”17 Relasi konstitusi
dengan demokrasi itu antara lain terwujud ke dalam
ketersediaan norma yang mengakui fundamental rights dan
upaya hukum yang ada untuk penuntutan pemenuhannya.18
Dalam konteks inilah, konstitusi meneguhkan prinsip
pemisahan kekuasaan. Peneguhan ini dimaksudkan untuk “to
avoidance of the tyranny of the individuals invoking state
power, but not to the regulation of the substantive ends
for which that power might be invoked.”19 Dalam konteks ini
relevan apa yang dikatakan oleh de Smith and Brazier, bahwa,
“The doctrine of the separation of powers is often
assumed to be one of the cornerstones of fair
government.”20 Singkatnya, doktrin pemisahan kekuasaan
bertujuan untuk “to limit the concentration of power within
any one branch of government.”21 Prinsip pemisahan
kekuasaan sendiri dalam konstruksi filosofis dirumuskan sejak
masa Aristoteles, dan kemudian dikembangkan lebih lanjut
oleh pemikir John Locke dan Montesqiue selama abad ke-18
dan 19.22
Teori pemisahan kekuasaan berada dalam kerangka
pembahasan “doctrine related to the division of executive,
legislative, and judicial power.”23 Berbagai kajian mengenai
pemisahan kekuasaan mencakup “fundamental questions about
the character, development, and proper operation of the
1
overall system of separated powers.”24 Di Inggris, mekanisme
pemisahan kekuasaan menampakkan “the pure doctrine of
unseparated powers”, di mana “a political movement need win
only one election before gaining plenary authority.”25 Hal lain
yang menentukan adalah PM’s ability to determine the time of
the next election (with only a five-year deadline constraining
this decision).26
Dalam pandangan ilmuwan hukum dan politik di Amerika
Serikat, masalah pemisahan kekuasaan acap kali dikaitkan
dengan legislative veto27, executive privelege28, dan
independensi negara bagian sehubungan dengan pemerintah
pusat.29 Konstitusi Amerika Serikat menentukan bahwa “that
Konstruksi pemisahan kekuasaan di Amerika Serikat
merupakan reaksi terhadap sistem pemeritnahan di Kerajaan
Inggris. Hal ini seperti diidentifikasi oleh Brucke Ackerman
sebagai berikut.32
Generally, English-speaking critics of American
separationism have looked to Great Britain as the source of a
competing model of democratic government. The modern
British Constitution famously concentrates lawmaking power
in the House of Commons, giving the Prime Minister and her
Cabinet effective control over the legislative agenda. The real-
world operation of this “Westminster model” has provided
critics with a club to batter American self-confidence. Given
the British success in avoiding the in-exorable slide into
tyranny predicted by Madison and Montesquieu.
Sekali pun mendapatkan pengaruh Amerika Serikat,
doktrin pemisahan kekuasaan yang dianut oleh Jepang dalam
Konstitusi (1947) tidak mencerminkan gaya presidensial33,
akan tetapi mendekati sistem Westminter di Kerajaan Inggris.
Kasus di Jerman menunjukkan implementasi lain, ketika
trauma dengan kekuatan Presiden Adolf Hitler, Sekutu
mendiktekan konstitusi yang menghindari adanya pemilihan
presiden langsung.35 Sekali pun masih menentukan penyusunan
konstitusinya, Italia “were entirely unprepared to build a
presidential platform upon which future Mussolinis might vie
for (democratic) preeminence.”36
Khususnya di negara-negara Eropa Tengah dan Eropa
Timur, pemisahan kekuasaan dalam desain konstitusi mereka
menggambarkan suatu “outcomes as a distinctive blend of
Western and socialist ideas.”37 Negara Spanyol misalnya,
pasca kedikatatoran Franco, telah berhasil menyusun skema
pemisahan kekuasaan dengan meniru model Jerman.38
Pengalaman Brazil sampai era 1980-an, yang mengadopsi gaya
Amerika Serikat, memicu munculnya kediktatoran militer dan
“had considerable success in leading the constitutional
tetapi kekuatan ini tidak seimbang dengan kewenangan Majelis Tinggi.
Lihat uraian ini dalam Brucke Ackerman, “The New Separation of Power”,
op.cit.,
convention to consider seriously a fundamental break with this
system.”39
Model Prancis dan Amerika Serikat, yang mengadopsi
sistem pemilihan presiden langsung dipadukan dengan
pemisahan tegas antara eksekutif dan legislatif menjadi model
yang paling berpengaruh di dunia dewasa ini.40 Sekali pun
pengaruh itu, dalam pandangan Feature tidak selalu berjalan
mulus seperti kasus di Polandia pada dasawarsa pasca
komunias 1990-an.41 Namun di Rusia, “the American model
has been invoked to justify grants of power that in many
instances far exceed those wielded by the American
President.”42
Di negara Amerika Latin, adopsi gaya pemisahan kekuasaan
Amerika Serikat mengalami kegagalan karena “their ‘founding
fathers’ were in fact rural oligarchs (caudillos) who adopted
this system, not to guarantee personal freedom, but rather to
establish a strong executive power for the purposesof
preventing the disintegration of their newly independent
states.43 Implementasi sistem tersebut di negara kawasan
Amerika Latin menunjukkan “the model of governance
concentrated around the executive power.”44 Lagi pula,
semenjak masa penjajahan Portugis dan Spanyol, “almost all
Latin American constitutions are provisions that permit both
democracy and dictatorship.”45 Hal ini diperparah juga dengan
kenyataan bahwa “constitutions are not entrenched because
political leaders do not fear citizen mobilization when
fundamental rules of the game are violated.”46
Dari uraian tadi dapat diperoleh gambaran bahwa
perbincangan mengenai pemisahan kekuasaan umumnya
bertumpu pada relasi eksekutif dan legislatif. Walaupun
sesungguhnya percakapan “The separation of powers involves
not only presidents and parliaments, but also the constitutional
status of courts and administrative agencies.”47 Pemisahan
kekuasaan terkait dengan sistem demokrasi yang melekatkan
kepada perlindungan hak asasi manusia. Hal ini sejalan dengan
pendapat Brucke Ackerman yang mengatakan bahwa:48
In one way or another, separation may serve (or hinder) the
project of popular self-government. The second ideal is
professional competence. Democratic laws remain purely
symbolic unless courts and bureaucracies can implement them
in a relatively impartial way. The third ideal is the protection
and enhancement of fundamental rights. Without these,
democratic rule and professional administration can readily
become engines of tyranny.
Dalam pemisahan kekuasaan di Prancis, “The President is
directly elected for a fixed term of seven years but is obliged to
appoint a Premier who has majority support in the National
Assembly.”49 Hanya saja karena Majelis Nasional (the National
Assembly) harus diperbarui setiap lima tahun sekali, maka ada
kemungkinan ada perbedaan pengaruh kekuasaan Presiden
dengan Perdana Menteri dalam melaksanakan kekuasaan
pemerintahan.
Ketika partai politik Presiden dominan dalam koalisi
pemerintahan, maka Presiden mempunyai kekuasaan yang
besar seperti terjadi pada pemerintahan Presiden Charles de
Gaulle (1962-1969), Presiden Georges Pompidou (1969-1974),
Presiden Francois Mitterand (1981-1986), dan Presiden
Jacques Chirac (1995-1997). Akan tetapi jika koalisi
mendukung Presiden akan tetapi Presiden tidak mengendalikan
koalisi, maka kekuasaan Perdana Menteri biasanya relatif
otonom seperti kasus Giscard d’Estaing (1974-1981) dan
Francois Mitterand (1988-1989). Pada kerangka semacam ini
maka yang terjadi adalah kohibitasi (cohabitation)
pemerintahan seperti kasus Presiden Francois Mitterand dari
Partai Sosialis harus berbagi kekuasaan dengan Perdana
Menteri Jacques Chirac dari Partai Konservatif (186-1988) dan
Balladur (1993-1995). Masa kohibitasi berikutnya terjadi pada
pemerintahan Presiden Jacques Chirac dengan Perdana Menteri
Lionel Jospin (1997-2002).
Dibandingkan dengan pemisahan kekuasaan di Amerika
Serikat, kondisi di Prancis menunjukkan pemisahan yang
relatif lemah karena “On the political side, the French
President must worry mostly about hostility from the National
Assembly, since the French Senate is not very powerful.”50
Namun demikian, Presiden dapat kembali mengontrol
kekuasaan dengan melaksanakan pemilihan umum untuk
Majelis Nasional dalam waktu yang ditetapkannya sendiri.51
Dari uraian di atas, nampak bahwa pengertian pemisahan
kekuasaan jauh dari sekedar sebuah definisi. Seperti
diungkapkan oleh Martin S. Flaherty, bahwa “separation of
powers refers to a theory about the appropriate allocation of
government authority among the institutions of the national
government. It means, on the one hand, classification of
governmental power into three categories, allocation of that
authority to three different institutions, with separation of
RULE OF LAW
Sebagaimana lazimnya suatu pengertian, konsep rule of law
senantiasa berkembang dan mengalami penafsiran ulang dari
waktu ke waktu.1 Kata ini merujuk kepada pengertian suatu
doktrin, bahkan dapat dikatakan suatu ideologi, mengenai
bagaimanakah penyelenggaraan pemerintahan harus
dilaksanakan, dan dianggap sinonim dengan konsep demokrasi
konstitusional, dan kadang-kadang diberikan pengertian
sebagai “pemerintahan yang demokratis.”2 Berbagai
sinonimitas itu dalam teori banyak diuraikan melalui
penjelasan yang singkat dan mengupayakan ketegasan
hubungannya dengan rule of law serta berbagai hubungannya
dengan lembaga-lembaga hukum yang lain. Sekali pun konsep
ini pada awalnya adalah gagasan yang berkembang di Barat,
akan tetapi sejumlah sarjana di kawasan Asia akhir-akhir ini
menghimpun perdebatan yang dipandang sebagai sesuatu yang
khas Timur.3 Dalam banyak kasus negara-negara di banyak
kawasan telah mempunyai konstitusi, akan tetapi konstitusi itu
tidak mempunyai pengertian yang sama, sekali pun rumusan
teks atau penamaan lembaga-lembaga negara mempunyai
kesamaan dalam penetapannya di konstitusi. Persoalan
mendasar yang mengemuka adalah sejarah, politik, dan
ekonomi suatu negara telah mempertajam perbedaan setiap
konstitusi tersebut.
Sudut pandang modern mengenai rule of law merupakan
suatu istilah doctrinal, yang berkembang pada abad ke-19.
Istilah yang dikemukakan oleh A.V. Dicey (1959) ini
mempunyai persamaan gagasan dengan apa yang diungkapkan
oleh W.E. Hearn, seorang guru besar hukum dari University of
Melbourne. Sudut pandang Dicey dipengaruhi oleh perjalanan
kariernya sebagai seorang hakim dan pengacara praktik. Dalam
pandangannya, rule of law di Inggris harus mengandung
formulasi rumusan kelembagaan sebagai berikut.
Pertama, tak seorang pun dapat diberikan hukuman kecuali
oleh badan pengadilan yang berlaku umum. Kedua, bahwa
tidak ada seorang pun yang berada di atas hukum, apa pun
derajat dan kondisinya, tunduk kepada hukum yang berlaku
umum yang dapat diajukan tuntutan ke pengadilan yang
sifatnya umum juga, atau ada kesetaraan hukum dan ini berlaku
juga para pejabat resmi yang memerintah warga negara. Kedua,
prinsip-prinsip umum konstitusi merupakan hasil dari putusan
penadilan yang menentukan hak-hak pribadi dari seseorang
khususnya yang diputus oleh pengadilan.
Penentuan unsur-unsur rule of law itu dianggap lumrah
dalam negara yang menganut doktrin continental. Tetapi Dicey
tetap bertahan dengan argumen itu. Salah satu problem yang
muncul adalah bahwa doktrin itu lebih dekat dengan sistem di
Inggris dan mengabaikan kemungkinan adanya bermacam-
macam sistem hukum, yang menganut institusi hukum yang
juga bermacam-macam. Asumsi yang dibangun oleh Dicey
adalah bahwa hukum merupakan sesuatu yang tegas dan pasti
sementara di negara Inggris kekuasaan diskresi Pemerintah
telah berkembang semenjak abad ke 18 dan berkembang lebih
luas lagi dalam masa-masa sesudahnya.
Pada abad ke-19, banyak sarjana hukum yang berpandangan
bahwa hakim harus menemukan hukum, walaupun dalam
kenyataannya mereka menafsirkan hukum, dan sesungguhnya
tidak membuat hukum. Setelah kematian Dicey, aparatur
negara berkembang pesat dan perjuangan melalui hukum
administrasi telah menemukan cara baru untuk melindungi
prinsip-prinsip hukum melalui Ombudsman, Kebebasan
Memperoleh Informasi, dan pelembagaan control kepada
eksekutif.
Versi akhir dari doktrin ini menekankan formalitas daripada
kandungan aspek hukum yang bersifat substantif, sehubungan
dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, dan dalam
kenyataannya, adalah pandangan politik Barat.5 Dengan kata
lain, peraturan adalah fakultatif, bukan substantif, dan bukanlah
sesuatu yang secara otomatis melekat untuk menjamn suatu
keadaan yang lebih baik.6 Dalam argumen Teori Formal hanya
melihat dalam sebagian hal secara politik, yang mengingkari
kenyataan adanya bermacam-macam tradisi hukum di Barat,
dan juga secara ekonomi tidak memperhatikan aspek ekonomi
dalan kerangka Welfare State. Kerangka Teori Formal nampak
lebih menunjukkan dimensinya sebagai suatu garis ideologis.7
Padahal hukum sendiri menapakkan diri ke dalam bermacam-
macam formasi dan criteria antara lain diundangkan untuk
diketahui umum dan tidak diam-diam, pada umumnya berlaku
prospektif dan tidak retroaktif, tidak memungkinkan untuk
diuji, jelas dan berkesinambungan satu dengan yang lain serta
stabil; disusun dengan panduan aturan hukum; pihak yang
memuat dan pemerintah bertanggung jawab atas
pemformasiannya; dan pengelolaannya sejajar dengan prinsip-
prinsip hukum itu sendiri.
Pendapat terakhir dewasa ini memasukkan unsur-unsur
formal penataan kelembagaan seperti independensi kekuasaan
kehakiman terhadap Pemerintah dalam memutus perkara
individual, ada profesi hukum mandiri, akses ke pengadilan,
penerapan keadilan alamiah (dalam hal ini pengambilan
keputusan yang tidak bias hukum dan mendengarkan para
pihak secara setara), dan imparsialitas dan kejujuran dalam
penegakan hukum. 9
Sesungguhnya, suatu proses juga merupakan unsur yang
penting dalam penekanan pemeriksaan yang adil (dua process
of law), seperti memberikan kesempatan yang sama kepada
para pihak, oleh pengadilan atau pejabat yang independen,
untuk memperoleh keputusan rasional yang didasarkan kepada
hukum.10 Dengan landasan Teori Formal, tak ada argumen
untuk menjelaskan bahwa suatu rezim bersifat demokratis atau
humanis atau sebaliknya menolak hak asasi manusia, jika
masih terjadi diskriminasi dan hambatan kebebasan beragama.
Sepanjang rezim mengakui susunan hukum dalam pengertian
formal, maka di situlah hukum itu terasa telah dihadirkan.
Di sejumlah negara kawasan Asia Timur seperti Cina,
bahwa hukum yang ditentukan oleh seseorang merupakan hal
yang berbahaya. Pengalaman terjadinya Revolusi Kebudayaan
(1966-1976) telah membuktikannya. Dengan kata lain rule by
law, pemerintahan yang dilaksanakan menurut hukum
dibandingkan pengaturan dalam kedikatatoran, merupakan
sesuatu penting, baik secara politik mapun sarana untuk
menuju modernisasi.12 Dalam argumen ini, aturan-aturan yang
ditentukan hukum, lebih baik dibandingkan aturan-aturan yang
bersifat personal. Dengan demikian, hukum menjadi rasional
untuk mengatur atau menentukan arah perkembangan
masyarakat.13 P
ada sisi lain, berlawanan dengan keyakinan ini, ada
keyakinan yang tipis diantara pimpinan pemerintahan senior
mengenai pentingnya akuntabilitas, yang sejumlah sektor
mereka dengan efektif bisa mengabaikan hukum, sekali pun itu
pimpinan rendahan dalam perang melawan korupsi. Dari sudut
pandang instrumentalis, kenyataan yang bertentangan ini
menunjukkan ada hubungan antara hukum dalam partai tunggal
dan pengaturan hukum merupakan sesuatu yang problematik.
Pada satu hal partai harus mengesampingkan hukum,
sementara di sisi lain partai harus memandu negara, dalam hal
ini adalah melalui hukum. Sekali pun secara resmi adanya yang
mengatakan bahwa hal ini bukanlah suatu penyimpangan,
tetapi ada suatu kenyataan bahwa pimpinan partai politik dapat
berada di atas hukum. China sendiri telah menentukan bahwa
partai harus mematuhi hukum karena partai lah yang
menyediakan personil untuk memimpin negara.
Di kawasan ASEAN (Association of South East Asia
Nations) berkembang suatu rule of law yang bersifat “tipis”, di
mana Pemerintah mengedepankan positivisme untuk
mewujudkan pertumbuhan ekonomi dengan menekankan
aspek-aspek formal atau instrumental dari setiap sistem hukum.
Prinsip yang muncul yaitu “hukum adalah apa yang ditulis”,
yang mendorong pemahaman kepada variasi baru sebagai rule
by law.
Demikian apa yang terjadi dengan Laos, Vietnam, dan
Kamboja, yang pada tahun 1990-an menganut rule of law
“tipis”, partai-partai komunis yang berkuasa di negara itu
berada di atas hukum dan dengan pemikiran merendahkan
hukum. Menurut Ronald Bruce St-John, akibatnya pemerintah
negara itu daam decade setelah 1975 menghadapi kendala-
kendala yang luar biasa dalam memberlakukan rule of law
karena penemapatannya melibatkan pertentangan dasar antara
penghormatan terhadap otoritas dan tradisi serta kerangka
hukum yang dianggap oleh banyak ekonom dan sarjana lainnya
penting bagi ekonomi pasar.14
Sebaliknya, secara oposisional pakar lain mengajukan
konsep rule of law yang “tebal”, yang mencakup cita-cita
substantif seperti Hak Asasi Manusia dan tata pemerintahan
yang baik. Thailand “telah berusaha membawa hukum
mengikuti perkembangan ekonomi dan sosial saat ini dan
perlindungan terhadap hak-hak individu menurut rule of law.15
Konstitusi (1997), yang sempat dianggap konstitusi partisipatif,
yang memberikan perlindungan tehradap proses hukum dan
kebebasan, diformasi oleh pelajaran dari pengalaman negara
tas hukum keadaan perang. Namun demikian, jaminan-jaminan
formal terhadap Hak Asasi Manusia melalui rule of law tidak
selalu memberikan pengaruh dalam praktiknya.
Suatu kesulitan membicarakan negara di kawasan Asia
Timur dan Tenggara, yang secara faktual wilayahnya
terbentang dari Jepang hingga ke Burma dan Korea Utara pada
sisi yang lain, yang mengalami dilema antara kerumitan hukum
dengan pertumbuhan ekonomi.16 Perlu dicatat bahwa di negara-
negara ini politik, ekonomi, dan lembaga-lembaga lainnya tak
selalu berkesesuaian. Filipina (sejak 1986) mempunyai
konstitusi modern, ada kebebasan pers, akan tetapi mengalami
kemunduran dalam hal ekonomi karena adanya mekansime
feodalisme dalam penguasaan tanah. Hal yang sama terjadi di
India, sementara Pakistan mempunyai demokrasi lemah,
ekonomi semifeodal, dan serupa dengan Bangladesh, marak
kronikal politisi dan korupsi yang meluas.
Singapura pada sisi lain, bersih dari korupsi, mempunyai
birokrasi yang efisien dan modern, standar hidup yang tinggi,
tetapi menjalankan partai tunggal yang paranoid terhadap
oposisi. Karakteristik serupa dijumpai di Malaysia, hanya
karena kemajemukan masyarakatnya menghasilkan sistem
demokrasi, pengadilan dan pers yang lebih terbuka
dibandingkan dengan tetatangganya itu.
Brunei Darussalam, masih dikelola dalam format negara
dalam keadaan darurat (sejak 1962) dan isu-ksu seperti tata
pemerintahan yang baik sangat bergantung kepada individual
tanpa kerangka institutisonal untuk menjamin kelanjutan
perdamaian dan stabilitas. Kebebasan berbicara dibatasi oleh
Undang-Undang Penistaan (Deformation Act), Undang-
Undang Surat kabar (Newspaper Act), Undang-Undang
Pemberontakan (Sedition Act), dan diperbolehkannya
penggunaan hukum fisik bagi pelanggaran imigrasi. Konstitusi
1959, yang diubah tahun 1984 dan 2004, memperbesar
kekuasaan sultan dengan menghapus wewenang Dewan
Legislatif guna mengawasi Dewan Eksekutif, oleh sebab itu
pemisahan kekuasaan menjadi absen.
Di Myanmar, dari 1988-2011, diperintah oleh sekelompok
perwira militer yang disebut State Law and Orde Restoration
Council (SLORC) dan State Peace and Devopment Council
(SPDC). Pemerintah dan pejabatnya tidak bertanggung jawab
secara hukum. Kekebalan ini terus berlangsung hingga
disahkannya Konstitusi 2008 sehingga sekali pun konstitusi ini
mempunyai lembaga peradilan yang ditulis independen, akan
tetapi ia akan menerima tantangan baru mengenai keabsahan,
cakupan, atau penerapan klausul kekebalan tersebut. Konstitusi
juga mengesahkan dan melanggengkan aturan militer, di mana
antara lain angkatan bersenjata diberikan wewenang untuk
mengambil segala tindakan jika dipandang perlu dalam rangka
“berpartisipasi dalam kepemimpinan politik negara”, yang
mana klausula ini tidak dapat diganggu gugat. Sementara itu,
setiap diperlukan panglima angkatan bersenjata dapat
144 | Rule of Law
melakukan kapan pun reposisi kekuasaan eksekutif, legislatif,
dan yudisial, atas nama langkah-langkah yang diperlukan
dalam situasi darurat. Ciri pengaturan ini unik diantara
konstitusi di negara-negara anggota ASEAN, jika tidak dapat
dikatakan satu-satunya di dunia.
Taiwan menjadi negara pertama yang menerapkan
demokrasi modern dan mampu mengadopsinya dengan kultur
China,17sebagaimana juga di Korea Selatan.18 Indonesia di
masa Orde Baru, mempunyai sistem politik yang didominasi
militer tetapi pelanggaran HAM masih terjadi19, yang dalam
konteks ini sering disebut soft-authoritarianism.
Pada sisi lain, kelahiran rule of law membutuhkan dukungan
baik dalam taraf gagasan maupun praktik. Minimal, konstitusi
yang ada mewadahi prinsip-prinsip tersebut, atau lebih dari itu,
konstitusi diberi kedudukan sebagai hukum yang tertinggi
sebagai pedoman dalam pemformasian hukum maupun
kebijakan (policy). Dengan sendirinya, jika unsur tersebut
dipenuhi, akan mencerminkan keterwakilan konstitusi sebagai
sebuah instrumen. Sudah semestinya, jika instrumen itu
didukung oleh suatu peradilan yang independen dan
pemformasian Undang-Undang oleh lembaga politik yang
dipilih melalui pemilihan. Sebagai implikasinya, Mahkamah
Agung diberikan wewenang untuk menguji Undang-Undang,
untuk menghilangkan pertentangan proses pemilihan umum
maupun tata cara penyusunan Undang-Undang tersebut. Sudah
tentu, mekanisme semacam itu akan ditolak, sampai kemudian
prinsip-prinsip hukum itu dihormati. Untuk menjamin
konstitusi dan akuntabilitas hukum, di samping mekanisme
pengujian (judicial review) oleh badan pengadilan yang
independen, sejumlah negara juga memformasi Ombudsman,
lembaga antikorupsi, dan pengadilan tata usaha negara. Jika
lembaga-lembaga itu ada dan berjalan secara efektif, maka
akan memperluas semua persoalan dikontrol secara eksternal
oleh hukum, dan memperdalam fungsi hukum dalam proses-
proses administrasi pemerintahan. Sekali pun jaminan hak-hak
individual diperdebatkan, akan tetapi sejumlah negara telah
mengadopsi kontrol terhadap tindakan pemerintahan tersebut.
20
Dalam tataran sebagai suatu ideologi, rule of law telah
ditelaah dari sudut pandang liberal, sejumlah pakar, yang
sebagian meninjau dari perspetif “kiri”, mengkritisi topeng
ideologi dalam akses mengenai retorika sehubungan dengan
kesetaraan di muka hukum dan imparsialitas sebagai topeng
yang menggarisbawahi ketidaksetaraan dan eksploitasi.21
Dalam berbagai tulisan itu, digunakan bermacam-macam
varian. Pandangan E.P. Thompson, misalnya, dalam kajian
20 Lihat analisis lengkap dalam R. H. Hickling dan D. A. Wishart,
“Malaysia: Dr Mahathir's Thinking on Constitutional Issues”, Lawasia ,
1988-1989, hlm. 47-79.
21 Jones, op.cit., 204; Roberto Unger , 1976, Law in Modern Society:
Towards a Criticism of Social Theory. New York: Free Press.: 52-57, 66-
76, 166-181, 192-216, dan 238-242.
146 | Rule of Law
yang hati-hati sejarah Inggris abad ke-18, mengikuti gagasan
ini, akan tetapi, menyimpulkan bahwa dalam sistem yang
dikuasai oleh golongan kelas, menerima penerapan hukum
dalam rangka menjaga kepentingannya atau untuk memberikan
legitimasi.22 Dengan kata lain, sebagai akibat golongan kelas
menggunakan hukum maka akan menyamarkan aksi politik
sesungguhnya yang dikehendakinya. Tahap pertama dari
perkembangan ini adalah para pemegang kekuasaan politik
meletakkan mereka yang diperintah dalam garis yang
ditentukannya. Akan tetapi, “these campaigns have a habit of
creating demands to extend the rules even higher to encompass
the behaviour of the ruling class.”23
Untuk itu, dalam rangka memahami rule of law, ia tidak bisa
mengenai segala sesuatu yang baik yang diiinginkan oleh
rakyat dan pemerintahannya. Godaan terus menerus untuk
memahami rule of law demikian adalah bukti kekuasaan
simbolis dan rule of law, tetapi hal ini seharusnya tidak
dituruti. Rule of law dapat digunakan untuk bermacam-macam
kepentingan. Ia dapat digunakan sebagai sebuah pedang oleh
para pembuat kebijakan asing dan donor yang mencoba untuk
mengekspor teori-teori dan kebijakan-kebijakan etnosentris,
terlepas dari apakah teori-teori ini dapat diterima oleh
masyarakat di negara yang berkembang. Sebagai contoh,
semenjak di bawah otoritas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
pada tahun 1992-1993, Kamboja telah menerima miliaran dolar
dalam formasi bantuan asing untuk mereformasi lembaga-
lembaga peradilan utama. Tetapi bantuan dana tidak selalu
berarti adanya hasil-hasil positif yang abadi karena tidak
adanya penilaian empiris oleh konsultan domestik.
Rule of law juga telah digunakan sebagai tameng oleh
negara-negara berkembang yang ingin mengurangi atau
meniadakan pentingnya hak-hak individu, dan dengan mudah
memberikan legitimasi kepada ajaran-ajaran komunitarian
tertentu. Dipelopori oleh Indonesia, Malaysia, dan Singapura,
Deklarasi Bangkok (1993) mengemukakan bahwa “nilai-nilai
Asia” yang dimiliki oleh kawasan itu bertentangan dengan
nilai-nilai Barat yang didasarkan kepada individu.
SISTEM
PEMERINTAHAN
A. Pengertian
Secara teoritis, sistem pemerintahan menunjuk kepada cara
kerja lembaga-lembaga negara dan hubungannya satu sama
lain.1 Dalam pandangan Moh. Mahfud M.D. sistem
pemerintahan diartikan sebagai sistem hubungan dan tata kerja
antara lembaga-lembaga negara.2 Meskipun dalam cakupan
lebih sempit, Sri Soemantri menegaskan bahwa ditinjau dari
1 Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung, Penerbit
Alumni, hlm. 199.
2 Moh. Mahfud M.D., 1993, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta,
Penerbit LP3ES, hlm. 83.
150 | Sistem Pemerintahan
hukum tata negara sistem pemerintahan menggambarkan
hubungan antara legislatif dengan lembaga eksekutif 3
Pendapat Sri Soemantri mirip dengan I Gede Pantja Astawa
yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan merupakan
hubungan kekuasaan, wewenang, atau fungsi antara dua organ
negara ataupun pemerintahan secara timbal balik, terutama
hubungan antara eksekutif dan legislatif.4 Penelitian ini
sepenuhnya merujuk kepada pemaknaan sistem pemerintahan
dalam perspektif hukum tata negara terutama sebagai jalinan
relasi kekuasaan antara lembaga eksekutif dengan lembaga
legislatif.
Dalam perspektif ini, kecenderungan teoritis pada akhirnya
menunjukkan adanya 2 (dua) model sistem pemerintahan yang
satu sama lain bersifat ekstrim, yaitu sistem presidensial dan
sistem parlementer. Walaupun demikian, kiranya diakui,
bahwa sebagai sistem politik, sistem pemerintahan
mengandung variasi-variasi tertentu ketika dipraktikkan dalam
suatu negara. Tetapi sistem presidensial dan sistem parlementer
mempunyai ciri-ciri yang secara akademik dapat dibedakan
satu dengan yang lainnya.
Menurut Moh. Mahfud M.D., sistem presidensial
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Kepala Negara menjadi kepala pemerintahan (eksekutif);
2) Pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen
(DPR), parlemen dan pemerintah adalah sejajar;
3) Menteri-menteri diangkat dan bertanggung jawab kepada
presiden;
4) Eksekutif dan legislatif sama-sama kuat.
Sementara itu sistem parlementer mengandung ciri-ciri
sebagai berikut:
1) Kepala Negara tidak berkedudukan sebagai Kepala
Pemerintahan karena ia lebih bersifat simbol nasional
(Pemersatu bangsa);
2) Pemerintah dilakukan oleh sebuah kabinet yang dipimpin
oleh seorang Perdana Menteri;
3) Kabinet bertanggung jawab kepada dan dapat dijatuhkan
oleh parlemen melalui mosi;
4) Kedudukan eksekutif (kabinet) lebih rendah (dan
bergantung kepada) parlemen.
Sebagai imbangan dari lemahnya kabinet ini, Kabinet dapat
meminta kepada kepala negara untuk membubarkan parlemen
dengan alasan yang sangat kuat sehingga parlemen dinilai tidak
representatif. Akan tetapi, jika demikian yang terjadi dalam
waktu yang relatif pendek kabinet harus menyelenggarakan
pemilu untuk memformasi parlemen baru.
Dari uraian di atas, secara singkat dikatakan bahwa ranah
teoritis sistem pemerintahan dalam penelitian ini menunjuk
kepada sistem hubungan antara eksekutif dengan legislatif.
Hubungan tersebut menciptakan sistem pemerintahan yang
dapat dipilah dalam 2 kategori besar yaitu sistem presidensial
dan sistem parlementer. Dengan mengabaikan berbagai deviasi
152 | Sistem Pemerintahan
dalam ranah praksis, masing-masing sistem itu mempunyai ciri
pembeda satu sama lain.
Pemerintahan demokrasi dengan sistem parlementer
ditandai oleh hubungan yang erat antara organ eksekutif dan
parlemen. Ditinjau dari proses pembuatan undang-undang di
Indonesia, nampak adanya koordinasi yang erat antara presiden
dan DPR. Pada pembuatan undang-undang menurut kebiasaan
dalam sistem parlementer, kepala negara dilibatkan dalam
pengesahan undang-undang sehingga sifatnya hanya formal.
Dalam negara republik yang bersistem presidensial,
keterlibatan presiden selaku kepala negara semata-mata bersifat
formal, tetapi presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai
kepentingan sebagai badan yang melaksanakan undang-
undang. Karena itu pengesahan undang-undang oleh presiden
harus diartikan pula sebagai persetujuan terhadap isi undang-
undang.
Menurut Suwoto Mulyosudarmo, di dalam kepustakaan
terdapat kerancuan penggunaan istilah di mana sistem
pemisahan kekuasaan dianggap identik dengan sistem
presidensial dan sistem kekuasaan terpadu (fused powers)
dianggap identik dengan sistem parlementer.6 Dalam hubungan
ini dapat diuraikan lebih lanjut bahwa pembedaan sistem
pemisahan kekuasaan dari sistem kekuasaan terpadu,
didasarkan kepada pembedaan proses pembuatan undang-
undang, sementara pembedaan sistem parlementer dan sistem
Atas dasar pemikiran seperti itu, penulis setuju dengan
argumentasi yang disusun oleh Suwoto Mulyosudarmo ketika
mengatakan bahwa sistem pemerintahan di Indonesia tidak
perlu disebut sebagai perpaduan antara sistem presidensial
dengan sistem parlementer.8 Dalam proses pembuatan undang-
undang, Indonesia menganut sistem kekuasaan terpadu,
sedangkan penyelenggaraan kekuasaan eksekutif memakai
sistem presidensial. Konsekuensi penggunaan sistem
presidensial adalah bahwa setiap keputusan yang dikeluarkan
oleh menteri secara administratif harus dibuat atas nama
presiden. Pilihan lain dari pembuatan keputusan menteri atas
nama Presiden dapat dilakukan dengan formasi Keputusan
Presiden.
.jpeg)
