cyber crime 22
Semakin berkembangnya teknologi di era yang canggih
saat ini, menjadikan teknologi tidak dapat dilepaskan lagi dari
kehidupan sehari-hari. Apapun kegiatan atau pekerjaan
manusia saat ini telah ditopang dan bahkan sangat bergantung
dengan teknologi. Salah satu yang paling berpengaruh yaitu
perkembangan Teknologi Informasi atau yang biasa kita
sebut IT. Tanpa sadar teknologi IT ini ikut mempengaruhi
budaya, sosial, dan politik pada suatu bangsa. Sehingga pada
perkembangannya, selain membawa manfaat yang besar IT
juga membawa dampak buruk pula. Salah satu dampak buruk
yang ditimbulkan yaitu adanya penyalahgunaan dari
teknologi IT oleh oknum dan pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab yang bertujuan mengambil keuntungan
dengan cara-cara yang merugikan banyak orang dan bahkan
melanggar hukum yang telah diatur dalam sebuah negara.
Bentuk pelanggaran seperti ini kini disebut dengan
“Kejahatan IT” atau yang biasa kita kenal dengan kata “IT
Crime”.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan
penduduk terbanyak di dunia. Dilihat dari situs
Worldometers Indonesia berada di peringkat 4 dengan
total 266.794.980 berada di bawah Amerika Serikat, India
dan Tiongkok [2]. Didukung dengan semakin luasnya
jangkauan layanan internet, serta murahnya harga
perangkat pendukung pemakaian internet seperti
smartphone, personal computer, tablet, laptop dan lain
sebagainya membuat pengguna perangkat Teknologi
Informasi tumbuh pesat di Indonesia.
berdasar situs katadata.co.id, jumlah pengguna
internet di Indonesia pada tahun 1998 hanya mencapai 500
ribu, sangat jauh jika dibandingkan dengan tahun 2017
yang mencapai lebih dari 100 juta pengguna. Menurut data
survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia), pengguna internet di Indonesia pada 2017
telah mencapai 142 juta jiwa atau 54,69 persen dari jumlah
penduduk di Indonesia. Pengguna internet pada tahun
2016 tumbuh 7,9% dari tahun sebelumnya dan tumbuh
lebih dari 600% dalam 10 tahun terakhir [3].
B. Cybercrime
Cybercrime merupakan kejahatan baru yang muncul
sebagai akibat dari berkembangnya Teknologi Informasi.
Cybercrime melibatkan komputer dalam pelaksanaannya.
Kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan kerahasiaan,
integritas dan keberadaan data dan sistem komputer perlu
mendapat perhatian khusus, sebab kejahatan-kejahatan ini
memiliki karakter yang berbeda dari kejahatan-kejahatan
konvensional [4]. Namun menurut penelitian lain, sarana
yang dipakai tidak hanya komputer melainkan juga
teknologi [5]. Sehingga, dengan berkembangnya
teknologi di Indonesia yang sangat pesat saat ini
khususnya Teknologi Informasi menjadikan Cybercrime
ini salah satu kasus yang harus benar-benar kita
perhatikan dan kita waspadai. sebab bagaimanapun
kejahatan seperti ini pasti akan terjadi dalam suatu
wilayah atau negara. Tergantung bagaimana usaha suatu
wilayah atau negara itu dalam menanganinya.
C. Kasus Cybercrime di Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, kasus Cybercrime
semakin marak terjadi di seluruh belahan dunia, begitupun
Indonesia. Munculnya beberapa kasus "Cyber Crime" di
Indonesia, seperti penggelapan uang di bank melalui
komputer, kasus video porno yang diunggah di internet,
hacker, carding atau kejahatan yang dilakukan untuk
mencuri nomor kartu kredit milik orang lain dan
digunakan dalam transaksi perdagangan di internet,
penyebaran virus dengan sengaja di internet,
cybersquatting yang diartikan sebagai mendaftar, menjual
atau memakai nama domain dengan maksud
mengambil keuntungan dari merek dagang atau nama
orang lain melalui internet dan kasus pencurian dokumen
pemimpin negara melalui internet, semua kasus
cybercrime ini menunjukkan gejala pergeseran masalah
sosial dari dunia nyata. Tindak kejahatan ini dalam
prateknya memakai teknologi telematika canggih
yang sulit untuk dilihat dan dapat dilakukan di mana saja
[6]. Modus dan motif cybercrime kian kompleks makadari
itu tidak ada jaminan keamanan di cyberspace, dan tidak
ada sistem keamanan komputer yang Para hacker akan
terus mencoba untuk menaklukkan sistem keamanan yang
paling canggih, dan merupakan kepuasan tersendiri bagi
hacker jika dapat membobol sistem keamanan komputer
orang lain [7].
Melalui situs yang dimuat oleh forbes.com, dengan
judul artikelnya yaitu “The Top Cyber Security Risks In
Asia-Pacific In 2017” dituliskan bahwa pada bulan Maret,
varian ransomware yang dikenal sebagai KimcilWare
terlihat menargetkan situs web yang menjalankan
platform eCommerce Magento. Varian ini diduga telah
dikembangkan di Indonesia. Selain itu juga, disebutkan
bahwa para pelaku dari Asia Pasifik sangat aktif dalam
kegiatan carding (perdagangan kartu kredit dengan rincian
rekening bank orang lain). Taktik, teknik dan prosedur
(TTPs) yang terlibat dalam carding sedang dibagikan baik
dalam grup tertutup di Facebook dan di forum web yang
mendalam. Peretas dari Bangladesh, Pakistan, India,
Filipina dan Indonesia diamati sebagai yang paling aktif
dalam hal ini [8]. Menurut survey yang dilakukan oleh
salah satu aplikasi keamanan komputer yaitu Norton, yang
di unggah pada website resminya, disebutkan bahwa
dalam setahun terakhir lebih dari 978 juta orang dewasa
di 20 negara cybercrime global yang berpengalaman,
salah satunya Indonesia dengan total 59,45 juta orang
dewasa yang menjadi pelaku cybercrime. Dan untuk
kerugiannya, tidak tanggung seperti yang telah disebutkan
juga oleh Norton, total kerugian konsumen yang menjadi
korban cybercrime secara global, Indonesia mencapai
nilai yang sangat fantastis yaitu $ 3.2 miliar [9].
Hal ini telah menjelaskan, bahwa Indonesia
seharusnya lebih peduli dan paham, bahwa Cybercrime
yaitu kejahatan yang patut kita waspadai. Semakin
sering kita terhubung dengan Internet, semakin besar pula
kemungkinan kita mengalami kejahatan siber. Menurut
salah satu artikel berita nasional, kasus kejahatan siber
yang menonjol di Indonesia yaitu ujaran kebencian.
Secara umum, baik melalui media sosial maupun sarana
lain, kasus ujaran kebencian yang ditangani Polri selama
2017 sebanyak 3.325 kasus. Sementara pada 2016, kasus
ujaran kebencian yang ditangani Polri sebanyak 1.829
kasus [10]. Bukan hanya itu, sebenarnya masih banyak
kasus siber yang terjadi di Indonesia, namun sayangnya
masih belum memiliki perhatian khusus baik dari
pemerintah, hingga warga itu sendiri yang
notabennya yaitu pelaku dan juga korban kasus ini ,
yaitu Pemberitaan Berita Bohong (Hoax). Kasus
Pemberitaan Berita Bohong (Hoax) yaitu kasus yang
paling sering terjadi, dan bahkan sering dijumpai disekitar
kita, setiap hari dilakukan oleh anggota keluarga kita,
teman-teman kita, oleh orang-orang disekitar kita.
D. Penanganan Cybercrime di Indonesia.
Dunia menghadapi dilema yang sama tentang cara
memerangi cybercrime dan bagaimana cara efektif
mempromosikan keamanan kepada warga dan
organisasi mereka. Kejahatan dunia maya, tidak seperti
kejahatan tradisional yang dilakukan di satu lokasi
geografis, namun dilakukan secara online dan sering tidak
jelas terkait dengan lokasi geografis mana pun. Oleh
sebab itu, diperlukan respon global yang saling
terkoordinasi terhadap masalah cybercrime [11]. Salah
satunya Indonesia, kini pemerintah mempersiapkan
strategi untuk menghadapi kasus Cybercrime yang mulai
menjadi perhatian khusus saat ini.
Adapun usaha yang telah dilakukan pemerintah
yaitu salah satunya dengan membentuk Badan Siber dan
Sandi Negara (BSSN). BSSN yang dibentuk dengan
mempertimbangkan bidang keamanan siber merupakan
salah satu bidang pemerintahan yang perlu didorong dan
diperkuat sebagai usaha meningkatkan pertumbuhan
ekonomi nasional dan mewujudkan keamanan nasional.
Pembentukan BSSN merupakan usaha untuk menata
Lembaga Sandi Negara menjadi Badan Siber dan Sandi
Negara guna menjamin terselenggaranya kebijakan dan
program pemerintah di bidang keamanan siber[12].
Selain itu, dalam hal ini Polri sebagai aparat penegak
hukum Indonesia telah menyiapkan unit khusus untuk
menangani kejahatan cyber ini yaitu UNIT V
IT/CYBERCRIME Direktorat II Ekonomi Khusus
Bareskrim Polri. Polri dalam hal ini khususnya unit
cybercrime memakai parameter berdasar
dokumen kongres PBB tentang The Prevention of Crime
and The Treatment of Offlenderes di Havana, Cuba pada
tahun 1999 dan di Wina, Austria tahun 2000, yang
merumuskan cybercrime sebagai perbuatan melawan
hukum yang dilakukan dengan memakai jaringan
komputer sebagai sarana/ alat atau komputer sebagai
objek, baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak,
dengan merugikan pihak lain [13].
Adanya penegak, kurang sesuai jika tanpa hukum
yang diberlakukan. Oleh sebab itu, Indonesia pun
membentuk hukum untuk mengatur Cybercrime, dalam
hal ini ada 2 hukum utama yang digunakan yaitu – Hukum
Telekomunikasi UU No. 36/1999 dan Hukum Information
Transaction Electronics (ITE) UU No. 11/2008. Menerut
pengamatan mendalam yang dilakukan oleh Leo dan
Dinita terhadap sejarah kasus cybercrime di Indonesia,
menunjukkan bahwa landasan hukum untuk cybersecurity
masih lemah. Dibandingkan dengan negara lain,
Indonesia tertinggal dalam hal kebijakan dan peraturan
keamanan TIK. Misalnya di Malaysia, sudah memiliki
UU Kejahatan Komputer, Digital Signature Act,
Telemedicine Act (tiga dari mereka telah diberlakukan
sejak 1997), Multimedia Act (1998), Payment System Act
(2003) dan Personal Data Act (2010). Singapura juga
memiliki satu set peraturan serupa. Kedua undang-undang
yang ada memiliki keterbatasan mereka sendiri. UU
Telekomunikasi, hanya mengenai lingkup
telekomunikasi, namun tidak disebutkan infrastruktur
telekomunikasi misalnya dalam konteks internet.
Sehingga membuatnya sulit untuk menempatkan ke dalam
konteks kasus-kasus tertentu. Selain itu, sementara
undang-undang khusus pada cybercrime telah
diberlakukan melalui Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) namun ruang lingkupnya juga
terbatas, sebab masih memerlukan undang-undang lain
untuk melengkapi. sebab keterbatasan ini, kasus
kriminal yang terkait dengan kejahatan cyber sedang
terjadi dihukum dengan KUHAP Hukum Acara Pidana
(UU KUHAP), Perlindungan Konsumen UU No. 8/1999,
UU Hak Cipta No. 19/2002 atau UU Anti-Pornografi
No.44/2008. Namun Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik No. 11/2008 terbentuk landasan
pemerintahan cybersecurity terkait (serta perdebatan)
negara [14].
Meskipun lemah dalam hal legislatif, Indonesia
cukup kuat dalam hal teknis dan langkah prosedural.
Kerja sama internasional juga tidak dianggap sebagai
masalah sebab Indonesia meningkatkan kerjasama
internasionalnya dengan berbagai organisasi, pakar
keamanan dan forum untuk meningkatkan
pemahamannya terhadap ancaman global. Sebagai
perwujudan dari prinsip ini dalam cybersecurity,
Indonesia telah menjadi anggota penuh APCERT dan
FIRST dan pendiri OIC-CERT. Adapun langkah-langkah
teknis, Indonesia telah secara resmi mengakui kepatuhan
persyaratan melalui SNI / ISO / EIC 27001: 2013 tentang
Sistem Manajemen Keamanan Informasi. Untuk
meningkatkan kesadaran keamanan dan melacak
kemajuan, Indonesia memiliki kerangka tersendiri untuk
menilai keamanan informasi domestic di seluruh instansi
pemerintah. Indeks KAMI (Keamanan Informasi
Nasional Indeks) mengevaluasi lima bidang keamanan
informasi: tata kelola, manajemen risiko, kerangka kerja,
manajemen aset, dan teknologi [14]. Namun, masih ada
banyak pekerjaan yang diperlukan. Tidak adanya
roadmap tata kelola nasional yang diakui secara resmi
untuk keamanan siber yaitu salah satu prioritas yang
mendesak (ITU 2015). Sehubungan dengan penerapan
standar internasional, ITU (2015) mencatat bahwa
Indonesia belum secara resmi menyetujui keamanan siber
nasional dan kerangka kerja. Ini juga berlaku untuk
sertifikasi. Saat ini, Indonesia tidak memiliki keamanan
siber nasional dan kerangka kerja yang disetujui secara
resmi untuk sertifikasi dan akreditasi lembaga nasional
dan professional sector umum. Asosiasi Penyedia Internet
Indonesia (APJII) mengkonfirmasi temuan ini dengan
menambahkan bahwa saat ini standar yang ada sebagian
besar diadopsi dari entitas regional atau internasional
(wawancara, 2016) [14].
E. Kesadaran warga Terhadap Keamanan TI
Meningkatnya Cybercrime di Indonesia telah
menjadikan pemerintah dan aparat hukum melakukan
beberapa antisipasi untuk menekan jumlah kejahatan
diinternet melalui perubahan Undang-Undang sesuai
perkembangan teknologi. Pemberian materi Etika
Komputer di Perguruan Tinggi dan Pemahaman tentang
kesadaran keamanan berinternet kepada para
penggunanya. Namun semua kembali kepada masingmasing pengguna Teknologi Informasi ini untuk sadar
tentang pentingnya mengamankan data-data dan
aktifitasnya [15]. Namun sayangnya tingkat kepedulian
pengguna dalam menjaga keamanan TI masih belum
tinggi. Seperti yang telah di publikasikan pada situs
Hootsuite.com diperoleh prosentasi akan sikap
warga Indonesia dalam merasakan peran teknologi
dan perspektif mereka tentang privasinya
Selain itu peningkatan Cybercrime di Indonesia juga
sebab pengaruh kemajuan Teknologi Informasi itu sendiri
dalam mempengaruhi budaya di Indonesia. Mulai dari (1)
perbedaan pria dan wanita (2) meningkatnya rasa percaya diri
(3) dan adanya tekanan [17]. Dengan budaya warga di
Indonesia yang telah mengakar kuat dan sangat
mempengaruhi kehidupan sosialnya, kasus Cybercrime ini
muncul dan masuk melalui celah kelemahan pada sosial
budaya masyakart di Indonesia. Sehingga kesadaran
warga dalam kasus Cybercrime ini harus bisa
ditanamkan lebih kuat lagi sebab harus merubah budaya
masyakaratnya pula.
III. ANALISA
Dengan banyaknya jenis kejahatan siber yang terjadi di
Indonesia, pihak kepolisian telah melakukan perhitungan
kasus-kasus kejahatan siber yang terjadi di Indonesia dengan
prosentasenya masing-masing didapatlah bahwa kasus
kejahatan siber yang paling banyak terjadi di Indonesia pada
tahun 2017 yaitu kejahatan penyebaran berita bohong atau
biasa disebut berita hoax. Seperti yang dilansir oleh laman
okezone.com, Ketua Kepolisian Republik Indonesia (atau
biasa disingkat Kapolri), Jenderal Tito Karnavian
mengatakan, bahwa tingkat penyebaran hoax yang semakin
marak ini yaitu disebab kan sudah bebasnya pemakaian
sosial media di kalangan warga Indonesia akhir-akhir
ini.
Dalam analisa kami selanjutnya, alasan mengapa kasus
kejahatan siber yang paling banyak terjadi di Indonesia pada
tahun 2017 dan 2018 ini yaitu kasus penyebaran berita hoax
yaitu sebab ditemukannya lima penyebab dari hasil studi
literatur, yaitu sebagai berikut.
1. sebab bebasnya pemakaian media sosial. Kemudahan
yang dijanjikan dan disajikan oleh media internet bukan
hanya dimanfaatkan oleh pelaku bisnis komputer dan
elektronika, namun juga mengunggah pelaku bisnis yang
bergerak di bidang penerbitan dan pemberitaan [18].
Akibat pertumbuhan dari perkembangan internet yang
cukup signifikan dari tahun ke tahun ini
menyebabkan semakin maraknya penyebaran berita
bohong atau hoax. Dalam menyebarkan berita hoax,
biasanya pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab itu
melakukan suatu kebohongan dan menyebarkan
informasi yang tidak benar secara sadar. Hal itu sama
sekali tidak menimbulkan kekhawatiran bagi para pelaku
dalam melakukan aksinya disebab kan kurnagnya
penyaringan berita di media social sehingga berita
apapun yang dibagikan dapat dengan mudah tersebar
[17].
Di sisi lain, hal lain yang dapat mendorong
mudahnya berita hoax ini tersebar secara cepat
yaitu dari sisi warga Indonesia sendiri.
warga masih belum memiliki pemahaman dan
pengetahuan hukum yang memadai tentang dampak dan
ancaman dari penyebaran berita bohong atau hoax.
Selain itu, mudahnya penyebaran berita hoax ini
yang dilakukan oleh warga ke berbagai media social
dapat menyebabkan penyebaran berita ini menjadi
massif, sehingga akan susah untuk dilakukan klarifikasi
[18]. Didapat pada Tabel 1, terlihat pada poin 3
bahwasanya tingkat kepercayaan akan privasi data dan
perlindungannya oleh warga mencapai 79%,
dimana hal itu menunjukkan bahwa sebagian besar
warga Indonesia merasa bahwa data-data mereka
sudah cukup aman. Dari sini dapat diketahui bahwa
untuk mencegah terjadinya penyebaran berita hoax pada
poin satu ini yaitu dengan memberikan edukasi
mengenai UU ITE dan sosialisasi mengenai bahaya
penyebaran berita tanpa dikethaui sumbernya dengan
jelas kepada warga .
2. sebab merupakan kejahatan yang terlihat sehingga
mudah diadukan. Kasus kejahatan penyebaran berita
bohong yang dilakukan melalui media social ini
merupakan suatu kejahatan yang dapat dengan mudah
diketahui dan dilacak kebenarannya. Setiap kali terdapat
berita yang terindikasi tidak benar, maka si penerima
berita dapat dengan langsung melaporkan kepada pihak
berwajib. Dengan mudahnya deteksi kebenaran dan
pelaporan ini menyebabkan kasus penyebaran berita
hoax dapat terhitung dengan baik jumlahnya oleh pihak
kepolisian.
3. sebab kurangnya pemahaman mengenai UU ITE oleh
kepolisian Indonesia. Mudahnya pelaporan oleh
warga terhadap suatu kasus tidak sebanding dengan
mudahnya penanganan dan penindakan oleh pihak
kepolisian. Sumber daya manusia di instansi kepolisian
saat ini masih banyak yang terbatas dalamn hal
penguasaan ITE (UU No. 19 Tahun 2016 Tentang ITE
Pasal 28) [17]. Semua hukum dan undang-undang yang
telah dibuat oleh pihak negara, jika kurang dipahami
oleh pihak yang bertanggungjawab, maka pembuatan
undang-undang ini akan percuma. Hal ini sangat
disayangkan, dimana kunci dari keberhasilan dalam
penegakan hukum, yaitu penegak hukum itu sendiri,
ternyata kurang begitu memahami bagaimana cara
penangangan kasus penyebaran berita hoax, sehingga
menyebabkan kasus semacam ini banyak yang dibiarkan
saja dan pelaku bebas melakukan tindakannya lagi.
Namun, untuk mengantisipasi terjadinya pemberitaan hoax ini , kini pihak kepolisian telah menyiapkan
beberapa tindakan, yaitu penyimpanan regulasi,
melakukan klarifikasi, memberikan serangan balik dan
melakukan investigasi.
4. sebab dalam UU dinyatakan bahwa kasus penyebarang
berita hoax hanya dapat diperdanakan jika terdapat
pihak yag dirugikan, sehingga membuat para pelaku
penyebar hoax yang tidak begitu memberi dampak
negative yang signifikan tidak dapat ditindak lanjuti dan
menyebabkan ia menjadi mampu melakukan tindakan
kejahatannya lagi.
5. sebab kepolisian Indonesia lebih berfokus pada
penyelesaian kasus lain (pencemaran nama baik)
daripada kasus penyebaran hoax untuk segera ditangani.
Seperti yang dilansir oleh laman berita bbc.com,
kasus pencemaran nama baik dan ujaran kebencian
menjadi bentuk kasus kejahatan siber terbanyak yang
ditangani oleh kepolisian. Hampir 45% dari total
kejahatan siber yang terjadi di Indonesia merupakan
kejahatan pencemaran nama baik dan ditangani dengan
segera oleh pihak kepolisian. Hal ini menyebabkan
kasus-kasus kejahatan siber lain yang lebih merugikan,
atau kasus penyebaran berita hoax ini. Maka dengan
terjadinya alasan seperti ini, hal ini dapat menyebabkan
kasus penyebaran berita hoax tidak segera ditangani oleh
pihak kepolisian, sehingga menyebabkan para pelakunya
bebas mengulangi kejahatannya kembali.
Kejahatan siber sejatinya yaitu suatu kejahatan yang
memakai alat komputer dan teknologi sebagai media
kejahatannya, dimana terdapat tiga pihak yang terlibat
langsung dalam terjadinya kasus ini , yaitu pihak
kepolisian sebagai aparat penegak hukum, pihak warga
umum sebagai korban, dan pihak pelaku. Demi untuk
mencegah atau menangani terjadinya kasus kejahatan siber
(yang notabene cukup membahayakan daripada kejahatan
non siber), diperlukan keterlibatan pihak kepolisian dan
warga . Kedua pihak ini diperlukan untuk sama-sama
menjadi lebih pintar dan paham mengenai undang-undang
atau bahaya dari suatu kejahatan ini daripada si pelaku agar kasus kejahatan-kejahatan siber tidak dapat dilakukan
dengan lancar oleh pelaku kejahatan.
Untuk kejahatan siber yang paling sering terjadi di
Indonesia, yaitu penyebaran berita hoax, diperlukan adanya
pemahaman kuat terhadap dampak apa yang sekiranya akan
terjadi dari kejahatan ini , juga terhadap undang-undang
yang telah mengaturnya, agar didapatkan suatu formula
khusus untuk dapat mencegah terjadinya kasus penyebaran
berita hoax kembali.
Cyber Law yaitu Hukum yang mengatur aktivitas di dunia maya
(kejahatan dunia maya melalui jaringan internet).1
Istilah cyber law
telah membentuk rezim hukum baru di Indonesia, khususnya dalam
kegiatan teknologi dan informasi. Rezim hukum cyber law di
Indonesia ditandai dengan lahirnya Undang-undang
Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
yang diundangkan oleh Presiden RI tanggal 21 april 2008.
Cyber Law yaitu aspek hukumyang istilahnya berasal dari
cyberspace law yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang
berhubungan dengan orang perorangan atau subjek hukum yang
memakai dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai
pada saat mulai online dan memasuki cyber space atau dunia maya.
Istilah hukum cyber berasal dari cyberlaw, yang saat ini
secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait
dengan pemanfaatan Teknologi Informasi. Istilah lain yang juga
digunakan yaitu Hukum Teknologi Informasi (Law of Information
Technology), Hukum Dunia Maya (Virtual World Law) dan Hukum
Mayantara. Secara akademis, terminology cyber law belum menjadi
terminologi yang umum. Terminologi lain untuk tujuan yang sama
seperti The Law of The Internet, Law and the Information
Superhighway, Information Technology Law, The Law of Information,
Lex Informatica dan sebagainya. Di Indonesia sendiri tampaknya
belum ada satu istilah yang disepakati. Istilah yang dimaksudkan
sebagai terjemahan dari cyber law, misalnya, Hukum Sistem ,
Informasi, Hukum Informasi, dan Hukum Telematika
(Telekomunikasi dan Informatika).
Cyber Law diperlukan sebab kegiatan Cyber dengan berbasis
internet saat ini tidak bisa dibatasi oleh teritori Negara dan dapat
dilakukan kapanpun. Meskipun alat buktinya berbentuk virtual (maya)
dan bersifat elektronik kegiatan cyber yaitu kegiatan virtual yang
berdampak nyata. 2
B. Sejarah Keberadaan Cyberlaw
1. Sejarah Cyberlaw di Dunia
Pada tahun 1980-an khusunya Negara-negara di Eropa dan
Amerika Utara mulai melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan
baru seiring dengan pemakaian teknologi komputer dalam
melakukan tindak pidana konvensional. Pada tahun 1990-an beberapa
Negara di berbagai belahan dunia sudah mulai mengatur tindak pidana
siber seperti memasuki sistem komputer secara illegal, merusak data
dalam sistem komputer dan menyebarkan virus. Pelaku tindak pidana
siber memiliki kemampuan dan kesempatan untuk melakukan
tindakpidana dari suatu Negara yang akan mengakibatkan kerugian
terhadap seseorang di beberapa tempat di Negara lain.
Untuk mengahdapi ancaman tindak pidana siber beberapa
organisasi internasional telah melakukan kajian-kajian dan pertemuanpertemuan ilmiah yang membahas tindak pidana siber, kerjasama
internasional untuk mendorong pembentukan hukum internasional
tentang tindak pidana siber. Beberapa organisasi internasional yang
telah melakukan usaha-usaha ini antara lain :
a. Organisation for Economic Co-operation and Development
(OECD)
Usaha internasional pertama dalam memerangi tindak pidana
penyalahgunaan komputer dilakukan oleh OECD antara tahun
1983dan tahun 1985. Pada tahun 1985 negara-negara anggota OEDC
direkomendasikan mempertimbangkan untuk melakukan kriminalisasi
terhadap kejahatan dengan penyalahgunaan komputer dan
mengaturnya dalam hukum pidana nasional. Tahun 1986 OECD
mengeluarkan laporan tentang Computer-Related-Crime: Analysis of
Legal Policy. berdasar hasil kajian ini OECD menganjurkan
beberapa perbuatan untuk dikriminalisasi dalam hukum pidana
nasional, yaitu :
1) Memasukan, mengubah, menghapus, dan/atau menyembunyikan
data komputer/program komputer dengan maksud untuk
melakukan transfer dana atau sesuatu yang bernilai lainnya secara
illegal.
2) Memasukan, mengubah, menghapus, dan/atau menyembunyikan
data komputer/program komputer dengan maksud untuk
melakukan pemalsuan.
3) Memasukan, mengubah, menghapus, dan/atau menyembunyikan
data komputer/program komputer dengan maksud untuk
mengganggu sistem komputer atau sistem telekomunikasi lainnya.
4) Pelanggaran hak eksklusif atas program komputer yang dilindungi
yang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan komersial.
5) Mengakses atau mengintersep sistem komputer/telekomunikasi
tanpa seizing pihak yang bertanggungjawab atas sistem ini
baik dengan cara pelanggaran atas sistem pengamanan, atau untuk
tujuan maksud jahat lain.
Usaha lain yang dilakukan OECD yaitu kontribusinnya mengenai
pedoman tentang kebijakan keamanan komputer internasional yang
saat ini menjadi Guidelines for the Security of Information System and
Networks.
b. United Nations (UN)
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan monitoring terhadap
Computer related crime, dimulai pada tahun 1990 dengan Eight UN
Congress on the Prevention of Crime and Treatment of Offender.
Dalam resolusi kongres PBB ini Negara-negara dihimbau untuk
mengintensifkan usaha-usaha memerangi computer related crime
dengan melakukan tindakan-tindakan berikut :
1) Modernisasi hukum pidana materiil dan hukum acara pidana
nasional untuk menjamin dan memadai dalam menindak tindak
pidana siber.
2) Meningkatkan usaha -usaha pengamanan komputer dan usaha usaha preventif, dengan memperhitungkan masalah-masalah
terkait perlindungan privasi, penghormatan hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan fundamental serta setiap mekanisme
pengaturan pemakaian /pemanfaatan komputer.
3) Mengadopsi usaha -usaha agar warga , aparat pengadilan dan
penegak hukum peka terhadap masalah computer-related crimes
dan pentingnya mencegah tindak pidana ini .
4) Mengadopsi pelatihan-pelatihan yang memadai untuk hakim,
pejabat dan aparat yang bertanggungjawab atas pencegahan,
penyidikan, penuntutan dan pengadilan mengenai tindak pidana
ekonomi dan computer-related crimes
5) Mengelaborasi -- dalam kolaborasi dengan organisasi-organisasi
yang berkepentingan—rules of ethics dalam pemakaian komputer
dan mengajarkannya sebagai bagian dari kurikulum dan training
informatika.
6) Mengadopsi kebijakan-kebijakan untuk korban computer-related
crimes yang konsisten dengan United Nations Declarartion of
Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of
Power, termasuk pengembalian aset yang diperoleh dari kejahatan,
dan usaha -usaha mendorong korban agar mau melaporkan
kejahatan kepada penguasa yang berwenang.
c. The Group of Eight (G8)
G8 yaitu kelompok Negara-negara industry yang terdiri dari Kanada,
Jerman, Perancis, Itali, Jepang, Inggris, Amerika Serikat, dan Rusia.
Menurut G8 setidaknya ada 2 bentuk ancaman dari perkembangan
high-tech crime/tindak pidana teknologi tinggi yaitu ; (1) para pelaku
kejahatan yang canggih menjadikan komputer dan sistem
telekomunikasi sebagai target untuk memperoleh atau mengalihkan
informasi yang berharga tanpa izin dan mencoba mengganggu sistemsistem perdagangan penting dan sistem-sistem public lainnya, (2) para
pelaku kejahatan termasuk kelompok dari anggota kejahatan
terorganisir dan para teroris, memakai teknologi baru ini sebagai
alat kejahatan tradisional yang merupakan ancaman terhadap
keamanan umum. G8 menyetujui 10 prinsip memerangi high-tech
crimes ini yaitu :
1) Tidak boleh ada tempat berlindung bagi mereka yang
menyalahgunakan teknologi informasi.
2) Penyidikan dan penuntutan atas pelaku kejahatan high-tech
internasional harus dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan
seluruh Negara yang berkepentingan, terlepas dari wilayah
hukum mana kerugian ditimbulkan.
3) Aparat penegak hukum harus terlatih dan
diperlengkapi/dipersiapkan untuk menangani kejahatn high-tech.
4) Sistem hukum harus melindungi kerahasiaan, keutuhan dan
ketersediaan data dan sistem dari kerusakan yang diakibatkan
oleh adanya perbuatan melawan hukum dan menajmin adanya
penghukuman terhadap penyalahgunaan serius.
5) Sistem hukum harus memungkinkan pengamanan data elektronik
dan akses yang cepat terhadap data elektronik, yang kerap sangat
penting bagi keberhasilan investigasi kejahatan.
6) Rezim bantuan timbal balik harus dapat menjamin perolehan dan
pertukaran alat bukti yang cepat dalam kasus yang melibatkan
kejahatan high-tech internasional.
7) Akses elektronik lintas batas oleh penegak hukum terhadap
informasi yang dapat diakses oleh umum tidak memerlukan
pengesahan/izin dari Negara dimana data itu diperoleh atau
berada.
8) Harus dikembangkan dan diterapkan standar forensic untuk
memperoleh dan mensahkan data elektronik dalam proses
investigasi dan penuntutan.
9) Sistem informasi dan telekomunikasi harus dirancang untuk
membantu pencegahan dan mengetahui penyalahgunaan jaringan,
dan juga harus dapat digunakan menelusuri dan menemukan para
penjahat dan mengumpulkan alat bukti.
10) Kegiatan dibidang ini harus dikoordinasikan dengan kegiatan
dalam for a internasional lainnya yang relevan untuk memastikan
tidak adanya usaha yang tumpang tindih.
d. Council of Erope (CoE)
Konvensi tentang Kejahatan Siber (Convention on Cyber Crime)2001
yang digagas oleh Uni Eropa.konvensi ini dalam perkembangannya
dimungkinkan untuk diratifikasi dan diaksesi oleh Negara manapundi
Dunia yang memiliki komitmen dalam usaha mengatasi kejahatan
siber. Convention on Cyber Crime 2001 merupakan puncak dari
usaha-usaha yang telah dimulai lebih dari 20 tahun lalu oleh OECD,
kemudian juga dilakukan PBB dan organisasi internasional lainnya
yang telah mengkaji dan menyelenggarakan berbagai penemuan
internasional dalam menghadapi perkembangan tindak pidana siber.
Convention on Cyber Crime 2001 merupakan regulasi internasional
pertama yang mengatur tindak pidana Siber dan menjadi pedoman
dalam regulasi tindak pidana siber dalam hukum nasional.
Convention on Cyber Crime 2001 terdiri dari 48 pasal dan
dibagi dalam 4 bab,ketentuan yang berkaitan dengan kriminalisasi
tindak pidana siber adalh Bab II Hukum Pidana Materil Bagian 1
hukum pidana materil (Pasal2-Pasal 13) mengatur ketentuanketentuan tentang hukum pidana materiil, kriminalisasi, dan ketentuan
lainnyab yang berkaitan dengan tindak pidana siber. Tindak pidana
siber terdapat 9 jenis tindak pidana siber yang dikelompokan dalam
empat kategori tindak pidana, yaitu :
1) Kelompok pertama : tindak pidana terhadap kerahasiaan
(confidentiality), integritas (integrity), dan ketersediaan data
(availability) data dan sistem komputer terdiri dari : illegal access
(pasal 2), illegal interception (pasal 3), data interference (pasal 4),
system interference (pasal 5), dan misuse of device (pasal 6).
2) Kelompok kedua : tindak pidana yang berkaitan dengan komputer,
terdiri dari pemalsuan yang berkaitan dengan komputer (computer
related forgery (pasal 7)), dan penipuan yang berkaitan dengan
komputer (computer related fraud (pasal 8)).
3) Kelompok ketiga : tindak pidana yang berkaitan dengan konten
yang berisi ketentuan tentang tindak pidana yang berkaitan dengan
pornografi anak (offens related to child pornography (pasal 9)).
4) Kelompok keempat : tindak pidana yang berkaitan dengan
pelanggaran hak cipta dan hak-hak terkait (pasal 10).
Disamping empat kelompok tindak pidana siber, dalam Bab I hukum
pidana materil juga mengatur kewajiban tambahan dan sanksi terdiri
dari :
1) Pasal 11, perbuatan yang dikriminalisasi yaitu dengan
sengaja (1) membantu atau menghasut, (2) mencoba untuk
melakukan tindak pidana yang diatur dalam PAsal 2-Pasal 10.
2) Pasal 12, mengatur tentang badan-badan hukum dapat diminta
pertanggungjawaban atas tindak pidana yang telah ditetapkan
sesuai dengan konvensi ini,yang dilakukan untuk keuntungan
mereka oleh orang perseorangan, baik secara individual,
maupun sebagai bagian dari organ badan hukum, yang
memegang posisi pimpinan didalamnya berdasar :
a) Kuasa perwakilan badan hukum ini ,
b) Wewenang untuk mengambil keputusan atas nama badan
hukum ini ,
c) Wewenang untuk mengendalikan dalam badan hukum
ini .
3) Pasal 13, mengatur mengenai adanya jaminan bahwa tindak
pidana dari pasal 2-pasal 10 dipidana denga sanksi yang
efektif, proporsional, dan dissuasive, termasuk sanksi pidana
perampasan kemerdekaan untuk orang atau sanksi non-penal
atau tindakan, termasuk juga sanksi pidana denda utnuk badan
hukum.
C. Sejarah Cyberlaw di Indonesia
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini
diawali dengan perkembangan teknologi komputer sejak tahun 1990-
an sudah menjadi perhatian warga dan pemerintah indonesia.
Pada tahun 2000 pemerintah mulai menggagas untuk mengatur
berbagai aktivitas di cyberspace. Usaha untuk melakukan regulasi
terhadap aktivitas manusia di cyberspace termasuyk aspek hukum
pidananya telah dilakukan sejakm tahun 2000, yaitu pertama dengan
disusunnya RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi yang diprakarsai
Direktorat Jendral Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan.
RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi disusun oleh Tim Fakultas
Hukum UNPAD dan ITB. Kedua, RUU Tanda Tangan Digital
diprakarsai oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan
disusun oleh Tin Fakultas Hukum UI, khususnya Lembaga Kajian
Hukum dan Teknologi (LKTH).4
RUU ini akhirnya digabung menjadi, RUU Informasi,
Komunikasi, dan Transaksi Elektronik (RUU IKTE) yang diprakarsai
oleh Direktorat Jendral Pos dan Telekomunikasi Departemen
Perhubungan dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dengan
penyusun berasa dari Tim Fakultas Hukum UNPAD dan Tim
Asistensi ITB serta Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi (LKTH)
UI. Seiring dengan dibentuknya Kementrian Negara Komunikasi dan
Informasi (KOMINFO), sejak maret 2003 pembentukan RUU IKTE
selanjutnya dilakukan olehKementrian Kominfo dan menjadi RUU
Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU IETE). Pada
tahun2005 Kementrian Komunikasi dan Informasi berdasar
Peraturean Pemerintah RI No.9 Thaun 2005 berubah menjadi
Departemen Komunikasi dan Informatika (DEPKOMINFO) dan
penyusunan RUU IETE yang kemudian berubah menjadi RUU
Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) dilakukan oleh
Departemen Komunikasi dan Informatika. 5
Melalui pembahasan di DPR pada tanggal 25 maret 2008 rapat
paripurna DPR menyetujui RUU ITE ditetapkan menjadi Undangundang dan kemudian pada tanggal 21 April 2008 oleh Presiden
Republik Indonesia diundangkan dengan Undang-undang No.11
tahun2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Lembaran
Negara tahun 2008 No.58.6
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
merupakan Hukum Siber Pertama Indonesia dan pemebentukannya
bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi warga yang
melakukan transaksi secara elektronik, mendorong pertumbuhan
ekonomi, mencegah terjadinya kejaqhatan berbasis teknologi
informasi dan komunikasi serta melindungi warga pengguna jasa
yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. UU ITE
terdiri dari 54 pasal yang terbagi dalam 13 Bab. Ketentuan-ketentuan
yang mengatur kriminalisasi perbuatan yang termasuk kategori tindak
pidana siber yaitu Bab VII tentang perbuatan yang dilarang pasal 27-
pasal37. Sanksi pidana atas perbuatan-perbuatan ini dirumuskan
dalam Bab XI tentang ketentuan pidana Pasal 45-Pasal52.
Dalam perjalanannya, kriminalisasi tinak pidana siber dalam UU
ITE yang mengatur penyalahgunaan teknologi informasi dan
komunikasi dalam aktifitas di dunia siber belum memadai. Saat ini
hukum internasional yang banyak digunakan negara-negara di dunbia
sebagai pedoman dalam pengaturan tindak pidana siber yaitu
Convention on Cybercrime 2001. Sehubungan dengan itu pemerintah
Indonesia bermaksud untuk melakukan aksesi terhadap Convention on
Cybercrine 2001 dan melakukjan harmonisasi hukum nasional
indonesia dengan Convention on Cybercrime 2001. Berdaarkan
hasilmkajian dan juga hasil Workshop on Cybercrime Legislation in
Indonesia dengan Council of Europe Expert, ketentuan-ketenrtuan UU
ITE belum sesuai dengan ketentuan tindak pidana siber dalam
konvensi. Untuk itu pemerintah telah menyusun draf RUU Tindak
Pidana Teknologi Informasi (RUU TIPITI) yang akan menhgatur
beberapa terminologi dan norma-norma dalam konvensi yang belum
sesuai atau belum diatur dalam UU ITE.7
RUU TIPITI yang terdiri dari 10 Bab dan 27 pasal merumuskan
beberapa pengertian baru yang dirumuskan yaitu sistem komputer,
data komputer dan data trafik. Perbuatan-perbuatan yang
dikriminalisasi dalam dalam RUU TIPITI pada dasarnya mengatur 5
jenis tindak pidana yaitu : penipuan, pelanggaran hak cipta dan hakhak terkait, menghambat atau mengahalangi proses peradilan,
pembantuan dan penghasutan serta pelanggaran kewajiban oleh
penyelenggara sistem.
D. ASAS-ASAS CYBERLAW
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal
beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu :9
1. Subjective territoriality, dalam perspektif ini hukum berlaku
berdasar tempat cybercrime dilakukan dan penyelesaian tindak
pidananya dilakukan di negara lain.
2. Objective territoriality, dalam perspektif ini hukum berlaku
berdasar dimana akibat utama kejahatan itu terjadi dan
memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang
bersangkutan.
3. Nationality dalam perspektif ini negara memiliki jurisdiksi
untuk menentukan hukum berdasar kewarganegaraan pelaku.
4. Passive nationality yang menekankan jurisdiksi berdasar
kewarganegaraan korban.
5. Protective principle, dalam perspektif ini hukum didasarkan atas
keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari
kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya
digunakan jika korban yaitu negara atau pemerintah,
6. Universality. Asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus
terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini
disebut juga sebagai ―universal interest jurisdiction‖. Pada
mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk
menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini
kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap
kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan,
genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa
mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking
and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa pemakaian asas
ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasar
perkembangan dalam hukum internasional. Oleh sebab itu, untuk
ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang memakai
pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasar
batas-batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu
tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara
radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally
significant (online) phenomena and physical location.Cyber Crime, merupakan sebuah fenomena kejahatan baru dalam
tatanan hukum internasional. Cyber crime sebelumnya tidak
mendapat perhatian Negara-negara sebagai subjek hukum
Internasional. Munculnya kejahatan baru yang bersifat transnasional
dan dalam bentuk tindakan-tindakan yang dilakukan dalam dunia
maya ttelah menyadarkan warga Internasional tentang perlunya
perangkat Hukum Internasional baru yang dapat digunakan sebagai
kaidah hukum internasional dalam mengatasi kasus-kasus cybercrime.
Instrument Hukum Internasional public yang mengatur
kejahatan siber yaitu Konvensi tentang Kejahatan Siber (Convention
on Cyber Crime)2001 yang digagas oleh Uni Eropa.konvensi ini
dalam perkembangannya dimungkinkan untuk diratifikasi dan diaksesi
oleh Negara manapundi Dunia yang memiliki komitmen dalam usaha
mengatasi kejahatan siber.
Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan
(dalam pembukaan EU Convention On Cyber Crime) antara lain
sebagai berikut :
1) warga internasional menyadari perlunya kerjasama
antar Negara dan industry dalam memerangi kejahatan siber
dan adanya kepentingan untuk melindungi kepentingan
yang sah di dalam pemakaian serta pengembangan
teknologi informasi.
2) Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam
penyalahgunaan sistem, jaringan dan data komputer untuk
melakukan perbuatan criminal. Dengan demikian perlunya
adanya kepastian dalam proses penyelidikan dan
penuntutan pada tingkat internasional dan domestic melalui
suatu mekanisme kerjasama internasional yang dapat
dipercaya dan cepat.
3) Saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk
memastikan suatu kesesuaian antara pelaksanaan penegak
hukum dan hak azasi manusia sejalan dengan Konvensi
Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi Manusia dan
Konvenan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak
Politik dan Sipil yang memberikan perlindungan kebebasan
berpendapat seperti hak berekspresi, yang mencakup
kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan
informasi dan pendapat.
Konvensi ini telah disepakati oleh warga Uni Eropa sebagai
Konvensi yang terbuka untuk diaksesi oleh Negara manapun di dunia.
Hal ini dimaksudkan untuk dijadikan norma dan instrument Hukum
Internasional dalam mengatasi kejahatan siber, tanpa mengurangi
kesempatan setipa individu untuk tetap mengemabngakan
kreativitasnya dalam mengembangkan teknologi informasi.
B. Hukum Positif di Indonesia
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Sebelum UU-ITE berlaku, dalam mengadili cybercrime pengadilan
memakai ketentuan KUHP dan ketentuan dalam Undang-undang
di luar KUHP yang mengatur tindak pidana. Ketentuan yang
digunakan untuk menangani cybercrime dalam KUHP yaitu tentang
pemalsuan (pasal 263-276), pencurian (pasal 362-372), penipuan
(pasal 378-395), perusakan barang (pasal 407-412). Pasal-pasal
didalam KUHP biasanya digunakan lebih dari satu Pasal sebab
melibatkan beberapa perbuatan sekaligus pasal-pasal yang dapat
dikenakan dalam KUHP pada cybercrime yaitu: 10
a) Pasal 362 KUHP yang dikenakan untuk kasus carding dimana
pelaku mencuri nomor kartu kredit milik orang lain walaupun
tidak secara fisik sebab hanya nomor kartunya saja yang diambil
dengan memakai software card generator di Internet untuk
melakukan transaksi di ecommerce. Setelah dilakukan transaksi
dan barang dikirimkan, kemudian penjual yang ingin mencairkan
uangnya di bank ternyata ditolak sebab pemilik kartu bukanlah
orang yang melakukan transaksi.
b) Pasal 378 KUHP dapat dikenakan untuk penipuan dengan seolah
olah menawarkan dan menjual suatu produk atau barang dengan
memasang iklan di salah satu website sehingga orang tertarik
untuk membelinya lalu mengirimkan uang kepada pemasang
iklan. Tetapi, pada kenyataannya, barang ini tidak ada. Hal
ini diketahui setelah uang dikirimkan dan barang yang
dipesankan tidak datang sehingga pembeli ini menjadi
tertipu.
c) Pasal 335 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pengancaman dan
pemerasan yang dilakukan melalui e-mail yang dikirimkan oleh
pelaku untuk memaksa korban melakukan sesuatu sesuai dengan
apa yang diinginkan oleh pelaku dan jika tidak dilaksanakan akan
membawa dampak yang membahayakan. Hal ini biasanya
dilakukan sebab pelaku mengetahui rahasia korban.
d) Pasal 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pencemaran
nama baik dengan memakai media Internet. Modusnya
yaitu pelaku menyebarkan email kepada teman-teman korban
tentang suatu cerita yang tidak benar atau mengirimkan email ke
suatu mailing list sehingga banyak orang mengetahui cerita
ini .
e) Pasal 303 KUHP dapat dikenakan untuk menjerat permainan
judi yang dilakukan secara online di Internet dengan
penyelenggara dari Indonesia.
f) Pasal 282 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi
maupun website porno yang banyak beredar dan mudah diakses
di Internet. Walaupun berbahasa Indonesia, sangat sulit sekali
untuk menindak pelakunya sebab mereka melakukan
pendaftaran domain ini di luarnegeri dimana pornografi
yang menampilkan orang dewasa bukan merupakan hal yang
terlarang atau illegal.
g) Pasal 282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus
penyebaran foto atau film pribadi seseorang yang vulgar di
Internet , misalnya kasus-kasus video porno para mahasiswa,
pekerja atau pejabat publik.
h) Pasal 378 dan 262 KUHP dapat dikenakan pada kasus carding,
sebab pelaku melakukan penipuan seolah-olah ingin membeli
suatu barang dan membayar dengan kartu kreditnya yang nomor
kartu kreditnya merupakan curian.
i) Pasal 406 KUHP dapat dikenakan pada kasus deface atau
hacking yang membuat sistem milik orang lain, seperti website
atau program menjadi tidak berfungsi atau dapat digunakan
sebagaimana mestinya
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
Undang-Undang ITE merupakan ketentuan yang mengatur bagi setiap
orang yang melakukan perbuatan hukum serta memiliki akibat hukum
dan merugikan kepentingan negara Indonesia, baik setiap orang yang
berada di wilayah hukum negara Indonesia maupun yang berada di
luar wilayah hukum Indonesia. Berikut diuaraikan penegrtiannya
dalam UU ITE :
a. Informasi Elektronik
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) merupakan Hukum Siber Pertama Indonesia dan
pemebentukannya bertujuan untuk memberikan kepastian
hukum bagi warga yang melakukan transaksi secara
elektronik, mendorong pertumbuhan ekonomi, mencegah
terjadinya kejaqhatan berbasis teknologi informasi dan
komunikasi serta melindungi warga pengguna jasa yang
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Beberapa materi perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang
diatur dalam UU ITE, antara lain: 11
a. Perbuatan yang dikriminalisasi dalam pasal 27 meiputi
Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan,
mentransmisikan atau membuat informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan dapat diakses, memiliki muatan
perudian dapat diakses, memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik dapat diakses, memiliki
muatan pemerasan atau pengancaman dapat diakses.
b. Pasal 28 Perbuatan yang dikriminalisasi dalam pasal 28
meliputi perbuatan yang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi
elektronik dan dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyaraat tertentu berdasar SARA.
c. Perbuatan yang dikriminalsisasi dalam pasal 29 yaitu
dengan sengaja serta tanpa hak mengirimkan informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang didalamnya
memuat ancaman berupa kekerasan atau menakuti yang
ditujukan kepada pribadi atau seseorang.
d. Perbuatan yang dikriminaslisasi dalam pasal 30 meliputi,
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses komputer atau sistem elektronik milik orang
lain dengan cara apapun dengan tujuan untuk memperoleh
informasi elektronik atau dokumen eektronik, dan dengan
melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem
pengamanan.
e. Perbuatan yang dikriminalisasi dalam pasal 31 meliputi,
yaitu dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan penyadapan atas informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dalam suatu komputer atau sistem
elektronik tertentu milik orang lain dan dengan melakukan
penyadapan suatu transmisi informasi elektronik atau
dokumen elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke dan
didalam suatu komputer atau sistem elektronik tertentu
milik orang lain, baik yang tiak menyebabkan perubahan,
penghilangan, atau penghentian informasi elektronik atau
dokumen elektronik yang sedang di transmisikan.
f. Perbuatan yang dikriminalisasi dalam pasal 32 sengaja
dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun
mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi,
merusak, menghilangkan, memindahkan,
menyembunyikan, suatu informasi elektronik atau
dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik dan
yang tidak berhak.
g. Perbuatan yang dikriminalisasi dalam pasal 33 yaitu
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya
sistem elektroni atau mengakibatkan sistem elektronik
menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.
h. Perbuatan yang dikriminalisasi dalam pasal 34 yaitu
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan,
mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau
meniliki, Perangkat keras atau perangkat lunak komputer
yang dirancang atau secara khusu dikembangkan untuk
memfasilitasi perbuatan sebagaiman dimaksud dalam
pasal 27 sampai dengan pasal 33, Sandi lewat komputer,
kode akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang
ditujukan agar sistem elektronik menjadi dapat diakses
dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 27 sampai dengan pasal 33.
i. Perbuatan yang d