cyber crime 22

Tampilkan postingan dengan label cyber crime 22. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cyber crime 22. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 30 November 2024

cyber crime 22




 Semakin berkembangnya teknologi di era yang canggih 

saat ini, menjadikan teknologi tidak dapat dilepaskan lagi dari 

kehidupan sehari-hari. Apapun kegiatan atau pekerjaan 

manusia saat ini telah ditopang dan bahkan sangat bergantung 

dengan teknologi. Salah satu yang paling berpengaruh yaitu  

perkembangan Teknologi Informasi atau yang biasa kita 

sebut IT. Tanpa sadar teknologi IT ini ikut mempengaruhi 

budaya, sosial, dan politik pada suatu bangsa. Sehingga pada 

perkembangannya, selain membawa manfaat yang besar IT 

juga membawa dampak buruk pula. Salah satu dampak buruk 

yang ditimbulkan yaitu  adanya penyalahgunaan dari 

teknologi IT oleh oknum dan pihak-pihak yang tidak 

bertanggungjawab yang bertujuan mengambil keuntungan 

dengan cara-cara yang merugikan banyak orang dan bahkan 

melanggar hukum yang telah diatur dalam sebuah negara.

Bentuk pelanggaran seperti ini kini disebut dengan 

“Kejahatan IT” atau yang biasa kita kenal dengan kata “IT 

Crime”.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan 

penduduk terbanyak di dunia. Dilihat dari situs

Worldometers Indonesia berada di peringkat 4 dengan 

total 266.794.980 berada di bawah Amerika Serikat, India 

dan Tiongkok [2]. Didukung dengan semakin luasnya 

jangkauan layanan internet, serta murahnya harga 

perangkat pendukung pemakaian  internet seperti 

smartphone, personal computer, tablet, laptop dan lain 

sebagainya membuat pengguna perangkat Teknologi 

Informasi tumbuh pesat di Indonesia.

berdasar  situs katadata.co.id, jumlah pengguna 

internet di Indonesia pada tahun 1998 hanya mencapai 500 

ribu, sangat jauh jika dibandingkan dengan tahun 2017 

yang mencapai lebih dari 100 juta pengguna. Menurut data 

survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet 

Indonesia), pengguna internet di Indonesia pada 2017 

telah mencapai 142 juta jiwa atau 54,69 persen dari jumlah 

penduduk di Indonesia. Pengguna internet pada tahun 

2016 tumbuh 7,9% dari tahun sebelumnya dan tumbuh 

lebih dari 600% dalam 10 tahun terakhir [3].

B. Cybercrime

Cybercrime merupakan kejahatan baru yang muncul 

sebagai akibat dari berkembangnya Teknologi Informasi. 

Cybercrime melibatkan komputer dalam pelaksanaannya. 

Kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan kerahasiaan, 

integritas dan keberadaan data dan sistem komputer perlu 

mendapat perhatian khusus, sebab kejahatan-kejahatan ini 

memiliki karakter yang berbeda dari kejahatan-kejahatan 

konvensional [4]. Namun menurut penelitian lain, sarana

yang dipakai tidak hanya komputer melainkan juga 

teknologi [5]. Sehingga, dengan berkembangnya 

teknologi di Indonesia yang sangat pesat saat ini 

khususnya Teknologi Informasi menjadikan Cybercrime 

ini salah satu kasus yang harus benar-benar kita 

perhatikan dan kita waspadai. sebab  bagaimanapun 

kejahatan seperti ini pasti akan terjadi dalam suatu 

wilayah atau negara. Tergantung bagaimana usaha suatu 

wilayah atau negara itu dalam menanganinya.

C. Kasus Cybercrime di Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, kasus Cybercrime 

semakin marak terjadi di seluruh belahan dunia, begitupun 

Indonesia. Munculnya beberapa kasus "Cyber Crime" di 

Indonesia, seperti penggelapan uang di bank melalui 

komputer, kasus video porno yang diunggah di internet, 

hacker, carding atau kejahatan yang dilakukan untuk 

mencuri nomor kartu kredit milik orang lain dan 

digunakan dalam transaksi perdagangan di internet, 

penyebaran virus dengan sengaja di internet, 

cybersquatting yang diartikan sebagai mendaftar, menjual 

atau memakai  nama domain dengan maksud 

mengambil keuntungan dari merek dagang atau nama 

orang lain melalui internet dan kasus pencurian dokumen 

pemimpin negara melalui internet, semua kasus 

cybercrime ini menunjukkan gejala pergeseran masalah 

sosial dari dunia nyata. Tindak kejahatan ini dalam 

prateknya memakai  teknologi telematika canggih 

yang sulit untuk dilihat dan dapat dilakukan di mana saja

[6]. Modus dan motif cybercrime kian kompleks makadari

itu tidak ada jaminan keamanan di cyberspace, dan tidak 

ada sistem keamanan komputer yang Para hacker akan 

terus mencoba untuk menaklukkan sistem keamanan yang 

paling canggih, dan merupakan kepuasan tersendiri bagi 

hacker jika dapat membobol sistem keamanan komputer

orang lain [7].

Melalui situs yang dimuat oleh forbes.com, dengan 

judul artikelnya yaitu “The Top Cyber Security Risks In 

Asia-Pacific In 2017” dituliskan bahwa pada bulan Maret, 

varian ransomware yang dikenal sebagai KimcilWare 

terlihat menargetkan situs web yang menjalankan 

platform eCommerce Magento. Varian ini diduga telah 

dikembangkan di Indonesia. Selain itu juga, disebutkan 

bahwa para pelaku dari Asia Pasifik sangat aktif dalam 

kegiatan carding (perdagangan kartu kredit dengan rincian 

rekening bank orang lain). Taktik, teknik dan prosedur 

(TTPs) yang terlibat dalam carding sedang dibagikan baik 

dalam grup tertutup di Facebook dan di forum web yang 

mendalam. Peretas dari Bangladesh, Pakistan, India, 

Filipina dan Indonesia diamati sebagai yang paling aktif 

dalam hal ini [8]. Menurut survey yang dilakukan oleh 

salah satu aplikasi keamanan komputer yaitu Norton, yang 

di unggah pada website resminya, disebutkan bahwa 

dalam setahun terakhir lebih dari 978 juta orang dewasa

di 20 negara cybercrime global yang berpengalaman, 

salah satunya Indonesia dengan total 59,45 juta orang 

dewasa yang menjadi pelaku cybercrime. Dan untuk 

kerugiannya, tidak tanggung seperti yang telah disebutkan 

juga oleh Norton, total kerugian konsumen yang menjadi 

korban cybercrime secara global, Indonesia mencapai 

nilai yang sangat fantastis yaitu $ 3.2 miliar [9].

Hal ini telah menjelaskan, bahwa Indonesia 

seharusnya lebih peduli dan paham, bahwa Cybercrime 

yaitu  kejahatan yang patut kita waspadai. Semakin 

sering kita terhubung dengan Internet, semakin besar pula

kemungkinan kita mengalami kejahatan siber. Menurut 

salah satu artikel berita nasional, kasus kejahatan siber 

yang menonjol di Indonesia yaitu  ujaran kebencian. 

Secara umum, baik melalui media sosial maupun sarana 

lain, kasus ujaran kebencian yang ditangani Polri selama 

2017 sebanyak 3.325 kasus. Sementara pada 2016, kasus 

ujaran kebencian yang ditangani Polri sebanyak 1.829 

kasus [10]. Bukan hanya itu, sebenarnya masih banyak 

kasus siber yang terjadi di Indonesia, namun sayangnya 

masih belum memiliki perhatian khusus baik dari

pemerintah, hingga warga  itu sendiri yang 

notabennya yaitu  pelaku dan juga korban kasus ini ,

yaitu Pemberitaan Berita Bohong (Hoax). Kasus 

Pemberitaan Berita Bohong (Hoax) yaitu  kasus yang 

paling sering terjadi, dan bahkan sering dijumpai disekitar 

kita, setiap hari dilakukan oleh anggota keluarga kita, 

teman-teman kita, oleh orang-orang disekitar kita.

D. Penanganan Cybercrime di Indonesia.

Dunia menghadapi dilema yang sama tentang cara 

memerangi cybercrime dan bagaimana cara efektif 

mempromosikan keamanan kepada warga  dan 

organisasi mereka. Kejahatan dunia maya, tidak seperti 

kejahatan tradisional yang dilakukan di satu lokasi 

geografis, namun dilakukan secara online dan sering tidak 

jelas terkait dengan lokasi geografis mana pun. Oleh 

sebab  itu, diperlukan respon global yang saling 

terkoordinasi terhadap masalah cybercrime [11]. Salah 

satunya Indonesia, kini pemerintah mempersiapkan 

strategi untuk menghadapi kasus Cybercrime yang mulai 

menjadi perhatian khusus saat ini. 

Adapun usaha  yang telah dilakukan pemerintah 

yaitu salah satunya dengan membentuk Badan Siber dan 

Sandi Negara (BSSN). BSSN yang dibentuk dengan 

mempertimbangkan bidang keamanan siber merupakan 

salah satu bidang pemerintahan yang perlu didorong dan 

diperkuat sebagai usaha  meningkatkan pertumbuhan 

ekonomi nasional dan mewujudkan keamanan nasional. 

Pembentukan BSSN merupakan usaha  untuk menata 

Lembaga Sandi Negara menjadi Badan Siber dan Sandi 

Negara guna menjamin terselenggaranya kebijakan dan 

program pemerintah di bidang keamanan siber[12].

Selain itu, dalam hal ini Polri sebagai aparat penegak 

hukum Indonesia telah menyiapkan unit khusus untuk  

menangani kejahatan cyber ini yaitu UNIT V 

IT/CYBERCRIME Direktorat II Ekonomi Khusus 

Bareskrim Polri. Polri dalam hal ini khususnya unit 

cybercrime memakai  parameter berdasar  

dokumen kongres PBB tentang The Prevention of Crime 

and The Treatment of Offlenderes di Havana, Cuba pada 

tahun 1999 dan di Wina, Austria tahun 2000, yang 

merumuskan cybercrime sebagai perbuatan melawan 

hukum yang dilakukan dengan memakai jaringan 

komputer sebagai sarana/ alat atau komputer sebagai 

objek, baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak, 

dengan merugikan pihak lain [13].

Adanya penegak, kurang sesuai jika tanpa hukum 

yang diberlakukan. Oleh sebab  itu, Indonesia pun 

membentuk hukum untuk mengatur Cybercrime, dalam 

hal ini ada 2 hukum utama yang digunakan yaitu – Hukum 

Telekomunikasi UU No. 36/1999 dan Hukum Information 

Transaction Electronics (ITE) UU No. 11/2008. Menerut 

pengamatan mendalam yang dilakukan oleh Leo dan 

Dinita terhadap sejarah kasus cybercrime di Indonesia, 

menunjukkan bahwa landasan hukum untuk cybersecurity

masih lemah. Dibandingkan dengan negara lain,

Indonesia tertinggal dalam hal kebijakan dan peraturan 

keamanan TIK. Misalnya di Malaysia, sudah memiliki 

UU Kejahatan Komputer, Digital Signature Act, 

Telemedicine Act (tiga dari mereka telah diberlakukan 

sejak 1997), Multimedia Act (1998), Payment System Act 

(2003) dan Personal Data Act (2010). Singapura juga

memiliki satu set peraturan serupa. Kedua undang-undang 

yang ada memiliki keterbatasan mereka sendiri. UU 

Telekomunikasi, hanya mengenai lingkup 

telekomunikasi, namun tidak disebutkan infrastruktur 

telekomunikasi misalnya dalam konteks internet. 

Sehingga membuatnya sulit untuk menempatkan ke dalam 

konteks kasus-kasus tertentu. Selain itu, sementara 

undang-undang khusus pada cybercrime telah 

diberlakukan melalui Undang-Undang Republik 

Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan 

Transaksi Elektronik (ITE) namun ruang lingkupnya juga

terbatas, sebab  masih memerlukan undang-undang lain 

untuk melengkapi. sebab  keterbatasan ini, kasus 

kriminal yang terkait dengan kejahatan cyber sedang 

terjadi dihukum dengan KUHAP Hukum Acara Pidana 

(UU KUHAP), Perlindungan Konsumen UU No. 8/1999, 

UU Hak Cipta No. 19/2002 atau UU Anti-Pornografi 

No.44/2008. Namun Undang-Undang Informasi dan 

Transaksi Elektronik No. 11/2008 terbentuk landasan 

pemerintahan cybersecurity terkait (serta perdebatan)

negara [14].

Meskipun lemah dalam hal legislatif, Indonesia 

cukup kuat dalam hal teknis dan langkah prosedural. 

Kerja sama internasional juga tidak dianggap sebagai 

masalah sebab  Indonesia meningkatkan kerjasama 

internasionalnya dengan berbagai organisasi, pakar 

keamanan dan forum untuk meningkatkan 

pemahamannya terhadap ancaman global. Sebagai 

perwujudan dari prinsip ini dalam cybersecurity, 

Indonesia telah menjadi anggota penuh APCERT dan 

FIRST dan pendiri OIC-CERT. Adapun langkah-langkah 

teknis, Indonesia telah secara resmi mengakui kepatuhan

persyaratan melalui SNI / ISO / EIC 27001: 2013 tentang 

Sistem Manajemen Keamanan Informasi. Untuk 

meningkatkan kesadaran keamanan dan melacak 

kemajuan, Indonesia memiliki kerangka tersendiri untuk 

menilai keamanan informasi domestic di seluruh instansi 

pemerintah. Indeks KAMI (Keamanan Informasi 

Nasional Indeks) mengevaluasi lima bidang keamanan 

informasi: tata kelola, manajemen risiko, kerangka kerja, 

manajemen aset, dan teknologi [14]. Namun, masih ada 

banyak pekerjaan yang diperlukan. Tidak adanya 

roadmap tata kelola nasional yang diakui secara resmi 

untuk keamanan siber yaitu  salah satu prioritas yang 

mendesak (ITU 2015). Sehubungan dengan penerapan 

standar internasional, ITU (2015) mencatat bahwa 

Indonesia belum secara resmi menyetujui keamanan siber

nasional dan kerangka kerja. Ini juga berlaku untuk 

sertifikasi. Saat ini, Indonesia tidak memiliki keamanan 

siber nasional dan kerangka kerja yang disetujui secara 

resmi untuk sertifikasi dan akreditasi lembaga nasional 

dan professional sector umum. Asosiasi Penyedia Internet 

Indonesia (APJII) mengkonfirmasi temuan ini dengan 

menambahkan bahwa saat ini standar yang ada sebagian 

besar diadopsi dari entitas regional atau internasional 

(wawancara, 2016) [14].

E. Kesadaran warga  Terhadap Keamanan TI

Meningkatnya Cybercrime di Indonesia telah 

menjadikan pemerintah dan aparat hukum melakukan 

beberapa antisipasi untuk menekan jumlah kejahatan 

diinternet melalui perubahan Undang-Undang sesuai 

perkembangan teknologi. Pemberian materi Etika 

Komputer di Perguruan Tinggi dan Pemahaman tentang 

kesadaran keamanan berinternet kepada para 

penggunanya. Namun semua kembali kepada masing￾masing pengguna Teknologi Informasi ini untuk sadar 

tentang pentingnya mengamankan data-data dan 

aktifitasnya [15]. Namun sayangnya tingkat kepedulian 

pengguna dalam menjaga keamanan TI masih belum 

tinggi. Seperti yang telah di publikasikan pada situs 

Hootsuite.com diperoleh prosentasi akan sikap 

warga  Indonesia dalam merasakan peran teknologi 

dan perspektif mereka tentang privasinya

Selain itu peningkatan Cybercrime di Indonesia juga 

sebab  pengaruh kemajuan Teknologi Informasi itu sendiri 

dalam mempengaruhi budaya di Indonesia. Mulai dari (1) 

perbedaan pria dan wanita (2) meningkatnya rasa percaya diri 

(3) dan adanya tekanan [17]. Dengan budaya warga  di

Indonesia yang telah mengakar kuat dan sangat 

mempengaruhi kehidupan sosialnya, kasus Cybercrime ini 

muncul dan masuk melalui celah kelemahan pada sosial 

budaya masyakart di Indonesia. Sehingga kesadaran 

warga  dalam kasus Cybercrime ini harus bisa 

ditanamkan lebih kuat lagi sebab  harus merubah budaya 

masyakaratnya pula.

III. ANALISA

Dengan banyaknya jenis kejahatan siber yang terjadi di 

Indonesia, pihak kepolisian telah melakukan perhitungan 

kasus-kasus kejahatan siber yang terjadi di Indonesia dengan 

prosentasenya masing-masing didapatlah bahwa kasus 

kejahatan siber yang paling banyak terjadi di Indonesia pada 

tahun 2017 yaitu  kejahatan penyebaran berita bohong atau 

biasa disebut berita hoax. Seperti yang dilansir oleh laman 

okezone.com, Ketua Kepolisian Republik Indonesia (atau 

biasa disingkat Kapolri), Jenderal Tito Karnavian 

mengatakan, bahwa tingkat penyebaran hoax yang semakin 

marak ini yaitu  disebab kan sudah bebasnya pemakaian  

sosial media di kalangan warga  Indonesia akhir-akhir 

ini.

Dalam analisa kami selanjutnya, alasan mengapa kasus 

kejahatan siber yang paling banyak terjadi di Indonesia pada 

tahun 2017 dan 2018 ini yaitu  kasus penyebaran berita hoax

yaitu  sebab  ditemukannya lima penyebab dari hasil studi 

literatur, yaitu sebagai berikut.

1. sebab  bebasnya pemakaian  media sosial. Kemudahan

yang dijanjikan dan disajikan oleh media internet bukan

hanya dimanfaatkan oleh pelaku bisnis komputer dan

elektronika, namun juga mengunggah pelaku bisnis yang

bergerak di bidang penerbitan dan pemberitaan [18].

Akibat pertumbuhan dari perkembangan internet yang

cukup signifikan dari tahun ke tahun ini 

menyebabkan semakin maraknya penyebaran berita

bohong atau hoax. Dalam menyebarkan berita hoax,

biasanya pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab itu

melakukan suatu kebohongan dan menyebarkan

informasi yang tidak benar secara sadar. Hal itu sama

sekali tidak menimbulkan kekhawatiran bagi para pelaku

dalam melakukan aksinya disebab kan kurnagnya

penyaringan berita di media social sehingga berita 

apapun yang dibagikan dapat dengan mudah tersebar

[17].

Di sisi lain, hal lain yang dapat mendorong 

mudahnya berita hoax ini  tersebar secara cepat 

yaitu  dari sisi warga  Indonesia sendiri. 

warga  masih belum memiliki pemahaman dan 

pengetahuan hukum yang memadai tentang dampak dan 

ancaman dari penyebaran berita bohong atau hoax. 

Selain itu, mudahnya penyebaran berita hoax ini  

yang dilakukan oleh warga  ke berbagai media social 

dapat menyebabkan penyebaran berita ini  menjadi 

massif, sehingga akan susah untuk dilakukan klarifikasi 

[18]. Didapat pada Tabel 1, terlihat pada poin 3 

bahwasanya tingkat kepercayaan akan privasi data dan 

perlindungannya oleh warga  mencapai 79%, 

dimana hal itu menunjukkan bahwa sebagian besar 

warga  Indonesia merasa bahwa data-data mereka 

sudah cukup aman. Dari sini dapat diketahui bahwa 

untuk mencegah terjadinya penyebaran berita hoax pada 

poin satu ini yaitu  dengan memberikan edukasi 

mengenai UU ITE dan sosialisasi mengenai bahaya 

penyebaran berita tanpa dikethaui sumbernya dengan 

jelas kepada warga .

2. sebab  merupakan kejahatan yang terlihat sehingga

mudah diadukan. Kasus kejahatan penyebaran berita

bohong yang dilakukan melalui media social ini

merupakan suatu kejahatan yang dapat dengan mudah

diketahui dan dilacak kebenarannya. Setiap kali terdapat

berita yang terindikasi tidak benar, maka si penerima

berita dapat dengan langsung melaporkan kepada pihak

berwajib. Dengan mudahnya deteksi kebenaran dan

pelaporan ini menyebabkan kasus penyebaran berita

hoax dapat terhitung dengan baik jumlahnya oleh pihak

kepolisian.

3. sebab  kurangnya pemahaman mengenai UU ITE oleh

kepolisian Indonesia. Mudahnya pelaporan oleh

warga  terhadap suatu kasus tidak sebanding dengan

mudahnya penanganan dan penindakan oleh pihak

kepolisian. Sumber daya manusia di instansi kepolisian

saat ini masih banyak yang terbatas dalamn hal

penguasaan ITE (UU No. 19 Tahun 2016 Tentang ITE

Pasal 28) [17]. Semua hukum dan undang-undang yang

telah dibuat oleh pihak negara, jika  kurang dipahami

oleh pihak yang bertanggungjawab, maka pembuatan

undang-undang ini  akan percuma. Hal ini sangat

disayangkan, dimana kunci dari keberhasilan dalam

penegakan hukum, yaitu penegak hukum itu sendiri,

ternyata kurang begitu memahami bagaimana cara

penangangan kasus penyebaran berita hoax, sehingga

menyebabkan kasus semacam ini banyak yang dibiarkan

saja dan pelaku bebas melakukan tindakannya lagi.

Namun, untuk mengantisipasi terjadinya pemberitaan hoax ini , kini pihak kepolisian telah menyiapkan 

beberapa tindakan, yaitu penyimpanan regulasi, 

melakukan klarifikasi, memberikan serangan balik dan 

melakukan investigasi.

4. sebab  dalam UU dinyatakan bahwa kasus penyebarang

berita hoax hanya dapat diperdanakan jika  terdapat

pihak yag dirugikan, sehingga membuat para pelaku

penyebar hoax yang tidak begitu memberi dampak

negative yang signifikan tidak dapat ditindak lanjuti dan

menyebabkan ia menjadi mampu melakukan tindakan

kejahatannya lagi.

5. sebab  kepolisian Indonesia lebih berfokus pada

penyelesaian kasus lain (pencemaran nama baik)

daripada kasus penyebaran hoax untuk segera ditangani.

Seperti yang dilansir oleh laman berita bbc.com, 

kasus pencemaran nama baik dan ujaran kebencian 

menjadi bentuk kasus kejahatan siber terbanyak yang 

ditangani oleh kepolisian. Hampir 45% dari total 

kejahatan siber yang terjadi di Indonesia merupakan 

kejahatan pencemaran nama baik dan ditangani dengan 

segera oleh pihak kepolisian. Hal ini menyebabkan 

kasus-kasus kejahatan siber lain yang lebih merugikan, 

atau kasus penyebaran berita hoax ini. Maka dengan 

terjadinya alasan seperti ini, hal ini dapat menyebabkan 

kasus penyebaran berita hoax tidak segera ditangani oleh 

pihak kepolisian, sehingga menyebabkan para pelakunya 

bebas mengulangi kejahatannya kembali.

Kejahatan siber sejatinya yaitu  suatu kejahatan yang 

memakai  alat komputer dan teknologi sebagai media 

kejahatannya, dimana terdapat tiga pihak yang terlibat 

langsung dalam terjadinya kasus ini , yaitu pihak 

kepolisian sebagai aparat penegak hukum, pihak warga  

umum sebagai korban, dan pihak pelaku. Demi untuk 

mencegah atau menangani terjadinya kasus kejahatan siber 

(yang notabene cukup membahayakan daripada kejahatan 

non siber), diperlukan keterlibatan pihak kepolisian dan 

warga . Kedua pihak ini diperlukan untuk sama-sama 

menjadi lebih pintar dan paham mengenai undang-undang 

atau bahaya dari suatu kejahatan ini  daripada si pelaku agar kasus kejahatan-kejahatan siber tidak dapat dilakukan 

dengan lancar oleh pelaku kejahatan.

Untuk kejahatan siber yang paling sering terjadi di 

Indonesia, yaitu penyebaran berita hoax, diperlukan adanya 

pemahaman kuat terhadap dampak apa yang sekiranya akan 

terjadi dari kejahatan ini , juga terhadap undang-undang 

yang telah mengaturnya, agar didapatkan suatu formula 

khusus untuk dapat mencegah terjadinya kasus penyebaran 

berita hoax kembali. 

Cyber Law yaitu Hukum yang mengatur aktivitas di dunia maya 

(kejahatan dunia maya melalui jaringan internet).1

 Istilah cyber law 

telah membentuk rezim hukum baru di Indonesia, khususnya dalam 

kegiatan teknologi dan informasi. Rezim hukum cyber law di 

Indonesia ditandai dengan lahirnya Undang-undang 

Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 

yang diundangkan oleh Presiden RI tanggal 21 april 2008. 

Cyber Law yaitu  aspek hukumyang istilahnya berasal dari 

cyberspace law yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang 

berhubungan dengan orang perorangan atau subjek hukum yang 

memakai  dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai 

pada saat mulai online dan memasuki cyber space atau dunia maya. 

Istilah hukum cyber berasal dari cyberlaw, yang saat ini 

secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait 

dengan pemanfaatan Teknologi Informasi. Istilah lain yang juga 

digunakan yaitu  Hukum Teknologi Informasi (Law of Information 

Technology), Hukum Dunia Maya (Virtual World Law) dan Hukum 

Mayantara. Secara akademis, terminology cyber law belum menjadi 

terminologi yang umum. Terminologi lain untuk tujuan yang sama 

seperti The Law of The Internet, Law and the Information 

Superhighway, Information Technology Law, The Law of Information, 

Lex Informatica dan sebagainya. Di Indonesia sendiri tampaknya 

belum ada satu istilah yang disepakati. Istilah yang dimaksudkan 

sebagai terjemahan dari cyber law, misalnya, Hukum Sistem ,

Informasi, Hukum Informasi, dan Hukum Telematika 

(Telekomunikasi dan Informatika). 

Cyber Law diperlukan sebab  kegiatan Cyber dengan berbasis 

internet saat ini tidak bisa dibatasi oleh teritori Negara dan dapat 

dilakukan kapanpun. Meskipun alat buktinya berbentuk virtual (maya) 

dan bersifat elektronik kegiatan cyber yaitu  kegiatan virtual yang 

berdampak nyata. 2

B. Sejarah Keberadaan Cyberlaw 

1. Sejarah Cyberlaw di Dunia 

Pada tahun 1980-an khusunya Negara-negara di Eropa dan 

Amerika Utara mulai melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan 

baru seiring dengan pemakaian  teknologi komputer dalam 

melakukan tindak pidana konvensional. Pada tahun 1990-an beberapa 

Negara di berbagai belahan dunia sudah mulai mengatur tindak pidana 

siber seperti memasuki sistem komputer secara illegal, merusak data 

dalam sistem komputer dan menyebarkan virus. Pelaku tindak pidana 

siber memiliki  kemampuan dan kesempatan untuk melakukan 

tindakpidana dari suatu Negara yang akan mengakibatkan kerugian 

terhadap seseorang di beberapa tempat di Negara lain. 

Untuk mengahdapi ancaman tindak pidana siber beberapa 

organisasi internasional telah melakukan kajian-kajian dan pertemuan￾pertemuan ilmiah yang membahas tindak pidana siber, kerjasama 

internasional untuk mendorong pembentukan hukum internasional 

tentang tindak pidana siber. Beberapa organisasi internasional yang 

telah melakukan usaha-usaha ini  antara lain :

a. Organisation for Economic Co-operation and Development 

(OECD)

Usaha internasional pertama dalam memerangi tindak pidana 

penyalahgunaan komputer dilakukan oleh OECD antara tahun 

1983dan tahun 1985. Pada tahun 1985 negara-negara anggota OEDC 

direkomendasikan mempertimbangkan untuk melakukan kriminalisasi 

terhadap kejahatan dengan penyalahgunaan komputer dan 

mengaturnya dalam hukum pidana nasional. Tahun 1986 OECD 

mengeluarkan laporan tentang Computer-Related-Crime: Analysis of 

Legal Policy. berdasar  hasil kajian ini  OECD menganjurkan

beberapa perbuatan untuk dikriminalisasi dalam hukum pidana 

nasional, yaitu : 

1) Memasukan, mengubah, menghapus, dan/atau menyembunyikan 

data komputer/program komputer dengan maksud untuk 

melakukan transfer dana atau sesuatu yang bernilai lainnya secara 

illegal. 

2) Memasukan, mengubah, menghapus, dan/atau menyembunyikan 

data komputer/program komputer dengan maksud untuk 

melakukan pemalsuan. 

3) Memasukan, mengubah, menghapus, dan/atau menyembunyikan 

data komputer/program komputer dengan maksud untuk 

mengganggu sistem komputer atau sistem telekomunikasi lainnya. 

4) Pelanggaran hak eksklusif atas program komputer yang dilindungi 

yang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan komersial. 

5) Mengakses atau mengintersep sistem komputer/telekomunikasi 

tanpa seizing pihak yang bertanggungjawab atas sistem ini  

baik dengan cara pelanggaran atas sistem pengamanan, atau untuk 

tujuan maksud jahat lain.

Usaha lain yang dilakukan OECD yaitu  kontribusinnya mengenai 

pedoman tentang kebijakan keamanan komputer internasional yang 

saat ini menjadi Guidelines for the Security of Information System and 

Networks. 

b. United Nations (UN)

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan monitoring terhadap 

Computer related crime, dimulai pada tahun 1990 dengan Eight UN 

Congress on the Prevention of Crime and Treatment of Offender. 

Dalam resolusi kongres PBB ini  Negara-negara dihimbau untuk 

mengintensifkan usaha-usaha memerangi computer related crime 

dengan melakukan tindakan-tindakan berikut : 

1) Modernisasi hukum pidana materiil dan hukum acara pidana 

nasional untuk menjamin dan memadai dalam menindak tindak 

pidana siber. 

2) Meningkatkan usaha -usaha  pengamanan komputer dan usaha ￾usaha  preventif, dengan memperhitungkan masalah-masalah 

terkait perlindungan privasi, penghormatan hak asasi manusia dan 

kebebasan-kebebasan fundamental serta setiap mekanisme 

pengaturan pemakaian /pemanfaatan komputer. 

3) Mengadopsi usaha -usaha  agar warga , aparat pengadilan dan 

penegak hukum peka terhadap masalah computer-related crimes

dan pentingnya mencegah tindak pidana ini . 

4) Mengadopsi pelatihan-pelatihan yang memadai untuk hakim, 

pejabat dan aparat yang bertanggungjawab atas pencegahan, 

penyidikan, penuntutan dan pengadilan mengenai tindak pidana 

ekonomi dan computer-related crimes

5) Mengelaborasi -- dalam kolaborasi dengan organisasi-organisasi 

yang berkepentingan—rules of ethics dalam pemakaian  komputer

dan mengajarkannya sebagai bagian dari kurikulum dan training 

informatika. 

6) Mengadopsi kebijakan-kebijakan untuk korban computer-related 

crimes yang konsisten dengan United Nations Declarartion of 

Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of 

Power, termasuk pengembalian aset yang diperoleh dari kejahatan, 

dan usaha -usaha  mendorong korban agar mau melaporkan 

kejahatan kepada penguasa yang berwenang. 

c. The Group of Eight (G8)

G8 yaitu  kelompok Negara-negara industry yang terdiri dari Kanada, 

Jerman, Perancis, Itali, Jepang, Inggris, Amerika Serikat, dan Rusia. 

Menurut G8 setidaknya ada 2 bentuk ancaman dari perkembangan 

high-tech crime/tindak pidana teknologi tinggi yaitu ; (1) para pelaku 

kejahatan yang canggih menjadikan komputer dan sistem 

telekomunikasi sebagai target untuk memperoleh atau mengalihkan 

informasi yang berharga tanpa izin dan mencoba mengganggu sistem￾sistem perdagangan penting dan sistem-sistem public lainnya, (2) para 

pelaku kejahatan termasuk kelompok dari anggota kejahatan 

terorganisir dan para teroris, memakai  teknologi baru ini sebagai 

alat kejahatan tradisional yang merupakan ancaman terhadap 

keamanan umum. G8 menyetujui 10 prinsip memerangi high-tech 

crimes ini  yaitu  : 

1) Tidak boleh ada tempat berlindung bagi mereka yang 

menyalahgunakan teknologi informasi. 

2) Penyidikan dan penuntutan atas pelaku kejahatan high-tech 

internasional harus dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan 

seluruh Negara yang berkepentingan, terlepas dari wilayah 

hukum mana kerugian ditimbulkan.

3) Aparat penegak hukum harus terlatih dan 

diperlengkapi/dipersiapkan untuk menangani kejahatn high-tech. 

4) Sistem hukum harus melindungi kerahasiaan, keutuhan dan 

ketersediaan data dan sistem dari kerusakan yang diakibatkan 

oleh adanya perbuatan melawan hukum dan menajmin adanya 

penghukuman terhadap penyalahgunaan serius. 

5) Sistem hukum harus memungkinkan pengamanan data elektronik 

dan akses yang cepat terhadap data elektronik, yang kerap sangat 

penting bagi keberhasilan investigasi kejahatan. 

6) Rezim bantuan timbal balik harus dapat menjamin perolehan dan 

pertukaran alat bukti yang cepat dalam kasus yang melibatkan 

kejahatan high-tech internasional. 

7) Akses elektronik lintas batas oleh penegak hukum terhadap 

informasi yang dapat diakses oleh umum tidak memerlukan 

pengesahan/izin dari Negara dimana data itu diperoleh atau 

berada. 

8) Harus dikembangkan dan diterapkan standar forensic untuk 

memperoleh dan mensahkan data elektronik dalam proses 

investigasi dan penuntutan. 

9) Sistem informasi dan telekomunikasi harus dirancang untuk 

membantu pencegahan dan mengetahui penyalahgunaan jaringan, 

dan juga harus dapat digunakan menelusuri dan menemukan para 

penjahat dan mengumpulkan alat bukti. 

10) Kegiatan dibidang ini harus dikoordinasikan dengan kegiatan 

dalam for a internasional lainnya yang relevan untuk memastikan 

tidak adanya usaha  yang tumpang tindih.

d. Council of Erope (CoE)

Konvensi tentang Kejahatan Siber (Convention on Cyber Crime)2001 

yang digagas oleh Uni Eropa.konvensi ini dalam perkembangannya 

dimungkinkan untuk diratifikasi dan diaksesi oleh Negara manapundi 

Dunia yang memiliki komitmen dalam usaha  mengatasi kejahatan 

siber. Convention on Cyber Crime 2001 merupakan puncak dari 

usaha-usaha yang telah dimulai lebih dari 20 tahun lalu oleh OECD, 

kemudian juga dilakukan PBB dan organisasi internasional lainnya 

yang telah mengkaji dan menyelenggarakan berbagai penemuan 

internasional dalam menghadapi perkembangan tindak pidana siber. 

Convention on Cyber Crime 2001 merupakan regulasi internasional 

pertama yang mengatur tindak pidana Siber dan menjadi pedoman 

dalam regulasi tindak pidana siber dalam hukum nasional. 

Convention on Cyber Crime 2001 terdiri dari 48 pasal dan 

dibagi dalam 4 bab,ketentuan yang berkaitan dengan kriminalisasi 

tindak pidana siber adalh Bab II Hukum Pidana Materil Bagian 1 

hukum pidana materil (Pasal2-Pasal 13) mengatur ketentuan￾ketentuan tentang hukum pidana materiil, kriminalisasi, dan ketentuan 

lainnyab yang berkaitan dengan tindak pidana siber. Tindak pidana 

siber terdapat 9 jenis tindak pidana siber yang dikelompokan dalam 

empat kategori tindak pidana, yaitu : 

1) Kelompok pertama : tindak pidana terhadap kerahasiaan 

(confidentiality), integritas (integrity), dan ketersediaan data 

(availability) data dan sistem komputer terdiri dari : illegal access 

(pasal 2), illegal interception (pasal 3), data interference (pasal 4), 

system interference (pasal 5), dan misuse of device (pasal 6).

2) Kelompok kedua : tindak pidana yang berkaitan dengan komputer, 

terdiri dari pemalsuan yang berkaitan dengan komputer (computer 

related forgery (pasal 7)), dan penipuan yang berkaitan dengan 

 komputer (computer related fraud (pasal 8)). 

3) Kelompok ketiga : tindak pidana yang berkaitan dengan konten 

yang berisi ketentuan tentang tindak pidana yang berkaitan dengan 

pornografi anak (offens related to child pornography (pasal 9)). 

4) Kelompok keempat : tindak pidana yang berkaitan dengan 

pelanggaran hak cipta dan hak-hak terkait (pasal 10). 

Disamping empat kelompok tindak pidana siber, dalam Bab I hukum 

pidana materil juga mengatur kewajiban tambahan dan sanksi terdiri 

dari : 

1) Pasal 11, perbuatan yang dikriminalisasi yaitu  dengan 

sengaja (1) membantu atau menghasut, (2) mencoba untuk 

melakukan tindak pidana yang diatur dalam PAsal 2-Pasal 10. 

2) Pasal 12, mengatur tentang badan-badan hukum dapat diminta 

pertanggungjawaban atas tindak pidana yang telah ditetapkan 

sesuai dengan konvensi ini,yang dilakukan untuk keuntungan 

mereka oleh orang perseorangan, baik secara individual, 

maupun sebagai bagian dari organ badan hukum, yang 

memegang posisi pimpinan didalamnya berdasar : 

a) Kuasa perwakilan badan hukum ini , 

b) Wewenang untuk mengambil keputusan atas nama badan 

 hukum ini , 

c) Wewenang untuk mengendalikan dalam badan hukum 

ini .

3) Pasal 13, mengatur mengenai adanya jaminan bahwa tindak 

pidana dari pasal 2-pasal 10 dipidana denga sanksi yang 

efektif, proporsional, dan dissuasive, termasuk sanksi pidana 

perampasan kemerdekaan untuk orang atau sanksi non-penal 

atau tindakan, termasuk juga sanksi pidana denda utnuk badan 

hukum. 

C. Sejarah Cyberlaw di Indonesia 

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini 

diawali dengan perkembangan teknologi komputer sejak tahun 1990-

an sudah menjadi perhatian warga  dan pemerintah indonesia. 

Pada tahun 2000 pemerintah mulai menggagas untuk mengatur 

berbagai aktivitas di cyberspace. Usaha untuk melakukan regulasi 

terhadap aktivitas manusia di cyberspace termasuyk aspek hukum 

pidananya telah dilakukan sejakm tahun 2000, yaitu pertama dengan 

disusunnya RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi yang diprakarsai 

Direktorat Jendral Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan. 

RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi disusun oleh Tim Fakultas 

Hukum UNPAD dan ITB. Kedua, RUU Tanda Tangan Digital 

diprakarsai oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan 

disusun oleh Tin Fakultas Hukum UI, khususnya Lembaga Kajian 

Hukum dan Teknologi (LKTH).4

RUU ini  akhirnya digabung menjadi, RUU Informasi, 

Komunikasi, dan Transaksi Elektronik (RUU IKTE) yang diprakarsai 

oleh Direktorat Jendral Pos dan Telekomunikasi Departemen 

Perhubungan dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dengan 

penyusun berasa dari Tim Fakultas Hukum UNPAD dan Tim 

Asistensi ITB serta Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi (LKTH)

UI. Seiring dengan dibentuknya Kementrian Negara Komunikasi dan 

Informasi (KOMINFO), sejak maret 2003 pembentukan RUU IKTE 

selanjutnya dilakukan olehKementrian Kominfo dan menjadi RUU 

Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU IETE). Pada 

tahun2005 Kementrian Komunikasi dan Informasi berdasar  

Peraturean Pemerintah RI No.9 Thaun 2005 berubah menjadi 

Departemen Komunikasi dan Informatika (DEPKOMINFO) dan 

penyusunan RUU IETE yang kemudian berubah menjadi RUU 

Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) dilakukan oleh 

Departemen Komunikasi dan Informatika. 5

Melalui pembahasan di DPR pada tanggal 25 maret 2008 rapat 

paripurna DPR menyetujui RUU ITE ditetapkan menjadi Undang￾undang dan kemudian pada tanggal 21 April 2008 oleh Presiden 

Republik Indonesia diundangkan dengan Undang-undang No.11 

tahun2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Lembaran 

Negara tahun 2008 No.58.6

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) 

merupakan Hukum Siber Pertama Indonesia dan pemebentukannya 

bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi warga  yang 

melakukan transaksi secara elektronik, mendorong pertumbuhan 

ekonomi, mencegah terjadinya kejaqhatan berbasis teknologi 

informasi dan komunikasi serta melindungi warga  pengguna jasa 

yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. UU ITE 

terdiri dari 54 pasal yang terbagi dalam 13 Bab. Ketentuan-ketentuan 

yang mengatur kriminalisasi perbuatan yang termasuk kategori tindak 

pidana siber yaitu  Bab VII tentang perbuatan yang dilarang pasal 27-

pasal37. Sanksi pidana atas perbuatan-perbuatan ini  dirumuskan 

dalam Bab XI tentang ketentuan pidana Pasal 45-Pasal52.

Dalam perjalanannya, kriminalisasi tinak pidana siber dalam UU 

ITE yang mengatur penyalahgunaan teknologi informasi dan 

komunikasi dalam aktifitas di dunia siber belum memadai. Saat ini 

hukum internasional yang banyak digunakan negara-negara di dunbia 

sebagai pedoman dalam pengaturan tindak pidana siber yaitu  

Convention on Cybercrime 2001. Sehubungan dengan itu pemerintah 

Indonesia bermaksud untuk melakukan aksesi terhadap Convention on 

Cybercrine 2001 dan melakukjan harmonisasi hukum nasional 

indonesia dengan Convention on Cybercrime 2001. Berdaarkan 

hasilmkajian dan juga hasil Workshop on Cybercrime Legislation in 

Indonesia dengan Council of Europe Expert, ketentuan-ketenrtuan UU 

ITE belum sesuai dengan ketentuan tindak pidana siber dalam 

konvensi. Untuk itu pemerintah telah menyusun draf RUU Tindak 

Pidana Teknologi Informasi (RUU TIPITI) yang akan menhgatur 

beberapa terminologi dan norma-norma dalam konvensi yang belum 

sesuai atau belum diatur dalam UU ITE.7

RUU TIPITI yang terdiri dari 10 Bab dan 27 pasal merumuskan 

beberapa pengertian baru yang dirumuskan yaitu  sistem komputer, 

data komputer dan data trafik. Perbuatan-perbuatan yang 

dikriminalisasi dalam dalam RUU TIPITI pada dasarnya mengatur 5 

jenis tindak pidana yaitu : penipuan, pelanggaran hak cipta dan hak￾hak terkait, menghambat atau mengahalangi proses peradilan, 

pembantuan dan penghasutan serta pelanggaran kewajiban oleh 

penyelenggara sistem.

D. ASAS-ASAS CYBERLAW 

Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal 

beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu :9

1. Subjective territoriality, dalam perspektif ini hukum berlaku 

berdasar  tempat cybercrime dilakukan dan penyelesaian tindak 

pidananya dilakukan di negara lain. 

2. Objective territoriality, dalam perspektif ini hukum berlaku 

berdasar  dimana akibat utama kejahatan itu terjadi dan 

memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang 

bersangkutan. 

3. Nationality dalam perspektif ini negara memiliki  jurisdiksi 

untuk menentukan hukum berdasar  kewarganegaraan pelaku. 

4. Passive nationality yang menekankan jurisdiksi berdasar  

kewarganegaraan korban. 

5. Protective principle, dalam perspektif ini hukum didasarkan atas 

keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari 

kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya 

digunakan jika  korban yaitu  negara atau pemerintah,

6. Universality. Asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus 

terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini 

disebut juga sebagai ―universal interest jurisdiction‖. Pada 

mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk 

menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini 

kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap 

kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, 

genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa 

mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking 

and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa pemakaian  asas 

ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasar  

perkembangan dalam hukum internasional. Oleh sebab  itu, untuk 

ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang memakai  

pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasar  

batas-batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu 

tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara 

radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally 

significant (online) phenomena and physical location.Cyber Crime, merupakan sebuah fenomena kejahatan baru dalam 

tatanan hukum internasional. Cyber crime sebelumnya tidak 

mendapat perhatian Negara-negara sebagai subjek hukum 

Internasional. Munculnya kejahatan baru yang bersifat transnasional 

dan dalam bentuk tindakan-tindakan yang dilakukan dalam dunia 

maya ttelah menyadarkan warga  Internasional tentang perlunya 

perangkat Hukum Internasional baru yang dapat digunakan sebagai 

kaidah hukum internasional dalam mengatasi kasus-kasus cybercrime.

Instrument Hukum Internasional public yang mengatur

kejahatan siber yaitu  Konvensi tentang Kejahatan Siber (Convention 

on Cyber Crime)2001 yang digagas oleh Uni Eropa.konvensi ini 

dalam perkembangannya dimungkinkan untuk diratifikasi dan diaksesi 

oleh Negara manapundi Dunia yang memiliki komitmen dalam usaha  

mengatasi kejahatan siber.

Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan 

(dalam pembukaan EU Convention On Cyber Crime) antara lain 

sebagai berikut :

1) warga  internasional menyadari perlunya kerjasama

antar Negara dan industry dalam memerangi kejahatan siber 

dan adanya kepentingan untuk melindungi kepentingan

yang sah di dalam pemakaian  serta pengembangan 

teknologi informasi.

2) Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam 

penyalahgunaan sistem, jaringan dan data komputer untuk 

melakukan perbuatan criminal. Dengan demikian perlunya 

adanya kepastian dalam proses penyelidikan dan 

penuntutan pada tingkat internasional dan domestic melalui 

suatu mekanisme kerjasama internasional yang dapat 

dipercaya dan cepat. 

3) Saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk

memastikan suatu kesesuaian antara pelaksanaan penegak 

hukum dan hak azasi manusia sejalan dengan Konvensi

Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi Manusia dan 

Konvenan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak 

Politik dan Sipil yang memberikan perlindungan kebebasan 

berpendapat seperti hak berekspresi, yang mencakup 

kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan 

informasi dan pendapat. 

Konvensi ini telah disepakati oleh warga  Uni Eropa sebagai 

Konvensi yang terbuka untuk diaksesi oleh Negara manapun di dunia. 

Hal ini dimaksudkan untuk dijadikan norma dan instrument Hukum 

Internasional dalam mengatasi kejahatan siber, tanpa mengurangi 

kesempatan setipa individu untuk tetap mengemabngakan 

kreativitasnya dalam mengembangkan teknologi informasi. 

B. Hukum Positif di Indonesia 

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana 

Sebelum UU-ITE berlaku, dalam mengadili cybercrime pengadilan 

memakai  ketentuan KUHP dan ketentuan dalam Undang-undang 

di luar KUHP yang mengatur tindak pidana. Ketentuan yang 

digunakan untuk menangani cybercrime dalam KUHP yaitu  tentang 

pemalsuan (pasal 263-276), pencurian (pasal 362-372), penipuan

(pasal 378-395), perusakan barang (pasal 407-412). Pasal-pasal 

didalam KUHP biasanya digunakan lebih dari satu Pasal sebab  

melibatkan beberapa perbuatan sekaligus pasal-pasal yang dapat 

dikenakan dalam KUHP pada cybercrime yaitu: 10

a) Pasal 362 KUHP yang dikenakan untuk kasus carding dimana 

pelaku mencuri nomor kartu kredit milik orang lain walaupun 

tidak secara fisik sebab  hanya nomor kartunya saja yang diambil 

dengan memakai  software card generator di Internet untuk 

melakukan transaksi di ecommerce. Setelah dilakukan transaksi 

dan barang dikirimkan, kemudian penjual yang ingin mencairkan 

uangnya di bank ternyata ditolak sebab  pemilik kartu bukanlah 

orang yang melakukan transaksi. 

b) Pasal 378 KUHP dapat dikenakan untuk penipuan dengan seolah 

olah menawarkan dan menjual suatu produk atau barang dengan 

memasang iklan di salah satu website sehingga orang tertarik 

untuk membelinya lalu mengirimkan uang kepada pemasang 

iklan. Tetapi, pada kenyataannya, barang ini  tidak ada. Hal 

ini  diketahui setelah uang dikirimkan dan barang yang 

dipesankan tidak datang sehingga pembeli ini  menjadi 

tertipu. 

c) Pasal 335 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pengancaman dan 

pemerasan yang dilakukan melalui e-mail yang dikirimkan oleh 

pelaku untuk memaksa korban melakukan sesuatu sesuai dengan 

apa yang diinginkan oleh pelaku dan jika tidak dilaksanakan akan 

membawa dampak yang membahayakan. Hal ini biasanya 

dilakukan sebab  pelaku mengetahui rahasia korban.

d) Pasal 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pencemaran 

nama baik dengan memakai  media Internet. Modusnya 

yaitu  pelaku menyebarkan email kepada teman-teman korban 

tentang suatu cerita yang tidak benar atau mengirimkan email ke 

suatu mailing list sehingga banyak orang mengetahui cerita 

ini . 

e) Pasal 303 KUHP dapat dikenakan untuk menjerat permainan 

judi yang dilakukan secara online di Internet dengan 

penyelenggara dari Indonesia. 

f) Pasal 282 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi 

maupun website porno yang banyak beredar dan mudah diakses 

di Internet. Walaupun berbahasa Indonesia, sangat sulit sekali 

untuk menindak pelakunya sebab  mereka melakukan 

pendaftaran domain ini  di luarnegeri dimana pornografi 

yang menampilkan orang dewasa bukan merupakan hal yang 

terlarang atau illegal. 

g) Pasal 282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus 

penyebaran foto atau film pribadi seseorang yang vulgar di 

Internet , misalnya kasus-kasus video porno para mahasiswa, 

pekerja atau pejabat publik. 

h) Pasal 378 dan 262 KUHP dapat dikenakan pada kasus carding, 

sebab  pelaku melakukan penipuan seolah-olah ingin membeli 

suatu barang dan membayar dengan kartu kreditnya yang nomor 

kartu kreditnya merupakan curian. 

i) Pasal 406 KUHP dapat dikenakan pada kasus deface atau 

hacking yang membuat sistem milik orang lain, seperti website 

atau program menjadi tidak berfungsi atau dapat digunakan 

sebagaimana mestinya

2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan 

atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang 

Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) 

Undang-Undang ITE merupakan ketentuan yang mengatur bagi setiap 

orang yang melakukan perbuatan hukum serta memiliki akibat hukum 

dan merugikan kepentingan negara Indonesia, baik setiap orang yang 

berada di wilayah hukum negara Indonesia maupun yang berada di 

luar wilayah hukum Indonesia. Berikut diuaraikan penegrtiannya 

dalam UU ITE : 

a. Informasi Elektronik 

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik 

(UU ITE) merupakan Hukum Siber Pertama Indonesia dan 

pemebentukannya bertujuan untuk memberikan kepastian 

hukum bagi warga  yang melakukan transaksi secara 

elektronik, mendorong pertumbuhan ekonomi, mencegah

terjadinya kejaqhatan berbasis teknologi informasi dan 

komunikasi serta melindungi warga  pengguna jasa yang 

memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. 

Beberapa materi perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang 

diatur dalam UU ITE, antara lain: 11

a. Perbuatan yang dikriminalisasi dalam pasal 27 meiputi 

Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, 

mentransmisikan atau membuat informasi elektronik 

dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang 

melanggar kesusilaan dapat diakses, memiliki muatan

perudian dapat diakses, memiliki muatan penghinaan

dan/atau pencemaran nama baik dapat diakses, memiliki 

muatan pemerasan atau pengancaman dapat diakses. 

b. Pasal 28 Perbuatan yang dikriminalisasi dalam pasal 28 

meliputi perbuatan yang dengan sengaja dan tanpa hak 

menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang 

mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi 

elektronik dan dengan sengaja dan tanpa hak 

menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa 

kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok 

masyaraat tertentu berdasar  SARA. 

c. Perbuatan yang dikriminalsisasi dalam pasal 29 yaitu  

dengan sengaja serta tanpa hak mengirimkan informasi 

elektronik dan/atau dokumen elektronik yang didalamnya 

memuat ancaman berupa kekerasan atau menakuti yang 

ditujukan kepada pribadi atau seseorang. 

d. Perbuatan yang dikriminaslisasi dalam pasal 30 meliputi, 

dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum 

mengakses komputer atau sistem elektronik milik orang 

lain dengan cara apapun dengan tujuan untuk memperoleh 

informasi elektronik atau dokumen eektronik, dan dengan 

melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem 

pengamanan. 

e. Perbuatan yang dikriminalisasi dalam pasal 31 meliputi, 

yaitu dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum 

melakukan penyadapan atas informasi elektronik dan/atau 

dokumen elektronik dalam suatu komputer atau sistem

elektronik tertentu milik orang lain dan dengan melakukan 

penyadapan suatu transmisi informasi elektronik atau 

dokumen elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke dan

didalam suatu komputer atau sistem elektronik tertentu 

milik orang lain, baik yang tiak menyebabkan perubahan, 

penghilangan, atau penghentian informasi elektronik atau 

dokumen elektronik yang sedang di transmisikan. 

f. Perbuatan yang dikriminalisasi dalam pasal 32 sengaja 

dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun

mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, 

merusak, menghilangkan, memindahkan, 

menyembunyikan, suatu informasi elektronik atau 

dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik dan 

yang tidak berhak. 

g. Perbuatan yang dikriminalisasi dalam pasal 33 yaitu  

dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum 

melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya 

sistem elektroni atau mengakibatkan sistem elektronik 

menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya. 

h. Perbuatan yang dikriminalisasi dalam pasal 34 yaitu  

dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum 

memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, 

mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau 

meniliki, Perangkat keras atau perangkat lunak komputer 

yang dirancang atau secara khusu dikembangkan untuk

memfasilitasi perbuatan sebagaiman dimaksud dalam 

pasal 27 sampai dengan pasal 33, Sandi lewat komputer, 

kode akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang 

ditujukan agar sistem elektronik menjadi dapat diakses 

dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana 

dimaksud dalam pasal 27 sampai dengan pasal 33.

i. Perbuatan yang d