TV digital 2
207 byte ´ 8 bit per byte = 1656 bit
Pengode Trellis laju 2/3 menghasilkan 3/2 ´ 1656 bit = 2484 bit.
Laju simbol:
Sr (MHz) = 4,5/286 ´ 684 = 10,76... MHz
Laju segmen data:
Gambar 3.9: Interleaving intra-segmen
Fseg = Sr/832 = 12,94... ´ 10
3 segmen per detik
Laju Data Frame
Fframe = Fseg /626 = 20,66... frame per detik
Frame yang dihasilkan telah berbentuk sinyal-sinyal 8 level yang
memodulasi suatu carrier tunggal dengan carrier yang ditekan.
Sebelum transmisi, sebagian besar pita spektrum bagian bawah
atau lower sideband dihilangkan dengan filter VSB yang berbentuk
akar raised cosine (square-root raised cosine) dengan daerah
transisi selebar 620 kHz. Spektrum VSB yang dihasilkan
Pada posisi frekuensi carrier yang
telah ditekan, pada jarak 310 kHz dari tepi bawah spektrum,
ditambahkan sinyal pilot kecil.
. Sistem Penyiaran TV Digital Standar DVB
Upaya pengembangan DVB sebagai standar global untuk
penyiaran televisi digital berawal dari pembentukan DVB Project
pada 11 September 1993 yang sebelumnya bernama European
Launching Group (ELG). DVB Project beranggotakan sekitar 250-
300 institusi yang berasal dari 30-an negara dan terdiri dari
broadcaster, manufaktur, network operator, badan regulasi dan
institusi akademik. Project DVB tidak menjalankan fungsi sebagai
regulator melainkan bekerja berdasarkan aspek bisnis dan
komersial.
Dalam perkembangan selanjutnya proyek DVB telah berhasil
mengembangkan serangkaian spesifikasi DVB yang tidak terbatas
pada video broadcasting namun juga telah merambah hingga ke
aplikasi dan layanan multimedia yaitu DVB-S2, DVB-S (generasi
kedua dan pertama dari sistem digital satelit), DVB-C (sistem
kabel digital), DVB-T (Sistem penyiaran digital terestrial), DVB-H
(sistem penyiaran digital dengan penerima handheld), DVB-DATA
(the Cyclical Data Delivery System), DVB-SI (Sistem pelayanan
informasi), dan DVB-MHP (middleware untuk TV interaktif).
DVB-S yang digunakan pada sistem penyiaran satelit
dikembangkan tahun 1993 berbasis pada teknik modulasi QPSK,
sedangkan DVB-C yang dikembangkan tahun 1994 berbasis
pada 64QAM. Untuk sistem penyiaran digital terestrial DVB-T
menggunakan OFDM dengan modulasi QAM dengan 2 mode yaitu
2K untuk menangani efek doppler dan 8K untuk menangani
multipath.
Saat ini, DVB Project mengembangkan DVB-S2 dengan
menggunakan 8-PSK dan turbo coding untuk penyiaran sistem
TV digital satelit dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi,
sedangkan untuk sistem penyiaran TV digital terestrialnya
dikembangkan DVB-H yang berbasis pada internet protocol (IP)
dan menggunakan modulasi OFDM-4K dengan sistem video
kompresi MPEG4 AVC atau SMPTE VC1 sehingga lebih efisien
dan dapat diterima perangkat handheld (time slicing).
menunjukkan perbandingan kinerja antara DVB-H dan DVB-T
dalam mengatasi pengaruh efek Doppler.
Implementasi penyiaran TV digital DVB di Eropa diawali tahun
1995 berupa penyiaran TV berlangganan dengan operator
Canalplus di Perancis, sedangkan untuk penyiaran TV digital
terestrial DVB-T diterapkan tahun 1997, 1998 dan 2002 masing-
masing di Swedia, Inggris dan Jerman. Untuk di Eropa peralihan
ke sistem digital pertama kalinya dilakukan di Berlin tahun 2003.
Standar penyiaran TV digital DVB dikembangkan berdasarkan latar
belakang pentingnya sistem penyiaran yang bersifat terbuka (open
system) yang ditunjang oleh kemampuan interoperability,
fleksibilitas dan aspek komersial. Sebagai suatu open system,
maka standar DVB dapat dimanfaatkan oleh para vendor untuk
mengembangkan berbagai layanan inovatif dan jasa nilai tambah
yang saling kompatibel dengan perangkat DVB dari vendor lain.
Selain itu, standar DVB memungkinkan terjadinya cross-medium
interoperability yang memungkinkan berbagai media delivery yang
berbeda dapat saling berinteroperasi. Salah satu aspek dari
interoperability adalah bahwa semua perangkat yang DVB-
compliant dari vendor yang berbeda dapat dengan mudah saling
terhubung dalam satu mata rantai penyiaran. Untuk mengetahui
standar DVB banyak dokumentasi yang bisa didapatkan di http://
www.dvb.org atau http://www.etsi.org, seperti beberapa informasi
standar DVB-T antara lain ETSI EN 300 744 V1.5.1 (2004-11)
yang berisi tentang framing structure, channel coding and
modulation for digital terrestrial television; ETSI TR 101 190 V1.2.1
(2004-11) yang berisi tentang Implementation guidelines for DVB
terrestrial services; Transmission aspects; dan ETSI TS 101 191
V1.4.1 (2004-06) yang berisi tentang DVB mega-frame for Single
Frequency Network (SFN) synchronization.
3.2.1. Overview Sistem
Salah satu keputusan mendasar yang diambil dalam menetapkan
standar DVB adalah pemilihan MPEG-2 sebagai data container.
Dengan konsepsi tersebut maka transmisi informasi digital dapat
dilakukan secara fleksibel tanpa perlu memberikan batasan jenis
informasi apa yang akan disimpan dalam data container tersebut.
Pemilihan MPEG-2 untuk sistem coding dan kompresi dilakukan
karena terbukti bahwa MPEG-2 mampu memberikan kualitas yang
baik sesuai dengan sumber daya yang tersedia. Selain itu, MPEG-
2 memungkinkan desain decoder yang fleksibel seiring
peningkatan kualitas pada sisi encoding. Setiap peningkatan unjuk
kerja baru karena pengembangan sistem encoding akan secara
otomatis direfleksikan pada kualitas gambar dari decoder.
Layanan sistem digital DVB masa depan akan terdiri dari berbagai
jenis program yang dikembangkan melalui sejumlah kanal
transmisi. Agar integrated receiver-decoder (IRD) dapat di-tune
untuk layanan tertentu secara otomatis melalui sistem navigasi
yang user friendly maka DVB menambahkan alat bantu navigasi
DVB-SI (Service Information) yang merupakan perluasan
programme specific information (PSI) dari MPEG-2. Service
information pada DVB berfungsi sebagai header terhadap
container MPEG sehingga receiver dapat mengetahui apa yang
diperlukan untuk mendekode sinyal.
DVB-T Carrier
Kanal DVB-T memiliki lebar bandwith 8, 7 dan 6 MHz dengan
mengoperasikan 2 mode yaitu 2K mode dengan 2048 titik dalam
IFFT dan 8K mode dengan 8192 titik dalam IFFT sebagai
gelombang pembawa (carrier) untuk melakukan transmisi data.
Jenis konten dalam gelombang pembawa dalam DVB-T beserta
besar kapasitasnya untuk kedua mode ditunjukkan dalam tabel
3.3.
Payload carrier akan digunakan untuk melakukan transmisi data
yang sesungguhnya, sedangkan TPS (Transmission Parameter
Signalling) carrier akan berada pada frekuensi yang ditentukan.
TPS merepresentasikan sebagai pembawa informasi kanal
sejumlah 68 simbol atau 68 bits, dimana 17 bitnya digunakan
abe 3 3
No Mode 2K Mode 8K Keterangan
1. 2048 8192 Carrier
2. 1705 6817 Used Carrier
3. 142/131 568/524 Scattered pilots
4. 45 177 Continual pilots
5. 17 68 TPS Carrier
6. 1512 6048 Payload carrier
Simbol-simbol tersebut
berisikan informasi tentang jenis mode, panjang guard interval,
jenis modulasi, code rate serta penggunaan hierarchical coding.
Contoh model spektrum untuk sinyal DVB-T dengan bandwidth
8MHz untuk mode 8K dan 2K ditunjukkan pada gambar 3.13.
DVB-T Modulator
Penyiaran TV digital DVB-T menggunakan teknik modulasi
COFDM, sehingga data akan didistribusikan menggunakan
beberapa frekuensi carrier yang saling ortogonal satu sama lain.
DVB-T menerapkan pengodean teknik Reed Solomon dan Viterbi
untuk menyediakan forward error correction dan melakukan
penyisipan untuk mengurangi kesalahan-kesalahan. Setelah
dilakukan kontrol kesalahan awal pada paket MPEG Transport
Stream (MPEG-TS), selanjutnya TS akan ditingkatkan 16 bytes
sebagai proteksi error yang diteruskan dalam block coding. DVB-
T Modulator memiliki 2 input untuk MPEG-TS yaitu high priority
path (HP) dan low priority path (LP) yang berbeda code rate-nya.
Kedua input ini digunakan modulasi hierarchical yang dimanfaatkan
ketika terjadi penerimaan yang kurang bagus di sisi penerima.
Gambar 3.14: Blok diagram DVB-T Modulator-bagian I
HP melakukan transmisi dengan low data rate dengan kompresi
tinggi menggunakan modulasi QPSK, sedangkan LP
menggunakan modulasi 16QAM atau 64QAM dengan low data rate
dan lower error correction. Pada sisi perangkat penerima HP dan
LP dengan teknik hirarki modulasi akan dipilih sesuai dengan
kondisi penerimaan. Secara lengkap bagan DVB-T modulator
pada sisi pemancar ditunjukkan dalam gambar 3.14 dan 3.15.
3.2.2. DVB-T Single Frequency Network (SFN)
DVB-T dapat diimplementasikan dengan SFN (single frequency
network) di mana stasiun TV yang sama dapat memasang
sejumlah pemancar dengan frekuensi yang sama dan tersebar
pada wilayah layanan yang luas, sehingga dapat meningkatkan
cakupan pelanggannya tanpa memerlukan lebih dari satu kanal
frekuensi. Maksimum jarak antarpemancar akan tergantung dari
penggunaan panjang dari guard interval dan signal delay saat
dilakukan tranmisi. Untuk menentukan jaringan pemancar sangat
dibutuhkan informasi tentang topografi wilayah. Gambar 3.16
menunjukkan jarak pemancar dengan panjang guard interval.
Setiap pemancar dalam suatu jaringan sistem SFN harus
dilakukan sikronisasi satu dengan yang lainnya karena distribusi
data untuk MPEG-2 multiplexer pada setiap DVB-T modulator dari
Gambar 3.15: Blok Diagram DVB-T Modulator-bagian II
pusat payload ke setiap pemancar dalam jaringan terdapat delay.
Media distribusi data dari pusat payload ke setiap pemancar bisa
digunakan kabel fiber optik atau satelit. DVB-T melakukan
modulasi dalam bentuk frame dengan satu frame dikomposisi oleh
68 simbol DVB-T OFDM, dan 4 frame merupakan satu superframe
yang diakomodasi oleh satu bilangan integer dalam paket transport
stream MPEG-2.
Sebagai konsekuensi agar terjadi sikronisasi dalam suatu jaringan
SFN setiap superframe harus dibangkitkan dan disiarkan dalam
waktu yang bersamaan oleh setiap pemancar. Maka DVB-T
modulator memerlukan suatu acuan yang dapat digunakan GPS
(Global Positioning Satellite)
Pengembangan Standar DVB-T
Penyiaran Multimedia dan Interactivity
Sistem DVB memiliki kemampuan untuk memanfaatkan return
path antara IRD dan service provider melalui modul subscriber
management. Untuk keperluan return path ini diperlukan modem
dan jaringan telepon atau TV kabel return path atau bahkan satelit
uplink. Return path ini dapat digunakan untuk mengirimkan sinyal
balik dari user seperti pada aplikasi televoting, games playing,
tele-shopping, and tele-banking, dan juga untuk mengirimkan
command browsing pada website internet.
Banyak layanan yang ditawarkan dalam DVB akan membutuhkan
beberapa bentuk interaksi antara pengguna dan program provider
atau operator network. Interaksi tersebut bisa berupa transmisi
sekelumit perintah tapi mungkin juga memerlukan interaksi cukup
intensif seperti yang terjadi pada TV interaktif. Berbagai anggota
DVB telah mengembangkan rencana komprehensif pengenalan
TV interaktif sejak tahun 1997. Berbagai spesifikasi return channel
DVB telah dipublikasikan oleh ETSI termasuk di dalamnya DVB-
RCC (Cable) dan DVB-RCT (telephone atau ISDN) yang
merupakan komplemen dari DVB-NIP (Network Independent
Gambar 3.17: Blok diagram Sistem SFN untuk DVB-T
Protocols) yang berdasarkan kepada MPEG-2 DSM-CC (Digital
Storage Media –Command and Control).
Untuk penyiaran multimedia DVB Project telah mengembangkan
sistem transpor untuk data tersebut dengan menggunakan
application programming interface (API). API akan menangani
model konten multimedia yang memiliki 2 kategori yang disebut
sebagai declarative content seperti HTML dan procedural content
yang harus dijalankan receiver dengan menggunakan animasi
grafis.
Saat ini pengembangan sistem penyiaran multimedia DVB tersebut
dinamakan MHP (Multimedia Home platform) yang berbasis Java.
MHP dirancang untuk dapat menjalankan 2 jenis konten multimedia
dengan menggunakan API. Generasi pertama MHP 1.0 telah
mampu melakukan interaktif multimedia. Saat ini MHP 1.1
menawarkan kemampuan melakukan seamless switching antara
penyiaran multimedia dan pengiriman halaman website.
Conditional Acces System (CAS)
Gambar 3.18: Arsitektur DVB MHP
CAS dalam sistem DVB bukan merupakan bagian dari standar.
Subsistem ini berfungsi sebagai kontrol akses terhadap program
atau layanan sehingga yang dapat menerima layanan hanyalah
pengguna yang sudah mendapat otorisasi. CAS terdiri dari
beberapa blok di antaranya mekanisme untuk mengacak program
atau layanan, subscriber management system (SMS), subscriber
authorization system (SAS) dan lainnya. SMS pada dasarnya
adalah data base yang berisi informasi pelanggan suatu layanan,
sedangkan SAS berfungsi meng-encrypt dan mengirimkan code-
words yang memungkinkan IRD dapat men-descrambler suatu
program.
DVB membebaskan penggunaan jenis CAS yang sesuai dengan
kebutuhan operator, namun DVB mengembangkan suatu common
scrambling algorithm, yaitu tools untuk mengacak transport
streams atau program elementary streams. Walaupun demikian
IRD yang menggunakan teknologi conditional access yang berbeda
mungkin tidak selalu dapat saling berinteroperasi. Ada dua
pendekatan yang dilakukan DVB untuk terjadinya interoperasi di
antara berbagai CAS yang berbeda yaitu :
· SimulCrypt, dalam hal ini beberapa program provider
melakukan negosiasi komersial sehingga memungkinkan
pengguna yang telah memiliki IRD dengan CAS proprietary
yang embedded di dalamnya dapat menikmati layanan dari
CAS yang berbeda karena adanya supply informasi
proprietary yang diperlukan.
· Multicrypt, berbagai teknologi CAS dapat berada pada satu
platform IRD yang sama sehingga dapat menerima
program yang disiarkan secara simultan dari beberapa
program yang CAS-nya berbeda.
ISistem Penyiaran TV Digital
ISDB-T, DMB-T, dan T-DMB
Integrated Services Digital
Broadcasting-Terrestrial (ISDB-T)
SDB-T adalah sistem penyiaran TV digital yang
dikembangkan oleh Jepang pada 1998, dan
telahdiimplementasikan di kota-kota besar di Jepang
ISDB-T memiliki enerji daya yang rendah dengan terminal yang
harganya murah. Ia dikembangkan pula untuk sistem transmisi
terestrial satelit dan kabel. ISDB-T mengadopsi MPEG2 sebagai
format videonya baik untuk HDTV dan SDTV, serta MPEG4 untuk
mobile-TV. ISDB-T telah diakui oleh ITU dan dipromosikan oleh
DiBEG (Digital Broadcasting Expert Group).
ISDB-T menerapkan teknologi BST-OFDM (Band Segmented
Transmission-Orthogonal Frequency Division Multiplexing). Ia
memiliki dua jenis transmisi dengan bandwidth masing-masing
5,6 MHz dan 429 kHz. Bandwidth 5,6 Mhz dipakai untuk program-
sejaktahun 1999. Sistem ini digunakan sebagai layanan aplikasi
multimedia dengan fitur-fitur yang lebih dari sekadar TV digital biasa
seperti HDTV, TV bergerak, tapi juga multilayanan lainnya seperti
data-teks, suara, program-program komputer yang semuanya
saling terintegrasi.
program TV digitalnya yang disegmentasi sebanyak 13 segmen
dinamai Wideband ISDB-T, dan 1 sampai 3 segmen sebagai
Narrowband ISDB-T dengan lebar per segmennya 429 kHz untuk
program-program audio dan atau data. Dua jenis transmisi tersebut
memanfaatkan secara bersama parameter-parameter lainnya
seperti pembentukan format encoding, multiplexing dan interval
carrier dari OFDM serta penyusunan konfigurasi frame.
SDB-T menyediakan fitur-fitur transmisi secara hirarki dengan
skema modulasi yang berbeda-beda seperti DQPSK, QPSK,
16QAM,64QAM dan internal encoding rate (1/2,2/3, 3/4, 5/6, 7/8).
Fitur ini merupakan bagian dari band segmented yang dialokasikan
ke sinyal-sinyal penerima bergerak, artinya : audio dan data yang
dikirim secara broadcast untuk mobile TV dan portable TV bisa
secara bersamaan diterima oleh sinyal televisi di rumah-rumah.
Setiap level hirarki bisa diset untuk setiap segmennya dengan
bandwidth 429 kHz. Informasi dapat dikirim ke penerima-penerima
dengan TMCC(Transmission and Multiplexing Configuration
Control) yang dialokasikan pada bagian dari gelombang pembawa
OFDM.
Dikarenakan segmen-segmen wide bandwidth dan narrow
bandwidth pada ISDB-T memanfaatkan parameter-parameter
OFDM secara bersama maka 5.6 MHz wide band dapat
mengikutkan 429 kHz narrow band secara langsung.
Konsekuensinya penerima dengan 429 kHz bisa menerima layanan
Gambar 4.1: Skema Modulasi Dari ISDB-T [Sato-2000]
untuk 5,6 MHz, dan penerima dengan 5,6 MHz juga bisa menerima
semua layanan pada 429 kHz.
ISDB-T memiliki karakteristik kemampuan sebagai berikut:
- Menyediakan berbagai layanan seperti HDTV, multikanal
SDTV, layanan data dan lain-lain.
- Memiliki kualitas transmisi yang memenuhi untuk layanan
penerima portable-TV dan mobile –TV.
- Menjamin fleksibilitas penggunaan kapasitas transmisi.
- Memenuhi pencapaian efektif pemanfaatan frekuensi dengan
menerapkan teknologi single frequency network.
4.2. Sistem DMB-T
Sistem DMB-T muncul sebagai reaksi pihak pemerintah, industri,
dan akademisi China terhadap isu implementasi TV digital di negara
mereka. Di satu sisi mereka sadar bahwa penerapan teknologi
TV digital di negara mereka tak terhindarkan. Namun di sisi lain,
mereka berupaya melindungi industri manufaktur lokal dengan
menciptakan standar baru. Dengan demikian industri luar tidak
memiliki keunggulan dalam kemapanan produksi seperti yang
pernah terjadi ketika China mengadopsi GSM untuk sistem seluler
mereka.
Tabel 4.1: Spesifikasi Umum ISDB T
Modulation 64QAM-OFDM, 16QAM-
OFDM, QPSK-OFDM,
DQPSK-OFDM
Error
Correction
Coding
Inner Coding, convolusion 7/8,
3/4,2/3, ½
Outer coding: RS(240, 188)
Interval
guard
1/16, 1/8, ¼
Interleaving Time, Frequency, bit, byte
Transmission
Channel
Coding Frequency
Domain
Multiplexing
BST-OFDM (Band Segmented
structure OFDM)
Conditional Access Multi-2
Data Broadcast ARIB STD B-24 (BML, ECMA
script)
Information Services ARIB STD B-10
Multiplexing Sistem MPEG-2
Audio-Coding MPEG-2 Audio (AAC)
Video-Coding MPEG-2 Video, MPEG-4 AVC
/H.264*
Tabel 4.1: Spesifikasi Umum ISDB-T
* H.264 digunakan pada salah satu segmen
penyiaran untuk telepon bergerak.
Dalam merumuskan standar baru, mereka berusaha menyisipkan
berbagai keunggulan teknologi dibanding standar-standar yang
telah ada sebelumnya. Sejak sekitar tahun 2000-an telah dimulai
usaha-usaha ke arah penyusunan standar baru. Setidaknya ada
dua kelompok, masing-masing dimotori oleh Tsinghua University
di Beijing dan Jiaotong University di Shanghai, yang berupaya
mengajukan dua sistem baru.
Sistem yang diajukan oleh Tsinghua University mengambil nama
DMB-T (Digital Multimedia Broadcast- Terrestrial) yang telah
dipatenkan di China dengan nama “Terrestrial digital multimedia/
television broadcasting system”, nomor paten 00 123 597.4,
tertanggal 21 Maret 2001. Seperti halnya DVB-T dan ISDB-T, sistem
ini juga berbasis OFDM. Subsistem transmisi yang menerapkan
TDS-OFDM (Time Domain Synchronization OFDM) adalah
kontribusi terpenting dari kelompok riset ini, dan memberikan
peningkatan terbesar relatif terhadap kinerja sistem-sistem OFDM
pendahulunya. Pada DMB-T, diterapkan teknik sinkronisasi waktu
dan frekuensi yang lebih akurat untuk OFDM dengan cara
menyisipkan deretan pseudo-noise sebagai pengganti cyclic prefix
di dalam guard interval. Teknik ini terbukti meningkatkan efisiensi
penggunaan spektrum serta memperbaiki kinerja sistem secara
keseluruhan dengan keunggulan beberapa dB di atas DVB-T.
Di pihak lain, Jiaotong University mengajukan sistem ADTB-T
(Advanced Digital Television Broadcast – Terrestrial) yang
menerapkan subistem transmisi dengan carrier tunggal dan
modulasi 8-VSB, menyerupai sistem ATSC. Seperti ATSC, sistem
p g
Metode Penyiaran digital Terestrial
Pita Frekuensi VHF/UHF,
Laju bit transmisi 19 Mbit/detik (64-QAM)
Lebar pita Transmisi 5.6 MHz*
Tabel 4.2: Spesifikasi kanal yang digunakan pada ISDB-T di Jepang
* Kompatibel dengan pita 6 Mhz untuk penyiaran terestrial
TV analog.
ini memiliki ketahanan tinggi terhadap derau, multipath, dan
interferensi. Namun tidak seperti ATSC, ADTB-T mengonsumsi
bandwidth 8 MHz untuk setiap carrier-nya dan memiliki kinerja yang
lebih baik pada kanal yang berubah terhadap waktu, sehingga
menjanjikan kemampuan untuk penerimaan pada kondisi bergerak
[CRC, 2003].
Kedua sistem tersebut akhirnya diakomodasi di dalam standar
TV digital China yang secara resmi diumumkan oleh badan
standarisasi SAC (Standardization Administration of China) pada
18 Agustus 2006 dan mulai berlaku efektif pada 1 Agustus 2007.
Standar ini dirilis dengan nomor GB 20600-2006 dengan nama
“Framing structure, Channel coding and modulation for digital
television terrestrial broadcasting system”, dengan sebutan DMB-
T/H (Digital Multimedia Broadcasting – Terrestrial/Handheld). Baik
sistem DMB-T usulan Tsinghua maupun ADTB-T dari Jiaotong
sama-sama terakomodasi dalam standar tersebut, sehingga
perangkat TV penerima perlu memiliki opsi untuk sistem modulasi
yang digunakan.
Dalam bagian ini hanya akan dibahas subsistem transmisi dari
DMB-T yang merupakan hasil riset Tsinghua University.
Pembahasan lebih difokuskan untuk meninjau perbedaannya
dengan sistem-sistem terdahulu yang juga berbasis OFDM.
Teknik Transmisi
Diagram teknik transmisi DMB-T (minus bagian pengodean-
pendekodean kanal dan modulator-demodulator) dapat dilihat pada
gambar 4.1. Pada sisi transmisi, 3780 simbol dikelompokkan ke
dalam satu simbol OFDM. Setiap simbol data dibawa oleh satu
subkanal tertentu melalui proses IFFT. Dalam proses ini, sebaris
378 simbol PN (Pseudo-Noise) disisipkan sebagai guard interval,
menggantikan peranan Cyclic Prefix (CP) pada standar-standar
sebelumnya. Simbol-simbol PN ini nantinya akan bermanfaat untuk
estimasi kanal dan sinkronisasi pada penerima. Keluaran dari IFFT
kemudian dilewatkan filter SRRC (Square-Root Raised Cosine)
untuk membentuk pulsa dan membatasi bandwidth selebar 8 MHz,
sebelum akhirnya digeser ke frekuensi tinggi (up-conversion),
dikuatkan oleh power amplifier, dan dipancarkan.
Pada penerima, sinyal yang diterima dilewatkan down-converter,
difilter SRRC, dan disampel. Hasilnya masuk secara paralel ke
synchronizer, estimator kanal, dan FFT. Hasil estimasi respon
impuls kanal itu lalu digunakan untuk ekualisasi dan deteksi, yang
kemudian digunakan dalam pengambilan keputusan mengenai titik
pada konstelasi simbol yang terdekat dengan sinyal yang diterima.
Tugas synchronizer adalah mencari awal tiap paket data dan tiap
simbol OFDM (sinkronisasi waktu) dan mengestimasi pergeseran
frekuensi atau offset (sinkronisasi frekuensi), sedemikian hingga
kompensasi delay dan frekuensi dapat dilakukan terhadap sinyal
yang diterima sebelum masuk ke tahap FFT. Proses sinkronisasi
G (Gambar 4.3: Teknik transmisi pada DMB-T (tanpa bagian
pengodean dan modulasi) [Zheng dkk, 2003]
waktu dan frekuensi ini menggunakan metode perata-rataan
dengan window terhadap hasil korelasi antara segmen PN yang
diterima dengan barisan PN aslinya.
Sementara itu adanya estimator kanal yang akurat memungkinkan
penerapan teknik modulasi koheren. Sifat kanal yang dispersif
merusak amplitudo dan fase sinyal yang dikirimkan, sehingga
respon kanal pada tiap subcarrier harus diketahui untuk dapat
mengompensasi efek perubahan amplitudo dan kanal tersebut,
sekaligus mengoreksi pergeseran fase akibat adanya timing offset
antara pemancar dan penerima. Dari pembahasan di atas, cukup
jelas pentingnya peran deret PN yang disisipkan pada tahap IFFT
sebagai header dari frame OFDM yang dikirimkan.
Diagram blok sistem penerima DMB-T lengkap dengan tahap
demodulasi dan dekode ditunjukkan gambar 4.4. Seperti halnya
DVB-T, DMB-T juga menerapkan teknik pengodean kanal dan
interleaving berlapis dua secara berselang-seling untuk mengatasi
efek derau impuls, derau burst, dan multipath fading.
Tabel 4.3 menunjukkan parameter-parameter sistem DMB-T yang
berbasis TDS-OFDM dan sistem DVB-T mode 8K yang berbasis
CP-OFDM (Cyclic Prefix OFDM). Tabel 4.4 menunjukkan
keunggulan DMB-T dalam efisiensi penggunaan spektrum
dibandingkan DVB-T yang menggunakan guard interval 1/32
sekalipun. Hasil kajian dengan simulasi juga menunjukkan
kelebihan DMB-T dalam akurasi sinkronisasi waktu dan akurasi
Gambar 4.4: Diagram blok lengkap sistem penerima DMB-T
[Nelson, 2005]
estimasi kanal dibandingkan dengan DVB-T untuk kondisi kanal
yang berubah terhadap waktu dengan frekuensi Doppler sampai
100 Hz [Zheng dkk, 2003].
4.3 Sistem T-DMB
Teknologi penyiaran TV digital T-DMB (Terrestrial-Digital Multimedia
Broadcasting) mulai diluncurkan pada 1 Desember 2005 di Korea
Selatan (Korsel). Hanya dalam waktu 6 bulan sejak peluncurannya,
teknologi penyiaran ini telah berhasil menggaet sekitar 1 juta
pelanggan. Kepopuleran T-DMB yang sedemikian pesat di Korsel
tersebut berkat dukungan kuat dari industri manufakturnya yang
memproduksi perangkat seperti telepon bergerak, navigator GPS,
laptop, kamera digital, pemutar MP3 dan set-top box berbasis
modul USB. Saat ini di Korsel sudah 7 kanal televisi dan 13 kanal
radio yang menggunakan sistem T-DMB.
Teknologi sistem penyiaran TV digital standar T-DMB ini
mengadopsi sistem Eureka-147 DAB (Digital Audio Broadcasting),
yang merupakan standar penyiaran audio digital di Eropa.
p
Parameter
CP-OFDM
(DVB-T 8K)
TDS-OFDM
(DMB-T)
Banyaknya subcarrier data 6116 3780
Banyaknya subcarrier untuk
training
701 378
Jumlah total subcarrier 8192 3780
Periode sampling ( s) 0,1094 0,1323
Bandwidth (MHz) 7,61 7,56
p gg p
CP-OFDM
(DVB-T 8K)
TDS-OFDM
(DMB-T)
Guard
interval
¼ 1/8 1/16 1/32 0
Efisiensi
spektrum
0,718 0,797 0,844 0,870 0,909
Tabel 4.3: Nilai parameter sistem
Tabel 4.4: Efisiensi penggunaan spektrum
Pengembangan T-DMB di Korsel semula bertujuan untuk
mendigitalisasi siaran radio dan televisi, agar bisa memberikan
pelayanan mobile multimedia dan data. Oleh karena itu, supaya
dapat diimplementasikan pada perangkat komunikasi bergerak
diperlukan berbagai modifikasi dan penambahan teknologi.
Modifikasi dilakukan pada bagian source coding dan channel coding
yaitu dengan mengunakan teknologi MPEG-4 untuk video, MPEG-
4 BIFS untuk pelayanan data dan mobility yang mampu melayani
pengguna bergerak sampai kecepatan 300 km/jam dengan kualitas
suara seperti CD.
Selanjutnya pada Desember 2004, T-DMB mengadopsi standar
WorldDAB, pada juli 2005 mengadopsi standar ETSI dan tahun
2006 mengadopsi standar ITU. Hal itu dilakukan supaya T-DMB
bisa memasuki pasar global.
Di luar Korsel, T-DMB telah diuji coba di 6 kota besar di Jerman
pada saat pelaksanaan Piala Dunia sepak bola Juni 2006 pada L-
band untuk telepon seluler dual band. Pada waktu yang
bersamaan, Samsung Electronics dan LG Electronics melakukan
uji coba implementasi T-DMB pada perangkat ponsel di Inggris.
Sedangkan di Perancis uji coba T-DMB dilakukan Oktober 2005
pada perangkat ponsel TV. Kanal frekuensi yang digunakan untuk
uji coba ini pada band III block 11B dengan daya pancar 3kW.
Di China, walaupun State Administration of Radio, Film and
Television (SARFT) sudah menentukan penggunaan standar DMB-
T, namun melakukan juga pengujian T-DMB di 3 kota yaitu Beijing,
Shanghai dan Guangzhou. Uji coba T-DMB dilakukan Oktober
2006 di New Delhi, India, oleh konsorsium MoTV yang merupakan
gabungan sebuah perusahaan Korsel dan sebuah stasiun
penyiaran di India.
Sudah banyak aplikasi yang memanfaatkan sistem T-DMB seperti
informasi lalulintas, penyiaran bencana, conditional access dan
kombinasi teknologi untuk penyiaran dan jaringan nirkabel.
Pengembangan teknologi ini masih terus berlanjut. Para peneliti
T-DMB tengah mengembangkan 3D DMB yang dapat
mentransmisikan konten dengan tampilan 3 dimensi di pesawat
TV, seperti yang diilustrasikan pada gambar 4.5.
No Diskripsi
Parameter
Uraian
1. Frekuensi Band Band III (175-240 MHz), L-
band (1452-1478 MHz), dan
UHF (791-796 MHz)
2. Bandwidth 1.536 MHz
3. Modulasi DQPSK
4. Transmisi OFDM
5. Channel Coding RS (204,188) Convolution Byte
Interleaver
6. Multiplexing MPEG-4 SL, MPEG-2 TS
7. Audio MPEG-1/2 Layer 2
(MUSICAM)
8. A/V CODEC MPEG-4(H.264) / Part 2 BSAC
9. Data Service MPEG-4 Part 1 BIFS
Tabel 4.5: Karakteristik teknologi penyiaran TV Digital T-DMB
Gambar 4.5: Konfigurasi sistem DMB-T untuk pelayanan
stereoscopic 3D
4.3.1. Spesifikasi Sistem
Pada perencanaan awal di tahun 1990, sistem Eureka-147 DAB
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas audio digital dengan
bandwith 1.5 MHz. Namun, dalam pengembangannya justru
menjadi sistem T-DMB dengan melakukan perubahan dan
penambahan teknologi pada komponen layanan gambar bergerak
agar dapat diterima pada mobile communication terminals.
Penambahan teknologi tersebut meliputi penggunaan teknologi
MPEG-4, Error Protection (Reed-Solomon) dan byte interleaving.
Secara umum gambaran tentang perubahan sistem Eureka-147
DAB menjadi sistem T-DMB terpapar pada gambar 4.6.
DAB (Digital Audio Broadcasting)
Sistem DAB yang mengadopsi standar Eropa ETS 300 401 dan
Digital system A dalam ITU-R memiliki keandalan dan portablitas
dalam melayani multiplex siaran audio digital. Sistem ini beroperasi
pada frekuensi 3 GHz ke atas dengan media terestrial, satelit
maupun jaringan siaran kabel. Pada sistem ini beberapa sumber
audio dan data di-interleaved pada DAB Audio Frame Path dan
Data Server
MUSICAM Encoder
OFDM
Modulator
DAB
MUX
RF
Transmiter
AV DMB Encoder
Additional Modules for T-DMB
Video
Encoder
(AVC)
MPEG-2
TS
MUX
Video
Encoder
(BSAC)
RS
Encoder
(204,
188)
Conv.
Interlever
DAB System (300 401)
Gambar 4.6: Sistem T-DMB untuk TV mobile
Packet Mode Data Path. Standar pengodean untuk bentuk audio
berdasarkan ISO/IEC 11172-3 (MPEG-1 Audio Layer 2) and ISO/
IEC 13818-3 (MPEG-2 Audio Layer 2). Data audio frame-nya berisi
PAD (Program Associated Data), yang mengirimkan berbagai
informasi berupa dynamic range control, labeling, dan sejumlah
data teks.
Layanan data dapat dialirkan secara moda stream dan moda paket
yang selanjutnya di-multiplex setiap 24 milidetik dalam CIF
(Common Interleaved Frames). Pada frame transmisi multiplexer,
CIF dikombinasikan dengan FIC (Fast Information Channel ), yang
berisi informasi jenis layanan dan konfigurasi dari multiplex.
Selanjutnya frame transmisi dimodulasi dengan menggunakan
COFDM dengan metode p/4-DQPSK (Differential Quadrature
Phase Shift Keying) dan dikonversikan ke dalam frekuensi
gelombang radio. Sebelum proses modulasi, dilakukan teknik
convolutional bit-interleaving sehingga tingkat BER (Bit Error Rate
) kurang dari 10-4, yang secara lengkap ditunjukkan pada gambar
4.7.
Secara sederhana untuk skema transmisi dan penerimaan sistem
T-DMB ditunjukkan pada gambar 4.8.
Gambar 4.7: Diagram Blok Sistem DAB
4.3.2. Sistem Pengodean Sumber dan Kompresi
Audio-Video
Sistem pengodean Audio-Video H.264 merupakan standar
kompresi video yang dikembangkan oleh Joint Video Team (JVT-
ISO/IEC), MPEG dan ITU-T Video Coding Experts Group (VCEG).
Sistem ini memiliki algoritma pengodean yang sangat efisien
dibandingkan dengan skema pengodean video MPEG-2.
Kelebihan tersebut meliputi peningkatan kemampuan dalam
melakukan prediksi, metode transformasi dan pengodean metode
entropinya.
Selain itu, H.264 dilengkapi berbagai fitur terutama dalam
penanganan kesalahan, dan sangat fleksibel untuk beroperasi di
berbagai jaringan yang memiliki konfigurasi berbeda termasuk
NAL (Network Abstract Layer) unit syntax structure, Parameter
set structure, Flexible Macroblock Ordering (FMO), Arbitrary Slice
Ordering (ASO), redundant pictures, serta data partitioning. Semua
fitur Audio-Video Coding H.264 tersebut telah diadopsi sistem T-
DMB kecuali FMO, ASO dan redundant pictures.
G
K-DMB
A/V
Encoder
K-DMB
Service
Mux
DAB
Transmitter
(Eureka-147)
MPEG4 SL
Packetizer
MPEG2 TS
Mux
RS Encoder
(204,188)
Convolutional
Interleaver
RF
Signal
RF
Signal
DAB
Chipset
(Eureka-147)
K-DMB
Service
Demux
K-DMB
A/V
Decoder
Display
TFT-LCD
(Below 7
inch)
Convolutional
Deinterleaver
RS Decoder
(204,188)
MPEG2 TS
Demux
MPEG4 SL
Depacketizer
Tx
Rx
Gambar 4.8. Diagram TX dan RX sistem T-DMB
Sedangkan dalam pengodean audionya, sistem DMB-T
menggunakan BSAC (Bit-Sliced Arithmetic Coding) dan HE-ACC.
BSAC merupakan metode pengodean audio yang digunakan
dalam MPEG-4. Sistem kompresinya sangat mirip dengan skema
AAC (Advanced Audio Coding) yang digunakan dalam MPEG-2/
4. Sedangkan HE-ACC merupakan metode pengodean yang
dikombinasikan dari teknologi audio MPEG yang terdiri dari AAC
dan SBR (Spectral Band Replication) yang memiliki
kemampuan tinggi dalam low-bitrate audio codecs dengan kualitas
audio yang bagus dengan bitrate di bawah 48 kbps.
Sistem DMB-T mengadopsi core 2D profile/level 1 dalam sistem
MPEG-4 yaitu Scene Description (SD) untuk pengaturan
komposisi layar dan Object Description (OD) untuk pengaturan
konten. Hal tersebut digunakan untuk membantu mengaktivasikan
sistem MPEG-4 dalam sistem penyiaran interaktif TV digital DMB-
T yang dikenal dengan sebutan BIFS (Binary Format for Scene).
Sedangkan dalam transmisi konten MPEG-4 tetap digunakan
sistem MPEG-2 (MPEG-4 over MPEG-2 Systems) dengan
mekanisme multiplexing yaitu melakukan paketisasi konten MPEG-
4 ke dalam MPEG-2 TS dan melakukan sinkronisasi MPEG-4 OCR
(Object Clock Reference) dengan MPEG-2 PCR (Program Clock
Reference).
4.3.3. Sistem Multiplex Layanan dan Transpor
Sistem T-DMB juga memiliki protokol transpor data seperti
MOT (Multimedia Object Transfer), IP (Internet Protocol) Tunneling,
dan TDC (Transparent Data Channel). Protokol MOT didefinisikan
sebagai konsep ekspresi dan manipulasi objek multimedia yang
terdiri dari teks, gambar statis, gambar bergerak, dan deretan
audio. Protokol MOT dirancang dengan jaminan interoperabilitas
dengan berbagai layanan data dan aplikasi dari berbagai vendor
yang berbeda. Layanan data meliputi penyediaan BWS (Broadcast
Website) dan slide show, yang mirip dengan layanan web internet.
Manfaat Pengukuran
Sebelum mengimplementasikan sistem dan jaringan TV
digital, lebih dulu harus dilakukan tahap desain dan
perencanaan. Dalam tahap perencanaan ini target yang
Untuk dapat menentukan parameter sistem dan jaringan, perlu
dilakukan lebih dulu pengukuran propagasi. Tujuannya adalah
supaya setelah diimplementasikan kelak dapat tercapai target
wilayah yang diinginkan dengan kualitas cakupan yang memenuhi
standar. Untuk itu perlu dilakukan pengukuran daya dan cakupan,
pengukuran efek multipath, dan pengukuran efek Doppler.
Pengukuran ini dibahas pada bagian 5.2.
hendak dicapai oleh suatu jaringan perlu didefinisikan dalam
master plan. Parameter-parameter sistem dan jaringan perlu
ditetapkan melalui pra-evaluasi. Parameter jaringan di sini
termasuk lokasi pemancar (terutama jika menggunakan sistem
SFN) yang harus mempertimbangkan jarak maksimum
antarpemancar, serta target wilayah cakupan dan jenis pelanggan
yang hendak dicakup. Sedangkan parameter sistem meliputi tinggi
antena pemancar, daya pancar, serta parameter-parameter
modulasi dan coding, untuk memastikan kualitas sinyal yang
memadai sesuai kondisi lingkungan dan jenis pelanggan (fixed
vs mobile).
Pada tahap-tahap awal implementasi, jaringan yang telah
operasional perlu selalu dipantau sampai benar-benar dapat
dipastikan kualitas dan keandalannya. Demikian pula setelah tahap
operasional, pemantauan tetap harus dilakukan untuk mendeteksi
dini adanya penurunan kualitas dan atau keandalan dan untuk tetap
memberikan tingkat layanan terbaik kepada pemirsa TV sebagai
konsumen. Oleh sebab itu perlu juga dilakukan pengukuran pada
jaringan TV digital yang telah beroperasi. Tahap pengukuran ini
dijelaskan pada bagian 5.3.
Yang perlu digarisbawahi adalah ada perbedaan mendasar antara
sistem siaran analog dan digital yang memengaruhi teknik
pengukurannya. Pertama, pada sinyal TV digital informasi video
dan audio menjadi satu dalam payload yang dibawa oleh sistem
transpor, sedangkan pada sinyal TV analog video dan audio dapat
diukur secara terpisah. Kedua, pada penerimaan sinyal TV analog
berlaku sifat graceful degradation yaitu kualitas gambar menurun
secara bertahap seiring memburuknya rasio daya sinyal terhadap
daya noise (S/N). Sedangkan pada transmisi digital, ketika S/N
menurun bertahap, gambar dapat secara tiba-tiba hilang pada
saat S/N turun di bawah suatu nilai minimum atau threshold.
Fenomena ini menunjukkan bahwa S/N bukanlah satu-satunya
parameter terpenting dalam pengukuran transmisi TV digital. Hal
ini membawa kita pada perbedaan ketiga, yaitu adanya besaran-
besaran lain yang perlu diukur sebagai indikator kinerja suatu
sistem TV digital yang tidak dikenal pada sistem analog, di
antaranya terutama adalah BER (Bit Error Rate), MER (Modulation
Error Rate) dan EVM (Error Vector Magnitude).
5.2. Pengukuran Propagasi untuk Perencanaan
5.2.1. Mekanisme Propagasi dan Alat Ukur
Sebelum melakukan pengukuran propagasi radio, perlu dipahami
lebih dahulu berbagai mekanisme propagasi radio yang dapat
terjadi ketika suatu gelombang radio merambat dari antena
pemancar ke antena penerima sambil berinteraksi dengan obyek-
obyek di sekitar lintasan. Karena kondisi lingkungan yang bervariasi
antara satu lintasan dengan lintasan lain maka pada akhirnya
magnitudo atau daya sesaat gelombang yang terdeteksi oleh
suatu pesawat TV akan berbeda dengan yang diterima oleh
pesawat lain yang berbeda posisi. Untuk pesawat penerima yang
sifatnya portabel dan sedang dibawa oleh si pemilik yang sedang
bergerak, daya gelombang yang diterima pun akan berubah
terhadap waktu. Oleh karena itu, untuk tujuan analisis dan
perencanaan sistem komunikasi radio biasanya digunakan suatu
model statistik redaman lintasan radio dengan parameter-
parameter yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan. Di
samping itu, beberapa alat ukur yang diperlukan juga perlu dibahas
di sini.
A. Mekanisme propagasi radio
Apabila antena pemancar dan antena penerima bisa saling
memandang, tanpa ada obyek apapun di antara keduanya, maka
dapat dipastikan bahwa akan terdapat lintasan propagasi langsung
antara kedua antena. Kondisi ini seringkali disebut dengan kondisi
LOS (Line-of-Sight ). Seumpama antena pemancar dan penerima
terletak di tanah datar yang sangat luas, jauh dari gunung maupun
gedung-gedung, maka hanya akan terdapat satu lintasan
tambahan lagi yang berasal dari pantulan permukaan tanah.
Dengan demikian antena penerima akan menerima hasil jumlahan
gelombang yang datang melalui dua lintasan yang berbeda
tersebut. Misalkan jarak kedua antena relatif sangat besar
dibandingkan dengan dimensi ketinggian antena, maka gelombang
yang memantul pada permukaan tanah akan mengalami
pembalikan fase. Akibatnya jika selisih panjang antara kedua
lintasan merupakan kelipatan bulat dari panjang gelombang, maka
kedua gelombang akan saling meniadakan karena memiliki fase
yang berlawanan. Sebaliknya jika selisih jarak kedua lintasan
adalah kelipatan ganjil dari setengah gelombang, maka kedua
gelombang akan saling menguatkan.
Bila di antara dan di sekitar kedua antena terdapat berbagai obyek
pemantul, seperti gedung, bangunan, kendaraan, dan lain
sebagainya, sedangkan kondisi LOS masih terjaga, maka akan
terdapat banyak sekali lintasan propagasi yang bisa ditempuh oleh
gelombang radio. Akibatnya, yang terdeteksi oleh antena penerima
adalah penjumlahan dari gelombang-gelombang yang datang
melalui berbagai lintasan tersebut. Efek ini biasa disebut sebagai
efek multipath atau lintasan jamak. Karena keberadaan obyek-
obyek pemantul tersebut sangat variatif, maka akan sangat sulit
bagi kita untuk memprediksi dengan tepat magnitudo atau daya
sesaat gelombang yang diterima oleh antena penerima.
Apabila di antara kedua antena terdapat obyek penghalang –
kondisi yang biasa disebut non line-of-sight atau NLOS – maka
antena penerima masih dapat menerima gelombang radio dari
pemancar melalui proses pantulan maupun proses difraksi. Dalam
proses ini sebagian enerji gelombang radio yang merambat ke
sisi tepian obyek penghalang akan membelok ke segala arah,
termasuk di antaranya ke arah antena penerima. Dengan demikian,
pada kondisi NLOS penerima mendeteksi jumlahan gelombang
yang datang melalui berbagai proses pantulan dan difraksi
tersebut, namun tidak termasuk yang melalui lintasan langsung.
Akibatnya daya yang diterima pun sulit untuk diprediksi dengan
akurat. Gambar 5.1 mengilustrasikan kondisi LOS dengan dua
lintasan dan NLOS dengan difraksi.
B. Model redaman lintasan
Dari pembahasan di atas, diketahui bahwa daya yang diterima
oleh antena penerima sangat bergantung terhadap posisi antena
dan terhadap waktu, jika pesawat penerima tersebut bergerak.
Variasi daya terima terhadap posisi dapat dipilah-pilah berdasarkan
komponen penyebabnya. Gambar 5.2 mengilustrasikan variasi
daya total yang diterima terhadap jarak, beserta tiga komponennya
yaitu pengaruh jarak, pengaruh shadowing, dan pengaruh
multipath.
(i) pengaruh jarak
Untuk keperluan analisis biasanya digunakan model yang sangat
sederhana untuk menggambarkan pengaruh jarak d terhadap daya
terima Pr:
n
r dP
−∝
dengan pangkat n bernilai 2 untuk kondisi ruang bebas (tak ada
satu pun obyek termasuk permukaan tanah di sekitar antena
Gambar 5.2: Ilustrasi efek jarak, shadowing, dan
multipath fading pada daya yang diterima
pemancar dan penerima), 4 untuk kondisi dua lintasan, langsung
dan pantulan permukaan tanah, dengan jarak antarantena yang
sangat jauh, serta secara umum 3 – 5 untuk daerah perkotaan.
Sebagai contoh, dengan n = 4 maka daya akan melemah sampai
1/16 kali (atau turun sebesar 12 dB) jika jarak pemancar ke
penerima meningkat dua kali lipat saja.
Sejumlah model propagasi yang lebih rinci, dengan parameter
masukan yang lebih banyak, diajukan oleh berbagai pihak. Di
antaranya yang perlu diperhatikan untuk sistem siaran TV pada
pita VHF dan UHF adalah model Longley-Rice, Okumura-Hata
[Rappaport, 2002], dan model ITU-R sesuai dengan rekomendasi
P.1546 [ITU-R, 2005]. Khusus untuk rekomendasi ITU-R tersebut,
kurva-kurva pada Annex 2 yang berlaku untuk rentang frekuensi
30 – 300 MHz dan Annex 3 untuk 300 – 1000 MHz memberikan
median intensitas medan yang terukur pada suatu area berukuran
500 m × 500 m, masing-masing pada pita VHF dan UHF yang
digunakan untuk siaran TV. Gambar 5.3 menunjukkan grafik kurva
intensitas medan UHF yang terlampaui pada 50% lokasi untuk
persentase waktu 10%.
(ii) efek shadowing
Variasi daya sinyal karena shadowing terjadi akibat adanya variasi
di lingkungan sekitar lintasan propagasi, terutama obyek-obyek
yang berpotensi menjadi penghalang, seperti gedung-gedung
maupun terrain yang tidak rata. Sebagai ilustrasi, beberapa
pesawat TV yang berada pada lokasi yang berbeda namun
memiliki jarak yang sama dari pemancar akan mengalami daya
terima yang berbeda. Satu pesawat TV terhalang oleh gedung
tinggi terhadap pemancar. Pesawat TV yang lain hanya terpisah
oleh tanah datar yang luas, dan sebagainya. Perbedaan yang
demikian cenderung berskala besar, dalam arti agar halangan oleh
gedung tersebut hilang si pemilik pesawat TV harus bergerak
cukup jauh, sampai puluhan kali lipat panjang gelombang, hingga
melewati gedung tersebut.
(iii) efek multipath (lintasan jamak)
Variasi multipath adalah variasi skala kecil, karena perubahan efek
destruktif-konstruktif oleh lintasan jamak, seperti yang sudah
dibahas di atas, dapat terjadi dalam skala yang berorde sama
dengan panjang gelombang. Sebagai contoh, bagi gelombang 600
MHz dengan panjang 50 cm, pergeseran tempat penerimaan
Gambar 5.3: Kuat medan 600 MHz yang terlampaui pada
50% lokasi penerimaan dalam area 500 m × 500 m untuk
10% waktu [ITU-R, 2005]
sejauh 25 cm saja bisa menyebabkan perubahan magnitudo
sinyal yang cukup besar.
Dalam kaitan dengan multipath, dikenal pula adanya efek Doppler
akibat pergerakan pesawat penerima. Pengaruh pergerakan
pesawat penerima muncul dalam dua bentuk. Jika ditinjau di ranah
waktu, pergerakan ini menyebabkan perubahan kanal propagasi
radio terhadap waktu. Konsekuensinya, apabila siaran TV digital
ditargetkan juga kepada pemirsa yang sedang di jalan, maka TV
penerima harus memiliki kemampuan yang memadai untuk
menyesuaikan diri terhadap perubahan kanal. Sedangkan di ranah
frekuensi, terjadi pergeseran atau pelebaran spektrum frekuensi.
Efek dispersi frekuensi ini bisa terasa terutama pada sistem
komunikasi yang menggunakan multi-carrier (lebih dari satu
frekuensi gelombang pembawa) seperti OFDM karena
menurunkan ortogonalitas antar sub-carrier yang pada akhirnya
menyebabkan distorsi sinyal. Dalam hal ini perangkat penerima
harus dibekali ketahanan terhadap kemungkinan terjadinya efek
dispersi frekuensi ini. Gambar 5.4 mengilustrasikan efek variasi
kuat sinyal yang diterima sambil bergerak beserta spektrum
Doppler yang terjadi.
C. Alat ukur dan perangkat penunjang pengukuran
Suatu sistem pengukuran biasanya tersusun dari perangkat
antena yang terhubung dengan kabel ke alat ukur, serta alat bantu
lainnya seperti GPS receiver untuk menentukan koordinat, kamera
digital untuk dokumentasi gambar lingkungan pengukuran, dan
log book untuk mencatat pengamatan yang dianggap penting
selama proses pengukuran. Untuk proses pengukuran biasanya
digunakan antena dipole setengah panjang gelombang yang
standar. Namun jika dipole standar ini tak tersedia, dapat diganti
dengan antena yang mendekati prototipe antena yang kelak akan
dipakai oleh para pelanggan.
Untuk mengukur intensitas atau kuat sinyal ataupun daya dapat
digunakan salah satu dari field strength meter, power meter,
ataupun spectrum analyzer. Power meter digunakan untuk
mengukur daya, sedangkan field strength meter dapat langsung
mengukur kuat medan yang diterima oleh antena dan, pada jenis
yang sudah digital, biasanya langsung dapat memberikan daya
yang terukur. Spectrum analyzer memiliki keunggulan karena di
samping dapat digunakan untuk mengukur daya secara langsung
dari sinyal carrier tanpa modulasi, juga dapat mengukur spektrum
sinyal yang diterima. Dengan demikian spectrum analyzer akan
sangat bermanfaat untuk pengukuran spektrum sinyal TV digital,
terutama dalam mengevaluasi rasio proteksi.
Beberapa parameter penting pada sistem TV digital, seperti BER,
MER, atau EVM, hanya dapat diukur dengan perangkat khusus.
Pada saat ini sudah cukup banyak perusahaan pembuat alat ukur
yang menyediakan berbagai pilihan alat ukur TV digital berdasarkan
standar sistem yang dipakai. Sebagai contoh, alat ukur TV digital
khusus untuk sistem DVB-T pasti akan memiliki kemampuan
menerima sinyal DVB-T dengan berbagai parameter modulasi,
coding, dan guard interval, serta mampu mengukur BER dan MER
pada berbagai titik ukur pada struktur penerima.
5.2.2. Pengukuran Daya dan Cakupan
Secara logika sederhana, penentuan daerah cakupan dapat
langsung dilakukan dengan mengukur daya pada berbagai titik
lokasi di dalam daerah cakupan nominal yang direncanakan.
Persentase cakupan kemudian dapat langsung diperoleh dengan
menghitung porsi lokasi di mana daya terukur berada di bawah
suatu nilai minimum Pmin yang telah ditetapkan berdasarkan
standar sistem yang diacu. Namun proses semacam ini
memerlukan biaya, tenaga, dan waktu yang besar untuk dapat
memberikan hasil yang akurat. Apalagi persentase cakupan
hampir pasti bervariasi berdasarkan kondisi terrain dan geografis
wilayah sasaran. Oleh sebab itu diciptakan teknik pengukuran
cakupan yang berbasis pada estimasi statistik daya terukur yang
akan dijelaskan di bagian ini.
Sebelum memulai pengukuran daya dan cakupan, perlu dibuat
link budget untuk semacam reality check. Link budget ini bertujuan
menguji kelayakan sistem di atas kertas dengan spesifikasi
pemancar yang telah ditetapkan dan alat ukur yang digunakan.
Target akhirnya adalah mengecek apakah akan didapat marjin daya
yang cukup pada penerima untuk mengakomodasi kemungkinan
terjadi shadowing dan fading yang seharusnya masih bisa
ditoleransi pada pengukuran. Jika dari link budget diperoleh marjin
yang terlalu kecil, maka kemungkinan besar hasil pengukuran akan
memberikan daya terukur yang terlalu kecil, bahkan di bawah noise
floor atau sensitivitas alat ukur, sehingga tidak valid untuk digunakan
dalam analisis.
Proses perhitungan link budget sangat mirip dengan perencanaan
anggaran biaya, dengan item-item yang semua dinyatakan dalam
satuan desibel. Daya pancar dan setiap efek penguatan atau gain
yang bersifat memperbesar daya efektif adalah “pemasukan”,
sementara rugi, redaman propagasi, dan daya noise berperan
sebagai “pengeluaran”. Selisih dari pemasukan dan pengeluaran
ini pada link budget memberikan besarnya marjin daya yang
tersedia (lihat Tabel 5.1).
Pengukuran daya dilakukan pada lokasi-lokasi yang acak, dengan
jarak yang bervariasi dari antena pemancar. Diusahakan
pengambilan sampel cukup merata dari jarak yang terdekat
sampai terjauh, sesuai dengan radius daerah cakupan yang
direncanakan. Pada setiap lokasi pengukuran, dilakukan
pencatatan daya terukur dan koordinat lokasi dari GPS. Koordinat
ini nantinya digunakan dalam perhitungan jarak dari pemancar.
Data hasil pengukuran dapat digunakan untuk menentukan dua
parameter propagasi:
a. Pangkat n dari jarak, jika digunakan model pengaruh jarak yang
sederhana seperti dijelaskan pada Bagian 5.2.1. Nilai pangkat
n diperoleh dengan regresi linear terhadap persamaan:
dnPP dBmdBmr 10,0, log−=
Jika digunakan model Okumura-Hata, ITU-R P.1546, dan yang
sejenis, maka estimasi pangkat jarak ini tidak perlu dilakukan.
b. Simpangan baku (standard deviation) σ dari shadowing dalam
dB di sekitar median daya terima. Median daya terima ini dapat
diestimasi sebagai fungsi jarak dengan menggunakan model
di atas atau model Okumura-Hata dan ITU-R P.1546. Variasi
shadowing diperoleh dengan menghitung selisih dB antara
daya terukur dengan estimasi median daya pada setiap lokasi
pengukuran.
Gambar 5.5 mengilustrasikan perhitungan regresi linear untuk
memperoleh pangkat jarak dan variasi shadowing.
g p g
ERP (Pt + Gt) 75.00 dBm (+)
Redaman lintasan 136.33 dB (–)
Model Hata, urban
575 MHz
Ht = 100 m
Hr = 1.5 m
d = 5 km
Gain antena penerima (Gr) 5.00 dB (+)
Sensitivitas alat ukur -60.00 dBm (–)
Marjin daya 3.67 dB
Tabel 5.1: Contoh link budget pengukuran
Estimasi persentase wilayah cakupan kemudian dapat dilakukan
dengan menerapkan asumsi variasi shadowing dalam dB yang
berdistribusi Gaussian dengan simpangan baku σ yang diperoleh
dari pengukuran. Secara umum, jika ditentukan daya minimum
yang masih dianggap memberikan kualitas sinyal memadai Pmin,
maka proporsi daerah tercakup adalah rasio antara luas daerah
di mana daya terima lebih besar dari Pmin terhadap luas daerah
cakupan nominal. Khusus jika diasumsikan daya menurun
terhadap jarak dengan eksponen n dan simpangan baku variasi
shadowing σ maka proporsi cakupan dapat langsung diperoleh
dengan rumus:
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛
⎟
⎠
⎞
⎜
⎝
⎛−⎟
⎠
⎞
⎜
⎝
⎛+=
bb
F 1erf11exp
2
1
2
1
2
dengan 2/log10 10 σenb = dan asumsi tambahan bahwa pada
tepi sel terdapat margin daya nol [Jakes, 1994].
10
2
10
3
10
4
-130
-120
-110
-100
-90
-80
-70
-60
-50
Jarak (m)
D
a
y
a
r
e
la
ti
f
(d
B
)
pengukuran
regresi linear
Gambar 5.5: Perhitungan regresi linear untuk
menentukan pangkat jarak dan variasi shadowing
5.2.3. Pengukuran Efek Multipath
Efek multipath memanifestasikan diri dalam dua bentuk. Pertama
berupa fading atau variasi daya sinyal dalam area yang kecil (cukup
kecil untuk bisa dibilang bahwa variasi yang terjadi bukan
disebabkan efek jarak maupun shadowing) dan kedua berupa
multipath spread yang menyebabkan dispersi atau pelebaran
pulsa.
Fading mengakibatkan variasi kualitas cakupan pada lokasi-lokasi
yang berdekatan. Oleh sebab itu pengukuran terhadap efeknya
pun dilakukan pada beberapa titik dalam area yang tidak luas,
biasanya diambil 100 m × 100 m [Ladebusch, 2006]. Area-area
kecil tersebut dipilih untuk berbagai kondisi, seperti di luar gedung
(outdoor) pada jarak dekat, sedang, dan jauh, relatif terhadap
radius cakupan nominal, baik untuk kondisi LOS maupun NLOS.
Demikian juga dipilih beberapa area untuk kondisi indoor, baik yang
mewakili perumahan maupun gedung bertingkat. Dalam setiap
area dilakukan pengukuran kuat sinyal atau daya pada minimal
20 titik. Hasilnya digunakan untuk menentukan kualitas cakupan
pada area tersebut dalam persen, sesuai dengan kuat sinyal atau
daya sinyal minimum yang dikehendaki sebagai kriteria cakupan.
Untuk siaran analog, kualitas cakupan per area sebesar 50%
biasanya sudah dianggap cukup karena penurunan kualitas
gambar berlangsung secara bertahap (graceful degradation).
Tetapi pada siaran digital biasanya diharapkan kualitas cakupan
setinggi 95% karena sifat penurunan kualitas sinyal yang lebih
bersifat tiba-tiba, dapat berubah menjadi tidak ada gambar sama
sekali apabila sinyal melemah.
Efek dispersi pulsa dapat menyebabkan fenomena ISI (Inter-
Symbol Interference), yaitu bercampurnya pulsa-pulsa yang
berurutan pada penerima sehingga dapat mengakibatkan error
dalam proses deteksi. Biasanya diterapkan ekualisasi digital untuk
mengatasi efek ini. Pada sistem yang berbasis OFDM seperti
DVB-T, efek ini diatasi dengan cyclic prefix atau guard interval.
Namun multipath spread yang berlebihan, sampai melebihi
panjang ekualiser maupun guard interval, berpotensi
menyebabkan error yang tidak dapat dihilangkan.
Terdapat beberapa teknik yang cukup rumit untuk mengukur
multipath spread pada suatu lingkungan. Cara pertama adalah
dengan menggunakan pemancar pulsa yang kemudian ditangkap
oleh penerima dengan osiloskop yang memiliki fasilitas perekaman
otomatis untuk melihat pelebaran pulsa yang terjadi. Cara kedua
dengan pemancar yang mengirimkan deretan pulsa pseudo-noise
yang setelah sampai pada penerima dikorelasikan deretan pulsa
aslinya. Cara ketiga adalah dengan merekam respon frekuensi
kanal dengan spectrum analyzer dengan menggunakan pemancar
yang dapat melakukan pemindaian frekuensi. Pada beberapa alat
ukur TV digital seperti Pixelmetrix™ telah terdapat fasilitas
pengukuran multipath spread ini yang sebenarnya bekerja dengan
memanfaatkan teknik kedua di atas, menggunakan fasilitas
estimasi kanal OFDM.
Idealnya efek Doppler diukur dengan merekam langsung level
tegangan sinyal yang diterima di atas kendaraan yang bergerak
dengan kecepatan tertentu. Perekaman dapat dilakukan dengan
proses sampling yang diikuti konversi analog ke digital, dengan
frekuensi sampling minimal dua kali lebih besar dibandingkan
frekuensi Doppler maksimum yang ingin diukur. Frekuensi Doppler
maksimum (Hz) terjadi ketika kendaraan bergerak tepat menuju
atau menjauhi pemancar dan dapat diestimasi dari kecepatan
gerak kendaraan v (m/det) dan panjang gelombang λ (m) sebagai
berikut:
λ
vf =max
Jika perangkat pengukuran yang tersedia tidak mencukupi untuk
dapat melakukan pengukuran langsung seperti di atas, maka dapat
digunakan cara alternatif. Tentukan beberapa jalur jalan dengan
kriteria:
- memungkinkan mobil pengukur berjalan lambat dan sering
berhenti untuk melakukan pengukuran
- mewakili berbagai kondisi lingkungan seperti jalan yang
dikelilingi gedung tinggi, jalan di lingkungan perumahan,
dan jalan di tempat yang lebih terbuka.
- meliputi dua jenis jalur, yaitu lurus atau hampir lurus dan
berbelok-belok.
Untuk setiap jalur yang dipilih, telusuri jalur, berhenti setiap 1 atau
2 meter (pilih interval yang memungkinkan untuk dilakukan), ukur
daya pada setiap titik perhentian, lakukan sampai sejauh 100
meter atau lebih.
Sebagai gambaran, untuk frekuensi tepat 600 MHz jarak 1 meter
ekuivalen dengan dua kali panjang gelombang. Jika diasumsikan
kendaraan pelanggan bergerak dengan kecepatan 10 km/jam,
maka jalur 100 meter setara dengan jangka waktu pengukuran
36 detik dan periode sampling 0,36 detik, sehingga frekuensi
Doppler maksimum yang dapat terukur oleh sistem adalah 2,7
Hz. Sedangkan jika pelanggan melaju 40 km/jam, jangka waktu
pengukuran ekuivalen adalah 9 detik dengan periode sampling
0,09 detik dan frekuensi Doppler maksimum terukur 11 Hz. Artinya,
makin pendek interval pengukuran, makin tinggi pula kemampuan
sistem pengukuran untuk mendeteksi frekuensi Doppler.
Hasil pengukuran level sinyal sebagai fungsi waktu sampling (jika
yang terukur adalah daya sinyal, maka dapat dilakukan konversi
lebih dulu menjadi tegangan) diolah melalui transformasi Fourier
untuk mendapatkan spektrum Doppler. Dari fungsi ini dapat
diperoleh frekuensi Doppler maksimum yang terjadi dalam batas
kemampuan pengukuran oleh sistem.
Berikut ini dibahas beberapa studi kasus pengukuran untuk sistem
siaran TV digital. Tiga contoh pertama berkaitan dengan
pengukuran karakteristik propagasi gelombang radio untuk siaran
TV digital. Tiga kasus yang dibahas terjadi di tiga negara yang
berbeda dengan tujuan yang berbeda pula. Kasus pertama adalah
yang terjadi paling awal dan berlangsung di Amerika Serikat, salah
satu negara yang memelopori siaran TV digital. Tujuan pengukuran
adalah mempelajari pengaruh efek propagasi radio terhadap
kinerja sistem TV digital berbasis ATSC. Patut dicatat di sini bahwa
seluruh aktivitas pengukuran dilangsungkan di tiga kota dengan
karakteristik lingkungan propagasi yang berbeda sehingga hasil
yang diperoleh juga telah memperhitungkan variasi tersebut.
Kasus kedua adalah pengukuran yang dilakukan di Brasil yang
merupakan salah satu negara yang mengalami masalah
penentuan standar nasional sistem TV digital seperti negara kita .
Pengukuran yang dilakukan lebih bertujuan untuk membandingkan
kinerja tiga sistem TV digital, yaitu ATSC, DVB-T, dan ISDB-T, di
bawah berbagai efek propagasi pada lingkungan perkotaan di
Brasil. Konsekuensinya, pengukuran yang diperoleh belum
memberikan hasil yang dapat digunakan langsung untuk desain
sistem dan jaringan secara lengkap.
Keistimewaan pengukuran di Brasil adalah digunakannya teknik
simulasi dan pengukuran laboratorium yang dalam analisis
diintegrasikan dengan hasil pengukuran lapangan untuk melakukan
studi komparatif ketiga sistem yang diuji.
Contoh kasus ketiga adalah pengukuran di negara kita yang
menghasilkan berbagai analisis, termasuk prediksi coverage,
spektrum Doppler untuk penerima yang bergerak, dan efek lintasan
jamak atau echo, khususnya untuk sistem DVB-T. Hasil yang
diperoleh ini kelak dapat dimanfaatkan dalam tahap desain sistem
transmisi dan jaringan pemancar.
Studi Kasus 1: Pengukuran Propagasi di Amerika Serikat
Pada periode antara 1996-1998 dilakukan sejumlah pengukuran
di Amerika Serikat untuk keperluan implementasi sistem TV digital
Pengukuran dilakukan di tiga kota; Charlotte,
Raleigh, dan Chicago, dengan sasaran utama untuk mengukur
kuat sinyal yang diterima pada sejumlah titik pengukuran serta
respon frekuensi kanal. Di antara ketiga kota, Chicago memberikan
tantangan terbesar dari sisi propagasi radio karena lingkungannya
sangat variatif dengan wilayah yang sangat luas. Sebagai contoh,
keberadaan gedung-gedung tinggi di pusat kota menjadi masalah
tersendiri dalam penyediaan coverage di area tersebut.
Di Chicago pengukuran dilakukan pada kanal 20 yang menempati
pita 506-512 MHz, dengan daya pancar 284 kW (54,5 dBW).
Ketinggian antena pemancar 366 m di atas gedung bertingkat,
dan ketinggian antena penerima 9 m. Gambar 5.8 menunjukkan
hasil pengukuran kuat sinyal di Chicago dinyatakan sebagai fungsi
jarak. Sebagai pembanding telah dihitung nilai teoritis kuat sinyal
yang diterima dengan asumsi pantulan oleh permukaan tanah.
Setelah dilakukan koreksi 10 dB kepada kurva teoritis, didapatkan
kurva yang lebih mendekati hasil pengukuran.
Sementara itu magnitudo respon frekuensi kanal propagasi pada
spektrum frekuensi 506-512 MHz ditunjukkan oleh gambar 5.9.
Respon frekuensi ini diukur pada jarak 32 km dari antena
pemancar. Fluktuasi beberapa desibel sepanjang spektrum
menunjukkan adanya sifat selektivitas frekuensi pada kanal, di
mana enerji gelombang radio pada satu segmen spektrum
frekuensi mendapat respon yang lebih baik dari segmen yang lain.
Hal ini umum terjadi pada kondisi lingkungan yang memiliki banyak
obyek pemantul dan penghambur (scatterrer) gelombang radio.
Untuk mengompensasi efek ini dapat diterapkan proses ekualisasi
agar respon frekuensi kanal lebih homogen sepanjang spektrum
dan efek pantulan lintasan jamak dapat dieliminasi.
Gambar 5.8: Kurva kuat sinyal terukur di Chicago [Collins, 2001]
Studi Kasus 2: Pengukuran Propagasi di Brasil
Di Brasil telah dilakukan evaluasi, baik di laboratorium maupun di
lapangan, berkaitan dengan kinerja tiga sistem TV digital, yaitu
ATSC, DVB-T, dan ISDB-T selama periode 1998-2000 [Pessoa
dkk, 2000]. Pengukuran lapangan dilakukan di Sao Paolo pada
kanal 34 UHF (593 MHz) dengan ketinggian antena 104,2 meter
dari permukaan tanah. Daya pancar rata-rata adalah 2,5 kW (34
dBW) dan daya efektif 12 kW (40,8 dBW) termasuk penguatan
antena dan rugi saluran transmisi. Beberapa jenis pengukuran
telah dilaporkan. Tiga di antaranya yang terpenting adalah
pengukuran untuk penerimaan sinyal di luar gedung (outdoor), di
dalam gedung (indoor), dan pada kondisi bergerak (mobile).
Pengukuran outdoor dilakukan dengan kendaraan, sedangkan
antena penerima terpasang pada ketinggian 10 meter. Pengukuran
dilakukan pada 124 titik dalam wilayah yang berpusat pada lokasi
pemancar dengan radius sampai 40 km. Sedangkan pengukuran
indoor dilakukan di 39 lokasi dengan antena UHF logperiodik di
dalam rumah. Distribusi probabilitas intensitas medan threshold
Gambar 5.9: Magnitudo respon frekuensi kanal propagasi di
Chicago [Collins, 2001]
Elim yang diperoleh untuk kedua kondisi kemudian dibandingkan
dengan intensitas minimum Emin pada kanal AWGN (Additive White
Gaussian Noise) tanpa pengaruh shadowing dan multipath yang
didapat dari pengukuran di laboratorium. bahwa pada kedua kondisi tersebut ATSC lebih
unggul dibandingkan DVB-T dengan konfigurasi 64-QAM, laju
pengodean 3/4, guard interval 1/16, dan mode 2K.
Pengukuran untuk kondisi mobile didahului dengan simulasi untuk
mendapat gambaran awal. Hasil simulasi menunjukkan
keterbatasan sistem ATSC untuk beroperasi pada kondisi kanal
berubah karena pergerakan pesawat penerima. Sebaliknya DVB-
T mampu beroperasi sampai kecepatan gerak 60 km/jam dengan
frekuensi Doppler maksimum 33,3 Hz jika digunakan konfigurasi
64-QAM, 3/4, 1/16, 2K. Simulasi juga menunjukkan semakin sedikit
subcarrier yang digunakan, semakin tahan sistem DVB-T terhadap
perubahan kanal. ISDB-T dengan konfigurasi 64-QAM, 3/4, 1/16,
4K, 0,1s juga menunjukkan kemampuan yang sangat baik untuk
beroperasi pada kondisi kanal yang berubah karena pergerakan
penerima, bahkan mampu mencapai kecepatan gerak 107 km/
jam, atau ekivalen dengan frekuensi Doppler maksimum 59,4 Hz.
Pada pengukuran lapangan dalam kondisi mobile hanya dilakukan
pengamatan terhadap kualitas gambar dengan metode subyektif,
menelusuri 6 jalur pengukuran. Pengujian melibatkan sistem DVB-
T dan ISDB-T saja dengan hasil yang hampir sama; gambar pada
kedua sistem menunjukkan adanya artifak (gambar berhenti,
blocking, dan sebagainya) beberapa kali selama pengukuran.
c. Studi Kasus 3: Pengukuran Propagasi di negara kita
Sejak 2006 telah dilaksanakan serangkaian uji coba untuk
beberapa sistem TV digital di Jakarta yang merupakan salah satu
program dalam kerangka kerja Tim Nasional Migrasi dari Analog
ke Digital [Budiarto, 2007, Hendrantoro, 2007]. Sepanjang Februari
2007 tim gabungan BPPT dan ITS dengan dukungan dana riset
dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi melakukan
pengukuran daya sinyal terima di berbagai titik di sekitar pemancar
siaran TV digital dengan standard teknologi DVB-T yang terpasang
pada ketinggian sekitar 100 meter di menara TVRI Senayan Jakarta
dan ditransmisikan pada kanal 34 (575,25 MHz). Sedangkan
setting parameter transmisi pada saat uji coba memiliki
karakteristik berupa daya pancar efektif 400 Watt, dengan
modulasi OFDM 8K 16-QAM yang memiliki konfigurasi code
rate 3/4 dan guard interval 1/16, dengan bandwidth 8 MHz. Alat
pengukuran yang digunakan adalah PRODIG-5™ dan
Pixelmetrix™ yang mampu mengukur parameter seperti CBER,
VBER, C/N, field strength, respon impulse, serta bandwidth audio
dan video. Sebagai antena penerima digunakan antena mobile
yang dipasang pada kaca jendela kendaraan pengukuran.
Gambar 5.10 menunjukkan tipikal display Pixelmetrix™ yang
menampilkan spektrum dan konstelasi sinyal, respon impuls kanal,
distribusi interval paket, pie chart alokasi laju bit per program,
tampilan gambar video yang diterima, serta parameter kinerja
lainnya seperti SNR, BER, MER, dan bandwidth, baik secara
terpisah maupun serentak pada satu layar.
Pada uji coba ini telah dibuktikan efisiensi kanal di mana 1 kanal
dengan kapasitas 17,56 Mbps dapat diisi sebanyak 5 program
siaran TV masing-masing sebesar 2 Mbps yang dapat diterima
untuk pesawat TV biasa (fixed), ditambah 5 program masing-
masing sebesar 0,1 Mbps yang dapat diterima oleh handheld
sesuai standar DVB-H. Gambar 5.11 menunjukkan konfigurasi
sistem pemancar yang digunakan pada uji caba, termasuk 5
pengode sinyal dari 5 program untuk DVB-T dan 5 pengode untuk
DVB-H, sedangkan gambar 5.12 menunjukkan pie chart
pembagian kapasitas kanal untuk program-program tersebut,
seperti yang terukur oleh Pixelmetrix™.
Secara umum, hasil analisis pengukuran sistem TV digital
terestrial (DVB-T) mengindikasikan kualitas penerimaan gambar
yang lebih baik, bebas dari echo, lebih tahan terhadap pelemahan
daya dan gangguan derau. Gambar 5.13 menunjukkan contoh
penangkapan gambar TVRI siaran analog (kiri) dan digital (kanan)
oleh Pixelmetrix™ pada lokasi yang sama di lantai 21 gedung
BPPT dengan antena dalam. Dapat diamati timbulnya gambar
ganda pada gambar siaran analog dibandingkan versi digital yang
bersih dari echo, padahal daya yang terukur dari siaran analog 10
kali lipat lebih besar dibanding yang digital.
Sementara itu pada analisis hasil pengukuran karakteristik
propagasi diperoleh beberapa temuan. Pengukuran efek
penurunan daya terima sebagai fungsi jarak dan lingkungan
(shadowing) menunjukkan penurunan daya yang sebanding dengan
pangkat 3,28 dari jarak dengan standar deviasi variasi redaman
sebesar 8,12 dB, seperti ditunjukkan pada gambar 5.14. Analisis
dari hasil tersebut menunjukkan bahwa dengan konfigurasi sistem
transmisi yang digunakan serta dengan daya pancar efektif 400
watt, diprediksi hanya sekitar 60% wilayah yang terliput dengan
kondisi QEF (quasi error free, terjadi jika C/N lebih dari 16,7 dB
pada kondisi NLOS dengan kanal berdistribusi Rayleigh) jika
diasumsikan radius 4 kilometer. Diperkirakan proporsi wilayah
cakupan dengan status QEF dapat meningkat sampai 90% jika
daya pancar efektif dinaikkan sepuluh kali lipat,
Ketika dilakukan pengukuran pada beberapa titik di dalam area
100 m × 100 m pada berbagai kondisi, ditemukan bahwa penerima
dalam kondisi LOS memiliki kualitas cakupan yang sangat baik
dengan peluang 95% untuk mencapai status QEF. Namun untuk
kondisi NLOS, hanya lokasi pada jarak cukup dekat saja yang
memiliki peluang serupa. Sedangkan lokasi pada jarak menengah
dan jauh, antara 2 sampai 5 km dari pemancar, memiliki kualitas
cakupan yang buruk dengan peluang sekitar 10% saja untuk
mencapai QEF, seperti ditunjukkan pada gambar 5.16. Garis 16,7
dB menunjukkan C/N minimum untuk kondisi QEF.
Sementara pada gedung bertingkat sampai jarak 5-6 kilometer
masih dapat diperoleh kualitas penerimaan yang cukup baik pada
lantai yang tinggi, seperti yang telah dicoba di gedung BPPT.
Sebagai catatan, status QEF tidaklah mutlak diperlukan untuk
mendapatkan gambar dengan kualitas yang memadai untuk
ditonton. Namun kondisi di atas masih dapat ditingkatkan dengan
berbagai cara, di antaranya dengan mengubah parameter
transmisi, seperti jenis modulasi, pengodean, dan daya pancar,
atau dengan menerapkan SFN.
Gambar 5.16: Probabilitas cakupan untuk lokasi berkondisi NLOS
pada jarak dekat, sedang, dan jauh.
Uji coba sederhana menyusur suatu jalur pengukuran sepanjang
100 meter mengindikasikan bahwa pesawat penerima yang
bergerak di dalam kendaraan dengan laju 40 km/jam di area
seputar Jakarta Pusat dapat mengalami pelebaran spektrum
karena efek Doppler sampai sebesar 4 Hz (lihat gambar 5.17).
Pelebaran spektrum ini meningkat sampai 10 Hz jika kendaraan
melaju dengan kecepatan 100 km/jam, hal yang bisa terjadi pada
jalan tol. Hasil pengukuran dengan Pixelmetrix™ pada sejumlah
titik juga menunjukkan kemungkinan munculnya lintasan jamak
atau echo dengan beda waktu lebih dari 50 mikrodetik, yaitu jarak
waktu terjauh datangnya sinyal duplikat yang masih bisa tertangani
oleh sistem OFDM dengan guard interval 1/16.
Gambar 5.18 menunjukkan contoh respon impuls kanal propagasi
terukur yang mengindikasikan adanya echo yang muncul terlambat
150 mikrodetik (ekivalen dengan beda jarak 45 km) dari berkas
sinyal utama. Walaupun masih belum konklusif karena
keterbatasan sampel, temuan-temuan di atas menunjukkan perlu
dipertimbangkannya kondisi lingkungan dan karakteristik
perambatan gelombang radio dalam pemilihan konfigurasi
transmisi yang paling tepat dan penentuan kriteria desain
perangkat penerima.
5.3. Pengukuran Parameter Kinerja Jaringan Penyiaran TV
Digital
5.3.1. Overview Parameter Kinerja dan Alat Ukur
Seperti dijelaskan pada bagian 5.1, terdapat perbedaan mendasar
pada pengukuran kinerja jaringan TV digital dibandingkan analog.
Perbedaan utama terletak pada parameter atau indikator kinerja
yang lebih banyak. Namun di antara indikator kinerja ini masih
terdapat beberapa kesamaan, di antaranya yang berkaitan dengan
penggunaan spektrum dan pengujian kualitas gambar. Bagian ini
akan menjelaskan pengukuran kinerja TV digital yang telah
operasional. Alat ukur yang relevan adalah spectrum analyzer
untuk mengukur spektrum (dalam kaitan dengan pengujian
spectrum mask dan pengukuran redaman bahu) dan alat ukur
sinyal TV digital yang di dalamnya meliputi BER test set sehingga
mampu mendeteksi parameter-parameter seperti BER dan MER.
Gambar 5.17: Spektrum Doppler untuk kecepatan penerima 40
km/jam.
Gambar 5.18: Contoh respon impuls kanal propagasi TV digital
hasil pengukuran di Jakarta
5.3.2. Spektrum
Pengukuran spektrum terutama diarahkan pada pemenuhan
kriteria rasio proteksi ataupun spectrum mask yang telah
digariskan. Pada dasarnya untuk pengukuran spektrum digunakan
spectrum analyzer yang dipasang pada tahap front-end dari
pemancar, baik sebelum maupun setelah tahap penguat akhir.
Hal ini penting untuk menjaga agar tidak terjadi saling interferensi
antarkanal RF yang bersebelahan. Sebagai contoh, gambar 5.19
menunjukkan spectrum mask untuk pemancar DVB-T yang
berlokasi sama dengan pemancar berstandar analog dan
kebetulan bersebelahan kanal, sedangkan gambar 5.20
menunjukkan contoh emission mask untuk pemancar TV digital
yang dipersyaratkan oleh FCC.
Gambar 5.19: Spectrum mask untuk pemancar DVB-T yang
berada pada lokasi yang sama dengan pemancar analog
dengan kanal yang bersebelahan [ETSI, 1997]
5.3.3. Kualitas Sinyal
Pada sistem TV digital, indikator obyektif untuk kualitas sinyal
adalah BER, MER, dan EVM. Sedangkan sebagai indikator kualitas
gambar, dapat digunakan evaluasi subyektif dengan melibatkan
sejumlah responden sebagai penilai.
Pengukuran BER, MER, atau EVM hanya dapat dilakukan dengan
BER test set atau alat ukur untuk sistem TV digital. BER adalah
ukuran proporsi bit informasi, baik video maupun audio, yang
terdeteksi oleh penerima tidak sesuai dengan nilai sebenarnya.
Nilai BER dapat diukur pada tahap-tahap yang berbeda pada
struktur penerima. Sebagai contoh, pada sistem DVB-T
pengukuran BER di tahap antara pendekode Viterbi dan
pendekode RS dapat dihubungkan langsung dengan kondisi
penerimaan, apakah mencapai QEF (Quasi Error Free) atau tidak.
Kondisi QEF ekivalen dengan BER < 10-3 yang diukur pada tahap
sebelum Viterbi decoder, < 2×10-4 antara Viterbi dan RS decoder,
atau < 10-11 setelah RS decoder. Pada keluaran MPEG-2 decoder,
hal ini setara dengan terjadinya maksimal satu error event dalam
periode satu jam.
Gambar 5.20: Emission mask yang dipersyaratkan FCC
untuk pemancar TV digital [ATSC, 2000]
MER mencerminkan besarnya penyimpangan yang terjadi pada
konstelasi sinyal, baik pada komponen in-phase maupun
quadrature, sesuai dengan sistem modulasi yang digunakan [ETSI,
2001]. MER dihitung dengan rumus berikut:
⎟
⎟
⎟
⎟
⎠
⎞
⎜
⎜
⎜
⎜
⎝
⎛
=
∑
∑
=
=
N
k
k
N
k
k
e
S
MER
1
2
1
2
10dB log10
dengan N menyatakan banyaknya simbol terekam untuk
perhitungan, Sk menyatakan simbol ke-k, dan ek menyatakan error
atau selisih simbol Sk dengan sinyal yang diterima. Dengan
demikian, semakin besar daya derau dan distorsi pada kanal,
semakin kecil nilai MER. EVM memiliki fungsi serupa dengan MER,
yaitu menguantifikasi kesalahan pada konstelasi sinyal. Bedanya,
sinyal yang diterima tanpa kesalahan justru memberikan EVM
sebesar 0%. Nilai EVM sendiri dihitung dari akar rata-rata error
sebagai berikut [Collins, 2001] :
%1001
21
1
2 ×⎟
⎠
⎞
⎜
⎝
⎛
= ∑
=
N
k
keN
EVM
Kualitas penerimaan juga dapat dinilai langsung dari kualitas
gambar dengan metode subyektif, di mana sejumlah responden
diminta melihat dan menilai gambar video yang telah melewati
sistem yang diuji. ITU-R merekomendasikan beberapa metode
subyektif, di antaranya yang relevan dan praktis adalah DSCQS
(double-stimulus continuous quality scale) dan SSCQE (single-
stimulus continuous quality evaluation) [ITU-R, 2002]. Untuk
pengukuran subyektif, konfigurasi kondisi monitor, jenis konten
materi, dan kondisi lingkungan tes harus diatur menurut aturan
tertentu agar memberikan hasil akurat tanpa pengaruh faktor luar.
Diperlukan sedikitnya 15 responden yang dipilih dari kalangan yang
awam terhadap teknologi televisi untuk mendapat hasil tanpa bias.
Pada metode DSCQS diperlukan pengamatan responden
terhadap dua tampilan konten yang sama, namun salah satu
adalah program asli sebagai referensi sedangkan yang lain telah
melewati proses pemancaran dan penerimaan yang diuji.
Responden diminta melakukan penilaian pada form yang telah
disediakan menggunakan skala kontinyu tanpa angka. Nilai
berskala kontinyu ini terbagi sama besar ke dalam 5 interval nilai,
sesuai dengan skema penilaian 1 – 5 pada tabel 5.4 yang
digariskan ITU-R. Metode SSCQE merupakan metode yang lebih
praktis karena pengamatan hanya diperlukan terhadap program
yang telah ditransmisikan, tanpa memerlukan program asli
sebagai referensi.
5.3.4 Studi Kasus: Pengukuran Kinerja Sistem DVB-T
Sistem DVB-T secara keseluruhan dibagi ke dalam tiga
komponen, yaitu pemancar, jaringan, dan penerima. Tabel 5.5
menunjukkan parameter yang perlu diukur pada ketiga komponen
sistem tersebut. Dari pengukuran yang menyeluruh, dapat
dideteksi lokasi permasalahan dalam suatu sistem DVB-T yang
telah operasional.
Pengukuran kinerja sistem DVB-T menggunakan acuan
diagram sistem pemancar dan penerima seperti pada gambar
5.21 [ETSI, 2001]. Titik-titik pengukuran, baik pada pemancar
maupun penerima, ditandai dengan huruf kapital.
Pemancar Jaringan Penerima
Akurasi frekuensi,
verifikasi guard
interval, derau fase
pada LO, daya dan
spektrum, END,
ENF, redaman bahu,
efisiensi daya,
interferensi koheren,
BER, MER, STE,
CS, AI, QE, jitter
fase, delay,
sinkronisasi SFN
Daya sinyal,
interferensi koheren,
BER, MER, delay
sinyal
Selektifitas, AFC
capture, noise fase
pada LO, daya
sinyal, derau dan
sensitivitas, END,
BER, MER, STE, CS,
AI, QE, jitter fase,
CSI
Tabel 5.4: Skala penilaian subyektif
Pengukuran untuk beberapa parameter penting pada sistem DVB-
T dijelaskan berikut ini:
a. Akurasi frekuensi
Akurasi frekuensi subcarrier OFDM sangat penting untuk
keberhasilan pengolahan sinyal OFDM. Oleh sebab itu akurasi
frekuensi pemancar perlu selalu dimonitor dengan
menghubungkan spectrum analyzer pada titik pengukuran L dan/
atau M. Pengukuran dilakukan terhadap pilot yang memiliki fase
kontinyu yang terletak pada subcarrier tertentu. Untuk mode 8K,
pilot terletak pada k = 3408, sedangkan untuk mode 2K terletak
pada k = 1140.
b. Selektivitas
Tujuan pengukuran adalah mengenali kemampuan penerima
dalam menolak interferensi di luar band (out-of-channel).
Pengukuran level sinyal input dan interferensi dilakukan pada titik
N, sedangkan pengukuran BER dilakukan pada W atau X, yaitu
antara pendekode Viterbi dan RS.
Pemancar Jaringan Penerima
Akurasi frekuensi,
verifikasi guard
interval, derau fase
pada LO, daya dan
spektrum, END,
ENF, redaman bahu,
efisiensi daya,
interferensi koheren,
BER, MER, STE,
CS, AI, QE, jitter
fase, delay,
sinkronisasi SFN
Daya sinyal,
interferensi koheren,
BER, MER, delay
sinyal
Selektifitas, AFC
capture, noise fase
pada LO, daya
sinyal, derau dan
sensitivitas, END,
BER, MER, STE, CS,
AI, QE, jitter fase,
CSI
Tabel 5.5: Pengukuran sistem DVB-T
c. AFC capture range
Pengukuran ini bertujuan menentukan rentang frekuensi di mana
penerima harus melacak dan mengunci frekuensi. Untuk
keperluan tersebut, sinyal uji diberikan pada titik N, sedangkan
evaluasi sinkronisasi TS dilakukan pada Z dengan mengecek nilai
Sync_byte_error pada TS.
Gambar 5.21: Diagram blok pemancar dan penerima
DVB-T beserta titik-titik pengukuran [ETSI, 2001]
d. Daya dan Spektrum Sinyal
Pengukuran daya sinyal diperlukan untuk mengatur dan memonitor
level sinyal pada pemancar dan penerima. Pengukuran dilakukan
pada titik K, L, dan M pada pemancar dan pada titik N dan P pada
penerima. Dalam mengukur daya sinyal yang diterima,
pengukuran harus dibatasi pada bandwidth sinyal yang diinginkan.
Jika digunakan spectrum analyzer atau power meter sebagai alat
ukur, harus dipastikan bahwa alat ukur tersebut mengintegralkan
daya sinyal dalam bandwidth nominal sesuai dengan banyaknya
subcarrier dan spasi frekuensi.
Pengukuran spektrum sinyal dimaksudkan untuk memastikan
kesesuaian spektrum dengan spectrum mask yang digariskan.
Pengukuran dilakukan dengan menghubungkan spectrum
analyzer ke titik K dan/atau M pada pemancar. ETSI
merekomendasikan penggunaan spectrum analyzer dengan
resolusi bandwidth sebesar 30 kHz atau kurang.
Kerapatan daya spektral terukur didefinisikan sebagai rata-rata
waktu dari daya sinyal per satuan bandwidth. Dengan demikian
kerapatan daya untuk dalam bandwidth yang berbeda dapat
diperoleh secara proporsional dari nilai tersebut. Untuk tujuan
pengetesan filter pembatas spektrum, dapat digunakan sinyal
input khusus berupa pseudo-noise.
e.Derau
Daya derau diukur pada titik N dan/atau P pada penerima dengan
spectrum analyzer pada kondisi pemancar tidak bekerja. Seperti
halnya daya sinyal, daya noise juga ditentukan dalam bandwidth
yang ditempati sinyal OFDM.
f.Sensitivitas dan rentang dinamis penerima
Sinyal tes diberikan pada titik N, kemudian titik W atau X (sebelum
tahap RS decoder) digunakan untuk memonitor BER. Dengan
mengukur daya minimum dan maksimum pada N yang
memberikan kondisi QEF (quasi error free, yaitu BER < 2 × 10-4
pada W atau X) dapat diperoleh sensitivitas penerima (daya
minimum) dan rentang dinamisnya (selisih antara daya
maksimum dan minimum).
g. Linieritas
Linieritas pemancar dapat dikarakterisasi dari redaman pada
bagian tepian atau bahu spektrum sinyal (shoulder attenuation).
Setelah spectrum analyzer dihubungkan pada titik M, dilakukan
identifikasi nilai maksimum spektrum. Kemudian dibuat garis lurus
yang menghubungkan titik-titik pengukuran pada 300 kHz dan 700
kHz dari tepi atas dan tepi bawah spektrum. Tambahkan garis-
garis paralel terhadap kedua garis yang telah dibuat lebih dulu,
sedemikian hingga nilai spektrum tertinggi dalam setiap rentang
dilewati oleh garis-garis paralel tersebut. Kemudian kurangkan
nilai daya pada bagian tengah garis paralel, yaitu pada 500 kHz
dari tepi bawah dan atas spektrum, dari nilai maksimum. Hasilnya
adalah redaman bahu pada tepi bawah dan atas. Dari kedua nilai
tepi bawah dan atas, ambil yang terburuk sebagai redaman bahu
keseluruhan.
h. Efisiensi daya
Efisiensi daya didefinisikan sebagai rasio daya output DVB
terhadap konsumsi daya total pemancar, mulai tahap input TS
sampai output RF termasuk yang dikonsumsi oleh perangkat
pendukung seperti kipas angin, transformator, dan sebagainya.
Daya output DVB diukur pada titik M pada pemancar, sedangkan
konsumsi daya total harus dihitung dari spesifikasi subsistem yang
menyusun pemancar.
i. Bit Error Rate
Variasi BER terhadap perubahan daya pancar maupun daya noise
dapat diukur dengan memberikan sinyal PBRS pada titik E atau
F, menambahkan sinyal derau eksternal pada antena penerima,
dan kemudian mengukur BER pada titik V atau U. Nilai BER selama
tahap operasional dapat dipantau dengan melakukan pengukuran
BER pada berbagai titik sepanjang struktur penerima. Beberapa
titik penting adalah sebelum Viterbi decoder (V) untuk pengukuran
kinerja sistem tanpa pengodean, sebelum RS decoder (W atau
X) untuk pengukuran kualitas link transmisi digital, dan setelah
RS decoder (Z) untuk mengetahui pola-pola bit yang menyebabkan
error.
Dengan menggunakan alat ukur TV digital, pengukuran BER dapat
pula dilakukan secara on-line. Gambar 5.22 menunjukkan contoh
display pengukuran BER serta indikator kinerja lainnya dari DVB-
T seperti yang terukur oleh Pixelmetrix™. Konstelasi sinyal yang
ditampilkan diambil dari tahap-tahap setelah koreksi kanal. Titik-
titik kuning yang tersebar di sekitar titik-titik konstelasi
menunjukkan adanya pengaruh derau maupun distorsi kanal yang
tidak dapat sepenuhnya dikompensasi oleh penerima, sehingga
mempengaruhi besarnya MER dan BER.
j. Delay
Bagi jaringan SFN, delay sinyal pada pemancar sangat penting
untuk diatur guna mencapai sinkronisasi antarpemancar. Harga
delay ini bervariasi antara satu pemancar dan pemancar lain
karena perbedaan delay fisik pada bagian analog, termasuk lebar
kabel antena, dan berbagai buffer yang digunakan untuk proses
modulasi OFDM. Delay total antara TS input pada pemancar dan
TS output pada penerima dapat diperoleh dengan mengukur delay
Gambar 5.22: Contoh pengukuran konstelasi sinyal dan kinerja
BER DVB-T
yang diperlukan untuk menyesuaikan pola data input dan output.
Jika delay pada penerima diketahui, maka delay pada pemancar
dapat dihitung.
Cara lain adalah dengan pengoperasian test mode di mana
pengiriman MIP (Megaframe Initialization Packet) pada input TS
menyebabkan pulsa yang dapat digunakan untuk memicu operasi
osiloskop. Pengiriman megaframe berikutnya digunakan untuk
mengirim pulsa khusus, seperti simbol null. Dengan demikian
delay antara pulsa pemicu dan pemancaran pulsa RF dapat diukur.
Dalam kaitannya dengan delay pada keseluruhan sistem, dapat
diklasifikasikan delay berdasarkan faktor penyebabnya, yaitu
overall delay, end-to-end encoder delay, total decoder delay, dan
relative audio/video delay atau lip sync. Yang terakhir ini
menyatakan beda delay antara lintasan audio dan video.
Parameter-parameter delay ini ditunjukkan pada Gambar 5.23.
Overall dan end-to-end encoder delay diukur dengan mendeteksi
transisi audio atau video pada TS yang membangkitkan pulsa
trigger untuk memicu perekaman TS. Deteksi ini dilakukan pada
saluran input encoder, output multiplexer, dan output dari dekoder.
Dengan perangkat audio/video analyzer, pengukuran ini dapat
dilakukan dengan menerapkan konfigurasi pada Gambar 5.24.
Sedangkan pengukuran delay relatif antara video dan audio (lip
sync) dapat dilakukan dengan konfigurasi pada gambar 5.25.
Gambar 5.23: Parameter-parameter delay [ETSI, 2001]
k. Interferensi
Keberadaan interferensi koheren dapat dilakukan dengan
menghubungkan spectrum analyzer pada titik N atau P pada
penerima. Dengan penyempitan resolusi bandwidth setahap demi
setahap maka seharusnya level terukur setiap subcarrier
termodulasi akan menurun. Adanya interferensi oleh sinyal CW
(carrier-wave) dapat langsung diketahui karena sinyal jenis ini tidak
terpengaruh oleh proses penyempitan bandwidth.
l. Sinkronisasi jaringan SFN
Guard interval pada sinyal OFDM berfungsi untuk mendeteksi
echo yang terjadi karena multipath. Echo tersebut terdeteksi
sebagai duplikat sinyal yang datang lebih kemudian dibanding
sinyal utama. Guard interval akan mampu mendeteksi echo jika
selisih waktu antara sinyal utama dengan echo tersebut lebih
pendek dari guard interval. Hasil deteksi echo ini berupa respon
impuls kanal yang justru dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kinerja S/N melalui ekualisasi OFDM.
Gambar 5.25: Konfigurasi pengukuran delay relatif audio/video
[ETSI, 2001]
Gambar 5.24: Konfigurasi pengukuran overall delay
[ETSI, 2001]
Jika DVB-T bekerja dalam jaringan SFN, maka suatu pesawat TV
dapat menerima sinyal dari lebih dari satu stasiun pemancar pada
frekuensi yang sama. Akibatnya penerima TV seolah-olah
menerima echo berupa duplikat sinyal utama. Dengan demikian
agar jaringan SFN ini dapat bermanfaat untuk meningkatkan kinerja
S/N sinyal OFDM, maka jarak antarstasiun harus sedemikian
hingga duplikat sinyal yang datang dari pemancar yang lebih jauh
datang dengan selisih waktu kurang dari durasi guard interval.
Prasyarat untuk sinkronisasi jaringan pemancar pada SFN adalah
bahwa nilai STS (Synchronous Time Stamp) yang dibawa oleh
MIP (Mega-frame Initialization Packet) benar dan konsisten.
Pengukuran dilakukan pada titik A dan Z dengan mengecek beda
waktu antara dua STS yang dibawa oleh MIP yang berurutan.
Besarnya haruslah sama dengan durasi satu Mega-frame
ditambah kelipatan bulat dari waktu antarpulsa GPS. Caranya
adalah dengan lebih dulu mengekstrak STS dari 3 megaframe
yang berurutan, kemudian menguji berlakunya hubungan:
STS3 – STS2 = STS2 – STS1 + n×T
dengan n menyatakan suatu bilangan bulat dan T = 1 detik.
Gambar 5.26 mengilustrasikan hubungan waktu antara ketiga
mega-frame.
Gambar 5.26: Hubungan waktu antara Mega-frame dan pulsa
GPS
Pengukuran lainnya yang berkaitan dengan sinkronisasi SFN
adalah pengujian struktur, periodisitas, dan jumlah MIP per frame,
perhitungan panjang dan waktu awal/akhir Mega-frame
berdasarkan pointer pada MIP, serta konsistensi laju data TS
terhadap mode DVB-T yang terdefinisi dalam MIP.
KPeran TV Digital pada
Konverjensi Teknologi Informasi
dan Komunikasi
BAB 6
6.1. Menuju Konverjensi
eberadaan sistem TV digital memberikan banyak
keuntungan dari segi kinerja dan kualitas penyiaran
dibandingkan dengan sistem TV analog. Digitalisasi sinyal
Awalnya media penyiaran hanya ditujukan untuk penyiaran gambar
(video) dan suara (audio), namun digitalisasi memungkinkan
berbagai layanan interaktif sebagaimana yang tersedia pada media
teknologi informasi dan komunikasi. Penyertaan berbagai data
digital pada media penyiaran biasa disebut dengan data casting.
Kondisi itu mendorong arah perkembangan berbagai layanan
memungkinkan kompresi data dan transmisi yang jauh lebih
efisien, sehingga lebih banyak kanal frekuensi yang tersedia
dibandingkan dengan kondisi pada sistem analog. Selain itu,
sistem TV digital juga lebih tahan terhadap pengaruh interferensi
yang memungkinkan pemanfaatan pita frekuensi menjadi lebih
optimal. Sistem TV digital juga memungkinkan sinyal TV diterima
dengan baik pada penerima yang bergerak. Konsekuensinya, pada
sistem TV digital dapat dilakukan pengiriman informasi yang jauh
lebih besar sehingga memungkinkan terwujudnya berbagai layanan
inovatif yang sebelumnya hanya tersedia pada media layanan
lainnya.
menuju layanan multimedia atau konverjensi (convergence)
layanan. Konverjensi tiga layanan tradisional (telekomunikasi,
teknologi informasi, dan penyiaran) ditunjukkan pada gambar 6.1.
Fenomena konverjensi ini, dengan berbagai kesempatan dan
tantangannya, dapat memberikan ekstra stimulasi bagi kelayakan
bisnis dari implementasi TV digital.
Sifat generik dari jaringan penyiaran adalah one-to-many yakni
pengguna terhubung ke titik distribusi jaringan, dan menggunakan
sumber daya jaringan (network resources) bersama-sama.
Secara teoritis, capacity-per-user pada jaringan penyiaran adalah
rendah, sehingga memang lebih cocok digunakan untuk layanan-
layanan yang umum diminati khalayak ramai.
Konverjensi layanan dapat mendorong perkembangan berbagai
layanan yang semula tidak dirancang untuk jaringan penyiaran,
misalnya fasilitas interaktif dengan menggunakan return channel.
Personalisasi layanan seperti ini memerlukan pengembangan
aplikasi yang spesifik pada kerangka kerja penyiaran TV digital,
terlepas dari standar TV digital yang diadopsi. Kelebihan jaringan
penyiaran adalah dalam penetrasi penggunaannya, karena sifat
isi layanannya yang umum diminati. Bahkan suatu hasil penelitian
di Inggris menunjukkan bahwa pertumbuhan penggunaan TV digital
melebihi penggunaan komputer [ Sandbank, 2001].
Bab ini memberikan gambaran peranan TV digital pada proses
konverjensi sebagai sarana penyampaian multimedia data,
mengikuti alur layanan penyiaran pada gambar 6.1. Untuk
meletakkan landasan konverjensi multimedia, pada sub-bab 6.2
dijelaskan layanan/aplikasi khususnya yang bersifat interaktif pada
media TV digital. Kemudian pada sub-bab 6.3 akan dijelaskan
tentang konsep middleware yang berperan besar pada
pengembangan berbagai software aplikasi untuk TV digital.
Penjelasan tentang middleware lebih difokuskan pada salah satu
middleware terbuka yang banyak digunakan, yaitu MHP (Multimedia
Home Platform). Bab ini diakhiri oleh sub-bab 6.4. yang
menggambarkan secara sekilas tentang model konverjensi
teknologi informasi dan komunikasi beserta tantangan dan
problemnya terutama dalam penyelarasan regulasi.
6.2 Layanan Interaktif melalui Media TV Digital
Agar dapat menggunakan media TV digital secara optimal,
diperlukan suatu pemetaan karakteristik dari berbagai aplikasi yang
dapat digunakan. Pemetaan ini terutama membantu dalam
perancangan software set-top box sesuai dengan kebutuhan
pasar, walau hardware set-top box-nya telah ditetapkan sesuai
dengan standar yang diadopsi. Dengan digitalisasi content, ada
dua istilah yaitu layanan (service) dan aplikasi (application) yang
dapat digunakan bergantian. Sebagai contoh, suatu layanan dapat
merujuk kepada sebuah siaran TV reguler atau suatu siaran
enhanced yang berisi audio, video dan aplikasi yang menggunakan
DVB-Java sebagai bagian dari software pada set-top box
pengguna. Secara umum, faktor-faktor yang harus
dipertimbangkan dalam pengembangan dan implementasi aplikasi-
aplikasi TV digital selain konten dari aplikasi itu sendiri adalah user
interface, sistem arsitektur yang menjalankan aplikasi dan protokol-
protokol komunikasi.
Beberapa layanan umum yang tersedia pada sistem TV digital
adalah electronic program guide (EPG), video-on-demand (VOD),
tayangan berbayar (pay-per-view), multi-camera-angle sporting
Data
Teknologi Informasi Penyiaran
Audio, Video
Digitalisasi
Teknologi Informasi
Multimedia
Penyiaran
Multimedia
Telekomunikasi
Multimedia
Telekomunikasi
Voice, Data
Gambar 6.1: Digitalisasi mendorong konverjensi layanan multimedia.
events, koneksi Internet, layanan e-commerce seperti home billing,
home shopping, online entertainment seperti online games, TV
chat, dan sebagainya. Dengan kemampuan mobilitasnya, potensi
perkembangan layanan dan aplikasi melalui media TV digital makin
terbuka luas. Dari layanan dan aplikasi yang dikembangkan, akan
muncul industri sebagaimana dikembangkan melalui media
internet, dan mendapat prefix e, seperti e-commerce, e-education
dan sebagainya. Dalam dunia TV digital, mereka diberikan prefix
T atau Tele, seperti T-commerce, T-education, dan sebagainya.
Pemetaan aplikasi interaktif pada media TV digital ditunjukkan pada
gambar 6.2. Pada gambar tersebut terlihat variasi jenis aplikasi
mulai dari yang kontennya bersifat generik untuk keperluan banyak
orang sampai yang sangat spesifik ke tiap individu, dari yang tanpa
interaksi seperti pada penyiaran tradisional sampai yang sangat
interaktif yang memerlukan respon dari pemirsa atau pengguna.
Fenomena konverjensi juga ditunjukkan pada gambar 6.2. Layanan
TV tradisional (classic), tele-democracy, dan video-on-demand
dapat dikatakan generik pada media TV, namun munculnya
layanan-layanan lainnya yang berbasis internet menunjukkan
melebarnya peranan TV digital. Selain itu, munculnya layanan-
layanan gaming meningkatkan isi dan kualitas hiburan dari TV
digital. Aplikasi-aplikasi futuristik diprediksi akan menambahkan
fitur-fitur virtual reality menjadi TV digital tiga dimensi yang berperan
besar pada layanan seperti hiburan dan pendidikan [Zuffo].
Pengembangan aplikasi dari yang tidak interaktif sampai ke yang
sangat interaktif biasanya dibantu oleh ketersediaan profil-profil
dari middleware yang tersedia.
Selain layanan/aplikasi yang sifatnya umum, keberadaan TV digital
dapat mendukung berbagai aktivitas yang sifatnya lebih spesifik.
Beberapa proyek TV digital yang berguna untuk kepentingan umum
di negara kita misalnya adalah e-Gov, manajemen bencana,
pendidikan jarak jauh, penyediaan informasi kesehatan jarak jauh,
dan sebagainya. Menariknya, pengembangan aplikasi pada TV
digital dengan teknologi yang sifatnya terbuka kebanyakan
didasarkan pada pengembangan software berbasis teknologi Java.
Dengan banyaknya pengembang Java pada komunitas teknologi
informasi dan komunikasi di negara kita , maka ketersediaan TV
digital diharapkan akan memperluas peluang bisnis dan
memunculkan aplikasi-aplikasi baru yang berguna.
6.2.1 Model Komunikasi untuk Return Channel
Secara umum, sebagaimana telah dijelaskan di bab-bab terdahulu,
sistem penyiaran digital meliputi:
A. Broadcaster head-end system
Komponen ini bertugas menghasilkan MPEG-2 transport stream
dari berbagai masukan program TV dan mengirimkannya ke
pengguna tanpa kesalahan. Komponen ini telah dijelaskan di bab-
bab sebelumnya yang meliputi topik-topik kompresi, multiplex,
pengoreksian kesalahan, modulasi, pengodean kanal, dan
sebagainya.
Gambar 6.2: Klasifikasi layanan dan aplikasi.
Sumber: [Spieker, 2001]
Dikarenakan MPEG-2 transport stream adalah aliran data
penyiaran (broadcast atau multicast), maka data tidak ditujukan
kepada pengguna spesifik. Untuk penyampaian data ke pengguna
spesifik, diperlukan fungsi-fungsi untuk mengendalikan dan
mengatur MPEG-2 stream. Untuk itu, pada standar DVB,
dikembangkan protokol-protokol DSM-CC (Digital Storage Media
Command and Control). MPEG-2 stream pada kanal broadcast
memiliki bagian spesifik yang disebut MPEG-2 private sections
yang encapsulate bagian-bagian DSM-CC, di mana pengguna
dapat mengaksesnya untuk mendapatkan layanan yang spesifik.
B. Receiver
Komponen RF pada receiver (penerima) melakukan pemilihan
frekuensi (tuning), demodulasi dan koreksi kesalahan pada sinyal
MPEG-2 yang datang. Setelah itu, sinyal yang masuk menjadi aliran
data digital yang siap untuk di-demultiplex dan dikembalikan ke
sinyal semula, baik itu sinyal audio, video ataupun data dari suatu
aplikasi.
C. Conditional access system
Komponen ini digunakan untuk mengendalikan akses penggunaan
aliran data untuk layanan berbayar sehingga dapat menjamin
sumber pemasukan bagi penyedia layanan. Penggunaan
conditional access juga dapat memudahkan penyediaan layanan
yang menargetkan segmen pelanggan tertentu.
Data broadcasting (datacasting)
Komponen ini menyertakan data aplikasi pada MPEG-2 transport
stream. Pengiriman data dapat dilakukan dengan hanya
pengiriman yang bersifat asynchronous dan dititipkan pada
payload dari MPEG-2 transport stream (data piping), dan dapat
pula yang mensyaratkan suatu aliran dari ujung ke ujung (data
streaming) disertakan pada paket-paket PES (Packetised
Elementary Stream). Selain itu data yang dikirim dapat pula berupa
datagram dari suatu protokol komunikasi (mutiprotocol
encapsulation). Dikarenakan kapasitas penyimpanan dan memori
dari set-top box umumnya tidak sebesar komputer personal, maka
pada sistem TV digital dapat dilakukan transmisi modul data (dapat
berupa data yang sama) secara periodik (data dan object carousel).
Untuk sistem DVB, data dan object carousel didasarkan atas
spesifikasi DSM-CC data dan object carousel.
Melengkapi komponen-komponen tersebut, untuk implementasi
layanan-layanan interaktif pada media TV digital diperlukan sarana
supaya pengguna bisa mengirim respon atau perintah kembali ke
penyedia layanan. Sarana ini yang lazim disebut return channel
dapat dirancang dari berbagai sarana komunikasi yang tersedia.
Gambar 6.3 menunjukkan model layanan interaktif pada standar
DVB dengan menambahkan aliran data kembali dari pengguna ke
penyedia layanan interaktif melalui panah yang lebih kecil.
Sedangkan panah yang lebih besar menunjukkan komponen utama
aliran data penyiaran (broadcast) digital ke pengguna, yang meliputi
komponen-komponen yang telah dijelaskan sebelumnya.
Karakteristik interaksi bergantung pada aplikasi yang digunakan
oleh pengguna. Interaksi yang paling sederhana adalah ketika
semua data dari suatu layanan dikirimkan dan disimpan pada set-
top box, sehingga interaksi sifatnya lokal antara pengguna dan
set-top box. Pada aplikasi-aplikasi tertentu yang memerlukan
interaksi lebih lanjut antara pengguna dengan penyedia layanan,
diperlukan suatu protokol spesifik untuk interaksi dan return
channel.
Mengacu pada model referensi layanan interaktif, DVB telah
mendefinisikan beberapa kelompok protokol mulai dari Network
Independent Protocol (DVB-NIP) dan beberapa protokol yang
spesifik dengan jenis return channel yang digunakan sebagaimana
ditunjukkan pada tabel 6.1. Network independent protocol
diperlukan supaya aplikasi-aplikasi interaktif yang telah
dikembangkan dapat berjalan di berbagai pilihan sarana
komunikasi untuk return channel tanpa pemrograman ulang.
Tersedia beberapa pilihan untuk return channel, baik menggunakan
media satelit, jaringan kabel ataupun berbagai pilihan teknologi
menggunakan media nirkabel terestrial. Tiap pilihan memiliki
kelebihan dan kekurangan, sehingga implementasinya disesuaikan
dengan tujuan dan jenis layanan interaktif yang akan ditawarkan.
Secara umum ada tiga faktor yang mendasari pemilihan return
channel yaitu waktu reaksi (time reaction), akurasi dan biaya
investasi. Waktu reaksi didefinisikan sebagai waktu yang
disediakan untuk menyimpan, memroses dan melaporkan semua
reaksi dari pengguna. Ini juga tergantung dengan skala waktu dari
aplikasi interaktif. Misalnya untuk aplikasi T-Polling: waktu bereaksi
untuk polling menjelang pemilihan umum dapat lebih lama
misalnya, dibandingkan polling untuk pemilihan negara kita n Idol.
Keakuratan dari hasil polling dapat diturunkan dari jumlah
maksimum respon yang dapat diproses oleh sistem. Faktor waktu
reaksi dan akurasi (quality of sevice dari suatu layanan) bergantung
kepada kapasitas dari return channel, yang terkait dengan biaya
investasi.
Penggunaan PSTN/ISDN sebagai return channel sangat umum
digunakan terutama di negara-negara maju yang memiliki
infrastruktur telepon yang mapan, dengan laju data maksimum
mencapai kira-kira 150kbps. Biaya investasi untuk menggunakan
PSTN relatif kecil, namun kapasitasnya terbatas untuk penggunaan
layanan yang intensif pada daerah dengan kepadatan pengguna
tinggi. Kapasitas return channel yang lebih besar ditawarkan oleh
media satelit, walau harga perangkatnya lebih mahal. Penggunaan
media nirkabel seperti GSM atau DECT memberikan opsi
penggunaan layanan interaktif melalui media TV digital dengan
mobilitas terbatas, walau perlu diingat bahwa kapasitas koneksi
GSM atau DECT tidaklah lebih baik daripada PSTN/ISDN.
Gambar 6.3. Model layanan interaktif pada standard DVB.
Sumber: [Rao, 2006]
Dari berbagai pilihan return channel, DVB-RCT memberikan opsi
yang menarik karena selain menggunakan media terestrial, sistem
ini menggunakan pita frekuensi bersama dengan layanan
penyiaran. Baik pengiriman dan penerimaan data interaktif
menggunakan antena yang sama. Sistem ini berpotensi menjadi
medium komunikasi dua arah pita lebar (broadband) dan dapat
bersaingan dengan layanan broadband wireless access lainnya.
Untuk itu, DVB-RCT dibahas tersendiri, dengan berbagai pilihan
media untuk return channel, set-top box dengan kemampuan
interaktif akan dilengkapi berbagai jenis interface seperti modem
telepon, port untuk DSL atau port untuk satellite transceiver,
ethernet modem kabel, dan sebagainya.
DVB Terrestrial Return Channel System (DVB-RCT)
Model referensi untuk DVB-RCT adalah sebagaimana ditunjukkan
pada gambar 6.4. Sistem ini memungkinkan layanan interaktif
memanfaatkan infrastruktur yang telah digunakan oleh jaringan
D