cyber crime 24

Tampilkan postingan dengan label cyber crime 24. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cyber crime 24. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 30 November 2024

cyber crime 24




 ngan yang lainnya. 

5. Keterangan terdakwa 

Mengenai keterangan terdakwa diatur dalam KUHAP pada Pasal 189 

yang berbunyi sebagai berikut : keterangan terdakwa yaitu  apa yang 

ia nyatakan dalam persidangan mengenai perbuatan yang ia ketahui 

dan ia alami sendiri, keterangan terdakwa yang diberikan diluar 

persidangan hanya dapat digunakan untuk menemukan bukti yang 

lainnya dan keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap 

dirinya sendiri, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk mealat 

bukti lainnya yang mendukung dan sah. 

Keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau 

terbentur pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya 

didengar, apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan ataupun 

pengakuan sebagaian dari perbuatan atau keadaan. 

B. Asas – Asas dalam Pembuktian 

Hukum pembuktian dalam cyber crime yaitu  bersifat khusus. Akan 

tetapi atasnya tetap diharuskan mengacu kepada asas-asas pembuktian 

yang umum. Beberapa asas dalam hukum acara perdata mengenai 

pembuktian, yaitu :

1. Asas Audi Et Alteram Partem; yaitu  asas kesamaan proses 

dan para pihak yang berperkara. berdasar  asas ini, 

hakim tidak boleh menjatuhkan putusan sebelum memberi 

kesempatan untuk mendengarkan kedua pihak. Hakim harus 

adil dalam memberikan beban pembuktian pada pihak yang 

berperkara agar kesempatan untuk kalah atau menang bagi 

kedua pihak tetap sama. 

2. Asas Actori Incumbit Probatio; bahwa asas ini terkait 

dengan beban pembuktian. Asas ini berarti bahwa 

barangsiapa yang memiliki  suatu hak atau menyangkali 

adanya hak orang lain, harus membuktikannya. Hal ini 

berarti bahwa dalam hal pembuktian yang diajukan 

penggugat dan tergugat sama-sama kuat, maka baik 

penggugat maupun tergugat ada kemungkinan dibebani 

dengan pembuktian oleh hakim. 

3. Gugatan harus diajukan pada pengadilan dimana tergugat 

bertempat tinggal atau dikenal dengan ―Actor sequitor 

forum rei”

Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori pembuktian 

yang menjadi pegangan bagi hakim dalam melakukan pemeriksaan 

terhadap di sidang pengadilan. Sejalan dengan perkembangan waktu, 

teori atau sistem pembuktian mengalami perkembangan dan 

perubahan. Demikian pula penerapan sistem pembuktian di suatu 

negara dengan negara lain dapat berbeda. Adapun sistem atau teori 

pembuktian yang dikenal dalam dunia hukum pidana yaitu conviction 

intime atau teori pembuktian berdasar  keyakinan hakim semata￾mata, conviction rasionnee atau teori pembuktian berdasar  

keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis, 

positif wettelijk bewijstheorie atau teori Pembuktian yang hanya

berdasar  kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh undang￾undang secara positif, dan negatief wettelijk bewijstheorie atau teori 

pembuktian berdasar  keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat 

bukti dalam undang-undang secara negatif, berikut penjelasannya : 

1. Conviction intime atau Teori pembuktian berdasaran 

keyakinan hakim semata-mata 

Conviction intime diartikan sebagai pembuktian 

berdasar  keyakinan hakim belaka. Teori pembuktian ini 

lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk 

menjatuhkan suatu putusan berdasar  keyakinan hakim, 

artinya bahwa jika dalam pertimbangan putusan hakim telah 

menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan 

keyakinan yang timbul dari hati nurani, terdakwa yang 

diajukan kepadanya dapat dijatuhkan putusan. 

Keyakinan hakim pada teori ini yaitu  menetukan dan

mengabaikan hal-hal lainnya jika sekiranya tidak sesuai atau 

bertentangan dengan keyakinan hakim ini  .Sistem ini 

mengandung kelemahan yang besar, sebab  sebagai manusia 

biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, 

berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang 

harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam 

membentuk keyakinannya itu. Di samping itu, pada sistem ini 

terbuka peluang yang besar untuk terjadi praktik penegakan 

hukum yang sewenang-wenang, dengan bertumpa pada alasan 

keyakinan hakim.

2. Conviction Rasionnee atau Teori pembuktian berdasar  

keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang 

logis Sistem pembuktian conviction rasionnee yaitu  sistem 

pembuktian yang tetap memakai  keyakinan hakim, tetapi 

keyakinan hakim didasarkan pada alasan-alasan 

(reasoning) yang rasional. Dalam sistem ini hakim tidak dapat 

lagi memiliki kebebasan untuk menentukan keyakinannya, 

tetapi keyakinannya harus diikuti dengan alasan-alasan 

yang reasonable yakni alasan yang dapat diterima oleh akal 

pikiran yang menjadi dasar keyakinannya itu. 

3. Teori Pembuktian yang hanya berdasar  kepada alat-alat 

pembuktian yang disebut oleh undang-undang secara positif 

Sistem pembuktian berdasar  alat bukti menurut undang￾undang secara positif atau pembuktian dengan memakai  

alat-alat bukti yang sebelumnya telah ditentukan dalam 

undang-undang. Dengan kata lain, keyakinan hakim tidak 

diberi kesempatan dalam menentukan ada tidaknya kesalahan 

seseorang, keyakinan hakim harus dihindari dan tidak dapat 

dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan kesalahan 

seseorang. 

4. Teori pembuktian berdasar  keyakinan hakim yang timbul 

dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif 

Pembuktian pembuktian berdasar  undang-undang secara 

negatif yaitu  pembuktian yang selain memakai  alat-alat 

bukti yang dicantumkan di dalam undang-undang, juga

memakai  keyakinan hakim. Sekalipun memakai  

keyakinan hakim, namun keyakinan hakim terbatas pada alat￾alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Sistem 

pembuktian ini menggabungkan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian 

menurut keyakinan hakim sehingga sistem pembuktian ini 

disebut pembuktian berganda (doubelen grondslag). 

Dengan demikian, maksud dilakukannya kegiatan 

pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP yaitu  

untuk menjatuhkan atau mengambil putusan in casu menarik amar 

putusan oleh majelis hakim. Pembuktian dilakukan terlebih dahulu 

dalam usaha mencapai derajat keadilan dan kepastian hukum yang 

setinggi-tingginya dalam putusan hakim. Sehigga pembuktian 

tidak hanya ditujukan untuk menjatuhkan pidana saja berdasar  

syarat minimal dua alat bukti yang harus dipenuhi dalam hal 

pembuktian untuk menjatuhkan pidana. 

C. Alat Bukti Elektronik dalam Cyber Crime

Berbicara mengenai pembuktian secara elektronik, tidak terlepas dari 

alat-alat elekrtonik itu sendiri. Proses pembuktian secara elektronik 

sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya, merupakan 

pembuktian yang melibatkan berbagai hal terkait teknologi informasi 

seperti informasi dan atau dokumen elektronik dalam perkara Cyber 

Crime namun tetap mendasarkan pada ketentuan pembuktian 

sebagaimana diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara 

Pidana serta peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang￾Undang Nomor 11 Tahun 2008. 

Proses pembuktian secara elektronik, tentu harus didukung oleh 

berbagai alat-alat bukti secara elektronik pula, dalam hal ini tetap 

melihat pada ketentuan tentang alat bukti yang sah dalam Pasal 184 

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan 

alatalat bukti yang sah terdiri dari : (1) Keterangan saksi; (2) 

Keterangan ahli; (3) Surat; (4) Petunjuk; (5) Keterangan terdakwa.

Proses pembuktian pada kasus cybercrime pada dasarnya tidak 

berbeda dengan pembuktian pada kasus pidana konvensional, tetapi 

dalam kasus cybercrime terdapat ada beberapa hal yang bersifat 

elektronik yang menjadi hal utama dalam pembuktian, antara lain 

adanya informasi elektronik atau dokumen elektronik. Ketentuan 

hukum mengenai pembuktian atas kasus cybercrime telah diatur 

dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 

2008, yang menyatakan bahwa informasi dan atau dokumen 

elektronik dianggap sebagai alat bukti yang sah dalam proses 

pembuktian kasus cybercrime dan alat bukti elektronik ini  

dianggap pula sebagai perluasan dari alat bukti yang berlaku dalam 

hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini alat-alat 

bukti yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP. Minimal, kesalahan 

pelaku dapat terbukti dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti 

yang sah. Alat-alat bukti ini harus mampu membuktikan telah terjadi 

suatu perbuatan dan membuktikan adanyab akibat dari perbuatan 

cybercrime.\ 

1. Keterangan Saksi

Sehubungan dengan sifat cybercrime yang virtual, sehingga 

pembuktian dengan memakai  keterangan saksi tidak 

dapat diperoleh secara langsung melainkan hanya dapat 

berupa hasil pembicaraan atau mendengar dari orang lain 

(testimonium de auditum). Meskipun kesaksian jenis ini 

dianggap tidak sah sebagai alat bukti, dalam praktik tetap 

dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan hakim

untuk memperkuat keyakinannya dalam menjatuhkan 

putusan. Yang dapat dijadikan keterangan saksi dalam dunia 

cyber, seperti chatting dan e-mail antara pengguna internet.

2. Keterangan Ahli 

Peran keterangan ahli disini yaitu  untuk memberikan suatu 

penjelasan dalam persidangan bahwa dokumen/data 

elektronik yang diajukan yaitu  sah dan dapat 

dipertanggungjawabkan secara hukum. Saksi ahlimelibatkan 

ahli-ahli dalam berbagai bidang antara lain, ahli dalam 

teknologi informasi, mendesain internet, program-program 

jaringan komputer, serta ahli dalam bidang 

enskripsi/password atau pengamanan jaringan komputer. 

Pentingnya kedudukan seorang ahli yaitu untuk memberikan 

keyakinan kepada hakim.

3. Alat Bukti Surat 

Surat merupakan alat bukti yang penting dalam proses 

penyelidikan dan penyidikan kasus cybercrime. Surat 

menajdi alat bukti yang sah dengan didukung oleh keterangan 

saksi. Secara terminology surat dalam kasus cybercrime 

mengalami perubahan dari bentuk yang tertulis,emjadi tidak 

tertulis dan bersifat on-line. Alat bukti surat dalam sistem 

komputer ada dua kategori :

a. Bila sebuah sistem komputer yang telah disertifiksi oleh 

badan yang berwenang maka hasil prin out komputer 

dapat dipercaya hasil keotentikannya. 

b. Bukti sertifikasi dari badan yang berwenang ini  

dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat, sebab  

dibuat oleh pejabat yang berwenang. 

4. Petunjuk 

Pengumpulan data secara fisik dalam cyber crime akan sulit 

dipenuhi, lebih mudah mencari petunjuk-petunjuk yang 

mengindikasikan telah adanya suatu niat jahat berupa akses

secara tidak sah antara lain dengan melihat dan 

mendengarkan keterangan saksi di pengadilan atau hasil print 

out data, atau juga dari keterangan terdakwa di pengadilan. 

Petunjuk yang diajukan di persidangan yaitu  bukti 

elektronik (yang disertai dengan keterangan ahli) maka 

petunjuk ini bersifat lebih kuat dan memberatkan terdakwa. 

5. Keterangan Terdakwa 

Pasal 189 ayat 1 KUHAP menentukan bahwa keterangan 

terdakwa yaitu  ap yang terdakwa lakukan, ketahui dan alam 

sendiri. Dalam kasus cybercrime, keterangan terdakwa yang 

dibutuhkan terutama mengenai cara-cara pelaku melakukan 

perbuatannya, akibat yang ditimbulkan, informasi jaringan 

serta motivasinya. Sifat keterangan terdakwa yaitu 

memberatkan terdakwa.

Sistem hukum pembuktian sampai saat ini masih 

memakai  ketentuan hukum yang lama, yang belum mampu 

menjangkau pembuktian atas kejahatan-kejahatan yang berlaku di 

cyberspace. Namun demikian keberadaan Undang-undang No. 8 

tahun 1997 tentang dokumen perusahaan telah mulai menjangkau 

kea rah pembuktian data elektronik. Walaupun tidak mengatur 

masalah pembuktian, namun melalui undang-undang ini, 

pemerintah berusaha mengatur pengakuan atas microfilm, dan 

media lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan 

memiliki  tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian 

dokumen yang dpat dialihkan atau ditansformasikan) misalnya 

Compact Disk-Read Only Memory (CD-ROM) dan Write-One￾Read-many (WORM), yang diatur dalam pasal 12 Undang￾Undang Dokumen Perusahaan sebagai alat bukti yang sah

Pasal 12 Undang-undang Dokumen Perusahaan ini  

berbunyi sebagai berikut :

(1) Dokumen perusahaan dapat dialihkan ke dalam microfilm 

atau media lainnya. 

(2) Pengalihan dokumen perusahaan ke dalam microfilm atau 

media lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat 

dilakukan sejak dokumen ini  dibuat atau diterima 

perusahaan yang bersangkutan. 

(3) Dalam mengalihkan dokumen perusahaan sebagaiman 

dimaksud dalam ayat 1, pimpinan perusahaan wajib 

mempertimbangkan kegunaan naskah asli dokumen yang 

perlu tetap disimpan sebab  mengandung nilai tertentu demi 

kepentingan perusahaan atau demi kepentingan nasional. 

(4) Dalam hal dokumen perusahaan yang dialihkan ke dalam 

microfilm atau sarana lainnya yaitu  naskah asli yang 

memiliki  kekuatan hukum pembuktian otentik dan masih 

mengandung kepentingan hukum tertentu, pimpinan 

perusahaan wajib tetap menyimpan naskah asli ini . 

Kemudian pasal 3 Undang-undang Dokumen Perusahaan 

member pemahaman secara luas atas alat bukti, yaitu : ―dokumen 

keuangan terdiri dari catatan, bukti pembukuan dan data 

pendukuung administrasi keuangan, yang merupakan bukti 

adanya hak dan kewajiban serta kegiatan usaha suatu

perusahaan.”

Selanjutnya, pasal 4 menyatakan ―dokumen lainnya 

terdiri dari data atau setiap tulisan yang berisi keterangan yang 

memiliki  nilai guna bagi perusahaan meskipun tidak terkait 

langsung dengan dokumen perusahaan”

Sebuah dokumen perusahaan baru memiliki  kekuatan 

sebagai alat bukti setelah dilakukan proses pengalihan yang 

kemudian dilanjutkan dengan proses legalisasi, yang diatur dalam 

pasal 13 dan 14 Undang-undang Dokumen Perusahaan. Setelah 

proses pengalihan dan legalisasi, dokumen perusahaan ini  

dinyatakan sebagai alat bukti yang sah sebagaimana disebutkan 

dalam pasal 15 Undang-undang Dokumen Perusahaan.

a) Pasal 13 : ”Setiap pengalihan dokumen perusahaan 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) wajib 

dilegalisasi”

b) Pasal 14 : 

(1) Legalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 

dilakukan oleh pimpinan perusahaan atau pejabat yang 

ditunjuk di lingkungan perusahaan yang bersangkutan, 

dengan dibuatkan berita acara. 

(2) Berita acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 

sekurang-kurangnya memuat : 

a. keterangan tempat, hari, tanggal, bulan, dan tahun 

dilakukannya legalisasi; 

b. keterangan bahwa pengalihan dokumen 

perusahaan yang dibuat di atas kertas ke dalam 

mikrofilm atau media lainnya telah dilakukan 

sesuai dengan aslinya; dan 

c. tanda tangan dan nama jelas pejabat yang 

bersangkutan. 

c) Pasal 15 : 

(1) Dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam 

mikrofilm atau media lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan atau hasil cetaknya 

merupakan alat bukti yang sah. 

(2) jika  dianggap perlu dalam hal tertentu dan untuk 

keperluan tertentu dapat dilakukan legalisasi terhadap 

hasil cetak dokumen perusahaan yang telah dimuat 

dalam mikrofilm atau media lainnya. 

Pengakuan catatan transaksi elektronik sebagai alat bukti yang 

sah di pengadilan sudah dirintis oleh United Nation Commission on 

Internasional Trade (UNCITRAL) yang mencantumkan dalam e￾commerce model law ketentuan mengenai transaksi elektronik diakui 

sederjat dengan ―tulisan‖ diatas kertas sehingga tidak dapat ditolak 

sebagai bukti pengadilan. Pasal 5 dan Pasal 6 peraturan ini 

menyatakan bahwa transaksi yang dilakukan dengan memanfaatkan 

media elektronik memiliki nilai yang sama dengan tulisan atau akta 

yang dibuat secara konvensional, sehingga pada praktiknya tidak 

dapat ditolak suatu bukti transaksi yang dilakukan secara elektronik. 

Kemudian peraturan peundang-undangan lain yang memberikan 

pengakuan terhadap dokumen elektronik yaitu  Undang-undang 

Nomor 7 tahun 1971 tetntang Sistem Kearsipan yang menyatakan 

bahwa suatu informasi elektronik tetap diakui, sebab  definisi 

kearsipan tidak pernah menyatakan arsip harus dalam bentuk tertulis 

dalam media kertas saja tapi dimungkinkan juga untuk disimpan 

dalam media lainnya. Dalam UU ini  yang dimaksud dengan arsip 

ialah : 

a. Naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh lembaga￾lembaga Negara dan badan-badan pemerintahan dalam 

bentuk corak apapun, baik dalam keadaan tunggal maupun 

berkelompok, dalam rangka pelaksanaan tugas pemerintah.

b. Naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh badan-badan 

swasta dan/atau perorangan, dalam bentuk corak apapun, 

baik dalam keadaan tunggal maupun berkelompok, dalam 

rangka pelaksanaan kehidupan kebangsaan. 

Dalam Rancangan Undang-undang Teknologi Informasi 

memuat hal yang baru mengenai data elektronik yaitu dengan 

mengakui data elektronik yang terdapat pada ruang maya. Hal ini 

dapat dilihat pada BAB I mengenai ketentuan Umum, Pasal 1 angka 

16, yaitu : 

―Dokumen Elektronik yaitu  setiap informasi yang 

dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan 

dalam media magnetic, optikal, memori komputer atau

media elektronik‖

berdasar  ketentuan diatas, maka berkenaan dengan

dokumen elektronik sebagai alat bukti pada cybercrime harus juga 

dibarengi oleh alat bukti lainnya sehingga sesuai dengan ketentuan 

alat bukti minimum dalam KUHAP. Keabsahan dokumen elektronik 

harus memperoleh  keyakinan dari hakim bahwa dokumen ini  

memang benar digunakan untuk melakukan cybercrime.

Hak Kekayaan Intelektual (HaKI), merupakan hak eksklusif yang 

diberikan negara kepada seseorang, sekelompok orang, maupun 

lembaga untuk memegang kuasa dalam memakai  dan 

memperoleh  manfaat dari kekayaan intelektual yang dimiliki atau 

diciptakan. Istilah HAKI merupakan terjemahan dari Intellectual 

Property Right (IPR), sebagaimana diatur dalam undang-undang 

Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan WTO (Agreement 

Establishing The World Trade Organization). Pengertian Intellectual 

Property Right sendiri yaitu  pemahaman mengenai hak atas 

kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual manusia, yang 

memiliki  hubungan dengan hak seseorang secara pribadi yaitu hak 

asasi manusia (human right).31

Jadi HaKI pada umumnya berhubungan dengan perlindungan 

penerapan ide dan informasi yang memiliki nilai jual. HakI 

merupakan kekayaan pribadi yang dpat dimiliki dan diperlakukan 

sama dengan bentuk-bentuk kekayaan lainnya.32 Hak Kekayaan 

Intelektual dipergunakan untuk mewadahi hak-hak yang timbul dari 

hasil kreasi intelektual manusia yang memiliki  nilai ekonomi bagi 

pencipta, perancang, penemu atau pemiliknya. Oleh sebab nya Hak 

Kekayaan Intelektual masuk dalam bidang hukum harta benda (benda 

tak berwujud). Karya cipta berwujud dalam bahasan bidang kekayaan intelektual 

yang dapat didaftarkan untuk memperoleh perlindungan hukum, yaitu 

seperti karya kesusastraan, artistik, ilmu pengetahuan (scientific), 

pertunjukan, kaset, penyiaran audio visual, penemuan ilmiah, desain 

industri, paten, merek dagang, nama usaha, dan lain sebagainya. Jadi 

pada prinsipnya HKI merupakan suatu hak kekayaan yang berada 

dalam ruang lingkup kehidupan manusia di bidang teknologi, ilmu 

pengetahuan, maupun seni dan sastra, sehingga pemilikannya bukan 

terhadap barangnya melainkan terhadap hasil kemampuan intelektual 

manusianya dan tentu harus berwujud. Pemerintah memiliki  

kewajiban untuk melindungi secara hukum dari ide, gagasan dan 

informasi yang memiliki  nilai komersial atau nilai ekonomi yang 

telah dihasilkan oleh seseorang maupun kelompok ini .Hak 

kekayaan Intelektual (HKI) memberikan hak monopoli kepada 

pemilik hak dengan tetap menjujung tinggi pembatasan-pembatasan 

yang mungkin diberlakukan berdasar  peraturan perundang￾undangan yang berlaku. 

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual di dalam buku 

panduan HKI menjelaskan bahwa Hak Kekayaan Intelektual atau yang 

disingkat ―HKI‖ atau akronim ―HaKI‖, yaitu  padanan kata yang 

biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak 

yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu 

produk atau proses yang berguna untuk manusia. Pada intinya HKI

yaitu  hak untuk untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu 

kreatifitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI yaitu  karya￾karya yang timbul atau lahir sebab  kemampuan intelektual manusia.

Dasar dari Hak Kekayaan Intelektual didasarkan pada suatu 

pandangan bahwa hak ini  lahir dari karya-karya intelektual yang 

dihasilakan oleh manusia, dalam proses pembuatan suatu karya 

intelektual sudah barang tentu memerlakukan sauatu keahlian khusus, 

ketekunan dan juga pengorbanan baik waktu, tenaga maupun 

pemikiran yang dituangkan dalam karya ini . Pada hakikatnya 

kepemilikan hak atas karya intelektual merupakan suatu hal yang 

sangat abstrak jika dibandingkan dengan kepemilikan hak benda yang 

dapat terlihat namun keduanya meiliki sifat mutlak. Selanjutnya, 

terdapat analogi bahwa setelah benda yang tak berwujud itu keluar 

dari pikiran manusia, menjelma dalam suatu ciptaan kesusastraan, 

ilmu pengetahuan, kesenian atau dalam bentuk pendapat. Jadi, berupa 

berwujud (lichamelijke zaak) yang dalam pemanfaatannya (exploit) 

dan reproduksinya dapat merupakan sumber keuntungan uang. Inilah 

yang membenarkan penggolongan hak ini  ke dalam hukum harta 

benda yang ada.34

B. Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual 

1. Pengaturan Hukum Hak Kekayaan Intelektual dalam 

Hukum Internasional 

Seiringa dengan berkembangnya zaman dan dunia 

teknologi informasi, bekremabnganya pula mengenai hukum 

yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual yang pada 

umumnya bersifat melintasi batas negara. Negara berperan 

aktif dalan hal penegakan hukum melalui sistem hukumnya 

sebagai salah satu bentuk perlindungan Hak Kekayaan

Inteletual Negara akan menindak tegas siapa saja yang 

melanggar perraturan mengabi Hak Kekyaan Intelektual,

sebab  perdagangan internasional sudah sedemikian meluas 

maka produk tidak hanya dinikmati oleh nagara asalnya saja, 

namun juga dinikmati di seluruh dunia. Ketentuan hukum 

mengenai Hak Kekayaan Intelektual untuk pertama kalinya 

dilakukan di Venesia, yakni aturan Paten yang mulai berlaku 

pada tahun 1470. usaha  harmonisasi (penyelarasan aturan 

secara internasional) tentang Hak Kekayaan Intelektual 

pertama kali terjadi pada tahun 1883 dengan lahirnya Paris 

Convention35

Di dalam tatanan internasional, Hak Kekayaan 

Intelektual berkembang cukup pesat dan menjadi salah satu 

identitas yang menunjukkan suatu era globalisasi sekarang. 

Aspek-Aspek Hak Kekayaan Intelektual dalam Perdagangan 

Internasional World Trade Organization (WTO)diratifikasi 

oleh lebih dari 150 negara berisi norma dan standar

perlindungan bagi karya-karya intelektual. Berikut ini 

berbagai instrumen hukum internasional yang mengatur 

tentang Hak Kekayaan Intelektual. 

a. Convention Establishing The World Intellectual 

Property Organization (WIPO) diadakan di Stockholm 

tahun 1967, yang kemudian diratifikasi Indonesia 

melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 yang

telah dirubah dengan Keputusan Presiden Nomor 15 

Tahun 1997. WIPO yaitu  perjanjian khusus di bawah 

Konvensi Bern. Setiap Pihak harus mematuhi ketentuan￾ketentuan substantif tentang Perlindungan Karya Sastra 

dan Seni (1886).,

b. Paris Convention for The Protection of Industrial 

Property Rights (Paris Convention) di bidang hak milik 

perindustrian ditandatangani di Paris pada tanggal 20 

Maret 1883. Konvensi ini diratifikasi dengan Keputusan 

Presiden Nomor 15 Tahun 1997, membahas mengenai 

perlindungan terhadap industrialpropertyuntuk 

membantu rakyat satu negara memperoleh  

perlindungan di negara-negara lain untuk kreasi 

intelektual mereka dalam bentuk hak kekayaan industri, 

dikenal sebagai: Penemuan (paten), Merek dagang, 

Desain industri. 

c. Berne Convention for The Protection of Literary and

Artistic Works (Berne Convention) di bidang Hak Cipta, 

ditandatangani di Berne, 9 September 1986. Indonesia 

meratifikasi dengan dengan Keputusan Presiden Nomor

18 Tahun 1997.Konvensi Bern mewajibkan 

penandatangan mengakui hak cipta dari karya-karya 

penulis dari negara-negara penandatangan lain. 

d. Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual 

Property Rights (TRIPs) yang mulai berlaku pada 

tanggal 1 Januari 1995. Perjanjian ini membahas 

perdagangan barang palsu untuk, meningkatkan 

perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual dari 

produk-produk yang diperdagangkan, Menjamin 

prosedur pelaksanaan hak atas kekayaan intelektual yang 

tidak menghambat kegiatan perdagangan;, merumuskan 

aturan serta disiplin mengenai pelaksanaan perlindungan 

terhadap hak atas kekayaan intelektual, dan

mengembangkan prinsip, aturan dan mekanisme 

kerjasama internasional 

e. Agreement Establishing World Trade Organization 

(WTO) yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 

7 Tahun 1994. World Trade Organization (WTO) atau 

Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya

badan internasional. Sistem perdagangan multilateral 

WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi 

aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai 

hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh 

negara-negara anggota. 

f. Trademark Law Treaty, mengatur perlindungan 

terhadap Merek, disahkan di Genewa pada tanggal 27 

Oktober 1997, diratifikasi Indonesia melalui Keputusan 

Presiden Nomor 17 Tahun 1997. Perjanjian ini 

membahasperjanjian dari praktek merek dagang untuk 

menyelaraskan mencakup, antara jangka waktu 

pendaftaran dan pembaharuan pendaftaran merek 

dagang akan sepuluh tahun dan layanan tanda diberi 

perlindungan yang sama. 

g. Patent Cooperation Treaty (PCT), yaitu perjanjian 

kerjasama di bidang Paten. Indonesia meratifikasinya 

dengan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1997. 

Perjanjian ini membahas mengenai para negara pihak : 

1) Ingin memberi kontribusi pada kemajuan ilmu 

pengetahuan dan teknologi; 

2) Penyempurnaan perlindungan hukum terhadap 

penemuan;

3) Penyederhanaan dan membuat lebih ekonomis 

dalam memperoleh perlindungan penemuan; 

4) Mempermudah dan mempercepat akses oleh 

warga  dengan informasi teknis yang 

terkandung dalam dokumen yang menjelaskan 

penemuan baru.36

2. Pengaturan Hukum Hak Kekayaan Intelektual dalam 

Hukum Positif di Indonesia 

Sejarah lahirnya pertauran mengenai Hak Kekayaan 

Inteletual di Indonesia di mulai pada tahun 1953, dimana ada 

suatu Rancangan pearuran perundang-undanagn di bidang 

Hak Kekayaan Inteltual yang memuat mengenai Paten dan 

kemudian pemerintah Indonesia melalui Menteri Kehakiman 

Republik Indonesia menerbitkan surat edaran Nomor : J. S. 

5/41 tanggal 12 Agustus 1954 dan Nomor J.G. 1/2/17 tanggal 

29 Oktober 1953 tentang Pendaftaran Sementara Paten, hal 

ini dilakukan agar tidak adanya kekosangan hukum sebab  

Undang-Undang Paten masih dalam proses pembuatan. 

Kemudian pada tahun 1989 awal mula disahkannya Undang￾Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten, kemudian 

dilakukan amandemen pada tahun 1997 yang di ubah 

menjadi Undang-Undnag Nomor 13 Tahun 1997 Tentang 

Paten, hal ini lah yang menjadi tonggak lahirnya pertauran 

hukum nasional yang terkiat dengan Hak Kekayaan 

Intelektual. 

Setelah mengalami beberapa perkembangan, maka 

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Hak 

Kekayaan Intelektual yaitu  sebagai berikut : a. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang 

Perlindungan Varietas Tanaman; 

b. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang 

Rahasia Dagang; 

c. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain 

Industri; 

d. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain 

Tata Letak Sirkuit Terpadu; 

e. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten; 

f. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2014 tentang Hak 

Cipta; 

g. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek 

dan Indikasi Geografis. 

Penegakan hukum dalam tindak pidana yang 

berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual memiliki 

pengaruh yang cukup signifikan dalam perkembangan ilmu 

pengetahuan dan teknologi di wilayah negara Indonesia. Hak 

Kekayaan Intelektual hadir sebagai bentuk keseimbnagan 

untuk mencegah timbulnya suatu konflik yang dapat 

merugikan orang lain bahkan negara. Dengan hadirnya

payung hukum yang mengatur mengenai Hak Kekyaan 

Intelektual diharapkan dapat saling melengkapi sehingga 

tidak akan terjadi keksongan hukum. 

C. Ruang Lingkup Hak Kekayaan Intelektual 

Istilah Hak Kekayaan Intelektual sebagai hak milik intelektual dan 

hak tak berwujud, pengertian Hak Kekayaan Intelektual merujuk pada 

hubungan proses berfikir manusia yang rasional bahwa kenyataan itu 

membutuhkan sebuah usaha. Di dalam ketentuan Pasal 2 Ayat 8

Konvensi Pendirian WIPO yang cakupan Hak Kekayaan Intelektual 

didefinisikan sebagai berikut:37

 

“Intellectual property shall incude the rights relating to : 

a. Literary, artistic and scientific works, 

b. Performance of performing artists, phonograms, 

and broadcastas, 

c.Inventions in all fields of human endeavour, 

d. Scientific discoveries, 

e.Industrial designs, 

f. Trademarks, service marks, and commercial names 

and designations, 7) Protection against unfair 

competition, 

g. And all other rights resulting from intel 

Secara umum, Hak Kekayaan Intelektual terbagi menjadi 

2 (dua) bagian, yaitu: 

1. Hak Cipta (copyright) 

berdasar  Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 

Tahun 2014 tentang Hak Cipta: ―Hak Cipta yaitu  hak 

eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasar  

prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam 

bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan 

ketentuan peraturan perundang-undangan‖

Hak Cipta. yaitu  hak eksklusif bagi pencipta atau penerima 

hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya 

atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi

pembatasan menurut Peraturan Perundang-undangan yang 

berlaku.

Pencipta, yaitu  seorang atau bebetapa orang yang secara 

bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu 

ciptaan berdasar  kemampuan pikiran, imajinasi, 

kecekatan, keterampilan, dan keahlian yang dituangkan 

dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. 

Perlindungan Hak Cipta. Perlindungan terhadap suatu 

ciptaan timbul secara otomatis sejak ciptaan itu diwujudkan 

dalam bentuk nyata. Pendaftaran ciptaan tidak merupakan 

suatu kewajiban untuk memperoleh  hak cipta. Namun 

demikian, pencipta maupun pemegang hak cipta yang 

mendaftarkan ciptaannya akan mendapat surat pendaftaran 

ciptaan yang dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di 

Pengadilan jika  timbul sengketa di kemudian hari

terhadap ciptaan ini  

2. Hak Milik Perindustrian, yang terdiri dari: 

a. Paten (Patent) 

berdasar  Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 

14 Tahun 2001 tentang Paten: ―Paten yaitu  hak 

eksklusif yang diberikan negara kepada inventor atas 

hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama 

waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya ini  

atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain 

untuk melaksanakannya.‖

b. Merek (Trademark) 

berdasar  Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 

20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis:

―Merek yaitu  tanda yang dapat ditampilkan secara 

grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka,

susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 

(tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 

(dua) atau lebih unsur ini  untuk membedakan 

barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau 

badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang 

dan/atau jasa.‖

c. Desain Industri (Industrial Design) 

berdasar  Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 

Tahun 2000 tentang Desain Industri: ―Desain industri 

yaitu  suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau 

komposisigaris atau warna, atau berbentuk tiga dimensi 

atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan 

dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua 

dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu 

produk, barang komoditas industri, atau kerajinan 

tangan.‖

d. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu 

berdasar  Pasal 1 Angka 1 dan 2 Undang-Undang 

Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak 

Sirkuit Terpadu: ―Sirkuit terpadu yaitu  suatu produk 

dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya 

terdapat berbagai elemen, dan sekurang-kurangnya satu 

dari elemen ini  yaitu  elemen aktif, yang sebagian 

atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara 

terpadu di dalam sebuah bahan semi konduktor yang 

dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik 

e. Perlindungan Varietas Tanaman 

berdasar  Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 

29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman: 

―Perlindungan Varietas Tanaman yang selanjutnya 

disingkat PVT yaitu  suatu perlindungan khusus yang

diberikan negara, yang dalam hal ini diwakili oleh 

Pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor

Perlindungan Varietas Tanaman, terhadap Varietas 

Tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui 

kegiatan pemuliaan tanaman‖

f. Rahasia Dagang 

Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 30 

Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang: ―Rahasia dagang 

yaitu  informasi yang tidak diketahui oleh umum di 

bidang teknologi dan/atau bisnis, memiliki  nilai 

ekonomi sebab  berguna dalam kegiatan usaha, dan 

dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang‖.

Ruang linkup dari Hak Kekayaan Intelektual mencakup

didalamnya yaitu hak milik dalam lingkup kehidupan manusia 

seperti teknologi, ilmu pengentahuan, ataupun sebuah seni dan 

juga sastra. Kepemilikan Hak Kekyaan Inteltual bukan tertelatk 

pada sebuah barang yang dihasilan melainkan terhadap hasil 

intelektual berupa ide atau pemikiran yang memiliki kekhasan. 

Menurut W.R. Cornish, milik intelektual melindungi pemakaian 

ide dan informasi yang memiliki  nilai komersial atau nilai 

ekonomi.38 Hak Kekayaan Intelektual baru ada jika kemampuan 

intelektual manusia itu membentuk sesuatu, baik itu yang bisa dilihat, didengar, dibaca, maupun digunakan dengan praktis. 

David I. Bainbridge mengatakan: 

“Intellectual property is the collective name given to legal 

rights which protects the product of human intellect. The 

term intellectual property seem tobe the best available to 

cover the body of legal rights which arise from mental 

and artistic endeavour.” 

Dari uraian di atas maka dapat diketahui bahwa bentuk 

nyata dari karya intelektual ini  bisa di bidang tata teknologi, 

ilmu pengetahuan ataupun seni dan sastra.Sebagai suatu hak milik 

yang timbul dari karya, karsa, cipta manusia atau dapat pula 

dikatakan sebagai hak yang timbul sebab  lahir dari kemampuan 

intelektualitas manusia, maka harus diakui bahwa yang telah 

menciptakan ini  boleh menguasainya untuk tujuan yang 

menguntungkannya. Kreasi sebagai milik berdasar  postulat 

hak milik dalam arti seluasluasnya yang juga meliputi milik yang 

tidak berwujud. Esensi terpenting dari setiap bagian Hak 

Kekayaan Intelektual yaitu adanya suatu ciptaan tertentu 

(creation). 

Hak Kekayaan Intelektual, sebagai bagian dari hukum

benda (hukum kekayaan), maka pada prinsipnya yaitu 

pemiliknya bebas dalam berbuat apa saja sesuai dengan 

kehendaknya dan memberikan isi yang dikehendakinya sendiri 

pada hubungan hukumnya. Hanya di dalam perkembangan

selanjutnya kebebasan itu mengalami perubahan. Misalnya terkait 

dengan adanya suatu pembatasan berupa adanya lisensi wajib, 

pengambilalihan oleh negara, ataupun kreasi dan penciptaan tidak 

boleh bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Perubahan pengaturan ini  masih bertumpu pada sifat asli 

yang ada pada Hak Kekayaan Intelektual itu sendiri, di antaranya: 

a. memiliki  jangka waktu terbatas 

Setelah habis masa perlindungannya, ciptaan (penemuan) 

ini  akan menjadi milik umum. Namun, ada pula yang 

setelah habis masa perlindungannya bisa diperpanjang terus, 

misalnya, Hak Merek. Jangka waktu perlindungan Hak 

Kekayaan Intelektual ini ditentukan secara jelas dan pasti 

dalam undang-undangnya. 

b. Bersifat eksklusif dan mutlak 

Hak ini  dapat dipertahankan terhadap siapapun.

Pemiliknya dapat menuntut pelanggarnya. PemilikHak 

Kekayaan Intelektual memiliki  suatu hak monopoli, yaitu 

dia dapat mempergunakan haknya dengan melarang siapapun 

tanpa persetujuannya membuat ciptaan/penemuan ataupun 

memakai nya. 

c. Bersifat hak mutlak yang bukan kebendaan 

Di dalam hal pemanfaatannya, berdasar  ketentuan Pasal 

50 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa 

hak milik yaitu  hak untuk menikmati kegunaan suatu benda 

dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan 

itu dengan kedaulatan sepenuhnya asal tidak bersalahan 

dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan 

oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya dan tidak 

mengganggu hak orang lain. D. Perlindungan HaKI dalam Cyber Law

Salah satu keterkaitan teknologi informasi yang saat ini mejadi 

perhatian yaitu  pengaruhnya terhadap eksistensi Hak Atas Kekayaan 

Intelektual (HAKI), di samping terhadap bidang-bidang lain seperti 

transaksi bisnis (eletronik), kegiatan e-government, dan lain￾lain. Kasus-kasus terkait dengan pelanggaran Hak Cipta dan Merek 

melalui sarana internet dan media komunikasi lainnya yaitu  contoh 

yang marak terjadi saat ini. Di samping itu pelanggaran hukum dalam 

transaksi eletronik juga merupakan fenomena yang sangat 

mengkhawatirkan mengingat tindakan carding, hacking, cracking, dan 

cybersquating telah menjadi bagian dari aktivitas internet yang telah 

menjadikan Indonesia disorot dunia Interntional. Cyber Crime

dilakukan oleh subjek yang memakai  sarana teknologi canggih 

dan sulit dilacak keberadaannya bahkan seringkali dilakukan dari luar 

teritori Indonesia atau sebaliknya, Sehingga menjadi persoalan yang 

seringkali sulit terpecahkan.

Dalam Cyber Law, Hak Kekayaan Intelektual memiliki 

kedudukan yang sangat khusus mengingat kegiatan dalam cyber crime 

sangat lekat dengan pemanfaatan teknologi informasi berbasis pada 

perlindungan rezim hukum Hak Cipta, Merek, Paten, Rahasia Dagang, 

Desain Industri dll. Seiring dengan perkembangan zaman yang 

ditandai dengan lahirnya aktivitas virtual dan internet, hukum 

mengenai Hak Kekayaan Intelektual memperoleh  tantangan baru. 

Permasalahan yang timbul saat ini mengenai perlindungan terhadap 

program computer, dan objek hak cipta lainnya yang ada dalam 

aktivitas siber. 

berdasar  teori negara hukum yang demokratis, pengaturan 

terkait cybersquatting ditujukan tidak hanya untuk memberikan 

perlidungan dan keadilan bagi pemilk merek, melainkan juga  menguoayakan tercapainya suatu peningkatan kesejahteraan melalui 

pemakaian  merek sebagai nama domain. Keadilan bagi pemilik 

merek tetap dapat ditegakan meskipun pemakaian  merek oleh para 

cybersqutter merupakan bentuk baru pemakaian  merek yang 

memang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 

Tentang Merek (untuk selanjutnya disebut sebagai Undnag-Undang 

Merek). pemakaian  merek sebagai nama domain oleh pihak lain 

secara tabpa hak dapat terjadi sebab  ketiadaan pemeriksaan terhadap 

keniripan dalam proses pendaftaran nama domain. Cybersquatter 

memanfaatkan celah atau kelemahan dalam prinsip pendaftaran nama 

domain yang dilakukan berdasar  prinsip pendaftaran nama domain 

yang dilakukan berdasar  prinsip pendaftar pertama. 

Risiko penyalahgunaan merek dalam dunia Teknologi Informasi 

sebagai nama domain dalam prakti cybersquatting menjadi bukti 

bahwa risiko yang dihadapi pemilik merek tidak hanya dapat terjadi di 

dunai nyata dalam bentuk pelanggaran merek konvensional berupa 

pemasaran merek atau pemakaian  merek unrtuk produk palsu, 

melainkan pula risiko dalam dunia maya dalam bentuk cybersquatting

sebagai bentuk baru pelanggaran merek di internet. Menurut Eric H. 

Smith manfaat Hak Kekayaan Intelektual tidak terkecuali di dalamnya 

termasuk merek sangat erat kaitannya engan ekonomi dan investasi. 

Pelaksanaan Hak Kekayaan Intelektual akan membawa manfaat bagi 

sebuah negara, antara lain meningkatkan pertumbuhan ekonomi 

domestik.

 

Dalam praktik cybersquatting, merek menjadi obyek pelanggaran 

hak yang dilakukan oleh para cybersquatter, di Indonesia gugatan 

ganti rugi terhadap warga negara Indonesia (WNI) atau badan hukum 

Indonesia yang melakukan pelanggaran terhadap merek terdaftar 

sebagai nama domain tanpa hak dapat dilakukan dengan berdasar  

pada Undang-Undang Merek. Pengertian merek diatur dalam Pasal 1 

Angka 1 Undang-Undang Merek, yang menyatakan : 

―Merek yaitu  tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa 

gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam 

bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, 

ataui kombinasi, dari 2 (dua) atau lebih unsur ini  untuk 

membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang 

atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau 

jasa.‖

 Kata tanda dapat diartikan secara luas melalui penafsiran yang luas 

sehingga juga meliputi nama domain itu sendiri, mengingat nama 

domain juga merupakan tanda yang berfungsi sebagai penunjuk 

alamat dalam aktivitas di internet. Unsur diguakan dalam perdagangan 

barang/jasa dalam pengertian merek, harus pula diartikan bahwa nama 

domain dalam internet sebagai tempat melakukan e-commerce juga 

merupakan sarana perdagangan barang/jasa. Nama domain dalam hal 

ini dapat diibaratkan sebagai took virtual tempat melakukan kegiatan 

jual beli, penawaran, bahkan tanda tangan kontrak dalam suatu proses 

transaksi jual beli barang/jasa. 

 pemakaian  merek terdaftar milik orang lain sebagai suatu nama 

domain tanpa izin juga harus dikualifikasikan sebagai perbuatan yang 

dilakukan drngan itikad buruk sebagaiman diatur dalam Pasal 21 ayat 

(3) Undang-Undang Merek mengingat bahwa dengan perbuatan 

ini  dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan secara tidak 

jujur dengan memanfaatkan reputasi merek orang lain dengan

melakukan penyesatan terhadap kinsumen. Adanya usaha  untuk 

mendaftarkan suatu merek dari suatu nama domain yang dilakukan 

setelah suatu nama domain terdaftar lebih dahulu, membuat ketentuan 

tentang itikad baik ini sangat relevan untuk dikaji agar pendaftaran 

merek dari suatu nama domain hasil cybersquatting dapat ditolak 

sebab  melanggar prinsip itikad baik. 

 Terkait hal ini  bagi yang merasa dirugikan dapat menempuh 

usaha  hukum melalui gugatan ganti rugi perdata, hak untuk 

melakukan gugatan ganti rugi perdata terhadap pelanggaran merek 

diatur dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Merek yang pada 

pokoknya menyebutkan bahwa pemilik merek terdaftar dan/atau 

penerima Lisensi Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap 

pihak lain yang secara tanpa hak memakai  Merek yang 

memiliki  persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk 

barang dan/atau jasa yang sejenis, berupa gugatan ganti rugi dan/atau 

pengehentian semua perbuatan yang berkaitan dengan pemakaian  

merek ini . Dengan rumusan yang jelas ini , maka rumusan 

dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Merek menjadi dapat 

diharmonisasikan dengan Pasal 38 ayat (1) Undnag-Undang ITE yang 

pada pokoknya menyebutkan bahwa setiap orang dapat mengajukan 

gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan system elektronik 

dan/atau memakai  teknologi informasi yang menimbulkan 

kerugian., sehingga maksud pengaturan dalam Undang-Undang ITE 

dapat secara nyata dirumuskan oleh Undang-Undnag Merek.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan 

konsumen telah mengatur mengenai pengertian perlindungan 

konsumen yakni terdapat di pasal 1 angka 1 yang berbunyi 

―Perlindungan Konsumen yaitu  segala usaha  yang menjamin adanya 

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada Konsumen.‖ 

Pengertian perlindungan Konsumen terdapat dalam pasal ini , 

dirasa cukup memadai. Kalimat yang menyatakan ―segala usaha  yang 

menjamin adanya kepastian hukum‖, menjadi harapan untuk dapat 

meniadakan tindakan sewenang-wenang yang justru dapat merugikan 

pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan Konsumen, 

begitu pula sebaliknya menjamin kepastian hukum bagi konsumen. 

 

Kepastian hukum dilakukan guna melindungi hak-hak konsumen, 

yang diperkuat melalui undang-undang khusus tersendiri, memberikan 

harapan agar pelaku usaha tidak dapat bertindak sewenang-wenang 

yang selalu merugikan hak konsumen. Dengan dibentuknya Undang￾undang perlindungan konsumen beserta perangkat hukum lainnya, 

konsumen memiliki hak dan posisi yang sama serta berimbang, 

mereka pun bisa menggugat maupun menuntut jika suatu saat ternyata 

hak-hak konsumen telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha. 

Berbicara mengenai konsumen, Undang-undang Nomor 8 Tahun 

1999 tentang perlindungan konsumen telah mencantumkan pengertian 

konsumen yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang 

tersedia dalam warga , baik bagi kepentingan diri sendiri,

keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk 

diperdagangkan. sebab  posisi konsumen yang lemah maka ia harus 

diberikan perlindungan oleh hukum. 

Prinsip kedudukan konsumen dalam hubungan dengan pelaku 

usaha antara lain prinsip let the buyer beware, kedudukan pelaku 

usaha berada di posisi seimbang dengan konsumen. Prinsip the due 

care theory, pelaku usaha memiliki  kewajiban untuk berhati-hati 

dalam memasarkan suatu produk, baik berupa barang maupun jasa. 

Selama berhati-hati dengan produknya, pelaku usaha tidak dapat 

dipersalahkan. Prinsip the privity of contract pelaku usaha memiliki  

kewajiban melindungi konsumen, namun hal ini  dilakukan bila 

diantara mereka terjadi suatu hubungan kontraktual. 

Az. Nasution mendefinisikan Perlindungan Konsumen yaitu  

suatu bagian dari hukum yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah 

yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi 

kepentingan Konsumen. Adapun hukum Konsumen diartikan sebagai 

keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur 

hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain yang 

berkaitan dengan barang dan/atau jasa Konsumen dalam pergaulan 

hidup. 

Perlindungan konsumen merupakan hal yang sangat perlu untuk 

terus dikembangkan sebab  berkaitan dengan usaha  mensejahterakan 

warga  dalam kaitan dengan semakin berkembangnya transaksi 

perdagangan di era serba modern saat ini. Perhatian mengenai 

perlindungan konsumen ini bukan hanya di Indonesia namun telah 

menjadi perhatian dunia. 

Hukum Perlindungan Konsumen secara umum bertujuan untuk 

memberikan perlindungan bagi konsumen baik dalam bidang hukum 

privat maupun bidang hukum publik. Kedudukan Hukum  Perlindungan Konsumen berada dalam kajian Hukum Ekonomi. 

berdasar  ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK, perlindungan 

konsumen yaitu  ―Segala usaha  yang menjamin adanya kepastian 

hukum untuk memberi perlindungan hukum kepada konsumen‖ 

Kalimat yang menyatakan ―segala usaha  yang menjamin adanya 

kepastian hukum‖, diharapkan menjadi benteng untuk meniadakan 

tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi 

untuk kepentingan perlindungan konsumen. 

berdasar  pemahaman bahwa perlindungan konsumen 

mempersoalkan perlindungan hukum yang diberikan kepada 

konsumen dalam usahanya untuk memperoleh barang atau jasa dari 

adanya kemungkinan kerugian, maka. Hukum perlindungan konsumen 

dapat dikatakan sebagai hukum yang mengatur tentang pemberian 

perlindungan terhadap konsumen sebagai pemenuhan kebutuhannya 

terhadap konsumen Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen 

mengatur hak dan kewajiban produsen, serta cara-cara untuk 

mempertahankan hak dan kewajiban itu.43 Dalam berbagai litelatur 

ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum yang 

mempersoalkan konsumen, yaitu hukum konsumen dan hukum 

perlindungan konsumen. Az. Nasution berpendapat bahwa kedua 

istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen yaitu  

bagian dari konsumen. Hukum Konsumen menurutnya yaitu  

―Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur 

hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan 

dengan barang dan/atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup‖. 

Makna dari kata ―keseluruhan‖ bermaksud untuk menggambarkan 

bahwa didalamnya termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi termasuk didalamnya, baik aturan hukum pidana, 

perdata, administrasi negara hingga aturan hukum internasional. 

Sedangkan cakupannya yaitu  ‖hak dan kewajiban serta cara-cara 

pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya‖, 

yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk memperoleh  

kebutuhannya dari produsen, meliputi : hak atas informasi yang 

diterima, memilih harga, hingga akibat-akibat yang timbul sebab  

pemakaian  kebutuhan itu, misalnya untuk memperoleh  penggantian 

kerugian. Sedangkan bagi produsen meliputi kewajiban yang 

berkaitan dengan produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan 

produk, serta akibat dari pemakaian produk itu. Dengan demikian, jika 

perlindungan konsumen diartikan sebagai segala usaha  yang 

menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai 

wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan 

konsumen tidak lain yaitu  hukum yang mengatur usaha -usaha  untuk 

menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan 

konsumen. 

B. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen 

Pada dasarnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang 

menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, 

yakni: 

Pertama, Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari 

segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa 

pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan warga  adil 

dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui 

sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu 

menumbuhkan dan mengemb