pidana narkotik
Kejahatan narkotikatermasuk extra ordinary crimeatau kejahatan luar biasa,
sehingga membutuhkan usaha yang luar biasa untuk memberantasnya. Tindak
pidana narkotika yang telah bersifat trasnasional yang dilakukan dengan
modusoperandi yang terus berkembang telah menimbulkan korban yang begitu luas
yang merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.Penyalahguna Narkotika yang
sebagian besar merupakan generasi muda bangsa (kalangan usia produktif) telah
pada tahap sangat mengkhawatirkan, sehingga tidak heran pada tahun 2015
Indonesia telah dinyatakan darurat narkoba. Indonesia merupakan Negara terbesar
ketiga dalam skala peredaran narkobanya setelah Kolombia dan Meksiko1
.
Narkotika yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnyarasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini
.
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan Narkotika maupun
peredaran gelap Narkotika Pemerintah dengan persetujuan DPR pada tanggal 12
Oktober 2009 telah mensahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35
tahun 2009 tentang Narkotika. Hal yang khusus dalam undang-undang ini yaitu
diterapkannya pemberatan sanksi pidana salah satunya dalam bentuk sanksi pidana
minimum khusus dengan tujuan untuk memberikan efek jera terhadap para
pelakunya.
Pasal 111 dan 112 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
memuat mengenai lamanya ancaman pidana (strafmaat) berupa penjara dan denda
minimum dan maksimum. Sistem penjatuhan pidana seperti ini (dalam Undang Undang ini) bertujuan untuk memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana
narkotika.
Dalam pasal 111 yang terdiri dari 2 (dua) ayat memuat ancaman pidana
minimum berupa penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp.
800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) serta ancaman pidana maksimum
berupaberupa penjara seumur hidup atau 20(dua puluh tahun) dan denda
maksimum sebagaimana dimaksud ayat 1 ditambah 1/3. Hal sama termuat dalam
ancaman pidana dalam pasal 112.
Bahwa dalam persidangan seringkali Oditur Militer mendakwa dengan pasal 111
atau pasal 112, akan tetapi dalam fakta bersidangan ternyata diketemukan bahwa
Terdakwa hanya seorang pemakai dan barang bukti Narkotika yang dimiliki yaitu
relatif kecil semisal dibawah 1 (satu) gram untuk metampethamin (shabu). Bahwa
semestinya Oditur juga mendakwaakan dengan pasal alternatif yaitu pasal 127,
akan tetapi justru pasal ini tidak didakwakan oleh Oditur Militer. Mengenai hal ini
apakah dalam penjatuhan putusan tetap menerapkan ketentuan pidana minimum
khusus ? ataukah ketentuan pidana minimum khusus ini dapat disimpangi ?
atau justru putusan Majelis Hakim keluar dari surat dakwaan dengan menerapkan
pasal 127 atau juga berupa pembebasan ?.Bahwa mengenai hal ini kita harus
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Mahkamah Agung yang
termuat dalam Surat Edaran (SE) yang kemudian dijadikan pedoman dalam
penanganan perkara di Mahkamah Agung.
Sistem penjatuhan pidana minimum khusus yang dianut dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bertujuan untuk memberikan efek jera
kepada para pelaku tindak pidana narkotika. Hal ini didasari akan bahaya yang
ditimbulkan dari kejahatan narkotika yang mengancam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Korban yang meluas sebagai akibat dari kejahatan narkotika menjadi
perhatian yang serius bagi negara tentang bagaimana cara mengatasinya.
Formulasi penerapan penjatuhan pidana yang menganut sistem minimal khusus
harus tepat sasaran. Disamping untuk memberikan efek jera, undang-undang ini
memberikan perlindungan bagi pelaku yang dikonotasikan sebagai “korban” yang
juga menjadi tujuan dibentuknya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika (penyalahguna dan pecandu narkotika) 3
. Penerapan sanksi hukumnya
juga harus tepat dengan melihat tujuan dibentuknya undang-undang itu sendiri.
JPU/Oditur Militer sering hanya membuat dakwaan tunggal pasal 111 atau 112,
yang kadangkala berbeda dengan fakta hukum yang ditemukan dalam persidangan
yang justru lebih mengarah kepada pasal 127. Sebagai contoh seseorang yang saat
tertangkap tangan yang bersangkutan kedapatan barang bukti pemakaian untuk
sehari yang relatif kecil di bawah 1 (satu) gram untuk metamphetamin (shabu).
Barang bukti yang berada dalam penguasaan Terdakwa menjadikan JPU/Oditur
Militer lebih mudah menerapkan pasal 112 (bukan pasal 127). Bagaimana Hakim
dalam penjatuhan putusannya ?
Hal ini memberikan pilihan yang sulit bagi Hakim karena harus selalu mendasari
kepada dakwaan. bila rumusan hukum terpenuhi (unsur memiliki, menyimpan,
menguasai dalam pasal 111 atau 112), maka sesuai ketentuan Undang-Undang
penjatuhan pidananya harus memperhatikan ketentuan ancaman pidana minimum
khusus dan maksimum khusus. Hal ini sangat dilematis bila dihadapkan dengan
tujuan Undang-undang itu sendiri yang juga bertujuan memberikan perlindungan
hukum bagi pelaku yang dikategorikan sebagai penyalahguna atau pecandu karena
harus dijatuhi pidana minimal 4 (empat) tahun4
. Pada saat tertangkap tangan yang
bersangkutan kedapatan Barang bukti pemakaian untuk sehari yang relatif kecil
Dari penjabaran di atas, menimbulkan pertayaan yang dapat dirumuskan
sebagai berikut : “Bagaimana penjatuhan pidana di bawah stafmaat minimal khusus
dalam pasal 111 dan 112Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika,
1. Instrumen Hukum Tindak Pidana Narkotika.
Masalah penyalahgunaan Narkotika dalam kurun dasawarsa terakhir ini
sangat mengkhawatirkan, bahkan sejak tahun 2015 pemerintah menetapkan
Indonesia dalam keadaan darurat Narkotika. Hal ini dapat dimengerti mengingat
angka penyalahgunaan Narkotika semakin meningkat tiap tahunnya. Pada
pertengahan Juni 2015 angka pengguna narkotika mencapai 4,2 juta jiwa dan
terus meningkat sampai bulan November 2015 mencapai 5,9 juta jiwa,
.
Sebenarnya mengenai bahaya narkotika tidak hanya menjadi
permasalahan bagi bangsa Indonesia akan tetapi sudah merupakan
keprihatinan internasional, oleh karena itu kebijakan penanggulangan narkotika
di Indonesia selalu disinergikan dan dintegrasikan dengan kebijakan
Internasional. Tentu kita masih ingat bahwa Indonesia pernah mengikuti
konvensi tunggal tentang narkotika di New York tahun 1961, yang hasil konvensi
ini diratifikasi oleh Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 8 tahun
1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika Tahun 1961 beserta
protokol yang mengubahnya. Pemerintah kemudian mengeluarkan Undang Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika sebagai pengganti
Verdoovende Middelen Ordonnatie (Stbl 1927 Nomor 278 joNomor 536) yang
merupakan peraturan perundang-undang peninggalan Kolonial Belanda yang
dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kemajuan teknologi dan
perkembangan jaman.
Instrumen hukum yang dikeluarkan selanjutnya yaitu Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang ini menghapus
pemberlakuan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika yang
dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi
yang berkembang untuk menanggulangi kejahatan ini 8
. Hal yang perlu
dicatat dalam Undang-Undang ini yaitu sudah diterapkannya pengaturan
tentang minimum pidana khusus seperti dalam ketentuan pidana pasal 78
sampai dengan pasal 83 dan pasal 87 yang pada pokoknya bersifat pemberatan
hukumannya yang dapat diterapkan dalam kondisi tertentu semisal perbuatan
ini diawali dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisir atau
oleh korporasi.
Keberadaan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 dalam
perkembangannya dirasakan belum memenuhi harapan warga , bangsa
dan Negara. Tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan
dengan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan
organisasi yang luas dan sudah banyak menimbulkan banyak korban, terutama
di kalangan generasi muda bangsa, sehingga Undang-undang ini
dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi
yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana
ini .
Dalam sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas
Udang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika9
.
Tindak pidana narkotika yang kecenderungannya terus mengalami
peningkatan serta menimbulkan korban yang sangat luas terutama bagi
generasi muda harapan bangsa serta untuk pengenaan efek jera terhadap
pelaku penyalahgunaan narkotika melahirkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Keberadaan Undang Undang ini sendiri telah mencabut keberadaan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997 dan lampiran mengenai jenis psikotropika golongan I dan golongan
II dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
Penekanan mengenai efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika, maka dalam Undang-Undang
ini diatur mengenai adanya pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk
pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh tahun), pidana penjara
seumur hidup maupun pidana mati. Pemberatan pidana ini dilakukan
dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran dan jumlah
Narkotika10.Pasal-pasal mengenai ketentuan ancaman pidana dalam Undang Undang ini terdapat dalam pasal 111 sampai dengan pasal 148.
2. Minimum pidana khususdalam pasal 111 dan 112 Undang-Undang
Narkotika.
Narkotika sebenarnya sangat dibutuhkan dalam bidang pengobatan atau
pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, akan tetapi dapat
menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan bila digunakan
dandisalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan.
Namun demikian masih tetap terjadi penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana narkotika baik yang
dilakukan secara oleh individu maupun korporasi, padahal instrumen hukum
yang mengaturnya sudah sedemikian rupa beratnya.
Undang-Undang sendiri tidak menguraikan secara jelas mengenai pelaku
tindak pidana narkotika, undang-undang hanya menyebutkan tentang
penyalahguna narkotika sebagaimana tertuang dalam Bab I Ketentuan Umum
angka 15. Dalam Bab ini juga disebutkan istilah tentang pecandu
narkotika, ketergantungan narkotika.
Pecandu narkotika yaitu orang yang penggunakan atau menyalahgunaan
narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik secara fisik
maupun psikis
.
Ketergantungan narkotika yaitu kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk
menggunakan narkotika secara terus menerus dnegan takaran yang meningkat
agar menghasilkan efek yang sama dan bila penggunaannya dikurangi
dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang
khas
.
Penyalah Guna yaitu orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan
melawan hukum
.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam beberapa
pasal telah menerapkan penjatuhan minimum pidana khusus seperti yang
terdapat dalam beberapa pasal yaitu pasal 111 s.d. pasal 126, pasal 129, 133,
135 s.d. 137, 139 s.d. 141, 143 s.d 147. Penerapan sistem pidana minimum
bertujuan untuk memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana
narkotika.
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa sistem pidana minimum
khususmerupakan suatu pengecualian, yaitu untuk delik-delik tertentu yang
dipandang sangat merugikan, membahayakan atau meresahkan warga
dan delik-delik yang dikualifikasir oleh akibatnya (Erfolsqualifizierte delikte)
sebagai ukuran kuantitatif yang dapat dijadikan patokan bahwa delik-delik yang
diancam dengan pidana penjara di atas 7 (tujuh) tahun yang dapat diberi
ancaman minimum khusus, karena delik-delik itulah yang digolongkan sangat
berat
Sistem pemidanaan pada tindak pidana narkotika menetapkan ancaman
minimum khusus dan maksimum khusus, baik mengenai pidana penjara
maupun pidana dendanya.Namun dalam pasal tertentu juga menetapkan
ancaman pidana maksimum saja seperti yang diatur dalam KUHP (semisal
pasal 127, 131, 134 dan 138).Maksimum khusus pidana penjara dalam tindak
narkotika yang diancamkan jauh melebihi maksimum umum dalam KUHP (15
tahun), yakni paling tinggi sampai 20 tahun. Dalam menjatuhkan pidana penjara
sampai melebihi batas maksimum 15 (lima belas) tahun yakni 20 (dua puluh
tahun) diperbolehkan dalam KUHP dalam hal bila terjadi pengulangan atau
perbarengan (karena dapat ditambah sepertiganya) atau tindak pidana tertentu
sebagai alternatif dari pidana mati semisal dalam pasal 104, 340, 365 ayat 4
KUHP. Dalam tindak pidana narkotika ancaman maxsimum khusus untuk paling
lama 20 (dua puluh) tahun tidak harus dengan pengulangan atau perbarengan,
tetapi sudah ditentukan dalam pasal tertentu seperti dalam pasal 114.
Sedangkan untuk ketentuan pidana minimum umum dalam KUHP yaitu 1
(satu) hari15. Hal ini berbeda dengan ketentuan pidana minimal khusus dalam
Undang-Undang Narkotika yang yang sudah ditentukan dalam bunyi pasalnya
seperti pidana minimal khusus selama 4 (tahun) untuk pasal 111 atau pasal 112.
Bahwa dalam pembahasan kali ini akan menguraikan tentang penerapan
sistem pidana minimum dalam pasal 111 dan pasal 112 dikaitkan dengan
bagaimana penjatuhan pidana dalam putusan pengadilan.Ketentuan pasal 111
dan 112 menyebutkan sebagai berikut :
Pasal 111
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I
dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 112
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Bahwa dalam pasal ini dapat ketentuan minimum khusus sebagai
berikut :
3. Penjatuhan Putusan Hakim
Dalam memeriksa dan memutus suatu perkara Hakim selalu
mendasarkankepada dakwaan Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer. Hal ini
menegaskan bahwa dakwaan memiliki tempat yang penting karena disamping
menjadi dasar pemeriksaan di sidang pengadilan, juga menjadi dasar bagi
hakim dalam memutus perkara yang bersangkutan. Pemeriksaan dan putusan
hakim terbatas pada apa yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer.
Pasal 182 ayat (4) KUHAP dan pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menegaskan bahwa dalam pelaksanaan
musyawarah untuk pengambilan suatu keputusan harus mendasari kepada surat
dakwaan.
Musyawarah ini pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan
dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang
.
Musyawarah ini pada ayat (1) harus didasarkan atas surat dakwaan
dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang
.
Bahwa dalam rumusan hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung yang
dituangkan dalam Surat Edaran Nomor 7 tahun 2012 dalam rumusan bidang
Pidana ditegaskan dalam salah satu poinnya bahwa Hakim dalammemeriksa
dan memutus perkaratetap berpedomanpada surat dakwaan
.
Bahwa seringkali Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer dalam membuat
surat dakwaan tidak sesuai dengan fakta persidangan yang muncul, Hal ini
menimbulkan dilema bagi Hakim dalam memutus perkara disatu sisi harus
memutus berdasar dakwaan, akan tetapi fakta persidangan berkata lain.
Bahwa sering kali Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer menghadapkan
terdakwa dengan dakwaan tunggal melanggar pasal 111 atau pasal 112
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu tanpa hak dan
melawan hukummenanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman (pasal 111) atau
bukan tanaman (pasal 112). Fakta persidangan menunjukkan Terdakwa ini
menguasai atau memiliki narkotika golongan I baik dalam bentuk tanaman atau
bukan tanaman yang dipergunakan sendiri dan dalam jumlah yang relatif sedikit.
Pengertian relatif sedikit tentunya mengacu kepada Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 4 Tahun 2010 yang pada saat tertangkap tangan menyatakan
ukuran pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain untuk ganja seberat
5 (lima) gram atau metamphetamin (shabu) sebesar 1 (satu) gram.
Lebih jelasnya dapat dilihat dalam rumusan pasal 111 ayat (1) yaitu :
“Setiap orang yang hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk
tanamandipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)19
.
Dalam ayat (2) menyebutkan : Dalam hal perbuatan menanam,
memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)
Sedangkan rumusan dalam pasal 112 ayat (1) yaitu sebagai berikut
:Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanamandipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”
Dalam ayat (2) menyebutkan : “Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)”
Akan tetapi pada kenyataannya Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer tetap
mendakwa dengan dakwaan tunggal pasal 111 atau pasal 112 saja, dan bukan
dakwaan alternatif dengan menambahkan pasal 127 didalamnya. Menghadapi
persoalan semacam ini bagaimana tanggapan Majelis Hakim dalam
Putusannya?.
Dalam membuat surat dakwaan, Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer
seringkali menggunakan pasal 111 maupun pasal 112 Undang-Undang
Nomor35Tahun 2009 tentang Narkotika untuk mendakwa pelaku tindak
pidanapenyalahgunaan narkotika dengan barang bukti yang ditemukan pada
saat penangkapan diperkirakan cukup untuk dipakai sehari (mengacu kepada
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010)23
.
Dengan menggunakan pasal 111 atau pasal 112 terhadap
pelakupenyalahgunaan narkotika ini , maka akan mengakibatkan para
penyalahguna narkotika ini akan dipidana minimal 4 (empat)
tahunpenjara ditambah dengan denda yang bila tidak dibayar, maka akan
diganti denganhukuman penjarapaling lama 2 (dua) tahun sebagai pengganti
denda yang tidak dapat dibayar
.
Formulasi pasal 111 dan 112 yang menggunakan kata-kata “memiliki,
menyimpan,menguasai,”yang memungkinkan setiap pelakupenyalahguna
narkotika terjerat denganketentuan kedua pasal ini , bila JPU/Oditur
Militer hanya menerapkan dakwaan tunggal 111 atau 112 saja.Penerapan
ketentuan Pasal 127 mengenai dalam keadaan bagaimana dan
kriteriaseseorang dapatdikatakansebagai penyalahguna atau pemakai
narkotikasebenarnya sering diabaikan JPU/Oditur Militer, sehingga lebih
mudah dan praktis bagi Jaksa/Oditur hanya dengan mendakwa dengan
dakwaan tunggal saja (pasal 111 atau 112). Hal ini mengakibatkan
banyaknya penyimpangan dalampenerapan pasal 127, sehingga orang yang
seharusnya dihukum sebagai pemakai malah dikenakan pasal dengan
kategori memiliki atau menguasai yang mengakibatkan penjatuhan hukuman
yang tidak tepat sasaran dimana seseorang ini seharusnya hanya
dikenai ancaman maksimal sampai 4 (empat) tahun (dalam pasal 127),akan
tetapi malah didakwa dengan pasal 111 atau 112 yang ancaman hukumnya
penjara minimal khusus 4 (empat) tahun.
Bahwa dalam putusan dalam tingkat kasasi sering ditemui beberapa
perbedaan sikap Hakim Agung terkait hal ini . Ada yang menyimpangi
dakwaan dengan memutus dengan pasal 127 (yang tidak didakwakan) dan ada
juga yang tetap menerapkan penjatuhan putusan mendasari Surat Dakwaan
(yang artinya tetap memutus sesuai pasal 111 atau 112), akan tetapi mengenai
penjatuhan pidananya di bawah (staafmaat) minimal khusus, bahkan ada yang
justru membebaskan Terdakwa.
Mahkamah Agungdalam Putusannya Nomor 2089
K/Pid.Sus/2011justrudalam kasus seperti ini pernah membebaskan seorang
Terdakwa, karena dalam fakta persidangan Terdakwa terbukti merupakan
penyalahguna (pasal 127) dan tetapi Terdakwa hanya didakwa dakwaan tunggal
pasal 112. Pasal 127 ini tidak didakwakan oleh JPU, sehingga hal ini
menjadi pertimbangan dalam putusan Mahkamah Agung untuk membebaskan
Terdakwa. Putusan ini sekaligus membatalkan putusan pengadilan negeri yang
sebelumnya dikuatkan pengadilan tinggi yang menghukum terdakwa dengan
pasal penyalahguna (pasal 127) yang tidak didakwakan Penuntut Umum
.
Namun satu hal yang khusus dalam putusan ini ada salah satu Hakim
Agung yang berbeda pendapat (dissenting opinion), dengan salah satu
pertimbangannya yaitu perbuatan Terdakwa sebelum atau pada saat
menghisap shabu-shabu dapat diartikan telah menguasai shabu-shabu ini .
Tidaklah mungkin Terdakwa dapat menghisap shabu-shabu ini walaupun
sebentar tanpa menguasai shabu-shabu ini terlebih dahulu. Arti
menguasai dalam unsur ini harus diartikan secara luas termasuk pada saat ia
menghisap, yang kemudian berpendapat Terdakwa tetap dapat dinyatakan
terbukti atas pasal yang didakwakan namun dengan hukuman yang jauh
dibawah ancaman minimumnya,
Bahwa mengenai hal ini (dakwaan tunggal pasal 111 atau 112 tetapi fakta
di persidangan memenuhi rumusan pasal 127 yang tidak didakwakan) telah
menjadi salah satu pembahasan permasalahan hukum (questions of law)dalam
dalam rapat Pleno Kamar Bidang Pidana pada tanggal 9 s.d 11 Desember 2015
yang diselenggarakan di Hotel Mercure. Dalam rapat pleno dalamsalahsatu
poinnya disepakati bila Jaksa mendakwa dengan pasal 111 atau 112, namun
berdasar fakta hukum persidangan terbukti pasal 127 (pasal ini tidak
didakwakan), maka Hakim memutus sesuai Surat Dakwaan tetapi dapat
menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus dengan membuat
pertimbangan yang cukup.
Hasil Rapat Pleno ini kemudian dituangkan dalam SEMA Nomor 3 Tahun
2015 tentang Pemberlakuan Hasil Pleno Rapat Kamar Mahkamah Agung Tahun
2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
Lebih jelasnya dapat kami kutip dalam salah satu rumusan hukum Kamar
Pidana dalam poin 1 tentang narkotika yaitu : “Hakim memeriksa dan memutus
perkara harus berdasar surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (pasal 183
ayat 3 dan 4 KUHAP). Jaksa mendakwa dengan pasal 111 atau 112 Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika namun berdasar fakta
hukum yang terungkap di persidangan terbukti pasal 127 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mana pasal ini tidak didakwakan
Terdakwa terbukti pemakai yang jumlahnya relatif kecil (SEMA Nomor 4 tahun
2010), maka Hakim memutus sesuai Surat Dakwaan tetapi dapat menyimpangi
ketentuan pidana minimum khusus dengan membuat pertimbangan yang
cukup”27
.
Bahwa pada dasarnya rumusan hukum ini diberlakukan sebagai
pedoman dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung dan Pengadilan
Tingkat Pertama dan Banding sepanjang substansi rumusannya berkenaan
dengan kewenangan peradilan tingkat pertama dan banding28
.
Bahwa rumusan hukum ini telah menghilangkan kebimbangan bagi
Hakim dalam memutus perkara terutama mengenai dakwaan tunggal pasal 111
atau 112, sedangkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan yaitu
pasal 127. Yang pada pokoknya sepanjang pada saat tertangkap tangan barang
bukti narkotika yang ditemukan untuk pemakaian hari itu relatif kecil
(berpedoman pada SEMA Nomor 4 Tahun 2010), maka dapat diterapkan
panjatuhan pidana di bawah stafmaat minimal khusus dengan tetap mendasari
pada dakwaan terpenuhinya rumusan unsur pasal 111 atau 112 ini .
Bahwa JPU/Oditur Militer memiliki kewenangan dalam membuat surat
dakwaan dan dakwaan ini menjadi dasar dalam pemeriksaan persidangan.
Hakim dalam memeriksa suatu perkara harus selalu berpedoman dalam
dakwaan.
Bahwa seringkali JPU/Oditur Militer membuat dakwaan tunggal pasal 111
atau 112, padahal fakta persidangan berkata lain (seharusnya pasal 127).
Dalam hal ini akan timbul ketidakadilan, dimana Terdakwa yang semestinya
sebagai pemakai, tetapi baginya diterapkan pasal 111 atau 112 yang dari sisi
ancaman hukuman lebih berat, apalagi dalam pasal ini mengatur
mengenai minimum pidana khusus. Dari sisi kepastian hukum pasal 111 atau
112 yang dalam formulasi rumusan unsurnya menggunakan kata “memiliki,
menyimpan, menguasai” bagi seorang pelaku, akan dengan mudah terpenuhi.
Seorang yang menyalahgunakan narkotika/pemakai rata-rata “pasti” akan
memenuhi unsur memiliki, menyimpan, menguasai” bila ditemukan barang
bukti narkotika pada dirinya. Sesuai SEMA Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun
2010 bila kedapatan saat tertangkap tangan ditemukan pemakaian untuk
satu hari dalam relatif kecil, maka dapat dianggap sebagai penyalahguna yang
pada dasarnya merupakan korban dari penyalahgunaan narkotika itu sendiri,
bahkan dan dapat memperoleh rehabilitasi medis maupun sosial. Disini akan
terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan itu sendiri, karena
sudah pasti rumusan pasal ini akan terpenuhi yang bila diterapkan
ancaman minimalnya lebih berat dan ini tentu saja menciderai keadilan sebagai
tujuan hukum sendiri. Sekarang kita dihadapkan pada satu pilihan, apakah
berada di jalur yang aman dengan menjatuhkan pidana sesuai ketentuan pasal
111 atau 112, atau justru menyimpangi ketentuan stafmaat minimal khususnya.
Kita harus memilih antara kepastian hukum atau keadilan itu sendiri. Siapa yang
memutuskan tentu saja Hakim itu sendiri !
Harifin Andi Tumpa (Ketua Mahkamah Agung periode 2009 s.d 2012)
mengatakan hakim bisa menjatuhkan hukuman kepada terdakwa di bawah
batas minimal yang telah ditentukan dalam undang-undang.Langkah itu
dilakukan untuk memenuhi rasa keadilan warga ."Apa yang ditentukan
undang-undang wajib dilaksanakan. Tapi tentu hakim itu bukan hanya corong
dari undang-undang melainkan dia juga harus mempertimbangkan rasa keadilan
di warga "
.
Tindakan penjatuhan pidana di bawah stafmaat minimum khusus dalam
tindak pidana narkotika pasal 111 dan 112 bukan merupakan suatu
pengingkaran terhadap asas nulla poena sine lege (asas legalitas), karena hal
ini dilakukan untuk mewujudkan suatu keadilan bagi terdakwa dan
warga . Dan bila terjadi pertentangan antara suatu keadilan dan
penegakan hukum, maka rasa keadilan harus lebih diutamakan. Apalagi
Mahkamah Agung sudah mengeluarkan rumusan hukum mengenai hal ini
dalam SEMA Nomor 3 tahun 2015, yang rumusan hukum ini diberlakukan
sebagai pedoman dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung dan
Pengadilan Tingkat Pertama dan Banding sepanjang substansi rumusannya
berkenaan dengan kewenangannya.