Dalam undang-undang nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah
dicantumkan berbagai macam sansi pidana, baik pidana penjara, pidana denda,
hingga pidana mati. Dalam konteks ini Indonesia telah memutuskan beberapa
perkara terkait dengan penyalahgunaan narkotika dengan putusan pidana mati.
Ada kurang lebih 64 orang yang telah dijatuhi pidana mati oleh pengadilan,
beberapa diantaranya telah dieksekusi dan yang lainnya masih menunggu
pelaksanaan eksekusi selanjutnya. Tahun 2015 dan 2016, misalnya, masing masing ada 14 dan 16 orang yang dieksekusi pidana mati. Sedangkan pelaku
yang eksekusinya ditunda hingga saat ini masih tersisa 14 orang. Narapidana yang
dieksekusi mati di Pulau Nusakambangan pada tahun 2015 yaitu Andrew Chan dan
Myuran Sukumaran (Australia); Martin Anderson, RaheemA Salami, Sylvester Obiekwe,
dan Okwudilli Oyatanze (Nigeria); Rodrigo Gularte (Brasil); serta Zainal
Abidin(Indonesia); dari 8 (delapan) orang terpidana mati, 7 (tujuh) diantaranya yaitu
berkebangsaan asing dan seorang WNI.
Penerapan sanksi pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkotika ini
nampaknya belum sepenuhnya memberi efek jera. Buktinya setiap tahun selalu
ada peningkatkan jumlah kasus penyalahgunaan narkotika. Data tahun 2011
tercatat 36.589 tersangka, tahun 2012 tercatat 35.453 tersangka, dan tahun 2013
tercatat 43.767 tersangka. Adapun jenis narkotika yang paling banyak
disalahgunakan yaitu ganja, shabu, dan ektasi. Kurang lebih 40-50 pengguna
meninggal setiap hari karena narkoba. Kerugian negara baik dalam bentuk
peerekonomian maupun sosial ditengarai mencapai Rp.63 Trilyun per tahun.1
Dari gambaran di atas penyalahgunaan dan tindak pidana narkotika telah
berada pada tingkat yang membahayakan, karena di samping merusak fisik dan
mental juga mempengaruhi kehidupan sosial warga yang pada gilirannya
dapat mengganggu sendi-sendi keamanan nasional dalam rangka pembangunan nasional menuju warga yang adil dan makmur seperti yang dicita-citakan
dalam tujuan negara yang tercantum pada Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 alinea keempat. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa tindak pidana
narkotika berdampak sosial, ekonomi, dan keamanan nasional, sehingga hal ini
merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara.
Dengan demikian narkotika dapat menjadi menghambat pembangunan
nasional yang beraspek materiel-spiritual. Bahaya pemakaian narkotika sangat
besar pengaruhnya terhadap negara, jika sampai terjadi pemakaian narkotika
secara besar-besaran di warga , maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa
yang sakit, bila terjadi demikian negara akan rapuh dari dalam karena
ketahanan nasional merosot.2 Oleh karena itu sangat beralasan jika kemudian
peredaran narkoba harus segera dicarikan solusi yang rasional, karena sudah jelas
tindak pidana narkotika merupakan problema sosial yang dapat mengganggu
fungsi sosial dari warga . Selain itu, tindak pidana narkotika pada umumnya
tidak dilakukan oleh perorangani, melainkan dilakukan secara bersama-sama
bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi. Salah satu usaha rasional yang
digunakan untuk menanggulangi peredaran narkoba yaitu dengan pendekatan
kebijakan hukum pidana.
Khusus untuk kasus tindak pidana narkoba, sejak tahun 1999-2006,
tercatat yang dijatuhi hukuman mati sebanyak 63 orang, terdiri dari 59 orang laki laki dan 4 orang wanita dari berbagai kebangsaan (paling banyak Nigeria: 9
orang). Kemudian yang telah dieksekusi mati dalam kurun waktu 10 tahun (1994-
2004) baru 2 (dua) orang, yaitu tahun 1994, terpidana mati Steven (warga negara
Malaysia) dan tahun 2004, Ayoodhya Prasaad Chaubey (warga negara India).
Untuk terpidana mati kasus tindak pidana narkoba sebanyak 63 orang dan telah
dieksekusi mati 3 orang, sehingga yang masih menunggu masih sejumlah 60
orang.3 Adanya ancaman pidana mati yaitu sebagai suatu social defence.
Menurut Hartawi A.M, pidana mati merupakan suatu alat pertahanan sosial untuk
menghindarkan warga umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman bahaya besar yang mungkin terjadi dan yang akan menimpa warga yang
telah atau mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggu kehidupan
berwarga , beragama, dan bernegara.4
Jika dikaitkan dengan konsep sanksi pidana mati dan hubungannya dengan
tindak pidana narkotika dapat ditarik benang merah bahwa perlu dilakukan kajian
lebih lanjut mengenai urgensi penjatuhan sanksi pidana mati terhadap pelaku
tindak pidana narkotika. Selain itu perlu dianalisis secara teoritis relevansi
penjatuhan sanksi pidana mati ini dalam perspektif hukum dan hak asasi
manusia. Analisis ini penting mengingat masih terjadi kontroversi terkait
eksistensi sanksi pidana mati. Sebagian kelompok ingin agar pidana mati
dihapuskan karena bertentangan dengan hak asasi manusia untuk hidup dan
bertentangan dengan konsep tujuan pemidanaan resosialisasi agar pelaku dapat
manjadi orang yang lebih baik dan dapat kembali ke warga . Namun sebagian
kelompok lain menyatakan bahwa pidana mati masih perlu diterapkan terutama
terhadap tindak pidana yang tergolong berat dan membahayakan terhadap
kehidupan warga secara luas.
Herbert L Packer mengungkapkan penggunaan sanksi pidana untuk
menanggulangi tindak pidana sebagai berikut:
a. Bahwa sanksi pidana sangat diperlukan sebab kita tidak dapat hidup
sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana (The criminal
sanction is indispensable, we could not, now or in the foreseeable future
get along, without it).
b. Bahwa sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia,
yang kita miliki untuk menghadapi tindak pidana-tindak pidana atau
bahaya besar serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya
ini (The criminal sanction is the best availabledevice we have for
dealing with gross and immadiate harms and treats of harm). Selain
penggunaan sanksi pidana sebagai sarana untuk menanggulangi tindak
pidana dan menjaga ketertiban warga , tujuan pemidanaan juga
merupakan hal yang tidak kalah pentingnya guna mencari dasar
pembenaran dari penggunaan pidana sehingga pidana menjadi lebih
fungsional. Pada mulanya, pemidanaan hanya dimaksudkan untuk sekedar
menjatuhkan pidana terhadap pelanggar hukum. Namun dalam
perkembangannya pemidanaan selalu terkait dengan tujuan yang ingin
dicapai dengan pemidanaan ini .
Pada pokoknya, Herbert L Packer mengemukakan ada 4 teori yang
merupakan tujuan pemidanaan, yaitu:
5
a. Untuk Pembalasan atau Retributif Theory
Ada dua versi utama dari teori retributif yaitu pembalasan dendam dan
penebusan dosa. Pembalasan dendam merupakan suatu pembenaran yang
berakar pada pengalaman manusia bahwa setiap serangan yang dilakukan
seseorang akan menimbulkan reaksi dari pihak yang diserang. Misalnya
penjatuhan pidana mati terhadap pelaku pembunuhan. Sedangkan
penebusan dosa maksudnya yaitu bahwa hanya dengan penderitaan
sebagai akibat pemidanaan maka penjahat dapat menebus dosanya
sehingga pemidanaan yang memakan waktu lama dianggap sebagai hal
yang wajar.
b. Teori Pencegahan atau Deterrence Theory
ada dua versi tentang pencegahan yaitu pencegahan umum dan
pencegahan khusus. Pencegahan umum didasarkan pada asumsi bahwa
pemidanaan pelaku tindak pidana secara individu akan menjadi contoh
bagi individu yang lain sehingga mereka tidak akan berbuat tindak pidana
yang sama. Pencegahan umum ini menggunakan pengaruh pemidanaan
untuk ditujukan kepada warga umum, artinya pencegahan tindak
pidana ingin dicapai melalui pemidanaan dengan mempengaruhi tingkah
laku anggota warga agar tidak melakukan tindak pidana melalui
pembentukan Undang-undang yang bersifat represif terhadap tindak
pidana tertentu. Sedangkan pencegahan khusus didasarkan pada asumsi
bahwa pemidanaan pelaku tindak pidana akan menimbulkan efek jera
kepada pelaku untuk tidak mengulangi tindak pidananya di masa yang
akan datang. Pencegahan khusus ini mengarahkan secara langsung
pengaruh pemidanaan kepada pribadi terpidana agar tidak melakukan
tindak pidana lagi dengan menghukum terpidana selama-lamanya di
penjara. Sebagai contoh, penjatuhan pidana yang berat kepada pelaku pelaku tindak pidana di bidang narkotika.
c. Untuk Membuat Pelaku Menjadi Tidak Berdaya (Incapacitation)
Tujuan pemidanaan menurut teori ini hampir sama dengan Teori
pencegahan yaitu agar seorang terpidana tidak mengulangi tindak
pidananya maka terpidana harus dipenjara selama-lamanya sehingga ia
tidak memiliki kesempatan dan akhirnya menjadi tidak berdaya untuk
berbuat tindak pidana lagi.
d. Untuk Pewarga an atau Resosialisasi (Rehabilitation)
Tujuan dari pemidanaan yaitu untuk membina pelaku tindak pidana
sehingga ia dapat sadar dan kembali ke warga .
Terkait dengan tindap pidana narkotika, perbuatan yang dilarang yaitu
meliputi: (a) menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan; (b) memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika;
(c) memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan; (d) menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan; (e) membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito. Tabel berikut menggambarkan perbuatan yang dilarang disertai
ancaman pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika.
F. Definisi Operasional
Untuk lebih memperjelas cakupan penelitian, beberapa konsep yang
mendasar dioperasionalisasikan sebagai berikut.
a. Narkotika yaitu zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan
ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat ini bekerja
mempengaruhi susunan saraf sentral. Dalam defenisi Narkotika ini sudah
termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine, codein, dan
methadone).6 Yang termasuk dalam kategori narkotika yaitu candu,
ganja, cocaine, dan zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda benda termasuk yakni morphine, heroin, codein hashisch, cocaine.
7
b. Tindak pidana Narkotika yaitu tindak pidana sebagaimana diatur dalam
Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang 35 Tahun
2009 tentang Narkotika. Walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam
Undang-Undang Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya
yaitu kejahatan, akan namun tidak perlu disangsikan lagi bahwa semua
tindak pidana didalam undangundang ini merupakan kejahatan.
Perbuatan yang dilarang dalam Undang-undang ini yaitu : (a)
menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan; (b) memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
narkotika; (c) memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
narkotika; (d) menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika;
(e) membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika.
c. Pidana mati yaitu salah satu pidana pokok yang diatur di dalam Pasal 10
Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pidana mati ini diljalankan dengan
cara menembak mati pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam
undang-undang.
d. Hak Asasi Manusia yaitu seperangkat hak yang melekat pada hakikat
setiap keberadaan manusia yang merupakan makhluk Tuhan Yang Maha
Esa. Hak merupakan anugerah-Nya yang haruslah untuk dihormati,
dijunjung tinggi, serta dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang untuk kehormatan serta perlindungan harkat martabat
manusia (Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).
G. Orisinalitas Penelitian
Berikut kami kemukakan beberapa literatur sebagai perbandingan dengan
kajian-kajian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
Tiga Pilar Utama dalam Hukum Pidana
1. Perbuatan Pidana
Perbuatan pidana dapat diwujudkan dengan kelakuan aktif atau positif,
sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya, misalnya, mencuri atau
menipu. Perbuatan demikian dinamakan delictum commissionis. Ada juga
ketentuan undang-undang yang mensyaratkan kelakuan pasif atau negatif, seperti
Pasal 164-165, 224, 522, 523, 529, dan 531 KUHP. Delik-delik semacam itu
terwujud dengan mengabaikan apa yang diperintahkan oleh undang-undang untuk
dilakukan yang disebut delictum omissionis. Di samping itu, ada juga delik yang
dapat diwujudkan dengan berbuat negatif yang dinamakan delicta commissionis
per omnissionem commissa. Delik demikian ada dalam Pasal 341 KUHP,
yaitu seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan nyawa anaknya dengan
jalan tidak memberi makanan. Pasal 194 juga mengandung delik demikian, yaitu
seorang penjaga pintu kereta api yang dengan sengaja tidak menutup pintu kereta
api pada waktunya, sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Apakah arti kelakuan atau tingkah laku manusia itu? Beberapa ahli
hukum telah mencoba memberikan pengertian kelakuan atau tingkah laku
ini . Pendapat Simons dan Van Hamel mengenai kelakuan atau tingkah laku
dapat dijumpai di dalam beberapa literatur hukum pidana.1 Menurut Simons dan
Van Hamel, kelakuan (handeling) positif yaitu gerakan otot yang dikehendaki
yang diadakan untuk menimbulkan suatu akibat.
Rumusan ‘gerakan otot yang dikehendaki’ itu ditentang oleh Pompe.
Menurut Pompe, bagaimanapun pentingnya gerakan otot itu jika dipandang dari
sudut psikologi, untuk hukum pidana dan ilmu hukum pidana, hal itu tidak
memiliki arti. Ada kalanya untuk mengadakan perbuatan pidana tidak
diperlukan adanya gerakan otot, misalnya Pasal 111 KUHP, yakni mengadakan
hubungan dengan negara asing. Hal itu cukup dilakukan dengan sikap badan atau
pandangan mata tertentu. Menurut Pompe, makna kelakuan dapat ditentukan
dengan 3 syarat, yaitu suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang, yang
nampak keluar, dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi objek hukum.
Moeljatno tidak menyetujui pendapat Pompe ini dengan menyatakan
alasan sebagai berikut.
Apakah rumusan Pompe dapat kita terima? Hemat saya tidak. Sebab dengan
demikian titik berat makna pengertian diletakkan pada kejadian, yaitu
akibatnya kelakuan, hal mana justru kita pisahkan dari pengertian kelakuan.
Lain halnya kalau melihat formularing Mezger, yang di samping adanya
‘willens-grundlage’ juga mensyaratkan adanya ‘gerakan jasmani beserta
akibat-akibatnya’.
Dalam istilah aussere Korperbewegung (akibat-akibatnya kita hilangkan
karena bagi kita merupakan unsur tersendiri) pokok pengertian tetap pada
tingkah laku orang. namun ini terlalu sempit kalau mengingat apa yang
diajukan Pompe di atas. Yang terang ialah bahwa untuk kelakuan negatif,
gerakan jasmani lalu tidak tepat. Hemat saya, kalau gerakan jasmani diganti
dengan sikap jasmani, kiranya lebih tepat, sebab tidak berbuat sesuatu hal
dapat dimasukkan formulering ini .
Dan di situ tidak perlu lagi ditambahkan ‘yang nampak keluar’, karena sikap
jasmani yaitu sikap lahir. Keadaan lahir itu baru dinamakan gedraging
kalau diarahkan kepada tujuan yang menjadi obyek hukum. Syarat ini
letaknya di dalam batin orang yang mengadakan sikap jasmani itu.
Mezger memintakan adanya willens-grundlage, yaitu sikap lahir tadi hanya
didukung oleh satu kehendak, artinya yaitu hasil dari bekerjanya kehendak.
Tidak perlu bahwa itu juga merupakan isinya kehendak itu memang
dikehendaki atau tidak, kata Mezger, itu yaitu persoalan yang letaknya
kalau menghadapi sifat melawan hukumnya perbuatan.
Moeljatno lebih menyetujui pendapat Vos yang mengatakan ‘sikap
jasmani itu harus disadari, yaitu een bewuste gedraging’, Selanjutnya Moeljatno
tidak menyetujui pendapat Van Hattum yang menyatakan, kelakuan itu harus
dipandang sebagai dasar jasmaniah (physiek substraat) tiap-tiap delik tanpa
ditambah unsur subjektif atau normatif
Van Hattum berpendapat bahwa kelakuan yaitu kleurloos (tidak
berwarna), yang berarti tidak perlu dikehendaki atau disadari. Menurut
Moeljatno, pendapat Van Hattum itu bertalian dengan pendapat Max Rumpt,
yang berpendapat bahwa kecuali kelakuan-kelakuan kecil yang memerlukan
gerakan jasmani yang harus disadari, untuk melakukan sikap jasmani tertentu,
tidak perlu selalu harus disadari. Selanjutnya Max Rumpt berpendapat, yaitu
sama sekali tidak perlu dan merupakan siksaan yang melelahkan bila orang
yang berjalan harus menyadari setiap tindakannya. Pekerjaan demikian dilakukan
dengan sendirinya (secara otomatis), kecuali orang yang berjalan itu hendak
berhenti yang harus menyadari kelakuannya (berhentinya).2
Moeljatno tidak menyangkal kebenaran pendapat Max Rumpt ini ,
namun tidak menyetujui pendapat yang menyatakan kelakuan itu hanyalah bersifat
jasmani, yang hanya memandang dari segi lahiriah saja. Oleh karena itu,
Moeljatno menyetujui pendapat Vos, namun dengan catatan bahwa yang disadari
itu janganlah diartikan secara negatif. Yang dimaksudkannya yaitu bahwa itu
tidak termasuk kelakuan. Jika sikap jasmani yang tertentu benar-benar tidak
disadari, atau meskipun disadari, namun kalau orang yang bersangkutan sama
sekali tidak mengadakan aktivitas (berbuat pasif), maka kelakuan dimaksud tidak
terjadi. Selanjutnya Moeljatno tidak memasukkan tiga macam aktivitas ke dalam
arti kelakuan, yaitu
a. Sikap jasmani yang sama sekali pasif, yang tidak dikehendaki, karena
orang itu dipaksa oleh orang lain (berada dalam daya paksa, overmach,
compulsion).
b. Gerakan refleks; dan
c. Sikap jasmani yang terwujud karena keadaan tak sadar, seperti mengigau,
terhipnotis, dan mabuk.3
Akhirnya Moeljatno berkesimpulan bahwa pendapatnya sesuai dengan
pendapat Mezger, karena ketiga sikap jasmani ini di atas tidak didukung
oleh suatu kehendak atau terwujud bukan karena bekerjanya kehendak. Beliau
lebih menyetujui pendapat Vos, karena pandangan Vos lebih mudah dipahami
dan pandangan Vos bukan hanya menyangkut kelakuan positi, namun juga
meliputi kelakuan negatif.
2. Pertanggungjawaban Pidana
Dipidananya seseorang tidaklah cukup bila orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi
meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan
tidak dibenarkan, hal ini belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana.
Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang
melakukan perbuatan itu memiliki kesalahan atau bersalah (subjective guilt).
Sehubungan dengan hal itu, berlaku asas “tiada pidana tanpa kesalahan”.
Asas itu dianut oleh KUHP Indonesia dan juga negara-negara lain. Akan
bertentangan dengan rasa keadilan bila ada orang yang dijatuhi pidana
padahal ia sama sekali tidak bersalah. Orang tidak mungkin dipertanggung
jawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Akan
namun , meskipun melakukan perbuatan pidana, dia tidak selalu dapat dipidana.
Untuk pernyataan pertama, dijelaskan bahwa orang yang tidak melakukan
perbuatan pidana atau melawan hukum tidak akan dipidana. Sedangkan
pernyataan kedua, dijelaskan bahwa tidak semua orang yang melakukan
perbuatan memenuhi unsur-unsur rumusan delik pasti dipidana. Hal itu
tergantung pada apakah ia memiliki kesalahan atau tidak.
Makna kesalahan itu meliputi pengertian yang luas. Seseorang yang masih
di bawah umur, walaupun dia melakukan perbuatan pidana, tidak dipidana karena
fungsi batin atau jiwanya belum sempurna. Demikian juga orang gila yang
melakukan perbuatan pidana, tidak dapat dipidana karena fungsi batinnya tidak
normal. Di samping kedua hal di atas, walaupun orang yang melakukan
perbuatan pidana itu dewasa dan tidak gila (artinya memiliki fungsi batin yang
normal), orang ini juga tidak serta-merta dipidana. Hal itu harus dilihat terlebih dahulu apakah dia melakukan perbuatan itu atas kehendak bebasnya atau
ada unsur-unsur paksaan dari luar, seperti daya paksa (overmach), pembelaan
terpaksa, dan keadaan darurat, sehingga si pembuat itu tidak dipidana, karena ada
alasan pemaaf.
Dari uraian yang dikemukakan ini di atas, dalam membuktikan
apakah seseorang dapat dijatuhi pidana, pandangan ini menganut ajaran
dualisme. Ajaran itu memandang bahwa untuk menjatuhi pidana, pertama harus
dilihat terlebih dahulu apakah perbuatan yang dituduhkan itu telah memenuhi
unsur-unsur rumusan delik. bila telah dipenuhi, baru menuju pada tahap
kedua, yaitu melihat apakah ada kesalahan dan apakah pembuat mampu
bertanggungjawab. Sebaliknya, ajaran monisme memandang bahwa seseorang
yang telah melakukan perbuatan pidana sudah pasti dipidana kalau perbuatannya
itu telah memenuhi rumusan delik tanpa harus melihat apakah dia memiliki
kesalahan atau tidak.
bila kedua aliran ini hendak dirumuskan syarat-syarat
pemidanaan, akan tampak lebih jelas apa yang dikemukakan oleh A. Zainal
Abidin berikut ini :
Aliran klasik atau monisme. c = ab. c berarti syarat-syarat pemidanaan dan
ab berarti seluruh unsur-unsur dari feit.
Aliran modern atau dualisme. c = a + b. c berarti syarat-syarat pemidanaan
dan a + b berarti dua kelompok unsur feit dan dader.
Pandangan yang dualisme itu dianut juga oleh Moeljatno. Berdasar pada
pandangan dualisme itu Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk dapat dikatakan
bahwa seseorang memiliki kesalahan harus dipenuhi unsur-unsur berikut.
a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum).
b. Di atas umur tertentu mampu bertanggung jawab.
c. memiliki suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan dan
keaalpaan.
d. Tidak ada alasan pemaaf.
Untuk adanya pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa
pembuat mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat
dipertanggungjawabkan bila ia tidak mampu bertanggung jawab. Pertanyaan
yang muncul yaitu , bilamanakah seseorang itu dikatakan mampu bertanggung
jawab? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan bertanggung
jawab itu?
Dalam KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung
jawab. Yang berhubungan dengan itu ialah Pasal 44: “Barangsiapa melakukan
perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya
cacat dalam tumbuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit”. Dari pasal 44
ini dan dari beberapa pendapat sarjana hukum, Moeljatno menyimpulkan
bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada
(1) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;
(2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang
baik dan buruknya perbuatan tadi.6
Yang pertama yaitu faktor akal, yaitu dapat membedakan antara
perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua yaitu faktor perasaan
atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsafan atas
mana yang diperbolehkan dan yang tidak. Sebagai konsekuensinya, tentunya
orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang
baik dan buruknya perbuatan tadi, dia tidak memiliki kesalahan. Orang yang
demikian itu tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Menurut Pasal 44,
ketidakmampuan ini harus disebabkan alat batinnya cacat atau sakit dalam
tumbuhnya.7
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Crimineel Wetboek) Tahun
1809 dicantumkan: “Sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang undang”. Dalam Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman sewaktu
pengajuan Criminiel Wetboek tahun 1881 (yang menjadi Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Indonesia tahun 1915), dijelaskan: “sengaja” diartikan: “dengan
sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu”.
Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan,
kehendak, dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. de will
(kehendak) dapat ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang
dilarang. Ada dua teori yang berkaitan denganpengertian “sengaja”, yaitu teori
kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan.8
Menurut teori kehendak, sengaja yaitu kehendak untuk mewujudkan
unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Sebagai contoh, A
mengarahkan pistol kepada B dan A menembak mati B; A yaitu “sengaja”
bila A benar-benar menghendaki kematian B.
Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak
mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat
mengingini, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. yaitu
“sengaja” bila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan
dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang
bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah
dibuat. Teori itu menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan si
pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat.
Dari uraian ini , menurut hemat penulis, pembuktian terhadap teori
kehendak itu tidak mudah dan memakan banyak waktu dan tenaga. Lain halnya
kalau kesengajaan diterima sebagai pengetahuan. Dalam hal itu pembuktian lebih
singkat karena hanya berhubungan dengan unsur-unsur perbuatan yang dilakukan
saja. Tidak ada hubungan kausal antara motif dengan perbuatan. Hanya
berhubungan dengan pertanyaan, apakah terdakwa mengetahui, menginsafi, atau
mengerti perbuatannya, baik kelakuan yang dilakukan maupun akibat dan
keadaan-keadaan yang menyertainya.
Dalam perkembangannya kemudian, secara teoretis bentuk kesalahan
berupa kesengajaan itu dibedakan menjadi tiga corak, yaitu kesengajaan sebagai
kepastian, kesengajaan sebagai kemungkinan dan dolus eventualis (apa boleh
buat). 9 Perkembangan pemikiran dalam teori itu ternyata juga diikuti dalam
praktik pengadilan di Indonesia. Di dalam beberapa putusannya, hakim
menjatuhkan putusan tidak semata-mata kesengajaan sebagai kepastian, namun
juga mengikuti corak-corak yang lain. Menurut hemat penulis, praktek peradilan
semacam itu sangat mendekati nilai keadilan karena hakim menjatuhkan putusan
sesuai dengan tingkat kesalahan terdakwa.
Sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan yaitu terdakwa tidak
bermaksud melanggar larangan undang-undang, namun ia tidak mengindahkan
larangan itu. Ia alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan ini . Jadi,
dalam kealpaan terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan
keadaan yang dilarang.
Mengenai kealpaan itu, Moeljatno mengutip dari Smidt yang merupakan
keterangan resmi dari pihak pembentuk WvS sebagai berikut:
Pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan wet mengharuskan bahwa
kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam
pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar
berbahayanya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan
jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak
pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati, yang teledor. Dengan pendek,
yang menimbulkan keadaan itu karena kealpaannya. Di sini sikap batin
orang yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang
larangan ini . Dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal
yang dilarang, namun kesalahannya, kekeliruannya dalam batin sewaktu ia
berbuat sehingga menimbulkan hal yang dilarang, ialah bahwa ia kurang
mengindahkan larangan itu.
Dari apa yang diutarakan di atas, Moeljatno berkesimpulan bahwa
kesengajaan yaitu kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan namun ,
dasarnya sama, yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana, adanya kemampuan bertanggungjawab, dan tidak adanya alasan pemaaf,
namun bentuknya lain. Dalam kesengajaan, sikap batin orang menentang larangan.
Dalam kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati
dalam melakukan sesuatu yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang
dilarang. 11 Selanjutnya, dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan
kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-duga
sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hati
sebagaimana diharuskan oleh hukum.12
3. Pidana dan Pemidanaan
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, stelsel
pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, yang menyebutkan ada 2 jenis pidana yaitu:
(1). Pidana Pokok, yang terdiri dari: (a). Pidana mati, (b) Pidana penjara, (c)
Pidana kurungan, dan (d) Pidana denda, (2) Pidana Tambahan, yang terdiri dari:
(a) Pencabutan hak tertentu, (b) Perampasan barang tertentu, (c) Pengumuman
putusan hakim, (3). Pidana Tutupan, dengan dasar Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1946 tentang Pidana Tutupan.
Pidana mati berstatus sebagai pidana pokok, merupakan jenis pidana yang
mengandung pro dan kontra. Ditingkat internasional pidana jenis ini dilarang
untuk dijatuhkan kepada terpidana. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mendorong untuk ditiadakannya penerapan jenis pidana ini berdasar Deklarasi
Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang di adopsi
pada tanggal 10 Desember 1948, dengan menjamin hak hidup dan perlindungan
terhadap penyiksaan. Demikian pula dijaminnya hak untuk hidup ada dalam
Pasal 6 International Convenant on Civil and Political Rights/ICCPR) yang
diadopsi tahun 1966 dan diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2005 tentang Pengesahan ICCPR. Sistem hukum pidana Indonesia berusaha
melepaskan pidana mati diluar pidana pokok, dengan mengaturnya sebagai pidana
alternatif. Pidana mati tidak lagi merupakan pidana pokok pertama, namun mejadi
pidana yang bersifat khusus. Bukti nyata perubahan status pidana mati tercantum
dalam Draf Konsep KUHP yang menyatakan bahwa pidana mati menjadi pidana
pokok yang bersifat khusus dan diancamkan alternatif dengan pidana pokok
lainnya. Pelaksanaan pidana ini dengan cara menembak terpidana sampai mati
dan tidak dilaksanakan di muka umum.
Penjatuhan pidana mati bagi pelaku kejahatan mendasarkan pada
kebijakan kriminal yang ditetapkan oleh penyelengara negara. Kebijakan kriminal
(politik hukum pidana) merupakan bagian dari politik hukum nasional (legal
policy) secara keseluruhan, serta merupakan bagian dari politik sosial (social
welfare policy maupun social defense policy). Politik kriminal pada hakekatnya
merupakan bagian integral dari politik sosial yaitu kebijakan atau usaha untuk
mencapai kesejahteraan sosial, politik kriminal terdiri dari penal policy dan non
penal policy.
Konsep dasar pembenar dan tujuan penjatuhan pidana meliputi 3 teori,
yaitu: (1) Teori Absolut (Retributif) menyatakan bahwa pemidanaan merupakan
pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan oleh pelaku. Sanksi yang
dijatuhkan untuk memuaskan tuntutan keadilan dan sebagai pembalasan. (2) Teori
Tujuan (Doeltheorie) menyatakan bahwa pemidanaan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan tertentu yang bermanfaat untuk melindungi warga (social
defence), (3). Teori integratif menyatakan bahwa pemidanaan dilihat dalam
perspektif multy dimenstional, sehingga tujuannya bersifat plural.
B. Tindak Pidana Narkotika
1. Pengertian Narkotika
Narkotika dan Obat (bahan berbahaya) merupakan istilah yang sering kali
digunakan oleh penegak hukum dan warga . Narkotika dikatakan sebagai
bahan berbahaya bukan hanya karena terbuat dari bahan kimia namun juga karena
sifatnya yang dapat membahayakan penggunanya bila digunakan secara
bertentangan atau melawan hukum. Narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya yaitu istilah kedokteran untuk sekelompok zat yang jika masuk kedalam
tubuh manusia dapat menyebabkan ketergantungan (adiktif) dan mempengaruhi
sistem kerja otak (psikoaktif). Termasuk di dalamnya jenis obat, bahan atau zat
yang penggunaannya diatur dengan Undang-undang dan peraturan hukum lain
maupun yang tidak diatur namun sering disalahgunakan seperti alkohol, nicotin,
cafein dan inhalansia/solven. Jadi istilah yang sebenarnya lebih tepat digunakan
untuk kelompok zat yang dapat mempengaruhi sistem kerja otak ini yaitu
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif) karena istilah ini lebih
mengacu pada istilah yang digunakan dalam Undang-Undang Narkotika dan
Psikotropika.
Narkotika atau lebih tepatnya Napza yaitu obat, bahan dan zat yang
bukan termasuk jenis makanan. Oleh sebab itu jika kelompok zat ini dikonsumsi
oleh manusia baik dengan cara dihirup, dihisap, ditelan, atau disuntikkan maka ia
akan mempengaruhi susunan saraf pusat (otak) dan akan menyebabkan
ketergantungan. Akibatnya, sistem kerja otak dan fungsi vital organ tubuh lain
seperti jantung, pernafasan, peredaran darah dan lain-lain akan berubah meningkat
pada saat mengkonsumsi dan akan menurun pada saat tidak dikonsumsi (menjadi
tidak teratur).
Perkataan narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu “narke” yang berarti
terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Sebagian orang berpendapat bahwa
narkotika berasal dari kata “narcissus” yang berarti sejenis tumbuha-tumbuhan
yang memiliki bunga yang dapat menyebabkan orang menjadi tidak sadarkan
diri.
16 Selain itu, pengertian narkotika secara farmakologis medis menurut
Ensiklopedia Indonesia IV (1980: 2336) yaitu obat yang dapat menghilangkan
rasa nyeri yang berasal dari daerah Viseral dan dapat menimbulkan efek stupor
(bengong atau kondisi sadar namun harus digertak) serta adiksi. Efek yang
ditimbulkan narkotika yaitu selain dapat menimbulkan ketidaksadaran juga
dapat menimbulkan daya khayal /halusinasi serta menimbulkan daya
rangsang/stimulant. Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1997
Tentang Psikotropika dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 Tentang Narkotika,
di Indonesia belum dibedakan secara jelas antara narkotika dan psikotropika
sehingga seringkali dikelompokkan menjadi satu.
M. Ridha Ma’roef menyebutkan bahwa narkotika ada dua macam yaitu
narkotika alam dan narkotika sintetis. Yang termasuk dalam kategori narkotika
alam yaitu berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish, codein dan
cocaine. Narkotika ala mini termasuk dalam pengertian narkotika secara sempit
sedangkan narkotika sitetis yaitu pengertian narkotika secara luas dan termasuk
didalamnya yaitu Hallucinogen, Depressant dan Stimulant.17
Golongan Obat yang sering disalahgunakan secara klinik dapat dibagi
dalam beberapa kelompok, yaitu :
a. Obat Narkotik seperti candu, morphine, heroin dan sebagainya.
b. Obat Hallusinogen seperti ganja, LSD, mescaline dan sebagainya.
c. Obat Depresan seperti obat tidur (hynotika), obat pereda (sedativa) dan
obat penenang (tranquillizer).
d. Obat Stimulant seperti amfetamine, phenmetrazine.
Penggolongan narkotika yaitu sebagai berikut:
a. Narkotika Golongan I yaitu jenis narkotika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan dalam terapi serta memiliki potensi sangat tinggi
mengakibatkan ketergantungan.
b. Narkotika Golongan II yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan,
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
memiliki potensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
c. Narkotika Golongan III yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta memiliki potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan (Penjelasan Pasal 2 UU No. 22 Tahun 1997).
2. Penyalahgunaan Narkotika
Penyalahgunaan narkotika memang sangat kompleks karena merupakan
interaksi dari 3 faktor yang menjadi penyebabnya yaitu narkoba, individu dan
lingkungan. Faktor pertama yaitu narkoba yaitu berbicara tentang farmakologi
zat meliputi jenis, dosis, cara pakai, pengaruhnya pada tubuh serta ketersediaan
dan pengendalian peredarannya. Sementara itu dari sudut individu,
penyalahgunaan narkoba harus dipahami dari masalah perilaku yang kompleks
yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Selain faktor keturunan (keluarga),
ada 5 faktor utama yang menyebabkan seseorang menjadi rawan terhadap
narkoba, yaitu :
a. Keyakinan adiktif, yaitu keyakina tentang diri sendiri dan tentang dunia
sekitarnya. Semua keyakinan itu akan menentukan perasaan, perilaku, dan
kepribadian sehari-hari. Contoh dari keyakinan adiktif yaitu bila
seseorang merasa harus tampil sempurna dan berkeinginan untuk
menguasai atau mengendalikan orang lain, pada hal dalam kenyataannya
hal itu tidak mungkin tercapai.
b. Kepribadian adiktif, yaitu kepribadian yang memiliki ciri-ciri terobsesi
pada diri sendiri sehingga seseorang cenderung senang berkhayal dan
melepaskan kenyataan.
c. Ketidakmampuan mengatasi masalah
d. Tidak terpenuhinya kebutuhan emosional, social, dan spiritual sehingga
muncul keyakinan yang keliru.
e. Kurangnya dukungan sosial yang memadai dari keluarga, sekolah dan
warga . Sehingga ketidakmampuan menghadapi masalah yang timbul
membuat seseorang mencari penyelesaian dengan narkoba untuk
mengubah suasana hatinya.
Bila seseorang telah sangat tergantung pada narkoba maka akibat yang
ditimbulkannya bukan hanya bagi dirinya sendiri namun juga keluarga, sekolah
serta bangsa dan negara.Akibat penyalahgunaan narkoba bagi diri sendiri dapat
berupa :
a. Terganggunya fungsi otak dan perkembangan normal remaja;
b. Intoksikasi (keracunan), yakni gejala yang timbul akibat penggunaan
narkoba dalam jumlah yang cukup berpengaruh apda tubuh;
c. Overdosis (OD), yang dapat menyebabkan kematian karena terhentinya
pernafasan atau perdarahan otak. OD terjadi karena adanya toleransi
sehingga perlu dosis yang lebih besar;
d. Gejala putus zat, yaitu gejala penyakit badan yang timbul usaha dosis
yang dipakai berkurang atau dihentikan pemakaiannya;
e. Gangguan perilaku mental dan sosial;
f. Gangguan kesehatan berupa kerusakan organ tubuh dan penyakit kulit
dan kelamin;
g. Masalah ekonomi dan hukum yakni ancaman penjara bagi pengguna
narkoba.
h. Kerugian lainnya akan sangat dirasakan oleh negara dan warga
karena mafia perdagangan gelap akan berusaha dengan segala macam cara
untuk dapat memasok narkoba. Terjalinnya hubungan antara bandar,
pengedar dan pemakai akan menciptakan pasar gelap peredaran narkoba.
Sehingga sekali pasar gelap ini terbentuk maka akan sulit untuk
memutus mata rantai sindikat perdagangan narkoba. warga yang
rawan narkoba tidak akan memiliki daya ketahanan sosial sehingga
kesinambungan pembangunan akan terancam dan negara akan menderita
kerugian akibat warga nya tidak produktif, angka tindak pidana pun
akan meningkat.
3. Jenis Tindak Pidana Narkotika
Dalam Undang-Undang Narkotika telah ditentukan mengenai perbuatan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana dalam hubungannya
dengan narkotika. Perbuatan ini dikenal dengan tindak pidana narkotika yang
dapat berupa penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap narkotika.
Penyalahgunaan narkotika yaitu pemakaian narkotika yang dilakukan oleh
seseorang secara ilegal atau melawan hukum, yaitu tanpa sepengetahuan dan
pengawasan dokter, sedangkan peredaran gelap narkotika yaitu kegiatan atau
perbuatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum.
Ketentuan Pidana narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai
dengan Pasal 149 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
mengatur tentang sangsi pidana penyalahgunaan narkotika. Dalam pasal ini
dapat dilihat jenis tindak pidana narkotika diantaranya yaitu :
a. Tindak pidana yang menyangkut menanam, memelihara, memiliki,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk
tanaman (Pasal 111), Narkotika Golongan II (Pasal 117), Narkotika
Golongan III (Pasal 122);
b. Tindak pidana yang menyangkut memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman (Pasal 112);
c. Tindak pidana yang menyangkut memproduksi, mengimpor, mengekspor,
atau menyalurkan Narkotika Golongan I (Pasal 113), Narkotika Golongan
II (Pasal 118), Narkotika Golongan III (Pasal 123);
d. Tindak pidana yang menyangkut menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan I (Pasal 114), Narkotika Golongan II
(Pasal 119), Narkotika Golongan III (Pasal 124);
e. Tindak pidana yang menyangkut membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito Narkotika Golongan I (Pasal 115), Narkotika Golongan II
(120), Narkotika Golongan III (Pasal 125);
f. Tindak pidana yang menyangkut menggunakan Narkotika Golongan I
terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk
digunakan orang lain (Pasal 116) menggunakan Narkotika Golongan II
terhadap orang lain atau untuk digunakan orang lain (Pasal 121),
mengunakan Narkotika Golongan III (Pasal 126);
g. Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan narkotika terhadap diri
sendiri baik Narkotika Golongan I, II, III (Pasal 127)
h. Tindak pidana yang menyangkut dengan sengaja tidak melaporkan
pecandu narkotika (Pasal 128);
i. Tindak pidana yang menyangkut : Memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan narkotika;
Memproduksi, mengimpor, mengekspir, atau menyalurkan Prekursor
Narkotika untuk pembuatan narkotika; Menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Prekusor Narkotika untuk pembuatan
narkotika; Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Prekusor Narkotika untuk pembuatan narkotika. (Pasal 129);
j. Tindak pidana narkotika yang dilakukan korporasi (Pasal 130);
k. Tindak pidana yang menyangkut tidak melaporkan adanya tindak pidana
narkotika (Pasal 131);
l. Tindak pidana yang menyangkut percobaan atau pemufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika (Pasal 132);
m. Tindak pidana yang menyangkut menyuruh, memberi atau menjanjikan
sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan
kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan,
melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur
untuk melakukan tindak pidana narkotika (Pasal 133), menggunakan
narkotika (Pasal 133 ayat (2) );
n. Tindak pidana yang menyangkut dengan sengaja tidak melaporkan diri
sendiri (Pasal 134); dan lain sebagainya.
C. Sanksi Pidana Mati terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merumuskan
ancaman pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika. Uraian terkait
dengan ancaman pidana mati yang terhadap perbuatan yang dilarang dalam
Undang-undang Narkotika yaitu sebagai berikut.
Pertama, Pasal 114 ayat (2): Dalam hal perbuatan menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5
(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup,
atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
Kedua, Pasal 116 ayat (2): Dalam hal penggunaan narkotika terhadap
orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat
permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup,
atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
Ketiga, Pasal 118 ayat (2): Dalam hal perbuatan memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Keempat, Pasal 119 ayat (2): Dalam hal perbuatan menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Kelima, Pasal 121 ayat (2): Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap
orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat
permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup,
atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga)
Urgensi Penjatuhan Pidana Mati terhadap Pelaku Tindak Pidana
Narkotika
Mengingat dampak negatif yang sangat besar oleh tindak pidana narkotika,
maka pidana mati sebagai ganjaran nampaknya memang sangat diperlukan.
Pertimbangan untuk menjatuhkan pidana mati ini lebih diarahkan kepada adanya
keadilan dalam warga . Namun di sisi lain, pidana mati juga dianggap sebagai
pelanggaran terhadap hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup. Dua kutub
pemikiran ini, yaitu kaum retensionist dan kaum abolisionist, terus bergulir
seakan tiada henti. Walaupun demikian, penjatuhan pidana mati masih dirasakan
urgen terhadap pelaku tindak pidana narkotika.
Pada hakekatnya pidana mati merupakan pidana menghilangkan nyawa
terpidana, maka dengan menghilangkan nyawa pelaku tindak pidana, berarti
menghentikan pelaku untuk melakukan kejahatan. Ini berarti dengan adanya
pidana mati, warga merasa aman dan terlindungi dari gangguan jahat pelaku.
Dilihat dari unsur perlindungan warga yang demikian, kebijakan tentang
pidana mati terhadap kejahatan narkokotika dapat dikatakan memenuhi atau
sesuai dengan aspek perlindungan warga .
Seperti diketahui bahwa perdagangan gelap narkotika dari tahun ke tahun
pelakunya terus bertambah dengan modus operandi yang semakin canggih. Maka
pidana mati dianggap pas karena narkotika dapat merusak masa depan anak
bangsa. Narkotika merupakan ‘monster’ yang dapat membunuh manusia secara
perlahan tapi pasti terhadap siapapun korbannya tanpa pandang bulu (tua, muda,
laki-laki maupun wanita). Dengan kata lain, pengedar, pemasok, dan
pendistributor narkotika pada dasarnya telah merampas hak hidup (the right to
life) orang banyak (korban penyalahgunaan narkoba) yang juga wajib dilindungi
oleh konstitusi.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia bekerja sama
dengan Badan Narkotika Nasional (2004- 2005)1
, dapat diperoleh kesimpulan dari
tahun ketahun peredaran gelap narkoba semakin meningkat cukup signifikan baik
kualitas maupu kuantitasnya. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya
korban penyalahgunaan narkoba yang saat ini berjumlah 3,2 juta atau 1,5% dari
populasi penduduk Indonesia. Sedangkan jumlah sosial dan ekonomi yang harus
ditanggung oleh negara dan warga sebesar Rp.23,6 Triliun. Sementara itu
angka kematian akibat penyalahgunaan narkoba mencapai 15.000 orang pertahun
atau setara dengan 40 orang setiap hari. Selain itu fakta menunjukkan bahwa
hampir 30% penghuni Lembaga Pewarga an diseluruh Indonesia yaitu
narapidana kasus penyalahgunaan narkoba. Jika dibandingkan antara pihak yang
akan dieksekusi mati (saat ini berjumlah 52 orang) dengan jumlah korban yang
mati maupun sosial cost yang harus ditanggung oleh pemerintah yaitu sangat
ironi. Jadi dari aspek perlindungan warga , pengenaan ancaman pidana mati
terhadap kejahatan narkoba dapat dikatakan sangat urgen untuk direalisasikan.
berdasar data penelitian ini didapatkan data estimasi angka
penyalahgunaan narkoba di Indonesia yang mencapai prevalansi 2,2% dari
penduduk yang berusia 10 sampai dengan 59 tahun atau setara dengan 3,8 juta
jiwa. Disatu sisi, golongan umur terbanyak yaitu pada usia 26 hingga 30 tahun,
sedangkan kelompok umur terkecil yaitu pada usia diatas 45 tahun. Sementara
itu transaksi narkoba yang dilakukan sudah mencapai total 48 triliun.2
Peningkatan angka peredaran dan penyalahgunaan narkoba menyebabkan
Indonesia kini berada dalam status darurat narkoba, dimana diketahui bahwa dari
tahun 2008 hingga 2012 jumlah pengedar narkoba dengan jenis kelamin laki-laki
sebanyak 171.000 orang dan jenis kelamin perempuan sebanyak 16.000 orang.
Pengedar narkoba dari warga negara asing juga diketahui semakin meningkat
jumlahnya dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 554 orang dan pengedar
wanita sebesar 90 orang Selain itu, akibat yang ditimbulan dari penyalahgunaan
narkoba ini yaitu 40 orang per hari meninggal dunia, dana warga yang
dibelanjakan untuk membiayai 4 juta korban sekitar 292 trilliun per tahun.
Data di atas menunjukkan kenyataan empirik bahwa korban tindak pidana
narkotika semakin meningkat sehingga menimbulkan implikasi fisik dan
psikologis tidak hanya terhadap korban pengguna namun juga terhadap warga
secara luas. Untuk menegakkan tertib hukum dan melindungi warga , tepat
apa yang dikatakan Remelling bahwa dengan menjatuhkan pidana mati maka para
calon korban (potential victim) akan menjadi terlindungi. Senada dengan
Ramelling, Sudarto juga mengemukakan agar menimbulkan efek jera, pelaku
perlu dijatuhi pidana yang berat, yakni pidana mati.
Dalam konteks perlindungan warga , fungsi hukum pidana dapat
dilihat secara khusus dan secara umum. Secara khusus fungsi hukum pidana
yaitu untuk melindungi kepentingan negara, kepentingan warga , dan
kepentingan umum. Dalam hal ini tindak pidana narkotika telah membahayakan
tiga kepentingan yang harus dilindungi ini , sehingga sangatlah wajar jika
pelaku tindak pidana dimaksud dijatuhi pidana mati. Sedangkan secara umum,
fungsi hukum pidana yaitu untuk menakut-nakuti dan mendidik, sehingga dalam
hukum pidana sanksi pidana ada yang bersifat ultimum remidium (dipergunakan
sebagai jalan terakhir manakala sanksi-sanksi lain yang non-pidana tak berdaya)
dan primum remidium (sebagai alat pertama untuk mengatasi tindak pidana).5
Bahwa dari manfaat sosiologis, pemidanaan termasuk pidana mati yaitu
untuk (1) pemeliharaan tertib warga ; (2) perlindungan warga warga dari
kejahatan, kerugian, atau bahaya yang dilakukan orang lain; (3) mewarga kan
kembali para pelanggar hukum (kecuali untuk hukuman mati), (4) memelihara
dan mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai
keadilan sosial, martabat kemanusiaan, dan keadilan individu. Terlebih lagi untuk
kejahatan narkotika yang sudah sedemikian hebatnya, pidana mati nampaknya
memang harus dipertahankan.6
Bahwa bicara tentang efek pidana mati atau pemidanaan lainnya dengan
mengesampingkan efek pembalasan dan efek jera, ibaratnya hidup dalam dunia
maya, karena hal itu pasti tak terhindarkan dalam perspektif korban atau pelaku,
sehingga sifatnya selalu subjektif. Khusus tentang pidana mati dalam Undang undang Narkotika, tentu diharapkan akan menimbulkan efek jera dalam
warga , sungguh tak terbayangkan jika pidana mati dihapuskan dari Undang undang Narkotika. Bahwa antara pidana mati dan filosofi pewarga an tidak
ada hubungan, karena filosofi pewarga an kaitannya yaitu dengan pidana
penjara.7
B. Penjatuhan Pidana Mati terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika
dalam Perspektif Hukum dan Hak Asasi Manusia
Penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika masih
menjadi perdebatan yang cukup serius. Sebagian kelompok warga , yaitu
kaum abolisionist menghendaki agar pidana mati dihapuskan dengan alasan
melanggar hak asasi manusia. Konsep pidana mati seringkali digambarkan
sebagai sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan sadis. Pidana mati juga
digambarkan sebagai pengingkaran atas hak untuk hidup. Namun sebagian
kelompok warga yang lain, yaitu kaum retensinist, menghendaki agar pidana
mati masih perlu dipertahankan mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh
peredaran gelap narkotika yang dapat merusak tatanan warga , merusak
tatanan generasi muda, dan melemahkan sendi-sendi kehidupan berwarga
dan bernegara.
Uraian berikut akan menganalisis penjatuhan pidana mati terhadap pelaku
tindak pidana narkotika ditinjau dari hukum dan hak asasi manusia. Tinjauan dari
aspek hukum lebih difokuskan kepada bagaimana kebijakan formulatif dalam
merumuskan ancaman pidana mati dalam peraturan perundang-undangan, baik di
dalam KUHP maupun di luar KUHP. Sedangkan tinjauan dari aspek hak asasi
manusia lebih difokuskan kepada pertanyaan apakah pidana mati bertentangan
dengan instrumen hukum nasional maupun internasional terkait dengan masalah
hak asasi manusia.
1. Penjatuhan Pidana Mati terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika
dalam Perspektif Hukum
Ketentuan Pasal 10 KUHP masih menjadikan pidana mati sebagai pidana
pokok. Dijelaskan dalam Pasal 11 KUHP bahwa pidana mati dijalankan oleh
algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang
gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana
berdiri. Namun tata cara pidana mati ini kemudian dirubah menjadi dilakukan
oleh regu tembak. Mengenai ketentuan teknis eksekusi pidana mati diatur dalam
Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana
Mati. Pada Pasal 3 angka 3 disebutkan bahwa hukuman mati yaitu salah satu
hukuman pokok yang dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Secara yuridis, ancaman pidana mati ada baik di dalam KUHP
maupun Undang-undang di luar KUHP sebagaimana. Di dalam KUHP ada 8
(delapan) tindak pidana yang diancam pidana mati. Sedangkan di luar KUHP,
setidak-tidaknya ada 6 (enam) undang-undang yang memuat ancaman pidana
mati, yaitu UU Korupsi, UU Narkotika, UU Psikotropika, UU Terorisme, dan UU
Hak Asasi Manusia. Berikut akan diuraikan bagaimana ancaman pidana mati
dirumusan dalam undang-undang ini .
1. Ancaman Pidana Mati di dalam KUHP
a. Kejahatan terhadap Keamanan Negara
Ada tiga ketentuan kejahatan terhadap kemanan negara yang diancam
pidana mati. Pertama, Pasal 104 terkait makar dengan maksud untuk
membunuh atau merampas kemerdekaan atau meniadakan kemampuan
Presiden atau Wakil Presiden memerintah. Kedua, Pasal 111 terkait
mengadakan hubungan dengan negara asing dengan maksud
menggerakkannya untuk melakukan perbuatan permusuhan atau perang
terhadap negara, memperkuat niat mereka, menjanjikan bantuan atau
membantu mempersiapkan mereka untuk melakukan perbuatan
permusuhan atau perang terhadap negara, jika perbuatan permusuhan
dilakukan atau terjadi perang. Ketiga, Pasal 124 ayat (3) memberitahukan
atau menyerahkan kepada musuh, menghancurkan atau merusakkan
sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki, suatu alat
perhubungan, gudang persediaan perang, atau kas perang ataupun
Angkatan Laut, Angkatan Darat atau bagian daripadanya, merintangi,
menghalang-halangi atau menggagalkan suatu untuk menggenangi air atau
karya tentara lainya yang direncanakan atau diselenggarakan untuk
menangkis tau menyerang; dan menyebabkan atau memperlancar
timbulnya huru-hara, pemberontakan atau desersi dikalangan Angkatan
Perang.
b. Kejahatan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Terkait dengan kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden
ini diatur dalam Pasal 140 ayat (3) yang menyebutkan bahwa jika makar
terhadap nyawa dilakukan dengan rencana terlebih dahulu dan
mengakibatkan kematian.
c. Perkelahian tanding
Perkelahian tanding merampas nyawa pihak lawan atau melukai tubuhnya,
maka diterapkan ketentuan mengenai pembunuhan berencana,
pembunuhan atau penganiayaan jika persyaratan tidak diatur terlebih
dahulu, atau jika perkelahian tanding tidak dilakukan di hadapan saksi
kedua belah pihak, atau jika pelaku dengan sengaja dan merugikan pihak
lawan atau bersalah melakukan perbuatan penipuan atau yang
menyimpang dari persyaratan.
d. Pembunuhan Berencana
Paembunuhan berencana ini diatur dalam Pasal 340 KUHP yang
menyebutkan dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu
merampas nyawa orang lain.
e. Pencurian dengan Kekerasan
Pencurian dengan kekerasan yang dilakukan pada waktu malam dalam
sebuah rumah atau pekarangan tertutupyang ada rumahnya, di jalan
umum, atau dalam kereta apa atau trem yang sedang berjalan; atau jika
masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat
atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian
jabatan palsu, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan
dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu,
f. Pemerasan
Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian yaitu kepunyaan orang itu atau orang lain, atau susaha
membuat hutang maupun menghapuskan piutang, jika perbuatan
mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang
atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu yang diterangkan
dalam nomor 1 dan 3.
g. Kejahatan Pelayaran
Kejahatan pelayaran ini diatur dalam Pasal 444 yang melarang perbuatan
kekerasan yang diterangkan dalam pasal 438 – 441 mengakibatkan
seseorang di kapal yang diserang atau seseorang yang diserang itu mati
maka nakoda. Komandan atau pemimpin kapal dan mereka yang turut
serta melakukan perbuatan kekerasan, diancam dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu tertentu
paling lama dua puluh tahun.
h. Kejahatan Penerbangan
Mengatur mengenai perbuatan dimaksud pasal 479 huruf I dan pasal 479
itu dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama; sebagai kelanjutan
permufakatan jahat; dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu;
mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara ini sehingga dapat
membahayakan penerbangannya; mengakibatkan luka berat seseorang;
dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan
merampas kemerdekaan seseorang; jika perbuatan itu mengakibatkan
matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu.
2. Ancaman Pidana Mati dalam Undang-undang di Luar KUHP
Sanksi pidana mati juga diancamkan oleh undang-undang di luar KUHP.
ada 6 (enam) buah undang-undang yang memberi ancaman pidana mati,
yaitu undang-undang korupsi, narkotika, psikotropika, terorisme, dan pengadilan
hak asasi manusia. Rincian perbuatan yang dilarang oleh undang-undang ini
dapat dilihat pada uraian berikut.
a. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Pasal 2 ayat (1) melarang terhadap setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negarayang dilakukan dalam keadaan tertentu.
b. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Narkotika
o Pasal 113 ayat (2): memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman beratnya
melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon atau dalam bentuk
bukan tanaman beratnya melebihi gram.
o Pasal 114 ayat (2): menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau
menerima Narkotika Golongan I yang dalam bentuk tanaman beratnya
melebihi 1 kilogram atau melebihi batang pohon atau dalam bentuk
bukan tanaman beratnya 5 gram.
o Pasal 118 ayat (2): memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan II beratnya melebihi 5 gram.
o Pasal 119 ayat (2): menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan II beratnya melebihi gram.
Pasal 121 ayat (2): penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau
pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain
mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen.
c. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Pasal 59 ayat (2): menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) atau memproduksi dan/atau menggunakan dalam
proses produksi psikotropika golongan I atau mengedarkan psikotropika
golongan I tidak memenuhi ke-tentuan atau mengimpor psikotropika
golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau secara tanpa
hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan I
dilakukan secara terorganisasi.
d. Perpu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme
o Pasal 6: dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan menimbulkan suasana 38ublic atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan
cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda
orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap
obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas
38ublic atau fasilitas internasional.
o Pasal 8: Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap
orang:
- menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak
bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan
usaha untuk pengamanan bangunan ini ;
- menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya
bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya
usaha untuk pengamanan bangunan ini ;
- dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak,
mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan
penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat
ini , atau memasang tanda atau alat yang keliru;
- karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk
pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah
atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk
pengamanan penerbangan yang keliru;
- dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau
membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya
atau sebagian kepunyaan orang lain;
- dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan,
menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak
pesawat udara;
- karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur,
tidak dapat dipakai, atau rusak;
- dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan
kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau
membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang
dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan
muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan
muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan ini telah
diterima uang tanggungan;
- dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum,
merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai
pesawat udara dalam penerbangan;
- dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau
mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian
pesawat udara dalam penerbangan;
- melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat,
dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan
luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan
dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan
merampas kemerdekaan seseorang;
- dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan
kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam
penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan
keselamatan pesawat udara ini ;
- dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara
dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara
ini yang menyebabkan tidak dapat terbang atau
membahayakan keamanan penerbangan;
- dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau
menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam
dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat
menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat
terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara ini
yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan;
- melakukan secara bersama-sama 2 orang atau lebih, sebagai
kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan
direncanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi
seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l,
huruf m, dan huruf n;
- memberikan keterangan yang diketahuinya yaitu palsu
40ublic40ena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat
udara dalam penerbangan;
- di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat
membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam
penerbangan;
- di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang
dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat
udara dalam penerbangan.
o Pasal 9: secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau
mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, memiliki
persediaan padanya atau memiliki dalam miliknya, menyimpan,
mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau
mengeluarkan 41 ublic/atau dari Indonesia sesuatu senjata api,
amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang
berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana
terorisme.
o Pasal 10: setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata
kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau
komponennya, sehingga menimbulkan suasana 41ublic, atau rasa
takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang
bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi
kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau
terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang
strategis, lingkungan hidup, fasilitas 41 ublic, atau fasilitas
internasional.
o Pasal 14: merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk
melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
o Pasal 15: melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau
pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal
11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku
tindak pidananya.
o Pasal 16: di luar wilayah negara Republik Indonesia yang
memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk
terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang
sama sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
e. Undang-undang No.36 tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia
o Pasal 36: melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
huruf a, b, c, d, atau e.
o Pasal 37: melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf a, b, d, e, atau j.
o Pasal 40: melakukan percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan
untuk melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
atau Pasal 9.
o Pasal 42: (1) komandan militer atau seseorang yang secara efektif
bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan
terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan
HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando
dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan
pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana ini merupakan
akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu :
komandan militer atau seseorang ini mengetahui atau atas dasar
keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan ini sedang
melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat; dan komandan militer atau seseorang ini tidak
melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup
kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan ini
atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk
dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. (2) Seorang
atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara
pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan
pengendaliannya yang efektif, karena atasan ini tidak melakukan
pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni:
atasan ini mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi
yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau
baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan
atasan ini tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan
dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau
menghentikan perbuatan ini atau menyerahkan pelakunya kepada
pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan.
Paparan ini di atas menggambarkan bahwa eksistensi pidana mati
dalam perundang-undangan kita masih diakui, baik yang diatur di dalam KUHP
maupun undang-undang di luar KUHP. Namun perlu dicatat bahwa pidana mati
yang diancamkan dalam KUHP maupun Undang-undang di luar KUHP ini
selalu dirumuskan secara alternatif dengan sanksi pidana lain, yakni pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Dari sini bisa kita
simpulkan bahwa kabijakan formulatif yang dirumuskan oleh pembentuk
undang-undang yaitu bahwa pidana mati itu dijatuhkan bila kejahatannya
memang sangat serius, dan hakim masih diberikan alternatif untuk memilih sanksi
pidana selain pidana mati. Hal ini berarti pula bahwa sanksi pidana mati tidak
bersifat mutlak atanpa ada alternatif sanksi pidana yang lain.
3. Ancaman Pidana Mati dalam Rancangan KUHP
Dalam perspektif ius constituendum, Rancangan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (R KUHP) mempertahankan ancaman pidana mati ini. Namun
dalam R KUHP ancaman pidana mati ini tidak dirumuskan sebagai pidaka pokok
tyapi sebagai pidana yang bersifat khusus sebagaimana dirumuskan dalam Pasal
67 yang menyatakan bahwa “pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat
khusus dan selalu diancamkan secara alternatif”. Penjelasan atas pasal ini yaitu :
Pidana mati tidak ada dalam urutan pidana pokok. Pidana mati
ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana
ini benar-benar bersifat khusus sebagai usaha terakhir untuk mengayomi
warga . Pidana mati yaitu pidana yang paling berat dan harus selalu
diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana seumur hidup atau
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dapat
dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan,
sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan ini terpidana
diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu
dilaksanakan, dan dapat diganti dengan pidana perampasan kemerdekaan.
Di samping itu, R KUHP memformulasikan bahwa pelaksanaan pidana
mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan syarat-syarat :
(a) reaksi warga tidak terlalu besar; (2) terpidana menunjukkan rasa
menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; (c) kedudukan terpidana dalam
penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan (d) ada alasan yang
meringankan. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan
perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur
hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan Keputusan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sementara jika terpidana selama masa
percobaan tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada
harapan untuk diperbaiki, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah
Jaksa Agung. Dengan ketentuan ini, ada kemungkinan bagi hakim untuk
menjatuhkan pidana mati bersyarat.9
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa politik hukum tentang pidana
mati dalam draft R KUHP yaitu :
menempatkan pidana mati sebagai pidana khusus atau istimewa;
pidana mati dapat diubah jadi pidana seumur hidup atau penjara dalam
waktu tertentu sesudah melalui masa percobaan selama sepuluh tahun;
condong untuk tidak menggunakan pidana mati sebagai jenis pidana utama
(pokok) dan diutamakan;
penggunaan pidana mati harus selektif, hanya terhadap perbuatan pidana
yang menimbulkan akibat kematian atau membahayakan nyawa manusia
dan kemanusiaan, atau keamanan negara;
pelaksanaan pidana mati dapat ditangguhkan dengan pemberian masa
percobaan sepuluh tahun, untuk perempuan hamil menunggu sampai
melahirkan, dan untuk orang sakit jiwa hingga si terpidana sembuh.
2. Penjatuhan Pidana Mati terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika
dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
Dalam perspektif hak asasi manusia, penjatuhan pidana mati terhadap
pelaku tindak pidana narkotika masih dipermasalahkan. Sebagian kalangan
mempermasalahkan dari segi instrumen hukum, baik nasional maupun
internasional yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Beberapa instrumen
hukum yang mengakui keberadaan hak asasi manusia terutama hak untuk hidup,
antara lain yaitu Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang tentang Hak
Asasi Manusia, Universal Declaration of Human Rights, dan International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
1. Undang-undang Dasar 1945
Undang-undang Dasar 1945 secara khusus mengatur hak asasi manusia ke
dalam tiga pasal, yaitu Pasal 28A, Pasal 28I, dan Pasal 28J. Berikut yaitu isi dari
masing-masing pasal ini .
o Pasal 28A: Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan.
o Pasal 28I: (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut yaitu hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
o Pasal 28J: (1) setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang
lain dalam tertib kehidupan berwarga , berbangsa, dan bernegara; (2)
Dalam menjalankan dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang diterapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai nilai agama, dan ketertiban umum.
Mencermati Pasal 28A dan 28I ayat (1) UUD 1945 ini di atas dengan
tegas dinyatakan bahwa hak untuk hidup yaitu hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurang dalam keadaan apapun. Namun dalam konteks ini kita tidak boleh
menafsirkan UUD 1945 secara sepotong-sepotong hanya Pasal 28A dan 28I ayat
(1), namun harus ditafsirkan dalam satu kesatuan dengan Pasal 28J ayat (2) yang
merupakan pembatasannya. Pembatasan itu berupa mengecualikan, membatasi,
mengurangi, dan bahkan menghilangkan hak dimaksud, asalkan sesuai dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, dan ketertiban
umum.
2. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 ini mengatur hak untuk hidup ke
dalam 2 pasal, yaitu Pasal 4 dan Pasal 9. Berikut yaitu isi dari masing-masing
pasal ini .
o Pasal 4: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi,
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut yaitu hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun.
o Pasal 9: Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan
meningkatkan taraf kehidupannya.
bila kita cermati ketentuan Pasal 4 dan Padal 9 Undang-undang
tentang HAM ini , nampak seolah-olah hak untuk hidup yaitu hak yang
mutlak dan tidak dapat dikurangi dengan alasan apapun. Namun bila kita baca
bagian penjelasan pasal ini , ternyata ada pembatasan terhadap hak untuk
hidup itu. Bunyi penjelasan pasal ini yaitu : “Setiap orang berhak atas
kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya.
Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau
orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu
demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasar putusan
pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati
dalam hal dan/atau kondisi ini , masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal
ini itulah hak untuk hidup dapat dibatasi.”
Pembatasan oleh undang-undang dalam menjalankan hak dan kebebasan
diatur pula dalam Pasal 70 Undang-undang tentang HAM. Pasal 70 dinyatakan
bahwa “dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu warga demokratis. Kemudian
dalam Pasal 73 dinyatakan bahwa hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang Undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasar undang-undang, semata mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi serta
kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan
bangsa.
Dengan adanya penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa penjatuhan
pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika tidak bertentangan dengan
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dengan kata
lain, bahwa hak aasasi manusia yang dianut oleh bangsa Indonesia memang
mengenal pembatasan-pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Tap MPR
Nomor XVII/MPR/1998, Undang-undang HAM, dan UUD 1945 khususnya Pasal
28J. Ini artinya bahwa ancaman pidana mati pada undang-undang narkotika dapat
dikatakan sudah memiliki landasan konstitusional yang sah.
3. Universal Declaration on Human Rights 1948
Universal Declaration on Human Rights 1948 merupakan pengakuan
terhadap hak-hak asasi manusia. Deklarasi ini memberikan pengakuan hak hak dasar manusia. Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi ini sebagai satu
standar umum bagi keberhasilan untuk semua bangsa dan negara. Prinsip-prinsip
dalam Deklarasi HAM antara Iain: (1) pengakuan terhadap mattabat dasar
(inherent dignify) dan hak-hak yang sama dan sejajar (equal and inalienable
rights) sebagai dasar dari kernerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia; (2)
membangun hubungan yang baik antarbangsa; (3) perlindungan HAM dengan
rule of law; (4) persamaan antara laki-laki dan perempuan; dan (5) kerjasama
antara Negara dengan PBB untuk mencapai pengakuan universal terhadap HAM
dan kebebasan dasar. Beberapa ketentuan yang tercantum dalam Universal
Declaration on Human Rights 1948 dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Pasal 3 Deklarasi hak asasi manusia 10 Desember 1948 merumuskan
“setiap orang berhak atas penghidupan, kebebasan dan keselamatan individu”.
Rumusan ini menggariskan suatu prinsip utama dalam hak asasi manusia yaitu
bahwa tidak seorang pun dapat dicabut hak atas kehidupannya (nyawanya) secara
sewenang-wenang. Pernyataan ini menimbulkan sejumlah pertanyaan dan
argumentasi apakah hukuman mati merupakan pelanggaran terhadap ketentuan
Pasal 3 dari Deklarasi hak asasi manusia ini ?
Dari segi hukum, Deklarasi hak asasi manusia tidak memiliki daya ikat,
namun memiliki arti yang sangat penting. Meskipun demikian, ketentuan ketentuan yang ada dalam Deklarasi Universal HAM banyak dirnasukkan ke
dalam hukum nasional negara-negara anggota PBB dan telah menjadi tolak ukur
untuk menilai sejauh mana suatu negara melaksanakan hak-hak asasi rnanusianya.
Ketentuan-ketentuan yang ada dalam Deklarasi Universal HAM ini dianggap
memiliki nilai sebagai hukum kebiasaan internasional (customary international
law). Deklarasi universal HAM terbagi dalam dua bagian, yaitu Economic and
Social Rights (ICESCR) and Civil and Political Rights (ICCPR)
4. International Covenant on Civil and Political Rights
Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) tahun 1966 yang
sudah diratifikasi oleh Indonesia menyatakan bahwa hak atas hidup yaitu hak
yang mendasar dan tidak dapat dilanggar dalam keadaan apapun. Pengecualian
hak untuk hidup oleh ICCPR terkait dengan pidana mati ada beberapa pasal yang
mengaturnya, yakni Pasal 6 ayat (1) tidak melarang hukuman mati, namun Pasal 6
ayat (2) dan ayat (6) meletakkan sejumlah pembatasan dalam penerapannya. Lima
pembatasan spesifik terhadap pidana mati dapat diidentifikasi dari ketentuan Pasal
6 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (6), yaitu:
Pembatasan pertama, pidana mati tidak bisa diterapkan kecuali pada
kejahatan paling serius dan sesuai dengan hukuman yang berlaku pada saat
kejahatan berlangsung. Jadi, meskipun Pasal 6 ICCPR tidak menghapuskan
pidana mati, namun ia membatasi peranannya pada kejahatan dengan extremely
grave consequences, yang menurut ahli kejahatan narkotika termasuk kategori
kejahatan yang sangat serius dengan akibat buruk yang dahsyat.
Pembatasan kedua, pidana mati dalam Pasal 6 ICCPR ialah keharusan
tiadanya perampasan kehidupan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
kovenan, sehingga misalnya, mesti ada jaminan pemeriksaan yang adil, mesti
tidak ada diskriminasi dalam hukuman berat, dan metode eksekusi yang tidak
sampai menjadi penyiksaan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau
merendahkan martabat. Pembatasan kedua ini sejalan dengan apa yang dinyatakan
oleh The Seventh United Nations Congress on the Prevention of Crime and the
Treatment of Offenders yang dalam resolusi Nomor 15 telah
ditentukan 9 ketentuan di bawah judul “Safeguards guaranteeing protection of
the rights of those facing the death penalty” antara lain sebagai berikut: In
countries which have not abolished the death penalty, capital punishment may be
imposed only for the most serious crimes, ... intentional crimes with lethal or
other extremely grave consequences.
Pembatasan ketiga, bahwa pidana mati hanya bisa dilaksanakan sesuai
dengan putusan akhir yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang.
Pembatasan keempat, bahwa siapa saja yang dihukum mati berhak meminta
pengampunan atau keringanan hukuman dan bisa diberi amnesti, pengampunan
atau keringanan hukum. Pembatasan kelima ialah bahwa hukuman mati tidak bisa
dikenakan pada remaja di bawah umur 18 tahun dan tidak bisa dilaksanakan pada
wanita hamil;
11 ada dua sila yang sangat mendukung
pemberlakuan pidana mati untuk kejahatan-kejahatan yang sangat serius, yakni
sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam mana semua agama mengenal pidana mati
dan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang berarti harus ada
keseimbangan dalam keadilan (balancing justice) dengan memperhatikan posisi
korban kejahatan narkotika, jangan hanya memperhatikan penjahatnya.
Selanjutnya dikatakan bahwa yaitu keliru anggapan kaum anti pidana mati yang
menganalogikan vonis pidana mati sama dengan pembunuhan, yang berarti sama
saja dengan menganalogikan pidana penjara dengan penculikan atau hukuman
denda disamakan dengan perampasan atau pencurian.
Bahwa apa yang selalu dikumandangkan oleh kaum anti pidana mati yang
menurut penelitian mereka pidana mati tidak menurunkan kejahatan, namun
penelitian lain menunjukkan bahwa pidana mati jelas menurunkan kejahatan.
Misalnya usaha Inggris menghapuskan pidana mati pada tahun 1965 kurva
tingkat pembunuhan naik secara signifikan, demikian pula di Afrika Selatan
usaha pidana mati dihapuskan pada tahun 1995 tingkat kejahatan menaik secara
drastis, dan juga di Harris Country Texas Amerika Serikat kejahatan menurun
drastis usaha eksekusi hukuman mati diterapkan kembali pada tahun 1982. Perlu
diketahui bahwa di AS, dari 50 negara bagian (states) 38 states masih
mempertahankan pidana mati. Dengan demikian, pidana mati memiliki efek
pencegahan umum
Ahli pidana Rudi Satria juga setuju diterapkannya pidana mati terhadap
pelaku tindak pidana narkotika. Dikatakan bahwa bicara tentang efek pidana mati
atau pemidanaan lainnya dengan mengesampingkan efek pembalasan dan efek
jera, ibaratnya hidup dalam dunia maya, karena hal itu pasti tak terhindarkan
dalam perspektif korban atau pelaku, sehingga sifatnya selalu subjektif. Khusus
tentang pidana mati dalam Undang-undang Narkotika, tentu diharapkan akan
menimbulkan efek jera dalam warga . Sungguh tidak terbayangkan jika
pidana mati dihapuskan dari Undang-undang Narkotika. Dikaitkan dengan filosofi
kemasyaraatan, oleh Rudi Satria dikatakan bahwa antara pidana mati dan filosofi
pewarga an tidak ada hubungan, karena filosofi pewarga an kaitannya
yaitu dengan pidana penjara.
Adapun yang menjadi alasan mengenai pentingnya penjatuhan pidana mati
ini untuk diberlakukan terhadap terpidana narkotika antara lain sebagai
berikut:
a. Seandainya pidana mati tidak diterapkan terhadap terpidana narkotika
dikhawatirkan perkembangan jaringan (sindikat) pengedar narkotika tidak
dapat dibatasi oleh karena peredaran gelap narkotika dapat merusak
tatanan warga , merusak generasi muda, sehingga yaitu wajar
bila dijatuhi Pidana mati.
b. Pidana mati sangat dibutuhkan dalam era pembangunan terhadap mereka
yang menghambat proses pembangunan, mengedarkan narkotika dapat
diartikan menghambat pembangunan oleh karena sifatnya merugikan dan
merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia,
warga , bangsa dan negara serta ketahanan nasional Indonesia.
c. Pidana mati merupakan alat penting untuk penerapan yang baik dari
hukum pidana oleh karena kemanfaatannya sebagai alat penguasa agar
norma hukum dipatuhi.
Dalam Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing
the death Penaly (Resolusi PBB.1984/50) dirumuskan hal-hal sebagai berikut:
a. Di negara-negara yang belum menghapus hukuman mati, hukuman mati
hendaknya hanya diancamkan kepada kejahatan- kejahatan yang paling
serius, dimana dapat dipahami bahwa kejahatan-kejahatan ini
merupakan kejahatan dengan menggunakan senjata api atau kejahatan
yang menimbulkan ancaman kerusakan yang berat.
b. Hukuman mati telah diancam sebelum perbuatan ini dilakukan. Bila
terjadi perubahan sesudah perbuatan dilakukan hendaknya pelaku mendapat
keuntungan dari perubahan ini .
c. Seseorang yang usianya dibawah 18 tahun pada saat perbuatan dilakukan
tidak dapat dijatuhkan hukuman mati, tidak juga dapat dijatuhkan bagi
wanita hamil atau yang baru melahirkan atau orang-orang yang menderita
kelainan jiwa.
d. Hukuman mati mungkin diancamkan kepada orang yang terbukti bersalah
berdasar proses pembuktian yang jelas dan tidak dimungkinkan adanya
penjelasan lain selain atas fakta yang ada.
e. Hukuman mati hanya dapat dijatuhkan berdasar vonis hakim yang
dikeluarkan oleh pengadilan yang berwenang sesudah melalui proses
persidangan yang adil dan tidak memihak sesuai dengan ketentuan pasal
14 Konvenan hak-hak sipil dan politik, termasuk hak tersangka untuk
mendapat pendampingan penasihat hukum disemua tingkat peradilan.
f. Seseorang yang telah divonis dengan pidana mati memiliki hak untuk
melakukan usaha hukum ketingkat pengadilan yang lebih tinggi, dan
dalam setiap usaha hukum yang dilalui harus diyakinkan bahwa telah
diperiksa secara memadai dan oleh lembaga yang berwenang.
g. Setiap orang yang dijatuhi pidana mati berhak meminta pengampunan atau
peringanan hukuman, pemanfaatan atau perubahan hukuman dijaminkan
dalam setiap kasus dimana hukuman mati dijatuhkan.
h. Hukuman mati tidak dapat dijalankan usaha usaha hukum banding atau
usaha hukum lainnya sebagai sarana untuk mendapat pemaafan atau
pengurangan hukuman tengah dilakukan.
i. Eksekusi terhadap hukuman mati selayaknya dilakukan dengan cara yang
dapat mengurangi penderitaan yang timbul karenanya.
berdasar pemaparan terkait penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Urgensi penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika
yaitu kerana tindak pidana ini menimbulkan korban yang masif,
membutuhkan biaya untuk rehabilitasi dan penegak hukumnya, merusak
generasi muda, dan melemahkan sendi-sendi kehidupan berwarga dan
bernegara. Secara empiric, korban tindak pidana narkotika semakin meningkat
sehingga menimbulkan implikasi fisik dan psikologis tidak hanya terhadap
korban pengguna namun juga terhadap warga secara luas. Dalam konteks
perlindungan warga ,
2. Dalam perspektif hukum, sanksi pidana mati telah diatur dan diakui
eksistensinya baik di dalam KUHP maupun undang-undang di luar KUHP.
Pasal-pasal yang dirumuskan selalu dialternatifkan dengan sanksi pidana
yang lain, yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
lama 20 (dua puluh) tahun. Dengan demikian maka pidana mati bukan
satu-satunya alternatif yang dijatuhkan oleh hakim. Dalam hal ini pidana
mati bersifat ultimum remedium, yaitu senjata pamungkas bila jenis
pidana yang lain diperkirakan tidak efektif. Sedangkan dalam perspektif
hak asasi manusia, sanksi pidana mati tidak bertentangan dengan
instrumen hukum nasional maupun internasional, seperti Undang-undang
Dasar 1945, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Universal Declaration on Human Rights 1948, maupun
International Covenant on Civil and Politica Rights 1966. Di dalam
instrument ini dinyatakan bahwa hak untuk hidup dijamin namun
ada pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan perlunya kebijakan
penerapan pidana mati secara selektif dan limitatif dengan ketentuan berikut:
menempatkan pidana mati sebagai pidana khusus atau istimewa; pidana mati dapat
diubah jadi pidana seumur hidup atau penjara dalam waktu tertentu sesudah melalui masa
percobaan selama sepuluh tahun; tidak menggunakan pidana mati sebagai jenis pidana
utama (pokok) dan diutamakan; penggunaan pidana mati hanya terhadap perbuatan
pidana yang menimbulkan akibat kematian atau membahayakan nyawa manusia dan
kemanusiaan, atau keamanan negara; dan pelaksanaan pidana mati dapat ditangguhkan
dengan pemberian masa percobaan sepuluh tahun, untuk perempuan hamil menunggu
sampai melahirkan, dan untuk orang sakit jiwa hingga si terpidana sembuh.