Kenyataan yang tidak terbantahkan yaitu bahwa rakyat bangsa Indonesia yaitu
hidup dalam negara yang serba plural dari berbagai sisi, mulai dari agama, suku, budaya,
adat istiadat, ras, maupun antar golongan.
Pluralitas terbentuk tidak terlepas dari kondisi geografis, dimana ada
berbagai suku bangsa mendiami kawasan Asia tenggara, dalam lingkungan ribuan pulau,
besar dan kecil. Hubungan antar pulau tidak selalu mudah, sehingga masing-masing pulau
sedikit banyak terisolasi satu dari yang lain. Suatu kenyataan yang mendorong
tumbuhnya ciri-ciri kesukuan, kebahasaan dan kebudayaan, dan hukum adat yang
terpisah-pisah. Bahkan dalam lingkungan pulau pulau besar pun, pola kesukuan dan
kebudayaan yang berbeda-beda terdorong muncul dengan sifat khas masing-masing
menurut lingkungannya, dikarenakan keadaan geografis dan topografis yang berbeda
yang menyebabkan terbentuknya wilayah-wilayah yang terpisah antara satu dengan yang
lainnya.
Pluralitas juga terjadi di bidang hukum, disamping produk hukum yang terus
diproduksi oleh negara melalui pembentukan peraturan perundang-undangan nasional,
dan hukum Islam yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia, berlaku juga hukum adat
yang sudah eksis dianut oleh bangsa Indonesia jauh sebelum datangnya hukum Islam dan
Hukum Barat (kolonial).
Kondisi berlakunya lebih dari satu sistem hukum dalam satu sistem sosial inilah
yang disebut pluralisme hukum. kenyataannya dalam lapangan sosial yang sama, ada
lebih dari satu tertib hukum yang berlaku. Selain tertib hukum negara, warga juga
patuh dan dituntun local normative order yang antara lain berupa hukum adat, hukum
kebiasaan, maupun hukum agama. Griffith (1986) mengatakan bahwa pluralisme hukum
yaitu suatu keniscayaan, sementara sentralisme hukum merupakan mitos, utopia, klaim
bahkan ilusi
Pada aras empirik, hukum negara yang berbentuk unifikasi dan kodifikasi, serta
dibentuk relatif sempurna dalam lingkungan pembuatnya ternyata tidak serta merta
diterima secara penuh oleh komunitas lokal (adat). Muatan sebuah aturan tidak pernah
ditangkap sebagai keharusan keharusan objektif yang bebas nilai, akan tetapi juga selalu
dikaitkan dengan makna budaya dan sistem simbolik lokal. Dengan kata lain, sebuah
regulasi selalu diberi muatan simbolik di tingkat lokal, entah dalam makna sebagai janji,
model baru, ancaman, stigma, ataupun sebagai simbol kekuasaan, pemicu konflik, dan
sebagainya.
Keanekaragaman hukum yang berlaku di Indonesia merupakan kebutuhan hukum
dari warga Indonesia yang majemuk. Hukum adat secara faktual masih tetap
diperlukan dalam menjawab kompleksitas pusaran arus globalisasi. Hukum adat
merupakan nilai-nilai (kebenaran dan keadilan) yang hidup di tengah-tengah warga .
Tulisan pada artikel ini berupaya untuk fokus mendiskripsikan 2 (dua) persoalan,
yakni : (1) dinamika hukum adat dalam pergumulan politik hukum nasional dan (2)
kedudukan dan peran ideal hukum adat dalam politik hukum nasional
PEMBAHASAN
A. Dinamika Hukum Adat dalam Pergumulan Politik Hukum Nasional
Istilah hukum adat4 pertama sekali diperkenalkan oleh Snouck Hurgronje pada
Tahun 1883 dalam bukunya De Atjehnese. Dalam buku itu dia memperkenalkan istilah
Adatrecht (hukum adat) yaitu hukum yang berlaku bagi bumi putera (orang Indonesia
asli) dan orang timur asing pada masa Hindia Belanda. Hukum adat baru mempunyai
pengertian secara tekhnis yuridis setelah C. Van Vollenhoven mengeluarkan bukunya yang
berjudul Adatrecht. Dialah yang pertama sekali menyatakan bahwa hukum adat
merupakan hukum yang berlaku bagi rakyat Indonesia asli dan mejadikannya sebagai
objek ilmu pengetahuan hukum positif serta dijadikan sebagai mata kuliah tersendiri. Dia
juga yang mengangkat hukum adat sebagai hukum yang harus diterapkan oleh hakim
gubernemen.
Terbentuknya hukum adat diawali oleh perilaku pribadi anggota warga .
Adanya aksi dan reaksi yang terpolarisasi dalam hubungan timbal balik antar individu
yang satu dengan individu lainnya, akan membentuk suatu interaksi sosial. Interaksi
antar sesama yang dilakukan secara berulang-ulang akan memberi pengaruh terhadap
tingkah laku bagi yang lainnya, sehingga dalam prosesnya terjadilah sebuah hubungan
sosial. Jika hubungan sosial dilakukan secara sistematis, maka hubungan sosial ini
akan menjadi sebuah sistem sosial. Dengan adanya interaksi sosial, maka kebiasaan
ini lambat laun akan menjadi “adat” yang telah menjelmakan perasaan warga
itu sendiri. selanjutnya kelompok warga menjadikan adat sebagai sebuah adat yang
harus berlaku dan dipatuhi oleh seluruh anggota warga nya dan menjadikan ia
“hukum adat”. Sehingga hukum adat yaitu adat yang diterima dan harus
dilaksanakan/dipatuhi oleh warga yang bersangkutan.5 Skema proses lahirnya
hukum adat yaitu sebagai berikut :
Ketika VOC berkuasa praktis hukum adat belum ditemukan. Bahkan VOC
menganggap hukum adat lebih rendah derajatnya daripada hukum Belanda (Eropa).
Namun ketika Inggris berkuasa mulai ada perintisan penemuan hukum adat. Bahkan
Raffles termasuk salah satu perintisnya meski keliru mengindentifikasi. Raffles kemudian
mengusulkan agar pemerintah Inggris menerapkan politik murah hati kepada pribumi.6
Peralihan kekuasaan dari Inggris ke Belanda pada tahun 1816 ternyata
merupakan angin segar bagi perkembangan hukum adat. Dimulai pada tahun 1938 ketika
pemerintah Belanda berhasil membuat peraturan kodifikasi Hukum Pidana dan Perdata
di negerinya sendiri. Hal ini mendorong kodifikasi peraturan di Hindia Belanda. Saat itu
hukum adat masih merupakan gejala yang tidak dikenal dan tidak disukai.
Tujuan kodifikasi hukum ini yaitu menyeragamkan peraturan-peraturan
yang berlaku di Negeri Belanda dan Hindia Belanda/ indonesia. Untuk itu dibentuk komisi
Scholten van Oud Haarlem yang bertugas membuat perencanaan agar kodifikasi Hukum
Belanda ini dapat diterapkan di Hindia Belanda dan mengajukan usul-usul yang
sesuai dengan pelaksanaan tugas ini .
Dalam perkembagannya, Oleh Pemerintah Kolonial Belanda hukum adat diakui
secara resmi merupakan hukum bagi bangsa Indonesia dan sejajar dengan hukum Eropah
melalui Pasal 131 ayat (6) IS yang menyatakan ”hukum bangsa Indonesia yaitu hukum
positif bagi bangsa Indonesia”. Pengertian hukum bangsa Indonesia dalam pasal ini
yaitu hukum adat. Pasal 131 ayat (6) ini merupakan dasar hukum terhadap pengakuan
Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum adat dan sekaligus pengakuan terhadap
hukum adat sebagai hukum positif bagi bangsa Indonesia. Dengan diakuinya hukum adat
sebagai hukum positif maka pada masa Pemerintahan Hindia Belanda ada dua sistem
hukum yang berlaku yaitu sistem hukum Belanda bagi orang Eropah dan bagi orang
Timur Asing maupun orang Indonesia yang secara penundukan diri kepadanya
diberlakukan hukum Eropah (Pasal 131 ayat (2) IS) dan hukum adat bagi bangsa
Indonesia dan orang timur asing yang tidak asing di Indonesia (Pasal 136 ayat (6) IS).7
Menurut van Vollenhoven ada 6 orang perintis usaha penemuan hukum adat.
Pertama yaitu Marsden, Ia seorang pegawai pangreh praja dalam dinas India-Inggris.
Marsden memulai usaha ini pada tahun 1783 dalam tulisannya, The History of
Sumatera. Bagi Marsden The History yaitu keterangan tentang pemerintahan, hukum
dan adat istiadat penduduk bumiputera. Kedua yaitu Muntinghe, Ia dianggap sebagai
penemu Desa Jawa sebagai sebuah persekutuan hukum (rechstgemeenschap) asli, karena
memiliki organisasi dan hak-hak atas tanahnya sendiri. Muntinghe yaitu orang Belanda
pertama yang secara sistematis memakai istilah adat, tetapi belum mengenal istilah
adattrecht. Ketiga yaitu Raffles. Gubernur Jenderal Inggris yang berkuasa setelah
kendali VOC atas Hindia Belanda pindah ke tangan Inggris. Raffles yaitu orang yang
keliru mengidentifikasi hukum adat. Menurutnya hukum agama merupakan hukum
bumiputera (hukum adat). Ia bahkan menganggap tidak ada rakyat di Jawa, karena
kekuasaan Raja (beserta hukumnya) sangat dominan. Keempat yaitu Crawfud. Ia
dipandang sebagai orang pertama yang tidak keliru mengidentifikasikan hukum adat
dengan hukum agama. Baginya hukum agama yaitu bagian kecil dari hukum adat.
Kelima yaitu Dirk van Hogendorp. Ia meneliti Hak Milik bumuputera atas tanah (di
Jawa). Keenam yaitu Jean Chretien Baud yang berperan besar dalam penyusunan Pasal
62 Ayat 3 Regering Reglement/RR (Pasal 5 Ayat 3 Indische Staatsregeling) yang
melindungi hukum tanah adat.8
Setelah kemerdekaan, eksistensi hukum adat dan warga adat berlaku
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, dan sekilas tertuang dalam Penjelasan
UUD 1945, yang menyatakan :
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa ini dan segala
peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingat hak-hak dan asal-usul daerah
ini .
Soetandyo Wignjosoebroto berpendapat bahwa berdasarkan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 yang menasional dan dengan demikian juga meneruskan berlakunya
seluruh hukum perundang-undangan kolonial yang bersemangatkan unifikasi telah pula
menjadikan hukum adat yang bersemangatkan pluralisasi itu tidak banyak diperhatikan.
Sebagaimana telah diketahui, dibawah pengelolaan ter Haar, sepanjang sejarah babakan
akhir pemerintahan kolonial, positivisasi Hukum Adat tidak dilakukan melalui undang undang (legislasi) sebagaimana dipikirkan oleh van Vollenhoven, malainkan lewat proses
yudisial. Dalam kenyataan demikian, Hukum Adat “hanya” terdokumentasi dalam naskah naskah yuridisprudensi, sedangkan kita semua pun tahu bahwa di negeri-negeri yang
menganut tradisi civil law system Prancis, seperti Indonesia ini, bahan-bahan hukum yang
eksis sebagai yurisprudensi tidaklah pernah ditengok sebagai sumber hukum formal yang
utama. Di Indonesia, walaupun yurisprudensi diakui sebagai sumber hukum formal,
tetapi oleh karena tradisi Eropa kontinental yang dibangun oleh pemerintahan kolonial
Belanda dahulu lebih mengemuka, maka tradisi itu lebih banyak digunakan. Padahal, jika
dikaji secara substansial, tradisi Anglo Saxon agak lebih mirip dengan bangunan hukum
adat.9
Secara politis menurut Soetandyo eksistensi dan fungsi Hukum Adat menjadi kian
minimal lagi tatkala perjuangan untuk pembangunan hukum nasional diidentikkan
dengan upaya untuk menciptakan hukum revolusi pada era Orde Lama dan kemudian
membangun hukum yang berfungsi sebagai alat untuk merekayasa warga (pada era
Orde Baru). Karena hukum revolusi dan hukum yang berfungsi sebagai as a tool of social
engineering ini dalam konsepnya, secara implisit, merupakan hukum baru yang anti kolonial dan anti-tradisi, dapatlah dimengerti kalau Hukum Adat tidak akan terkualifikasi
ke dalam kategori hukum yang dikonsepkan sebagai hukum revolusi atau hukum
perekayasa sosial itu.10
Disamping ketentuan dalam konstitusi, pemberlakuan hukum adat dalam hukum
positif tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Salah satu yang cukup
revolusioner dan fundamental yaitu ketentuan dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun
1960 Tentang Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mulai berlaku tanggal 24
September 1960. UUPA yaitu undang undang nasional yang secara fundamental
mengadakan perombakan terhadap hukum pertanahan yang berlaku. UUPA telah
mencantumkan sejumlah ketentuan pokok yang isinya memberikan patokan apa dan
bagaimana seharusnya hukum adat dan hak atas adat dalam sistem perundang-undangan
agraria nasional.11 Sumbangsih hukum adat yang lain, misalnya dalam kontrak bagi hasil
(bidang perminyakan), juga dalam bidang hukum tanah dan hukum perumahan
(khususnya rumah susun), disamping asas pemisahan horisontal dalam UUPA.
Namun demikian, menurut Satjipto Rahardjo, pengakuan dan perlindungan
terhadap hukum adat dalam UUPA sifatnya retoris, karena pada saat yang sama kita telah
membunuh hukum adat secara perlahan-lahan. Hal ini disebabkan politik hukum kita
tidak menyiapkan kelengkapan yang memadai untuk melindungi hukum adat dari
“terkaman” hukum negara. Dalam hal pendaftaran tanah berupa pensertifikatan tanah
misalnya, warga hukum adat dibiarkan “bertempur” sendiri melawan orde hukum
negara dan orde setifikat yang diwakili oleh pengusaha pengelolaan hutan. Hampir bisa
dipastikan bahwa hukum negara lebih berpihak kepada orde sertifikat sebagai sesuatu
yang positif legal dari bukti yang dimiliki oleh warga hukum adat yang bersifat
sosiologis-antropologis.
Penegasan atas penguatan eksistensi hukum adat dalam hukum nasional pasca
reformasi yaitu dengan dicantumkannya dua pasal baru dalam perubahan kedua
(2000) UUD 1945, yaitu Pasal 18 B Ayat (2) yang menyatakan bahwa negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan warga hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan warga dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Berikutnya, Pasal 28 1 Ayat (3) yang menyatakan identitas budaya dan hak warga
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Secara umum, ada empat syarat yuridis yang diberlakukan bagi eksistensi hukum
adat (disertai kutipan komentar dari satjipto Rahardjo),14 yakni :
(1)“Sepanjang masih Hidup”
Kita tidak semata-mata melakukan pengamatan dari luar, melainkan juga dari
dalam, dengan menyelami perasaan warga setempat (pendekatan
partisipatif)
(2)“sesuai dengan perkembangan warga ”
Syarat ini mengandung risiko untuk memaksakan (imposing) kepentingan raksasa
atas nama “perkembangan warga ”. Tidak memberi peluang untuk
membiarkan dinamika warga setempat berproses sendiri secara bebas”
(3)“sesuai dengan prinsip NKRI”
Kelemahan paradigma ini melihat NKRI dan warga adat sebagai dua entitas
yang berbeda dan berhadap-hadapan
(4)“Diatur dalam undang-undang”
Indonesia yaitu negara berdasar hukum, apabila dalam negara yang demikian itu
segalanya diserahkan kepada hukum, maka kehidupan sehari-hari tidak akan
berjalan dengan produktif. Hukum yang selalu ingin mengatur ranahnya sendiri
dan merasa cakap untuk itu telah gagal (bila tidak melibatkan fenomena sosial
lainnya).
warga hukum adat juga memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai
pemohon dalam perkara konstitusi sebagaimana tertera dengan jelas dalam Undang
Undang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Legalitas dan
legitimasi keberadaan kesatuan warga hukum adat sesungguhnya juga berkenaan
dengan penegakan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia sebagaimana yang secara
tegas disebutkan dalam Pasal 28 I ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 bahwa identitas
budaya dan hak mereka dihormati. Pengakuan dan penghormatan hak warga
hukum adat (MHA) tidak hanya menjadi kewajiban moral pemerintah, akan tetapi
menjadi kewajiban yuridis yang harus dilaksanakan oleh pemerintah negara.15
B. Kedudukan dan Peran Ideal Hukum Adat dalam Politik Hukum Nasional
Dalam konteks pemberlakuan hukum adat sebagai bagian dari hukum nasional,
nampaknya perlu diketengahkan dua aliran filsafat hukum yang sangat kontras tajam
mempertentangkan kedudukan hukum adat dalam sistem hukum, yaitu positivisme
hukum dan historical jurisprudence (mazhab sejarah). Positivisme menghendaki bahwa
pembuatan hukum dapat begitu saja dilakukan dengan undang-undang. Bukti kuatnya
pengaruh positivisme dalam sistem hukum Indonesia yaitu kuatnya keinginan
melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum.16
Sedangkan mazhab sejarah menentang penyamaan hukum dengan undang undang sebab hukum itu tidak mungkin dibuat melainkan harus tumbuh dari kesadaran
hukum warga . von Savigny menegaskan bahwa seperti halnya bahasa, juga
konstitusi dan perilaku warga , hukum pun ditentukan oleh karakter khas dari
masing-masing negara atau bangsa. Savigny menyebut karakter ini dengan jiwa bangsa
(national spirit, volksgeist).17
Mazhab sejarah yang dipelopori Von Savigny cukup besar pengaruhnya dalam
membentuk aliran tentang pembangunan hukum di Indonesia yang pada awalnya juga
terbelah atas aliran yang menghendaki kodifikasi dan unifikasi serta aliran yang
menghendaki dipertahankannya hukum adat yang tidak dikodifikasi dan tidak
diunifikasikan. Mazhab sejarah menghendaki agar hukum adat yang merupakan
pencerminan nilai-nilai kebudayaan asli Indonesia dipertahankan untuk mencegah
terjadinya pembaratan dalam hukum. Pada sisi lain mempertahankan hukum adat juga
berimplikasi negatif yaitu terisolisasinya bangsa Indonesia dalam perkembangan hukum
modern sehingga mengakibatkan keterbelakangan dan menimbulkan problem terutama
dalam bersaing dengan bangsa lain.18
Pertentangan di atas tidak perlu dipertajam melainkan harus dipertemukan dalam
keseimbangan antara hukum sebagai alat dan hukum sebagai cermin budaya warga .
Juga antara hukum sebagai alat untuk menegakkan ketertiban yang sifatnya konservatif
(memelihara) dan hukum sebagai alat untuk membangun (mengarahkan) warga
agar lebih maju.19 Konsep ini sangat sesuai dengan pemikiran yang disampaikan oleh
Eugen Ehrlich yang dikenal dengan aliran sociological jurisprudence yang berbicara
tentang living law atau hukum yang hidup dalam warga . Menurut Ehrlich bahwa
hukum positif yang baik dan efektif yaitu hukum yang sesuai dengan living law yaitu
yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam warga .
Konsep pemikiran legisme/positivisme sangat mempengaruhi para sarjana
hukum Eropa dan Belanda. Menurut konsep ini tidak ada hukum kecuali undang-undang.
Hukum tidak tertulis (termasuk hukum adat di Indonesia) dipandang bukan hukum.
Konsep ini menyamakan hukum dengan undang-undang. Sebaliknya pihak mazhab
sejarah menentang perundang-undangan sebagai suatu cara untuk membuat hukum
karena hukum itu tidak mungkin dibuat melainkan tumbuh sendiri dari kesadaran hukum
warga .
Mazhab sejarah ini menurut Mochtar Kusumaatmadja sangat berpengaruh di
Indonesia baik dikalangan pendidikan maupun di pemerintahan. Pengaruh ini terus
berlangsung melalui ahli-ahli hukum adat terkemuka hingga generasi sarjana hukum
sekarang. Pemikiran dan sikap mazhab ini terhadap hukum telah memainkan peranan
yang penting dalam mempertahankan hukum adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai
kehidupan penduduk pribumi.
Pada sisi yang lain literatur hukum juga mencatat bahwa hukum dalam pengertian
luas dapat dikelompokkan dalam dua bagian yaitu hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis. Hukum adat termasuk dalam kelompok kedua. Akan tetapi yang menjadi
permasalahan yaitu tidak ada satu pasalpun dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar
UUD) 1945 yang mengatur tentang kedudukan hukum tidak tertulis. Bahkan pasal-pasal
dalam batang tubuh UUD 1945 banyak yang memerintahkan ketentuan pasalnya untuk
diatur lebih lanjut dengan Undang-undang (undang-undang organik). Perintah
pengaturan lebih lanjut ketentuan Pasal dalam UUD 1945 ke dalam undang-undang
mengandung makna bahwa Negara Indonesia lebih mengutamakan hukum yang tertulis.
Pengakuan terhadap hukum tidak tertulis dahulu hanya dijelaskan atau
dicantumkan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 angka I yang menyebutkan ”... Undang Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-undang
Dasar itu berlakunya juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-atauran dasar
yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak
tertulis”.
Dalam Pasal 18B ayat (2) Amandemen UUD 1945 menyebutkan ”Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan warga hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan warga dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Menurut pasal ini
hukum adat yang diakui yaitu hukum adat yang masih nyata-nyata hidup, jelas materi
dan lingkup warga adatnya.
Ketentuan Pasal 18b ayat (2) di atas dapat dipahami bahwa UUD 1945 lebih
mengutamakan hukum yang tertulis dari pada tidak tertulis. Ini maknanya bahwa
pengakuan terhadap hukum adat yang masih hidup dalam warga di suatu daerah
harus dilakukan dengan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan (tertulis).
Untuk menganalisis kedudukan hukum adat dalam sistem hukum perlu kiranya
diperhatikan salah satu aliran, Kedudukan Hukum Adat dalam Sistem Hukum dalam ilmu
hukum yaitu, Sociological Jurisprudence yang disampaikan oleh Eugen Ehrlich. Yang
menjadi konsepsi dasar dari pemikiran Ehrlich tentang hukum yaitu apa yang
dinamakan dengan living law. Hukum positif yang baik dan efektif yaitu hukum yag
sesuai dengan living law dari warga yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di
dalamnya.
Dengan adanya pluralitas hukum yang berlaku di Indonesia ini, Koesnoe melihat
bahwa hukum adatlah yang harus menjadi landasan hukum nasional. Dijelaskan bahwa
hukum adat yang dimaksud bukanlah hukum adat yang terlahir dari keputusan-
keputusan para petugas hukum, bukan pula yang telah menjelma dalam tingkah laku
nyata, yang biasa disebut dengan kebiasaan, melainkan bagian dari hukum adat yang
merupakan tempat segala ketentuan konkret dari hukum adat memperoleh dasar
pembenarannya yang asasi. Jadi, dasar-dasar pikiran, cita-cita dan prinsip-prinsip yang
membimbing hukum adat untuk melahirkan ketentuan-ketentuan hukum adat yang lebih
konkret, sampai pada kenyataan-kenyataan dalam warga .21
Jalan hidup bersama dalam hukum adat jika dibandingkan dengan jalan yang
diikuti di dalam pandangan hukum Barat menurut Koesnoe22 yaitu sebagai berikut :
Sedikit berbeda dengan Koesnoe, Satjipto Raharjo menganalisis hukum adat
melalui pendekatan sosiologis, antropologis dan fungsional cenderung mendekati teori
sosiologinya Talcott Parson. Ia berpendapat bahwa hukum adat yaitu hukum yang hidup
(living law), yaitu hukum yang mencerminkan pikiran dan cita-cita hukum Indonesia.23
Senada dengannya, yaitu pemikiran Mochtar Kusumaatmadja yang dianggap
banyak dipengaruhi aliran Sociological Jurisprudence. Mochtar melihat bahwa hukum
tidak semata-mata merupakan gejala normatif, yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam warga . Lebih dari itu, hukum juga
merupakan gejala sosial yang tidak pernah terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam
suatu warga (shared value system). Bahkan, dapat dikatakan bahwa hukum
warga pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam warga . Sebagai
pengukuhan asumsinya, Mochtar mengatakan bahwa hukum yang baik yaitu hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam warga , yang tentunya
sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam warga .
Dalam bahasa yang lain, Laica Marzuki menyatakan hukum yaitu bagian dari
kebudayaan, ia merupakan salah satu cermin (reflective) sistem nilai budaya warga
(culture value system). Dikatakan pula bahwa hukum selain merupakan bagian
kebudayaan, juga produk kebudayaan. Hukum merupakan bagian nilai-nilai etika sistem
budaya (culture system) yang antara lain berupa perasaan hukum, kesadaran hukum,
asas-asas hukum serta kaidah-kaidah hukum. Ia menyimpulkan bahwa unifikasi hukum
nasional yang ideal yaitu dengan mengakomodir perangkat kodifikasi-kodifikasi hukum
dan tetap memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup di warga .24
Penegasan yang lebih kuat tentang hukum adat sebagai hukum yang hidup muncul
dalam “Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional” di Yogyakarta tanggal 15-
17 Januari 1975 yang kemudian diikuti oleh berbagai pertemuan ilmiah lain. Terakhir
muncul dalam kesimpulan seminar “Arah Pembangunan Hukum Menurut Undang Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen” (Jakarta, 29-31 Mei 2006) yang menegaskan
bahwa dalam kaitan dengan pembangunan substansi hukum, UUD 1945 secara tegas
mengakui dan memberikan tempat dan dasar bagi keberlakuan norma hukum dan
pranata hukum yang berasal dari hukum yang hidup dan berlaku dalam warga
(living live), yaitu hukum adat dan hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional.
Penegasan ini berkenaan dengan dicantumkannya dua pasal baru dalam
perubahan kedua (2000) UUD 1945, yaitu Pasal 18 B Ayat (2) yang menyatakan bahwa
negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan warga hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
warga dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang undang. Berikutnya, Pasal 28 1 Ayat (3) yang menyatakan identitas budaya dan hak
warga tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Adapun Corak nilai-nilai budaya hukum adat yang pada dasarnya dapat dijadikan
pedoman bagi pembentukan dan pelaksanaan hukum nasional terutama ada pada
nilai-nilai hukum adat sebagai berikut :
- tradisional, bersifat turun temurun dari zaman nenek moyang hingga ke anak cucu
sekarang ini yang keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh warga :
- keagamaan, bersifat magis religius artinya perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukum
berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang ghaib dan berdasarkan pada ajaran
Ketuhanan Yang Maha Esa:
- kebersamaan, bersifat komunal maksudnya bahwa dalam hukum adat lebih diutamakan
kepentingan bersama di mana kepentingan pribadi diliputi dalam kepentingan
bersama:
- konkret dan visual, artinya hukum adat ini jelas, nyata, berwujud sedangkan corak visual
dimaksudkan hukum adat itu dapat dilihat, terbuka, dan tidak tersembunyi:
- terbuka dan sederhana, artinya hukum adat itu dapat menerima unsur-unsur yang
datangnya dari luar asal saja tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu sendiri:
- dapat berubah dan menyesuaikan, hukum adat merupakan hukum yang hidup dan
berlaku di dalam warga Indonesia sejak dahulu hingga sekarang yang dalam
pertumbuhan dan perkembangannya secara terus menerus mengalami proses
perubahan, menebal dan menipis:
- tidak dikodifikasi, tidak tertulis oleh karena itu hukum adat mudah berubah dan dapat
menyesuaikan dengan perkembangan warga :
- musyawarah dan mufakat, hukum adat pada hakekatnya mengutamakan adanya
musyawarah dan mufakat, baik dalam keluarga, hubungan kekerabatan, ketetanggaan,
memulai suatu pekerjaan maupun mengakhiri pekerjaan, apalagi yang bersifat
“peradilan” dalam menyelesaikan perselisihan antara yang satu dengan yang lain,
diutamakan jalan penyelesaiannya secara rukun dan damai dengan musyawarah dan
mufakat, dengan saling memaafkan tidak begitu saja terburu-buru pertikaian itu
langsung dibawa atau disampaikan ke pengadilan negara