HAM 1

Tampilkan postingan dengan label HAM 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HAM 1. Tampilkan semua postingan

Rabu, 06 Maret 2024

HAM 1


 




Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam negara kita  (PUSHAM UII) 

merasa terhormat sebab dipercaya untuk menerbitkan buku karya Dr. Suparman 

Marzuki, S.H., M.Si. Buku ini menjadi penanda dwi windu kiprah PUSHAM UII 

dalam mengembangkan diskursus hak asasi manusia di negara kita . PUSHAM 

UII yaitu lembaga penelitian hak asasi manusia yang paling awal didirikan di 

negara kita  bersama PUSHAM Universitas Pajajaran dan Universitas Surabaya 

pada pertengahan tahun 2000. 

PUSHAM UII didirikan dengan cita-cita menjadi pusat kajian hak asasi 

manusia utama, pendidikan dan advokasi dalam membangun dan membentuk 

pemerintahan dan warga  negara kita  yang manusiawi, demokratis dan beradab. 

Cita-cita ini  diwujudkan dengan dua cara yaitu: (1) tindakan promosi yang 

diorientasikan pada penyebaran prinsip-prinsip hak asasi manusia dan pelatihan 

praktis hak asasi manusia bagi warga , dan (2) tindakan penguatan yang 

ditujukan untuk memungkinkan dan memperkuat negara dan warga  dalam 

menerapkan dan melindungi kebebasan dan hak asasi fundamental.

Secara praktis, cita-cita di atas salah satunya dilakukan dengan penelitian, 

publikasi dan diseminasi. Penelitian dilakukan dalam rangka membangun basis 

pengetahuan yang valid. Beberapa isu besar yang telah diteliti antara lain isu 

pelanggaran berat hak asasi manusia masa lalu, progress pemenuhan hak 

ekonomis, sosial dan budaya, kebebasan beragama dan berkeyakinan, reforma 

aktor keamanan, peradilan yang fair dan hak-hak penyandang disabilitas. 

Terkait isu pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, kesimpulan besar 

kami yaitu bahwa rezim pasca reformasi memang sengaja melanggengkan 

impunitas bagi para pelaku. Undang-undang disahkan, jaksa dipersiapkan, komisi 

nasional hak asasi manusia dibangun, pengadilan hak asasi manusia didirikan, 

namun semua itu hanya sebagai sarana untuk memberi  pembebasan kepada 

para pelaku. Meminjam istilah David Cohen, seluruh proses ini intended to fail 

(direncanakan untuk gagal). Penelitian ini dilakukan oleh Suparman Marzuki yang 

kemudian diterbitkan dalam buku berjudul “Robohnya Keadilan! Politik Hukum 

HAM Era Reformasi” dan kemudian diterbitkan ulang dengan judul “Pengadilan 

HAM Di negara kita , Melanggengkan Impunitas”, pada tahun 2011. 

Penelitan serupa juga dilakukan oleh Artidjo Alkostar. Penelitian ini 

menyimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan yang disiapkan untuk 

mengadili pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat di negara kita  bersifat 

lemah dan ada  banyak lubang hukum. Alhasil, undang-undang yang ada 

tidak mampu menjawab persoalan teknis dan substansi pada proses penegakan 

hukum. Situasi ini mengkonfirmasi temuan Suparman Marzuki dan David Cohen 

sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Penelitian Artidjo Alkostar kemudian 

diterbitkan dalam buku berjudul “Pengadilan HAM, negara kita  dan Peradaban”,  

pada tahun 2004.

Terkait pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, Busyro Muqoddas 

melakukan penelitian panjang terkait proses hukum bagi orang-orang yang 

dituduh terlibat gerakan Komando Jihad pada tahun 1982-1985-an. Penelitian 

ini menyimpulkan bahwa gerakan Komando Jihad diduga keras sebagai bentuk 

rekayasa rezim orde baru untuk melakukan depolitisisasi muslim negara kita . Pada 

prosesnya, terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius terhadap 

orang-orang yang diduga terlibat seperti rekayasa kasus, rekayasa pembuktian, 

penyiksaan para terduga pelaku dan keluarga mereka, dan tindakan lain yang 

kejam, tidak manusiawi dan merendahkan  martabat kemanusiaan. Penelitian ini 

kemudian diterbitkan dalam buku berjudul “Hegemoni Rezim Intelijen: Sisi Gelap 

Peradilan Kasus Komando Jihad”, pada tahun 2011.

Penelitian juga dilakukan terhadap pemenuhan hak atas pendidikan 

dan perumahan di negara kita . Pada penelitian ini, secara umum pemerintah 

negara kita , khususnya pemerintah daerah, belum memakai pendekatan 

hak asasi manusia pada pengembangan program pendidikan dan perumahan. 

Pendidikan dan perumahan masih dilihat sebagai urusan privat warga negara. 

Negara memang hadir, namun masih sangat sulit mengukur “progressive 

realisastion” yang yaitu indikator dan sifat hak ekonomi, sosial dan budaya 

itu. Penelitian ini telah diterbitkan dalam buku berjudul “Potret Pemenuhan Hak 

Atas Atas Pendidikan dan Perumahan di Era Otonomi Daerah: Analisa Situasi di 

Tiga Daerah”, pada tahun 2009. 

Terkait reforma aktor keamanan, PUSHAM UII telah melakukan 

pendampingan bagi institusi kepolisian dalam mengembangkan kurikulum 

pendidikan berdimensi hak asasi manusia. Untuk kegiatan ini, berbagai hasil 

penelitian dan modul telah dikembangan dan juga dilatihkan kepada Polri, 

khususnya pada lembaga pendidikan baik Akademi Kepolisian maupun melalui 

Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri. Modul yang terakhir diterbitkan dan 

dikembangkan yaitu “Pengembangan Perspektif Hak Asasi Manusia untuk 

Pendidikan dan Pelatihan POLRI”, pada tahun 2016.

 PUSHAM UII juga telah bekerja panjang melakukan penelitian terkait hak 

penyandang disabilitas pada proses hukum. Pada penelitian yang dilakukan, 

temuan pentingnya yaitu bahwa institusi aparat penegak hukum belum siap 

dalam melayani penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Fasilitas 

dan kapasitas yang tersedia baru disiapkan untuk menyidangkan perkara dengan 

non penyandang disabilitas. Alhasil, proses hukum yang melibatkan penyandang 

disabilitas, baik sebagai korban ataupun pelaku, seringkali menghadapi hambatan 

yang serius. Hambatan-hambatan inilah yang berpotensi melanggar hak asasi 

manusia penyandang disabilitas. Hasil penelitian pada isu ini telah diterbitkan 

dalam bentuk buku berjudul “Aksesibilitas Peradilan bagi Penyandang Disabilitas”, 

pada tahun 2015. 

Pada isu peradilan, penelitian juga dilakukan terhadap putusan hakim. 

Penelitian dilakukan dalam rangka menguji dan memetakan penggunaan 

pertimbangan hak asasi manusia dalam putusan hakim. Temuannya yaitu 

bahwa secara umum, putusan pengadilan belum memakai perspektif hak 

asasi manusia pada pertimbangannya. Padahal kasus-kasus ini  terkait erat 

dengan hak asasi manusia. Misalnya, kasus terkait anak, perempuan, lingkungan, 

dan minoritas. Semua kasus ini  masih disidangkan secara konvensional 

dan tidak diletakkan sebagai problem hak asasi manusia. Penelitian ini telah 

diterbitkan dalam bentuk buku berjudul “Wajah Hakim dalam Putusan: Studi Atas 

Putusan Hakim Berdimensi Hak Asasi Manusia”, pada 2009.  

Buku-buku sebagaimana dijelaskan di atas sebagian besar terkait dengan 

isu-isu spesifik dalam diskursus hak asasi manusia. PUSHAM  UII juga telah 

menerbitkan buku teks yang berisi segala aspek teoritis, prinsip dan instrumen 

hak asasi manusia. Buku ini yaitu buku rujukan dan pondasi keimuan 

hukum hak asasi manusia. Buku ini ditulis oleh lima belas orang pakar, tiga orang 

dosen di Universitas Oslo, Norwegia dan tiga belas yang lain yaitu dosen-dosen 

hak asasi manusia dari universitas dan lembaga hak asasi manusia terkemuka 

di negara kita . Buku ini berjudul “Hukum Hak Asasi Manusia” dan diterbitkan 

pertama kali pada tahun 2008. Selain buku-buku ini , PUSHAM UII juga 

telah menerbitkan lusinan buku lain yang yaitu hasil penelitian maupun 

modul-modul spesifik hak asasi manusia. 

Buku yang saat ini sedang anda baca yaitu buku penting yang dapat 

menjadi pondasi ke-negara kita an dalam rangka memahami hukum hak asasi 

manusia. Buku ini menarik dan wajib dibaca oleh semua sarjana, khususnya 

orang yang concern terhadap isu hukum. Hal itu dilatarbelakangi oleh dua hal 

yaitu terkait substansi dan metodologi. Penjelasannya yaitu sebagai berikut. 

Pertama, terkait substansi. Hingga saat ini, kritik utama terhadap buku-

buku hukum hak asasi manusia yaitu bahwa buku ini  ditulis hanya dengan 

mengakomodasi prinsip-prinsip umum tentang hak asasi manusia. Hukum hak 

asasi manusia seakan berdiri nun jauh di awang-awang langit Perserikatan 

Bangsa-Bangsa (PBB). Jikalaupun turun sedikit, masih menjadi prinsip umum 

pada wacana publik. Hak asasi manusia seakan terpisah dengan rezim ilmu hukum 

lain. Buku ini berbeda dengan buku-buku pada umumnya. Ia menjelaskan hak 

asasi manusia tidak hanya terkait prinsip umum serta berbagai instrumen hak 

asasi manusia internasional, tetapi langsung diberikan contoh dan penjelasan 

bahwa hukum hak asasi manusia harus diejawantahkan pada berbagai peraturan 

perundang-undangan di negara kita .

Contohnya yaitu saat penulis menjelaskan bahwa di negara kita , 

banyak peraturan perundang-undangan yang terkait langsung dengan hak 

sipil dan politik, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-

Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan lain-lainnya. Dijelaskan juga 

perundang-undangan yang terkait dengan hak ekonomi, sosial dan budaya, 

seperti Undang-Undang tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang tentang 

Perumahan, Undang-Undang tentang Fakir Miskin, Undang-Undang tentang 

BPJS dan lain-lainnya. Penjelasan ini  menjadi kelebihan utama buku ini. Ia 

ingin menyatakan bahwa hak asasi manusia bukanlah prinsip yang ada di langit, 

namun dapat dijadikan norma yang dibumikan dalam kenyataan.

Kedua, terkait metodologi. Buku ini ditulis secara runtut. Pada awalnya, 

dimulai dari prinsip-prinsip besar dan kerangka teori hukum hak asasi manusia, 

hingga mengerucut pada berbagai instrumen hak asasi manusia, baik internasional 

maupun regional. Buku ini juga mencoba mengetengahkan instrumen hak asasi 

manusia yang jarang didiskusikan dan dirujuk orang, misalnya Piagam Madinah.  

Oleh kalangan Islam, Paiaham Madinah dianggap sebagai instrumen hak asasi 

manusia paling tua di jagad raya ini. Dari sisi  bahasa, buku ini juga sangat mudah 

dipahami. Bahasa yang digunakan yaitu bahasa ilmiah cenderung populer, 

sehingga tidak perlu mengernyitkan dahi untuk memahaminya. 

Selain beberapa hal di atas, satu hal penting lain yaitu bahwa hak 

asasi manusia telah menjadi bagian integral dari sistem hukum di negara kita . 

ini dapat dilihat dari telah diratifikasinya hampir semua instrumen hak asasi 

manusia internasional, seperti Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan 

Politik, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi 

Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminiasi Rasial, Konvensi 

tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi 

Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak 

Manusiawi dan Merendahkan Martabat, Konvensi tentang Hak Anak, Konvensi 

tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarga Mereka, Konvensi tentang 

Hak Penyandang Disabilitas, dan Konvensi Internasional tentang Perlindungan 

Semua Orang dari Penghilangan Secara Paksa. Konvensi terakhir hanyalah 

satu-satunya instrumen pokok hak asasi manusia yang belum diratifikasi oleh 

pemerintah negara kita . Buku yang ada di tangan pembaca ini menjadi penting 

untuk memahami posisi hukum hak asasi manusia di negara kita  sekaligus menjadi 

materi penting menuju pemahaman yang utuh tentang hukum hak asasi manusia.   

Pada akhirnya, sebagai Direktur PUSHAM UII, saya mengucapkan selamat 

kepada Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si., yang telah menyelesaikan buku yang 

sangat bermanfaat ini. Saya berkeyakinan utuh bahwa buku ini akan membantu 

banyak orang, khususnya mahasiswa ilmu hukum, dalam rangka mempelajari 

hukum hak asasi manusia.  

     

A.  HUKUM

Salah satu kelebihan sekaligus kekurangan dari hukum yaitu kesulitan 

merumuskan pengertian atau definisi yang disepakati oleh kebanyakan ahli hukum. 

Setiap ahli hukum memiliki rumusan tersendiri tentang “apa itu hukum”. Ada yang 

mendefinisikannya sebagai konstruksi atas nilai-nilai dan asas kebaikan untuk 

menata kehidupan agar tertib, teratur dan damai. Ada pula yang mendefinisikannya 

sebagai seperangkat aturan yang dibuat penguasa untuk mengatur perilaku 

manusia dalam warga . 

Sebagian ahli lainnya merumuskannya sebagai ilmu yang mencakup 

dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum; mempelajari 

tentang yang benar dan yang salah; serta mempelajari tentang hak dalam segala 

bentuk dan manifestasinya. 

Sebagai gambaran, penting dikutipkan pandangan sejumlah ilmuan 

berikut:1 

1.  Hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan 

kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku dalam warga , dan yang 

menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan 

tujuannya (E.M. Mayers dalam bukunya ”De Algemene Begrippen 

van Het Burgerlijk Recht” ). 

2. Hukum ialah aturan tingkah laku para anggota warga , aturan 

yang ada penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu 

warga  sebagai jaminan kepentingan bersama dan yang jika 

dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang 

melakukan pelanggaran itu (Leon Duguit). 

3. Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak 

bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak 

bebas dari orang lain, menurut peraturan hukum tentang kemerdekaan 

(Immanuel Kant).

4. Hukum itu himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan 

larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu warga  dan 

sebab itu harus ditaati oleh warga  itu (Utrecht). 

Kelebihan dari belum adanya kesepakatan tentang pengertian ini , 

membuat hukum menjadi luwes (fleksibel) untuk dirumuskan. Sementara 

kekurangannya yaitu akan menyulitkan  mereka yang tidak belajar hukum atau 

baru belajar untuk memahami hukum. Di sisi lain,  mudah menyulut perbedaan 

pandangan saat hukum akan diimplementasikan untuk menyelesaikan kasus-

kasus kongkrit. Meskipun demikian, ada  beberapa unsur yang menjadi 

intisari dari hukum, yaitu: adanya unsur aturan untuk menuntun, mengatur, agar 

ada ketertiban, keteraturan dan kedamaian, diperuntukkan bagi manusia sebagai 

individu maupun warga  agar tercipta hubungan antar manusia yang tertib, 

teratur dan damai.

Dalam perkembangannya, hukum juga mengatur hubungan individu 

dan atau warga  dengan negara. Tujuan pengaturan ini agar individu atau 

warga  yang menjadi warga dari suatu negara bisa menjalankan kehidupan 

dengan teratur, tertib dan damai. Negara --sebagai entitas kekuasaan-- diberi 

wewenang mengatur warga negara agar dapat menyelenggarakan kewenangannya 

dengan baik dan benar. Negara juga diharapkan tidak melakukan penyimpangan 

kewenangan dan tidak melakukan tindakan melebihi kewenangan yang telah 

digariskan oleh hukum terhadap manusia dan warga negaranya. 

Dengan adanya hukum, maka di satu sisi, negara memiliki alasan atau 

dasar hukum untuk bertindak terhadap segala perilaku warga negaranya yang 

melanggar hukum. Pada sisi lain,  negara diberi batasan-batasan dalam bertindak, 

sehingga ada keseimbangan kewenangan dan ada keseimbangan penggunaan 

hak dan kewajiban negara dan warga negara.

B. HAK ASASI MANUSIA 

Sebagaimana halnya dengan hukum, pengertian hak asasi manusia juga 

variatif. John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia yaitu hak-hak yang 

diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh 

karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak 

ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia 

yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.2

Dalam Ketetapan MPR No.XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia 

dinyatakan bahwa hak asasi manusia yaitu hak dasar yang melekat pada diri 

manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa 

dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan 

manusia, dan warga  yang tidak boleh di abaikan, dirampas, atau diganggu 

gugat oleh siapapun. 

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi 

Manusia mendefinisikan hak asasi manusia sebagai berikut: 

“Hak Asasi Manusia yaitu seperangkat hak yang melekat pada hakikat 

dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan 

yaitu anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan 

dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi 

kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Hak asasi manusia yaitu hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata 

sebab ia manusia. Umat manusia memilikinya, bukan sebab diberikan oleh 

warga  atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan 

martabatnya sebagai manusia. Hak hidup, hak berbicara, berpendapat yaitu 

hak-hak kodrati yang melekat dalam diri manusia, sebagaimana yang diberikan 

Tuhan. Hak-hak kodrati itu bersifat fundamental. Ia yaitu sebuah anugerah Tuhan 

yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, warga  atau 

negara.3  Hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia 

ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh sebagai mahluk Tuhan.

Dalam teori positivisme, hak asasi manusia yaitu hak yang diberikan 

oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak ini ada 

sebab kedudukan dan keberadaan manusia sebagai bagian dari komunitas 

sosial politik, ekonomi, budaya yang harus diberikan dan dilindungi oleh negara. 

Penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dalam konteks ini yaitu 

untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan 

antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum.4 

C. KAITAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Hukum dan hak asasi manusia seperti dua sisi dari satu mata uang, 

yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hukum atau norma atau kaidah 

yaitu konstruksi dari nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang ditujukan untuk 

menjaga dan menegakkan kebaikan dan kebenaran itu sendiri. Sementara hak 

asasi manusia yaitu konstruksi nilai-nilai kemanusian manusia sebagai ciptaan 

Tuhan dan mahluk sosial. 

Sebagai ciptaan Tuhan, manusia secara alamiah (sunnatullah) memiliki 

hak-hak yang sifatnya kodrati. Hak itu yaitu hak untuk hidup, hak melanjutkan 

kehidupan, hak memutuskan hidup, hak berpikir, hak berpendapat, hak 

berekspresi, hak untuk tidak dibeda-bedakan, hak untuk tidak dihinakan, dan 

seterusnya. Sementara sebagai mahluk sosial, manusia berhak untuk sehat, 

berhak untuk berpendidikan, berhak untuk bekerja, berhak atas rasa aman, berhak 

atas penghidupan yang layak, berhak berinteraksi dengan orang lain, berhak atas 

tempat tinggal, berhak atas identitas, dan masih banyak hak yang lain.

Hak-hak yang ada secara alamiah maupun secara sosial ini  baru 

yaitu hak moral. Hak ini  belum memiliki kekuatan perlindungan 

3  Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan warga  Madani , Prenada 

Media, Jakarta, 2003, hal. 201.

4  Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice , Cornell University Press, 

Ithaca and London, 2003, hal. 7-21. 

--  54    -

apapun kecuali kekuatan moral itu sendiri. jika  terjadi pelanggaran, maka akan 

dikutuk secara moral. Hak-hak itu baru akan memiliki kekuatan hukum jika  

telah menjadi norma atau kaidah hukum yang memuat perintah, larangan dan 

sanksi. Ini artinya, hak asasi manusia yang telah dinormakan menjadi hukum 

menjadi mengikat dan harus dihormati, dilindungi dan ditegakkan oleh aparatur 

negara (polisi, jaksa dan hakim).  

Dengan demikian, kaitan hukum dan hak asasi manusia menjadi jelas. 

Hukum yaitu aturan yang memiliki kekuatan memaksa untuk mencegah 

dan menegakkan pelanggaran hak asasi manusia. Dari kaitan ini , maka bisa 

dirumuskan bahwa hukum hak asasi manusia yaitu hukum yang memuat dan 

mengatur hak-hak dan kebebasan kodrati serta hak-hak sosial manusia sebagai 

mahluk Tuhan dan mahkluk sosial. Ia memiliki kekuatan memaksa untuk ditaati 

serta memiliki kekuatan eksekusi terhadap siapa saja yang melanggar hak asasi 

manusia.

D. PELANGGARAN HUKUM DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

Pelanggaran hukum dan pelanggaran hak asasi manusia secara 

substansial sama. Ia sama-sama melanggar norma-norma atau kaidah-kaidah 

tentang larangan melakukan kejahatan terhadap manusia, termasuk di dalamnya 

hak-hak manusia. Pencurian, perampokan, pembunuhan, penganiayaan, 

perkosaan, penghinaan, pencemaran nama baik, dan penipuan yaitu tindakan 

melanggar norma-norma atau kaidah-kaidah yang mengatur tentang hak-hak 

manusia. Tetapi pelanggaran hukum dan pelanggaran hak asasi manusia diatur 

dan diselesaikan oleh aparatur negara dengan cara dan aturan hukum yang 

berbeda. 

Pelanggaran hukum pidana dalam bentuk pencurian, perampokan, 

pembunuhan, penganiayaan, perkosaan, penghinaan, pencemaran nama baik, dan 

penipuan; yaitu tindak pidana atau perbuatan pidana yang diancam dengan 

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penanganannya diserahkan kepada  

pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan. Sedangkan pelanggaran hak asasi 

manusia yaitu setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang --termasuk 

--  76    -

aparat negara-- baik sengaja atau tidak, sebab kelalaian yang secara melawan 

hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi 

manusia seseorang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan 

atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan 

benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.5

Dengan demikian, bila mengacu kepada Undang-Undang No. 39 Tahun 

1999, pelanggaran hak asasi manusia memiliki  kualifikasi-kualifikasi yang 

berbeda dengan pelanggaran hukum. Dari segi pelaku: bisa individu, bisa 

kelompok, dan bisa aparat negara. Dari segi motif, bisa pelanggaran sengaja 

(by comisson) dan bisa sebab kelalaian atau pembiaran (by omission).  Dari 

sudut bentuk perbuatan: bisa berupa mengurangi, bisa menghalangi, membatasi 

atau mencabut hak-hak dan kebebasan dan bisa pula berupa perbuatan yang 

memicu  seseorang atau kelompok orang tidak mendapatkan penyelesaian 

hukum atas pelanggaran yang terjadi.

Bila mengacu kepada terminologi universal hak asasi manusia, 

pelanggaran hak asasi manusia yaitu pelanggaran yang dilakukan oleh negara 

(negara sebagai aktor pelaku), baik secara langsung dan sengaja (by comission) 

maupun tidak langsung berupa pembiaran (by omisiion). Dalam konsepsi demikian 

itu, perbuatan orang perorang atau kelompok orang tidak dikategorikan sebagai 

pelanggaran hak asasi manusia, tetapi perbuatan melanggar hukum. Tetapi 

secara substansial atau hakekat dari perbuatan (bukan konstruksi formal dari 

perbuatan), maka perbuatan orang, kelompok orang atau negara pada hakekatnya 

melanggar hak-hak manusia. 

Larangan menghina, memfitnah atau mencemarkan nama baik seseorang 

yang diatur dalam KUHP pada hakekatnya yaitu larangan merendahkan martabat 

manusia sebagai ciptaan Tuhan. Larangan mencuri pada dasarnya yaitu larangan 

mengambil hak atas harta benda milik orang (hak) orang lain. Begitu pula larangan 

membunuh dalam KUHP yaitu larangan merampas nyawa (hak hidup) manusia 

sebagai ciptaan Tuhan. 

5  Pasal 1 point (6) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.

--  76    -

Mengapa konsepsi pelanggaran hak asasi manusia dikonstruksikan 

spesifik sebagai pelanggaran oleh negara tidak terlepas dari sejarah panjang 

penderitaan manusia yang diperlakukan semena-mena oleh kekuasaan (raja 

dan atau negara), dimana manusia menjadi objek yang mengalami  segregasi, 

diskriminasi, stigamtisasi, pembunuhan ilegal, dan seterusnya sehingga 

kemunculan hak asasi manusia modern setelah Magna Charta dan seterusnya 

hingga Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 yang diikuti dengan dibuat 

dan disepakatinya pelbagai konvensi hak asasi manusia internasional oleh PBB, 

serta digelarnya pengadilan Nurenberg Tribunal6 dan Tokyo Tribunal7, negara 

mulai dikonstruksikan dalam kaidah hak asasi manusia sebagai aktor utama 

yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia. 

Dengan konsepsi pelanggaran hak asasi manusia yang menjadikan negara 

sebagai aktor pelaku, maka semenjak itu negara yaitu pihak (subjek hukum) 

yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum bila melakukan pelanggaran 

sengaja (by comission) maupun pembiaran (by omission). Dengan kata lain, 

negara menjadi pemikul kewajiban. 

Dalam konsepsi demikian itu, peraturan perundang-undangan (Hukum 

Hak Asasi Manusia) yang disajikan dalam buku ini mencakup pelbagai peraturan 

perundang-undangan tentang hak asasi manusia dalam bidang hak sipil 

politik dan hak ekonomi sosial budaya yang meletakkan negara sebagai aktor 

atau subjek hukum pemikul kewajiban, dan orang atau warganegara sebagai 

pemegang hak. Meski demikian,  dalam sejumlah pasal dalam pelagai peraturan 

perundang-undangan yang mengatur hak asasi manusia di bidang hak sipil dan 

politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya dimuat ancaman pidana terhadap 

orang atau kelompok orang yang melanggar hak-hak yang diatur di dalamnya. 

6  Pengadilan untuk mengadili para anggota-anggota utama dari kelompok pemimpin politik, 

militer Nazi Jerman yang dilakukan di kota Nurnberg dari tahun 1945-1946. 

7  Pengadilan Militer Internasional untuk Timur (International Military Tribunal for the Far 

East/ IMTFE ) yaitu pengadilan internasional yang diselenggarakan pada 3 Mei 1946 dengan tujuan 

untuk mengadili para pemimpin kekaisaran Jepang atas tiga kategori kejahatan: “Kelas A“ (kejahatan 

terhadap perdamaian), “Kelas B” (kejahatan perang), dan “Kelas C” (kejahatan terhadap kemanusiaan), 

yang dilakukan selama Perang Dunia II.

--  98    -

Ini menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap Hukum Hak Asasi Manusia 

dirumuskan oleh pembuat undang-undang sebagai perbuatan yang dilakukan 

orang atau kelompok orang, dan negara tidak secara ekspelisit dimuat dalam 

Pasal sebagai aktor yang bisa dipidana melakukan kejahatan terhadap hak-hak 

asasi manusia.

     

E. HUKUM HAK ASASI MANUSIA  

Hukum Hak Asasi Manusia telah menjadi mata kuliah wajib di fakultas-

fakultas hukum di negara kita  dengan nama mata kuliah yang tidak sama. Ada 

yang memakai nama Hukum Hak Asasi Manusia dan ada yang memakai 

nama Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kedua nama ini  tentu memiliki 

konsekuensi pada materi perkuliahan, penekanan, dan penempatannya dalam 

rumpun mata kuliah. 

Materi Hukum Hak Asasi Manusia sudah langsung fokus pada hak asasi 

manusia sebagai hukum positif. Hal itu telah diatur dalam banyak peraturan 

perundang-undangan, seperti Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-

Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Perlindungan Anak, 

Undang-Undang Tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat di Muka Umum, dan 

masih banyak peraturan yang lain.

Sementara Hukum dan Hak Asasi Manusia masih menempatkan hukum 

sebagai norma-norma hukum positif yang independen, memiliki kekuatan 

mengikat, memiliki daya paksa, memiliki  instrumen-instrumen pelaksana yang 

memiliki kewenangan memaksakan ketaatan dan menindak terhadap siapa saja 

yang tidak taat.  Sedangkan hak asasi manusia ditempatkan sebagai hak-hak 

kemanusian abstrak yang bersifat dependen terhadap hukum. Jika aparatur hukum 

pasif, maka hak asasi manusia tidak akan terlindungi. Begitu pula sebaliknya.

Penempatan Hukum Hak Asasi Manusia dalam rumpun mata kuliah 

juga berbeda-beda. Ada yang menempatkannya sebagai salah satu mata kuliah 

dalam rumpun  Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Internasional 

atau hukum-hukum dasar lainnya, seperti  Ilmu Hukum, Pancasila, 

Kewarganegaraan, dan seterusnya. Hukum Hak Asasi Manusia juga mengenal 

pembedaan-pembedaan sebagai berikut:

Pertama,- mencakup hak sipil politik dan hak 

ekonomi, sosial dan budaya. Hak sipil politik menuntut negara bertindak negatif, 

atau absen atau tidak melakukan tindakan yang bisa mencegah atau melanggar 

kebebasan manusia atau warga negara (freedom from).  Sementara hak ekonomi, 

sosial dan budaya menuntut negara bertindak sebaliknya, yaitu aktif-responsif, 

tidak boleh absen agar hak-hak bidang ini bisa diperoleh (rights to).

Kedua,- memerlukan atau membutuhkan tiga 

(3) bentuk kewajiban negara yang relatif berbeda dengan hukum pada umumnya, 

yaitu membutuhkan respon pemenuhan (to fulfill), penghormatan (to respect) dan 

perlindungan (to protect). Pemenuhan (to fulfill) mengharuskan negara mengambil 

langkah-langkah atau kebijakan hukum dan anggaran agar hak-hak asasi manusia 

dan warga negara bisa terpenuhi. Penghormatan (to respect) mengharuskan 

negara tidak mengambil kebijakan atau langkah-langkah yang bisa memicu  

manusia atau warga negara kehilangan hak, tidak dapat memenuhi hak-haknya 

atau sulit mendapatkan hak-haknya. Perlindungan (to protect) mengharuskan 

negara memastikan bekerjanya aparat negara penegak hukum menegakkan 

hukum jika  terjadi pelanggaran hak asasi manusia.

Selain itu, Hukum Hak Asasi Manusia nasional yang bersumber dari 

perjanjian internasional, memerlukan proses tersendiri untuk menjadi hukum 

nasional. ada  dua teori untuk menjelaskan hubungan antara hukum 

internasional dan hukum nasional, agar negara dapat menyesuaikan hukum 

nasionalnya dengan kewajibannya di dalam hukum internasional. Kedua teori 

ini  adalah:

Pertama,  teori monoisme, yang menyatakan bahwa hukum nasional dan 

hukum internasional yaitu satu kesatuan sistem hukum. Dengan demikian, jika 

suatu negara telah meratifikasi dan menjadi pihak dalam perjanjian internasional 

untuk melindungi hak asasi manusia, maka secara otomatis perjanjian 

internasional itu menjadi hukum nasionalnya.

Kedua, teori dualisme, yang berpandangan bahwa hukum internasional 

dan hukum nasional yaitu dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah. 

Sebagai konsekuensi dari teori itu,  maka untuk menerapkan hukum internasional 

yang melindungi hak asasi manusia misalnya, ratifikasi saja tidak cukup. 

Diperlukan suatu transformasi hukum internasional ke dalam hukum nasional, 

yang biasanya dilakukan melalui undang-undang yang dibuat oleh parlemen.

Dari dua teori ini , negara kita  menganut teori dualisme sebagaimana 

tergambar pada ketentuan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 

2000 tentang Perjanjian Internasional. Dalam ketentuan ini  ditegaskan bahwa 

pengesahan perjanjian internasional harus dilakukan dengan undang-undang atau 

Keputusan Presiden. Ini artinya, pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam 

hukum nasional negara kita  tidak serta merta, tetapi melalui proses pengesahan.

Selanjutnya, tindakan hukum negara kita  meratifikasi suatu perjanjian 

internasional dengan undang-undang, memerlukan pembuatan undang-undang 

yang lebih khusus. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan dalam perjanjian 

internasional yang telah diratifikasi ke dalam undang-undang ini  lebih 

terjamin dan dapat diimplementasikan secara jelas. negara kita  misalnya, telah 

meratifikasi perjanjian internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya 

dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 serta hak sipil dan hak politik 

dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. 

Hanya saja, keduanya baru yaitu undang-undang tentang ratifikasi 

atau undang-undang untuk mengikatkan diri ke dalam hukum hak asasi manusia 

internasional. Tentu saja masih memerlukan tindak lanjut berupa undang-undang 

yang lebih spesifik, untuk mengatur dan menjamin perlindungan hak-hak yang 

disebutkan dalam kedua konvensi ini . Meskipun demikian, Dewan Perwakilan 

Rakyat (DPR) dan pemerintah selaku pembuat undang-undang telah membuat 

dan mengesahkan banyak peraturan perundang-undangan, baik sebelum maupun 

setelah dilakukannya ratifikasi terhadap kedua kovenan utama ini . 

ASAS-ASAS DAN PRINSIP-PRINSIP UMUM 

HUKUM HAK ASASI MANUSIA

A. 

Hak asasi manusia yang memuat perintah, larangan dan sanksi tentang 

hak-hak dan kebebasan manusia yang telah dituangkan kedalam pelbagai 

peraturan perundang-undangan,  sudah pasti didasarkan pada asas-asas atau 

prinsip-prinsip tertentu yang bersifat universal. Posisi dari asas-asas dan prinsip-

prinsip dalam peraturan perundang-undangan yaitu menjadi penuntun arah, 

pembatas, penguat, dan penyusunan norma. Dalam beberapa hal,  juga menjadi 

alat ukur (takaran) terhadap daya jangkau dan daya rusak dari sesuatu kaidah 

atau norma. Dengan adanya asas atau prinsip akan membuat kaidah-kaidah 

normatif menjadi luwes, tetapi juga lebih terkontrol. Tidak mudah disalahgunakan 

dan diselewengkan. 

Asas persamaan di depan hukum misalnya, akan menuntun penyusunan 

norma tidak diskriminatif dalam konstruksi kaidah maupun dalam pelaksanaannya. 

Begitu juga dengan asas praduga tidak bersalah, akan menuntun penyusunan 

norma dan pelaksanaanya secara fair (obyektif) dan tidak sewenang-wenang.

Dengan menyajikan asas-asas dan prinsip-prinsip ini, seluruh Hukum Hak Asasi 

Manusia yang dimuat dalam buku ini bisa diidentifikasi: apakah konstruksi 

normanya telah disusun sesuai asas atau prinsip? Apakah pelaksanaannya atau 

penegakkannya sudah dijalankan sesuai asas atau prinsip?

B. MARTABAT MANUSIA (HUMAN DIGNITY)

Hak asasi manusia yaitu hak yang melekat, dan dimiliki setiap 

manusia di dunia, pada setiap individu, tanpa memperhatikan umur, budaya, 

keyakinan, etnis, ras, jender, bahasa, kelas sosial, keyakinan politik yang harus 

dihormati, dihargai, dan dilindungi.

--  1312    -

C. LEGALITAS (THE PRINCIPLE OF LEGALITY)

Prinsip ini menegaskan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan 

diancam dengan pidana, jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-

undangan. Prinsip ini lahir dari tiga (3) konsep, yaitu: nulla poena sine lege (tidak 

ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang); nulla poena sine 

crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana); dan nullum crimen sine 

poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang).

Inti dari prinsip ini adalah: 

Pertama,  suatu perbuatan harus dicantumkan dalam peraturan perundang-

undangan yang tertulis. Artinya, perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam 

undang-undang sebagai tindak pidana, tidak dapat dijerat oleh hukum. 

Kedua,  peraturan undang-undang (aturan dan ketentuan-ketentuan hukum 

yang disahkan) harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Artinya, hukum 

tidak boleh diberlakukan surut. Sebagai konsekuensinya, perbuatan seseorang 

yang dilakukan sebelum dikeluarkanya peraturan perundang-undangan yang sah, 

tidak dapat dijerat dengan hukum yang dikeluarkan setelah perbuatan ini  

dilakukan.

Legalitas (the principle of legality) yaitu salah satu prinsip atau 

asas fundamental dalam negara hukum. Tujuannya untuk memberi  kepastian 

hukum dan keadilan, melindungi individu dari tindakan sewenang-wenang negara 

tanpa hukum, sekaligus mencegah aparatur negara melakukan tindakan liar 

tanpa hukum. Asas legalitas berasal dari Bill of Rights of Virginia  tahun 1776 di 

Amerika Serikat. Isinya memuat ketentuan bahwa tidak ada orang yang boleh 

dituntut atau ditangkap, selain dengan dan oleh peristiwa-peristiwa yang ada  

dalam undang-undang. 

Asas ini memberi  perlindungan terhadap tuntutan dan penangkapan 

yang dilakukan secara sewenang-wenang dari penguasa terhadap seseorang. 

Semangat dari Bill of Rights ini menjadi dasar dari perumusan Pasal 8 Declaration 

Des Droits De L’Homme Et Du Citoyen  tahun 1789 yang berbunyi, “tidak ada 

orang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada 

--  1312    -

sebelumnya” dan dimasukkan kedalam Pasal 4 Code Penal Perancis  dibawah 

Pemerintahan Napoleon.

Asas legalitas dimaksudkan untuk melakukan antisipasi terhadap tindakan-

tindakan represi dari kekuasaan raja-raja yang absolut saat itu. Kejahatan-

kejahatan yang dinamakan Criminal Extra Ordinaria  (kejahatan-kejahatan yang 

tidak disebut dalam undang-undang tertulis) telah diterima oleh raja-raja, sehingga 

dengan itu para penguasa ataupun para raja  memakai hukum pidana secara 

sewenang-wenang menurut kehendak dan kebutuhannya sendiri.8 

Asas legalitas sebagai sumber primaritas hukum pidana dari setiap negara 

yang menghendaki hukum sebagai suatu supremasi, diadopsi oleh Belanda melalui 

Wetboek van Straftrecht . Setelah itu masuk ke negara kita  secara konkordansi 

melalui Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 

D. RETROAKTIF

Retroaktif yaitu lawan dari asas legalitas tentang pemberlakuan 

hukum pidana yang berlaku surut. Dengan kata lain, perbuatan seseorang 

sebelum adanya aturan dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, dapat 

dijerat dengan hukum yang dikeluarkan setelah perbuatan ini  dilakukan. 

Hukum kebiasaan internasional telah mengakui bahwa terhadap pelanggaran 

hak asasi manusia berat, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, 

dapat mempergunakan asas ini. Atas dasar prinsip inilah pengadilan internasional 

Nuremberg (Internasional Military Tribunal Nurembreg Tahun 1946) ,9 Pengadilan 

8  Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana , Cetakan Keempat, Jakarta Bina Aksara, 1987, 

hal. 24

9  Persidangan kasus-kasus yang berkaitan dengan para anggota-anggota utama dari 

kelompok pemimpin politik, militer  dan ekonomi dari Nazi Jerman. Persidangan ini  berlangsung 

dari 20 November 1945 sampai 1 Oktober 1946.Dasar hukum pembentukan pengadilan ini  

berdasarkan Piagam London yang dikeluarkan pada tanggal 8 Agustus 1945, yang membatasi 

kewenangan pengadilan hanyalah untuk “menghukum para tokoh utama penjahat perang dari 

negara-negara Eropa”. Sebanyak 200 tersangka kejahatan perang dari Jerman diadili di Nurenberg 

dan 1.600 orang lainnya diadili di pengadilan militer biasa.

--  1514    -

Tokyo (International Military Tribunal for the Far East 19 4 6), 10 Yugoslavia 

(International Criminal Tribunal For Former Yugoslavia 1993/ ICTY), 11 Rwanda 

(International Criminal Tribunal For Rwanda 1994) 12 digelar dan telah menghukum 

banyak pelaku.

Prinsip retroaktif atau hukum berlaku surut tercantum dalam penjelasan 

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, 

yakni“ yang dimaksud dengan ‘dalam keadaan apapun’ termasuk keadaan 

perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat. Yang dimaksud dengan 

‘siapa pun’ yaitu negara, pemerintah, dan atau anggota warga . Hak untuk 

tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam 

hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam 

kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kedudukan prinsip retroaktif diperkuat dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) 

Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 

yang tertera sebagai berikut: “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang 

terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh 

Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc. ”Prinsip ini pernah diuji di Mahkamah 

Konstitusi (MK) yang dimohonkan oleh Abilio Jose Osorio Suares13 pada tahun 

10 Didirikan berdasarkan Proklamasi Khusus dari Jenderal Douglas MacArthur sebagai 

Panglima Tertinggi di Far East  untuk pihak Sekutu. Pengadilan Tokyo ini mencoba untuk mengadili 

kejahatan paling serius, yaitu kejahatan kemanusiaan. Proses peradilan berlangsung dari 3 Mei 1946 

hingga 4 November 1948. Tujuan dari peradilan ini yaitu untuk menghukum elit Jepang atas kejahatan 

kemanusiaan yang dilakukan selama Perang Dunia II dan tujuan utamanya yaitu mengakhiri perang 

untuk selamanya.

11  ICTY yaitu sebuah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan untuk 

mengadili para penjahat perang di Yugoslavia. Pengadilan atau tribunal ini berfungsi sebagai sebuah 

Pengadilan Ad Hoc yang merdeka dan terletak di Den Haag, Belanda.

12 Pengadilan yang didirikan pada November 1994 oleh Dewan Keamanan 

PBB berdasarkan Resolusi 955. Tujuan didirikannya pengadilan ini yaitu untuk mengadili orang 

yang bertanggung jawab atas terjadinya Genosida Rwanda dan pelanggaran hukum internasional lain 

di Rwanda dari 1 Januari hingga 31 Desember 1994.

13 Abilio Soares yaitu mantan Gubernur Timor Timur pada tahun 1992-1999. Pada waktu 

itu,  Timor Timur masih menjadi bagian dari Republik negara kita , dan menjadi salah satu terdakwa 

pelanggaran berat hak asasi manusia yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi ManusiaAd Hoc Timor 

Timur.

--  1514    -

2004 yang lalu, dan telah diputus oleh MK dengan menolak permohonan 

pemohon. Dasar penolakan MK yang tertuang dalam putusan No. 065 /PUU-

II/2004  yang antara lain dapat disimpulkan sebagai berikut14:

Pertama,  ketentuan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, menyatakan bahwa 

hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut yaitu hak 

asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Meskipun 

rumusan harfiah demikian menimbulkan kesan seolah-olah bahwa hak untuk 

tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut bersifat mutlak, namun 

sesuai dengan sejarah penyusunannya, Pasal 28I ayat (1) tidak boleh dibaca 

secara berdiri sendiri melainkan harus dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J 

ayat (2). Dengan cara demikian, maka akan tampak bahwa, secara sistematik, 

hak asasi manusia --termasuk hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum 

yang berlaku surut-- tidaklah bersifat mutlak, sebab dalam menjalankan hak 

dan kebebasannya, setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang 

lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditentukan undang-undang dengan 

maksud semata-mata untuk menjamin penegakan dan penghormatan atas hak 

dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan 

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam satu 

warga  demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2). Dengan 

membaca Pasal 28I ayat (1) bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2), tampaklah 

bahwa hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut (retroaktif) 

tidaklah bersifat mutlak, sehingga dalam rangka “memenuhi tuntutan yang adil 

sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban”.

Kedua,  ukuran untuk menentukan keseimbangan kepastian hukum dan 

keadilan, khususnya dalam menegakkan asas nonretroaktif harus dilakukan 

dengan mempertimbangkan tiga tugas/tujuan hukum yang senantiasa saling 

tarik-menarik (spannungsverhältnis)  yaitu kepastian hukum (rechtssicherkeit) , 

keadilan hukum (gerechtigkeit ), dan kebergunaan hukum (zweckmassigkeit).  

Dengan mempertimbangkan ketiga tujuan hukum ini  secara seimbang 

14 Baca pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan ini pada halaman 

48-60. 

--  1716    -

maka pemberlakuan hukum secara retroaktif yang terbatas, terutama terhadap 

kejahatan yang luar biasa (extraordinary crimes ), secara hukum dapat dibenarkan.

Ketiga,  penerapan secara retroaktif suatu undang-undang tidaklah 

otomatis memicu  undang-undang yang bersangkutan bertentangan dengan 

Undang-Undang Dasar dan oleh karenanya sertamerta menjadi tidak memiliki  

kekuatan hukum mengikat. Pemberlakuan demikian juga tidak selalu dengan 

sendirinya mengandung pelanggaran hak asasi, melainkan harus dinilai dari 

dua faktor atau syarat yang harus dipenuhi dalam pemberlakuan hukum atau 

undang-undang secara retroaktif: pertama, besarnya kepentingan umum yang 

harus dilindungi undang-undang ini ; kedua, bobot dan sifat (nature) hak-

hak yang terlanggar akibat pemberlakuan undang-undang demikian lebih kecil 

dari kepentingan umum yang terlanggar;

Keempat,  kejahatan-kejahatan yang terhadapnya diberlakukan 

pengesampingan asas non retroaktif oleh Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang 

Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu “pelanggaran terhadap hak asasi manusia 

yang berat”, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan 

(vide Pasal 7 Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia). Kejahatan 

genosida yaitu setiap perbuatan yang dimaksudkan untuk menghancurkan 

atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok 

etnis, kelompok agama, dengan cara: (a) membunuh anggota kelompok; (b) 

memicu  penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota 

kelompok; (c) menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan memicu  

kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; (d) memaksakan 

tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, atau 

(e) memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok 

lain (vide Pasal 8 Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia). Sedangkan 

kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan 

sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya 

bahwa serangan ini  ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, 

berupa: (a) pembunuhan; (b) pemusnahan; (c) perbudakan; (d) pengusiran 

atau pemindahan penduduk secara paksa; (e) perampasan kemerdekaan atau 

--  1716    -

perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar 

(asas-asas) ketentuan pokok dalam hukum internasional; (f) penyiksaan; (g) 

perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, 

pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan 

seksual lain yang setara; (h) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu 

atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, 

etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara 

universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; (i) penghilangan 

orang secara paksa; atau (j) kejahatan apartheid (vide Pasal 9 Undang-Undang 

Pengadilan Hak Asasi Manusia).

Kelima,  kejahatan-kejahatan sebagaimana disebutkan di atas yaitu 

bertentangan dengan semangat untuk menegakkan dan menjunjung tinggi 

perikemanusiaan dan perikeadilan, yang secara jelas dinyatakan oleh Pembukaan 

UUD 1945, serta pada saat yang sama juga bertentangan dengan prinsip-prinsip 

hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. Oleh karenanya, 

terhadap kejahatan-kejahatan demikian, pengesampingan asas non-retroaktif 

bukan hanya tidak bertentangan dengan UUD 1945 melainkan sebaliknya, 

sebagai Undang-Undang Dasar dari sebuah bangsa yang beradab, semangat 

UUD 1945 justru mengamanatkan agar perikemanusiaan dan perikeadilan 

ditegakkan, sehingga kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud 

di atas harus diberantas. Tatkala tuntutan untuk menegakkan perikemanusiaan 

dan perikeadilan itu terhalang oleh asas nonretroaktif --yang secara historis pada 

awalnya dilatarbelakangi oleh maksud melindungi kepentingan manusia sebagai 

individu dari kesewenang-wenangan penguasa absolut--  maka pengesampingan 

asas non-retroaktif dimaksud yaitu tindakan yang tak dapat dihindari sebab 

kepentingan yang hendak diselamatkan melalui tindakan pengesampingan itu 

yaitu kepentingan kemanusiaan manusia secara keseluruhan yang nilainya 

melebihi kepentingan manusia sebagai individu.

--  1918    -

E. PERSAMAAN DI DEPAN HUKUM (EQUALITY BEFORE THE LAW)

Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law yaitu salah 

satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi 

doktrin Rule of Law yang diakui dalam konsep Rechstaat. Pasal 7 Deklarasi 

Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa semua orang sama 

di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa 

diskriminasi apapun. Begitu juga dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 disebutkan 

bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan 

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak 

ada kecualinya. Prinsip persamaan di depan hukum mengharuskan setiap orang 

sebagai manusia maupun sebagai warganegara, wajib diperlakukan sama tanpa 

ada diskriminasi atau pembeda-bedaan berdasarkan agama, suku, bahasa, warna 

kulit dan pilihan politik.

Persamaan di depan hukum tidak hanya dalam pelaksanaan hukum saat 

aparat penegak hukum menjalankan hukum terhadap peristiwa kongkrit, tetapi 

juga dalam konsepsi, yaitu saat perumusan norma-norma ke dalam peraturan 

perundang-undangan dilakukan oleh negara. Semenjak perumusan pasal-pasal 

dan ayat-ayat dalam peraturan perundang-undangan hingga pelaksanaannya, 

harus didasarkan pada prinsip ini . Mengabaikan prinsip persamaan di 

depan hukum dalam perumusan undang-undang, maka undang-undang ini  

dianggap cacat moral dan dapat dibatalkan melalui MK. Begitu pula dalam 

pelaksanaannya di semua  tingkatan dan proses penegakan hukum. Semuanya  

harus dijalankan dengan prinsip persamaan. Waktu, biaya, dan cara penanganan 

suatu perkara harus dilakukan secara sama, untuk siapapun, darimanapun dan 

dalam urusan hukum apapun.

Implikasi dari ada tidaknya persamaan di depan hukum akan berpengaruh 

terhadap ada tidaknya kepastian hukum dan keadilan. Dengan kata lain, kepastian 

hukum tidak hanya bermakna hukum itu pasti diterapkan tanpa kecuali terhadap 

suatu kasus, tetapi juga diterapkan secara sama dalam setiap peristiwa. Begitu 

pula dengan keadilan, tidak hanya dapat dilihat dan diukur dari vonis atau putusan 

yang dijatuhkan, tetapi juga pada prosesnya.

--  1918    -

F. PRADUGA TAK BERSALAH (THE PRESUMPTION OF INNOCENCE)

Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam 

sistem hukum Common Law,  khususnya di Inggris, dalam Bill of Rights (1648). 

Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik–liberalistik yang 

berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini. Di dalam sistem 

peradilan pidana (criminal justice system)   berdasarkan sistem hukum Common 

Law (sistem adversarial/sistem kontest), asas hukum ini yaitu prasyarat 

utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan 

tidak memihak (due process of law).

Asas praduga tak bersalah yaitu bagian yang tidak terpisahkan dari 

prinsip due process of law. Asas ini telah melembaga dalam proses peradilan 

sejak dua ratus tahun yang lampau, dan kini telah menjadi semangat di seluruh 

bidang kehidupan sosial.Konsekuensi logis dari asas ini, maka kepada tersangka 

atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberi  keterangan 

yang akan memberatkan atau merugikan dirinya di muka persidangan (the right 

of non-self incrimination ). Hak lainnya yaitu untuk tidak memberi  jawaban; 

baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan ( the right to 

remain silent).

Di dalam Hukum Acara Pidana Belanda, baik kepada tersangka atau 

terdakwa hak seperti itu dijamin dan dilindungi sedemikian rupa. Jika penyidik 

memaksakan keterangan, maka tersangka atau terdakwa diberikan hak untuk 

mengajukan ”review”  kepada ”examining judges”  untuk memeriksa kebenaran 

”review ” ini . Rumusan praduga tak bersalah di dalam Pasal 8 Undang-

Undang Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan Umum Kitab Undang-Undang 

Hukum Acara Pidana (KUHAP)yang menyatakan bahwa setiap orang yang 

disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan 

wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan 

kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 

Di dalam dokumen internasional, asas praduga tak bersalah ditemukan 

dalam Pasal 11 ayat (1) DUHAM yang menyatakan, “everyone change a with 

penal offence has the right to be presumed innocent until proved guilty according 

--  2120    -

to law in public trial at which he has had all guarantees necessary for his 

defense”  (Setiap orang yang dituduh melanggar hukum memiliki  hak untuk 

dianggap tidak bersalah hingga dibuktikan bersalah dalam pengadilan, dimana dia 

mendapatkan semua jaminan yang perlu untuk pembelaannya). Rumusan kalimat 

ini  sedikit berbeda maknanya dengan rumusan asas praduga tak bersalah 

dalam Pasal 14 paragraf  2, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak 

Politik, yang dirumuskan dengan kalimat singkat,“everyone charged with criminal 

offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according 

to law” (Setiap orang yang dituduh melakukan perbuatan kriminal memiliki  

hak untuk dianggap tidak bersalah hingga dibuktikan bersalah menurut hukum).

Kovenan ini tidak menyebut secara tegas tentang keharusan seseorang 

yang dianggap bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang. Tidak 

juga disebutkan masalah putusan yang memperoleh hukum tetap, meskipun ini 

dianggap sebagai batas toleransi seseorang untuk dapat dinyatakan bersalah. 

Pembuktian kesalahan seseorang berdasarkan sistem hukum Common Law  

sering ditegaskan dengan bunyi kalimat, proven guilty beyond reasonable doubt .

Ini artinya, “(dinyatakan) bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau 

tidak dapat diragukan sama sekali.”

ini bisa dibandingkan dengan rumusan kalimat, “(dinyatakan) bersalah 

atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. ”Untuk 

mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik 

telah diberikan oleh kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum 

”hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu: 

1. Hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan; 

2. Hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan 

pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukumnya;

3. Hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda;

4. Hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan;

5. Hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak 

mampu;

--  2120    -

6. Hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan 

yang bersangkutan;

7. Hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh yang 

bersangkutan;

8. Hak untuk tidak memberi  keterangan yang merugikan dirinya atau 

hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.

Pengertian asas praduga tak bersalah harus sejalan dengan apa yang 

tertera dalam kovenan ini . Selama seorang tersangka atau terdakwa diberikan 

hak-hak hukumnya secara penuh --sebagaimana dirinci dalam konvenan-- maka 

selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah telah selesai dipenuhi 

oleh lembaga penegak hukum. Di sisi lain, putusan pengadilan yang menyatakan 

seorang terdakwa bersalah --yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan 

majelis hakim (akan kesalahan terdakwa)-- harus diartikan sebagai akhir dari 

perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah.

Tafsir terhadap prinsip praduga tak bersalah --sejalan dengan perubahan 

paradigma ini  di atas-- adalahnegara wajib memberi  dan memfasilitasi 

hak-hak seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana. Hal itu 

dimulai sejak ditangkap, ditahan, dan selama menjalani proses penyidikan, 

penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan; baik pada tingkat pertama dan 

pada tingkat banding. Praduga ini  selanjutnya berhenti, saat pengadilan 

memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan 

dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda. 

Asas praduga tak bersalah juga diatur dalam Bab III Keputusan Menteri 

Kehakiman Republik negara kita  Nomor M.01. PW.07.03 Tahun 1982 tentang 

Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang isinya antara lain, sebagai seseorang yang 

belum dinyatakan bersalah maka ia mendapat hak-hak seperti:

a. Hak segera mendapat pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapat 

putusan seadil-adilnya; 

b. Hak untuk diberitahu apa yang disangkakan/didakwakan kepadanya 

dengan bahasa yang dimengerti olehnya; 

--  2322    -

c. Hak untuk menyiapkan pembelaannya;

d. Hak untuk mendapat juru bahasa, hak untuk mendapatkan bantuan 

hukum dan hak untuk mendapatkan kunjungan keluarganya.

Sebagai perwujudan asas praduga tak bersalah, maka seorang terdakwa 

tidak dapat dibebani kewajiban pembuktian. Oleh sebab penuntut umum yang 

mengajukan tuduhan terhadap terdakwa, maka penuntut umumlah yang dibebani 

tugas membuktikan kesalahan terdakwa dengan usaha -usaha  pembuktian yang 

diperkenankan oleh undang-undang.

G. NON DISKRIMINASI (NON DISCRIMINATION)

Prinsip non diskriminasi berpandangan bahwa orang tidak dapat 

diperlakukan secara berbeda berdasarkan kriteria ras, warna kulit, kesukuan, 

jender, usia, bahasa, ketidak-mampuan, orientasi seksual, agama, politik atau 

pendapat lainnya, asal-usul secara sosial atau geografis, kepemilikan, kelahiran 

atau status lainnya. Sebagaimana prinsip persamaan hukum, prinsip non 

diskriminasi juga harus menjadi komitmen dan paradigma dalam perumusan 

kaidah-kaidah dalam peraturan perundang-undangan serta penegakannya. 

Hukum Hak Asasi Manusia yang dirumuskan dan dilaksanakan dengan 

diskriminatif tidak memiliki dasar moral untuk ditaati dan sudah batal demi hukum. 

Paling tidak bisa dimintakan pembatalannya kepada MK --jika ada undang-

undang yang dianggap bertentangan dengan undang-undang dasar-- atau kepada 

Mahkamah Agung (MA) yang obyeknya yaitu peraturan perundang-undangan 

di bawah undang-undang.

H. KESETARAAN (EQUALITY)

Hal yang sangat fundamental dari hak asasi manusia kontemporer yaitu 

ide yang meletakkan semua orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan dalam 

hak asasi manusia. Kesetaraan --sebagai satu kesatuan dari persamaan di depan 

hukum dan non diskriminasi-- meletakkan manusia sebagai subjek hukum yang 

sama dengan manusia lain. Ia harus dihormati, dihargai, dilindungi dan dipenuhi 

--  2322    -

hak-hak dan kebebasannya sebagai mahluk Tuhan dan mahluk sosial yang 

setara satu sama lain. Basis utama dari kehidupan yang damai dan sejahtera 

bagi manusia dan kemanusian yaitu perlakuan setara, bukan perlakuan yang 

berbeda. Perlakuan tidak setara akan melahirkan ketidaksetaraan dalam skala 

yang lebih luas, baik di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hukum 

dan sebagainya.

I. AFIRMASI (AFIRMATION)

Dalam kehidupan manusia, acapkali ada  kenyataan seseorang berasal 

dari posisi yang berbeda tetapi diperlakukan secara sama. Jika perlakuan yang 

sama ini terus diberikan, maka tentu saja perbedaan ini akan terjadi terus-menerus, 

walaupun standar hak asasi manusia telah ditingkatkan. Oleh sebab itulah, penting 

untuk mengambil langkah lain guna mencapai kesetaraan, yaitu tindakan afirmatif. 

Tindakan ini mengizinkan negara untuk memperlakukan secara lebih kepada 

kelompok tertentu yang tidak terwakili. Tujuannya agar bisa dicapai kesetaraan.

Mereka-mereka yang digolongkan individu atau kelompok rentan, seperti 

anak-anak, perempuan, penyandang disabilitas, kelompok minoritas, pengungsi, 

dan orang tua, akan sulit memperoleh perlakuan yang sama terhadap hukum 

yang sama. Kondisi obyektif mereka tidak memungkinkan memperoleh perlakuan 

yang demikian. Dari titik inilah arti penting prinsip afirmatif dilakukan sehingga 

tercapai kesamaan.

J. TIDAK DAPAT DICABUT (INALIENABILITY)

Prinsip ini menegaskan bahwa hak-hak individu tidak dapat direnggut, 

dilepaskan dan dipindahkan, tetapi selalu melekat dalam diri setiap individu itu. 

Hak hidup, hak dan kebebasan beragama, bebas dari penyiksaan, hak sebagai 

subjek hukum yaitu antara lain hak-hak yang tidak dapat dicabut.

K. TIDAK BISA DIBAGI (INDIVISIBILITY)

Pengabaian pada satu hak akan memicu  pengabaian terhadap hak-

hak lainnya. Hak setiap orang untuk bisa memperoleh penghidupan yang layak 

--  2524    -

yaitu hak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. ini merujuk pada kepentingan 

yang setara dari tiap-tiap hak asasi manusia, apakah itu hak sipil, politik, 

ekonomi, sosial ataupun budaya. Seluruh hak asasi manusia memiliki status yang 

setara, dan tidak dapat ditempatkan pada pengaturan yang bersifat hirarkis. Hak 

seseorang tidak dapat diingkari oleh orang lain dengan memutuskan bahwa hak 

ini  kurang penting atau bukan yang utama. 

L.  SALING BERKAITAN DAN BERGANTUNG (INTERRELATED AND 

INTERDEPENDENCE)

Pemenuhan dari satu hak seringkali bergantung kepada pemenuhan 

hak lainnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Contohnya, hak atas 

pendidikan atau hak atas informasi yaitu saling bergantung satu sama lain. Oleh 

sebab itu, pelanggaran hak asasi manusia saling berkaitan, sehingga hilangnya 

satu hak dapat mempengaruhi hak lainnya. Sebagai contoh, pemenuhan hak atas 

kesehatan mungkin tergantung pada pemenuhan hak atas pembangunan, atas 

pendidikan atau hak atas informasi. 

M. TANGGUNG JAWAB NEGARA (STATE RESPONSIBILITY)

Tanggungjawab yaitu beban yang harus dipikul dan dijalankan oleh 

negara.Hal itu dianggap sebagai konsekuensi atas hak-hak asasi manusia atau 

hak-hak warganegara yang telah diakui dan dijamin keberadaannya oleh negara 

bersangkutan; baik yang termuat dalam undang-undang dasar maupun dalam 

undang-undang. Tanggungjawab negara juga yaitu kewajiban negara 

sebagai konsekuensi dari wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya, yang 

dimandatkan oleh rakyatnya. Tanggungjawab yang berupa kewajiban negara 

terhadap hak asasi manusia mencakup dua hal. Pertama