HAM 1
Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam negara kita (PUSHAM UII)
merasa terhormat sebab dipercaya untuk menerbitkan buku karya Dr. Suparman
Marzuki, S.H., M.Si. Buku ini menjadi penanda dwi windu kiprah PUSHAM UII
dalam mengembangkan diskursus hak asasi manusia di negara kita . PUSHAM
UII yaitu lembaga penelitian hak asasi manusia yang paling awal didirikan di
negara kita bersama PUSHAM Universitas Pajajaran dan Universitas Surabaya
pada pertengahan tahun 2000.
PUSHAM UII didirikan dengan cita-cita menjadi pusat kajian hak asasi
manusia utama, pendidikan dan advokasi dalam membangun dan membentuk
pemerintahan dan warga negara kita yang manusiawi, demokratis dan beradab.
Cita-cita ini diwujudkan dengan dua cara yaitu: (1) tindakan promosi yang
diorientasikan pada penyebaran prinsip-prinsip hak asasi manusia dan pelatihan
praktis hak asasi manusia bagi warga , dan (2) tindakan penguatan yang
ditujukan untuk memungkinkan dan memperkuat negara dan warga dalam
menerapkan dan melindungi kebebasan dan hak asasi fundamental.
Secara praktis, cita-cita di atas salah satunya dilakukan dengan penelitian,
publikasi dan diseminasi. Penelitian dilakukan dalam rangka membangun basis
pengetahuan yang valid. Beberapa isu besar yang telah diteliti antara lain isu
pelanggaran berat hak asasi manusia masa lalu, progress pemenuhan hak
ekonomis, sosial dan budaya, kebebasan beragama dan berkeyakinan, reforma
aktor keamanan, peradilan yang fair dan hak-hak penyandang disabilitas.
Terkait isu pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, kesimpulan besar
kami yaitu bahwa rezim pasca reformasi memang sengaja melanggengkan
impunitas bagi para pelaku. Undang-undang disahkan, jaksa dipersiapkan, komisi
nasional hak asasi manusia dibangun, pengadilan hak asasi manusia didirikan,
namun semua itu hanya sebagai sarana untuk memberi pembebasan kepada
para pelaku. Meminjam istilah David Cohen, seluruh proses ini intended to fail
(direncanakan untuk gagal). Penelitian ini dilakukan oleh Suparman Marzuki yang
kemudian diterbitkan dalam buku berjudul “Robohnya Keadilan! Politik Hukum
HAM Era Reformasi” dan kemudian diterbitkan ulang dengan judul “Pengadilan
HAM Di negara kita , Melanggengkan Impunitas”, pada tahun 2011.
Penelitan serupa juga dilakukan oleh Artidjo Alkostar. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan yang disiapkan untuk
mengadili pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat di negara kita bersifat
lemah dan ada banyak lubang hukum. Alhasil, undang-undang yang ada
tidak mampu menjawab persoalan teknis dan substansi pada proses penegakan
hukum. Situasi ini mengkonfirmasi temuan Suparman Marzuki dan David Cohen
sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Penelitian Artidjo Alkostar kemudian
diterbitkan dalam buku berjudul “Pengadilan HAM, negara kita dan Peradaban”,
pada tahun 2004.
Terkait pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, Busyro Muqoddas
melakukan penelitian panjang terkait proses hukum bagi orang-orang yang
dituduh terlibat gerakan Komando Jihad pada tahun 1982-1985-an. Penelitian
ini menyimpulkan bahwa gerakan Komando Jihad diduga keras sebagai bentuk
rekayasa rezim orde baru untuk melakukan depolitisisasi muslim negara kita . Pada
prosesnya, terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius terhadap
orang-orang yang diduga terlibat seperti rekayasa kasus, rekayasa pembuktian,
penyiksaan para terduga pelaku dan keluarga mereka, dan tindakan lain yang
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan. Penelitian ini
kemudian diterbitkan dalam buku berjudul “Hegemoni Rezim Intelijen: Sisi Gelap
Peradilan Kasus Komando Jihad”, pada tahun 2011.
Penelitian juga dilakukan terhadap pemenuhan hak atas pendidikan
dan perumahan di negara kita . Pada penelitian ini, secara umum pemerintah
negara kita , khususnya pemerintah daerah, belum memakai pendekatan
hak asasi manusia pada pengembangan program pendidikan dan perumahan.
Pendidikan dan perumahan masih dilihat sebagai urusan privat warga negara.
Negara memang hadir, namun masih sangat sulit mengukur “progressive
realisastion” yang yaitu indikator dan sifat hak ekonomi, sosial dan budaya
itu. Penelitian ini telah diterbitkan dalam buku berjudul “Potret Pemenuhan Hak
Atas Atas Pendidikan dan Perumahan di Era Otonomi Daerah: Analisa Situasi di
Tiga Daerah”, pada tahun 2009.
Terkait reforma aktor keamanan, PUSHAM UII telah melakukan
pendampingan bagi institusi kepolisian dalam mengembangkan kurikulum
pendidikan berdimensi hak asasi manusia. Untuk kegiatan ini, berbagai hasil
penelitian dan modul telah dikembangan dan juga dilatihkan kepada Polri,
khususnya pada lembaga pendidikan baik Akademi Kepolisian maupun melalui
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri. Modul yang terakhir diterbitkan dan
dikembangkan yaitu “Pengembangan Perspektif Hak Asasi Manusia untuk
Pendidikan dan Pelatihan POLRI”, pada tahun 2016.
PUSHAM UII juga telah bekerja panjang melakukan penelitian terkait hak
penyandang disabilitas pada proses hukum. Pada penelitian yang dilakukan,
temuan pentingnya yaitu bahwa institusi aparat penegak hukum belum siap
dalam melayani penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Fasilitas
dan kapasitas yang tersedia baru disiapkan untuk menyidangkan perkara dengan
non penyandang disabilitas. Alhasil, proses hukum yang melibatkan penyandang
disabilitas, baik sebagai korban ataupun pelaku, seringkali menghadapi hambatan
yang serius. Hambatan-hambatan inilah yang berpotensi melanggar hak asasi
manusia penyandang disabilitas. Hasil penelitian pada isu ini telah diterbitkan
dalam bentuk buku berjudul “Aksesibilitas Peradilan bagi Penyandang Disabilitas”,
pada tahun 2015.
Pada isu peradilan, penelitian juga dilakukan terhadap putusan hakim.
Penelitian dilakukan dalam rangka menguji dan memetakan penggunaan
pertimbangan hak asasi manusia dalam putusan hakim. Temuannya yaitu
bahwa secara umum, putusan pengadilan belum memakai perspektif hak
asasi manusia pada pertimbangannya. Padahal kasus-kasus ini terkait erat
dengan hak asasi manusia. Misalnya, kasus terkait anak, perempuan, lingkungan,
dan minoritas. Semua kasus ini masih disidangkan secara konvensional
dan tidak diletakkan sebagai problem hak asasi manusia. Penelitian ini telah
diterbitkan dalam bentuk buku berjudul “Wajah Hakim dalam Putusan: Studi Atas
Putusan Hakim Berdimensi Hak Asasi Manusia”, pada 2009.
Buku-buku sebagaimana dijelaskan di atas sebagian besar terkait dengan
isu-isu spesifik dalam diskursus hak asasi manusia. PUSHAM UII juga telah
menerbitkan buku teks yang berisi segala aspek teoritis, prinsip dan instrumen
hak asasi manusia. Buku ini yaitu buku rujukan dan pondasi keimuan
hukum hak asasi manusia. Buku ini ditulis oleh lima belas orang pakar, tiga orang
dosen di Universitas Oslo, Norwegia dan tiga belas yang lain yaitu dosen-dosen
hak asasi manusia dari universitas dan lembaga hak asasi manusia terkemuka
di negara kita . Buku ini berjudul “Hukum Hak Asasi Manusia” dan diterbitkan
pertama kali pada tahun 2008. Selain buku-buku ini , PUSHAM UII juga
telah menerbitkan lusinan buku lain yang yaitu hasil penelitian maupun
modul-modul spesifik hak asasi manusia.
Buku yang saat ini sedang anda baca yaitu buku penting yang dapat
menjadi pondasi ke-negara kita an dalam rangka memahami hukum hak asasi
manusia. Buku ini menarik dan wajib dibaca oleh semua sarjana, khususnya
orang yang concern terhadap isu hukum. Hal itu dilatarbelakangi oleh dua hal
yaitu terkait substansi dan metodologi. Penjelasannya yaitu sebagai berikut.
Pertama, terkait substansi. Hingga saat ini, kritik utama terhadap buku-
buku hukum hak asasi manusia yaitu bahwa buku ini ditulis hanya dengan
mengakomodasi prinsip-prinsip umum tentang hak asasi manusia. Hukum hak
asasi manusia seakan berdiri nun jauh di awang-awang langit Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Jikalaupun turun sedikit, masih menjadi prinsip umum
pada wacana publik. Hak asasi manusia seakan terpisah dengan rezim ilmu hukum
lain. Buku ini berbeda dengan buku-buku pada umumnya. Ia menjelaskan hak
asasi manusia tidak hanya terkait prinsip umum serta berbagai instrumen hak
asasi manusia internasional, tetapi langsung diberikan contoh dan penjelasan
bahwa hukum hak asasi manusia harus diejawantahkan pada berbagai peraturan
perundang-undangan di negara kita .
Contohnya yaitu saat penulis menjelaskan bahwa di negara kita ,
banyak peraturan perundang-undangan yang terkait langsung dengan hak
sipil dan politik, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-
Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan lain-lainnya. Dijelaskan juga
perundang-undangan yang terkait dengan hak ekonomi, sosial dan budaya,
seperti Undang-Undang tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang tentang
Perumahan, Undang-Undang tentang Fakir Miskin, Undang-Undang tentang
BPJS dan lain-lainnya. Penjelasan ini menjadi kelebihan utama buku ini. Ia
ingin menyatakan bahwa hak asasi manusia bukanlah prinsip yang ada di langit,
namun dapat dijadikan norma yang dibumikan dalam kenyataan.
Kedua, terkait metodologi. Buku ini ditulis secara runtut. Pada awalnya,
dimulai dari prinsip-prinsip besar dan kerangka teori hukum hak asasi manusia,
hingga mengerucut pada berbagai instrumen hak asasi manusia, baik internasional
maupun regional. Buku ini juga mencoba mengetengahkan instrumen hak asasi
manusia yang jarang didiskusikan dan dirujuk orang, misalnya Piagam Madinah.
Oleh kalangan Islam, Paiaham Madinah dianggap sebagai instrumen hak asasi
manusia paling tua di jagad raya ini. Dari sisi bahasa, buku ini juga sangat mudah
dipahami. Bahasa yang digunakan yaitu bahasa ilmiah cenderung populer,
sehingga tidak perlu mengernyitkan dahi untuk memahaminya.
Selain beberapa hal di atas, satu hal penting lain yaitu bahwa hak
asasi manusia telah menjadi bagian integral dari sistem hukum di negara kita .
ini dapat dilihat dari telah diratifikasinya hampir semua instrumen hak asasi
manusia internasional, seperti Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi
Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminiasi Rasial, Konvensi
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi dan Merendahkan Martabat, Konvensi tentang Hak Anak, Konvensi
tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarga Mereka, Konvensi tentang
Hak Penyandang Disabilitas, dan Konvensi Internasional tentang Perlindungan
Semua Orang dari Penghilangan Secara Paksa. Konvensi terakhir hanyalah
satu-satunya instrumen pokok hak asasi manusia yang belum diratifikasi oleh
pemerintah negara kita . Buku yang ada di tangan pembaca ini menjadi penting
untuk memahami posisi hukum hak asasi manusia di negara kita sekaligus menjadi
materi penting menuju pemahaman yang utuh tentang hukum hak asasi manusia.
Pada akhirnya, sebagai Direktur PUSHAM UII, saya mengucapkan selamat
kepada Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si., yang telah menyelesaikan buku yang
sangat bermanfaat ini. Saya berkeyakinan utuh bahwa buku ini akan membantu
banyak orang, khususnya mahasiswa ilmu hukum, dalam rangka mempelajari
hukum hak asasi manusia.
A. HUKUM
Salah satu kelebihan sekaligus kekurangan dari hukum yaitu kesulitan
merumuskan pengertian atau definisi yang disepakati oleh kebanyakan ahli hukum.
Setiap ahli hukum memiliki rumusan tersendiri tentang “apa itu hukum”. Ada yang
mendefinisikannya sebagai konstruksi atas nilai-nilai dan asas kebaikan untuk
menata kehidupan agar tertib, teratur dan damai. Ada pula yang mendefinisikannya
sebagai seperangkat aturan yang dibuat penguasa untuk mengatur perilaku
manusia dalam warga .
Sebagian ahli lainnya merumuskannya sebagai ilmu yang mencakup
dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum; mempelajari
tentang yang benar dan yang salah; serta mempelajari tentang hak dalam segala
bentuk dan manifestasinya.
Sebagai gambaran, penting dikutipkan pandangan sejumlah ilmuan
berikut:1
1. Hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan
kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku dalam warga , dan yang
menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan
tujuannya (E.M. Mayers dalam bukunya ”De Algemene Begrippen
van Het Burgerlijk Recht” ).
2. Hukum ialah aturan tingkah laku para anggota warga , aturan
yang ada penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu
warga sebagai jaminan kepentingan bersama dan yang jika
dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang
melakukan pelanggaran itu (Leon Duguit).
3. Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak
bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak
bebas dari orang lain, menurut peraturan hukum tentang kemerdekaan
(Immanuel Kant).
4. Hukum itu himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan
larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu warga dan
sebab itu harus ditaati oleh warga itu (Utrecht).
Kelebihan dari belum adanya kesepakatan tentang pengertian ini ,
membuat hukum menjadi luwes (fleksibel) untuk dirumuskan. Sementara
kekurangannya yaitu akan menyulitkan mereka yang tidak belajar hukum atau
baru belajar untuk memahami hukum. Di sisi lain, mudah menyulut perbedaan
pandangan saat hukum akan diimplementasikan untuk menyelesaikan kasus-
kasus kongkrit. Meskipun demikian, ada beberapa unsur yang menjadi
intisari dari hukum, yaitu: adanya unsur aturan untuk menuntun, mengatur, agar
ada ketertiban, keteraturan dan kedamaian, diperuntukkan bagi manusia sebagai
individu maupun warga agar tercipta hubungan antar manusia yang tertib,
teratur dan damai.
Dalam perkembangannya, hukum juga mengatur hubungan individu
dan atau warga dengan negara. Tujuan pengaturan ini agar individu atau
warga yang menjadi warga dari suatu negara bisa menjalankan kehidupan
dengan teratur, tertib dan damai. Negara --sebagai entitas kekuasaan-- diberi
wewenang mengatur warga negara agar dapat menyelenggarakan kewenangannya
dengan baik dan benar. Negara juga diharapkan tidak melakukan penyimpangan
kewenangan dan tidak melakukan tindakan melebihi kewenangan yang telah
digariskan oleh hukum terhadap manusia dan warga negaranya.
Dengan adanya hukum, maka di satu sisi, negara memiliki alasan atau
dasar hukum untuk bertindak terhadap segala perilaku warga negaranya yang
melanggar hukum. Pada sisi lain, negara diberi batasan-batasan dalam bertindak,
sehingga ada keseimbangan kewenangan dan ada keseimbangan penggunaan
hak dan kewajiban negara dan warga negara.
B. HAK ASASI MANUSIA
Sebagaimana halnya dengan hukum, pengertian hak asasi manusia juga
variatif. John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia yaitu hak-hak yang
diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh
karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak
ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia
yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.2
Dalam Ketetapan MPR No.XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia
dinyatakan bahwa hak asasi manusia yaitu hak dasar yang melekat pada diri
manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan
manusia, dan warga yang tidak boleh di abaikan, dirampas, atau diganggu
gugat oleh siapapun.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia mendefinisikan hak asasi manusia sebagai berikut:
“Hak Asasi Manusia yaitu seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
yaitu anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Hak asasi manusia yaitu hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata
sebab ia manusia. Umat manusia memilikinya, bukan sebab diberikan oleh
warga atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan
martabatnya sebagai manusia. Hak hidup, hak berbicara, berpendapat yaitu
hak-hak kodrati yang melekat dalam diri manusia, sebagaimana yang diberikan
Tuhan. Hak-hak kodrati itu bersifat fundamental. Ia yaitu sebuah anugerah Tuhan
yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, warga atau
negara.3 Hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia
ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh sebagai mahluk Tuhan.
Dalam teori positivisme, hak asasi manusia yaitu hak yang diberikan
oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak ini ada
sebab kedudukan dan keberadaan manusia sebagai bagian dari komunitas
sosial politik, ekonomi, budaya yang harus diberikan dan dilindungi oleh negara.
Penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dalam konteks ini yaitu
untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan
antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum.4
C. KAITAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
Hukum dan hak asasi manusia seperti dua sisi dari satu mata uang,
yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hukum atau norma atau kaidah
yaitu konstruksi dari nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang ditujukan untuk
menjaga dan menegakkan kebaikan dan kebenaran itu sendiri. Sementara hak
asasi manusia yaitu konstruksi nilai-nilai kemanusian manusia sebagai ciptaan
Tuhan dan mahluk sosial.
Sebagai ciptaan Tuhan, manusia secara alamiah (sunnatullah) memiliki
hak-hak yang sifatnya kodrati. Hak itu yaitu hak untuk hidup, hak melanjutkan
kehidupan, hak memutuskan hidup, hak berpikir, hak berpendapat, hak
berekspresi, hak untuk tidak dibeda-bedakan, hak untuk tidak dihinakan, dan
seterusnya. Sementara sebagai mahluk sosial, manusia berhak untuk sehat,
berhak untuk berpendidikan, berhak untuk bekerja, berhak atas rasa aman, berhak
atas penghidupan yang layak, berhak berinteraksi dengan orang lain, berhak atas
tempat tinggal, berhak atas identitas, dan masih banyak hak yang lain.
Hak-hak yang ada secara alamiah maupun secara sosial ini baru
yaitu hak moral. Hak ini belum memiliki kekuatan perlindungan
3 Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan warga Madani , Prenada
Media, Jakarta, 2003, hal. 201.
4 Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice , Cornell University Press,
Ithaca and London, 2003, hal. 7-21.
-- 54 -
apapun kecuali kekuatan moral itu sendiri. jika terjadi pelanggaran, maka akan
dikutuk secara moral. Hak-hak itu baru akan memiliki kekuatan hukum jika
telah menjadi norma atau kaidah hukum yang memuat perintah, larangan dan
sanksi. Ini artinya, hak asasi manusia yang telah dinormakan menjadi hukum
menjadi mengikat dan harus dihormati, dilindungi dan ditegakkan oleh aparatur
negara (polisi, jaksa dan hakim).
Dengan demikian, kaitan hukum dan hak asasi manusia menjadi jelas.
Hukum yaitu aturan yang memiliki kekuatan memaksa untuk mencegah
dan menegakkan pelanggaran hak asasi manusia. Dari kaitan ini , maka bisa
dirumuskan bahwa hukum hak asasi manusia yaitu hukum yang memuat dan
mengatur hak-hak dan kebebasan kodrati serta hak-hak sosial manusia sebagai
mahluk Tuhan dan mahkluk sosial. Ia memiliki kekuatan memaksa untuk ditaati
serta memiliki kekuatan eksekusi terhadap siapa saja yang melanggar hak asasi
manusia.
D. PELANGGARAN HUKUM DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
Pelanggaran hukum dan pelanggaran hak asasi manusia secara
substansial sama. Ia sama-sama melanggar norma-norma atau kaidah-kaidah
tentang larangan melakukan kejahatan terhadap manusia, termasuk di dalamnya
hak-hak manusia. Pencurian, perampokan, pembunuhan, penganiayaan,
perkosaan, penghinaan, pencemaran nama baik, dan penipuan yaitu tindakan
melanggar norma-norma atau kaidah-kaidah yang mengatur tentang hak-hak
manusia. Tetapi pelanggaran hukum dan pelanggaran hak asasi manusia diatur
dan diselesaikan oleh aparatur negara dengan cara dan aturan hukum yang
berbeda.
Pelanggaran hukum pidana dalam bentuk pencurian, perampokan,
pembunuhan, penganiayaan, perkosaan, penghinaan, pencemaran nama baik, dan
penipuan; yaitu tindak pidana atau perbuatan pidana yang diancam dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penanganannya diserahkan kepada
pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan. Sedangkan pelanggaran hak asasi
manusia yaitu setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang --termasuk
-- 76 -
aparat negara-- baik sengaja atau tidak, sebab kelalaian yang secara melawan
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi
manusia seseorang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan
atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan
benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.5
Dengan demikian, bila mengacu kepada Undang-Undang No. 39 Tahun
1999, pelanggaran hak asasi manusia memiliki kualifikasi-kualifikasi yang
berbeda dengan pelanggaran hukum. Dari segi pelaku: bisa individu, bisa
kelompok, dan bisa aparat negara. Dari segi motif, bisa pelanggaran sengaja
(by comisson) dan bisa sebab kelalaian atau pembiaran (by omission). Dari
sudut bentuk perbuatan: bisa berupa mengurangi, bisa menghalangi, membatasi
atau mencabut hak-hak dan kebebasan dan bisa pula berupa perbuatan yang
memicu seseorang atau kelompok orang tidak mendapatkan penyelesaian
hukum atas pelanggaran yang terjadi.
Bila mengacu kepada terminologi universal hak asasi manusia,
pelanggaran hak asasi manusia yaitu pelanggaran yang dilakukan oleh negara
(negara sebagai aktor pelaku), baik secara langsung dan sengaja (by comission)
maupun tidak langsung berupa pembiaran (by omisiion). Dalam konsepsi demikian
itu, perbuatan orang perorang atau kelompok orang tidak dikategorikan sebagai
pelanggaran hak asasi manusia, tetapi perbuatan melanggar hukum. Tetapi
secara substansial atau hakekat dari perbuatan (bukan konstruksi formal dari
perbuatan), maka perbuatan orang, kelompok orang atau negara pada hakekatnya
melanggar hak-hak manusia.
Larangan menghina, memfitnah atau mencemarkan nama baik seseorang
yang diatur dalam KUHP pada hakekatnya yaitu larangan merendahkan martabat
manusia sebagai ciptaan Tuhan. Larangan mencuri pada dasarnya yaitu larangan
mengambil hak atas harta benda milik orang (hak) orang lain. Begitu pula larangan
membunuh dalam KUHP yaitu larangan merampas nyawa (hak hidup) manusia
sebagai ciptaan Tuhan.
5 Pasal 1 point (6) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.
-- 76 -
Mengapa konsepsi pelanggaran hak asasi manusia dikonstruksikan
spesifik sebagai pelanggaran oleh negara tidak terlepas dari sejarah panjang
penderitaan manusia yang diperlakukan semena-mena oleh kekuasaan (raja
dan atau negara), dimana manusia menjadi objek yang mengalami segregasi,
diskriminasi, stigamtisasi, pembunuhan ilegal, dan seterusnya sehingga
kemunculan hak asasi manusia modern setelah Magna Charta dan seterusnya
hingga Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 yang diikuti dengan dibuat
dan disepakatinya pelbagai konvensi hak asasi manusia internasional oleh PBB,
serta digelarnya pengadilan Nurenberg Tribunal6 dan Tokyo Tribunal7, negara
mulai dikonstruksikan dalam kaidah hak asasi manusia sebagai aktor utama
yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Dengan konsepsi pelanggaran hak asasi manusia yang menjadikan negara
sebagai aktor pelaku, maka semenjak itu negara yaitu pihak (subjek hukum)
yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum bila melakukan pelanggaran
sengaja (by comission) maupun pembiaran (by omission). Dengan kata lain,
negara menjadi pemikul kewajiban.
Dalam konsepsi demikian itu, peraturan perundang-undangan (Hukum
Hak Asasi Manusia) yang disajikan dalam buku ini mencakup pelbagai peraturan
perundang-undangan tentang hak asasi manusia dalam bidang hak sipil
politik dan hak ekonomi sosial budaya yang meletakkan negara sebagai aktor
atau subjek hukum pemikul kewajiban, dan orang atau warganegara sebagai
pemegang hak. Meski demikian, dalam sejumlah pasal dalam pelagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur hak asasi manusia di bidang hak sipil dan
politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya dimuat ancaman pidana terhadap
orang atau kelompok orang yang melanggar hak-hak yang diatur di dalamnya.
6 Pengadilan untuk mengadili para anggota-anggota utama dari kelompok pemimpin politik,
militer Nazi Jerman yang dilakukan di kota Nurnberg dari tahun 1945-1946.
7 Pengadilan Militer Internasional untuk Timur (International Military Tribunal for the Far
East/ IMTFE ) yaitu pengadilan internasional yang diselenggarakan pada 3 Mei 1946 dengan tujuan
untuk mengadili para pemimpin kekaisaran Jepang atas tiga kategori kejahatan: “Kelas A“ (kejahatan
terhadap perdamaian), “Kelas B” (kejahatan perang), dan “Kelas C” (kejahatan terhadap kemanusiaan),
yang dilakukan selama Perang Dunia II.
-- 98 -
Ini menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap Hukum Hak Asasi Manusia
dirumuskan oleh pembuat undang-undang sebagai perbuatan yang dilakukan
orang atau kelompok orang, dan negara tidak secara ekspelisit dimuat dalam
Pasal sebagai aktor yang bisa dipidana melakukan kejahatan terhadap hak-hak
asasi manusia.
E. HUKUM HAK ASASI MANUSIA
Hukum Hak Asasi Manusia telah menjadi mata kuliah wajib di fakultas-
fakultas hukum di negara kita dengan nama mata kuliah yang tidak sama. Ada
yang memakai nama Hukum Hak Asasi Manusia dan ada yang memakai
nama Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kedua nama ini tentu memiliki
konsekuensi pada materi perkuliahan, penekanan, dan penempatannya dalam
rumpun mata kuliah.
Materi Hukum Hak Asasi Manusia sudah langsung fokus pada hak asasi
manusia sebagai hukum positif. Hal itu telah diatur dalam banyak peraturan
perundang-undangan, seperti Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-
Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Perlindungan Anak,
Undang-Undang Tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat di Muka Umum, dan
masih banyak peraturan yang lain.
Sementara Hukum dan Hak Asasi Manusia masih menempatkan hukum
sebagai norma-norma hukum positif yang independen, memiliki kekuatan
mengikat, memiliki daya paksa, memiliki instrumen-instrumen pelaksana yang
memiliki kewenangan memaksakan ketaatan dan menindak terhadap siapa saja
yang tidak taat. Sedangkan hak asasi manusia ditempatkan sebagai hak-hak
kemanusian abstrak yang bersifat dependen terhadap hukum. Jika aparatur hukum
pasif, maka hak asasi manusia tidak akan terlindungi. Begitu pula sebaliknya.
Penempatan Hukum Hak Asasi Manusia dalam rumpun mata kuliah
juga berbeda-beda. Ada yang menempatkannya sebagai salah satu mata kuliah
dalam rumpun Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Internasional
atau hukum-hukum dasar lainnya, seperti Ilmu Hukum, Pancasila,
Kewarganegaraan, dan seterusnya. Hukum Hak Asasi Manusia juga mengenal
pembedaan-pembedaan sebagai berikut:
Pertama,- mencakup hak sipil politik dan hak
ekonomi, sosial dan budaya. Hak sipil politik menuntut negara bertindak negatif,
atau absen atau tidak melakukan tindakan yang bisa mencegah atau melanggar
kebebasan manusia atau warga negara (freedom from). Sementara hak ekonomi,
sosial dan budaya menuntut negara bertindak sebaliknya, yaitu aktif-responsif,
tidak boleh absen agar hak-hak bidang ini bisa diperoleh (rights to).
Kedua,- memerlukan atau membutuhkan tiga
(3) bentuk kewajiban negara yang relatif berbeda dengan hukum pada umumnya,
yaitu membutuhkan respon pemenuhan (to fulfill), penghormatan (to respect) dan
perlindungan (to protect). Pemenuhan (to fulfill) mengharuskan negara mengambil
langkah-langkah atau kebijakan hukum dan anggaran agar hak-hak asasi manusia
dan warga negara bisa terpenuhi. Penghormatan (to respect) mengharuskan
negara tidak mengambil kebijakan atau langkah-langkah yang bisa memicu
manusia atau warga negara kehilangan hak, tidak dapat memenuhi hak-haknya
atau sulit mendapatkan hak-haknya. Perlindungan (to protect) mengharuskan
negara memastikan bekerjanya aparat negara penegak hukum menegakkan
hukum jika terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
Selain itu, Hukum Hak Asasi Manusia nasional yang bersumber dari
perjanjian internasional, memerlukan proses tersendiri untuk menjadi hukum
nasional. ada dua teori untuk menjelaskan hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional, agar negara dapat menyesuaikan hukum
nasionalnya dengan kewajibannya di dalam hukum internasional. Kedua teori
ini adalah:
Pertama, teori monoisme, yang menyatakan bahwa hukum nasional dan
hukum internasional yaitu satu kesatuan sistem hukum. Dengan demikian, jika
suatu negara telah meratifikasi dan menjadi pihak dalam perjanjian internasional
untuk melindungi hak asasi manusia, maka secara otomatis perjanjian
internasional itu menjadi hukum nasionalnya.
Kedua, teori dualisme, yang berpandangan bahwa hukum internasional
dan hukum nasional yaitu dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.
Sebagai konsekuensi dari teori itu, maka untuk menerapkan hukum internasional
yang melindungi hak asasi manusia misalnya, ratifikasi saja tidak cukup.
Diperlukan suatu transformasi hukum internasional ke dalam hukum nasional,
yang biasanya dilakukan melalui undang-undang yang dibuat oleh parlemen.
Dari dua teori ini , negara kita menganut teori dualisme sebagaimana
tergambar pada ketentuan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional. Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa
pengesahan perjanjian internasional harus dilakukan dengan undang-undang atau
Keputusan Presiden. Ini artinya, pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam
hukum nasional negara kita tidak serta merta, tetapi melalui proses pengesahan.
Selanjutnya, tindakan hukum negara kita meratifikasi suatu perjanjian
internasional dengan undang-undang, memerlukan pembuatan undang-undang
yang lebih khusus. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan dalam perjanjian
internasional yang telah diratifikasi ke dalam undang-undang ini lebih
terjamin dan dapat diimplementasikan secara jelas. negara kita misalnya, telah
meratifikasi perjanjian internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 serta hak sipil dan hak politik
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
Hanya saja, keduanya baru yaitu undang-undang tentang ratifikasi
atau undang-undang untuk mengikatkan diri ke dalam hukum hak asasi manusia
internasional. Tentu saja masih memerlukan tindak lanjut berupa undang-undang
yang lebih spesifik, untuk mengatur dan menjamin perlindungan hak-hak yang
disebutkan dalam kedua konvensi ini . Meskipun demikian, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan pemerintah selaku pembuat undang-undang telah membuat
dan mengesahkan banyak peraturan perundang-undangan, baik sebelum maupun
setelah dilakukannya ratifikasi terhadap kedua kovenan utama ini .
ASAS-ASAS DAN PRINSIP-PRINSIP UMUM
HUKUM HAK ASASI MANUSIA
A.
Hak asasi manusia yang memuat perintah, larangan dan sanksi tentang
hak-hak dan kebebasan manusia yang telah dituangkan kedalam pelbagai
peraturan perundang-undangan, sudah pasti didasarkan pada asas-asas atau
prinsip-prinsip tertentu yang bersifat universal. Posisi dari asas-asas dan prinsip-
prinsip dalam peraturan perundang-undangan yaitu menjadi penuntun arah,
pembatas, penguat, dan penyusunan norma. Dalam beberapa hal, juga menjadi
alat ukur (takaran) terhadap daya jangkau dan daya rusak dari sesuatu kaidah
atau norma. Dengan adanya asas atau prinsip akan membuat kaidah-kaidah
normatif menjadi luwes, tetapi juga lebih terkontrol. Tidak mudah disalahgunakan
dan diselewengkan.
Asas persamaan di depan hukum misalnya, akan menuntun penyusunan
norma tidak diskriminatif dalam konstruksi kaidah maupun dalam pelaksanaannya.
Begitu juga dengan asas praduga tidak bersalah, akan menuntun penyusunan
norma dan pelaksanaanya secara fair (obyektif) dan tidak sewenang-wenang.
Dengan menyajikan asas-asas dan prinsip-prinsip ini, seluruh Hukum Hak Asasi
Manusia yang dimuat dalam buku ini bisa diidentifikasi: apakah konstruksi
normanya telah disusun sesuai asas atau prinsip? Apakah pelaksanaannya atau
penegakkannya sudah dijalankan sesuai asas atau prinsip?
B. MARTABAT MANUSIA (HUMAN DIGNITY)
Hak asasi manusia yaitu hak yang melekat, dan dimiliki setiap
manusia di dunia, pada setiap individu, tanpa memperhatikan umur, budaya,
keyakinan, etnis, ras, jender, bahasa, kelas sosial, keyakinan politik yang harus
dihormati, dihargai, dan dilindungi.
-- 1312 -
C. LEGALITAS (THE PRINCIPLE OF LEGALITY)
Prinsip ini menegaskan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana, jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-
undangan. Prinsip ini lahir dari tiga (3) konsep, yaitu: nulla poena sine lege (tidak
ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang); nulla poena sine
crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana); dan nullum crimen sine
poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang).
Inti dari prinsip ini adalah:
Pertama, suatu perbuatan harus dicantumkan dalam peraturan perundang-
undangan yang tertulis. Artinya, perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam
undang-undang sebagai tindak pidana, tidak dapat dijerat oleh hukum.
Kedua, peraturan undang-undang (aturan dan ketentuan-ketentuan hukum
yang disahkan) harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Artinya, hukum
tidak boleh diberlakukan surut. Sebagai konsekuensinya, perbuatan seseorang
yang dilakukan sebelum dikeluarkanya peraturan perundang-undangan yang sah,
tidak dapat dijerat dengan hukum yang dikeluarkan setelah perbuatan ini
dilakukan.
Legalitas (the principle of legality) yaitu salah satu prinsip atau
asas fundamental dalam negara hukum. Tujuannya untuk memberi kepastian
hukum dan keadilan, melindungi individu dari tindakan sewenang-wenang negara
tanpa hukum, sekaligus mencegah aparatur negara melakukan tindakan liar
tanpa hukum. Asas legalitas berasal dari Bill of Rights of Virginia tahun 1776 di
Amerika Serikat. Isinya memuat ketentuan bahwa tidak ada orang yang boleh
dituntut atau ditangkap, selain dengan dan oleh peristiwa-peristiwa yang ada
dalam undang-undang.
Asas ini memberi perlindungan terhadap tuntutan dan penangkapan
yang dilakukan secara sewenang-wenang dari penguasa terhadap seseorang.
Semangat dari Bill of Rights ini menjadi dasar dari perumusan Pasal 8 Declaration
Des Droits De L’Homme Et Du Citoyen tahun 1789 yang berbunyi, “tidak ada
orang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada
-- 1312 -
sebelumnya” dan dimasukkan kedalam Pasal 4 Code Penal Perancis dibawah
Pemerintahan Napoleon.
Asas legalitas dimaksudkan untuk melakukan antisipasi terhadap tindakan-
tindakan represi dari kekuasaan raja-raja yang absolut saat itu. Kejahatan-
kejahatan yang dinamakan Criminal Extra Ordinaria (kejahatan-kejahatan yang
tidak disebut dalam undang-undang tertulis) telah diterima oleh raja-raja, sehingga
dengan itu para penguasa ataupun para raja memakai hukum pidana secara
sewenang-wenang menurut kehendak dan kebutuhannya sendiri.8
Asas legalitas sebagai sumber primaritas hukum pidana dari setiap negara
yang menghendaki hukum sebagai suatu supremasi, diadopsi oleh Belanda melalui
Wetboek van Straftrecht . Setelah itu masuk ke negara kita secara konkordansi
melalui Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
D. RETROAKTIF
Retroaktif yaitu lawan dari asas legalitas tentang pemberlakuan
hukum pidana yang berlaku surut. Dengan kata lain, perbuatan seseorang
sebelum adanya aturan dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, dapat
dijerat dengan hukum yang dikeluarkan setelah perbuatan ini dilakukan.
Hukum kebiasaan internasional telah mengakui bahwa terhadap pelanggaran
hak asasi manusia berat, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan,
dapat mempergunakan asas ini. Atas dasar prinsip inilah pengadilan internasional
Nuremberg (Internasional Military Tribunal Nurembreg Tahun 1946) ,9 Pengadilan
8 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana , Cetakan Keempat, Jakarta Bina Aksara, 1987,
hal. 24
9 Persidangan kasus-kasus yang berkaitan dengan para anggota-anggota utama dari
kelompok pemimpin politik, militer dan ekonomi dari Nazi Jerman. Persidangan ini berlangsung
dari 20 November 1945 sampai 1 Oktober 1946.Dasar hukum pembentukan pengadilan ini
berdasarkan Piagam London yang dikeluarkan pada tanggal 8 Agustus 1945, yang membatasi
kewenangan pengadilan hanyalah untuk “menghukum para tokoh utama penjahat perang dari
negara-negara Eropa”. Sebanyak 200 tersangka kejahatan perang dari Jerman diadili di Nurenberg
dan 1.600 orang lainnya diadili di pengadilan militer biasa.
-- 1514 -
Tokyo (International Military Tribunal for the Far East 19 4 6), 10 Yugoslavia
(International Criminal Tribunal For Former Yugoslavia 1993/ ICTY), 11 Rwanda
(International Criminal Tribunal For Rwanda 1994) 12 digelar dan telah menghukum
banyak pelaku.
Prinsip retroaktif atau hukum berlaku surut tercantum dalam penjelasan
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
yakni“ yang dimaksud dengan ‘dalam keadaan apapun’ termasuk keadaan
perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat. Yang dimaksud dengan
‘siapa pun’ yaitu negara, pemerintah, dan atau anggota warga . Hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam
hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam
kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kedudukan prinsip retroaktif diperkuat dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
yang tertera sebagai berikut: “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc. ”Prinsip ini pernah diuji di Mahkamah
Konstitusi (MK) yang dimohonkan oleh Abilio Jose Osorio Suares13 pada tahun
10 Didirikan berdasarkan Proklamasi Khusus dari Jenderal Douglas MacArthur sebagai
Panglima Tertinggi di Far East untuk pihak Sekutu. Pengadilan Tokyo ini mencoba untuk mengadili
kejahatan paling serius, yaitu kejahatan kemanusiaan. Proses peradilan berlangsung dari 3 Mei 1946
hingga 4 November 1948. Tujuan dari peradilan ini yaitu untuk menghukum elit Jepang atas kejahatan
kemanusiaan yang dilakukan selama Perang Dunia II dan tujuan utamanya yaitu mengakhiri perang
untuk selamanya.
11 ICTY yaitu sebuah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan untuk
mengadili para penjahat perang di Yugoslavia. Pengadilan atau tribunal ini berfungsi sebagai sebuah
Pengadilan Ad Hoc yang merdeka dan terletak di Den Haag, Belanda.
12 Pengadilan yang didirikan pada November 1994 oleh Dewan Keamanan
PBB berdasarkan Resolusi 955. Tujuan didirikannya pengadilan ini yaitu untuk mengadili orang
yang bertanggung jawab atas terjadinya Genosida Rwanda dan pelanggaran hukum internasional lain
di Rwanda dari 1 Januari hingga 31 Desember 1994.
13 Abilio Soares yaitu mantan Gubernur Timor Timur pada tahun 1992-1999. Pada waktu
itu, Timor Timur masih menjadi bagian dari Republik negara kita , dan menjadi salah satu terdakwa
pelanggaran berat hak asasi manusia yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi ManusiaAd Hoc Timor
Timur.
-- 1514 -
2004 yang lalu, dan telah diputus oleh MK dengan menolak permohonan
pemohon. Dasar penolakan MK yang tertuang dalam putusan No. 065 /PUU-
II/2004 yang antara lain dapat disimpulkan sebagai berikut14:
Pertama, ketentuan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, menyatakan bahwa
hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut yaitu hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Meskipun
rumusan harfiah demikian menimbulkan kesan seolah-olah bahwa hak untuk
tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut bersifat mutlak, namun
sesuai dengan sejarah penyusunannya, Pasal 28I ayat (1) tidak boleh dibaca
secara berdiri sendiri melainkan harus dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J
ayat (2). Dengan cara demikian, maka akan tampak bahwa, secara sistematik,
hak asasi manusia --termasuk hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum
yang berlaku surut-- tidaklah bersifat mutlak, sebab dalam menjalankan hak
dan kebebasannya, setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang
lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditentukan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin penegakan dan penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam satu
warga demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2). Dengan
membaca Pasal 28I ayat (1) bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2), tampaklah
bahwa hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut (retroaktif)
tidaklah bersifat mutlak, sehingga dalam rangka “memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban”.
Kedua, ukuran untuk menentukan keseimbangan kepastian hukum dan
keadilan, khususnya dalam menegakkan asas nonretroaktif harus dilakukan
dengan mempertimbangkan tiga tugas/tujuan hukum yang senantiasa saling
tarik-menarik (spannungsverhältnis) yaitu kepastian hukum (rechtssicherkeit) ,
keadilan hukum (gerechtigkeit ), dan kebergunaan hukum (zweckmassigkeit).
Dengan mempertimbangkan ketiga tujuan hukum ini secara seimbang
14 Baca pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan ini pada halaman
48-60.
-- 1716 -
maka pemberlakuan hukum secara retroaktif yang terbatas, terutama terhadap
kejahatan yang luar biasa (extraordinary crimes ), secara hukum dapat dibenarkan.
Ketiga, penerapan secara retroaktif suatu undang-undang tidaklah
otomatis memicu undang-undang yang bersangkutan bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar dan oleh karenanya sertamerta menjadi tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat. Pemberlakuan demikian juga tidak selalu dengan
sendirinya mengandung pelanggaran hak asasi, melainkan harus dinilai dari
dua faktor atau syarat yang harus dipenuhi dalam pemberlakuan hukum atau
undang-undang secara retroaktif: pertama, besarnya kepentingan umum yang
harus dilindungi undang-undang ini ; kedua, bobot dan sifat (nature) hak-
hak yang terlanggar akibat pemberlakuan undang-undang demikian lebih kecil
dari kepentingan umum yang terlanggar;
Keempat, kejahatan-kejahatan yang terhadapnya diberlakukan
pengesampingan asas non retroaktif oleh Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu “pelanggaran terhadap hak asasi manusia
yang berat”, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
(vide Pasal 7 Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia). Kejahatan
genosida yaitu setiap perbuatan yang dimaksudkan untuk menghancurkan
atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok
etnis, kelompok agama, dengan cara: (a) membunuh anggota kelompok; (b)
memicu penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok; (c) menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan memicu
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; (d) memaksakan
tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, atau
(e) memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok
lain (vide Pasal 8 Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia). Sedangkan
kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya
bahwa serangan ini ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil,
berupa: (a) pembunuhan; (b) pemusnahan; (c) perbudakan; (d) pengusiran
atau pemindahan penduduk secara paksa; (e) perampasan kemerdekaan atau
-- 1716 -
perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar
(asas-asas) ketentuan pokok dalam hukum internasional; (f) penyiksaan; (g)
perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan
seksual lain yang setara; (h) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu
atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan,
etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara
universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; (i) penghilangan
orang secara paksa; atau (j) kejahatan apartheid (vide Pasal 9 Undang-Undang
Pengadilan Hak Asasi Manusia).
Kelima, kejahatan-kejahatan sebagaimana disebutkan di atas yaitu
bertentangan dengan semangat untuk menegakkan dan menjunjung tinggi
perikemanusiaan dan perikeadilan, yang secara jelas dinyatakan oleh Pembukaan
UUD 1945, serta pada saat yang sama juga bertentangan dengan prinsip-prinsip
hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. Oleh karenanya,
terhadap kejahatan-kejahatan demikian, pengesampingan asas non-retroaktif
bukan hanya tidak bertentangan dengan UUD 1945 melainkan sebaliknya,
sebagai Undang-Undang Dasar dari sebuah bangsa yang beradab, semangat
UUD 1945 justru mengamanatkan agar perikemanusiaan dan perikeadilan
ditegakkan, sehingga kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud
di atas harus diberantas. Tatkala tuntutan untuk menegakkan perikemanusiaan
dan perikeadilan itu terhalang oleh asas nonretroaktif --yang secara historis pada
awalnya dilatarbelakangi oleh maksud melindungi kepentingan manusia sebagai
individu dari kesewenang-wenangan penguasa absolut-- maka pengesampingan
asas non-retroaktif dimaksud yaitu tindakan yang tak dapat dihindari sebab
kepentingan yang hendak diselamatkan melalui tindakan pengesampingan itu
yaitu kepentingan kemanusiaan manusia secara keseluruhan yang nilainya
melebihi kepentingan manusia sebagai individu.
-- 1918 -
E. PERSAMAAN DI DEPAN HUKUM (EQUALITY BEFORE THE LAW)
Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law yaitu salah
satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi
doktrin Rule of Law yang diakui dalam konsep Rechstaat. Pasal 7 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa semua orang sama
di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa
diskriminasi apapun. Begitu juga dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 disebutkan
bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya. Prinsip persamaan di depan hukum mengharuskan setiap orang
sebagai manusia maupun sebagai warganegara, wajib diperlakukan sama tanpa
ada diskriminasi atau pembeda-bedaan berdasarkan agama, suku, bahasa, warna
kulit dan pilihan politik.
Persamaan di depan hukum tidak hanya dalam pelaksanaan hukum saat
aparat penegak hukum menjalankan hukum terhadap peristiwa kongkrit, tetapi
juga dalam konsepsi, yaitu saat perumusan norma-norma ke dalam peraturan
perundang-undangan dilakukan oleh negara. Semenjak perumusan pasal-pasal
dan ayat-ayat dalam peraturan perundang-undangan hingga pelaksanaannya,
harus didasarkan pada prinsip ini . Mengabaikan prinsip persamaan di
depan hukum dalam perumusan undang-undang, maka undang-undang ini
dianggap cacat moral dan dapat dibatalkan melalui MK. Begitu pula dalam
pelaksanaannya di semua tingkatan dan proses penegakan hukum. Semuanya
harus dijalankan dengan prinsip persamaan. Waktu, biaya, dan cara penanganan
suatu perkara harus dilakukan secara sama, untuk siapapun, darimanapun dan
dalam urusan hukum apapun.
Implikasi dari ada tidaknya persamaan di depan hukum akan berpengaruh
terhadap ada tidaknya kepastian hukum dan keadilan. Dengan kata lain, kepastian
hukum tidak hanya bermakna hukum itu pasti diterapkan tanpa kecuali terhadap
suatu kasus, tetapi juga diterapkan secara sama dalam setiap peristiwa. Begitu
pula dengan keadilan, tidak hanya dapat dilihat dan diukur dari vonis atau putusan
yang dijatuhkan, tetapi juga pada prosesnya.
-- 1918 -
F. PRADUGA TAK BERSALAH (THE PRESUMPTION OF INNOCENCE)
Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam
sistem hukum Common Law, khususnya di Inggris, dalam Bill of Rights (1648).
Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik–liberalistik yang
berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini. Di dalam sistem
peradilan pidana (criminal justice system) berdasarkan sistem hukum Common
Law (sistem adversarial/sistem kontest), asas hukum ini yaitu prasyarat
utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan
tidak memihak (due process of law).
Asas praduga tak bersalah yaitu bagian yang tidak terpisahkan dari
prinsip due process of law. Asas ini telah melembaga dalam proses peradilan
sejak dua ratus tahun yang lampau, dan kini telah menjadi semangat di seluruh
bidang kehidupan sosial.Konsekuensi logis dari asas ini, maka kepada tersangka
atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberi keterangan
yang akan memberatkan atau merugikan dirinya di muka persidangan (the right
of non-self incrimination ). Hak lainnya yaitu untuk tidak memberi jawaban;
baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan ( the right to
remain silent).
Di dalam Hukum Acara Pidana Belanda, baik kepada tersangka atau
terdakwa hak seperti itu dijamin dan dilindungi sedemikian rupa. Jika penyidik
memaksakan keterangan, maka tersangka atau terdakwa diberikan hak untuk
mengajukan ”review” kepada ”examining judges” untuk memeriksa kebenaran
”review ” ini . Rumusan praduga tak bersalah di dalam Pasal 8 Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan Umum Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)yang menyatakan bahwa setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Di dalam dokumen internasional, asas praduga tak bersalah ditemukan
dalam Pasal 11 ayat (1) DUHAM yang menyatakan, “everyone change a with
penal offence has the right to be presumed innocent until proved guilty according
-- 2120 -
to law in public trial at which he has had all guarantees necessary for his
defense” (Setiap orang yang dituduh melanggar hukum memiliki hak untuk
dianggap tidak bersalah hingga dibuktikan bersalah dalam pengadilan, dimana dia
mendapatkan semua jaminan yang perlu untuk pembelaannya). Rumusan kalimat
ini sedikit berbeda maknanya dengan rumusan asas praduga tak bersalah
dalam Pasal 14 paragraf 2, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak
Politik, yang dirumuskan dengan kalimat singkat,“everyone charged with criminal
offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according
to law” (Setiap orang yang dituduh melakukan perbuatan kriminal memiliki
hak untuk dianggap tidak bersalah hingga dibuktikan bersalah menurut hukum).
Kovenan ini tidak menyebut secara tegas tentang keharusan seseorang
yang dianggap bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang. Tidak
juga disebutkan masalah putusan yang memperoleh hukum tetap, meskipun ini
dianggap sebagai batas toleransi seseorang untuk dapat dinyatakan bersalah.
Pembuktian kesalahan seseorang berdasarkan sistem hukum Common Law
sering ditegaskan dengan bunyi kalimat, proven guilty beyond reasonable doubt .
Ini artinya, “(dinyatakan) bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau
tidak dapat diragukan sama sekali.”
ini bisa dibandingkan dengan rumusan kalimat, “(dinyatakan) bersalah
atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. ”Untuk
mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik
telah diberikan oleh kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum
”hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu:
1. Hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan;
2. Hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan
pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukumnya;
3. Hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda;
4. Hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan;
5. Hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak
mampu;
-- 2120 -
6. Hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan
yang bersangkutan;
7. Hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh yang
bersangkutan;
8. Hak untuk tidak memberi keterangan yang merugikan dirinya atau
hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.
Pengertian asas praduga tak bersalah harus sejalan dengan apa yang
tertera dalam kovenan ini . Selama seorang tersangka atau terdakwa diberikan
hak-hak hukumnya secara penuh --sebagaimana dirinci dalam konvenan-- maka
selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah telah selesai dipenuhi
oleh lembaga penegak hukum. Di sisi lain, putusan pengadilan yang menyatakan
seorang terdakwa bersalah --yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan
majelis hakim (akan kesalahan terdakwa)-- harus diartikan sebagai akhir dari
perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah.
Tafsir terhadap prinsip praduga tak bersalah --sejalan dengan perubahan
paradigma ini di atas-- adalahnegara wajib memberi dan memfasilitasi
hak-hak seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana. Hal itu
dimulai sejak ditangkap, ditahan, dan selama menjalani proses penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan; baik pada tingkat pertama dan
pada tingkat banding. Praduga ini selanjutnya berhenti, saat pengadilan
memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan
dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda.
Asas praduga tak bersalah juga diatur dalam Bab III Keputusan Menteri
Kehakiman Republik negara kita Nomor M.01. PW.07.03 Tahun 1982 tentang
Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang isinya antara lain, sebagai seseorang yang
belum dinyatakan bersalah maka ia mendapat hak-hak seperti:
a. Hak segera mendapat pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapat
putusan seadil-adilnya;
b. Hak untuk diberitahu apa yang disangkakan/didakwakan kepadanya
dengan bahasa yang dimengerti olehnya;
-- 2322 -
c. Hak untuk menyiapkan pembelaannya;
d. Hak untuk mendapat juru bahasa, hak untuk mendapatkan bantuan
hukum dan hak untuk mendapatkan kunjungan keluarganya.
Sebagai perwujudan asas praduga tak bersalah, maka seorang terdakwa
tidak dapat dibebani kewajiban pembuktian. Oleh sebab penuntut umum yang
mengajukan tuduhan terhadap terdakwa, maka penuntut umumlah yang dibebani
tugas membuktikan kesalahan terdakwa dengan usaha -usaha pembuktian yang
diperkenankan oleh undang-undang.
G. NON DISKRIMINASI (NON DISCRIMINATION)
Prinsip non diskriminasi berpandangan bahwa orang tidak dapat
diperlakukan secara berbeda berdasarkan kriteria ras, warna kulit, kesukuan,
jender, usia, bahasa, ketidak-mampuan, orientasi seksual, agama, politik atau
pendapat lainnya, asal-usul secara sosial atau geografis, kepemilikan, kelahiran
atau status lainnya. Sebagaimana prinsip persamaan hukum, prinsip non
diskriminasi juga harus menjadi komitmen dan paradigma dalam perumusan
kaidah-kaidah dalam peraturan perundang-undangan serta penegakannya.
Hukum Hak Asasi Manusia yang dirumuskan dan dilaksanakan dengan
diskriminatif tidak memiliki dasar moral untuk ditaati dan sudah batal demi hukum.
Paling tidak bisa dimintakan pembatalannya kepada MK --jika ada undang-
undang yang dianggap bertentangan dengan undang-undang dasar-- atau kepada
Mahkamah Agung (MA) yang obyeknya yaitu peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang.
H. KESETARAAN (EQUALITY)
Hal yang sangat fundamental dari hak asasi manusia kontemporer yaitu
ide yang meletakkan semua orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan dalam
hak asasi manusia. Kesetaraan --sebagai satu kesatuan dari persamaan di depan
hukum dan non diskriminasi-- meletakkan manusia sebagai subjek hukum yang
sama dengan manusia lain. Ia harus dihormati, dihargai, dilindungi dan dipenuhi
-- 2322 -
hak-hak dan kebebasannya sebagai mahluk Tuhan dan mahluk sosial yang
setara satu sama lain. Basis utama dari kehidupan yang damai dan sejahtera
bagi manusia dan kemanusian yaitu perlakuan setara, bukan perlakuan yang
berbeda. Perlakuan tidak setara akan melahirkan ketidaksetaraan dalam skala
yang lebih luas, baik di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hukum
dan sebagainya.
I. AFIRMASI (AFIRMATION)
Dalam kehidupan manusia, acapkali ada kenyataan seseorang berasal
dari posisi yang berbeda tetapi diperlakukan secara sama. Jika perlakuan yang
sama ini terus diberikan, maka tentu saja perbedaan ini akan terjadi terus-menerus,
walaupun standar hak asasi manusia telah ditingkatkan. Oleh sebab itulah, penting
untuk mengambil langkah lain guna mencapai kesetaraan, yaitu tindakan afirmatif.
Tindakan ini mengizinkan negara untuk memperlakukan secara lebih kepada
kelompok tertentu yang tidak terwakili. Tujuannya agar bisa dicapai kesetaraan.
Mereka-mereka yang digolongkan individu atau kelompok rentan, seperti
anak-anak, perempuan, penyandang disabilitas, kelompok minoritas, pengungsi,
dan orang tua, akan sulit memperoleh perlakuan yang sama terhadap hukum
yang sama. Kondisi obyektif mereka tidak memungkinkan memperoleh perlakuan
yang demikian. Dari titik inilah arti penting prinsip afirmatif dilakukan sehingga
tercapai kesamaan.
J. TIDAK DAPAT DICABUT (INALIENABILITY)
Prinsip ini menegaskan bahwa hak-hak individu tidak dapat direnggut,
dilepaskan dan dipindahkan, tetapi selalu melekat dalam diri setiap individu itu.
Hak hidup, hak dan kebebasan beragama, bebas dari penyiksaan, hak sebagai
subjek hukum yaitu antara lain hak-hak yang tidak dapat dicabut.
K. TIDAK BISA DIBAGI (INDIVISIBILITY)
Pengabaian pada satu hak akan memicu pengabaian terhadap hak-
hak lainnya. Hak setiap orang untuk bisa memperoleh penghidupan yang layak
-- 2524 -
yaitu hak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. ini merujuk pada kepentingan
yang setara dari tiap-tiap hak asasi manusia, apakah itu hak sipil, politik,
ekonomi, sosial ataupun budaya. Seluruh hak asasi manusia memiliki status yang
setara, dan tidak dapat ditempatkan pada pengaturan yang bersifat hirarkis. Hak
seseorang tidak dapat diingkari oleh orang lain dengan memutuskan bahwa hak
ini kurang penting atau bukan yang utama.
L. SALING BERKAITAN DAN BERGANTUNG (INTERRELATED AND
INTERDEPENDENCE)
Pemenuhan dari satu hak seringkali bergantung kepada pemenuhan
hak lainnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Contohnya, hak atas
pendidikan atau hak atas informasi yaitu saling bergantung satu sama lain. Oleh
sebab itu, pelanggaran hak asasi manusia saling berkaitan, sehingga hilangnya
satu hak dapat mempengaruhi hak lainnya. Sebagai contoh, pemenuhan hak atas
kesehatan mungkin tergantung pada pemenuhan hak atas pembangunan, atas
pendidikan atau hak atas informasi.
M. TANGGUNG JAWAB NEGARA (STATE RESPONSIBILITY)
Tanggungjawab yaitu beban yang harus dipikul dan dijalankan oleh
negara.Hal itu dianggap sebagai konsekuensi atas hak-hak asasi manusia atau
hak-hak warganegara yang telah diakui dan dijamin keberadaannya oleh negara
bersangkutan; baik yang termuat dalam undang-undang dasar maupun dalam
undang-undang. Tanggungjawab negara juga yaitu kewajiban negara
sebagai konsekuensi dari wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya, yang
dimandatkan oleh rakyatnya. Tanggungjawab yang berupa kewajiban negara
terhadap hak asasi manusia mencakup dua hal. Pertama