cyber crime 21

Tampilkan postingan dengan label cyber crime 21. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cyber crime 21. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 30 November 2024

cyber crime 21




 Artikel ini bertujuan agar kita dapat mempelajari 

lebih lanjut tentang kejahatan dunia maya. Ini dikarenakan 

bahwa kelemahan dunia maya dapat menjadi bencana 

global yang mengancam sektor bisnis, keamanan nasional, 

perilaku, perlindungan anak, dan sistem pemerintahan. 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat saat ini 

masih menyalahgunakan media sosial untuk menyebarkan 

kejahatan di dunia maya. Sebagian besar pelaku kejahatan 

dunia maya di media sosial akan di jerat oleh Undang￾undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan 

Transaksi Elektronik (UU ITE), baik disengaja maupun tidak 

disengaja. Hukum semestinya mempersembahkan 

perlindungan terhadap pengguna internet dengan niat yang 

baik, dan memberikan tindakan tegas bagi para pelaku cyber 

crime. Namun, sistem hukum belum menyelesaikan semua 

kejahatan komputer melalui Internet. Begitu pula dalam 

penyidikannya, terdapat banyak kendala yang berkaitan Perkembangan masyarakat zaman sekarang ini 

semakin maju dan di dukung oleh pertumbuhan teknologi 

telekomunikasi, hingga ikatan antar negara sudah bersifat 

mendunia sehingga menghasilkan tatanan dunia baru. 

Demikian ini tidak dapat dipungkiri bahwa dampaknya 

terhadap perkembangan masyarakat Indonesia yang sedang 

membangun di era reformasi itu telah dihadapkan dengan 

berbagai krisis, baik politik, ekonomi, dan sosial budaya, dan 

ini harus ditangani agar bangsa dan negara Indonesia tetap 

dipandang keberadaannya di antara bangsa-bangsa di dunia. 

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi 

terus berkembang pesat, kini dimungkinkan untuk 

menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui 

perangkat mobile.Kegiatan yang biasanya dilakukan di dunia 

nyata kini banyak diperdagangkan melalui gadget (seperti 

perbankan dan pengiriman surat ke dalam kegiatan dunia 

maya). perkembangan dari. Transaksi berpindah dengan 

menggunakan i-Pad, Smartphone, handphone, laptop. Kita 

tidak lagi mengalami kesulitan untuk mengakses informasi 

dari seluruh penjuru dunia. Selain banyaknya teknologi 

informasi dan komunikasi yang telah memberikan dukungan 

untuk banyak perangkat mobile, juga karena banyak 

tersedianya hotspot gratis dibanyak tempat. Pesatnya 

perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga 

diiringi dengan meluasnya penyalahgunaan teknologi 

informasi dan komunikasi, sehingga menjadi masalah yang 

sangat meresahkan yaitu terjadinya kejahatan yang 

dilakukan di dunia maya atau yang biasa dikenal dengan 

istilah “cybercrime”.

Berbagai kejahatan telah terjadi di dunia maya ini, 

kasus-kasus ini  tentu saja merugikan dan berdampak 

negatif, kejahatan dunia maya semacam ini tidak hanya

mencakup Indonesia, tetapi juga mencakup seluruh dunia. 

Beberapa kejahatan yang terjadi disebabkan oleh maraknya 

penggunaan e-mail, e-banking dan e-commerce di Indonesia.

Semakin banyaknya kasus cybercrime (khususnya di 

Indonesia) telah menarik perhatian pemerintah untuk segera 

memberlakukan undang-undang yang dapat digunakan 

untuk menjebak pelaku kejahatan di dunia maya. Pemerintah 

Indonesia sendiri telah memasukkan UU Cybercrime (UU 

Siber) ke dalam UU ITE Nomor 11 Tahun 2008, dan berharap 

dengan adanya UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 dapat 

mengatasi, mengurangi, dan menghentikan pelaku kejahatan 

di dunia maya. 

Penentuan sebagai tindak pidana merupakan 

kebijakan kriminal, yang menurut Sudarto sebagai usaha 

yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi 

kajahatan.1 Di dalam kebijakan kriminal mencakup kebijakan 

hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan 

penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, karena di 

samping dengan hukum pidana untuk menanggulangi 

kejahatan, dapat dengan sarana-sarana non-hukum pidana.

Hukum pidana selaku fungsi kontrol sosial digunakan untuk 

memberantas tindak pidana berbentuk pelanggaran norma 

terkait penggunaan teknologi informasi yang berpotensi 

pidana, buat melindungi masyarakat dari bahaya tindak 

pidana ini .

Korupsi tidak mustahil diredakan sekiranya semua 

pihak turut benar-benar komited dalam membasmi. Suatu 

kejahatan apabila tidak dilakukan pembasmian atau 

penanggulangan, maka secara kriminologis akan 

memberikan beberapa dampak buruk, antara lain: (1)

meningkatnya kejahatan, baik dari aspek kuantitas maupun 

kualitas; (2) memunculkan bentuk-bentuk kejahatan baru di 

luar perhitungan umat manusia, yang bisa saja merupakan  

derivasi dari “kejahatan konservatif”; dan (3) tidak dapat 

teridentifikasinya sebuah kejahatan sebagai kejahatan.2

Keberhasilan pembangunan suatu negara 

memerlukan persyaratan ketahanan negara dan dukungan 

otorisasi masyarakat, yaitu suatu keadaan menghindari 

gangguan-gangguan dan ancaman-ancaman, termasuk 

bentuk kejahatan. Seiring dengan kemajuan dan 

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam 

masyarakat, hal ini juga berlaku bagi perkembangan 

kejahatan. Kejahatan yang dilakukan tidak lagi dengan cara 

tradisional, namun sudah memanfaatkan dan menggunakan 

peluang yang disediakan oleh kemudahan instrumen modern 

dengan peralatan yang canggih. Kejahatan ini merupakan 

kejahatan baru. Yang dimaksud dengan kejahatan yang 

berkaitan dengan perkembangan sosial bidang ekonomi 

dalam masyarakat industri yang pelakunya adalah orang￾orang kaya, berilmu, dan terorganisir (termasuk dalam white 

collar crime). 

Mobilitas kejahatan yang tinggi tidak hanya terjadi di 

dalam satu wilayah, tetapi juga antar wilayah, bahkan lintas 

wilayah dan lintas batas negara. Modus operasinya 

menggunakan peralatan yang kompleks untuk 

memanfaatkan sepenuhnya kelemahan sistem hukum dan 

peluang sistem manajemen. Korban bukan lagi seorang 

individu, melainkan penyerangan terhadap suatu kelompok 

masyarakat, bahkan negara, dan kemungkinan korban juga 

tidak menyadari jikalau dirugikan.3

Metode Penelitian

Metode yang digunakan penulis adalah metode 

penelitian normatif dengan model deskriptif yang 

mengeksplorasi berbagai aspek peraturan perundang￾undangan terkait cyber-crime. Metode pengumpulan data

dilakukan dengan mengumpulkan dokumen (baik dokumen 

tertulis maupun dokumen elektronik) dari jurnal, artikel, 

makalah, dan lain-lain. Data-data yang terkumpul kemudian 

dibandingkan dan diseleksi untuk ditampilkan dalam 

penulisan ini. Oleh karena itu, hasil penelitian penulis 

diharapkan dapat memberikan kontribusi minimal bagi 

mereka yang ingin mendalami permasalahan cyber law di 

Indonesia.

Pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan 

perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Penulis 

mengkaji Undang-Undang mengenai cyber law sedangkan 

Bahan Hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum 

primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer 

adalah bahan hukum yang berasal peraturan perundang￾undangan yang berkaitan dengan penulisan ini. Adapun 

bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berasal 

dari buku, jurnal ataupun karya tulis ilmiah yang berkaitan 

dengan penelitian ini.4

Batasan Cybercrime

Menurut Widodo, bahwa cybercrime diartikan sebagai 

kegiatan seseorang, sekelompok orang, badan hukum yang 

memakai komputer bagaikan fasilitas melakukan kejahatan, 

dan sebagai sasaran (target).

Beberapa tipe kejahatan yang sering terjadi di Internet 

yaitu:

1. Illegal acces/unauthorized access to computer system and 

service

Ini adalah bentuk kejahatan yang dilakukan dengan 

cara meretas/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan 

komputer secara tidak sah, atau tanpa izin dari pemilik 

sistem jaringan komputer yang dimasukinya.

2. Illegal contents

Memasukkan data atau informasi tentang hal yang 

tidak benar, tidak etis, serta dapat dianggap melanggar

hukum atau mengganggu ketertiban umum kedalam 

internet, itu adalah suatu modus kejahatan cybercrime

ini.

3. Data forgery

Ini merupakan modus kriminal di dunia maya yang 

dilakukan dengan memalsukan data dokumen penting 

yang disimpan sebagai dokumen tanpa kertas melalui 

internet. Kejahatan sejenis ini biasanya menargetkan 

dokumen e-commerce, seolah-olah ada “typo” yang pada 

akhirnya akan menguntungkan pelaku, karena korban 

akan memasukkan data pribadi dan nomor kartu kredit 

kepada pelaku.5

4. Cyber espionage

Ini ialah bentuk kejahatan yang memakai jaringan 

internet dengan cara memasuki sistem jaringan 

komputer pihak yang akan ditargetkan menjadi sasaran 

untuk dimata-matai.

5. Cyber sabotage and extortion (sabotase dan pemerasan 

dunia maya)

Dalam jenis kejahatan ini, modus biasanya dijalankan 

dengan mengganggu, merusak, atau menghancurkan 

data yang terhubung ke internet, program komputer, 

atau sistem jaringan komputer. Biasanya kejahatan 

semacam ini dilakukan dengan cara memasukkan logic 

bomb, virus komputer atau program tertentu, sehingga 

data, program komputer atau sistem jaringan komputer 

tidak dapat digunakan dan tidak dapat beroperasi secara 

normal atau tidak dapat berjalan, tetapi telah 

dikendalikan oleh penjahat sesuai kebutuhan.

6. Offense against intellectual property (pelanggaran 

terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual)

Modus operandi kejahatan ini adalah menyasar hak 

kekayaan intelektual yang dimiliki pihak lain di Internet.

Misalnya, meniru tampilan website orang lain secara 

ilegal.

7. Infringements of privacy

Jenis kejahatan ini rata-rata menargetkan informasi 

pribadi yang disimpan dalam formulir data pribadi yang 

tersimpan secara computerized, apabila orang lain 

mengetahuinya, hal itu dapat menyebabkan kerugian 

terhadap korban secara materiil maupun immaterial, 

seperti bocornya nomor PIN ATM, dan lainnya.

Sifat kejahatan cybercrime dapat diklasifikasikan 

sebagai berikut:6

1. Cyber crime sebagai tindakan kriminal

Cyber crime seperti yang dimaksud ialah sebuah 

tindak kejahatan yang dilakukan dengan konsep 

kriminalitas yang menggunakan internet sebagai wahana 

kejahatan. Misalnya carding: mencuri kode PIN ATM 

milik orang lain buat digunakan dalam transaksi online di 

internet, dan pemanfaatan media internet (webserver, 

mailing list) untuk mengedarkan alat-alat pembajakan. 

Pengirim e-mail anonim yang bermuatan iklan 

(spamming) juga dapat dicantumkan dalam contoh 

kejahatan yang memanfaatkan internet sebagai 

medianya dan dapat dituntut dengan tuduhan 

pelanggaran privasi.7

2. Cyber crime sebagai kejahatan “abu-abu”

Kejahatan semacam itu di Internet termasuk dalam 

area “abu-abu”. Oleh karena itu, karena motif 

aktivitasnya terkadang bukan kejahatan, maka sulit 

untuk menentukan apakah perilaku ini  merupakan 

kejahatan. Salah satu contohnya adalah probing atau 

portscanning. Ini adalah istilah yang digunakan untuk 

memantau sistem orang lain, dan disalahgunakan dengan 

mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari sistem.

Cybercrime: Bentuk Kejahatan di Dunia Maya

Dalam beberapa literatur, cybercrime umumnya

dianggap sebagai computer crime. The U.S. Department of 

Justice mendefinisikan kejahatan komputer sebagai: “…any 

illegal act requiring knowledge of computer technology for its 

perpe-tration, investigation, or prosecution”. Organization of 

European Community Development membagikan definisi 

lain, yaitu: “any illegal, un-ethical or unauthorized behavior 

relating to the automatic processing and/or the transmission 

of data”. Hamzah mendefinisikan sebagai “kejahatan di 

bidang pc secara universal bisa dimaksud bagaikan 

pemakaian pc secara ilegal”.

Dari penafsiran di atas, Wisnubroto mengartikan 

kejahatan PC bagaikan perbuatan melawan hukum yang 

dicoba dengan memakai pc bagaikan fasilitas/ perlengkapan 

PC bagaikan objek, baik buat memperoleh keuntungan 

ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain. Singkatnya, 

kejahatan komputer didefinisikan sebagai tindakan ilegal 

yang dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer 

yang kompleks. Selain itu, sejak kejahatan dilakukan di dunia 

maya melalui internet, muncul istilah cybercrime.

Untuk sebagian besar warga yang terbiasa memakai 

media teknologi komunikasi, cybercrime tidaklah sebutan 

yang asing. Cybercrime ataupun kejahatan dunia maya ialah 

fenomena yang tidak dapat disangkal. Tidak nampak tetapi 

nyata. Permasalahan cybercrime yang bermacam-macam 

terus menjadi bertambah tiap harinya, paling utama di negara 

yang belum terdapat kepastian hukum di bidang teknologi 

komunikasi modern (convergence).

Meskipun mereka tak ingin dipanggil sebagai penjahat 

karena perbuatannya, namun mereka tidak berbeda dengan 

penjahat. Karena teknologi komunikasi ini punya kekuatan 

yang luar biasa untuk mengubah prilaku komunikasi 

manusia, tehnologi ini selain ada manfaat berwujud 

kemudahan komunikasi, juga memiliki sisi yang gelap. Salah 

satu contoh kerugian tehnologi adalah memudahkan para 

“penjahat” untuk melakukan kejahatan. Penjahat dunia maya

(cybercrime) bisa memangsa korbannya, itu adalah 

kemungkinan dari kemajuan tehnologi itu sendiri.

Raharjo meyakini bahwa kejahatan merupakan 

fenomena sosial yang sudah ada di dunia mulai awal pada 

kehidupan manusia. Kejahatan yang lebih maju (modern) 

adalah suatu bentuk pengubahan kejahatan dari bentuk asli 

karena tehnologi komunikasi.

8 Wajah kejahatan juga sudah 

diperhalus dengan sedemikian rupa, kejahatan konvensional 

di dunia nyata timbul ke dunia maya dengan cara virtual. 

Pada faktanya, cybercrime telah menimbulkan begitu banyak 

korban dan kerugian moril dan materil. Korban dapat berupa 

netizen (penghuni cyberspace) dan masyarakat umum. 

Namun pada negara berkembang dengan ketimpangan digital 

seprti Indonesia, tak menganggapnya sebagai bentuk 

kejahatan.

Seperti halnya kehidupan nyata, ada yang hitam dan 

ada yang putih, ada yang berperan seperti pahlawan, dan ada 

pula yang seperti penjahat. Untuk memahami cybercrime, 

kita juga kudu memahami apa yang disebut dengan hacker, 

cracker dan lainnya.

Lebih detailnya adalah sebagai berikut:

1. Hacker

Menurut Ustadiyanto definisi hacker adalah orang￾orang yang ahli dalam bidangnya. 9 Hacker ialah orang￾orang yang doyan mempelajari komplikasi sistem 

komputer dan melakukan eksperimen. Mereka cerdas 

dan mahir untuk menyusup ke dalam jaringan 

komunikasi suatu pranata di dunia maya. Peretas ini anti 

sensor, anti penipuan, dan memaksakan hasrat orang 

lain. Mereka bertaut prinsip bahwa hacker bermaksud 

meningkatkan keamanan jaringan internet. Mereka 

memuliakan etika atau norma yang berlangsung di dunia 

maya.

Contohnya, jika ada sebuah perusahaan perbankkan 

mengatakan tentang jaringan sistem komunikasinya 

sangat rumit dan mustahil untuk diretas serta tak akan 

ada yang berhasil menembus. Maka hacker akan 

menghadapi tantangan ini , dan selepas berhasil 

mereka akan memperingatkan alangkah lemahnya 

sistem informasi perusahaan itu. Oleh karena itu, tak 

sedikit dari mereka yang berakhir dengan direkrut 

perusahaan untuk mengamankan sistem informasi dan 

komunikasi di dunia maya.

2. Cracker

Di dunia maya, ada beberapa sisi menakutkan dari 

hacker. Mereka disebut cracker. Para cracker secara ilegal 

menyusup, menembus, serta merusak situs web, dan 

sistem keamanan jaringan internet hanya untuk tujuan 

hiburan dan keuntungan. Setelah berhasil 

menghancurkan situs sebuah perusahaan, mereka 

merasa bangga. Serangan cracer juga sangat luar biasa. 

Ada sekitar 100 serangan cracker dalam sehari. Info 

ini  diperoleh dari Kementerian Pertahanan 

Amerika Serikat di Pentagon.

3. Carder

Carder merupakan orang yang melakukan cracking, 

ialah pembobolan kartu kredit untuk mencuri nomor 

kartu orang lain dan menggunakannya untuk 

keuntungan pribadi. Umumnya yang menjadi korban 

adalah mereka yang memiliki kartu kredit dalam jumlah 

besar. Menurut hasil penelitian kejahatan carding, pada 

tahun 2002 Indonesia menduduki peringkat kedua 

setelah Ukraina.

4. Deface

Deface merupakan suatu gerakan menyusup ke suatu 

situs, kemudian mengganti tampilan halaman situs untuk 

maksud tertentu. Indonesia pernah diserang para deface

yang mengubah situs TNI. Tampilan gambar Burung 

Garuda Pancasila diganti dengan lambang palu arit. 

Tampilan homepage Polri juga diubah menjadi gambar 

wanita telanjang.

5. Phreaker

Merupakan seseorang yang melaksanakan cracking

yang berkenaan dengan jaringan telepon, sehingga dapat 

melakukan panggilan secara gratis kemana saja. Di 

Indonesia, kasus seperti ini pernah terjadi pada beberapa 

warung telepon.

Para karakter hacker biasanya tak berasal dari kaum 

bawah, mereka biasanya ialah orang-orang terpelajar, yang 

setidaknya mengenyam pendidikan sampai tingkat tertentu 

dan bisa menggunakan ataupun mengoperasikan komputer. 

Para craker juga termasuk orang yang berpendidikan, tidak 

buta teknologi, mampu menurut finansial, serta tidak 

termasuk dalam masyarakat kelas bawah. Kejahatan seperti 

ini dapat diklasifikasikan sebagai “white collar crime” 

(kejahatan kerah putih). Jo Ann L. Miller, membagi pelakunya 

menjadi 4 (empat) kategori:10

1. Organizational occupational crime

Penjahat melakukan tindakan ilegal atau merugikan 

orang lain lewat jaringan internet buat kepentingan atau 

keuntungan suatu perusahaan. Pelaku biasanya adalah 

para eksekutif.

2. Government occupational crime

Melakukan suatu tindakan yang ilegal melalui 

internet, namun dengan persetujuan atau perintah dari 

negara (pemerintah), Pelakunya sendiri ialah pejabat 

(birokrat) meski dalam banyak kasus bilamana hal 

ini  terkuak, maka akan dibantah.

3. Professional occupational crime

Beragam pekerjaan yang melakukan kejahatan secara 

disengaja (malpraktik).

4. Individual occupational crime

Ialah para pengusaha, pemilik modal atau orang-orang 

independen lainnya yang melakukan perbuatan 

menyimpang, walaupun tingkat sosial ekonominya 

mungkin tidak tinggi. Dalam aspek pekerjaannya,

kelompok ini mengambil jalan yang menyimpang dan 

melanggar hukum atau merugikan orang lain.

Dibandingkan dengan kejahatan konvensional, 

cybercrime memiliki karakteristik yang unik yaitu :

1. Perbuatan yang dilakukan secara ilegal, tanpa hak atau 

tidak etis ini  terjadi di ruang atau dunia maya, 

sehingga tidak mungkin untuk menentukan yurisdiksi 

hukum negara mana yang berlaku untuk tindakan 

ini .

2. Perbuatan ini  dilakukan dengan menggunakan 

(perangkat) apapun yang dapat tersambung ke internet.

3. Kerugian material maupun non-material yang 

disebabkan oleh tindakan-tindakan ini seringkali lebih 

besar daripada kejahatan tradisional.

4. Pelakunya ialah orang yang dapat menguasai 

penggunaan internet dan aplikasinya.

5. Perbuatan ini  acapkali dilakukan secara 

transnasional.

Cybercrime di Indonesia

Di antara negara berkembang, Indonesia merupakan 

salah satu negara yang lambat mengikuti perkembangan 

teknologi komunikasi modern. Indonesia kurang 

memprioritaskan pengembangan teknologi dan penguasaan 

strategi. Yang terjadi saat itu adalah transfer teknologi dari 

negara maju tidak otomatis dikuasai oleh negara berkembang 

seperti Indonesia. Sungguh ironis, karena pada sekitar tahun 

1980 Indonesia merupakan negara Asia Tenggara yang 

memiliki satelit komunikasi pertama kali. Namun sekarang 

Singapura dan Malaysia yang saat itu masih menyewa satelit 

Palapa dari Indonesia, sudah menjadi negara maju berbasis 

teknologi komunikasi modern.11

Walaupun masih ada kontroversi, bisa dikatakan 

bahwa Indonesia ialah negara dengan kesenjangan digital 

yang cukup besar. Kesenjangan digital bisa dijelaskan sebagai 

adanya kesenjangan antara mereka yang bisa menggunakan

teknologi komunikasi dan mereka yang tidak bisa. Selain 

kesenjangan tingkat pendidikan dan ekonomi di Indonesia, 

akses teknologi komunikasi Indonesia juga belum merata. 

Ketimpangan, kurangnya informasi dan telekomunikasi 

dapat dibagi menjadi beberapa kategori. Tentunya yang 

paling banyak dikunjungi adalah yang paling dekat dengan 

pusat informasi komunitas (masyarakat).

Terlepas dari kesenjangan digital, kejahatan dunia 

maya (cybercrime) di Indonesia masih merajalela. Kasus yang 

paling sering terjadi adalah pembobolan kartu kredit oleh 

para hacker hitam. Mereka dapat menggunakan kartu kredit 

orang lain untuk mendapatkan apa pun yang mereka 

butuhkan, mulai dari berlian, radar laut, corporate software, 

computer server, Harley Davidson, hingga senjata M-16. 

Kejahatan ini  biasa disebut dengan (credit card 

fraud) atau carding. Indradi memaparkan,

12 carding ialah 

penipuan terhadap kartu kredit apabila pelaku mengerti 

nomor kartu kredit seseorang yang masih berlaku, kemudian 

pelaku dapat membeli perlengkapan secara online dan 

mengirimkan tagihan kepada pemilik asli kartu kredit 

ini , pelaku carding biasa disebut carder. Dalam 

kejahatan ini, pemilik kartu kredit akan kehilangan uangnya 

karena orang lain menggunakannya untuk berbelanja dengan 

mencuri rekening kartu kreditnya. Pencurian akun ini bisa 

dilakukan dengan cara membobol keamanan toko online 

tempat pembelian dilakukan. Apalagi jika keamanan toko 

online ini  tidak kuat, maka akun kartu kredit yang 

kemungkinan dibajak oleh para pelaku carding (carder) akan 

bertambah.

Berdasarkan kasus dan keadaan cybercrime yang 

berlangsung di Indonesia, bisa terlihat bahwa cybercrime

melahirkan ancaman serius bagi departemen keamanan non 

tradisional. Di Indonesia, kejahatan cyber crime merupakan 

salah satu kejahatan tertinggi di dunia. Istilah keamanan 

disebut sebagai kemampuan negara untuk mendeskripsikan

konsep ancaman dengan mengedepankan aspek militer 

dalam penyelesaiannya.

Seperti yang dikatakan oleh Walt, penelitian 

keamanan adalah fenomena perang yang ditegaskan sebagai, 

“the study of threat, use, and control of military force”.

13

Namun, setelah tuntasnya perang dingin, makna dari istilah 

keamanan mengalami perubahan, keamanan meliputi sudut￾sudut yang lebih luas, semacam masalah lingkungan hidup, 

hak asasi manusia, ekonomi, sosial masyarakat, budaya, dan 

sebagainya. Perubahan makna dan konsep keamanan ini 

disebabkan oleh berbagai perkembangan, seperti tren global. 

Revolusi di bidang teknologi komunikasi menunjukkan salah 

satu tren perkembangan, perubahan ini memungkinkan jarak 

dapat dihilangkan dan didukung oleh fasilitas transportasi 

dunia yang semakin kompleks. Situasi ini akan berdampak 

pada perkembangan problematis masalah politik global, 

termasuk masalah keamanan.

Pengaturan Cyber Crime dalam sistem Hukum Pidana 

Indonesia

Sistem hukum Indonesia tidak secara spesifik 

mengontrol tentang hukum siber, namun beberapa undang￾undang telah mengatur pencegahan kejahatan siber, seperti 

Undang-undang No. 36 tentang 1999 tentang 

Telekomunikasi, Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang 

Hak Cipta, Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang 

Pemberantasan Terorisme, serta Undang-undang No. 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 

Undang-Undang dan peraturan ini  ini telah 

mengkriminalisasi jenis14 kejahatan dunia maya (cybercrime) 

dan ancaman hukuman buat setiap pelanggarnya.

Selain itu, kebijakan kriminalisasi yang tertulis dalam 

golongan cyber crime telah dirumuskan dalam RKUHP yang 

terdapat pada Buku Kedua (Bab VIII): Tindak Pidana yang 

membahayakan keamanan Umum bagi Orang, Barang, 

Lingkungan Hidup. Bagian Kelima: Pasal 373- 379 tentang 

Tindak Pidana terhadap Informatika dan Telematika, yang 

mengatur tindak pidana illegal access, illegal interception, 

data interference dan system interference, penyalahgunaan 

nama domain, dan pornografi anak.

Dalam pembahasan perkembangan hukum pidana 

yang akan datang, penyelesaian dan pencegahan cybercrime

kudu diimbangi dengan penertiban dan pengembangan 

seluruh sistem hukum pidana, yang mencakup pembangunan 

struktur, budaya, serta substansi hukum pidana. Dalam 

kondisi demikian, kebijakan hukum pidana menempati letak 

yang strategis dalam perkembangan hukum pidana modern. 

Kebijakan hukum pidana berniat untuk mencapai kedamaian 

dan kesejahteraan semua orang.

Berikut tindakan kejahatan dunia maya (cybercrime) 

yang di atur dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang￾undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang￾undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi 

Elektronik, sebagai berikut:

1. Tindakan yang melanggar kesusilaan.

Pada Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 11 Tahun 

2008 disebutkan bahwa “Setiap Orang dengan sengaja 

dan tanpa hak membagikan atau menyebarkan atau 

membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik atau 

Dokumen Elektronik yang memiliki isi yang melanggar 

kesusilaan”. Namun perbuatan membagikan/

menyebarkan/membuat konten informasi 

elektronik/dokumen elektronik yang melanggar 

kesopanan (kesusilaan) tidak dijelaskan dengan 

sendirinya dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008. 

Pelanggaran etika/kesusilaan melalui media internet 

sendiri merujuk pada KUHP

Dalam konteks perbuatan yang melanggar kesusilaan 

melalui media elektronik, dalam Pasal 27 ayat (1) 

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 mengatur 

tentang informasi dan transaksi elektronik, termasuk 

pornografi online dan prostitusi online. Jika kejahatan ini 

dilakukan terhadap anak-anak, maka akan menjadi 

semakin serius. Salah satu permasalahan yang 

diakibatkan oleh perkembangan teknologi informasi 

melalui jaringan internet adalah banyaknya situs yang 

menampilkan adegan porno. Tampaknya saat ini, sangat 

sulit melindungi Internet dari gangguan pedagang 

hiburan yang menjual pornografi.15

2. Perjudian

Perjudian online diatur pada Pasal 27 ayat (2) 

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. 

Dalam peraturan ini juga sama disebutkan bahwa: 

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak 

membagikan/menyebarkan/membuat dapat diaksesnya 

informasi elektronik/dokumen elektronik yang 

mempunyai muatan perjudian”. 

3. Penghinaan atau pencemaran nama baik

Pencemaran nama baik ataupun penghinaan di dunia 

maya merupakan larangan yang diatur pada Pasal 27 

ayat (3) Undang-undang No. 11 Tahun 2008, yang 

berbunyi : “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak 

membagikan/menyebarkan/membuat dapat diaksesnya 

informasi elektronik/dokumen elektronik yang 

mempunyai muatan penghinaan atau pencemaran nama 

baik.” Pembuat undang-undang menyamakan antara 

penghinaan dan pencemaran. Penghinaan sendiri ialah 

sebuah perbuatan, sedangkan salah satu bentuk 

penghinaan ialah pencemaran

Pembuat undang-undang sendiri kelihatannya mau 

mengarahkan perbuatan penghinaan dari media internet 

ini  sebagai pencemaran. Dalam Bab XVI Buku II

mengatur tentang perbuatan penghinaan dan 

pencemaran. Kejahatan penghinaan terdiri dari 

penghinaan umum dan penghinaan khusus. Penghinaan 

umum mengacu pada obyek harga diri dan derajat orang 

pribadi, termasuk juga pencemaran. Sedangkan 

penghinaan khusus mengacu pada penghinaan yang 

memiliki obyek harga diri, kehormatan dan nama baik 

terbuka (umum). 16 Tindakan penghinaan ataupun 

pencemaran dapat ditemukan di berbagai kolom 

komentar di dunia maya, terutama saat  korban 

memindai identitas, foto, atau video pribadinya. Pelaku 

juga dapat menulis teks yang menghina atau memfitnah 

di dinding pernyataan untuk membuat pernyataan atau 

menghubungkan pernyataan ini  dengan korban.

4. Pemerasan atau pengancaman

Pada Pasal 27 ayat (4) Undang-undang No. 11 Tahun 

2008 melarang pemerasan atau pengancaman di dunia 

maya. Dalam pasal ini  dijelaskan: “Setiap orang 

yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan 

dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat 

diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen 

elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau 

pengancaman”.

Pasal 368 (1) KUHP mencantumkan kualifikasi 

perbuatan yang terhitung pemerasan atau pengancaman, 

yaitu: “Setiap orang yang bermaksud untuk 

menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain secara 

melawan hukum (ilegal), memaksa seseorang untuk 

memberikan sesuatu milik orang ini  maupun orang 

lain secara keseluruhan maupun sebagian dengan 

kekerasan maupun ancaman kekerasan atau 

menciptakan hutang maupun menghapus hutang, akan 

dihukum karena pemerasan dan dapat dijatuhi hukuman 

hingga 9 tahun penjara.”

5. Penguntitan (cyberstalking)

Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Pasal 29 

mengatur bahwa: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan 

tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik atau 

Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan 

atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi”.

Ketentuan mengenai informasi dan transaksi elektronik 

dalam Pasal 29 mengatur mengenai tindakan pelecehan, 

ancaman, atau tindakan lain yang dilakukan untuk 

menimbulkan ketakutan, termasuk kata-kata atau 

tindakan tertentu. Ketentuan ini  serupa dengan 

pengaturan cyberstalking di Amerika Serikat, Kanada, 

Inggis dan negara lainnya. Tindakan ini dilakukan 

dengan memanfaatkan teknologi informasi dan 

komukasi, semisal dengan mail bombs, unsolicited hate 

mail, obsence or threatening email, dan yang lainnya.17

6. Penyebaran berita palsu (hoax)

Penyebaran berita palsu diatur dalam Undang-undang 

No. 11/2008 Pasal 28 ayat (1), berbunyi : “Setiap orang 

dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita 

bohong/palsu serta menyesatkan, yang mengakibatkan 

kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”

7. Ujaran kebencian

Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 

mengatur tentang pidana ini , yang berbunyi: 

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak 

menyebarkan informasi yang dirancang untuk 

menimbulkan kebencian atau permusuhan individu/

kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, 

agama, ras, dan antar golongan (SARA)”.

8. Akses ilegal

Undang-undang No. 11 Tahun 2008, dalam Pasal 30

mengatur sebagai berikut:

a. Siapapun yang dengan sengaja, tanpa hak atau 

melawan hukum (ilegal) mengakses Komputer atau 

Sistem Elektronik orang lain dengan cara apapun.

b. Siapapun dengan sengaja, tanpa hak atau melawan 

hukum (ilegal) mengakses (membuka) Komputer atau 

Sistem Elektronik dengan cara apapun dengan 

maksud untuk memperoleh Informasi Elektronik atau 

Dokumen Elektronik.

c. Siapapun yang melanggar, menerobos, melampaui, 

atau menjebol sistem pengamanan dengan sengaja, 

tanpa hak atau melawan hukum (ilegal) mengakses 

Komputer atau Sistem Elektronik.”

Pencegahan dan Penanggulangan Cybercrime

Tindak pidana cybercrime memakan korban dengan 

jumlah sangat besar, terutama dari segi finansial. Kebanyakan 

dari korban hanya bisa menyesali apa yang sudah terjadi. 

Mereka berharap bisa belajar banyak dari pengalaman 

mereka saat ini, dan yang perlu dilakukan sekarang adalah 

mencegah kemungkinan-kemungkinan yang dapat 

merugikan kita sebagai pelaku IT. Pencegahan ini  dapat 

berupa:18

1. Educate user (memberikan pengetahuan baru tentang 

Cyber Crime dan dunia internet)

2. Use hacker’s perspective (menggunakan pemikiran hacker 

untuk melindungi sistem anda)

3. Patch system (menutup lubang-lubang kelemahan pada 

sistem)

4. Policy (menetapkan kebijakan dan aturan untuk 

melindungi sistem Anda dari orang-orang yang tidak 

berwenang)

5. IDS (Intrusion Detection System) bundled with IPS

(Intrusion Prevention System)

6. Firewall.

7. AntiVirus.

Beberapa langkah penting yang harus diambil dalam 

menanggapi Cybercrime adalah :

1. Melakukan pembaruan hukum pidana nasional dan 

hukum acara, sesuai dengan kesepakatan internasional 

yang terkait dengan kejahatan ini .

2. Meningkatkan sistem keamanan jaringan komputer 

nasional sesuai dengan standar internasional.

3. Meningkatkan pengetahuan dan keahlian aparat penegak 

hukum dalam upaya pencegahan, investigasi, dan 

penuntutan kasus-kasus yang berkaitan dengan 

cybercrime.

4. Meningkatkan kesadaran warga negara tentang masalah 

cybercrime dan pentingnya mencegah kejahatan itu 

terjadi.

5. Meningkatkan kerjasama dari berbagai negara, baik kerja 

sama bilateral, regional maupun multilateral dalam 

upaya mengatasi cybercrime, termasuk melalui 

perjanjian ekstradisi dan perjanjian bantuan timbal balik 

(mutual assistance treaties).

Beberapa contoh dari bentuk penanggulangan yang 

lain yaitu:

1. IDCERT (Indonesia Computer Emergency Response Team)

Salah satu cara untuk membuat masalah keamanan 

lebih mudah ditangani adalah dengan membuat sebuah 

unit untuk melaporkan kasus keamanan. Dengan 

munculnya “sendmail worm” (sekitar tahun 1988), 

masalah keamanan semacam ini mulai dikenali di luar 

negeri, saat  worm menutup sistem email Internet era 

itu. Selepasnya dibentuk sebuah (CERT) Computer 

Emergency Response Team, sejak itu di negara lain juga 

mulai membentuk CERT untuk dijadikan point of contact

guna orang untuk mengadukan problem kemanan. 

IDCERT merupakan CERT Indonesia.19

2. Sertifikasi perangkat security

Peralatan yang dipakai guna membereskan keamanan 

harus memiliki tingkat karakteristik. Tentunya peralatan  

yang digunakan untuk tujuan pribadi berbeda dengan 

yang digunakan untuk tujuan militer. Tetapi sejauh ini di 

Indonesia belum ada institusi yang menangani problem 

evaluasi perangkat keamanan.

Penegakan Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Cyber 

Crime di Indonesia 

Masih terdapat kendala dalam tindakan penegakan 

hukum terhadap pelaku cybercrime meskipun Undang￾undang ITE telah disahkan menjadi Undang-undang No. 11

Tahun 2008 yang menyangkut Informasi dan Transaksi 

Elektronik. Isi dalam Pasal 5 Seputar perluasan alat bukti 

baru sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia, 

menerima informasi elektronik dan data elektronik atau hasil 

cetak sebagai alat bukti yang sah. Undang-Undang ini  

menambah fakta cybercrime yang sebelumnya tidak diatur 

dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 

seperti isi dalam pasal itu.

Penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan siber 

masih terkendala oleh beberapa aspek, yaitu: aparat penegak 

hukum kurang memiliki keterampilan atau kualitas dalam 

menumpasas para cracker dunia maya, keterbatasan alat 

(media) serta perlengkapan terbaru yang dimiliki Kepolisian. 

Seperti alat yang seharusnya ada disetiap Polda berfungsi 

mempercepat deteksi dan prediksi keberadaan para cracker 

saat beraksi yaitu laboratorium cyber crime. Namun hanya 

Mabes Polri dan Kepolisian di beberapa Kota Besar yang 

memiliki Laboratorium itu, sehingga terdapat hambatan 

ketelatan dan anggaran tinggi dalam setiap proses 

penyelidikan pekara cybercrime di Indonesia, serta para 

korban yang enggan mengadukan kejahatan yang menerpa 

dirinya karena dalih privasi, ekonomi, maupun korban tidak 

mempercayai keahlian dan pengabdian polisi dalam 

mengungkap kasus ini .

Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana 

Cyber Crime dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia

Tindakan penegak hukum terhadap pelaku tindak 

pidana dunia maya adalah untuk melindungi pengguna 

cyberspace dari para cracker yang menggunakan media 

internet dalam melakukan kejahatannya. Meskipun 

Indonesia belum memiliki “cyberlaw” yang secara khusus 

menargetkan kepentingan korban, namun Indonesia tetap 

perlu tindakan hukum dengan menggunakan hukum yang 

ada sebelumnya seperti: perundang-undangan,

yurisprudensi maupun konvensi-konvensi Internasional 

yang sudah diratifikasi untuk melindungi kepentingan 

penduduk dunia maya di Indonesia

Berbagai upaya dapat diambil untuk menyelesaikan 

kejahatan Internet, baik secara premetif, preventif, maupun 

represif. Upaya premetif dapat dijalankan dengan 

meratifikasi kesepakatan cyber crime internasional kedalam 

sistem hukum di Indonesia. Kesepakatan Dewan Eropa ialah 

salah satu wujud kesepakatan internasional, dan sebagian 

kovenannya telah diratifikasi kedalam sistem perundang￾undangan di Indonesia. Penanggulangan cyber crime secara 

preventif dapat dijalankan dengan cara mengembangkan 

pengamanan, meningkatkan energi guna fitur komputer, 

kemampuan dan kedisplinan dalam memakai fitur ini  di 

dunia maya. Aktifitas ini  bisa berbentuk aksi yang dapat 

dijalankan baik secara individu, kebijakan nasional, ataupun 

global. Sementara itu tindakan penanggulangan cybercrime

secara represif dapat dilaksanakan dengan menjerat para 

pelaku tindak pidana untuk ditangani sesuai dengan undang￾undang. Undang-undang menentukan kepentingan korban 

dengan memberikan restitusi, kompensasi, ataupun asistensi 

yang merupakan tanggung jawab pelaku dengan Negara 

sebagai penyedianya.

Upaya untuk melindungi korban tindak pidana 

merupakan usaha untuk memulihkan kerugian yang sudah di 

dapat oleh korban. Perihal ini bakal lebih masuk akal jika  

korban terlibat atau ikut serta dalam proses penyelesaian 

kasus pidana. Penegakan hukum adalah upaya pembangunan 

berkelanjutan yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan 

yang aman, tentram, tertib, dan dinamis bagi negara dan 

lingkungan negara dalam lingkungan pergaulan dunia yang 

merdeka (independen).22

Dimasa mendatang, penegakan hukum pidana 

hendaknya lebih memperhatikan kepada sistem keadilan 

restoratif, ini merupakan solusi yang adil untuk mengaitkan 

pelaku, korban, keluarganya, serta pihak lain yang terlibat 

dalam tindak pidana untuk bersama-sama berupaya 

menyelesaikan tindak pidana ini . Hal itu berdasarkan 

surat keputusan bersama antara Pimpinan Mahkamah Agung 

RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Menteri 

Sosial, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan 

Perlindungan Anak RI, yang menekankan pemulihan ke 

keadaan semula. 

Hambatan dalam Penanganan Cybercrime

Sekalipun telah ada sebagian pasal yang dapat 

menjebloskan para pelaku kejahatan cyber ke penjara. 

Namun masih terdapat kendala-kendala dalam 

penerapannya di lapangan, di antaranya sebagai berikut:

1. Perangkat hukum yang belum memadai

Terhadap pasal-pasal yang ada dalam KUHP, para 

penyidik (terutama Polri) menganalogikan 

(mengumpamakan) dan mempersamakan, serta 

sepikiran bahwa kudu dibuat Undang-Undang yang 

khusus mengelola cybercrime.

2. Kemampuan penyidik

Secara umum, pengetahuan dan pemahaman 

pengoperasian komputer penyidik Polri terhadap hacker 

komputer, serta kemampuan menyelidiki kasus-kasus 

ini  masih sangat minim.

Beberapa faktor yang sangat berpengaruh 

(determinan) adalah: 

1. Kurangnya pengetahuan tentang komputer

Pengetahuan teknis dan pengalaman para penyidik 

dalam menangani kasus-kasus cybercrime masih 

terbatas.

2. Faktor sistem pembuktian yang menyulitkan para 

penyidik, antara lain:

a. Alat bukti

Permasalahan yang dihadapi di dalam penyidikan 

terhadap cybercrime menyangkut persoalan alat bukti, 

antara lain bertautan dengan ciri kejahatan cybercrime

itu sendiri, ialah: target ataupun media cybercrime

merupakan informasi ataupun sistem pc (sistem 

internet) yang dapat dengan gampang diganti, dihapus 

ataupun dirahasiakan oleh pelaku kejahatan. 

Cybercrime biasanya dilangsungkan dengan sedikit 

saksi. Kebalikannya, saksi korban kerapkali terletak 

jauh di luar negara sehingga menyulitkan penyidik 

untuk melaksanakan pengecekan saksi serta 

pengajuan hasil investigasi.

b. Fasilitas komputer forensik

Guna menunjukkan jejak para hacker serta cracker 

saat  melakukan aksinya, terpenting yang berkaitan 

dengan program serta informasi pc, fasilitas yang 

dimiliki Polri kurang mencukupi sebab tidak adanya 

komputr forensik. Sarana ini dibutuhkan guna 

menampilkan informasi digital dan merekam serta 

menaruh fakta dalam bentuk soft copy (gambar, 

program, dan lain-lain.). Dalam kasus ini Polri masih 

belum memiliki sarana forensic computing yang 

memadai. Sarana perhitungan forensik yang hendak 

dibangun oleh kepolisian diharapkan bisa 

memberikan tiga layanan penting, meliputi : 

pengumpulan barang bukti (evidence collection), 

forensic analysis, dan expert witness

Widodo mengatakan bahwa, cybercrime diartikan 

sebagai kegiatan seseorang, sekelompok orang, Badan 

Hukum yang memakai komputer bagaikan fasilitas 

melakukan kejahatan, dan sebagai sasaran (target). Dalam 

pengertian lain Wisnubroto mengartikan kejahatan 

komputer sebagai perbuatan melawan hukum yang 

dilakukan dengan menggunakan komputer sebagai 

sarana/alat komputer sebagai objek, baik untuk 

mendapatkan keuntungan maupun tidak, dengan merugikan 

pihak lain.

Sifat kejahatan cybercrime dapat diklasifikasikan 

menjadi :

1. Cyber crime sebagai tindakan kriminal.

2. Cyber crime sebagai kejahatan “abu-abu”.

Teknologi komunikasi memiliki kekuatan yang luar 

biasa dalam mengubah perilaku komunikasi manusia, selain 

membawa manfaat berupa kemudahan komunikasi, 

teknologi juga dapat membawa kerugian, salah satunya 

memudahkan para “penjahat” untuk melakukan kejahatan. 

Kemajuan teknologi memungkinkan penjahat dunia maya 

(cybercrime) memangsa korbannya. Beberapa kejahatan 

cybercrime yang umum terjadi adalah hacker, cracker, 

carding, deface, dan phreaker. Para pelaku hacker biasanya 

bukan berasal dari kaum bawah, mereka umumnya 

merupakan orang-orang terpelajar, yang paling tidak 

mengenyam pembelajaran resmi hingga tingkatan tertentu 

serta bisa memakai ataupun mengoperasikan pc. Para craker

pula merupakan orang yang berpendidikan, tidak buta 

teknologi, sanggup secara finansial, serta tidak tercantum 

dalam warga kelas dasar.

Berdasarkan kasus dan kondisi cybercrime yang 

terjadi di Indonesia, dapat terlihat bahwa cybercrime

merupakan ancaman serius bagi departemen keamanan non 

tradisional. Di Indonesia, kejahatan penggunaan perangkat 

komputer dan internet (cybercrime) merupakan salah satu 

kejahatan tertinggi di dunia. Sistem hukum Indonesia tidak 

secara spesifik mengatur tentang hukum siber (cybercrime),

namun beberapa undang-undang telah mengatur 

pencegahan kejahatan siber, seperti Undang-undang No. 36 

Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-undang No. 19 

Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-undang No. 15 Tahun 

2003 tentang Pemberantasan Terorisme, serta Undang￾undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi 

Elektronik.

Dalam pembahasan perkembangan hukum pidana 

dimasa mendatang, penanggulangan dan pencegahan 

cybercrime kudu diimbangi dengan pembenahan serta 

pengembangan seluruh sistem hukum pidana, yang meliputi 

pembangunan struktur, budaya, serta substansi hukum 

pidana. Dalam kondisi demikian, kebijakan hukum pidana 

menempati posisi yang strategis dalam kemajuan hukum 

pidana modern. Serta penegakan hukum pidana hendaknya 

lebih memperhatikan kepada sistem keadilan restoratif 

(Restorative Justice), sepertinya ini merupakan solusi yang 

adil untuk mengaitkan pelaku, korban, keluarganya, serta 

pihak lain yang terlibat dalam tindak pidana untuk bersama￾sama berupaya menyelesaikan tindak pidana ini .



Kehadiran teknologi komunikasi modern

seperti internet telah membuat pandangan manusia

mengenai kehidupan berubah. Paradigma

komunikasi manusia dalam menjalani aktivitas

ekonomi, bisnis, interaksi sosial, dan politik,

menjadi berbeda. Sebelumnya, manusia didominasi

oleh aktivitas yang bersifat fisik, face to face.

Manusia dihalangi oleh berbagai keterbatasan.

Dengan internet, ruang, jarak, dan waktu yang

membatasi manusia menghilang. Menurut Kenichi

Ohmae (Mahayana, 1999:97), itulah dunia tanpa

batas (the borderless world).

Internet merupakan jaringan dari jutaan

komputer yang saling terhubungkan. Dengan

internet, setiap orang di seluruh dunia dapat

berkomunikasi hanya dengan menekan keyboard

dan mouse di hadapannya. Informasi apa pun yang

dibutuhkan telah tersedia. Karena kemudahan

yang ditawarkan itulah banyak individu yang

menggunakannya. Dibandingkan radio dan

televisi, penetrasi internet di kalangan masyarakat,

termasuk yang paling cepat. Untuk mencapai

pengguna sebanyak 50 juta orang, internet hanya

membutuhkan waktu 5 tahun, sementara radio

membutuhkan waktu 38 tahun dan televisi 13 tahun

(Temporal & Lee, 2002:7). Saat ini, diperkirakan

pengguna internet telah mencapai 220 juta orang.

Dengan menggunakan internet, user

berkesempatan untuk berpetualang, berkelana,

berselancar menelusuri cyberspace, sebuah dunia

komunikasi berbasis komputer (computer mediated

communication). Realitas yang ditawarkan adalah

realitas virtual, kehadirannya tidak dapat ditangkap  atau dipegang tangan, tetapi dikonstruksikan

secara sosial oleh orang-orang yang menggeluti

teknologi komunikasi dan informasi. Realitas

cyberspace adalah kenyataan yang melampaui dan

artifisial (hyperreal). Menurut Piliang (2001),

karena rekayasa sedemikian rupa, kenyataan (real)

ditutupi oleh tanda kenyataan (sign of real)

sedemikian rupa, sehingga antara tanda dan relitas,

antara model dan kenyataan, tidak lagi dapat

dibedakan.

Cyberspace menawarkan segala hal yang

diperlukan manusia, termasuk kesenangan,

keuntungan, dan kemudahan tanpa bersusah

payah menggerakkan badan untuk memeroleh

sesuatu. Berbagai informasi gratis dari surat kabar

dalam dan luar negeri dapat diperoleh tanpa

membeli. Menikmati musik tanpa harus membeli

kaset. Bagi dosen, berbagai literatur tersaji secara

gratis tanpa harus pergi ke tempat berada. Inilah

“zona mabuk teknologi” yang dikemukakan Philips

dan Naisbitt (2001).

Kehidupan virtual yang disajikan cyberspace

telah memunculkan bentuk aktivitas baru untuk

mencapai kepuasan, seperti teleshopping, telecon￾ference, virtual gallery, virtual museum, e-com￾merce, namun juga memunculkan penyimpangan￾penyimpangan seperti kejahatan dengan

memanfaatkan internet atau cybercrime.

“Cybercrime”: Bentuk Kejahatan

di Dunia Maya

Dalam beberapa literatur, cybercrime sering

diidentikkan sebagai computer crime. The U.S.

Department of Justice memberikan pengertian com￾puter crime sebagai:”…any illegal act requiring

knowledge of computer technology for its perpe￾tration, investigation, or prosecution”. Pengertian

lainnya diberikan oleh Organization of European

Community Development, yaitu: “any illegal, un￾ethical or unauthorized behavior relating to the

automatic processing and/or the transmission of

data”. Hamzah (1989) mengartikan: “kejahatan di

bidang komputer secara umum dapat diartikan

sebagai penggunaan komputer secara ilegal”.

Dari beberapa pengertian di atas, Wisnubroto

(1999) merumuskan computer crime sebagai

perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan

memakai komputer sebagai sarana/alat atau

komputer sebagai objek, baik untuk memperoleh

keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan

pihak lain. Secara ringkas, computer crime

didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum

yang dilakukan dengan menggunakan teknologi

komputer yang canggih. Selanjutnya, disebabkan

kejahatan itu dilakukan di ruang cyber melalui

internet, muncul istilah cybercrime.

Bagi sebagian besar masyarakat yang terbiasa

menggunakan media teknologi komunikasi

(telekomunikasi), cybercrime bukanlah istilah yang

asing terdengar. Cybercrime atau kejahatan di

ruang maya merupakan sebuah fenomena yang

tidak terbantahkan. Tidak terlihat namun nyata.

Terdapat berbagai kasus cybercrime yang kian hari

kian meningkat, terutama di negara-negara yang

tidak memiliki kepastian hukum dalam bidang

teknologi komunikasi modern (convergence).

Teknologi komunikasi yang memiliki kekuatan

dahsyat dalam merubah perilaku komunikasi

manusia, selain membawa keuntungan berupa

kemudahan dalam berkomunikasi, ternyata memiliki

“sisi gelap”. Teknologi membawa kerugian, salah

satunya berupa semakin dipermudahkannya

“penjahat” dalam melakukan kejahatannya.

Kecanggihan teknologi memungkinkan penjahat

cyber memangsa korban-korbannya. Meski tidak

mau disebut sebagai pelaku kriminal, sebagai akibat

dari perbuatannya, mereka tidak ada bedanya

dengan seorang penjahat.

Menurut Raharjo (2002:29), sebagai sebuah

gejala sosial, kejahatan telah ada sejak awal

kehidupan manusia di dunia, namun kemajuan

teknologi komunikasi membuat kejahatan dalam

bentuk primitif berubah menjadi sebuah kejahatan

yang lebih maju (modern). Kejahatan

konvensional di dunia nyata muncul dalam dunia

maya (virtual) dengan wajah kejahatan yang telah

diperhalus sedemikian rupa. Kehalusan kejahatan

virtual atau cybercrime membuat masyarakat luas,

khususnya di negara berkembang yang memiliki

kesenjangan digital seperti Indonesia, tidak

merasakannya sebagai sebuah bentuk kejahatan.

Padahal, sudah begitu banyak korban (victim) dan kerugian moril dan materil akibat cybercrime.

Korbannya dapat berupa netizen (penduduk dunia

virtual/penghuni cyberspace) dan masyarakat

luas yang awam.

Perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis

dan individu tak berdosa, yang tidak memiliki

keahlian bahkan pemahaman akan teknologi

komunikasi, dapat menjadi korban. Tidak perlu

jauh-jauh, kita semua masih ingat dengan kasus

mahasiswa dan artis “bugil” yang beredar di

internet. Sedikit sekali di antara mereka yang

memahami teknologi komunikasi, tetapi mereka telah

menjadi korban. Sebut saja artis dengan inisial YS,

KD, KF, CK, dan masih banyak lagi. Itu salah satu

contoh kecil korban dari cybercrime. Meski

memang ada publik yang tidak menyepakati

cyberporn sebagai cybercrime. Tetapi, kita telah

melihat adanya korban akibat perbuatan pelaku

cybercrime. Sebagai catatan penting, menurut

Menteri Negara Komunikasi dan Informasi, sekitar

50 persen kalangan muda yang menggunakan

internet lebih suka untuk mengunjungi situs porno

(Kompas Cyber Media, 05 Mei 2002).

Untuk memahami cybercrime, perlu kiranya

dipahami terlebih dahulu apa yang disebut dengan

hacker, cracker dan beberapa lainnya. Karena,

seperti halnya kehidupan nyata, ada di antara

mereka yang “hitam” dan “putih”, ada yang

berlaku seperti pahlawan dan penjahat.

(1) Hacker

Hacker secara harfiah berarti mencincang atau

membacok. Dalam arti luas adalah mereka yang

menyusup melalui komputer ke dalam jaringan

komputer (Republika, 22 Agustus 1999).

Menurut Ustadiyanto (2001:304), ada definisi

yang relevan, yakni hacker adalah orang-or￾ang yang ahli dalam bidangnya. Bila komputer,

maka dia pandai menggunakannya. Ia sangat

menguasai komputer. Hacker adalah orang￾orang yang gemar mempelajari seluk-beluk

sistem komputer dan bereksperimen

dengannya. Mereka pandai untuk menyusup

ke dalam jaringan komunikasi suatu institusi

di dunia maya. Hacker menjunjung tinggi etika

atau norma yang berlaku di dunia maya.

Mereka anti penyensoran, anti penipuan, dan  pemaksaan kehendak pada orang lain. Mereka

memegang prinsip bahwa meng-hack untuk

tujuan meningkatkan keamanan jaringan

internet. Misalnya, bila ada sebuah

perusahaan perbankan mengatakan bahwa

jaringan sistem komunikasi mereka sudah

sangat canggih dan mustahil dibobol, tidak

dapat ditembus oleh siapa pun, maka hacker

tertantang untuk mencoba dan setelah berhasil

mereka memperingatkan betapa lemahnya

sistem informasi perusahaan terrsebut. Oleh

karena itu, tidak sedikit dari mereka yang

akhirnya direkrut perusahaan untuk

mengamankan sistem informasi dan

komunikasi di dunia maya.

(2) Cracker

Di dunia cyber, ada pula hacker yang memiki

sisi gelap. Mereka disebut cracker. Para

cracker ini secara ilegal melakukan

penyusupan dan perusakan terhadap situs,

website, dan sistem keamanan jaringan internet

untuk memperoleh kesenangan dan

keuntungan. Mereka bangga dan sombong

atas keberhasilan mereka merusak situs sebuah

perusahaan. Serangannya sangat luar biasa.

Kementerian Petahanan Amerika Serikat di

Pentagon mencatat serangan 100 cracker

dalam satu hari (Republika, 6 Januari 2000).

(3) Carder

Carder adalah orang yang melakukan crack￾ing, yakni pembobolan terhadap kartu kredit

untuk mencuri nomor kartu orang lain dan

menggunakannya untuk kepentingan pribadi.

Biasanya yang menjadi korbannya adalah

mereka yang memiliki kartu kredit dalam jumlah

besar. Menurut hasil riset, pada tahun 2002,

Indonesia menempati urutan kedua setelah

Ukraina dalam kejahatan carding.

(4) Deface

Deface adalah tindakan menyusup ke suatu

situs, lalu mengubah tampilan halaman dari

situs dengan tujuan tertentu. Indonesia

pernah diserang para deface yang mengubah

situs TNI. Tampilan gambar Burung Garuda

Pancasila diganti dengan lambang palu arit.

Hompage Polri diganti tampilannya dengan

gambar wanita telanjang.

(5) Phreaker

Yaitu seseorang yang melakukan cracking

terhadap jaringan telepon, sehingga dapat

menelepon secara gratis ke daerah manapun

yang dituju (Komputeraktif, No. 43/18

Desember 2002). Di Indonesia, kasus semacam

ini pernah terjadi pada wartel–wartel.

Para pelaku hacking biasanya bukan dari

kalangan lapisan bawah, pada umumnya mereka

adalah kaum terpelajar, setidak-tidaknya

mengenyam pendidikan formal sampai tingkat

tertentu dan dapat menggunakan atau

mengoperasikan komputer. Para craker adalah or￾ang yang berpendidikan, tidak buta teknologi,

secara ekonomis mampu dan tidak termasuk dalam

masyarakat lapisan bawah. Kejahatan ini dapat

dikategorikan kepada white collar crime (kejahatan

kerah putih). Jo Ann L. Miller, mengkategorikan

pelakunya menjadi 4 (empat).

(a) Organizational occupational crime

Pelakunya adalah para eksekutif. Mereka

melakukan perbuatan ilegal atau merugikan

orang lain melalui jaringan internet demi

kepentingan atau keuntungan korporasi.

(b) Government occupational crime

Pelakunya adalah pejabat atau birokrat yang

melakukan perbuatan ilegal melalui internet

atas persetujuan atau perintah negara atau

pemerintah, meski dalam banyak kasus, bila

terungkap hal itu akan disangkal.

(c) Professional occupational crime

Berbagai profesi yang melakukan kejahatan

secara sengaja (malpractice).

(d) Individual occupational crime

Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para

pengusaha, pemilik modal atau orang-orang

independen lainnya, walau mungkin tidak

tinggi tingkat sosial ekonominya. Dalam

bidang kerjanya kalangan ini memilih jalan

yang menyimpang yang melanggar hukum

atau merugikan orang lain.

Karakteristik “Cybercrime”

Cybercrime memiliki karakter yang khas

dibandingkan kejahatan konvensional, yaitu

antara lain (CYBERCRIME_files\ inline_files\

SI10.HTM):

(1) Perbuatan yang dilakukan secara ilegal, tanpa

hak atau tidak etis tersebut terjadi di ruang/

wilayah maya (cyberspace), sehingga tidak

dapat dipastikan yurisdiksi hukum negara

mana yang berlaku terhadapnya.

(2) Perbuatan tersebut dilakukan dengan

menggunakan peralatan apapun yang bisa

terhubung dengan internet.

(3) Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian

materil maupun immateril (waktu, nilai, jasa,

uang, barang, harga diri, martabat, kerahasiaan

informasi) yang cenderung lebih besar

dibandingkan kejahatan konvensional

(4) Pelakunya adalah orang yang menguasai

penggunaan internet beserta aplikasinya

(5) Perbuatan tersebut seringkali dilakukan secara

transnasional/melintasi batas negara.

“Cybercrime” di Indonesia

Di antara negara berkembang, Indonesia

termasuk negara yang lambat mengikuti

perkembangan teknologi komunikasi modern. In￾donesia tidak memrioritaskan strategi

pengembangan dan penguasaan teknologi. Yang

terjadi kemudian, transfer teknologi dari negara

maju tidak serta merta diikuti dengan penguasaan

teknologi oleh negara berkembang seperti Indo￾nesia. Bandingkan saja dengan Malaysia yang

telah memproduksi secara massal software, per￾sonal Computer (PC), dan ponsel. Sungguh ironis

memang, karena menjelang 1980-an Indonesia

adalah negara Asia Tenggara pertama yang

memiliki satelit komunikasi. Singapura dan Malay￾sia yang saat itu masih menyewa satelit Palapa

dari Indonesia, kini menjadi negara maju berbasis

teknologi komunikasi modern.

Meski masih diperdebatkan, dapat dikatakan

Indonesia merupakan negara yang memiliki

kesenjangan digital yang cukup lebar. Kesenjangan

digital dapat diartikan sebagai adanya jurang di

antara mereka yang mampu mengakses teknologi

komunikasi dan yang tidak mampu (Staubhaar &

La Rose, 2000:9). Selain masih senjangnya tingkat

pendidikan dan ekonomi di Indonesia, kesempatan untuk menggunakan teknologi komunikasi di In￾donesia belum merata. Ketimpangan,

ketidakmilikan informasi dan telekomunikasi dapat

dibagi dalam beberapa kategori. Yang paling

banyak aksesnya, tentu saja, yang paling dekat

dengan pusat informasi masyarakat.

Meskipun terdapat kesenjangan digital, di In￾donesia marak sekali kejahatan cyber. Kasus yang

paling sering terjadi adalah pembobolan kartu

kredit oleh para hacker hitam. Mereka bisa

memperoleh barang apa pun yang diinginkan, mulai

dari berlian, radar laut, corporate software, com￾puter server, Harley Davidson, hingga senjata M-

16 (Warta Ekonomi.com, 23 Desember 2002)

dengan menggunakan kartu kredit milik orang lain.

Istilahnya adalah carding. Para carder (hacker

hitam) memesan barang-barang melalui internet

untuk dikirimkan ke negara mereka berada. Barang

yang dipesan dapat digunakan sendiri, dapat pula

dijual dengan harga yang sangat murah. Misalnya,

Notebook bermerk Sony seharga 20 Juta yang

dipesan melalui carding, dijual seharga 4 Juta ru￾piah. Untuk yang satu ini, ClearCommerce,

perusahaan keamanan internet yang berbasis di

Texas, Amerika Serikat, memasukkan Indonesia ke

dalam daftar negara-negara terburuk untuk

kejahatan yang memanfaatkan kecanggihan

teknologi komunikasi. Setidaknya, 20 persen

transaksi kartu kredit internet yang berasal dari

Indonesia merupakan penipuan. Berikut ini adalah

data kejahatan yang memanfaatkan internet:

Dari data di bawah (Koran Tempo, 26 Maret

2003), Yogyakarta menempati urutan pertama dan

Bandung kedua dalam cybercrime jenis carding

di Indonesia. Yang melakukan jenis kejahatan itu

adalah kalangan muda, biasanya mahasiswa.

Seorang mahasiswa universitas swasta di

Bandung pernah memesan 5 buah ponsel Nokia

Communicator yang ia jual seharga 5 Juta rupiah,

padahal saat itu harganya berkisar 10 Juta rupiah.Agar tidak diketahui identitasnya, ia melakukan

carding di warnet sekitar kampus dan saat

mengambil pesanan, agar dimudahkan, ia

bekerjasama dan memberi sejumlah uang kepada

oknum karyawan biro pengiriman paket terkemuka

di Indonesia.

Indonesia tampaknya akan semakin

mengukuhkan diri sebagai negara kampiun

penipuan kartu kredit di internet Dalam berbagai

urusan yang berkonotasi buruk, Indonesia

memang seringkali termasuk di dalamnya, mulai dari

pendapatan perkapita yang rendah, mutu

pendidikan, tingkat korupsi, termasuk cybercrime

jenis carding.

Kejahatan memang tidak dapat diprediksi

kejadiannya, tidak mempedulikan tempat dan

suasana ketika hendak muncul, tidak pula

membanding-bandingkan siapa pelaku dan

korbannya, tidak mengenal kasta ataupun status

sosial pelaku dan korbannya. Saat muncul, ia dapat

menjadi bahan yang menarik untuk dibicarakan,

baik di media massa maupun ruang-ruang seminar.

Apalagi saat kejahatan itu dipadukan dengan

kecanggihan teknologi komunikasi. Tanpa sadar

di sekeliling kita terdapat kejahatan yang “inno￾cent”, seolah tanpa dosa dan begitu halus.

Adapun konstruksi kejahatan Hacking dapat

dilihat pada gambar 3.

Selain cybercrime jenis carding, di Indone￾sia juga sering terjadi kasus deface. Tampilan si￾tus di Internet dirusak dan diganti oleh para hacker

hitam. Berikut ini adalah kasus-kasus yang pernah

terjadi (Raharjo, 202:35):

(a) Tahun 1997 ketika masalah Timor-Timur

menghangat, situs milik Departemen Luar Ne￾gri dan ABRI (TNI, pen) dijebol oleh craker

Porto (Portugis) yang pro-kemerdekaan.

Mereka juga merusak situs-situs bisnis dan

pendidikan. Serangan dari craker Porto ini

mendapat balasan dari craker Indonesia. Hal

ini dilakukan karena, menurut mereka, craker

Porto dinilai keterlaluan, serangannya

membabi-buta, tidak mempedulikan apakah itu

situs milik pemerintah ataupun bukan, situs

bisnis maupun situs pendidikan.

(b) Tahun 1998, tampilan depan atau frontpage

Pusat Dokumentasi Informasi Ilmiah Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI)

diganti dengan gambar wanita telanjang.

(c) Tahun 1998, setelah kerusuhan 13–14 Mei,

craker yang diduga berasal dari Cina

menghantam situs milik pemerintah, yaitu

BKKBN. Serangan ini merupakan reaksi atas

pemberitaan media mengenai kerusuhan Mei

yang menyebabkan etnis Cina di Indonesia

menjadi korban pembantaian dan

pemerkosaan.

(d) Juni 1999, homepage POLRI diganti dengan

gambar telanjang, kemudian diganti lagi

dengan gambar yang mirip logo PDI￾Perjuangan.

(e) Januari 2000, situs yang diserang, antara lain

Bursa Efek Jakarta (BEJ), Bank Central Asia

dan Indosatnet  

(f) September dan Oktober 2000, Fabian Clone

berhasil menjebol web milik Bank Bali,

sebelumnya juga berhasil menjebol web milik

Bank Lippo. Kedua bank itu memberikan

layanan Internet Banking, kerugian yang

diderita lebih besar dibandingkan kerugian

yang diderirta BEJ.

(g) Januari 2001, situs milik PT. Ajinomoto Indo￾nesia diserang craker. Serangan ini merupakan

reaksi atas penggunaan enzim porcine (babi)

yang digunakan sebagai katalis dalam proses

pembuatan bumbu penyedap rasa. Situs

Ajinomoto hhtp://www.mjk.ajinomoto.co.id

ketika dibuka yang muncul adalah gambar

seekor babi yang tengah tersenyum dengan

tulisan Babi, open in December 2K,

“Ajinomoto You Lied to Us”, “Ajinomoto:

HARAM...HARAM...HARAM”.

(h) Pada 8 Mei 2001, situs Polri mendapat

serangan dari Kesatuan Aksi Hacker Muslim

Indonesia (KAHMI). Serangan ini merupakan

reaksi atas ditangkapnya pimpinan dari

Pasukan Komando Jihad.

Bila tidak ditangani dengan baik, ada

kemungkinan jumlah kasus berikut korban akan

bertambah, baik cybercrime dalam bentuk card￾ing maupun deface, termasuk cyberporn meskipun

tidak semua publik sepakat bahwa itu adalah suatu

kejahatan. Namun, dapat dibayangkan bila orang￾orang di sekitar kita, misalnya isteri dan anak kita

yang tidak bersalah, tiba-tiba fotonya terpampang

di internet dalam keadaan tanpa pakaian dengan

teknik rekayasa foto melalui komputer.

Urgensi Penyelesaian “Cybercrime”

di Indonesia

Berdasarkan berbagai kasus cybercrime yang

telah terjadi dan pasti akan bertambah, perlu

kiranya dilakukan percepatan dalam menuntaskan

kasus cybercrime. Untuk menghadapi sekian

banyak varian dan modifikasi modus kejahatan di

Internet, maka langkah represif dan reaktif yang

selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum

tidaklah memadai. Aparat tidak siap

menghadapinya. Maraknya cybercrime

menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah dalam

menyelesaikannya. Oleh karena itu, pemerintah

harus meningkatkan pemahaman serta keahlian

aparatur penegak hukum mengenai upaya

pencegahan, investigasi, dan penuntutan perkara￾perkara yang berhubungan dengan cybercrime.

Aparat kepolisian perlu menanggapi secara serius

kejahatan saiber.

Tentunya, harus dibarengi pula dengan

serangkaian langkah proaktif dan antisipatif yang

dilakukan oleh beragam institusi terkait di Indone￾sia. Misalnya, asosiasi yang membawahi para

Internet Service Provider (ISP) dan warnet di In￾donesia harus memikirkan langkah yang akan

diambil untuk melindungi para konsumen.

Selanjutnya, adalah dengan melakukan

kampanye dan edukasi tentang ber-internet yang

aman secara komprehensif dan berkala kepada

masyarakat umum. Jika hal tersebut tidak segera

dilakukan, maka kita harus siap menerima kenyataan

bahwa peningkatan penetrasi Internet di Indone￾sia akan berbanding lurus dengan meningkatnya

angka kejahatan Internet secara kuantitatif dan

kualitatif. Ujung-ujungnya, hal tersebut justru akan

menghancurkan kegiatan usaha/bisnis dan industri

internet di Indonesia. Seperti pemblokiran yang

dilakukan komunitas internet internasional

terhadap pengguna internet dengan nomor

Internet Provider (IP) Indonesia, sehingga kegiatan

bisnis di dunia cyber tidak mungkin dilakukan. Itu

semua akan menghancurkan kegiatan ekonomi

melalui internet.

Tidak kalah pentingnya pula, pemerintah

harus bergegas membuat UU Cyberlaw untuk

menuntaskan kasus cybercrime. Perlu dipahami

bahwa kegiatan bisnis melalui internet telah

mengubah tatanan ekonomi konvesional. Hal itu

memunculkan ketidakpastian, karena pihak yang

berkomunikasi tidak bertemu secara tatap muka.

Untuk memberikan kepastian, perlu dilindungi oleh

cyberlaw. Meskipun pengguna internet di Indo￾nesia kurang dari 5 % total populasi penduduk

(data lainnya menyebutkan hanya 1,9 % atau sekitar

4,38 juta), cyberlaw tetap diperlukan sebagai

pegangan hukum bagi aparat dalam menuntaskan

cybercrime. Akan lebih buruk bila tak ada

perangkat hukum yang memadai.