cyber crime 21
Artikel ini bertujuan agar kita dapat mempelajari
lebih lanjut tentang kejahatan dunia maya. Ini dikarenakan
bahwa kelemahan dunia maya dapat menjadi bencana
global yang mengancam sektor bisnis, keamanan nasional,
perilaku, perlindungan anak, dan sistem pemerintahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat saat ini
masih menyalahgunakan media sosial untuk menyebarkan
kejahatan di dunia maya. Sebagian besar pelaku kejahatan
dunia maya di media sosial akan di jerat oleh Undangundang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE), baik disengaja maupun tidak
disengaja. Hukum semestinya mempersembahkan
perlindungan terhadap pengguna internet dengan niat yang
baik, dan memberikan tindakan tegas bagi para pelaku cyber
crime. Namun, sistem hukum belum menyelesaikan semua
kejahatan komputer melalui Internet. Begitu pula dalam
penyidikannya, terdapat banyak kendala yang berkaitan Perkembangan masyarakat zaman sekarang ini
semakin maju dan di dukung oleh pertumbuhan teknologi
telekomunikasi, hingga ikatan antar negara sudah bersifat
mendunia sehingga menghasilkan tatanan dunia baru.
Demikian ini tidak dapat dipungkiri bahwa dampaknya
terhadap perkembangan masyarakat Indonesia yang sedang
membangun di era reformasi itu telah dihadapkan dengan
berbagai krisis, baik politik, ekonomi, dan sosial budaya, dan
ini harus ditangani agar bangsa dan negara Indonesia tetap
dipandang keberadaannya di antara bangsa-bangsa di dunia.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
terus berkembang pesat, kini dimungkinkan untuk
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui
perangkat mobile.Kegiatan yang biasanya dilakukan di dunia
nyata kini banyak diperdagangkan melalui gadget (seperti
perbankan dan pengiriman surat ke dalam kegiatan dunia
maya). perkembangan dari. Transaksi berpindah dengan
menggunakan i-Pad, Smartphone, handphone, laptop. Kita
tidak lagi mengalami kesulitan untuk mengakses informasi
dari seluruh penjuru dunia. Selain banyaknya teknologi
informasi dan komunikasi yang telah memberikan dukungan
untuk banyak perangkat mobile, juga karena banyak
tersedianya hotspot gratis dibanyak tempat. Pesatnya
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga
diiringi dengan meluasnya penyalahgunaan teknologi
informasi dan komunikasi, sehingga menjadi masalah yang
sangat meresahkan yaitu terjadinya kejahatan yang
dilakukan di dunia maya atau yang biasa dikenal dengan
istilah “cybercrime”.
Berbagai kejahatan telah terjadi di dunia maya ini,
kasus-kasus ini tentu saja merugikan dan berdampak
negatif, kejahatan dunia maya semacam ini tidak hanya
mencakup Indonesia, tetapi juga mencakup seluruh dunia.
Beberapa kejahatan yang terjadi disebabkan oleh maraknya
penggunaan e-mail, e-banking dan e-commerce di Indonesia.
Semakin banyaknya kasus cybercrime (khususnya di
Indonesia) telah menarik perhatian pemerintah untuk segera
memberlakukan undang-undang yang dapat digunakan
untuk menjebak pelaku kejahatan di dunia maya. Pemerintah
Indonesia sendiri telah memasukkan UU Cybercrime (UU
Siber) ke dalam UU ITE Nomor 11 Tahun 2008, dan berharap
dengan adanya UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 dapat
mengatasi, mengurangi, dan menghentikan pelaku kejahatan
di dunia maya.
Penentuan sebagai tindak pidana merupakan
kebijakan kriminal, yang menurut Sudarto sebagai usaha
yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi
kajahatan.1 Di dalam kebijakan kriminal mencakup kebijakan
hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, karena di
samping dengan hukum pidana untuk menanggulangi
kejahatan, dapat dengan sarana-sarana non-hukum pidana.
Hukum pidana selaku fungsi kontrol sosial digunakan untuk
memberantas tindak pidana berbentuk pelanggaran norma
terkait penggunaan teknologi informasi yang berpotensi
pidana, buat melindungi masyarakat dari bahaya tindak
pidana ini .
Korupsi tidak mustahil diredakan sekiranya semua
pihak turut benar-benar komited dalam membasmi. Suatu
kejahatan apabila tidak dilakukan pembasmian atau
penanggulangan, maka secara kriminologis akan
memberikan beberapa dampak buruk, antara lain: (1)
meningkatnya kejahatan, baik dari aspek kuantitas maupun
kualitas; (2) memunculkan bentuk-bentuk kejahatan baru di
luar perhitungan umat manusia, yang bisa saja merupakan
derivasi dari “kejahatan konservatif”; dan (3) tidak dapat
teridentifikasinya sebuah kejahatan sebagai kejahatan.2
Keberhasilan pembangunan suatu negara
memerlukan persyaratan ketahanan negara dan dukungan
otorisasi masyarakat, yaitu suatu keadaan menghindari
gangguan-gangguan dan ancaman-ancaman, termasuk
bentuk kejahatan. Seiring dengan kemajuan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
masyarakat, hal ini juga berlaku bagi perkembangan
kejahatan. Kejahatan yang dilakukan tidak lagi dengan cara
tradisional, namun sudah memanfaatkan dan menggunakan
peluang yang disediakan oleh kemudahan instrumen modern
dengan peralatan yang canggih. Kejahatan ini merupakan
kejahatan baru. Yang dimaksud dengan kejahatan yang
berkaitan dengan perkembangan sosial bidang ekonomi
dalam masyarakat industri yang pelakunya adalah orangorang kaya, berilmu, dan terorganisir (termasuk dalam white
collar crime).
Mobilitas kejahatan yang tinggi tidak hanya terjadi di
dalam satu wilayah, tetapi juga antar wilayah, bahkan lintas
wilayah dan lintas batas negara. Modus operasinya
menggunakan peralatan yang kompleks untuk
memanfaatkan sepenuhnya kelemahan sistem hukum dan
peluang sistem manajemen. Korban bukan lagi seorang
individu, melainkan penyerangan terhadap suatu kelompok
masyarakat, bahkan negara, dan kemungkinan korban juga
tidak menyadari jikalau dirugikan.3
Metode Penelitian
Metode yang digunakan penulis adalah metode
penelitian normatif dengan model deskriptif yang
mengeksplorasi berbagai aspek peraturan perundangundangan terkait cyber-crime. Metode pengumpulan data
dilakukan dengan mengumpulkan dokumen (baik dokumen
tertulis maupun dokumen elektronik) dari jurnal, artikel,
makalah, dan lain-lain. Data-data yang terkumpul kemudian
dibandingkan dan diseleksi untuk ditampilkan dalam
penulisan ini. Oleh karena itu, hasil penelitian penulis
diharapkan dapat memberikan kontribusi minimal bagi
mereka yang ingin mendalami permasalahan cyber law di
Indonesia.
Pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Penulis
mengkaji Undang-Undang mengenai cyber law sedangkan
Bahan Hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer
adalah bahan hukum yang berasal peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan penulisan ini. Adapun
bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berasal
dari buku, jurnal ataupun karya tulis ilmiah yang berkaitan
dengan penelitian ini.4
Batasan Cybercrime
Menurut Widodo, bahwa cybercrime diartikan sebagai
kegiatan seseorang, sekelompok orang, badan hukum yang
memakai komputer bagaikan fasilitas melakukan kejahatan,
dan sebagai sasaran (target).
Beberapa tipe kejahatan yang sering terjadi di Internet
yaitu:
1. Illegal acces/unauthorized access to computer system and
service
Ini adalah bentuk kejahatan yang dilakukan dengan
cara meretas/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan
komputer secara tidak sah, atau tanpa izin dari pemilik
sistem jaringan komputer yang dimasukinya.
2. Illegal contents
Memasukkan data atau informasi tentang hal yang
tidak benar, tidak etis, serta dapat dianggap melanggar
hukum atau mengganggu ketertiban umum kedalam
internet, itu adalah suatu modus kejahatan cybercrime
ini.
3. Data forgery
Ini merupakan modus kriminal di dunia maya yang
dilakukan dengan memalsukan data dokumen penting
yang disimpan sebagai dokumen tanpa kertas melalui
internet. Kejahatan sejenis ini biasanya menargetkan
dokumen e-commerce, seolah-olah ada “typo” yang pada
akhirnya akan menguntungkan pelaku, karena korban
akan memasukkan data pribadi dan nomor kartu kredit
kepada pelaku.5
4. Cyber espionage
Ini ialah bentuk kejahatan yang memakai jaringan
internet dengan cara memasuki sistem jaringan
komputer pihak yang akan ditargetkan menjadi sasaran
untuk dimata-matai.
5. Cyber sabotage and extortion (sabotase dan pemerasan
dunia maya)
Dalam jenis kejahatan ini, modus biasanya dijalankan
dengan mengganggu, merusak, atau menghancurkan
data yang terhubung ke internet, program komputer,
atau sistem jaringan komputer. Biasanya kejahatan
semacam ini dilakukan dengan cara memasukkan logic
bomb, virus komputer atau program tertentu, sehingga
data, program komputer atau sistem jaringan komputer
tidak dapat digunakan dan tidak dapat beroperasi secara
normal atau tidak dapat berjalan, tetapi telah
dikendalikan oleh penjahat sesuai kebutuhan.
6. Offense against intellectual property (pelanggaran
terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual)
Modus operandi kejahatan ini adalah menyasar hak
kekayaan intelektual yang dimiliki pihak lain di Internet.
Misalnya, meniru tampilan website orang lain secara
ilegal.
7. Infringements of privacy
Jenis kejahatan ini rata-rata menargetkan informasi
pribadi yang disimpan dalam formulir data pribadi yang
tersimpan secara computerized, apabila orang lain
mengetahuinya, hal itu dapat menyebabkan kerugian
terhadap korban secara materiil maupun immaterial,
seperti bocornya nomor PIN ATM, dan lainnya.
Sifat kejahatan cybercrime dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:6
1. Cyber crime sebagai tindakan kriminal
Cyber crime seperti yang dimaksud ialah sebuah
tindak kejahatan yang dilakukan dengan konsep
kriminalitas yang menggunakan internet sebagai wahana
kejahatan. Misalnya carding: mencuri kode PIN ATM
milik orang lain buat digunakan dalam transaksi online di
internet, dan pemanfaatan media internet (webserver,
mailing list) untuk mengedarkan alat-alat pembajakan.
Pengirim e-mail anonim yang bermuatan iklan
(spamming) juga dapat dicantumkan dalam contoh
kejahatan yang memanfaatkan internet sebagai
medianya dan dapat dituntut dengan tuduhan
pelanggaran privasi.7
2. Cyber crime sebagai kejahatan “abu-abu”
Kejahatan semacam itu di Internet termasuk dalam
area “abu-abu”. Oleh karena itu, karena motif
aktivitasnya terkadang bukan kejahatan, maka sulit
untuk menentukan apakah perilaku ini merupakan
kejahatan. Salah satu contohnya adalah probing atau
portscanning. Ini adalah istilah yang digunakan untuk
memantau sistem orang lain, dan disalahgunakan dengan
mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari sistem.
Cybercrime: Bentuk Kejahatan di Dunia Maya
Dalam beberapa literatur, cybercrime umumnya
dianggap sebagai computer crime. The U.S. Department of
Justice mendefinisikan kejahatan komputer sebagai: “…any
illegal act requiring knowledge of computer technology for its
perpe-tration, investigation, or prosecution”. Organization of
European Community Development membagikan definisi
lain, yaitu: “any illegal, un-ethical or unauthorized behavior
relating to the automatic processing and/or the transmission
of data”. Hamzah mendefinisikan sebagai “kejahatan di
bidang pc secara universal bisa dimaksud bagaikan
pemakaian pc secara ilegal”.
Dari penafsiran di atas, Wisnubroto mengartikan
kejahatan PC bagaikan perbuatan melawan hukum yang
dicoba dengan memakai pc bagaikan fasilitas/ perlengkapan
PC bagaikan objek, baik buat memperoleh keuntungan
ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain. Singkatnya,
kejahatan komputer didefinisikan sebagai tindakan ilegal
yang dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer
yang kompleks. Selain itu, sejak kejahatan dilakukan di dunia
maya melalui internet, muncul istilah cybercrime.
Untuk sebagian besar warga yang terbiasa memakai
media teknologi komunikasi, cybercrime tidaklah sebutan
yang asing. Cybercrime ataupun kejahatan dunia maya ialah
fenomena yang tidak dapat disangkal. Tidak nampak tetapi
nyata. Permasalahan cybercrime yang bermacam-macam
terus menjadi bertambah tiap harinya, paling utama di negara
yang belum terdapat kepastian hukum di bidang teknologi
komunikasi modern (convergence).
Meskipun mereka tak ingin dipanggil sebagai penjahat
karena perbuatannya, namun mereka tidak berbeda dengan
penjahat. Karena teknologi komunikasi ini punya kekuatan
yang luar biasa untuk mengubah prilaku komunikasi
manusia, tehnologi ini selain ada manfaat berwujud
kemudahan komunikasi, juga memiliki sisi yang gelap. Salah
satu contoh kerugian tehnologi adalah memudahkan para
“penjahat” untuk melakukan kejahatan. Penjahat dunia maya
(cybercrime) bisa memangsa korbannya, itu adalah
kemungkinan dari kemajuan tehnologi itu sendiri.
Raharjo meyakini bahwa kejahatan merupakan
fenomena sosial yang sudah ada di dunia mulai awal pada
kehidupan manusia. Kejahatan yang lebih maju (modern)
adalah suatu bentuk pengubahan kejahatan dari bentuk asli
karena tehnologi komunikasi.
8 Wajah kejahatan juga sudah
diperhalus dengan sedemikian rupa, kejahatan konvensional
di dunia nyata timbul ke dunia maya dengan cara virtual.
Pada faktanya, cybercrime telah menimbulkan begitu banyak
korban dan kerugian moril dan materil. Korban dapat berupa
netizen (penghuni cyberspace) dan masyarakat umum.
Namun pada negara berkembang dengan ketimpangan digital
seprti Indonesia, tak menganggapnya sebagai bentuk
kejahatan.
Seperti halnya kehidupan nyata, ada yang hitam dan
ada yang putih, ada yang berperan seperti pahlawan, dan ada
pula yang seperti penjahat. Untuk memahami cybercrime,
kita juga kudu memahami apa yang disebut dengan hacker,
cracker dan lainnya.
Lebih detailnya adalah sebagai berikut:
1. Hacker
Menurut Ustadiyanto definisi hacker adalah orangorang yang ahli dalam bidangnya. 9 Hacker ialah orangorang yang doyan mempelajari komplikasi sistem
komputer dan melakukan eksperimen. Mereka cerdas
dan mahir untuk menyusup ke dalam jaringan
komunikasi suatu pranata di dunia maya. Peretas ini anti
sensor, anti penipuan, dan memaksakan hasrat orang
lain. Mereka bertaut prinsip bahwa hacker bermaksud
meningkatkan keamanan jaringan internet. Mereka
memuliakan etika atau norma yang berlangsung di dunia
maya.
Contohnya, jika ada sebuah perusahaan perbankkan
mengatakan tentang jaringan sistem komunikasinya
sangat rumit dan mustahil untuk diretas serta tak akan
ada yang berhasil menembus. Maka hacker akan
menghadapi tantangan ini , dan selepas berhasil
mereka akan memperingatkan alangkah lemahnya
sistem informasi perusahaan itu. Oleh karena itu, tak
sedikit dari mereka yang berakhir dengan direkrut
perusahaan untuk mengamankan sistem informasi dan
komunikasi di dunia maya.
2. Cracker
Di dunia maya, ada beberapa sisi menakutkan dari
hacker. Mereka disebut cracker. Para cracker secara ilegal
menyusup, menembus, serta merusak situs web, dan
sistem keamanan jaringan internet hanya untuk tujuan
hiburan dan keuntungan. Setelah berhasil
menghancurkan situs sebuah perusahaan, mereka
merasa bangga. Serangan cracer juga sangat luar biasa.
Ada sekitar 100 serangan cracker dalam sehari. Info
ini diperoleh dari Kementerian Pertahanan
Amerika Serikat di Pentagon.
3. Carder
Carder merupakan orang yang melakukan cracking,
ialah pembobolan kartu kredit untuk mencuri nomor
kartu orang lain dan menggunakannya untuk
keuntungan pribadi. Umumnya yang menjadi korban
adalah mereka yang memiliki kartu kredit dalam jumlah
besar. Menurut hasil penelitian kejahatan carding, pada
tahun 2002 Indonesia menduduki peringkat kedua
setelah Ukraina.
4. Deface
Deface merupakan suatu gerakan menyusup ke suatu
situs, kemudian mengganti tampilan halaman situs untuk
maksud tertentu. Indonesia pernah diserang para deface
yang mengubah situs TNI. Tampilan gambar Burung
Garuda Pancasila diganti dengan lambang palu arit.
Tampilan homepage Polri juga diubah menjadi gambar
wanita telanjang.
5. Phreaker
Merupakan seseorang yang melaksanakan cracking
yang berkenaan dengan jaringan telepon, sehingga dapat
melakukan panggilan secara gratis kemana saja. Di
Indonesia, kasus seperti ini pernah terjadi pada beberapa
warung telepon.
Para karakter hacker biasanya tak berasal dari kaum
bawah, mereka biasanya ialah orang-orang terpelajar, yang
setidaknya mengenyam pendidikan sampai tingkat tertentu
dan bisa menggunakan ataupun mengoperasikan komputer.
Para craker juga termasuk orang yang berpendidikan, tidak
buta teknologi, mampu menurut finansial, serta tidak
termasuk dalam masyarakat kelas bawah. Kejahatan seperti
ini dapat diklasifikasikan sebagai “white collar crime”
(kejahatan kerah putih). Jo Ann L. Miller, membagi pelakunya
menjadi 4 (empat) kategori:10
1. Organizational occupational crime
Penjahat melakukan tindakan ilegal atau merugikan
orang lain lewat jaringan internet buat kepentingan atau
keuntungan suatu perusahaan. Pelaku biasanya adalah
para eksekutif.
2. Government occupational crime
Melakukan suatu tindakan yang ilegal melalui
internet, namun dengan persetujuan atau perintah dari
negara (pemerintah), Pelakunya sendiri ialah pejabat
(birokrat) meski dalam banyak kasus bilamana hal
ini terkuak, maka akan dibantah.
3. Professional occupational crime
Beragam pekerjaan yang melakukan kejahatan secara
disengaja (malpraktik).
4. Individual occupational crime
Ialah para pengusaha, pemilik modal atau orang-orang
independen lainnya yang melakukan perbuatan
menyimpang, walaupun tingkat sosial ekonominya
mungkin tidak tinggi. Dalam aspek pekerjaannya,
kelompok ini mengambil jalan yang menyimpang dan
melanggar hukum atau merugikan orang lain.
Dibandingkan dengan kejahatan konvensional,
cybercrime memiliki karakteristik yang unik yaitu :
1. Perbuatan yang dilakukan secara ilegal, tanpa hak atau
tidak etis ini terjadi di ruang atau dunia maya,
sehingga tidak mungkin untuk menentukan yurisdiksi
hukum negara mana yang berlaku untuk tindakan
ini .
2. Perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan
(perangkat) apapun yang dapat tersambung ke internet.
3. Kerugian material maupun non-material yang
disebabkan oleh tindakan-tindakan ini seringkali lebih
besar daripada kejahatan tradisional.
4. Pelakunya ialah orang yang dapat menguasai
penggunaan internet dan aplikasinya.
5. Perbuatan ini acapkali dilakukan secara
transnasional.
Cybercrime di Indonesia
Di antara negara berkembang, Indonesia merupakan
salah satu negara yang lambat mengikuti perkembangan
teknologi komunikasi modern. Indonesia kurang
memprioritaskan pengembangan teknologi dan penguasaan
strategi. Yang terjadi saat itu adalah transfer teknologi dari
negara maju tidak otomatis dikuasai oleh negara berkembang
seperti Indonesia. Sungguh ironis, karena pada sekitar tahun
1980 Indonesia merupakan negara Asia Tenggara yang
memiliki satelit komunikasi pertama kali. Namun sekarang
Singapura dan Malaysia yang saat itu masih menyewa satelit
Palapa dari Indonesia, sudah menjadi negara maju berbasis
teknologi komunikasi modern.11
Walaupun masih ada kontroversi, bisa dikatakan
bahwa Indonesia ialah negara dengan kesenjangan digital
yang cukup besar. Kesenjangan digital bisa dijelaskan sebagai
adanya kesenjangan antara mereka yang bisa menggunakan
teknologi komunikasi dan mereka yang tidak bisa. Selain
kesenjangan tingkat pendidikan dan ekonomi di Indonesia,
akses teknologi komunikasi Indonesia juga belum merata.
Ketimpangan, kurangnya informasi dan telekomunikasi
dapat dibagi menjadi beberapa kategori. Tentunya yang
paling banyak dikunjungi adalah yang paling dekat dengan
pusat informasi komunitas (masyarakat).
Terlepas dari kesenjangan digital, kejahatan dunia
maya (cybercrime) di Indonesia masih merajalela. Kasus yang
paling sering terjadi adalah pembobolan kartu kredit oleh
para hacker hitam. Mereka dapat menggunakan kartu kredit
orang lain untuk mendapatkan apa pun yang mereka
butuhkan, mulai dari berlian, radar laut, corporate software,
computer server, Harley Davidson, hingga senjata M-16.
Kejahatan ini biasa disebut dengan (credit card
fraud) atau carding. Indradi memaparkan,
12 carding ialah
penipuan terhadap kartu kredit apabila pelaku mengerti
nomor kartu kredit seseorang yang masih berlaku, kemudian
pelaku dapat membeli perlengkapan secara online dan
mengirimkan tagihan kepada pemilik asli kartu kredit
ini , pelaku carding biasa disebut carder. Dalam
kejahatan ini, pemilik kartu kredit akan kehilangan uangnya
karena orang lain menggunakannya untuk berbelanja dengan
mencuri rekening kartu kreditnya. Pencurian akun ini bisa
dilakukan dengan cara membobol keamanan toko online
tempat pembelian dilakukan. Apalagi jika keamanan toko
online ini tidak kuat, maka akun kartu kredit yang
kemungkinan dibajak oleh para pelaku carding (carder) akan
bertambah.
Berdasarkan kasus dan keadaan cybercrime yang
berlangsung di Indonesia, bisa terlihat bahwa cybercrime
melahirkan ancaman serius bagi departemen keamanan non
tradisional. Di Indonesia, kejahatan cyber crime merupakan
salah satu kejahatan tertinggi di dunia. Istilah keamanan
disebut sebagai kemampuan negara untuk mendeskripsikan
konsep ancaman dengan mengedepankan aspek militer
dalam penyelesaiannya.
Seperti yang dikatakan oleh Walt, penelitian
keamanan adalah fenomena perang yang ditegaskan sebagai,
“the study of threat, use, and control of military force”.
13
Namun, setelah tuntasnya perang dingin, makna dari istilah
keamanan mengalami perubahan, keamanan meliputi sudutsudut yang lebih luas, semacam masalah lingkungan hidup,
hak asasi manusia, ekonomi, sosial masyarakat, budaya, dan
sebagainya. Perubahan makna dan konsep keamanan ini
disebabkan oleh berbagai perkembangan, seperti tren global.
Revolusi di bidang teknologi komunikasi menunjukkan salah
satu tren perkembangan, perubahan ini memungkinkan jarak
dapat dihilangkan dan didukung oleh fasilitas transportasi
dunia yang semakin kompleks. Situasi ini akan berdampak
pada perkembangan problematis masalah politik global,
termasuk masalah keamanan.
Pengaturan Cyber Crime dalam sistem Hukum Pidana
Indonesia
Sistem hukum Indonesia tidak secara spesifik
mengontrol tentang hukum siber, namun beberapa undangundang telah mengatur pencegahan kejahatan siber, seperti
Undang-undang No. 36 tentang 1999 tentang
Telekomunikasi, Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta, Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Terorisme, serta Undang-undang No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Undang-Undang dan peraturan ini ini telah
mengkriminalisasi jenis14 kejahatan dunia maya (cybercrime)
dan ancaman hukuman buat setiap pelanggarnya.
Selain itu, kebijakan kriminalisasi yang tertulis dalam
golongan cyber crime telah dirumuskan dalam RKUHP yang
terdapat pada Buku Kedua (Bab VIII): Tindak Pidana yang
membahayakan keamanan Umum bagi Orang, Barang,
Lingkungan Hidup. Bagian Kelima: Pasal 373- 379 tentang
Tindak Pidana terhadap Informatika dan Telematika, yang
mengatur tindak pidana illegal access, illegal interception,
data interference dan system interference, penyalahgunaan
nama domain, dan pornografi anak.
Dalam pembahasan perkembangan hukum pidana
yang akan datang, penyelesaian dan pencegahan cybercrime
kudu diimbangi dengan penertiban dan pengembangan
seluruh sistem hukum pidana, yang mencakup pembangunan
struktur, budaya, serta substansi hukum pidana. Dalam
kondisi demikian, kebijakan hukum pidana menempati letak
yang strategis dalam perkembangan hukum pidana modern.
Kebijakan hukum pidana berniat untuk mencapai kedamaian
dan kesejahteraan semua orang.
Berikut tindakan kejahatan dunia maya (cybercrime)
yang di atur dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undangundang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undangundang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, sebagai berikut:
1. Tindakan yang melanggar kesusilaan.
Pada Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 11 Tahun
2008 disebutkan bahwa “Setiap Orang dengan sengaja
dan tanpa hak membagikan atau menyebarkan atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik atau
Dokumen Elektronik yang memiliki isi yang melanggar
kesusilaan”. Namun perbuatan membagikan/
menyebarkan/membuat konten informasi
elektronik/dokumen elektronik yang melanggar
kesopanan (kesusilaan) tidak dijelaskan dengan
sendirinya dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008.
Pelanggaran etika/kesusilaan melalui media internet
sendiri merujuk pada KUHP
Dalam konteks perbuatan yang melanggar kesusilaan
melalui media elektronik, dalam Pasal 27 ayat (1)
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 mengatur
tentang informasi dan transaksi elektronik, termasuk
pornografi online dan prostitusi online. Jika kejahatan ini
dilakukan terhadap anak-anak, maka akan menjadi
semakin serius. Salah satu permasalahan yang
diakibatkan oleh perkembangan teknologi informasi
melalui jaringan internet adalah banyaknya situs yang
menampilkan adegan porno. Tampaknya saat ini, sangat
sulit melindungi Internet dari gangguan pedagang
hiburan yang menjual pornografi.15
2. Perjudian
Perjudian online diatur pada Pasal 27 ayat (2)
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam peraturan ini juga sama disebutkan bahwa:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
membagikan/menyebarkan/membuat dapat diaksesnya
informasi elektronik/dokumen elektronik yang
mempunyai muatan perjudian”.
3. Penghinaan atau pencemaran nama baik
Pencemaran nama baik ataupun penghinaan di dunia
maya merupakan larangan yang diatur pada Pasal 27
ayat (3) Undang-undang No. 11 Tahun 2008, yang
berbunyi : “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak
membagikan/menyebarkan/membuat dapat diaksesnya
informasi elektronik/dokumen elektronik yang
mempunyai muatan penghinaan atau pencemaran nama
baik.” Pembuat undang-undang menyamakan antara
penghinaan dan pencemaran. Penghinaan sendiri ialah
sebuah perbuatan, sedangkan salah satu bentuk
penghinaan ialah pencemaran
Pembuat undang-undang sendiri kelihatannya mau
mengarahkan perbuatan penghinaan dari media internet
ini sebagai pencemaran. Dalam Bab XVI Buku II
mengatur tentang perbuatan penghinaan dan
pencemaran. Kejahatan penghinaan terdiri dari
penghinaan umum dan penghinaan khusus. Penghinaan
umum mengacu pada obyek harga diri dan derajat orang
pribadi, termasuk juga pencemaran. Sedangkan
penghinaan khusus mengacu pada penghinaan yang
memiliki obyek harga diri, kehormatan dan nama baik
terbuka (umum). 16 Tindakan penghinaan ataupun
pencemaran dapat ditemukan di berbagai kolom
komentar di dunia maya, terutama saat korban
memindai identitas, foto, atau video pribadinya. Pelaku
juga dapat menulis teks yang menghina atau memfitnah
di dinding pernyataan untuk membuat pernyataan atau
menghubungkan pernyataan ini dengan korban.
4. Pemerasan atau pengancaman
Pada Pasal 27 ayat (4) Undang-undang No. 11 Tahun
2008 melarang pemerasan atau pengancaman di dunia
maya. Dalam pasal ini dijelaskan: “Setiap orang
yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau
pengancaman”.
Pasal 368 (1) KUHP mencantumkan kualifikasi
perbuatan yang terhitung pemerasan atau pengancaman,
yaitu: “Setiap orang yang bermaksud untuk
menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain secara
melawan hukum (ilegal), memaksa seseorang untuk
memberikan sesuatu milik orang ini maupun orang
lain secara keseluruhan maupun sebagian dengan
kekerasan maupun ancaman kekerasan atau
menciptakan hutang maupun menghapus hutang, akan
dihukum karena pemerasan dan dapat dijatuhi hukuman
hingga 9 tahun penjara.”
5. Penguntitan (cyberstalking)
Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Pasal 29
mengatur bahwa: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan
tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik atau
Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan
atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi”.
Ketentuan mengenai informasi dan transaksi elektronik
dalam Pasal 29 mengatur mengenai tindakan pelecehan,
ancaman, atau tindakan lain yang dilakukan untuk
menimbulkan ketakutan, termasuk kata-kata atau
tindakan tertentu. Ketentuan ini serupa dengan
pengaturan cyberstalking di Amerika Serikat, Kanada,
Inggis dan negara lainnya. Tindakan ini dilakukan
dengan memanfaatkan teknologi informasi dan
komukasi, semisal dengan mail bombs, unsolicited hate
mail, obsence or threatening email, dan yang lainnya.17
6. Penyebaran berita palsu (hoax)
Penyebaran berita palsu diatur dalam Undang-undang
No. 11/2008 Pasal 28 ayat (1), berbunyi : “Setiap orang
dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita
bohong/palsu serta menyesatkan, yang mengakibatkan
kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”
7. Ujaran kebencian
Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
mengatur tentang pidana ini , yang berbunyi:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang dirancang untuk
menimbulkan kebencian atau permusuhan individu/
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku,
agama, ras, dan antar golongan (SARA)”.
8. Akses ilegal
Undang-undang No. 11 Tahun 2008, dalam Pasal 30
mengatur sebagai berikut:
a. Siapapun yang dengan sengaja, tanpa hak atau
melawan hukum (ilegal) mengakses Komputer atau
Sistem Elektronik orang lain dengan cara apapun.
b. Siapapun dengan sengaja, tanpa hak atau melawan
hukum (ilegal) mengakses (membuka) Komputer atau
Sistem Elektronik dengan cara apapun dengan
maksud untuk memperoleh Informasi Elektronik atau
Dokumen Elektronik.
c. Siapapun yang melanggar, menerobos, melampaui,
atau menjebol sistem pengamanan dengan sengaja,
tanpa hak atau melawan hukum (ilegal) mengakses
Komputer atau Sistem Elektronik.”
Pencegahan dan Penanggulangan Cybercrime
Tindak pidana cybercrime memakan korban dengan
jumlah sangat besar, terutama dari segi finansial. Kebanyakan
dari korban hanya bisa menyesali apa yang sudah terjadi.
Mereka berharap bisa belajar banyak dari pengalaman
mereka saat ini, dan yang perlu dilakukan sekarang adalah
mencegah kemungkinan-kemungkinan yang dapat
merugikan kita sebagai pelaku IT. Pencegahan ini dapat
berupa:18
1. Educate user (memberikan pengetahuan baru tentang
Cyber Crime dan dunia internet)
2. Use hacker’s perspective (menggunakan pemikiran hacker
untuk melindungi sistem anda)
3. Patch system (menutup lubang-lubang kelemahan pada
sistem)
4. Policy (menetapkan kebijakan dan aturan untuk
melindungi sistem Anda dari orang-orang yang tidak
berwenang)
5. IDS (Intrusion Detection System) bundled with IPS
(Intrusion Prevention System)
6. Firewall.
7. AntiVirus.
Beberapa langkah penting yang harus diambil dalam
menanggapi Cybercrime adalah :
1. Melakukan pembaruan hukum pidana nasional dan
hukum acara, sesuai dengan kesepakatan internasional
yang terkait dengan kejahatan ini .
2. Meningkatkan sistem keamanan jaringan komputer
nasional sesuai dengan standar internasional.
3. Meningkatkan pengetahuan dan keahlian aparat penegak
hukum dalam upaya pencegahan, investigasi, dan
penuntutan kasus-kasus yang berkaitan dengan
cybercrime.
4. Meningkatkan kesadaran warga negara tentang masalah
cybercrime dan pentingnya mencegah kejahatan itu
terjadi.
5. Meningkatkan kerjasama dari berbagai negara, baik kerja
sama bilateral, regional maupun multilateral dalam
upaya mengatasi cybercrime, termasuk melalui
perjanjian ekstradisi dan perjanjian bantuan timbal balik
(mutual assistance treaties).
Beberapa contoh dari bentuk penanggulangan yang
lain yaitu:
1. IDCERT (Indonesia Computer Emergency Response Team)
Salah satu cara untuk membuat masalah keamanan
lebih mudah ditangani adalah dengan membuat sebuah
unit untuk melaporkan kasus keamanan. Dengan
munculnya “sendmail worm” (sekitar tahun 1988),
masalah keamanan semacam ini mulai dikenali di luar
negeri, saat worm menutup sistem email Internet era
itu. Selepasnya dibentuk sebuah (CERT) Computer
Emergency Response Team, sejak itu di negara lain juga
mulai membentuk CERT untuk dijadikan point of contact
guna orang untuk mengadukan problem kemanan.
IDCERT merupakan CERT Indonesia.19
2. Sertifikasi perangkat security
Peralatan yang dipakai guna membereskan keamanan
harus memiliki tingkat karakteristik. Tentunya peralatan
yang digunakan untuk tujuan pribadi berbeda dengan
yang digunakan untuk tujuan militer. Tetapi sejauh ini di
Indonesia belum ada institusi yang menangani problem
evaluasi perangkat keamanan.
Penegakan Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Cyber
Crime di Indonesia
Masih terdapat kendala dalam tindakan penegakan
hukum terhadap pelaku cybercrime meskipun Undangundang ITE telah disahkan menjadi Undang-undang No. 11
Tahun 2008 yang menyangkut Informasi dan Transaksi
Elektronik. Isi dalam Pasal 5 Seputar perluasan alat bukti
baru sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia,
menerima informasi elektronik dan data elektronik atau hasil
cetak sebagai alat bukti yang sah. Undang-Undang ini
menambah fakta cybercrime yang sebelumnya tidak diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
seperti isi dalam pasal itu.
Penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan siber
masih terkendala oleh beberapa aspek, yaitu: aparat penegak
hukum kurang memiliki keterampilan atau kualitas dalam
menumpasas para cracker dunia maya, keterbatasan alat
(media) serta perlengkapan terbaru yang dimiliki Kepolisian.
Seperti alat yang seharusnya ada disetiap Polda berfungsi
mempercepat deteksi dan prediksi keberadaan para cracker
saat beraksi yaitu laboratorium cyber crime. Namun hanya
Mabes Polri dan Kepolisian di beberapa Kota Besar yang
memiliki Laboratorium itu, sehingga terdapat hambatan
ketelatan dan anggaran tinggi dalam setiap proses
penyelidikan pekara cybercrime di Indonesia, serta para
korban yang enggan mengadukan kejahatan yang menerpa
dirinya karena dalih privasi, ekonomi, maupun korban tidak
mempercayai keahlian dan pengabdian polisi dalam
mengungkap kasus ini .
Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana
Cyber Crime dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia
Tindakan penegak hukum terhadap pelaku tindak
pidana dunia maya adalah untuk melindungi pengguna
cyberspace dari para cracker yang menggunakan media
internet dalam melakukan kejahatannya. Meskipun
Indonesia belum memiliki “cyberlaw” yang secara khusus
menargetkan kepentingan korban, namun Indonesia tetap
perlu tindakan hukum dengan menggunakan hukum yang
ada sebelumnya seperti: perundang-undangan,
yurisprudensi maupun konvensi-konvensi Internasional
yang sudah diratifikasi untuk melindungi kepentingan
penduduk dunia maya di Indonesia
Berbagai upaya dapat diambil untuk menyelesaikan
kejahatan Internet, baik secara premetif, preventif, maupun
represif. Upaya premetif dapat dijalankan dengan
meratifikasi kesepakatan cyber crime internasional kedalam
sistem hukum di Indonesia. Kesepakatan Dewan Eropa ialah
salah satu wujud kesepakatan internasional, dan sebagian
kovenannya telah diratifikasi kedalam sistem perundangundangan di Indonesia. Penanggulangan cyber crime secara
preventif dapat dijalankan dengan cara mengembangkan
pengamanan, meningkatkan energi guna fitur komputer,
kemampuan dan kedisplinan dalam memakai fitur ini di
dunia maya. Aktifitas ini bisa berbentuk aksi yang dapat
dijalankan baik secara individu, kebijakan nasional, ataupun
global. Sementara itu tindakan penanggulangan cybercrime
secara represif dapat dilaksanakan dengan menjerat para
pelaku tindak pidana untuk ditangani sesuai dengan undangundang. Undang-undang menentukan kepentingan korban
dengan memberikan restitusi, kompensasi, ataupun asistensi
yang merupakan tanggung jawab pelaku dengan Negara
sebagai penyedianya.
Upaya untuk melindungi korban tindak pidana
merupakan usaha untuk memulihkan kerugian yang sudah di
dapat oleh korban. Perihal ini bakal lebih masuk akal jika
korban terlibat atau ikut serta dalam proses penyelesaian
kasus pidana. Penegakan hukum adalah upaya pembangunan
berkelanjutan yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
yang aman, tentram, tertib, dan dinamis bagi negara dan
lingkungan negara dalam lingkungan pergaulan dunia yang
merdeka (independen).22
Dimasa mendatang, penegakan hukum pidana
hendaknya lebih memperhatikan kepada sistem keadilan
restoratif, ini merupakan solusi yang adil untuk mengaitkan
pelaku, korban, keluarganya, serta pihak lain yang terlibat
dalam tindak pidana untuk bersama-sama berupaya
menyelesaikan tindak pidana ini . Hal itu berdasarkan
surat keputusan bersama antara Pimpinan Mahkamah Agung
RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Menteri
Sosial, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak RI, yang menekankan pemulihan ke
keadaan semula.
Hambatan dalam Penanganan Cybercrime
Sekalipun telah ada sebagian pasal yang dapat
menjebloskan para pelaku kejahatan cyber ke penjara.
Namun masih terdapat kendala-kendala dalam
penerapannya di lapangan, di antaranya sebagai berikut:
1. Perangkat hukum yang belum memadai
Terhadap pasal-pasal yang ada dalam KUHP, para
penyidik (terutama Polri) menganalogikan
(mengumpamakan) dan mempersamakan, serta
sepikiran bahwa kudu dibuat Undang-Undang yang
khusus mengelola cybercrime.
2. Kemampuan penyidik
Secara umum, pengetahuan dan pemahaman
pengoperasian komputer penyidik Polri terhadap hacker
komputer, serta kemampuan menyelidiki kasus-kasus
ini masih sangat minim.
Beberapa faktor yang sangat berpengaruh
(determinan) adalah:
1. Kurangnya pengetahuan tentang komputer
Pengetahuan teknis dan pengalaman para penyidik
dalam menangani kasus-kasus cybercrime masih
terbatas.
2. Faktor sistem pembuktian yang menyulitkan para
penyidik, antara lain:
a. Alat bukti
Permasalahan yang dihadapi di dalam penyidikan
terhadap cybercrime menyangkut persoalan alat bukti,
antara lain bertautan dengan ciri kejahatan cybercrime
itu sendiri, ialah: target ataupun media cybercrime
merupakan informasi ataupun sistem pc (sistem
internet) yang dapat dengan gampang diganti, dihapus
ataupun dirahasiakan oleh pelaku kejahatan.
Cybercrime biasanya dilangsungkan dengan sedikit
saksi. Kebalikannya, saksi korban kerapkali terletak
jauh di luar negara sehingga menyulitkan penyidik
untuk melaksanakan pengecekan saksi serta
pengajuan hasil investigasi.
b. Fasilitas komputer forensik
Guna menunjukkan jejak para hacker serta cracker
saat melakukan aksinya, terpenting yang berkaitan
dengan program serta informasi pc, fasilitas yang
dimiliki Polri kurang mencukupi sebab tidak adanya
komputr forensik. Sarana ini dibutuhkan guna
menampilkan informasi digital dan merekam serta
menaruh fakta dalam bentuk soft copy (gambar,
program, dan lain-lain.). Dalam kasus ini Polri masih
belum memiliki sarana forensic computing yang
memadai. Sarana perhitungan forensik yang hendak
dibangun oleh kepolisian diharapkan bisa
memberikan tiga layanan penting, meliputi :
pengumpulan barang bukti (evidence collection),
forensic analysis, dan expert witness
Widodo mengatakan bahwa, cybercrime diartikan
sebagai kegiatan seseorang, sekelompok orang, Badan
Hukum yang memakai komputer bagaikan fasilitas
melakukan kejahatan, dan sebagai sasaran (target). Dalam
pengertian lain Wisnubroto mengartikan kejahatan
komputer sebagai perbuatan melawan hukum yang
dilakukan dengan menggunakan komputer sebagai
sarana/alat komputer sebagai objek, baik untuk
mendapatkan keuntungan maupun tidak, dengan merugikan
pihak lain.
Sifat kejahatan cybercrime dapat diklasifikasikan
menjadi :
1. Cyber crime sebagai tindakan kriminal.
2. Cyber crime sebagai kejahatan “abu-abu”.
Teknologi komunikasi memiliki kekuatan yang luar
biasa dalam mengubah perilaku komunikasi manusia, selain
membawa manfaat berupa kemudahan komunikasi,
teknologi juga dapat membawa kerugian, salah satunya
memudahkan para “penjahat” untuk melakukan kejahatan.
Kemajuan teknologi memungkinkan penjahat dunia maya
(cybercrime) memangsa korbannya. Beberapa kejahatan
cybercrime yang umum terjadi adalah hacker, cracker,
carding, deface, dan phreaker. Para pelaku hacker biasanya
bukan berasal dari kaum bawah, mereka umumnya
merupakan orang-orang terpelajar, yang paling tidak
mengenyam pembelajaran resmi hingga tingkatan tertentu
serta bisa memakai ataupun mengoperasikan pc. Para craker
pula merupakan orang yang berpendidikan, tidak buta
teknologi, sanggup secara finansial, serta tidak tercantum
dalam warga kelas dasar.
Berdasarkan kasus dan kondisi cybercrime yang
terjadi di Indonesia, dapat terlihat bahwa cybercrime
merupakan ancaman serius bagi departemen keamanan non
tradisional. Di Indonesia, kejahatan penggunaan perangkat
komputer dan internet (cybercrime) merupakan salah satu
kejahatan tertinggi di dunia. Sistem hukum Indonesia tidak
secara spesifik mengatur tentang hukum siber (cybercrime),
namun beberapa undang-undang telah mengatur
pencegahan kejahatan siber, seperti Undang-undang No. 36
Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-undang No. 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-undang No. 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Terorisme, serta Undangundang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
Dalam pembahasan perkembangan hukum pidana
dimasa mendatang, penanggulangan dan pencegahan
cybercrime kudu diimbangi dengan pembenahan serta
pengembangan seluruh sistem hukum pidana, yang meliputi
pembangunan struktur, budaya, serta substansi hukum
pidana. Dalam kondisi demikian, kebijakan hukum pidana
menempati posisi yang strategis dalam kemajuan hukum
pidana modern. Serta penegakan hukum pidana hendaknya
lebih memperhatikan kepada sistem keadilan restoratif
(Restorative Justice), sepertinya ini merupakan solusi yang
adil untuk mengaitkan pelaku, korban, keluarganya, serta
pihak lain yang terlibat dalam tindak pidana untuk bersamasama berupaya menyelesaikan tindak pidana ini .
Kehadiran teknologi komunikasi modern
seperti internet telah membuat pandangan manusia
mengenai kehidupan berubah. Paradigma
komunikasi manusia dalam menjalani aktivitas
ekonomi, bisnis, interaksi sosial, dan politik,
menjadi berbeda. Sebelumnya, manusia didominasi
oleh aktivitas yang bersifat fisik, face to face.
Manusia dihalangi oleh berbagai keterbatasan.
Dengan internet, ruang, jarak, dan waktu yang
membatasi manusia menghilang. Menurut Kenichi
Ohmae (Mahayana, 1999:97), itulah dunia tanpa
batas (the borderless world).
Internet merupakan jaringan dari jutaan
komputer yang saling terhubungkan. Dengan
internet, setiap orang di seluruh dunia dapat
berkomunikasi hanya dengan menekan keyboard
dan mouse di hadapannya. Informasi apa pun yang
dibutuhkan telah tersedia. Karena kemudahan
yang ditawarkan itulah banyak individu yang
menggunakannya. Dibandingkan radio dan
televisi, penetrasi internet di kalangan masyarakat,
termasuk yang paling cepat. Untuk mencapai
pengguna sebanyak 50 juta orang, internet hanya
membutuhkan waktu 5 tahun, sementara radio
membutuhkan waktu 38 tahun dan televisi 13 tahun
(Temporal & Lee, 2002:7). Saat ini, diperkirakan
pengguna internet telah mencapai 220 juta orang.
Dengan menggunakan internet, user
berkesempatan untuk berpetualang, berkelana,
berselancar menelusuri cyberspace, sebuah dunia
komunikasi berbasis komputer (computer mediated
communication). Realitas yang ditawarkan adalah
realitas virtual, kehadirannya tidak dapat ditangkap atau dipegang tangan, tetapi dikonstruksikan
secara sosial oleh orang-orang yang menggeluti
teknologi komunikasi dan informasi. Realitas
cyberspace adalah kenyataan yang melampaui dan
artifisial (hyperreal). Menurut Piliang (2001),
karena rekayasa sedemikian rupa, kenyataan (real)
ditutupi oleh tanda kenyataan (sign of real)
sedemikian rupa, sehingga antara tanda dan relitas,
antara model dan kenyataan, tidak lagi dapat
dibedakan.
Cyberspace menawarkan segala hal yang
diperlukan manusia, termasuk kesenangan,
keuntungan, dan kemudahan tanpa bersusah
payah menggerakkan badan untuk memeroleh
sesuatu. Berbagai informasi gratis dari surat kabar
dalam dan luar negeri dapat diperoleh tanpa
membeli. Menikmati musik tanpa harus membeli
kaset. Bagi dosen, berbagai literatur tersaji secara
gratis tanpa harus pergi ke tempat berada. Inilah
“zona mabuk teknologi” yang dikemukakan Philips
dan Naisbitt (2001).
Kehidupan virtual yang disajikan cyberspace
telah memunculkan bentuk aktivitas baru untuk
mencapai kepuasan, seperti teleshopping, teleconference, virtual gallery, virtual museum, e-commerce, namun juga memunculkan penyimpanganpenyimpangan seperti kejahatan dengan
memanfaatkan internet atau cybercrime.
“Cybercrime”: Bentuk Kejahatan
di Dunia Maya
Dalam beberapa literatur, cybercrime sering
diidentikkan sebagai computer crime. The U.S.
Department of Justice memberikan pengertian computer crime sebagai:”…any illegal act requiring
knowledge of computer technology for its perpetration, investigation, or prosecution”. Pengertian
lainnya diberikan oleh Organization of European
Community Development, yaitu: “any illegal, unethical or unauthorized behavior relating to the
automatic processing and/or the transmission of
data”. Hamzah (1989) mengartikan: “kejahatan di
bidang komputer secara umum dapat diartikan
sebagai penggunaan komputer secara ilegal”.
Dari beberapa pengertian di atas, Wisnubroto
(1999) merumuskan computer crime sebagai
perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan
memakai komputer sebagai sarana/alat atau
komputer sebagai objek, baik untuk memperoleh
keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan
pihak lain. Secara ringkas, computer crime
didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum
yang dilakukan dengan menggunakan teknologi
komputer yang canggih. Selanjutnya, disebabkan
kejahatan itu dilakukan di ruang cyber melalui
internet, muncul istilah cybercrime.
Bagi sebagian besar masyarakat yang terbiasa
menggunakan media teknologi komunikasi
(telekomunikasi), cybercrime bukanlah istilah yang
asing terdengar. Cybercrime atau kejahatan di
ruang maya merupakan sebuah fenomena yang
tidak terbantahkan. Tidak terlihat namun nyata.
Terdapat berbagai kasus cybercrime yang kian hari
kian meningkat, terutama di negara-negara yang
tidak memiliki kepastian hukum dalam bidang
teknologi komunikasi modern (convergence).
Teknologi komunikasi yang memiliki kekuatan
dahsyat dalam merubah perilaku komunikasi
manusia, selain membawa keuntungan berupa
kemudahan dalam berkomunikasi, ternyata memiliki
“sisi gelap”. Teknologi membawa kerugian, salah
satunya berupa semakin dipermudahkannya
“penjahat” dalam melakukan kejahatannya.
Kecanggihan teknologi memungkinkan penjahat
cyber memangsa korban-korbannya. Meski tidak
mau disebut sebagai pelaku kriminal, sebagai akibat
dari perbuatannya, mereka tidak ada bedanya
dengan seorang penjahat.
Menurut Raharjo (2002:29), sebagai sebuah
gejala sosial, kejahatan telah ada sejak awal
kehidupan manusia di dunia, namun kemajuan
teknologi komunikasi membuat kejahatan dalam
bentuk primitif berubah menjadi sebuah kejahatan
yang lebih maju (modern). Kejahatan
konvensional di dunia nyata muncul dalam dunia
maya (virtual) dengan wajah kejahatan yang telah
diperhalus sedemikian rupa. Kehalusan kejahatan
virtual atau cybercrime membuat masyarakat luas,
khususnya di negara berkembang yang memiliki
kesenjangan digital seperti Indonesia, tidak
merasakannya sebagai sebuah bentuk kejahatan.
Padahal, sudah begitu banyak korban (victim) dan kerugian moril dan materil akibat cybercrime.
Korbannya dapat berupa netizen (penduduk dunia
virtual/penghuni cyberspace) dan masyarakat
luas yang awam.
Perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis
dan individu tak berdosa, yang tidak memiliki
keahlian bahkan pemahaman akan teknologi
komunikasi, dapat menjadi korban. Tidak perlu
jauh-jauh, kita semua masih ingat dengan kasus
mahasiswa dan artis “bugil” yang beredar di
internet. Sedikit sekali di antara mereka yang
memahami teknologi komunikasi, tetapi mereka telah
menjadi korban. Sebut saja artis dengan inisial YS,
KD, KF, CK, dan masih banyak lagi. Itu salah satu
contoh kecil korban dari cybercrime. Meski
memang ada publik yang tidak menyepakati
cyberporn sebagai cybercrime. Tetapi, kita telah
melihat adanya korban akibat perbuatan pelaku
cybercrime. Sebagai catatan penting, menurut
Menteri Negara Komunikasi dan Informasi, sekitar
50 persen kalangan muda yang menggunakan
internet lebih suka untuk mengunjungi situs porno
(Kompas Cyber Media, 05 Mei 2002).
Untuk memahami cybercrime, perlu kiranya
dipahami terlebih dahulu apa yang disebut dengan
hacker, cracker dan beberapa lainnya. Karena,
seperti halnya kehidupan nyata, ada di antara
mereka yang “hitam” dan “putih”, ada yang
berlaku seperti pahlawan dan penjahat.
(1) Hacker
Hacker secara harfiah berarti mencincang atau
membacok. Dalam arti luas adalah mereka yang
menyusup melalui komputer ke dalam jaringan
komputer (Republika, 22 Agustus 1999).
Menurut Ustadiyanto (2001:304), ada definisi
yang relevan, yakni hacker adalah orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Bila komputer,
maka dia pandai menggunakannya. Ia sangat
menguasai komputer. Hacker adalah orangorang yang gemar mempelajari seluk-beluk
sistem komputer dan bereksperimen
dengannya. Mereka pandai untuk menyusup
ke dalam jaringan komunikasi suatu institusi
di dunia maya. Hacker menjunjung tinggi etika
atau norma yang berlaku di dunia maya.
Mereka anti penyensoran, anti penipuan, dan pemaksaan kehendak pada orang lain. Mereka
memegang prinsip bahwa meng-hack untuk
tujuan meningkatkan keamanan jaringan
internet. Misalnya, bila ada sebuah
perusahaan perbankan mengatakan bahwa
jaringan sistem komunikasi mereka sudah
sangat canggih dan mustahil dibobol, tidak
dapat ditembus oleh siapa pun, maka hacker
tertantang untuk mencoba dan setelah berhasil
mereka memperingatkan betapa lemahnya
sistem informasi perusahaan terrsebut. Oleh
karena itu, tidak sedikit dari mereka yang
akhirnya direkrut perusahaan untuk
mengamankan sistem informasi dan
komunikasi di dunia maya.
(2) Cracker
Di dunia cyber, ada pula hacker yang memiki
sisi gelap. Mereka disebut cracker. Para
cracker ini secara ilegal melakukan
penyusupan dan perusakan terhadap situs,
website, dan sistem keamanan jaringan internet
untuk memperoleh kesenangan dan
keuntungan. Mereka bangga dan sombong
atas keberhasilan mereka merusak situs sebuah
perusahaan. Serangannya sangat luar biasa.
Kementerian Petahanan Amerika Serikat di
Pentagon mencatat serangan 100 cracker
dalam satu hari (Republika, 6 Januari 2000).
(3) Carder
Carder adalah orang yang melakukan cracking, yakni pembobolan terhadap kartu kredit
untuk mencuri nomor kartu orang lain dan
menggunakannya untuk kepentingan pribadi.
Biasanya yang menjadi korbannya adalah
mereka yang memiliki kartu kredit dalam jumlah
besar. Menurut hasil riset, pada tahun 2002,
Indonesia menempati urutan kedua setelah
Ukraina dalam kejahatan carding.
(4) Deface
Deface adalah tindakan menyusup ke suatu
situs, lalu mengubah tampilan halaman dari
situs dengan tujuan tertentu. Indonesia
pernah diserang para deface yang mengubah
situs TNI. Tampilan gambar Burung Garuda
Pancasila diganti dengan lambang palu arit.
Hompage Polri diganti tampilannya dengan
gambar wanita telanjang.
(5) Phreaker
Yaitu seseorang yang melakukan cracking
terhadap jaringan telepon, sehingga dapat
menelepon secara gratis ke daerah manapun
yang dituju (Komputeraktif, No. 43/18
Desember 2002). Di Indonesia, kasus semacam
ini pernah terjadi pada wartel–wartel.
Para pelaku hacking biasanya bukan dari
kalangan lapisan bawah, pada umumnya mereka
adalah kaum terpelajar, setidak-tidaknya
mengenyam pendidikan formal sampai tingkat
tertentu dan dapat menggunakan atau
mengoperasikan komputer. Para craker adalah orang yang berpendidikan, tidak buta teknologi,
secara ekonomis mampu dan tidak termasuk dalam
masyarakat lapisan bawah. Kejahatan ini dapat
dikategorikan kepada white collar crime (kejahatan
kerah putih). Jo Ann L. Miller, mengkategorikan
pelakunya menjadi 4 (empat).
(a) Organizational occupational crime
Pelakunya adalah para eksekutif. Mereka
melakukan perbuatan ilegal atau merugikan
orang lain melalui jaringan internet demi
kepentingan atau keuntungan korporasi.
(b) Government occupational crime
Pelakunya adalah pejabat atau birokrat yang
melakukan perbuatan ilegal melalui internet
atas persetujuan atau perintah negara atau
pemerintah, meski dalam banyak kasus, bila
terungkap hal itu akan disangkal.
(c) Professional occupational crime
Berbagai profesi yang melakukan kejahatan
secara sengaja (malpractice).
(d) Individual occupational crime
Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para
pengusaha, pemilik modal atau orang-orang
independen lainnya, walau mungkin tidak
tinggi tingkat sosial ekonominya. Dalam
bidang kerjanya kalangan ini memilih jalan
yang menyimpang yang melanggar hukum
atau merugikan orang lain.
Karakteristik “Cybercrime”
Cybercrime memiliki karakter yang khas
dibandingkan kejahatan konvensional, yaitu
antara lain (CYBERCRIME_files\ inline_files\
SI10.HTM):
(1) Perbuatan yang dilakukan secara ilegal, tanpa
hak atau tidak etis tersebut terjadi di ruang/
wilayah maya (cyberspace), sehingga tidak
dapat dipastikan yurisdiksi hukum negara
mana yang berlaku terhadapnya.
(2) Perbuatan tersebut dilakukan dengan
menggunakan peralatan apapun yang bisa
terhubung dengan internet.
(3) Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian
materil maupun immateril (waktu, nilai, jasa,
uang, barang, harga diri, martabat, kerahasiaan
informasi) yang cenderung lebih besar
dibandingkan kejahatan konvensional
(4) Pelakunya adalah orang yang menguasai
penggunaan internet beserta aplikasinya
(5) Perbuatan tersebut seringkali dilakukan secara
transnasional/melintasi batas negara.
“Cybercrime” di Indonesia
Di antara negara berkembang, Indonesia
termasuk negara yang lambat mengikuti
perkembangan teknologi komunikasi modern. Indonesia tidak memrioritaskan strategi
pengembangan dan penguasaan teknologi. Yang
terjadi kemudian, transfer teknologi dari negara
maju tidak serta merta diikuti dengan penguasaan
teknologi oleh negara berkembang seperti Indonesia. Bandingkan saja dengan Malaysia yang
telah memproduksi secara massal software, personal Computer (PC), dan ponsel. Sungguh ironis
memang, karena menjelang 1980-an Indonesia
adalah negara Asia Tenggara pertama yang
memiliki satelit komunikasi. Singapura dan Malaysia yang saat itu masih menyewa satelit Palapa
dari Indonesia, kini menjadi negara maju berbasis
teknologi komunikasi modern.
Meski masih diperdebatkan, dapat dikatakan
Indonesia merupakan negara yang memiliki
kesenjangan digital yang cukup lebar. Kesenjangan
digital dapat diartikan sebagai adanya jurang di
antara mereka yang mampu mengakses teknologi
komunikasi dan yang tidak mampu (Staubhaar &
La Rose, 2000:9). Selain masih senjangnya tingkat
pendidikan dan ekonomi di Indonesia, kesempatan untuk menggunakan teknologi komunikasi di Indonesia belum merata. Ketimpangan,
ketidakmilikan informasi dan telekomunikasi dapat
dibagi dalam beberapa kategori. Yang paling
banyak aksesnya, tentu saja, yang paling dekat
dengan pusat informasi masyarakat.
Meskipun terdapat kesenjangan digital, di Indonesia marak sekali kejahatan cyber. Kasus yang
paling sering terjadi adalah pembobolan kartu
kredit oleh para hacker hitam. Mereka bisa
memperoleh barang apa pun yang diinginkan, mulai
dari berlian, radar laut, corporate software, computer server, Harley Davidson, hingga senjata M-
16 (Warta Ekonomi.com, 23 Desember 2002)
dengan menggunakan kartu kredit milik orang lain.
Istilahnya adalah carding. Para carder (hacker
hitam) memesan barang-barang melalui internet
untuk dikirimkan ke negara mereka berada. Barang
yang dipesan dapat digunakan sendiri, dapat pula
dijual dengan harga yang sangat murah. Misalnya,
Notebook bermerk Sony seharga 20 Juta yang
dipesan melalui carding, dijual seharga 4 Juta rupiah. Untuk yang satu ini, ClearCommerce,
perusahaan keamanan internet yang berbasis di
Texas, Amerika Serikat, memasukkan Indonesia ke
dalam daftar negara-negara terburuk untuk
kejahatan yang memanfaatkan kecanggihan
teknologi komunikasi. Setidaknya, 20 persen
transaksi kartu kredit internet yang berasal dari
Indonesia merupakan penipuan. Berikut ini adalah
data kejahatan yang memanfaatkan internet:
Dari data di bawah (Koran Tempo, 26 Maret
2003), Yogyakarta menempati urutan pertama dan
Bandung kedua dalam cybercrime jenis carding
di Indonesia. Yang melakukan jenis kejahatan itu
adalah kalangan muda, biasanya mahasiswa.
Seorang mahasiswa universitas swasta di
Bandung pernah memesan 5 buah ponsel Nokia
Communicator yang ia jual seharga 5 Juta rupiah,
padahal saat itu harganya berkisar 10 Juta rupiah.Agar tidak diketahui identitasnya, ia melakukan
carding di warnet sekitar kampus dan saat
mengambil pesanan, agar dimudahkan, ia
bekerjasama dan memberi sejumlah uang kepada
oknum karyawan biro pengiriman paket terkemuka
di Indonesia.
Indonesia tampaknya akan semakin
mengukuhkan diri sebagai negara kampiun
penipuan kartu kredit di internet Dalam berbagai
urusan yang berkonotasi buruk, Indonesia
memang seringkali termasuk di dalamnya, mulai dari
pendapatan perkapita yang rendah, mutu
pendidikan, tingkat korupsi, termasuk cybercrime
jenis carding.
Kejahatan memang tidak dapat diprediksi
kejadiannya, tidak mempedulikan tempat dan
suasana ketika hendak muncul, tidak pula
membanding-bandingkan siapa pelaku dan
korbannya, tidak mengenal kasta ataupun status
sosial pelaku dan korbannya. Saat muncul, ia dapat
menjadi bahan yang menarik untuk dibicarakan,
baik di media massa maupun ruang-ruang seminar.
Apalagi saat kejahatan itu dipadukan dengan
kecanggihan teknologi komunikasi. Tanpa sadar
di sekeliling kita terdapat kejahatan yang “innocent”, seolah tanpa dosa dan begitu halus.
Adapun konstruksi kejahatan Hacking dapat
dilihat pada gambar 3.
Selain cybercrime jenis carding, di Indonesia juga sering terjadi kasus deface. Tampilan situs di Internet dirusak dan diganti oleh para hacker
hitam. Berikut ini adalah kasus-kasus yang pernah
terjadi (Raharjo, 202:35):
(a) Tahun 1997 ketika masalah Timor-Timur
menghangat, situs milik Departemen Luar Negri dan ABRI (TNI, pen) dijebol oleh craker
Porto (Portugis) yang pro-kemerdekaan.
Mereka juga merusak situs-situs bisnis dan
pendidikan. Serangan dari craker Porto ini
mendapat balasan dari craker Indonesia. Hal
ini dilakukan karena, menurut mereka, craker
Porto dinilai keterlaluan, serangannya
membabi-buta, tidak mempedulikan apakah itu
situs milik pemerintah ataupun bukan, situs
bisnis maupun situs pendidikan.
(b) Tahun 1998, tampilan depan atau frontpage
Pusat Dokumentasi Informasi Ilmiah Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI)
diganti dengan gambar wanita telanjang.
(c) Tahun 1998, setelah kerusuhan 13–14 Mei,
craker yang diduga berasal dari Cina
menghantam situs milik pemerintah, yaitu
BKKBN. Serangan ini merupakan reaksi atas
pemberitaan media mengenai kerusuhan Mei
yang menyebabkan etnis Cina di Indonesia
menjadi korban pembantaian dan
pemerkosaan.
(d) Juni 1999, homepage POLRI diganti dengan
gambar telanjang, kemudian diganti lagi
dengan gambar yang mirip logo PDIPerjuangan.
(e) Januari 2000, situs yang diserang, antara lain
Bursa Efek Jakarta (BEJ), Bank Central Asia
dan Indosatnet
(f) September dan Oktober 2000, Fabian Clone
berhasil menjebol web milik Bank Bali,
sebelumnya juga berhasil menjebol web milik
Bank Lippo. Kedua bank itu memberikan
layanan Internet Banking, kerugian yang
diderita lebih besar dibandingkan kerugian
yang diderirta BEJ.
(g) Januari 2001, situs milik PT. Ajinomoto Indonesia diserang craker. Serangan ini merupakan
reaksi atas penggunaan enzim porcine (babi)
yang digunakan sebagai katalis dalam proses
pembuatan bumbu penyedap rasa. Situs
Ajinomoto hhtp://www.mjk.ajinomoto.co.id
ketika dibuka yang muncul adalah gambar
seekor babi yang tengah tersenyum dengan
tulisan Babi, open in December 2K,
“Ajinomoto You Lied to Us”, “Ajinomoto:
HARAM...HARAM...HARAM”.
(h) Pada 8 Mei 2001, situs Polri mendapat
serangan dari Kesatuan Aksi Hacker Muslim
Indonesia (KAHMI). Serangan ini merupakan
reaksi atas ditangkapnya pimpinan dari
Pasukan Komando Jihad.
Bila tidak ditangani dengan baik, ada
kemungkinan jumlah kasus berikut korban akan
bertambah, baik cybercrime dalam bentuk carding maupun deface, termasuk cyberporn meskipun
tidak semua publik sepakat bahwa itu adalah suatu
kejahatan. Namun, dapat dibayangkan bila orangorang di sekitar kita, misalnya isteri dan anak kita
yang tidak bersalah, tiba-tiba fotonya terpampang
di internet dalam keadaan tanpa pakaian dengan
teknik rekayasa foto melalui komputer.
Urgensi Penyelesaian “Cybercrime”
di Indonesia
Berdasarkan berbagai kasus cybercrime yang
telah terjadi dan pasti akan bertambah, perlu
kiranya dilakukan percepatan dalam menuntaskan
kasus cybercrime. Untuk menghadapi sekian
banyak varian dan modifikasi modus kejahatan di
Internet, maka langkah represif dan reaktif yang
selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum
tidaklah memadai. Aparat tidak siap
menghadapinya. Maraknya cybercrime
menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah dalam
menyelesaikannya. Oleh karena itu, pemerintah
harus meningkatkan pemahaman serta keahlian
aparatur penegak hukum mengenai upaya
pencegahan, investigasi, dan penuntutan perkaraperkara yang berhubungan dengan cybercrime.
Aparat kepolisian perlu menanggapi secara serius
kejahatan saiber.
Tentunya, harus dibarengi pula dengan
serangkaian langkah proaktif dan antisipatif yang
dilakukan oleh beragam institusi terkait di Indonesia. Misalnya, asosiasi yang membawahi para
Internet Service Provider (ISP) dan warnet di Indonesia harus memikirkan langkah yang akan
diambil untuk melindungi para konsumen.
Selanjutnya, adalah dengan melakukan
kampanye dan edukasi tentang ber-internet yang
aman secara komprehensif dan berkala kepada
masyarakat umum. Jika hal tersebut tidak segera
dilakukan, maka kita harus siap menerima kenyataan
bahwa peningkatan penetrasi Internet di Indonesia akan berbanding lurus dengan meningkatnya
angka kejahatan Internet secara kuantitatif dan
kualitatif. Ujung-ujungnya, hal tersebut justru akan
menghancurkan kegiatan usaha/bisnis dan industri
internet di Indonesia. Seperti pemblokiran yang
dilakukan komunitas internet internasional
terhadap pengguna internet dengan nomor
Internet Provider (IP) Indonesia, sehingga kegiatan
bisnis di dunia cyber tidak mungkin dilakukan. Itu
semua akan menghancurkan kegiatan ekonomi
melalui internet.
Tidak kalah pentingnya pula, pemerintah
harus bergegas membuat UU Cyberlaw untuk
menuntaskan kasus cybercrime. Perlu dipahami
bahwa kegiatan bisnis melalui internet telah
mengubah tatanan ekonomi konvesional. Hal itu
memunculkan ketidakpastian, karena pihak yang
berkomunikasi tidak bertemu secara tatap muka.
Untuk memberikan kepastian, perlu dilindungi oleh
cyberlaw. Meskipun pengguna internet di Indonesia kurang dari 5 % total populasi penduduk
(data lainnya menyebutkan hanya 1,9 % atau sekitar
4,38 juta), cyberlaw tetap diperlukan sebagai
pegangan hukum bagi aparat dalam menuntaskan
cybercrime. Akan lebih buruk bila tak ada
perangkat hukum yang memadai.