hukum internasional 3
indiividu-individu.
Lauterpacht (1950) mengaitkannya dengan Hak Asasi Manusia
fundamental. Beliau menyebutkan bahwa “Fundamental human rights are rights
superior to the law of the sovereign State…..(and must lead to the) consequent
recognition of the individual human being as a subject of international law.”176
(Terjemahan bebas: Hak Asasi Manusia yang fundamental yaitu hak superior
dalam hukum dari Negara-Negara berdaulat sebagai konsekuensi adanya
pengakuan terhadap individu sebagai salah satu subyek Hukum Internasional).
Philip Allot (1992) berpandangan bahwa masyarakat internasional sesungguhnya
tidak terdiri dari Negara-negara tetapi dibentuk oleh individu-individu. Hal ini
terlihat pada adanya sistem hukum internasional dan kebutuhan masyarakat
internasional yang terbentuk oleh individu-individu.
Beberapa pendapat para ahli hukum ini di atas didukung oleh AO dari
Reparation for Injuries Case. Ada pernyataan dari Mahkamah Internasional terkait
apa yang dimaksud dengan subyek dalam sistem Hukum Internasional:
“The subjects of law in any legal system are not necessarily identical in their
nature or in the extent of their rights, and their nature depends on the needs of the
community. Throughout its history, the development of international law has been
influenced by the requirements of international life, and the progressive increase in
the collective activities of States has already given rise to instances of action upon
the international plane by certain entities which are not States…..” (Terjemahan
bebas: Subyek hukum di dalam sistem hukum manapun tidaklah penting harus
identik jenisnya atau hak yang dimiliki. Kualifikasi sebuah subyek hukum
sesungguhnya berdasar kebutuhan dari komunitas. berdasar sejarahnya,
perkembangan hukum internasional dipengaruhi oleh kebutuhan kehidupan
internasional dan meningkatnya berbagai macam aktivitas Negara-negara yang
melibatkan entitas-entitas bukan Negara di dunia internasional)
Pernyataan ini yang dipakai oleh Mahkamah Internasional untuk menguji
apakah PBB sebagai organisasi internasional dapat dikualifikasikan sebagai
subyek hukum internasional. Kemunculan individu sebagai salah satu subyek
hukum internasional berdasar kebutuhan yaitu benar adanya. Hal ini dapat
ditelusuri melalui sejarah kejahatan perang yang dilakukan oleh individu-individu.
Sebelum adanya Statuta Roma (Rome Statute) 1998 dengan Mahkamah Pidana
Internasionalnya (International Criminal Court), para penjahat perang pada PD II
diadili melalui Tokyo Tribunal dan Nurenberg Trial. Melalui kedua pengadilan itu,
para pemimpin PD II Jerman dan Jepang dimintai pertanggungjawabannya
sebagai individu atas perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap
perdamaian, kejahatan terhadap perikemanusiaan; kejahatan terhadap hukum
perang dan permufakatan jahat untuk mengadakan kejahatan ini .
Pembentukan Tokyo Tribunal dan Nurenberg Trial dibutuhkan pada saat itu agar
para penjahat perang (terutama pemimpinnya) tidak dapat berlindung dengan
nama Negara, memberi efek jera dan untuk mencegah terjadinya kejahatan
perang di kemudian hari.
Selain itu, seorang individu juga memiliki hak untuk mengajukan klaim ke
lembaga penyelesaian sengketa internasional. Untuk pertama kalinya setelah PD
I, Perjanjian Versailles 1919 memuat klausula yang memberikan hak kepada
individu untuk mengajukan klaim melalui Mixed Arbitral Tribunals (Mahkamah
Arbitrase Campuran).180 Kemudian diikuti dengan Geneva Agreement tahun 1922
antara Jerman dan Polandia. Perjanjian ini memberikan hak kepada kaum
minoritas Silesian untuk mengajukan klaim kepada Negaranya atau Negara lain
melalui Mahkamah Arbitrase yang dibentuk.181 Melalui Danzig Railway Official‟s
Case182, Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of International
Justice) membuat pernyataan bahwa ketika suatu perjanjian internasional
memberikan hak-hak tertentu kepada individu, hak ini diakui dan berlaku di
dalam hukum internasional maka dengan kata lain hak-hak individu ini diakui
oleh badan peradilan internasional.
Seiring berkembangnya hukum internasional, bermunculan pula berbagai
instrumen hukum internasional berikut lembaga penyelesaian sengketa
internasional yang memberikan legal standing kepada para individu, yakni:
European Court of Human Rights (ECHR) 1950, Inter-American Human Rights
System (IAHR), African Human Rights System, Inspection Panel di dalam Bank
Dunia (World Bank) dan International Centre for Settlement of Investment
Disputes (ICSID). Beberapa lembaga ini tidak hanya memberikan legal
standing kepada individu tetapi juga kepada sekelompok individu dan organisasi
non pemerintah (Non-Governmental Organizations).
. Perusahaan Transnasional (Transnational Corporations)
Kemunculan perusahaan asing ini mulai meresahkan dunia internasional
sejak tahun 1970-an. Keberadaannya tidak hanya memberikan dampak positif
saja tetapi juga dampak negatif, seperti campur tangan perusahaan asing
membuat kebijakan ekonomi di Negara tempat perusahaan asing didirikan (host country); penggelapan pajak; perusakan lingkungan hidup bahkan dapat
menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).
berdasar proposal dari Pemerintah Chili di tahun 1972, Dewan Ekonomi
dan Sosial (Economy and Social Council/ECOSOC) serta Sekretaris Jenderal
(Secretary General) PBB membentuk pusat informasi dan penelitian TNC pada
Agustus 1974. Di tahun yang sama, ECOSOC dan Sekretaris Jenderal PBB
melalui Resolusi 1913 (LVII) mendirikan Komisi TNC sebagai Badan Penasehat.
Tugas dari komisi TNC ini untuk membentuk aturan tingkah laku (code of conduct)
bagi TNC.183 Dilihat dari nama komisi yang dibentuk oleh ECOSOC dan Sekretaris
Jenderal PBB maka dalam tulisan ini memilih memakai terminologi TNC.
berdasar Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and
Other Business Enterprises with Regard to Human Rights, yang dimaksud dengan
TNC yaitu “refers to an economic entity operating in more than one country or a
cluster of economic entities operating in two or more countries - whatever their
legal form, whether in their home country or country of activity, and whether taken
individually or collectively.”184 (Terjemahan bebas: Perusahaan transnasional
yaitu entitas ekonomi atau sekelompok entitas ekonomi yang beroperasi di
beberapa Negara – apapun bentuk mereka, apakah berada di Negara asal atau di
Negara tempat berdirinya perusahaan transnasional/tempat perusahaan
transnasional melakukan aktivitas, apakah dilakukan perorangan atau
berkelompok).
Dengan melihat pengertian di atas, sebuah TNC tidak hanya beroperasi di
1 (satu) Negara saja, tapi bisa di beberapa negara. Ini berarti akan melibatkan 2
(dua) jenis Negara yang berbeda, yaitu: Home Country (dimana TNC berasal) dan
Host Country (dimana TNC mendirikan cabang atau anak perusahaan). Tidak
selalu Home Country dan Host Country menganut sistem hukum yang sama, bisa
jadi Home Country (Amerika Serikat) menganut common law system sedang
Host Country (Indonesia, Belanda, Perancis) menganut civil law system.
Perbedaan ini tentunya akan menimbulkan masalah jika terjadi pelanggaran
hukum. Status hukum sebuah TNC ditentukan berdasar sistem hukum dimana
TNC ini didirikan.185 Misalkan, TNC Coca-Cola, induk perusahaannya
berada di Amerika Serikat mempunyai anak perusahaan di Indonesia maka Coca-
Cola yang ada di Indonesia tunduk terhadap sistem hukum Indonesia. Apabila
Coca-Cola di Indonesia melakukan pelanggaran produksi sehingga menimbulkan
kerugian kepada konsumen maka Coca-Cola mana yang bisa dimintai
pertanggungjawaban? Coca-Cola di Indonesia atau Coca-Cola di Amerika Serikat
juga dapat dimintai pertanggungjawaban? Forum mana yang memiliki
kewenangan untuk menyelesaikan kasus ini ? Belum lagi Amerika Serikat
dan Indonesia menganut sistem hukum yang berbeda.
Keberadaan TNC ini memang seperti 2 (dua) sisi mata uang. Di satu sisi,
Negara-negara berkembang memerlukan investor-investor asing untuk
meningkatkan devisa Negara. Di sisi lain, keberadaan TNC tidak selalu
memberikan keuntungan-keuntungan bagi Host Country, seperti yang telah
disebutkan pada bagian sebelumnya. TNC sering menimbulkan dampak negatif
bagi lingkungan hidup bahkan pelanggaran HAM. Sebagai contoh, dapat dirujuk
Bhopal Case di India. Ada sebuah perusahaan bahan kimia bernama Union
Carbide (UC) di dirikan di Bhopal, sebuah daerah di India tengah. UC yaitu
anak perusahaan (subsidiary company) yang induknya berada di Amerika Serikat.
Pada tanggal 2 Desember 1984 entah sebab mesinnya yang bermasalah atau
kesalahan dari operator, ada air yang masuk ke dalam tangki yang bercampur
dengan Methyl Isocyanate (MIC) dan subuhnya tangki ini meledak dan
menimbulkan uap sebanyak 27 (dua puluh tujuh) ton hingga ke luar area pabrik.
Ledakan ini menyebabkan 3.598 (tiga ribu lima ratus sembilah puluh delapan)
orang meninggal.186 Tragedi Bhopal ini mengambil hak hidup orang yang tidak
bersalah bahkan banyak berjatuhan korban cacat seumur hidup.
Dari sisi hukum internasional, apakah ada instrumen hukum internasional
yang dapat dipakai untuk menjerat TNC sebagai pelaku pelanggaran HAM?
Jawabannya yaitu tidak. Sampai dengan saat ini hanya ada Norma mengenai
tanggung jawab TNC dan subyek hukum bisnis lainnya terkait hak asasi manusia
(Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business
Enterprises with Regard to Human Rights). Norma ini dibuat oleh The United
Nations Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights
tanggal 13 Agustus 2003. Norma ini sifatnya tidak mengikat sebab tidak dalam
bentuk hard law sehingga tidak dapat dipakai untuk menjerat TNC yang
melakukan pelanggaran HAM.
. Organisasi Non-Pemerintah (Non-Governmental Organizations/NGOs)
Ada berbagai macam pengertian yang diberikan oleh para ahli terkait
Organisasi Non-Pemerintah (Non-Governmental Organizations/NGOs). NGOs
pada dasarnya merupakan organisasi yang bersifat non-profit, anggota-
anggotanya bersifat sukarela. Lembaga ini dikelola dan aktif di tingkat lokal,
nasional maupun internasional.187 NGOs berkontribusi pada perkembangan,
interpretasi, implementasi dan penegakan hukum internasional.188 Menurut World
Bank (WB), NGOs merupakan organisasi privat yang melakukan aktivitas untuk
meringankan penderitaan, menyuarakan kepentingan masyarakat miskin,
melindungi lingkungan, menyediakan jasa di bidang sosial dan melakukan
pengembangan/pembangunan masyarakat189 serta menjunjung tinggi
implementasi HAM.
Jadi, NGOs merupakan sebuah organisasi non-pemerintah, terlibat dalam
perkembangan hukum internasional, bersifat tidak mencari keuntungan (nirlaba)
dan menyuarakan kepentingan masyarakat marginal/rentan.
Chapter 27 of the United Nations Conference on Environment and Development Rio de
Janeiro, Brazil, 3 to 14 June 1992, Agenda 21: “Non-governmental organizations play a vital role in
the shaping and implementation of participatory democracy. Their credibility lies in the responsible
and constructive role they play in society. Formal and informal organizations, as well as grass-roots
movements, should be recognized as partners in the implementation of Agenda 21. The nature of
the independent role played by non-governmental organizations within a society calls for real
participation; therefore, independence is a major attribute of non-governmental organizations and is
the precondition of real participation” (Garis bawah diberikan oleh penulis untuk menegaskan
bahwa NGOs memiliki peran yang penting dalam pembangunan internasional. Ketidakberpihakan
merupakan atribut utama NGOs sekaligus syarat untuk berpatisipasi dalam pembangunan
internasional)
NGOs tampil sebagai aktor baru pembangunan internasional sejak
diperkenalkan Sustainable Development pertama kali pada United Nations
Conference on Environment and Development Rio de Janeiro, Brazil, 3 to 4 June
1992, Agenda 21. Konferensi ini bertujuan untuk menyelaraskan pembangunan
dan lingkungan hidup, pembangunan yang dilakukan bersifat berkelanjutan
(sustainable), memperhatikan lingkungan hidup di sekitar agar lingkungan hidup
ini tetap memberikan manfaat bagi kehidupan generasi mendatang.191
Kebijakan nasional setiap Negara dan kebijakan internasional di bidang
ekonomi harus saling mendukung agar sustainable development dapat terwujud.
Negara-negara memutuskan untuk membentuk new global partnership dalam
rangka mewujudkan penyelenggaraan pembangunan internasional yang
berkelanjutan.192 New global partnership ini tidak hanya melibatkan pemerintah
tetapi juga individu, kelompok, Transnational Corporation (TNC)/Multinational
Corporation (MNC), organisasi pemerintah dan NGOs.
Preamble of the United Nations Conference on Environment and Development Rio de
Janeiro, Brazil, 3 to 14 June 1992, Agenda 21 : (1.1) Humanity stands at a defining moment in
history. We are confronted with a perpetuation of disparities between and within nations, a
worsening of poverty, hunger, ill health and illiteracy, and the continuing deterioration of the
ecosystems on which we depend for our well-being. However, integration of environment and
development concerns and greater attention to them will lead to the fulfilment of basic needs,
improved living standards for all, better protected and managed ecosystems and a safer, more
prosperous future. No nation can achieve this on its own; but together we can - in a global
partnership for sustainable development (Garis bawah diberikan oleh penulis untuk menegaskan
bahwa integrasi lingkungan hidup dan pembangunan akan memenuhi kebutuhan dasar serta
meningkatkan standar kehidupan bagi kita semua. Pembangunan berkelanjutan dapat tercapai
apabila dilakukan secara bersama-sama melalui mitra global)
192
Chapter 2 of the United Nations Conference on Environment and Development Rio de
Janeiro, Brazil, 3 to 14 June 1992, Agenda 21: This partnership commits all States to engage in a
continuous and constructive dialogue, inspired by the need to achieve a more efficient and
equitable world economy, keeping in view the increasing interdependence of the community of
nations and that sustainable development should become a priority item on the agenda of the
international community. It is recognized that, for the success of this new partnership, it is important
to overcome confrontation and to foster a climate of genuine cooperation and solidarity. It is equally
important to strengthen national and international policies and multinational cooperation to adapt to
the new realities, (Garis bawah diberikan oleh penulis untuk menegaskan bahwa seluruh Negara-
negara melalui mitra global menempatkan pembangunan berkelanjutan sebagai agenda utama
dalam komunitas internasional)
96
Peranan NGOs termuat dalam Objectives Chapter 27 dari Agenda 21 yang
menyebutkan bahwa PBB dan Pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan
dan keputusan untuk menyelenggarakan pembangunan internasional
berkelanjutan harus melibatkan (berkonsultasi) dengan NGOs.193 NGOs sejak
saat ini mulai diberikan peran di dalam hukum internasional dan secara signifikan
menunjukkan pengaruh di dalam penyelenggaraan pembangunan internasional
meskipun statusnya masih menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum
internasional. Para ahli hukum internasional terbagi menjadi 2 (dua) kelompok,
yakni: kelompok yang mengakui NGOs sebagai salah satu subyek hukum
internasional dan kelompok yang tidak mengakui NGOs sebagai subyek baru
dalam hukum internasional.
Seiring berjalannya waktu, keberadaan NGOs tidak selalu memberikan
dampak positif bagi kaum terpinggirkan namun juga memberikan dampak negatif
akibat kegagalan-kegagalan NGOs. Kegagalan NGOs dalam mewujudkan peace
building (menciptakan perdamaian) di Bosnia juga merupakan realita bahwa
NGOs tidak selalu on the right track (berada di jalurnya, menyuarakan
kepentingan masyarakat marginal/rentan).194 NGOs di Bosnia cenderung
menyesuaikan kebijakan pembangunan ekonomi di Bosnia dengan kebijakan
internasional tanpa memperhatikan kondisi dan kebutuhan riil dari masyarakat
lokal. Hal ini disebabkan kebanyakan NGOs dibiayai oleh penyandang dana
internasional (international funding) sehingga kurang memperhatikan keadaan dan
legitimasi di dalam suatu Negara. NGOs akan mengikuti keinginan atau misi dari
penyandang dana sebab ketergantungannya pada penyandang dana ini .
Apabila NGOs tidak mengikuti misi penyandang dana ini maka sumber
pendanaan akan dihentikan. Atau sebaliknya, misi dari penyandang dana yaitu
sangat ingin menyelenggarakan pembangunan ekonomi di Bosnia tetapi sebab
Objectives Paragraph 27.6 of the Chapter 27 of Agenda 21: “With a view to
strengthening the role of non-governmental organizations as social partners, the United Nations
and Governments should initiate a process, in consultation with non-governmental organizations, to
review formal procedures and mechanism for the involvement of these organizations at all levels
from policy- making and decision-making to implementation” (Garis bawah diberikan oleh penulis
untuk menegaskan bahwa PBB dan Pemerintah dalam memperkuat peran NGOs sebagai mitra
sosial harus berkonsultasi kepada para NGOs dalam membuat kebijakan dan implementasinya)
principal-agent relationship195 maka sangat sulit untuk menjamin bahwa NGOs
akan mengimplementasikan misi ini .
“This is an analytical expression of what results from differing interpretations of how
organizations should best achieve common goals. Inevitably, the principals the actor with highest
authority, delegates agents to help carry out the principal goals: although efficiency requires
handing over some decisions and authority, the very act of delegation creates problems of control
and supervision” (Ini yaitu ekspresi analitis dari perbedaan interpretasi bagaimana sebuah
organisasi seharusnya mencapai tujuannya. Suatu kepastian bahwa prinsipal yaitu aktor dengan
kewenangan tertinggi, mendelegasikan kepada agen untuk membantu melaksanakan tujuan dari
prinsipal. Meskipun pendelegasian ini menyerahkan beberapa keputusan dan wewenang namun
tetap menimbulkan permasalahan terhadap pengawasan pelaksanaannya), Lihat William E.
Demars & Dennis Dijkzeul, 2015, The NGO Challenge for International Relations Theory,
Routledge, New York, Amerika Serikat, tanpa halaman; Agen yaitu seseorang yang bertugas
melakukan pekerjaan orang/pihak lain sedang prinsipal yaitu seseorang yang
memberikan/mendelegasikan tugasnya kepada orang/pihak lain (dalam hal ini agen). Pada
praktiknya seringkali prinsipal juga turut bertanggungjawab jika tugas yang dilakukan oleh agen
tidak sesuai. Contoh hubungan prinsipal dan agen banyak ditemukan dalam hubungan-hubungan
bisnis, seperti hubungan antara operator transportasi pengiriman barang dengan perusahaan
kargo/jasa kurir, lihat Emily Linch Morisette, 2009, Personal Injury and the Law of Torts for
Paralegals, Aspen Publishers, New York, h. Teori-Teori Pengakuan
Hukum Internasional pada dasarnya mengatur tentang hak-hak dan
kewajiban negara. Terlepas dari banyaknya subjek dalam hukum internasional,
negara tetap menjadi badan hukum yang paling penting dan menjadi fokus utama
bagi kegiatan sosial umat manusia196. Maka dari itu Negaralah yang menjadi
subjek utama dalam hukum internasional.
Sebelum suatu negara baru dan atau pemerintah baru dapat mengadakan
hubungan yang lengkap dan sempurna dalam berbagai bidang dengan negara-
negara lain, baik di bidang politik, ekonomi, sosial maupun kultural dan
sebagainya, terlebih dahulu negara itu harus melalui tahap pengakuan dari
negara-negara lain. Namun hal ini tidak berarti bahwa tanpa pengakuan dari
negara-negara lain suatu negara baru tidak dapat melangsungkan hidupnya.197
Pada hakekatnya pengakuan itu merupakan suatu jaminan bahwa suatu
negara baru dapat menduduki tempatnya yang wajar sebagai suatu organisasi
politik yang merdeka dan berdaulat di tengah-tengah keluarga bangsa-bangsa,
sehingga dengan demikian negara itu secara aman dan mantap dapat
mengadakan berbagai hubungan dengan negara-negara lainnya, tanpa
mengkhawatirkan bahwa kedudukannya sebagai kesatuan politik akan terganggu
oleh eksistensi negara-negara lain198. Dari beberapa pendapat sarjana, ada 3
(tiga) teori yang muncul terkait pengakuan :
1. Teori Deklaratif
2. Teori Konstitutif
3. Teori Pemisah atau Jalan Tengah.
Menurut penganut Teori Deklaratif di atas, pengakuan hanyalah sebuah
pernyataan formal saja bahwa suatu negara telah lahir atau ada. Artinya, ada atau
tidaknya pengakuan tidak mempunyai akibat apa pun terhadap keberadaan suatu
negara sebagai subjek hukum internasional.
Pengakuan merupakan bagian dari hukum internasional yang paling sulit.
Kesulitan ini menyangkut pertentangan dalam menetapkan asas-asas umum yang
memenuhi syarat obyektif bagi semua negara, tidak adanya lembaga atau
kekuatan supra natural yang berwenang mengatur dan mengawasi pelaksanaan
pengakuan, dan kepentingan nasional dari setiap negara yang berbenturan
dengan masalah pengakuan. Kondisi di atas telah sangat mempengaruhi sikap
dan tindakan dari setiap negara dalam menghadapi soal pengakuan.
Nilai-nilai subyektif lebih dominan daripada nilai-nilai obyektif dalam
menentukan layak atau tidak layaknya suatu pengakuan diberikan atau tidak
diberikan. Sehingga kenyataan politiklah yang mengemuka didalam tindakan
suatu negara dalam pengakuan. Hal ini dapat difahami sebab tujuan politik dalam
pengakuan ini tidak lepas dari upaya suatu negara untuk mengejar kepentingan
nasionalnya. Mengenai asas atau teori yang dijadikan landasan dalam persoalan
pengakuan juga telah menimbulkan perdebatan yang tidak henti-hentinya diantara
para sarjana hukum internasional sampai hari ini. Tidak ada titik temu teori
manakah yang dinilai obyektif diantara teori-teori yang ada. Perbedaan sudut
pandang teoritis ini pada gilirannya juga mempengaruhi sikap negara-negara
dalam menghadapi soal pengakuan. Banyak negara yang tidak konsisten
memegang prinsip pengakuan ini .
Konvensi Montevideo tahun 1933 dapat dilihat memakai teori
Deklaratif dalam soal pengakuan, sebagaimana tersirat dalam pasal 3 :
“The political existence of the state is independent recognition by the other
state. Even before recognition the state has the right to defend its integrity and
independence to provide for its conservation and prosperity and consequently,
to organize itself as it sees fit, to legislate upon its interest, administer its
services, and to define the jurisdiction and competence of its courts”201.
Berbeda dengan penganut Teori Deklaratoir, menurut penganut Teori
Konstitutif, pengakuan justru sangat penting. Hanya tindakan pengakuanlah yang
menciptakan status kenegaraan atau yang melengkapi pemerintah baru dengan
otoritasnya di lingkungan internasional202. Teori Konstitutif mengajarkan bahwa
meskipun negara dapat berdiri sebagai fakta, tetapi ia baru dianggap ada dalam
hukum internasional setelah diakui oleh negara-negara lain. Hal ini sesuai dengan
paham yang dianut oleh Oppenheim-Lauterpacht, dimana beliau menekankan
bahwa suatu negara itu ada dan hanya melalui pengakuan dapat menjadi pribadi
internasional (a state is and becomes an international person throught recognition
only, and exclusively). Beliau menambahkan bahwa meskipun pemberian
pengakuan itu sepenuhnya merupakan diskreasi dari negara yang
memberikannya, tindakan itu bukanlah tindakan semena-mena, melainkan
pengakuan ataupun penolakan itu harus didasarkan pada prinsip hukum. Prinsip
ini ialah “....certain conditions of fact....impose the duty of confer the right to
recognition”. Pengakuan itu memang konstitutif sifatnya, tetapi ada kewajiban
pada negara-negara yang telah ada, jika semua unsur kenegaraan pada negara
baru itu telah dipenuhi, barulah negara itu dapat diakui yang memang merupakan
haknya203. Pengakuan menciptakan penerimaan terhadap suatu negara sebagai
anggota masyarakat internasional. Artinya, pengakuan merupakan prasyarat bagi
ada-tidaknya kepribadian hukum internasional (international legal personality)
suatu negara.
Teori Deklaratif dan Konstitutif tidak sepenuhnya memuaskan beberapa
sarjana hukum internasional lainnya. Di satu pihak diakui bahwa suatu negara
dapat menjadi pribadi internasional tanpa pengakuan (teori deklaratif), namun
untuk dapat mempergunakan hak-hak sebagai pribadi internasional, negara
ini memerlukan pengakuan dari negara lainnya (teori konstitutif)204. sebab
adanya perbedaan pendapat yang bertolak belakang itulah lantas lahir teori yang
mencoba memberikan jalan tengah.
Pendukung teori Jalan Tengah antara lain Rivier, yang mengatakan bahwa
“pada hakekatnya menganggap pengakuan oleh negara-negara lain hanyalah
suatu pembenaran dan persetujuan terhadap suatu hal yang telah terjadi (fakta),
yang mulai saat itu mempunyai dasar hukum. Hal ini tidak berarti bahwa tanpa
adanya pengakuan oleh negara lain hak dan atribut yang telah dimiliki oleh negara
ini menjadi hilang (lepas), melainkan hanya setelah mendapat pengakuan
maka pemakaian hak ini menjadi terjamin. Hubungan politik yang teratur
hanyalah dengan negara-negara yang saling mengakui”
Teori ini juga disebut Teori Pemisah sebab , menurut teori ini, harus
dipisahkan antara kepribadian hukum suatu negara dan pelaksanaan hak dan
kewajiban dari pribadi hukum itu. Untuk menjadi sebuah pribadi hukum, suatu
negara tidak memerlukan pengakuan. Namun, agar pribadi hukum itu dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hukum internasional maka diperlukan
pengakuan oleh negara-negara lain.
. Macam atau Jenis Pengakuan
Ada dua macam atau jenis pengakuan, yaitu :
1. Pengakuan de Facto; dan
2. Pengakuan de Jure.
Pengakuan de facto, berarti bahwa menurut negara yang mengakui, untuk
sementara dan secara temporer serta dengan segala reservasi yang layak di
masa mendatang, bahwa negara atau pemerintah yang diakui telah memenuhi
syarat berdasar fakta206. Oleh sebab itu, bertahan atau tidaknya pengakuan
ini tergantung pada fakta itu sendiri, apa fakta itu (yakni negara yang diberi
pengakuan tadi) bisa bertahan atau tidak. Dengan demikian, pengakuan ini
bersifat sementara. sebab sifatnya hanya memberikan pengakuan terhadap
suatu fakta maka pengakuan ini tidak perlu mempersoalkan sah atau tidaknya
pihak yang diakui itu. Bilamana negara yang diakui (atau fakta itu) ternyata tidak
bisa bertahan, maka pengakuan ini pun akan berakhir dengan sendirinya.
Berbeda dengan pengakuan de facto yang bersifat sementara, pengakuan
de jure yaitu pengakuan yang bersifat permanen. Pengakuan de jure berarti
bahwa menurut negara yang mengakui, negara atau pemerintah yang diakui
secara formal telah memenuhi persyaratan yang ditentukan hukum internasional
untuk dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat internasional207.
Pengakuan ini diberikan apabila negara yang akan memberikan pengakuan itu
sudah yakin betul bahwa suatu negara yang baru lahir itu akan bisa bertahan.
Oleh sebab itu, biasanya suatu negara akan memberikan pengakuan de facto
terlebih dahulu baru kemudian de jure. Namun tidak selalu harus demikian. Sebab
bisa saja suatu negara, tanpa melalui pemberian pengakuan de facto, langsung
memberikan pengakuan de jure. Biasanya pengakuan de jure akan diberikan
apabila :
- Penguasa di negara (baru) itu benar-benar menguasai (secara formal maupun
substansial) wilayah dan rakyat yang berada di bawah kekuasaannya;
- Rakyat di negara itu, sebagian besar, mengakui dan menerima penguasa
(baru) itu;
- Ada kesediaan dari pihak yang akan diakui itu untuk menghormati hukum
internasional.
. Cara Pemberian Pengakuan dan Penarikan Kembali Pengakuan
Ada dua cara pemberian pengakuan, yaitu :
1. Secara tegas (expressed recognition); dan
2. Secara diam-diam atau secara tidak tegas (implied recognition).
Pengakuan secara tegas maksudnya, pengakuan itu diberikan secara tegas
melalui suatu pernyataan resmi (yang berupa Nota Diplomatik, note verbale,
pesan pribadi kepala negara atau menteri luar negeri, pernyataan Parlemen, atau
dengan Traktat)208. sedang pengakuan secara diam-diam atau tidak tegas
maksudnya yaitu bahwa adanya pengakuan itu dapat disimpulkan dari tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh suatu negara (yang mengakui) terhadap negara
baru atau pemerintah baru209. Beberapa tindakan atau peristiwa yang dapat
dianggap sebagai pemberian pengakuan secara diam-diam yaitu :
- Pembukaan hubungan kerjasama di bidang perdagangan (dengan negara
yang diakui secara diam-diam itu), contohnya : pemerintah Indonesia
membuka hubungan dagang dengan Taiwan;
- Kunjungan resmi seorang kepala negara (ke negara yang diakui secara
diam-diam itu);
- Pembuatan persetujuan dan/atau perundingan (dengan negara yang diakui
secara diam-diam).
Secara umum dikatakan bahwa pengakuan diberikan harus dengan
kepastian. Artinya, pihak yang memberi pengakuan terlebih dahulu harus yakin
bahwa pihak yang akan diberi pengakuan itu telah benar-benar memenuhi
kualifikasi sebagai pribadi internasional atau memiliki kepribadian hukum
internasional (international legal personality). Sehingga, apabila pengakuan itu
diberikan maka pengakuan itu akan berlaku untuk selamanya dalam pengertian
selama pihak yang diakui itu tidak kehilangan kualifikasinya sebagai pribadi
hukum menurut hukum internasional.
Dalam kasus-kasus seperti ini praktek-praktek pengakuan yang dilakukan
oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat, membuktikan bahwa
pengakuan itu diberikan bukan berdasar pertimbangan kelayakan secara
hukum, melainkan berdasar kepentingan politik. sebab itu kita banyak
menemukan tindakan pemberian pengakuan yang terburu-buru (kasus Israel dan
Panama) dan penolakan pemberian pengakuan yang berlarut-larut (kasus RRC
dan Uni Sovyet). Negara-negara Amerika Latin dan Amerika Tengah banyak
mengalami kesulitan akibat dari tindakan pemberian pengakuan oleh negara-
negara besar seperti Amerika. Pengakuan prematur Amerika terhadap Panama
yang memisahkan diri dari Mexico dan penangguhan pemberian pengakuan
terhadap rejim Oregon di Mexico yang sesungguhnya telah memenuhi syarat
untuk diakui dapat dinilai sebagai campur tangan atas urusan negara lain210.
Terputusnya hubungan dengan negara atau pemerintah yang sebelumnya
telah diakui, pada umumnya tidak disertai dengan penarikan kembali pengakuan.
Suatu pemutusan resmi hubungan diplomatik dapat dinyatakan, akan tetapi
negara atau pemerintah yang sekalinya pernah diakui tidak akan kehilangan
statusnya dalam masyarakat internasional.211 Pengakuan, sebagaimana nampak
dalam praktek negara-negara, lebih banyak merupakan persoalan politik daripada
persoalan hukum, atau setidak-tidaknya masalah pengakuan terletak pada
ambang batas antara politik dan hukum
Namun, disebab kan pengakuan itu membawa implikasi terhadap masalah-
masalah hukum internasional, hukum nasional, bahkan juga putusan-putusan
badan peradilan internasional maupun nasional, bagian terbesar ahli hukum
internasional menjadikan pengakuan sebagai bagian dari pembahasan hukum
internasional, khususnya dalam kaitannya dengan substansi pembahasan tentang
negara sebagai subjek hukum internasional.
. Bentuk-Bentuk Pengakuan
Dalam sub bab sebelumnya telah dibahas pengakuan terhadap suatu
negara. Dalam praktik hubungan internasional hingga saat ini, pengakuan ternyata
bukan hanya diberikan terhadap suatu negara. Ada berbagai macam bentuk
pemberian pengakuan, yakni (termasuk pengakuan terhadap suatu negara):
1. Pengakuan negara baru. Jelas, pengakuan ini diberikan kepada suatu
negara
(entah berupa pengakuan de facto maupun de jure). Untuk mengakui suatu
Negara baru pada umumnya negara-negara memakai kriteria, antara lain
sebagai berikut :
a. Keyakinan adanya stabilitas di Negara ini
b. Dukungan umum dari Masyarakat atau Penduduk
c. Kesanggupan dan kemauan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
Internasional
2. Pengakuan pemerintah baru. Dalam hal ini dipisahkan antara pengakuan
terhadap negara dan pengakuan terhadap pemerintahnya (yang berkuasa).
Hal ini biasanya terjadi jika corak sistem pemerintahan yang lama dan yang
baru ada perbedaan yang kuat.
3. Pengakuan sebagai pemberontak dan/atau belligerency.
Bila di suatu negara terjadi pemberontakan dan pemberontakan ini
telah memecah belah kesatuan nasional dan efektifitas pemerintahan maka
keadaan ini menempatkan negara-negara ketiga dalam keadaan yang sulit
terutama dalam melindungi kepentingannya di negara ini . Dalam keadaan
seperti ini lahirlah sistem pengakuan belligerency. Negara-negara ketiga dalam
sikapnya membatasi diri hanya sekedar mencatat bahwa para pemberontak
tidak kalah dan telah menguasai sebagian wilayah nasional dan mempunyai
kekuasaan secara fakta. Bentuk pengakuan ini telah dilakukan beberapa kali di
masa lampau oleh Amerika Serikat dan juga Inggris. Contoh yang pernah
terkenal yaitu pengakuan belligerency yang diberikan kepada orang-orang
Selatan di Amerika Serikat pada waktu perang saudara oleh Perancis dan
Inggris serta negara-negara Eropa lainnya, Sifat pengakuan belligerency ini
lebih kuat daripada pengakuan sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan
bilamana pemberontak itu telah demikian kuatnya sehingga seolah-olah ada
dua pemerintahan yang sedang bertarung. Konsekuensi dari pemberian
pengakuan ini, antara lain, beligeren dapat memasuki pelabuhan negara yang
mengakui, dapat mengadakan pinjaman, dan lain-lain.
4. Pengakuan hak-hak teritorial dan situasi internasional baru (sesungguhnya
isinya yaitu “tidak mengakui hak-hak dan situasi internasional baru”).
Bentuk pengakuan ini bermula dari peristiwa penyerbuan Jepang ke Cina.
Peristiwanya terjadi pada tahun 1931 di mana Jepang menyerbu Manchuria,
salah satu provinsi Cina, dan mendirikan negara boneka di sana (Manchukuo).
Padahal Jepang yaitu salah satu negara penandatangan Perjanjian
Perdamaian Paris 1928 (juga dikenal sebagai Kellogg-Briand Pact atau Paris
Pact), sebuah perjanjian pengakhiran perang. Dalam perjanjian itu ada
ketentuan yang menegaskan bahwa negara-negara penandatangan sepakat
untuk menolak pemakaian perang sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan
politik. Dengan demikian maka penyerbuan Jepang itu jelas bertentangan
dengan perjanjian yang ikut ditandatanganinya. Oleh sebab itulah, penyerbuan
Jepang ke Manchuria itu diprotes keras oleh Amerika Serikat melalui menteri
luar negerinya, Stimson, yang menyatakan bahwa Amerika Serikat “tidak
mengakui hak-hak teritorial dan situasi internasional baru” yang ditimbulkan
oleh penyerbuan itu. Inilah sebabnya pengakuan ini juga dikenal sebagai
Stimson‟s Doctrine of Non-Recognition.
Pengertian Yurisdiksi
Dilihat dari asal katanya, yurisdiksi (jurisdiction), menurut Merriam-
Webster‟s Dictionary of Law, berasal dari kata dalam Bahasa Latin “jurisdictio”
yang sesungguhnya terdiri atas dua kata yaitu “juris” (yang merupakan genitif dari
“jus”) yang berarti hukum dan “dictio” (dari kata “dicere”, mengatakan) yang berarti
“tindakan atau perbuatan mengatakan”.
Dalam Merriam-Webster‟s Dictionary of Law dijelaskan bahwa yurisdiksi
mengandung 3 (tiga) pengertian, yaitu:
(1) Kekuasaan, hak, atau kewenangan untuk menafsirkan, menerapkan, dan
menyatakan hukum;
(2) Kewenangan (pada negara) memerintah atau membuat peraturan;
(3) Batas-batas atau wilayah di mana kewenangan dapat dilaksanakan.
sedang menurut Black‟s Law Dictionary, disebutkan bahwa yurisdiksi
mengandung 4 (empat) pengertian, yaitu:
(1) Kekuasaan umum yang dimiliki pemerintah untuk melaksanakan
kewenangan atas orang dan hal-hal yang berada dalam wilayahnya;
(2) Kekuasaan suatu pengadilan untuk memutus suatu kasus atau
mengeluarkan keputusan/dekrit;
(3) Suatu wilayah geografis di mana kewenangan politik atau kehakiman dapat
dilaksanakan;
(4) Suatu subdivisi politis atau yudisial di dalam wilayah yang disebutkan di
atas.
Sementara itu, menurut Encyclopedia Americana, kata “jurisdiction”
(yurisdiksi) dijelaskan sebagai berikut:
“Jurisdiction, in law, a term for power or authority. It is usually applied to
courts and quacy judicial bodies, describing the scope of their right to act.
As applied to a state or a nation, the term means the authority to declare
and enforce the law”
Bila diartikan dalam Bahasa Indonesia yaitu sebagai berikut:
Yurisdiksi, dalam hukum, suatu istilah untuk kekuasaan atau
kewenangan. Istilah itu biasanya diterapkan pada pengadilan dan badan-
badan kuasi pengadilan, yang menguraikan ruang lingkup hak untuk
bertindak dari pengadilan atau badan-badan kuasi pengadilan ini .
Jika diterapkan pada suatu negara atau suatu bangsa, istilah ini
berarti kewenangan untuk menyatakan dan memaksakan berlakunya
hukum.
Dengan uraian singkat di atas maka, dilihat dari asal katanya, kiranya telah
cukup tergambar ruang lingkup pengertian yurisdiksi dimaksud, yaitu hak atau
kekuasaan atau kewenangan menurut hukum atau berdasar hukum. Kata
kuncinya terletak pada frase “berdasar hukum” itu, bukan berdasar
paksaan. Dalam hubungan dengan kuliah ini, maka secara ringkas dapat
dikatakan bahwa pengertian yurisdiksi negara yaitu mengacu pada kewenangan
negara untuk menyatakan dan memberlakukan atau memaksakan berlakunya
hukum negara yang bersangkutan.
. Hubungan Yurisdiksi Negara dengan Kedaulatan Negara
Kedaulatan negara, sebagaimana telah disinggung pada bagian
pendahuluan kuliah ini, berarti kekuasaan tertinggi. Dengan demikian dalam istilah
“kekuasaan tertinggi” itu terkandung dua makna: pertama, tidak ada lagi
kekuasaan lain yang lebih tinggi darinya; kedua, tidak ada kekuasaan tandingan
terhadapnya (kekuasaan itu). Sehingga, suatu negara dikatakan berdaulat jika ia
tidak tunduk kepada kekuasaan negara lain. Pengertian kedaulatan sebagai
kekuasaan tertinggi itu, sekali lagi, tidaklah berarti bahwa kekuasaan itu tidak
terbatas. Batas kedaulatan suatu negara yaitu kedaulatan negara lain dan
hukum.
Dengan demikian, kedaulatan negara itu mengandung dua segi atau aspek
yaitu pertama, aspek ke dalam (internal) yakni kekuasaan tertinggi untuk
mengatur segala hal yang ada atau terjadi dalam batas-batas wilayah negara itu;
kedua, aspek ke luar (eksternal) yakni kekuasaan tertinggi negara itu untuk
mengadakan hubungan dengan anggota masyarakat internasional lainnya dan
untuk mengatur segala sesuatu yang meskipun berada atau terjadi di luar
wilayahnya namun ada kaitannya dengan kepentingan negara itu.
Yurisdiksi merupakan atribut kedaulatan negara. Sebuah yurisdiksi negara
mengacu pada kompetensi negara untuk mengatur orang dan harta benda di
wilayah negaranya berdasar hukum nasional. sebab suatu negara
memiliki kedaulatan atau kekuasaan tertinggi itulah maka darinya turun hak -
/kekuasaan /- kewenangan untuk mengatur hal-hal internal maupun eksternal
negara itu. Dari konstruksi pemikiran inilah lahir yurisdiksi negara. Dengan kata
lain, yurisdiksi negara diturunkan dari kedaulatan yang dimiliki negara itu. Jadi,
hanya suatu negara yang berdaulatlah yang memiliki yurisdiksi.
. Jenis-jenis Yurisdiksi Negara
Yurisdiksi negara dapat dilihat dari bermacam-macam perspektif atau sudut
pandang. Dari perspektif yang bermacam-macam itu kemudian kita dapat
menemukan penggolongan atau jenis-jenis yurisdiksi negara. Perspektif atau
sudut pandang dimaksud, antaranya:
a. Dari perspektif ini, yurisdiksi negara dapat digolongkan menjadi:
i. Yurisdiksi Llegislatif, yaitu yurisdiksi suatu negara untuk membuat
atau menetapkan suatu peraturan perundang-undangan untuk
mengatur suatu objek (yang tidak semata-mata bersifat domestik
atau dalam negeri).
ii. Yurisdiksi Eeksekutif atau yurisdiksi administratif, yaitu hak,
kekuasaan atau kewenangan suatu negara untuk melaksanakan
peraturan perundang-undangan nasionalnya terhadap suatu objek
yang tidak semata-mata bersifat domestik.
iii. Yurisdiksi Yyudikatif, yaitu yurisdiksi suatu negara untuk mengadili
pelanggar peraturan perundang-undangannya. Yurisdiksi yudikatif
juga menyangkut kekuatan pengadilan suatu negara untuk
memeriksa kasus yang mengandung faktor asing. Ada beberapa
landasan di mana pengadilan negara dapat mengklaim menjalankan
yurisdiksi ini . Dalam masalah pidana, hal ini berkisar dari
prinsip teritorial hingga prinsip universalitas dan masalah perdata
dari keberadaan terdakwa di negara ini sampai kewarganegaraan
dan prinsip domisili.
b. Dari perspektif objek yang diatur (yang dapat berupa orang, benda,
masalah, hal, atau peristiwa), yurisdiksi negara dapat digolongkan menjadi:
i. Yurisdiksi Personal (jurisdiction in personal), yaitu yurisdiksi suatu
negara atas orang atau subjek hukum tertentu. Penekanan yurisdiksi
ini yaitu pada subjek hukum (baik berupa orang maupun badan
hukum) yang dapat ditundukkan pada yurisdiksi ini .
ii. Yurisdiksi Kebendaan (jurisdiction in rem), yaitu yurisdiksi negara
untuk mengatur serta menerapkan hukumnya atas suatu benda yang
berada di suatu tempat tertentu. Penekanan yurisdiksi ini yaitu
pada bendanya sendiri, bukan tempatnya. Suatu benda yang berada
dalam wilayah suatu negara, ia tidaklah digolongkan ke dalam
yurisdiksi kebendaan. Sebab, terhadap kasus seperti itu sudah pasti
berlaku yurisdiksi teritorial atau yurisdiksi wilayah dari negara yang
bersangkutan. Dengan demikian, yang dimaksud benda dalam
yurisdiksi ini yaitu benda yang berada di luar wilayah suatu negara
namun ada kaitannya dengan negara itu.
iii. Yurisdiksi Pidana atau Yurisdiksi Kriminal (criminal jurisdiction), yaitu
yurisdiksi suatu negara untuk memberlakukan hukum pidananya
terhadap suatu tindak pidana tertentu.
iv. Yurisdiksi Sipil atau Perdata (civil jurisdiction), yurisdiksi negara
untuk menerapkan hukum perdatanya terhadap suatu peristiwa
perdata tertentu yang terjadi di suatu tempat tertentu.
c. Dari perspektif ruang atau tempat objek yang diaturnya, yurisdiksi dapat
digolongkan menjadi:
i. Yurisdiksi Teritorial atau Yurisdiksi Wilayah (territorial jurisdiction), yaitu
yurisdiksi negara untuk mengatur dan menerapkan hukumnya terhadap
objek (yang dapat berupa masalah, benda, orang, atau peristiwa) yang
berada dalam wilayahnya. Wilayah suatu negara mencakup wilayah
darat, laut, maupun udara.
Konsep yurisdiksi teritorial menjadi lebih luas daripada yang
pertama kali muncul, sebab tidak hanya mencakup kejahatan yang
dilakukan di wilayah negara tetapi juga untuk kejahatan yang hanya
sebagian terjadi di bagian wilayah suatu negara, contoh di mana
seseorang menembakkan senjata ke seberang perbatasan yang
mengakibatkan terbunuhnya seseorang.
Namun, dalam hubungan dengan yurisdiksi teritorial ini ada
beberapa hal yang menjadi pengecualian. Artinya, terhadap hal-hal
ini tidak berlaku yurisdiksi teritorial suatu negara, yaitu:
a) Kepala negara atau kepala pemerintahan negara asing yang sedang
berada dalam wilayah suatu negara;
b) Kepala dan staf diplomatik dan konsuler negara asing yang sedang
menjalankan tugasnya dalam suatu negara;
c) Angkatan bersenjata negara asing yang sedang menjalan tugas atau
misi kenegaraan di suatu negara;
d) Kepala dan staf lembaga-lembaga atau organisasi internasional
yang bertugas di suatu negara;
e) Gedung-gedung atau kantor-kantor perwakilan diplomatik (diplomatic
premises) negara asing di suatu negara, termasuk area yang
dipakai untuk keperluan misi diplomatik negara asing ini
beserta arsip-arsipnya;
f) Gedung-gedung atau kantor-kantor pusat maupun kantor perwakilan
dari organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga internasional
beserta segenap arsip-arsipnya;
g) Kapal-kapal dan pesawat udara publik milik negara asing yang
sedang berada di wilayah suatu negara.
ii. Yurisdiksi Kuasi-Teritorial atau Yurisdiksi Teritorial Semu (quasi-
territorial jurisdiction), yaitu yurisdiksi suatu negara terhadap objek
(masalah, orang, benda, peristiwa) yang berada di suatu tempat yang
sesungguhnya bukan merupakan wilayah negara yang bersangkutan
namun berdekatan atau bersambungan dengan wilayah negara itu. Hal
ini dapat terjadi jika
wilayah suatu negara sedemikian rupa keadaannya sehingga dalam
praktik sangat sukar untuk menentukan di mana sesungguhnya batas
wilayah negara yang bersangkutan. Ini mungkin terjadi di mana sebuah
negara melakukan kontrol oleh kekuatan militernya di atas sebidang
tanah di luar wilayahnya yang tepat.
Meskipun yurisdiksi kuasi-teritorial ini mungkin tidak pernah dilihat
sebagai dasar yurisdiksi atas anggota militer yang bertugas di wilayah
ini , masalah akan timbul apabila berkaitan dengan warga sipil
terkait.
iii. Yurisdiksi Ekstra-teritorial (extraterritorial jurisdiction), yaitu yurisdiksi
negara terhadap suatu tempat atau daerah yang jauh berada di luar
wilayahnya. contoh laut lepas (high seas), ruang udara internasional
atau ruang udara bebas (international air space), wilayah atau area
yang statusnya disamakan dengan laut lepas atau ruang udara bebas
(contoh Kutub Utara dan Kutub Selatan). Wilayah-wilayah ini
memiliki ketentuan hukum masing-masing berdasar hukum
internasional.225
iv.Yurisdiksi Universal (universal jurisdiction), yaitu yurisdiksi yangdimiliki
oleh semua negara terhadap suatu hal atau peristiwa tertentu
mengingat kekhasan atau kekhususan hal atau peristiwa ini . Hal-
hal atau peristiwa yang ditundukkan pada yurisdiksi ini, antara lain,
jenis-jenis kejahatan yang dianggap sebagai musuh seluruh umat
manusia (hostis humani generis). contoh perdagangan budak,
pembajakan di laut, perdagangan gelap narkotika dan bahan-bahan
psikotropika (narcotics and psychotropic substances), kejahatan
genosida, kejahatan perang, pembajakan pesawat udara atau kejahatan
penerbangan. Contoh penerapan yurisdiksi universal ini dapat dilihat
pada Pengadilan Nurembergyang mengadili para pelaku kejahatan
perang pada perang dunia kedua. Keputusan Nuremberg menetapkan
konsep yurisdiksi universal untuk pelanggaran hukum pidana
internasional tertentu.
Setelah yurisdiksi universal ini dibayangi oleh Perang Dingin, pada
tahun 1961 kembali terjadi penegasan prinsip yurisdiksi universal
melalui kasus Attorney General of Israel v. Eichmann. Adolf Eichmann
yaitu seorang letnan kolonel di SS yang paling bertanggung jawab
untuk mengokupasi orang-orang Yahudi yang didominasi NAZI di
seluruh Eropa untuk dibawa ke pusat-pusat pembantaian di Eropa
Timur khususnya Polandia. Selama dua dekade Eichmann sempat
kabur ke Argentina namun kemudian tertangkap pada tahun 1960 oleh
tentara khusus Israel dan dibawa ke Israel untuk diadili di Pengadilan
Yerusalem. Pengadilan memutuskan kejahatan yang dilakukan oleh
Eichmann bukan hanya kejahatan berdasar hukum Israel saja
sebab telah menyerang umat manusia dan mengusik nurani bangsa-
bangsa, hal ini merupakan pelanggaran berat terhadap hukum
negara-negara. Pengadilan menegaskan yurisdiksi untuk mengadili
kejahatan berdasar hukum internasional bersifat universal.
v. Yurisdiksi Eeksklusif. Yurisdiksi negara ini lahir dalam sejarah
perkembangan hukum laut internasional yang didorong oleh keinginan
dan kemampuan negara-negara untuk mengeksplorasi dasar laut (sea
bed) dan tanah yang berada di bawahnya untuk kemudian dieksploitasi
sumber daya alam yang ada di dalamnya. Jadi, yang dimaksud dengan
yurisdiksi ini yaitu diberikan hak atau kewenangan eksklusif kepada
suatu negara tertentu (oleh hukum internasional) untuk mengeksploitasi
atau mengambil manfaat ekonomi suatu area laut tertentu, seperti di
landas kontinen (continental shelf), di zona ekonomi eksklusif (exclusive
economic zone) bagi negara-negara yang memiliki wilayah laut.228
4.4. Yurisdiksi Negara dan Ekstradisi
Salah satu masalah penting yang berkait dengan persoalan yurisdiksi
negara dalam hukum internasional yaitu masalah ekstradisi (extradition).
Masalah ekstradisi ini timbul tatkala seorang pelaku kejahatan melarikan diri ke
suatu negara dengan maksud untuk menghindari tuntutan hukum atau hukuman
dari negara yang memiliki yurisdiksi baik atas orangnya maupun perbuatan orang
ini . Negara yang memiliki yurisdiksi ini tidak dapat begitu saja
mengambil atau menangkap orang yang bersangkutan sebab ia telah berada di
wilayah negara lain. Sebab, jika tindakan demikian dilakukan maka hal itu
merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan negara lain di mana hal itu dilarang
oleh hukum internasional. Dalam hukum internasional dikenal satu asas penting
yaitu par im parem non habet imperium, artinya suatu negara berdaulat dilarang
melakukan tindakan yang bersifat pelaksanaan kedaulatan terhadap negara
berdaulat lainnya. Dalam keadaan demikianlah lahir masalah ekstradisi di mana
negara yang memiliki yurisdiksi baik atas orang maupun perbuatan orang itu dapat
mengajukan permintaan kepada negara tempat orang ini berada untuk
menyerahkan orang itu dengan maksud agar orang ini dapat diadili (dalam
hal orang dimaksud berstatus terdakwa atau tersangka) atau dihukum (dalam hal
orang dimaksud telah berstatus terhukum atau terpidana). Ekstradisi dapat
dilaksanakan dengan berdasar perjanjian bilateral. (Tentang ekstradisi
secara khusus akan dijelaskan pada bab selanjutnya).
Analisa kasus klasik Lotus Case di bawah ini dengan melaksanakan seven
jumps approach!
Lotus Case yaitu sebuah kasus klasik dalam hukum internasional yang
terkait dengan yurisdiksi kasus ini terjadi antara Prancis dan Turki. Kasus ini
diselesaikan di Permanent Court of International Justice (PCIJ) pada tahun 1927
sebab kedua negara sepakat untuk menyelesaikan persengketaan mereka di
sana. Pernyataan Turki atas yurisdiksi warga negara Prancis yang merupakan
perwira pertama sebuah kapal yang bertabrakan dengan kapal Turki di laut lepas
ditentang oleh Prancis dan dinyatakan sebagai pelanggaran hukum internasional.
Kasus yang melibatkan kedua negara ini yaitu tabrakan antara kapal
Prancis Lotus dan kapal Turki Boz-Kourt yang terjadi sesaat sebelum tengah
malam pada tanggal 2 Agustus 1926. Kapal Perancis itu dikepalai oleh seorang
warga Prancis dengan nama Demons sementara kapal Turki Boz-Kourt dikepalai
oleh Hassan Bey. Turki kehilangan delapan orang setelah kapal mereka terbagi
dua dan tenggelam akibat tabrakan ini . Lotus melakukan semua yang bisa
dilakukan kekuatannya untuk membantu kapal ini , Lotus melanjutkan
perjalanannya ke Konstantinopel dan tiba pada tanggal 3 Agustus. Pada tanggal 5
Agustus, Letnan Demons diminta oleh otoritas Turki untuk ke darat dan
memberikan bukti. Setelah Demons diperiksa, dia ditangkap tanpa pemberitahuan
kepada Konsul Jenderal Prancis dan Hassan Bey. Demons dihukum oleh
pengadilan Turki sebab kelalaiannya yang menyebabkan kecelakaan itu
terjadi.230
berdasar peristiwa ini yang menjadi permasalahan yaitu ,
apakah hukum internasional ada mengatur mengenai larangan suatu negara
untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya terhadap orang asing di luar yurisdiksi
nasional negaranya?
6.3.Study Task
Kasus kedua yang dipaparkan dalam bab ini yaitu Germany v Italy:
Greece intervening. Mahasiswa dapat melakukan study task untuk kasus ini.
Dalam keputusan ICJ pada tanggal 3 Februari 2012 tentang Yurisdiksi
Imunitas Negara dalam kasus intervensi terhadap Yunani yang melibatkan
Jerman vs Italia, menegaskan imunitas negara sebagai prinsip dasar dalam
hukum internasional, yang berasal dari kedaulatan negara dan dikonfirmasi
sebagai konsepsi tradisional hukum internasional. ICJ menjunjung tinggi
kewajiban hukum internasional untuk menghormati imunitas negara dalam kasus
perdata di depan pengadilan asing, bahkan dalam kasus-kasus yang melibatkan
pelanggaran hak asasi manusia berat dan hukum humaniter internasional. ICJ
menolak gagasan bahwa nilai-nilai tertentu dari masyarakat internasional, seperti
norma-norma hak asasi manusia dan standar hukum humaniter, dapat dijadikan
pertimbangan atas dasar kemanusiaan untuk dijadikan pengecualian terhadap
sistem hukum internasional berbasis kedaulatan tradisional dan penghapusan
imunitas negara berdaulat.
Singkatnya, ICJ berpendapat bahwa kegagalan Italia untuk mengakui
imunitas Jerman sehubungan dengan tindakan sipil terhadap Jerman merupakan
pelanggaran hukum internasional. Secara khusus, ICJ menemukan bahwa Italia
melanggar kewajibannya untuk menghormati imunitas Jerman berdasar
hukum internasional. Tindakan Itali ini yaitu: pertama, dengan membiarkan
klaim sipil; kedua, mengambil tindakan penegakan hukum dan yang ketiga,
menyatakan dapat diterapkannya keputusan pengadilan Yunani. Akibatnya, ICJ
memerintahkan Italia untuk memastikan bahwa keputusan dan tindakan yang
melanggar imunitas Jerman harus dihentikan.
. Definisi Ekstradisi
Di era globalisasi, perkembangan ilmu dan teknologi telah meningkatkan
mobilitas pergerakan manusia. Seseorang dapat mengawali aktivitasnya di
Jakarta, untuk kemudian bertransaksi bisnis di Singapura, dilanjutkan di Kuala
Lumpur, hingga pada akhirnya beristirahat di Bangkok. Rangkaian aktivitas ini
dapat dilaksanakan dalam waktu 12 Jam. Peningkatan mobilitas manusia ini tentu
tidak selalu memberikan dampak positif. Tidak tertutup kemungkinan seseorang
melakukan kejahatan dan/atau pelanggaran yang menimbulkan persoalan
yurisdiksi ekstra territorial. Sebagai ilustrasi, seseorang yang beraktivitas tadi
mungkin saja melakukan kejahatan online banking ketika berada di Singapura,
melakukan pencurian ketika berada di Kuala Lumpur dan melakukan tindakan
kecurangan credit card ketika berada di Bangkok.
Dengan masifnya perkembangan ilmu dan teknologi yang dalam derajat
tertentu diikuti dengan tingginya intensitas kejahatan melalui metode atau sarana
yang mutakhir, maka negara-negara tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dalam
menanggulangi model kejahatan seperti ini. Dibutuhkan kerjasama yang intensif,
baik melalui perjanjian-perjanjian internasional ataupun pengelolaan hubungan
yang harmonis antar negara di dunia.
Benar apabila setiap negara memiliki yurisdiksi atas semua orang yang
berada di wilayahnya. Benar bahwa negara ini memiliki hak untuk menghukum
orang yang melakukan suatu kejahatan dan/atau pelanggaran pidana di
wilayahnya. Namun adakah yang menjamin bahwa orang ini selalu berada
di wilayah negara ini ketika sedang dan/atau setelah melakukan tindakan
pidana ini ?.232
Di Indonesia, beberapa kasus berikut menjadi contoh sulitnya menghukum
pelaku tindak pidana apabila si pelaku kemudian tidak berada di wilayah Indonesia
setelah melakukan tindak pidananya. Pertama, Hendra Rahardja, mantan direktur
bank swasta yang melakukan tindakan koruptif terhadap Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI). Ia melarikan diri ke Australia dan sampai meninggal dunia.
Begitu pun Adrian Kiki yang proses pemulangannya memulai proses panjang dan
berliku setelah hampir 6 tahun melarikan diri ke Australia. ada pula terpidana
kasus Bank Century, Hartawan Aluwi yang melarikan diri ke Singapura dan baru
dapat dipulangkan ketika izin tetapnya dan juga paspornya habis masa
berlakunya.
Kompleksitas penegakan hukum terhadap kasus-kasus yang melibatkan
yurisdiksi ekstra territorial inilah yang membutuhkan kerjasama intensif antar-
negara baik dalam bentuk perjanjian internasional ataupun model kerjasama
lainnya agar setiap tindakan pindana dapat dikenakan hukuman yang layak dan
berkeadilan. sebab itu, ekstradisi menjadi sarana yang penting dalam upaya
hukum terhadap bentuk kasus seperti ini.
ada beragam definisi ekstradisi, baik yang diatur dalam konvensi
internasional ataupun doktrin para ahli, yaitu:
Pasal 1 (a) Harvard Research Draft Convention on Extradition “Extradition
is the formal surrender of a person by a State to another state for prosecution of
punishment.” (Terjemahan bebas: Ekstradisi yaitu penyerahan sevara resmi
seseorang oleh suatu negara kepada negara lainnya untuk menjalani hukuman).
Pasal 44 United Nations Convention against Corruption menyebutkan
definisi ekstradisi sebagai berikut: “extradition is present in the territory of the
requested state party, provided that the offence for which extradition is saught is
punishable under the domestic law of both the requesting state party and the
requested state party.” (Terjemahan bebas: Ekstradisi hadir di wilayah teritorial
negara yang diminta, dengan ketentuan bahwa kejahatan/pelanggaran dimana
ekstradisi itu diminta merupakan suatu kejahatan/pelanggaran yang dapat
dihukum oleh hukum nasional negara yang meminta dan negara yang dimintakan
ekstradisi).
L. Oppenheim menjelaskan ekstradisi sebagai:“Extradition is the delivery of
an accused or convicted individual to the state on whose territory he is alleged to
have committed, or to have been convicted of, a crime by the State on whose
territory the alleged criminal happens for the time to be .”233 (Terjemahan bebas:
Ekstradisi yaitu penyerahan seseorang terdakwa atau terpidana di wilayah suatu
negara dimana seseorang ini dituduhkan telah melakukan, atau telah
dipidana, sebuah kejahatan oleh negara yang wilayahnya merupakan tempat
dimana dugaan tindak pidana itu terjadi).
J. G. Starke kemudian mendefinisikan ekstradisi, yaitu:
(Terjemahan bebas: Istilah ekstradisi merujuk pada suatu proses dimana
melalui perjanjian internasional ataupun kesepakatan timbal balik, suatu negara
menyerahkan kepada negara lain, berdasar permintaan, seseorang tersangka
atau terdakwa dalam tindak pidana yang dilakukan di wilayah hukum negara yang
meminta yang memiliki kompetensi untuk mencoba menghukum pelaku).
Bassiouni lalu menjelaskan ekstradisi sebagai: “Extradition is a formal
process by which a person is surrendered by one state to another based on a
treaty, reciprocity, or comity, or on the basis of national legislation.”235
(Terjemahan bebas: Ekstradisi yaitu sebuah proses resmi dimana seseorang
diserahkan oleh suatu negara ke negara lainnya berdasar perjanjian
internasional, asas timbal balik, atau hubungan baik atau berdasar peraturan
nasional).
I Wayan Parthiana mendefiniskan ekstradisi sebagai:
“Ekstradisi yaitu penyerahan yang dilakukan secara formal, baik
berdasar perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau
berdasar prinsip timbal balik, atas seseorang yang dituduh
melakukan tindak pidana kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa)
atau atas seseorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan
yang dilakukannya (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya
melarikan diri atau berada atau bersembunyi, kepada Negara yang
memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya, atas
permintaan dari Negara ini dengan tujuan untuk mengadili
atau melaksanakan hukumannya.”236
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi
memberikan definisi sebagai berikut: ”penyerahan oleh suatu negara yang
meminta penyerahan yang disangka atau dipidana sebab melakukan suatu
kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi
wilayah negara yang meminta penyerahan ini sebab berwenang mengadili
dan menghukumnya.”
Dari serangkaian definisi diatas, ekstradisi menjadi sarana atau cara yang
efektif untuk menghukum pelaku tindak pidana yang melarikan diri setelah
melakukan perbuatannya untuk kemudian dibawa dan diadili di negara yang
berwenang. Tetapi ada permasalahan mendasar dimana belum ada
ketentuan hukum internasional yang mengharuskan tiap negara untuk membuat
perjanjian ekstradisi dengan negara lain.
Lalu timbul sebuah pertanyaan mengenai dampak mengikat suatu
perjanjian ekstradisi. Apakah hanya dengan perjanjian ekstradisi si pelaku tindak
pidana dapat diadili? Apakah lalu berarti tanpa adanya perjanjian ekstradisi si
pelaku dapat menghindar atau melarikan diri dari hukuman atas kejahatan yang ia
lakukan?
Grotius, berdasar teorinya aut punere aut dedere, menyebutkan bahwa
setiap negara yang diminta wajib menyerahkan pelaku kepada Negara Peminta,
kendati belum ada perjanjian ekstradisi antara kedua Negara ini . Grotius
berpedoman pada konstruksi pemikiran bahwa setiap pelaku kejahatan harus
dihukum.238 Sebaliknya, beberapa Ahli lainnya, contohnya Von Martens berasumsi
bahwa jika belum ada perjanjian ekstradisi, maka Negara yang diminta tidak
memiliki kewajiban untuk menyerahkan pelaku kejahatan kepada Negara
Peminta.239
Dari praktek negara-negara, ada negara yang bersedia menyerahkan
pelaku tindak pidana, kendatipun belum ada perjanjian ekstradisi. Sebagai
contoh yaitu Afrika Selatan, Kanada, dan Kolumbia. Sebaliknya, Negara-
negara yang hanya berkenan menyerahkan pelaku tindak pidana setelah ada
perjanjian ekstradisi yaitu Belanda, Ethiopia, Israel, dan Turki.
Pasal 2 ayat 2 Undang-undang No. 1 tahun 1979 menyatakan bahwa dapat
menyerahkan pelaku kejahatan kepada Negara Peminta berdasar hubungan baik. Dalam
kasus M. Nazaruddin, Kolombia mengijinkan Indonesia membawanya pulang walau tanpa melalui
proses perjanjian ekstradisi.
Dalam praktek di Indonesia, ada kasus dimana Indonesia menerima
permintaan ekstradisi tanpa melalui perjanjian ekstradisi, namun di kasus yang
lain, menolak permintaan ekstradisi sebab alasan belum adanya perjanjian
ekstradisi.
Lihat contoh kasus dimana Indonesia bersedia mengekstradisi pelaku
kejahatan tanpa melalui perjanjian ekstradisi:
https://www.merdeka.com/peristiwa/indonesia-ekstradisi-buronan-amerika-
tersangka-kasus-penipuan.html
Lihat pula contoh kasus dimana Indonesia menolak permintaan ekstradisi
tanpa adanya perjanjian ekstradisi terlebih dulu.
http://news.metrotvnews.com/read/2016/02/10/482063/indonesia-tolak-ekstradisi-
rusia
Indonesia sendiri memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara lain, seperti:
1. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Malaysia yang telah
diratifikasi melalui Undang-undang nomor 9 tahun 1974;
2. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Filipina 1976, yang telah
diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 10 tahun 1976;
3. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Thailand 1978, yang telah
diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 2 tahun 1978;
4. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Australia yang telah
diratifikasi melalui Undang-undang nomor 8 tahun 1994; dan
5. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Hongkong yang telah
diratifikasi melalui Undang-undang nomor 1 tahun 2001.
. Asas-Asas Umum Ekstradisi
. Asas Kejahatan Rangkap (Double Criminality Principle)
Pada hakekatnya, asas ini mensyaratkan suatu perbuatan pelaku yang
dimintakan ekstradisi harus terkualifikasi sebagai suatu tindak pidana, baik
menurut hukum pidana Negara yang meminta (Requesting State) dan Negara
yang diminta (Requested State).242 Mengingat perbedaan sistem hokum, ada
perbedaan dalam pengistilahan dan perumusan unsur-unsur tindak pidana.
Namun apabila baik Negara yang meminta dan Negara yang diminta telah sama-sama mengkualifikasikan suatu perbuatan pelaku sebagai tindak pidana, maka
syarat asas ini sepenuhnya terpenuhi.
Dalam prakteknya, untuk menghindari perbedaan penafsiran dan
ketidakjelasan rumusan, Negara-negara yang mengadakan perjanjian ekstradisi
memuat daftar tindak pidana yang dapat diekstradisi yang tercantum dalam
lampiran perjanjian ekstradisi ini . Di Indonesia, hal ini diatur dalam pasal 4
Undang-undang Ekstradisi No. 1 tahun 1979.
Lihat contoh kasus Indonesia mengekstradisi pelaku pembunuhan (sebab
pembunuhan terkualifikasi sebagai kejahatan baik oleh Indonesia
Asas Kekhususan (Principle of Speciality)
Pada saat pelaku telah diekstradisi oleh Negara yang diminta kepada
Negara yang meminta, maka asas ini mulai berfungsi. Dengan demikian, maka
pelaku ini tunduk pada yurisdiksi hokum Negara peminta (Requesting
State).244 berdasar asas ini, seorang pelaku yang telah diekstradisi hanya
dapat diadili atau dihukum berdasar tindak pidana yang dijadikan alasan oleh
Negara peminta untuk mengekstradisi pelaku ini . Sehingga Negara peminta
tidak boleh mengadilinya atas kejahatan lain di luar dari kejahatan yang dijadikan
sebagai dasar untuk pengekstradisiannya.245 Sebagai contoh, apabila Indonesia
ingin mengekstradisi si A sebab kasus korupsi, maka ketika Thailand setuju
mengekstradisi, maka Indonesia harus mengadili atau menghukum si A tadi
dengan kasus korupsi, bukan kasus/kejahatan lainnya.
Di Indonesia, asas kekhususan ini diatur dalam Pasal 15 Undang-undang
Ekstradisi Nomor 1 Tahun 1979 yang menyatakan bahwa” Permintaan ekstradisi
ditolak, jika orang yang dimintakan ekstradisi akan dituntut, dipidana, atau ditahan
sebab melakukan kejahatan lain daripada kejahatan yang sebab nya ia
dimintakan ekstradisinya, kecuali dengan izin Presiden.”
. Asas tidak menyerahkan warga negara (Non-extradition of Nationals)
Asas ini menyebutkan bahwa Negara yang diminta (requested state) dapat
menolak permintaan ekstradisi pelaku tindak pidana apabila ternyata pelaku
ini yaitu warga negara dari Negara yang diminta tadi. Asas ini didasarkan
pada pemikiran bahwa Negara memiliki kewajiban untuk melindungi warga
negaranya dan sebaliknya warga Negara berhak mendapatkan perlindungan dari
negaranya. 246 Dalam Undang-undang Ekstradisi Nomor 1 tahun 1979, hal ini
diatur dalam pasal 7.
Apabila negara yang diminta menolak permintaan ekstradisi, negara ini
tetap berkewajiban mengadili atau menghukum warga negaranya itu berdasar
pada hukum nasionalnya sendiri.
Lihat contoh kasus dimana Spanyol menolak permintaa Ekstradisi Indonesia
sebab pelaku kejahatan yaitu warga Negara Spanyol.
. Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (Non-extradition of
Political Criminal)
Pada hakekatnya, negara yang diminta (requested state) wajib menolak
permintaa ekstradisi apabila kejahatan yang didasarkan sebagai alasan
permintaan ekstradisi oleh negara yang meminta (requesting state) yaitu
kejahatan politik. Di Indonesia, pasal 5 Undang-undang Ekstradisi Nomor 1 Tahun
1979 mengatur ketentuan ini. Namun belum ada kesepahaman diantara para
ahli, maupun praktek negara-negara mengenai definisi kejahatan politik, serta
unsur-unsur yang mengikat didalamnya.
Asas non bis in idem atau ne bis in idem
Asas ini mensyaratkan bahwa pelaku kejahatan tidak boleh diadili atau
dihukum lebih dari sekali untuk suatu kejahatan yang sama.248 Terkait dengan
ekstradisi, jika pelaku kejahatan yang dimintakan diekstradisi ternyata sudah
pernah diadili untuk kejahatan ini baik di wilayah negara yang meminta
(requesting state) ataupun negara ketiga,dan telah berkekuatan hokum tetap,
maka negara yang diminta (requested state) wajib menolak permintaan ekstradisi
ini.249 Di Indonesia, ketentuan ini ada dalam pasal 10 Undang-undang
Ekstradisi Nomor 1 Tahun 1979.
. Asas Daluwarsa (Lapse Time)
Asas ini mensyaratkan bahwa apabila pelaksanaan hukuman terhadap
kejahatan yang dijadikan alasan permintaan ekstradisi atas seorang pelaku sudah
daluwarsa, berdasar hukum dari salah satu atau kedua belah pihak, maka
negara yang diminta (requested state) wajib menolak permintaan ekstradisi.250 Di
Indonesia, hal ini diatur dalam pasal 12 Undang-undang Ekstradisi Nomor 1
Tahun 1979.
. Masalah Kejahatan Politik dalam Ekstradisi
Sebagaimana telah disinggung di atas, kejahatan politik tidak boleh
dijadikan dasar untuk mengajukan permintaan ekstradisi. Artinya, jika suatu
negara menerima suatu permintaan ekstradisi yang didasarkan atas kejahatan
politik maka negara ini harus menolak permintaan ekstradisi itu.
Yang menjadi pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan kejahatan politik
itu? Pada awal perkembangannya, kejahatan politik hanya diartikan sebagai
kejahatan menentang pemerintah yang sah atau yang sedang berkuasa. Menurut
sejarahnya, konsepsi kejahatan politik lahir pada masa Revolusi Perancis (yang
kemudian berhasil meruntuhkan kekuasaan monarki absolut Raja Louis XVI dan
Louis XVII di Perancis). Sebelum itu tidak dikenal adanya konsepsi kejahatan
politik. Sehingga, meskipun saat itu sudah ada praktik ekstradisi, pelaku kejahatan
politik pun tidak dikecualikan.
Tatkala Perancis berada di bawah pemerintahan Raja Louis XVI dan Louis
XVII terjadi penindasan terhadap kebebasan dan hak asasi manusia. Oleh sebab
itu banyak orang yang menentangnya. Sebagian dari mereka ditangkap,
dipenjarakan, bahkan tidak sedikit yang dihukum mati. Sebagian lagi berhasil
melarikan diri ke luar ke negara-negara Eropa lainnya, terutama ke Inggris. Ketika
monarki absolut di Perancis berhasil dijatuhkan dan Perancis berubah menjadi
republik, di mana kebebasan dan hak asasi manusia dihormati, maka para
pelarian politik itu pulang kembali ke Perancis. Namun hingga saat itu, konsepsi
kejahatan politik belum lahir. Bahkan hingga tahun 1830 masih banyak pelaku
kejahatan politik diekstradisikan.
Salah seorang yang dianggap pelopor yang mencetuskan gagasan tidak
mengekstradisikan pelaku kejahatan politik yaitu Sir James Mackintosh, pada
tahun 1815. Ia bahkan mengatakan, pelaku kejahatan politik justru harus diberi
suaka politik. Namun, orang pertama yang membahas secara ilmiah prinsip tidak
mengekstradisikan pelaku kejahatan politik yaitu seorang sarjana Belanda yang
bernama Henricus Provo Kluit dalam disertasinya yang berjudul “De Deditoine
Profugorum” tahun 1829. Sementara itu, perjanjian ekstradisi pertama yang
tercatat mencantumkan ketentuan tidak mengekstradisikan pelaku kejahatan
politik yaitu perjanjian ekstradisi antara Perancis dan Belgia tahun 1834.
sedang , negara pertama yang mencantumkan ketentuan dalam undang-
undangnya untuk tidak mengekstradisikan pelaku kejahatan politik yaitu Belgia,
dalam undang-undang ekstradisinya tahun 1833.
Dasar pemikiran yang melandasi asas tidak mengekstradisikan pelaku
kejahatan politik yaitu bahwa menentang suatu rejim yang berkuasa sebab
memiliki keyakinan politik yang berbeda bukanlah kejahatan. Hal itu yaitu bagian
dari hak asasi yang harus dihormati. Dengan kata lain, asas tidak
mengekstradisikan pelaku kejahatan politik yaitu untuk menghormati hak asasi
manusia, yaitu hak untuk bebas menganut suatu keyakinan politik. Di samping itu,
ada pertimbangan lain yang bersifat praktis. Jika seseorang yang melakukan
perlawanan terhadap rejim yang berkuasa, sebab memiliki keyakinan politik yang
berbeda, dianggap sebagai kejahatan, sementara itu pada suatu ketika ternyata
orang itu berhasil menjatuhkan rejim itu dan berhasil memerintah, maka sangat
mungkin terjadi di mana justru rejim yang berhasil digulingkan itu yang akan
dianggap sebagai penjahat. Dalam keadaan demikian maka ukuran kejahatan itu
menjadi tidak jelas dan sekaligus tidak pasti sebab tergantung pada rejim yang
berkuasa.
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata muatan atau substasi kejahatan
politik itu tidak sesederhana yang diuraikan di atas. Acapkali terjadi suatu
kejahatan di samping mengandung unsur kejahatan biasa juga mengandung
unsur kejahatan politik sehingga ada kesulitan untuk menarik garis pemisah di
antara keduanya. Ada kejahatan yang sepintas tampak seperti kejahatan biasa
ternyata ada motif, latar belakang, maksud, dan tujuan politik di belakangnya.
Akibatnya, sangat sukar untuk memberikan perumusan yang jelas tentang isi dan
ruang lingkup kejahatan politik itu. Salah satu cara yang ditempuh kemudian
yaitu dengan membuat rincian tentang kejahatan-kejahatan apa saja yang
secara tegas dapat digolongkan sebagai kejahatan politik. Namun, usaha ini pun
kurang memuaskan sehingga hingga saat ini pun belum ada kesatuan pendapat di
kalangan ahli mengenai isi dan ruang lingkup kejahatan politik ini .
Perbedaan pendapat ini juga tercermin dalam praktik negara-negara.
Konvensi Ekstradisi Eropa 1957 (European Convention on Extradition),
Pasal 3 Ayat (1) dan (2) menggolongkan kejahatan politik menjadi tiga golongan
atau katagori, yaitu:
a) Kejahatan politik murni (purely political offence).
b) Kejahatan politik kompleks (de delit complexe);
c) Kejahatan politik yang bertautan (de delit connexe).
Menurut Ivan Anthony Shearer, penggolongan kejahatan yang dianut dalam
Konvensi Ekstradisi Eropa ini yaitu penggolongan kejahatan politik yang
umum dianut oleh para penulis Amerika Latin. Kejahatan politik murni yaitu
kejahatan yang semata-mata ditujukan pada ketertiban politik (an act solely
directed against political order). Sementara kejahatan politik kompleks yaitu
kejahatan yang di samping ditujukan kepada ketertiban politik juga terhadap hak-
hak pribadi warga negara. sedang kejahatan politik yang bertautan yaitu
bahwa kejahatan itu sendiri tidak ditujukan kepada suatu ketertiban politik namun
mempunyai hubungan erat dengan tindakan atau kejahatan lain yang ditujukan
kepada ketertiban politik.
Meskipun telah ada upaya untuk membuat penggolongan (sekaligus
pembedaan) jenis-jenis kejahatan politik, dalam praktik tetap tidak mudah
dilakukan pembedaan antara kejahatan politik dan kejahatan biasa, khususnya
menyangkut kejahatan politik kompleks dan kejahatan politik yang bertautan.
sebab itulah, pengadilan Swiss berusaha memperkenalkan suatu teori yang
bernama Teori Preponderance untuk membedakan kejahatan politik dengan
kejahatan biasa.
Menurut teori ini, dalam mempertimbangkan suatu kejahatan yang dijadikan
dasar permintaan ekstradisi, terlebih dahulu unsur mana yang lebih besar atau
lebih dominan, apakah unsur kejahatan biasa ataukah unsur kejahatan politiknya.
Jika dalam suatu kejahatan unsur kejahatan politiknya lebih menonjol maka
kejahatan ini harus dianggap sebagai kejahatan politik (dengan demikian
tidak boleh diekstradisikan). Demikian pula sebaliknya.
Meski tampaknya teori ini memberi jalan keluar, dalam praktik hal itu
ternyata tetap sukar untuk diterapkan. Sebab, contoh , dalam suatu kasus, unsur
kejahatan politknya secara kuantitatif memang kecil namun secara kualitatif justru
besar. Apakah ia akan digolongkan sebagai kejahatan politik ataukah kejahatan
biasa. Oleh sebab itu, pada akhirnya persoalan kejahatan politik ini tetap
bergantung pada praktik negara-negara.
. Klausula Attentat (Attentat Clause)
Pada saat ini, dalam berbagai perjanjian ekstradisi kerap dicantumkan
suatu klausula yang dinamakan Klausula Attentat (Attentat Clause). Suatu jenis
kejahatan yang meskipun secara jelas dapat digolongkan sebagai kejahatan
politik namun tidak dianggap sebagai kejahatan politik. Dengan kata lain, sifat
politik dari kejahatan itu dihilangkan atau dihapuskan. Tujuannya yaitu untuk
menghindari asas non extradition of political criminal, sehingga pelakunya tetap
dapat diekstradisikan.
Contoh kejahatan yang terhadapnya diberlakukan klausula demikian
contoh kejahatan menghilangkan nyawa atau percobaan menghilangkan nyawa
kepala negara dan/atau anggota keluarganya. Kejahatan demikian, dalam banyak
perjanjian ekstradisi, lazim dikecualikan dari ruang lingkup kejahatan politik.
Dengan kata lain, terhadap kejahatan demikian, sebab dianggap bukan kejahatan
politik, maka pelakunya dapat diekstradisikan.
Jadi, yang dimaksud dengan Klausula Attentat yaitu suatu klausula yang
dicantumkan dalam suatu perjanjian ekstradisi yang menghapuskan sifat politik
suatu kejahatan sehingga pelakunya dapat diekstradisikan.
Ekstradisi menjadi sarana atau cara yang efektif untuk menghukum pelaku
tindak pidana yang melarikan diri setelah melakukan perbuatannya untuk
kemudian dibawa dan diadili di negara yang berwenang. Hanya saja belum ada
instrumen hukum internasional yang mengatur secara jelas mengenai ekstradisi
sehingga selama ini masih diperlukan adanya perjanjian bilateral antara Negara
yang menyerahkan tersangka dengan Negara penerima tersangka. Kejahatan
politik yaitu bentuk kejahatan yang tidak bisa dilakukannya ekstradiksi.Jjika
suatu negara menerima suatu permintaan ekstradisi yang didasarkan atas
kejahatan politik maka negara ini harus menolak permintaan ekstradisi itu.