hukum internasional 3




 indiividu-individu. 

 Lauterpacht (1950) mengaitkannya dengan Hak Asasi Manusia 

fundamental. Beliau menyebutkan bahwa “Fundamental human rights are rights 

superior to the law of the sovereign State…..(and must lead to the) consequent 

recognition of the individual human being as a subject of international law.”176 

(Terjemahan bebas: Hak Asasi Manusia yang fundamental yaitu  hak superior 

dalam hukum dari Negara-Negara berdaulat sebagai konsekuensi adanya 

pengakuan terhadap individu sebagai salah satu subyek Hukum Internasional). 

Philip Allot (1992) berpandangan bahwa masyarakat internasional sesungguhnya 

tidak terdiri dari Negara-negara tetapi dibentuk oleh individu-individu. Hal ini 

terlihat pada adanya sistem hukum internasional dan kebutuhan masyarakat 

internasional yang terbentuk oleh individu-individu. 

 Beberapa pendapat para ahli hukum ini  di atas didukung oleh AO dari 

Reparation for Injuries Case. Ada pernyataan dari Mahkamah Internasional terkait 

apa yang dimaksud dengan subyek dalam sistem Hukum Internasional:  

     “The subjects of law in any legal system are not necessarily identical in their 

nature or in the extent of their rights, and their nature depends on the needs of the 

community. Throughout its history, the development of international law has been 

influenced by the requirements of international life, and the progressive increase in 

the collective activities of States has already given rise to instances of action upon 

the international plane by certain entities which are not States…..”  (Terjemahan 

bebas: Subyek hukum di dalam sistem hukum manapun tidaklah penting harus 

identik jenisnya atau hak yang dimiliki. Kualifikasi sebuah subyek hukum 

sesungguhnya berdasar  kebutuhan dari komunitas. berdasar  sejarahnya, 

perkembangan hukum internasional dipengaruhi oleh kebutuhan kehidupan 

internasional dan meningkatnya berbagai macam aktivitas Negara-negara yang 

melibatkan entitas-entitas bukan Negara di dunia internasional) 

 

Pernyataan ini yang dipakai  oleh Mahkamah Internasional untuk menguji 

apakah PBB sebagai organisasi internasional dapat dikualifikasikan sebagai 

subyek hukum internasional. Kemunculan individu sebagai salah satu subyek 

hukum internasional berdasar  kebutuhan yaitu  benar adanya. Hal ini dapat 

ditelusuri melalui sejarah kejahatan perang yang dilakukan oleh individu-individu. 

Sebelum adanya Statuta Roma (Rome Statute) 1998 dengan Mahkamah Pidana 

Internasionalnya (International Criminal Court), para penjahat perang pada PD II 

diadili melalui Tokyo Tribunal dan Nurenberg Trial. Melalui kedua pengadilan itu, 

para pemimpin PD II Jerman dan Jepang dimintai pertanggungjawabannya 

sebagai individu atas perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap 

perdamaian, kejahatan terhadap perikemanusiaan; kejahatan terhadap hukum 

perang dan permufakatan jahat untuk mengadakan kejahatan ini . 

Pembentukan Tokyo Tribunal dan Nurenberg Trial dibutuhkan pada saat itu agar 

para penjahat perang (terutama pemimpinnya) tidak dapat berlindung dengan 

nama Negara, memberi efek jera dan untuk mencegah terjadinya kejahatan 

perang di kemudian hari.  

 Selain itu, seorang individu juga memiliki hak untuk mengajukan klaim ke 

lembaga penyelesaian sengketa internasional. Untuk pertama kalinya setelah PD 

I, Perjanjian Versailles 1919 memuat klausula yang memberikan hak kepada 

individu untuk mengajukan klaim melalui Mixed Arbitral Tribunals (Mahkamah 

Arbitrase Campuran).180 Kemudian diikuti dengan Geneva Agreement tahun 1922 

antara Jerman dan Polandia. Perjanjian ini memberikan hak kepada kaum 

minoritas Silesian untuk mengajukan klaim kepada Negaranya atau Negara lain 

melalui Mahkamah Arbitrase yang dibentuk.181 Melalui Danzig Railway Official‟s 

Case182, Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of International 

Justice) membuat pernyataan bahwa ketika suatu perjanjian internasional 

memberikan hak-hak tertentu kepada individu, hak ini  diakui dan berlaku di 

dalam hukum internasional maka dengan kata lain hak-hak individu ini  diakui 

oleh badan peradilan internasional. 

 Seiring berkembangnya hukum internasional, bermunculan pula berbagai 

instrumen hukum internasional berikut lembaga penyelesaian sengketa 

internasional yang memberikan legal standing kepada para individu, yakni: 

European Court of Human Rights (ECHR) 1950, Inter-American Human Rights 

System (IAHR), African Human Rights System, Inspection Panel di dalam Bank 

Dunia (World Bank) dan International Centre for Settlement of Investment 

Disputes (ICSID). Beberapa lembaga ini  tidak hanya memberikan legal 

standing kepada individu tetapi juga kepada sekelompok individu dan organisasi 

non pemerintah (Non-Governmental Organizations).  

 

. Perusahaan Transnasional (Transnational Corporations) 

 Kemunculan perusahaan asing ini mulai meresahkan dunia internasional 

sejak tahun 1970-an. Keberadaannya tidak hanya memberikan dampak positif 

saja tetapi juga dampak negatif, seperti campur tangan perusahaan asing 

membuat kebijakan ekonomi di Negara tempat perusahaan asing didirikan (host country); penggelapan pajak; perusakan lingkungan hidup bahkan dapat 

menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).  

 berdasar  proposal dari Pemerintah Chili di tahun 1972, Dewan Ekonomi 

dan Sosial (Economy and Social Council/ECOSOC) serta Sekretaris Jenderal 

(Secretary General) PBB membentuk pusat informasi dan penelitian TNC pada 

Agustus 1974. Di tahun yang sama, ECOSOC dan Sekretaris Jenderal PBB 

melalui Resolusi 1913 (LVII) mendirikan Komisi TNC sebagai Badan Penasehat. 

Tugas dari komisi TNC ini untuk membentuk aturan tingkah laku (code of conduct) 

bagi TNC.183 Dilihat dari nama komisi yang dibentuk oleh ECOSOC dan Sekretaris 

Jenderal PBB maka dalam tulisan ini memilih memakai  terminologi TNC. 

berdasar  Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and 

Other Business Enterprises with Regard to Human Rights, yang dimaksud dengan 

TNC yaitu  “refers to an economic entity operating in more than one country or a 

cluster of economic entities operating in two or more countries - whatever their 

legal form, whether in their home country or country of activity, and whether taken 

individually or collectively.”184 (Terjemahan bebas: Perusahaan transnasional 

yaitu  entitas ekonomi atau sekelompok entitas ekonomi yang beroperasi di 

beberapa Negara – apapun bentuk mereka, apakah berada di Negara asal atau di 

Negara tempat berdirinya perusahaan transnasional/tempat perusahaan 

transnasional melakukan aktivitas, apakah dilakukan perorangan atau 

berkelompok).  

 Dengan melihat pengertian di atas, sebuah TNC tidak hanya beroperasi di 

1 (satu) Negara saja, tapi bisa di beberapa negara. Ini berarti akan melibatkan 2 

(dua) jenis Negara yang berbeda, yaitu: Home Country (dimana TNC berasal) dan 

Host Country (dimana TNC mendirikan cabang atau anak perusahaan). Tidak 

selalu Home Country dan Host Country menganut sistem hukum yang sama, bisa 

jadi Home Country (Amerika Serikat) menganut common law system sedang  

Host Country (Indonesia, Belanda, Perancis) menganut civil law system. 

Perbedaan ini tentunya akan menimbulkan masalah jika terjadi pelanggaran 

hukum. Status hukum sebuah TNC ditentukan berdasar  sistem hukum dimana 

TNC ini  didirikan.185 Misalkan, TNC Coca-Cola, induk perusahaannya 

berada di Amerika Serikat mempunyai anak perusahaan di Indonesia maka Coca-

Cola yang ada di Indonesia tunduk terhadap sistem hukum Indonesia. Apabila 

Coca-Cola di Indonesia melakukan pelanggaran produksi sehingga menimbulkan 

kerugian kepada konsumen maka Coca-Cola mana yang bisa dimintai 

pertanggungjawaban? Coca-Cola di Indonesia atau Coca-Cola di Amerika Serikat 

juga dapat dimintai pertanggungjawaban? Forum mana yang memiliki 

kewenangan untuk menyelesaikan kasus ini ? Belum lagi Amerika Serikat 

dan Indonesia menganut sistem hukum yang berbeda.  

 Keberadaan TNC ini memang seperti 2 (dua) sisi mata uang. Di satu sisi, 

Negara-negara berkembang memerlukan investor-investor asing untuk 

meningkatkan devisa Negara. Di sisi lain, keberadaan TNC tidak selalu 

memberikan keuntungan-keuntungan bagi Host Country, seperti yang telah 

disebutkan pada bagian sebelumnya. TNC sering menimbulkan dampak negatif 

bagi lingkungan hidup bahkan pelanggaran HAM. Sebagai contoh, dapat dirujuk 

Bhopal Case di India. Ada sebuah perusahaan bahan kimia bernama Union 

Carbide (UC) di dirikan di Bhopal, sebuah daerah di India tengah.  UC yaitu  

anak perusahaan (subsidiary company) yang induknya berada di Amerika Serikat. 

Pada tanggal 2 Desember 1984 entah sebab  mesinnya yang bermasalah atau 

kesalahan dari operator, ada air yang masuk ke dalam tangki yang bercampur 

dengan Methyl Isocyanate (MIC) dan subuhnya tangki ini  meledak dan 

menimbulkan uap sebanyak 27 (dua puluh tujuh) ton hingga ke luar area pabrik. 

Ledakan ini menyebabkan 3.598 (tiga ribu lima ratus sembilah puluh delapan) 

orang meninggal.186 Tragedi Bhopal ini mengambil hak hidup orang yang tidak 

bersalah bahkan banyak berjatuhan korban cacat seumur hidup. 

 Dari sisi hukum internasional, apakah ada instrumen hukum internasional 

yang dapat dipakai  untuk menjerat TNC sebagai pelaku pelanggaran HAM? 

Jawabannya yaitu  tidak. Sampai dengan saat ini hanya ada Norma mengenai 

tanggung jawab TNC dan subyek hukum bisnis lainnya terkait hak asasi manusia 

(Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business 

Enterprises with Regard to Human Rights). Norma ini dibuat oleh The United 

Nations Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights 

tanggal 13 Agustus 2003. Norma ini sifatnya tidak mengikat sebab  tidak dalam 

bentuk hard law sehingga tidak dapat dipakai  untuk menjerat TNC yang 

melakukan pelanggaran HAM. 

 . Organisasi Non-Pemerintah (Non-Governmental Organizations/NGOs) 

 Ada berbagai macam pengertian yang diberikan oleh para ahli terkait 

Organisasi Non-Pemerintah (Non-Governmental Organizations/NGOs). NGOs 

pada dasarnya merupakan organisasi yang bersifat non-profit, anggota-

anggotanya bersifat sukarela. Lembaga ini dikelola dan aktif di tingkat lokal, 

nasional maupun internasional.187 NGOs berkontribusi pada perkembangan, 

interpretasi, implementasi dan penegakan hukum internasional.188 Menurut World 

Bank (WB), NGOs merupakan organisasi privat yang melakukan aktivitas untuk 

meringankan penderitaan, menyuarakan kepentingan masyarakat miskin, 

melindungi lingkungan, menyediakan jasa di bidang sosial dan melakukan 

pengembangan/pembangunan masyarakat189 serta menjunjung tinggi 

implementasi HAM. 

Jadi, NGOs merupakan sebuah organisasi non-pemerintah, terlibat dalam 

perkembangan hukum internasional, bersifat tidak mencari keuntungan (nirlaba) 

dan menyuarakan kepentingan masyarakat marginal/rentan.

 Chapter 27 of the United Nations Conference on Environment and Development Rio de 

Janeiro, Brazil, 3 to 14 June 1992, Agenda 21: “Non-governmental organizations play a vital role in 

the shaping and implementation of participatory democracy. Their credibility lies in the responsible 

and constructive role they play in society. Formal and informal organizations, as well as grass-roots 

movements, should be recognized as partners in the implementation of Agenda 21. The nature of 

the independent role played by non-governmental organizations within a society calls for real 

participation; therefore, independence is a major attribute of non-governmental organizations and is 

the precondition of real participation” (Garis bawah diberikan oleh penulis untuk menegaskan 

bahwa NGOs memiliki peran yang penting dalam pembangunan internasional. Ketidakberpihakan 

merupakan atribut utama NGOs sekaligus syarat untuk berpatisipasi dalam pembangunan 

internasional) 

 

 NGOs tampil sebagai aktor baru pembangunan internasional sejak 

diperkenalkan Sustainable Development pertama kali pada United Nations 

Conference on Environment and Development Rio de Janeiro, Brazil, 3 to 4 June 

1992, Agenda 21. Konferensi ini bertujuan untuk menyelaraskan pembangunan 

dan lingkungan hidup, pembangunan yang dilakukan bersifat berkelanjutan 

(sustainable), memperhatikan lingkungan hidup di sekitar agar lingkungan hidup 

ini  tetap memberikan manfaat bagi kehidupan generasi mendatang.191   

Kebijakan nasional setiap Negara dan kebijakan internasional di bidang 

ekonomi harus saling mendukung agar sustainable development dapat terwujud. 

Negara-negara memutuskan untuk membentuk new global partnership dalam 

rangka mewujudkan penyelenggaraan pembangunan internasional yang 

berkelanjutan.192  New global partnership ini tidak hanya melibatkan pemerintah 

tetapi juga individu, kelompok, Transnational Corporation (TNC)/Multinational 

Corporation (MNC), organisasi pemerintah dan NGOs.   

 Preamble of the United Nations Conference on Environment and Development Rio de 

Janeiro, Brazil, 3 to 14 June 1992, Agenda 21 : (1.1) Humanity stands at a defining moment in 

history. We are confronted with a perpetuation of disparities between and within nations, a 

worsening of poverty, hunger, ill health and illiteracy, and the continuing deterioration of the 

ecosystems on which we depend for our well-being. However, integration of environment and 

development concerns and greater attention to them will lead to the fulfilment of basic needs, 

improved living standards for all, better protected and managed ecosystems and a safer, more 

prosperous future. No nation can achieve this on its own; but together we can - in a global 

partnership for sustainable development (Garis bawah diberikan oleh penulis untuk menegaskan 

bahwa integrasi lingkungan hidup dan pembangunan akan memenuhi kebutuhan dasar serta 

meningkatkan standar kehidupan bagi kita semua. Pembangunan berkelanjutan dapat tercapai 

apabila dilakukan secara bersama-sama melalui mitra global) 

 

192

 Chapter 2 of the United Nations Conference on Environment and Development Rio de 

Janeiro, Brazil, 3 to 14 June 1992, Agenda 21: This partnership commits all States to engage in a 

continuous and constructive dialogue, inspired by the need to achieve a more efficient and 

equitable world economy, keeping in view the increasing interdependence of the community of 

nations and that sustainable development should become a priority item on the agenda of the 

international community. It is recognized that, for the success of this new partnership, it is important 

to overcome confrontation and to foster a climate of genuine cooperation and solidarity. It is equally 

important to strengthen national and international policies and multinational cooperation to adapt to 

the new realities, (Garis bawah diberikan oleh penulis untuk menegaskan bahwa seluruh Negara-

negara melalui mitra global menempatkan pembangunan berkelanjutan sebagai agenda utama 

dalam komunitas internasional) 

96 

 

Peranan NGOs termuat dalam Objectives Chapter 27 dari Agenda 21 yang 

menyebutkan bahwa PBB dan Pemerintah dalam proses pembuatan  kebijakan 

dan keputusan untuk menyelenggarakan pembangunan internasional 

berkelanjutan harus melibatkan (berkonsultasi) dengan NGOs.193  NGOs sejak 

saat ini mulai diberikan peran di dalam  hukum internasional dan secara signifikan 

menunjukkan pengaruh di dalam penyelenggaraan pembangunan internasional 

meskipun statusnya masih menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum 

internasional. Para ahli hukum internasional terbagi menjadi 2 (dua) kelompok, 

yakni: kelompok yang mengakui NGOs sebagai salah satu subyek hukum 

internasional dan kelompok yang tidak mengakui NGOs sebagai subyek baru 

dalam hukum internasional. 

 Seiring berjalannya waktu, keberadaan NGOs tidak selalu memberikan 

dampak positif bagi kaum terpinggirkan namun juga memberikan dampak negatif 

akibat kegagalan-kegagalan NGOs. Kegagalan NGOs dalam mewujudkan peace 

building (menciptakan perdamaian) di Bosnia juga merupakan realita bahwa 

NGOs tidak selalu on the right track (berada di jalurnya, menyuarakan 

kepentingan masyarakat marginal/rentan).194 NGOs di Bosnia cenderung 

menyesuaikan kebijakan pembangunan ekonomi di Bosnia dengan kebijakan 

internasional tanpa memperhatikan kondisi dan kebutuhan riil dari masyarakat 

lokal. Hal ini disebabkan kebanyakan NGOs dibiayai oleh penyandang dana 

internasional (international funding) sehingga kurang memperhatikan keadaan dan 

legitimasi di dalam suatu Negara. NGOs akan mengikuti keinginan atau misi dari 

penyandang dana sebab  ketergantungannya pada penyandang dana ini . 

Apabila NGOs tidak mengikuti misi penyandang dana ini  maka sumber 

pendanaan akan dihentikan. Atau sebaliknya, misi dari penyandang dana yaitu  

sangat ingin menyelenggarakan pembangunan ekonomi di Bosnia tetapi sebab  

                                                          

 Objectives Paragraph 27.6 of the Chapter 27 of Agenda 21: “With a view to 

strengthening the role of non-governmental organizations as social partners, the United Nations 

and Governments should initiate a process, in consultation with non-governmental organizations, to 

review formal procedures and mechanism for the involvement of these organizations at all levels 

from policy- making and decision-making to implementation” (Garis bawah diberikan oleh penulis 

untuk menegaskan bahwa PBB dan Pemerintah dalam memperkuat peran NGOs sebagai mitra 

sosial harus berkonsultasi kepada para NGOs dalam membuat kebijakan dan implementasinya)  

principal-agent relationship195  maka sangat sulit untuk menjamin bahwa NGOs 

akan mengimplementasikan misi ini . 

 “This is an analytical expression of what results from differing interpretations of how 

organizations should best achieve common goals. Inevitably, the principals the actor with highest 

authority, delegates agents to help carry out the principal goals: although efficiency requires 

handing over some decisions and authority, the very act of delegation creates problems of control 

and supervision” (Ini yaitu  ekspresi analitis dari perbedaan interpretasi bagaimana sebuah 

organisasi seharusnya mencapai tujuannya. Suatu kepastian bahwa prinsipal yaitu  aktor dengan 

kewenangan tertinggi, mendelegasikan kepada agen untuk membantu melaksanakan tujuan dari 

prinsipal. Meskipun pendelegasian ini menyerahkan beberapa keputusan dan wewenang namun 

tetap menimbulkan permasalahan terhadap pengawasan pelaksanaannya), Lihat William E. 

Demars & Dennis Dijkzeul, 2015, The NGO Challenge for International Relations Theory, 

Routledge, New York, Amerika Serikat, tanpa halaman; Agen yaitu  seseorang yang bertugas 

melakukan pekerjaan orang/pihak lain sedang  prinsipal yaitu  seseorang yang 

memberikan/mendelegasikan tugasnya kepada orang/pihak lain (dalam hal ini agen). Pada 

praktiknya seringkali prinsipal juga turut bertanggungjawab jika tugas yang dilakukan oleh agen 

tidak sesuai. Contoh hubungan prinsipal dan agen banyak ditemukan dalam hubungan-hubungan 

bisnis, seperti hubungan antara operator transportasi pengiriman barang dengan perusahaan 

kargo/jasa kurir, lihat Emily Linch Morisette, 2009, Personal Injury and the Law of Torts for 

Paralegals, Aspen Publishers, New York, h. Teori-Teori Pengakuan 

Hukum Internasional pada dasarnya mengatur tentang hak-hak dan 

kewajiban negara. Terlepas dari banyaknya subjek dalam hukum internasional, 

negara tetap menjadi badan hukum yang paling penting dan menjadi fokus utama 

bagi kegiatan sosial umat manusia196. Maka dari itu Negaralah yang menjadi 

subjek utama dalam hukum internasional.  

Sebelum suatu negara baru dan atau pemerintah baru dapat mengadakan 

hubungan yang lengkap dan sempurna dalam berbagai bidang dengan negara-

negara lain, baik di bidang politik, ekonomi, sosial maupun kultural dan 

sebagainya, terlebih dahulu negara itu harus melalui tahap pengakuan dari 

negara-negara lain. Namun hal ini tidak berarti bahwa tanpa pengakuan dari 

negara-negara lain suatu negara baru tidak dapat melangsungkan hidupnya.197  

Pada hakekatnya pengakuan itu merupakan suatu jaminan bahwa suatu 

negara baru dapat menduduki tempatnya yang wajar sebagai suatu organisasi 

politik yang merdeka dan berdaulat di tengah-tengah keluarga bangsa-bangsa, 

sehingga dengan demikian negara itu secara aman dan mantap dapat 

mengadakan berbagai hubungan dengan negara-negara lainnya, tanpa 

mengkhawatirkan bahwa kedudukannya sebagai kesatuan politik akan terganggu 

oleh eksistensi negara-negara lain198. Dari beberapa pendapat sarjana, ada 3 

(tiga) teori yang muncul terkait pengakuan :  

1. Teori Deklaratif 

2. Teori Konstitutif  

3. Teori Pemisah atau Jalan Tengah. 


 

Menurut penganut Teori Deklaratif di atas, pengakuan hanyalah sebuah 

pernyataan formal saja bahwa suatu negara telah lahir atau ada. Artinya, ada atau 

tidaknya pengakuan tidak mempunyai akibat apa pun terhadap keberadaan suatu 

negara sebagai subjek hukum internasional.  

Pengakuan merupakan bagian dari hukum internasional yang paling sulit. 

Kesulitan ini menyangkut pertentangan dalam menetapkan asas-asas umum yang 

memenuhi syarat obyektif bagi semua negara, tidak adanya lembaga atau 

kekuatan supra natural yang berwenang mengatur dan mengawasi pelaksanaan 

pengakuan, dan kepentingan nasional dari setiap negara yang berbenturan 

dengan masalah pengakuan. Kondisi di atas telah sangat mempengaruhi sikap 

dan tindakan dari setiap negara dalam menghadapi soal pengakuan.  

Nilai-nilai subyektif lebih dominan daripada nilai-nilai obyektif dalam 

menentukan layak atau tidak layaknya suatu pengakuan diberikan atau tidak 

diberikan. Sehingga kenyataan politiklah yang mengemuka didalam tindakan 

suatu negara dalam pengakuan. Hal ini dapat difahami sebab  tujuan politik dalam 

pengakuan ini tidak lepas dari upaya suatu negara untuk mengejar kepentingan 

nasionalnya. Mengenai asas atau teori yang dijadikan landasan dalam persoalan 

pengakuan juga telah menimbulkan perdebatan yang tidak henti-hentinya diantara 

para sarjana hukum internasional sampai hari ini. Tidak ada titik temu teori 

manakah yang dinilai obyektif diantara teori-teori yang ada. Perbedaan sudut 

pandang teoritis ini pada gilirannya juga mempengaruhi sikap negara-negara 

dalam menghadapi soal pengakuan. Banyak negara yang tidak konsisten 

memegang prinsip pengakuan ini .  

Konvensi Montevideo tahun 1933 dapat dilihat memakai  teori 

Deklaratif dalam soal pengakuan, sebagaimana tersirat dalam pasal 3 : 

     “The political existence of the state is independent recognition by the other 

     state. Even before recognition the state has the right to defend its integrity and 

     independence to provide for its conservation and prosperity and consequently, 

     to organize itself as it sees fit, to legislate upon its interest, administer its 

     services, and to define the jurisdiction and competence of its courts”201.  

 

Berbeda dengan penganut Teori Deklaratoir, menurut penganut Teori 

Konstitutif, pengakuan justru sangat penting. Hanya tindakan pengakuanlah yang 

menciptakan status kenegaraan atau yang melengkapi pemerintah baru dengan 

otoritasnya di lingkungan internasional202. Teori Konstitutif mengajarkan bahwa 

meskipun negara dapat berdiri sebagai fakta, tetapi ia baru dianggap ada dalam 

hukum internasional setelah diakui oleh negara-negara lain. Hal ini sesuai dengan 

paham yang dianut oleh Oppenheim-Lauterpacht, dimana beliau menekankan 

bahwa suatu negara itu ada dan hanya melalui pengakuan dapat menjadi pribadi 

internasional (a state is and becomes an international person throught recognition 

only, and exclusively). Beliau menambahkan bahwa meskipun pemberian 

pengakuan itu sepenuhnya merupakan diskreasi dari negara yang 

memberikannya, tindakan itu bukanlah tindakan semena-mena, melainkan 

pengakuan ataupun penolakan itu harus didasarkan pada prinsip hukum. Prinsip 

ini ialah “....certain conditions of fact....impose the duty of confer the right to 

recognition”. Pengakuan itu memang konstitutif sifatnya, tetapi ada kewajiban 

pada negara-negara yang telah ada, jika semua unsur kenegaraan pada negara 

baru itu telah dipenuhi, barulah negara itu dapat diakui yang memang merupakan 

haknya203. Pengakuan menciptakan penerimaan terhadap suatu negara sebagai 

anggota masyarakat internasional. Artinya, pengakuan merupakan prasyarat bagi 

ada-tidaknya kepribadian hukum internasional (international legal personality) 

suatu negara.  

Teori Deklaratif dan Konstitutif tidak sepenuhnya memuaskan beberapa 

sarjana hukum internasional lainnya. Di satu pihak diakui bahwa suatu negara 

dapat menjadi pribadi internasional tanpa pengakuan (teori deklaratif), namun 

untuk dapat mempergunakan hak-hak sebagai pribadi internasional, negara 

ini  memerlukan pengakuan dari negara lainnya (teori konstitutif)204. sebab  

adanya perbedaan pendapat yang bertolak belakang itulah lantas lahir teori yang 

mencoba memberikan jalan tengah. 

Pendukung teori Jalan Tengah antara lain Rivier, yang mengatakan bahwa 

“pada hakekatnya menganggap pengakuan oleh negara-negara lain hanyalah 

suatu pembenaran dan persetujuan terhadap suatu hal yang telah terjadi (fakta), 

yang mulai saat itu mempunyai dasar hukum. Hal ini tidak berarti bahwa tanpa 

adanya pengakuan oleh negara lain hak dan atribut yang telah dimiliki oleh negara 

ini  menjadi hilang (lepas), melainkan hanya setelah mendapat pengakuan 

maka pemakaian  hak ini  menjadi terjamin. Hubungan politik yang teratur 

hanyalah dengan negara-negara yang saling mengakui”

Teori ini juga disebut Teori Pemisah sebab , menurut teori ini, harus 

dipisahkan antara kepribadian hukum suatu negara dan pelaksanaan hak dan 

kewajiban dari pribadi hukum itu. Untuk menjadi sebuah pribadi hukum, suatu 

negara tidak memerlukan pengakuan. Namun, agar pribadi hukum itu dapat 

melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hukum internasional maka diperlukan 

pengakuan oleh negara-negara lain. 

 . Macam atau Jenis Pengakuan 

Ada dua macam atau jenis pengakuan, yaitu : 

1. Pengakuan de Facto; dan 

2. Pengakuan de Jure. 

Pengakuan de facto, berarti bahwa menurut negara yang mengakui, untuk 

sementara dan secara temporer serta dengan segala reservasi yang layak di 

masa mendatang, bahwa negara atau pemerintah yang diakui telah memenuhi 

syarat berdasar  fakta206. Oleh sebab  itu, bertahan atau tidaknya pengakuan 

ini tergantung pada fakta itu sendiri, apa fakta itu (yakni negara yang diberi 

pengakuan tadi) bisa bertahan atau tidak. Dengan demikian, pengakuan ini 

bersifat sementara. sebab  sifatnya hanya memberikan pengakuan terhadap 

suatu fakta maka pengakuan ini tidak perlu mempersoalkan sah atau tidaknya 

pihak yang diakui itu. Bilamana negara yang diakui (atau fakta itu) ternyata tidak 

bisa bertahan, maka pengakuan ini pun akan berakhir dengan sendirinya. 

Berbeda dengan pengakuan de facto yang bersifat sementara, pengakuan 

de jure yaitu  pengakuan yang bersifat permanen. Pengakuan de jure berarti 

bahwa menurut negara yang mengakui, negara atau pemerintah yang diakui 

secara formal telah memenuhi persyaratan yang ditentukan hukum internasional 

untuk dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat internasional207.  

Pengakuan ini diberikan apabila negara yang akan memberikan pengakuan itu 

sudah yakin betul bahwa suatu negara yang baru lahir itu akan bisa bertahan. 

Oleh sebab  itu, biasanya suatu negara akan memberikan pengakuan de facto 

terlebih dahulu baru kemudian de jure. Namun tidak selalu harus demikian. Sebab 

bisa saja suatu negara, tanpa melalui pemberian pengakuan de facto, langsung 

memberikan pengakuan de jure. Biasanya pengakuan de jure akan diberikan 

apabila : 

- Penguasa di negara (baru) itu benar-benar menguasai (secara formal maupun 

substansial) wilayah dan rakyat yang berada di bawah kekuasaannya; 

- Rakyat di negara itu, sebagian besar, mengakui dan menerima penguasa 

(baru) itu; 

- Ada kesediaan dari pihak yang akan diakui itu untuk menghormati hukum 

internasional. 

. Cara Pemberian Pengakuan dan Penarikan Kembali Pengakuan 

Ada dua cara pemberian pengakuan, yaitu : 

1. Secara tegas (expressed recognition); dan 

2. Secara diam-diam atau secara tidak tegas (implied recognition). 

Pengakuan secara tegas maksudnya, pengakuan itu diberikan secara tegas 

melalui suatu pernyataan resmi (yang berupa Nota Diplomatik, note verbale, 

pesan pribadi kepala negara atau menteri luar negeri, pernyataan Parlemen, atau 

dengan Traktat)208. sedang  pengakuan secara diam-diam atau tidak tegas 

maksudnya yaitu  bahwa adanya pengakuan itu dapat disimpulkan dari tindakan-

tindakan yang dilakukan oleh suatu negara (yang mengakui) terhadap negara 

baru atau pemerintah baru209. Beberapa tindakan atau peristiwa yang dapat 

dianggap sebagai pemberian pengakuan secara diam-diam yaitu  : 

- Pembukaan hubungan kerjasama di bidang perdagangan (dengan negara 

yang diakui secara diam-diam itu), contohnya : pemerintah Indonesia 

membuka hubungan dagang dengan Taiwan; 

- Kunjungan resmi seorang kepala negara (ke negara yang diakui secara 

diam-diam itu); 

- Pembuatan persetujuan dan/atau perundingan (dengan negara yang diakui 

secara diam-diam). 

Secara umum dikatakan bahwa pengakuan diberikan harus dengan 

kepastian. Artinya, pihak yang memberi pengakuan terlebih dahulu harus yakin 

bahwa pihak yang akan diberi pengakuan itu telah benar-benar memenuhi 

kualifikasi sebagai pribadi internasional atau memiliki kepribadian hukum 

internasional (international legal personality). Sehingga, apabila pengakuan itu 

diberikan maka pengakuan itu akan berlaku untuk selamanya dalam pengertian 

selama pihak yang diakui itu tidak kehilangan kualifikasinya sebagai pribadi 

hukum menurut hukum internasional. 

Dalam kasus-kasus seperti ini praktek-praktek pengakuan yang dilakukan 

oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat, membuktikan bahwa 

pengakuan itu diberikan bukan berdasar  pertimbangan kelayakan secara 

hukum, melainkan berdasar  kepentingan politik. sebab  itu kita banyak 

menemukan tindakan pemberian pengakuan yang terburu-buru (kasus Israel dan 

Panama) dan penolakan pemberian pengakuan yang berlarut-larut (kasus RRC 

dan Uni Sovyet). Negara-negara Amerika Latin dan Amerika Tengah banyak 

mengalami kesulitan akibat dari tindakan pemberian pengakuan oleh negara-

negara besar seperti Amerika. Pengakuan prematur Amerika terhadap Panama 

yang memisahkan diri dari Mexico dan penangguhan pemberian pengakuan 

terhadap rejim Oregon di Mexico yang sesungguhnya telah memenuhi syarat 

untuk diakui dapat dinilai sebagai campur tangan atas urusan negara lain210. 

Terputusnya hubungan dengan negara atau pemerintah yang sebelumnya 

telah diakui, pada umumnya tidak disertai dengan penarikan kembali pengakuan. 

Suatu pemutusan resmi hubungan diplomatik dapat dinyatakan, akan tetapi 

negara atau pemerintah yang sekalinya pernah diakui tidak akan kehilangan 

statusnya dalam masyarakat internasional.211 Pengakuan, sebagaimana nampak 

dalam praktek negara-negara, lebih banyak merupakan persoalan politik daripada 

persoalan hukum, atau setidak-tidaknya masalah pengakuan terletak pada 

ambang batas antara politik dan hukum 

Namun, disebab kan pengakuan itu membawa implikasi terhadap masalah-

masalah hukum internasional, hukum nasional, bahkan juga putusan-putusan 

badan peradilan internasional maupun nasional, bagian terbesar ahli hukum 

internasional menjadikan pengakuan sebagai bagian dari pembahasan hukum 

internasional, khususnya dalam kaitannya dengan substansi pembahasan tentang 

negara sebagai subjek hukum internasional. 

 . Bentuk-Bentuk Pengakuan 

Dalam sub bab sebelumnya telah dibahas pengakuan terhadap suatu 

negara. Dalam praktik hubungan internasional hingga saat ini, pengakuan ternyata 

bukan hanya diberikan terhadap suatu negara. Ada berbagai macam bentuk 

pemberian pengakuan, yakni (termasuk pengakuan terhadap suatu negara): 

1. Pengakuan negara baru. Jelas, pengakuan ini diberikan kepada suatu 

negara  

    (entah berupa pengakuan de facto maupun de jure). Untuk mengakui suatu 

    Negara baru pada umumnya negara-negara memakai kriteria, antara lain 

    sebagai berikut : 

a. Keyakinan adanya stabilitas di Negara ini   

b. Dukungan umum dari Masyarakat atau Penduduk  

c. Kesanggupan dan kemauan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban 

    Internasional

2. Pengakuan pemerintah baru. Dalam hal ini dipisahkan antara pengakuan 

     terhadap negara dan pengakuan terhadap pemerintahnya (yang berkuasa). 

     Hal ini biasanya terjadi jika corak sistem pemerintahan yang lama dan yang 

     baru ada  perbedaan yang kuat. 

3. Pengakuan sebagai pemberontak dan/atau belligerency.  

Bila di suatu negara terjadi pemberontakan dan pemberontakan ini  

telah memecah belah kesatuan nasional dan efektifitas pemerintahan maka 

keadaan ini menempatkan negara-negara ketiga dalam keadaan yang sulit 

terutama dalam melindungi kepentingannya di negara ini . Dalam keadaan 

seperti ini lahirlah sistem pengakuan belligerency. Negara-negara ketiga dalam 

sikapnya membatasi diri hanya sekedar mencatat bahwa para pemberontak 

tidak kalah dan telah menguasai sebagian wilayah nasional dan mempunyai 

kekuasaan secara fakta. Bentuk pengakuan ini telah dilakukan beberapa kali di 

masa lampau oleh Amerika Serikat dan juga Inggris. Contoh yang pernah 

terkenal yaitu  pengakuan belligerency yang diberikan kepada orang-orang 

Selatan di Amerika Serikat pada waktu perang saudara oleh Perancis dan 

Inggris serta negara-negara Eropa lainnya, Sifat pengakuan belligerency ini 

lebih kuat daripada pengakuan sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan 

bilamana pemberontak itu telah demikian kuatnya sehingga seolah-olah ada 

dua pemerintahan yang sedang bertarung. Konsekuensi dari pemberian 

pengakuan ini, antara lain, beligeren dapat memasuki pelabuhan negara yang 

mengakui, dapat mengadakan pinjaman, dan lain-lain. 

4. Pengakuan hak-hak teritorial dan situasi internasional baru (sesungguhnya 

isinya yaitu  “tidak mengakui hak-hak dan situasi internasional baru”).  

Bentuk pengakuan ini bermula dari peristiwa penyerbuan Jepang ke Cina. 

Peristiwanya terjadi pada tahun 1931 di mana Jepang menyerbu Manchuria, 

salah satu provinsi Cina, dan mendirikan negara boneka di sana (Manchukuo). 

Padahal Jepang yaitu  salah satu negara penandatangan Perjanjian 

Perdamaian Paris 1928 (juga dikenal sebagai Kellogg-Briand Pact atau Paris 

Pact), sebuah perjanjian pengakhiran perang. Dalam perjanjian itu ada  

ketentuan yang menegaskan bahwa negara-negara penandatangan sepakat 

untuk menolak pemakaian  perang sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan 

politik. Dengan demikian maka penyerbuan Jepang itu jelas bertentangan 

dengan perjanjian yang ikut ditandatanganinya. Oleh sebab  itulah, penyerbuan 

Jepang ke Manchuria itu diprotes keras oleh Amerika Serikat melalui menteri 

luar negerinya, Stimson, yang menyatakan bahwa Amerika Serikat “tidak 

mengakui hak-hak teritorial dan situasi internasional baru” yang ditimbulkan 

oleh penyerbuan itu. Inilah sebabnya pengakuan ini juga dikenal sebagai 

Stimson‟s Doctrine of Non-Recognition.

 

 

Pengertian Yurisdiksi 

 Dilihat dari asal katanya, yurisdiksi (jurisdiction), menurut Merriam-

Webster‟s Dictionary of Law, berasal dari kata dalam Bahasa Latin “jurisdictio” 

yang sesungguhnya terdiri atas dua kata yaitu “juris” (yang merupakan genitif dari 

“jus”) yang berarti hukum dan “dictio” (dari kata “dicere”, mengatakan) yang berarti 

“tindakan atau perbuatan mengatakan”.   

Dalam Merriam-Webster‟s Dictionary of Law dijelaskan bahwa yurisdiksi 

mengandung 3 (tiga) pengertian, yaitu: 

(1) Kekuasaan, hak, atau kewenangan untuk menafsirkan, menerapkan, dan 

menyatakan hukum; 

(2) Kewenangan (pada negara) memerintah atau membuat peraturan; 

(3) Batas-batas atau wilayah di mana kewenangan dapat dilaksanakan. 

 sedang  menurut Black‟s Law Dictionary, disebutkan bahwa yurisdiksi 

mengandung 4 (empat) pengertian, yaitu: 

(1) Kekuasaan umum yang dimiliki pemerintah untuk melaksanakan 

kewenangan atas orang dan hal-hal yang berada dalam wilayahnya; 

(2) Kekuasaan suatu pengadilan untuk memutus suatu kasus atau 

mengeluarkan keputusan/dekrit; 

(3) Suatu wilayah geografis di mana kewenangan politik atau kehakiman dapat 

dilaksanakan; 

(4) Suatu subdivisi politis atau yudisial di dalam wilayah yang disebutkan di 

atas. 

 

 Sementara itu, menurut Encyclopedia Americana, kata “jurisdiction” 

(yurisdiksi) dijelaskan sebagai berikut: 

“Jurisdiction, in law, a term for power or authority. It is usually applied to 

courts and quacy judicial bodies, describing the scope of their right to act. 

As applied to a state or a nation, the term means the authority to declare 

and enforce the law”  

Bila diartikan dalam Bahasa Indonesia yaitu  sebagai berikut: 

Yurisdiksi, dalam hukum, suatu istilah untuk kekuasaan atau 

kewenangan. Istilah itu biasanya diterapkan pada pengadilan dan badan-

badan kuasi pengadilan, yang menguraikan ruang lingkup hak untuk 

bertindak dari pengadilan atau badan-badan kuasi pengadilan ini . 

Jika diterapkan pada suatu negara atau suatu bangsa, istilah ini  

berarti kewenangan untuk menyatakan dan memaksakan berlakunya 

hukum.  

 Dengan uraian singkat di atas maka, dilihat dari asal katanya, kiranya telah 

cukup tergambar ruang lingkup pengertian yurisdiksi dimaksud, yaitu hak atau 

kekuasaan atau kewenangan menurut hukum atau berdasar  hukum. Kata 

kuncinya terletak pada frase “berdasar  hukum” itu, bukan berdasar  

paksaan. Dalam hubungan dengan kuliah ini, maka secara ringkas dapat 

dikatakan bahwa pengertian yurisdiksi negara yaitu  mengacu pada kewenangan 

negara untuk menyatakan dan memberlakukan atau memaksakan berlakunya 

hukum negara yang bersangkutan. 

 . Hubungan Yurisdiksi Negara dengan Kedaulatan Negara 

 Kedaulatan negara, sebagaimana telah disinggung pada bagian 

pendahuluan kuliah ini, berarti kekuasaan tertinggi. Dengan demikian dalam istilah 

“kekuasaan tertinggi” itu terkandung dua makna: pertama, tidak ada lagi 

kekuasaan lain yang lebih tinggi darinya; kedua, tidak ada kekuasaan tandingan 

terhadapnya (kekuasaan itu). Sehingga, suatu negara dikatakan berdaulat jika ia 

tidak tunduk kepada kekuasaan negara lain. Pengertian kedaulatan sebagai 

kekuasaan tertinggi itu, sekali lagi, tidaklah berarti bahwa kekuasaan itu tidak 

terbatas. Batas kedaulatan suatu negara yaitu  kedaulatan negara lain dan 

hukum.  

 Dengan demikian, kedaulatan negara itu mengandung dua segi atau aspek 

yaitu pertama, aspek ke dalam (internal) yakni kekuasaan tertinggi untuk 

mengatur segala hal yang ada atau terjadi dalam batas-batas wilayah negara itu; 

kedua, aspek ke luar (eksternal) yakni kekuasaan tertinggi negara itu untuk 

mengadakan hubungan dengan anggota masyarakat internasional lainnya dan 

untuk mengatur segala sesuatu yang meskipun berada atau terjadi di luar 

wilayahnya namun ada kaitannya dengan kepentingan negara itu.

 Yurisdiksi merupakan atribut kedaulatan negara. Sebuah yurisdiksi negara 

mengacu pada kompetensi negara untuk mengatur orang dan harta benda di 

wilayah negaranya  berdasar  hukum nasional. sebab  suatu negara 

memiliki kedaulatan atau kekuasaan tertinggi itulah maka darinya turun hak - 

/kekuasaan /- kewenangan untuk mengatur hal-hal internal maupun eksternal 

negara itu. Dari konstruksi pemikiran inilah lahir yurisdiksi negara. Dengan kata 

lain, yurisdiksi negara diturunkan dari kedaulatan yang dimiliki negara itu. Jadi, 

hanya suatu negara yang berdaulatlah yang memiliki yurisdiksi. 

 . Jenis-jenis Yurisdiksi Negara 

 Yurisdiksi negara dapat dilihat dari bermacam-macam perspektif atau sudut 

pandang. Dari perspektif yang bermacam-macam itu kemudian kita dapat 

menemukan penggolongan atau jenis-jenis yurisdiksi negara. Perspektif atau 

sudut pandang dimaksud, antaranya: 

a.  Dari perspektif ini, yurisdiksi negara dapat digolongkan menjadi: 

i. Yurisdiksi Llegislatif, yaitu yurisdiksi suatu negara untuk membuat 

atau menetapkan suatu peraturan perundang-undangan untuk 

mengatur suatu objek (yang tidak semata-mata bersifat domestik 

atau dalam negeri).  

ii. Yurisdiksi Eeksekutif atau yurisdiksi administratif, yaitu hak, 

kekuasaan atau kewenangan suatu negara untuk melaksanakan 

peraturan perundang-undangan nasionalnya terhadap suatu objek 

yang tidak semata-mata bersifat domestik. 

iii. Yurisdiksi Yyudikatif, yaitu yurisdiksi suatu negara untuk mengadili 

pelanggar peraturan perundang-undangannya. Yurisdiksi yudikatif 

juga menyangkut kekuatan pengadilan suatu negara untuk 

memeriksa  kasus yang mengandung faktor asing. Ada beberapa  

landasan di mana pengadilan negara dapat mengklaim menjalankan 

yurisdiksi ini . Dalam masalah pidana, hal ini berkisar dari 

prinsip teritorial hingga prinsip universalitas dan masalah perdata 

dari keberadaan terdakwa di negara ini sampai kewarganegaraan 

dan prinsip domisili. 

b.  Dari perspektif objek yang diatur (yang dapat berupa orang, benda, 

masalah, hal, atau peristiwa), yurisdiksi negara dapat digolongkan menjadi:                         

i. Yurisdiksi Personal (jurisdiction in personal), yaitu yurisdiksi suatu 

negara atas orang atau subjek hukum tertentu. Penekanan yurisdiksi 

ini yaitu  pada subjek hukum (baik berupa orang maupun badan 

hukum) yang dapat ditundukkan pada yurisdiksi ini . 

ii. Yurisdiksi Kebendaan (jurisdiction in rem), yaitu yurisdiksi negara 

untuk mengatur serta menerapkan hukumnya atas suatu benda yang 

berada di suatu tempat tertentu. Penekanan yurisdiksi ini yaitu  

pada bendanya sendiri, bukan tempatnya. Suatu benda yang berada 

dalam wilayah suatu negara, ia tidaklah digolongkan ke dalam 

yurisdiksi kebendaan. Sebab, terhadap kasus seperti itu sudah pasti 

berlaku yurisdiksi teritorial atau yurisdiksi wilayah dari negara yang 

bersangkutan. Dengan demikian, yang dimaksud benda dalam 

yurisdiksi ini yaitu  benda yang berada di luar wilayah suatu negara 

namun ada kaitannya dengan negara itu. 

iii. Yurisdiksi Pidana atau Yurisdiksi Kriminal (criminal jurisdiction), yaitu 

yurisdiksi suatu negara untuk memberlakukan hukum pidananya 

terhadap suatu tindak pidana tertentu. 

iv. Yurisdiksi Sipil atau Perdata (civil jurisdiction), yurisdiksi negara 

untuk menerapkan hukum perdatanya terhadap suatu peristiwa 

perdata tertentu yang terjadi di suatu tempat tertentu.  

c.  Dari perspektif ruang atau tempat objek yang diaturnya, yurisdiksi dapat 

digolongkan menjadi: 

i. Yurisdiksi Teritorial atau Yurisdiksi Wilayah (territorial jurisdiction), yaitu 

yurisdiksi negara untuk mengatur dan menerapkan hukumnya terhadap 

objek (yang dapat berupa masalah, benda, orang, atau peristiwa) yang 

berada dalam wilayahnya. Wilayah suatu negara mencakup wilayah 

darat, laut, maupun udara.  

Konsep yurisdiksi teritorial menjadi lebih luas daripada yang 

pertama kali muncul, sebab  tidak hanya mencakup kejahatan yang 

dilakukan di wilayah negara tetapi juga untuk kejahatan yang hanya 

sebagian  terjadi di bagian wilayah suatu negara, contoh  di mana 

seseorang menembakkan senjata ke seberang perbatasan yang 

mengakibatkan terbunuhnya seseorang.

Namun, dalam hubungan dengan yurisdiksi teritorial ini ada  

beberapa hal yang menjadi pengecualian. Artinya, terhadap hal-hal 

ini  tidak berlaku yurisdiksi teritorial suatu negara, yaitu:

a) Kepala negara atau kepala pemerintahan negara asing yang sedang 

berada dalam wilayah suatu negara; 

b) Kepala dan staf diplomatik dan konsuler negara asing yang sedang 

menjalankan tugasnya dalam suatu negara; 

c) Angkatan bersenjata negara asing yang sedang menjalan tugas atau 

misi kenegaraan di suatu negara; 

d) Kepala dan staf lembaga-lembaga atau organisasi internasional 

yang bertugas di suatu negara; 

e) Gedung-gedung atau kantor-kantor perwakilan diplomatik (diplomatic 

premises) negara asing di suatu negara, termasuk area yang 

dipakai  untuk keperluan misi diplomatik negara asing ini  

beserta arsip-arsipnya; 

f) Gedung-gedung atau kantor-kantor pusat maupun kantor perwakilan 

dari organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga internasional 

beserta segenap arsip-arsipnya; 

g) Kapal-kapal dan pesawat udara publik milik negara asing yang 

sedang berada di wilayah suatu negara.  

ii. Yurisdiksi Kuasi-Teritorial atau Yurisdiksi Teritorial Semu (quasi-

territorial jurisdiction), yaitu yurisdiksi suatu negara terhadap objek 

(masalah, orang, benda, peristiwa) yang berada di suatu tempat yang 

sesungguhnya bukan merupakan wilayah negara yang bersangkutan 

namun berdekatan atau bersambungan dengan wilayah negara itu. Hal 

ini dapat terjadi jika                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    

wilayah suatu negara sedemikian rupa keadaannya sehingga dalam 

praktik sangat sukar untuk menentukan di mana sesungguhnya batas 

wilayah negara yang bersangkutan. Ini mungkin terjadi di mana sebuah 

negara melakukan kontrol oleh kekuatan militernya di atas sebidang 

tanah di luar wilayahnya yang tepat.  

Meskipun yurisdiksi kuasi-teritorial ini mungkin tidak pernah dilihat 

sebagai dasar yurisdiksi atas anggota militer yang bertugas di wilayah 

ini , masalah akan timbul apabila berkaitan dengan warga sipil 

terkait.  

iii. Yurisdiksi Ekstra-teritorial (extraterritorial jurisdiction), yaitu yurisdiksi 

negara terhadap suatu tempat atau daerah yang jauh berada di luar 

wilayahnya. contoh  laut lepas (high seas), ruang udara internasional 

atau ruang udara bebas (international air space), wilayah atau area 

yang statusnya disamakan dengan laut lepas atau ruang udara bebas 

(contoh  Kutub Utara dan Kutub Selatan). Wilayah-wilayah ini  

memiliki ketentuan hukum masing-masing berdasar  hukum 

internasional.225 

iv.Yurisdiksi Universal (universal jurisdiction), yaitu yurisdiksi yangdimiliki 

oleh semua negara terhadap suatu hal atau peristiwa tertentu 

mengingat kekhasan atau kekhususan hal atau peristiwa ini . Hal-

hal atau peristiwa yang ditundukkan pada yurisdiksi ini, antara lain, 

jenis-jenis kejahatan yang dianggap sebagai musuh seluruh umat 

manusia (hostis humani generis). contoh  perdagangan budak, 

pembajakan di laut, perdagangan gelap narkotika dan bahan-bahan 

psikotropika (narcotics and psychotropic substances), kejahatan 

genosida, kejahatan perang, pembajakan pesawat udara atau kejahatan 

penerbangan. Contoh penerapan yurisdiksi universal ini dapat dilihat 

pada Pengadilan Nurembergyang mengadili para pelaku kejahatan 

perang pada perang dunia kedua. Keputusan Nuremberg menetapkan 

konsep yurisdiksi universal untuk pelanggaran hukum pidana 

internasional tertentu.  

Setelah yurisdiksi universal ini dibayangi oleh Perang Dingin, pada 

tahun 1961 kembali terjadi penegasan prinsip yurisdiksi universal 

melalui kasus Attorney General of Israel v. Eichmann. Adolf Eichmann 

yaitu  seorang letnan kolonel di SS yang paling bertanggung jawab 

                                                           

untuk mengokupasi orang-orang Yahudi yang didominasi NAZI di 

seluruh Eropa untuk dibawa ke pusat-pusat pembantaian di Eropa 

Timur khususnya Polandia. Selama dua dekade Eichmann sempat 

kabur ke Argentina namun kemudian tertangkap pada tahun 1960 oleh 

tentara khusus Israel dan dibawa ke Israel untuk diadili di Pengadilan 

Yerusalem. Pengadilan memutuskan kejahatan yang dilakukan oleh 

Eichmann bukan hanya kejahatan berdasar  hukum Israel saja 

sebab  telah menyerang umat manusia dan mengusik nurani bangsa-

bangsa, hal ini  merupakan pelanggaran berat terhadap hukum 

negara-negara. Pengadilan menegaskan yurisdiksi untuk mengadili 

kejahatan berdasar  hukum internasional bersifat universal. 

v. Yurisdiksi Eeksklusif. Yurisdiksi negara ini lahir dalam sejarah 

perkembangan hukum laut internasional yang didorong oleh keinginan 

dan kemampuan negara-negara untuk mengeksplorasi dasar laut (sea 

bed) dan tanah yang berada di bawahnya untuk kemudian dieksploitasi 

sumber daya alam yang ada di dalamnya. Jadi, yang dimaksud dengan 

yurisdiksi ini yaitu  diberikan hak atau kewenangan eksklusif kepada 

suatu negara tertentu (oleh hukum internasional) untuk mengeksploitasi 

atau mengambil manfaat ekonomi suatu area laut tertentu, seperti di 

landas kontinen (continental shelf), di zona ekonomi eksklusif (exclusive 

economic zone) bagi negara-negara yang memiliki wilayah laut.228 

 

4.4. Yurisdiksi Negara dan Ekstradisi 

Salah satu masalah penting yang berkait dengan persoalan yurisdiksi 

negara dalam hukum internasional yaitu  masalah ekstradisi (extradition). 

Masalah ekstradisi ini timbul tatkala seorang pelaku kejahatan melarikan diri ke 

suatu negara dengan maksud untuk menghindari tuntutan hukum atau hukuman 

dari negara yang memiliki yurisdiksi baik atas orangnya maupun perbuatan orang 

ini . Negara yang memiliki yurisdiksi ini  tidak dapat begitu saja 

mengambil atau menangkap orang yang bersangkutan sebab  ia telah berada di 

wilayah negara lain. Sebab, jika tindakan demikian dilakukan maka hal itu 

merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan negara lain di mana hal itu dilarang 

oleh hukum internasional.  Dalam hukum internasional dikenal satu asas penting 

yaitu par im parem non habet imperium, artinya suatu negara berdaulat dilarang 

melakukan tindakan yang bersifat pelaksanaan kedaulatan terhadap negara 

berdaulat lainnya. Dalam keadaan demikianlah lahir masalah ekstradisi di mana 

negara yang memiliki yurisdiksi baik atas orang maupun perbuatan orang itu dapat 

mengajukan permintaan kepada negara tempat orang ini  berada untuk 

menyerahkan orang itu dengan maksud agar orang ini  dapat diadili (dalam 

hal orang dimaksud berstatus terdakwa atau tersangka) atau dihukum (dalam hal 

orang dimaksud telah berstatus terhukum atau terpidana). Ekstradisi dapat 

dilaksanakan dengan berdasar  perjanjian bilateral.  (Tentang ekstradisi 

secara khusus akan dijelaskan pada bab selanjutnya). 

 


Analisa kasus klasik Lotus Case di bawah ini dengan melaksanakan seven 

jumps approach! 

Lotus Case yaitu  sebuah kasus klasik dalam hukum internasional yang 

terkait dengan yurisdiksi  kasus ini terjadi antara Prancis dan Turki. Kasus ini 

diselesaikan di Permanent Court of International Justice (PCIJ)  pada tahun 1927 

sebab  kedua negara sepakat untuk menyelesaikan persengketaan mereka di 

sana. Pernyataan Turki atas yurisdiksi warga negara Prancis yang merupakan 

perwira pertama sebuah kapal yang bertabrakan dengan kapal Turki di laut lepas 

ditentang oleh Prancis dan dinyatakan sebagai pelanggaran hukum internasional. 

Kasus yang melibatkan kedua negara ini  yaitu tabrakan antara kapal 

Prancis Lotus dan kapal Turki Boz-Kourt yang terjadi sesaat sebelum tengah 

malam pada tanggal 2 Agustus 1926. Kapal Perancis itu dikepalai oleh seorang 

warga Prancis dengan nama Demons sementara kapal Turki Boz-Kourt dikepalai 

oleh Hassan Bey. Turki kehilangan delapan orang setelah kapal mereka terbagi 

dua dan tenggelam akibat tabrakan ini . Lotus melakukan semua yang bisa 

dilakukan kekuatannya untuk membantu kapal ini , Lotus melanjutkan 

perjalanannya ke Konstantinopel dan tiba pada tanggal 3 Agustus. Pada tanggal 5 

Agustus, Letnan Demons diminta oleh otoritas Turki untuk ke darat dan 

memberikan bukti. Setelah Demons diperiksa, dia ditangkap tanpa pemberitahuan 

kepada Konsul Jenderal Prancis dan Hassan Bey. Demons dihukum oleh 

pengadilan Turki sebab  kelalaiannya yang menyebabkan kecelakaan itu 

terjadi.230 

berdasar  peristiwa ini  yang menjadi permasalahan yaitu , 

apakah hukum internasional ada mengatur mengenai larangan suatu negara 

untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya terhadap orang asing di luar yurisdiksi 

nasional negaranya? 

 

                                                           


6.3.Study Task 

 Kasus kedua yang dipaparkan dalam bab ini yaitu  Germany v Italy: 

Greece intervening. Mahasiswa dapat melakukan study task untuk kasus ini. 

Dalam keputusan ICJ pada tanggal 3 Februari 2012 tentang Yurisdiksi 

Imunitas Negara dalam kasus intervensi terhadap Yunani  yang melibatkan 

Jerman vs Italia, menegaskan imunitas negara sebagai prinsip dasar dalam 

hukum internasional, yang berasal dari kedaulatan negara dan dikonfirmasi 

sebagai konsepsi tradisional hukum internasional. ICJ menjunjung tinggi 

kewajiban hukum internasional untuk menghormati imunitas negara dalam kasus 

perdata di depan pengadilan asing, bahkan dalam kasus-kasus yang melibatkan 

pelanggaran hak asasi manusia berat dan hukum humaniter internasional. ICJ 

menolak gagasan bahwa nilai-nilai tertentu dari masyarakat internasional, seperti 

norma-norma hak asasi manusia dan standar hukum humaniter, dapat dijadikan 

pertimbangan atas dasar kemanusiaan untuk dijadikan pengecualian terhadap 

sistem hukum internasional berbasis kedaulatan tradisional dan penghapusan 

imunitas negara berdaulat.  

Singkatnya, ICJ berpendapat bahwa kegagalan Italia untuk mengakui 

imunitas Jerman sehubungan dengan tindakan sipil terhadap Jerman merupakan 

pelanggaran hukum internasional. Secara khusus, ICJ menemukan bahwa Italia 

melanggar kewajibannya untuk menghormati imunitas Jerman berdasar  

hukum internasional. Tindakan Itali ini  yaitu: pertama, dengan membiarkan 

klaim sipil; kedua, mengambil tindakan penegakan hukum dan yang ketiga, 

menyatakan dapat diterapkannya keputusan pengadilan Yunani. Akibatnya, ICJ 

memerintahkan Italia untuk memastikan bahwa keputusan dan tindakan yang 

melanggar imunitas Jerman harus dihentikan. 


. Definisi Ekstradisi 

 Di era globalisasi, perkembangan ilmu dan teknologi telah meningkatkan  

mobilitas pergerakan manusia. Seseorang dapat mengawali aktivitasnya di 

Jakarta, untuk kemudian bertransaksi bisnis di Singapura, dilanjutkan di Kuala 

Lumpur, hingga pada akhirnya beristirahat di Bangkok. Rangkaian aktivitas ini 

dapat dilaksanakan dalam waktu 12 Jam. Peningkatan mobilitas manusia ini tentu 

tidak selalu memberikan dampak positif. Tidak tertutup kemungkinan seseorang 

melakukan kejahatan dan/atau pelanggaran yang menimbulkan persoalan 

yurisdiksi ekstra territorial. Sebagai ilustrasi, seseorang yang beraktivitas tadi 

mungkin saja melakukan kejahatan online banking ketika berada di Singapura, 

melakukan pencurian ketika berada di Kuala Lumpur dan melakukan tindakan 

kecurangan credit card ketika berada di Bangkok. 

Dengan masifnya perkembangan ilmu dan teknologi yang dalam derajat 

tertentu diikuti dengan tingginya intensitas kejahatan melalui metode atau sarana 

yang mutakhir, maka negara-negara tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dalam 

menanggulangi model kejahatan seperti ini. Dibutuhkan kerjasama yang intensif, 

baik melalui perjanjian-perjanjian internasional ataupun pengelolaan hubungan 

yang harmonis antar negara di dunia. 

Benar apabila setiap negara memiliki yurisdiksi atas semua orang yang 

berada di wilayahnya. Benar bahwa negara ini memiliki hak untuk menghukum 

orang yang melakukan suatu kejahatan dan/atau pelanggaran pidana di 

wilayahnya. Namun adakah yang menjamin bahwa orang ini  selalu berada 

di wilayah negara ini  ketika sedang dan/atau setelah melakukan tindakan 

pidana ini ?.232 

Di Indonesia, beberapa kasus berikut menjadi contoh sulitnya menghukum 

pelaku tindak pidana apabila si pelaku kemudian tidak berada di wilayah Indonesia 

setelah melakukan tindak pidananya. Pertama, Hendra Rahardja, mantan direktur 

bank swasta yang melakukan tindakan koruptif terhadap Bantuan Likuiditas Bank 

Indonesia (BLBI). Ia melarikan diri ke Australia dan sampai meninggal dunia. 

Begitu pun Adrian Kiki yang proses pemulangannya memulai proses panjang dan 

berliku setelah hampir 6 tahun melarikan diri ke Australia. ada  pula terpidana 

kasus Bank Century, Hartawan Aluwi yang melarikan diri ke Singapura dan baru 

dapat dipulangkan ketika izin tetapnya dan juga paspornya habis masa 

berlakunya. 

Kompleksitas penegakan hukum terhadap kasus-kasus yang melibatkan 

yurisdiksi ekstra territorial inilah yang membutuhkan kerjasama intensif antar-

negara baik dalam bentuk perjanjian internasional ataupun model kerjasama 

lainnya agar setiap tindakan pindana dapat dikenakan hukuman yang layak dan 

berkeadilan. sebab  itu, ekstradisi menjadi sarana yang penting dalam upaya 

hukum terhadap bentuk kasus seperti ini. 

 ada  beragam definisi ekstradisi, baik yang diatur dalam konvensi 

internasional ataupun doktrin para ahli, yaitu: 

Pasal 1 (a) Harvard Research Draft Convention on Extradition “Extradition 

is the formal surrender of a person by a State to another state for prosecution of 

punishment.” (Terjemahan bebas: Ekstradisi yaitu  penyerahan sevara resmi 

seseorang oleh suatu negara kepada negara lainnya untuk menjalani hukuman). 

Pasal 44 United Nations Convention against Corruption menyebutkan 

definisi ekstradisi sebagai berikut: “extradition is present in the territory of the 

requested state party, provided that the offence for which extradition is saught is 

punishable under the domestic law of both the requesting state party and the 

requested state party.” (Terjemahan bebas: Ekstradisi hadir di wilayah teritorial 

negara yang diminta, dengan ketentuan bahwa kejahatan/pelanggaran dimana 

ekstradisi itu diminta merupakan suatu kejahatan/pelanggaran yang dapat 

dihukum oleh hukum nasional negara yang meminta dan negara yang dimintakan 

ekstradisi). 

L. Oppenheim menjelaskan ekstradisi sebagai:“Extradition is the delivery of 

an accused or convicted individual to the state on whose territory he is alleged to 

have committed, or to have been convicted of, a crime by the State on whose 

territory the alleged criminal happens for the time to be .”233 (Terjemahan bebas: 

Ekstradisi yaitu  penyerahan seseorang terdakwa atau terpidana di wilayah suatu 

negara dimana seseorang ini  dituduhkan telah melakukan, atau telah 

dipidana, sebuah kejahatan oleh negara yang wilayahnya merupakan tempat 

dimana dugaan tindak pidana itu terjadi). 

J. G. Starke  kemudian mendefinisikan ekstradisi, yaitu: 

                                                          

(Terjemahan bebas: Istilah ekstradisi merujuk pada suatu proses dimana 

melalui perjanjian internasional ataupun kesepakatan timbal balik, suatu negara 

menyerahkan kepada negara lain, berdasar  permintaan, seseorang tersangka 

atau terdakwa dalam tindak pidana yang dilakukan di wilayah hukum negara yang 

meminta yang memiliki kompetensi untuk mencoba menghukum pelaku). 

Bassiouni lalu menjelaskan ekstradisi sebagai: “Extradition is a formal 

process by which a person is surrendered by one state to another based on a 

treaty, reciprocity, or comity, or on the basis of national legislation.”235 

(Terjemahan bebas: Ekstradisi yaitu  sebuah proses resmi dimana seseorang 

diserahkan oleh suatu negara ke negara lainnya berdasar  perjanjian 

internasional, asas timbal balik, atau hubungan baik atau berdasar  peraturan 

nasional). 

I Wayan Parthiana mendefiniskan ekstradisi sebagai: 

“Ekstradisi yaitu  penyerahan yang dilakukan secara formal, baik 

berdasar  perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau 

berdasar  prinsip timbal balik, atas seseorang yang dituduh 

melakukan tindak pidana kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) 

atau atas seseorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan 

yang dilakukannya (terhukum, terpidana), oleh  negara tempatnya 

melarikan diri atau berada atau bersembunyi, kepada Negara yang 

memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya, atas 

permintaan dari Negara ini  dengan tujuan untuk mengadili 

atau melaksanakan hukumannya.”236  

Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi 

memberikan definisi sebagai berikut: ”penyerahan oleh suatu negara yang 

meminta penyerahan yang disangka atau dipidana sebab  melakukan suatu 

kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi 

wilayah negara yang meminta penyerahan ini  sebab  berwenang mengadili 

dan menghukumnya.” 

 Dari serangkaian definisi diatas, ekstradisi menjadi sarana atau cara yang 

efektif untuk menghukum pelaku tindak pidana yang melarikan diri setelah 

melakukan perbuatannya untuk kemudian dibawa dan diadili di negara yang 

berwenang. Tetapi ada  permasalahan mendasar dimana belum ada 

ketentuan hukum internasional yang mengharuskan tiap negara untuk membuat 

perjanjian ekstradisi dengan negara lain.  

 Lalu timbul sebuah pertanyaan mengenai dampak mengikat suatu 

perjanjian ekstradisi. Apakah hanya dengan perjanjian ekstradisi si pelaku tindak 

pidana dapat diadili? Apakah lalu berarti tanpa adanya perjanjian ekstradisi si 

pelaku dapat menghindar atau melarikan diri dari hukuman atas kejahatan yang ia 

lakukan? 

Grotius, berdasar  teorinya aut punere aut dedere, menyebutkan bahwa 

setiap negara yang diminta wajib menyerahkan pelaku kepada Negara Peminta, 

kendati belum ada perjanjian ekstradisi antara kedua Negara ini . Grotius 

berpedoman pada konstruksi pemikiran bahwa setiap pelaku kejahatan harus 

dihukum.238 Sebaliknya, beberapa Ahli lainnya, contohnya Von Martens berasumsi 

bahwa jika belum ada  perjanjian ekstradisi, maka Negara yang diminta tidak 

memiliki kewajiban untuk menyerahkan pelaku kejahatan kepada Negara 

Peminta.239 

Dari praktek negara-negara, ada  negara yang bersedia menyerahkan 

pelaku tindak pidana, kendatipun belum ada  perjanjian ekstradisi. Sebagai 

contoh yaitu  Afrika Selatan, Kanada, dan Kolumbia. Sebaliknya, Negara-

negara yang hanya berkenan menyerahkan pelaku tindak pidana setelah ada 

perjanjian ekstradisi yaitu  Belanda, Ethiopia, Israel, dan Turki.

 Pasal 2 ayat 2 Undang-undang No. 1 tahun 1979 menyatakan bahwa dapat 

menyerahkan pelaku kejahatan kepada Negara Peminta berdasar  hubungan baik. Dalam 

kasus M. Nazaruddin, Kolombia mengijinkan Indonesia membawanya  pulang  walau tanpa melalui 

proses perjanjian ekstradisi. 

Dalam praktek di Indonesia, ada  kasus dimana Indonesia menerima 

permintaan ekstradisi tanpa melalui perjanjian ekstradisi, namun di kasus yang 

lain, menolak permintaan ekstradisi sebab  alasan belum adanya perjanjian 

ekstradisi. 

Lihat contoh kasus dimana Indonesia bersedia mengekstradisi pelaku 

kejahatan tanpa melalui perjanjian ekstradisi: 

https://www.merdeka.com/peristiwa/indonesia-ekstradisi-buronan-amerika-

tersangka-kasus-penipuan.html 

Lihat pula contoh kasus dimana Indonesia menolak permintaan ekstradisi 

tanpa adanya perjanjian ekstradisi terlebih dulu. 

http://news.metrotvnews.com/read/2016/02/10/482063/indonesia-tolak-ekstradisi-

rusia 

Indonesia sendiri memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara lain, seperti: 

1.  Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Malaysia yang telah 

diratifikasi melalui Undang-undang nomor 9 tahun 1974;  

2. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Filipina 1976, yang telah 

diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 10 tahun 1976;  

3. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Thailand 1978, yang telah 

diratifikasi  melalui Undang-undang Nomor 2 tahun 1978;  

4.  Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Australia yang telah 

diratifikasi  melalui Undang-undang nomor 8 tahun 1994; dan  

5.  Perjanjian ekstradisi  antara  Indonesia  dengan  Hongkong  yang  telah 

diratifikasi melalui Undang-undang nomor 1 tahun 2001. 

 

. Asas-Asas Umum Ekstradisi  

. Asas Kejahatan Rangkap (Double Criminality Principle)  

 Pada hakekatnya, asas ini mensyaratkan suatu perbuatan pelaku yang 

dimintakan ekstradisi harus terkualifikasi sebagai suatu tindak pidana, baik 

menurut hukum pidana Negara yang meminta (Requesting State)  dan Negara 

yang diminta (Requested State).242 Mengingat perbedaan sistem hokum, ada  

perbedaan dalam pengistilahan dan perumusan unsur-unsur tindak pidana. 

Namun apabila baik Negara yang meminta dan Negara yang diminta telah sama-sama mengkualifikasikan suatu perbuatan pelaku sebagai tindak pidana, maka 

syarat asas ini sepenuhnya terpenuhi. 

Dalam prakteknya, untuk menghindari perbedaan penafsiran dan 

ketidakjelasan rumusan, Negara-negara yang mengadakan perjanjian ekstradisi 

memuat daftar tindak pidana yang dapat diekstradisi yang tercantum dalam 

lampiran perjanjian ekstradisi ini . Di Indonesia, hal ini diatur dalam pasal 4 

Undang-undang Ekstradisi No. 1 tahun 1979. 

Lihat contoh kasus Indonesia mengekstradisi pelaku pembunuhan (sebab  

pembunuhan terkualifikasi sebagai kejahatan baik oleh Indonesia 


Asas Kekhususan (Principle of Speciality) 

 Pada saat pelaku telah diekstradisi oleh Negara yang diminta kepada 

Negara yang meminta, maka asas ini mulai berfungsi. Dengan demikian, maka 

pelaku ini  tunduk pada yurisdiksi hokum Negara peminta (Requesting 

State).244 berdasar  asas ini, seorang pelaku yang telah diekstradisi hanya 

dapat diadili atau dihukum berdasar  tindak pidana yang dijadikan alasan oleh 

Negara peminta untuk mengekstradisi pelaku ini . Sehingga Negara peminta 

tidak boleh mengadilinya atas kejahatan lain di luar dari kejahatan yang dijadikan 

sebagai dasar untuk pengekstradisiannya.245 Sebagai contoh, apabila Indonesia 

ingin mengekstradisi si A sebab  kasus korupsi, maka ketika Thailand setuju 

mengekstradisi, maka Indonesia harus mengadili atau menghukum si A tadi 

dengan kasus korupsi, bukan kasus/kejahatan lainnya. 

Di Indonesia, asas kekhususan ini diatur dalam Pasal 15 Undang-undang 

Ekstradisi Nomor 1 Tahun 1979 yang menyatakan bahwa” Permintaan ekstradisi 

ditolak, jika orang yang dimintakan ekstradisi akan dituntut, dipidana, atau ditahan 

sebab  melakukan kejahatan lain daripada kejahatan yang sebab nya ia 

dimintakan ekstradisinya, kecuali dengan izin Presiden.” 

 

. Asas tidak menyerahkan warga negara (Non-extradition of Nationals) 

 Asas ini menyebutkan bahwa Negara yang diminta (requested state) dapat 

menolak permintaan ekstradisi pelaku tindak pidana apabila ternyata pelaku 

ini  yaitu  warga negara dari Negara yang diminta tadi. Asas ini didasarkan 

pada pemikiran bahwa Negara memiliki kewajiban untuk melindungi warga 

negaranya dan sebaliknya warga Negara berhak mendapatkan perlindungan dari 

negaranya. 246 Dalam Undang-undang Ekstradisi Nomor 1 tahun 1979, hal ini 

diatur dalam pasal 7. 

Apabila negara yang diminta menolak permintaan ekstradisi, negara ini  

tetap berkewajiban mengadili atau menghukum warga negaranya itu berdasar  

pada hukum nasionalnya sendiri.  

Lihat contoh kasus dimana Spanyol menolak permintaa Ekstradisi Indonesia 

sebab  pelaku kejahatan yaitu  warga Negara Spanyol. 


 

. Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (Non-extradition of 

Political Criminal) 

 Pada hakekatnya, negara yang diminta (requested state) wajib menolak 

permintaa ekstradisi apabila kejahatan yang didasarkan sebagai alasan 

permintaan ekstradisi oleh negara yang meminta (requesting state) yaitu  

kejahatan politik. Di Indonesia, pasal 5 Undang-undang Ekstradisi Nomor 1 Tahun 

1979 mengatur ketentuan ini. Namun belum ada  kesepahaman diantara para 

ahli, maupun praktek negara-negara mengenai definisi kejahatan politik, serta 

unsur-unsur yang mengikat didalamnya. 

  Asas non bis in idem atau ne bis in idem 

 Asas ini mensyaratkan bahwa pelaku kejahatan tidak boleh diadili atau 

dihukum lebih dari sekali untuk suatu kejahatan yang sama.248 Terkait dengan 

ekstradisi, jika pelaku kejahatan yang dimintakan diekstradisi ternyata sudah 

pernah diadili untuk kejahatan ini  baik di wilayah negara yang meminta 

(requesting state) ataupun negara ketiga,dan telah berkekuatan hokum tetap, 

maka negara yang diminta (requested state) wajib menolak permintaan ekstradisi 

ini.249 Di Indonesia, ketentuan ini ada  dalam pasal 10 Undang-undang 

Ekstradisi Nomor 1 Tahun 1979. 

 

. Asas Daluwarsa (Lapse Time) 

 Asas ini mensyaratkan bahwa apabila pelaksanaan hukuman terhadap 

kejahatan yang dijadikan alasan permintaan ekstradisi atas seorang pelaku sudah 

daluwarsa, berdasar  hukum dari salah satu atau kedua belah pihak, maka 

negara yang diminta (requested state) wajib menolak permintaan ekstradisi.250 Di 

Indonesia, hal ini diatur dalam pasal 12 Undang-undang Ekstradisi Nomor 1 

Tahun 1979. 

 . Masalah Kejahatan Politik dalam Ekstradisi 

 Sebagaimana telah disinggung di atas, kejahatan politik tidak boleh 

dijadikan dasar untuk mengajukan permintaan ekstradisi.  Artinya, jika suatu 

negara menerima suatu permintaan ekstradisi yang didasarkan atas kejahatan 

politik maka negara ini  harus menolak permintaan ekstradisi itu.

 Yang menjadi pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan kejahatan politik 

itu? Pada awal perkembangannya, kejahatan politik hanya diartikan sebagai 

kejahatan menentang pemerintah yang sah atau yang sedang berkuasa. Menurut 

sejarahnya, konsepsi kejahatan politik lahir pada masa Revolusi Perancis (yang 

kemudian berhasil meruntuhkan kekuasaan monarki absolut Raja Louis XVI dan 

Louis XVII di Perancis). Sebelum itu tidak dikenal adanya konsepsi kejahatan 

politik. Sehingga, meskipun saat itu sudah ada praktik ekstradisi, pelaku kejahatan 

politik pun tidak dikecualikan.  

 Tatkala Perancis berada di bawah pemerintahan Raja Louis XVI dan Louis 

XVII terjadi penindasan terhadap kebebasan dan hak asasi manusia. Oleh sebab  

itu banyak orang yang menentangnya. Sebagian dari mereka ditangkap, 

dipenjarakan, bahkan tidak sedikit yang dihukum mati. Sebagian lagi berhasil 

melarikan diri ke luar ke negara-negara Eropa lainnya, terutama ke Inggris. Ketika 

monarki absolut di Perancis berhasil dijatuhkan dan Perancis berubah menjadi 

republik, di mana kebebasan dan hak asasi manusia dihormati, maka para 

pelarian politik itu pulang kembali ke Perancis. Namun hingga saat itu, konsepsi 

kejahatan politik belum lahir. Bahkan hingga tahun 1830 masih banyak pelaku 

kejahatan politik diekstradisikan. 

 Salah seorang yang dianggap pelopor yang mencetuskan gagasan tidak 

mengekstradisikan pelaku kejahatan politik yaitu  Sir James Mackintosh, pada 

tahun 1815. Ia bahkan mengatakan, pelaku kejahatan politik justru harus diberi 

suaka politik. Namun, orang pertama yang membahas secara ilmiah prinsip tidak 

mengekstradisikan pelaku kejahatan politik yaitu  seorang sarjana Belanda yang 

bernama Henricus Provo Kluit dalam disertasinya yang berjudul “De Deditoine 

Profugorum” tahun 1829. Sementara itu, perjanjian ekstradisi pertama yang 

tercatat mencantumkan ketentuan tidak mengekstradisikan pelaku kejahatan 

politik yaitu  perjanjian ekstradisi antara Perancis dan Belgia tahun 1834. 

sedang , negara pertama yang mencantumkan ketentuan dalam undang-

undangnya untuk tidak mengekstradisikan pelaku kejahatan politik yaitu  Belgia, 

dalam undang-undang ekstradisinya tahun 1833.  

   Dasar pemikiran yang melandasi asas tidak mengekstradisikan pelaku 

kejahatan politik yaitu  bahwa menentang suatu rejim yang berkuasa sebab  

memiliki keyakinan politik yang berbeda bukanlah kejahatan. Hal itu yaitu  bagian 

dari hak asasi yang harus dihormati. Dengan kata lain, asas tidak 

mengekstradisikan pelaku kejahatan politik yaitu  untuk menghormati hak asasi 

manusia, yaitu hak untuk bebas menganut suatu keyakinan politik. Di samping itu, 

ada pertimbangan lain yang bersifat praktis. Jika seseorang yang melakukan 

perlawanan terhadap rejim yang berkuasa, sebab  memiliki keyakinan politik yang 

berbeda, dianggap sebagai kejahatan, sementara itu pada suatu ketika ternyata 

orang itu berhasil menjatuhkan rejim itu dan berhasil memerintah, maka sangat 

mungkin terjadi di mana justru rejim yang berhasil digulingkan itu yang akan 

dianggap sebagai penjahat. Dalam keadaan demikian maka ukuran kejahatan itu 

menjadi tidak jelas dan sekaligus tidak pasti sebab  tergantung pada rejim yang 

berkuasa.  

 Dalam perkembangan selanjutnya ternyata muatan atau substasi kejahatan 

politik itu tidak sesederhana yang diuraikan di atas. Acapkali terjadi suatu 

kejahatan di samping mengandung unsur kejahatan biasa juga mengandung 

unsur kejahatan politik sehingga ada  kesulitan untuk menarik garis pemisah di 

antara keduanya. Ada kejahatan yang sepintas tampak seperti kejahatan biasa 

ternyata ada  motif, latar belakang, maksud, dan tujuan politik di belakangnya. 

Akibatnya, sangat sukar untuk memberikan perumusan yang jelas tentang isi dan 

ruang lingkup kejahatan politik itu. Salah satu cara yang ditempuh kemudian 

yaitu  dengan membuat rincian tentang kejahatan-kejahatan apa saja yang 

secara tegas dapat digolongkan sebagai kejahatan politik. Namun, usaha ini pun 

kurang memuaskan sehingga hingga saat ini pun belum ada kesatuan pendapat di 

kalangan ahli mengenai isi dan ruang lingkup kejahatan politik ini . 

Perbedaan pendapat ini  juga tercermin dalam praktik negara-negara. 

 Konvensi Ekstradisi Eropa 1957 (European Convention on Extradition), 

Pasal 3 Ayat (1) dan (2) menggolongkan kejahatan politik menjadi tiga golongan 

atau katagori, yaitu: 

a) Kejahatan politik murni (purely political offence).  

b) Kejahatan politik kompleks (de delit complexe); 

c) Kejahatan politik yang bertautan (de delit connexe). 

 Menurut Ivan Anthony Shearer, penggolongan kejahatan yang dianut dalam 

Konvensi Ekstradisi Eropa ini  yaitu  penggolongan kejahatan politik yang 

umum dianut oleh para penulis Amerika Latin. Kejahatan politik murni yaitu  

kejahatan yang semata-mata ditujukan pada ketertiban politik (an act solely 

directed against political order). Sementara kejahatan politik kompleks yaitu  

kejahatan yang di samping ditujukan kepada ketertiban politik juga terhadap hak-

hak pribadi warga negara. sedang  kejahatan politik yang bertautan yaitu  

bahwa kejahatan itu sendiri tidak ditujukan kepada suatu ketertiban politik namun 

mempunyai hubungan erat dengan tindakan atau kejahatan lain yang ditujukan 

kepada ketertiban politik. 

 Meskipun telah ada  upaya untuk membuat penggolongan (sekaligus 

pembedaan) jenis-jenis kejahatan politik, dalam praktik tetap tidak mudah 

dilakukan pembedaan antara kejahatan politik dan kejahatan biasa, khususnya 

menyangkut kejahatan politik kompleks dan kejahatan politik yang bertautan. 

sebab  itulah, pengadilan Swiss berusaha memperkenalkan suatu teori yang 

bernama Teori Preponderance untuk membedakan kejahatan politik dengan 

kejahatan biasa. 

 Menurut teori ini, dalam mempertimbangkan suatu kejahatan yang dijadikan 

dasar permintaan ekstradisi, terlebih dahulu unsur mana yang lebih besar atau 

lebih dominan, apakah unsur kejahatan biasa ataukah unsur kejahatan politiknya. 

Jika dalam suatu kejahatan unsur kejahatan politiknya lebih menonjol maka 

kejahatan ini  harus dianggap sebagai kejahatan politik (dengan demikian 

tidak boleh diekstradisikan). Demikian pula sebaliknya.  

 Meski tampaknya teori ini memberi jalan keluar, dalam praktik hal itu 

ternyata tetap sukar untuk diterapkan. Sebab, contoh , dalam suatu kasus, unsur 

kejahatan politknya secara kuantitatif memang kecil namun secara kualitatif justru 

besar. Apakah ia akan digolongkan sebagai kejahatan politik ataukah kejahatan 

biasa. Oleh sebab  itu, pada akhirnya persoalan kejahatan politik ini tetap 

bergantung pada praktik negara-negara. 

 . Klausula Attentat (Attentat Clause) 

 Pada saat ini, dalam berbagai perjanjian ekstradisi kerap dicantumkan 

suatu klausula yang dinamakan Klausula Attentat (Attentat Clause). Suatu jenis 

kejahatan yang meskipun secara jelas dapat digolongkan sebagai kejahatan 

politik namun tidak dianggap sebagai kejahatan politik. Dengan kata lain, sifat 

politik dari kejahatan itu dihilangkan atau dihapuskan. Tujuannya yaitu  untuk 

menghindari asas non extradition of political criminal, sehingga pelakunya tetap 

dapat diekstradisikan. 

 Contoh kejahatan yang terhadapnya diberlakukan klausula demikian 

contoh  kejahatan menghilangkan nyawa atau percobaan menghilangkan nyawa 

kepala negara dan/atau anggota keluarganya. Kejahatan demikian, dalam banyak 

perjanjian ekstradisi, lazim dikecualikan dari ruang lingkup kejahatan politik. 

Dengan kata lain, terhadap kejahatan demikian, sebab  dianggap bukan kejahatan 

politik, maka pelakunya dapat diekstradisikan.  

 Jadi, yang dimaksud dengan Klausula Attentat yaitu  suatu klausula yang 

dicantumkan dalam suatu perjanjian ekstradisi yang menghapuskan sifat politik 

suatu kejahatan sehingga pelakunya dapat diekstradisikan.  

 Ekstradisi menjadi sarana atau cara yang efektif untuk menghukum pelaku 

tindak pidana yang melarikan diri setelah melakukan perbuatannya untuk 

kemudian dibawa dan diadili di negara yang berwenang. Hanya saja belum ada 

instrumen hukum internasional yang mengatur secara jelas mengenai ekstradisi 

sehingga selama ini masih diperlukan adanya perjanjian bilateral antara Negara 

yang menyerahkan tersangka dengan Negara penerima tersangka. Kejahatan 

politik yaitu  bentuk kejahatan yang tidak bisa dilakukannya ekstradiksi.Jjika 

suatu negara menerima suatu permintaan ekstradisi yang didasarkan atas 

kejahatan politik maka negara ini  harus menolak permintaan ekstradisi itu.