cyber crime 27

Sabtu, 30 November 2024

cyber crime 27




 at biasanya merasa kesepian (Retnowati, 2015) 


tanpa pasangan dan terbuai oleh cerita dan perhatian yang didramatisasi 


oleh penipu ulung  (Rahayu, 2022). Tak sedikit pula, korban terpancing implusif 


sehingga dengan mudahnya memenuhi permintaan penipu ulung  (Whitty, 


2017). Bahkan, tak jarang pada penipuan  digital umum, penipu ulung  


memainkan rasa takut dan khawatir dari calon korbannya dengan 


berbagai cara (Wardani, 2022).

Contoh lain disampaikan oleh korban  survei asal Maluku Utara 


berinisial KJ (38 tahun, 9 April 2022) yang mengatakan bahwa penipu ulung  


benar-benar cerdas memanfaatkan situasi psikis calon korbannya.

Saya tiba-tiba dapat pesan di aplikasi chat diikuti dengan telepon yang yang 


mengatasnamakan perusahaan tertentu, dan anehnya mereka seolah tahu 


kondisi yang tepat untuk melakukan aksi penipuan  mereka

Sama halnya dengan AY (23, FGD, 9 April 2022), korban  asal Nusa 


Tenggara Barat yang mengaku tergoda secara kejiwaan karena 


mendengar iming-iming nominal yang fantastis. 

Mungkin karena kita mendengar angkanya gede ini dan mungkin 


secara tidak sadar saya melakukan transaksi.”


Dimensi psikologis ini menjadi pendorong yang tentu saja tidak dapat 


disamaratakan karena kondisinya bisa berbeda-beda dan dipengaruhi 


oleh faktor-faktor lainnya. Akan tetapi, kondisi ini nyatanya bisa menjadi 


faktor intrinsik yang pertama kali menggerakkan para calon korban untuk 


menindaklanjuti tahapan-tahapan berikutnya sehingga menelan mereka 


ke dalam pusaran pihak yang merugi. 

Dari 15 jenis modus penipuan  digital yang ditanyakan dalam survei ini, 


penipuan  digital yang paling banyak menjerat korban ialah penipuan  


berkedok hadiah dengan persentase sebesar 36,9%. Jenis penipuan  digital 


ini diikuti dengan pengiriman tautan berisi malware/virus (33,8%), 


penipuan  jual beli (29,4%), situs web/aplikasi palsu (27,4%), dan penipuan  


berkedok krisis keluarga (26,5%). 


Dari lima besar modus penipuan  digital ini , tiga jenis penipuan  


digital yakni penipuan  berkedok hadiah, pengiriman tautan berisi 


malware/virus, dan situs web/aplikasi palsu tergolong sebagai mass￾marketing fraud/scam. Modus jenis ini biasanya dikirimkan ke (calon) 


korban secara massal dan masif serta tidak melibatkan pemalsuan dan 


pencurian data pribadi (calon) korbannya. 


EA (25 tahun, FGD, 12 Feb 2022) mengemukakan bahwa penipuan  


berkedok hadiah pernah menghampi r inya. Setelah penipu ulung  


meneleponnya berkali-kali, ia akhirnya mengangkatnya dengan informasi 


dari penipu ulung  bahwa dirinya mendapatkan undian cashback dari suatu 


lokapasar senilai jutaan rupiah.

HP bunyi sampe tujuh kali, terus karena sudah geregetan, saya angkat dan katanya 


saya menang undian cashback dari suatu lokapasar senilai dua juta lima ratus ribu.”


Faktanya, undian itu menjebaknya untuk mengirimkan sejumlah dana 


yang dimintakan dengan alasan biaya administrasi dan semacamnya.

Sangat variatifnya modus penipuan  dan medium yang dipakai membuat 


setiap kelompok usia bisa tertipu oleh modus penipuan  mana pun. Meski 


begitu, ada  sebuah kecenderungan yang menunjukkan kelompok 


usia tertentu lebih rentan terhadap sebuah modus penipuan  tertentu. 

Kecenderungan ini ditampilkan dalam grafik di bawah ini, berdasarkan 


empat kelompok usia yang digunakan dalam riset ini, yaitu generasi Z 


(lahir 1997-2012), generasi Y atau Milenial (1981-1996), Gambar 4.3. 


Korban penipuan  Digital Berdasarkan Usia generasi X (1965-1980), dan 


generasi Baby Boomer (1946-1964

Selanjutnya, riset ini juga memeringkat kelompok usia yang secara 


persentase paling sering menjadi korban penipuan  digital, seperti tampak 


dalam tabel berikut.

Berdasarkan peringkat yang tampak dari tabel di atas, kategori usia yang 


paling banyak menjadi korban adalah Baby Boomer, yaitu sebanyak 72,6% 


korban  dari kelompok usia ini , diikuti generasi Z (68,1%), 


generasi X (67%), dan generasi Y atau Milenial (62,8%).


Generasi Baby Boomer paling banyak tertipu oleh penipuan  berkedok 


hadiah, yang dialami oleh hampir setengah dari mereka (49,6%), dan 


diikuti oleh penipuan  berkedok krisis keluarga (46%). Meski demikian, 


mereka juga sering terjebak membuka tautan yang berisi malware/virus, 


seperti dialami oleh informan IK berikut ini

Saat itu komputer saya ngadat, lalu saya cari software yang bisa membantu 


untuk memperlancar. Setelah browsing, saya menemukan situs web, tapi 


setelah saya masuk ke dalamnya, yang terjadi malah situs itu membuat 


kerusakan pada dokumen-dokumen yang di komputer saya,” IK (58 tahun, 


FGD, 12 Februari 2022)

Sementara itu, pengalaman generasi Z diwakili oleh informan AR yang 


terjebak penipuan  berkedok hadiah seperti diuraikan di bawah ini. 


AR (24 tahun, FGD, 12 Feb 2022) mengisahkan bahwa dirinya terjebak 


penipuan  berkedok hadiah dengan memakai  modus telepon. 


“Dia langsung telepon, bahwa saya menang undian, banyak banget pilihannya, 


lalu saya pilih motor. Kalau mau ambil motor ini, saya harus transfer pulsa gitu, 


pulsanya nominal juga beda-beda.” AR (24 tahun, FGD, 12 Februari 2022) 


Selanjutnya, untuk generasi X, jenis penipuan  digital yang paling sering 


menjerat mereka adalah penipuan  berkedok hadiah, yang dialami oleh 


35,9% dari mereka. Contoh pengalaman ini ditunjukkan oleh dua cerita 


berikut. 


IY (50 tahun, FGD, 9 April 2022), korban  asal Bali mengisahkan bahwa 


dirinya terjebak penipuan  jual beli karena terbuai dengan barang 


kebutuhan rumah tangga yang ditawarkan lebih bervariasi di toko online 


dibandingkan  berbelanja secara langsung di toko. Sayangnya, barang yang 


dibelinya tidak kunjung datang.

Saya ingin rak piring, anak saya bilang bagus kalau pesan online karena banyak 


pilihan. Saya sudah bayar barangnya, tapi kemudian bukan barangnya yang 


datang, justru ojek online yang menagih katanya untuk barang itu.” (IY, 50 


tahun, FGD, 9 April 2022)


Kisah lainnya datang dari DE (44 tahun, FGD, 9 April 2022), korban  


survei domisili Jawa Timur mengaku ditelepon penipu ulung  berkedok krisis 


keluarga dengan modus yang lebih rapi dan instruktif. Ia bahkan mengaku 


seperti terhipnotis sehingga ia melakukan apa saja yang diinstruksikan 


penipu ulung  melalui telepon tersebut

Saya ditelepon diarahkan untuk ke ATM dan mentransfer sejumlah uang yang dia 


minta, instruksinya tegas banget dan saya lakukan saja mungkin karena 


terhipnotis.” (DE, 44 tahun, FGD, 9 April 2022) 


Yang terakhir, kelompok usia yang paling jarang menjadi korban penipuan  


digital adalah generasi Y atau Milenial. Meski demikian, persentase 


kelompok ini yang terjerat penipuan  juga tinggi, salah satunya adalah 


penipuan  jual beli, yang menjerat informan MD, seperti dalam kisah di 


bawah ini.


MD (27 tahun, FGD, 9 April 2022), korban  domisili Papua menjadi 


korban penipuan  jual beli di salah satu platform media sosial karena 


terbuai dengan promosi harga barang dan kemasan visual yang menarik. 


“Saya lagi browsing baju gamis lebaran di media sosial, tergiur dengan iklan 


yang cantik dan harga murah, langsung check-out dan ternyata barangnya tidak 


dikirim sama sekali.” (MD, 27 tahun, FGD, 9 April 2022) 


Serupa dengan MD, korban  inisial WA (28 tahun, 9 April 2022) asal 


Sulawesi Selatan juga terjerat penipuan  jual beli koin untuk bermain game 


yang didapatnya dari iklan di media sosial. 


“Saya dapat iklan koin game di media sosial, saya klik dan terhubung ke aplikasi 


chat untuk transaksi, tetapi setelah transaksi dan nomor dihubungi kembali, tak 


ada balasan sama sekali.” (WA, 28 tahun, FGD, 9 April 2022)

Dari kedua kisah korban  ini  bisa disarikan bahwa penipuan  jual 


beli yang menargetkan kelompok generasi milenial umumnya disebabkan 


oleh tawaran harga barang yang lebih murah, iklan yang dirancang 


sedemikian rupa untuk meyakinkan, serta kadang kala muncul karena 


dorongan untuk memenuhi suatu kebutuhan spesifik untuk momentum 


tertentu.

Pendapatan korban  dalam survei ini dibagi ke dalam enam kategori 


yaitu dari pendapatan yang terhitung paling tinggi (lebih dari 


Rp3.500.000/bulan) hingga belum punya penghasilan dan memilih untuk 


tidak menjawabnya. Enam kelompok ini disusun berasarkan kategori 


pendapatan masyarakat negara kita  yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik. 


Tabel berikut menunjukkan persentase tertinggi dari penipuan  digital dan 


pendapatan korbannya.

Jika dilihat dari kategori pendapatan yang pernah tertipu atau menjadi 


korban penipuan  digital, mereka yang paling banyak menjadi korban 


adalah kelompok pendapatan kurang dari Rp1.500.000 per bulan, yaitu 


sebanyak 72,4% korban  dari kelompok pendapatan ini . 


Kelompok berikutnya adalah korban  dengan pendapatan antara 


Rp2.500.000-3.500.000 per bulan (70,1%), lalu mereka yang belum punya 


penghasilan (67,5%), dan kelompok korban  dengan pendapatan lebih 


dari Rp3.500.000 per bulan.

Riset ini mengelompokkan tingkat pendidikan korban  mulai dari 


jenjang sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi dengan gelar 


akademik doktoral/strata 3 (S3).

 Berdasarkan tingkat pendidikan korban  yang pernah menjadi korban 


penipuan  digital, yang paling banyak menjadi korban adalah korban  


dengan tingkat pendidikan SLTP, yaitu sebanyak 84,8% korban  dari 


kelompok tingkat pendidikan SLTP. Kelompok berikutnya adalah 


korban  dengan tingkat pendidikan SD (71,4%), yang diikuti tingkat 


Doktoral/S3 (69,2%), SLTA (69%), Sarjana/S1 (65,2%), Magister/S2 (64,2%), 


dan Diploma (21.6%). 


Data di atas menunjukkan bahwa latar pendidikan apa pun memiliki 


kerentanan yang relatif sama untuk jatuh sebagai korban. Hal ini bisa 


dikatakan terkait dengan kenyataan bahwa jenis penipuan  digital begitu 


beragam dan kadang sangat canggih secara teknologi maupun modus 


operandi sehingga siapa pun bisa menjadi korbannya.


Dengan demikian, dari ulasan bab ini dapat disimpulkan tiga poin utama. 


Pertama, mayoritas (lebih dari setengah total korban ) mengaku 


pernah menjadi korban penipuan  digital dalam berbagai modus dan 


alasan terjebak sebagai korban, dengan modus paling sering adalah 


penipuan  berkedok hadiah. Kedua, modus penipuan  digital bisa menjerat 


siapa saja tanpa peduli kelompok usianya, jumlah penghasilan yang 


dimiliki, dan taraf pendidikan yang diraih. Olehnya itu, ketiga, diperlukan 


analisis dan pendekatan yang berbeda dan kontekstual dalam edukasi 


dan literasi penipuan  digital sehingga masyarakat bisa terhindari dari 


intaian penipuan  digital yang semakin lama semakin berkembang.

penipuan  digital bagi korbannya tentu bisa menimbulkan banyak 


kerugian baik yang sifatnya materil dan immateril. Kerugian materil bisa 


berupa uang, barang, maupun benda fisik lainnya. Sedangkan kerugian 


immateril bisa berupa waktu, perasaan, kebocoran data pribadi, fisik, 


maupun lainnya. 


Komisi Eropa (2020), misalnya, membedakan dua jenis dampak utama 


yang dirasakan korban penipuan  yakni kerugian non-finansial serta 


kerugian finansial. Sementara Badawi (2021) menunjukan ragam kerugian 


baik berupa keuangan, kebocoran data pribadi, dan informasi sensitif 


lainnya, serta gangguan layanan internet itu sendiri. 


Dalam riset nasional ini, kerugian penipuan  digital dibagi atas 8 (delapan) 


jenis yakni kerugian: uang, barang, kerugian fisik, kerugian waktu, 


kerugian perasaan, kebocoran data pribadi, tidak ada kerugian, dan 


kerugian lainnya. 


Menariknya, riset ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh korban  


(50,8%) yang menjadi korban penipuan  digital menyatakan bahwa mereka 


“tidak mengalami kerugian”.

Sementara itu, di urutan kedua korban yang menyatakan mengalami 


kerugian uang berjumlah 15,2%. Sedangkan kerugian waktu berjumlah 


12%, yang diikuti oleh kerugian perasaan (8,4%). Data selengkapnya bisa 


dilihat dalam Gambar 5.1.

Lebih separuh korban  riset nasional ini menyatakan menjadi korban 


tapi tidak ada kerugian. Namun, jika dilihat lebih detail per jenis penipuan  


digital, lima urutan tertinggi jenis penipuan  digital yang korbannya merasa 


tidak dirugikan adalah sebagai berikut. Terlihat bahwa kerugian yang mungkin dirasakan dari lima jenis penipuan  


bisa kerugian finansial maupun non-finansial. Namun, temuan ini tetap 


menimbulkan pertanyaan: Bagaimana bisa menjadi korban penipuan  


digital tapi tidak merasakan kerugian sama sekali? 


Untuk menjawab pertanyaan ini, serangkaian focus group discussion (FGD) 


dilakukan setelah survei dengan melibatkan 20 korban  terpilih. 


Tujuannya adalah mengetahui lebih dalam dampak yang mereka rasakan 


sebagai korban penipuan . Sebagian besar mereka yang menyatakan 


menjadi korban tapi tidak ada kerugian beralasan telah “mengikhlaskan 


peristiwa itu” sebagai bagian dari “cobaan” atau “perjalanan hidup”. 


Berikut adalah beberapa ungkapan mereka yang menyatakan tidak 


mengalami kerugian meskipun menjadi korban penipuan  digital. 

mungkin memang ini bukan rezeki 


kita…” (EV, 43 tahun, FGD, 19 April 


2022) 


“…saya ikhlaskan saja deh…” 


(BU, 60 tahun, FGD, 19 April 


2022)


Faktor keikhlasan agaknya menjadi budaya masyarakat negara kita  yang 


menganggap penipuan  digital sebagai salah satu cobaan dalam 


perjalanan hidup. Tak hanya dialami oleh korban penipuan  digital dalam 


riset ini, pengalaman korban lain yang ditulis oleh media pun juga sama. 


Laporan Tirto.id (Hidayat, 2021) juga menunjukkan bahwa korban 


penipuan  digital sering kali merasa ikhlas atas kerugian penipuan  digital 


baik kerugian finansial maupun kerugian lainnya yang ia alami bahkan 


terkadang lebih dari satu kali. Keikhlasan ini yang kemudian mereka 


anggap bahwa mereka tidak mengalami kerugian supaya tidak 


membebani perasaan mereka terutama karena rasa bersalah karena 


“terjebak” penipuan  digital. 


Anggapan ini kurang lebih dipengaruhi oleh prinsip agama secara umum 


tentang rezeki yang ada hubungannya dengan sedekah. Mereka 


menganggap kehilangan uang maupun barang atau benda material 


lainnya yang mereka alami adalah bagian dari kehilangan rezeki yang akan 


diganti dengan rezeki lain yang lebih besar di kemudian hari. Bahkan 


kadang kala korban penipuan  digital merasa kurang sedekah sebelumnya 


sehingga menjadi korban penipuan  digital adalah salah satu cara Tuhan 


mengingatkannya untuk lebih banyak bersedekah. 


Dengan begitu, bisa dimaklumi jika sebagian korban  menganggap 


tidak ada kerugian karena merelakan kerugian akibat penipuan  digital 


adalah upaya untuk segera beranjak dari cobaan ini .

Kerugian uang dari ratusan ribu rupiah hingga puluhan juta rupiah dialami 


oleh 14% korban  survei ini. Biasanya penipuan  digital yang 


menyebabkan kerugian adalah yang berkaitan dengan penipuan  jual beli, 


penipuan  berkedok hadiah, maupun pembajakan dompet digital 


termasuk rekening bank

Beberapa korban  terpilih yang hadir secara luring dalam serangkaian 


Focus Group Discussion (FGD) menjelaskan dalam kutipan pendek 


kerugian uang yang mereka alami. 


“Waktu itu lihat jualan sepatu… transfer 


500… jastip nambah 50 ribu. Sudah 


ditransfer, chat saya di-blok, barangnya ga 


sampe.” (AL, 18 tahun, FGD, 19 April 


2022) 


“Saya sempat rugi 1 juta karena tergiur 


membeli hape… sudah kirimkan uang tapi 


barangnya tidak sampai.” (BU, 60 tahun, 


FGD, 19 April 2022)


Dari beberapa pengalaman korban  sekaligus peserta FGD di atas 


tampak bahwa kerugian uang banyak dialami oleh korban yang usianya 


pun beragam dari 18 tahun hingga 60 tahun. Sebagai pembanding, 


kerugian uang yang dialami oleh korban penipuan  digital juga banyak 


terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian diberitakan oleh 


media. Seperti contoh kasus penipuan  berkedok cinta (romance scam) 


yang dimuat di berita Kompas (Alfajri et al., 2022) yang mengalami 


kerugian sebanyak Rp40.000.000 dan Rp64.000.000. 


Adapun contoh lain yaitu kasus aplikasi trading ilegal bernama Binomo 


(Prass, 2022), dengan korban mengalami kerugian hingga 2,5 miliar 


rupiah. Total uang ini  merupakan kumpulan uang yang berasal dari 


keluarga, saudara, dan puluhan teman dekat korban dengan harapan 


dapat menghasilkan keuntungan dari trading di Binomo. 


Kemudian ada pula kasus penipuan  jual beli minyak goreng melalui media 


sosial (Linggauni, 2022), korban mengalami kerugian hingga 122 juta 


rupiah. 


Dari apa yang dialami oleh korban penipuan  digital yang menjadi 


korban  riset nasional ini maupun korban lain yang diberitakan media, 


tampak bahwa kerugian uang terjadi dalam berbagai modus penipuan  


digital dengan beragam medium serta menimpa korban dengan 


bervariasi usia.

Sedangkan kerugian waktu dirasakan oleh korban penipuan  karena waktu 


mereka menjadi berkurang akibat harus melakukan banyak hal setelah 


menjadi korban penipuan  digital.

Waktu yang berkurang itu digunakan untuk meminta bantuan dari teman 


atau keluarga atau pemangku kepentingan yang lain terutama 


mengupayakan kembalinya uang, barang atau benda lain yang hilang. 


Selain itu waktu juga berkurang karena korban penipuan  digital sering kali 


terganggu perasaannya, sebagaimana pernyataan beberapa korban  


sekaligus peserta FGD riset ini. 


“Itu kan menghabiskan waktu kita 


untuk melaksanakan pelaporan. Tapi 


tidak ada follow up-nya”(KT, 58 


tahun, FGD, 19 April 2022)


“bingung kita mau ngapain, setelah 


kita ketipu tuh bingung mau ngapain.” 


(YG, 23 tahun, FGD, 19 April 2022)


Kerugian waktu seperti diceritakan dua informan di atas terkadang tidak 


dirasakan karena tidak langsung tampak seperti halnya kerugian uang 


maupun kerugian benda lain yang terlihat secara fisik. 


Namun, korban dirugikan waktunya untuk merespons penipuan  digital 


yang menimpanya. Pilihan untuk melaporkan maupun tidak ke pihak yang 


berwajib membuat kehilangan waktu dalam proses ini . Bahkan, dari 


laporan dari Media Konsumen (Sulaeman, 2022), calon korban penipuan  


digital pun mengalami kerugian waktu ketika melaporkan persoalan yang 


dihadapinya. Acapkali laporan calon korban ini tidak ditangani dengan 


cepat padahal risikonya tinggi.

Merasa malu, marah, sedih, kecewa, takut, trauma, adalah beragam 


perasaan yang dialami oleh korban karena tidak ada seorang pun ingin 


menjadi korban penipuan  digital.


Bahkan sebagian korban  yang menjadi peserta FGD yang dilakukan 


dengan tim peneliti, bahwa sebagai korban penipuan  digital mereka 


merasa menyesal karena termakan bujuk rayu pelaku penipuan  digital. 


Mereka juga merasa gagal mengkritisi pesan penipuan  digital sekaligus 


merasa gagap mempraktikkan aman bermedia digital. 


Perasaan yang beragam ini timbul karena korban merasa lengah sehingga 


celah kejahatan penipuan  digital bisa menimpanya.

pengenlah untuk melaporkan, tapi 


sudah kadung malu…”


(RN, 27 tahun, FGD, 19 April 2022)


“Waktu tau oh ternyata ini penipuan , 


saya jengkel sebenarnya.”


(YD, 28 tahun, FGD, 19 April 2022)


“Marah, kecewa hahaha saya ditipu. Saya 


juga menyalahi diri sendiri, 'Bodoh sih saya 


ini kenapa kok ketipu.'”


(BU, 60 tahun, FGD, 19 April 2022)


Dari beberapa pernyataan korban  yang menjadi peserta FGD dalam 


riset ini, terlihat bahwa kerugian perasaan membuat korban menyesali 


dirinya terperangkap dalam penipuan  digital dan menyalahkan dirinya 


sendiri. Perasaan lain yang muncul antara lain malu, jengkel, kecewa, 


hingga marah. 


Kasus yang diterbitkan Detik.com (Pinandhita, 2022) juga menunjukkan 


kerugian perasaan korban penipuan  digital berkedok asmara. Korban 


yang ditipu oleh teman kencannya di suatu aplikasi kencan merasa 


trauma untuk memulai hubungan baru akibat ditinggalkan (ghosting) oleh 


teman kencan virtualnya.

Terkadang korban melihat kebocoran data pribadi bukan sebagai 


kerugian karena ini bukan kerugian yang langsung dirasakan atau nyata. 


Namun, ketika diminta mengisi kuesioner, mereka paham bahwa 


kebocoran data pribadi adalah salah satu kerugian dalam penipuan  


digital, yang akibatnya bisa sangat nyata.

Dalam riset ini, korban pencurian identitas adalah kelompok korban yang 


paling merasakan kerugian berupa kebocoran data pribadi


“Ada yang memakai  nama saya dan memakai  foto profil 


saya, dan dia nge-chat….banyak orang untuk meminjam uang.”


(YG, 23 tahun, FGD, 19 April 2022)

Terkait dengan kebocoran data pribadi, laporan Kompas (Gatra, 2021) 


pernah merilis berita kasus pinjaman online di mana korban mengalami 


tindakan penyebarluasan informasi pribadi ke publik atau disebut dengan 


istilah doxing. Data yang disebarluaskan pelaku adalah foto korban yang 


sedang memegang Kartu Tanda Penduduk (KTP) miliknya ketika 


mendaftar ke aplikasi pinjol. Foto ini  lalu disandingkan dengan foto 


perempuan tanpa busana yang seolah-olah merupakan foto korban. Foto 


ini disebarluaskan di media sosial dengan narasi menerima pesanan 


untuk melayani transaksi seksual atau dengan istilah open booking order


(open BO). Kasus lain adalah pesan spam melalui aplikasi chat yang 


mencantumkan alamat lengkap korban, dengan pelaku meng￾atasnamakan dirinya sebagai pihak lokapasar ternama (Nadiroh, 2021) 

Kerugian barang dialami paling banyak oleh korban penipuan  jual beli 


(4,5%) dibandingkan dengan jenis penipuan  lainnya sebagaimana terlihat 


dalam Gambar 5.7. Dalam FGD yang dilakukan sebelum survei, salah seorang peserta yang 


merupakan penjual kue kering mengalami kerugian barang karena ditipu 


pembelinya. 


“Kue kering sebanyak itu total hampir 3 juta… Karena ini ada pengiriman jauh, saya 


minta DP-nya terlebih dahulu. Ee lalu, ee pas saya minta DP, 'Nggak usah, Mbak. Nggak 


usah pakai DP DP, langsung saya bayar semua aja', katanya gitu…. saya tahunya dia 


pakai m-banking pengiriman palsu. .... Uang tidak masuk. Padahal kue-kuenya sudah 


saya pack, sudah siap kirim.” (ND, 28 tahun, FGD, 12 Februari 2022) 


Sementara itu, korban lain yang mengalami kerugian barang adalah dari 


sisi pembeli yang ditipu penjualannya. 


Pengiriman link malware


Situs web/aplikasi palsu


penipuan  berkedok romansa


Pencurian identitas pribadi 


1,9%


1,2%


1,1%


1,1% penipuan  jual beli 


4,5%


Penerimaan sekolah/beasiswa palsu


1,0%


“Kemarin waktu bulan puasa itu ngambil mukenah sekitar 17 pcs, yang dia kirim itu 


cuma 5 pcs, yang lainnya itu dia nggak kirim, lalu nomor saya dia blokir” (HD, 52 tahun, 


FGD, 12 Februari 2022) 


Dari dua pengalaman di atas, tampak bahwa kerugian barang dalam 


penipuan  jual beli tak hanya bisa menimpa pembeli namun juga penjual.


Meskipun begitu, penipuan  jual beli lebih banyak memakan korban yang 


berposisi pembeli sebagaimana ditulis Media Konsumen (Barasa, 2022). 


Korban melakukan pembelian tas bermerek seharga Rp2.300.000 melalui 


fitur live streaming di salah satu aplikasi lokapasar terkenal.

Setelah paket tas diterima, ternyata tas yang dikirim merupakan produk 


palsu dan tidak sesuai dengan klaim pelaku pada saat live streaming

Meskipun hanya 15 korban  (0.4%) yang mengisi pengalaman kerugian 


fisik termasuk melukai diri sendiri, hal ini menunjukkan bahwa penipuan  


digital bisa mengakibatkan korbannya melakukan self-harm.Meskipun dalam FGD yang dilakukan tim penelitian tidak ditemukan 


pernyataan langsung tentang kerugian fisik, kasus kerugian fisik bisa 


dialami oleh korban penipuan  digital. Salah satunya adalah pemberitaan 


Tribun (Juliati, 2022) yang melaporan seorang korban pinjaman online


ilegal yang tak hanya mengalami kerugian uang ratusan juta rupiah 


namun juga kerugian fisik dengan menyusutnya berat badannya hingga 


12 kg

Tidak seorang pun ingin menjadi korban penipuan  digital, tak peduli latar 


belakang usia, pendapatannya maupun pendidikannya. Meskipun begitu, 


karena beragam faktor, baik yang berasal dari kelalaian diri sendiri 


maupun kelengahan orang lain, korban penipuan  digital sering kali tak 


bisa menghindari beragam modus kejahatan siber yang paling populer ini. 


Riset nasional ini juga menanyakan pada seluruh korban  melalui 


survei maupun FGD mengenai respons mereka setelah menyadari bahwa 


mereka menjadi korban penipuan  digital.


Dari seluruh korban penipuan  digital yang berjumlah 1.132 korban , 


respons atau tindakan terbanyak yang mereka lakukan adalah 


menceritakan kepada keluarga atau teman (48,3%), tidak melakukan apa￾apa (37,9%), menceritakan kepada warganet (5,3%), melaporkan kepada 


media sosial atau platform digital lainnya (5%), dan melaporkan kepada 


kepolisian (1,8%).Meski lapor ke kepolisian hanya menjadi pilihan 1,8% korban , 


sebanyak 97,3% korban  menganggap kepolisian dan aparat penegak 


hukum lainnya sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk 


mencegah dan menangani penipuan  digital, yang diikuti oleh pemerintah 


(96,2%), perusahaan terkait (93,3%), organisasi masyarakat sipil atau 


komunitas-komunitas di masyarakat (85,5%), dan perguruan tinggi 


(81,9%).Menceritakan kepada keluarga atau teman merupakan respons 


terbanyak yang dipilih oleh lebih dari separuh korban . Pilihan ini 


masuk akal karena korban butuh segera mendapatkan bantuan atau 


dukungan dari orang-orang terdekatnya baik itu keluarga maupun teman. 


Bagi korban, hanya keluarga dan teman yang bisa mereka percaya bisa 


membantu dan menjaga rahasia mereka. Kepercayaan ini penting karena 


korban mengalami berbagai perasaan seperti kecewa, jengkel, marah, 


hingga malu sehingga tak ingin kejadian yang tak mengenakkan ini 


diketahui oleh orang banyak.

Gambar 6.2 menunjukkan korban penipuan  berkedok hadiah paling 


banyak (26,1%) menceritakan kasus penipuan  berkedok hadiah yang 


menimpanya. Sementara empat modus lainnya yang paling banyak 


ditemukan secara berurutan adalah: penipuan  berkedok krisis keluarga, 


penipuan  jual beli, pengiriman tautan malware/virus, dan pinjaman online 


ilegal.


Beberapa informan FGD menyampaikan pengalaman mereka dibantu 


teman ketika mengalami penipuan  digital. 


“…cerita ke teman. Saya kena 


penipuan  kayak gini gini gini, akhirnya 


teman saya bantu.” (EV, 43 tahun, 


FGD, 19 April 2022)


“…saya cerita ke teman saya… di￾blokirkan, lalu bikin akun baru” (BU, 60 


tahun, FGD, 19 April 2022) 


penipuan  berkedok krisis keluarga 


penipuan  jual beli


Pengiriman tautan malware/virus 


Pinjaman online ilegal


25,3%


19,8%


17,2%


13,9%


penipuan  berkedok hadiah


26,1%


Kutipan di atas menunjukkan bahwa tidak semua korban mampu secara 


teknis dan psikologis berhadapan dengan berbagai langkah ikutan 


mengatasi berbagai dampak dari penipuan  digital

Bisa jadi, pengetahuan praktis mengenai apa yang harus dilakukan 


setelah menjadi korban penipuan  digital tidak cukup memadai untuk 


setidaknya melakukan berbagai langkah mencegah penipuan  digital 


terulang kembali.

Tidak melakukan apa-apa merupakan respons terbanyak kedua yang 


dipilih korban  saat menyadari dirinya menjadi korban penipuan  


digital. Modus penipuan  digital terbanyak yang mengakibatkan korban 


penipuan  digital tidak melakukan apa-apa adalah pengiriman tautan 


malware/virus (20,3%), yang diikuti penipuan  berkedok hadiah, situs 


web/aplikasi palsu, penipuan  jual beli, dan pinjaman lainnya.

Beberapa pernyataan korban  terpilih yang menjadi FGD 


menunjukkan berbagai alasan mereka tidak melakukan apa-apa 


meskipun menjadi korban penipuan  digital


“Malu sama keluarga, malu sama temen￾temen, jadi saya diem-diem aja.” (RN, 27 


tahun, FGD, 19 April 2022)


“…saya belum melapor ke polisi juga, terus 


saya belum minta tolong ke teman. 


Yaudahlah, biar aja. Mudah-mudahan 


nanti diganti…)” (EV, 43 tahun, FGD, 19 


April 2022)


Dari beberapa pernyataan di atas, tampak bahwa malu dan ikhlas menjadi 


alasan korban  terpilih untuk tidak melakukan apa-apa.

Pilihan respons terbanyak ketiga korban penipuan  digital dalam riset ini 


adalah menceritakan pada warganet

penipuan  situs web/aplikasi palsu merupakan modus terbanyak yang 


membuat korban  memilih menceritakan kepada warganet diikuti oleh 


empat modus terbanyak lainnya seperti terlihat dalam Gambar 6.4. 


Biasanya alasan untuk menceritakan pada warganet adalah untuk 


berbagi pengalaman sehingga warganet bisa belajar dari pengalaman 


ini  dan menghindarinya. 


“Kita share……tentang ciri-ciri dari 


penipuan  ini ….biar teman￾teman yang lain kalau sekiranya 


dapat eee dapat email tentang 


pekerjaan ini , ya nggak usah 


ditanggapi aja” (SY, 31 tahun, FGD, 


19 April 2022)


“Tapi ketika…akun saya dikloning, gitu, 


saya langsung sharing ke media sosial 


agar tidak ada yang tertipu.” (YG, 23 


tahun, FGD, 19 April 2022)


Pilihan ini tentu saja bisa dimaklumi karena korban ingin berpartisipasi 


untuk mencegah penipuan  digital. Hal sama juga dilakukan oleh figur 


publik Luna Maya yang menceritakan kronologi penipuan  digital yang 


menimpa dirinya oleh oknum yang tidak bertanggung jawab melalui 


media sosialnya (Arifin, 2022).

Melaporkan kepada Kepolisian tak banyak dilakukan oleh korban  riset 


nasional ini. Terlihat dalam Gambar 6.5 modus terbanyak yang dilaporkan 


korban adalah penipuan  jual beli (1,4%)

Salah satu korban  terpilih menyatakan bahwa ia sempat memilih 


untuk melaporkan ke polisi tapi tidak merasa terbantu. 


“…udah saya langsung jalan ke kepolisian, Tapi ya udah 


gak ada apa-apa.” (NU, 53 tahun, FGD, 19 April 2022) 


Sementara itu, menurut laporan Barometerrakyat.com (Sahrul, 2022), 


seorang korban telah mengalami penipuan  sebesar Rp18.000.000 


sebagai setoran arisan online, tetapi uang yang telah disetorkan tidak 


kembali dan korban langsung melaporkan pemilik arisan online ini  


ke Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Tanjung Pinang. Atau di 


lain kasus, seperti dikutip dari Tribunjabar.id, korban dugaan penipuan  


investasi dengan total kerugian sebesar 565 miliar rupiah melaporkan 


kasusnya ke Polda Metro Jaya (Ravianto, 2022).


Namun begitu, sama halnya dengan temuan riset ini, Laporan Tirto.id 


(Hidayat, 2021) juga menunjukkan bahwa lapor ke polisi jarang dilakukan 


oleh korban penipuan  digital. Dari sedikit korban penipuan  digital yang 


melaporkan ke polisi, tindak lanjut dari polisi bisa dikatakan tidak ada, 


sehingga mereka merasa tidak mendapatkan keuntungan apa-apa 


dengan melapor ke polisi.

Pengalaman sekelompok kecil korban yang merasa tidak puas terhadap 


pelayanan polisi dalam menindaklanjuti laporan penipuan  digital ini 


kemudian dibagikan ke teman maupun saudara atau bahkan ke media 


sosial. Dengan begitu, ada semacam “pengetahuan umum” bahwa tidak 


ada gunanya lapor ke polisi jika menjadi korban penipuan  digital.


Maraknya pengalaman korban yang kurang mendapatkan tindak lanjut 


dari polisi ini menjadi contoh korban-korban selanjutnya untuk tidak 


melapor atau mengikhlaskan kasusnya. Tren melapor kepada Polri terkait 


penipuan  digital setidaknya mengalami penurunan dalam lima tahun 


terakhir (2016-2020). Berikut data dari Polri yang dilaporkan oleh 


Databoks (Pusparisa, 2020)

Bahkan, dalam FGD riset ini, ada keengganan lapor ke polisi di antara 


informan karena ada anggapan bahwa laporan yang diproses hanyalah 


korban penipuan  digital yang kerugian ratusan juta rupiah ke atas dan 


atau dilaporkan oleh orang terkenal atau figur publik.


Gambar 6.6. Jumlah Laporan penipuan  Digital Per Tahun 


dari Kepolisian Republik negara kita 


0


200


400


600


800


1000


1200


1400


1600


1800


2000


2018 2019 2016 2017 2020


Sumber: Kepolisian Republik negara kita  (Polri) (2020)


Melaporkan Kepada Lembaga￾Otoritas Terkait 


Korban peretasan dompet digital/rekening bank terbukti yang paling 


banyak (1,1%) melaporkan lembaga terkait dibandingkan dengan korban 


penipuan  jual beli maupun pencurian identitas pribadi. Di semua jenis penipuan  digital, meskipun sedikit, ada upaya melaporkan 


ke lembaga/otoritas terkait seperti OJK, Bappebti, dan lembaga 


perbankan. Seperti kasus penipuan  berkedok investasi yang dilaporkan 


oleh Detik.com (Fadhillah, 2022), kuasa hukum korban yaitu Ibrahim 


Sumantri mengatakan pihaknya telah melaporkan kasusnya ke Badan 


Pengawas Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan.


Melaporkan Kepada Lembaga Pemerintah


atau Kementerian


Melaporkan pada lembaga pemerintah atau kementerian adalah pilihan 


respons yang tak banyak dilakukan korban  riset ini.

Melaporkan pada lembaga bantuan hukum tak banyak dilakukan oleh 


korban  riset nasional ini. Korban penipuan  berkedok hadiah dan 


pinjaman online ilegal yang paling banyak melaporkan pada lembaga 


bantuan hukum.

Terangkum dalam redaksi Okenews.com, pada Senin, 18 Oktober 2021, 


Lembaga Bantuan Hukum Dewan Pengacara Nasional (LBH DPN) 


negara kita  secara resmi membuka Pusat Pengaduan Nasional Korban 


Pinjol Ilegal (Okezone, 2021). Adapun korban pinjol pertama yang 


melaporkan kasusnya kepada LBH terjadi pada tahun 2018 (Arbi, 2021).

Respons korban paling sedikit dalam studi ini adalah melaporkan pada 


lembaga perlindungan warga atau konsumen. Hanya dua korban  yang 


melaporkan ke lembaga perlindungan warga atau konsumen terkait 


penipuan  jual beli yang menimpanya.

rekomendasi yang meliputi enam bahasan, yaitu (1) 


pencegahan penipuan  digital, (2) penanganan penipuan  digital, (3) pihak 


yang dinilai korban  terpercaya dalam memberikan informasi 


pencegahan, (4) pihak yang dianggap korban  bertanggung jawab 


dalam mencegah dan menangani penipuan  digital, (5) rekomendasi 


pencegahan menurut korban penipuan  digital, dan (6) rekomendasi 


penanganan menurut korban penipuan  digital. 


Dua bahasan pertama merujuk pada hasil olah data keseluruhan 


korban  (N=1.700 korban ), sementara dua pokok bahasan terakhir 


berdasarkan pada hasil olah data korban  yang pernah menjadi korban 


(N=1.132). Pembedaan ini perlu dilakukan untuk memperlihatkan 


perbandingan persebaran data antara yang umum dan yang khusus 


(korban), yang akan berguna dalam merencanakan kebijakan atau 


program dan menentukan target sasaran nantinya. Pembahasan 


rekomendasi ini melibatkan banyak entitas, yaitu pemerintah, kepolisian, 


sektor swasta, institusi pendidikan dan warga masyarakat. 


Pencegahan penipuan  Digital


Berbagai usulan disampaikan korban  untuk dapat menanggulangi 


kasus penipuan  digital. Temuan survei menunjukkan bahwa upaya 


pencegahan penipuan  digital yang dianggap penting oleh korban , 


secara berurutan, sebagai berikut: 


1. Peningkatan sistem keamanan dan perlindungan data pribadi (98,1%) 


2. Kepastian hukum bagi penanganan penipuan  digital (98,1%)


3. Publikasi kasus terkini dan modus operandi penipuan  digital (97,2%)


4. Edukasi atau pelatihan tentang keamanan digital (97%)


5. Ketersediaan situs web dan aplikasi dari pihak berwenang untuk bisa 


mengecek validitas penjual (96,7%)


6. Kampanye publik agar warga berhati-hati dan tips cara menghindari 


penipuan  (95,9%)

Ada dua upaya pencegahan yang tampaknya sama penting bagi 


korban , yaitu peningkatan sistem keamanan dan perlindungan data 


pribadi dan kepastian hukum bagi penanganan online.


Meski demikian, jika ditelusuri lebih mendalam dengan melihat bobot 


jawaban korban  (dari banyaknya yang memberikan jawaban “sangat 


penting”) maka peningkatan sistem keamanan dan perlindungan data 


pribadi dapat menjadi prioritas utama. Secara lengkap, berikut grafik yang 


menunjukkan distribusi data ini .

penipuan  digital merupakan tindakan penipuan  yang dimediasi 


(diantarai) oleh perangkat dan jaringan komunikasi digital, seperti media 


sosial dan berbagai aplikasi termasuk aplikasi belanja daring. Oleh karena 


itu, sistem keamanan perangkat komunikasi menjadi perhatian utama 


korban  untuk mencegah terjadinya penipuan . 


Meskipun keamanan perangkat ini dapat diatasi dengan meningkatkan 


kecakapan digital dan kesadaran individu untuk lebih berhati-hati dalam 


bermedia, tuntutan terhadap keamanan perangkat di sini lebih mengarah 


pada para pemilik dan penyedia platform digital. Temuan survei 


menunjukkan, korban  yang berpendidikan S3 yang diasumsikan 


memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap perangkat/media digital 


masih juga menjadi korban penipuan  daring. Kasus yang paling banyak 


adalah mereka menjadi korban penipuan  berhadiah (38,5% atau 


berjumlah 5 dari 26 orang). Para pemilik platform memiliki peran penting dalam mencegah penipuan  


digital. Aspek keamanan dan privasi data seharusnya menjadi komponen 


utama yang menjadi perhatian dalam proses pengembangan dan 


pemberian layanan digital. Ada sejumlah kelalaian yang dilakukan pemilik 


dan berakibat pada ancaman keamanan pengguna, termasuk kebocoran 


data pribadi. 


Mengutip pernyataan Ricky Setiadi, seorang AVP Information Security 


sebuah lokapasar, ada banyak kasus pemilik atau pengembang platform 


melakukan kesalahan dalam proses pengembangan atau pemeliharaan 


layanan digital (Eka, 2020). Sebagai contoh, pengembang lalai dalam 


menerapkan enkripsi untuk penggunaan username dan password. 


Termasuk juga, pengembang tidak menerapkan penyimpanan private key 


sehingga tidak aman serta penggunaan account default untuk sistem yang 


digunakan. Kelalaian terkait pemeliharaan misalnya pengembang 


memakai  sertifikat digital yang sudah tidak berlaku, database yang 


tidak terproteksi, dan pengabaian standard practice dalam 


pengembangan sistem yang diakses secara publik. Pengembang juga 


seharusnya dapat menerapkan proteksi keamanan pada perangkat keras, 


seperti server atau hard disk. Sejumlah kasus kebocoran data terjadi 


karena eksploitasi perangkat keras yang di dalamnya ada  data 


pelanggan. 


Di samping pemilik atau pengembang platform digital, penyelenggara 


jasa telekomunikasi juga memiliki peran besar dalam menjaga keamanan 


warga dari ancaman penipuan  digital. Sebagian besar penggunaan 


perangkat digital memerlukan nomor telepon seluler untuk dapat 


mengakses berbagai layanan digital. Penting artinya bagi penyelenggara 


jasa telekomunikasi untuk meregistrasi kartu telepon pengguna yang 


sesuai dengan Nomor Induk Kependudukan dan Kartu Keluarga untuk 


mengetahui identitas pengguna (Samudra et al., 2018). 


Kejelasan identitas ini dapat digunakan untuk menjangkau pengguna dan 


menjatuhkan hukuman jikalau terjadi penyalahgunaan. Di negara kita  


aturannya sudah ada, tapi implementasinya belum memadai sehingga 


masih banyak penjualan kartu seluler yang sudah teregistrasi di 


lokapasar. Aturan yang lebih ketat juga bisa diberlakukan, seperti di 


negara Singapura, yang membatasi satu orang hanya dapat membeli 


kartu telepon dalam jumlah tertentu. Penyelenggara jasa telekomunikasi atau operator seluler bertanggung 


jawab juga dalam menjaga keamanan data pribadi. Seperti diberitakan 


beberapa waktu yang lalu, ada indikasi data pribadi pelanggan 


perusahaan telekomunikasi atau operator seluler bocor. Perlindungan 


data pelanggan di perusahaan jasa telekomunikasi atau operator seluler 


telah diatur dalam Peraturan Menteri Kominfo (Permenkominfo) Nomor 


12 Tahun 2016 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi. 


Peraturan ini menjelaskan bahwa penyelenggara wajib merahasikan data 


dan/atau identitas pelanggan. Perusahaan juga diwajibkan memiliki 


sertifikat ISO 27001 untuk menjaga keamanan informasi dalam mengelola 


data pelanggan. 


Usulan pencegahan yang kedua terbanyak menyangkut kepastian hukum 


bagi penanganan kasus penipuan  digital. Kajian hukum menunjukkan 


bahwa landasan hukum menyangkut penanganan kasus penipuan  digital 


di negara kita  masih lemah (Zabidin, 2021). 


Saat ini peraturan yang berlaku untuk menjerat kasus penipuan  adalah 


Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) khususnya Bab XXV tentang 


perbuatan curang. Pasal 378 UU ini menjelaskan bahwa penipuan  


termasuk kejahatan yang berkaitan dengan hak milik dan hak-hak lain 


yang timbul dari hak milik. 


Selain itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan 


Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 


tentang Perlindungan Konsumen juga berlaku mengatasi kasus penipuan  


terkait transaksi daring (Pasal 28 Ayat 1 UU ITE) dan transaksi 


konvensional (Pasal 10 UU Perlindungan Konsumsi dari kasus penipuan  


konvensional). Peraturan-peraturan ini tidak cukup memadai karena 


kasus penipuan  digital sangat variatif, tidak sebatas transaksi elektronik 


atau kasus penipuan  konvensional. Variasi kasus penipuan  digital ini 


membawa tantangan pada proses pembuktian dan unsur-unsur yang 


dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum pada sistem 


elektronik atau daring (Zabidin, 2021).


Beberapa tantangan yang menghambat aparat dalam penegakan hukum, 


antara lain yaitu pembuktian tindak pidana penipuan  secara daring 


memerlukan infrastruktur dalam mendukung proses pembuktian dan 


ketersediaan sumber daya manusia yang terbatas dalam proses 


penegakan hukum (Zabidin, 2021). Aparat penegak hukum juga dituntut teliti dalam menentukan pasal yang 


digunakan dalam penyelesaian perkara dan seharusnya dibekali 


kemampuan terkait teknologi yang memadai untuk mendukung proses 


penyidikan.

Di samping pencegahan, survei juga menjajaki penanganan penipuan  


digital. Temuan survei menunjukkan bahwa penanganan penipuan  digital 


yang menurut korban  dapat mengatasi penipuan  digital sebagai 


berikut:

Seperti pada program pencegahan penipuan  digital, ada beberapa upaya 


penanganan penipuan  digital yang dipandang sama penting oleh 


korban . Meski demikian, setelah dilakukan penggalian data lebih 


mendalam (dengan melihat porsi jawaban “sangat penting” yang 


diberikan korban ), prioritas upaya program penanganan secara 


berurutan sebagai berikut: 


1. Pemberian hukuman setimpal bagi penipu ulung  dan kompensasi/ganti rugi 


bagi korban oleh penipu ulung  (70,5%)


2. Profesionalitas aparat dalam membantu korban (69,4%)


3. Ketersediaan sistem pelaporan yang memudahkan korban melapor 


(65,8%)


4. Pendampingan/advokasi korban penipuan  (59,3%)


Dengan demikian, prioritas utama program pencegahan adalah 


pemberian hukuman setimpal bagi penipuan  dan kompensasi/ganti rugi 


bagi korban oleh penipu ulung . Setelah itu, profesionalitas aparat dalam 


membantu korban, ketersediaan sistem pelaporan yang memudahkan 


korban melapor, dan pendampingan/advokasi korban penipuan .

Banyaknya jawaban pada pemberian hukuman setimpal bagi penipu ulung  dan 


kompensasi/ganti rugi bagi korban oleh penipu ulung  mengindikasikan adanya 


kesan masyarakat bahwa sanksi yang diberikan kepada pelaku penipuan  


belum memuaskan. Weisse (2001) dalam artikelnya pernah 


mengungkapkan regulasi tanpa ancaman hukuman tidak akan efektif 


dalam menangani penipuan  digital (Weisse, 2001).


Ketidakpuasan korban  dalam penyelesaian kasus penipuan  digital 


juga menyangkut pandangan korban  terhadap aparat hukum. 


Sejumlah korban  yang hadir dalam FGD mengungkapkan harapannya 


pada profesionalisme aparat dalam membantu korban mengatasi 


penipuan  digital. Ada indikasi kuat kurang mempercayai kinerja aparat 


dalam penangangan kasus penipuan  digital. Berikut beberapa kutipan 


hasil FGD yang menandai sikap masyarakat: 

Kalau melapor ke polisi dan tidak 


ada tindak lanjutnya, sama aja 


akan kecewa juga” (MD, 27 


tahun, FGD 9 April 2022). 


“Pelaporan ke pihak kepolisian boleh 


d i k a t a k a n ti d a k s e c e p a t n y a 


m e n d a p a t r e s p o n s … , j a d i 


masyarakat merasa males akhirnya 


membuat laporan” (IK, 58 tahun, 


FGD 9 April 2022)


“Kepolisian pun tidak bisa berbuat banyak. Sampai polisi menyarankan untuk 


diikhlaskan saja. Bukan meremehkan institusi kepolisian. Tapi mungkin, mereka 


tidak bisa melacak atau mungkin tidak punya kekuatan untuk menangkap pelaku￾pelaku penipuan  digital” (SB, 31 tahun, FGD 9 April 2022) 

Di samping itu, korban  survei maupun peserta FGD sama-sama 


menghadapi kebingungan dalam melaporkan kasus penipuan  digital. 


Oleh karena itu, mereka menyatakan perlunya ketersediaan sistem 


pelaporan yang memudahkan korban melapor. Bahkan dari hasil FGD 


muncul gagasan untuk membangun suatu sistem atau platform secara 


digital yang bersifat integratif untuk memudahkan warga melapor dan 


memudahkan petugas untuk menindaklanjuti kasus penipuan  digital. 


Dalam hal ini korban  mengusulkan agar UGM dan/atau perguruan 


tinggi lain bisa mengambil peran mengembangkan sistem atau platform 


ini . 


“Mungkin UGM bisa mengembangkan sistem pelaporan… Jadi ketika melapor tidak 


bingung lagi harus ke mana…masyarakat juga bisa mengecek, jenis-jenis penipuan  itu 


seperti apa yang terjadi, biar kita lebih berhati-hati lagi” (SB, 31 tahun, FGD 9 April 


2022)


pihak terpercaya memberikan informasi 


pencegahan


Seiring naiknya tagar #PercumaLaporPolisi pada tahun 2021, kepolisian 


mendapatkan perhatian yang cukup tinggi di masyarakat negara kita  


mengenai kualitas kinerjanya dalam memberantas tindak kriminal. Hasil 


survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada tahun 2021 


mencatat tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum 


tidak terlalu tinggi. Adapun untuk lembaga kepolisian mendapatkan 58% 


korban  yang percaya dan 38% lainnya menyatakan tidak percaya. 


Pihak yang paling dipercaya korban  dalam memberikan informasi 


pencegahan dipegang oleh kepolisian (94,6%), sebagaimana tampak 


dalam grafik 7.3. Pihak pemerintah menempati posisi kedua sebagai pihak 


yang paling terpercaya dalam memberikan informasi pencegahan. Hasil 


olah data menunjukkan secara berturut-turut kepolisian 94,6%; 


pemerintah 92,9%; platform/aplikasi digital 92,2%; perusahaan terkait 


91,4%; organisasi masyarakat sipil atau komunitas-komunitas di 


masyarakat 86,7%; dan perguruan tinggi 85,4%

Bukan hanya di negara kita , hasil survei Komisi Eropa di Uni Eropa (2020) 


terhadap masyarakat Uni Eropa juga menunjukkan hasil yang sama yaitu 


sebesar 41% korban  tidak melaporkan pengalamannya terkait 


penipuan  digital kepada otoritas dan sebesar 38% melaporkan kepada 


teman atau keluarga, namun tidak kepada otoritas. 


Data ini menjadi pertimbangan bagi pihak terkait, khususnya kepolisian, 


yang menjadi ujung tombak dalam mencegah dan menangani penipuan  


digital, untuk lebih meningkatkan kinerjanya seperti dalam hal melayani 


kebutuhan masyarakat akan perlindungan hukum.


Pihak yang Dianggap korban  


Bertanggung Jawab dalam Mencegah 


dan Menangani penipuan  Digital


Pihak yang dinyatakan korban  bertanggung jawab untuk mencegah 


dan menangani penipuan , secara berurutan sebagai berikut:


1. Kepolisian (97,5%)


2. Pemerintah (96,4%)


3. Perusahaan terkait (93,7%)


4. Organisasi masyarakat sipil atau komunitas-komunitas di masyarakat 


(86,3%)


5. Perguruan tinggi (82,2%)


6. Warga masyarakat (81,7%)


Seperti pada temuan sebelumnya (pihak yang dipercaya memberikan 


informasi pencegahan), korban  juga menilai kepolisian juga sebagai 


pihak yang dianggap bertanggung jawab untuk mencegah dan menangani 


penipuan .

Sekali lagi temuan ini menegaskan pentingnya peningkatan kinerja 


institusi kepolisian dalam menangani penipuan  digital.

Kepolisian menempati posisi tertinggi sebagai pihak yang dipercaya dan 


dianggap bertanggung jawab oleh masyarakat untuk mencegah dan 


menangani penipuan  digital. Namun, ironisnya, ketika korban  


menjadi korban, mereka cenderung tidak melapor kepada aparat hukum, 


kepolisian, dan lembaga otoritas terkait. Kepolisian menempati urutan 


nomor 5, diikuti oleh lembaga/otoritas terkait (OJK, Bappebti) dan 


lembaga pemerintah (kementerian). Seperti telah dijelaskan di depan, 


keengganan untuk melapor kasus penipuan  digital ke aparat hukum dan 


kepolisian karena korban  tidak puas dengan proses penanganan 


kasus. 


Studi yang dilakukan oleh Cross (2020) menunjukkan bahwa kepolisian 


memiliki keterbatasan kewenangan dan kemampuan dalam mengusut 


kasus-kasus penipuan  digital. Regulasi yang ada dan bentuk penipuan  


digital yang bervariasi, bahkan melampaui batas-batas wilayah negara, 


memberikan tantangan bagi kepolisian. Studi ini merekomendasikan 


perubahan regulasi yang dapat memberi dukungan kepada kepolisian 


dalam penanganan kasus penipuan  digital, peningkatan kapasitas 


sumber daya kepolisian dalam penyelidikan, dan pengadaan teknologi 


baru yang dapat membantu proses penyelidikan (Cross, 2020). Di samping 


itu, studi itu juga menyarankan perlunya komunikasi antara kepolisian 


dan warga, agar warga juga memahami keterbatasan kepolisian dalam 


mengungkap kasus penipuan  digital.

Seperti diuraikan di bagian awal, jenis penipuan  digital sangat bervariasi. 


Penelitian ini mengidentifikasi 15 jenis penipuan  digital. Secara umum, 


meski jenis penipuan  digital bervariasi, rekomendasi pencegahan yang 


diutarakan oleh para korban penipuan  digital cenderung sama. Dengan 


kata lain, apa pun jenis penipuan  yang dialami korban, rekomendasi yang 


diberikan tidak jauh berbeda. Jika diurutkan, rekomendasi pencegahan 


penipuan  digital yang disampaikan oleh para korban penipuan  sebagai 


berikut: 


1. Peningkatan sistem keamanan dan perlindungan data pribadi (98%)


2. Kepastian hukum bagi penanganan penipuan  online (97,7%)


3. Publikasi kasus terkini dan modus operandi penipuan  online (97,4%)


4. Edukasi atau pelatihan tentang keamanan digital (96,9%)


5. Ketersediaan laman dan aplikasi dari pihak berwenang untuk bisa 


mengecek validitas penjual (96,9%)


6. Kampanye publik agar warga berhati-hati dan tips cara menghindari 


penipuan  (95,5%)

Rekomendasi pencegahan penipuan  digital berdasarkan perspektif 


korban menarget masyarakat sendiri sebagai prioritas. Ini berkaitan 


dengan pengetahuan tentang kasus-kasus penipuan , termasuk modus￾modusnya, dan kecakapan dalam keamanan digital. Kampanye publik 


agar warga berhati-hati dan tip cara menghindari penipuan  dapat menjadi 


bagian dari pemberdayaan warga.

 Rekomendasi selanjutnya berkenaan dengan fasilitasi pihak-pihak yang 


berwenang atau terkait, meliputi ketersediaan situs web dan aplikasi dari 


pihak berwenang untuk bisa mengecek validitas penjual, kepastian 


hukum bagi penanganan penipuan  digital, dan peningkatan sistem 


keamanan dan perlindungan data pribadi.


Jika rekomendasi pencegahan ini dibuat perbandingan antara jawaban 


keseluruhan korban  dan jawaban korban  yang pernah menjadi 


korban penipuan  digital, maka urutan rekomendasi menunjukkan 


perbedaan.

Temuan ini menunjukkan, bagi korban penipuan  digital, informasi tentang 


kasus-kasus penipuan  terkini termasuk modus operandinya sangat 


penting untuk diketahui masyarakat. Semacam peringatan dini, informasi 


ini dapat meningkatkan kewaspadaan masyarakat. Rekomendasi 


berikutnya adalah edukasi dan pelatihan tentang keamanan digital. 


Rekomendasi ini mengarah pada capacity building agar warga dapat 


melindungi dirinya. Data ini menunjukkan kesadaran para korban bahwa 


ketahanan diri merupakan titik sentral yang dapat menyelamatkan 


seseorang dari kasus penipuan  digital.

Jika rekomendasi para korban lebih cenderung mengarah pada 


'peningkatan kapasitas diri' (berorientasi ke dalam), berbeda dengan 


rekomendasi yang disampaikan korban  secara umum. Rekomendasi 


mereka lebih cenderung menuntut pihak lain untuk hadir melindungi 


warga agar terhindar dari penipuan  digital (berorientasi ke luar)

Rekomendasi penanganan penipuan  digital yang diutarakan oleh para 


korban penipuan  digital memiliki kecenderungan yang sama, meski jenis 


penipuan  digital yang dialami bervariasi. Rekomendasi penanganan 


secara berurutan: 


1. Ketersediaan sistem pelaporan yang memudahkan korban melapor 


(98%)


2. Pemberian hukuman setimpal bagi penipu ulung  dan kompensasi/ganti rugi 


bagi korban oleh penipu ulung  (98%)


3. Profesionalitas aparat dalam membantu korban (97,7%)


4. Pendampingan/advokasi korban penipuan  (96%

Profesionalitas aparat dalam membantu korban menjadi perhatian utama 


korban  yang pernah menjadi korban penipuan . Meski ada pesimisme 


warga terhadap kinerja aparat, warga mengharapkan adanya upaya yang 


serius untuk meningkatkan profesionalitas dan kinerja aparat. Masyarakat 


pada dasarnya mengetahui bahwa mereka harus melapor ke aparat 


penegak hukum jika mengalami penipuan  digital, namun mereka merasa 


sia-sia ketika laporannya tidak ditanggapi dan ditindaklanjuti secara 


memadai oleh kepolisian.

Jika dibandingkan dengan jawaban seluruh korban  tentang 


rekomendasi penanganan ini, ada pergeseran pada rekomendasi pertama 


dan kedua. Jawaban seluruh korban , baik yang pernah menjadi korban 


penipuan  maupun yang bukan korban, menempatkan jawaban 


“Pemberian hukuman setimpal bagi penipu ulung  dan kompensasi/ganti rugi 


bagi korban oleh penipu ulung ” sebagai prioritas pertama. Sementara itu, bagi 


yang pernah menjadi korban merekomendasikan “Profesionalitas aparat 


dalam membantu korban” sebagai yang utama. Perbedaan jawaban ini 


mengindikasikan betapa korban berharap banyak kepada aparat untuk 


dapat membantu penanganan kasus penipuan  digital. Rekomendasi ini 


juga mengisyaratkan kembali adanya ketidakpuasan korban atas kinerja 


aparat.

Pencegahan penipuan  digital memiliki bentuk yang bervariasi mulai dari 


peningkatan sistem keamanan dan perlindungan data pribadi, kepastian 


hukum bagi penanganan penipuan  digital hingga kampanye publik agar 


warga berhati-hati dan tip-tip cara menghindari penipuan . Bagi para 


korban, rekomendasi pencegahan utama adalah publikasi kasus terkini 


dan modus operandi penipuan  digital dan edukasi atau pelatihan tentang 


keamanan digital. Jika di-perbandingkan antara jawaban keseluruhan 


korban  dan jawaban korban  yang pernah menjadi korban 


penipuan  digital, tampak ada perbedaan. Para korban  yang menjadi 


korban lebih cenderung mengarah pada peningkatan kapasitas diri 


(berorientasi ke dalam), sementara korban  secara umum kebanyakan 


cenderung menuntut pihak lain untuk hadir melindungi warga agar 


terhindar dari penipuan  digital (berorientasi ke luar).

Temuan ini menunjukkan, adanya proses reflektif para korban dalam 


melihat kasus penipuan  digital.


Dalam hal penanganan penipuan  digital, riset ini menunjukkan 


pentingnya pemberian hukuman setimpal bagi penipu ulung  dan 


kompensasi/ganti rugi bagi korban oleh penipu ulung , profesionalitas aparat 


dalam membantu korban dan ketersediaan sistem pelaporan yang 


memudahkan korban melapor. Tidak ada perbedaan menyolok antara 


jawaban keseluruhan korban  dan jawaban korban  yang pernah 


menjadi korban penipuan  digital.


Temuan menarik lainnya, kepolisian merupakan pihak yang paling 


dipercaya dalam memberikan informasi pencegahan dan dianggap paling 


bertanggung jawab dalam penanganan kasus penipuan  digital. Meski 


demikian, sebagian besar korban  memilih untuk tidak melaporkan 


kasus penipuan  yang dialaminya kepada kepolisian, karena tidak puas 


dengan kinerjanya dalam menanggapi dan menindaklanjuti laporan.

Buku yang disusun berdasakan riset nasional mengenai penipuan  digital 


di negara kita  ini hadir bersamaan dengan meningkatnya kasus penipuan  


digital di negara kita  maupun pemberitaan mengenainya. Tak hanya 


jumlah korban penipuan  digital yang meningkat, tapi juga medium dan 


modusnya yang juga semakin banyak. Hal ini menunjukkan tingginya 


kerentanan masyarakat terhadap penipuan  digital sehingga alternatif 


solusi untuk mengatasinya perlu segera dilakukan secara bersama. 


Agar bisa merekomendasikan kebijakan yang tepat, riset mengenai 


penipuan  digital ini dilakukan dengan memetakan pesan, modus, 


medium, korban, kerugian, respons, dan rekomendasi. Riset yang 


melibatkan 1.700 korban  dari 34 provinsi di negara kita  serta 31 


informan ini tak hanya memetakan pesan, modus, medium, korban, dan 


kerugian penipuan  digital, namun juga memetakan respons dan 


rekomendasi untuk mencegah dan menangani penipuan  digital. 


Bab penutup ini memberikan penekanan pada temuan utama riset ini 


namun juga kontribusinya secara akademis dan praktis terkait penipuan  


digital di negara kita .

Temuan riset ini menunjukkan bahwa pesan penipuan  digital diterima 


oleh nyaris seluruh korban  (98,3%) atau sejumlah 1.671 orang. 


Sedangkan yang menjadi korban sebanyak 66,6% korban  (1.132 


orang). Korban terbanyak berasal dari penipuan  berkedok hadiah (36,9%) 


yang dilakukan melalui jaringan seluler (SMS dan telepon) sebagai 


medium yang paling banyak digunakan masyarakat negara kita . Korban 


penipuan  digital pun seolah bisa menimpa siapa saja, tanpa memandang 


usia maupun tingkat pendidikannya. Sementara kerugian yang menimpa 


korban pun sangat bervariasi baik secara material dan immaterial.

Meskipun modus penipuan  digital sangat beragam sebagaimana temuan 


riset ini, ada  sebuah pola tentang kelompok usia yang paling sering 


menjadi korban dan modus penipuan  yang menyertai. Kecenderungan ini 


tampak dalam tabel di bawah ini yang menggambarkan persentase 


korban  dari tiap generasi yang menjadi korban penipuan  dan modus 


penipuan  yang paling sering menimpa mereka.

Ketika pemerintah negara kita  gencar mendorong pertumbuhan ekonomi digital dan 


menyuarakan besarnya potensi era digital bagi kehidupan, upaya memaksimalkan peluang itu 


perlu diimbangi dengan upaya yang sama besarnya untuk meminimalkan risiko yang muncul. 


Salah satu risiko itu adalah penipuan  digital, sebuah tindak kejahatan yang juga menjadi 


tantangan besar di banyak negara lain karena kuantitas dan kualitasnya tumbuh seiring 


perkembangan teknologi.

Melihat cerita para korban penipuan  digital dan mekanisme pelaporan 


serta penegakan hukum yang tersedia di negara kita , upaya untuk 


meminimalkan risiko ini  masih kurang optimal, bahkan bisa 


dikatakan tertinggal dengan upaya mitigasi yang dilakukan negara-negara 


lain. Karena itu, buku ini mencatat lima isu utama dan rekomendasi 


sebagai berikut:

Banyaknya nomor seluler aktif yang tidak terdaftar secara baik. Ini adalah 


persoalan besar mengingat penipuan  melalui jaringan seluler (terutama 


n peneliti, 


pesan SMS penipuan  berkedok hadiah menyerbu telepon seluler warga 


setiap hari, bahkan beberapa kali dalam sehari. Bagi sebagian warga, 


pesan-pesan itu dengan mudah diabaikan karena mereka sudah tahu itu 


adalah penipuan . Tapi bagi sebagian warga lain, yang jumlahnya banyak, 


pesan itu dipercaya dan berujung pada mereka menjadi korban. 


Penjualan nomor seluler seakan-akan di luar kendali karena ada banyak 


toko di lokapasar yang menjual nomor seluler yang sudah “diregistrasi” 


sehingga pembeli bisa langsung memakainya tanpa melakukan registrasi 


sesuai aturan Kementerian Kominfo. Ini menjadi jalan yang sangat mudah 


bagi penipu ulung  memiliki banyak nomor seluler untuk melakukan penipuan .


Karena itu, Kementerian Kominfo, operator seluler, dan lokapasar perlu 


menertibkan penjualan nomor-nomor seluler untuk memastikan bahwa 


setiap pemilik nomor seluler sudah melakukan registrasi sesuai aturan 


yang berlaku sehingga identitas pemilik yang tercatat sesuai dengan 


pemakai yang sebenarnya. Di atas kertas, ini bukanlah hal yang mustahil, 


karena ada banyak negara lain yang bisa melakukannya, sehingga 


meminimalkan kasus penipuan  melalui jaringan seluler. 


Selain itu, operator seluler diharapkan tidak menjual kembali nomor 


seluler yang sudah tidak aktif. Ini dialami oleh peserta FGD, yang bercerita 


bahwa, setelah membeli nomor baru dan melakukan registrasi sesuai 


aturan Kementerian Kominfo, ia “diteror” oleh sejumlah pihak karena 


pemilik nomor yang lama terlibat utang dengan mereka.

 Kejahatan siber menjadi ranah kepolisian dan kejaksaan, tapi yang 


pertama menghadapinya adalah kepolisian. negara kita  telah memiliki 


mekanisme pelaporan penipuan  digital yang terpusat di Patrolisiber.id, 


yang dikelola oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri. Namun, 


Direktorat Tindak Pidana Siber mengurus segala jenis kejahatan di ranah 


siber, seperti perjudian, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, 


perdagangan manusia, pornografi anak, dan lain-lain sehingga kepolisian 


kewalahan untuk bisa menangani laporan penipuan  digital sesuai 


harapan masyarakat. 


Ini ditunjukkan oleh pengalaman para korban yang mengatakan bahwa 


mereka merasa diabaikan karena “kerugiannya kecil”, “ada antrean 


korban lain yang kerugiannya jauh lebih banyak”, dan “setelah lapor, tidak 


ada tindak lanjut” sehingga mereka harus ikhlas merelakan kerugian 


finansial yang dialami. Karena itu, untuk memberikan kepastian hukum 


yang lebih baik dalam penanganan penipuan  digital yang kasusnya terus 


bertambah, divisi yang mengurusi penipuan  digital perlu diperkuat secara 


infrastruktur dan sumber daya manusia yang bekerja intensif bersama 


otoritas lainnya. 


Keseriusan otoritas di luar negeri untuk memininalkan risiko ini bisa 


dilihat pada contoh berikut. Di Inggris Raya, ada National Fraud 


Intelligence Bureau yang bersama Kepolisian London mengelola pusat 


pelaporan www.actionfraud.police. uk. Di Malaysia, ada pembagian tugas 


otoritas sesuai jenis penipuan , yaitu Bank Negara Malaysia sebagai 


regulator yang juga menyelidiki penipuan  finansial, Malaysian 


Communications and Multimedia Commission (MCMC) yang 


menindaklanjuti kasus seperti penipuan  melalui jaringan seluler, phishing, 


dan terkait pencurian data pribadi, lalu Ministry of Domestic Trade and 


Consumer Affairs untuk penipuan  yang melibatkan hak konsumen seperti 


penipuan  jual-beli di media sosial. Sementara itu, di Singapura pada awal 


2022, untuk menanggapi tingginya aksi phishing melalui SMS yang 


menarget nasabah bank, serangkaian langkah bersama dirumuskan oleh 


para pemangku kepentingan (Monetary Authority of Singapore, 


Association of Banks in Singapore, Info-communications Media 


Development Authority, dan National Crime Prevention Council).

Dalam konteks yang lebih besar, beragam cerita penipuan  yang 


disampaikan dalam laporan ini terkait dengan isu perlindungan data 


pribadi (seperti pemakaian NIK dan email dalam penipuan ) dan 


keamanan siber (seperti peretasan server yang datanya dipakai untuk 


penipuan ). 


Saat laporan ini ditulis, negara kita  belum memiliki Undang-Undang 


Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dan Undang-Undang Keamanan dan 


Ketahanan Siber (UU KKS). RUU PDP masih belum selesai dibahas oleh 


pemerintah dan DPR RI. Sementara, RUU KKS bahkan masih belum 


dikirimkan ke DPR untuk dibahas. Keduanya adalah legislasi yang urgen 


untuk memayungi berbagai upaya mencegah dan menangani penipuan  


digital. 


Jika UU PDP lebih berfokus pada mekanisme pengumpulan, 


penyimpanan, dan penggunaan data pribadi oleh pengendali data publik 


maupun swasta, UU KKS lebih berorientasi pada penciptaan ekosistem 


keamanan siber nasional, termasuk ancaman siber dari aktor luar negeri 


(Kustiasih, 2021). 


UU KKS juga akan memperkuat peran Badan Siber dan Sandi Negara 


dalam menjalankan koordinasi menjaga keamanan ekosistem siber, 


termasuk menindak kejahatan siber yang penegakan hukumnya 


dilakukan oleh kepolisian.


UU PDP dan UU KKS bertujuan mewujudkan kepastian hukum dan rasa 


aman bagi warga. Keberadaan keduanya yang mengatur dengan rinci 


tugas, wewenang, dan fungsi lembaga swasta maupun publik akan 


menyediakan pondasi yang kuat bagi upaya meminimalkan risiko 


penipuan  di era digital. 


Perlindungan Data Pribadi dan Keamanan Siber


Selaras dengan rekomendasi dari para korban , sosialisasi kepada 


warga tentang ancaman penipuan  digital perlu terus dilakukan oleh 


berbagai otoritas, dari kepolisian hingga otoritas keuangan. Selain 


dilakukan secara terpisah, sosialisasi yang dilakukan secara terkoordinasi 


juga bisa menjadi cara untuk lebih meningkatkan jangkauan kepada 


masyarakat.

 Sebagai salah satu contoh, Australia dan Selandia Baru pada 2015 


membentuk Australasian Consumer Fraud Taskforce, yang kemudian 


berubah nama menjadi Scams Awareness Network, sebagai jejaring kerja 


beragam lembaga publik (misalnya kepolisian, komisi informasi, 


kementerian komunikasi, dan otoritas perlindungan konsumen) untuk 


menyebarkan informasi tentang penipuan  digital secara rutin dan 


melakukan kampanye yang terkoordinasi kepada masyarakat.


Informasi dan data yang terpublikasikan dengan baik menjadi kunci 


terbangunnya pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat dalam 


mencegah risiko penipuan  digital. Publikasi berisi informasi terkini 


tentang jenis, medium, maupun modus penipuan  digital terkini berikut 


panduan menghadapi dan mekanisme pelaporannya.

Riset ini dan berbagai riset sejenis di luar negeri menunjukkan, modus 


penipuan  digital sangat beragam dan metodenya terus berkembang, 


sehingga program-program literasi digital kepada berbagai lapisan 


masyarakat perlu terus dilakukan untuk menanggapi dinamika ini . 


Literasi digital adalah pondasi membangun pola pikir dan kecakapan 


menghadapi tantangan era digital. Dalam konteks penipuan  digital, 


edukasi literasi digital diperlukan untuk mengaktifkan kewaspadaan 


masyarakat melalui pemahaman menyeluruh dari hulu-hilir tentang 


penipuan  digital.


Berbeda dari sosialisasi dari otoritas, program ini perlu berangkat dari 


perspektif warga yang dianggap rentan terhadap penipuan  digital 


sehingga sifatnya lebih tersegmentasi dan mendalam dibandingkan  


sosialisasi.


SMS berhadiah) menjadi pesan atau modus penipuan  yang paling banyak 


diterima korban  sekaligus mencatat korban paling banyak. 


Berdasarkan cerita para korban penipuan  dan pengalama