cyber crime 27
at biasanya merasa kesepian (Retnowati, 2015)
tanpa pasangan dan terbuai oleh cerita dan perhatian yang didramatisasi
oleh penipu ulung (Rahayu, 2022). Tak sedikit pula, korban terpancing implusif
sehingga dengan mudahnya memenuhi permintaan penipu ulung (Whitty,
2017). Bahkan, tak jarang pada penipuan digital umum, penipu ulung
memainkan rasa takut dan khawatir dari calon korbannya dengan
berbagai cara (Wardani, 2022).
Contoh lain disampaikan oleh korban survei asal Maluku Utara
berinisial KJ (38 tahun, 9 April 2022) yang mengatakan bahwa penipu ulung
benar-benar cerdas memanfaatkan situasi psikis calon korbannya.
Saya tiba-tiba dapat pesan di aplikasi chat diikuti dengan telepon yang yang
mengatasnamakan perusahaan tertentu, dan anehnya mereka seolah tahu
kondisi yang tepat untuk melakukan aksi penipuan mereka
Sama halnya dengan AY (23, FGD, 9 April 2022), korban asal Nusa
Tenggara Barat yang mengaku tergoda secara kejiwaan karena
mendengar iming-iming nominal yang fantastis.
Mungkin karena kita mendengar angkanya gede ini dan mungkin
secara tidak sadar saya melakukan transaksi.”
Dimensi psikologis ini menjadi pendorong yang tentu saja tidak dapat
disamaratakan karena kondisinya bisa berbeda-beda dan dipengaruhi
oleh faktor-faktor lainnya. Akan tetapi, kondisi ini nyatanya bisa menjadi
faktor intrinsik yang pertama kali menggerakkan para calon korban untuk
menindaklanjuti tahapan-tahapan berikutnya sehingga menelan mereka
ke dalam pusaran pihak yang merugi.
Dari 15 jenis modus penipuan digital yang ditanyakan dalam survei ini,
penipuan digital yang paling banyak menjerat korban ialah penipuan
berkedok hadiah dengan persentase sebesar 36,9%. Jenis penipuan digital
ini diikuti dengan pengiriman tautan berisi malware/virus (33,8%),
penipuan jual beli (29,4%), situs web/aplikasi palsu (27,4%), dan penipuan
berkedok krisis keluarga (26,5%).
Dari lima besar modus penipuan digital ini , tiga jenis penipuan
digital yakni penipuan berkedok hadiah, pengiriman tautan berisi
malware/virus, dan situs web/aplikasi palsu tergolong sebagai massmarketing fraud/scam. Modus jenis ini biasanya dikirimkan ke (calon)
korban secara massal dan masif serta tidak melibatkan pemalsuan dan
pencurian data pribadi (calon) korbannya.
EA (25 tahun, FGD, 12 Feb 2022) mengemukakan bahwa penipuan
berkedok hadiah pernah menghampi r inya. Setelah penipu ulung
meneleponnya berkali-kali, ia akhirnya mengangkatnya dengan informasi
dari penipu ulung bahwa dirinya mendapatkan undian cashback dari suatu
lokapasar senilai jutaan rupiah.
HP bunyi sampe tujuh kali, terus karena sudah geregetan, saya angkat dan katanya
saya menang undian cashback dari suatu lokapasar senilai dua juta lima ratus ribu.”
Faktanya, undian itu menjebaknya untuk mengirimkan sejumlah dana
yang dimintakan dengan alasan biaya administrasi dan semacamnya.
Sangat variatifnya modus penipuan dan medium yang dipakai membuat
setiap kelompok usia bisa tertipu oleh modus penipuan mana pun. Meski
begitu, ada sebuah kecenderungan yang menunjukkan kelompok
usia tertentu lebih rentan terhadap sebuah modus penipuan tertentu.
Kecenderungan ini ditampilkan dalam grafik di bawah ini, berdasarkan
empat kelompok usia yang digunakan dalam riset ini, yaitu generasi Z
(lahir 1997-2012), generasi Y atau Milenial (1981-1996), Gambar 4.3.
Korban penipuan Digital Berdasarkan Usia generasi X (1965-1980), dan
generasi Baby Boomer (1946-1964
Selanjutnya, riset ini juga memeringkat kelompok usia yang secara
persentase paling sering menjadi korban penipuan digital, seperti tampak
dalam tabel berikut.
Berdasarkan peringkat yang tampak dari tabel di atas, kategori usia yang
paling banyak menjadi korban adalah Baby Boomer, yaitu sebanyak 72,6%
korban dari kelompok usia ini , diikuti generasi Z (68,1%),
generasi X (67%), dan generasi Y atau Milenial (62,8%).
Generasi Baby Boomer paling banyak tertipu oleh penipuan berkedok
hadiah, yang dialami oleh hampir setengah dari mereka (49,6%), dan
diikuti oleh penipuan berkedok krisis keluarga (46%). Meski demikian,
mereka juga sering terjebak membuka tautan yang berisi malware/virus,
seperti dialami oleh informan IK berikut ini
Saat itu komputer saya ngadat, lalu saya cari software yang bisa membantu
untuk memperlancar. Setelah browsing, saya menemukan situs web, tapi
setelah saya masuk ke dalamnya, yang terjadi malah situs itu membuat
kerusakan pada dokumen-dokumen yang di komputer saya,” IK (58 tahun,
FGD, 12 Februari 2022)
Sementara itu, pengalaman generasi Z diwakili oleh informan AR yang
terjebak penipuan berkedok hadiah seperti diuraikan di bawah ini.
AR (24 tahun, FGD, 12 Feb 2022) mengisahkan bahwa dirinya terjebak
penipuan berkedok hadiah dengan memakai modus telepon.
“Dia langsung telepon, bahwa saya menang undian, banyak banget pilihannya,
lalu saya pilih motor. Kalau mau ambil motor ini, saya harus transfer pulsa gitu,
pulsanya nominal juga beda-beda.” AR (24 tahun, FGD, 12 Februari 2022)
Selanjutnya, untuk generasi X, jenis penipuan digital yang paling sering
menjerat mereka adalah penipuan berkedok hadiah, yang dialami oleh
35,9% dari mereka. Contoh pengalaman ini ditunjukkan oleh dua cerita
berikut.
IY (50 tahun, FGD, 9 April 2022), korban asal Bali mengisahkan bahwa
dirinya terjebak penipuan jual beli karena terbuai dengan barang
kebutuhan rumah tangga yang ditawarkan lebih bervariasi di toko online
dibandingkan berbelanja secara langsung di toko. Sayangnya, barang yang
dibelinya tidak kunjung datang.
Saya ingin rak piring, anak saya bilang bagus kalau pesan online karena banyak
pilihan. Saya sudah bayar barangnya, tapi kemudian bukan barangnya yang
datang, justru ojek online yang menagih katanya untuk barang itu.” (IY, 50
tahun, FGD, 9 April 2022)
Kisah lainnya datang dari DE (44 tahun, FGD, 9 April 2022), korban
survei domisili Jawa Timur mengaku ditelepon penipu ulung berkedok krisis
keluarga dengan modus yang lebih rapi dan instruktif. Ia bahkan mengaku
seperti terhipnotis sehingga ia melakukan apa saja yang diinstruksikan
penipu ulung melalui telepon tersebut
Saya ditelepon diarahkan untuk ke ATM dan mentransfer sejumlah uang yang dia
minta, instruksinya tegas banget dan saya lakukan saja mungkin karena
terhipnotis.” (DE, 44 tahun, FGD, 9 April 2022)
Yang terakhir, kelompok usia yang paling jarang menjadi korban penipuan
digital adalah generasi Y atau Milenial. Meski demikian, persentase
kelompok ini yang terjerat penipuan juga tinggi, salah satunya adalah
penipuan jual beli, yang menjerat informan MD, seperti dalam kisah di
bawah ini.
MD (27 tahun, FGD, 9 April 2022), korban domisili Papua menjadi
korban penipuan jual beli di salah satu platform media sosial karena
terbuai dengan promosi harga barang dan kemasan visual yang menarik.
“Saya lagi browsing baju gamis lebaran di media sosial, tergiur dengan iklan
yang cantik dan harga murah, langsung check-out dan ternyata barangnya tidak
dikirim sama sekali.” (MD, 27 tahun, FGD, 9 April 2022)
Serupa dengan MD, korban inisial WA (28 tahun, 9 April 2022) asal
Sulawesi Selatan juga terjerat penipuan jual beli koin untuk bermain game
yang didapatnya dari iklan di media sosial.
“Saya dapat iklan koin game di media sosial, saya klik dan terhubung ke aplikasi
chat untuk transaksi, tetapi setelah transaksi dan nomor dihubungi kembali, tak
ada balasan sama sekali.” (WA, 28 tahun, FGD, 9 April 2022)
Dari kedua kisah korban ini bisa disarikan bahwa penipuan jual
beli yang menargetkan kelompok generasi milenial umumnya disebabkan
oleh tawaran harga barang yang lebih murah, iklan yang dirancang
sedemikian rupa untuk meyakinkan, serta kadang kala muncul karena
dorongan untuk memenuhi suatu kebutuhan spesifik untuk momentum
tertentu.
Pendapatan korban dalam survei ini dibagi ke dalam enam kategori
yaitu dari pendapatan yang terhitung paling tinggi (lebih dari
Rp3.500.000/bulan) hingga belum punya penghasilan dan memilih untuk
tidak menjawabnya. Enam kelompok ini disusun berasarkan kategori
pendapatan masyarakat negara kita yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik.
Tabel berikut menunjukkan persentase tertinggi dari penipuan digital dan
pendapatan korbannya.
Jika dilihat dari kategori pendapatan yang pernah tertipu atau menjadi
korban penipuan digital, mereka yang paling banyak menjadi korban
adalah kelompok pendapatan kurang dari Rp1.500.000 per bulan, yaitu
sebanyak 72,4% korban dari kelompok pendapatan ini .
Kelompok berikutnya adalah korban dengan pendapatan antara
Rp2.500.000-3.500.000 per bulan (70,1%), lalu mereka yang belum punya
penghasilan (67,5%), dan kelompok korban dengan pendapatan lebih
dari Rp3.500.000 per bulan.
Riset ini mengelompokkan tingkat pendidikan korban mulai dari
jenjang sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi dengan gelar
akademik doktoral/strata 3 (S3).
Berdasarkan tingkat pendidikan korban yang pernah menjadi korban
penipuan digital, yang paling banyak menjadi korban adalah korban
dengan tingkat pendidikan SLTP, yaitu sebanyak 84,8% korban dari
kelompok tingkat pendidikan SLTP. Kelompok berikutnya adalah
korban dengan tingkat pendidikan SD (71,4%), yang diikuti tingkat
Doktoral/S3 (69,2%), SLTA (69%), Sarjana/S1 (65,2%), Magister/S2 (64,2%),
dan Diploma (21.6%).
Data di atas menunjukkan bahwa latar pendidikan apa pun memiliki
kerentanan yang relatif sama untuk jatuh sebagai korban. Hal ini bisa
dikatakan terkait dengan kenyataan bahwa jenis penipuan digital begitu
beragam dan kadang sangat canggih secara teknologi maupun modus
operandi sehingga siapa pun bisa menjadi korbannya.
Dengan demikian, dari ulasan bab ini dapat disimpulkan tiga poin utama.
Pertama, mayoritas (lebih dari setengah total korban ) mengaku
pernah menjadi korban penipuan digital dalam berbagai modus dan
alasan terjebak sebagai korban, dengan modus paling sering adalah
penipuan berkedok hadiah. Kedua, modus penipuan digital bisa menjerat
siapa saja tanpa peduli kelompok usianya, jumlah penghasilan yang
dimiliki, dan taraf pendidikan yang diraih. Olehnya itu, ketiga, diperlukan
analisis dan pendekatan yang berbeda dan kontekstual dalam edukasi
dan literasi penipuan digital sehingga masyarakat bisa terhindari dari
intaian penipuan digital yang semakin lama semakin berkembang.
penipuan digital bagi korbannya tentu bisa menimbulkan banyak
kerugian baik yang sifatnya materil dan immateril. Kerugian materil bisa
berupa uang, barang, maupun benda fisik lainnya. Sedangkan kerugian
immateril bisa berupa waktu, perasaan, kebocoran data pribadi, fisik,
maupun lainnya.
Komisi Eropa (2020), misalnya, membedakan dua jenis dampak utama
yang dirasakan korban penipuan yakni kerugian non-finansial serta
kerugian finansial. Sementara Badawi (2021) menunjukan ragam kerugian
baik berupa keuangan, kebocoran data pribadi, dan informasi sensitif
lainnya, serta gangguan layanan internet itu sendiri.
Dalam riset nasional ini, kerugian penipuan digital dibagi atas 8 (delapan)
jenis yakni kerugian: uang, barang, kerugian fisik, kerugian waktu,
kerugian perasaan, kebocoran data pribadi, tidak ada kerugian, dan
kerugian lainnya.
Menariknya, riset ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh korban
(50,8%) yang menjadi korban penipuan digital menyatakan bahwa mereka
“tidak mengalami kerugian”.
Sementara itu, di urutan kedua korban yang menyatakan mengalami
kerugian uang berjumlah 15,2%. Sedangkan kerugian waktu berjumlah
12%, yang diikuti oleh kerugian perasaan (8,4%). Data selengkapnya bisa
dilihat dalam Gambar 5.1.
Lebih separuh korban riset nasional ini menyatakan menjadi korban
tapi tidak ada kerugian. Namun, jika dilihat lebih detail per jenis penipuan
digital, lima urutan tertinggi jenis penipuan digital yang korbannya merasa
tidak dirugikan adalah sebagai berikut. Terlihat bahwa kerugian yang mungkin dirasakan dari lima jenis penipuan
bisa kerugian finansial maupun non-finansial. Namun, temuan ini tetap
menimbulkan pertanyaan: Bagaimana bisa menjadi korban penipuan
digital tapi tidak merasakan kerugian sama sekali?
Untuk menjawab pertanyaan ini, serangkaian focus group discussion (FGD)
dilakukan setelah survei dengan melibatkan 20 korban terpilih.
Tujuannya adalah mengetahui lebih dalam dampak yang mereka rasakan
sebagai korban penipuan . Sebagian besar mereka yang menyatakan
menjadi korban tapi tidak ada kerugian beralasan telah “mengikhlaskan
peristiwa itu” sebagai bagian dari “cobaan” atau “perjalanan hidup”.
Berikut adalah beberapa ungkapan mereka yang menyatakan tidak
mengalami kerugian meskipun menjadi korban penipuan digital.
mungkin memang ini bukan rezeki
kita…” (EV, 43 tahun, FGD, 19 April
2022)
“…saya ikhlaskan saja deh…”
(BU, 60 tahun, FGD, 19 April
2022)
Faktor keikhlasan agaknya menjadi budaya masyarakat negara kita yang
menganggap penipuan digital sebagai salah satu cobaan dalam
perjalanan hidup. Tak hanya dialami oleh korban penipuan digital dalam
riset ini, pengalaman korban lain yang ditulis oleh media pun juga sama.
Laporan Tirto.id (Hidayat, 2021) juga menunjukkan bahwa korban
penipuan digital sering kali merasa ikhlas atas kerugian penipuan digital
baik kerugian finansial maupun kerugian lainnya yang ia alami bahkan
terkadang lebih dari satu kali. Keikhlasan ini yang kemudian mereka
anggap bahwa mereka tidak mengalami kerugian supaya tidak
membebani perasaan mereka terutama karena rasa bersalah karena
“terjebak” penipuan digital.
Anggapan ini kurang lebih dipengaruhi oleh prinsip agama secara umum
tentang rezeki yang ada hubungannya dengan sedekah. Mereka
menganggap kehilangan uang maupun barang atau benda material
lainnya yang mereka alami adalah bagian dari kehilangan rezeki yang akan
diganti dengan rezeki lain yang lebih besar di kemudian hari. Bahkan
kadang kala korban penipuan digital merasa kurang sedekah sebelumnya
sehingga menjadi korban penipuan digital adalah salah satu cara Tuhan
mengingatkannya untuk lebih banyak bersedekah.
Dengan begitu, bisa dimaklumi jika sebagian korban menganggap
tidak ada kerugian karena merelakan kerugian akibat penipuan digital
adalah upaya untuk segera beranjak dari cobaan ini .
Kerugian uang dari ratusan ribu rupiah hingga puluhan juta rupiah dialami
oleh 14% korban survei ini. Biasanya penipuan digital yang
menyebabkan kerugian adalah yang berkaitan dengan penipuan jual beli,
penipuan berkedok hadiah, maupun pembajakan dompet digital
termasuk rekening bank
Beberapa korban terpilih yang hadir secara luring dalam serangkaian
Focus Group Discussion (FGD) menjelaskan dalam kutipan pendek
kerugian uang yang mereka alami.
“Waktu itu lihat jualan sepatu… transfer
500… jastip nambah 50 ribu. Sudah
ditransfer, chat saya di-blok, barangnya ga
sampe.” (AL, 18 tahun, FGD, 19 April
2022)
“Saya sempat rugi 1 juta karena tergiur
membeli hape… sudah kirimkan uang tapi
barangnya tidak sampai.” (BU, 60 tahun,
FGD, 19 April 2022)
Dari beberapa pengalaman korban sekaligus peserta FGD di atas
tampak bahwa kerugian uang banyak dialami oleh korban yang usianya
pun beragam dari 18 tahun hingga 60 tahun. Sebagai pembanding,
kerugian uang yang dialami oleh korban penipuan digital juga banyak
terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian diberitakan oleh
media. Seperti contoh kasus penipuan berkedok cinta (romance scam)
yang dimuat di berita Kompas (Alfajri et al., 2022) yang mengalami
kerugian sebanyak Rp40.000.000 dan Rp64.000.000.
Adapun contoh lain yaitu kasus aplikasi trading ilegal bernama Binomo
(Prass, 2022), dengan korban mengalami kerugian hingga 2,5 miliar
rupiah. Total uang ini merupakan kumpulan uang yang berasal dari
keluarga, saudara, dan puluhan teman dekat korban dengan harapan
dapat menghasilkan keuntungan dari trading di Binomo.
Kemudian ada pula kasus penipuan jual beli minyak goreng melalui media
sosial (Linggauni, 2022), korban mengalami kerugian hingga 122 juta
rupiah.
Dari apa yang dialami oleh korban penipuan digital yang menjadi
korban riset nasional ini maupun korban lain yang diberitakan media,
tampak bahwa kerugian uang terjadi dalam berbagai modus penipuan
digital dengan beragam medium serta menimpa korban dengan
bervariasi usia.
Sedangkan kerugian waktu dirasakan oleh korban penipuan karena waktu
mereka menjadi berkurang akibat harus melakukan banyak hal setelah
menjadi korban penipuan digital.
Waktu yang berkurang itu digunakan untuk meminta bantuan dari teman
atau keluarga atau pemangku kepentingan yang lain terutama
mengupayakan kembalinya uang, barang atau benda lain yang hilang.
Selain itu waktu juga berkurang karena korban penipuan digital sering kali
terganggu perasaannya, sebagaimana pernyataan beberapa korban
sekaligus peserta FGD riset ini.
“Itu kan menghabiskan waktu kita
untuk melaksanakan pelaporan. Tapi
tidak ada follow up-nya”(KT, 58
tahun, FGD, 19 April 2022)
“bingung kita mau ngapain, setelah
kita ketipu tuh bingung mau ngapain.”
(YG, 23 tahun, FGD, 19 April 2022)
Kerugian waktu seperti diceritakan dua informan di atas terkadang tidak
dirasakan karena tidak langsung tampak seperti halnya kerugian uang
maupun kerugian benda lain yang terlihat secara fisik.
Namun, korban dirugikan waktunya untuk merespons penipuan digital
yang menimpanya. Pilihan untuk melaporkan maupun tidak ke pihak yang
berwajib membuat kehilangan waktu dalam proses ini . Bahkan, dari
laporan dari Media Konsumen (Sulaeman, 2022), calon korban penipuan
digital pun mengalami kerugian waktu ketika melaporkan persoalan yang
dihadapinya. Acapkali laporan calon korban ini tidak ditangani dengan
cepat padahal risikonya tinggi.
Merasa malu, marah, sedih, kecewa, takut, trauma, adalah beragam
perasaan yang dialami oleh korban karena tidak ada seorang pun ingin
menjadi korban penipuan digital.
Bahkan sebagian korban yang menjadi peserta FGD yang dilakukan
dengan tim peneliti, bahwa sebagai korban penipuan digital mereka
merasa menyesal karena termakan bujuk rayu pelaku penipuan digital.
Mereka juga merasa gagal mengkritisi pesan penipuan digital sekaligus
merasa gagap mempraktikkan aman bermedia digital.
Perasaan yang beragam ini timbul karena korban merasa lengah sehingga
celah kejahatan penipuan digital bisa menimpanya.
pengenlah untuk melaporkan, tapi
sudah kadung malu…”
(RN, 27 tahun, FGD, 19 April 2022)
“Waktu tau oh ternyata ini penipuan ,
saya jengkel sebenarnya.”
(YD, 28 tahun, FGD, 19 April 2022)
“Marah, kecewa hahaha saya ditipu. Saya
juga menyalahi diri sendiri, 'Bodoh sih saya
ini kenapa kok ketipu.'”
(BU, 60 tahun, FGD, 19 April 2022)
Dari beberapa pernyataan korban yang menjadi peserta FGD dalam
riset ini, terlihat bahwa kerugian perasaan membuat korban menyesali
dirinya terperangkap dalam penipuan digital dan menyalahkan dirinya
sendiri. Perasaan lain yang muncul antara lain malu, jengkel, kecewa,
hingga marah.
Kasus yang diterbitkan Detik.com (Pinandhita, 2022) juga menunjukkan
kerugian perasaan korban penipuan digital berkedok asmara. Korban
yang ditipu oleh teman kencannya di suatu aplikasi kencan merasa
trauma untuk memulai hubungan baru akibat ditinggalkan (ghosting) oleh
teman kencan virtualnya.
Terkadang korban melihat kebocoran data pribadi bukan sebagai
kerugian karena ini bukan kerugian yang langsung dirasakan atau nyata.
Namun, ketika diminta mengisi kuesioner, mereka paham bahwa
kebocoran data pribadi adalah salah satu kerugian dalam penipuan
digital, yang akibatnya bisa sangat nyata.
Dalam riset ini, korban pencurian identitas adalah kelompok korban yang
paling merasakan kerugian berupa kebocoran data pribadi
“Ada yang memakai nama saya dan memakai foto profil
saya, dan dia nge-chat….banyak orang untuk meminjam uang.”
(YG, 23 tahun, FGD, 19 April 2022)
Terkait dengan kebocoran data pribadi, laporan Kompas (Gatra, 2021)
pernah merilis berita kasus pinjaman online di mana korban mengalami
tindakan penyebarluasan informasi pribadi ke publik atau disebut dengan
istilah doxing. Data yang disebarluaskan pelaku adalah foto korban yang
sedang memegang Kartu Tanda Penduduk (KTP) miliknya ketika
mendaftar ke aplikasi pinjol. Foto ini lalu disandingkan dengan foto
perempuan tanpa busana yang seolah-olah merupakan foto korban. Foto
ini disebarluaskan di media sosial dengan narasi menerima pesanan
untuk melayani transaksi seksual atau dengan istilah open booking order
(open BO). Kasus lain adalah pesan spam melalui aplikasi chat yang
mencantumkan alamat lengkap korban, dengan pelaku mengatasnamakan dirinya sebagai pihak lokapasar ternama (Nadiroh, 2021)
Kerugian barang dialami paling banyak oleh korban penipuan jual beli
(4,5%) dibandingkan dengan jenis penipuan lainnya sebagaimana terlihat
dalam Gambar 5.7. Dalam FGD yang dilakukan sebelum survei, salah seorang peserta yang
merupakan penjual kue kering mengalami kerugian barang karena ditipu
pembelinya.
“Kue kering sebanyak itu total hampir 3 juta… Karena ini ada pengiriman jauh, saya
minta DP-nya terlebih dahulu. Ee lalu, ee pas saya minta DP, 'Nggak usah, Mbak. Nggak
usah pakai DP DP, langsung saya bayar semua aja', katanya gitu…. saya tahunya dia
pakai m-banking pengiriman palsu. .... Uang tidak masuk. Padahal kue-kuenya sudah
saya pack, sudah siap kirim.” (ND, 28 tahun, FGD, 12 Februari 2022)
Sementara itu, korban lain yang mengalami kerugian barang adalah dari
sisi pembeli yang ditipu penjualannya.
Pengiriman link malware
Situs web/aplikasi palsu
penipuan berkedok romansa
Pencurian identitas pribadi
1,9%
1,2%
1,1%
1,1% penipuan jual beli
4,5%
Penerimaan sekolah/beasiswa palsu
1,0%
“Kemarin waktu bulan puasa itu ngambil mukenah sekitar 17 pcs, yang dia kirim itu
cuma 5 pcs, yang lainnya itu dia nggak kirim, lalu nomor saya dia blokir” (HD, 52 tahun,
FGD, 12 Februari 2022)
Dari dua pengalaman di atas, tampak bahwa kerugian barang dalam
penipuan jual beli tak hanya bisa menimpa pembeli namun juga penjual.
Meskipun begitu, penipuan jual beli lebih banyak memakan korban yang
berposisi pembeli sebagaimana ditulis Media Konsumen (Barasa, 2022).
Korban melakukan pembelian tas bermerek seharga Rp2.300.000 melalui
fitur live streaming di salah satu aplikasi lokapasar terkenal.
Setelah paket tas diterima, ternyata tas yang dikirim merupakan produk
palsu dan tidak sesuai dengan klaim pelaku pada saat live streaming
Meskipun hanya 15 korban (0.4%) yang mengisi pengalaman kerugian
fisik termasuk melukai diri sendiri, hal ini menunjukkan bahwa penipuan
digital bisa mengakibatkan korbannya melakukan self-harm.Meskipun dalam FGD yang dilakukan tim penelitian tidak ditemukan
pernyataan langsung tentang kerugian fisik, kasus kerugian fisik bisa
dialami oleh korban penipuan digital. Salah satunya adalah pemberitaan
Tribun (Juliati, 2022) yang melaporan seorang korban pinjaman online
ilegal yang tak hanya mengalami kerugian uang ratusan juta rupiah
namun juga kerugian fisik dengan menyusutnya berat badannya hingga
12 kg
Tidak seorang pun ingin menjadi korban penipuan digital, tak peduli latar
belakang usia, pendapatannya maupun pendidikannya. Meskipun begitu,
karena beragam faktor, baik yang berasal dari kelalaian diri sendiri
maupun kelengahan orang lain, korban penipuan digital sering kali tak
bisa menghindari beragam modus kejahatan siber yang paling populer ini.
Riset nasional ini juga menanyakan pada seluruh korban melalui
survei maupun FGD mengenai respons mereka setelah menyadari bahwa
mereka menjadi korban penipuan digital.
Dari seluruh korban penipuan digital yang berjumlah 1.132 korban ,
respons atau tindakan terbanyak yang mereka lakukan adalah
menceritakan kepada keluarga atau teman (48,3%), tidak melakukan apaapa (37,9%), menceritakan kepada warganet (5,3%), melaporkan kepada
media sosial atau platform digital lainnya (5%), dan melaporkan kepada
kepolisian (1,8%).Meski lapor ke kepolisian hanya menjadi pilihan 1,8% korban ,
sebanyak 97,3% korban menganggap kepolisian dan aparat penegak
hukum lainnya sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk
mencegah dan menangani penipuan digital, yang diikuti oleh pemerintah
(96,2%), perusahaan terkait (93,3%), organisasi masyarakat sipil atau
komunitas-komunitas di masyarakat (85,5%), dan perguruan tinggi
(81,9%).Menceritakan kepada keluarga atau teman merupakan respons
terbanyak yang dipilih oleh lebih dari separuh korban . Pilihan ini
masuk akal karena korban butuh segera mendapatkan bantuan atau
dukungan dari orang-orang terdekatnya baik itu keluarga maupun teman.
Bagi korban, hanya keluarga dan teman yang bisa mereka percaya bisa
membantu dan menjaga rahasia mereka. Kepercayaan ini penting karena
korban mengalami berbagai perasaan seperti kecewa, jengkel, marah,
hingga malu sehingga tak ingin kejadian yang tak mengenakkan ini
diketahui oleh orang banyak.
Gambar 6.2 menunjukkan korban penipuan berkedok hadiah paling
banyak (26,1%) menceritakan kasus penipuan berkedok hadiah yang
menimpanya. Sementara empat modus lainnya yang paling banyak
ditemukan secara berurutan adalah: penipuan berkedok krisis keluarga,
penipuan jual beli, pengiriman tautan malware/virus, dan pinjaman online
ilegal.
Beberapa informan FGD menyampaikan pengalaman mereka dibantu
teman ketika mengalami penipuan digital.
“…cerita ke teman. Saya kena
penipuan kayak gini gini gini, akhirnya
teman saya bantu.” (EV, 43 tahun,
FGD, 19 April 2022)
“…saya cerita ke teman saya… diblokirkan, lalu bikin akun baru” (BU, 60
tahun, FGD, 19 April 2022)
penipuan berkedok krisis keluarga
penipuan jual beli
Pengiriman tautan malware/virus
Pinjaman online ilegal
25,3%
19,8%
17,2%
13,9%
penipuan berkedok hadiah
26,1%
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tidak semua korban mampu secara
teknis dan psikologis berhadapan dengan berbagai langkah ikutan
mengatasi berbagai dampak dari penipuan digital
Bisa jadi, pengetahuan praktis mengenai apa yang harus dilakukan
setelah menjadi korban penipuan digital tidak cukup memadai untuk
setidaknya melakukan berbagai langkah mencegah penipuan digital
terulang kembali.
Tidak melakukan apa-apa merupakan respons terbanyak kedua yang
dipilih korban saat menyadari dirinya menjadi korban penipuan
digital. Modus penipuan digital terbanyak yang mengakibatkan korban
penipuan digital tidak melakukan apa-apa adalah pengiriman tautan
malware/virus (20,3%), yang diikuti penipuan berkedok hadiah, situs
web/aplikasi palsu, penipuan jual beli, dan pinjaman lainnya.
Beberapa pernyataan korban terpilih yang menjadi FGD
menunjukkan berbagai alasan mereka tidak melakukan apa-apa
meskipun menjadi korban penipuan digital
“Malu sama keluarga, malu sama tementemen, jadi saya diem-diem aja.” (RN, 27
tahun, FGD, 19 April 2022)
“…saya belum melapor ke polisi juga, terus
saya belum minta tolong ke teman.
Yaudahlah, biar aja. Mudah-mudahan
nanti diganti…)” (EV, 43 tahun, FGD, 19
April 2022)
Dari beberapa pernyataan di atas, tampak bahwa malu dan ikhlas menjadi
alasan korban terpilih untuk tidak melakukan apa-apa.
Pilihan respons terbanyak ketiga korban penipuan digital dalam riset ini
adalah menceritakan pada warganet
penipuan situs web/aplikasi palsu merupakan modus terbanyak yang
membuat korban memilih menceritakan kepada warganet diikuti oleh
empat modus terbanyak lainnya seperti terlihat dalam Gambar 6.4.
Biasanya alasan untuk menceritakan pada warganet adalah untuk
berbagi pengalaman sehingga warganet bisa belajar dari pengalaman
ini dan menghindarinya.
“Kita share……tentang ciri-ciri dari
penipuan ini ….biar temanteman yang lain kalau sekiranya
dapat eee dapat email tentang
pekerjaan ini , ya nggak usah
ditanggapi aja” (SY, 31 tahun, FGD,
19 April 2022)
“Tapi ketika…akun saya dikloning, gitu,
saya langsung sharing ke media sosial
agar tidak ada yang tertipu.” (YG, 23
tahun, FGD, 19 April 2022)
Pilihan ini tentu saja bisa dimaklumi karena korban ingin berpartisipasi
untuk mencegah penipuan digital. Hal sama juga dilakukan oleh figur
publik Luna Maya yang menceritakan kronologi penipuan digital yang
menimpa dirinya oleh oknum yang tidak bertanggung jawab melalui
media sosialnya (Arifin, 2022).
Melaporkan kepada Kepolisian tak banyak dilakukan oleh korban riset
nasional ini. Terlihat dalam Gambar 6.5 modus terbanyak yang dilaporkan
korban adalah penipuan jual beli (1,4%)
Salah satu korban terpilih menyatakan bahwa ia sempat memilih
untuk melaporkan ke polisi tapi tidak merasa terbantu.
“…udah saya langsung jalan ke kepolisian, Tapi ya udah
gak ada apa-apa.” (NU, 53 tahun, FGD, 19 April 2022)
Sementara itu, menurut laporan Barometerrakyat.com (Sahrul, 2022),
seorang korban telah mengalami penipuan sebesar Rp18.000.000
sebagai setoran arisan online, tetapi uang yang telah disetorkan tidak
kembali dan korban langsung melaporkan pemilik arisan online ini
ke Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Tanjung Pinang. Atau di
lain kasus, seperti dikutip dari Tribunjabar.id, korban dugaan penipuan
investasi dengan total kerugian sebesar 565 miliar rupiah melaporkan
kasusnya ke Polda Metro Jaya (Ravianto, 2022).
Namun begitu, sama halnya dengan temuan riset ini, Laporan Tirto.id
(Hidayat, 2021) juga menunjukkan bahwa lapor ke polisi jarang dilakukan
oleh korban penipuan digital. Dari sedikit korban penipuan digital yang
melaporkan ke polisi, tindak lanjut dari polisi bisa dikatakan tidak ada,
sehingga mereka merasa tidak mendapatkan keuntungan apa-apa
dengan melapor ke polisi.
Pengalaman sekelompok kecil korban yang merasa tidak puas terhadap
pelayanan polisi dalam menindaklanjuti laporan penipuan digital ini
kemudian dibagikan ke teman maupun saudara atau bahkan ke media
sosial. Dengan begitu, ada semacam “pengetahuan umum” bahwa tidak
ada gunanya lapor ke polisi jika menjadi korban penipuan digital.
Maraknya pengalaman korban yang kurang mendapatkan tindak lanjut
dari polisi ini menjadi contoh korban-korban selanjutnya untuk tidak
melapor atau mengikhlaskan kasusnya. Tren melapor kepada Polri terkait
penipuan digital setidaknya mengalami penurunan dalam lima tahun
terakhir (2016-2020). Berikut data dari Polri yang dilaporkan oleh
Databoks (Pusparisa, 2020)
Bahkan, dalam FGD riset ini, ada keengganan lapor ke polisi di antara
informan karena ada anggapan bahwa laporan yang diproses hanyalah
korban penipuan digital yang kerugian ratusan juta rupiah ke atas dan
atau dilaporkan oleh orang terkenal atau figur publik.
Gambar 6.6. Jumlah Laporan penipuan Digital Per Tahun
dari Kepolisian Republik negara kita
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
2018 2019 2016 2017 2020
Sumber: Kepolisian Republik negara kita (Polri) (2020)
Melaporkan Kepada LembagaOtoritas Terkait
Korban peretasan dompet digital/rekening bank terbukti yang paling
banyak (1,1%) melaporkan lembaga terkait dibandingkan dengan korban
penipuan jual beli maupun pencurian identitas pribadi. Di semua jenis penipuan digital, meskipun sedikit, ada upaya melaporkan
ke lembaga/otoritas terkait seperti OJK, Bappebti, dan lembaga
perbankan. Seperti kasus penipuan berkedok investasi yang dilaporkan
oleh Detik.com (Fadhillah, 2022), kuasa hukum korban yaitu Ibrahim
Sumantri mengatakan pihaknya telah melaporkan kasusnya ke Badan
Pengawas Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan.
Melaporkan Kepada Lembaga Pemerintah
atau Kementerian
Melaporkan pada lembaga pemerintah atau kementerian adalah pilihan
respons yang tak banyak dilakukan korban riset ini.
Melaporkan pada lembaga bantuan hukum tak banyak dilakukan oleh
korban riset nasional ini. Korban penipuan berkedok hadiah dan
pinjaman online ilegal yang paling banyak melaporkan pada lembaga
bantuan hukum.
Terangkum dalam redaksi Okenews.com, pada Senin, 18 Oktober 2021,
Lembaga Bantuan Hukum Dewan Pengacara Nasional (LBH DPN)
negara kita secara resmi membuka Pusat Pengaduan Nasional Korban
Pinjol Ilegal (Okezone, 2021). Adapun korban pinjol pertama yang
melaporkan kasusnya kepada LBH terjadi pada tahun 2018 (Arbi, 2021).
Respons korban paling sedikit dalam studi ini adalah melaporkan pada
lembaga perlindungan warga atau konsumen. Hanya dua korban yang
melaporkan ke lembaga perlindungan warga atau konsumen terkait
penipuan jual beli yang menimpanya.
rekomendasi yang meliputi enam bahasan, yaitu (1)
pencegahan penipuan digital, (2) penanganan penipuan digital, (3) pihak
yang dinilai korban terpercaya dalam memberikan informasi
pencegahan, (4) pihak yang dianggap korban bertanggung jawab
dalam mencegah dan menangani penipuan digital, (5) rekomendasi
pencegahan menurut korban penipuan digital, dan (6) rekomendasi
penanganan menurut korban penipuan digital.
Dua bahasan pertama merujuk pada hasil olah data keseluruhan
korban (N=1.700 korban ), sementara dua pokok bahasan terakhir
berdasarkan pada hasil olah data korban yang pernah menjadi korban
(N=1.132). Pembedaan ini perlu dilakukan untuk memperlihatkan
perbandingan persebaran data antara yang umum dan yang khusus
(korban), yang akan berguna dalam merencanakan kebijakan atau
program dan menentukan target sasaran nantinya. Pembahasan
rekomendasi ini melibatkan banyak entitas, yaitu pemerintah, kepolisian,
sektor swasta, institusi pendidikan dan warga masyarakat.
Pencegahan penipuan Digital
Berbagai usulan disampaikan korban untuk dapat menanggulangi
kasus penipuan digital. Temuan survei menunjukkan bahwa upaya
pencegahan penipuan digital yang dianggap penting oleh korban ,
secara berurutan, sebagai berikut:
1. Peningkatan sistem keamanan dan perlindungan data pribadi (98,1%)
2. Kepastian hukum bagi penanganan penipuan digital (98,1%)
3. Publikasi kasus terkini dan modus operandi penipuan digital (97,2%)
4. Edukasi atau pelatihan tentang keamanan digital (97%)
5. Ketersediaan situs web dan aplikasi dari pihak berwenang untuk bisa
mengecek validitas penjual (96,7%)
6. Kampanye publik agar warga berhati-hati dan tips cara menghindari
penipuan (95,9%)
Ada dua upaya pencegahan yang tampaknya sama penting bagi
korban , yaitu peningkatan sistem keamanan dan perlindungan data
pribadi dan kepastian hukum bagi penanganan online.
Meski demikian, jika ditelusuri lebih mendalam dengan melihat bobot
jawaban korban (dari banyaknya yang memberikan jawaban “sangat
penting”) maka peningkatan sistem keamanan dan perlindungan data
pribadi dapat menjadi prioritas utama. Secara lengkap, berikut grafik yang
menunjukkan distribusi data ini .
penipuan digital merupakan tindakan penipuan yang dimediasi
(diantarai) oleh perangkat dan jaringan komunikasi digital, seperti media
sosial dan berbagai aplikasi termasuk aplikasi belanja daring. Oleh karena
itu, sistem keamanan perangkat komunikasi menjadi perhatian utama
korban untuk mencegah terjadinya penipuan .
Meskipun keamanan perangkat ini dapat diatasi dengan meningkatkan
kecakapan digital dan kesadaran individu untuk lebih berhati-hati dalam
bermedia, tuntutan terhadap keamanan perangkat di sini lebih mengarah
pada para pemilik dan penyedia platform digital. Temuan survei
menunjukkan, korban yang berpendidikan S3 yang diasumsikan
memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap perangkat/media digital
masih juga menjadi korban penipuan daring. Kasus yang paling banyak
adalah mereka menjadi korban penipuan berhadiah (38,5% atau
berjumlah 5 dari 26 orang). Para pemilik platform memiliki peran penting dalam mencegah penipuan
digital. Aspek keamanan dan privasi data seharusnya menjadi komponen
utama yang menjadi perhatian dalam proses pengembangan dan
pemberian layanan digital. Ada sejumlah kelalaian yang dilakukan pemilik
dan berakibat pada ancaman keamanan pengguna, termasuk kebocoran
data pribadi.
Mengutip pernyataan Ricky Setiadi, seorang AVP Information Security
sebuah lokapasar, ada banyak kasus pemilik atau pengembang platform
melakukan kesalahan dalam proses pengembangan atau pemeliharaan
layanan digital (Eka, 2020). Sebagai contoh, pengembang lalai dalam
menerapkan enkripsi untuk penggunaan username dan password.
Termasuk juga, pengembang tidak menerapkan penyimpanan private key
sehingga tidak aman serta penggunaan account default untuk sistem yang
digunakan. Kelalaian terkait pemeliharaan misalnya pengembang
memakai sertifikat digital yang sudah tidak berlaku, database yang
tidak terproteksi, dan pengabaian standard practice dalam
pengembangan sistem yang diakses secara publik. Pengembang juga
seharusnya dapat menerapkan proteksi keamanan pada perangkat keras,
seperti server atau hard disk. Sejumlah kasus kebocoran data terjadi
karena eksploitasi perangkat keras yang di dalamnya ada data
pelanggan.
Di samping pemilik atau pengembang platform digital, penyelenggara
jasa telekomunikasi juga memiliki peran besar dalam menjaga keamanan
warga dari ancaman penipuan digital. Sebagian besar penggunaan
perangkat digital memerlukan nomor telepon seluler untuk dapat
mengakses berbagai layanan digital. Penting artinya bagi penyelenggara
jasa telekomunikasi untuk meregistrasi kartu telepon pengguna yang
sesuai dengan Nomor Induk Kependudukan dan Kartu Keluarga untuk
mengetahui identitas pengguna (Samudra et al., 2018).
Kejelasan identitas ini dapat digunakan untuk menjangkau pengguna dan
menjatuhkan hukuman jikalau terjadi penyalahgunaan. Di negara kita
aturannya sudah ada, tapi implementasinya belum memadai sehingga
masih banyak penjualan kartu seluler yang sudah teregistrasi di
lokapasar. Aturan yang lebih ketat juga bisa diberlakukan, seperti di
negara Singapura, yang membatasi satu orang hanya dapat membeli
kartu telepon dalam jumlah tertentu. Penyelenggara jasa telekomunikasi atau operator seluler bertanggung
jawab juga dalam menjaga keamanan data pribadi. Seperti diberitakan
beberapa waktu yang lalu, ada indikasi data pribadi pelanggan
perusahaan telekomunikasi atau operator seluler bocor. Perlindungan
data pelanggan di perusahaan jasa telekomunikasi atau operator seluler
telah diatur dalam Peraturan Menteri Kominfo (Permenkominfo) Nomor
12 Tahun 2016 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi.
Peraturan ini menjelaskan bahwa penyelenggara wajib merahasikan data
dan/atau identitas pelanggan. Perusahaan juga diwajibkan memiliki
sertifikat ISO 27001 untuk menjaga keamanan informasi dalam mengelola
data pelanggan.
Usulan pencegahan yang kedua terbanyak menyangkut kepastian hukum
bagi penanganan kasus penipuan digital. Kajian hukum menunjukkan
bahwa landasan hukum menyangkut penanganan kasus penipuan digital
di negara kita masih lemah (Zabidin, 2021).
Saat ini peraturan yang berlaku untuk menjerat kasus penipuan adalah
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) khususnya Bab XXV tentang
perbuatan curang. Pasal 378 UU ini menjelaskan bahwa penipuan
termasuk kejahatan yang berkaitan dengan hak milik dan hak-hak lain
yang timbul dari hak milik.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen juga berlaku mengatasi kasus penipuan
terkait transaksi daring (Pasal 28 Ayat 1 UU ITE) dan transaksi
konvensional (Pasal 10 UU Perlindungan Konsumsi dari kasus penipuan
konvensional). Peraturan-peraturan ini tidak cukup memadai karena
kasus penipuan digital sangat variatif, tidak sebatas transaksi elektronik
atau kasus penipuan konvensional. Variasi kasus penipuan digital ini
membawa tantangan pada proses pembuktian dan unsur-unsur yang
dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum pada sistem
elektronik atau daring (Zabidin, 2021).
Beberapa tantangan yang menghambat aparat dalam penegakan hukum,
antara lain yaitu pembuktian tindak pidana penipuan secara daring
memerlukan infrastruktur dalam mendukung proses pembuktian dan
ketersediaan sumber daya manusia yang terbatas dalam proses
penegakan hukum (Zabidin, 2021). Aparat penegak hukum juga dituntut teliti dalam menentukan pasal yang
digunakan dalam penyelesaian perkara dan seharusnya dibekali
kemampuan terkait teknologi yang memadai untuk mendukung proses
penyidikan.
Di samping pencegahan, survei juga menjajaki penanganan penipuan
digital. Temuan survei menunjukkan bahwa penanganan penipuan digital
yang menurut korban dapat mengatasi penipuan digital sebagai
berikut:
Seperti pada program pencegahan penipuan digital, ada beberapa upaya
penanganan penipuan digital yang dipandang sama penting oleh
korban . Meski demikian, setelah dilakukan penggalian data lebih
mendalam (dengan melihat porsi jawaban “sangat penting” yang
diberikan korban ), prioritas upaya program penanganan secara
berurutan sebagai berikut:
1. Pemberian hukuman setimpal bagi penipu ulung dan kompensasi/ganti rugi
bagi korban oleh penipu ulung (70,5%)
2. Profesionalitas aparat dalam membantu korban (69,4%)
3. Ketersediaan sistem pelaporan yang memudahkan korban melapor
(65,8%)
4. Pendampingan/advokasi korban penipuan (59,3%)
Dengan demikian, prioritas utama program pencegahan adalah
pemberian hukuman setimpal bagi penipuan dan kompensasi/ganti rugi
bagi korban oleh penipu ulung . Setelah itu, profesionalitas aparat dalam
membantu korban, ketersediaan sistem pelaporan yang memudahkan
korban melapor, dan pendampingan/advokasi korban penipuan .
Banyaknya jawaban pada pemberian hukuman setimpal bagi penipu ulung dan
kompensasi/ganti rugi bagi korban oleh penipu ulung mengindikasikan adanya
kesan masyarakat bahwa sanksi yang diberikan kepada pelaku penipuan
belum memuaskan. Weisse (2001) dalam artikelnya pernah
mengungkapkan regulasi tanpa ancaman hukuman tidak akan efektif
dalam menangani penipuan digital (Weisse, 2001).
Ketidakpuasan korban dalam penyelesaian kasus penipuan digital
juga menyangkut pandangan korban terhadap aparat hukum.
Sejumlah korban yang hadir dalam FGD mengungkapkan harapannya
pada profesionalisme aparat dalam membantu korban mengatasi
penipuan digital. Ada indikasi kuat kurang mempercayai kinerja aparat
dalam penangangan kasus penipuan digital. Berikut beberapa kutipan
hasil FGD yang menandai sikap masyarakat:
Kalau melapor ke polisi dan tidak
ada tindak lanjutnya, sama aja
akan kecewa juga” (MD, 27
tahun, FGD 9 April 2022).
“Pelaporan ke pihak kepolisian boleh
d i k a t a k a n ti d a k s e c e p a t n y a
m e n d a p a t r e s p o n s … , j a d i
masyarakat merasa males akhirnya
membuat laporan” (IK, 58 tahun,
FGD 9 April 2022)
“Kepolisian pun tidak bisa berbuat banyak. Sampai polisi menyarankan untuk
diikhlaskan saja. Bukan meremehkan institusi kepolisian. Tapi mungkin, mereka
tidak bisa melacak atau mungkin tidak punya kekuatan untuk menangkap pelakupelaku penipuan digital” (SB, 31 tahun, FGD 9 April 2022)
Di samping itu, korban survei maupun peserta FGD sama-sama
menghadapi kebingungan dalam melaporkan kasus penipuan digital.
Oleh karena itu, mereka menyatakan perlunya ketersediaan sistem
pelaporan yang memudahkan korban melapor. Bahkan dari hasil FGD
muncul gagasan untuk membangun suatu sistem atau platform secara
digital yang bersifat integratif untuk memudahkan warga melapor dan
memudahkan petugas untuk menindaklanjuti kasus penipuan digital.
Dalam hal ini korban mengusulkan agar UGM dan/atau perguruan
tinggi lain bisa mengambil peran mengembangkan sistem atau platform
ini .
“Mungkin UGM bisa mengembangkan sistem pelaporan… Jadi ketika melapor tidak
bingung lagi harus ke mana…masyarakat juga bisa mengecek, jenis-jenis penipuan itu
seperti apa yang terjadi, biar kita lebih berhati-hati lagi” (SB, 31 tahun, FGD 9 April
2022)
pihak terpercaya memberikan informasi
pencegahan
Seiring naiknya tagar #PercumaLaporPolisi pada tahun 2021, kepolisian
mendapatkan perhatian yang cukup tinggi di masyarakat negara kita
mengenai kualitas kinerjanya dalam memberantas tindak kriminal. Hasil
survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada tahun 2021
mencatat tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum
tidak terlalu tinggi. Adapun untuk lembaga kepolisian mendapatkan 58%
korban yang percaya dan 38% lainnya menyatakan tidak percaya.
Pihak yang paling dipercaya korban dalam memberikan informasi
pencegahan dipegang oleh kepolisian (94,6%), sebagaimana tampak
dalam grafik 7.3. Pihak pemerintah menempati posisi kedua sebagai pihak
yang paling terpercaya dalam memberikan informasi pencegahan. Hasil
olah data menunjukkan secara berturut-turut kepolisian 94,6%;
pemerintah 92,9%; platform/aplikasi digital 92,2%; perusahaan terkait
91,4%; organisasi masyarakat sipil atau komunitas-komunitas di
masyarakat 86,7%; dan perguruan tinggi 85,4%
Bukan hanya di negara kita , hasil survei Komisi Eropa di Uni Eropa (2020)
terhadap masyarakat Uni Eropa juga menunjukkan hasil yang sama yaitu
sebesar 41% korban tidak melaporkan pengalamannya terkait
penipuan digital kepada otoritas dan sebesar 38% melaporkan kepada
teman atau keluarga, namun tidak kepada otoritas.
Data ini menjadi pertimbangan bagi pihak terkait, khususnya kepolisian,
yang menjadi ujung tombak dalam mencegah dan menangani penipuan
digital, untuk lebih meningkatkan kinerjanya seperti dalam hal melayani
kebutuhan masyarakat akan perlindungan hukum.
Pihak yang Dianggap korban
Bertanggung Jawab dalam Mencegah
dan Menangani penipuan Digital
Pihak yang dinyatakan korban bertanggung jawab untuk mencegah
dan menangani penipuan , secara berurutan sebagai berikut:
1. Kepolisian (97,5%)
2. Pemerintah (96,4%)
3. Perusahaan terkait (93,7%)
4. Organisasi masyarakat sipil atau komunitas-komunitas di masyarakat
(86,3%)
5. Perguruan tinggi (82,2%)
6. Warga masyarakat (81,7%)
Seperti pada temuan sebelumnya (pihak yang dipercaya memberikan
informasi pencegahan), korban juga menilai kepolisian juga sebagai
pihak yang dianggap bertanggung jawab untuk mencegah dan menangani
penipuan .
Sekali lagi temuan ini menegaskan pentingnya peningkatan kinerja
institusi kepolisian dalam menangani penipuan digital.
Kepolisian menempati posisi tertinggi sebagai pihak yang dipercaya dan
dianggap bertanggung jawab oleh masyarakat untuk mencegah dan
menangani penipuan digital. Namun, ironisnya, ketika korban
menjadi korban, mereka cenderung tidak melapor kepada aparat hukum,
kepolisian, dan lembaga otoritas terkait. Kepolisian menempati urutan
nomor 5, diikuti oleh lembaga/otoritas terkait (OJK, Bappebti) dan
lembaga pemerintah (kementerian). Seperti telah dijelaskan di depan,
keengganan untuk melapor kasus penipuan digital ke aparat hukum dan
kepolisian karena korban tidak puas dengan proses penanganan
kasus.
Studi yang dilakukan oleh Cross (2020) menunjukkan bahwa kepolisian
memiliki keterbatasan kewenangan dan kemampuan dalam mengusut
kasus-kasus penipuan digital. Regulasi yang ada dan bentuk penipuan
digital yang bervariasi, bahkan melampaui batas-batas wilayah negara,
memberikan tantangan bagi kepolisian. Studi ini merekomendasikan
perubahan regulasi yang dapat memberi dukungan kepada kepolisian
dalam penanganan kasus penipuan digital, peningkatan kapasitas
sumber daya kepolisian dalam penyelidikan, dan pengadaan teknologi
baru yang dapat membantu proses penyelidikan (Cross, 2020). Di samping
itu, studi itu juga menyarankan perlunya komunikasi antara kepolisian
dan warga, agar warga juga memahami keterbatasan kepolisian dalam
mengungkap kasus penipuan digital.
Seperti diuraikan di bagian awal, jenis penipuan digital sangat bervariasi.
Penelitian ini mengidentifikasi 15 jenis penipuan digital. Secara umum,
meski jenis penipuan digital bervariasi, rekomendasi pencegahan yang
diutarakan oleh para korban penipuan digital cenderung sama. Dengan
kata lain, apa pun jenis penipuan yang dialami korban, rekomendasi yang
diberikan tidak jauh berbeda. Jika diurutkan, rekomendasi pencegahan
penipuan digital yang disampaikan oleh para korban penipuan sebagai
berikut:
1. Peningkatan sistem keamanan dan perlindungan data pribadi (98%)
2. Kepastian hukum bagi penanganan penipuan online (97,7%)
3. Publikasi kasus terkini dan modus operandi penipuan online (97,4%)
4. Edukasi atau pelatihan tentang keamanan digital (96,9%)
5. Ketersediaan laman dan aplikasi dari pihak berwenang untuk bisa
mengecek validitas penjual (96,9%)
6. Kampanye publik agar warga berhati-hati dan tips cara menghindari
penipuan (95,5%)
Rekomendasi pencegahan penipuan digital berdasarkan perspektif
korban menarget masyarakat sendiri sebagai prioritas. Ini berkaitan
dengan pengetahuan tentang kasus-kasus penipuan , termasuk modusmodusnya, dan kecakapan dalam keamanan digital. Kampanye publik
agar warga berhati-hati dan tip cara menghindari penipuan dapat menjadi
bagian dari pemberdayaan warga.
Rekomendasi selanjutnya berkenaan dengan fasilitasi pihak-pihak yang
berwenang atau terkait, meliputi ketersediaan situs web dan aplikasi dari
pihak berwenang untuk bisa mengecek validitas penjual, kepastian
hukum bagi penanganan penipuan digital, dan peningkatan sistem
keamanan dan perlindungan data pribadi.
Jika rekomendasi pencegahan ini dibuat perbandingan antara jawaban
keseluruhan korban dan jawaban korban yang pernah menjadi
korban penipuan digital, maka urutan rekomendasi menunjukkan
perbedaan.
Temuan ini menunjukkan, bagi korban penipuan digital, informasi tentang
kasus-kasus penipuan terkini termasuk modus operandinya sangat
penting untuk diketahui masyarakat. Semacam peringatan dini, informasi
ini dapat meningkatkan kewaspadaan masyarakat. Rekomendasi
berikutnya adalah edukasi dan pelatihan tentang keamanan digital.
Rekomendasi ini mengarah pada capacity building agar warga dapat
melindungi dirinya. Data ini menunjukkan kesadaran para korban bahwa
ketahanan diri merupakan titik sentral yang dapat menyelamatkan
seseorang dari kasus penipuan digital.
Jika rekomendasi para korban lebih cenderung mengarah pada
'peningkatan kapasitas diri' (berorientasi ke dalam), berbeda dengan
rekomendasi yang disampaikan korban secara umum. Rekomendasi
mereka lebih cenderung menuntut pihak lain untuk hadir melindungi
warga agar terhindar dari penipuan digital (berorientasi ke luar)
Rekomendasi penanganan penipuan digital yang diutarakan oleh para
korban penipuan digital memiliki kecenderungan yang sama, meski jenis
penipuan digital yang dialami bervariasi. Rekomendasi penanganan
secara berurutan:
1. Ketersediaan sistem pelaporan yang memudahkan korban melapor
(98%)
2. Pemberian hukuman setimpal bagi penipu ulung dan kompensasi/ganti rugi
bagi korban oleh penipu ulung (98%)
3. Profesionalitas aparat dalam membantu korban (97,7%)
4. Pendampingan/advokasi korban penipuan (96%
Profesionalitas aparat dalam membantu korban menjadi perhatian utama
korban yang pernah menjadi korban penipuan . Meski ada pesimisme
warga terhadap kinerja aparat, warga mengharapkan adanya upaya yang
serius untuk meningkatkan profesionalitas dan kinerja aparat. Masyarakat
pada dasarnya mengetahui bahwa mereka harus melapor ke aparat
penegak hukum jika mengalami penipuan digital, namun mereka merasa
sia-sia ketika laporannya tidak ditanggapi dan ditindaklanjuti secara
memadai oleh kepolisian.
Jika dibandingkan dengan jawaban seluruh korban tentang
rekomendasi penanganan ini, ada pergeseran pada rekomendasi pertama
dan kedua. Jawaban seluruh korban , baik yang pernah menjadi korban
penipuan maupun yang bukan korban, menempatkan jawaban
“Pemberian hukuman setimpal bagi penipu ulung dan kompensasi/ganti rugi
bagi korban oleh penipu ulung ” sebagai prioritas pertama. Sementara itu, bagi
yang pernah menjadi korban merekomendasikan “Profesionalitas aparat
dalam membantu korban” sebagai yang utama. Perbedaan jawaban ini
mengindikasikan betapa korban berharap banyak kepada aparat untuk
dapat membantu penanganan kasus penipuan digital. Rekomendasi ini
juga mengisyaratkan kembali adanya ketidakpuasan korban atas kinerja
aparat.
Pencegahan penipuan digital memiliki bentuk yang bervariasi mulai dari
peningkatan sistem keamanan dan perlindungan data pribadi, kepastian
hukum bagi penanganan penipuan digital hingga kampanye publik agar
warga berhati-hati dan tip-tip cara menghindari penipuan . Bagi para
korban, rekomendasi pencegahan utama adalah publikasi kasus terkini
dan modus operandi penipuan digital dan edukasi atau pelatihan tentang
keamanan digital. Jika di-perbandingkan antara jawaban keseluruhan
korban dan jawaban korban yang pernah menjadi korban
penipuan digital, tampak ada perbedaan. Para korban yang menjadi
korban lebih cenderung mengarah pada peningkatan kapasitas diri
(berorientasi ke dalam), sementara korban secara umum kebanyakan
cenderung menuntut pihak lain untuk hadir melindungi warga agar
terhindar dari penipuan digital (berorientasi ke luar).
Temuan ini menunjukkan, adanya proses reflektif para korban dalam
melihat kasus penipuan digital.
Dalam hal penanganan penipuan digital, riset ini menunjukkan
pentingnya pemberian hukuman setimpal bagi penipu ulung dan
kompensasi/ganti rugi bagi korban oleh penipu ulung , profesionalitas aparat
dalam membantu korban dan ketersediaan sistem pelaporan yang
memudahkan korban melapor. Tidak ada perbedaan menyolok antara
jawaban keseluruhan korban dan jawaban korban yang pernah
menjadi korban penipuan digital.
Temuan menarik lainnya, kepolisian merupakan pihak yang paling
dipercaya dalam memberikan informasi pencegahan dan dianggap paling
bertanggung jawab dalam penanganan kasus penipuan digital. Meski
demikian, sebagian besar korban memilih untuk tidak melaporkan
kasus penipuan yang dialaminya kepada kepolisian, karena tidak puas
dengan kinerjanya dalam menanggapi dan menindaklanjuti laporan.
Buku yang disusun berdasakan riset nasional mengenai penipuan digital
di negara kita ini hadir bersamaan dengan meningkatnya kasus penipuan
digital di negara kita maupun pemberitaan mengenainya. Tak hanya
jumlah korban penipuan digital yang meningkat, tapi juga medium dan
modusnya yang juga semakin banyak. Hal ini menunjukkan tingginya
kerentanan masyarakat terhadap penipuan digital sehingga alternatif
solusi untuk mengatasinya perlu segera dilakukan secara bersama.
Agar bisa merekomendasikan kebijakan yang tepat, riset mengenai
penipuan digital ini dilakukan dengan memetakan pesan, modus,
medium, korban, kerugian, respons, dan rekomendasi. Riset yang
melibatkan 1.700 korban dari 34 provinsi di negara kita serta 31
informan ini tak hanya memetakan pesan, modus, medium, korban, dan
kerugian penipuan digital, namun juga memetakan respons dan
rekomendasi untuk mencegah dan menangani penipuan digital.
Bab penutup ini memberikan penekanan pada temuan utama riset ini
namun juga kontribusinya secara akademis dan praktis terkait penipuan
digital di negara kita .
Temuan riset ini menunjukkan bahwa pesan penipuan digital diterima
oleh nyaris seluruh korban (98,3%) atau sejumlah 1.671 orang.
Sedangkan yang menjadi korban sebanyak 66,6% korban (1.132
orang). Korban terbanyak berasal dari penipuan berkedok hadiah (36,9%)
yang dilakukan melalui jaringan seluler (SMS dan telepon) sebagai
medium yang paling banyak digunakan masyarakat negara kita . Korban
penipuan digital pun seolah bisa menimpa siapa saja, tanpa memandang
usia maupun tingkat pendidikannya. Sementara kerugian yang menimpa
korban pun sangat bervariasi baik secara material dan immaterial.
Meskipun modus penipuan digital sangat beragam sebagaimana temuan
riset ini, ada sebuah pola tentang kelompok usia yang paling sering
menjadi korban dan modus penipuan yang menyertai. Kecenderungan ini
tampak dalam tabel di bawah ini yang menggambarkan persentase
korban dari tiap generasi yang menjadi korban penipuan dan modus
penipuan yang paling sering menimpa mereka.
Ketika pemerintah negara kita gencar mendorong pertumbuhan ekonomi digital dan
menyuarakan besarnya potensi era digital bagi kehidupan, upaya memaksimalkan peluang itu
perlu diimbangi dengan upaya yang sama besarnya untuk meminimalkan risiko yang muncul.
Salah satu risiko itu adalah penipuan digital, sebuah tindak kejahatan yang juga menjadi
tantangan besar di banyak negara lain karena kuantitas dan kualitasnya tumbuh seiring
perkembangan teknologi.
Melihat cerita para korban penipuan digital dan mekanisme pelaporan
serta penegakan hukum yang tersedia di negara kita , upaya untuk
meminimalkan risiko ini masih kurang optimal, bahkan bisa
dikatakan tertinggal dengan upaya mitigasi yang dilakukan negara-negara
lain. Karena itu, buku ini mencatat lima isu utama dan rekomendasi
sebagai berikut:
Banyaknya nomor seluler aktif yang tidak terdaftar secara baik. Ini adalah
persoalan besar mengingat penipuan melalui jaringan seluler (terutama
n peneliti,
pesan SMS penipuan berkedok hadiah menyerbu telepon seluler warga
setiap hari, bahkan beberapa kali dalam sehari. Bagi sebagian warga,
pesan-pesan itu dengan mudah diabaikan karena mereka sudah tahu itu
adalah penipuan . Tapi bagi sebagian warga lain, yang jumlahnya banyak,
pesan itu dipercaya dan berujung pada mereka menjadi korban.
Penjualan nomor seluler seakan-akan di luar kendali karena ada banyak
toko di lokapasar yang menjual nomor seluler yang sudah “diregistrasi”
sehingga pembeli bisa langsung memakainya tanpa melakukan registrasi
sesuai aturan Kementerian Kominfo. Ini menjadi jalan yang sangat mudah
bagi penipu ulung memiliki banyak nomor seluler untuk melakukan penipuan .
Karena itu, Kementerian Kominfo, operator seluler, dan lokapasar perlu
menertibkan penjualan nomor-nomor seluler untuk memastikan bahwa
setiap pemilik nomor seluler sudah melakukan registrasi sesuai aturan
yang berlaku sehingga identitas pemilik yang tercatat sesuai dengan
pemakai yang sebenarnya. Di atas kertas, ini bukanlah hal yang mustahil,
karena ada banyak negara lain yang bisa melakukannya, sehingga
meminimalkan kasus penipuan melalui jaringan seluler.
Selain itu, operator seluler diharapkan tidak menjual kembali nomor
seluler yang sudah tidak aktif. Ini dialami oleh peserta FGD, yang bercerita
bahwa, setelah membeli nomor baru dan melakukan registrasi sesuai
aturan Kementerian Kominfo, ia “diteror” oleh sejumlah pihak karena
pemilik nomor yang lama terlibat utang dengan mereka.
Kejahatan siber menjadi ranah kepolisian dan kejaksaan, tapi yang
pertama menghadapinya adalah kepolisian. negara kita telah memiliki
mekanisme pelaporan penipuan digital yang terpusat di Patrolisiber.id,
yang dikelola oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri. Namun,
Direktorat Tindak Pidana Siber mengurus segala jenis kejahatan di ranah
siber, seperti perjudian, pencemaran nama baik, ujaran kebencian,
perdagangan manusia, pornografi anak, dan lain-lain sehingga kepolisian
kewalahan untuk bisa menangani laporan penipuan digital sesuai
harapan masyarakat.
Ini ditunjukkan oleh pengalaman para korban yang mengatakan bahwa
mereka merasa diabaikan karena “kerugiannya kecil”, “ada antrean
korban lain yang kerugiannya jauh lebih banyak”, dan “setelah lapor, tidak
ada tindak lanjut” sehingga mereka harus ikhlas merelakan kerugian
finansial yang dialami. Karena itu, untuk memberikan kepastian hukum
yang lebih baik dalam penanganan penipuan digital yang kasusnya terus
bertambah, divisi yang mengurusi penipuan digital perlu diperkuat secara
infrastruktur dan sumber daya manusia yang bekerja intensif bersama
otoritas lainnya.
Keseriusan otoritas di luar negeri untuk memininalkan risiko ini bisa
dilihat pada contoh berikut. Di Inggris Raya, ada National Fraud
Intelligence Bureau yang bersama Kepolisian London mengelola pusat
pelaporan www.actionfraud.police. uk. Di Malaysia, ada pembagian tugas
otoritas sesuai jenis penipuan , yaitu Bank Negara Malaysia sebagai
regulator yang juga menyelidiki penipuan finansial, Malaysian
Communications and Multimedia Commission (MCMC) yang
menindaklanjuti kasus seperti penipuan melalui jaringan seluler, phishing,
dan terkait pencurian data pribadi, lalu Ministry of Domestic Trade and
Consumer Affairs untuk penipuan yang melibatkan hak konsumen seperti
penipuan jual-beli di media sosial. Sementara itu, di Singapura pada awal
2022, untuk menanggapi tingginya aksi phishing melalui SMS yang
menarget nasabah bank, serangkaian langkah bersama dirumuskan oleh
para pemangku kepentingan (Monetary Authority of Singapore,
Association of Banks in Singapore, Info-communications Media
Development Authority, dan National Crime Prevention Council).
Dalam konteks yang lebih besar, beragam cerita penipuan yang
disampaikan dalam laporan ini terkait dengan isu perlindungan data
pribadi (seperti pemakaian NIK dan email dalam penipuan ) dan
keamanan siber (seperti peretasan server yang datanya dipakai untuk
penipuan ).
Saat laporan ini ditulis, negara kita belum memiliki Undang-Undang
Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dan Undang-Undang Keamanan dan
Ketahanan Siber (UU KKS). RUU PDP masih belum selesai dibahas oleh
pemerintah dan DPR RI. Sementara, RUU KKS bahkan masih belum
dikirimkan ke DPR untuk dibahas. Keduanya adalah legislasi yang urgen
untuk memayungi berbagai upaya mencegah dan menangani penipuan
digital.
Jika UU PDP lebih berfokus pada mekanisme pengumpulan,
penyimpanan, dan penggunaan data pribadi oleh pengendali data publik
maupun swasta, UU KKS lebih berorientasi pada penciptaan ekosistem
keamanan siber nasional, termasuk ancaman siber dari aktor luar negeri
(Kustiasih, 2021).
UU KKS juga akan memperkuat peran Badan Siber dan Sandi Negara
dalam menjalankan koordinasi menjaga keamanan ekosistem siber,
termasuk menindak kejahatan siber yang penegakan hukumnya
dilakukan oleh kepolisian.
UU PDP dan UU KKS bertujuan mewujudkan kepastian hukum dan rasa
aman bagi warga. Keberadaan keduanya yang mengatur dengan rinci
tugas, wewenang, dan fungsi lembaga swasta maupun publik akan
menyediakan pondasi yang kuat bagi upaya meminimalkan risiko
penipuan di era digital.
Perlindungan Data Pribadi dan Keamanan Siber
Selaras dengan rekomendasi dari para korban , sosialisasi kepada
warga tentang ancaman penipuan digital perlu terus dilakukan oleh
berbagai otoritas, dari kepolisian hingga otoritas keuangan. Selain
dilakukan secara terpisah, sosialisasi yang dilakukan secara terkoordinasi
juga bisa menjadi cara untuk lebih meningkatkan jangkauan kepada
masyarakat.
Sebagai salah satu contoh, Australia dan Selandia Baru pada 2015
membentuk Australasian Consumer Fraud Taskforce, yang kemudian
berubah nama menjadi Scams Awareness Network, sebagai jejaring kerja
beragam lembaga publik (misalnya kepolisian, komisi informasi,
kementerian komunikasi, dan otoritas perlindungan konsumen) untuk
menyebarkan informasi tentang penipuan digital secara rutin dan
melakukan kampanye yang terkoordinasi kepada masyarakat.
Informasi dan data yang terpublikasikan dengan baik menjadi kunci
terbangunnya pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat dalam
mencegah risiko penipuan digital. Publikasi berisi informasi terkini
tentang jenis, medium, maupun modus penipuan digital terkini berikut
panduan menghadapi dan mekanisme pelaporannya.
Riset ini dan berbagai riset sejenis di luar negeri menunjukkan, modus
penipuan digital sangat beragam dan metodenya terus berkembang,
sehingga program-program literasi digital kepada berbagai lapisan
masyarakat perlu terus dilakukan untuk menanggapi dinamika ini .
Literasi digital adalah pondasi membangun pola pikir dan kecakapan
menghadapi tantangan era digital. Dalam konteks penipuan digital,
edukasi literasi digital diperlukan untuk mengaktifkan kewaspadaan
masyarakat melalui pemahaman menyeluruh dari hulu-hilir tentang
penipuan digital.
Berbeda dari sosialisasi dari otoritas, program ini perlu berangkat dari
perspektif warga yang dianggap rentan terhadap penipuan digital
sehingga sifatnya lebih tersegmentasi dan mendalam dibandingkan
sosialisasi.
SMS berhadiah) menjadi pesan atau modus penipuan yang paling banyak
diterima korban sekaligus mencatat korban paling banyak.
Berdasarkan cerita para korban penipuan dan pengalama