cyber crime 26
penipuan digital merupakan kejahatan siber yang paling sering ditemui
dan menjadi persoalan global . penipuan
digital juga sering disebut dengan penipuan online (online scam/fraud) dan
penipuan siber (cyber scam/fraud). Laporan riset ini memakai
penipuan digital digunakan karena untuk konteks negara kita , beragam
penipuan tak hanya terjadi melalui internet atau secara daring, tapi juga
melalui perangkat seluler yang tak terhubung dengan jaringan internet.
ada berbagai variasi penipuan digital
seperti pengelabuan (phishing), penipuan lotre (lottery scam), penipuan
video (video scams), pencurian identitas (identity theft), dan menakutnakuti (scareware). ragam
penipuan digital lainnya seperti penipuan berkedok asmara (romance
scams), penipuan berbahaya (malicious spams), penipuan berkedok
lowongan pekerjaan (employment scams), dan penipuan berkedok
investasi (investment scams). Berbagai jenis penipuan ini
disampaikan kepada korban atau calon korban melalui berbagai saluran
seperti pesan pendek (SMS), pesan melalui aplikasi percakapan maupun
platform sosial lainnya termasuk media sosial, email, telepon, situs web,
lokapasar (market place), dan berbagai platform digital lainnya.
Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Truecaller Insights Report 2020
negara kita menjadi negara berperingkat
keenam di dunia dengan penipuan melalui telepon terbanyak. Sementara
itu, berdasarkan data patrolisiber.id, selama tahun 2021, ada 815.152
kasus kejahatan siber yang diadukan di portal milik Kepolisian Republik
negara kita ini , dengan penipuan digital menjadi kasus terbanyak,
yakni 4.602 kasus ,
Kajian lain yang dilakukan oleh CfDS (2020) menunjukkan jenis penipuan
digital lainnya yakni penipuan uang muka (advance-fee scam) yang banyak
terjadi pada tahun 2013 hingga 2017 yang melibatkan pencurian data
pribadi di ruang digital. Sementara itu, kajian lain mengenai penipuan
digital di negara kita dilakukan oleh Judhita (2015), yang menemukan
bahwa penipuan berkedok asmara sebagai salah satu kejahatan siber
yang paling banyak dialami perempuan negara kita . Jenis penipuan yang
melibatkan perasaan ini ternyata tidak hanya menyebabkan
kerugian perasaan semata tapi juga kerugian finansial yang besar
Tak hanya melihat jenis dan kerugian penipuan digital, ada pula
kajian mengenai penipuan digital dari perspektif hukum. Untuk negara kita ,
salah satunya dilakukan oleh Rahmanto (2018) mengenai penegakan
hukum terhadap tindak pidana penipuan berbasis transaksi elektronik
yang masih mengalami banyak hambatan. Beberapa hambatan ini
adalah perbedaan pendapat dalam menafsirkan regulasi, kemampuan
penyidik, kesadaran dan perhatian masyarakat, terbatasnya personel
tenaga ahli, lemahnya pengawasan pemerintah, dan kendala prosedural
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Sejumlah data dan kajian di atas menunjukkan bahwa penipuan digital
merupakan kejahatan yang sangat mengancam masyarakat negara kita di
era digital ini, yang tak hanya menimbulkan kerugian finansial dan
psikologis tapi juga pelanggaran data pribadi. Berbagai faktor bisa
diasumsikan mempengaruhi banyaknya dan beragamnya kasus
penipuan digital dewasa ini. Pertama, kompetensi pengguna media dalam
mengenali, mencegah, dan melawan penipuan digital. Kedua, penegakan
hukum dan regulasi pencegahan yang kurang kuat. Ketiga, moderasi
konten dan standar komunitas dari beragam platform digital yang belum
bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk mencegah dan menangani
penipuan digital.
Meskipun demikian, belum ada kajian yang komprehensif dan nasional
mengenai penipuan digital di negara kita . Riset berskala nasional
dibutuhkan untuk memetakan insiden, medium, dampak, dan respons
korban penipuan digital di negara kita , sekaligus menawarkan
rekomendasi untuk mencegah dan menangani permasalahan ini .
Riset mengenai penipuan digital berskala nasional pertama di negara kita
ini berupaya menjawab beberapa pertanyaan penting:
Pesan penipuan Digital
Apa saja jenis pesan atau
modus penipuan digital yang
diterima oleh masyarakat?
Medium penipuan Digital
Medium apa yang biasa
digunakan untuk menyampaikan
pesan penipuan digital?
Korban penipuan Digital
Jenis penipuan digital
apa yang paling banyak
memakan korban?
Dampak penipuan Digital
Kerugian apa saja
yang dirasakan oleh korban
penipuan digital?
Keamanan Digital
Korban penipuan Digital
Respons apa yang dilakukan
oleh korban penipuan digital?
Pemangku kepentingan mana
yang dipercaya oleh korban
penipuan digital?
Rekomendasi Mencegah
dan Menangani penipuan Digital
Apa saja yang disarankan
oleh korban penipuan digital
untuk mencegah dan menangani
penipuan digital di negara kita ?
Siapa saja pemangku kepentingan
yang dianggap bisa melakukannya?
penipuan digital adalah salah satu kejahatan siber yang banyak
didiskusikan di berbagai kajian terutama terkait keamanan digital
maupun literasi digital. Penggunaan terminologi penipuan digital pun
beragam seperti penipuan online dan penipuan siber. Pada dasarnya
istilah-istilah ini memiliki arti dan maksud yang sama yaitu merujuk
pada penipuan yang memanfaatkan medium dan perangkat komunikasi
digital.
Istilah penipuan digital misalnya digunakan oleh Cross et al. (2014), yang
mengatakan bahwa pada dasarnya penipuan terjadi ketika seseorang
memakai internet untuk menyediakan dana atau informasi pribadi
yang menanggapi penipuan , pemberitahuan, penawaran atau
permintaan, yang selanjutnya menyebabkan korban mengalami kerugian
finansial atau non-finansial.
Sementara itu, Kurnia dkk. (2022) mendefinisikan penipuan digital sebagai
penggunaan layanan internet atau software dengan akses internet untuk
menipu atau mengambil keuntungan dari korban, misalnya uang dan
mencuri informasi atau identitas pribadi.
juga memakai istilah penipuan digital sebagai
penggunaan layanan internet atau software dengan akses internet dengan
tujuan untuk mengelabui calon korban misalnya dengan memanfaatkan
kebocoran atau mencuri data pribadi. Biasanya korban terperangkap
dalam penipuan karena lengah sehingga bisa diperdaya pelaku yang
bertujuan mendapatkan beragam keuntungan berupa uang maupun
harta material lainnya. Sedangkan istilah cyber frauds and scams
(penipuan siber) dijelaskan oleh Button dan Cross (2017) dalam bukunya
Cyber Frauds, Scam And Their Victims sebagai skema penipuan yang
berusaha untuk menipu seseorang dalam bentuk uang dan/atau
informasi pribadi secara tidak etis dan mungkin menjadi masalah sipil
atau pidana juga. Buku itu juga menyebutkan salah satu skema penipuan
yang paling kejam adalah pencurian identitas (identity theft) yang mana
penipu ulung memakai metode phishing untuk memancing korban lewat
dua cara, pertama memakai email palsu dari organisasi yang sah
(seperti bank, telepon /penyedia layanan internet) untuk menipu
pelanggan agar menghasilkan informasi pribadi (cyber-enabled),
sedangkan yang kedua memakai email untuk mendistribusikan
malware ke komputer korban untuk memungkinkan pelaku mendapatkan
akses ke detail pribadi korban yang disimpan di komputer atau jaringan.
Sementara itu, definisi penipuan digital digunakan dalam modul Aman
Bermedia Digital (2021) yang diterbitkan oleh Kementerian Kominfo,
Japelidi, dan Siberkreasi. Modul ini menyebutkan bahwa penipuan digital
merupakan pemanfaatan aplikasi atau laman internet untuk menipu
korban dengan berbagai modus seperti penjualan barang, identitas
pelaku usaha atau konsumen, dan ketidaksesuaian barang atau produk
yang diterima dengan yang dipesan (Astuty, 2021).
Berdasarkan beragam terminologi penipuan digital di atas, riset ini
memakai istilah penipuan digital yang didefinisikan sebagai beragam
jenis penipuan yang terjadi di dalam jaringan internet atau seluler baik
melalui SMS maupun telepon
Ragam penipuan Digital
Dilihat dari jenisnya, Smith (2010) menggolongkan penipuan digital ke
dalam dua kelompok utama yaitu
Lebih jauh, Smith (2010) membagi lagi penipuan computer-oriented
menjadi tiga kelompok penipuan :
Bentuk ketiga ini umumnya dipakai untuk mengumpulkan informasi
pribadi yang kemudian dijual dan digunakan untuk melakukan mass
marketing scams, yaitu penipuan yang dilakukan secara massal tanpa
dirancang secara spesifik untuk korban-korban tertentu.
penipuan digital telah menjadi tantangan besar di banyak negara dengan
penetrasi internet yang tinggi. Beragamnya modus dan medium penipuan
digital menjadi objek penelitian di berbagai disiplin ilmu (Dam et al., 2020;
Cross et al., 2014; Puram et al., 2011). Berdasarkan ketiga kajian ini ,
ada 14 jenis penipuan digital sebagai tampak dalam Gambar 1.1.
Phishing
yakni tindakan penipuan dengan mencuri informasi penting
dengan mengarahkan korban untuk masuk ke halaman/situs
palsu yang bertujuan untuk menjebak korban. Pada umumnya,
kejahatan ini menargetkan layanan streaming berbayar,
perbankan, e-commerce, dan UMKM.
Scam
yakni penipuan yang biasanya bertujuan untuk mendapatkan
uang dengan cara menipu atau membohongi orang lain.
Biasanya terjadi melalui kontak komunikasi dengan aplikasi
chat, telepon, dan lain-lain.
Account take over
yakni penipuan pengambilalihan akun secara tiba-tiba dan
korban biasanya langsung merasakan dampaknya dalam
sekejap.
Social engineering
yaitu tindak kejahatan yang dilakukan dengan memanfaatkan
interaksi dengan manusia. penipu ulung akan memakai
manipulasi psikologis untuk menipu targetnya agar melakukan
kesalahan keamanan digital.
Share login info
yaitu penipuan dengan mencuri informasi sensitif terkait akun
(PIN, OTP, dan password).
Share card info
yaitu penipuan dengan mencuri informasi data kartu, baik
nomor kartu atau kode OTP dari bank penerbit. Modus yang
paling umum dilakukan adalah dengan menghubungi korban
dengan mengatasnamakan bank atau instasi terkait yang
lainnya.
ID theft
yaitu penipuan dengan mencuri kartu identitas korban. Lalu
identitas ini akan digunakan untuk mendaftarkan akun di
suatu platform dengan identitas orang lain.
Typosquatting
yaitu penipuan dengan mendaftarkan domain suatu laman
yang sangat mirip dengan laman yang sudah ada, tapi
namanya sedikit berbeda dengan nama laman yang asli
(seperti orang yang sedang melakukan typo atau salah ketik).
Domain ini kemudian digunakan untuk menipu pengguna
internet bahwa mereka sedang berselancar di laman situs yang
mereka tuju.
Pharming
yaitu penipuan yang melibatkan pengondisian sistem
komputer korban lewat hacking, malware, atau software yang
membawa korban ke laman palsu di mana mereka diminta
untuk memasukkan data mereka.
Skimming
yaitu penipuan di mana informasi pribadi korban di dalam
kartu elektronik (seperti kartu kredit) diambil melalui alat yang
secara diam-diam disematkan ke mesin pembaca kartu.
Malware
yaitu software penyusup seperti halnya virus yang di-install di
komputer untuk mengalihfungsikan program ataupun
dokumen.
Lottery Scams
yaitu korban mendapatkan surel dari suatu sumber yang
meyakinkan bahwa korban telah memenangkan hadiah dari
suatu organisasi dan untuk mendapatkan hadiah ini ,
korban harus membalas surel ini dengan informasi
tertentu.
Video Scams
yaitu proses penipuan dengan meminta korban untuk
menonton suatu video yang telah terinfeksi virus. Ketika
korban mencoba untuk menonton video, mereka
diinstruksikan untuk mengunduh suatu codec untuk
menontonnya.
Video ini biasanya memilki judul yang sangat menggoda
sehingga korban mau tidak mau harus mengunduh codec
ini yang merupakan suatu malware yang mengintai
seluruh aktivitas di komputer korban.
Scareware
yaitu program penyusup yang didesain untuk menipu
pengguna untuk membeli dan mengunduh berbagai software
yang berbahaya seperti antivirus palsu.
Tak hanya 14 jenis penipuan digital sebagaimana ada dalam Gambar
1.1, Cross dkk. (2014) juga menuliskan jenis-jenis baru dari penipuan
digital:
Medium penipuan Digita
Tak hanya jenis penipuan digital yang semakin beragam, medium yang
digunakan untuk melancarkan berbagai jenis penipuan digital sangatlah
beragam. Menurut Pusparisa (2020), Kepolisian Republik negara kita
mencatat bahwa dari 7.047 kasus penipuan digital yang dilaporkan,
sebagian besar di antaranya terjadi melalui media sosial dengan modus
yang sangat beragam.
Selain media sosial, selama tahun 2021, Yayasan Lembaga Konsumen
negara kita (YLKI) juga mencatat dari 535 kasus yang diadukan konsumen,
22,4% aduan berasal dari konsumen pinjaman online (pinjol), terutama
terkait cara penagihan dan keberadaan pinjol ilegal. Selanjutnya, 16,6%
aduan berasal dari konsumen belanja online. Pada 2021, data ini
meningkat 33% dari total aduan tahun sebelumnya (Pahlevi, 2022).
Kerugian penipuan Digital
Dampak yang ditimbulkan dari penipuan digital juga telah dibahas dalam
berbagai studi. Badawi (2021) menjelaskan bahwa dampak dari penipuan
digital bagi para korban mencakup kerugian keuangan, kebocoran data
pribadi dan informasi sensitif lainnya, serta turunnya kepercayaan
terhadap layanan yang disediakan oleh internet.
Komisi Eropa (2020) dalam survei mereka menjelaskan bahwa sebagian
besar korban yang terkena penipuan merasakan dampak negatif seperti
menderita kerugian emosional atau fisik (79%) dan menderita kerugian
finansial (24%).
Korban yang mengalami penipuan dalam dua tahun terakhir
digambarkan lebih relatif berhati-hati dalam perilaku online/offline
dibandingkan dengan mereka yang tidak menjadi korban—hal ini
mungkin karena perubahan perilaku yang disebabkan oleh penipuan .
Sementara itu, Puram dkk. (2011) berargumen bahwa penipuan digital
menganggu dan merusak kesenangan orang dalam berinternet. Mereka
juga menuliskan bahwa penipuan digital sangatlah mirip dengan
penipuan di dunia nyata, di mana korban ditipu untuk memberikan
informasi pribadi dan rahasia akibat tergiur oleh suatu insentif tertentu.
Perbedaan antara penipuan di dunia nyata dan penipuan digital adalah
kecepatan dari penipuan digital jauh lebih tinggi dengan kerugian yang
jauh lebih merugikan.
Model Pencegahan dan Penanganan penipuan Digital
Berbagai literatur yang mengkaji soal penipuan digital juga telah
memberikan berbagai rekomendasi untuk mencegah dan menangani
kasus-kasus penipuan digital. Puram dkk. (2011) menuliskan bahwa
langkah utama untuk mencegah penipuan digital adalah dengan selalu
waspada ketika menerima pesan-pesan yang menjurus ke arah penipuan
dengan mengkritisi secara logis konten dari pesan-pesan ini .
Lottery scams dapat dihindari dengan mengkritisi bahwa tidak ada undian
yang memberikan hadiah besar tanpa mendaftar terlebih dahulu. Jenis
penipuan lainnya dapat dihindari dengan cara yang sama. Sementara
surel penipuan dari institusi yang mengaku sebagai bank dapat dihindari
dengan menyadari bahwa bank tidak akan meminta data pribadi
nasabah, dan jika ada keraguan akan keaslian surel apapun, semua
orang dapat mengonfirmasi dengan bank terkait.
Sementara itu, di Australia, Button dkk. (2014) merekomendasikan
pencegahan penipuan digital dengan memberikan pendidikan ke publik
dan pemberikan peringatan kepada publik secara reguler tentang bahaya
scam, jangan percaya pesan dari orang yang tidak dikenal tanpa
melakukan verifikasi, jangan terburu mengambil keputusan, dan segera
menutup laman yang tampak mencurigakan.
Sedangkan Cross dkk. (2014) merekomendasikan sepuluh hal yang perlu
dilakukan otoritas dalam menyediakan layanan penanganan dan
pencegahan, yaitu:
Australia juga telah memiliki pusat pelaporan terpadu bernama
Scamwatch yang tujuan utamanya adalah membantu masyarakat
mengenali penipuan dan menghindarinya. Lembaga ini dijalankan oleh
Komisi Konsumen dan Kompetisi Australia (Australian Competition and
Consumer Commission—ACCC). Lembaga ini juga mengumpulkan data
mengenai penipuan yang kemudian digunakan untuk menginformasikan
masyarakat Australia mengenai berbagai macam penipuan yang beredar
di Australia.
Di Inggris Raya, pemerintah telah mengeluarkan dan merevisi UndangUndang Keamanan Daring (Online Safety Bill) yang mereformasi regulasi
pengiklanan barang dan jasa di ranah daring yang memperkuat regulator
untuk menangani iklan-iklan yang merugikan, ofensif, dan menyesatkan
serta mengharuskan platform media sosial populer dan mesin pencarian
untuk mencegah iklan-iklan berbayar dari iklan palsu di platform mereka.
Di Inggris Raya, pemerintah telah mengeluarkan dan merevisi UndangUndang Keamanan Daring (Online Safety Bill) yang mereformasi regulasi
pengiklanan barang dan jasa di ranah daring yang memperkuat regulator
untuk menangani iklan-iklan yang merugikan, ofensif, dan menyesatkan
serta mengharuskan platform media sosial populer dan mesin pencarian
untuk mencegah iklan-iklan berbayar dari iklan palsu di platform mereka.
Pemerintah Inggris Raya juga tengah melakukan konsultasi untuk
memperkuat peraturan bagi industri pengiklanan online. Mereka juga
meningkatkan pengawasan terhadap iklan-iklan yang dapat berujung
kepada penipuan (Departemen Digital, Budaya, Media dan Olahraga
Inggris Raya, 2022).
Sementara secara khusus mengenai phishing, Pusat Keamanan Siber
Nasional (National Cyber Security Centre, 2018) Inggris Raya mengeluarkan
empat lapis pertahanan dari phishing yang terdiri dari: 1) menyusahkan
penyerang untuk mencapai pengguna akun; 2) membantu
mengidentifikasi dan melaporkan surel phishing; 3) melindungi organisasi
Anda dari dampak yang dibawa surel phishing yang tidak terdeteksi, dan 4)
respons cepat terhadap insiden yang terjadi. Secara lebih spesifik,
pendekatan berlapis untuk pertahanan dari phishing ini dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
Perlu diketahui bahwa Inggris Raya juga memiliki otoritas khusus yang
menangani penipuan digital, yakni Action Fraud yang merupakan pusat
pelaporan penipuan dan kejahatan siber bagi masyarakat Inggris, Wales,
dan Irlandia Utara. Layanan ini diluncurkan oleh Polisi London dan Badan
Intelijen penipuan Nasional (National Fraud Intelligence Bureau) yang
bertanggung jawab atas penilaian laporan untuk memastikan laporan
masyarakat bisa ditindaklanjuti secara memadai.
Di Amerika Serikat, Komisi Perdagangan Federal (Federal Trade
Comission, 2019) juga telah mengeluarkan berbagai regulasi yang
bertujuan mendorong masyarakat untuk menyadari dan menghindari
berbagai penipuan seperti halnya phishing (Federal Trade Commision
Consumer Advice, n.d.), romance scam (Jhaveri, 2015), dan pesan singkat
yang merupakan spam (Federal Trade Commision Consumer Advice, n.d.).
Seperti halnya Amerika Serikat, Departemen Urusan Dalam Negeri
Selandia Baru (Department of Internal Affairs) juga telah mengeluarkan
halaman khusus untuk memberikan pengertian mengenai penipuan
digital ke masyarakatnya.
Di negara kita , rekomendasi pencegahan dan penanganan penipuan digital
lebih banyak digunakan sebagai materi literasi digital terutama dalam
membangun ketangguhan masyarakat untuk menjaga keamanan digital.
Dalam modul Aman Digital (Astuty, 2021), selain dijelaskan cara-cara
mengenali ciri penipuan , pembaca dan pengguna modul juga diharapkan
bisa mencegah penipuan digital dengan mengkritisi informasi sekaligus
bisa berpartisipasi dalam melaporkan penipuan digital jika menjadi
korban penipuan digital.
Sementara itu, Kurnia dkk. (2022) menawarkan berbagai solusi praktis
bagi pengguna digital, yang ditujukan terutama kepada kaum muda di
negara kita Timur, tak hanya untuk memahami berbagai modus penipuan
digital namun juga untuk mencegah dan menangani penipuan digital. Tak
hanya itu, konteks hukum penipuan digital pun dikenalkan dalam buku
panduan literasi digital ini .
Riset nasional mengenai penipuan digital di negara kita ini memakai
pendekatan mixed-method yang memadukan pendekatan kuantitatif yang
memakai metode survei dan kualitatif yang memakai FGD.
Metode survei dilakukan secara daring dengan sampling non-probabilitas
yang melibatkan 1.700 korban dari kelompok korban yang
bervariasi demografinya di 34 provinsi negara kita . Pemilihan sampel
dengan tingkat marjin kesalahan ±2,38% dan tingkat kepercayaan sebesar
95 % ini dapat dilihat persebarannya di tiap provinsi dalam Gambar 1.3.
Jumlah sampel di setiap provinsi mempertimbangkan jumlah penduduk
yang ada di masing-masing provinsi. Provinsi dengan jumlah penduduk
yang banyak juga diwakili oleh jumlah sampel yang lebih banyak, seperti
Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dalam pengambilan sampel, tim
peneliti juga mem-pertimbangkan keterwakilan penduduk lanjut usia.
Bingkai sampling adalah warga negara kita yang berusia 17 tahun ke atas
termasuk warga senior yang di atas usia 60 tahun ke atas. Selain kriteria
usia, korban juga harus aktif memakai SMS/telepon, aplikasi
percakapan, media sosial, maupun platform digital lainnya setidaknya
satu tahun terakhir. Riset ini juga mengupayakan keseimbangan gender di
antara korban .
Metode survei daring dipilih karena memungkinkan peneliti melakukan
pemetaan suatu persoalan, seperti halnya penipuan digital, dengan
melibatkan korban berjumlah banyak pada masa pandemi COVID-19.
Survei merupakan metode yang tepat ketika peneliti menghendaki
mengumpulkan data orisinal untuk mendeskripsikan populasi yang besar
dan sulit dijangkau jika melakukan observasi secara langsung (Babbie,
2013).
Survei nasional ini melibatkan 44 enumerator dari 34 provinsi untuk
membantu penyebaran kuesioner melalui Google Form yang disebarkan
secara terbatas untuk menjaga kualitas sampling sebagaimana yang
direncanakan.
Penggunaan Google Form ini dilakukan untuk mengumpulkan data dari
korban . Data kemudian diolah dengan memakai SPSS dan
Microsoft Excel. Instrumen survei berupa kuesioner yang disusun
berdasarkan hasil kajian literatur dan FGD yang melibatkan 11 korban
penipuan digital. FGD pertama ini dilakukan untuk mengeksplorasi
persoalan penipuan digital yang mungkin belum dijumpai dalam literatur.
Tim peneliti berasumsi, mungkin ada yang khas dari penipuan digital ini di
negara kita , dan tidak dibahas dalam literatur yang sebagian besar
merupakan tulisan peneliti-peneliti luar negeri.
Berdasarkan tinjauan pustaka, pemberitaan mengenai penipuan digital di
negara kita , dan FGD dengan para korban penipuan digital yang dilakukan
sebelum survei, peneliti mengelompokkan penipuan digital menjadi 15
modus yang dilakukan melalui delapan medium atau saluran komunikasi.
Lima belas modus penipuan itu adalah:
Lima belas modus penipuan dan delapan medium ini selanjutkan
digunakan peneliti saat menanyakan pengalaman 1.700 korban
melalui kuesioner. Kuesioner terdiri dari 39 pertanyaan dengan sub-sub
pertanyaan yang ada di dalamnya. korban mengalokasikan waktu 7-
10 menit untuk dapat mengisi kuesioner.
Adapun proses pengumpulan data, secara teknis, dilakukan dengan
menghubungi enumerator dan enumerator merekrut korban
berdasarkan pada bingkai sampel dan jumlah sampel sudah ditentukan.
Enumerator kemudian mendata korban yang bersedia berpartisipasi
dalam penelitian dan mengirimkan tautan Google Form yang berisi
kuesioner. Tim peneliti melakukan pemantauan setiap hari untuk
memastikan kuesioner terisi semua dan tidak ada kesalahan dalam
pengisian.
Dengan melibatkan sejumlah besar korban yang mewakili 34 provinsi,
survei ini diharapkan bisa menghasilkan data nasional yang
merepresentasikan pengalaman warga negara kita dari beragam
kelompok demografi dan geografi dalam mengalami dan menavigasi
penipuan digital. Dengan begitu pemetaan terhadap insiden, medium,
korban, kerugian, respons, dan rekomendasi bisa dilakukan.
Untuk memperdalam temuan riset secara kuantitatif, riset ini juga
memakai pendekatan kualitatif dengan melibatkan 20 korban
terpilih sebagai peserta dua Focus Group Discussion (FGD).
Beberapa pertanyaan yang dielaborasi dalam FGD ini antara lain:
Dengan begitu tak hanya pengalaman peserta FGD terkait penipuan
digital, tapi juga kerugian, alasan respons, dan usulan rekomendasi
mereka ikut memperkaya temuan riset ini.
Penelitian ini melibatkan 1.700 korban dari 34 provinsi di negara kita .
Sebanyak 53.2% merupakan korban perempuan dan 46.8%
korban laki-laki, dengan usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan,
tingkat pendapatan, dan domisili yang beragam.
Usia korban berkisar antara 18-82 tahun dengan rata-rata usia 32
tahun. Usia korban dikategorikan dalam kelompok generasi usia
mengacu pada pengkategorian oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam
Laporan Hasil Sensus Penduduk 2020 (negara kita . Badan Pusat Statistik,
2020). Generasi Baby Boomer (lahir pada tahun 1946-1964), generasi X
(lahir pada tahun 1965-1980), generasi Y atau Milenial (lahir pada tahun
1981-1996), dan generasi Z (lahir pada taun 1997-2012).
Untuk menyederhanakan pengkategorian, dalam penelitian ini generasi
Pre-Boomer (lahir pada atau sebelum 1945) dimasukkan ke dalam
kategori Baby Boomer dan generasi Post Z (lahir pada atau setelah 2012)
dimasukkan ke dalam kategori generasi Z. Mayoritas korban adalah
generasi Z (46,59%), generasi Milenial (30,53%), generasi X (16,24%), dan
generasi Baby Boomer (6,65%). Proporsi generasi usia korban
penelitian yang ditunjukkan oleh Gambar 2.2 selaras dengan proporsi
generasi usia penduduk negara kita menurut Laporan Hasil Sensus
Penduduk 2020 BPS, di mana generasi Z merupakan kelompok usia yang
jumlahnya paling mendominasi, disusul oleh generasi Milenial, generasi X,
dan Baby Boomer
Proporsi korban laki-laki dan perempuan hampir berimbang pada
setiap generasi usia, seperti ditunjukkan Gambar 2.3. Pada generasi X dan
Z, jumlah korban perempuan lebih mendominasi dibandingkan korban
laki-laki (masing-masing 56,5% dan 55,4%). Sebaliknya pada generasi Baby
Boomer dan Milenial, persentase korban laki-laki sedikit lebih banyak
dibandingkan korban perempuan (masing-masing 52,2% dan 50,9%).
korban dalam penelitian ini memiliki latar belakang tingkat
pendidikan yang beragam. Secara komposisi nasional, persentase
pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduk negara kita di atas 15
tahun yang paling besar adalah tingkat SLTA (29,1%) (negara kita . Badan
Pusat Statistik, 2020). Di dalam penelitian ini, mayoritas korban
merupakan lulusan S1 (43,41%), disusul lulusan SLTA (33,76%), S2 (12%),
Diploma (6,53%), SLTP (1,94%), S3 (1,53%), dan SD (0,82%).
Sebanyak 55,12% korban belum menikah, disusul oleh korban
yang menikah dan mempunyai anak (35,82%), korban yang menikah
tanpa anak (5,35%), korban yang berstatus duda/janda dan
mempunyai anak (3,35%), dan terakhir korban yang berstatus
duda/janda tanpa anak (0,4%).
Mayoritas korban berprofesi sebagai pelajar dan mahasiswa (29,8%),
disusul pegawai swasta (19%), guru/dosen/tenaga pendidik (10,82%), ibu
atau bapak rumah tangga (9%), aparatur sipil negara (8,41%), pelaku
usaha (7,76%), buruh atau pekerja lepas (3,71%), pekerja seni (1,18%), dan
TNI/Polri (0,24%). korban yang tidak mengindentifikasi dirinya dengan
pekerjaan-pekerjaan yang ada dalam pilihan pekerjaan yang telah
disebutkan, mengisi pilihan lain-lain (10,1%).
Sebanyak 28,5% korban mempunyai pendapatan lebih dari
Rp3.500.000 per bulan, disusul oleh 27,4% korban yang belum
berpenghasilan. Besarnya jumlah korban yang belum berpenghasilan
ini kemungkinan terkait dengan jumlah korban pelajar dan
mahasiswa yang mencakup hampir 30% dari keseluruhan jumlah
korban . Berikutnya, sebanyak 13,76% korban mempunyai kisaran
pendapatan Rp2.500.000-Rp3.500.000, 11,41% korban pada kisaran
Rp1.500.000-Rp2.500.000, dan 10,65% korban berpendapatan di
bawah Rp1.500.000. Sejumlah 8,35% korban memilih untuk tidak
menjawab
Jumlah korban pada tiap provinsi beragam, proposinya disesuaikan
dengan distribusi jumlah penduduk atau populasi total pada masingmasing provinsi. Lima besar provinsi dengan jumlah korban terbanyak
antara lain, Jawa Barat (17,9%), Jawa Timur (15,1%), Jawa Tengah (13,5%),
Sumatera Utara (5,5%), dan Banten (4,4%). Provinsi dengan jumlah
korban paling sedikit yaitu Kalimantan Utara, sebesar 0,2% dari total
1.700 korban penelitian.
Rata-rata waktu per hari yang dihabiskan korban dalam berkegiatan
daring beragam, berkisar antara kurang dari setengah jam hingga hampir
24 jam terkoneksi dan melakukan kegiatan daring. Gambar 2.9
menunjukkan ragam kegiatan yang paling menyita waktu korban .
Setiap korban harus memberikan jawaban 'Ya' atau 'Tidak' pada
masing-masing jenis kegiatan, sehingga persentase yang muncul pada
setiap jenis kegiatan adalah persentase dari total jumlah korban , yaitu
1.700.
Dari sepuluh jenis kegiatan, empat kegiatan yang paling banyak
mendapatkan jawaban 'Ya' dari korban adalah kegiatan bermedia
sosial (76,2%), menikmati hiburan (film, drama seri, dokumenter, musik,
dan lain-lain) (70,9%), berkomunikasi secara daring (melalui email, pesan
instan, maupun ruang obrolan) (65,4%), dan menelusuri informasi dan
berita (62,5%). Masa pandemi yang mengondisikan masyarakat untuk
bekerja maupun belajar dari rumah membuat pilihan jenis kegiatan
belajar (baik secara formal maupun informal) melalui platform digital
serta bekerja melalui platform digital disepakati korban sebagai
aktivitas yang paling banyak menyita waktu korban , masing-masing
oleh sebanyak 57,8% dan 48,3% korban . Jenis kegiatan daring yang
paling sedikit dianggap korban sebagai kegiatan yang paling menyita
waktu yaitu kegiatan mengakses layanan pemerintah (32,8%) dan
kegiatan perbankan atau pengelolaan keuangan lainnya (27,4%).
Sebanyak 43,5% korban menjawab kegiatan-kegiatan lain yang belum
termasuk ke dalam kategori kegiatan pilihan jawaban yang tersedia.
Kegiatan-kegiatan ini diantaranya, menjual barang dan jasa,
persiapan melamar pekerjaan (mencari informasi lowongan maupun
mengikuti kursus persiapan), mencari referensi (misalnya, untuk
keperluan belajar mengajar serta mengamati reviu sebelum membeli
barang atau jasa), ser ta meng i kuti keg iatan keagamaan
(ibadah/kajian/ceramah).
Temuan ini serupa dengan data We Are Social & Kepios (2022), yang
mengungkap bahwa rata-rata waktu paling tinggi yang dihabiskan
penduduk negara kita pengguna internet berusia 16-64 tahun ketika
berselancar di internet adalah untuk berkegiatan di media sosial (3 jam 17
menit). Rata-rata ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata waktu menonton
televisi atau musik secara streaming (masing-masing 2 jam 50 menit dan 1
jam 40 menit) atau membaca berita (1 jam 40 menit). Sumber yang sama
menyebutkan bahwa tiga urutan teratas motivasi pengguna internet
berusia 16-64 tahun dalam mengakses internet adalah untuk mengakses
informasi (80,1%), mendapatkan ide dan inspirasi (72,9%), dan
berkomunikasi dengan keluarga dan teman (68,2%).
Persamaan dan perbedaan kebiasaan melakukan kegiatan daring yang
paling memakan banyak waktu antar generasi usia dapat dilihat pada
Gambar 2.10. Persentase pada tabel merupakan persentase dari total
jumlah korban pada masing-masing generasi usia, generasi Z
sebanyak 792 korban , generasi Milenial sebanyak 519 korban ,
generasi X sebanyak 276 korban , dan Baby Boomer sebanyak 113
korban .
Pada generasi Z, beberapa kegiatan yang disepakati paling menyita
banyak waktu adalah bermedia sosial (80,2%), menikmati hiburan (76,6%),
berkomunikasi daring (66,8%), belajar (62,2%), dan juga bermain game
(59,1%). Menurut riset GWI, generasi Z merupakan generasi yang paling
merasa menghabiskan terlalu banyak waktu di media sosial dibandingkan
dengan 3 generasi sebelumnya (GWI, 2022).
Tren yang hampir yang sama juga terlihat pada generasi Milenial, di mana
aktivitas bermedia sosial dianggap oleh mayoritas korban sebagai
kegiatan daring yang paling menyita waktu (77,1%), disusul kegiatan
menikmati hiburan (71,9%), berkomunikasi daring (65,5%), dan belajar
(60,3%)
Yang membedakan dengan generasi Z, pada generasi Milenial kegiatan
menelusuri informasi dan berita menduduki peringkat ketiga kegiatan
yang paling banyak membutuhkan alokasi waktu (69,6%).
Pada generasi X, kegiatan menelusuri informasi dan berita berada pada
peringkat pertama (72,5%), disusul oleh bermedia sosial (70,3%),
berkomunikasi secara daring (65,2%), menikmati hiburan (58,7%), dan
bekerja melalui platform digital (57,6%).
Kegiatan menelusuri berita juga menjadi kegiatan yang paling banyak
mendapatkan afirmasi dari generasi Baby Boomer sebagai kegiatan yang
paling banyak menyita waktu (69%). Beberapa kegiatan lain yang
persentasenya cukup besar dalam generasi ini antara lain, bermedia
sosial (58,4%), berkomunikasi secara daring (55,8%), menikmati hiburan
(55,8%), serta membeli barang atau jasa secara daring (33,6%).
Melalui ulasan bab ini diketahui bahwa mayoritas korban riset ini
termasuk ke dalam kelompok usia generasi Z (lahir pada atau setelah
tahun 1997). Jumlah korban laki-laki dan perempuan cukup
berimbang, meskipun proporsi korban perempuan sedikit lebih
banyak. Pendidikan terakhir korban didominasi oleh S1 dan SLTA.
Relevan dengan riset-riset yang pernah dilakukan mengenai kebiasaan
berinternet penduduk negara kita , kegiatan bermedia sosial menempati
peringkat atas kegiatan daring yang paling menyita waktu korban
(peringkat pertama pada generasi Z dan Milenial, peringkat kedua pada
generasi X dan Baby Boomer). Selain itu kegiatan mencari informasi atau
berita dan juga kegiatan mencari hiburan juga mendapatkan peringkat
yang cukup tinggi antar kelompok usia.
FGD pada penelitian ini diadakan dalam dua tahap. FGD pertama yang
diselenggarakan pada 12 Februari 2022 bertujuan untuk mencatat dan
memetakan pengalaman pengguna internet di negara kita yang pernah
menjadi korban penipuan digital, untuk selanjutnya bersama hasil kajian
pustaka digunakan sebagai bahan untuk menyusun kuesioner survei.
FGD kedua diselenggarakan pada 9 April 2022. FGD ini bertujuan untuk
memperdalam data yang didapatkan dari survei, dengan menggali situasi
dan kondisi yang dialami korban. Temuan FGD kedua menjadi dasar
penyusunan rekomendasi yang menyeluruh untuk pencegahan dan
penanganan penipuan digital yang berorientasi kepada kebutuhan dan
ekspektasi korban. Profil peserta FGD pertama (awal) dan kedua (akhir)
akan dijelaskan dalam dua bagian.
Profil Peserta FGD Awal
FGD awal melibatkan informan yang pernah menjadi korban penipuan
digital. Peserta dipilih melalui convenience sampling, dengan asas
kemudahan akses oleh peneliti kepada informan yang memenuhi kriteria
penelitian. Kriteria peserta FGD awal adalah berkewarganegaraan
negara kita dan pernah menjadi korban penipuan digital. Untuk
mendapatkan gambaran awal yang menyeluruh mengenai kejadian
penipuan digital, keragaman penipuan digital yang dialami,
keseimbangan gender, dan variasi usia menjadi pertimbangan dalam
memilih peserta FGD.
Dari 12 orang yang diundang, 11 orang hadir dalam FGD, dengan proporsi
5 orang perempuan dan 6 laki-laki. Usia peserta FGD berkisar dari 19
hingga 52 tahun, dengan latar belakang domisili, tingkat pendidikan, dan
pekerjaan yang beragam. Kasus penipuan yang dialami korban pun
beragam, dari penipuan berkedok hadiah melalui SMS atau telepon dan
aplikasi chat, jual beli fiktif, hingga saldo di akun e-wallet yang berkurang
sendiri tanpa dipakai transaksi oleh pemilik akun.
FGD ini menghasilkan identifikasi awal jenis penipuan digital, modus
operandi, dampak yang dialami, hingga rekomendasi dari peserta untuk
pemangku kepentingan.
FGD akhir melibatkan informan yang sebelumnya menjadi korban
survei dalam penelitian ini. Teknik pemilihan sampel memakai
purposive sampling dengan kriteria berkewargenegaraan negara kita ,
menjadi korban dalam survei penipuan digital, pernah menjadi
korban penipuan , aktif memakai media sosial/aplikasi
chat/SMS/telepon, serta berusia minimal 18 tahun.
Pemilihan peserta FGD juga mendasarkan pada keragaman jenis
penipuan yang dialami korban, medium yang digunakan penipu ulung untuk
menghubungi korban, serta dampak yang dirasakan korban. Selain itu,
latar belakang demografis (gender, domisili, generasi usia, tingkat
pendidikan) juga menjadi pertimbangan untuk menghadirkan variasi
situasi dan pengalaman dalam FGD.
Sebanyak 24 informan diundang untuk hadir di dalam FGD. Informan
dihubungi melalui nomor kontak yang dicantumkan pada saat mengisi
kuesioner. Agar diskusi berjalan dengan intensif, forum FGD dibagi
menjadi dua forum dan diselenggarakan secara paralel. FGD dibagi
menjadi dua forum dengan mempertimbangkan intensitas diskusi. FGD A
dilakukan dengan peserta yang merupakan korban terpilih dari
wilayah waktu negara kita Tengah dan negara kita Timur. Sedangkan FGD B
dilakukan dengan peserta dari wilayah waktu negara kita Barat. Jumlah
peserta FGD B atau informan yang berdomisili di negara kita Barat lebih
banyak dibandingkan peserta yang berdomisili di masing-masing negara kita
Tengah dan negara kita Timur karena pertimbangan proporsi jumlah dalam
populasi.
Pada FGD A, dari 12 calon peserta yang diundang, 10 orang hadir dalam
FGD, terdiri atas 6 laki-laki dan 4 perempuan. Informan berdomisili di
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, dan Papua. Usia informan
berkisar dari 23 hingga 58 tahun. Latar belakang pendidikan informan
meliputi SMA, Diploma, Sarjana, dan Magister.
Sama halnya dengan FGD A, untuk FGD B dari 12 orang yang diundang, 10
orang memenuhi undangan FGD. Peserta FGD B terdiri atas 8 perempuan
dan 2 laki-laki dengan kisaran usia 18 hingga 60 tahun. Informan
berdomisili di Jawa Barat, Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Lampung. Salah
satu peserta berasal dari provinsi Sulawesi Selatan yang seharusnya
menjadi bagian dari peserta FGD negara kita Tengah. Tingkat pendidikan
informan bervariasi, dari SMA, Diploma, Sarjana hingga Magister.
FGD akhir berusaha mendalami modus yang dilakukan pelaku penipuan
dan faktor-faktor yang membuat korban terjebak dalam penipuan dan
atau faktor-faktor yang membuat informan terhindar dari jebakan
penipuan digital. Selain itu informan juga diminta untuk mengungkapkan
perasaan yang dirasakan saat mengalami atau nyaris mengalami
penipuan . Sama seperti pada FGD awal, informan juga diberikan
pertanyaan mengenai tindakan yang dilakukan saat mengalami
penipuan , apakah melaporkan atau tidak melaporkan tindak penipuan
kepada pihak berwenang. Sebagai penutup, informan diminta untuk
memberikan rekomendasi pencegahan dan penanganan kasus penipuan
digital di negara kita .
Dari 15 jenis penipuan digital yang diulas dalam penelitian ini, bab ini akan
menguraikan pesan penipuan apa yang paling sering diterima korban
hingga yang paling jarang. Selanjutnya, bab ini juga mengulas melalui
medium apa korban menerima pesan-pesan penipuan ini .
Dari 1.700 korban yang berpartisipasi, sebanyak 98,3% (1.671
korban ) pernah menerima pesan penipuan digital. Hal ini
menunjukkan rentannya warga negara kita dalam menerima berbagai
pesan penipuan digital di keseharian mereka.
korban dapat memilih lebih dari satu jenis isi pesan penipuan yang
pernah dialami sehingga persentase pada setiap jenis penipuan adalah
persentase dari total jumlah korban (1.700).
Lima jenis penipuan yang paling banyak diterima korban adalah
penipuan berkedok hadiah (91,2%), pinjaman digital ilegal (74,8%),
pengiriman tautan yang berisi malware atau virus (65,2%), penipuan
berkedok krisis keluarga (59,8%), dan investasi ilegal (56%). Sedangkan
lima jenis penipuan yang paling sedikit diterima respoden diantaranya
penerimaan sekolah/beasiswa palsu (19,9%), penerimaan pada proses
penerimaan kerja (20,6%), pembajakan/peretasan akun dompet digital
(25,6%), penipuan berkedok asmara/romansa (27, 7%), dan pencurian
identitas pribadi (29,2%).
penipuan berkedok hadiah menjadi jenis pesan penipuan yang paling
sering diterima korban karena sifatnya yang cenderung disampaikan
secara random dan massal melalui berbagai jenis medium, terutama
melalui fitur yang melekat pada setiap telepon seluler (panggilan atau
SMS).
Frekuensi pesan penipuan pinjaman dan investasi ilegal yang terbilang
tinggi di dalam penelitian ini selaras dengan temuan Satgas Waspada
Investasi (SWI) bahwa selama pandemi, pengaduan pinjaman digital ilegal
mengalami peningkatan yang sangat signifikan (Burhan, 2021), demikian
halnya dengan kasus investasi ilegal (Sulaiman, 2021). Menurunnya
kemampuan ekonomi masyarakat akibat pembatasan darurat selama
pandemi dan kemudahan syarat pinjaman ditengarai menjadi penyebab
maraknya penipuan berkedok pinjaman digital dalam masa pandemi.
Secara total, persentase korban laki-laki yang pernah menerima
pesan penipuan lebih banyak (52%) dibandingkan korban perempuan
(48%) untuk keseluruhan jenis pesan penipuan , seperti ditunjukkan oleh
Gambar 3.3. Persentase penerimaan pesan berdasarkan gender untuk
setiap jenis penipuan dapat dilihat pada Gambar 3.4
Di bawah ini adalah cerita-cerita yang disampaikan oleh para informan di
dalam FGD tentang pengalaman mereka menerima pesan penipuan
digital. Kisah pertama adalah seseorang yang menjadi korban penipuan
berkedok hadiah (lewat SMS atau panggilan telepon), jenis pesan yang
paling banyak diterima oleh korban survei.
Pesan penipuan juga dapat berkaitan dengan identitas pribadi penerima
pesan. Pengiriman pesan jenis ini sering kali memanfaatkan situasi
psikologis korban, misalnya pada pesan penipuan berkedok krisis
keluarga sebagai berikut.
“…dia telepon ketika saya baru saja sampai kantor, katanya istri saya
kecelakaan. Padahal sebelum saya ke kantor, saya mengantar istri ke
bandara…Hah kecelakaan? Saya langsung waswas kan…” (AA, 44 tahun, FGD,
12 Februari 2022)
“HP bunyi sampai tujuh kali, terus karena sudah geregetan, saya angkat dan
katanya saya menang undian cashback dari suatu lokapasar senilai dua juta
lima ratus ribu.” (EA, 25 tahun, FGD, 12 Februari 2022)
Penyalahgunaan identitas seseorang atau sebuah lembaga juga
ditemukan pada penipuan jual beli, di mana pelaku mengirim pesan
penipuan dengan mengatasnamakan penjual yang kredibel, sehingga
audiens cenderung mempercayai pesan yang disampaikan. Selain itu
jumlah pengikut media sosial atau lokapasar yang banyak juga
mendorong calon korban untuk mempercayai pesan penipuan jual beli.
sebelumnya saya lihat…itu ada tokonya, toko fisiknya itu ada di sebuah jalan di
Condet itu saya lihat, oh ini bener nih.” (Mu, 49 tahun, FGD, 12 Februari 2022)
Followers-nya itu kebetulan waktu itu ada tiga ribu lebih atau seribu lebih gitu,
saya lupa. Pokoknya dia itu sebelumnya udah trusted, gitu.” (JH, 19 tahun,
FGD, 12 Februari 2022)
Meskipun jenis penipuan beragam, beberapa informan sepakat bahwa
penipu ulung mampu menyampaikan pesan secara meyakinkan, misalnya
dengan memakai identitas perusahaan yang resmi di dalam pesan
sehingga membuat korban percaya bahkan sampai mau melakukan
instruksi yang diminta oleh pelaku.
Tapi, sama sekali saya tidak curiga…Karena, ya itu, logonya X, formulirnya X,
sampai nomor operator…pun punya X.” (ED, 43 tahun, FGD, 9 April 2022)
Pada beberapa kasus, pesan disampaikan dengan cara memanipulasi
perasaan korban, yang berujung pada pemerasan.
“Di media sosial saling kenal, saling dekat, terus tukaran nomor kontak,…katanya
dia mau mencairkan uang senilai 200 juta…lalu dia pinjam uang dari tante saya
senilai 30 juta.” (IL, 28 tahun, FGD, 9 April 2022)
Dari delapan medium yang disediakan, jaringan seluler (SMS/telepon)
merupakan medium yang paling banyak dipakai pelaku penipuan , yang
urutannya tampak dalam tabel di bawah ini.
Jaringan seluler (SMS/telepon) ini terutama dipakai untuk mengirim pesan
penipuan berkedok hadiah, yang kebanyakan dikirimkan melalui SMS.
Sebagai catatan, penipuan berkedok hadiah merupakan modus yang
paling banyak diterima korban sekaligus paling banyak memakan
korban di antara korban . Mengirim pesan penipuan melalui SMS
memang berbiaya murah, jangkauannya paling luas dibanding medium
lain, dan sangat mudah karena merupakan fitur sangat sederhana pada
ponsel.
Di bawah ini adalah gambar yang menunjukkan pesan atau modus
penipuan dan medium yang paling sering digunakan untuk
mengirimkannya
FGD yang dilakukan bersama para korban menunjukkan, kasus penipuan
berkedok hadiah terutama dilakukan melalui SMS yang diikuti dengan
panggilan telepon.
“Saya mendapat SMS, lalu saya ditelepon bahwa saya menang hadiah. Saat itu
seperti terhipnotis, diarahkan ke ATM, dan dipesan supaya jangan sampai
putus koneksi, instruksinya sangat rapat. Tapi ternyata saldo ATM saya kosong
lalu diminta pinjam ke teman. Saya pun pinjam 100 ribu ke teman kantor
bagian keuangan. Saya dipantau dan dipandu terus, lalu saya transfer pulsa
100 ribu ke penipu ulung . Saat diminta transfer lagi, saya baru sadar bahwa ini
penipuan . Setelah itu saya masih sering menerima SMS bahwa saya menang
hadiah dari banyak nomor.” (DE, 44 tahun, FGD, 9 April 2022)
Permasalahan lain dengan nomor seluler juga diuraikan oleh DE sebagai
berikut.
“Saya baru saja beli nomor seluler baru, langsung masuk banyak SMS dan
(panggilan) telepon tagihan yang ditujukan ke pemilik nomor lama. Padahal
saya beli nomor itu di counter secara resmi, dan melakukan registrasi sesuai
ketentuan Kominfo. Sebaiknya operator tidak menjual kembali nomor seluler
yang sudah tidak aktif karena bisa jadi pemilik lama itu bermasalah.”
Sementara itu, penipuan berkedok krisis keluarga terutama dilakukan
melalui panggilan telepon. Salah satu upaya penipuan dialami oleh
seorang informan FGD, yang bercerita:
Saya dihubungi orang tua di kampung bahwa mereka menerima telepon di
rumah (landline), bahwa kakak saya kecelakaan, masuk rumah sakit. Orang tua
diminta kirim 20 juta, jika tidak kirim maka kakak saya tidak ditangani.
Sebelumnya, kakak saya ditelepon orang yang mengaku polisi, bahwa kakak saya
terlibat narkoba. Sehingga kakak saya mematikan ponselnya, karena tidak mau
diteror. Karena tidak bisa menghubungi kakak, saya menelepon teman kakak saya
untuk memastikan, ternyata kakak saya ada di kos, baik-baik saja.” (LD, 29
tahun, FGD, 9 April 2022)
Medium terbanyak kedua adalah media sosial, yang mencakup platform
digital seperti YouTube, Facebook, Instagram, Twitter, TikTok, dan lain-lain.
Mayoritas pesan atau modus penipuan yang dikirim melalui media sosial
adalah jual-beli barang dan jasa dengan sebagian besar pelaku penipuan
adalah penjual, meski kadang ada pembeli juga yang menipu, seperti
mengirimkan bukti transfer palsu dan penjual tidak melakukan
pengecekan secara baik.
Jadi dalam jenis penipuan jual-beli, barang atau jasa yang ditransaksikan
bisa tidak datang ke pembeli, tidak sesuai dengan yang dijanjikan di media
sosial, dan uang tidak sampai ke penjual.
Salah satu korban penipuan jual-beli yang dilakukan melalui media sosial
dialami oleh AF, yang menceritakan pengalamannya dalam FGD:
“Saya membeli sandal di akun Instagram, yang followers dan testimoninya
banyak. Sehingga saya percaya saja. Setelah saya transfer 500 ribu, saya
diminta transfer lagi 50 ribu karena ini jasa titip. Setelah berhari-hari, barang
tak kunjung tiba.” (AF, 18 tahun, FGD, 9 April 2022)
Pengalaman lain diceritakan oleh DE, yang melibatkan pengiriman pesan
melalui Instagram dan WhatsApp.
“Ada akun IG berjualan sepeda, muncul melalui sponsored content, dan menawarkan
giveaway atau hadiah sepeda juga. Jika mau mendapatkan silakan DM. Saya pun kirim DM,
lalu diminta pindah ke WA, dan diminta transfer ongkir 250 ribu. Setelah itu ya si penipu ulung
menghilang, sepeda tidak datang. Banyak sekali penipuan jual beli di IG. Followers,
testimoni, dan komen yang banyak itu tidak menjamin.”(DE, 44 tahun, FGD, 9 April 2022)
Jenis penipuan yang paling banyak dilakukan melalui aplikasi chat adalah
pengiriman tautan/link yang berisi malware/virus, yang bisa digunakan
oleh pelaku kejahatan untuk melakukan phishing atau mengumpulkan
data pribadi korban. Selain itu, korban juga menyatakan bahwa
penipuan berkedok amal atau bantuan sosial juga sering mereka terima
melalui aplikasi chat, yang mencakup antara lain platform WhatsApp,
Telegram, dan LINE
Di dalam FGD bersama para korban penipuan digital, salah satu peserta
menceritakan pengalamannya menerima teror melalui WhatsApp dari
penyedia pinjaman online, yang ia tidak tahu apakah itu pinjol legal atau
ilegal.
Teman saya berutang ke pinjol, dan menurut orang pinjol itu, saya dijadikan
jaminan. Kalau teman saya tidak membayar, saya akan diteror terus. Teman saya
tidak bisa saya hubungi, jadi terpaksa saya block nomor pinjol itu, karena pesan
dan teleponnya sungguh mengganggu.”(LD, 29 tahun, FGD, 9 April 2022)
penipuan ini terjadi saat korban sedang mengakses situs web apa pun,
seperti laman berita dan toko. Lalu di laman ini korban mengeklik
tautan yang berisi malware/virus maupun situs web palsu, yang bisa
mencakup informasi pekerjaan palsu, jual-beli palsu, hingga pemerasan.
Jadi pengiriman tautan/link yang berisi malware/virus biasanya berkaitan
dengan keberadaan situs web/aplikasi palsu.
Meski banyak layanan email gratis seperti Google Mail dan Yahoo Mail
sudah menyediakan fasilitas untuk menyaring spam, email masih menjadi
salah satu medium dalam pengiriman pesan penipuan digital. Dua modus
penipuan yang paling sering diterima korban melalui email adalah
tautan/link yang berisi malware/virus dan lowongan pekerjaan palsu, yang
selengkapnya bisa dilihat di tabel berikut ini.
Salah satu korban penipuan melalui email terkait lowongan pekerjaan
palsu adalah SF, yang menceritakan kisahnya sebagai berikut:
“Saya dapat email untuk wawancara pekerjaan dari orang yang mengaku dari
sebuah perusahaan besar. Saya ikuti semua prosedurnya, persyaratannya saya
kirim. Lalu saya disuruh berangkat ke Jakarta. Supaya bisa cepat, saya diminta
memakai pesawat terbang dan harus memakai agen travel yang mereka
tentukan. Jadi saya harus membeli tiket di situ. Setelah saya transfer, tiketnya tidak
pernah dikirim ke saya. Lalu saya hubungi nomor telepon yang diberikan lewat
email, tapi ternyata sudah tidak aktif.” (SF, 27 tahun, FGD, 9 April 2022
Lokapasar sudah menerapkan berbagai cara untuk mencegah penipuan
jual-beli di platformnya, seperti pemblokiran dan pemberian kredibilitas
yang buruk dari pembeli bagi toko yang menjual barang yang
kenyataannya berbeda dengan yang ditawarkan. Hal ini membuat kasus
penipuan di lokapasar sangat sedikit, hanya 0,8% dari seluruh kasus
penipuan yang dialami korban survei.
Modus penipuan paling dominan di platform ini berupa penipuan jualbeli, yang diikuti dua modus yang terkait erat dengan isu perlindungan
data pribadi, yaitu pembajakan/peretasan akun dompet digital (ewallet)/rekening bank/kartu kredit dan pencurian identitas pribadi (nomor
KTP, nomor rekening, akun media sosial, akun email, dll).
Lokapasar merupakan salah satu medium digital yang penggunanya
meningkat pesat selama pandemi.
Data global menunjukkan, negara kita menempati posisi ketiga sebagai
negara dengan pengguna aplikasi lokapasar di ponsel Android terbesar di
dunia. Jumlah ini meningkat 70% pada periode Januari 2020 hingga Juli
2021 (Riyanto, 2021).
Meski jumlah penipuan digital di lokapasar sangat sedikit dibanding
medium lainnya, melihat tren peningkatan penggunanya, langkah
pencegahan perlu terus dilakukan oleh platform lokapasar maupun dari
sisi konsumen
Untuk penipuan yang dilakukan melalui situs web atau aplikasi game (0,5
dari total pesan penipuan yang diterima korban ), modus terbanyak
yang dilakukan melaluinya adalah situs web/aplikasi palsu, yang terkait
erat dengan modus terbanyak setelahnya yaitu pengiriman tautan/link
yang berisi malware/virus. Situs web palsu dan pengiriman malware/virus
ini biasanya dilakukan penipu ulung untuk melakukan phishing atau
mengumpulkan data pribadi korban yang bermuara pada tindak
kriminalitas lain seperti pengambilalihan akun (bank, media sosial,
dompet elektronik) milik korban.
Game online adalah sebuah industri yang secara global bernilai triliunan
dolar AS, dengan jenisnya sangat beragam mulai dari permainan kasino di
laman hingga aplikasi di ponsel, termasuk e-sport. Dengan banyaknya
perputaran uang di sana, yang meningkat selama pandemi (King et al.,
2020), penipu ulung pun melakukan berbagai aksi untuk mengambil untung dari
para pemain.
Hal yang biasa terjadi melalui penipuan pembayaran, mengingat game
perlu dilakukan dengan pembelian koin atau “mata uang” lain dan ada
banyak tawaran di dalamnya untuk kemudahan pemain. penipuan
pembayaran itu biasanya dilakukan dengan menawarkan koin atau upaya
untuk mengambil alih kartu kredit pemain (Kount, n.d.).
Meski demikian, game adalah sebuah area kegiatan daring yang kurang
banyak diteliti di negara kita , terutama dalam kaitannya dengan penipuan
Oleh karena itu, berdasar data yang sudah ada misalnya tentang jenisjenis game yang populer yang di negara kita (Aninsi, 2021) dan jumlah
penggunanya yang terus meningkat, perlu ada upaya khusus untuk
meneliti penipuan digital di jagat game.
Survei ini menunjukkan, dompet elektronik merupakan medium digital
yang paling aman dari penipuan digital dibandingkan medium lainnya,
yakni hanya 0,4% modus penipuan yang dilakukan melalui dompet
elektronik. Ini bisa disebabkan oleh berlapisnya fitur keamanan yang
dilakukan oleh platform dompet elektronik untuk memastikan
operasional akun sungguh dilakukan oleh pemilik akun yang
bersangkutan, seperti pengiriman one time password (OTP) ke email,
aplikasi chat, atau nomor telepon seluler pemilik akun.
Meski menempati posisi sebagai medium yang paling aman, aksi
kejahatan masih terjadi terhadap pengguna dompet elektronik, terutama
dalam bentuk peretasan dan pencurian data pribadi. Salah satu kasusnya
dialami oleh AP, yang menceritakan pengalamannya dalam FGD.
Kasus peretasan akun dompet elektronik ini unik dan sangat jarang
terungkap dalam literatur maupun pemberitaan media.
“Saldo e-wallet saya berkurang karena dipakai orang lain untuk memesan makanan,
yang terjadi dua kali, masing-masing sebesar sekitar Rp150 ribu. Setelah kejadian
pertama, saya melaporkan kasus pencurian itu ke pegawai e-wallet, kebetulan saya
kenal humasnya. Lalu kerugian itu diganti. Namun, kemudian, hal seperti itu terjadi
lagi, dan menurut transaksinya, uang itu dipakai untuk membeli makanan yang
alamat penerimanya sama dengan kejadian pertama. Saya melaporkan kasus
kedua ini ke e-wallet, tapi kali ini tidak ada balasan dan tidak ada penggantian
kerugian. Teman saya juga sudah tidak bekerja di sana.” (AP, 42 tahun, FGD, 12
Februari 2022)
Bab ini mengulas korban penipuan digital yang dideskripsikan dari
penggabungan temuan dan analisis data kuantitatif (hasil survei daring)
dan data kualitatif (hasil FGD daring). Sistematika penjelasannya dimulai
dari bagian yang menyajikan presentasi korban survei yang pernah
dan tidak pernah menjadi korban, termasuk perjalanan umum sehingga
bisa terjebak sebagai korban yang dipelajari dari kisah para peserta dan
korban survei yang disampaikan dalam FGD.
Bagian berikutnya adalah deskripsi temuan dari modus penipuan digital
berikut korban yang dijeratnya. Ini diikuti analisis silang terhadap korban
penipuan digital dan kategori usia, jumlah pendapatan, dan tingkat
pendidikan. Harapannya, bab ini dapat memberikan ulasan lengkap
terhadap kondisi korban penipuan digital yang ditemukan riset ini
Dari total 1.700 korban survei, sebanyak 1.132 korban (66,6%)
mengaku pernah menjadi korban penipuan digital. Sedangkan 568
korban (33,4%) menyatakan tidak pernah menjadi korban. Perbedaan
jumlah yang cukup signifikan ini mengindikasikan bahwa mayoritas
korban yang menerima pesan penipuan digital juga terjerat sebagai
korban.
Ry (22 tahun), salah satu peserta dalam FGD (12 Februari 2022) yang
dilakukan sebelum survei untuk mengetahui cara mengatasi penipuan
digital dari perspektif informan yang hampir dan pernah menjadi korban,
mengaku mendapatkan SMS yang diikuti dengan telepon selang
beberapa menit setelahnya. Sementara itu, AR (24 tahun) dalam FGD yang
sama (12 Februari 2022) mengaku justru langsung ditelepon oleh si
penipu ulung .
korban LD (29 tahun, FGD, 9 April 2022) asal Lampung berkata bahwa
orang tua dan kakak kandungnya pada waktu yang bersamaan menjadi
target dari penipu ulung melalui telepon. Sedangkan IY (35 tahun, FGD, 9 April
2022), korban survei asal Sulawesi Barat bercerita bahwa penipuan
digital yang diterima olehnya dan rekannya sama-sama bermula dari SMS
dari nomor yang tidak mereka kenal.
FGD juga mengungkap proses yang umum dialami oleh peserta dan
korban survei hingga menjadi korban penipuan digital. Sejumlah
faktor menjadi penyebabnya, antara lain kondisi psikologis yang
diciptakan penipu ulung salah satunya melalui terciptanya rasa yakin semu
tentang kedekatan personal, desakan kebutuhan atau solusi yang
mendesak, tergiur dengan macam-macam modus seperti iming-iming
hadiah, jaminan barang atau jasa yang lebih bagus tapi harganya lebih
murah, iklan di media sosial yang dianggap sebagai iklan terpercaya,
tertipu penggunaan identitas palsu atau menyerupai aslinya termasuk
mencatut identitas nama atau lembaga tertentu, serta rasa empati yang
tergerak membantu dalam kasus penipuan berkedok amal atau bantuan
sosial.
Salah satu ilustrasi manipulasi psikis ini ditemukan pula dalam literatur
terkait penipuan berkedok asmara yang juga terjadi di negara kita . James
Daniel Sinaga adalah salah satu pelaku yang menipu hingga puluhan juta
rupiah dengan modus ini melalui aplikasi kencan online (Inez, 2022).
Korban yang kerap terjer