cyber crime 26

Sabtu, 30 November 2024

cyber crime 26




 penipuan  digital merupakan kejahatan siber yang paling sering ditemui 

dan menjadi persoalan global . penipuan  

digital juga sering disebut dengan penipuan  online (online scam/fraud) dan 

penipuan  siber (cyber scam/fraud). Laporan riset ini memakai  

penipuan  digital digunakan karena untuk konteks negara kita , beragam 

penipuan  tak hanya terjadi melalui internet atau secara daring, tapi juga 

melalui perangkat seluler yang tak terhubung dengan jaringan internet. 

ada  berbagai variasi penipuan  digital 

seperti pengelabuan (phishing), penipuan  lotre (lottery scam), penipuan  

video (video scams), pencurian identitas (identity theft), dan menakut￾nakuti (scareware).  ragam 

penipuan  digital lainnya seperti penipuan  berkedok asmara (romance 

scams), penipuan  berbahaya (malicious spams), penipuan  berkedok 

lowongan pekerjaan (employment scams), dan penipuan  berkedok 

investasi (investment scams). Berbagai jenis penipuan  ini  

disampaikan kepada korban atau calon korban melalui berbagai saluran 

seperti pesan pendek (SMS), pesan melalui aplikasi percakapan maupun 

platform sosial lainnya termasuk media sosial, email, telepon, situs web, 

lokapasar (market place), dan berbagai platform digital lainnya. 

Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Truecaller Insights Report 2020 

negara kita  menjadi negara berperingkat 

keenam di dunia dengan penipuan  melalui telepon terbanyak. Sementara 

itu, berdasarkan data patrolisiber.id, selama tahun 2021, ada  815.152 

kasus kejahatan siber yang diadukan di portal milik Kepolisian Republik 

negara kita  ini , dengan penipuan  digital menjadi kasus terbanyak, 

yakni 4.602 kasus ,

Kajian lain yang dilakukan oleh CfDS (2020) menunjukkan jenis penipuan  

digital lainnya yakni penipuan  uang muka (advance-fee scam) yang banyak 

terjadi pada tahun 2013 hingga 2017 yang melibatkan pencurian data 

pribadi di ruang digital. Sementara itu, kajian lain mengenai penipuan  

digital di negara kita  dilakukan oleh Judhita (2015), yang menemukan 

bahwa penipuan  berkedok asmara sebagai salah satu kejahatan siber 

yang paling banyak dialami perempuan negara kita . Jenis penipuan  yang 

melibatkan perasaan ini  ternyata tidak hanya menyebabkan 

kerugian perasaan semata tapi juga kerugian finansial yang besar

Tak hanya melihat jenis dan kerugian penipuan  digital, ada  pula 

kajian mengenai penipuan  digital dari perspektif hukum. Untuk negara kita , 

salah satunya dilakukan oleh Rahmanto (2018) mengenai penegakan 

hukum terhadap tindak pidana penipuan  berbasis transaksi elektronik 

yang masih mengalami banyak hambatan. Beberapa hambatan ini  

adalah perbedaan pendapat dalam menafsirkan regulasi, kemampuan 

penyidik, kesadaran dan perhatian masyarakat, terbatasnya personel 

tenaga ahli, lemahnya pengawasan pemerintah, dan kendala prosedural 

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. 

Sejumlah data dan kajian di atas menunjukkan bahwa penipuan  digital 

merupakan kejahatan yang sangat mengancam masyarakat negara kita  di 

era digital ini, yang tak hanya menimbulkan kerugian finansial dan 

psikologis tapi juga pelanggaran data pribadi. Berbagai faktor bisa 

diasumsikan mempengaruhi banyaknya dan beragamnya kasus 

penipuan  digital dewasa ini. Pertama, kompetensi pengguna media dalam 

mengenali, mencegah, dan melawan penipuan  digital. Kedua, penegakan 

hukum dan regulasi pencegahan yang kurang kuat. Ketiga, moderasi 

konten dan standar komunitas dari beragam platform digital yang belum 

bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk mencegah dan menangani 

penipuan  digital. 

Meskipun demikian, belum ada kajian yang komprehensif dan nasional 

mengenai penipuan  digital di negara kita . Riset berskala nasional 

dibutuhkan untuk memetakan insiden, medium, dampak, dan respons 

korban penipuan  digital di negara kita , sekaligus menawarkan 

rekomendasi untuk mencegah dan menangani permasalahan ini .

Riset mengenai penipuan  digital berskala nasional pertama di negara kita  

ini berupaya menjawab beberapa pertanyaan penting:

Pesan penipuan  Digital

 Apa saja jenis pesan atau 

modus penipuan  digital yang 

diterima oleh masyarakat? 

Medium penipuan  Digital

Medium apa yang biasa 

digunakan untuk menyampaikan 

pesan penipuan  digital? 

Korban penipuan  Digital

Jenis penipuan  digital

apa yang paling banyak 

memakan korban? 

Dampak penipuan  Digital

Kerugian apa saja 

yang dirasakan oleh korban 

penipuan  digital?

Keamanan Digital

Korban penipuan  Digital

Respons apa yang dilakukan 

oleh korban penipuan  digital? 

Pemangku kepentingan mana 

yang dipercaya oleh korban 

penipuan  digital? 

Rekomendasi Mencegah 

dan Menangani penipuan  Digital

Apa saja yang disarankan 

oleh korban penipuan  digital

untuk mencegah dan menangani 

penipuan  digital di negara kita ? 

Siapa saja pemangku kepentingan

yang dianggap bisa melakukannya?


penipuan  digital adalah salah satu kejahatan siber yang banyak 

didiskusikan di berbagai kajian terutama terkait keamanan digital 

maupun literasi digital. Penggunaan terminologi penipuan  digital pun 

beragam seperti penipuan  online dan penipuan  siber. Pada dasarnya 

istilah-istilah ini  memiliki arti dan maksud yang sama yaitu merujuk 

pada penipuan  yang memanfaatkan medium dan perangkat komunikasi 

digital. 

Istilah penipuan  digital misalnya digunakan oleh Cross et al. (2014), yang 

mengatakan bahwa pada dasarnya penipuan  terjadi ketika seseorang 

memakai  internet untuk menyediakan dana atau informasi pribadi 

yang menanggapi penipuan , pemberitahuan, penawaran atau 

permintaan, yang selanjutnya menyebabkan korban mengalami kerugian 

finansial atau non-finansial.

Sementara itu, Kurnia dkk. (2022) mendefinisikan penipuan  digital sebagai 

penggunaan layanan internet atau software dengan akses internet untuk 

menipu atau mengambil keuntungan dari korban, misalnya uang dan 

mencuri informasi atau identitas pribadi. 

juga memakai  istilah penipuan  digital sebagai 

penggunaan layanan internet atau software dengan akses internet dengan 

tujuan untuk mengelabui calon korban misalnya dengan memanfaatkan 

kebocoran atau mencuri data pribadi. Biasanya korban terperangkap 

dalam penipuan  karena lengah sehingga bisa diperdaya pelaku yang 

bertujuan mendapatkan beragam keuntungan berupa uang maupun 

harta material lainnya. Sedangkan istilah cyber frauds and scams 

(penipuan  siber) dijelaskan oleh Button dan Cross (2017) dalam bukunya 

Cyber Frauds, Scam And Their Victims sebagai skema penipuan  yang 

berusaha untuk menipu seseorang dalam bentuk uang dan/atau 

informasi pribadi secara tidak etis dan mungkin menjadi masalah sipil 

atau pidana juga. Buku itu juga menyebutkan salah satu skema penipuan  

yang paling kejam adalah pencurian identitas (identity theft) yang mana 

penipu ulung  memakai  metode phishing untuk memancing korban lewat 

dua cara, pertama memakai  email palsu dari organisasi yang sah 

(seperti bank, telepon /penyedia layanan internet) untuk menipu 

pelanggan agar menghasilkan informasi pribadi (cyber-enabled), 

sedangkan yang kedua memakai  email untuk mendistribusikan 

malware ke komputer korban untuk memungkinkan pelaku mendapatkan 

akses ke detail pribadi korban yang disimpan di komputer atau jaringan.

Sementara itu, definisi penipuan  digital digunakan dalam modul Aman 

Bermedia Digital (2021) yang diterbitkan oleh Kementerian Kominfo, 

Japelidi, dan Siberkreasi. Modul ini menyebutkan bahwa penipuan  digital 

merupakan pemanfaatan aplikasi atau laman internet untuk menipu 

korban dengan berbagai modus seperti penjualan barang, identitas 

pelaku usaha atau konsumen, dan ketidaksesuaian barang atau produk 

yang diterima dengan yang dipesan (Astuty, 2021).

Berdasarkan beragam terminologi penipuan  digital di atas, riset ini 

memakai  istilah penipuan  digital yang didefinisikan sebagai beragam 

jenis penipuan  yang terjadi di dalam jaringan internet atau seluler baik 

melalui SMS maupun telepon


Ragam penipuan  Digital

Dilihat dari jenisnya, Smith (2010) menggolongkan penipuan  digital ke 

dalam dua kelompok utama yaitu


Lebih jauh, Smith (2010) membagi lagi penipuan  computer-oriented

menjadi tiga kelompok penipuan :

Bentuk ketiga ini umumnya dipakai untuk mengumpulkan informasi 

pribadi yang kemudian dijual dan digunakan untuk melakukan mass 

marketing scams, yaitu penipuan  yang dilakukan secara massal tanpa 

dirancang secara spesifik untuk korban-korban tertentu.

penipuan  digital telah menjadi tantangan besar di banyak negara dengan 

penetrasi internet yang tinggi. Beragamnya modus dan medium penipuan  

digital menjadi objek penelitian di berbagai disiplin ilmu (Dam et al., 2020; 

Cross et al., 2014; Puram et al., 2011). Berdasarkan ketiga kajian ini , 

ada  14 jenis penipuan  digital sebagai tampak dalam Gambar 1.1.

Phishing

yakni tindakan penipuan  dengan mencuri informasi penting 

dengan mengarahkan korban untuk masuk ke halaman/situs 

palsu yang bertujuan untuk menjebak korban. Pada umumnya, 

kejahatan ini menargetkan layanan streaming berbayar, 

perbankan, e-commerce, dan UMKM. 

Scam

yakni penipuan  yang biasanya bertujuan untuk mendapatkan 

uang dengan cara menipu atau membohongi orang lain. 

Biasanya terjadi melalui kontak komunikasi dengan aplikasi 

chat, telepon, dan lain-lain. 

Account take over

yakni penipuan  pengambilalihan akun secara tiba-tiba dan 

korban biasanya langsung merasakan dampaknya dalam 

sekejap. 

Social engineering

yaitu tindak kejahatan yang dilakukan dengan memanfaatkan 

interaksi dengan manusia. penipu ulung  akan memakai  

manipulasi psikologis untuk menipu targetnya agar melakukan 

kesalahan keamanan digital. 

Share login info

yaitu penipuan  dengan mencuri informasi sensitif terkait akun 

(PIN, OTP, dan password). 

Share card info

yaitu penipuan  dengan mencuri informasi data kartu, baik 

nomor kartu atau kode OTP dari bank penerbit. Modus yang 

paling umum dilakukan adalah dengan menghubungi korban 

dengan mengatasnamakan bank atau instasi terkait yang 

lainnya.

ID theft

yaitu penipuan  dengan mencuri kartu identitas korban. Lalu 

identitas ini  akan digunakan untuk mendaftarkan akun di 

suatu platform dengan identitas orang lain.

Typosquatting

yaitu penipuan  dengan mendaftarkan domain suatu laman 

yang sangat mirip dengan laman yang sudah ada, tapi 

namanya sedikit berbeda dengan nama laman yang asli 

(seperti orang yang sedang melakukan typo atau salah ketik). 

Domain ini kemudian digunakan untuk menipu pengguna 

internet bahwa mereka sedang berselancar di laman situs yang 

mereka tuju. 

Pharming

yaitu penipuan  yang melibatkan pengondisian sistem 

komputer korban lewat hacking, malware, atau software yang 

membawa korban ke laman palsu di mana mereka diminta 

untuk memasukkan data mereka. 

Skimming

yaitu penipuan  di mana informasi pribadi korban di dalam 

kartu elektronik (seperti kartu kredit) diambil melalui alat yang 

secara diam-diam disematkan ke mesin pembaca kartu. 

Malware

yaitu software penyusup seperti halnya virus yang di-install di 

komputer untuk mengalihfungsikan program ataupun 

dokumen. 

Lottery Scams

yaitu korban mendapatkan surel dari suatu sumber yang 

meyakinkan bahwa korban telah memenangkan hadiah dari 

suatu organisasi dan untuk mendapatkan hadiah ini , 

korban harus membalas surel ini  dengan informasi 

tertentu. 

Video Scams

yaitu proses penipuan  dengan meminta korban untuk 

menonton suatu video yang telah terinfeksi virus. Ketika 

korban mencoba untuk menonton video, mereka 

diinstruksikan untuk mengunduh suatu codec untuk 

menontonnya.

Video ini biasanya memilki judul yang sangat menggoda 

sehingga korban mau tidak mau harus mengunduh codec 

ini  yang merupakan suatu malware yang mengintai 

seluruh aktivitas di komputer korban.

Scareware

yaitu program penyusup yang didesain untuk menipu 

pengguna untuk membeli dan mengunduh berbagai software 

yang berbahaya seperti antivirus palsu.

Tak hanya 14 jenis penipuan  digital sebagaimana ada  dalam Gambar 

1.1, Cross dkk. (2014) juga menuliskan jenis-jenis baru dari penipuan  

digital:


Medium penipuan  Digita

Tak hanya jenis penipuan  digital yang semakin beragam, medium yang 

digunakan untuk melancarkan berbagai jenis penipuan  digital sangatlah 

beragam. Menurut Pusparisa (2020), Kepolisian Republik negara kita  

mencatat bahwa dari 7.047 kasus penipuan  digital yang dilaporkan, 

sebagian besar di antaranya terjadi melalui media sosial dengan modus 

yang sangat beragam.

Selain media sosial, selama tahun 2021, Yayasan Lembaga Konsumen 

negara kita  (YLKI) juga mencatat dari 535 kasus yang diadukan konsumen, 

22,4% aduan berasal dari konsumen pinjaman online (pinjol), terutama 

terkait cara penagihan dan keberadaan pinjol ilegal. Selanjutnya, 16,6% 

aduan berasal dari konsumen belanja online. Pada 2021, data ini 

meningkat 33% dari total aduan tahun sebelumnya (Pahlevi, 2022).

Kerugian penipuan  Digital

Dampak yang ditimbulkan dari penipuan  digital juga telah dibahas dalam 

berbagai studi. Badawi (2021) menjelaskan bahwa dampak dari penipuan  

digital bagi para korban mencakup kerugian keuangan, kebocoran data 

pribadi dan informasi sensitif lainnya, serta turunnya kepercayaan 

terhadap layanan yang disediakan oleh internet. 

Komisi Eropa (2020) dalam survei mereka menjelaskan bahwa sebagian 

besar korban yang terkena penipuan  merasakan dampak negatif seperti 

menderita kerugian emosional atau fisik (79%) dan menderita kerugian 

finansial (24%).

Korban yang mengalami penipuan  dalam dua tahun terakhir 

digambarkan lebih relatif berhati-hati dalam perilaku online/offline

dibandingkan dengan mereka yang tidak menjadi korban—hal ini 

mungkin karena perubahan perilaku yang disebabkan oleh penipuan . 

Sementara itu, Puram dkk. (2011) berargumen bahwa penipuan  digital 

menganggu dan merusak kesenangan orang dalam berinternet. Mereka 

juga menuliskan bahwa penipuan  digital sangatlah mirip dengan 

penipuan  di dunia nyata, di mana korban ditipu untuk memberikan 

informasi pribadi dan rahasia akibat tergiur oleh suatu insentif tertentu.  


Perbedaan antara penipuan  di dunia nyata dan penipuan  digital adalah 

kecepatan dari penipuan  digital jauh lebih tinggi dengan kerugian yang 

jauh lebih merugikan.

Model Pencegahan dan Penanganan penipuan  Digital

Berbagai literatur yang mengkaji soal penipuan  digital juga telah 

memberikan berbagai rekomendasi untuk mencegah dan menangani 

kasus-kasus penipuan  digital. Puram dkk. (2011) menuliskan bahwa 

langkah utama untuk mencegah penipuan  digital adalah dengan selalu 

waspada ketika menerima pesan-pesan yang menjurus ke arah penipuan  

dengan mengkritisi secara logis konten dari pesan-pesan ini .

Lottery scams dapat dihindari dengan mengkritisi bahwa tidak ada undian 

yang memberikan hadiah besar tanpa mendaftar terlebih dahulu. Jenis 

penipuan  lainnya dapat dihindari dengan cara yang sama. Sementara 

surel penipuan  dari institusi yang mengaku sebagai bank dapat dihindari 

dengan menyadari bahwa bank tidak akan meminta data pribadi 

nasabah, dan jika ada  keraguan akan keaslian surel apapun, semua 

orang dapat mengonfirmasi dengan bank terkait. 


Sementara itu, di Australia, Button dkk. (2014) merekomendasikan 

pencegahan penipuan  digital dengan memberikan pendidikan ke publik 

dan pemberikan peringatan kepada publik secara reguler tentang bahaya 

scam, jangan percaya pesan dari orang yang tidak dikenal tanpa 

melakukan verifikasi, jangan terburu mengambil keputusan, dan segera 

menutup laman yang tampak mencurigakan.



Sedangkan Cross dkk. (2014) merekomendasikan sepuluh hal yang perlu 

dilakukan otoritas dalam menyediakan layanan penanganan dan 

pencegahan, yaitu:

Australia juga telah memiliki pusat pelaporan terpadu bernama 

Scamwatch yang tujuan utamanya adalah membantu masyarakat 

mengenali penipuan  dan menghindarinya. Lembaga ini dijalankan oleh 

Komisi Konsumen dan Kompetisi Australia (Australian Competition and 

Consumer Commission—ACCC). Lembaga ini juga mengumpulkan data 

mengenai penipuan  yang kemudian digunakan untuk menginformasikan 

masyarakat Australia mengenai berbagai macam penipuan  yang beredar 

di Australia.

Di Inggris Raya, pemerintah telah mengeluarkan dan merevisi Undang￾Undang Keamanan Daring (Online Safety Bill) yang mereformasi regulasi 

pengiklanan barang dan jasa di ranah daring yang memperkuat regulator 

untuk menangani iklan-iklan yang merugikan, ofensif, dan menyesatkan

serta mengharuskan platform media sosial populer dan mesin pencarian 

untuk mencegah iklan-iklan berbayar dari iklan palsu di platform mereka.

Di Inggris Raya, pemerintah telah mengeluarkan dan merevisi Undang￾Undang Keamanan Daring (Online Safety Bill) yang mereformasi regulasi 

pengiklanan barang dan jasa di ranah daring yang memperkuat regulator 

untuk menangani iklan-iklan yang merugikan, ofensif, dan menyesatkan 

serta mengharuskan platform media sosial populer dan mesin pencarian 

untuk mencegah iklan-iklan berbayar dari iklan palsu di platform mereka. 

Pemerintah Inggris Raya juga tengah melakukan konsultasi untuk 

memperkuat peraturan bagi industri pengiklanan online. Mereka juga 

meningkatkan pengawasan terhadap iklan-iklan yang dapat berujung 

kepada penipuan  (Departemen Digital, Budaya, Media dan Olahraga 

Inggris Raya, 2022).

Sementara secara khusus mengenai phishing, Pusat Keamanan Siber 

Nasional (National Cyber Security Centre, 2018) Inggris Raya mengeluarkan 

empat lapis pertahanan dari phishing yang terdiri dari: 1) menyusahkan 

penyerang untuk mencapai pengguna akun; 2) membantu 

mengidentifikasi dan melaporkan surel phishing; 3) melindungi organisasi 

Anda dari dampak yang dibawa surel phishing yang tidak terdeteksi, dan 4) 

respons cepat terhadap insiden yang terjadi. Secara lebih spesifik, 

pendekatan berlapis untuk pertahanan dari phishing ini dapat dilakukan 

dengan cara sebagai berikut:

Perlu diketahui bahwa Inggris Raya juga memiliki otoritas khusus yang 

menangani penipuan  digital, yakni Action Fraud yang merupakan pusat 

pelaporan penipuan  dan kejahatan siber bagi masyarakat Inggris, Wales, 

dan Irlandia Utara. Layanan ini diluncurkan oleh Polisi London dan Badan 

Intelijen penipuan  Nasional (National Fraud Intelligence Bureau) yang 

bertanggung jawab atas penilaian laporan untuk memastikan laporan 

masyarakat bisa ditindaklanjuti secara memadai.

Di Amerika Serikat, Komisi Perdagangan Federal (Federal Trade 

Comission, 2019) juga telah mengeluarkan berbagai regulasi yang 

bertujuan mendorong masyarakat untuk menyadari dan menghindari 

berbagai penipuan  seperti halnya phishing (Federal Trade Commision 

Consumer Advice, n.d.), romance scam (Jhaveri, 2015), dan pesan singkat 

yang merupakan spam (Federal Trade Commision Consumer Advice, n.d.). 

Seperti halnya Amerika Serikat, Departemen Urusan Dalam Negeri 

Selandia Baru (Department of Internal Affairs) juga telah mengeluarkan 

halaman khusus untuk memberikan pengertian mengenai penipuan  

digital ke masyarakatnya.

Di negara kita , rekomendasi pencegahan dan penanganan penipuan  digital 

lebih banyak digunakan sebagai materi literasi digital terutama dalam 

membangun ketangguhan masyarakat untuk menjaga keamanan digital. 

Dalam modul Aman Digital (Astuty, 2021), selain dijelaskan cara-cara 

mengenali ciri penipuan , pembaca dan pengguna modul juga diharapkan 

bisa mencegah penipuan  digital dengan mengkritisi informasi sekaligus 

bisa berpartisipasi dalam melaporkan penipuan  digital jika menjadi 

korban penipuan  digital. 

Sementara itu, Kurnia dkk. (2022) menawarkan berbagai solusi praktis 

bagi pengguna digital, yang ditujukan terutama kepada kaum muda di 

negara kita  Timur, tak hanya untuk memahami berbagai modus penipuan  

digital namun juga untuk mencegah dan menangani penipuan  digital. Tak 

hanya itu, konteks hukum penipuan  digital pun dikenalkan dalam buku 

panduan literasi digital ini .


Riset nasional mengenai penipuan  digital di negara kita  ini memakai  

pendekatan mixed-method yang memadukan pendekatan kuantitatif yang 

memakai  metode survei dan kualitatif yang memakai  FGD. 

Metode survei dilakukan secara daring dengan sampling non-probabilitas 

yang melibatkan 1.700 korban  dari kelompok korban  yang 

bervariasi demografinya di 34 provinsi negara kita . Pemilihan sampel 

dengan tingkat marjin kesalahan ±2,38% dan tingkat kepercayaan sebesar 

95 % ini dapat dilihat persebarannya di tiap provinsi dalam Gambar 1.3.

Jumlah sampel di setiap provinsi mempertimbangkan jumlah penduduk 

yang ada di masing-masing provinsi. Provinsi dengan jumlah penduduk 

yang banyak juga diwakili oleh jumlah sampel yang lebih banyak, seperti 

Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dalam pengambilan sampel, tim 

peneliti juga mem-pertimbangkan keterwakilan penduduk lanjut usia.

Bingkai sampling adalah warga negara kita  yang berusia 17 tahun ke atas 

termasuk warga senior yang di atas usia 60 tahun ke atas. Selain kriteria 

usia, korban  juga harus aktif memakai  SMS/telepon, aplikasi 

percakapan, media sosial, maupun platform digital lainnya setidaknya 

satu tahun terakhir. Riset ini juga mengupayakan keseimbangan gender di 

antara korban . 

Metode survei daring dipilih karena memungkinkan peneliti melakukan 

pemetaan suatu persoalan, seperti halnya penipuan  digital, dengan 

melibatkan korban  berjumlah banyak pada masa pandemi COVID-19. 

Survei merupakan metode yang tepat ketika peneliti menghendaki 

mengumpulkan data orisinal untuk mendeskripsikan populasi yang besar 

dan sulit dijangkau jika melakukan observasi secara langsung (Babbie, 

2013). 

Survei nasional ini melibatkan 44 enumerator dari 34 provinsi untuk 

membantu penyebaran kuesioner melalui Google Form yang disebarkan 

secara terbatas untuk menjaga kualitas sampling sebagaimana yang 

direncanakan. 

Penggunaan Google Form ini dilakukan untuk mengumpulkan data dari 

korban . Data kemudian diolah dengan memakai  SPSS dan 

Microsoft Excel. Instrumen survei berupa kuesioner yang disusun 

berdasarkan hasil kajian literatur dan FGD yang melibatkan 11 korban 

penipuan  digital. FGD pertama ini dilakukan untuk mengeksplorasi 

persoalan penipuan  digital yang mungkin belum dijumpai dalam literatur. 

Tim peneliti berasumsi, mungkin ada yang khas dari penipuan  digital ini di 

negara kita , dan tidak dibahas dalam literatur yang sebagian besar 

merupakan tulisan peneliti-peneliti luar negeri.

Berdasarkan tinjauan pustaka, pemberitaan mengenai penipuan  digital di 

negara kita , dan FGD dengan para korban penipuan  digital yang dilakukan 

sebelum survei, peneliti mengelompokkan penipuan  digital menjadi 15 

modus yang dilakukan melalui delapan medium atau saluran komunikasi. 

Lima belas modus penipuan  itu adalah:

Lima belas modus penipuan  dan delapan medium ini  selanjutkan 

digunakan peneliti saat menanyakan pengalaman 1.700 korban  

melalui kuesioner. Kuesioner terdiri dari 39 pertanyaan dengan sub-sub 

pertanyaan yang ada di dalamnya. korban  mengalokasikan waktu 7-

10 menit untuk dapat mengisi kuesioner.

Adapun proses pengumpulan data, secara teknis, dilakukan dengan 

menghubungi enumerator dan enumerator merekrut korban  

berdasarkan pada bingkai sampel dan jumlah sampel sudah ditentukan. 

Enumerator kemudian mendata korban  yang bersedia berpartisipasi 

dalam penelitian dan mengirimkan tautan Google Form yang berisi 

kuesioner. Tim peneliti melakukan pemantauan setiap hari untuk 

memastikan kuesioner terisi semua dan tidak ada kesalahan dalam 

pengisian. 

Dengan melibatkan sejumlah besar korban  yang mewakili 34 provinsi, 

survei ini diharapkan bisa menghasilkan data nasional yang 

merepresentasikan pengalaman warga negara kita  dari beragam 

kelompok demografi dan geografi dalam mengalami dan menavigasi 

penipuan  digital. Dengan begitu pemetaan terhadap insiden, medium, 

korban, kerugian, respons, dan rekomendasi bisa dilakukan.

Untuk memperdalam temuan riset secara kuantitatif, riset ini juga 

memakai  pendekatan kualitatif dengan melibatkan 20 korban  

terpilih sebagai peserta dua Focus Group Discussion (FGD). 

Beberapa pertanyaan yang dielaborasi dalam FGD ini  antara lain:

Dengan begitu tak hanya pengalaman peserta FGD terkait penipuan  

digital, tapi juga kerugian, alasan respons, dan usulan rekomendasi 

mereka ikut memperkaya temuan riset ini.


Penelitian ini melibatkan 1.700 korban  dari 34 provinsi di negara kita . 

Sebanyak 53.2% merupakan korban  perempuan dan 46.8% 

korban  laki-laki, dengan usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, 

tingkat pendapatan, dan domisili yang beragam.

Usia korban  berkisar antara 18-82 tahun dengan rata-rata usia 32 


tahun. Usia korban  dikategorikan dalam kelompok generasi usia 


mengacu pada pengkategorian oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam 


Laporan Hasil Sensus Penduduk 2020 (negara kita . Badan Pusat Statistik, 


2020). Generasi Baby Boomer (lahir pada tahun 1946-1964), generasi X 


(lahir pada tahun 1965-1980), generasi Y atau Milenial (lahir pada tahun 


1981-1996), dan generasi Z (lahir pada taun 1997-2012). 


Untuk menyederhanakan pengkategorian, dalam penelitian ini generasi 


Pre-Boomer (lahir pada atau sebelum 1945) dimasukkan ke dalam 


kategori Baby Boomer dan generasi Post Z (lahir pada atau setelah 2012) 


dimasukkan ke dalam kategori generasi Z. Mayoritas korban  adalah 


generasi Z (46,59%), generasi Milenial (30,53%), generasi X (16,24%), dan 


generasi Baby Boomer (6,65%). Proporsi generasi usia korban  


penelitian yang ditunjukkan oleh Gambar 2.2 selaras dengan proporsi 


generasi usia penduduk negara kita  menurut Laporan Hasil Sensus 


Penduduk 2020 BPS, di mana generasi Z merupakan kelompok usia yang 


jumlahnya paling mendominasi, disusul oleh generasi Milenial, generasi X, 


dan Baby Boomer

Proporsi korban  laki-laki dan perempuan hampir berimbang pada 


setiap generasi usia, seperti ditunjukkan Gambar 2.3. Pada generasi X dan 


Z, jumlah korban  perempuan lebih mendominasi dibandingkan  korban  


laki-laki (masing-masing 56,5% dan 55,4%). Sebaliknya pada generasi Baby 


Boomer dan Milenial, persentase korban  laki-laki sedikit lebih banyak 


dibandingkan  korban  perempuan (masing-masing 52,2% dan 50,9%).

korban  dalam penelitian ini memiliki latar belakang tingkat 


pendidikan yang beragam. Secara komposisi nasional, persentase 


pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduk negara kita  di atas 15 


tahun yang paling besar adalah tingkat SLTA (29,1%) (negara kita . Badan 


Pusat Statistik, 2020). Di dalam penelitian ini, mayoritas korban  


merupakan lulusan S1 (43,41%), disusul lulusan SLTA (33,76%), S2 (12%), 


Diploma (6,53%), SLTP (1,94%), S3 (1,53%), dan SD (0,82%).

Sebanyak 55,12% korban  belum menikah, disusul oleh korban  


yang menikah dan mempunyai anak (35,82%), korban  yang menikah 


tanpa anak (5,35%), korban  yang berstatus duda/janda dan 


mempunyai anak (3,35%), dan terakhir korban  yang berstatus 


duda/janda tanpa anak (0,4%).

Mayoritas korban  berprofesi sebagai pelajar dan mahasiswa (29,8%), 


disusul pegawai swasta (19%), guru/dosen/tenaga pendidik (10,82%), ibu 


atau bapak rumah tangga (9%), aparatur sipil negara (8,41%), pelaku 


usaha (7,76%), buruh atau pekerja lepas (3,71%), pekerja seni (1,18%), dan 


TNI/Polri (0,24%). korban  yang tidak mengindentifikasi dirinya dengan 


pekerjaan-pekerjaan yang ada dalam pilihan pekerjaan yang telah 


disebutkan, mengisi pilihan lain-lain (10,1%).

Sebanyak 28,5% korban  mempunyai pendapatan lebih dari 


Rp3.500.000 per bulan, disusul oleh 27,4% korban  yang belum 


berpenghasilan. Besarnya jumlah korban  yang belum berpenghasilan 


ini kemungkinan terkait dengan jumlah korban  pelajar dan 


mahasiswa yang mencakup hampir 30% dari keseluruhan jumlah 


korban . Berikutnya, sebanyak 13,76% korban  mempunyai kisaran 


pendapatan Rp2.500.000-Rp3.500.000, 11,41% korban  pada kisaran 


Rp1.500.000-Rp2.500.000, dan 10,65% korban  berpendapatan di 


bawah Rp1.500.000. Sejumlah 8,35% korban  memilih untuk tidak 


menjawab

Jumlah korban  pada tiap provinsi beragam, proposinya disesuaikan 


dengan distribusi jumlah penduduk atau populasi total pada masing￾masing provinsi. Lima besar provinsi dengan jumlah korban  terbanyak 


antara lain, Jawa Barat (17,9%), Jawa Timur (15,1%), Jawa Tengah (13,5%), 


Sumatera Utara (5,5%), dan Banten (4,4%). Provinsi dengan jumlah 


korban  paling sedikit yaitu Kalimantan Utara, sebesar 0,2% dari total 


1.700 korban  penelitian.

Rata-rata waktu per hari yang dihabiskan korban  dalam berkegiatan 


daring beragam, berkisar antara kurang dari setengah jam hingga hampir 


24 jam terkoneksi dan melakukan kegiatan daring. Gambar 2.9 


menunjukkan ragam kegiatan yang paling menyita waktu korban . 


Setiap korban  harus memberikan jawaban 'Ya' atau 'Tidak' pada 


masing-masing jenis kegiatan, sehingga persentase yang muncul pada 


setiap jenis kegiatan adalah persentase dari total jumlah korban , yaitu 


1.700.

Dari sepuluh jenis kegiatan, empat kegiatan yang paling banyak 


mendapatkan jawaban 'Ya' dari korban  adalah kegiatan bermedia 


sosial (76,2%), menikmati hiburan (film, drama seri, dokumenter, musik, 


dan lain-lain) (70,9%), berkomunikasi secara daring (melalui email, pesan 


instan, maupun ruang obrolan) (65,4%), dan menelusuri informasi dan 


berita (62,5%). Masa pandemi yang mengondisikan masyarakat untuk 


bekerja maupun belajar dari rumah membuat pilihan jenis kegiatan 


belajar (baik secara formal maupun informal) melalui platform digital 


serta bekerja melalui platform digital disepakati korban  sebagai 


aktivitas yang paling banyak menyita waktu korban , masing-masing 


oleh sebanyak 57,8% dan 48,3% korban . Jenis kegiatan daring yang 


paling sedikit dianggap korban  sebagai kegiatan yang paling menyita 


waktu yaitu kegiatan mengakses layanan pemerintah (32,8%) dan 


kegiatan perbankan atau pengelolaan keuangan lainnya (27,4%). 


Sebanyak 43,5% korban  menjawab kegiatan-kegiatan lain yang belum 


termasuk ke dalam kategori kegiatan pilihan jawaban yang tersedia.

Kegiatan-kegiatan ini  diantaranya, menjual barang dan jasa, 


persiapan melamar pekerjaan (mencari informasi lowongan maupun 


mengikuti kursus persiapan), mencari referensi (misalnya, untuk 


keperluan belajar mengajar serta mengamati reviu sebelum membeli 


barang atau jasa), ser ta meng i kuti keg iatan keagamaan 


(ibadah/kajian/ceramah). 


Temuan ini serupa dengan data We Are Social & Kepios (2022), yang 


mengungkap bahwa rata-rata waktu paling tinggi yang dihabiskan 


penduduk negara kita  pengguna internet berusia 16-64 tahun ketika 


berselancar di internet adalah untuk berkegiatan di media sosial (3 jam 17 


menit). Rata-rata ini lebih tinggi dibandingkan  rata-rata waktu menonton 


televisi atau musik secara streaming (masing-masing 2 jam 50 menit dan 1 


jam 40 menit) atau membaca berita (1 jam 40 menit). Sumber yang sama 


menyebutkan bahwa tiga urutan teratas motivasi pengguna internet 


berusia 16-64 tahun dalam mengakses internet adalah untuk mengakses 


informasi (80,1%), mendapatkan ide dan inspirasi (72,9%), dan 


berkomunikasi dengan keluarga dan teman (68,2%).


Persamaan dan perbedaan kebiasaan melakukan kegiatan daring yang 


paling memakan banyak waktu antar generasi usia dapat dilihat pada 


Gambar 2.10. Persentase pada tabel merupakan persentase dari total 


jumlah korban  pada masing-masing generasi usia, generasi Z 


sebanyak 792 korban , generasi Milenial sebanyak 519 korban , 


generasi X sebanyak 276 korban , dan Baby Boomer sebanyak 113 


korban . 


Pada generasi Z, beberapa kegiatan yang disepakati paling menyita 


banyak waktu adalah bermedia sosial (80,2%), menikmati hiburan (76,6%), 


berkomunikasi daring (66,8%), belajar (62,2%), dan juga bermain game 


(59,1%). Menurut riset GWI, generasi Z merupakan generasi yang paling 


merasa menghabiskan terlalu banyak waktu di media sosial dibandingkan 


dengan 3 generasi sebelumnya (GWI, 2022). 


Tren yang hampir yang sama juga terlihat pada generasi Milenial, di mana 


aktivitas bermedia sosial dianggap oleh mayoritas korban  sebagai 


kegiatan daring yang paling menyita waktu (77,1%), disusul kegiatan 


menikmati hiburan (71,9%), berkomunikasi daring (65,5%), dan belajar 


(60,3%)

Yang membedakan dengan generasi Z, pada generasi Milenial kegiatan 


menelusuri informasi dan berita menduduki peringkat ketiga kegiatan 


yang paling banyak membutuhkan alokasi waktu (69,6%).


Pada generasi X, kegiatan menelusuri informasi dan berita berada pada 


peringkat pertama (72,5%), disusul oleh bermedia sosial (70,3%), 


berkomunikasi secara daring (65,2%), menikmati hiburan (58,7%), dan 


bekerja melalui platform digital (57,6%). 


Kegiatan menelusuri berita juga menjadi kegiatan yang paling banyak 


mendapatkan afirmasi dari generasi Baby Boomer sebagai kegiatan yang 


paling banyak menyita waktu (69%). Beberapa kegiatan lain yang 


persentasenya cukup besar dalam generasi ini antara lain, bermedia 


sosial (58,4%), berkomunikasi secara daring (55,8%), menikmati hiburan 


(55,8%), serta membeli barang atau jasa secara daring (33,6%).

Melalui ulasan bab ini diketahui bahwa mayoritas korban  riset ini 


termasuk ke dalam kelompok usia generasi Z (lahir pada atau setelah 


tahun 1997). Jumlah korban  laki-laki dan perempuan cukup 


berimbang, meskipun proporsi korban  perempuan sedikit lebih 


banyak. Pendidikan terakhir korban  didominasi oleh S1 dan SLTA. 


Relevan dengan riset-riset yang pernah dilakukan mengenai kebiasaan 


berinternet penduduk negara kita , kegiatan bermedia sosial menempati 


peringkat atas kegiatan daring yang paling menyita waktu korban  


(peringkat pertama pada generasi Z dan Milenial, peringkat kedua pada 


generasi X dan Baby Boomer). Selain itu kegiatan mencari informasi atau 


berita dan juga kegiatan mencari hiburan juga mendapatkan peringkat 


yang cukup tinggi antar kelompok usia. 

FGD pada penelitian ini diadakan dalam dua tahap. FGD pertama yang 


diselenggarakan pada 12 Februari 2022 bertujuan untuk mencatat dan 


memetakan pengalaman pengguna internet di negara kita  yang pernah 


menjadi korban penipuan  digital, untuk selanjutnya bersama hasil kajian 


pustaka digunakan sebagai bahan untuk menyusun kuesioner survei. 


FGD kedua diselenggarakan pada 9 April 2022. FGD ini bertujuan untuk 


memperdalam data yang didapatkan dari survei, dengan menggali situasi 


dan kondisi yang dialami korban. Temuan FGD kedua menjadi dasar 


penyusunan rekomendasi yang menyeluruh untuk pencegahan dan 


penanganan penipuan  digital yang berorientasi kepada kebutuhan dan 


ekspektasi korban. Profil peserta FGD pertama (awal) dan kedua (akhir) 


akan dijelaskan dalam dua bagian.


Profil Peserta FGD Awal


FGD awal melibatkan informan yang pernah menjadi korban penipuan  


digital. Peserta dipilih melalui convenience sampling, dengan asas 


kemudahan akses oleh peneliti kepada informan yang memenuhi kriteria 


penelitian. Kriteria peserta FGD awal adalah berkewarganegaraan 


negara kita  dan pernah menjadi korban penipuan  digital. Untuk 


mendapatkan gambaran awal yang menyeluruh mengenai kejadian 


penipuan  digital, keragaman penipuan  digital yang dialami, 


keseimbangan gender, dan variasi usia menjadi pertimbangan dalam 


memilih peserta FGD. 


Dari 12 orang yang diundang, 11 orang hadir dalam FGD, dengan proporsi 


5 orang perempuan dan 6 laki-laki. Usia peserta FGD berkisar dari 19 


hingga 52 tahun, dengan latar belakang domisili, tingkat pendidikan, dan 


pekerjaan yang beragam. Kasus penipuan  yang dialami korban  pun 


beragam, dari penipuan  berkedok hadiah melalui SMS atau telepon dan 


aplikasi chat, jual beli fiktif, hingga saldo di akun e-wallet yang berkurang 


sendiri tanpa dipakai transaksi oleh pemilik akun.

FGD ini menghasilkan identifikasi awal jenis penipuan  digital, modus 


operandi, dampak yang dialami, hingga rekomendasi dari peserta untuk 


pemangku kepentingan.

FGD akhir melibatkan informan yang sebelumnya menjadi korban  


survei dalam penelitian ini. Teknik pemilihan sampel memakai  


purposive sampling dengan kriteria berkewargenegaraan negara kita , 


menjadi korban  dalam survei penipuan  digital, pernah menjadi 


korban penipuan , aktif memakai  media sosial/aplikasi 


chat/SMS/telepon, serta berusia minimal 18 tahun. 


Pemilihan peserta FGD juga mendasarkan pada keragaman jenis 


penipuan  yang dialami korban, medium yang digunakan penipu ulung  untuk 


menghubungi korban, serta dampak yang dirasakan korban. Selain itu, 


latar belakang demografis (gender, domisili, generasi usia, tingkat 


pendidikan) juga menjadi pertimbangan untuk menghadirkan variasi 


situasi dan pengalaman dalam FGD. 


Sebanyak 24 informan diundang untuk hadir di dalam FGD. Informan 


dihubungi melalui nomor kontak yang dicantumkan pada saat mengisi 


kuesioner. Agar diskusi berjalan dengan intensif, forum FGD dibagi 


menjadi dua forum dan diselenggarakan secara paralel. FGD dibagi 


menjadi dua forum dengan mempertimbangkan intensitas diskusi. FGD A 


dilakukan dengan peserta yang merupakan korban  terpilih dari 


wilayah waktu negara kita  Tengah dan negara kita  Timur. Sedangkan FGD B 


dilakukan dengan peserta dari wilayah waktu negara kita  Barat. Jumlah 


peserta FGD B atau informan yang berdomisili di negara kita  Barat lebih 


banyak dibandingkan  peserta yang berdomisili di masing-masing negara kita  


Tengah dan negara kita  Timur karena pertimbangan proporsi jumlah dalam 


populasi. 


Pada FGD A, dari 12 calon peserta yang diundang, 10 orang hadir dalam 


FGD, terdiri atas 6 laki-laki dan 4 perempuan. Informan berdomisili di 


Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Nusa 


Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, dan Papua. Usia informan 


berkisar dari 23 hingga 58 tahun. Latar belakang pendidikan informan 


meliputi SMA, Diploma, Sarjana, dan Magister.

Sama halnya dengan FGD A, untuk FGD B dari 12 orang yang diundang, 10 


orang memenuhi undangan FGD. Peserta FGD B terdiri atas 8 perempuan 


dan 2 laki-laki dengan kisaran usia 18 hingga 60 tahun. Informan 


berdomisili di Jawa Barat, Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Lampung. Salah 


satu peserta berasal dari provinsi Sulawesi Selatan yang seharusnya 


menjadi bagian dari peserta FGD negara kita  Tengah. Tingkat pendidikan 


informan bervariasi, dari SMA, Diploma, Sarjana hingga Magister. 


FGD akhir berusaha mendalami modus yang dilakukan pelaku penipuan  


dan faktor-faktor yang membuat korban terjebak dalam penipuan  dan 


atau faktor-faktor yang membuat informan terhindar dari jebakan 


penipuan  digital. Selain itu informan juga diminta untuk mengungkapkan 


perasaan yang dirasakan saat mengalami atau nyaris mengalami 


penipuan . Sama seperti pada FGD awal, informan juga diberikan 


pertanyaan mengenai tindakan yang dilakukan saat mengalami 


penipuan , apakah melaporkan atau tidak melaporkan tindak penipuan  


kepada pihak berwenang. Sebagai penutup, informan diminta untuk 


memberikan rekomendasi pencegahan dan penanganan kasus penipuan  


digital di negara kita .

Dari 15 jenis penipuan  digital yang diulas dalam penelitian ini, bab ini akan 


menguraikan pesan penipuan  apa yang paling sering diterima korban  


hingga yang paling jarang. Selanjutnya, bab ini juga mengulas melalui 


medium apa korban  menerima pesan-pesan penipuan  ini .


Dari 1.700 korban  yang berpartisipasi, sebanyak 98,3% (1.671 


korban ) pernah menerima pesan penipuan  digital. Hal ini 


menunjukkan rentannya warga negara kita  dalam menerima berbagai 


pesan penipuan  digital di keseharian mereka.

korban  dapat memilih lebih dari satu jenis isi pesan penipuan  yang 


pernah dialami sehingga persentase pada setiap jenis penipuan  adalah 


persentase dari total jumlah korban  (1.700).

Lima jenis penipuan  yang paling banyak diterima korban  adalah 


penipuan  berkedok hadiah (91,2%), pinjaman digital ilegal (74,8%), 


pengiriman tautan yang berisi malware atau virus (65,2%), penipuan  


berkedok krisis keluarga (59,8%), dan investasi ilegal (56%). Sedangkan 


lima jenis penipuan  yang paling sedikit diterima respoden diantaranya 


penerimaan sekolah/beasiswa palsu (19,9%), penerimaan pada proses 


penerimaan kerja (20,6%), pembajakan/peretasan akun dompet digital 


(25,6%), penipuan  berkedok asmara/romansa (27, 7%), dan pencurian 


identitas pribadi (29,2%).


penipuan  berkedok hadiah menjadi jenis pesan penipuan  yang paling 


sering diterima korban  karena sifatnya yang cenderung disampaikan 


secara random dan massal melalui berbagai jenis medium, terutama 


melalui fitur yang melekat pada setiap telepon seluler (panggilan atau 


SMS).

 Frekuensi pesan penipuan  pinjaman dan investasi ilegal yang terbilang 


tinggi di dalam penelitian ini selaras dengan temuan Satgas Waspada 


Investasi (SWI) bahwa selama pandemi, pengaduan pinjaman digital ilegal 


mengalami peningkatan yang sangat signifikan (Burhan, 2021), demikian 


halnya dengan kasus investasi ilegal (Sulaiman, 2021). Menurunnya 


kemampuan ekonomi masyarakat akibat pembatasan darurat selama 


pandemi dan kemudahan syarat pinjaman ditengarai menjadi penyebab 


maraknya penipuan  berkedok pinjaman digital dalam masa pandemi.

Secara total, persentase korban  laki-laki yang pernah menerima 


pesan penipuan  lebih banyak (52%) dibandingkan  korban  perempuan 


(48%) untuk keseluruhan jenis pesan penipuan , seperti ditunjukkan oleh 


Gambar 3.3. Persentase penerimaan pesan berdasarkan gender untuk 


setiap jenis penipuan  dapat dilihat pada Gambar 3.4

Di bawah ini adalah cerita-cerita yang disampaikan oleh para informan di 


dalam FGD tentang pengalaman mereka menerima pesan penipuan  


digital. Kisah pertama adalah seseorang yang menjadi korban penipuan  


berkedok hadiah (lewat SMS atau panggilan telepon), jenis pesan yang 


paling banyak diterima oleh korban  survei.

Pesan penipuan  juga dapat berkaitan dengan identitas pribadi penerima 


pesan. Pengiriman pesan jenis ini sering kali memanfaatkan situasi 


psikologis korban, misalnya pada pesan penipuan  berkedok krisis 


keluarga sebagai berikut.

“…dia telepon ketika saya baru saja sampai kantor, katanya istri saya 


kecelakaan. Padahal sebelum saya ke kantor, saya mengantar istri ke 


bandara…Hah kecelakaan? Saya langsung waswas kan…” (AA, 44 tahun, FGD, 


12 Februari 2022)

“HP bunyi sampai tujuh kali, terus karena sudah geregetan, saya angkat dan 


katanya saya menang undian cashback dari suatu lokapasar senilai dua juta 


lima ratus ribu.” (EA, 25 tahun, FGD, 12 Februari 2022)

Penyalahgunaan identitas seseorang atau sebuah lembaga juga 


ditemukan pada penipuan  jual beli, di mana pelaku mengirim pesan 


penipuan  dengan mengatasnamakan penjual yang kredibel, sehingga 


audiens cenderung mempercayai pesan yang disampaikan. Selain itu 


jumlah pengikut media sosial atau lokapasar yang banyak juga 


mendorong calon korban untuk mempercayai pesan penipuan  jual beli.

sebelumnya saya lihat…itu ada tokonya, toko fisiknya itu ada di sebuah jalan di 


Condet itu saya lihat, oh ini bener nih.” (Mu, 49 tahun, FGD, 12 Februari 2022)

Followers-nya itu kebetulan waktu itu ada tiga ribu lebih atau seribu lebih gitu, 


saya lupa. Pokoknya dia itu sebelumnya udah trusted, gitu.” (JH, 19 tahun, 


FGD, 12 Februari 2022)

Meskipun jenis penipuan  beragam, beberapa informan sepakat bahwa 


penipu ulung  mampu menyampaikan pesan secara meyakinkan, misalnya 


dengan memakai  identitas perusahaan yang resmi di dalam pesan 


sehingga membuat korban percaya bahkan sampai mau melakukan 


instruksi yang diminta oleh pelaku. 

Tapi, sama sekali saya tidak curiga…Karena, ya itu, logonya X, formulirnya X, 


sampai nomor operator…pun punya X.” (ED, 43 tahun, FGD, 9 April 2022)

Pada beberapa kasus, pesan disampaikan dengan cara memanipulasi 


perasaan korban, yang berujung pada pemerasan. 


“Di media sosial saling kenal, saling dekat, terus tukaran nomor kontak,…katanya 


dia mau mencairkan uang senilai 200 juta…lalu dia pinjam uang dari tante saya 


senilai 30 juta.” (IL, 28 tahun, FGD, 9 April 2022)

Dari delapan medium yang disediakan, jaringan seluler (SMS/telepon) 


merupakan medium yang paling banyak dipakai pelaku penipuan , yang 


urutannya tampak dalam tabel di bawah ini.

Jaringan seluler (SMS/telepon) ini terutama dipakai untuk mengirim pesan 


penipuan  berkedok hadiah, yang kebanyakan dikirimkan melalui SMS. 


Sebagai catatan, penipuan  berkedok hadiah merupakan modus yang 


paling banyak diterima korban  sekaligus paling banyak memakan 


korban di antara korban . Mengirim pesan penipuan  melalui SMS 


memang berbiaya murah, jangkauannya paling luas dibanding medium 


lain, dan sangat mudah karena merupakan fitur sangat sederhana pada 


ponsel. 


Di bawah ini adalah gambar yang menunjukkan pesan atau modus 


penipuan  dan medium yang paling sering digunakan untuk 


mengirimkannya



FGD yang dilakukan bersama para korban menunjukkan, kasus penipuan  


berkedok hadiah terutama dilakukan melalui SMS yang diikuti dengan 


panggilan telepon.


“Saya mendapat SMS, lalu saya ditelepon bahwa saya menang hadiah. Saat itu 


seperti terhipnotis, diarahkan ke ATM, dan dipesan supaya jangan sampai 


putus koneksi, instruksinya sangat rapat. Tapi ternyata saldo ATM saya kosong 


lalu diminta pinjam ke teman. Saya pun pinjam 100 ribu ke teman kantor 


bagian keuangan. Saya dipantau dan dipandu terus, lalu saya transfer pulsa 


100 ribu ke penipu ulung . Saat diminta transfer lagi, saya baru sadar bahwa ini 


penipuan . Setelah itu saya masih sering menerima SMS bahwa saya menang 


hadiah dari banyak nomor.” (DE, 44 tahun, FGD, 9 April 2022)

Permasalahan lain dengan nomor seluler juga diuraikan oleh DE sebagai 


berikut. 


“Saya baru saja beli nomor seluler baru, langsung masuk banyak SMS dan 


(panggilan) telepon tagihan yang ditujukan ke pemilik nomor lama. Padahal 


saya beli nomor itu di counter secara resmi, dan melakukan registrasi sesuai 


ketentuan Kominfo. Sebaiknya operator tidak menjual kembali nomor seluler 


yang sudah tidak aktif karena bisa jadi pemilik lama itu bermasalah.”


Sementara itu, penipuan  berkedok krisis keluarga terutama dilakukan 


melalui panggilan telepon. Salah satu upaya penipuan  dialami oleh 


seorang informan FGD, yang bercerita:

Saya dihubungi orang tua di kampung bahwa mereka menerima telepon di 


rumah (landline), bahwa kakak saya kecelakaan, masuk rumah sakit. Orang tua 


diminta kirim 20 juta, jika tidak kirim maka kakak saya tidak ditangani. 


Sebelumnya, kakak saya ditelepon orang yang mengaku polisi, bahwa kakak saya 


terlibat narkoba. Sehingga kakak saya mematikan ponselnya, karena tidak mau 


diteror. Karena tidak bisa menghubungi kakak, saya menelepon teman kakak saya 


untuk memastikan, ternyata kakak saya ada di kos, baik-baik saja.” (LD, 29 


tahun, FGD, 9 April 2022)


Medium terbanyak kedua adalah media sosial, yang mencakup platform 


digital seperti YouTube, Facebook, Instagram, Twitter, TikTok, dan lain-lain. 


Mayoritas pesan atau modus penipuan  yang dikirim melalui media sosial 


adalah jual-beli barang dan jasa dengan sebagian besar pelaku penipuan  


adalah penjual, meski kadang ada pembeli juga yang menipu, seperti 


mengirimkan bukti transfer palsu dan penjual tidak melakukan 


pengecekan secara baik.

Jadi dalam jenis penipuan  jual-beli, barang atau jasa yang ditransaksikan 


bisa tidak datang ke pembeli, tidak sesuai dengan yang dijanjikan di media 


sosial, dan uang tidak sampai ke penjual.

Salah satu korban penipuan  jual-beli yang dilakukan melalui media sosial 


dialami oleh AF, yang menceritakan pengalamannya dalam FGD:

“Saya membeli sandal di akun Instagram, yang followers dan testimoninya 


banyak. Sehingga saya percaya saja. Setelah saya transfer 500 ribu, saya 


diminta transfer lagi 50 ribu karena ini jasa titip. Setelah berhari-hari, barang 


tak kunjung tiba.” (AF, 18 tahun, FGD, 9 April 2022)

Pengalaman lain diceritakan oleh DE, yang melibatkan pengiriman pesan 


melalui Instagram dan WhatsApp.

“Ada akun IG berjualan sepeda, muncul melalui sponsored content, dan menawarkan 


giveaway atau hadiah sepeda juga. Jika mau mendapatkan silakan DM. Saya pun kirim DM, 


lalu diminta pindah ke WA, dan diminta transfer ongkir 250 ribu. Setelah itu ya si penipu ulung  


menghilang, sepeda tidak datang. Banyak sekali penipuan  jual beli di IG. Followers, 


testimoni, dan komen yang banyak itu tidak menjamin.”(DE, 44 tahun, FGD, 9 April 2022)

Jenis penipuan  yang paling banyak dilakukan melalui aplikasi chat adalah 


pengiriman tautan/link yang berisi malware/virus, yang bisa digunakan 


oleh pelaku kejahatan untuk melakukan phishing atau mengumpulkan 


data pribadi korban. Selain itu, korban  juga menyatakan bahwa 


penipuan  berkedok amal atau bantuan sosial juga sering mereka terima 


melalui aplikasi chat, yang mencakup antara lain platform WhatsApp, 


Telegram, dan LINE

Di dalam FGD bersama para korban penipuan  digital, salah satu peserta 


menceritakan pengalamannya menerima teror melalui WhatsApp dari 


penyedia pinjaman online, yang ia tidak tahu apakah itu pinjol legal atau 


ilegal.

Teman saya berutang ke pinjol, dan menurut orang pinjol itu, saya dijadikan 


jaminan. Kalau teman saya tidak membayar, saya akan diteror terus. Teman saya 


tidak bisa saya hubungi, jadi terpaksa saya block nomor pinjol itu, karena pesan 


dan teleponnya sungguh mengganggu.”(LD, 29 tahun, FGD, 9 April 2022)

penipuan  ini terjadi saat korban sedang mengakses situs web apa pun, 


seperti laman berita dan toko. Lalu di laman ini  korban mengeklik 


tautan yang berisi malware/virus maupun situs web palsu, yang bisa 


mencakup informasi pekerjaan palsu, jual-beli palsu, hingga pemerasan. 


Jadi pengiriman tautan/link yang berisi malware/virus biasanya berkaitan 


dengan keberadaan situs web/aplikasi palsu.

Meski banyak layanan email gratis seperti Google Mail dan Yahoo Mail 


sudah menyediakan fasilitas untuk menyaring spam, email masih menjadi 


salah satu medium dalam pengiriman pesan penipuan  digital. Dua modus 


penipuan  yang paling sering diterima korban  melalui email adalah 


tautan/link yang berisi malware/virus dan lowongan pekerjaan palsu, yang 


selengkapnya bisa dilihat di tabel berikut ini.

Salah satu korban penipuan  melalui email terkait lowongan pekerjaan 


palsu adalah SF, yang menceritakan kisahnya sebagai berikut:


“Saya dapat email untuk wawancara pekerjaan dari orang yang mengaku dari 


sebuah perusahaan besar. Saya ikuti semua prosedurnya, persyaratannya saya 


kirim. Lalu saya disuruh berangkat ke Jakarta. Supaya bisa cepat, saya diminta 


memakai  pesawat terbang dan harus memakai  agen travel yang mereka 


tentukan. Jadi saya harus membeli tiket di situ. Setelah saya transfer, tiketnya tidak 


pernah dikirim ke saya. Lalu saya hubungi nomor telepon yang diberikan lewat 


email, tapi ternyata sudah tidak aktif.” (SF, 27 tahun, FGD, 9 April 2022

 Lokapasar sudah menerapkan berbagai cara untuk mencegah penipuan  


jual-beli di platformnya, seperti pemblokiran dan pemberian kredibilitas 


yang buruk dari pembeli bagi toko yang menjual barang yang 


kenyataannya berbeda dengan yang ditawarkan. Hal ini membuat kasus 


penipuan  di lokapasar sangat sedikit, hanya 0,8% dari seluruh kasus 


penipuan  yang dialami korban  survei.


Modus penipuan  paling dominan di platform ini berupa penipuan  jual￾beli, yang diikuti dua modus yang terkait erat dengan isu perlindungan 


data pribadi, yaitu pembajakan/peretasan akun dompet digital (e￾wallet)/rekening bank/kartu kredit dan pencurian identitas pribadi (nomor 


KTP, nomor rekening, akun media sosial, akun email, dll).

 Lokapasar merupakan salah satu medium digital yang penggunanya 


meningkat pesat selama pandemi.

Data global menunjukkan, negara kita  menempati posisi ketiga sebagai 


negara dengan pengguna aplikasi lokapasar di ponsel Android terbesar di 


dunia. Jumlah ini meningkat 70% pada periode Januari 2020 hingga Juli 


2021 (Riyanto, 2021). 


Meski jumlah penipuan  digital di lokapasar sangat sedikit dibanding 


medium lainnya, melihat tren peningkatan penggunanya, langkah 


pencegahan perlu terus dilakukan oleh platform lokapasar maupun dari 


sisi konsumen

Untuk penipuan  yang dilakukan melalui situs web atau aplikasi game (0,5 


dari total pesan penipuan  yang diterima korban ), modus terbanyak 


yang dilakukan melaluinya adalah situs web/aplikasi palsu, yang terkait 


erat dengan modus terbanyak setelahnya yaitu pengiriman tautan/link


yang berisi malware/virus. Situs web palsu dan pengiriman malware/virus 


ini biasanya dilakukan penipu ulung  untuk melakukan phishing atau 


mengumpulkan data pribadi korban yang bermuara pada tindak 


kriminalitas lain seperti pengambilalihan akun (bank, media sosial, 


dompet elektronik) milik korban.

Game online adalah sebuah industri yang secara global bernilai triliunan 


dolar AS, dengan jenisnya sangat beragam mulai dari permainan kasino di 


laman hingga aplikasi di ponsel, termasuk e-sport. Dengan banyaknya 


perputaran uang di sana, yang meningkat selama pandemi (King et al., 


2020), penipu ulung  pun melakukan berbagai aksi untuk mengambil untung dari 


para pemain. 


Hal yang biasa terjadi melalui penipuan  pembayaran, mengingat game 


perlu dilakukan dengan pembelian koin atau “mata uang” lain dan ada 


banyak tawaran di dalamnya untuk kemudahan pemain. penipuan  


pembayaran itu biasanya dilakukan dengan menawarkan koin atau upaya 


untuk mengambil alih kartu kredit pemain (Kount, n.d.). 


Meski demikian, game adalah sebuah area kegiatan daring yang kurang 


banyak diteliti di negara kita , terutama dalam kaitannya dengan penipuan

Oleh karena itu, berdasar data yang sudah ada misalnya tentang jenis￾jenis game yang populer yang di negara kita  (Aninsi, 2021) dan jumlah 


penggunanya yang terus meningkat, perlu ada upaya khusus untuk 


meneliti penipuan  digital di jagat game.

Survei ini menunjukkan, dompet elektronik merupakan medium digital 


yang paling aman dari penipuan  digital dibandingkan medium lainnya, 


yakni hanya 0,4% modus penipuan  yang dilakukan melalui dompet 


elektronik. Ini bisa disebabkan oleh berlapisnya fitur keamanan yang 


dilakukan oleh platform dompet elektronik untuk memastikan 


operasional akun sungguh dilakukan oleh pemilik akun yang 


bersangkutan, seperti pengiriman one time password (OTP) ke email, 


aplikasi chat, atau nomor telepon seluler pemilik akun.

Meski menempati posisi sebagai medium yang paling aman, aksi 


kejahatan masih terjadi terhadap pengguna dompet elektronik, terutama 


dalam bentuk peretasan dan pencurian data pribadi. Salah satu kasusnya 


dialami oleh AP, yang menceritakan pengalamannya dalam FGD.

Kasus peretasan akun dompet elektronik ini unik dan sangat jarang 


terungkap dalam literatur maupun pemberitaan media. 


“Saldo e-wallet saya berkurang karena dipakai orang lain untuk memesan makanan, 


yang terjadi dua kali, masing-masing sebesar sekitar Rp150 ribu. Setelah kejadian 


pertama, saya melaporkan kasus pencurian itu ke pegawai e-wallet, kebetulan saya 


kenal humasnya. Lalu kerugian itu diganti. Namun, kemudian, hal seperti itu terjadi 


lagi, dan menurut transaksinya, uang itu dipakai untuk membeli makanan yang 


alamat penerimanya sama dengan kejadian pertama. Saya melaporkan kasus 


kedua ini ke e-wallet, tapi kali ini tidak ada balasan dan tidak ada penggantian 


kerugian. Teman saya juga sudah tidak bekerja di sana.” (AP, 42 tahun, FGD, 12 


Februari 2022)

Bab ini mengulas korban penipuan  digital yang dideskripsikan dari 


penggabungan temuan dan analisis data kuantitatif (hasil survei daring) 


dan data kualitatif (hasil FGD daring). Sistematika penjelasannya dimulai 


dari bagian yang menyajikan presentasi korban  survei yang pernah 


dan tidak pernah menjadi korban, termasuk perjalanan umum sehingga 


bisa terjebak sebagai korban yang dipelajari dari kisah para peserta dan 


korban  survei yang disampaikan dalam FGD. 


Bagian berikutnya adalah deskripsi temuan dari modus penipuan  digital 


berikut korban yang dijeratnya. Ini diikuti analisis silang terhadap korban 


penipuan  digital dan kategori usia, jumlah pendapatan, dan tingkat 


pendidikan. Harapannya, bab ini dapat memberikan ulasan lengkap 


terhadap kondisi korban penipuan  digital yang ditemukan riset ini

  Dari total 1.700 korban  survei, sebanyak 1.132 korban  (66,6%) 


mengaku pernah menjadi korban penipuan  digital. Sedangkan 568 


korban  (33,4%) menyatakan tidak pernah menjadi korban. Perbedaan 


jumlah yang cukup signifikan ini mengindikasikan bahwa mayoritas 


korban  yang menerima pesan penipuan  digital juga terjerat sebagai 


korban.

Ry (22 tahun), salah satu peserta dalam FGD (12 Februari 2022) yang 


dilakukan sebelum survei untuk mengetahui cara mengatasi penipuan  


digital dari perspektif informan yang hampir dan pernah menjadi korban, 


mengaku mendapatkan SMS yang diikuti dengan telepon selang 


beberapa menit setelahnya. Sementara itu, AR (24 tahun) dalam FGD yang 


sama (12 Februari 2022) mengaku justru langsung ditelepon oleh si 


penipu ulung . 


korban  LD (29 tahun, FGD, 9 April 2022) asal Lampung berkata bahwa 


orang tua dan kakak kandungnya pada waktu yang bersamaan menjadi 


target dari penipu ulung  melalui telepon. Sedangkan IY (35 tahun, FGD, 9 April 


2022), korban  survei asal Sulawesi Barat bercerita bahwa penipuan  


digital yang diterima olehnya dan rekannya sama-sama bermula dari SMS 


dari nomor yang tidak mereka kenal. 


FGD juga mengungkap proses yang umum dialami oleh peserta dan 


korban  survei hingga menjadi korban penipuan  digital. Sejumlah 


faktor menjadi penyebabnya, antara lain kondisi psikologis yang 


diciptakan penipu ulung  salah satunya melalui terciptanya rasa yakin semu 


tentang kedekatan personal, desakan kebutuhan atau solusi yang 


mendesak, tergiur dengan macam-macam modus seperti iming-iming 


hadiah, jaminan barang atau jasa yang lebih bagus tapi harganya lebih 


murah, iklan di media sosial yang dianggap sebagai iklan terpercaya, 


tertipu penggunaan identitas palsu atau menyerupai aslinya termasuk 


mencatut identitas nama atau lembaga tertentu, serta rasa empati yang 


tergerak membantu dalam kasus penipuan  berkedok amal atau bantuan 


sosial.


Salah satu ilustrasi manipulasi psikis ini ditemukan pula dalam literatur 


terkait penipuan  berkedok asmara yang juga terjadi di negara kita . James 


Daniel Sinaga adalah salah satu pelaku yang menipu hingga puluhan juta 


rupiah dengan modus ini melalui aplikasi kencan online (Inez, 2022). 


Korban yang kerap terjer