prinsip sebagaimana diuraikan di atas, terutama yang terakhir, melahirkan
suatu prinsip yang lain bahwa proses peradilan dalam perkara pidana harus
sampai pada kebenaran materiil, suatu kebenaran yang di dalamnya tidak ada
lagi keraguan. Dari prinsip yang demikian lahir pula prinsip dalam proses peradilan
pidana yaitu, “lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada menjatuhkan
pidana kepada seseorang yang tidak bersalah”.
Di dalam ungkapan ini ada makna yang dalam, bahwa saat
pengadilan menjatuhkan putusan yang menyatakan seseorang bersalah dan
sebab itu dijatuhi pidana haruslah benar-benar didasarkan pada suatu fakta
hukum yang diyakini sebagai suatu kebenaran. Kalau tidak demikian, maka
akan terjadi bahwa negara melalui pengadilan pidana telah melanggar hak asasi
manusia, padahal secara konstitusional negara melalui proses peradilan justru
harus melindungi hak asasi manusia (vide Pasal 24 ayat (1) UUD 1945).
Kewajiban negara untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia
sesuai prinsip negara hukum yang demokratis mengharuskan pelaksanaan hak
asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan (vide Pasal 28I ayat (5) UUD 1945). Hukum acara pidana yaitu
implementasi dari penegakan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai
ketentuan konstitusional dalam UUD 1945. Hal demikian sesuai pula dengan
prinsip negara hukum yang demokratis, yaitu due process of law.
-- 151150 -
Terkait dengan penegakan dan perlindungan hak asasi manusia yang
juga yaitu hak konstitusional berdasarkan UUD 1945, maka dalam proses
peradilan pidana yang dialami seseorang haruslah mendapatkan kepastian hukum
yang adil (vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945). Dalam ini ditekankan bahwa
kepastian hukum yang acapkali mendominasi suatu proses peradilan diberikan
syarat yang fundamental, yaitu keadilan yang menjadi kebutuhan dasar bagi
setiap insan, termasuk saat menjalani proses peradilan. sebab itulah pentingnya
diatur peninjauan kembali susaha setiap orang dalam proses peradilan pidana
yang dijalaninya tetap dapat memperoleh keadilan, bahkan saat putusan telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap dengan alasan tertentu yang secara
umum terkait dengan keadilan.
Berdasarkan alasan-alasan PK sebagaimana diuraikan di atas, ada
satu alasan terkait dengan terpidana, sedangkan kedua alasan lainnya terkait
dengan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Alasan satu-satunya
yang terkait dengan terpidana yaitu menyangkut peristiwa yang menguntungkan
terpidana berupa keadaan baru (novum) yang manakala ditemukan saat proses
peradilan berlangsung putusan hakim diyakini akan lain (Pasal 263 ayat (2) huruf
a KUHAP).
Oleh sebab itu dan sebab terkait dengan keadilan yang yaitu hak
konstitusional atau hak asasi manusia bagi seseorang yang dijatuhi pidana, selain
itu pula sebab kemungkinan keadaan baru (novum) dapat ditemukan kapan saja,
tidak dapat ditentukan secara pasti kapan waktunya, maka adilkah manakala
PK dibatasi hanya satu kali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 268 ayat (3)
KUHAP? Apa sesungguhnya makna keadilan sebagai hak konstitusional bagi
seseorang yang terpenuhinya yaitu kewajiban negara, jika negara justru
menutupnya dengan ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP?
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan ini di atas, MK
selanjutnya akan mempertimbangkan apakah dalil para pemohon bahwa Pasal 268
ayat (3) KUHAP yang menyatakan, “Permintaan peninjauan kembali atas suatu
putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja” bertentangan dengan UUD 1945.
-- 153152 -
usaha hukum luar biasa PK secara historis-filosofis yaitu usaha
hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana. Menurut MK, usaha
hukum PK berbeda dengan banding atau kasasi sebagai usaha hukum biasa.
usaha hukum biasa harus dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum sebab
tanpa kepastian hukum, yaitu dengan menentukan limitasi waktu dalam pengajuan
usaha hukum biasa, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tentu
akan melahirkan ketidakadilan dan proses hukum yang tidak selesai. Dengan
demikian, ketentuan yang menjadi syarat dapat ditempuhnya usaha hukum biasa
di samping terkait dengan kebenaran materiil yang hendak dicapai, juga terkait
pada persyaratan formal yaitu terkait dengan tenggang waktu tertentu setelah
diketahuinya suatu putusan hakim oleh para pihak secara formal pula.
Adapun usaha hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan
dan kebenaran materiil. Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan
formalitas yang membatasi bahwa usaha hukum luar biasa (PK) hanya dapat
diajukan satu kali, sebab mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus,
ada keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan yang pada saat PK
sebelumnya belum ditemukan.
Adapun penilaian mengenai sesuatu itu novum atau bukan novum,
yaitu kewenangan Mahkamah Agung (MA) yang memiliki kewenangan
mengadili pada tingkat PK. Oleh sebab itu, yang menjadi syarat dapat ditempuhnya
usaha hukum luar biasa yaitu sangat materiil atau substansial dan syarat yang
sangat mendasar yaitu terkait dengan kebenaran dan keadilan dalam proses
peradilan pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (2a) KUHAP,
yang menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
“jika ada keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa
jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,
hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala
tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau
terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.”
-- 153152 -
Karakter kebenaran mengenai peristiwa yang menjadi dasar dalam
putusan perkara pidana yaitu kebenaran materiil berdasarkan pada bukti yang
dengan bukti-bukti ini meyakinkan hakim, yaitu kebenaran yang secara
rasional tidak ada lagi keraguan di dalamnya sebab didasarkan pada bukti
yang sah dan meyakinkan. Oleh sebab itu, dalam perkara pidana, bukti yang
dapat diajukan hanya ditentukan batas minimalnya, tidak maksimalnya. Dengan
demikian, untuk memperoleh keyakinan dimaksud hukum harus memberi
kemungkinan bagi hakim untuk membuka kesempatan diajukannya bukti yang
lain, sampai dicapainya keyakinan dimaksud.
Sejalan dengan karakter kebenaran ini di atas, sebab secara
umum, KUHAP bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dari kesewenang-
wenangan negara -terutama yang terkait dengan hak hidup dan kebebasan sebagai
hak yang sangat fundamental bagi manusia- sebagaimana ditentukan dalam UUD
1945, maka dalam mempertimbangkan PK sebagai usaha hukum luar biasa
yang diatur dalam KUHAP haruslah dalam kerangka yang demikian, yakni untuk
mencapai dan menegakkan hukum dan keadilan. usaha pencapaian kepastian
hukum sangat layak untuk diadakan pembatasan, namun usaha pencapaian
keadilan hukum tidaklah demikian, sebab keadilan yaitu kebutuhan manusia
yang sangat mendasar, lebih mendasar dari kebutuhan manusia tentang kepastian
hukum. Kebenaran materiil mengandung semangat keadilan sedangkan norma
hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan
asas keadilan.
Oleh sebab itu, usaha hukum untuk menemukan kebenaran materiil dengan
tujuan untuk memenuhi kepastian hukum telah selesai dengan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan menempatkan status hukum
terdakwa menjadi terpidana. ini dipertegas dengan ketentuan Pasal
268 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali
atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan
dari putusan ini .
Menimbang bahwa Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
-- 155154 -
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu warga
demokratis.”
Menurut MK, pembatasan yang dimaksud oleh Pasal 28J ayat (2) UUD
1945 ini tidak dapat diterapkan untuk membatasi pengajuan PK hanya
satu kali. Alasannya, sebab pengajuan PK dalam perkara pidana sangat terkait
dengan hak asasi manusia yang paling mendasar, yaitu menyangkut kebebasan
dan kehidupan manusia. Lagi pula, pengajuan PK tidak terkait dengan jaminan
pengakuan, serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan tidak
terkait pula dengan pemenuhan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam warga
yang demokratis.
Menimbang bahwa benar dalam ilmu hukum ada asas litis finiri
oportet, yakni setiap perkara harus ada akhirnya, namun menurut MK, hal itu
berkait dengan kepastian hukum. Sementara untuk keadilan dalam perkara
pidana, asas ini tidak secara rigid dapat diterapkan sebab dengan hanya
membolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi manakala ditemukan
adanya keadaan baru (novum). Hal itu justru bertentangan dengan asas
keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman negara kita
untuk menegakkan hukum dan keadilan (vide Pasal 24 ayat (1) UUD 1945).
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan ini di atas, menurut
MK, permohonan para pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal
268 ayat (3) KUHAP yaitu beralasan menurut hukum.
Selain memperluas objek praperadilan dan usaha hukum, MK juga
memaknai bukti yang menjadi dasar proses hukum. Ada tiga frasa yang
dipersoalkan, yakni bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang
cukup. MK menyatakan, pasal-pasal yang memuat tentang bukti, yakni pasal 1
angka 2, 14; pasal 17; dan pasal 21 ayat (1); bertentangan dengan UUD 1945,
sepanjang tidak dimaknai bahwa bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang
-- 155154 -
cukup yaitu minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Pasal
184 KUHAP mengatur lima jenis alat bukti yang bisa dijadikan dasar proses hukum
terhadap seseorang. Yakni, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa. Berdasar putusan ini , penyidik harus mendapatkan
minimal dua alat bukti yang terdaftar dalam pasal itu.
G. UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEwarga AN
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pewarga an
menyatakan bahwa, “sistem pewarga an diselenggarakan dalam rangka
membentuk Warga Binaan Pewarga an agar menjadi manusia seutuhnya,
menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengurangi tindak pidana
sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan warga , dapat aktif berperan
dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik
dan bertanggung jawab.”
Selain itu tujuan penyelenggaraan sistem pewarga an yaitu
pembentukan warga binaan menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,
memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana, kembali kewarga , aktif
dalam pembangunan, hidup wajar sebagai warga negara dan bertanggungjawab.
Sedangkan fungsinya menjadikan warga binaan menyatu (integral) dengan
sehat dalam warga serta dapat berperan bebas dan bertanggungjawab.
Dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Pewarga an, hak-hak narapidana
mencakup:
1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
5. Menyampaikan keluhan;
6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa
lainnya yang tidak dilarang;
7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
8. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu
-- 157156 -
lainnya;
9. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga;
11. Mendapatkan pembebasan bersyarat;
12. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
13. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
H. UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN
MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM
Salah satu hak asasi manusia yang penting dan fundamental yaitu hak
menyampaikan pendapat atau pikiran secara terbuka di muka umum. Dikatakan
penting dan fundamental sebab terkait dengan kemampuan alamiah manusia
yang oleh Tuhan diberi keistimewaan, yaitu kemampuan berpikir dan berbicara.
Hak menyampaikan pendapat telah tegas dijamin dalam Pasal 19 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia yang berbunyi, “setiap orang berhak atas kebebasan
menyampaikan dan mengeluarkan pendapat, dalam hak ini termasuk kebebasan
memiliki pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari,
menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun
juga dan dengan tidak memandang batas-batas”. Dijamin juga dalam Pasal 28
E ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Atas dasar itu semua, pemerintah mengesahkan Undang-Undang No.
9 Tahun 1998, yang dalam pertimbangannya disebutkan bahwa kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka umum yaitu hak asasi manusia yang dijamin
oleh UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia; dan kemerdekaan
setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yaitu
perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan berwarga , berbangsa,
dan bernegara.
-- 157156 -
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 menegaskan,
“setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan
pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam
kehidupan berwarga , berbangsa, dan bernegara.” Dalam Pasal 5 disebutkan
bahwasanya warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak
untuk: (a) mengeluarkan pikiran secara bebas; (b). memperoleh perlindungan
hukum. Sementara Pasal 6 memuat pembatasan-pembatasan, yaitu bahwa
warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk:
a. Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain;
b. Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum;
c. Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
d. Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan
e. Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
f. Bentuk dan tata cara penyampaian pendapat di muka umum berupa
(unjuk rasa atau demonstrasi; pawai; rapat umum; dan atau mimbar
bebas).
Penyampaian pendapat di muka umum bisa dilakukan dimana saja,
kecuali:148 di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer,
rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan
darat, dan obyek-obyek vital nasional; dan pada hari besar nasional.
Undang-Undang ini juga memuat sanksi sebagai berikut:
Pasal 15
Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dapat dibubarkan jika
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6149, Pasal 9
148 Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998.
149 Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk : a. menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain; b. menghonnati aturan-
aturan moral yang diakui umum; c. menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; d. menjaga dan menghonnati keamanan dan ketertiban umum; dan e. menjaga keutuhan
persatuan dan kesatuan bangsa.
-- 159158 -
ayat (2)150 dan ayat (3)151, Pasal 10152, dan Pasal 11153.
Pasal l6
Pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang
melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 17
Penanggung jawab pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-
undang ini dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
pidana yang berlaku ditambah dengan 1/3 (satu per tiga) dari pidana pokok.
Pasal 18
(1) Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-
halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum
yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu kejahatan.
150 Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan di tempat-tempat terbuka untuk umum. kecuali : a. di lingkungan istana kepresidenan,
tempat ibadah. instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api. terminal
angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional; b. pada hari besar nasional
151 Pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilarang membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum.
152 (1) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib
diberitahukan secara tertulis kepada Polri. (2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan. pemimpin, alau penanggungjawab kelompok.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua
puluh empat ) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat. (4) Pemberitahuan
secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam
kampus dan kegiatan keagamaan.
153 Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal l0 ayat (1) memuat : a.
maksud dan tujuan; b. tempat, lokasi, dan rute; c. waktu dan lama; d. bentuk; e. penanggung jawab;
f. nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan; g. alat peraga yang dipergunakan; dan
atau h. jumlah peserta.
-- 159158 -
I. UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS
Kebebasan pers sebagai perwujudan dari kebebasan berbicara dan
kebebasan berekspresi memiliki makna yang penting terhadap peningkatan
kualitas pemerintahan maupun kecerdasan warga nya. Dengan kebebasan
pers, pemerintah dan rakyat dapat mengetahui berbagai peristiwa atau realitas
yang sedang terjadi, maupun berbagai pendapat dan argumentasi yang acapkali
saling bertentangan.
Melalui kebebasan pers, komunikasi politik yang berupa kritikan kepada
pejabat, instansi pemerintah, maupun institusi warga sendiri dijamin
oleh negara, tanpa takut ditindak. Kebebasan pers juga menjamin semakin
terpenuhinya hak warga untuk tahu terhadap berbagai peristiwa yang sedang
terjadi sejalan dengan fungsi pers sebagai sarana manusia untuk memahami
realitas. Jika kebebasan pers mengalami tekanan, informasi yang muncul di
media massa bukan saja tidak transparan, tetapi juga informasi mengenai fakta
fakta itu menjadi tidak lengkap (premateur facts).
Dengan adanya kebebasan pers memungkinkan tumbuh kembangnya
budaya kritik dalam warga . Hal itu sekaligus yaitu sarana kontrol bagi
pemerintah agar bisa menjalankan wewenang dan tugasnya dengan baik dan
benar. Kebebasan pers memiliki jaminan konstitusional yang kuat, terutama setelah
berakhirnya kekuasaan Orde Baru, yaitu termuat dalam Pasal 28 UUD 1945 yang
berbunyi, “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Pasal 28 F
UUD 1945 menyatakan bahwa, “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,
serta berhak untuk mencari memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi dengan memakai segala jenis saluran yang
tersedia” serta dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia,
Bab VI, Pasal 20 da 21 yang isinya:
1. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
-- 161160 -
2. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
memakai segala jenis saluaran yang tersedia.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan
bahwa kemerdekaan pers yaitu salah satu wujud kedaulatan rakyat dan
menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan berwarga ,
berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan
pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 harus
dijamin dengan undang-undang. Dalam kehidupan berwarga , berbangsa,
dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat
sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, yaitu hak asasi
manusia yang sangat hakiki. Hal itu diperlukan untuk menegakkan keadilan dan
kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Dalam Pasal 2 dijelaskan bahwa kemerdekaan pers yaitu salah satu
wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan,
dan supremasi hukum. Oleh sebab itu, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak
asasi warga negara, dan karenanya terhadap pers nasional tidak dikenakan
penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.154 Untuk menjamin
kemerdekaan pers, pers nasional memiliki hak mencari, memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi. Fungsi Pers dalam negara hukum dan
demokrasi yaitu memenuhi hak warga untuk mengetahui; menegakkan
nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak
asasi manusia, serta menghormati kebinekaan; mengembangkan pendapat umum
berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; melakukan pengawasan,
kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan
umum; serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.155
Kehidupan pers nasional semenjak tahun 1998 atau setelah berakhirnya
154 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
155 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
-- 161160 -
kekuasaan Orde Baru, sudah dapat dikatakan sejalan dengan tuntutan negara
hukum, demokrasi dan hak asasi manusia sebab pers telah menikmati
kebebasannya dalam memberitakan pelbagai hal, termasuk melakukan
kritik terhadap pemerintah tanpa diliputi kekhawatiran diberangus (dibredel),
sebagaimana yang sering terjadi di era Orde Baru.
J. UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN
HAK ASASI MANUSIA
Sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia dibentuk, terlebih dahulu terbit Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 1999. Peraturan ini dibuat sebagai respon
cepat pemerintahan B.J. Habibie terhadap desakan dunia internasional untuk
mengusut dan menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada
masa pemerintahan Soeharto, khususnya pelanggaran hak asasi manusia di Timor
Timur. Namun, Perppu ini ditolak oleh DPR dalam sidang paripurna di bulan
Maret 2000. Alasannya yaitu dianggap secara konstitusional tidak memiliki
alasan kuat berkaitan dengan kegentingan yang memaksa. Subtansi yang diatur
dalam Perppu juga dianggap lemah, yaitu kurang mencerminkan rasa keadilan
sebab tidak berlaku surut (retroaktif), sehingga pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang dilakukan sebelum Perpu ini disahkan menjadi undang-undang
tidak tercakup pengaturannya.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 ini, diharapkan
dapat melindungi hak asasi manusia, baik perseorangan maupun warga ,
dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan, dan perasaan
aman baik bagi perorangan maupun warga , terhadap pelanggaran hak
asasi manusia yang berat. Selain alasan di atas, pembentukan undang-undang
ini didasarkan pula pada pertimbangan bahwa pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yaitu kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Dampak yang
ditimbulkan sangat luas --baik pada tingkat nasional maupun internasional-- dan
bukan yaitu tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP).
-- 163162 -
Alasan lainnya yaitu menimbulkan kerugian baik materiil maupun
immateriil yang memicu perasaan tidak aman, baik terhadap perseorangan
maupun warga , sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan
supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketenteraman, keadilan,
dan kesejahteraan bagi seluruh warga negara kita .
Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu pengadilan khusus yang berada
di lingkungan Pengadilan Umum156, yang berkedudukan di daerah kabupaten
atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan
Negeri yang bersangkutan. Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan
Hak Asasi Manusia berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.157 Kewenenangan Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu memeriksa
dan memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat158, serta
berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang
berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik negara kita
oleh warga negara negara kita .159
Pembatasannya yaitu bahwa Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak
berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan
belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan.160 Pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang menjadi kewenangan Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah:
1. Kejahatan genosida;161
156 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
157 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
158 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
159 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
160 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
161 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000: Kejahatan genosida sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf a yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,
kelompok agama, dengan cara : (a) membunuh anggota kelompok; (b) memicu penderitaan
fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; (c) menciptakan kondisi kehidupan
kelompok yang akan memicu kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; (d)
memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau (e)
memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
-- 163162 -
2. Kejahatan terhadap kemanusian;162
Hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dilakukan berdasarkan ketentuan Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam hal tidak
ditentukan lain dalam undang-undang ini.163
Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,164 yang dapat membentuk
tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur
warga . Sementara penyidikan dilakukan oleh Jaksa Agung,165 yang juga
dapat mengangkat Penyidik Ad Hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan
atau warga . Penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang
berat dilakukan oleh Jaksa Agung, yang dalam pelaksanaan tugasnya dapat
mengangkat Penuntut Umum Ad Hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan
atau warga .166
Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan
untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang
cukup.167 Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang
162 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000: Kejahatan terhadap kemanusiaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas atau sistematlk yang diketahuinya bahwa serangan ini
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: (a) pembunuhan; (b) pemusnahan; (c)
perbudakan; (d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; (e) perampasan kemerdekaan
atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas)
ketentuan pokok hukum intemasional; (f) penyiksaan; (g) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran
secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasaan seksual lain yang setara; (h) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis
kelamin atau alasan lain yang telah di,akui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional; (i) penghilangan orang secara paksa; atau (j) kejahatan apartheid.
163 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
164 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
165 Pasal 21 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
166 Pasal 23 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
167 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
-- 165164 -
melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan
dan penuntutan.168 Untuk memeriksa perkara pelanggaran hak asasi manusia
yang berat dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia yang
berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan Hak
Asasi Manusia yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang Hakim Ad Hoc. 169 Acara
Pemeriksaan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, diperiksa
dan diputus oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam waktu paling lama 180
(seratus delapan puluh) hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan
Hak Asasi Manusia.170
Dalam undang-undang ini diatur juga bahwa setiap korban dan saksi dalam
pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan
mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang
wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara
cuma-cuma.171 Terkait pertanggungjawaban, undang-undang menentukan bahwa
Pasal 42 ayat (1): Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak
sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana
yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang dilakukan
oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif,
atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana
ini yaitu akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara
patut, yaitu172 :
a. Komandan militer atau seseorang ini mengetahui atau atas
dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan
ini sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran
hak asasi manusia yang berat; dan
b. Komandan militer atau seseorang ini tidak melakukan tindakan
yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk
168 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
169 Pasal 27 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
170 Pasal 31 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
171 Pasal 34 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
172 Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
-- 165164 -
mencegah atau menghentikan perbuatan ini atau menyerahkan
pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Begitu pula seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung
jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya
yang efektif, sebab atasan ini tidak melakukan pengendalian terhadap
bawahannya secara patut dan benar, yaitu:173
a. Atasan ini mengetahui atau secara sadar mengabaikan
informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang
melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat; dan
b. Atasan ini tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan
dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau
menghentikan perbuatan ini atau menyerahkan pelakunya
kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan
K. UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa setiap orang berhak
atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda
yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang yaitu hak
asasi. Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, menyatakan bahwa setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari
segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, sebab
173 Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
-- 167166 -
yaitu pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan yang harus dihapus. Lebih-lebih korban kekerasan dalam rumah
tangga kebanyakan yaitu perempuan dan anak, yang harus mendapat
perlindungan dari negara dan/atau warga agar terhindar dan terbebas
dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Dewasa ini tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran
rumah tangga acapkali terjadi. Dengan demikian, dibutuhkan perangkat hukum
yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan
dalam rumah tangga yang dirumuskan oleh undang-undang ini yaitu setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.174
Pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau
tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan
dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga.
Pembaruan hukum ini diperlukan sebab undang-undang yang ada belum
memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum warga .
Oleh sebab itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga secara tersendiri sebab memiliki kekhasan, walaupun secara
umum di dalam KUHP telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta
penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan.
Asas dan tujuan dari penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
yaitu penghormatan hak asasi manusia; keadilan dan kesetaraan gender; non-
diskriminasi; serta perlindungan korban. Undang-undang juga menjamin hak-hak
korban untuk mendapatkan:
1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun
174 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.
-- 167166 -
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
5. Pelayanan bimbingan rohani.175
Undang-undang ini mencantumkan ketentuan pidana sebagai berikut:
Pasal 44
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memicu
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp
30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memicu
matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh
lima juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 45
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana
175 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.
-- 169168 -
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh
enam juta rupiah).
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf
b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit
Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47
memicu korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-
kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak
berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau memicu
tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun
atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
-- 169168 -
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a.
menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); b. menelantarkan orang lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan
pidana tambahan berupa: a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan
untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun
pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; b. penetapan pelaku mengikuti
program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Pasal 51
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat
(4) yaitu delik aduan.
Pasal 52
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat
(2) yaitu delik aduan.
Pasal 53
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang
dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yaitu delik aduan.
L. UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 200 6 TENTANG
KEWARGANEGARAAN REPUBLIK negara kita
Hak kewarganegaraan yaitu salah satu hak asasi manusia yang
diatur dalam Pasal 28D ayat 4 dan Pasal 15 ayat (1) Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia yang tegas menyebutkan, setiap orang berhak atas
sesuatu kewarganegaraan. sebab itulah, hukum hak asasi manusia tentang
kewarganegaraan di banyak negara, termasuk di negara kita , terus diperbaiki
sejalan dengan tuntutan yang menempatkan status kewarganegaraan sebagai
hak asasi manusia.
-- 171170 -
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan, dipaparkan bahwa warga negara yaitu salah satu unsur
hakiki dan unsur pokok suatu negara. Status kewarganegaraan menimbulkan
hubungan timbal balik antara warga negara dan negaranya. Setiap warga
negara memiliki hak dan kewajiban terhadap negaranya. Sebaliknya, negara
memiliki kewajiban memberi perlindungan terhadap warga negaranya.
Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik negara kita , ihwal kewarganegaraan
diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan
Penduduk Negara. Peraturan ini kemudian diubah dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1947 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1946 dan diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1947 tentang
Memperpanjang Waktu untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan
Kewargaan Negara negara kita dan Undang-Undang No. 11 Tahun 1948 tentang
Memperpanjang Waktu Lagi untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan
Kewargaan Negara negara kita .
Selanjutnya diatur dengan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976
tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang
Kewarganegaraan Republik negara kita . Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958
ini secara filosofis, yuridis, dan sosiologis sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan warga dan ketatanegaraan bangsa negara kita . Secara
filosofis, undang-undang ini masih mengandung ketentuan-ketentuan yang
belum sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain:
1. Bersifat diskriminatif;
2. Kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antarwarga
negara, serta;
3. Kurang memberi perlindungan terhadap perempuan dan anak-
anak.
Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan undang-undang
ini yaitu UUDS Tahun 1950 yang sudah tidak berlaku sejak Dekrit
-- 171170 -
Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada UUD 1945. Dalam
perkembangannya, UUD 1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin
perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak warga negara. Secara
sosiologis, undang-undang ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan
dan tuntutan warga negara kita sebagai bagian dari warga internasional
dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dan
kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan
gender. Pengaturan Kewarganegaraan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 didasarkan pada asas:
1. Perlindungan maksimum yang menentukan bahwa pemerintah
wajib memberi perlindungan penuh kepada setiap warga negara
negara kita dalam keadaan apapun baik di dalam maupun di luar
negeri;
2. Persamaan di dalam hukum dan pemerintahan yaitu asas yang
menentukan bahwa setiap warga negara negara kita mendapatkan
perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan;
3. Non diskriminatif yaitu asas yang tidak membedakan perlakuan
dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara
atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender;
4. Pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yaitu
alas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga
negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi
manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 jauh lebih baik dalam mengatur
status kewarganegaraan sebagai hak asasi manusia, setidak-tidaknya ketentuan
tentang siapa saja yang bisa menjadi warganegara negara kita lebih terbuka di
banding peraturan sebelumnya. Pasal 4 menyebutkan bahwa warga negara
negara kita adalah:
1. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/
atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik negara kita dengan
-- 173172 -
negara lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi warga
negara negara kita ;
2. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan
ibu warga negara negara kita ;
3. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga
negara negara kita dan ibu warga negara asing;
4. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga
negara asing dan ibu warga negara negara kita ;
5. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu warga
negara negara kita , tetapi ayahnya tidak memiliki kewarganegaraan
atau hukum negara asal ayahnya tidak memberi kewarganegaraan
kepada anak ini ;
6. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah
ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya
warga negara negara kita ;
7. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga
negara negara kita ;
8. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga
negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga negara negara kita
sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak ini
berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;
9. Anak yang lahir di wilayah negara Republik negara kita yang pada
waktu lahir tidak belas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
10. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik
negara kita selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
11. Anak yang lahir di wilayah negara Republik negara kita jika ayah
dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui
keberadaannya;
12. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik negara kita
dari seorang ayah dan ibu warga negara negara kita yang sebab
ketentuan dari negara tempat anak ini dilahirkan memberi
-- 173172 -
kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;
13. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia
sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Pasal 5 ayat (1) menyebutkan, “anak warga negara negara kita yang lahir
di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum
kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap
diakui sebagai warga negara negara kita .” Ayat selanjutnya, dinyatakan bahwa,
“anak warga negara negara kita yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara
sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan
tetap diakui sebagai warga negara negara kita .”
Dalam hal status Kewarganegaraan Republik negara kita terhadap anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf 1, dan Pasal
5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, maka setelah berusia, 18 (delapan
belas) tahun atau sudah kawin anak ini harus menyatakan memilih salah
satu kewarganegaraannya. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan dibuat
secara tertulis dan disampaikan kepada pejabat dengan melampirkan dokumen
sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan disampaikan dalam waktu
paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau
sudah kawin.176 Di samping itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 memuat
beberapa pasal ketentuan pidana, yaitu:
Pasal 36
(1) Pejabat yang sebab kelalaiannya melaksanakan tugas dan kewajibannya
sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini sehingga memicu
seseorang kehilangan hak untuk memperoleh atau memperoleh kembali
dan/atau kehilangan Kewarganegaraan Republik negara kita dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
176 Pasal 6 ayat (1, 2, 3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
-- 175174 -
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sebab kesengajaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun.
Pasal 37
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberi keterangan palsu,
termasuk keterangan di atas sumpah, membuat surat atau dokumen palsu,
memalsukan surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh memakai keterangan atau surat atau dokumen yang dipalsukan
untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik negara kita atau memperoleh
kembali Kewarganegaraan Republik negara kita dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun
dan denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja memakai keterangan palsu,
termasuk keterangan di atas sumpah, membuat surat atau dokumen palsu,
memalsukan surat atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Pasal 38
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dilakukan
korporasi, pengenaan pidana dijatuhkan kepada korporasi dan/atau
pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi.
(2) Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana
denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan dicabut izin
usahanya.
(3) Pengurus korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
-- 175174 -
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
M. UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Dalam konsideran Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dijelaskan bahwa,
“setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hak-hak asasi
sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undang-
undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
negara kita Tahun 1945, sebab itu tindakan perdagangan orang, khususnya
perempuan dan anak, bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan
melanggar hak asasi manusia, sehingga harus diberantas.”
Begitu juga dalam bagian penjelasan undang-undang ini , dijelaskan
dengan rinci bahwa perdagangan orang yaitu bentuk modern dari perbudakan
manusia, serta salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan
martabat manusia. Maraknya perdagangan orang di berbagai negara, termasuk
negara kita dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi
perhatian negara kita sebagai bangsa, warga internasional, dan anggota
organisasi internasional, terutama PBB.
Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak yaitu kelompok
yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban
diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi
seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja
paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu.
Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan,
pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak,
menjerumuskan, atau memanfaatkan orang ini dalam praktik eksploitasi
dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang
yang memegang kendali atas korban.
-- 177176 -
Bentuk-bentuk eksploitasi meliputi kerja paksa atau pelayanan paksa,
perbudakan, dan praktik-praktik serupa perbudakan, kerja paksa atau pelayanan
paksa yaitu kondisi kerja yang timbul melalui cara, rencana, atau pola yang
dimaksudkan agar seseorang yakin bahwa jika ia tidak melakukan pekerjaan
tertentu, maka ia atau orang yang menjadi tanggungannya akan menderita baik
secara fisik maupun psikis.
Perbudakan yaitu kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain.
Praktik yang serupa dengan perbudakan yaitu tindakan menempatkan seseorang
dalam kekuasaan orang lain dimana orang ini tidak mampu menolak
suatu pekerjaan yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu
kepadanya, walaupun orang ini tidak menghendakinya.
Tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak,
telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun
tidak terorganisasi. Tindak pidana perdagangan orang bahkan melibatkan
tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelenggara negara yang
menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak pidana
perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar wilayah dalam
negeri tetapi juga antar negara.
Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada dasarnya telah
diatur dalam Pasal 297 KUHP. Disana diatur larangan perdagangan wanita dan
anak laki-laki belum dewasa dan mengkualifikasikan tindakan ini sebagai
kejahatan. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, menentukan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak
untuk diri sendiri atau untuk dijual. Namun, ketentuan KUHP dan undang-undang
ini tidak merumuskan pengertian perdagangan orang yang tegas secara
hukum. Di samping itu, Pasal 297 KUHP memberi sanksi yang terlalu ringan
dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan
perdagangan orang.
Oleh sebab itu, diperlukan undang-undang khusus tentang tindak pidana
perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hukum materiil dan formil
sekaligus. Untuk tujuan ini , undang-undang khusus ini mengantisipasi dan
-- 177176 -
menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi
yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang, baik yang dilakukan
antar wilayah dalam negeri maupun secara antar negara, dan baik oleh pelaku
perorangan maupun korporasi.
Undang-undang ini mengatur perlindungan saksi dan korban sebagai
aspek penting dalam penegakan hukum, yang dimaksudkan untuk memberi
perlindungan dasar kepada korban dan saksi. Selain itu, juga memberi
perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana
perdagangan orang. Bentuk perhatian itu yaitu hak restitusi yang harus
diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian
bagi korban, dan mengatur juga hak korban atas rehabilitasi medis dan sosial,
pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara, khususnya bagi
mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana
perdagangan orang.
Penyusunan undang-undang ini juga yaitu perwujudan komitmen
negara kita untuk melaksanakan Protokol PBB Tahun 2000 tentang Mencegah,
Memberantas dan Menghukum Tindak Pidana Perdagangan Orang, Khususnya
Perempuan dan Anak (Protokol Palermo)177 yang telah ditandatangani Pemerintah
negara kita .
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan perdagangan orang yaitu tindakan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain ini , baik
yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi
177 Protokol untuk Pencegahan, Penekanan dan Penghukuman Perdagangan Manusia,
Khususnya Perempuan dan Anak, Melengkapi Konvensi PBB terhadap Kejahatan Transnasional yang
Terorganisir Ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 15 Nopember
2000, yang diberlakukan pada tanggal 25 Desember 2003, dan disahkan dengan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2009.
-- 179178 -
atau memicu orang tereksploitasi.
Cakupan tindakan perdagangan orang yang ditentukan dalam undang-
undang ini yaitu eksploitasi, eksploitasi seksual, perekrutan, pengiriman,
kekerasan dan ancaman kekerasan. Eksploitasi yaitu tindakan dengan atau
tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja
atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan,
pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan
hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk
mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.178
Eksploitasi seksual yaitu segala bentuk pemanfaatan organ tubuh
seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan,
termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.179
Perekrutan yaitu tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa,
atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya.180 Pengiriman
yaitu tindakan memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu
tempat ke tempat lain.181 Kekerasan yaitu setiap perbuatan secara melawan
hukum, dengan atau tanpa memakai sarana terhadap fisik dan psikis yang
menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya
kemerdekaan seseorang182. Ancaman kekerasan yaitu setiap perbuatan secara
melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh,
baik dengan atau tanpa memakai sarana yang menimbulkan rasa takut atau
mengekang kebebasan hakiki seseorang.183
Korban-korban perdagangan orang ini , selain mendapatkan
perlindungan hukum berupa pemidanaan terhadap pelaku, juga memperoleh
restitusi dan rehabilitasi. Restitusi yaitu pembayaran ganti kerugian yang
178 Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
179 Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
180 Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
181 Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
182 Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
183 Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
-- 179178 -
dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau
ahli warisnya.184 Sementara rehabilitasi yaitu pemulihan dari gangguan terhadap
kondisi fisik, psikis, dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara
wajar baik dalam keluarga maupun dalam warga .185
Sanksi pidana terhadap kejahatan ini diatur sebagai berikut
Pasal 19
Setiap orang yang memberi atau memasukkan keterangan palsu pada
dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau
dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan
orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 280.000.000,00 (dua ratus delapan
puluh juta rupiah).
Pasal 20
Setiap orang yang memberi kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu
atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di
sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).
Pasal 21
(1) Setiap orang yang melakukan penyerangan fisik terhadap saksi atau
petugas di persidangan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00
(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
184 Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
185 Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
-- 181180 -
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memicu saksi
atau petugas di persidangan luka berat, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara