jawab dalam berusaha; dan
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Hak-hak konsumen yang diatur dalam UUPK adalah:319
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa ini sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan usaha
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, jika barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
319 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
-- 245244 -
Selain menjamin hak-hak, UUPK juga mengatur larangan-larangan
terhadap pelaku usaha dan atau jasa,320 antara lain:
1, Larangan memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/
atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar
yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket
barang ini ;
3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang
dan/atau jasa ini .
Dalam rangka mengembangkan usaha perlindungan konsumen dibentuk
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)321, yang berkedudukan di ibu
kota negara Republik negara kita dan bertanggung jawab kepada Presiden322,
dan berfungsi memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam
usaha mengembangkan perlindungan konsumen di negara kita .323 Di samping
membentuk BPKN, pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen
swadaya warga yang memenuhi syarat, dan memiliki kesempatan untuk
berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen. Tugas lembaga
perlindungan konsumen swadaya warga meliputi kegiatan:324
1. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran
atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
320 Pasal 8-17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
321 Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
322 Pasal 32 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
323 Pasal 33 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
324 Pasal 44 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
-- 247246 -
2. memberi nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
3. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam usaha mewujudkan
perlindungan konsumen;
4. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
5. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan warga
terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen
UUPK menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa, baik melalui
pengadilan maupun di luar pengadilan. Pasal 4 UUPK menyebutkan bahwa setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa
konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan
pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung
jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang. jika telah dipilih
usaha penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui
pengadilan hanya dapat ditempuh jika usaha ini dinyatakan tidak berhasil
oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang, bersengketa.325
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau
mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak
akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.326
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (gugatan) usaha dapat
dilakukan oleh327:
1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
2. Sekelompok konsumen yang memiliki kepentinyan yang sama;
325 Ibid.
326 Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
327 Pasal 46 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
-- 247246 -
3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya warga yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan,
yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa
tujuan didirikannya organisasi ini yaitu untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai
dengan anggaran dasarnya;
4. Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau dimanfaatkan memicu kerugian materi
yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga
perlindungan konsumen swadaya warga atau pemerintah diajukan kepada
peradilan umum.328 Pelaku usaha dan atau jasa yang terbukti melanggar UUPK
dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda sebanyak-banyaknya Rp
200.000.000 (dua ratus juta rupiah) oleh badan penyelesaian sengketa konsumen,
dan bisa juga dikenakan sanksi pidana dan denda bila melaanggar larangan-
larangan tertentu.329
F. UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG
KETENAGAKERJAAN
Setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan sebagai bagian dari
hak asasi manusia. Pasal 23 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjamin
bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih
pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan menguntungkan
serta berhak atas perlindungan dari pengangguran; tanpa diskriminasi, berhak atas
pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama; berhak atas pengupahan
yang adil dan menguntungkan, yang memberi jaminan kehidupan yang
bermartabat baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu
ditambah dengan perlindungan sosial lainnya. Pasal 38 Undang-Undang Nomor
328 Ibid.
329 Pasal 61-63 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
-- 249248 -
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap warga
negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, kemampuan, berhak atas pekerjaan
yang layak; berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak
pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.
Ketentuan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini diperkuat oleh Pasal 28D ayat (2) UUD
1945. Pada pasal ini dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja
serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja. Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-
hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan
tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/
buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan
dunia usaha.
Atas dasar ini , pemerintah dan DPR mengesahkan hukum hak asasi
manusia bidang pekerjaan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.330
330 Undang-undang ini menggantikan dan melengkapi peraturan perundang-undangan
sebelumnya yaitu: Ordonansi tentang Pengerahan Orang negara kita untuk Melakukan Pekerjaan Di
Luar negara kita (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8); Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan
tentang Pembatasan Kerja Anak dan Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor
647); Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-Anak dan Orang Muda Di Atas Kapal
(Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87); Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur
Kegiatan-Kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208); Ordonansi tentang
Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari Luar negara kita (Staatsblad Tahun 1939 Nomor
545); Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-Anak (Staatsblad Tahun 1949
Nomor 8); Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang undang
Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik negara kita Untuk Seluruh negara kita (Lembaran Negara
Tahun 1951 Nomor 2); Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara
Serikat Buruh dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 598a); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 8 ); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana
(Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270); Undang-
Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock
Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja
(Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912); Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor
-- 249248 -
Peraturan yang memuat 193 pasal ini secara umum memuat antara lain:
a. Landasan, asas, dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan;
b. Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan;
c. Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga kerja
dan pekerja/ buruh;
d. Pelatihan kerja yang diarahkan untuk meningkatkan dan
mengembangkan keterampilan serta keahlian tenaga kerja guna
meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas perusahaan.
e. Pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangkap pendayagunaan
tenaga kerja secara optimal dan penempatan tenaga kerja pada
pekerjaan yang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan
sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dan warga dalam
usaha perluasan kesempatan kerja;
f. Penggunaan tenaga kerja asing yang tepat sesuai dengan kompetensi
yang diperlukan;
g. Pembinaan hubungan industrial yang sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila diarahkan untuk menumbuhkembangkan hubungan
yang harmonis, dinamis,dan berkeadilan antar para pelaku proses
produksi;
h. Pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial, termasuk
perjanjian kerja bersama, lembaga kerja sama bipartit, lembaga kerja
sama tripartit, pewarga an hubungan industrial dan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial;
i. Perlindungan pekerja/buruh, termasuk perlindungan atas hak-
hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha,
73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702); Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang
Perubahan Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun
2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042).
-- 251250 -
perlindungan keselamatan, dan kesehatan kerja, perlindungan khusus
bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat, serta
perlindungan tentang upah, kesejahteraan,dan jaminan sosial tenaga
kerja;
j. Pengawasan ketenagakerjaan dengan maksud agar dalam peraturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan ini benar-benar
dilaksana-kan sebagaimana mestinya.
Pembangunan ketenagakerjaan di negara kita yang disebutkan dalam
peraturan ini bertujuan:331
a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal
dan manusiawi;
b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga
kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan
daerah;
c. memberi perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan; dan
d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Dalam rangka itu, setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama
tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan;332 di samping memperoleh
perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.333 Setiap tenaga kerja
berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan
kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui
pelatihan kerja,334 memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memilih,
mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak
di dalam atau di luar negeri.335
331 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
332 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
333 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
334 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
335 Pasal 31 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
-- 251250 -
Pada Pasal 67 diatur jelas kewajiban pengusaha terhadap pekerja
penyandang disabilitas. Pengusaha diharapkan agar memberi perlindungan
sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pengusaha juga dilarang mempekerjakan
anak336, kecuali bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai
dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan, sepanjang tidak
mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.337 Meski
demikian, undang-undang ini melarang siapapun mempekerjakan dan melibatkan
anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk, yang meliputi:338
a. Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau
menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan
porno, atau perjudian;
c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan
anak untuk
d. Produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya; dan/atau
e. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan,
atau moral anak, serta jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan
kesehatan, keselamatan, atau moral anak
Selain menjamin hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengusaha terhadap
pekerja anak dan penyandang disabilitas, undang-undang juga mengatur pekerja/
buruh perempuan. Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa: 339
a. Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan
belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan
pukul 07.00.
336 Pasal 68 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
337 Pasal 69 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
338 Pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
339 Pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
-- 253252 -
b. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil
yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan
keselamatan kandungannya maupun dirinya jika bekerja antara
pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
c. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara
pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib: memberi
makanan dan minuman bergizi; dan menjaga kesusilaan dan
keamanan selama di tempat kerja.
d. Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/
buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul
23.00 sampai dengan pukul 05.00
Hak pekerja atau buruh perempuan lainnya yang wajib diberikan oleh
pengusaha yaitu hak tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua
pada pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan
memberitahukan kepada pengusaha.340 Selain itu, pekerja/buruh perempuan
berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya
melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut
perhitungan dokter kandungan atau bidan.341 Sedangkan terhadap pekerja/buruh
perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat
1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan
atau bidan.342
Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi
kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya343 jika hal itu harus dilakukan
340 Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
341 Ketentuan cuti melahirkan 12 minggu ini tidak sejalan dengan Konvensi ILO 183
yang memberi buruh perempuan hak cuti melahirkan selama 14 minggu. Sayang sekali negara kita
belum meratifikasi Konvensi ILO 183 ini .
342 Pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
343 Masih banyak perusahaan yang belum memenuhi tanggung jawabnya untuk menyediakan
ruang laktasi dan waktu menyusui di tempat kerja. Padahal itu telah diatur dalam Peraturan Bersama
3 Menteri yakni Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Ketenagakerjaan
dan Menteri Kesehatan No.48/Men.PP/XII/2008, PER.27/MEN/XII/2008 dan No.1177/Menkes/PB/
XII/2008 tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja.
-- 253252 -
selama waktu kerja pengupahan344. Pada bagian lain diatur juga mengenai
penghasilan yang pada pokoknya menegaskan agar setiap pekerja/buruh
berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, dimana pemerintah wajib menetapkan kebijakan pengupahan yang
melindungi pekerja/buruh.345 Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/
buruh sebagaimana dimaksud meliputi:
a. Upah minimum;
b. Upah kerja lembur;
c. Upah tidak masuk kerja sebab berhalangan;
d. Upah tidak masuk kerja sebab melakukan kegiatan lain di luar
pekerjaannya;
e. Upah sebab menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. Bentuk dan cara pembayaran upah;
g. Denda dan potongan upah;
h. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. Upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Terkait pengupahan, undang-undang menentukan bahwa upah pekerja/
buruh tidak akan dibayar jika tidak melakukan pekerjaan, kecuali:346
a. Pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. Pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua
masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c. Pekerja/buruh tidak masuk bekerja sebab pekerja/buruh menikah,
menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri
melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak
atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga
344 Pasal 83 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.
345 Pasal 88 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
346 Pasal 93 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
-- 255254 -
dalam satu rumah meninggal dunia;
d. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya sebab sedang
menjalankan kewajiban terhadap negara;
e. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya sebab
menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f. Pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan
tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik sebab kesalahan
sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari
pengusaha;
g. Pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. Pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas
persetujuan pengusaha; dan
i. Pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit ditentukan
sebagai berikut:
1. Untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus)
dari upah;
2. Untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima
perseratus) dari upah;
a. Untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh
perseratus) dari upah; dan
b. Untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus)
dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh
pengusaha.
c. Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk
bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai
berikut :
1. Pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
2. Menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
3. Mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
-- 255254 -
4. Membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
5. Isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk
selama 2 (dua) hari;
6. Suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu
meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan
7. Anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia,
dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
8. Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya
dari pekerja/buruh yaitu utang yang didahulukan pembayarannya.347
Selain itu, mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja.348 Posisi tenaga kerja/
buruh terhadap pengusaha pada umumnya lemah, sehingga seringkali para
pengusaha mengabaikan hak-hak pekerja tanpa mereka memiliki kekuatan atau
posisi tawar yang kuat untuk memperjuangkannya. sebab itulah, pekerja atau
buruh dan serikat buruh atau serikat pekerja diberi hak mogok kerja sebagai hak
dasar, dengan catatan dilakukan secara sah, tertib, dan damai setelah sebelumnya
didahului dengan perundingan.349
Hak buruh lainnya yang dijamin oleh undang-undang yaitu larangan
terhadap pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan
alasan: .350
a. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja sebab sakit menurut
keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas)
bulan secara terus-menerus
347 Pasal 95 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
348 Pasal 99 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
349 Pasal 137 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
350 Pasal 153 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
-- 257256 -
b. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya sebab
memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. Pekerja/buruh menikah;
e. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau
menyusui bayinya;
f. Pekerja/buruh memiliki pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan
dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja,peraturan perusahan, atau perjanjian
kerja bersama;
g. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus
serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan
serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam
kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama;
h. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib
mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana
kejahatan;
i. sebab perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan
kerja, atau sakit sebab hubungan kerja yang menurut surat
keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat
dipastikan.
PHK yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
153 ayat (1) ini batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan
kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. Dalam hal terjadi PHK, pengusaha
diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja
-- 257256 -
dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.351 Pasal 155352 yang
mengatur tentang PHK telah diuji dan dibatalkan oleh MK.353 Para pemohon dalam
permohonannya menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 155 ayat (2) khususnya
frasa ”belum ditetapkan” berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.354
ini disebabkan sebab tidak adanya penafsiran yang jelas dan
tegas mengenai klausul “belum ditetapkan”, yang dalam praktiknya, implementasi
dari unsur kata “belum ditetapkan” menimbulkan pertentangan; apakah putusan
dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini hanya
sebatas pada pengadilan tingkat pertama ataukah juga meliputi putusan pada
tingkat selanjutnya yaitu kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung
(MA)?355
Menurut para pemohon, frasa ”belum ditetapkan” juga telah menimbulkan
ketidakadilan terhadap salah satu pihak sebab tidak mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sesuai Pasal 28D ayat
(2) UUD NRI Tahun 1945, sebab berdasarkan Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003
juncto Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 (Lembaran
Negara Republik negara kita Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara
Republik negara kita Nomor 4356, salah satu pihak yang dijamin haknya dalam
putusan sela itu, yaitu para buruh dan pekerja, menjadi terabaikan hak asasi
manusianya untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan imbalan yang
351 Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
352 Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003: Pemutusan hubungan
kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum. (2)
Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik
pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. (3) Pengusaha
dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa
tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja
dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
353 Baca Putusan MK Nomor 37/PUU-IX/2011, hal. 34-38.
354 Ibid.
355 Ibid.
-- 259258 -
sesuai dengan kerjanya.356
Berdasarkan ini di atas, para pemohon memohon agar Pasal
155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, khususnya frasa “belum
ditetapkan” harus ditafsirkan, selama putusan pengadilan belum memiliki
kekuatan hukum tetap, kewajiban pekerja untuk bekerja dan kewajiban pengusaha
untuk membayarkan upah yaitu sampai suatu putusan berkekuatan hukum tetap.
Dengan kata lain, seandainya terhadap putusan pengadilan hubungan industrial,
salah satu pihak mengajukan usaha hukum kasasi, maka baik pekerja maupun
pengusaha tetap harus menjalankan hak dan kewajibannya.357
Para pemohon memohon pengujian konstitusional frasa “belum
ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dan menyatakan
frasa “belum ditetapkan” konstitusional bersyarat sepanjang frasa “belum
ditetapkan” ditafsirkan sampai berkekuatan hukum tetap.358
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Undang-Undang No. 2 Tahun
2004 telah mengatur tentang mekanisme PHK. Pasal 151 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 menegaskan bahwa pekerja dan pengusaha harus berusaha
semaksimal mungkin menghindari PHK. Seandainya PHK tidak dapat dihindari,
maka pekerja dan pengusaha harus berunding untuk mencari kesepakatan.
Sekiranya pun perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka PHK hanya
dapat dilakukan setelah ada penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.359
PHK yang dilakukan tanpa persetujuan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial menjadi batal demi hukum (vide Pasal 155 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003). Selama masa lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial masih memeriksa proses PHK, pekerja dan pengusaha harus
tetap melaksanakan tugas dan kewajibannya masing-masing sebagaimana diatur
356 Ibid.
357 Ibid.
358 Ibid.
359 Ibid.
-- 259258 -
dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.360
Lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 yaitu amanat dari Pasal
136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menyatakan, “dalam
hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui
prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan
undang-undang”. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004, Perselisihan Hubungan Industrial meliputi: perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar
serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan.361
Mekanisme penyelesaian masing-masing perselisihan ini dilakukan
secara bertahap yang dimulai dari perundingan bipartit, mediasi, konsiliasi,
arbitrase, dan penyelesaian oleh Pengadilan Hubungan Industrial. saat
perselisihan diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana diatur
dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, maka perselisihan ini
dianggap belum final dan mengikat sampai putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap.362
jika frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 dikaitkan dengan mekanisme penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, maka ada potensi ketidakpastian hukum
bagi para pihak tentang makna frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Apakah frasa “belum ditetapkan”
diartikan pada saat putusan dijatuhkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial
ataukah pada saat putusan ini berkekuatan hukum tetap?
Pertanyaan ini muncul sebab tidak semua putusan Pengadilan Hubungan
Industrial langsung memperoleh kekuatan hukum tetap. Hanya putusan mengenai
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
360 Ibid.
361 Ibid.
362 Ibid.
-- 261260 -
dalam satu perusahaan yang langsung memperoleh kekuatan hukum tetap pada
saat putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada tingkat pertama. Sedangkan
perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat diajukan
permohonan kasasi sehingga putusannya jika dimohonkan kasasi baru
memperoleh kekuatan hukum tetap setelah adanya putusan MA (vide Pasal
56 juncto Pasal 109 dan Pasal 110 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004).363
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 telah menentukan, (1) Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; (2) Setiap orang berhak
untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.364 Berdasarkan ketentuan ini , menurut MK, perlu ada
penafsiran yang pasti terkait frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, agar ada kepastian hukum yang
adil dalam pelaksanaan dari frasa “belum ditetapkan” a quo, sehingga para pihak
dapat memperoleh jaminan dan kepastian hukum terhadap perolehan hak-hak
mereka dalam hal terjadinya perselisihan hubungan industrial.365
Menurut MK, frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 harus dimaknai putusan pengadilan
yang memperoleh kekuatan hukum tetap sebab putusan Pengadilan Hubungan
Industrial ada yang dapat langsung memperoleh kekuatan hukum tetap pada
tingkat pertama oleh Pengadilan Hubungan Industrial, yaitu putusan mengenai
perselisihan kepentingan, putusan mengenai perselisihan antar serikat pekerja/
serikat buruh dalam satu perusahaan, serta putusan mengenai perselisihan hak
dan PHK yang tidak dimohonkan kasasi. Adapun putusan mengenai perselisihan
hak dan PHK yang dimohonkan kasasi harus menunggu putusan kasasi dari MA
terlebih dahulu baru memperoleh kekuatan hukum tetap.366
363 Ibid.
364 Ibid.
365 Ibid.
366 Ibid.
-- 261260 -
Atas permohonan ini , MK mengabulkan permohonan para pemohon
dengan amar: Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik negara kita Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik negara kita Nomor 4279) yaitu bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai belum
berkekuatan hukum tetap.367
Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik negara kita
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik negara kita Nomor
4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
belum berkekuatan hukum tetap.368 Selain Pasal 155, Pasal 169 ayat (1) huruf
c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik negara kita Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik negara kita Nomor 4279) juga oleh MK dinyatakan bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai: “Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan
kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal
pengusaha tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3
(tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara
tepat waktu sesudah itu”.369
Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik negara kita Tahun 2003
Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik negara kita Nomor 4279) tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Pekerja/
buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha
tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga)
367 Ibid.
368 Ibid.
369 Baca Putusan MK Nomor 58/PUU-IX/2011, hal. 25.
-- 263262 -
bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara
tepat waktu sesudah itu”.370
Undang-undang ini mengatur atau memuat sejumlah sanksi pidana jika
pengusaha melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam undang-undang
ini, sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal berikut:
Pasal 183
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74,
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu tindak
pidana kejahatan.
Pasal 184
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu tindak
pidana kejahatan.
Pasal 185
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal
82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7),
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus
juta rupiah).
370 Ibid.
-- 263262 -
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu tindak
pidana kejahatan.
Pasal 186
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1),
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus
juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu tindak
pidana pelanggaran.
Pasal 187
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal
71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2),
Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling
singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu tindak
pidana pelanggaran.
Pasal 188
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal
108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan
sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan
paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu tindak
pidana pelanggaran.
-- 265264 -
G. UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM
PENDIDIKAN NASIONAL
Hak atas pendidikan yaitu salah satu hak asasi mendasar yang harus
diberikan atau disediakan oleh negara. Tanpa pendidikan, maka manusia tidak
akan berkembang dan mampu mengembangkan dirinya, serta akan kehilangan
hak-haknya yang lain, baik sebagai manusia maupun sebagai warga negara. UUD
1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang,371
dan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua
puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional.
Begitu juga dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan
pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan
meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa,
bertanggung jawab, berahlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak
asasi manusia; termasuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik
secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun warga , bangsa, dan
negaranya.
Hak atas pendidikan ditegaskan pula dalam Kovenan Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya yang menyatakan bahwa negara-negara pihak pada kovenan
ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka menyetujui bahwa
pendidikan harus diarahkan pada perkembangan kepribadian manusia seutuhnya
dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas hak-hak
asasi dan kebebasan manusia yang mendasar. Pendidikan harus memungkinkan
semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu warga yang
bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua
371 Pasal 31 ayat (1 dan 3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
-- 265264 -
bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan lebih memajukan
kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian.372
Negara pihak dalam kovenan ini mengakui bahwa untuk mengusaha kan
hak ini secara penuh:373
a. Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma
bagi semua orang;
b. Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan
teknik dan kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya, harus tersedia
dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak,
dan khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara
bertahap;
c. Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara
merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak,
khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara
bertahap;
d. Pendidikan mendasar harus sedapat mungkin didorong atau
ditingkatkan bagi orang-orang yang belum mendapatkan atau belum
menyelesaikan pendidikan dasar mereka;
e. Pengembangan suatu sistem sekolah pada semua tingkatan harus
secara aktif diusaha kan, suatu sistem beasiswa yang memadai
harus dibentuk dan kondisi-kondisi materiil staf pengajar harus terus
menerus diperbaiki.
Pada bagian lain, kovenan juga mengatur negara pihak pada kovenan ini
berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan wali yang sah, bila ada,
untuk memilih sekolah bagi anak-anak mereka selain yang didirikan oleh lembaga
pemerintah, sepanjang memenuhi standar minimal pendidikan, sebagaimana
ditetapkan atau disetujui oleh negara yang bersangkutan, dan untuk memastikan
bahwa pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan
372 Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
373 Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
-- 267266 -
mereka.374
Hak atas pendidikan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 didasarkan pada prinsip bahwa pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.375
Hak-hak yang terkait dengan hak atas pendidikan yaitu:376
a. Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu.
b. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
c. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta warga
adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
d. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
berhak memperoleh pendidikan khusus.
e. Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan
pendidikan sepanjang hayat
Untuk memenuhi hak-hak atas pendidikan dimaksud pemerintah
diwajibkan untuk:377 memberi layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi;. wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan
bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
Selain hak-hak di atas, undang-undang juga menjamin bahwa setiap peserta
didik pada setiap satuan pendidikan berhak: 378
a. Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;
374 Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
375 Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.
376 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.
377 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
378 Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
-- 267266 -
b. Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat,
dan kemampuannya;
c. Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya
tidak mampu membiayai pendidikannya;
d. Mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak
mampu membiayai pendidikannya;
e. Pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain
yang setara;
f. Menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar
masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu
yang ditetapkan.
H. UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM JAMINAN
SOSIAL NASIONAL
Dalam penjelasan undang-undang ini disebutkan bahwa sistem Jaminan
Sosial Nasional pada dasarnya yaitu program negara. Tujuannya
untuk memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat negara kita . Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak jika terjadi hal-hal yang dapat
memicu hilang atau berkurangnya pendapatan, sebab menderita sakit,
mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.
Ketentuan tentang jaminan sosial ini ada dalam Pasal 28H ayat (3)379 dan
Pasal 34 ayat (2)380 UUD1945. Jaminan sosial juga dijamin dalam Deklarasi Hak
Asasi Manusia dan ditegaskan dalam Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952,
yang menganjurkan semua negara untuk memberi perlindungan minimum
kepada setiap tenaga kerja. Diatur juga dalam Undang-Undang No. 39 Tahun
1999 Pasal 41 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak
379 Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya
secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
380 Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
warga yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
-- 269268 -
atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan
pribadinya secara utuh.
Jaminan Sosial Nasional berdasarkan Undang-Undang No. 40 tahun 2004
ini didasarkan pada asas: 381
a. Kemanusiaan,
b. Asas manfaat, dan
c. Asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara kita .
Ketiga asas ini dalam penjelasan diuraikan bahwa asas kemanusiaan
berkaitan dengan penghargaan terhadap martabat manusia. Asas manfaat
yaitu asas yang bersifat operasional, menggambarkan pengelolaan yang
efektif dan efisien. Asas keadilan yaitu asas yang bersifat ideal. Sistem
Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberi jaminan terpenuhinya
kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota
keluarganya.382 Jenis Program Jaminan Sosial meliputi383 :
a. Jaminan kesehatan;
b. Jaminan kecelakaan kerja;
c. Jaminan hari tua;
d. Jaminan pensiun; dan
e. Jaminan kematian.
I. UNDANG-UNDANG NO. 24 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN
BENCANA
Hukum hak asasi manusia yang memuat jaminan perlindungan dan hak-
hak sosial yang jarang diketahui dan jarang mendapatkan perhatian banyak pihak
yaitu Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana,
terutama terkait dengan hak-hak pengungsi untuk mendapatkan perlindungan
selama dan setelah terjadinya bencana. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa yang
381 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004.
382 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004.
383 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004.
-- 269268 -
dimaksud dengan bencana yaitu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan warga yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga memicu timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Bencana bisa berupa bencana alam, bencana non alam dan bencana
sosial. Bencana alam yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.384
Bencana non alam yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,
epidemi, dan wabah penyakit.385
Sementara bencana sosial yaitu bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas warga , dan teror. Pada
peristiwa bencana alam, non alam dan bencana sosial, hampir dapat dipastikan
menimbulkan dampak sosial kemanusian berupa pengungsian dimana orang atau
kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk
jangka waktu yang belum pasti sebagai dampak buruk bencana.386
Pemerintah dan pemerintah daerah tentu saja menjadi penanggung jawab
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Tanggung jawab pemerintah
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi387:
1. Pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko
bencana dengan program pembangunan;
2. Perlindungan warga dari dampak bencana;
3. Penjaminan pemenuhan hak warga dan pengungsi yang terkena
bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum;
384 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.
385 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.
386 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.
387 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.
-- 271270 -
4. Pemulihan kondisi dari dampak bencana;
5. Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai;
6. Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk
dana siap pakai; dan
7. Pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan
dampak bencana.
Penanggulangan bencana dimaksud didasarkan pada prinsip:388
1. Kemanusian
2. Keadilan;
3. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
4. Keseimbangan, keselarasan, dan keserasian;
5. Ketertiban dan kepastian hukum;
6. Kebersamaan;
7. Kelestarian lingkungan hidup; dan
8. Ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hak setiap orang yang berada dalam pengungsian yaitu:389
1. Mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi
kelompok warga rentan bencana;
2. Mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana.
3. Mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang
kebijakan penanggulangan bencana.
4. Berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan
program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk
dukungan psikososial;
388 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.
389 Pasal 26 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.
-- 271270 -
5. Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan
penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri
dan komunitasnya; dan
6. Melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas
pelaksanaan penanggulangan bencana.
Selain itu, setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan
bantuan pemenuhan kebutuhan dasar dan memperoleh ganti kerugian sebab
bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi.390 Pemenuhan kebutuhan
dasar yang dimaksud adalah391:
1. Kebutuhan air bersih dan sanitasi;
2. Pangan;
3. Sandang;
4. Pelayanan kesehatan;
5. Pelayanan psikososial; dan
6. Penampungan dan tempat hunian.
Penanganan pengungsi juga dilakukan paska bencana dalam bentuk
rehabilitasi dan rekonstruksi.392 Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
57 huruf a dilakukan melalui kegiatan:393
1. Perbaikan lingkungan daerah bencana;
2. Perbaikan prasarana dan sarana umum;
3. Pemberian bantuan perbaikan rumah warga ;
4. Pemulihan sosial psikologis;
5. Pelayanan kesehatan;
6. Rekonsiliasi dan resolusi konflik;
7. Pemulihan sosial ekonomi budaya;
390 Pasal 26 ayat (2 dan 3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.
391 Pasal 53 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.
392 Pasal 57 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.
393 Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.
-- 273272 -
8. Pemulihan keamanan dan ketertiban;
9. Pemulihan fungsi pemerintahan; dan
10. Pemulihan fungsi pelayanan publik.
Sedangkan rekonstruksi dilakukan melalui kegiatan pembangunan yang
lebih baik, meliputi:394
1. Pembangunan kembali prasarana dan sarana;
2. Pembangunan kembali sarana sosial warga ;
3. Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya warga ;
4. Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan
yang lebih baik dan tahan bencana;
5. Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kewarga an,
dunia usaha, dan warga ;
6. Peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
7. Peningkatan fungsi pelayanan publik; dan
8. Peningkatan pelayanan utama dalam warga .
J. UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN
DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Hukum hak asasi manusia tentang hak atas lingkungan hidup yang sehat
sebagai salah satu hak sosial telah diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun
2009. Lahirnya peraturan ini didasarkan pada UUD 1945 yang menyatakan
bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat yaitu hak asasi395 dan hak
konstitusional bagi setiap warga negara negara kita . Oleh sebab itu, negara,
pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan. Semua itu bertujuan agar lingkungan hidup negara kita tetap menjadi
sumber dan penunjang hidup bagi rakyat negara kita serta makhluk hidup lain.
394 Pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.
395 Pasal 28H (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
-- 273272 -
Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam
kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Untuk itu
perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-
sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Di sisi lain, akibat
pemanasan global yang semakin meningkat, memicu perubahan iklim
sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup.
Oleh sebab itu, pembangunan berkelanjutan yaitu usaha sadar dan
terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke
dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini
dan generasi masa depan. Hak atas lingkungan hidup yang sehat ini bertujuan:396
a. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik negara kita dari
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian
ekosistem;
d. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan
hidup;
f. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi
masa depan;
g. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup
sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j. Mengantisipasi isu lingkungan global.
Hak atas lingkungan hidup dipertegas pula dalam Pasal 65 yang mengatur
bahwa:
a. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
396 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
-- 275274 -
sebagai bagian dari hak asasi manusia.
b. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup,
akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam
memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
c. Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap
rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat
menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
d. Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
e. Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Undang-undang ini juga menjamin hak imunitas dimana setiap orang
yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak
dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata (Pasal 66). Selain
mengatur hak-hak, undang-undang ini juga membebani kewajiban-kewajiban,
yaitu:397 memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; memberi informasi yang
terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar,
akurat, terbuka, dan tepat waktu; menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup;
dan menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
Undang-undang ini juga mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik
hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana. Ketentuan hukum
perdata meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dan di
dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di dalam pengadilan
meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi lingkungan, ataupun
hak gugat pemerintah. Melalui cara ini diharapkan selain akan menimbulkan
efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan
397 Pasal 67-68 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
-- 275274 -
tentang betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi
kehidupan generasi masa kini dan masa depan.398
Penegakan hukum pidana dalam undang-undang ini memperkenalkan
ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti,
pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana,
dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan
tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan
penegakan hukum pidana sebagai usaha terakhir setelah penerapan penegakan
hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium
ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap
pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.399
K. UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
Hak atas kesehatan yaitu salah satu hak asasi manusia yang
mendasar, yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Kesehatan bahkan
yaitu salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai
dengan cita-cita bangsa negara kita sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945. Oleh sebab itu, pembangunan kesehatan diselenggarakan
dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan,
penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, jender dan non diskriminatif
dan norma-norma agama.400
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
derajat kesehatan warga yang setinggi-tingginya, sebagai investasi
bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan
ekonomis.401 Kesehatan sebagai hak diatur rinci dalam Pasal 5 ayat (1), yaitu:
a. Setiap orang memiliki hak yang sama dalam memperoleh akses
398 Baca Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
399 Ibid.
400 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
401 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
-- 277276 -
atas sumber daya di bidang kesehatan.
b. Setiap orang memiliki hak dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
c. Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab
menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi
dirinya.
Selain itu, setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi
pencapaian derajat kesehatan;402 mendapatkan informasi dan edukasi tentang
kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab;403 memperoleh informasi
tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah
maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.404 Pasien juga berhak
atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada
penyelenggara pelayanan kesehatan, kecuali:
a. Perintah undang-undang;
b. Perintah pengadilan;
c. Izin yang bersangkutan;
d. Kepentingan warga ; atau
e. Kepentingan orang ini .405
Untuk memenuhi dan melindungi hak-hak atas kesehatan, pemerintah
bertanggung jawab:
a. Merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan
mengawasi penyelenggaraan usaha kesehatan yang merata dan
terjangkau oleh warga ;406
b. Bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas
kesehatan baik fisik maupun sosial bagi warga untuk mencapai
402 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
403 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
404 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
405 Pasal 57 ayat (1 ) dan (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
406 Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
-- 277276 -
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya;407
c. Bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang
kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh warga untuk
memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya;408
d. Bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap