HAM 9




 jawab dalam berusaha; dan 

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin 

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, 

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Hak-hak konsumen yang diatur dalam UUPK adalah:319

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam 

mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang 

dan/atau jasa ini  sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta 

jaminan yang dijanjikan; 

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi 

dan jaminan barang dan/atau jasa; 

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau 

jasa yang digunakan; 

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan usaha  

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta 

tidak diskriminatif; 

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau 

penggantian, jika  barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai 

dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan 

lainnya.

319  Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

--  245244    -

Selain menjamin hak-hak, UUPK juga mengatur larangan-larangan 

terhadap pelaku usaha dan atau jasa,320 antara lain: 

1, Larangan  memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/

atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar 

yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; 

2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah 

dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket 

barang ini ; 

3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam 

hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;  

4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran 

sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang 

dan/atau jasa ini .

Dalam rangka mengembangkan usaha  perlindungan konsumen dibentuk 

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)321, yang berkedudukan di ibu 

kota negara Republik negara kita  dan bertanggung jawab kepada Presiden322, 

dan berfungsi memberi  saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam 

usaha  mengembangkan perlindungan konsumen di negara kita .323 Di samping 

membentuk BPKN, pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen 

swadaya warga  yang memenuhi syarat, dan memiliki kesempatan untuk 

berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen. Tugas lembaga 

perlindungan konsumen swadaya warga  meliputi kegiatan:324 

1. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran 

atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam 

mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 

320  Pasal 8-17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

321  Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

322  Pasal 32 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

323  Pasal 33 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

324  Pasal 44 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

--  247246    -

2. memberi  nasihat kepada konsumen yang memerlukannya; 

3. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam usaha  mewujudkan  

perlindungan konsumen; 

4. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk 

menerima keluhan atau pengaduan konsumen; 

5. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan warga  

terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen

UUPK menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa, baik melalui 

pengadilan maupun di luar pengadilan. Pasal 4 UUPK menyebutkan bahwa setiap 

konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang 

bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui 

peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa 

konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan 

pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. 

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung 

jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang. jika  telah dipilih 

usaha  penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui 

pengadilan hanya dapat ditempuh jika  usaha  ini  dinyatakan tidak berhasil 

oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang, bersengketa.325

Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan 

untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau 

mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak 

akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.326

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (gugatan) usaha dapat 

dilakukan oleh327:

1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; 

2. Sekelompok konsumen yang memiliki  kepentinyan yang sama; 

325  Ibid.

326  Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

327  Pasal 46 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

--  247246    -

3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya warga  yang 

memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, 

yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa 

tujuan didirikannya organisasi ini  yaitu untuk kepentingan 

perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai 

dengan anggaran dasarnya; 

4. Pemerintah dan/atau instansi terkait jika  barang dan/atau jasa 

yang dikonsumsi atau dimanfaatkan memicu  kerugian materi 

yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga 

perlindungan konsumen swadaya warga  atau pemerintah diajukan kepada 

peradilan umum.328 Pelaku usaha dan  atau jasa yang terbukti melanggar UUPK 

dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda sebanyak-banyaknya Rp 

200.000.000 (dua ratus juta rupiah) oleh badan penyelesaian sengketa konsumen, 

dan bisa juga dikenakan sanksi pidana dan denda bila melaanggar larangan-

larangan tertentu.329

F.  UNDANG-UNDANG NOMOR 13  TAHUN 2003  TENTANG 

KETENAGAKERJAAN

Setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan sebagai bagian dari 

hak asasi manusia. Pasal 23 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjamin 

bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih 

pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan menguntungkan 

serta berhak atas perlindungan dari pengangguran; tanpa diskriminasi, berhak atas 

pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama; berhak atas pengupahan 

yang adil dan menguntungkan, yang memberi  jaminan kehidupan yang 

bermartabat baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu 

ditambah dengan perlindungan sosial lainnya. Pasal 38  Undang-Undang Nomor 

328  Ibid.

329  Pasal 61-63 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

--  249248    -

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap warga 

negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, kemampuan, berhak atas pekerjaan 

yang layak; berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak 

pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.  

Ketentuan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini  diperkuat oleh Pasal 28D ayat (2) UUD 

1945. Pada pasal ini  dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja 

serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan 

kerja. Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-

hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan 

tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/

buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan 

dunia usaha. 

Atas dasar ini , pemerintah dan DPR mengesahkan hukum hak asasi 

manusia bidang pekerjaan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.330 

330  Undang-undang ini menggantikan dan melengkapi peraturan perundang-undangan 

sebelumnya yaitu: Ordonansi tentang Pengerahan Orang negara kita  untuk Melakukan Pekerjaan Di 

Luar negara kita  (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8); Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan 

tentang Pembatasan Kerja Anak dan Kerja Malam Bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 

647); Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak-Anak dan Orang Muda Di Atas Kapal 

(Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87); Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur 

Kegiatan-Kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208); Ordonansi tentang 

Pemulangan Buruh Yang Diterima Atau Dikerahkan Dari Luar negara kita  (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 

545); Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan Kerja Anak-Anak (Staatsblad Tahun 1949 

Nomor 8); Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang undang 

Kerja Tahun 1948 Nomor 12 Dari Republik negara kita  Untuk Seluruh negara kita  (Lembaran Negara 

Tahun 1951 Nomor 2); Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan Antara 

Serikat Buruh dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara 

Nomor 598a); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing (Lembaran 

Negara Tahun 1958 Nomor 8 ); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana 

(Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270); Undang- 

Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock 

Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67); 

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja 

(Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912); Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 

--  249248    -

Peraturan yang memuat 193 pasal ini secara umum memuat antara lain:

a. Landasan, asas, dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan;

b. Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan;

c. Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga kerja 

dan pekerja/ buruh;

d. Pelatihan kerja yang diarahkan untuk meningkatkan dan 

mengembangkan keterampilan serta keahlian tenaga kerja guna 

meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas perusahaan.

e. Pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangkap pendayagunaan 

tenaga kerja secara optimal dan penempatan tenaga kerja pada 

pekerjaan yang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan 

sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dan warga  dalam 

usaha  perluasan kesempatan kerja;

f. Penggunaan tenaga kerja asing yang tepat sesuai dengan kompetensi 

yang diperlukan;

g. Pembinaan hubungan industrial yang sesuai dengan nilai-nilai 

Pancasila diarahkan untuk menumbuhkembangkan hubungan 

yang harmonis, dinamis,dan berkeadilan antar para pelaku proses 

produksi;

h. Pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial, termasuk 

perjanjian kerja bersama, lembaga kerja sama bipartit, lembaga kerja 

sama tripartit, pewarga an hubungan industrial dan penyelesaian 

perselisihan hubungan industrial;

i. Perlindungan pekerja/buruh, termasuk perlindungan atas hak-

hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha, 

73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702); Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang 

Perubahan Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran 

Negara Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); Undang-Undang Nomor 

28 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 

2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya 

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-Undang (Lembaran 

Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042).

--  251250    -

perlindungan keselamatan, dan kesehatan kerja, perlindungan khusus 

bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat, serta 

perlindungan tentang upah, kesejahteraan,dan jaminan sosial tenaga 

kerja;

j. Pengawasan ketenagakerjaan dengan maksud agar dalam peraturan 

perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan ini benar-benar 

dilaksana-kan sebagaimana mestinya.

Pembangunan ketenagakerjaan di negara kita  yang disebutkan dalam 

peraturan ini bertujuan:331 

a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal 

dan manusiawi; 

b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga 

kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan 

daerah; 

c. memberi  perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan 

kesejahteraan; dan 

d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

Dalam rangka itu, setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama 

tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan;332 di samping memperoleh 

perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.333 Setiap tenaga kerja 

berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan 

kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui 

pelatihan kerja,334 memiliki  hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, 

mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak 

di dalam atau di luar negeri.335

331  Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

332  Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

333  Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

334  Pasal 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

335  Pasal 31 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

--  251250    -

Pada Pasal 67 diatur jelas kewajiban pengusaha terhadap pekerja 

penyandang disabilitas. Pengusaha diharapkan agar memberi  perlindungan 

sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya dan sesuai dengan peraturan 

perundang-undangan yang berlaku. Pengusaha juga dilarang mempekerjakan 

anak336, kecuali bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai 

dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan, sepanjang tidak 

mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.337 Meski 

demikian, undang-undang ini melarang siapapun mempekerjakan dan melibatkan 

anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk, yang meliputi:338

a. Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;

b. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau 

menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan 

porno, atau perjudian;

c. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan 

anak untuk

d. Produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, 

dan zat adiktif lainnya; dan/atau

e. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, 

atau moral anak, serta jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan 

kesehatan, keselamatan, atau moral anak

Selain menjamin hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengusaha terhadap 

pekerja anak dan penyandang disabilitas, undang-undang juga mengatur pekerja/

buruh perempuan. Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa: 339 

a. Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan 

belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan 

pukul 07.00.

336  Pasal 68 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

337  Pasal 69 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

338  Pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

339  Pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

--  253252    -

b. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil 

yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan 

keselamatan kandungannya maupun dirinya jika  bekerja antara 

pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.

c. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara 

pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib: memberi  

makanan dan minuman bergizi; dan menjaga kesusilaan dan 

keamanan selama di tempat kerja.

d. Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/

buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 

23.00 sampai dengan pukul 05.00

Hak pekerja atau buruh perempuan lainnya yang wajib diberikan oleh 

pengusaha yaitu hak tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua 

pada pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan 

memberitahukan kepada pengusaha.340  Selain itu, pekerja/buruh perempuan 

berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya 

melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut 

perhitungan dokter kandungan atau bidan.341 Sedangkan terhadap pekerja/buruh 

perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 

1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan 

atau bidan.342

Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi 

kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya343 jika hal itu harus dilakukan 

340  Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

341  Ketentuan cuti melahirkan 12 minggu ini  tidak sejalan dengan Konvensi ILO 183 

yang memberi  buruh perempuan hak cuti melahirkan selama 14 minggu. Sayang sekali negara kita  

belum meratifikasi Konvensi ILO 183 ini .

342  Pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

343  Masih banyak perusahaan yang belum memenuhi tanggung jawabnya untuk menyediakan 

ruang laktasi dan waktu menyusui di tempat kerja. Padahal itu telah diatur dalam Peraturan Bersama 

3 Menteri yakni Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Ketenagakerjaan 

dan Menteri Kesehatan No.48/Men.PP/XII/2008, PER.27/MEN/XII/2008 dan No.1177/Menkes/PB/

XII/2008 tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja.

--  253252    -

selama waktu kerja pengupahan344. Pada bagian lain diatur juga mengenai 

penghasilan yang pada pokoknya menegaskan agar setiap pekerja/buruh 

berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi 

kemanusiaan, dimana pemerintah wajib menetapkan kebijakan pengupahan yang 

melindungi pekerja/buruh.345 Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/

buruh sebagaimana dimaksud meliputi:

a. Upah minimum;

b. Upah kerja lembur;

c. Upah tidak masuk kerja sebab berhalangan;

d. Upah tidak masuk kerja sebab melakukan kegiatan lain di luar 

pekerjaannya;

e. Upah sebab menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;

f. Bentuk dan cara pembayaran upah;

g. Denda dan potongan upah;

h. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;

i. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional;

j. Upah untuk pembayaran pesangon; dan

k. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

 Terkait pengupahan, undang-undang menentukan bahwa upah pekerja/

buruh tidak akan dibayar jika  tidak melakukan pekerjaan, kecuali:346

a. Pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

b. Pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua 

masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

c. Pekerja/buruh tidak masuk bekerja sebab pekerja/buruh menikah, 

menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri 

melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak 

atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga 

344  Pasal 83 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.

345  Pasal 88 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

346  Pasal 93 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

--  255254    -

dalam satu rumah meninggal dunia;

d. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya sebab sedang 

menjalankan kewajiban terhadap negara;

e. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya sebab 

menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

f. Pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan 

tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik sebab kesalahan 

sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari 

pengusaha;

g. Pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;

h. Pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas 

persetujuan pengusaha; dan

i. Pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit ditentukan 

sebagai berikut:

1. Untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) 

dari upah;

2. Untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima 

perseratus) dari upah;

a. Untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh 

perseratus) dari upah; dan

b. Untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) 

dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh 

pengusaha.

c. Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk 

bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai 

berikut :

1. Pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;

2. Menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

3. Mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

--  255254    -

4. Membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

5. Isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk 

selama 2 (dua) hari;

6. Suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu 

meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan

7. Anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, 

dibayar untuk selama 1 (satu) hari.

8. Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud 

dalam ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan 

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan 

peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya 

dari pekerja/buruh yaitu utang yang didahulukan pembayarannya.347 

Selain itu, mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja.348 Posisi tenaga kerja/

buruh terhadap pengusaha pada umumnya lemah, sehingga seringkali para 

pengusaha mengabaikan hak-hak pekerja tanpa mereka memiliki kekuatan atau 

posisi tawar yang kuat untuk memperjuangkannya. sebab itulah, pekerja atau 

buruh dan serikat buruh atau serikat pekerja diberi hak mogok kerja sebagai hak 

dasar, dengan catatan dilakukan secara sah, tertib, dan damai setelah sebelumnya 

didahului dengan perundingan.349

Hak buruh lainnya yang dijamin oleh undang-undang yaitu larangan 

terhadap pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan 

alasan: .350

a. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja sebab sakit menurut 

keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) 

bulan secara terus-menerus

347  Pasal 95 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

348  Pasal 99 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

349  Pasal 137 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

350  Pasal 153 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

--  257256    -

b. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya sebab 

memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan 

peraturan perundang-undangan yang berlaku;

c. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

d. Pekerja/buruh menikah;

e. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau 

menyusui bayinya;

f. Pekerja/buruh memiliki  pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan 

dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah 

diatur dalam perjanjian kerja,peraturan perusahan, atau perjanjian 

kerja bersama;

g. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus 

serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan 

serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam 

kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang 

diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian 

kerja bersama;

h. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib 

mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana 

kejahatan; 

i. sebab perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, 

golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;

j. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan 

kerja, atau sakit sebab hubungan kerja yang menurut surat 

keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat 

dipastikan.

PHK yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

153 ayat (1) ini  batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan 

kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. Dalam hal terjadi PHK, pengusaha 

diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja 

--  257256    -

dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.351 Pasal 155352 yang 

mengatur tentang PHK telah diuji dan dibatalkan oleh MK.353 Para pemohon dalam 

permohonannya menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 155 ayat (2) khususnya 

frasa ”belum ditetapkan” berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil 

sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.354 

ini  disebabkan sebab tidak adanya penafsiran yang jelas dan 

tegas mengenai klausul “belum ditetapkan”, yang dalam praktiknya, implementasi 

dari unsur kata “belum ditetapkan” menimbulkan pertentangan; apakah putusan 

dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini  hanya 

sebatas pada pengadilan tingkat pertama ataukah juga meliputi putusan pada 

tingkat selanjutnya yaitu kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung 

(MA)?355 

Menurut para pemohon, frasa ”belum ditetapkan” juga telah menimbulkan 

ketidakadilan terhadap salah satu pihak sebab tidak mendapat imbalan dan 

perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sesuai Pasal 28D ayat 

(2) UUD NRI Tahun 1945, sebab berdasarkan Pasal 155 ayat (2) UU 13/2003 

juncto Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 (Lembaran 

Negara Republik negara kita  Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara 

Republik negara kita  Nomor 4356,  salah satu pihak yang dijamin haknya dalam 

putusan sela itu, yaitu para buruh dan pekerja, menjadi terabaikan hak asasi 

manusianya untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan imbalan yang 

351  Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

352  Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003: Pemutusan hubungan 

kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum. (2) 

Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik 

pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. (3) Pengusaha 

dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa 

tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja 

dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

353  Baca Putusan MK Nomor 37/PUU-IX/2011, hal. 34-38.

354  Ibid.

355  Ibid.

--  259258    -

sesuai dengan kerjanya.356 

Berdasarkan ini  di atas, para pemohon memohon agar Pasal 

155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, khususnya frasa “belum 

ditetapkan” harus ditafsirkan, selama putusan pengadilan belum memiliki  

kekuatan hukum tetap, kewajiban pekerja untuk bekerja dan kewajiban pengusaha 

untuk membayarkan upah yaitu sampai suatu putusan berkekuatan hukum tetap. 

Dengan kata lain, seandainya terhadap putusan pengadilan hubungan industrial, 

salah satu pihak mengajukan usaha  hukum kasasi, maka baik pekerja maupun 

pengusaha tetap harus menjalankan hak dan kewajibannya.357

Para pemohon memohon pengujian konstitusional frasa “belum 

ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 

bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dan menyatakan 

frasa “belum ditetapkan” konstitusional bersyarat sepanjang frasa “belum 

ditetapkan” ditafsirkan sampai berkekuatan hukum tetap.358

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003  dan Undang-Undang No. 2 Tahun 

2004 telah mengatur tentang mekanisme PHK. Pasal 151 Undang-Undang Nomor 

13 Tahun 2003 menegaskan bahwa pekerja dan pengusaha harus berusaha 

semaksimal mungkin menghindari PHK. Seandainya PHK tidak dapat dihindari, 

maka pekerja dan pengusaha harus berunding untuk mencari kesepakatan. 

Sekiranya pun perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka PHK hanya 

dapat dilakukan setelah ada penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan 

hubungan industrial.359 

PHK yang dilakukan tanpa persetujuan lembaga penyelesaian perselisihan 

hubungan industrial menjadi batal demi hukum (vide Pasal 155 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003). Selama masa lembaga penyelesaian perselisihan 

hubungan industrial masih memeriksa proses PHK, pekerja dan pengusaha harus 

tetap melaksanakan tugas dan kewajibannya masing-masing sebagaimana diatur 

356  Ibid.

357  Ibid.

358  Ibid.

359  Ibid.

--  259258    -

dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.360

Lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 yaitu amanat dari Pasal 

136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menyatakan, “dalam 

hal penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud 

dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat 

pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui 

prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan 

undang-undang”. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 

2004, Perselisihan Hubungan Industrial meliputi: perselisihan hak, perselisihan 

kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar 

serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan.361 

Mekanisme penyelesaian masing-masing perselisihan ini  dilakukan 

secara bertahap yang dimulai dari perundingan bipartit, mediasi, konsiliasi, 

arbitrase, dan penyelesaian oleh Pengadilan Hubungan Industrial. saat 

perselisihan diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana diatur 

dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, maka perselisihan ini  

dianggap belum final dan mengikat sampai putusan pengadilan memperoleh 

kekuatan hukum tetap.362 

jika  frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 dikaitkan dengan mekanisme penyelesaian 

perselisihan hubungan industrial, maka ada  potensi ketidakpastian hukum 

bagi para pihak tentang makna frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat 

(2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Apakah frasa “belum ditetapkan” 

diartikan pada saat putusan dijatuhkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial 

ataukah pada saat putusan ini  berkekuatan hukum tetap? 

Pertanyaan ini muncul sebab tidak semua putusan Pengadilan Hubungan 

Industrial langsung memperoleh kekuatan hukum tetap. Hanya putusan mengenai 

perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh 

360  Ibid.

361  Ibid.

362  Ibid.

--  261260    -

dalam satu perusahaan yang langsung memperoleh kekuatan hukum tetap pada 

saat putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada tingkat pertama. Sedangkan 

perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat diajukan 

permohonan kasasi sehingga putusannya jika  dimohonkan kasasi baru 

memperoleh kekuatan hukum tetap setelah adanya putusan MA (vide Pasal 

56 juncto Pasal 109 dan Pasal 110 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004).363

Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 telah menentukan, (1) Setiap 

orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum 

yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; (2) Setiap orang berhak 

untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam 

hubungan kerja.364  Berdasarkan ketentuan ini , menurut MK, perlu ada 

penafsiran yang pasti terkait frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) 

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, agar ada  kepastian hukum yang 

adil dalam pelaksanaan dari frasa “belum ditetapkan” a quo, sehingga para pihak 

dapat memperoleh jaminan dan kepastian hukum terhadap perolehan hak-hak 

mereka dalam hal terjadinya perselisihan hubungan industrial.365 

Menurut MK, frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) 

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 harus dimaknai putusan pengadilan 

yang memperoleh kekuatan hukum tetap sebab putusan Pengadilan Hubungan 

Industrial ada yang dapat langsung memperoleh kekuatan hukum tetap pada 

tingkat pertama oleh Pengadilan Hubungan Industrial, yaitu putusan mengenai 

perselisihan kepentingan, putusan mengenai perselisihan antar serikat pekerja/

serikat buruh dalam satu perusahaan, serta putusan mengenai perselisihan hak 

dan PHK yang tidak dimohonkan kasasi. Adapun putusan mengenai perselisihan 

hak dan PHK yang dimohonkan kasasi harus menunggu putusan kasasi dari MA 

terlebih dahulu baru memperoleh kekuatan hukum tetap.366

363  Ibid.

364  Ibid.

365  Ibid.

366  Ibid.

--  261260    -

Atas permohonan ini , MK mengabulkan permohonan para pemohon 

dengan amar: Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara 

Republik negara kita  Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara 

Republik negara kita  Nomor 4279) yaitu bertentangan dengan Undang-Undang 

Dasar Negara Republik negara kita  Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai belum 

berkekuatan hukum tetap.367

Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik negara kita  

Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik negara kita  Nomor 

4279) tidak memiliki  kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 

belum berkekuatan hukum tetap.368 Selain Pasal 155, Pasal 169 ayat (1) huruf 

c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran 

Negara Republik negara kita  Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara 

Republik negara kita  Nomor 4279) juga oleh MK dinyatakan bertentangan dengan 

Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita  Tahun 1945 sepanjang tidak 

dimaknai: “Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan 

kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal 

pengusaha tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 

(tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara 

tepat waktu sesudah itu”.369

Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 

tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik negara kita  Tahun 2003 

Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik negara kita  Nomor 4279) tidak 

memiliki  kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Pekerja/

buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada 

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha 

tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) 

367  Ibid.

368  Ibid.

369  Baca Putusan MK Nomor 58/PUU-IX/2011, hal. 25.

--  263262    -

bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara 

tepat waktu sesudah itu”.370

Undang-undang ini mengatur atau memuat sejumlah sanksi pidana jika  

pengusaha melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam undang-undang 

ini, sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal berikut:

Pasal 183

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, 

dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling 

lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 

(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus 

juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu tindak 

pidana kejahatan.

Pasal 184

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 

1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling 

sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu tindak 

pidana kejahatan.

Pasal 185

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 

82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), 

dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling 

lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 

(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus 

juta rupiah).

370  Ibid.

--  263262    -

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu tindak 

pidana kejahatan.

Pasal 186

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 

ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), 

dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling 

lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 

(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus 

juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu tindak 

pidana pelanggaran.

Pasal 187

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 

71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), 

Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling 

singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda 

paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak 

Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu tindak 

pidana pelanggaran.

Pasal 188

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 

108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan 

sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan 

paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu tindak 

pidana pelanggaran.

--  265264    -

G.  UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM 

PENDIDIKAN NASIONAL 

Hak atas pendidikan yaitu salah satu hak asasi mendasar yang harus 

diberikan atau disediakan oleh negara. Tanpa pendidikan, maka manusia tidak 

akan berkembang dan mampu mengembangkan dirinya, serta akan kehilangan 

hak-haknya yang lain, baik sebagai manusia maupun sebagai warga negara. UUD 

1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan 

dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan 

nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam 

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang,371 

dan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua 

puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran 

pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan 

pendidikan nasional.

Begitu juga dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 

menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan 

pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan 

meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, 

bertanggung jawab, berahlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak 

asasi manusia; termasuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik 

secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun warga , bangsa, dan 

negaranya.

Hak atas pendidikan ditegaskan pula dalam Kovenan Hak Ekonomi, 

Sosial dan Budaya yang menyatakan bahwa  negara-negara pihak pada kovenan 

ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka menyetujui bahwa 

pendidikan harus diarahkan pada perkembangan kepribadian manusia seutuhnya 

dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas hak-hak 

asasi dan kebebasan manusia yang mendasar. Pendidikan harus memungkinkan 

semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu warga  yang 

bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua 

371  Pasal 31 ayat (1 dan 3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.

--  265264    -

bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan lebih memajukan 

kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian.372 

Negara pihak dalam kovenan ini mengakui bahwa untuk mengusaha kan 

hak ini  secara penuh:373 

a. Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma 

bagi semua orang; 

b. Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan 

teknik dan kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya, harus tersedia 

dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak, 

dan khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara 

bertahap; 

c. Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara 

merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, 

khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara 

bertahap; 

d. Pendidikan mendasar harus sedapat mungkin didorong atau 

ditingkatkan bagi orang-orang yang belum mendapatkan atau belum 

menyelesaikan pendidikan dasar mereka; 

e. Pengembangan suatu sistem sekolah pada semua tingkatan harus 

secara aktif diusaha kan, suatu sistem beasiswa yang memadai 

harus dibentuk dan kondisi-kondisi materiil staf pengajar harus terus 

menerus diperbaiki. 

Pada bagian lain, kovenan juga mengatur negara pihak pada kovenan ini 

berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan wali yang sah, bila ada, 

untuk memilih sekolah bagi anak-anak mereka selain yang didirikan oleh lembaga 

pemerintah, sepanjang memenuhi standar minimal pendidikan, sebagaimana 

ditetapkan atau disetujui oleh negara yang bersangkutan, dan untuk memastikan 

bahwa pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan 

372  Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. 

373  Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.

--  267266    -

mereka.374

Hak atas pendidikan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 

Tahun 2003 didasarkan pada prinsip bahwa pendidikan diselenggarakan secara 

demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi 

hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.375 

Hak-hak yang terkait dengan hak atas pendidikan yaitu:376 

a. Setiap warga negara memiliki  hak yang sama untuk memperoleh 

pendidikan yang bermutu. 

b. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, 

intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. 

c. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta warga  

adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. 

d. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa 

berhak memperoleh pendidikan khusus. 

e. Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan 

pendidikan sepanjang hayat

Untuk memenuhi hak-hak atas pendidikan dimaksud pemerintah 

diwajibkan untuk:377 memberi  layanan dan kemudahan, serta menjamin 

terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa 

diskriminasi;. wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan 

bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. 

Selain hak-hak di atas, undang-undang juga menjamin bahwa setiap peserta 

didik pada setiap satuan pendidikan berhak: 378

a. Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang 

dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; 

374  Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.

375  Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.

376  Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.

377  Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.

378  Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.

--  267266    -

b. Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, 

dan kemampuannya; 

c. Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya 

tidak mampu membiayai pendidikannya; 

d. Mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak 

mampu membiayai pendidikannya; 

e. Pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain 

yang setara; 

f. Menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar 

masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu 

yang ditetapkan.

H. UNDANG-UNDANG NO. 40 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM JAMINAN 

SOSIAL NASIONAL 

Dalam penjelasan undang-undang ini disebutkan bahwa sistem Jaminan 

Sosial Nasional pada dasarnya yaitu program negara. Tujuannya 

untuk memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh 

rakyat negara kita . Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat 

memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak jika  terjadi hal-hal yang dapat 

memicu  hilang atau berkurangnya pendapatan, sebab menderita sakit, 

mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.

Ketentuan tentang jaminan sosial ini ada dalam Pasal 28H ayat (3)379 dan 

Pasal 34 ayat (2)380 UUD1945. Jaminan sosial juga dijamin dalam Deklarasi Hak 

Asasi Manusia dan ditegaskan dalam Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952, 

yang menganjurkan semua negara untuk memberi  perlindungan minimum 

kepada setiap tenaga kerja. Diatur juga dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 

1999 Pasal 41 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak 

379  Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya 

secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.

380  Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan 

warga  yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

--  269268    -

atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan 

pribadinya secara utuh.

Jaminan Sosial Nasional berdasarkan Undang-Undang No. 40 tahun 2004 

ini didasarkan pada asas: 381

a. Kemanusiaan, 

b. Asas manfaat, dan 

c. Asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara kita . 

Ketiga asas ini  dalam penjelasan diuraikan bahwa asas kemanusiaan 

berkaitan dengan penghargaan terhadap martabat manusia. Asas manfaat 

yaitu asas yang bersifat operasional, menggambarkan pengelolaan yang 

efektif dan efisien. Asas keadilan yaitu asas yang bersifat ideal. Sistem 

Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberi  jaminan terpenuhinya 

kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota 

keluarganya.382 Jenis Program Jaminan Sosial meliputi383 : 

a. Jaminan kesehatan; 

b. Jaminan kecelakaan kerja; 

c. Jaminan hari tua; 

d. Jaminan pensiun; dan 

e. Jaminan kematian.

I.  UNDANG-UNDANG NO. 24 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN 

BENCANA

Hukum hak asasi manusia yang memuat jaminan perlindungan dan hak-

hak sosial yang jarang diketahui dan jarang mendapatkan perhatian banyak pihak 

yaitu Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, 

terutama terkait dengan hak-hak pengungsi untuk mendapatkan perlindungan 

selama dan setelah terjadinya bencana. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa yang 

381  Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004.

382  Pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004.

383  Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004.

--  269268    -

dimaksud dengan bencana yaitu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang 

mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan warga  yang 

disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor 

manusia sehingga memicu  timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan 

lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. 

Bencana bisa berupa bencana alam, bencana non alam dan bencana 

sosial. Bencana alam yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau 

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, 

tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.384 

Bencana non alam yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian 

peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, 

epidemi, dan wabah penyakit.385

Sementara bencana sosial yaitu bencana yang diakibatkan oleh 

peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi 

konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas warga , dan teror. Pada 

peristiwa bencana alam, non alam dan bencana sosial, hampir dapat dipastikan 

menimbulkan dampak sosial kemanusian berupa pengungsian dimana orang atau 

kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk 

jangka waktu yang belum pasti sebagai dampak buruk bencana.386 

Pemerintah dan pemerintah daerah tentu saja menjadi penanggung jawab 

dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Tanggung jawab pemerintah 

dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi387: 

1. Pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko 

bencana dengan program pembangunan; 

2. Perlindungan warga  dari dampak bencana; 

3. Penjaminan pemenuhan hak warga  dan pengungsi yang terkena 

bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum; 

384  Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.

385  Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.

386  Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.

387  Pasal 6 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.

--  271270    -

4. Pemulihan kondisi dari dampak bencana; 

5. Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran 

Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai; 

6. Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk 

dana siap pakai; dan 

7. Pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan 

dampak bencana.

Penanggulangan bencana dimaksud didasarkan pada prinsip:388

1. Kemanusian

2. Keadilan; 

3. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; 

4. Keseimbangan, keselarasan, dan keserasian; 

5. Ketertiban dan kepastian hukum; 

6. Kebersamaan; 

7. Kelestarian lingkungan hidup; dan 

8. Ilmu pengetahuan dan teknologi.

Hak setiap orang yang berada dalam pengungsian yaitu:389

1. Mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi 

kelompok warga  rentan bencana; 

2. Mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam 

penyelenggaraan penanggulangan bencana. 

3. Mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang 

kebijakan penanggulangan bencana. 

4. Berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan 

program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk 

dukungan psikososial; 

388  Pasal 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.

389  Pasal 26 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.

--  271270    -

5. Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan 

penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri 

dan komunitasnya; dan 

6. Melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas 

pelaksanaan penanggulangan bencana. 

Selain itu, setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan 

bantuan  pemenuhan kebutuhan dasar dan memperoleh ganti kerugian sebab 

bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi.390 Pemenuhan kebutuhan 

dasar yang dimaksud adalah391: 

1. Kebutuhan air bersih dan sanitasi; 

2. Pangan; 

3. Sandang; 

4. Pelayanan kesehatan; 

5. Pelayanan psikososial; dan 

6. Penampungan dan tempat hunian. 

Penanganan pengungsi juga dilakukan paska bencana dalam bentuk 

rehabilitasi dan rekonstruksi.392 Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

57 huruf a dilakukan melalui kegiatan:393 

1. Perbaikan lingkungan daerah bencana; 

2. Perbaikan prasarana dan sarana umum; 

3. Pemberian bantuan perbaikan rumah warga ; 

4. Pemulihan sosial psikologis; 

5. Pelayanan kesehatan; 

6. Rekonsiliasi dan resolusi konflik; 

7. Pemulihan sosial ekonomi budaya; 

390  Pasal 26 ayat (2 dan 3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.

391  Pasal 53 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.

392  Pasal 57 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.

393  Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.

--  273272    -

8. Pemulihan keamanan dan ketertiban; 

9. Pemulihan fungsi pemerintahan; dan 

10. Pemulihan fungsi pelayanan publik. 

Sedangkan rekonstruksi dilakukan melalui kegiatan pembangunan yang 

lebih baik, meliputi:394 

1. Pembangunan kembali prasarana dan sarana; 

2. Pembangunan kembali sarana sosial warga ; 

3. Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya warga ; 

4. Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan 

yang lebih baik dan tahan bencana; 

5. Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kewarga an, 

dunia usaha, dan warga ; 

6. Peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya; 

7. Peningkatan fungsi pelayanan publik; dan 

8. Peningkatan pelayanan utama dalam warga . 

J. UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN 

DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Hukum hak asasi manusia tentang hak atas lingkungan hidup yang sehat 

sebagai salah satu hak sosial telah diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 

2009. Lahirnya peraturan ini didasarkan pada UUD 1945 yang menyatakan 

bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat yaitu hak asasi395 dan hak 

konstitusional bagi setiap warga negara negara kita . Oleh sebab itu, negara, 

pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan 

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan 

berkelanjutan. Semua itu bertujuan agar lingkungan hidup negara kita  tetap menjadi 

sumber dan penunjang hidup bagi rakyat negara kita  serta makhluk hidup lain.

394  Pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.

395  Pasal 28H (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan 

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

--  273272    -

Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam 

kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Untuk itu 

perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-

sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Di sisi lain, akibat 

pemanasan global yang semakin meningkat, memicu  perubahan iklim 

sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup.

Oleh sebab itu, pembangunan berkelanjutan yaitu usaha  sadar dan 

terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke 

dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta 

keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini 

dan generasi masa depan. Hak atas lingkungan hidup yang sehat ini bertujuan:396 

a. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik negara kita  dari 

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; 

b. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; 

c. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian 

ekosistem; 

d. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; 

e. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan 

hidup; 

f. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi 

masa depan; 

g. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup 

sebagai bagian dari hak asasi manusia; 

h. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; 

i. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan 

j. Mengantisipasi isu lingkungan global.

Hak atas lingkungan hidup dipertegas pula dalam Pasal 65 yang mengatur 

bahwa:

a. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat 

396  Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.

--  275274    -

sebagai bagian dari hak asasi manusia. 

b. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, 

akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam 

memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 

c. Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap 

rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat 

menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. 

d. Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan 

pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. 

e. Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan 

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. 

Undang-undang ini juga menjamin hak imunitas dimana setiap orang 

yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak 

dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata (Pasal 66). Selain 

mengatur hak-hak, undang-undang ini juga membebani kewajiban-kewajiban, 

yaitu:397 memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan 

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; memberi  informasi yang 

terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, 

akurat, terbuka, dan tepat waktu; menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; 

dan menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku 

kerusakan lingkungan hidup.

Undang-undang ini juga mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik 

hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana. Ketentuan hukum 

perdata meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dan di 

dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di dalam pengadilan 

meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi lingkungan, ataupun 

hak gugat pemerintah. Melalui cara ini  diharapkan selain akan menimbulkan 

efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan 

397  Pasal 67-68 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.

--  275274    -

tentang betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi 

kehidupan generasi masa kini dan masa depan.398

Penegakan hukum pidana dalam undang-undang ini memperkenalkan 

ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, 

pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, 

dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan 

tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan 

penegakan hukum pidana sebagai usaha  terakhir setelah penerapan penegakan 

hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium 

ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap 

pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.399

K. UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

Hak atas kesehatan yaitu salah satu hak asasi manusia yang 

mendasar, yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Kesehatan bahkan 

yaitu salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai 

dengan cita-cita bangsa negara kita  sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan 

Pembukaan UUD 1945. Oleh sebab itu, pembangunan kesehatan diselenggarakan 

dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, 

penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, jender dan non diskriminatif 

dan norma-norma agama.400 

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, 

kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud 

derajat kesehatan warga  yang setinggi-tingginya, sebagai investasi 

bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan 

ekonomis.401 Kesehatan sebagai hak diatur rinci dalam Pasal 5 ayat (1), yaitu:

a. Setiap orang memiliki  hak yang sama dalam memperoleh akses 

398  Baca Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.

399  Ibid.

400  Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.

401  Pasal 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.

--  277276    -

atas sumber daya di bidang kesehatan. 

b. Setiap orang memiliki  hak dalam memperoleh pelayanan 

kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. 

c. Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab 

menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi 

dirinya. 

Selain itu, setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi 

pencapaian derajat kesehatan;402 mendapatkan informasi dan edukasi tentang 

kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab;403 memperoleh informasi 

tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah 

maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.404 Pasien juga berhak 

atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada 

penyelenggara pelayanan kesehatan, kecuali: 

a. Perintah undang-undang; 

b. Perintah pengadilan; 

c. Izin yang bersangkutan; 

d. Kepentingan warga ; atau 

e. Kepentingan orang ini .405

Untuk memenuhi dan melindungi hak-hak atas kesehatan, pemerintah 

bertanggung jawab:

a. Merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan 

mengawasi penyelenggaraan usaha  kesehatan yang merata dan 

terjangkau oleh warga ;406

b. Bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas 

kesehatan baik fisik maupun sosial bagi warga  untuk mencapai 

402  Pasal 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.

403  Pasal 7 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.

404  Pasal 8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.

405  Pasal 57 ayat (1 ) dan (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.

406  Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.

--  277276    -

derajat kesehatan yang setinggi-tingginya;407 

c. Bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang 

kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh warga  untuk 

memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya;408 

d. Bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap