HAM 10




 informasi, 

edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan 

memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya;409 

e. Bertanggung jawab memberdayakan dan mendorong peran aktif 

warga  dalam segala bentuk usaha  kesehatan;410 

f. Bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk usaha  kesehatan 

yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau;411

g. Bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan warga  

melalui sistem jaminan sosial nasional bagi usaha  kesehatan 

perorangan.412

Pada bagian lain, undang-undang ini juga menjamin perlindungan pasien 

yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2). Ayat 1 menyebutkan bahwa 

setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan 

pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami 

informasi mengenai tindakan ini  secara lengkap. Ayat (2) menyatakan 

bahwa hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak 

berlaku pada: a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular 

ke dalam warga  yang lebih luas; b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan 

diri; atau c. gangguan mental berat. 

Sebagai hukum hak asasi manusia bidang kesehatan, undang-undang 

ini memuat sejumlah sanksi pidana jika  terjadi pelanggaran, yang dalam 

407  Pasal 15 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.

408  Pasal 16 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.

409  Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.

410  Pasal 18 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.

411  Pasal 19 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.

412  Pasal 20 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.

--  279278    -

pasal-pasal berikut:

 Pasal 190

(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang 

melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang 

dengan sengaja tidak memberi  pertolongan pertama terhadap pasien 

yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling 

lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua 

ratus juta rupiah). 

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memicu  

terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan 

dan/atau tenaga kesehatan ini  dipidana dengan pidana penjara paling 

lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 

(satu miliar rupiah). 

Pasal 191

Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional 

yang memakai alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 

ayat (1) sehingga memicu  kerugian harta benda, luka berat atau kematian 

dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling 

banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 

Pasal 192

Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan 

tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) 

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda 

paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

Pasal 193

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi 

untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan 

denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) 

--  279278    -

Pasal 194

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan 

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan 

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

Pasal 195

Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih 

apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan 

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 

Pasal 196

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan 

farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau 

persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara 

paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 

(satu miliar rupiah). 

Pasal 197

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan 

farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling 

lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 

(satu miliar lima ratus juta rupiah). 

Pasal 198

Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan 

praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan 

pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 

Pasal 199

(1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok 

ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik negara kita  dengan tidak 

mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana 

--  281280    -

dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun 

dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); 

(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak 

Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 

Pasal 200

Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu 

ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara 

paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 

(seratus juta rupiah) 

Pasal 201

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat 

(1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, 

dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda 

terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi 

berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, 

Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200. 

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi 

dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/

atau b. pencabutan status badan hukum.

L. UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN 

KAWASAN PEMUKIMAN

Hak atas tempat tinggal (perumahan) dan kawasan pemukiman yaitu 

salah satu hak asasi manusia yang fundamental. Tempat tinggal bukan 

sekadar tempat berteduh untuk kesehatan dan keselamatan, tetapi juga tempat 

melangsungkan kehidupan yang manusiawi. Begitu pula kawasan perumahan 

yang baik dan sehat akan menentukan mutu hidup dan kehidupan manusia dalam 

jangka yang panjang. Pasal 25 ayat (1) Deklarasi Hak Asasi Manusia menegaskan 

bahwa setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan 

--  281280    -

dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, 

perumahan.

Untuk itu, negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa 

negara kita  melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. 

Tujuannya agar warga  mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah 

yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, 

dan berkelanjutan di seluruh wilayah negara kita . Atas dasar tanggung jawab 

ini , Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak 

Asasi Manusia menegaskan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup 

yang baik dan sehat. 

Dalam Pasal 40 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat 

tinggal serta berkehidupan yang layak. Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa, 

“setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup 

layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.” ini diperkuat dengan 

Pasal 28H (1) UUD 1945, yang menegaskan bahwa, “setiap orang berhak hidup 

sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup 

yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Ketentuan tentang hak atas perumahan ini   diatur jelas dalam Pasal 

50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, yang menyebutkan: (1) Setiap 

orang berhak untuk bertempat tinggal atau menghuni rumah. (2) Hak untuk 

menghuni rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: hak milik; 

atau sewa atau bukan dengan cara sewa. Selanjutnya Pasal 192 menyebutkan 

bahwa setiap orang berhak: 

a. Menempati, menikmati, dan/atau memiliki/memperoleh rumah yang 

layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur; 

b. Melakukan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman; 

c. Memperoleh informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan 

perumahan dan kawasan permukiman; 

d. Memperoleh manfaat dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan 

permukiman; 

--  283282    -

e. Memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami 

secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan perumahan dan 

kawasan permukiman; dan 

f. Mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan terhadap 

penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang 

merugikan warga .

Selain mengatur hak-hak, undang-undang ini juga mengatur kewajiban-

kewajiban, yaitu:413

a. Menjaga keamanan, ketertiban, kebersihan, dan kesehatan di 

perumahan dan kawasan permukiman; 

b. Turut mencegah terjadinya penyelenggaraan perumahan dan 

kawasan permukiman yang merugikan dan membahayakan 

kepentingan orang lain dan/atau kepentingan umum; 

c. Menjaga dan memelihara prasarana lingkungan, sarana lingkungan, 

dan utilitas umum yang berada di perumahan dan kawasan 

permukiman; dan 

d. Mengawasi pemanfaatan dan berfungsinya prasarana, sarana, dan 

utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman.

Selain mengatur tentang hak dan kewajiban, undang-undang ini juga 

memuat larangan-larangan, metode penyelesaian sengketa, sanksi, administrasi 

dan sanksi pidana, yang diatur sebagai berikut:

Pasal 134

Setiap orang dilarang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang 

tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, 

prasana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan. 

Pasal 135

Setiap orang dilarang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya atas 

rumah umum kepada pihak lain. 

413  Pasal 130 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011.

--  283282    -

Pasal 136

Setiap orang dilarang menyelenggaraan lingkungan hunian atau Kasiba yang 

tidak memisahkan lingkungan hunian atau Kasiba menjadi satuan lingkungan 

perumahan atau Lisiba. 

Pasal 137

Setiap orang dilarang menjual satuan lingkungan perumahan atau Lisiba yang 

belum menyelesaikan status hak atas tanahnya. 

Pasal 138

Badan hukum yang melakukan pembangunan rumah tunggal, rumah deret, 

dan/atau rumah susun dilarang melakukan serah terima dan/atau menarik 

dana lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari pembeli sebelum memenuhi 

persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.

Pasal 139

Setiap orang dilarang membangun perumahan dan/atau permukiman di luar 

kawasan yang khusus diperuntukkan bagi perumahan dan permukiman. 

Pasal 140

Setiap orang dilarang membangun, perumahan, dan/atau permukiman di tempat 

yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang. 

Pasal 141

Setiap pejabat dilarang mengeluarkan izin pembangunan rumah, perumahan, 

dan/atau permukiman yang tidak sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan ruang. 

Pasal 142

Setiap orang dilarang menolak atau menghalang-halangi kegiatan pemukiman 

kembali rumah, perumahan, dan/atau permukiman yang telah ditetapkan oleh 

pemerintah dan/atau pemerintah daerah setelah terjadi kesepakatan dengan 

warga  setempat. 

Pasal 143

Setiap orang dilarang menginvestasikan dana dari pemupukan dana tabungan 

perumahan selain untuk pembiayaan kegiatan penyelenggaraan perumahan 

dan kawasan permukiman. 

--  285284    -

Pasal 144

Badan Hukum yang menyelenggarakan pembangunan perumahan dan kawasan 

permukiman, dilarang mengalihfungsikan prasarana, sarana, dan utilitas umum 

di luar fungsinya.

Pasal 145

Badan hukum yang belum menyelesaikan status hak atas tanah lingkungan 

hunian atau Lisiba, dilarang menjual satuan permukiman. 

Orang perseorangan dilarang membangun Lisiba. 

Pasal 146

Badan hukum yang membangun Lisiba dilarang menjual kaveling tanah  matang 

tanpa rumah. 

Dalam hal pembangunan perumahan untuk MBR dengan kaveling tanah matang 

ukuran kecil, larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan. 

BAB XIV 

Pasal 147

Penyelesaian sengketa di bidang perumahan terlebih dahulu diusaha kan 

berdasarkan musyawarah untuk mufakat. 

Pasal 148

(1) Dalam hal penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat tidak 

tercapai, pihak yang dirugikan dapat menggugat melalui pengadilan yang 

berada di lingkungan pengadilan umum atau di luar pengadilan berdasarkan 

pilihan sukarela para pihak yang bersengketa melalui alternatif penyelesaian 

sengketa.

(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 

(1) dilakukan melalui arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisiasi, 

dan/atau penilaian ahli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. 

(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada 

ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana. 

--  285284    -

Pasal 149

Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) atas pelanggaran 

dapat dilakukan oleh: a. orang perseorangan; b. badan hukum; c. warga ; 

dan/atau d. pemerintah dan/atau instansi terkait.

Pasal 150

(1) Setiap orang yang menyelenggarakan perumahan dan kawasan 

permukiman yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud 

dalam Pasal 26 ayat (1), 29 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 34 ayat 

(1) dan ayat (2), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 ayat (4), Pasal 

45, Pasal 47 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 49 ayat (2), Pasal 

63, Pasal 71 ayat (1), Pasal 126 ayat (2), Pasal 134, Pasal 135, Pasal 

136, Pasal 137, Pasal 138, Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142, 

Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, atau Pasal 146 ayat (1) dikenai sanksi 

administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. 

peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan pembangunan; c. penghentian 

sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan; 

d. penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan 

perumahan; e. penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel); f. 

kewajiban membongkar sendiri bangunan dalam jangka waktu tertentu; 

g. pembatasan kegiatan usaha; h. pembekuan izin mendirikan bangunan; 

i. pencabutan izin mendirikan bangunan; j. pembekuan/pencabutan surat 

bukti kepemilikan rumah; k. perintah pembongkaran bangunan rumah; 

l. pembekuan izin usaha; m. pencabutan izin usaha; n. pengawasan; o. 

pembatalan izin; p. kewajiban pemulihan fungsi lahan dalam jangka waktu 

tertentu; q. pencabutan insentif; r. pengenaan denda administratif; dan/atau 

s. penutupan lokasi.

Pasal 151

(1) Setiap orang yang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak 

membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, 

prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan sebagaimana 

--  287286    -

dimaksud dalam Pasal 134, dipidana dengan pidana denda paling banyak 

Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 

(2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dijatuhi 

pidana tambahan berupa membangun kembali perumahan sesuai dengan 

kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang 

diperjanjikan. 

Pasal 152

Setiap orang yang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah 

umum kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135, dipidana 

dengan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 

Pasal 153

(1) Setiap orang yang menyelenggaraan lingkungan hunian atau Kasiba 

yang tidak memisahkan lingkungan hunian atau Kasiba menjadi satuan 

lingkungan perumahan atau Lisiba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

136, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 

(lima miliar rupiah). 

(2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dapat dijatuhi 

pidana tambahan berupa pencabutan izin.

Pasal 154

Setiap orang yang menjual satuan lingkungan perumahan atau Lisiba yang 

belum menyelesaikan status hak atas tanahnya sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 137, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau 

denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 

Pasal 155

Badan hukum yang dengan sengaja melakukan serah terima dan/atau 

menerima pembayaran lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari pembeli 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138, dipidana dengan pidana kurungan 

paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 

(satu miliar rupiah). Pasal 156 Setiap orang yang dengan sengaja membangun 

perumahan dan/atau permukiman di luar kawasan yang khusus diperuntukkan 

bagi perumahan dan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139, 

--  287286    -

dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling 

banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). 

Pasal 157

Setiap orang yang dengan sengaja membangun perumahan, dan/atau 

permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi 

barang ataupun orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, dipidana 

dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak 

Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 158

Setiap pejabat yang dengan sengaja mengeluarkan izin pembangunan 

rumah, perumahan, dan/atau permukiman yang tidak sesuai dengan fungsi 

dan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 dipidana 

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak 

Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 

Pasal 159

Setiap orang yang dengan sengaja menolak atau menghalanghalangi kegiatan 

pemukiman kembali rumah, perumahan, atau permukiman yang telah ditetapkan 

oleh Pemerintah atau pemerintah daerah setelah terjadi kesepakatan dengan 

warga  setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142, dipidana 

dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak 

Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 

Pasal 160

Setiap orang yang dengan sengaja menginvestasikan dana dari pemupukan 

dana tabungan perumahan selain untuk pembiayaan kegiatan penyelenggaraan 

perumahan dan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

143, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda 

paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). 

Pasal 161

(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja membangun Lisiba sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 145 ayat (2), dipidana dengan pidana denda paling 

banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

--  289288    -

(2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dapat dipidana 

dengan pidana tambahan berupa pembongkaran Lisiba yang biayanya 

ditanggung oleh pelaku. Pasal 162 (1) Dipidana dengan pidana denda 

paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), Badan Hukum 

yang: a. mengalihfungsikan prasarana, sarana, dan utilitas umum diluar 

fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144; b. menjual satuan 

permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1); atau c. 

membangun lisiba yang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1). (2) Selain pidana bagi 

badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengurus badan 

hukum dapat dijatuhi pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) 

tahun. Pasal 163 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 

151 ayat (1), Pasal 152, Pasal 153, Pasal 154, Pasal 156, Pasal 157, 

Pasal 160, atau Pasal 161 dilakukan oleh badan hukum, maka selain pidana 

penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan 

terhadap badan hukum berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) 

kali dari pidana denda terhadap orang.

Dapat ditambahkan bahwa Pasal 22 ayat (3) undang-undang ini telah 

diuji dan dibatalkan oleh MK. Dalam permohonannya para penguji menyatakan, 

“luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 

(tiga puluh enam) meter persegi”, yang menurut pemohon bertentangan dengan 

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28H ayat 

(4) UUD 1945 yang menyatakan: 

1. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: “Segala warga negara bersamaan 

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib 

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada 

kecualinya.” 

2. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, 

jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta 

perlakuan yang sama di hadapan hukum.” 

--  289288    -

3. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak hidup sejahtera 

lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup 

yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” 

4. Pasal 28H ayat (4) UUD 1945: “Setiap orang berhak memiliki  hak 

milik pribadi dan hak milik ini  tidak boleh diambil alih secara 

sewenang-wenang oleh siapa pun.”

Atas permohonan ini , MK berpendapat bahwa hidup sejahtera lahir 

dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan 

sehat yaitu hak asasi manusia dan hak konstitusional bagi setiap warga negara 

negara kita  (vide Pasal 28H ayat (1) UUD 1945). Salah satu tujuan dibentuknya 

negara yaitu untuk melindungi segenap bangsa negara kita  (vide alinea IV 

Pembukaan UUD 1945). 

Terkait dengan hak warga negara dan berhubungan pula dengan salah 

satu tujuan dalam pembentukan negara dimaksud maka negara berkewajiban 

untuk melakukan usaha -usaha  dalam rangka mewujudkan terpenuhinya hak 

warga negara ini . Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman 

yaitu salah satu aspek pembangunan nasional, pembangunan manusia 

seutuhnya, sebagai salah satu usaha  untuk mewujudkan terpenuhinya hak 

konstitusional ini , yang juga yaitu pemenuhan kebutuhan dasar 

manusia yang memiliki peran strategis dalam pembentukan watak dan kepribadian 

warga negara sebagai usaha  pencapaian salah satu tujuan pembangunan bangsa 

negara kita  yang berjati diri, mandiri, dan produktif. 

Sebagai salah satu usaha  pemenuhan hak konstitusional, penyelenggaraan 

perumahan dan kawasan permukiman yaitu wajar dan bahkan yaitu 

keharusan, manakala penyelenggaraan dimaksud harus memenuhi syarat-syarat 

tertentu, antara lain, syarat kesehatan dan kelayakan serta keterjangkauan oleh 

daya beli warga , terutama warga  yang berpenghasilan rendah (vide 

konsiderans (Menimbang) huruf a sampai dengan huruf d serta Penjelasan Umum 

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011). 

--  291290    -

Terkait dengan syarat keterjangkauan oleh daya beli warga , terutama 

warga  yang berpenghasilan rendah, menurut Mahkamah, Pasal 22 ayat (3) 

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, yang mengandung norma pembatasan 

luas lantai rumah tunggal dan rumah deret berukuran paling sedikit 36 (tiga 

puluh enam) meter persegi, yaitu pengaturan yang tidak sesuai dengan 

pertimbangan keterjangkauan oleh daya beli sebagian warga , terutama 

warga  yang berpenghasilan rendah. Implikasi hukum dari ketentuan 

ini  berarti melarang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman 

membangun rumah tunggal atau rumah deret yang ukuran lantainya kurang dari 

ukuran 36 (tiga puluh enam) meter persegi. 

ini  berarti pula telah menutup peluang bagi warga  yang 

daya belinya kurang atau tidak mampu untuk membeli rumah sesuai dengan 

ukuran minimal ini . Lagipula, daya beli warga  yang berpenghasilan 

rendah, antara satu daerah dengan daerah yang lain, yaitu tidak sama. Demikian 

pula harga tanah dan biaya pembangunan rumah di suatu daerah dengan daerah 

yang lain berbeda. Oleh sebab itu, menyeragamkan luas ukuran lantai secara 

nasional tidaklah tepat. 

Selain itu, hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, 

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak memperoleh 

pelayanan kesehatan sebagaimana dipertimbangkan di atas yaitu salah satu 

hak asasi manusia yang pemenuhannya tidak semata-mata ditentukan oleh luas 

ukuran lantai rumah atau tempat tinggal, akan tetapi ditentukan pula oleh banyak 

faktor, terutama faktor kesyukuran atas karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang 

Maha Esa.

Dengan pertimbangan ini , MK memutuskan bahwa Pasal 22 ayat 

(3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan 

Permukiman (Lembaran Negara Republik negara kita  Tahun 2011 Nomor 7, 

Tambahan Lembaran Negara Republik negara kita  Nomor 5188) bertentangan 

dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita  Tahun 1945; 1.2 

Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan 

dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik negara kita  Tahun 2011 

--  291290    -

Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik negara kita  Nomor 5188) tidak 

memiliki  kekuatan hukum mengikat.

M.  UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR 

MISKIN

Tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 

1945 yaitu melindungi segenap bangsa negara kita  dan seluruh tumpah darah 

negara kita , memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, 

dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian 

abadi, dan keadilan sosial. Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan 

kehidupan bangsa, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara kita , negara 

berkewajiban mensejahterakan seluruh warga negaranya dari kondisi kefakiran 

dan kemiskinan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. 

Kewajiban negara dalam membebaskan dari kondisi ini  dilakukan 

melalui usaha  penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas kebutuhan 

dasar. usaha  ini  harus dilakukan oleh negara sebagai prioritas utama 

dalam pembangunan nasional termasuk untuk mensejahterakan fakir miskin, 

sebagaiamana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) menyatakan fakir miskin dan anak-

anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Penanganan fakir miskin berasaskan:414 

a. Kemanusiaan;415 

b. Keadilan sosial;416 

c. Non diskriminasi;417 

414  Pasal 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011.

415  Yang dimaksud dengan asas “kemanusiaan” yaitu dalam penanganan fakir miskin 

harus memberi  perlindungan, penghormatan hak-hak asasi manusia, serta harkat dan martabat 

setiap warga negara dan penduduk negara kita  secara proporsional (dalam penjelasan).

416  Yang dimaksud dengan asas “keadilan sosial” yaitu dalam penanganan fakir miskin 

harus memberi  keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali (dalam 

penjelasan).

417  Yang dimaksud dengan asas “non diskriminasi” yaitu dalam penanganan fakir miskin 

harus dilakukan atas dasar persamaan tanpa membedakan asal, suku, agama, ras, dan antargolongan 

(dalam penjelasan).

--  293292    -

d. Kesejahteraan;418 

e. Kesetiakawanan419; dan 

f. Pemberdayaan.420

Fakir miskin berhak:421 

a. Memperoleh kecukupan pangan, sandang, dan perumahan; 

b. Memperoleh pelayanan kesehatan; 

c. Memperoleh pendidikan yang dapat meningkatkan martabatnya; 

d. Mendapatkan per l indungan sosial  dalam membangun, 

mengembangkan, dan memberdayakan diri dan keluarganya sesuai 

dengan karakter budayanya; 

e. Mendapatkan pelayanan sosial melalui jaminan sosial, pemberdayaan 

sosial, dan rehabilitasi sosial dalam membangun, mengembangkan, 

serta memberdayakan diri dan keluarganya; 

f. Memperoleh derajat kehidupan yang layak; 

g. Memperoleh lingkungan hidup yang sehat; 

h. Meningkatkan kondisi kesejahteraan yang berkesinambungan; dan 

i. Memperoleh pekerjaan dan kesempatan berusaha.

Selain itu juga fakir miskin bertanggung jawab:422 

a. Menjaga diri dan keluarganya dari perbuatan yang dapat merusak 

kesehatan, kehidupan sosial, dan ekonominya; 

b. Meningkatkan kepedulian dan ketahanan sosial dalam berwarga ; 

418  Yang dimaksud dengan asas “kesejahteraan” yaitu dalam penanganan fakir miskin 

harus dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan fakir miskin (dalam penjelasan).

419  Yang dimaksud dengan asas “kesetiakawanan” yaitu dalam penanganan fakir miskin 

harus dilandasi oleh kepedulian sosial untuk membantu orang yang membutuhkan pertolongan 

dengan empati dan kasih saying (dalam penjelasan).

420  Yang dimaksud dengan asas “pemberdayaan” yaitu dalam penanganan fakir miskin 

harus dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan kapasitas sumber daya manusia untuk 

meningkatkan kemandirian (dalam penjelasan).

421  Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011.

422  Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011.

--  293292    -

c. Memberdayakan dirinya agar mandiri dan meningkatkan taraf 

kesejahteraan serta berpartisipasi dalam usaha  penanganan 

kemiskinan; dan 

d. Berusaha dan bekerja sesuai dengan kemampuan bagi yang 

memiliki  potensi.

Penanganan fakir miskin dilaksanakan dalam bentuk:423 

a. Pengembangan potensi diri;424 

b. Bantuan pangan dan sandang;425 

c. Penyediaan pelayanan perumahan;426 

d. Penyediaan pelayanan kesehatan;427 

e. Penyediaan pelayanan pendidikan;428 

f. Penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha;429 

g. Bantuan hukum430; dan/atau 

h. Pelayanan sosial.

Peraturan perundang-undangan ini juga memuat sejumlah ketentuan 

pidana yang diatur dalam Pasal 42 dan Pasal 43. 

423  Pasal 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011.

424  Yang dimaksud dengan “pengembangan potensi diri” yaitu usaha  untuk 

mengembangkan potensi yang ada dalam diri seseorang antara lain mental, spiritual, dan budaya 

(penjelasan).

425  Yang dimaksud dengan “bantuan pangan dan sandang” yaitu bantuan untuk 

meningkatkan kecukupan dan diversifikasi pangan, serta kecukupan sandang yang layak (penjelasan).

426  Yang dimaksud dengan ”penyediaan pelayanan perumahan” yaitu bantuan untuk 

memenuhi hak warga  miskin atas perumahan yang layak dan sehat (penjelasan).

427  Yang dimaksud dengan ”penyediaan pelayanan kesehatan” yaitu penyediaan pelayanan 

kesehatan untuk memenuhi kebutuhan dasar fakir miskin (penjelasan).

428  Yang dimaksud dengan “penyediaan pelayanan pendidikan” yaitu penyediaan pelayanan 

pendidikan untuk memenuhi kebutuhan dasar fakir miskin dalam memperoleh layanan pendidikan 

yang bebas biaya, bermutu, dan tanpa diskriminasi gender (penjelasan).

429  Yang dimaksud dengan ”penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha” yaitu 

untuk memenuhi hak fakir miskin atas pekerjaan dan pengembangan usaha yang layak (penjelasan).

430  Yang dimaksud dengan “bantuan hukum” yaitu bantuan yang diberikan kepada fakir 

miskin yang bermasalah dan berhadapan dengan hukum (penjelasan).

--  PB294    -

Pasal 42

Setiap orang yang memalsukan data verifikasi dan validasi sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling 

lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh 

juta rupiah)

Pasal 43

Setiap orang yang menyalahgunakan dana penanganan fakir miskin 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan pidana penjara paling 

lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus 

juta rupiah). (2) Korporasi yang menyalahgunakan dana penanganan fakir miskin 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan denda paling banyak 

Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

 

--  295PB   -

BAB VI

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

A. 

Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu salah satu jenis pengadilan baru di 

negara kita . Pengadilan ini dibentuk setelah Orde Baru jatuh di tahun 1998, terutama 

untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia masa lalu atau yang terjadi pada 

masa rezim Orde Baru. Keberadaannya yaitu respon atas desakan kekuatan 

pro demokrasi dalam negeri dan dunia internasional.

Desakan dunia internasional untuk menyelidiki dan mengadili pelanggaran 

hak sasi manusia di pelbagai wilayah di negara kita  seperti yang terjadi di Timor 

Timur, Aceh, dan  Papua telah mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 

mengeluarkan resolusi 1999/S-4/1. Isi esolusi ini  yaitu meminta Sekjen 

PBB untuk membentuk komisi penyelidik internasional dengan komposisi anggota 

yang terdiri dari ahli-ahli dari Asia, dan bekerjasama dengan Komisi Nasional Hak 

Asasi Manusia (Komnas HAM) negara kita , serta mengirimkan pelapor khusus 

ke Timor Timur. 

Selain itu, resolusi juga merekomendasikan untuk membentuk International 

Tribunal atas kasus ini . Atas resolusi Komisi Hak Asasi Manusia PBB 

ini , negara kita  secara tegas menolak. negara kita  akan menyelesaikan kasus 

pelanggaran hak asasi manusia dengan memakai ketentuan nasional sebab 

konstitusi negara kita  memungkinkan untuk menyelenggarakan peradilan hak 

asasi manusia.

Dengan berbagai desakan yang muncul serta komitmen negara kita  untuk 

menyelesaikan sendiri melalui mekanisme hukum nasional, maka pada tanggal 23 

--  297296    -

September 1999 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 

tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 104 pada undang-undang itu mengamanatkan 

pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan kasus-kasus 

pelanggaran hak asasi manusia berat. ini diikuti dengan terbitnya  Peraturan 

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1999 tentang 

Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Penetapan Perppu ini  didasarkan pada pertimbangan adanya dugaan 

telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam bentuk pembunuhan 

sewenang-wenang, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa. Semua itu 

menimbulkan kerugian, baik materiil maupun imateriil, serta memicu  

perasaan tidak aman baik terhadap perorangan maupun warga . Dampak 

kejadian ini  juga sangat luas dan menyangkut nama naik negara kita  di mata 

dunia internasional.

Keberadaan Pengadilan Hak Asasi Manusia ini sekaligus diharapkan 

dapat mengembalikan kepercayaan warga  dan dunia internasional terhadap 

penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan hak asasi 

manusia di negara kita . Respon cepat pemerintahan transisi di bawah Presiden 

B.J. Habibe itu memang berhasil mengerem desakan dunia internasional untuk 

menggelar pengadilan internasional. Pada sisi lain, Perppu yang lahir kemudian 

tidak jadi digunakan sebab ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan 

pelbagai pertimbangan. Salah satu pertimbangan itu yaitu kurang kuatnya 

alasan konstitusional yang dimandatkan oleh Pasal 22 UUD 1945 (keadaan yang 

memaksa) serta adanya kelemahan substansial, berupa kurang mencerminkan 

rasa keadilan. ini dikarenakan Perppu tidak berlaku surut (retroaktif), yang 

tidak memungkinkan dijadikan landasan hukum mengadili pelanggaran hak asasi 

manusia yang terjadi sebelum disahkannya Perppu.

Sebagai pengganti Perppu, pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan 

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 

Terbitnya peraturan ini memungkinkan untuk dilakukannya pengadilan atas 

pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum disahkannya Undang-

Undang Nomor 26 Tahun 2000. Selain memuat pengaturan tentang pengadilan 

--  297296    -

hak asasi manusia terhadap pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, undang-

undang ini juga mengatur pengadilan hak asasi manusia terhadap pelanggaran 

hak asasi manusia yang terjadi setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 26 

Tahun 2000.

B. PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA  AD HOC

Dasar hukum pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc yaitu 

Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.  Dalam ayat (1) dinyatakan 

bahwa pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi sebelum diundangkannya 

undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad 

Hoc. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 

(1) dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan 

Presiden (ayat 2). Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada 

dalam pengadilan umum (ayat 3). 

Dalam penjelasannya, DPR yang juga sebagai pihak yang mengusulkan 

dibentuknya Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc mendasarkan usulannya pada 

dugaan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang dibatasi pada 

locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya 

undang-undang ini. Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 

ini  tidak mengatur secara jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana 

pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc. 

Berdasarkan pengalaman pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad 

Hoc di Timor-Timor dan Tanjung Priok, menunjukkan bahwa ada mekanisme yang 

bisa dijalankan. Komnas HAM melakukan penyelidikan, lalu hasilnya diserahkan 

ke Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan. Hasil penyidikan diserahkan 

ke Presiden. Presiden mengirimkan surat ke DPR, lalu DPR mengeluarkan 

rekomendasi. Selanjutnya, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden tentang 

pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.

--  299298    -

1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Timor Timur 431

Menyusul jatuhnya Soeharto pada Mei 1998, Pemerintahan B.J. Habibie 

mengambil kebijakan untuk menyelesaikan persoalan Timor Timur (kini bernama 

Timor Leste) pada 27 Januari 1999. Pemerintah negara kita  mengeluarkan 

keputusan mengadakan jajak pendapat pada rakyat Timor Timur dengan dua 

pilihan (opsi).  Opsi pertama yaitu otonomi khusus dan opsi kedua memisahkan 

diri dari negara kita . Hasil jajak pendapat 30 Agustus 1999 menunjukkan bahwa 

78,5% rakyat Timor Timur memilih melepaskan diri dari negara kita . 

Segera setelah pengumuman hasil jajak pendapat pada 4 September 1999, 

terjadi tindak kekerasan berupa pembumihangusan, pembunuhan, perkosaan, 

penjarahan dan pengungsian secara besar-besaran di wilayah Timor Timur. 

Peristiwa ini  mengundang reaksi keras dari dalam dan luar negeri yang 

meminta pemerintah negara kita  bertanggung jawab atas peristiwa ini . Dewan 

Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 1264, pada tanggal 15 September 

1999. Resolusi ini mendesak pemerintah negara kita  agar segera mengadili mereka 

yang bertanggung jawab terhadap terjadinya kekerasan di Timor Timur. Resolusi 

ini memberi  kewajiban internasional secara mandatory kepada pemerintah 

negara kita  untuk mengadili pelaku pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor 

Timur melalui Pengadilan Ad Hoc. 

Resolusi Dewan Keamanan PBB selanjutnya ditindaklanjuti dengan 

penyelenggaraan special session oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada 

tanggal 23-27 September 1999, yang menghasilkan Resolusi 1999/S-4/1. 

Resolusi ini  menuntut Pemerintah Republik negara kita  bekerja sama dengan 

Komnas HAM menjamin bahwa orang-orang yang bertanggung jawab atas tindak 

431  Materi tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Timor Timur, diambil dari: 

Suparman Marzuki, “Pengadilan HAM di negara kita  (Catatan Kritis Terhadap Pengadilan HAM Ad 

Hoc Timor Timur dan Tanjung Priok)”, Makalah , disampaikan dalam acara Pelatihan terhadap Ketua 

Pengadilan Negeri (KPN) yang diselenggarakan kerjasama antara Badan Penelitian, Pengembangan, 

Pendidikan, Latihan, Hukum dan Keadilan Mahkamah Agung (BALITBANGDIKLATKUMDIL MA) dan 

Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam negara kita  (PUSHAM UII) dengan dukungan dari 

Norwegian Center for Human Rights  (NCHR), Oslo University, Norway pada 30 Nopember 2016 

di Jakarta. Uraian lengkap bisa dibaca dalam Suparman Marzuki, Pengadilan HAM Melanggengkan 

Impuniti,  Erlangga, Jakarta, 2012.

--  299298    -

kekerasan dan pelanggaran sistematis terhadap hak asasi manusia diadili. Situasi 

ini akhirnya mendorong Komnas HAM membentuk KPP HAM Timor Timur pada 

23 September 1999 berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang 

Hak Asasi Manusia dan Perppu Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak 

Asasi Manusia. 

KPP HAM Timor Timur menjalankan fungsinya melakukan penyelidikan 

terhadap dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat. Hasil penyelidikan 

membuktikan adanya indikasi kuat telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia 

berat berupa kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity).  Pelanggaran 

ini  dilakukan secara terencana dan sistematik serta dalam skala besar dan 

luas berupa pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan 

paksa, kekerasan terhadap perempuan dan anak (termasuk perkosaan dan 

perbudakan seksual), pengungsian paksa, pembumihangusan dan perusakan 

benda-benda. 

DPR melalui Keputusan No. 44/DPR-RI/III/2000-2001 tanggal 21 Maret 

2001 menyetujui pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc kasus 

Timor Timur dan di Tanjung Priok. Atas dasar itu, diterbitkanlah Keppres Nomor 

53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada 

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Keppres ini  pada akhirnya dirubah dengan 

Keppres Nomor 96 Tahun 2001 dengan alasan lebih memperjelas tempat dan 

waktu tindak pidana (locus dan tempus delicti) pelanggaran hak asasi manusia 

yang berat yang terjadi di Timor Timur dan Tanjung Priok. 

Dalam Pasal 2 ditegaskan bahwa Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 berwenang memeriksa dan memutus 

perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi di Timor Timur 

dalam wilayah hukum Liquica, Dilli, dan Suai pada bulan April 1999 dan bulan 

September 1999, dan yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan September 1984. 

Penggantian Keppres itu bukan sekadar peristiwa hukum formal biasa, 

tetapi peristiwa hukum luar biasa. ini menyangkut substansi yang berimplikasi 

luas, yaitu mempersempit yurisdiksi pengadilan, yang semula tidak membatasi 

wilayah (locus) dan waktu (tempus) peristiwa menjadi membatasi hanya yang 

--  301300    -

terjadi (locus) di Liquica, Dili, dan Suai, serta yang terjadi antara bulan April dan 

September 1999 (tempus). Penyempitan wilayah (locus) dan waktu (tempus) 

peristiwa ini  membawa konsekuensi-konsekuensi berikut: 

Pertama,  tidak sejalan dengan mandat KPP HAM untuk melakukan 

penyelidikan terhadap keseluruhan pelanggaran yang terjadi di Timor Timor selama 

periode waktu dari 1 Januari sampai 25 Oktober 1999. Kedua,  mengaburkan 

konstruksi yuridis KPP HAM tentang temuan adanya pelanggaran berat hak 

asasi manusia. Ketiga,  dengan mempersempit wilayah dan waktu peristiwa, 

maka kasus-kasus yang terjadi dalam rentang waktu paska jajak pendapat 

tidak semuanya bisa diajukan ke persidangan, dan  keempat,  menyulitkan jaksa 

penuntut umum membuktikan adanya kejahatan kemanusian yang mensyaratkan 

unsur serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil. 

a. Dakwaan Jaksa

Dakwaan jaksa Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc kasus Timor Timur 

menyidangkan 18 terdakwa dalam dua tahap yang di muat dalam 12 (dua belas) 

berkas perkara yang terpisah. Persidangan tahap pertama berlangsung antara 

Maret-Agustus 2002 mengajukan tiga terdakwa: Abelio Soares, Timbul Silaen, 

serta Herman Sedyono dan kawan kawan. Tahap kedua mengajukan 9 orang 

terdakwa, yaitu: Eurico Guterres, Soedjarwo, Asep Kuswani dan kawan-kawan, 

Endar Priyatno, Adam Damiri, Hulman Gultom, M. Noer Muis, Jajat Sudrajat, dan 

Tono Suratman.432 Persidangan ini berlangsung September 2002-Februari 2003. 

Di dalam ke-12 dakwaannya itu, jaksa menetapkan 5 (lima) locus delicti 

yaitu peristiwa di kompleks gereja Liquisa, rumah Manuel Carascalao di Dili, Diosis 

Dili, rumah Uskup Bello di Dili dan kompleks gereja Ave Maria Suai, Kovalima. 

432  Dakwaan yang dikeluarkan hanya terhadap 18 orang saja, yaitu 10 petugas militer dan 

5 petugas kepolisian, 2 pejabat pemerintah sipil, dan seorang pemimpin milisi. Pejabat paling tinggi 

yang didakwa yaitu Panglima Kodam XI Udayana Mayor Jendral Adam Damiri. Pihak Kejaksaan 

Agung tidak menjelaskan mengapa sejumlah orang yang disebutkan dalam laporan KPP HAM tidak 

dikenai dakwaan. Di antara mereka yang tidak didakwa yaitu Jendral Wiranto (mantan Panglima 

ABRI dan Menteri Pertahanan) dan Mayor Jendral Zacky Anwar Makarim (Penasehat Keamanan bagi 

Satgas Pelaksanaan Penentuan Pendapat mengenai Otonomi Khusus bagi Timor Timur). 

--  301300    -

Sedangkan tempus delicti- nya yang terjadi pada April 1999 dan September 1999. 

ini berbeda dengan hasil penyelidikan KPP HAM yang menemukan adanya 

kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi, selain 

antara bulan Januari 1999 sampai dengan September 1999. 

Semua surat dakwaan yang diajukan jaksa pada umumnya dakwaan 

untuk bertanggungjawab secara pidana. Jaksa memakai pasal-pasal yang 

berkaitan dengan tanggung jawab komando dan dilakukan secara pembiaran 

(omission) sebab tidak melakukan pengendalikan efektif secara patut dan benar, 

serta mengabaikan informasi yang menunjukkan bawahannya melakukan atau 

baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.  Mereka dituduh 

melanggar Pasal 42 ayat (1) huruf (a); ayat 2 huruf (a) dan (b); Pasal 9 huruf (h) 

tentang Penganiayaan; Pasal 37 untuk kejahatan terhadap kemanusiaan berupa 

pembunuhan, serta Pasal 40 untuk kejahatan terhadap kemanusiaan berupa 

penganiayaan. 

Dakwaan untuk ke-12 berkas perkara ini  dibagi menjadi dakwaan 

komulatif dan dakwaan alternatif. Berkas dakwaan komulatif terdiri dari dakwaan 

kesatu: berupa kejahatan terhadap kemanusiaan (pembunuhan) dan dakwaan 

kedua: berupa kejahatan terhadap kemanusiaan (penganiayaan). Sedangkan 

dakwaan alternatif terdiri dari dakwaan primer, subsider dan lebih subsider. Dalam 

mengkonstruksikan unsur sistematik, jaksa menyusun rangkaian peristiwa yang 

terjadi dalam kurun waktu pada 3, 4, 5, 6 April 1999 dengan penyerangan yang 

terjadi 17 April dan 4-6 September 1999, seperti tertera dalam dakwaan terhadap 

Abilio Soares, Timbul Silaen, Adam Damiri, Noer Muis, Tono Suratman, Hulman 

Gultom, dan Soedjarwo. Sedangkan untuk berkas Eurico Guterres, Endar Priyanto, 

Jajat Sudrajat, Herman Sedyono dan kawan kawan serta Asep Kuswani dan 

kawan kawan, jaksa tampak kesulitan untuk menkonstruksikan unsur sistematik 

di dalam dakwaannya. 

Sementara unsur meluas (widespread) dikonstruksikan jaksa dengan 

cara memakai perluasan wilayah (locus geografis) dan banyaknya korban. 

Unsur meluas digambarkan dengan serangan yang diawali pada satu locus 

tertentu kemudian meluas pada wilayah lain dalam satu region yang sama. 

--  303302    -

Sedangkan massivitas korban digambarkan dengan banyaknya jumlah korban 

yang meninggal maupun luka-luka. Pada berkas dakwaan yang tempus delicti 

atau locus delicti lebih dari satu, jaksa tidak begitu kesulitan merumuskan unsur 

meluas (widespread),  baik yang berdasarkan locus geografis maupun massivitas 

korban. Berbeda halnya pada berkas perkara yang tempus delicti dan locus 

delicti hanya satu, jaksa jelas kesulitan, sehingga jaksa hanya mendasarkan pada 

massivitas korban dalam merumuskan unsur meluas. 

Konstruksi jaksa yang hanya memfokuskan dakwaan pada peristiwa yang 

terjadi pada periode April-September 1999 tanpa menghubungkannya dengan 

peristiwa-peristiwa sebelumnya, telah menjadi titik lemah dari dakwaan jaksa, 

sebab pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan mensyaratkan tindakan 

ini  yaitu bagian dari serangan terhadap warga sipil yang bersifat 

meluas atau sistematik. Meluas mengacu pada besaran luasan geografis 

atau massivitas korban. Untuk sistematik, mengacu pada adanya kebijakan 

yang tersistematisir yang membiarkan atau bahkan menganjurkan terjadinya 

pelanggaran hak asasi manusia yang berat. 

Unsur-unsur ini  akan sulit dipenuhi jika peristiwa pelanggaran hak 

asasi manusia berat yang terjadi, dilepaskan dari rangkaian peristiwa kekerasan 

lain yang terjadi Timor Timur. usaha  menghubungkan rangkaian kekerasan itu 

dilakukan untuk menjelaskan mengapa peristiwa yang terjadi di tiga kabupaten 

itu memenuhi unsur meluas dan sistematik. Jika ini  dilepaskan, 

maka peristiwa itu menjadi kasuistik. Bukan lagi satu rangkaian peristiwa yang 

memenuhi unsur meluas atau sistematik. Lebih dari itu, dengan memutusan 

keterkaitan pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan peristiwa-

peristiwa sebelumnya -termasuk mengabaikan sejumlah peristiwa kekerasan 

yang dilakukan pejabat militer dan kelompok-kelompok milisi sipil bentukannya- 

akan memunculkan ketegangan dan konflik horizontal antara kelompok pejuang 

kemerdekaan dengan kelompok pro integrasi yang tidak puas dengan proses 

jajak pendapat. 

--  303302    -

Di luar apa yang telah ditemukan di atas, ditemukan juga adanya 

ketidakcermatan atau kesengajaan. Jaksa menyusun dakwaan dalam satu berkas 

dakwaan kepada para terdakwa dengan pasal yang sama, padahal mereka 

dari status yang berbeda. Dalam kasus penyerangan gereja Ave Maria Suai 

misalnya, terdakwa yang berjumlah 5 orang didakwa (dakwaan primer) dengan 

Pasal 42 ayat 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang seharusnya 

hanya bisa diterapkan pada terdakwa dari kalangan militer. Sedangkan terdakwa 

dari kepolisian dan mantan bupati (sipil) tentu saja tidak bisa dikenakan pasal 

yang sama. Dengan dakwaan yang seperti ini, maka unsur-unsur pasal yang 

didakwakan pada terdakwa tertentu menjadi tidak terpenuhi yang berimplikasi 

tidak terbuktinya dakwaan. 

Hal yang relatif sama terjadi dalam kasus penyerangan di kediaman 

Pastor Rafael. Para terdakwa yang berbeda statusnya didakwa melanggar Pasal 

42 tanpa menyebutkan ayat berapa dalam dakwaan kesatu dan kedua primair. 

Jaksa tampaknya mengalami kesulitan merumuskan pasal dakwaan terhadap 

para terdakwa yang statusnya berbeda dan terkesan hanya ingin menjaring dan 

“asal kena” untuk para terdakwa. Jaksa tidak menyebutkan ayat berapa yang 

dilanggar. Jaksa juga seharusnya paham bahwa dakwaan semacam itu dapat 

dipastikan akan dinyatakan “tidak terbukti”. 

Perspektif yang digunakan jaksa dalam dakwaannya tampak berusaha  

menghilangkan keterkaitan kelompok-kelompok milisi sipil dengan TNI dan Polri. 

Dengan hilangnya konteks kelahiran kelompok-kelompok milisi sipil pro-integrasi 

yang menjadi pelaku langsung dengan kehadiran dan policy keamanan dari militer, 

maka dakwaan telah menggeser konteks peristiwa kejahatan terhadap kemanusian 

menjadi konflik horizontal antara kelompok-kelompok sipil.  Kehadiran milisi dalam 

dakwaan dipaparkan sebagai sesuatu yang terpisah dari institusi militer, bahkan 

pengertian milisi sipil ini tidak ditemukan dalam dakwaan. 

Kelompok ini hanya diidentifikasi sebagai salah satu pihak dari pertentangan 

horizontal pro dan anti kemerdekaan. Inilah yang memicu  dakwaan tidak 

dapat memperlihatkan kemunculan milisi sebagai kelompok yang “sengaja” 

dibentuk sebagai bagian dari policy keamanan di Timor Timur. Konteks ini juga 

--  305304    -

yang dapat memicu  putusnya mata rantai untuk memperlihatkan hubungan 

langsung peran militer dan pejabat sipil pemerintahan dalam pelanggaran hak 

asasi manusia yang berat, yang dilakukan oleh milisi sipil pro integrasi ini . 

Penggunaan perspektif ini  juga mempengaruhi kemampuan 

dakwaan dalam mendukung dakwaan tanggung jawab komando (command 

responsibility).  Hal terpenting dalam dakwaan ini yaitu usaha  menunjukkan 

ukuran yang tepat untuk membuktikan bahwa tindakan atau kebijakan yang 

dilakukan pemegang otoritas (sipil atau militer) dapat dikatakan sebagai bentuk 

pengabaian informasi, tidak efektif, secara patut dan benar. ini berkaitan 

langsung dengan pengertian omission (pembiaran) dan commission (perintah). 

Namun dalam dakwaan ini  tidak ada  fakta hukum sebagai penunjang 

seperti struktur komando, garis kebijakan dan pengendalian, serta besar, jumlah 

dan perbandingan petugas yang tersedia dengan besaran wilayah dan populasi 

serta hubungan antara kelompok-kelompok milisi sipil dengan TNI/ABRI. Ketiadaan 

ini  mempersulit rumusan tindakan pejabat sipil atau militer yang dapat 

dikategorikan sebagai bentuk perintah (commission).  

Dalam menunjukkan tanggung jawab komando, dakwaan juga tidak 

memiliki rumusan yang akurat, sebab jaksa hanya menyandarkan tanggung 

jawab komando pada ketentuan formal (legalistik). Terhadap Timbul Silaen 

misalnya, hanya dinyatakan sebagai Komandan dari Komando Pengendalian 

Keamanan di Timor Timur Paska New York Agreement  5 Mei 1999. Padahal 

untuk menunjukkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan, tanggungjawab 

komando tidak cukup dengan kedudukan formal terdakwa, melainkan lebih dari 

itu, yaitu keseluruhan kewenangan yang dimilikinya dalam menjalankan komando 

yang ada pada dirinya. Dengan cara demikian, dakwaan bisa menunjukkan 

seluruh jaring komando itu dengan memaparkan seluruh kekuatan yang dipakai 

serta fasilitas yang digunakan, sehingga secara riil atau faktual tanggung jawab 

komando dapat dikonstruksikan bagaimana ia bekerja. 

Bukti tidak jelasnya tanggung jawab komando dalam dakwaan jaksa, bisa 

dicermati dalam dakwaan terhadap Abilio Soares, Timbul Silaen, serta Herman 

Sediyono dan kawan-kawan. Dakwaan yang dituduhkan terhadap Abilio Soares, 

--  305304    -

yaitu bahwa terdakwa didakwa telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia 

yang berat, berupa tindakan pembunuhan dan penganiayaan sebagai bagian 

dari kejahatan terhadap kemanusian (Pasal 7 ayat b, Undang-Undang Nomor 

26 Tahun 2000).  Dakwaan terhadap Timbul Silaen serta Herman Sediyono dan 

kawan-kawan diformulasikan dalam bentuk yang berbeda tetapi dengan substansi 

yang sama dengan dakwaan terhadap Abilio Soares, yaitu mengacu pada Pasal 

42 ayat 1 dan 2. 

Terhadap Abilio Jose Soares misalnya, jaksa membuat konstruksi 

dakwaannya dengan menguraikan beberapa peristiwa terutama di gereja Liquisa, 

di kediaman Manuel Viegas Carrascalao dan kediaman Uskup Bello, distrik Dili, dan 

Gereja Ave Maria, Suai, Kovalima.  Dalam semua peristiwa itu Abilio dinyatakan 

terkait karena: (1) Adanya rapat yang dihadiri oleh semua bupati yang dipimpin 

gubernur dan memberi  pengarahan perlunya dibentuk organisasi politik 

untuk mewadahi aspirasi politik pro-integrasi. Rapat Muspida yang dipimpin 

Abilio memutuskan dibentuknya organisasi politik kelompok pro-integrasi di 

setiap kabupaten dengan nama FPDK. Kelompok-kelompok politik pro-integrasi 

ini kemudian dikenal dengan nama Pamswakarsa (milisi sipil bersenjata dengan 

menunjuk seorang panglima perang dan wakil panglima). (2) Seluruh kegiatan 

Pamswakarsa didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 

masing-masing daerah tingkat dua (TK II). 

Sangat aneh saat jaksa hanya mendakwa Abilio Soares, Timbul Silaen 

serta Herman Sediyono dan kawan-kawan hanya sebagai pihak yang “mengetahui 

secara sadar, mengabaikan informasi“ dan…”tidak mengambil tindakan yang 

layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah dan 

menghentikan perbuatan ini , dimana terdakwa tidak melakukan pencegahan.” 

Dengan dakwaan seperti itu maka jaksa secara sadar mengabaikan 

atau mengingkari keterangan kunci (point 1 dan 2 di atas) yang dijadikan dasar 

dakwaan, sebab terdakwa diajukan ke depan sidang hanya sekedar lalai, bukan 

terlibat aktif dalam seluruh peristiwa itu sebagai aktor kunci yang mensponsori, 

memfasilitasi dan mengkoordinasikan gerakan dari kelompok-kelompok milisi itu 

demi memenangkan pro-integrasi. sebab menekankan pada kelalaian akibatnya 

--  307306    -

jaksa penuntut dalam dakwaannya sama sekali tidak mampu menunjukkan 

apa motif dari Rapat Muspida dan mengucuran dana bagi hadirnya kelompok 

pamswakarsa bersenjata itu. 

Jaksa juga tidak mampu merumuskan apa yang dimaksud dengan 

element of crime sebagaimana disebut dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 

26 Tahun 2000.433 Unsur-unsur yang ada  dalam pasal ini yaitu 

poin penting yang seharusnya dikonstruksikan dan didakwakan jaksa. Akibat 

ketidakmampuan jaksa merumuskan apa yang dimaksud oleh penjelasan Pasal 9 

di atas, maka dakwaan dirumuskan sebagai pelanggaran yang bersifat omission,  

yaitu pembiaran terhadap pelanggaran yang dilakukan bawahannya sebab tidak 

mengambil tindakan yang seharusnya dilakukan, yaitu mencegah, menghentikan, 

dan menghukum bawahannya yang telah melakukan pelanggaran pidana.              

                                           

b. Pembuktian 

Sebagaimana telah disebutkan di atas, dakwaan jaksa kepada para 

terdakwa terfokus pada dua hal. Pertama,  kejahatan kemanusian yang diatur Pasal 

9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 berupa pembunuhan dan penganiayaan 

sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematik yang diketahui bahwa 

serangan ditujukan pada penduduk sipil. Kedua, berkaitan dengan tanggung 

jawab komando (command responsibility) dari para terdakwa baik yang berasal 

dari kalangan militer ataupun sipil, sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Undang-

433  Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b yaitu 

salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang 

diketahuinya bahwa serangan ini  ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil,berupa: a. 

pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; 

e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenangwenang yang 

melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum intemasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan 

seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa 

atau bentukbentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. pengamayaan terhadap suatu kelompok 

tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, 

agama, jems kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang 

menurut hukum internasional; i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid.

--  307306    -

Undang Nomor 26 Tahun 2000.434

Di sisi lain, Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc ini memakai 

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka alat bukti sah 

yang akan digunakan yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, 

dan keterangan terdakwa sesuai Pasal 184 KUHAP.435 Berangkat dari lemahnya 

dakwaan jaksa untuk mengkonstruksikan secara hukum (legal construction) 

adanya kejahatan kemanusian dan atau tanggung jawab komando, serta 

keterbatasan jenis, kualifikasi, legalitas dan prosedur pembuktian, maka kemauan 

dan kemampuan jaksa melakukan terobosan hukum serta pemeriksaan saksi 

menjadi sangat penting. Semua itu akan dipergunakan untuk membuktikan 

elemen-eleman  kejahatan (elements of crime) dalam perkara ini, terutama 

menerjemahkan ketentuan Pasal 184 KUHAP, serta keterangan saksi yang 

dinyatakan di sidang pengadilan. Sangat disesalkan bahwa usaha  jaksa untuk 

membuktikan dakwaannya memang tidak terlihat sama sekali.  Berdasarkan 

dokumen dakwaan jaksa, hasil riset David Cohen, dan laporan hasil pemantauan 

sejumlah LSM --khususnya Elsam-- membuktikan hal-hal berikut: 

Pertama,  dari sejumlah saksi yang diajukan, ternyata hanya 23 (dua puluh 

tiga) orang saksi korban dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc kasus 

434  Ketidakmampuan melakukan pengendalian ini dilakukan dengan mengabaikan informasi 

yang menunjukkan bahwa bawahannya baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang 

berat ( pasal 42 ayat 1(a) untuk militer, dan ayat 2 (a) untuk pejabat sipil serta tidak mengambil 

tindakan yang layak untuk menghentikan perbuatan ini  (Pasal 42 ayat 1 b dan 2 (b)). 

435  Sebagaimana telah diuraikan pada bagian lain, salah satu kelemahan Pengadilan Hak 

Asasi Manusia Ad Hoc justru pada hukum acara yang dipakai, yaitu KUHAP yang sejatinya hukum 

acara untuk pengadilan biasa (ordinary), bukan untuk pengadilan kejahatan luar biasa (extra ordinary 

crime). Akibatnya memang telah diperkirakan bahwa alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP memiliki 

keterbatasan formil (prosedur pembuktian) dan materiil (standar alat bukti) untuk membuktikan ada 

tidaknya kejahatan hak asasi manusia berat dalam kasus Timor Timur. Pengalaman-pengalaman 

internasional dalam menyidangkan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat justru lebih 

banyak memakai alat-alat bukti diluar yang diatur oleh KUHAP. Misalnya, rekaman, baik itu yang 

berbentuk film atau kaset yang berisi pidato, siaran pers, wawancara korban, wawancara pelaku, 

kondisi keadaan tempat kejadian dan sebagainya. Kemudian alat bukti yang dipakai juga diperbolehkan 

berbentuk dokumen-dokumen salinan, kliping koran, artikel lepa