informasi,
edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan
memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya;409
e. Bertanggung jawab memberdayakan dan mendorong peran aktif
warga dalam segala bentuk usaha kesehatan;410
f. Bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk usaha kesehatan
yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau;411
g. Bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan warga
melalui sistem jaminan sosial nasional bagi usaha kesehatan
perorangan.412
Pada bagian lain, undang-undang ini juga menjamin perlindungan pasien
yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2). Ayat 1 menyebutkan bahwa
setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami
informasi mengenai tindakan ini secara lengkap. Ayat (2) menyatakan
bahwa hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku pada: a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular
ke dalam warga yang lebih luas; b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan
diri; atau c. gangguan mental berat.
Sebagai hukum hak asasi manusia bidang kesehatan, undang-undang
ini memuat sejumlah sanksi pidana jika terjadi pelanggaran, yang dalam
407 Pasal 15 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
408 Pasal 16 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
409 Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
410 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
411 Pasal 19 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
412 Pasal 20 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009.
-- 279278 -
pasal-pasal berikut:
Pasal 190
(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang
melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang
dengan sengaja tidak memberi pertolongan pertama terhadap pasien
yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memicu
terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan
dan/atau tenaga kesehatan ini dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pasal 191
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional
yang memakai alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
ayat (1) sehingga memicu kerugian harta benda, luka berat atau kematian
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 192
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan
tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi
untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
-- 279278 -
Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 195
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih
apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan
praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 199
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok
ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik negara kita dengan tidak
mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana
-- 281280 -
dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak
Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 200
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu
ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
Pasal 201
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat
(1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199,
dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda
terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi
berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192,
Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi
dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/
atau b. pencabutan status badan hukum.
L. UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN
KAWASAN PEMUKIMAN
Hak atas tempat tinggal (perumahan) dan kawasan pemukiman yaitu
salah satu hak asasi manusia yang fundamental. Tempat tinggal bukan
sekadar tempat berteduh untuk kesehatan dan keselamatan, tetapi juga tempat
melangsungkan kehidupan yang manusiawi. Begitu pula kawasan perumahan
yang baik dan sehat akan menentukan mutu hidup dan kehidupan manusia dalam
jangka yang panjang. Pasal 25 ayat (1) Deklarasi Hak Asasi Manusia menegaskan
bahwa setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan
-- 281280 -
dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian,
perumahan.
Untuk itu, negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa
negara kita melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.
Tujuannya agar warga mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah
yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis,
dan berkelanjutan di seluruh wilayah negara kita . Atas dasar tanggung jawab
ini , Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia menegaskan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat.
Dalam Pasal 40 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat
tinggal serta berkehidupan yang layak. Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa,
“setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup
layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.” ini diperkuat dengan
Pasal 28H (1) UUD 1945, yang menegaskan bahwa, “setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Ketentuan tentang hak atas perumahan ini diatur jelas dalam Pasal
50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, yang menyebutkan: (1) Setiap
orang berhak untuk bertempat tinggal atau menghuni rumah. (2) Hak untuk
menghuni rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: hak milik;
atau sewa atau bukan dengan cara sewa. Selanjutnya Pasal 192 menyebutkan
bahwa setiap orang berhak:
a. Menempati, menikmati, dan/atau memiliki/memperoleh rumah yang
layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur;
b. Melakukan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;
c. Memperoleh informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman;
d. Memperoleh manfaat dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman;
-- 283282 -
e. Memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami
secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman; dan
f. Mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan terhadap
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang
merugikan warga .
Selain mengatur hak-hak, undang-undang ini juga mengatur kewajiban-
kewajiban, yaitu:413
a. Menjaga keamanan, ketertiban, kebersihan, dan kesehatan di
perumahan dan kawasan permukiman;
b. Turut mencegah terjadinya penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman yang merugikan dan membahayakan
kepentingan orang lain dan/atau kepentingan umum;
c. Menjaga dan memelihara prasarana lingkungan, sarana lingkungan,
dan utilitas umum yang berada di perumahan dan kawasan
permukiman; dan
d. Mengawasi pemanfaatan dan berfungsinya prasarana, sarana, dan
utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman.
Selain mengatur tentang hak dan kewajiban, undang-undang ini juga
memuat larangan-larangan, metode penyelesaian sengketa, sanksi, administrasi
dan sanksi pidana, yang diatur sebagai berikut:
Pasal 134
Setiap orang dilarang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang
tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan,
prasana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan.
Pasal 135
Setiap orang dilarang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya atas
rumah umum kepada pihak lain.
413 Pasal 130 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011.
-- 283282 -
Pasal 136
Setiap orang dilarang menyelenggaraan lingkungan hunian atau Kasiba yang
tidak memisahkan lingkungan hunian atau Kasiba menjadi satuan lingkungan
perumahan atau Lisiba.
Pasal 137
Setiap orang dilarang menjual satuan lingkungan perumahan atau Lisiba yang
belum menyelesaikan status hak atas tanahnya.
Pasal 138
Badan hukum yang melakukan pembangunan rumah tunggal, rumah deret,
dan/atau rumah susun dilarang melakukan serah terima dan/atau menarik
dana lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari pembeli sebelum memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.
Pasal 139
Setiap orang dilarang membangun perumahan dan/atau permukiman di luar
kawasan yang khusus diperuntukkan bagi perumahan dan permukiman.
Pasal 140
Setiap orang dilarang membangun, perumahan, dan/atau permukiman di tempat
yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang.
Pasal 141
Setiap pejabat dilarang mengeluarkan izin pembangunan rumah, perumahan,
dan/atau permukiman yang tidak sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan ruang.
Pasal 142
Setiap orang dilarang menolak atau menghalang-halangi kegiatan pemukiman
kembali rumah, perumahan, dan/atau permukiman yang telah ditetapkan oleh
pemerintah dan/atau pemerintah daerah setelah terjadi kesepakatan dengan
warga setempat.
Pasal 143
Setiap orang dilarang menginvestasikan dana dari pemupukan dana tabungan
perumahan selain untuk pembiayaan kegiatan penyelenggaraan perumahan
dan kawasan permukiman.
-- 285284 -
Pasal 144
Badan Hukum yang menyelenggarakan pembangunan perumahan dan kawasan
permukiman, dilarang mengalihfungsikan prasarana, sarana, dan utilitas umum
di luar fungsinya.
Pasal 145
Badan hukum yang belum menyelesaikan status hak atas tanah lingkungan
hunian atau Lisiba, dilarang menjual satuan permukiman.
Orang perseorangan dilarang membangun Lisiba.
Pasal 146
Badan hukum yang membangun Lisiba dilarang menjual kaveling tanah matang
tanpa rumah.
Dalam hal pembangunan perumahan untuk MBR dengan kaveling tanah matang
ukuran kecil, larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan.
BAB XIV
Pasal 147
Penyelesaian sengketa di bidang perumahan terlebih dahulu diusaha kan
berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
Pasal 148
(1) Dalam hal penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat tidak
tercapai, pihak yang dirugikan dapat menggugat melalui pengadilan yang
berada di lingkungan pengadilan umum atau di luar pengadilan berdasarkan
pilihan sukarela para pihak yang bersengketa melalui alternatif penyelesaian
sengketa.
(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisiasi,
dan/atau penilaian ahli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana.
-- 285284 -
Pasal 149
Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) atas pelanggaran
dapat dilakukan oleh: a. orang perseorangan; b. badan hukum; c. warga ;
dan/atau d. pemerintah dan/atau instansi terkait.
Pasal 150
(1) Setiap orang yang menyelenggarakan perumahan dan kawasan
permukiman yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (1), 29 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 34 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 ayat (4), Pasal
45, Pasal 47 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 49 ayat (2), Pasal
63, Pasal 71 ayat (1), Pasal 126 ayat (2), Pasal 134, Pasal 135, Pasal
136, Pasal 137, Pasal 138, Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142,
Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, atau Pasal 146 ayat (1) dikenai sanksi
administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a.
peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan pembangunan; c. penghentian
sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;
d. penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan
perumahan; e. penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel); f.
kewajiban membongkar sendiri bangunan dalam jangka waktu tertentu;
g. pembatasan kegiatan usaha; h. pembekuan izin mendirikan bangunan;
i. pencabutan izin mendirikan bangunan; j. pembekuan/pencabutan surat
bukti kepemilikan rumah; k. perintah pembongkaran bangunan rumah;
l. pembekuan izin usaha; m. pencabutan izin usaha; n. pengawasan; o.
pembatalan izin; p. kewajiban pemulihan fungsi lahan dalam jangka waktu
tertentu; q. pencabutan insentif; r. pengenaan denda administratif; dan/atau
s. penutupan lokasi.
Pasal 151
(1) Setiap orang yang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak
membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan,
prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan sebagaimana
-- 287286 -
dimaksud dalam Pasal 134, dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dijatuhi
pidana tambahan berupa membangun kembali perumahan sesuai dengan
kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang
diperjanjikan.
Pasal 152
Setiap orang yang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah
umum kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135, dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 153
(1) Setiap orang yang menyelenggaraan lingkungan hunian atau Kasiba
yang tidak memisahkan lingkungan hunian atau Kasiba menjadi satuan
lingkungan perumahan atau Lisiba sebagaimana dimaksud dalam Pasal
136, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
(2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dapat dijatuhi
pidana tambahan berupa pencabutan izin.
Pasal 154
Setiap orang yang menjual satuan lingkungan perumahan atau Lisiba yang
belum menyelesaikan status hak atas tanahnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 137, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 155
Badan hukum yang dengan sengaja melakukan serah terima dan/atau
menerima pembayaran lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari pembeli
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138, dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah). Pasal 156 Setiap orang yang dengan sengaja membangun
perumahan dan/atau permukiman di luar kawasan yang khusus diperuntukkan
bagi perumahan dan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139,
-- 287286 -
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 157
Setiap orang yang dengan sengaja membangun perumahan, dan/atau
permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi
barang ataupun orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 158
Setiap pejabat yang dengan sengaja mengeluarkan izin pembangunan
rumah, perumahan, dan/atau permukiman yang tidak sesuai dengan fungsi
dan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 159
Setiap orang yang dengan sengaja menolak atau menghalanghalangi kegiatan
pemukiman kembali rumah, perumahan, atau permukiman yang telah ditetapkan
oleh Pemerintah atau pemerintah daerah setelah terjadi kesepakatan dengan
warga setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142, dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 160
Setiap orang yang dengan sengaja menginvestasikan dana dari pemupukan
dana tabungan perumahan selain untuk pembiayaan kegiatan penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
143, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda
paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
Pasal 161
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja membangun Lisiba sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 145 ayat (2), dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
-- 289288 -
(2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dapat dipidana
dengan pidana tambahan berupa pembongkaran Lisiba yang biayanya
ditanggung oleh pelaku. Pasal 162 (1) Dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), Badan Hukum
yang: a. mengalihfungsikan prasarana, sarana, dan utilitas umum diluar
fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144; b. menjual satuan
permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1); atau c.
membangun lisiba yang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1). (2) Selain pidana bagi
badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengurus badan
hukum dapat dijatuhi pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun. Pasal 163 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
151 ayat (1), Pasal 152, Pasal 153, Pasal 154, Pasal 156, Pasal 157,
Pasal 160, atau Pasal 161 dilakukan oleh badan hukum, maka selain pidana
penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan
terhadap badan hukum berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga)
kali dari pidana denda terhadap orang.
Dapat ditambahkan bahwa Pasal 22 ayat (3) undang-undang ini telah
diuji dan dibatalkan oleh MK. Dalam permohonannya para penguji menyatakan,
“luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36
(tiga puluh enam) meter persegi”, yang menurut pemohon bertentangan dengan
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28H ayat
(4) UUD 1945 yang menyatakan:
1. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”
2. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
-- 289288 -
3. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
4. Pasal 28H ayat (4) UUD 1945: “Setiap orang berhak memiliki hak
milik pribadi dan hak milik ini tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapa pun.”
Atas permohonan ini , MK berpendapat bahwa hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat yaitu hak asasi manusia dan hak konstitusional bagi setiap warga negara
negara kita (vide Pasal 28H ayat (1) UUD 1945). Salah satu tujuan dibentuknya
negara yaitu untuk melindungi segenap bangsa negara kita (vide alinea IV
Pembukaan UUD 1945).
Terkait dengan hak warga negara dan berhubungan pula dengan salah
satu tujuan dalam pembentukan negara dimaksud maka negara berkewajiban
untuk melakukan usaha -usaha dalam rangka mewujudkan terpenuhinya hak
warga negara ini . Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman
yaitu salah satu aspek pembangunan nasional, pembangunan manusia
seutuhnya, sebagai salah satu usaha untuk mewujudkan terpenuhinya hak
konstitusional ini , yang juga yaitu pemenuhan kebutuhan dasar
manusia yang memiliki peran strategis dalam pembentukan watak dan kepribadian
warga negara sebagai usaha pencapaian salah satu tujuan pembangunan bangsa
negara kita yang berjati diri, mandiri, dan produktif.
Sebagai salah satu usaha pemenuhan hak konstitusional, penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman yaitu wajar dan bahkan yaitu
keharusan, manakala penyelenggaraan dimaksud harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, antara lain, syarat kesehatan dan kelayakan serta keterjangkauan oleh
daya beli warga , terutama warga yang berpenghasilan rendah (vide
konsiderans (Menimbang) huruf a sampai dengan huruf d serta Penjelasan Umum
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011).
-- 291290 -
Terkait dengan syarat keterjangkauan oleh daya beli warga , terutama
warga yang berpenghasilan rendah, menurut Mahkamah, Pasal 22 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, yang mengandung norma pembatasan
luas lantai rumah tunggal dan rumah deret berukuran paling sedikit 36 (tiga
puluh enam) meter persegi, yaitu pengaturan yang tidak sesuai dengan
pertimbangan keterjangkauan oleh daya beli sebagian warga , terutama
warga yang berpenghasilan rendah. Implikasi hukum dari ketentuan
ini berarti melarang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman
membangun rumah tunggal atau rumah deret yang ukuran lantainya kurang dari
ukuran 36 (tiga puluh enam) meter persegi.
ini berarti pula telah menutup peluang bagi warga yang
daya belinya kurang atau tidak mampu untuk membeli rumah sesuai dengan
ukuran minimal ini . Lagipula, daya beli warga yang berpenghasilan
rendah, antara satu daerah dengan daerah yang lain, yaitu tidak sama. Demikian
pula harga tanah dan biaya pembangunan rumah di suatu daerah dengan daerah
yang lain berbeda. Oleh sebab itu, menyeragamkan luas ukuran lantai secara
nasional tidaklah tepat.
Selain itu, hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak memperoleh
pelayanan kesehatan sebagaimana dipertimbangkan di atas yaitu salah satu
hak asasi manusia yang pemenuhannya tidak semata-mata ditentukan oleh luas
ukuran lantai rumah atau tempat tinggal, akan tetapi ditentukan pula oleh banyak
faktor, terutama faktor kesyukuran atas karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang
Maha Esa.
Dengan pertimbangan ini , MK memutuskan bahwa Pasal 22 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman (Lembaran Negara Republik negara kita Tahun 2011 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik negara kita Nomor 5188) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945; 1.2
Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik negara kita Tahun 2011
-- 291290 -
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik negara kita Nomor 5188) tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat.
M. UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR
MISKIN
Tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD
1945 yaitu melindungi segenap bangsa negara kita dan seluruh tumpah darah
negara kita , memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial. Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara kita , negara
berkewajiban mensejahterakan seluruh warga negaranya dari kondisi kefakiran
dan kemiskinan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Kewajiban negara dalam membebaskan dari kondisi ini dilakukan
melalui usaha penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas kebutuhan
dasar. usaha ini harus dilakukan oleh negara sebagai prioritas utama
dalam pembangunan nasional termasuk untuk mensejahterakan fakir miskin,
sebagaiamana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) menyatakan fakir miskin dan anak-
anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Penanganan fakir miskin berasaskan:414
a. Kemanusiaan;415
b. Keadilan sosial;416
c. Non diskriminasi;417
414 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011.
415 Yang dimaksud dengan asas “kemanusiaan” yaitu dalam penanganan fakir miskin
harus memberi perlindungan, penghormatan hak-hak asasi manusia, serta harkat dan martabat
setiap warga negara dan penduduk negara kita secara proporsional (dalam penjelasan).
416 Yang dimaksud dengan asas “keadilan sosial” yaitu dalam penanganan fakir miskin
harus memberi keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali (dalam
penjelasan).
417 Yang dimaksud dengan asas “non diskriminasi” yaitu dalam penanganan fakir miskin
harus dilakukan atas dasar persamaan tanpa membedakan asal, suku, agama, ras, dan antargolongan
(dalam penjelasan).
-- 293292 -
d. Kesejahteraan;418
e. Kesetiakawanan419; dan
f. Pemberdayaan.420
Fakir miskin berhak:421
a. Memperoleh kecukupan pangan, sandang, dan perumahan;
b. Memperoleh pelayanan kesehatan;
c. Memperoleh pendidikan yang dapat meningkatkan martabatnya;
d. Mendapatkan per l indungan sosial dalam membangun,
mengembangkan, dan memberdayakan diri dan keluarganya sesuai
dengan karakter budayanya;
e. Mendapatkan pelayanan sosial melalui jaminan sosial, pemberdayaan
sosial, dan rehabilitasi sosial dalam membangun, mengembangkan,
serta memberdayakan diri dan keluarganya;
f. Memperoleh derajat kehidupan yang layak;
g. Memperoleh lingkungan hidup yang sehat;
h. Meningkatkan kondisi kesejahteraan yang berkesinambungan; dan
i. Memperoleh pekerjaan dan kesempatan berusaha.
Selain itu juga fakir miskin bertanggung jawab:422
a. Menjaga diri dan keluarganya dari perbuatan yang dapat merusak
kesehatan, kehidupan sosial, dan ekonominya;
b. Meningkatkan kepedulian dan ketahanan sosial dalam berwarga ;
418 Yang dimaksud dengan asas “kesejahteraan” yaitu dalam penanganan fakir miskin
harus dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan fakir miskin (dalam penjelasan).
419 Yang dimaksud dengan asas “kesetiakawanan” yaitu dalam penanganan fakir miskin
harus dilandasi oleh kepedulian sosial untuk membantu orang yang membutuhkan pertolongan
dengan empati dan kasih saying (dalam penjelasan).
420 Yang dimaksud dengan asas “pemberdayaan” yaitu dalam penanganan fakir miskin
harus dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan kapasitas sumber daya manusia untuk
meningkatkan kemandirian (dalam penjelasan).
421 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011.
422 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011.
-- 293292 -
c. Memberdayakan dirinya agar mandiri dan meningkatkan taraf
kesejahteraan serta berpartisipasi dalam usaha penanganan
kemiskinan; dan
d. Berusaha dan bekerja sesuai dengan kemampuan bagi yang
memiliki potensi.
Penanganan fakir miskin dilaksanakan dalam bentuk:423
a. Pengembangan potensi diri;424
b. Bantuan pangan dan sandang;425
c. Penyediaan pelayanan perumahan;426
d. Penyediaan pelayanan kesehatan;427
e. Penyediaan pelayanan pendidikan;428
f. Penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha;429
g. Bantuan hukum430; dan/atau
h. Pelayanan sosial.
Peraturan perundang-undangan ini juga memuat sejumlah ketentuan
pidana yang diatur dalam Pasal 42 dan Pasal 43.
423 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011.
424 Yang dimaksud dengan “pengembangan potensi diri” yaitu usaha untuk
mengembangkan potensi yang ada dalam diri seseorang antara lain mental, spiritual, dan budaya
(penjelasan).
425 Yang dimaksud dengan “bantuan pangan dan sandang” yaitu bantuan untuk
meningkatkan kecukupan dan diversifikasi pangan, serta kecukupan sandang yang layak (penjelasan).
426 Yang dimaksud dengan ”penyediaan pelayanan perumahan” yaitu bantuan untuk
memenuhi hak warga miskin atas perumahan yang layak dan sehat (penjelasan).
427 Yang dimaksud dengan ”penyediaan pelayanan kesehatan” yaitu penyediaan pelayanan
kesehatan untuk memenuhi kebutuhan dasar fakir miskin (penjelasan).
428 Yang dimaksud dengan “penyediaan pelayanan pendidikan” yaitu penyediaan pelayanan
pendidikan untuk memenuhi kebutuhan dasar fakir miskin dalam memperoleh layanan pendidikan
yang bebas biaya, bermutu, dan tanpa diskriminasi gender (penjelasan).
429 Yang dimaksud dengan ”penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha” yaitu
untuk memenuhi hak fakir miskin atas pekerjaan dan pengembangan usaha yang layak (penjelasan).
430 Yang dimaksud dengan “bantuan hukum” yaitu bantuan yang diberikan kepada fakir
miskin yang bermasalah dan berhadapan dengan hukum (penjelasan).
-- PB294 -
Pasal 42
Setiap orang yang memalsukan data verifikasi dan validasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah)
Pasal 43
Setiap orang yang menyalahgunakan dana penanganan fakir miskin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah). (2) Korporasi yang menyalahgunakan dana penanganan fakir miskin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan denda paling banyak
Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
-- 295PB -
BAB VI
PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
A.
Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu salah satu jenis pengadilan baru di
negara kita . Pengadilan ini dibentuk setelah Orde Baru jatuh di tahun 1998, terutama
untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia masa lalu atau yang terjadi pada
masa rezim Orde Baru. Keberadaannya yaitu respon atas desakan kekuatan
pro demokrasi dalam negeri dan dunia internasional.
Desakan dunia internasional untuk menyelidiki dan mengadili pelanggaran
hak sasi manusia di pelbagai wilayah di negara kita seperti yang terjadi di Timor
Timur, Aceh, dan Papua telah mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mengeluarkan resolusi 1999/S-4/1. Isi esolusi ini yaitu meminta Sekjen
PBB untuk membentuk komisi penyelidik internasional dengan komposisi anggota
yang terdiri dari ahli-ahli dari Asia, dan bekerjasama dengan Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) negara kita , serta mengirimkan pelapor khusus
ke Timor Timur.
Selain itu, resolusi juga merekomendasikan untuk membentuk International
Tribunal atas kasus ini . Atas resolusi Komisi Hak Asasi Manusia PBB
ini , negara kita secara tegas menolak. negara kita akan menyelesaikan kasus
pelanggaran hak asasi manusia dengan memakai ketentuan nasional sebab
konstitusi negara kita memungkinkan untuk menyelenggarakan peradilan hak
asasi manusia.
Dengan berbagai desakan yang muncul serta komitmen negara kita untuk
menyelesaikan sendiri melalui mekanisme hukum nasional, maka pada tanggal 23
-- 297296 -
September 1999 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 104 pada undang-undang itu mengamanatkan
pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran hak asasi manusia berat. ini diikuti dengan terbitnya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1999 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Penetapan Perppu ini didasarkan pada pertimbangan adanya dugaan
telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam bentuk pembunuhan
sewenang-wenang, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa. Semua itu
menimbulkan kerugian, baik materiil maupun imateriil, serta memicu
perasaan tidak aman baik terhadap perorangan maupun warga . Dampak
kejadian ini juga sangat luas dan menyangkut nama naik negara kita di mata
dunia internasional.
Keberadaan Pengadilan Hak Asasi Manusia ini sekaligus diharapkan
dapat mengembalikan kepercayaan warga dan dunia internasional terhadap
penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum mengenai penegakan hak asasi
manusia di negara kita . Respon cepat pemerintahan transisi di bawah Presiden
B.J. Habibe itu memang berhasil mengerem desakan dunia internasional untuk
menggelar pengadilan internasional. Pada sisi lain, Perppu yang lahir kemudian
tidak jadi digunakan sebab ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan
pelbagai pertimbangan. Salah satu pertimbangan itu yaitu kurang kuatnya
alasan konstitusional yang dimandatkan oleh Pasal 22 UUD 1945 (keadaan yang
memaksa) serta adanya kelemahan substansial, berupa kurang mencerminkan
rasa keadilan. ini dikarenakan Perppu tidak berlaku surut (retroaktif), yang
tidak memungkinkan dijadikan landasan hukum mengadili pelanggaran hak asasi
manusia yang terjadi sebelum disahkannya Perppu.
Sebagai pengganti Perppu, pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Terbitnya peraturan ini memungkinkan untuk dilakukannya pengadilan atas
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum disahkannya Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000. Selain memuat pengaturan tentang pengadilan
-- 297296 -
hak asasi manusia terhadap pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, undang-
undang ini juga mengatur pengadilan hak asasi manusia terhadap pelanggaran
hak asasi manusia yang terjadi setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000.
B. PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA AD HOC
Dasar hukum pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc yaitu
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Dalam ayat (1) dinyatakan
bahwa pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi sebelum diundangkannya
undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad
Hoc. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan
Presiden (ayat 2). Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada
dalam pengadilan umum (ayat 3).
Dalam penjelasannya, DPR yang juga sebagai pihak yang mengusulkan
dibentuknya Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc mendasarkan usulannya pada
dugaan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang dibatasi pada
locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya
undang-undang ini. Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
ini tidak mengatur secara jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana
pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.
Berdasarkan pengalaman pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad
Hoc di Timor-Timor dan Tanjung Priok, menunjukkan bahwa ada mekanisme yang
bisa dijalankan. Komnas HAM melakukan penyelidikan, lalu hasilnya diserahkan
ke Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan. Hasil penyidikan diserahkan
ke Presiden. Presiden mengirimkan surat ke DPR, lalu DPR mengeluarkan
rekomendasi. Selanjutnya, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden tentang
pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.
-- 299298 -
1. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Timor Timur 431
Menyusul jatuhnya Soeharto pada Mei 1998, Pemerintahan B.J. Habibie
mengambil kebijakan untuk menyelesaikan persoalan Timor Timur (kini bernama
Timor Leste) pada 27 Januari 1999. Pemerintah negara kita mengeluarkan
keputusan mengadakan jajak pendapat pada rakyat Timor Timur dengan dua
pilihan (opsi). Opsi pertama yaitu otonomi khusus dan opsi kedua memisahkan
diri dari negara kita . Hasil jajak pendapat 30 Agustus 1999 menunjukkan bahwa
78,5% rakyat Timor Timur memilih melepaskan diri dari negara kita .
Segera setelah pengumuman hasil jajak pendapat pada 4 September 1999,
terjadi tindak kekerasan berupa pembumihangusan, pembunuhan, perkosaan,
penjarahan dan pengungsian secara besar-besaran di wilayah Timor Timur.
Peristiwa ini mengundang reaksi keras dari dalam dan luar negeri yang
meminta pemerintah negara kita bertanggung jawab atas peristiwa ini . Dewan
Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 1264, pada tanggal 15 September
1999. Resolusi ini mendesak pemerintah negara kita agar segera mengadili mereka
yang bertanggung jawab terhadap terjadinya kekerasan di Timor Timur. Resolusi
ini memberi kewajiban internasional secara mandatory kepada pemerintah
negara kita untuk mengadili pelaku pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor
Timur melalui Pengadilan Ad Hoc.
Resolusi Dewan Keamanan PBB selanjutnya ditindaklanjuti dengan
penyelenggaraan special session oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada
tanggal 23-27 September 1999, yang menghasilkan Resolusi 1999/S-4/1.
Resolusi ini menuntut Pemerintah Republik negara kita bekerja sama dengan
Komnas HAM menjamin bahwa orang-orang yang bertanggung jawab atas tindak
431 Materi tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Timor Timur, diambil dari:
Suparman Marzuki, “Pengadilan HAM di negara kita (Catatan Kritis Terhadap Pengadilan HAM Ad
Hoc Timor Timur dan Tanjung Priok)”, Makalah , disampaikan dalam acara Pelatihan terhadap Ketua
Pengadilan Negeri (KPN) yang diselenggarakan kerjasama antara Badan Penelitian, Pengembangan,
Pendidikan, Latihan, Hukum dan Keadilan Mahkamah Agung (BALITBANGDIKLATKUMDIL MA) dan
Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam negara kita (PUSHAM UII) dengan dukungan dari
Norwegian Center for Human Rights (NCHR), Oslo University, Norway pada 30 Nopember 2016
di Jakarta. Uraian lengkap bisa dibaca dalam Suparman Marzuki, Pengadilan HAM Melanggengkan
Impuniti, Erlangga, Jakarta, 2012.
-- 299298 -
kekerasan dan pelanggaran sistematis terhadap hak asasi manusia diadili. Situasi
ini akhirnya mendorong Komnas HAM membentuk KPP HAM Timor Timur pada
23 September 1999 berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia dan Perppu Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia.
KPP HAM Timor Timur menjalankan fungsinya melakukan penyelidikan
terhadap dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat. Hasil penyelidikan
membuktikan adanya indikasi kuat telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia
berat berupa kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Pelanggaran
ini dilakukan secara terencana dan sistematik serta dalam skala besar dan
luas berupa pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan
paksa, kekerasan terhadap perempuan dan anak (termasuk perkosaan dan
perbudakan seksual), pengungsian paksa, pembumihangusan dan perusakan
benda-benda.
DPR melalui Keputusan No. 44/DPR-RI/III/2000-2001 tanggal 21 Maret
2001 menyetujui pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc kasus
Timor Timur dan di Tanjung Priok. Atas dasar itu, diterbitkanlah Keppres Nomor
53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Keppres ini pada akhirnya dirubah dengan
Keppres Nomor 96 Tahun 2001 dengan alasan lebih memperjelas tempat dan
waktu tindak pidana (locus dan tempus delicti) pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang terjadi di Timor Timur dan Tanjung Priok.
Dalam Pasal 2 ditegaskan bahwa Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 berwenang memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi di Timor Timur
dalam wilayah hukum Liquica, Dilli, dan Suai pada bulan April 1999 dan bulan
September 1999, dan yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan September 1984.
Penggantian Keppres itu bukan sekadar peristiwa hukum formal biasa,
tetapi peristiwa hukum luar biasa. ini menyangkut substansi yang berimplikasi
luas, yaitu mempersempit yurisdiksi pengadilan, yang semula tidak membatasi
wilayah (locus) dan waktu (tempus) peristiwa menjadi membatasi hanya yang
-- 301300 -
terjadi (locus) di Liquica, Dili, dan Suai, serta yang terjadi antara bulan April dan
September 1999 (tempus). Penyempitan wilayah (locus) dan waktu (tempus)
peristiwa ini membawa konsekuensi-konsekuensi berikut:
Pertama, tidak sejalan dengan mandat KPP HAM untuk melakukan
penyelidikan terhadap keseluruhan pelanggaran yang terjadi di Timor Timor selama
periode waktu dari 1 Januari sampai 25 Oktober 1999. Kedua, mengaburkan
konstruksi yuridis KPP HAM tentang temuan adanya pelanggaran berat hak
asasi manusia. Ketiga, dengan mempersempit wilayah dan waktu peristiwa,
maka kasus-kasus yang terjadi dalam rentang waktu paska jajak pendapat
tidak semuanya bisa diajukan ke persidangan, dan keempat, menyulitkan jaksa
penuntut umum membuktikan adanya kejahatan kemanusian yang mensyaratkan
unsur serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil.
a. Dakwaan Jaksa
Dakwaan jaksa Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc kasus Timor Timur
menyidangkan 18 terdakwa dalam dua tahap yang di muat dalam 12 (dua belas)
berkas perkara yang terpisah. Persidangan tahap pertama berlangsung antara
Maret-Agustus 2002 mengajukan tiga terdakwa: Abelio Soares, Timbul Silaen,
serta Herman Sedyono dan kawan kawan. Tahap kedua mengajukan 9 orang
terdakwa, yaitu: Eurico Guterres, Soedjarwo, Asep Kuswani dan kawan-kawan,
Endar Priyatno, Adam Damiri, Hulman Gultom, M. Noer Muis, Jajat Sudrajat, dan
Tono Suratman.432 Persidangan ini berlangsung September 2002-Februari 2003.
Di dalam ke-12 dakwaannya itu, jaksa menetapkan 5 (lima) locus delicti
yaitu peristiwa di kompleks gereja Liquisa, rumah Manuel Carascalao di Dili, Diosis
Dili, rumah Uskup Bello di Dili dan kompleks gereja Ave Maria Suai, Kovalima.
432 Dakwaan yang dikeluarkan hanya terhadap 18 orang saja, yaitu 10 petugas militer dan
5 petugas kepolisian, 2 pejabat pemerintah sipil, dan seorang pemimpin milisi. Pejabat paling tinggi
yang didakwa yaitu Panglima Kodam XI Udayana Mayor Jendral Adam Damiri. Pihak Kejaksaan
Agung tidak menjelaskan mengapa sejumlah orang yang disebutkan dalam laporan KPP HAM tidak
dikenai dakwaan. Di antara mereka yang tidak didakwa yaitu Jendral Wiranto (mantan Panglima
ABRI dan Menteri Pertahanan) dan Mayor Jendral Zacky Anwar Makarim (Penasehat Keamanan bagi
Satgas Pelaksanaan Penentuan Pendapat mengenai Otonomi Khusus bagi Timor Timur).
-- 301300 -
Sedangkan tempus delicti- nya yang terjadi pada April 1999 dan September 1999.
ini berbeda dengan hasil penyelidikan KPP HAM yang menemukan adanya
kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi, selain
antara bulan Januari 1999 sampai dengan September 1999.
Semua surat dakwaan yang diajukan jaksa pada umumnya dakwaan
untuk bertanggungjawab secara pidana. Jaksa memakai pasal-pasal yang
berkaitan dengan tanggung jawab komando dan dilakukan secara pembiaran
(omission) sebab tidak melakukan pengendalikan efektif secara patut dan benar,
serta mengabaikan informasi yang menunjukkan bawahannya melakukan atau
baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Mereka dituduh
melanggar Pasal 42 ayat (1) huruf (a); ayat 2 huruf (a) dan (b); Pasal 9 huruf (h)
tentang Penganiayaan; Pasal 37 untuk kejahatan terhadap kemanusiaan berupa
pembunuhan, serta Pasal 40 untuk kejahatan terhadap kemanusiaan berupa
penganiayaan.
Dakwaan untuk ke-12 berkas perkara ini dibagi menjadi dakwaan
komulatif dan dakwaan alternatif. Berkas dakwaan komulatif terdiri dari dakwaan
kesatu: berupa kejahatan terhadap kemanusiaan (pembunuhan) dan dakwaan
kedua: berupa kejahatan terhadap kemanusiaan (penganiayaan). Sedangkan
dakwaan alternatif terdiri dari dakwaan primer, subsider dan lebih subsider. Dalam
mengkonstruksikan unsur sistematik, jaksa menyusun rangkaian peristiwa yang
terjadi dalam kurun waktu pada 3, 4, 5, 6 April 1999 dengan penyerangan yang
terjadi 17 April dan 4-6 September 1999, seperti tertera dalam dakwaan terhadap
Abilio Soares, Timbul Silaen, Adam Damiri, Noer Muis, Tono Suratman, Hulman
Gultom, dan Soedjarwo. Sedangkan untuk berkas Eurico Guterres, Endar Priyanto,
Jajat Sudrajat, Herman Sedyono dan kawan kawan serta Asep Kuswani dan
kawan kawan, jaksa tampak kesulitan untuk menkonstruksikan unsur sistematik
di dalam dakwaannya.
Sementara unsur meluas (widespread) dikonstruksikan jaksa dengan
cara memakai perluasan wilayah (locus geografis) dan banyaknya korban.
Unsur meluas digambarkan dengan serangan yang diawali pada satu locus
tertentu kemudian meluas pada wilayah lain dalam satu region yang sama.
-- 303302 -
Sedangkan massivitas korban digambarkan dengan banyaknya jumlah korban
yang meninggal maupun luka-luka. Pada berkas dakwaan yang tempus delicti
atau locus delicti lebih dari satu, jaksa tidak begitu kesulitan merumuskan unsur
meluas (widespread), baik yang berdasarkan locus geografis maupun massivitas
korban. Berbeda halnya pada berkas perkara yang tempus delicti dan locus
delicti hanya satu, jaksa jelas kesulitan, sehingga jaksa hanya mendasarkan pada
massivitas korban dalam merumuskan unsur meluas.
Konstruksi jaksa yang hanya memfokuskan dakwaan pada peristiwa yang
terjadi pada periode April-September 1999 tanpa menghubungkannya dengan
peristiwa-peristiwa sebelumnya, telah menjadi titik lemah dari dakwaan jaksa,
sebab pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan mensyaratkan tindakan
ini yaitu bagian dari serangan terhadap warga sipil yang bersifat
meluas atau sistematik. Meluas mengacu pada besaran luasan geografis
atau massivitas korban. Untuk sistematik, mengacu pada adanya kebijakan
yang tersistematisir yang membiarkan atau bahkan menganjurkan terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Unsur-unsur ini akan sulit dipenuhi jika peristiwa pelanggaran hak
asasi manusia berat yang terjadi, dilepaskan dari rangkaian peristiwa kekerasan
lain yang terjadi Timor Timur. usaha menghubungkan rangkaian kekerasan itu
dilakukan untuk menjelaskan mengapa peristiwa yang terjadi di tiga kabupaten
itu memenuhi unsur meluas dan sistematik. Jika ini dilepaskan,
maka peristiwa itu menjadi kasuistik. Bukan lagi satu rangkaian peristiwa yang
memenuhi unsur meluas atau sistematik. Lebih dari itu, dengan memutusan
keterkaitan pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan peristiwa-
peristiwa sebelumnya -termasuk mengabaikan sejumlah peristiwa kekerasan
yang dilakukan pejabat militer dan kelompok-kelompok milisi sipil bentukannya-
akan memunculkan ketegangan dan konflik horizontal antara kelompok pejuang
kemerdekaan dengan kelompok pro integrasi yang tidak puas dengan proses
jajak pendapat.
-- 303302 -
Di luar apa yang telah ditemukan di atas, ditemukan juga adanya
ketidakcermatan atau kesengajaan. Jaksa menyusun dakwaan dalam satu berkas
dakwaan kepada para terdakwa dengan pasal yang sama, padahal mereka
dari status yang berbeda. Dalam kasus penyerangan gereja Ave Maria Suai
misalnya, terdakwa yang berjumlah 5 orang didakwa (dakwaan primer) dengan
Pasal 42 ayat 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang seharusnya
hanya bisa diterapkan pada terdakwa dari kalangan militer. Sedangkan terdakwa
dari kepolisian dan mantan bupati (sipil) tentu saja tidak bisa dikenakan pasal
yang sama. Dengan dakwaan yang seperti ini, maka unsur-unsur pasal yang
didakwakan pada terdakwa tertentu menjadi tidak terpenuhi yang berimplikasi
tidak terbuktinya dakwaan.
Hal yang relatif sama terjadi dalam kasus penyerangan di kediaman
Pastor Rafael. Para terdakwa yang berbeda statusnya didakwa melanggar Pasal
42 tanpa menyebutkan ayat berapa dalam dakwaan kesatu dan kedua primair.
Jaksa tampaknya mengalami kesulitan merumuskan pasal dakwaan terhadap
para terdakwa yang statusnya berbeda dan terkesan hanya ingin menjaring dan
“asal kena” untuk para terdakwa. Jaksa tidak menyebutkan ayat berapa yang
dilanggar. Jaksa juga seharusnya paham bahwa dakwaan semacam itu dapat
dipastikan akan dinyatakan “tidak terbukti”.
Perspektif yang digunakan jaksa dalam dakwaannya tampak berusaha
menghilangkan keterkaitan kelompok-kelompok milisi sipil dengan TNI dan Polri.
Dengan hilangnya konteks kelahiran kelompok-kelompok milisi sipil pro-integrasi
yang menjadi pelaku langsung dengan kehadiran dan policy keamanan dari militer,
maka dakwaan telah menggeser konteks peristiwa kejahatan terhadap kemanusian
menjadi konflik horizontal antara kelompok-kelompok sipil. Kehadiran milisi dalam
dakwaan dipaparkan sebagai sesuatu yang terpisah dari institusi militer, bahkan
pengertian milisi sipil ini tidak ditemukan dalam dakwaan.
Kelompok ini hanya diidentifikasi sebagai salah satu pihak dari pertentangan
horizontal pro dan anti kemerdekaan. Inilah yang memicu dakwaan tidak
dapat memperlihatkan kemunculan milisi sebagai kelompok yang “sengaja”
dibentuk sebagai bagian dari policy keamanan di Timor Timur. Konteks ini juga
-- 305304 -
yang dapat memicu putusnya mata rantai untuk memperlihatkan hubungan
langsung peran militer dan pejabat sipil pemerintahan dalam pelanggaran hak
asasi manusia yang berat, yang dilakukan oleh milisi sipil pro integrasi ini .
Penggunaan perspektif ini juga mempengaruhi kemampuan
dakwaan dalam mendukung dakwaan tanggung jawab komando (command
responsibility). Hal terpenting dalam dakwaan ini yaitu usaha menunjukkan
ukuran yang tepat untuk membuktikan bahwa tindakan atau kebijakan yang
dilakukan pemegang otoritas (sipil atau militer) dapat dikatakan sebagai bentuk
pengabaian informasi, tidak efektif, secara patut dan benar. ini berkaitan
langsung dengan pengertian omission (pembiaran) dan commission (perintah).
Namun dalam dakwaan ini tidak ada fakta hukum sebagai penunjang
seperti struktur komando, garis kebijakan dan pengendalian, serta besar, jumlah
dan perbandingan petugas yang tersedia dengan besaran wilayah dan populasi
serta hubungan antara kelompok-kelompok milisi sipil dengan TNI/ABRI. Ketiadaan
ini mempersulit rumusan tindakan pejabat sipil atau militer yang dapat
dikategorikan sebagai bentuk perintah (commission).
Dalam menunjukkan tanggung jawab komando, dakwaan juga tidak
memiliki rumusan yang akurat, sebab jaksa hanya menyandarkan tanggung
jawab komando pada ketentuan formal (legalistik). Terhadap Timbul Silaen
misalnya, hanya dinyatakan sebagai Komandan dari Komando Pengendalian
Keamanan di Timor Timur Paska New York Agreement 5 Mei 1999. Padahal
untuk menunjukkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan, tanggungjawab
komando tidak cukup dengan kedudukan formal terdakwa, melainkan lebih dari
itu, yaitu keseluruhan kewenangan yang dimilikinya dalam menjalankan komando
yang ada pada dirinya. Dengan cara demikian, dakwaan bisa menunjukkan
seluruh jaring komando itu dengan memaparkan seluruh kekuatan yang dipakai
serta fasilitas yang digunakan, sehingga secara riil atau faktual tanggung jawab
komando dapat dikonstruksikan bagaimana ia bekerja.
Bukti tidak jelasnya tanggung jawab komando dalam dakwaan jaksa, bisa
dicermati dalam dakwaan terhadap Abilio Soares, Timbul Silaen, serta Herman
Sediyono dan kawan-kawan. Dakwaan yang dituduhkan terhadap Abilio Soares,
-- 305304 -
yaitu bahwa terdakwa didakwa telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat, berupa tindakan pembunuhan dan penganiayaan sebagai bagian
dari kejahatan terhadap kemanusian (Pasal 7 ayat b, Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000). Dakwaan terhadap Timbul Silaen serta Herman Sediyono dan
kawan-kawan diformulasikan dalam bentuk yang berbeda tetapi dengan substansi
yang sama dengan dakwaan terhadap Abilio Soares, yaitu mengacu pada Pasal
42 ayat 1 dan 2.
Terhadap Abilio Jose Soares misalnya, jaksa membuat konstruksi
dakwaannya dengan menguraikan beberapa peristiwa terutama di gereja Liquisa,
di kediaman Manuel Viegas Carrascalao dan kediaman Uskup Bello, distrik Dili, dan
Gereja Ave Maria, Suai, Kovalima. Dalam semua peristiwa itu Abilio dinyatakan
terkait karena: (1) Adanya rapat yang dihadiri oleh semua bupati yang dipimpin
gubernur dan memberi pengarahan perlunya dibentuk organisasi politik
untuk mewadahi aspirasi politik pro-integrasi. Rapat Muspida yang dipimpin
Abilio memutuskan dibentuknya organisasi politik kelompok pro-integrasi di
setiap kabupaten dengan nama FPDK. Kelompok-kelompok politik pro-integrasi
ini kemudian dikenal dengan nama Pamswakarsa (milisi sipil bersenjata dengan
menunjuk seorang panglima perang dan wakil panglima). (2) Seluruh kegiatan
Pamswakarsa didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
masing-masing daerah tingkat dua (TK II).
Sangat aneh saat jaksa hanya mendakwa Abilio Soares, Timbul Silaen
serta Herman Sediyono dan kawan-kawan hanya sebagai pihak yang “mengetahui
secara sadar, mengabaikan informasi“ dan…”tidak mengambil tindakan yang
layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah dan
menghentikan perbuatan ini , dimana terdakwa tidak melakukan pencegahan.”
Dengan dakwaan seperti itu maka jaksa secara sadar mengabaikan
atau mengingkari keterangan kunci (point 1 dan 2 di atas) yang dijadikan dasar
dakwaan, sebab terdakwa diajukan ke depan sidang hanya sekedar lalai, bukan
terlibat aktif dalam seluruh peristiwa itu sebagai aktor kunci yang mensponsori,
memfasilitasi dan mengkoordinasikan gerakan dari kelompok-kelompok milisi itu
demi memenangkan pro-integrasi. sebab menekankan pada kelalaian akibatnya
-- 307306 -
jaksa penuntut dalam dakwaannya sama sekali tidak mampu menunjukkan
apa motif dari Rapat Muspida dan mengucuran dana bagi hadirnya kelompok
pamswakarsa bersenjata itu.
Jaksa juga tidak mampu merumuskan apa yang dimaksud dengan
element of crime sebagaimana disebut dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000.433 Unsur-unsur yang ada dalam pasal ini yaitu
poin penting yang seharusnya dikonstruksikan dan didakwakan jaksa. Akibat
ketidakmampuan jaksa merumuskan apa yang dimaksud oleh penjelasan Pasal 9
di atas, maka dakwaan dirumuskan sebagai pelanggaran yang bersifat omission,
yaitu pembiaran terhadap pelanggaran yang dilakukan bawahannya sebab tidak
mengambil tindakan yang seharusnya dilakukan, yaitu mencegah, menghentikan,
dan menghukum bawahannya yang telah melakukan pelanggaran pidana.
b. Pembuktian
Sebagaimana telah disebutkan di atas, dakwaan jaksa kepada para
terdakwa terfokus pada dua hal. Pertama, kejahatan kemanusian yang diatur Pasal
9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 berupa pembunuhan dan penganiayaan
sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematik yang diketahui bahwa
serangan ditujukan pada penduduk sipil. Kedua, berkaitan dengan tanggung
jawab komando (command responsibility) dari para terdakwa baik yang berasal
dari kalangan militer ataupun sipil, sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Undang-
433 Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b yaitu
salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan ini ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil,berupa: a.
pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenangwenang yang
melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum intemasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan
seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa
atau bentukbentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. pengamayaan terhadap suatu kelompok
tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya,
agama, jems kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional; i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid.
-- 307306 -
Undang Nomor 26 Tahun 2000.434
Di sisi lain, Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc ini memakai
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka alat bukti sah
yang akan digunakan yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk,
dan keterangan terdakwa sesuai Pasal 184 KUHAP.435 Berangkat dari lemahnya
dakwaan jaksa untuk mengkonstruksikan secara hukum (legal construction)
adanya kejahatan kemanusian dan atau tanggung jawab komando, serta
keterbatasan jenis, kualifikasi, legalitas dan prosedur pembuktian, maka kemauan
dan kemampuan jaksa melakukan terobosan hukum serta pemeriksaan saksi
menjadi sangat penting. Semua itu akan dipergunakan untuk membuktikan
elemen-eleman kejahatan (elements of crime) dalam perkara ini, terutama
menerjemahkan ketentuan Pasal 184 KUHAP, serta keterangan saksi yang
dinyatakan di sidang pengadilan. Sangat disesalkan bahwa usaha jaksa untuk
membuktikan dakwaannya memang tidak terlihat sama sekali. Berdasarkan
dokumen dakwaan jaksa, hasil riset David Cohen, dan laporan hasil pemantauan
sejumlah LSM --khususnya Elsam-- membuktikan hal-hal berikut:
Pertama, dari sejumlah saksi yang diajukan, ternyata hanya 23 (dua puluh
tiga) orang saksi korban dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc kasus
434 Ketidakmampuan melakukan pengendalian ini dilakukan dengan mengabaikan informasi
yang menunjukkan bahwa bawahannya baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang
berat ( pasal 42 ayat 1(a) untuk militer, dan ayat 2 (a) untuk pejabat sipil serta tidak mengambil
tindakan yang layak untuk menghentikan perbuatan ini (Pasal 42 ayat 1 b dan 2 (b)).
435 Sebagaimana telah diuraikan pada bagian lain, salah satu kelemahan Pengadilan Hak
Asasi Manusia Ad Hoc justru pada hukum acara yang dipakai, yaitu KUHAP yang sejatinya hukum
acara untuk pengadilan biasa (ordinary), bukan untuk pengadilan kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime). Akibatnya memang telah diperkirakan bahwa alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP memiliki
keterbatasan formil (prosedur pembuktian) dan materiil (standar alat bukti) untuk membuktikan ada
tidaknya kejahatan hak asasi manusia berat dalam kasus Timor Timur. Pengalaman-pengalaman
internasional dalam menyidangkan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat justru lebih
banyak memakai alat-alat bukti diluar yang diatur oleh KUHAP. Misalnya, rekaman, baik itu yang
berbentuk film atau kaset yang berisi pidato, siaran pers, wawancara korban, wawancara pelaku,
kondisi keadaan tempat kejadian dan sebagainya. Kemudian alat bukti yang dipakai juga diperbolehkan
berbentuk dokumen-dokumen salinan, kliping koran, artikel lepa