s, sampai pada suatu opini yang
terkait dengan kasus yang disidangkan.
-- 309308 -
Timor Timur yang dapat dihadirkan di persidangan. KUHAP jelas mengatur bahwa,
seyogyanya yang lebih dahulu dihadirkan di muka persidangan untuk diperiksa
yaitu saksi korban, baru kemudian saksi-saksi lain. Sekalipun ketentuan ini
tidak mutlak, tetapi saksi korban pelanggaran hak asasi manusia berat dalam
Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc yang (mestinya) diketahui dan disadari
benar kesulitan pembuktiannya oleh majelis hakim, maka mendahulukan
mendengar kesaksian korban menjadi sangat relevan dan penting. Hanya saja,
ini tidak dilakukan oleh hakim.
Kedua, sebagian besar saksi yang diajukan jaksa, berasal dari ABRI
atau kepolisian yang punya hubungan pekerjaan dengan terdakwa, sehingga
keterangan yang diberikan cenderung tidak memperkuat dakwaan jaksa. Selain itu,
saksi-saksi yang diajukan jaksa bukanlah saksi sebagaimana ditentukan KUHAP,
yaitu orang yang mendengar, mengetahui atau melihat sendiri suatu peristiwa;
melainkan mendapat laporan atau mendengar keterangan atau hasil membaca
koran, mendengar radio, dan sebagainya.
Ketiga, terjadi pencabutan kesaksian dalam Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) pada saat persidangan di lakukan. Dalam persidangan Herman Sedyono
dan kawan-kawan, beberapa kesaksian penting dan signifikan untuk pembuktian
telah dicabut oleh para saksi, misalnya pengakuan adanya penyerangan, rapat
koordinasi antar pejabat pemerintah dan pejabat militer, suara letusan senjata
dan pembentukan kelompok-kelompok pengamanan sipil.
Pencabutan kesaksian juga dilakukan pada pengakuan adanya keterkaitan
antara pembentukan satuan keamanan sipil dengan kebijakan ataupun dukungan
dari pemegang otoritas kekuasaan di tingkat daerah, baik dalam hubungan
administrasi maupun hubungan teknis seperti pembinaan dan pelatihan.
Sehingga dalam pemeriksaan saksi, hampir tidak ditemukan pengakuan akan
adanya penyerangan. Dalam perkembangan selanjutnya, hakim dan jaksa
turut memakai kata “bentrokan” atau “kerusuhan” sebagai pengganti kata
penyerangan ini.
Penggunaan kata ini berimplikasi pada pemenuhan dan pembuktian
adanya unsur kejahatan dalam dakwaan. Contoh lain, yaitu dalam pemeriksaan
-- 309308 -
saksi Adam Damiri misalnya, pengertian satuan keamanan sipil bersenjata
(milisi) bahkan dinyatakan tidak ada. Lebih jauh dalam pemeriksaan yang sama,
saksi juga mencabut keterangan yang menyatakan bahwa Pamswakarsa yaitu
perubahan bentuk dari Pejuang Pro Integrasi.
Di samping itu, terjadi pengabaian asas pemeriksaan saksi dalam
hukum acara yang secara langsung berkaitan dengan suatu sistem adminstrasi
Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.436 Sebagaimana dipahami, ketentuan
pemeriksaan saksi menyatakan bahwa saksi dipanggil dan diperiksa seorang demi
seorang (dilakukan satu per satu).437 Para saksi tidak sekaligus diminta masuk ke
ruang sidang. Tidak dibenarkan saksi diperiksa secara bersama-sama, sepanjang
hal itu tidak diperlukan. Pemeriksaan saksi secara satu persatu ditujukan agar
keterangan yang mereka berikan tetap, dan bebas, sehingga jangan sampai
terjadi keterangan seorang saksi, dapat didengar oleh saksi lain, yang dapat
mempengaruhi saksi bersangkutan. Para saksi yang seharusnya tidak boleh
masuk ke sidang sebab akan diperiksa sebagai saksi berikutnya, sering kali
masuk ke persidangan untuk melihat pemeriksaan saksi lain, atau duduk di luar
ruangan sambil mendengarkan proses pemeriksaan saksi lainnya.
Dapat ditambahkan, bahwa dalam pemeriksaan saksi korban yang
bernama Emilio Bareto dan Juao Perreira untuk terdakwa Timbul Silaen, jaksa
ternyata tidak melakukan proses pemanggilan sesuai prosedur hukum acara. Dua
orang saksi ini , yang saat itu sedang hadir di pengadilan untuk memberi
kesaksian untuk Abilio Soares, secara tiba-tiba diajukan oleh jaksa dalam kasus
Timbul Silaen, tanpa konfirmasi terlebih dahulu, langsung diperiksa. Proses
pemeriksaannya dilakukan secara bergantian dalam kedua berkas ini
(Timbul Silaen dan Abilio Soares), saat Emilio Bareto diperiksa di persidangan
kasus Timbul Silaen maka Juao Fereira diperiksa di persidangan kasus Abilio
dan sebaliknya.
436 Asas ketentuan pemeriksaan saksi ada dalam KUHAP pasal 159 dan 160.
437 Lihat Pasal 160 KUHAP.
-- 311310 -
Keempat, minimnya usaha jaksa untuk mencari dan mengajukan alat-alat
bukti lain seperti: surat, petunjuk dan lain-lainnya. Dalam persidangan Adam
Damiri dan Tono Suratman, hanya ada satu alat bukti yang dimunculkan jaksa,
yaitu surat telegram dari Pangdam Udayana yang memerintahkan agar TNI dan
Polri mem-back up pro integrasi pada waktu peristiwa penyerangan di Gereja
Liquisa pada 6 April 1999 (muncul pada persidangan). Alat bukti itu pun masih
dalam perdebatan sebab keadaannya berupa photo copy dan tidak dibubuhi
‘tanda’ sebagai alat bukti yang sah. Oleh sebab itu, alat bukti ini menurut KUHAP
masih lemah.
Kelima, tidak ada usaha dari jaksa untuk melakukan terobosan hukum,
melakukan interpretasi terhadap bukti yang diatur KUHAP. Jika saja itu dilakukan,
maka bukti petunjuk bisa diinterpretasi untuk menghadirkan bukti visual seperti
rekaman video atau photo-photo, beberapa keterangan di media massa, bahkan
bisa saja mencari dokumen-dokumen lain, misalnya dengan memeriksa dokumen
di mabes TNI atau Polri. Jaksa memiliki kekuasaan untuk itu, namun hal itu
tidak dilakukan.438
c. Tidak Ada Penahanan
Selama proses penyidikan dan persidangan, tidak satupun tersangka
dan terdakwa yang ditahan, meskipun alasan obyektif dan subyektif penahanan
terpenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP. Lebih-lebih
kejahatan yang dituduhkan yaitu kejahatan kemanusiaan serius (extraordinary
crimes) yang berdampak luas, baik tingkat nasional maupun internasional, yang
menimbulkan kerugian materiil dan immateriil berupa perasaan tidak aman baik
terhadap perseorangan maupu warga .
Dampak dari tidak ditahannya para tersangka atau terdakwa ini yaitu
tersendatnya proses pembuktian saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Selain
438 Pada pemeriksaan saksi korban Manuel Carascalao dalam kasus Adam Damiri, ada
rekaman video tentang peristiwa 17 April 1999 di Dilli, yang diserahkan oleh Manuel Carascalao
kepada majelis, dan selanjutnya bukti itu dilimpakan oleh majelis kepada jaksa untuk menerimanya.
Namun demikian, alat bukti tidak pernah ditindaklanjuti.
-- 311310 -
itu, berakibat pula pada banyaknya saksi yang mencabut keterangannya di
BAP, dan cenderung mengungkapkan keterangan yang berbeda-beda. Berbeda
halnya dalam praktik peradilan internasional, semua tersangka ditahan semenjak
dilakukan proses pemeriksaan. Tersangka untuk kasus Rwanda ditahan di kota
Arusha, Tanzania439 sedangkan untuk tersangka atau terdakwa kasus Yugoslavia,
ditahan di Den Haag, Belanda.440
d. Putusan Hakim
Dari 18 terdakwa yang dimuat dalam 12 berkas, semua keputusan majelis
hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan, berupa
pembunuhan dan penganiayaan. Hal itu sesuai dengan Pasal 9 (a) dan Pasal
9 (b) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Dalam menyimpulkan rumusan
kejahatan terhadap kemanusiaan, majelis hakim tidak memakai acuan yang
sama, terutama dalam hal menjelaskan tentang adanya unsur yang meluas atau
sistematik, adanya serangan terhadap penduduk sipil dan pengertian tentang
unsur adanya kebijakan dari penguasa atau organisasi lainnya.
Perbedaan pendefinisian dalam menjelaskan unsur-unsur ini sangat
masuk akal, sebab dalam undang-undangnya sendiri tidak ada defenisi yang jelas
sehingga majelis hakim menafsirkannya sesuai pengetahuan dan referensi yang
439 Sebagai contoh salah satu tersangka untuk kasus Rwanda yaitu Tharcisse Renzaho.
Ia ditangkap pada tanggal 29 September 2002 di Republik Demokratik Congo dan pada hari yang
sama langsung ditransfer ke fasilitas penahanan pengadilan di Arusha, Tanzania. Ia ditahan sebagai
tersangka sebab keterlibatannya pada peristiwa genocide yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994,
pada saat itu ia menjadi gubernur di Kigali. Selain Renzaho, yang juga dijadikan tersangka yaitu
Jenderal Augustin Bizimungu. Ia menjadi Panglima Militer Rwanda pada 1994 selama genocide
berlangsung. Dalam peristiwa ini sekitar 800.000 suku Tutsi dan kelompok moderat suku Hutu dibunuh
dalam jangka waktu 100 hari, oleh milisi bersenjata. Bizimungu yaitu salah satu dari mereka yang
dituduh sebagai dalang dari peristiwa ini dengan tuduhan mempersenjatai dan melakukan training
kepada milisi. Ia akan dituntut dengan tuduhan melakukan genocide atau bekerjasama melakukan
genoside, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
440 Para tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia
yang berat di bekas negara Yugoslavia semuanya melalui proses penahanan baik yang ditangkap
maupun menyerah dengan sukarela. Para tersangka yang belum tertangkap juga dinyatakan statusnya
sebagai buronan.
-- 313312 -
mereka miliki.441 Majelis hakim juga menyimpulkan bahwa pelaku pelanggaran
hak asasi manusia yang berat yaitu milisi pro integrasi. Kasus yang terjadi
di Dilli pelakunya yaitu milisi Aitarak dan Besi Merah Putih; di Liquica, Milisi
Besi Merah Putih dan juga Aitarak, sedangkan di Suai Kovalima yaitu milisi
Mahidi dan Laksaur. Dalam beberapa putusan majelis hakim juga menyebutkan
keterlibatan oknum aparat keamanan.
Terhadap konstruksi putusan yang menyatakan pelaku lapangan yaitu
kelompok warga , berimplikasi pada pertangungjawaban para terdakwa.
Hanya terdakwa dari unsur milisi (Eurico Guterres) yang secara jelas memiliki
keterkaitan dengan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan secara langsung.
Sementara pelaku dari unsur militer dan kepolisian tidak secara tegas dinyatakan
dalam beberapa putusan mejelis hakim. Unsur aparat dari militer maupun
kepolisian dikonstruksikan melakukan pembiaran atau tidak melakukan tindakan
pencegahan terhadap terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan.
Berkaitan dengan delik tanggung jawab komando (Pasal 42 Undang-
Undang No. 26 Tahun 2000) majelis hakim memiliki penafsiran yang berbeda
satu sama lain. Penafsiran pertama menyatakan, tanggung jawab komando hanya
berkaitan dengan adanya hubungan atasan dan bawahan antara pelaku dengan
terdakwa, dimana anak buah terdakwa terbukti melakukan kejahatan kemanusian.
Tanggung jawab komando dalam konteks pandangan yang pertama
ini selalu mensyaratkan adanya anak buah yang melakukan pelanggaran hak
asasi manusia yang berat, ada bawahan dalam pengendalian yang efektif yang
melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Jika tidak ada hubungan
antara pelaku dengan para terdakwa secara organisasional, maupun pengendalian
secara efektif, maka terdakwa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.
441 Dalam beberapa berkas perkara, majelis hakim dalam menguraikan unsur meluas dan
sistematik menunjuk pada beberapa referensi diantaranya pendapat ahli hukum dan pengertian seperti
yang digunakan dalam praktik peradilan internasional. Sedangkan dalam beberapa berkas perkara
lain penjelasan atas unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan tidak dijelaskan dari mana sumber
referensinya. Lihat putusan terhadap terdakwa Herman Sedyono dan kawan-kawan serta putusan
terhadap terdakwa Asep Kuswani dan kawan-kawan.
-- 313312 -
Penafsiran yang demikian tidak melihat para terdakwa sebagai pihak yang punya
otoritas dan kewenangan tertentu untuk mencegah adanya pelanggaran hak asasi
manusia yang berat.442
Penafsiran kedua yaitu putusan yang menafsirkan delik tanggung
jawab komando yang berkenaan dengan adanya kegagalan bertindak, atau
kegagalan untuk melakukan langkah-langkah yang selayaknya dilakukan. Dalam
pandangan ini, faktor posisi terdakwa dengan kewenangannya yaitu faktor
penting dalam menentukan peranan terdakwa dalam peristiwa. Pandangan ini
menjelaskan bahwa atasan tidak hanya bertanggung jawab terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh bawahannya dalam pengendalian yang efektif, tetapi
juga harus bertanggungjawab terhadap tindak pidana yang terjadi akibat tidak
dilakukannya pengendalian pasukan secara patut; artinya atasan gagal mengambil
langkah-langkah yang diperlukan, guna mencegah atau menghentikan terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia yang berat di dalam wilayah kekuasaannya yang
efektif.443
Terhadap hukuman minimal yang dijatuhkan hakim, yaitu antara 3 sampai
10 tahun, majelis hakim beralasan bahwa meskipun bertanggung jawab terhadap
terjadinya kejahatan, tetapi para terdakwa bukan pihak yang dapat dimintai
pertanggungjawaban secara sendirian sebab ada pihak lain yang juga harus
bertanggung jawab. Disamping itu, para terdakwa bukan pelaku langsung, dan
kesalahannya lebih sebab kelalaiannya mengambil tindakan. Secara yuridis,
442 Lihat putusan Herman Sedyono dan kawan-kawan serta putusan Asep Kuswani
dan kawan-kawan. Dalam dua putusan ini pembuktian untuk pertanggungjawaban para terdakwa
dimulai dengan menjawab pertanyaan mengenai adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, siapa
pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ini dan apakah para terdakwa dapat dimintai
pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi. Dalam kesimpulannya
menjelaskan bahwa memang terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan pelakunya
yaitu milisi pro intergrasi yang tidak ada hubungan organisasional dengan para terdakwa sehingga
terdakwa tidak memiliki komando atau pengendalian yang efektif dan terdakwa tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban.
443 Lihat putusan terhadap terdakwa Letkol. Soejarwo yang menjelaskan bahwa kendatipun
pasukan yang berada di bawah pengendalian terdakwa bukan termasuk sebagai pelaku aktif tetapi
pasukan terdakwa yaitu sebagai pelaku pasif untuk mencegah. Menghentikan, mengendalikan
pasukan untuk bertindak secara efektif dan patut padahal wewenang itu ada padanya
-- 315314 -
majelis hakim yang memutus pidana dibawah 10 tahun beralasan bahwa dalam
praktik peradilan internasional tidak ada ketentuan tentang pidana minimal.
Alasan lain, bahwa sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000,
telah ada Perppu Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
yang mengatur tentang pidana minimal 5 tahun, dan jika dipertentangkan dengan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang mengatur pidana minimal 10 tahun,
maka majelis hakim memakai kaidah Pasal 1 ayat (2) KUHP. Dalam pasal
itu dinyatakan bahwa jika ada dua pemidanaan yang berbeda dan mengatur hal
yang sama maka digunakan peraturan yang menguntungkan terdakwa.
Sementara itu, putusan bebas yang dilakukan majelis hakim banding dan
atau kasasi pada umumnya sama. Hakim Basoeki yang mengetuai majelis dan
menangani perkara Soedjarwo, Hulman Gultom dan Eurico Guterres mengatakan
bahwa dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh terdakwa Soedjarwo dan
Hulman Gultom tidak terbukti. Putusan banding ini juga merujuk pada putusan
kasasi Mahkamah Agung (MA) terhadap terdakwa lainnya, yaitu Timbul Silaen
yang juga divonis bebas.
Hakim Basoeki menambahkan bahwa majelis banding mengoreksi
putusan hakim sebelumnya yang dinilai terlalu jauh memakai Pasal 41
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Putusan pengadilan pertama terhadap Gutteres, Basoeki menyatakan bahwa hati
nurani hakim menilai hukumannya terlalu tinggi. Dia (Eurico) sudah terusir dari
tumpah darahnya. Hal lain yang janggal yaitu putusan hakim yang menyatakan
bersalah dan dihukum (penjara) tidak disertai perintah agar terhukum dimasukkan
ke tahanan. Ini sangat mengherankan, suatu kejahatan terhadap kemanusian,
diperlakukan sebagai kejahatan ringan atau hanya pelanggaran. Fakta ini
mengindikasikan bahwa para hakim tidak mengerti bahwa kejahatan ini yaitu
kejahatan kemanusian, yang menuntut tanggung jawab semua manusia. Ada
kemungkinan lain, yaitu sebab ada tekanan politik yang kuat sehingga putusannya
seperti itu: dinyatakan bersalah, dijatuhi dipidana tetapi tidak ada perintah ditahan.
Putusan pengadilan juga tidak satupun yang memberi keputusan
tentang kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi kepada korban. Padahal putusan
-- 315314 -
pengadilan mengakui adanya kejahatan terhadap kemanusiaan dan adanya
korban dalam kejahatan ini . Ada dugaan, bahwa tidak adanya keputusan
kompensasi lebih disebabkan sebab tidak adanya permohonan kompensasi,
restitusi maupun rehabilitasi yang diajukan ke pengadilan baik oleh penuntut umum
maupun korban. Sebagaimana diketahui akhir dari proses Pengadilan Hak Asasi
Manusia Ad Hoc kasus Timor Timur yaitu dibebaskannya semua terdakwa,
baik yang bebas di tingkat Pengadilan Tingkat Pertama, Tingkat Banding, Tingkat
Kasasi, maupun Peninjauan Kembali (PK).
e. Kelemahan Lain
Pertama, Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Timor Timur ini berjalan
dibawah standar, bahkan untuk ukuran pengadilan pidana biasa sekali pun.
Dakwaan-dakwaan dipersiapkan ‘sangat buruk’, sehingga akan sulit bahkan
untuk pengadilan yang tidak memihak sekalipun dalam menghukum terdakwa
berdasarkan bukti yang disampaikan.
Kedua, sebagian besar hakim pengadilan ini kurang memiliki kompetensi
dalam hukum hak asasi manusia internasional, sehingga tidak mampu
menginterpretasi dan menerapkan prinsip-prinsip hukum hak asasi manusia
internasional yang relevan digunakan dalam persidangan.
Ketiga, tidak disediakan dukungan institusional yang memadai yang
membuat pengadilan kekurangan fasilitas (referensi) untuk melakukan penelitian,
gaji yang telat dibayar sebab Keputusan Presiden yang mengesahkan gaji mereka
belum ditandatangani. Kekurangan dukungan institusional ini, sukar ditepis
sebagai bagian dari tekanan politik yang memberi pesan kepada para hakim
bahwa tugas mereka tidak didukung negara. Situasi ini diperparah oleh lemahnya
dukungan warga terhadap proses pengadilan, sebab warga menilai
bahwa kekerasaan di Timor Timur yaitu konflik antar orang Timor Timur
sendiri, yang diperburuk oleh kehadiran PBB. Para perwira TNI malah dinilai
sebagai pahlawan yang berusaha melaksanakan tugas mempertahankan kesatuan
negara kita . Celakanya, pandangan ini tercermin juga dalam dakwaan-dakwaan
jaksa dan pertimbangan hakim.
-- 317316 -
Keempat, tidak dapat dipungkuri bahwa kelemahan substansi dan
prosedur Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 telah terbukti menyulitkan jaksa
dan majelis hakim mengkonstruksikan kesalahan dan pertangungjawaban pelaku.
Begitu pula dengan penggunaan hukum acara KUHAP, telah membuat jaksa dan
majelis hakim kehilangan arah dan terjebak ke dalam logika dan hipotesa pidana
biasa sehingga kejahatan terhadap kemanusian, ditangan jaksa dan hakim seperti
kejahatan biasa.
Kelima, jaksa dan majelis hakim sama-sama tenggelam dalam imajinasi
nasionalisme sempit yang melumpuhkan daya nalarnya dalam mengenali apa
yang sebenarnya terjadi di Timor Timur. Di mata mereka, para terdakwa bukan
orang yang diduga telah melakukan kejahatan melainkan para patriot yang telah
menjalankan tugas negara. Oleh sebab itu, para terdakwa yaitu orang yang
seharusnya dibela bukan orang yang seharusnya dihukum.
Kelima, suasana ruang persidangan menimbulkan ketidaktenangan jaksa,
hakim, dan saksi sebab penuh sesaknya ruang sidang. Ruangan diisi oleh
kelompok-kelompok tertentu yang terkait dengan terdakwa, yang patut diduga
diorganisir secara rapi.
Merespon kelemahan ini , Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi
Manusia waktu itu, Mary Robinson; yang mengunjungi Timor Timur saat itu,
secara terbuka menyatakan ketidakpuasannya dengan tiga persidangan pertama.
Ia juga memperingatkan bahwa jika negara kita tidak bisa memberi keadilan,
maka harus ada pengadilan internasional. Hal yang sama juga disuarakan oleh
Sekjen PBB yang menyangkal isyarat yang diberikan hakim, penuntut dan tertuduh
bahwa ada kejanggalan dalam pelaksanaan misi UNAMET.
Sergio Vieira de Mello (pengganti Mary Robinson), juga menyatakan
keberatannya atas cara sidang pengadilan itu dilaksanakan. Dalam laporannya
kepada sesi ke 59 Komisi Hak Asasi Manusia PBB (UNCHR) bulan Maret 2003,
ia mengkritik bahwa yuridiksi pengadilan yang terbatas secara geografis dan
waktu; kurangnya pengalaman para penuntut dan hakim; perlakuan dalam sidang
pengadilan dimana sejumlah hakim, penuntut dan pembela hukum tertuduh
mengintimidasi dan terkadang bersikap bermusuhan terhadap para saksi warga
-- 317316 -
Timor Timur; dan ringannya hukuman yang dijatuhkan, tidak masuk akal bila
dibandingkan dengan beratnya pelanggaran yang dilakukan. Komisaris Tinggi
Hak Asasi Manusia juga mencatat lemahnya jaksa dan integritas serta kredibilitas
proses persidangan, sebab dirusak oleh kegagalan mereka menampilkan
pengadilan dan bukti-bukti yang menggambarkan pembunuhan serta pelanggaran
hak asasi manusia sebagai bagian dari pola tindak kekerasan yang tersebar luas
dan sistematik.
f. Tabel I Putusan Hakim
Kasus Timor Timur
Terdakwa Putusan Tingkat 1 Banding Kasasi PK
Adam Damiri 3 Tahun Bebas -
Tono Suratman Bebas - Bebas
M. Noer Muis 5 tahun Bebas Bebas
Endar Prianto Bebas - Bebas
Asep Kuswani Bebas - Bebas
Soejarwo 5 Tahun Bebas Bebas
Yayat Sudrajat Bebas Bebas Bebas
Lilik K Bebas - Bebas
Achmad Syamsudin Bebas - Bebas
Sugito Bebas - Bebas
Timbul Silaen Bebas - Bebas
Adios Salova Bebas - Bebas
Hulman Gultom 3 Tahun Bebas Bebas
Gatot Sugyaktoro Bebas - Bebas
Abilio Soares 3 Tahun 3 Tahun 3 Tahun Bebas
Leonito Martens Bebas - Bebas
Herman Sedyono Bebas - Bebas
Eurico Guterres 10 Tahun 5 Tahun 10 Tahun Bebas
-- 319318 -
2. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Tanjung Priok
Peristiwa Tanjung Priok yang berujung pada Pengadilan Hak Asasi
Manusia Ad Hoc bermula pada tanggal 7 September 1984. Kala itu, ada seorang
Bintara Pembina Desa (Babinsa) beragama Katolik bernama Sersan Satu
Harmanu yang datang ke musholla kecil yang bernama “Musholla As-sa’adah”.
Ia memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisi tulisan “Problema yang
Dihadapi Kaum Muslimin”, dan disertai pengumuman tentang kegiatan pengajian
yang akan datang. Permintaan ini tidak dituruti oleh warga yang
sempat marah dengan tindakan Harmanu. Pada hari berikutnya, Babinsa itu
datang lagi bersama beberapa rekannya untuk mengecek apakah perintahnya
sudah dijalankan apa belum. Setelah kedatangan kedua itulah muncul isu yang
menyatakan, kalau militer telah menghina kehormatan tempat suci sebab masuk
mushola tanpa menyopot sepatu, dan menyirami pamflet-pamflet di musholla
dengan air comberan.
Informasi ini menyebar dan menyulut kemarahan warga dan
tokoh-tokoh agama di Tanjung Priok, sehingga terjadi bentrokan dan jatuh korban
tewas, hilang dan luka-luka. Menurut versi pemerintah, korban yang jatuh dalam
peristiwa ini yaitu 28 orang, namun menurut pihak korban, ada sekitar
700-an orang. Menurut hasil penyelidikan Komnas HAM, korban yang jatuh
yaitu 24 orang tewas, 54 luka berat dan ringan. Setelah peristiwa ini ,
terjadi penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai terlibat, seperti Abdul
Qodir Jaelani, Tony Ardi, Mawardi Noor dan Oesmany Al Hamidy, dan masih
banyak yang lain. Penangkapan dan penahanan juga menyebar ke daerah-daerah
lain di luar wilayah Tanjung Priok, seperti Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Garut,
Tasikmalaya, Ciamis, Lampung dan Ujung Pandang.
Peristiwa yang terjadi di era Soeharto ini menjadi salah satu bentuk
pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang menuntut pengungkapan dan
penyelesaian. Melalui Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor 002/Komnas HAM
/lll/2000 pada 8 Maret 2000 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan
Ketua Komnas HAM Nomor 003/Komnas HAM/III/2000 tanggal 14 Maret 2000
tentang Pembentukan Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran
-- 319318 -
Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok (KP3T) dilakukanlah penyelidikan. KP3T
melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan, mulai tanggal 8 Maret 2000 sampai
dengan tanggal 7 Juni 2000.
Dalam dakwaan jaksa disebutkan waktu dan tempat peristiwa yang
menjadi dasar pemeriksaan di pengadilan, yaitu:
1. Peristiwa di Jl. Yos Sudarso depan Mapolres Jakarta Utara pada
Rabu 12 September 1984 pukul 23.00 WIB atau sekitar waktu itu
atau setidaktidaknya sekitar bulan September 1984 (pada berkas
dakwaan Sutrisno Mascung dan kawan-kawan);
2. Peristiwa di Jl. Yos Sudarso depan Mapolres Jakarta Utara pada
Rabu 12 September 1984 dan waktu lain pada bulan September
1984 serta Markas Kodim 0502 Jakarta Utara, 10 – 18 September
1984 (pada berkas dakwaan Butar Butar);
3. Peristiwa di Pomdam V Jaya (Guntur) Jl. Sultan Agung No. 33
Jakarta Selatan dan Rumah Tahanan Militer Cimanggis Jl. Raya RTM
Cimanggis Jawa Barat dan Kamis tanggal 12 September 1984 pukul
10.30 WIB sampai dengan tanggal 8 Oktober 1984 (pada berkas
dakwaan Pranowo);
4. Peristiwa 12 September 1984 pukul 23.00 WIB dan waktu lain pada
bulan September 1984 (pada berkas dakwaan Sriyanto).
Yurisdiksi (waktu dan tempat) yang disebutkan dalam dakwaan jaksa itu
telah dipersempit sesuai Keppres Nomor 96 Tahun 2001. Penyempitan yurisdiksi
di atas, telah memicu terhalangnya kesempatan untuk membuktikan adanya
unsur sistematik dan meluas dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia
yang terjadi di kedua wilayah ini , khususnya yang terjadi di Tanjung Priok,
sebagaimana juga yang terjadi dalam kasus Timor Timur.
a. Dakwaan Jaksa
Surat dakwaan yang diajukan jaksa disusun secara kumulasi dan campuran
(kumulasi dan subsider) dengan memakai pasal pertanggungjawaban
-- 321320 -
komando, yang diatur dalam Pasal 42 ayat 1, serta pertanggungjawaban
individual, yang dimuat dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000. Kedua pertanggungjawaban itu diajukan jaksa sebab para terdakwa
telah melakukan kejahatan kemanusian, berupa: pembunuhan; percobaan
pembunuhan; perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik
lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok
hukum internasional; penyiksaan, dan penganiayaan. Konstruksi dakwaan jaksa
sebenarnya mengandung beberapa kelemahan mendasar.
Pertama, jaksa hanya mengajukan R. Butar-Butar, Pranowo, Sriyanto dan
Sutrisno serta 10 orang anggota Regu III Yon Arhanudse 06, dan mengabaikan
rekomendasi KP3T yang merekomensasikan Jend TNI. Benny Moerdani
(Panglima TNI-Pangkopkamtib); Mayjend TNI. Tri Sutrisno (Pangdam V Jaya);
Brigjend. TNI. Dr. Soemardi (Kepala RSPAD Gatot Subroto); Mayor TNI Darminto
(Bagpam RSPAD Gatot Soebroto); Kapten Auha Kusin (Rohisdam V Jaya),
dan Kapten Mattaoni, (Rohisdam V Jaya) sebagai pihak yang harus dimintai
pertanggungjawaban hukum. Dengan tidak diajukannya nama-nama ini ,
jaksa kesulitan mengkonstruksikan dakwaan guna membuktikan adanya rangkaian
komando atas terjadinya peristiwa Tanjung Priok, sekaligus berarti menutup
kemungkinan para pembuat kebijakan atau penanggungjawab komando dimintai
pertanggungjawaban hukum.
Kedua , jaksa t idak mendakwa Sr iyanto dengan dakwaan
pertanggungjawaban komando, tetapi hanya sebagai pelaku yang turut melakukan
(medepleger). Ia dianggap bukan sebagai komandan yang tidak melakukan
pengendalian secara patut terhadap pasukan dibawah pengendaliannya yang
efektif, atau dibawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, yaitu terdakwa
mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu, seharusnya mengetahui bahwa
pasukannya sedang melakukan, atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi
manusia yang berat. Jaksa mengesampingkan, atau tidak mempertimbangkan
posisi dan kedudukan Sriyanto yang cukup penting dalam satuan militer, yaitu
sebagai Kasi II Ops Kodim 0502 Jakarta Utara.
-- 321320 -
Ketiga, dalam mengkonstruksikan unsur sistematik, jaksa menguraikan
rangkaian peristiwa yang terjadi di bulan Juli sampai September 1984, dengan
menyatakan bahwa peristiwa terjadi akibat memanasnya situasi politik, sosial,
budaya dan agama di Tanjung Priok akibat adanya para penceramah yang
menghasut jamaahnya untuk melawan kebijakan pemerintah memberlakukan
asas tunggal Pancasila, Keluarga Berencana dan larangan memakai jilbab di
sekolah-sekolah. Dengan konstruksi ini , jaksa mengarahkan pemahaman
bahwa peristiwa Tanjung Priok yaitu peristiwa yang berdiri sendiri akibat adanya
penceramah-penceramah di wilayah Tanjung Priok, bukan akibat kebijakan
pemerintah.
Dengan dakwaan ini , jaksa jelas mengabaikan temuan penyelidik
KP3T yang menyatakan bahwa memanasnya situasi di wilayah Tanjung Priok
akibat kebijakan pemerintah yang memberlakukan asas tunggal Pancasila,
yang ditolak oleh warga dan tokoh-tokoh agama di wilayah Tanjung Priok.
Ceramah-ceramah para tokoh agama dan tokoh-tokoh warga di Tanjung
Priok yaitu reaksi penolakan terhadap kebijakan dimaksud. Sedangkan
unsur meluas, jaksa hanya menunjukkkan dengan besarnya jumlah korban.
Seharusnya JPU menguraikan juga unsur meluas melalui luasan geografis, dengan
menyebutkan fakta bahwa peristiwa Tanjung Priok juga menyebar ke wilayah-
wilayah lain, seperti Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Garut, Tasikmalaya, Ciamis,
Lampung dan Ujung Pandang. Dengan cara begitu, maka peristiwa-peristiwa
yang terjadi di luar Jakarta Utara ini harus dianggap sebagai satu kesatuan
dari rangkaian peristiwa utamanya, yaitu peristiwa tanggal 12 September 1984
di wilayah Kodim 0502 Jakarta Utara.
Keempat, penggunaan pasal-pasal KUHP yang termuat dalam
ketentuan umum (buku satu), mengindikasikan bahwa jaksa menganggap atau
mengandaikan bahwa kejahatan yang didakwakan kepada para terdakwa yaitu
kejahatan biasa (konvensional), bukan kejahatan luar biasa (extraordinary crimes ),
yang memerlukan ketentuan-ketentuan yang extraordinary pula. Sekalipun tidak
ada larangan memakai KUHP, tetapi penggunaan KUHP tanpa argumentasi
dan logika hukum yang tepat dan mendalam justru dapat melemahkan dakwaan
-- 323322 -
jaksa itu sendiri dalam membuktikan kebenaran materiil dakwaan.
b. Pembuktian
Sebagaimana Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Timor Timur,
Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Tanjung Priok juga dihadapkan pada
persoalan yang relatif sama, yaitu sama-sama dihadang oleh minimnya alat
bukti materiil di satu sisi, serta kendala hukum acara di sisi lain. Apalagi 13 (tiga
belas) senjata semiotomatis Samozariadnya Karabina Simonovap (SKS) 45 berikut
selongsong pelurunya dan truk Reo yang pernah digunakan dalam penugasan
anggota Yon Arhanudse 06 Tanjung Priok, yang oleh jaksa dinyatakan sebagai
alat bukti dinyatakan hilang, dan tidak pernah dapat diajukan ke persidangan.
Menghadapi minimnya alat-alat bukti, jaksa sangat mengandalkan bukti
keterangan saksi-saksi yang dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc
Tanjung Priok jauh lebih tersedia dan mudah dihadirkan dibanding Pengadilan
Hak Asasi Manusia Ad Hoc Timor Timur, terutama saksi korban. Dengan
banyaknya saksi korban yang memberi keterangan di persidangan, maka
diasumsikan akan memperkuat surat dakwaan jaksa, tetapi dalam kenyataan,
yang terjadi sebaliknya, banyak saksi yang justru mencabut atau minimal merevisi
kesakisannya.444
Sebagaimana sudah dijelaskan di bagian dakwaan, para terdakwa
didakwa melakukan kejahatan kemanusian berupa pembunuhan, penganiayaan,
penyiksaan, dan tanggungjawab komando. Usaha jaksa untuk membuktikan
unsur-unsur dakwaan, secara umum, tidak berhasil. Unsur meluas atau sistematik
444 Pada sidang di Pengadilan Jakarta Pusat, Kamis (11/12), yang dipimpin Ketua Majelis
Hakim Herman Hueler Hutapea, saksi Muchtar Dewang (45) mencabut kesakisan tentang tindakan
penyiksaan yang dilakukan tentara sebagaimana yang ada dalam BAP. “Saya tidak dilemparkan
dalam truk dan tidak ditendang-tendang. Mereka hanya menyenggol dengan kaki, memastikan apakah
saya masih hidup atau tidak. Lalu saya dibawa ke rumah sakit tentara. “Kaki saya kemudian diamputasi
sebab saya menderita diabetes,” katanya. Muchtar juga mengatakan, jumlah rombongan TNI waktu
itu berhadapan dengan 3.000 orang dan kebanyakan bersenjata, padahal di BAP dia menyebutkan
hanya 300 orang dan tidak bersenjata. Ia menambahkan, aksi penembakan aparat dilakukan setelah
seorang aparat yang menawarkan damai dikejar enam orang bersenjata. Lihat Kompas, Jumat 12
Desember 2003.
-- 323322 -
misalnya, tidak tercakup secara memadai. Unsur meluas lebih banyak ditunjukkan
dengan jumlah korban yang jatuh baik korban pembunuhan, penganiayaan,
penyiksaan dan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Para saksi
tidak bisa menyatakan secara pasti tentang jumlah korban, sebab pada saat
terjadinya peristiwa, mereka tidak memiliki akses atau pengetahuan tentang
berapa secara pasti korban yang meninggal. ini terjadi sebab tertutupnya
informasi pada saat itu.
Begitu pula pembuktian terhadap dakwaan terhadap R. Butar Butar
dan Pranowo. Mereka yang didakwa tidak melakukan tindakan yang layak dan
diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya. Tidak ada usaha untuk mencegah
atau menghentikan pelanggaran hak asasi manusia berat, berupa pembunuhan
yang dilakukan oleh anak buahnya, dan atau menyerahkan pelakunya ini
kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan. Pemeriksaan saksi selama persidangan seharusnya diusaha kan yang
pertama-tama yaitu menunjukkan adanya hubungan yang jelas antara komandan
dengan pasukannya yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
dan apakah ada kontrol yang efektif dari komandan dan pasukannya ini .
Selanjutnya membuktikan ada tidaknya tindakan komandan dalam
mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat yang dilakukan anak
buahnya. Seharusnya ini ditambah dengan pertanyaan: bagaimana komandan
melakukan koreksi atas pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi dengan
menyerahkan pelakunya guna dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan?
Dari pola ini akan dapat disimpulkan apakah komandan melakukan tindakan
yang layak dan perlu, atau bahkan gagal dalam melakukan tindakan-tindakan
tertentu (failure to act).
Begitu juga pembuktian dakwaan terjadinya perampasan kemerdekaan
secara sewenang-wenang, dan perampasan fisik lainnya, agak sulit dibuktikan.
Jaksa hanya berkutat pada ada tidaknya surat perintah penahanan, dan
pemberitahuan kepada keluarga korban atau pihak yang ditahan. Kondisi
tempat penahanan, baik di Pomdam V Guntur maupun RTM Cimanggis jstru
tidak dilacak secara memadai dan lengkap dari keterangan saksi. Sementara
-- 325324 -
itu, pemeriksaan saksi-saksi untuk membuktikan adanya penganiayaan melalui
korban penganiayaan itu sendiri, relatif mudah dilakukan. Masih adan bukti
berupa bekas-bekas luka tembakan pada tubuh korban, yang ditunjukkan para
korban di persidangan, meskipun ada diantara saksi korban yang meralat atau
mereduksi istilah penganiayaan dengan menjelaskan bahwa mereka hanya
dipukul satu dua kali.
Masalah saksi yang terulang dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad
Hoc Tanjung Priok yaitu diabaikannya ketentuan KUHAP tentang larangan para
saksi untuk saling berhubungan dan berada di ruang sidang sebelum diperiksa.
Dengan membiarkan ini , jaksa jelas mengabaikan prinsip peradilan
yang fair dan obyektif. Praktik berulang yang terjadi pada Pengadilan Hak Asasi
Manusia Ad Hoc Timor Timur, yaitu adanya saksi-saksi yang juga terdakwa.
Dengan status ganda ini, tentu saja keterangan yang bersangkutan selaku saksi
patut diragukan kebenarannya sebab pada saat lain yang bersangkutan juga
terdakwa. Lebih-lebih jika mengacu pada asas non self incrimination (Pasal 14
angka 3 huruf g ICCPR) yang menyatakan bahwa dalam menentukan tindak pidana
yang dituduhkan kepadanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal,
diantaranya untuk tidak dipaksa memberi keterangan yang memberatkan
dirinya atau dipaksa mengaku bersalah.
c. Putusan Hakim
Putusan hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Tanjung Priok,
telah menghasilkan dua jenis putusan yang bertentangan satu sama lain. Pertama,
yaitu putusan yang menyatakan telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan
berupa: pembunuhan, percobaan pembunuhan dan penyiksaan sebagaimana
yang didakwakan jaksa. Kedua, putusan yang menyatakan tidak terjadi kejahatan
terhadap kemanusiaan. Pada putusan yang pertama, majelis hakim menyatakan
bahwa unsur-unsur adanya serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil,
meluas atau sistematik telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Sedangkan
putusan kedua menyatakan sebaliknya, bahwa bukti-bukti yang ditemukan di
persidangan, bukan yaitu bukti adanya serangan sistematik atau meluas
-- 325324 -
yang yaitu unsur dari kejahatan kemanusiaan.
Majelis Hakim berkesimpulan, bahwa fakta yang dikemukakan jaksa
tentang peristiwa 12 September 1984 di jalan Yos Soedarso Tanjung Priok, lebih
menunjukkan bukti terjadinya bentrokan sesaat atau spontan antara aparat dan
massa (bandingkan dengan tuntutan jaksa). Bentrokan yang terjadi secara spontan
atau sesaat bukan delik kejahatan kemanusiaan atau ciri terjadinya pelanggaran
hak asasi manusia yang berat, sebab bentrokan sesaat atau spontan yaitu
ciri yang biasa yang terjadi di dalam kejahatan pada umumnya.
Munculnya dua jenis putusan itu tidak lazim ditemukan. Bagaimana
mungkin dalam suatu peristiwa yang tempat dan waktu kejadiannya sama, dapat
menghasilkan dua putusan yang berbeda? Padahal jika diperhatikan secara teliti
dan seksama semua alat bukti, terutama keterangan saksi-saksi korban445 yang
dihadirkan ke persidangan hampir semuanya menyatakan bahwa mereka telah
menyaksikan, mengalami dan mendengar kejahatan terhadap kemanusiaan yang
dilakukan para terdakwa terhadap saksi-saksi.
d. Administrasi & Suasana Persidangan
Seperti pada persidangan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Timor
Timur, Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Tanjung Priok tidak mendapat
dukungan administrasi pengadilan yang memadai. Padahal hal itu yaitu
kunci bagi keberhasilan kerja di pengadilan, dan administrasi ini hampir meliputi
seluruh sistem kerja pengadilan itu sendiri. Salah satu bentuk tidak adanya
dukungan administrasi peradilan ini yaitu tertunda atau dibatalkannya
persidangan begitu saja, tanpa alasan yang patut, misalnya dengan alasan majelis
hakim sedang ada tugas lain, atau sedang menunaikan ibadah haji.
Di luar rendahnya dukungan administrasi, suasana pengadilan juga jauh
dari kategori pengadilan yang tertib sebagaiman mestinya. Sejumlah pemantau
peradilan mencatat bentuk-bentuk ketidaktertiban itu. Penulis yang hadir dalam
445 Putusan Adam Damiri yang lebih mempercayai saksi korban daripada saksi aparat.
Bandingkan pula dengan putusan Sriyanto yang lebih mempercayai saksi aparat/pelaku daripada
saksi korban (terutama untuk fakta hukum)
-- 327326 -
beberapa persidangan menyaksikan sendiri telepon genggam pengunjung sidang
berdering, memakai penutup kepala dan jaket, membagikan makanan dan
minuman di ruang pengadilan membuat kegaduhan, merokok, keluar masuk ruang
sidang secara tidak sopan, dan sebagainya. Hakim dan penasehat hukum juga
pernah terlihat minum aqua dan mengunyah permen karet selama persidangan.
e. Tabel II Putusan Hakim
Kasus Tanjung Priok
Terdakwa Put. TK I Banding Kasasi PK
R Butar-Butar 10 Tahun Bebas
Pranowo Bebas Bebas
Sriyano Bebas Bebas
Sutrisno Mascung 3 Tahun Bebas Bebas
Asrori 2 Tahun Bebas Bebas
Siswoyo 2 Tahun Bebas Bebas
Abd. Halim 2 Tahun Bebas Bebas
Zulfafa 2 Tahun Bebas Bebas
Sumitro 2 Tahun Bebas Bebas
Sofyan Hadi 2 Tahun Bebas Bebas
Prayogi 2 Tahun Bebas Bebas
Winarko 2 Tahun Bebas Bebas
Idrus 2 Tahun Bebas Bebas
Muhsan 2 Tahun Bebas Bebas
3. Pengadilan Hak Asasi Manusia Permanen Abepura
Laporan KPP HAM Papua/Irian Jaya menyebutkan bahwa peristiwa
Abepura berawal pada tanggal 7 Desember 2000. Saat itu terjadi penyerangan
yang dilakukan oleh massa yang tidak dikenal terhadap Mapolsek Abepura.
Akibatnya, satu orang polisi meninggal dunia dan 3 orang lainnya luka-luka.
-- 327326 -
Setelah terjadi peristiwa penyerangan ini , Kapolres Jayapura AKBP Drs. Daud
Sihombing dengan dibantu oleh Komandan Satuan Tugas Brimob Polda Irian Jaya
Kombes Pol. Drs. Johny Wainal Usman, melakukan pengejaran dan penahanan
terhadap orang-orang yang diduga sebagai pelaku penyerangan ini .
Pengejaran yang dilakukan aparat kepolisian dan Brimobda Polda Papua
terhadap asrama mahasiswa Ninmin, pemukiman warga Kobakma Mamberamo
dan Wamena, asrama mahasiswa Yapen Waropen, kediaman warga suku
Lani, suku Yali, suku Anggruk dan terhadap asrama Ikatan Mahasiswa Ilaga, telah
mengindikasikan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat yang dilakukan
secara sistematik dan meluas. Pelanggaran itu berupa penyiksaan (torture),
pembunuhan kilat (summary killings ), penganiayaan (persecution), perampasan
kemerdekaan atau kebebasan fisik secara sewenang-wenang, penangkapan dan
penahanan sewenang-wenang (unlawful arrest and detention), pelanggaran atas
hak milik, dan pengungsian secara tidak sukarela (involuntary displace persons).
Dari seluruh rangkaian kejahatan terhadap kemanusiaan yang telah
dipaparkan di atas, KPP HAM Papua/Irian Jaya menyimpulkan pihak-pihak yang
diduga terlibat, dan membagi para pihak ini ke dalam tiga kelompok, yaitu:
pelaku langsung, pengendali operasi 7 Desember 2000, dan penanggungjawab
kebijakan keamanan dan ketertiban di Irian Jaya.
a. Dakwaan Jaksa
Penuntut umum mengajukan surat dakwaan atas dua terdakwa yaitu
Brigjend Pol. Johny Wainal Usman, S.H dan Kombes Pol. Drs. Daud Sihombing446
yang didakwa bertanggungjawab secara pidana atas perbuatan yang dilakukan
oleh anak buahnya (pertanggungjawaban komando). Brigjend Pol. Johny
Wainal Usman, S.H didakwa telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
446 Laporan KPP HAM Papua/Irian Jaya menyebutkan bahwa pihak-pihak yang diduga secara
langsung terlibat yaitu anggota Polri dalam jajaran Polda Irian Jaya dan Satuan Brimob Resimen
III Yon B Korbrimob Polri yang di-BKO-kan ke Polres Jayapura dan individu-individu yang sebab
posisidan tindakan-tindakannya pada tingkat pengendali dan penanggungjawab operasi lapangan,
yaitu sebanyak 24 orang. Namun yang dijadikan terdakwa dan diajukan ke persidangan oleh jaksa
hanya 2 (dua) orang.
-- 329328 -
Ia dianggap tidak melakukan pengendalian yang patut dan benar terhadap
bawahannya yang berada dibawah kekuasaan dan pengendalian yang efektif,
dimana terdakwa mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang
secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya sedang atau baru saja melakukan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Tindakan itu berupa pembunuhan,
yang diancam dengan pidana Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b jis Pasal 7
huruf b, pasal 9 huruf a dan Pasal 37 Udang-Undang Nomor 26 Tahun 2000,
dan penganiayaan, yang diancam dengan pidana Pasal 42 ayat (2) huruf a dan
b jis Pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf h dan Pasal 40 Undang-Undang No. 26
Tahun 2000.
Sementara Daud Sihombing, S.H didakwa telah melakukan kejahatan
terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh bawahannya. Tindakan itu
berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasab fisik
lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas atau ketentuan hukum
internasional dan penyiksaan. Tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan
ini terjadi pada waktu terdakwa memerintahkan bawahan untuk mencari
dan menemukan orang-orang yang diduga sebagai pelaku penyerangan Mapolsek
Abepura.
Dalam dakwaannya, JPU berhasil menunjukkan adanya unsur
meluas dengan menyebutkan besarnya jumlah korban yang jatuh dan luasan
geografis tempat terjadinya peristiwa berdasarkan keterangan saksi yang
dihadirkan ke persidangan. Para saksi menerangkan bahwa korban yang jatuh
akibat tindakan aparat kepolisian Polres Jayapura dan Brimobda Polda Papua ini
sangat banyak, dan berasal dari berbagai tempat yang berbeda-beda di wilayah
sekitar Abepura, Jayapura.
b. Pembuktian
Pada tahap pembuktian, jaksa gagal membuktikan unsur sistematis
sebagai salah satu unsur ada tidaknya kejahatan kemanusian. ini terjadi
sebab saksi-saksi, terutama saksi korban, lebih banyak menjelaskan perlakuan
atau tindakan aparat kepolisian dan anggota Brimob. Mereka tidak mengetahui
-- 329328 -
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah negara kita atau aparat kepolisian
di wilayah Papua dalam menangani masalah-masalah yang muncul di Papua.
Sedangkan saksi-saksi dari pihak kepolisian dan Brimob Polda Papua lebih banyak
menguraikan mengenai penyerangan yang dilakukan terhadap Mapolsek Abepura
dan proses penanganan perkara pasca penyerangan.
c. Putusan
Dalam putusannya, majelis hakim yang diketuai Jalaluddin SH menyatakan
terdakwa secara sah dan meyakinkan tidak terbukti bersalah melanggar Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Selain itu,
terdakwa juga dinyatakan tidak melakukan pembunuhan yang dilakukan secara
sistematis, meluas, dan penyerangan terhadap warga sipil dan mahasiswa dalam
peristiwa 7 Desember 2000 lalu yang memicu sembilan orang terbunuh
(tertembak) dan ratusan lainnya mengalami penganiayaan hingga cedera oleh
aparat kepolisian. Terdakwa Wainal Usman yang saat itu menjabat Dansat
Brimobda Papua dinyatakan tak bertanggung jawab atas pertanggungjawaban
komando di lapangan, sebab ini terjadi secara spontan.
LEMBAGA PERLINDUNGAN HAK ASASI
MANUSIA
A.
Hukum hak asasi manusia yaitu seperangkat norma-norma yang memuat
perintah perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan manusia. Selain itu juga
memuat larangan dilakukannya pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan
manusia, serta memuat sanksi terhadap siapa saja yang melanggarnya. Norma-
norma abstrak yang berisi perintah, larangan dan sanksi ini sudah barang
tentu membutuhkan kekuatan kongkrit. Kekuatan itu berasal dari institusi-institusi
negara yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk menegakkan hukum
hak asasi manusia, secara langsung maupun tidak langsung. Bisa juga berasal dari
lembaga-lembaga lainnya --yang secara langsung atau tidak langsung-- berfungsi
sebagai kekuatan kontrol dan proteksi terhadap kemungkinan pelanggaran atau
pengabaian hak-hak dan kebebasan manusia.
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM), Mahkamah Konstitusi (MK), Komnas Anak, Komnas Perempuan,
Ombudsman, yaitu lembaga-lembaga negara --yang langsung atau tidak
langsung-- diberi kewenangan oleh undang-undang untuk memberi perlindungan
terhadap hak-hak dan kebebasan manusia. Begitu pula dengan media massa dan
Lembaga Swadaya warga (LSM) yang memiliki peran dan tanggungjawab
perlindungan hak asasi manusia.
-
B. POLISI
Polisi berdasar Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 yaitu alat negara yang
menjaga keamanan dan ketertiban warga bertugas melindungi, mengayomi,
melayani warga , serta menegakkan hukum. Hak atas rasa aman dan
terlindungi yaitu hak asasi manusia dan warga negara yang wajib dijalankan
oleh alat negara (polisi), baik dilakukan dengan cara mencegah maupun
menanggulangi. Untuk itu, polisi harus bertindak antisipatif, responsif, dan cepat
mencegah dan menanggulangi potensi-potensi pelanggaran haka sasi manusai
dalam segala bentuknya; baik pelanggaran hak asasi manusia di bidang hak sipil,
politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya.
Polisi juga harus memastikan bekerja obyektif dan transparan dalam
menjalankan tugas-tugasnya. Jangan sampai kasus-kasus pelanggaran hukum
yang notabene melanggar hak asasi manusia, terlambat atau tidak tertangani
sama sekali. Jika ini yang terjadi, polisi bisa dikatagorikan melanggar hak asasi
manusia, dalam pengertian membiarkan atau tidak mengambil tindakan, padahal
memiliki kewenangan dan sudah menjadi tugas dan tanggungjawabnya sesuai
amanat undang-undang. Pada bagian lain, tindakan kepolisian harus didasarkan
kepada ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika tidak diindahkan, maka
tindakan kepolisian bisa menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia, misalnya
dalam melakukan penangkapan, penggeledahan, penahanan, dan introgasi.
Sebagai pintu gerbang peradilan pidana yang berwenang mengambil
tindakan hukum mencegah dan menanggulangi kejahatan, polisi berada pada
posisi sentral. Institusi ini layaknya “pisau bermata dua”. Di satu sisi melindungi
hak asasi manusia, tetapi pada sisi lain bisa melanggar hak asasi manusia. Itu
sebabnya, polisi diberi rambu-rambu yang ketat dalam menjalankan wewenang
dan tugasnya agar tidak melanggar hukum hak asasi manusia. Oleh sebab itu,
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 ditegaskan:
a. Polri harus menjaga dan melindungi keamanan warga , tata
tertib serta penegakan hukum dan hak asasi manusia;
b. Polri harus menjaga keamanan umum dan hak milik, serta
menghindari kekerasan dalam menjaga tata tertib berwarga
dengan menghormati supremasi hak asasi manusia;
c. Polri dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka harus
menghormati asas praduga tak bersalah sebagai hak tersangka
sampai dinyatakan terbukti bersalah oleh pengadilan;
d. Polri harus mematuhi norma-norma hukum dan agama untuk
menjaga supremasi hak asasi manusia.
Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi
Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian
Negara Republik negara kita menyebutkan bahwa hak asasi manusia bagi penegak
hukum yaitu prinsip dan standar haka sasi manusia yang berlaku secara
universal bagi semua petugas penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya.447
Tujuan dari dibuatnya peraturan ini adalah:448
a. Untuk menjamin pemahaman prinsip dasar hak asasi manusia oleh
seluruh jajaran Polri agar dalam melaksanakan tugasnya senantiasa
memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia;
b. Untuk memastikan adanya perubahan dalam pola berpikir, bersikap,
dan bertindak sesuai dengan prinsip dasar hak asasi manusia;
c. Untuk memastikan penerapan prinsip dan standar hak asasi manusia
dalam segala pelaksanaan tugas Polri, sehingga setiap anggota Polri
tidak ragu-ragu dalam melakukan tindakan; dan
d. Untuk dijadikan pedoman dalam perumusan kebijakan Polri agar
selalu mendasari prinsip dan standar hak asasi manusia.
Prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia yang dilakukan Polri
meliputi:449
a. Perlindungan minimal;
b. Melekat pada manusia;
c. Saling terkait;
d. Tidak dapat dipisahkan;
e. Tidak dapat dibagi;
f. Universal;
g. Fundamental;
h. Keadilan;
i. Kesetaraan/persamaan hak;
j. Kebebasan;
k. Non-diskriminasi; dan
l. Perlakuan khusus bagi kelompok yang memiliki kebutuhan khusus
(affirmative action).
Cakupan tugas Polri dalam kontek perlindungan hak asasi manusia,
meliputi:450:
a. Hak memperoleh keadilan: setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak
untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan
pengaduan dan laporan dalam perkara pidana, serta diadili melalui
proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan
hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh
hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar;
b. Hak atas kebebasan pribadi: setiap orang bebas memilih dan
memiliki keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka
umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak,
memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak,
berpindah dan bertempat tinggal di wilayah RI;
c. Hak atas rasa aman: setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan
tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu;
d. Hak bebas dari penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari
penghilangan secara paksa;
e. Hak khusus perempuan: perlindungan khusus terhadap perempuan
dari ancaman dan tindakan kejahatan, kekerasan dan diskriminasi
yang terjadi dalam maupun di luar rumah tangga yang dilakukan
semata-mata sebab dia perempuan;
f. Hak khusus anak: perlindungan/perlakuan khusus terhadap anak
yang menjadi korban kejahatan dan anak yang berhadapan dengan
hukum, yaitu: hak nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak,
hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta
penghargaan terhadap pendapat anak;
g. Hak khusus warga adat; dan
h. Hak khusus kelompok minoritas, seperti etnis, agama, penyandang
cacat, orientasi seksual
Sesuai dengan prinsip menghargai dan menghormati hak asasi manusia,
setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas atau dalam kehidupan sehari-
hari wajib untuk menerapkan perlindungan dan penghargaan hak asasi manusia,
sekurang-kurangnya:
a. Menghormati martabat dan hak asasi manusia setiap orang;
b. Bertindak secara adil dan tidak diskriminatif;
c. Berperilaku sopan;
d. Menghormati norma agama, etika, dan susila; dan
e. Menghargai budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan
hukum dan hak asasi manusia.
Dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap petugas/anggota
Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku (code of conduct) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf h sebagai berikut:
a. Senantiasa menjalankan tugas yang diamanatkan oleh undang-
undang kepada mereka;
b. Menghormati dan melindungi martabat manusia dalam melaksanakan
tugasnya;
c. Tidak boleh memakai kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk
mencegah kejahatan membantu melakukan penangkapan terhadap
pelanggar hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan
penggunaan kekerasan;
d. Hal-hal yang bersifat rahasia yang berada dalam kewenangan
harus tetap dijaga kerahasiaannya, kecuali jika diperlukan dalam
pelaksanaan tugas atau untuk kepentingan peradilan;
e. Tidak boleh menghasut, mentolerir tindakan penyiksaan, perlakuan
atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan
martabat manusia, demikian pula menjadikan perintah atasan atau
keadaan luar biasa seperti saat dalam keadaan perang sebagai
pembenaran untuk melakukan penyiksaan;
f. Menjamin perlindungan sepenuhnya terhadap kesehatan orang-orang
yang berada dalam tahanannya, lebih khusus lagi, harus segera
mengambil langkah untuk memberi pelayanan medis bilamana
diperlukan;
g. Tidak boleh melakukan korupsi dalam bentuk apapun, maupun
penyalahgunaan kekuasaan lainnya yang bertentangan dengan
profesi penegak hukum;
h. Harus menghormati hukum, ketentuan berperilaku, dan kode etik
yang ada.
Perkap itu juga memuat larangan-larangan terhadap petugas/anggota
Polri yaitu:
a. Penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak
berdasarkan hukum;
b. Penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat
dalam kejahatan;
c. Pelecehan atau kekerasan seksual terhadap tahanan atau orang-
orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
d. Penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang
merendahkan martabat manusia;
e. Korupsi dan menerima suap;
f. Menghalangi proses peradilan dan/atau menutup-nutupi kejahatan;
g. Penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum
(corporal punishment);
h. Perlakuan tidak manusiawi terhadap seseorang yang melaporkan
kasus pelanggaran hak asasi manusia oleh orang lain;
i. Melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan yang tidak
berdasarkan hukum;
j. memakai kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan.
Pada bagian lain dari Perkap ini memuat prinsip-prinsip dan norma-
norma hak asasi manusia dalam setiap tindakan kepolisian dalam menjalankan
kewenangannya menegakkan hukum. Ini dimulai dari penyelidikan, penyidikan,
penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penggeledahan, penyitaan, dan
seterusnya.
C. KEJAKSAAN
Lembaga Kejaksaan yaitu institusi penegakan hukum pidana yang
mengajukan dakwaan dan tuntutan terhadap seseorang atau lebih yang bersatus
terdakwa. Kedudukan dan wewenang kejaksaan sebagai institusi penegakan
hukum pidana yaitu mewakili kepentingan negara. Kejaksaan juga menjadi
institusi pembela dan mewakili kepentingan negara dalam menegakkan hukum
pidana. Dalam kedudukan dan wewenang ini , kejaksaan tentu saja mewakili
kepentingan hukum korban kejahatan. Bentuk konkrit dalam mewakili kepentingan
korban perwakilan ada dalam pengajuan dakwaan, tuntutan, penahanan dan
eksekusi pelaksanaan pidana; jika putusan hakim menyatakan seseorang
dinyatakan bersalah dan dipidana atas kesalahannya.
Khusus dalam hal terjadi pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia, Kejaksaan Agung memiliki kewenangan melakukan penyidikan
dan penahanan. Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
menyebutkan bahwa Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan
penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga
keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, berdasarkan bukti
permulaan yang cukup. Pada Pasal 12 ayat (1) dinyatakan bahwa Jaksa Agung
sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan.
Dengan demikian jelas bahwa Kejaksaan yaitu institusi perlindungan
hak asasi manusia, baik dalam pengertian hak-hak dan kebebasan manusia yang
diatur dalam KUHP maupun hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya melindungi
hak asasi manusia, Kejaksaan tidak saja harus memastikan institusinya bekerja
dengan cepat, pasti dan terbuka sehingga seseorang bisa cepat mendapatkan
kejelasan status hukumnya, tetapi juga adil/fair/obyektif dan tidak diskriminatif
dalam memakai kewenangannya selaku penuntut umum.
Kejaksaan wajib menjalankan proses peradilan yang fair sebagaimana
telah digariskan oleh Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik serta Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Kovenan hak sipil politik Pasal
14 disebutkan antara lain sebagai berikut:
1. Semua orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan
pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana
terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya
dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang
adil dan terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang
berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum.
Media dan warga dapat dilarang untuk mengikuti seluruh
atau sebagian sidang sebab alasan moral , ketertiban umum atau
keamanan nasional dalam suatu warga yang demokratis
atau jika benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan
dalam keadaan khusus, di mana publikasi justru akan merugikan
kepentingan keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang diambil
dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang
yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan anak-anak menentukan
sebaliknya, atau jika persidangan ini berkenaan dengan
perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak.
2. Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap
tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum.
3. Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap
orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam
persamaan yang penuh: (a) Untuk diberitahukan secepatnya dan
secara rinci dalam bahasa yang dapat dimengertinya, tentang sifat
dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya; (b) Untuk diberi
waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan
dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri; (c) Untuk
diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya; (d) Untuk diadili
dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau
melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang
hak ini bila ia tidak memiliki pembela.
Sementara dalam KUHAP diatur dalam sejumlah pasal sebagai berikut:
1. Hak segera diadili oleh pengadilan {Pasal 50 ayat (3)}.
2. Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti
olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya (Pasal 51 butir b).
3. Tersangka at