HAM 11




 s, sampai pada suatu opini yang 

terkait dengan kasus yang disidangkan.

--  309308    -

Timor Timur yang dapat dihadirkan di persidangan. KUHAP jelas mengatur bahwa, 

seyogyanya yang lebih dahulu dihadirkan di muka persidangan untuk diperiksa 

yaitu saksi korban, baru kemudian saksi-saksi lain. Sekalipun ketentuan ini 

tidak mutlak, tetapi saksi korban pelanggaran hak asasi manusia berat dalam 

Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc yang (mestinya) diketahui dan disadari 

benar kesulitan pembuktiannya oleh majelis hakim, maka mendahulukan 

mendengar kesaksian korban menjadi sangat relevan dan penting. Hanya saja, 

ini tidak dilakukan oleh hakim. 

Kedua,  sebagian besar saksi yang diajukan jaksa, berasal dari ABRI 

atau kepolisian yang punya hubungan pekerjaan dengan terdakwa, sehingga 

keterangan yang diberikan cenderung tidak memperkuat dakwaan jaksa. Selain itu, 

saksi-saksi yang diajukan jaksa bukanlah saksi sebagaimana ditentukan KUHAP, 

yaitu orang yang mendengar, mengetahui atau melihat sendiri suatu peristiwa; 

melainkan mendapat laporan atau mendengar keterangan atau hasil membaca 

koran, mendengar radio, dan sebagainya. 

Ketiga,  terjadi pencabutan kesaksian dalam Berita Acara Pemeriksaan 

(BAP) pada saat persidangan di lakukan. Dalam persidangan Herman Sedyono 

dan kawan-kawan, beberapa kesaksian penting dan signifikan untuk pembuktian 

telah dicabut oleh para saksi, misalnya pengakuan adanya penyerangan, rapat 

koordinasi antar pejabat pemerintah dan pejabat militer, suara letusan senjata 

dan pembentukan kelompok-kelompok pengamanan sipil. 

Pencabutan kesaksian juga dilakukan pada pengakuan adanya keterkaitan 

antara pembentukan satuan keamanan sipil dengan kebijakan ataupun dukungan 

dari pemegang otoritas kekuasaan di tingkat daerah, baik dalam hubungan 

administrasi maupun hubungan teknis seperti pembinaan dan pelatihan. 

Sehingga dalam pemeriksaan saksi, hampir tidak ditemukan pengakuan akan 

adanya penyerangan. Dalam perkembangan selanjutnya, hakim dan jaksa 

turut memakai kata “bentrokan” atau “kerusuhan” sebagai pengganti kata 

penyerangan ini.

Penggunaan kata ini  berimplikasi pada pemenuhan dan pembuktian 

adanya unsur kejahatan dalam dakwaan. Contoh lain, yaitu dalam pemeriksaan 

--  309308    -

saksi Adam Damiri misalnya,  pengertian satuan keamanan sipil bersenjata 

(milisi) bahkan dinyatakan tidak ada. Lebih jauh dalam pemeriksaan yang sama, 

saksi juga mencabut keterangan yang menyatakan bahwa Pamswakarsa yaitu 

perubahan bentuk dari Pejuang Pro Integrasi. 

Di samping itu, terjadi pengabaian asas pemeriksaan saksi dalam 

hukum acara yang secara langsung berkaitan dengan suatu sistem adminstrasi 

Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.436 Sebagaimana dipahami, ketentuan 

pemeriksaan saksi menyatakan bahwa saksi dipanggil dan diperiksa seorang demi 

seorang (dilakukan satu per satu).437 Para saksi tidak sekaligus diminta masuk ke 

ruang sidang. Tidak dibenarkan saksi diperiksa secara bersama-sama, sepanjang 

hal itu tidak diperlukan. Pemeriksaan saksi secara satu persatu ditujukan agar 

keterangan yang mereka berikan tetap, dan bebas, sehingga jangan sampai 

terjadi keterangan seorang saksi, dapat didengar oleh saksi lain, yang dapat 

mempengaruhi saksi bersangkutan. Para saksi yang seharusnya tidak boleh 

masuk ke sidang sebab akan diperiksa sebagai saksi berikutnya, sering kali 

masuk ke persidangan untuk melihat pemeriksaan saksi lain, atau duduk di luar 

ruangan sambil mendengarkan proses pemeriksaan saksi lainnya.                                                             

Dapat ditambahkan, bahwa dalam pemeriksaan saksi korban yang 

bernama Emilio Bareto dan Juao Perreira untuk terdakwa Timbul Silaen, jaksa 

ternyata tidak melakukan proses pemanggilan sesuai prosedur hukum acara. Dua 

orang saksi ini , yang saat itu sedang hadir di pengadilan untuk memberi  

kesaksian untuk Abilio Soares, secara tiba-tiba diajukan oleh jaksa dalam kasus 

Timbul Silaen, tanpa konfirmasi terlebih dahulu, langsung diperiksa. Proses 

pemeriksaannya dilakukan secara bergantian dalam kedua berkas ini  

(Timbul Silaen dan Abilio Soares), saat Emilio Bareto diperiksa di persidangan 

kasus Timbul Silaen maka Juao Fereira diperiksa di persidangan kasus Abilio 

dan sebaliknya. 

436  Asas ketentuan pemeriksaan saksi ada  dalam KUHAP pasal 159 dan 160.

437  Lihat Pasal 160 KUHAP.

--  311310    -

Keempat,  minimnya usaha jaksa untuk mencari dan mengajukan alat-alat 

bukti lain seperti: surat, petunjuk dan lain-lainnya. Dalam persidangan Adam 

Damiri dan Tono Suratman, hanya ada satu alat bukti yang dimunculkan jaksa, 

yaitu surat telegram dari Pangdam Udayana yang memerintahkan agar TNI dan 

Polri mem-back up  pro integrasi pada waktu peristiwa penyerangan di Gereja 

Liquisa pada 6 April 1999 (muncul pada persidangan). Alat bukti itu pun masih 

dalam perdebatan sebab keadaannya berupa photo copy dan tidak dibubuhi 

‘tanda’ sebagai alat bukti yang sah. Oleh sebab itu, alat bukti ini menurut KUHAP 

masih lemah. 

Kelima, tidak ada usaha dari jaksa untuk melakukan terobosan hukum, 

melakukan interpretasi terhadap bukti yang diatur KUHAP. Jika saja itu dilakukan, 

maka bukti petunjuk bisa diinterpretasi untuk menghadirkan bukti visual seperti 

rekaman video atau photo-photo, beberapa keterangan di media massa, bahkan 

bisa saja mencari dokumen-dokumen lain, misalnya dengan memeriksa dokumen 

di mabes TNI atau Polri. Jaksa memiliki  kekuasaan untuk itu, namun hal itu 

tidak dilakukan.438

c. Tidak Ada Penahanan

Selama proses penyidikan dan persidangan, tidak satupun tersangka 

dan terdakwa yang ditahan, meskipun alasan obyektif dan subyektif penahanan 

terpenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP. Lebih-lebih 

kejahatan yang dituduhkan yaitu kejahatan kemanusiaan serius (extraordinary 

crimes) yang berdampak luas, baik tingkat nasional maupun internasional, yang 

menimbulkan kerugian materiil dan immateriil berupa perasaan tidak aman baik 

terhadap perseorangan maupu warga . 

Dampak dari tidak ditahannya para tersangka atau terdakwa ini yaitu 

tersendatnya proses pembuktian saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Selain 

438  Pada pemeriksaan saksi korban Manuel Carascalao dalam kasus Adam Damiri, ada 

rekaman video tentang peristiwa 17 April 1999 di Dilli, yang diserahkan oleh Manuel Carascalao 

kepada majelis, dan selanjutnya bukti itu dilimpakan oleh majelis kepada jaksa untuk menerimanya. 

Namun demikian, alat bukti tidak pernah ditindaklanjuti.

--  311310    -

itu, berakibat pula pada banyaknya saksi yang mencabut keterangannya di 

BAP, dan cenderung mengungkapkan keterangan yang berbeda-beda. Berbeda 

halnya dalam praktik peradilan internasional, semua tersangka ditahan semenjak 

dilakukan proses pemeriksaan. Tersangka untuk kasus Rwanda ditahan di kota 

Arusha, Tanzania439  sedangkan untuk tersangka atau terdakwa kasus Yugoslavia, 

ditahan di Den Haag, Belanda.440 

d. Putusan Hakim                                                             

Dari 18 terdakwa yang dimuat dalam 12 berkas, semua keputusan majelis 

hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan, berupa 

pembunuhan dan penganiayaan. Hal itu sesuai dengan Pasal 9 (a) dan Pasal 

9 (b) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Dalam menyimpulkan rumusan 

kejahatan terhadap kemanusiaan, majelis hakim tidak memakai acuan yang 

sama, terutama dalam hal menjelaskan tentang adanya unsur yang meluas atau 

sistematik, adanya serangan terhadap penduduk sipil dan pengertian tentang 

unsur adanya kebijakan dari penguasa atau organisasi lainnya.

Perbedaan pendefinisian dalam menjelaskan unsur-unsur ini  sangat 

masuk akal, sebab dalam undang-undangnya sendiri tidak ada defenisi yang jelas 

sehingga majelis hakim menafsirkannya sesuai pengetahuan dan referensi yang 

439  Sebagai contoh salah satu tersangka untuk kasus Rwanda yaitu Tharcisse Renzaho. 

Ia ditangkap pada tanggal 29 September 2002 di Republik Demokratik Congo dan pada hari yang 

sama langsung ditransfer ke fasilitas penahanan pengadilan di Arusha, Tanzania. Ia ditahan sebagai 

tersangka sebab keterlibatannya pada peristiwa genocide yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994, 

pada saat itu ia menjadi gubernur di Kigali. Selain Renzaho, yang juga dijadikan tersangka yaitu 

Jenderal Augustin Bizimungu. Ia menjadi Panglima Militer Rwanda pada 1994 selama genocide 

berlangsung. Dalam peristiwa ini sekitar 800.000 suku Tutsi dan kelompok moderat suku Hutu dibunuh 

dalam jangka waktu 100 hari, oleh milisi bersenjata. Bizimungu yaitu salah satu dari mereka yang 

dituduh sebagai dalang dari peristiwa ini  dengan tuduhan mempersenjatai dan melakukan training 

kepada milisi. Ia akan dituntut dengan tuduhan melakukan genocide atau bekerjasama melakukan 

genoside, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

440  Para tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia 

yang berat di bekas negara Yugoslavia semuanya melalui proses penahanan baik yang ditangkap 

maupun menyerah dengan sukarela. Para tersangka yang belum tertangkap juga dinyatakan statusnya 

sebagai buronan.

--  313312    -

mereka miliki.441 Majelis hakim juga menyimpulkan bahwa pelaku pelanggaran 

hak asasi manusia yang berat yaitu milisi pro integrasi. Kasus yang terjadi 

di Dilli pelakunya yaitu milisi Aitarak dan Besi Merah Putih; di Liquica, Milisi 

Besi Merah Putih dan juga Aitarak, sedangkan di Suai Kovalima yaitu milisi 

Mahidi dan Laksaur. Dalam beberapa putusan majelis hakim juga menyebutkan 

keterlibatan oknum aparat keamanan. 

Terhadap konstruksi putusan yang menyatakan pelaku lapangan yaitu 

kelompok warga , berimplikasi pada pertangungjawaban para terdakwa. 

Hanya terdakwa dari unsur milisi (Eurico Guterres) yang secara jelas memiliki  

keterkaitan dengan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan secara langsung. 

Sementara pelaku dari unsur militer dan kepolisian tidak secara tegas dinyatakan 

dalam beberapa putusan mejelis hakim. Unsur aparat dari militer maupun 

kepolisian dikonstruksikan melakukan pembiaran atau tidak melakukan tindakan 

pencegahan terhadap terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan.                                   

Berkaitan dengan delik tanggung jawab komando (Pasal 42 Undang-

Undang No. 26 Tahun 2000) majelis hakim memiliki  penafsiran yang berbeda 

satu sama lain. Penafsiran pertama menyatakan, tanggung jawab komando hanya 

berkaitan dengan adanya hubungan atasan dan bawahan antara pelaku dengan 

terdakwa, dimana anak buah terdakwa terbukti melakukan kejahatan kemanusian. 

Tanggung jawab komando dalam konteks pandangan yang pertama 

ini  selalu mensyaratkan adanya anak buah yang melakukan pelanggaran hak 

asasi manusia yang berat, ada bawahan dalam pengendalian yang efektif yang 

melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Jika tidak ada hubungan 

antara pelaku dengan para terdakwa secara organisasional, maupun pengendalian 

secara efektif, maka terdakwa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. 

441  Dalam beberapa berkas perkara, majelis hakim dalam menguraikan unsur meluas dan 

sistematik menunjuk pada beberapa referensi diantaranya pendapat ahli hukum dan pengertian seperti 

yang digunakan dalam praktik peradilan internasional. Sedangkan dalam beberapa berkas perkara 

lain penjelasan atas unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan tidak dijelaskan dari mana sumber 

referensinya. Lihat putusan terhadap terdakwa Herman Sedyono dan kawan-kawan serta putusan 

terhadap terdakwa Asep Kuswani dan kawan-kawan.

--  313312    -

Penafsiran yang demikian tidak melihat para terdakwa sebagai pihak yang punya 

otoritas dan kewenangan tertentu untuk mencegah adanya pelanggaran hak asasi 

manusia yang berat.442 

Penafsiran kedua yaitu putusan yang menafsirkan delik tanggung 

jawab komando yang berkenaan dengan adanya kegagalan bertindak, atau 

kegagalan untuk melakukan langkah-langkah yang selayaknya dilakukan. Dalam 

pandangan ini, faktor posisi terdakwa dengan kewenangannya yaitu faktor 

penting dalam menentukan peranan terdakwa dalam peristiwa. Pandangan ini 

menjelaskan bahwa atasan tidak hanya bertanggung jawab terhadap tindak 

pidana yang dilakukan oleh bawahannya dalam pengendalian yang efektif, tetapi 

juga harus bertanggungjawab terhadap tindak pidana yang terjadi akibat tidak 

dilakukannya pengendalian pasukan secara patut; artinya atasan gagal mengambil 

langkah-langkah yang diperlukan, guna mencegah atau menghentikan terjadinya 

pelanggaran hak asasi manusia yang berat di dalam wilayah kekuasaannya yang 

efektif.443                                                        

Terhadap hukuman minimal yang dijatuhkan hakim, yaitu antara 3 sampai 

10 tahun, majelis hakim beralasan bahwa meskipun bertanggung jawab terhadap 

terjadinya kejahatan, tetapi para terdakwa bukan pihak yang dapat dimintai 

pertanggungjawaban secara sendirian sebab ada  pihak lain yang juga harus 

bertanggung jawab. Disamping itu, para terdakwa bukan pelaku langsung, dan 

kesalahannya lebih sebab kelalaiannya mengambil tindakan.  Secara yuridis, 

442  Lihat putusan Herman Sedyono dan kawan-kawan serta putusan Asep Kuswani 

dan kawan-kawan. Dalam dua putusan ini pembuktian untuk pertanggungjawaban para terdakwa 

dimulai dengan menjawab pertanyaan mengenai adanya kejahatan terhadap kemanusiaan, siapa 

pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ini  dan apakah para terdakwa dapat dimintai 

pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi. Dalam kesimpulannya 

menjelaskan bahwa memang terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan pelakunya 

yaitu milisi pro intergrasi yang tidak ada hubungan organisasional dengan para terdakwa sehingga 

terdakwa tidak memiliki  komando atau pengendalian yang efektif dan terdakwa tidak dapat dimintai 

pertanggungjawaban.

443  Lihat putusan terhadap terdakwa Letkol. Soejarwo yang menjelaskan bahwa kendatipun 

pasukan yang berada di bawah pengendalian terdakwa bukan termasuk sebagai pelaku aktif tetapi 

pasukan terdakwa yaitu sebagai pelaku pasif untuk mencegah. Menghentikan, mengendalikan 

pasukan untuk bertindak secara efektif dan patut padahal wewenang itu ada padanya

--  315314    -

majelis hakim yang memutus pidana dibawah 10 tahun beralasan bahwa dalam 

praktik peradilan internasional tidak ada ketentuan tentang pidana minimal. 

Alasan lain, bahwa sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, 

telah ada Perppu Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 

yang mengatur tentang pidana minimal 5 tahun, dan jika dipertentangkan dengan 

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang mengatur pidana minimal 10 tahun, 

maka majelis hakim memakai kaidah Pasal 1 ayat (2) KUHP. Dalam pasal 

itu dinyatakan bahwa jika ada dua pemidanaan yang berbeda dan mengatur hal 

yang sama maka digunakan peraturan yang menguntungkan terdakwa. 

Sementara itu, putusan bebas yang dilakukan majelis hakim banding dan 

atau kasasi pada umumnya sama. Hakim Basoeki yang mengetuai majelis dan 

menangani perkara Soedjarwo, Hulman Gultom dan Eurico Guterres mengatakan 

bahwa dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh terdakwa Soedjarwo dan 

Hulman Gultom tidak terbukti. Putusan banding ini juga merujuk pada putusan 

kasasi Mahkamah Agung (MA) terhadap terdakwa lainnya, yaitu Timbul Silaen 

yang juga divonis bebas. 

Hakim Basoeki menambahkan bahwa majelis banding mengoreksi 

putusan hakim sebelumnya yang dinilai terlalu jauh memakai Pasal 41 

Undang-Undang Nomor 26  Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 

Putusan pengadilan pertama terhadap Gutteres, Basoeki menyatakan bahwa hati 

nurani hakim menilai hukumannya terlalu tinggi. Dia (Eurico) sudah terusir dari 

tumpah darahnya. Hal lain yang janggal yaitu putusan hakim yang menyatakan 

bersalah dan dihukum (penjara) tidak disertai perintah agar terhukum dimasukkan 

ke tahanan. Ini sangat mengherankan, suatu kejahatan terhadap kemanusian, 

diperlakukan sebagai kejahatan ringan atau hanya pelanggaran. Fakta ini 

mengindikasikan bahwa para hakim tidak mengerti bahwa kejahatan ini yaitu 

kejahatan kemanusian, yang menuntut tanggung jawab semua manusia. Ada 

kemungkinan lain, yaitu sebab ada tekanan politik yang kuat sehingga putusannya 

seperti itu: dinyatakan bersalah, dijatuhi dipidana tetapi tidak ada perintah ditahan. 

Putusan pengadilan juga tidak satupun yang memberi  keputusan 

tentang kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi kepada korban. Padahal putusan 

--  315314    -

pengadilan mengakui adanya kejahatan terhadap kemanusiaan dan adanya 

korban dalam kejahatan ini . Ada dugaan, bahwa tidak adanya keputusan 

kompensasi lebih disebabkan sebab tidak adanya permohonan kompensasi, 

restitusi maupun rehabilitasi yang diajukan ke pengadilan baik oleh penuntut umum 

maupun korban.  Sebagaimana diketahui akhir dari proses Pengadilan Hak Asasi 

Manusia Ad Hoc kasus Timor Timur yaitu dibebaskannya semua terdakwa, 

baik yang bebas di tingkat Pengadilan Tingkat Pertama, Tingkat Banding, Tingkat 

Kasasi, maupun Peninjauan Kembali (PK). 

e. Kelemahan Lain

Pertama,  Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Timor Timur ini berjalan 

dibawah standar, bahkan untuk ukuran pengadilan pidana biasa sekali pun. 

Dakwaan-dakwaan dipersiapkan ‘sangat buruk’, sehingga akan sulit bahkan 

untuk pengadilan yang tidak memihak sekalipun dalam menghukum terdakwa 

berdasarkan bukti yang disampaikan. 

Kedua,  sebagian besar hakim pengadilan ini kurang memiliki kompetensi 

dalam hukum hak asasi manusia internasional, sehingga tidak mampu 

menginterpretasi dan menerapkan prinsip-prinsip hukum hak asasi manusia 

internasional yang relevan digunakan dalam persidangan. 

Ketiga,  tidak disediakan dukungan institusional yang memadai yang 

membuat pengadilan kekurangan fasilitas (referensi) untuk melakukan penelitian, 

gaji yang telat dibayar sebab Keputusan Presiden yang mengesahkan gaji mereka 

belum ditandatangani. Kekurangan dukungan institusional ini, sukar ditepis 

sebagai bagian dari tekanan politik yang memberi  pesan kepada para hakim 

bahwa tugas mereka tidak didukung negara. Situasi ini diperparah oleh lemahnya 

dukungan warga  terhadap proses pengadilan, sebab warga  menilai 

bahwa kekerasaan di Timor Timur yaitu konflik antar orang Timor Timur 

sendiri, yang diperburuk oleh kehadiran PBB. Para perwira TNI malah dinilai 

sebagai pahlawan yang berusaha melaksanakan tugas mempertahankan kesatuan 

negara kita . Celakanya, pandangan ini tercermin juga dalam dakwaan-dakwaan 

jaksa dan pertimbangan hakim. 

--  317316    -

Keempat, tidak dapat dipungkuri bahwa kelemahan substansi dan 

prosedur Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 telah terbukti menyulitkan jaksa 

dan majelis hakim mengkonstruksikan kesalahan dan pertangungjawaban pelaku. 

Begitu pula dengan penggunaan hukum acara KUHAP, telah membuat jaksa dan 

majelis hakim kehilangan arah dan terjebak ke dalam logika dan hipotesa pidana 

biasa sehingga kejahatan terhadap kemanusian, ditangan jaksa dan hakim seperti 

kejahatan biasa. 

Kelima, jaksa dan majelis hakim sama-sama tenggelam dalam imajinasi 

nasionalisme sempit yang melumpuhkan daya nalarnya dalam mengenali apa 

yang sebenarnya terjadi di Timor Timur. Di mata mereka, para terdakwa bukan 

orang yang diduga telah melakukan kejahatan melainkan para patriot yang telah 

menjalankan tugas negara. Oleh sebab itu, para terdakwa yaitu orang yang 

seharusnya dibela bukan orang yang seharusnya dihukum. 

Kelima, suasana ruang persidangan menimbulkan ketidaktenangan jaksa, 

hakim, dan saksi sebab penuh sesaknya ruang sidang. Ruangan diisi oleh 

kelompok-kelompok tertentu yang terkait dengan terdakwa, yang patut diduga 

diorganisir secara rapi. 

Merespon kelemahan ini , Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi 

Manusia waktu itu, Mary Robinson; yang mengunjungi Timor Timur saat itu, 

secara terbuka menyatakan ketidakpuasannya dengan tiga persidangan pertama. 

Ia juga memperingatkan bahwa jika negara kita  tidak bisa memberi  keadilan, 

maka harus ada pengadilan internasional. Hal yang sama juga disuarakan oleh 

Sekjen PBB yang menyangkal isyarat yang diberikan hakim, penuntut dan tertuduh 

bahwa ada kejanggalan dalam pelaksanaan misi UNAMET. 

Sergio Vieira de Mello (pengganti Mary Robinson), juga menyatakan 

keberatannya atas cara sidang pengadilan itu dilaksanakan. Dalam laporannya 

kepada sesi ke 59 Komisi Hak Asasi Manusia PBB (UNCHR) bulan Maret 2003, 

ia mengkritik bahwa yuridiksi pengadilan yang terbatas secara geografis dan 

waktu; kurangnya pengalaman para penuntut dan hakim; perlakuan dalam sidang 

pengadilan dimana sejumlah hakim, penuntut dan pembela hukum tertuduh 

mengintimidasi dan terkadang bersikap bermusuhan terhadap para saksi warga 

--  317316    -

Timor Timur; dan ringannya hukuman yang dijatuhkan, tidak masuk akal bila 

dibandingkan dengan beratnya pelanggaran yang dilakukan. Komisaris Tinggi 

Hak Asasi Manusia juga mencatat lemahnya jaksa dan integritas serta kredibilitas 

proses persidangan, sebab dirusak oleh kegagalan mereka menampilkan 

pengadilan dan bukti-bukti yang menggambarkan pembunuhan serta pelanggaran 

hak asasi manusia sebagai bagian dari pola tindak kekerasan yang tersebar luas 

dan sistematik.

f. Tabel I Putusan Hakim

Kasus Timor Timur

Terdakwa Putusan Tingkat 1 Banding Kasasi PK

Adam Damiri 3 Tahun Bebas      -

Tono Suratman Bebas       - Bebas

M. Noer Muis 5 tahun Bebas Bebas

Endar Prianto Bebas       - Bebas

Asep Kuswani Bebas       - Bebas

Soejarwo 5 Tahun Bebas Bebas

Yayat Sudrajat Bebas Bebas Bebas

Lilik K Bebas       - Bebas

Achmad Syamsudin Bebas       - Bebas

Sugito Bebas       - Bebas

Timbul Silaen Bebas       - Bebas

Adios Salova Bebas       - Bebas

Hulman Gultom 3 Tahun Bebas Bebas

Gatot Sugyaktoro Bebas       - Bebas

Abilio Soares 3 Tahun 3 Tahun 3 Tahun Bebas

Leonito Martens Bebas        - Bebas

Herman Sedyono Bebas        - Bebas

Eurico Guterres 10 Tahun 5 Tahun 10 Tahun Bebas

--  319318    -

2. Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Tanjung Priok

Peristiwa Tanjung Priok yang berujung pada Pengadilan Hak Asasi 

Manusia Ad Hoc bermula pada tanggal 7 September 1984. Kala itu, ada seorang 

Bintara Pembina Desa (Babinsa) beragama Katolik bernama Sersan Satu 

Harmanu yang datang ke musholla kecil yang bernama “Musholla As-sa’adah”. 

Ia memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisi tulisan “Problema yang 

Dihadapi Kaum Muslimin”, dan disertai pengumuman tentang kegiatan pengajian 

yang akan datang. Permintaan ini  tidak dituruti oleh warga  yang 

sempat marah dengan tindakan Harmanu. Pada hari berikutnya, Babinsa itu 

datang lagi bersama beberapa rekannya untuk mengecek apakah perintahnya 

sudah dijalankan apa belum. Setelah kedatangan kedua itulah muncul isu yang 

menyatakan, kalau militer telah menghina kehormatan tempat suci sebab masuk 

mushola tanpa menyopot sepatu, dan menyirami pamflet-pamflet di musholla 

dengan air comberan.

Informasi ini  menyebar dan menyulut kemarahan warga  dan 

tokoh-tokoh agama di Tanjung Priok, sehingga terjadi bentrokan dan jatuh korban 

tewas, hilang dan luka-luka. Menurut versi pemerintah, korban yang jatuh dalam 

peristiwa ini  yaitu 28 orang, namun menurut pihak korban, ada sekitar 

700-an orang. Menurut hasil penyelidikan Komnas HAM, korban yang jatuh 

yaitu 24 orang tewas, 54 luka berat dan ringan. Setelah peristiwa ini , 

terjadi penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai terlibat, seperti Abdul 

Qodir Jaelani, Tony Ardi, Mawardi Noor dan Oesmany Al Hamidy, dan masih 

banyak yang lain. Penangkapan dan penahanan juga menyebar ke daerah-daerah 

lain di luar wilayah Tanjung Priok, seperti Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Garut, 

Tasikmalaya, Ciamis, Lampung dan Ujung Pandang.

Peristiwa yang terjadi di era Soeharto ini  menjadi salah satu bentuk 

pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang menuntut pengungkapan dan 

penyelesaian. Melalui Keputusan Ketua Komnas HAM Nomor 002/Komnas HAM 

/lll/2000 pada 8 Maret 2000 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan 

Ketua Komnas HAM Nomor 003/Komnas HAM/III/2000 tanggal 14 Maret 2000 

tentang Pembentukan Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran 

--  319318    -

Hak Asasi Manusia di Tanjung Priok (KP3T) dilakukanlah penyelidikan. KP3T 

melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan, mulai tanggal 8 Maret 2000 sampai 

dengan tanggal 7 Juni 2000. 

Dalam dakwaan jaksa disebutkan waktu dan tempat peristiwa yang 

menjadi dasar pemeriksaan di pengadilan, yaitu: 

1. Peristiwa di Jl. Yos Sudarso depan Mapolres Jakarta Utara pada 

Rabu 12 September 1984 pukul 23.00 WIB atau sekitar waktu itu 

atau setidaktidaknya sekitar bulan September 1984 (pada berkas 

dakwaan Sutrisno Mascung dan kawan-kawan); 

2. Peristiwa di Jl. Yos Sudarso depan Mapolres Jakarta Utara pada 

Rabu 12 September 1984 dan waktu lain pada bulan September 

1984 serta Markas Kodim 0502 Jakarta Utara, 10 – 18 September 

1984 (pada berkas dakwaan Butar Butar); 

3. Peristiwa di Pomdam V Jaya (Guntur) Jl. Sultan Agung No. 33 

Jakarta Selatan dan Rumah Tahanan Militer Cimanggis Jl. Raya RTM 

Cimanggis Jawa Barat dan Kamis tanggal 12 September 1984 pukul 

10.30 WIB sampai dengan tanggal 8 Oktober 1984 (pada berkas 

dakwaan Pranowo); 

4. Peristiwa 12 September 1984 pukul 23.00 WIB dan waktu lain pada 

bulan September 1984 (pada berkas dakwaan Sriyanto). 

Yurisdiksi (waktu dan tempat) yang disebutkan dalam dakwaan jaksa itu 

telah dipersempit sesuai Keppres Nomor 96 Tahun 2001. Penyempitan yurisdiksi 

di atas, telah memicu  terhalangnya kesempatan untuk membuktikan adanya 

unsur sistematik dan meluas dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia 

yang terjadi di kedua wilayah ini , khususnya yang terjadi di Tanjung Priok, 

sebagaimana juga yang terjadi dalam kasus Timor Timur.

a. Dakwaan Jaksa

Surat dakwaan yang diajukan jaksa disusun secara kumulasi dan campuran 

(kumulasi dan subsider) dengan memakai pasal pertanggungjawaban 

--  321320    -

komando, yang diatur dalam Pasal 42 ayat 1, serta pertanggungjawaban 

individual, yang dimuat dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 

2000. Kedua pertanggungjawaban itu diajukan jaksa sebab para terdakwa 

telah melakukan kejahatan kemanusian, berupa: pembunuhan; percobaan 

pembunuhan; perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik 

lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok 

hukum internasional; penyiksaan, dan penganiayaan. Konstruksi dakwaan jaksa 

sebenarnya mengandung beberapa kelemahan mendasar. 

Pertama,  jaksa hanya mengajukan R. Butar-Butar, Pranowo, Sriyanto dan 

Sutrisno serta 10 orang anggota Regu III Yon Arhanudse 06, dan mengabaikan 

rekomendasi KP3T yang merekomensasikan Jend TNI. Benny Moerdani 

(Panglima TNI-Pangkopkamtib); Mayjend TNI. Tri Sutrisno (Pangdam V Jaya); 

Brigjend. TNI. Dr. Soemardi (Kepala RSPAD Gatot Subroto); Mayor TNI Darminto 

(Bagpam RSPAD Gatot Soebroto); Kapten Auha Kusin (Rohisdam V Jaya), 

dan Kapten Mattaoni, (Rohisdam V Jaya) sebagai pihak yang harus dimintai 

pertanggungjawaban hukum. Dengan tidak diajukannya nama-nama ini , 

jaksa kesulitan mengkonstruksikan dakwaan guna membuktikan adanya rangkaian 

komando atas terjadinya peristiwa Tanjung Priok, sekaligus berarti menutup 

kemungkinan para pembuat kebijakan atau penanggungjawab komando dimintai 

pertanggungjawaban hukum. 

Kedua ,  jaksa t idak mendakwa Sr iyanto dengan dakwaan 

pertanggungjawaban komando, tetapi hanya sebagai pelaku yang turut melakukan 

(medepleger). Ia dianggap bukan sebagai komandan yang tidak melakukan 

pengendalian secara patut terhadap pasukan dibawah pengendaliannya yang 

efektif, atau dibawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, yaitu terdakwa 

mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu, seharusnya mengetahui bahwa 

pasukannya sedang melakukan, atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi 

manusia yang berat. Jaksa mengesampingkan, atau tidak mempertimbangkan 

posisi dan kedudukan Sriyanto yang cukup penting dalam satuan militer, yaitu 

sebagai Kasi II Ops Kodim 0502 Jakarta Utara. 

--  321320    -

Ketiga,  dalam mengkonstruksikan unsur sistematik, jaksa menguraikan 

rangkaian peristiwa yang terjadi di bulan Juli sampai September 1984, dengan 

menyatakan bahwa peristiwa terjadi akibat memanasnya situasi politik, sosial, 

budaya dan agama di Tanjung Priok akibat adanya para penceramah yang 

menghasut jamaahnya untuk melawan kebijakan pemerintah memberlakukan 

asas tunggal Pancasila, Keluarga Berencana dan larangan memakai jilbab di 

sekolah-sekolah. Dengan konstruksi ini , jaksa mengarahkan pemahaman 

bahwa peristiwa Tanjung Priok yaitu peristiwa yang berdiri sendiri akibat adanya 

penceramah-penceramah di wilayah Tanjung Priok, bukan akibat kebijakan 

pemerintah.  

Dengan dakwaan ini , jaksa jelas mengabaikan temuan penyelidik 

KP3T yang menyatakan bahwa memanasnya situasi di wilayah Tanjung Priok 

akibat kebijakan pemerintah yang memberlakukan asas tunggal Pancasila, 

yang ditolak oleh warga  dan tokoh-tokoh agama di wilayah Tanjung Priok. 

Ceramah-ceramah para tokoh agama dan tokoh-tokoh warga  di Tanjung 

Priok yaitu reaksi penolakan terhadap kebijakan dimaksud.  Sedangkan 

unsur meluas, jaksa hanya menunjukkkan dengan besarnya jumlah korban. 

Seharusnya JPU menguraikan juga unsur meluas melalui luasan geografis, dengan 

menyebutkan fakta bahwa peristiwa Tanjung Priok juga menyebar ke wilayah-

wilayah lain, seperti Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, 

Lampung dan Ujung Pandang. Dengan cara begitu, maka peristiwa-peristiwa 

yang terjadi di luar Jakarta Utara ini  harus dianggap sebagai satu kesatuan 

dari rangkaian peristiwa utamanya, yaitu peristiwa tanggal 12 September 1984 

di wilayah Kodim 0502 Jakarta Utara. 

Keempat,  penggunaan pasal-pasal KUHP yang termuat dalam 

ketentuan umum (buku satu), mengindikasikan bahwa jaksa menganggap atau 

mengandaikan bahwa kejahatan yang didakwakan kepada para terdakwa yaitu 

kejahatan biasa (konvensional), bukan kejahatan luar biasa (extraordinary crimes ), 

yang memerlukan ketentuan-ketentuan yang extraordinary  pula. Sekalipun tidak 

ada larangan memakai KUHP, tetapi penggunaan KUHP tanpa argumentasi 

dan logika hukum yang tepat dan mendalam justru dapat melemahkan dakwaan 

--  323322    -

jaksa itu sendiri dalam membuktikan kebenaran materiil dakwaan. 

b. Pembuktian 

 Sebagaimana Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Timor Timur, 

Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Tanjung Priok juga dihadapkan pada 

persoalan yang relatif sama, yaitu sama-sama dihadang oleh minimnya alat 

bukti materiil di satu sisi, serta kendala hukum acara di sisi lain. Apalagi 13 (tiga 

belas) senjata semiotomatis Samozariadnya Karabina Simonovap (SKS) 45 berikut 

selongsong pelurunya dan truk Reo yang pernah digunakan dalam penugasan 

anggota Yon Arhanudse 06 Tanjung Priok, yang oleh jaksa dinyatakan sebagai 

alat bukti dinyatakan hilang, dan tidak pernah dapat diajukan ke persidangan. 

Menghadapi minimnya alat-alat bukti, jaksa sangat mengandalkan bukti 

keterangan saksi-saksi yang dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc 

Tanjung Priok jauh lebih tersedia dan mudah dihadirkan dibanding Pengadilan 

Hak Asasi Manusia Ad Hoc Timor Timur, terutama saksi korban. Dengan 

banyaknya saksi korban yang memberi  keterangan di persidangan, maka 

diasumsikan akan memperkuat surat dakwaan jaksa, tetapi dalam kenyataan, 

yang terjadi sebaliknya, banyak saksi yang justru mencabut atau minimal merevisi 

kesakisannya.444 

Sebagaimana sudah dijelaskan di bagian dakwaan, para terdakwa 

didakwa melakukan kejahatan kemanusian berupa pembunuhan, penganiayaan, 

penyiksaan, dan tanggungjawab komando. Usaha jaksa untuk membuktikan 

unsur-unsur dakwaan, secara umum, tidak berhasil. Unsur meluas atau sistematik 

444  Pada sidang di Pengadilan Jakarta Pusat, Kamis (11/12), yang dipimpin Ketua Majelis 

Hakim Herman Hueler Hutapea, saksi Muchtar Dewang (45) mencabut kesakisan tentang tindakan 

penyiksaan yang dilakukan tentara sebagaimana yang ada  dalam BAP. “Saya tidak dilemparkan 

dalam truk dan tidak ditendang-tendang. Mereka hanya menyenggol dengan kaki, memastikan apakah 

saya masih hidup atau tidak. Lalu saya dibawa ke rumah sakit tentara. “Kaki saya kemudian diamputasi 

sebab saya menderita diabetes,” katanya. Muchtar juga mengatakan, jumlah rombongan TNI waktu 

itu berhadapan dengan 3.000 orang dan kebanyakan bersenjata, padahal di BAP dia menyebutkan 

hanya 300 orang dan tidak bersenjata. Ia menambahkan, aksi penembakan aparat dilakukan setelah 

seorang aparat yang menawarkan damai dikejar enam orang bersenjata. Lihat Kompas, Jumat 12 

Desember 2003.

--  323322    -

misalnya, tidak tercakup secara memadai. Unsur meluas lebih banyak ditunjukkan 

dengan jumlah korban yang jatuh baik korban pembunuhan, penganiayaan, 

penyiksaan dan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Para saksi 

tidak bisa menyatakan secara pasti tentang jumlah korban, sebab pada saat 

terjadinya peristiwa, mereka tidak memiliki  akses atau pengetahuan tentang 

berapa secara pasti korban yang meninggal. ini terjadi sebab tertutupnya 

informasi pada saat itu. 

Begitu pula pembuktian terhadap dakwaan terhadap R. Butar Butar 

dan Pranowo. Mereka yang didakwa tidak melakukan tindakan yang layak dan 

diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya. Tidak ada usaha  untuk mencegah 

atau menghentikan pelanggaran hak asasi manusia berat, berupa pembunuhan 

yang dilakukan oleh anak buahnya, dan atau menyerahkan pelakunya ini  

kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan 

penuntutan. Pemeriksaan saksi selama persidangan seharusnya diusaha kan yang 

pertama-tama yaitu menunjukkan adanya hubungan yang jelas antara komandan 

dengan pasukannya yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, 

dan apakah ada kontrol yang efektif dari komandan dan pasukannya ini . 

Selanjutnya membuktikan ada tidaknya tindakan komandan dalam 

mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat yang dilakukan anak 

buahnya. Seharusnya ini ditambah dengan pertanyaan: bagaimana komandan 

melakukan koreksi atas pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi dengan 

menyerahkan pelakunya guna dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan? 

Dari pola ini  akan dapat disimpulkan apakah komandan melakukan tindakan 

yang layak dan perlu, atau bahkan gagal dalam melakukan tindakan-tindakan 

tertentu (failure to act).  

Begitu juga pembuktian dakwaan terjadinya perampasan kemerdekaan 

secara sewenang-wenang, dan perampasan fisik lainnya, agak sulit dibuktikan. 

Jaksa hanya berkutat pada ada tidaknya surat perintah penahanan, dan 

pemberitahuan kepada keluarga korban atau pihak yang ditahan. Kondisi 

tempat penahanan, baik di Pomdam V Guntur maupun RTM Cimanggis jstru 

tidak dilacak secara memadai dan lengkap dari keterangan saksi. Sementara 

--  325324    -

itu, pemeriksaan saksi-saksi untuk membuktikan adanya penganiayaan melalui 

korban penganiayaan itu sendiri, relatif mudah dilakukan. Masih adan bukti 

berupa bekas-bekas luka tembakan pada tubuh korban, yang ditunjukkan para 

korban di persidangan, meskipun ada diantara saksi korban yang meralat atau 

mereduksi istilah penganiayaan dengan menjelaskan bahwa mereka hanya 

dipukul satu dua kali. 

Masalah saksi yang terulang dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad 

Hoc Tanjung Priok yaitu diabaikannya ketentuan KUHAP tentang larangan para 

saksi untuk saling berhubungan dan berada di ruang sidang sebelum diperiksa. 

Dengan membiarkan ini , jaksa jelas mengabaikan prinsip peradilan 

yang fair dan obyektif.  Praktik berulang yang terjadi pada Pengadilan Hak Asasi 

Manusia Ad Hoc Timor Timur, yaitu adanya saksi-saksi yang juga terdakwa. 

Dengan status ganda ini, tentu saja keterangan yang bersangkutan selaku saksi 

patut diragukan kebenarannya sebab pada saat lain yang bersangkutan juga 

terdakwa. Lebih-lebih jika mengacu pada asas non self incrimination (Pasal 14 

angka 3 huruf g ICCPR) yang menyatakan bahwa dalam menentukan tindak pidana 

yang dituduhkan kepadanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal, 

diantaranya untuk tidak dipaksa memberi  keterangan yang memberatkan 

dirinya atau dipaksa mengaku bersalah. 

c. Putusan Hakim 

Putusan hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Tanjung Priok, 

telah menghasilkan dua jenis putusan yang bertentangan satu sama lain. Pertama, 

yaitu putusan yang menyatakan telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan 

berupa: pembunuhan, percobaan pembunuhan dan penyiksaan sebagaimana 

yang didakwakan jaksa. Kedua, putusan yang menyatakan tidak terjadi kejahatan 

terhadap kemanusiaan. Pada putusan yang pertama, majelis hakim menyatakan 

bahwa unsur-unsur adanya serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil, 

meluas atau sistematik telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Sedangkan 

putusan kedua menyatakan sebaliknya, bahwa bukti-bukti yang ditemukan di 

persidangan, bukan yaitu bukti adanya serangan sistematik atau meluas 

--  325324    -

yang yaitu unsur dari kejahatan kemanusiaan. 

Majelis Hakim berkesimpulan, bahwa fakta yang dikemukakan jaksa 

tentang peristiwa 12 September 1984 di jalan Yos Soedarso Tanjung Priok, lebih 

menunjukkan bukti terjadinya bentrokan sesaat atau spontan antara aparat dan 

massa (bandingkan dengan tuntutan jaksa). Bentrokan yang terjadi secara spontan 

atau sesaat bukan delik kejahatan kemanusiaan atau ciri terjadinya pelanggaran 

hak asasi manusia yang berat, sebab bentrokan sesaat atau spontan yaitu 

ciri yang biasa yang terjadi di dalam kejahatan pada umumnya. 

Munculnya dua jenis putusan itu tidak lazim ditemukan. Bagaimana 

mungkin dalam suatu peristiwa yang tempat dan waktu kejadiannya sama, dapat 

menghasilkan dua putusan yang berbeda? Padahal jika diperhatikan secara teliti 

dan seksama semua alat bukti, terutama keterangan saksi-saksi korban445 yang 

dihadirkan ke persidangan hampir semuanya menyatakan bahwa mereka telah 

menyaksikan, mengalami dan mendengar kejahatan terhadap kemanusiaan yang 

dilakukan para terdakwa terhadap saksi-saksi.

d. Administrasi & Suasana Persidangan

Seperti pada persidangan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Timor 

Timur, Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Tanjung Priok tidak mendapat 

dukungan administrasi pengadilan yang memadai. Padahal hal itu yaitu 

kunci bagi keberhasilan kerja di pengadilan, dan administrasi ini hampir meliputi 

seluruh sistem kerja pengadilan itu sendiri. Salah satu bentuk tidak adanya 

dukungan administrasi peradilan ini  yaitu tertunda atau dibatalkannya 

persidangan begitu saja, tanpa alasan yang patut, misalnya dengan alasan majelis 

hakim sedang ada tugas lain, atau sedang menunaikan ibadah haji. 

Di luar rendahnya dukungan administrasi, suasana pengadilan juga jauh 

dari kategori pengadilan yang tertib sebagaiman mestinya. Sejumlah pemantau 

peradilan mencatat bentuk-bentuk ketidaktertiban itu. Penulis yang hadir dalam 

445  Putusan Adam Damiri yang lebih mempercayai saksi korban daripada saksi aparat. 

Bandingkan pula dengan putusan Sriyanto yang lebih mempercayai saksi aparat/pelaku daripada 

saksi korban (terutama untuk fakta hukum)

--  327326    -

beberapa persidangan menyaksikan sendiri telepon genggam pengunjung sidang 

berdering, memakai penutup kepala dan jaket, membagikan makanan dan 

minuman di ruang pengadilan membuat kegaduhan, merokok, keluar masuk ruang 

sidang secara tidak sopan, dan sebagainya. Hakim dan penasehat hukum juga 

pernah terlihat minum aqua dan mengunyah permen karet selama persidangan.

e. Tabel II Putusan Hakim

Kasus Tanjung Priok

Terdakwa Put. TK I Banding Kasasi PK

R Butar-Butar 10 Tahun Bebas

Pranowo Bebas Bebas

Sriyano Bebas Bebas

Sutrisno Mascung 3 Tahun Bebas Bebas

Asrori 2 Tahun Bebas Bebas

Siswoyo 2 Tahun Bebas Bebas

Abd. Halim 2 Tahun Bebas Bebas

Zulfafa 2 Tahun Bebas Bebas

Sumitro 2 Tahun Bebas Bebas

Sofyan Hadi 2 Tahun Bebas Bebas

Prayogi 2 Tahun Bebas Bebas

Winarko 2 Tahun Bebas Bebas

Idrus 2 Tahun Bebas Bebas

Muhsan 2 Tahun Bebas Bebas

3. Pengadilan Hak Asasi Manusia Permanen Abepura

Laporan KPP HAM Papua/Irian Jaya menyebutkan bahwa peristiwa 

Abepura berawal pada tanggal 7 Desember 2000. Saat itu terjadi penyerangan 

yang dilakukan oleh massa yang tidak dikenal terhadap Mapolsek Abepura. 

Akibatnya, satu orang polisi meninggal dunia dan 3 orang lainnya luka-luka. 

--  327326    -

Setelah terjadi peristiwa penyerangan ini , Kapolres Jayapura AKBP Drs. Daud 

Sihombing dengan dibantu oleh Komandan Satuan Tugas Brimob Polda Irian Jaya 

Kombes Pol. Drs. Johny Wainal Usman, melakukan pengejaran dan penahanan 

terhadap orang-orang yang diduga sebagai pelaku penyerangan ini . 

Pengejaran yang dilakukan aparat kepolisian dan Brimobda Polda Papua 

terhadap asrama mahasiswa Ninmin, pemukiman warga Kobakma Mamberamo 

dan Wamena, asrama mahasiswa Yapen Waropen, kediaman warga  suku 

Lani, suku Yali, suku Anggruk dan terhadap asrama Ikatan Mahasiswa Ilaga, telah 

mengindikasikan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat yang dilakukan 

secara sistematik dan meluas. Pelanggaran itu berupa penyiksaan (torture), 

pembunuhan kilat (summary killings ), penganiayaan (persecution), perampasan 

kemerdekaan atau kebebasan fisik secara sewenang-wenang, penangkapan dan 

penahanan sewenang-wenang (unlawful arrest and detention), pelanggaran atas 

hak milik, dan pengungsian secara tidak sukarela (involuntary displace persons).  

Dari seluruh rangkaian kejahatan terhadap kemanusiaan yang telah 

dipaparkan di atas, KPP HAM Papua/Irian Jaya menyimpulkan pihak-pihak yang 

diduga terlibat, dan membagi para pihak ini  ke dalam tiga kelompok, yaitu: 

pelaku langsung, pengendali operasi 7 Desember 2000,  dan penanggungjawab 

kebijakan keamanan dan ketertiban di  Irian Jaya.

a. Dakwaan Jaksa

Penuntut umum mengajukan surat dakwaan atas dua terdakwa yaitu 

Brigjend Pol. Johny Wainal Usman, S.H dan Kombes Pol. Drs. Daud Sihombing446 

yang didakwa bertanggungjawab secara pidana atas perbuatan yang dilakukan 

oleh anak buahnya (pertanggungjawaban komando). Brigjend Pol. Johny 

Wainal Usman, S.H didakwa telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. 

446  Laporan KPP HAM Papua/Irian Jaya menyebutkan bahwa pihak-pihak yang diduga secara 

langsung terlibat yaitu anggota Polri dalam jajaran Polda Irian Jaya dan Satuan Brimob Resimen 

III Yon B Korbrimob Polri yang di-BKO-kan ke Polres Jayapura dan individu-individu yang sebab 

posisidan tindakan-tindakannya pada tingkat pengendali dan penanggungjawab operasi lapangan, 

yaitu sebanyak 24 orang. Namun yang dijadikan terdakwa dan diajukan ke persidangan oleh jaksa 

hanya 2 (dua) orang.

--  329328    -

Ia dianggap tidak melakukan pengendalian yang patut dan benar terhadap 

bawahannya yang berada dibawah kekuasaan dan pengendalian yang efektif, 

dimana terdakwa mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang 

secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya sedang atau baru saja melakukan 

pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Tindakan itu  berupa pembunuhan, 

yang diancam dengan pidana Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b jis Pasal 7 

huruf b, pasal 9 huruf a dan Pasal 37 Udang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, 

dan penganiayaan, yang diancam dengan pidana Pasal 42 ayat (2) huruf a dan 

b jis Pasal 7 huruf b, pasal  9 huruf h dan Pasal 40 Undang-Undang No. 26 

Tahun 2000.

Sementara Daud Sihombing, S.H didakwa telah melakukan kejahatan 

terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh bawahannya. Tindakan itu 

berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasab fisik 

lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas atau ketentuan hukum 

internasional dan penyiksaan. Tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan 

ini  terjadi pada waktu terdakwa memerintahkan bawahan untuk mencari 

dan menemukan orang-orang yang diduga sebagai pelaku penyerangan Mapolsek 

Abepura. 

Dalam dakwaannya, JPU berhasil menunjukkan adanya unsur 

meluas dengan menyebutkan besarnya jumlah korban yang jatuh dan luasan 

geografis tempat terjadinya peristiwa berdasarkan keterangan saksi yang 

dihadirkan ke persidangan. Para saksi menerangkan bahwa korban yang jatuh 

akibat tindakan aparat kepolisian Polres Jayapura dan Brimobda Polda Papua ini 

sangat banyak, dan berasal dari berbagai tempat yang berbeda-beda di wilayah 

sekitar Abepura, Jayapura. 

b. Pembuktian

Pada tahap pembuktian, jaksa gagal membuktikan unsur sistematis 

sebagai salah satu unsur ada tidaknya kejahatan kemanusian. ini  terjadi 

sebab saksi-saksi, terutama saksi korban, lebih banyak menjelaskan perlakuan 

atau tindakan aparat kepolisian dan anggota Brimob. Mereka tidak mengetahui 

--  329328    -

kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah negara kita  atau aparat kepolisian 

di wilayah Papua dalam menangani masalah-masalah yang muncul di Papua. 

Sedangkan saksi-saksi dari pihak kepolisian dan Brimob Polda Papua lebih banyak 

menguraikan mengenai penyerangan yang dilakukan terhadap Mapolsek Abepura 

dan proses penanganan perkara pasca penyerangan. 

c. Putusan

Dalam putusannya, majelis hakim yang diketuai Jalaluddin SH menyatakan 

terdakwa secara sah dan meyakinkan tidak terbukti bersalah melanggar Undang-

Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Selain itu, 

terdakwa juga dinyatakan tidak melakukan pembunuhan yang dilakukan secara 

sistematis, meluas, dan penyerangan terhadap warga sipil dan mahasiswa dalam 

peristiwa 7 Desember 2000 lalu yang memicu  sembilan orang terbunuh 

(tertembak) dan ratusan lainnya mengalami penganiayaan hingga cedera oleh 

aparat kepolisian. Terdakwa Wainal Usman yang saat itu menjabat Dansat 

Brimobda Papua dinyatakan tak bertanggung jawab atas pertanggungjawaban 

komando di lapangan, sebab ini  terjadi secara spontan.


LEMBAGA PERLINDUNGAN HAK ASASI 

MANUSIA

A. 

Hukum hak asasi manusia yaitu seperangkat norma-norma yang memuat 

perintah perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan manusia. Selain itu juga 

memuat larangan dilakukannya pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan 

manusia, serta memuat sanksi terhadap siapa saja yang melanggarnya. Norma-

norma abstrak yang berisi perintah, larangan dan sanksi ini  sudah barang 

tentu membutuhkan kekuatan kongkrit. Kekuatan itu berasal dari institusi-institusi 

negara yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk menegakkan hukum 

hak asasi manusia, secara langsung maupun tidak langsung. Bisa juga berasal dari  

lembaga-lembaga lainnya --yang secara langsung atau tidak langsung-- berfungsi 

sebagai kekuatan kontrol dan proteksi terhadap kemungkinan pelanggaran atau 

pengabaian hak-hak dan kebebasan manusia.

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 

(Komnas HAM), Mahkamah Konstitusi (MK), Komnas Anak, Komnas Perempuan, 

Ombudsman, yaitu lembaga-lembaga negara --yang langsung atau tidak 

langsung-- diberi kewenangan oleh undang-undang untuk memberi perlindungan 

terhadap hak-hak dan kebebasan manusia. Begitu pula dengan media massa dan 

Lembaga Swadaya warga  (LSM) yang memiliki peran dan tanggungjawab 

perlindungan hak asasi manusia.

-

B. POLISI

Polisi berdasar Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 yaitu alat negara yang 

menjaga keamanan dan ketertiban warga  bertugas melindungi, mengayomi, 

melayani warga , serta menegakkan hukum. Hak atas rasa aman dan 

terlindungi yaitu hak asasi manusia dan warga negara yang wajib dijalankan 

oleh alat negara (polisi), baik dilakukan dengan cara mencegah maupun 

menanggulangi. Untuk itu, polisi harus bertindak antisipatif, responsif, dan cepat 

mencegah dan menanggulangi potensi-potensi pelanggaran haka sasi manusai 

dalam segala bentuknya; baik pelanggaran hak asasi manusia di bidang hak sipil, 

politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya.

Polisi juga harus memastikan bekerja obyektif dan transparan dalam 

menjalankan tugas-tugasnya. Jangan sampai kasus-kasus pelanggaran hukum 

yang notabene melanggar hak asasi manusia, terlambat atau tidak tertangani 

sama sekali. Jika ini yang terjadi,  polisi bisa dikatagorikan melanggar hak asasi 

manusia, dalam pengertian membiarkan atau tidak mengambil tindakan, padahal 

memiliki kewenangan dan sudah menjadi tugas dan tanggungjawabnya sesuai 

amanat undang-undang. Pada bagian lain, tindakan kepolisian harus didasarkan 

kepada ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika tidak diindahkan, maka 

tindakan kepolisian bisa menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia, misalnya 

dalam melakukan penangkapan, penggeledahan, penahanan, dan introgasi. 

Sebagai pintu gerbang peradilan pidana yang berwenang mengambil 

tindakan hukum mencegah dan menanggulangi kejahatan, polisi berada pada 

posisi sentral. Institusi ini layaknya “pisau bermata dua”. Di satu sisi melindungi 

hak asasi manusia, tetapi pada sisi lain bisa melanggar hak asasi manusia. Itu 

sebabnya, polisi diberi rambu-rambu yang ketat dalam menjalankan wewenang 

dan tugasnya agar tidak melanggar hukum hak asasi manusia. Oleh sebab itu, 

dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 ditegaskan: 

a. Polri harus menjaga dan melindungi keamanan warga , tata 

tertib serta penegakan hukum dan hak asasi manusia;

b. Polri harus menjaga keamanan umum dan hak milik, serta 

menghindari kekerasan dalam menjaga tata tertib berwarga  

dengan menghormati supremasi hak asasi manusia; 

c. Polri dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka harus 

menghormati asas praduga tak bersalah sebagai hak tersangka 

sampai dinyatakan terbukti bersalah oleh pengadilan; 

d. Polri harus mematuhi norma-norma hukum dan agama untuk 

menjaga supremasi hak asasi manusia.

Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi 

Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian 

Negara Republik negara kita  menyebutkan bahwa hak asasi manusia bagi penegak 

hukum yaitu prinsip dan standar haka sasi manusia yang berlaku secara 

universal bagi semua petugas penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya.447 

Tujuan dari dibuatnya peraturan ini adalah:448 

a. Untuk menjamin pemahaman prinsip dasar hak asasi manusia oleh 

seluruh jajaran Polri agar dalam melaksanakan tugasnya senantiasa 

memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia; 

b. Untuk memastikan adanya perubahan dalam pola berpikir, bersikap, 

dan bertindak sesuai dengan prinsip dasar hak asasi manusia; 

c. Untuk memastikan penerapan prinsip dan standar hak asasi manusia 

dalam segala pelaksanaan tugas Polri, sehingga setiap anggota Polri 

tidak ragu-ragu dalam melakukan tindakan; dan 

d. Untuk dijadikan pedoman dalam perumusan kebijakan Polri agar 

selalu mendasari prinsip dan standar hak asasi manusia.

Prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia yang dilakukan Polri 

meliputi:449 

a. Perlindungan minimal; 

b. Melekat pada manusia; 

c. Saling terkait; 

d. Tidak dapat dipisahkan; 

e. Tidak dapat dibagi; 

f. Universal; 

g. Fundamental; 

h. Keadilan; 

i. Kesetaraan/persamaan hak; 

j. Kebebasan; 

k. Non-diskriminasi; dan 

l. Perlakuan khusus bagi kelompok yang memiliki kebutuhan khusus 

(affirmative action).

Cakupan tugas Polri dalam kontek perlindungan hak asasi manusia, 

meliputi:450: 

a. Hak memperoleh keadilan: setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak 

untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan 

pengaduan dan laporan dalam perkara pidana, serta diadili melalui 

proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan 

hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh 

hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar; 

b. Hak atas kebebasan pribadi: setiap orang bebas memilih dan 

memiliki  keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka 

umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, 

memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, 

berpindah dan bertempat tinggal di wilayah RI; 

c. Hak atas rasa aman: setiap orang berhak atas perlindungan diri 

pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan 

tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk 

berbuat atau tidak berbuat sesuatu; 

d. Hak bebas dari penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari 

penghilangan secara paksa; 

e. Hak khusus perempuan: perlindungan khusus terhadap perempuan 

dari ancaman dan tindakan kejahatan, kekerasan dan diskriminasi 

yang terjadi dalam maupun di luar rumah tangga yang dilakukan 

semata-mata sebab dia perempuan; 

f. Hak khusus anak: perlindungan/perlakuan khusus terhadap anak 

yang menjadi korban kejahatan dan anak yang berhadapan dengan 

hukum, yaitu: hak nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, 

hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta 

penghargaan terhadap pendapat anak; 

g. Hak khusus warga  adat; dan 

h. Hak khusus kelompok minoritas, seperti etnis, agama, penyandang 

cacat, orientasi seksual

Sesuai dengan prinsip menghargai dan menghormati hak asasi manusia, 

setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas atau dalam kehidupan sehari-

hari wajib untuk menerapkan perlindungan dan penghargaan hak asasi manusia, 

sekurang-kurangnya:

a. Menghormati martabat dan hak asasi manusia setiap orang; 

b. Bertindak secara adil dan tidak diskriminatif; 

c. Berperilaku sopan; 

d. Menghormati norma agama, etika, dan susila; dan 

e. Menghargai budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan 

hukum dan hak asasi manusia.

Dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap petugas/anggota 

Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku (code of conduct) sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 7 huruf h sebagai berikut:

a. Senantiasa menjalankan tugas yang diamanatkan oleh undang-

undang kepada mereka; 

b. Menghormati dan melindungi martabat manusia dalam melaksanakan 

tugasnya; 

c. Tidak boleh memakai kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk 

mencegah kejahatan membantu melakukan penangkapan terhadap 

pelanggar hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan 

penggunaan kekerasan; 

d. Hal-hal yang bersifat rahasia yang berada dalam kewenangan 

harus tetap dijaga kerahasiaannya, kecuali jika diperlukan dalam 

pelaksanaan tugas atau untuk kepentingan peradilan; 

e. Tidak boleh menghasut, mentolerir tindakan penyiksaan, perlakuan 

atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan 

martabat manusia, demikian pula menjadikan perintah atasan atau 

keadaan luar biasa seperti saat dalam keadaan perang sebagai 

pembenaran untuk melakukan penyiksaan; 

f. Menjamin perlindungan sepenuhnya terhadap kesehatan orang-orang 

yang berada dalam tahanannya, lebih khusus lagi, harus segera 

mengambil langkah untuk memberi  pelayanan medis bilamana 

diperlukan; 

g. Tidak boleh melakukan korupsi dalam bentuk apapun, maupun 

penyalahgunaan kekuasaan lainnya yang bertentangan dengan 

profesi penegak hukum; 

h. Harus menghormati hukum, ketentuan berperilaku, dan kode etik 

yang ada.

Perkap itu juga memuat larangan-larangan terhadap petugas/anggota 

Polri yaitu: 

a. Penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak 

berdasarkan hukum; 

b. Penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat 

dalam kejahatan; 

c. Pelecehan atau kekerasan seksual terhadap tahanan atau orang-

orang yang disangka terlibat dalam kejahatan; 

d. Penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang 

merendahkan martabat manusia; 

e. Korupsi dan menerima suap; 

f. Menghalangi proses peradilan dan/atau menutup-nutupi kejahatan; 

g. Penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum 

(corporal punishment); 

h. Perlakuan tidak manusiawi terhadap seseorang yang melaporkan 

kasus pelanggaran hak asasi manusia oleh orang lain; 

i. Melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan yang tidak 

berdasarkan hukum;

j. memakai kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan.

Pada bagian lain dari Perkap ini memuat prinsip-prinsip dan norma-

norma hak asasi manusia dalam setiap tindakan kepolisian dalam menjalankan 

kewenangannya menegakkan hukum. Ini dimulai dari penyelidikan, penyidikan, 

penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penggeledahan, penyitaan, dan 

seterusnya. 

C. KEJAKSAAN

Lembaga Kejaksaan yaitu institusi penegakan hukum pidana yang 

mengajukan dakwaan dan tuntutan terhadap seseorang atau lebih yang bersatus 

terdakwa. Kedudukan dan wewenang kejaksaan sebagai institusi penegakan 

hukum pidana yaitu mewakili kepentingan negara. Kejaksaan juga menjadi 

institusi pembela dan mewakili kepentingan negara dalam menegakkan hukum 

pidana. Dalam kedudukan dan wewenang ini , kejaksaan tentu saja mewakili 

kepentingan hukum korban kejahatan. Bentuk konkrit dalam mewakili kepentingan 

korban perwakilan ada dalam pengajuan dakwaan, tuntutan, penahanan dan 

eksekusi pelaksanaan pidana; jika  putusan hakim menyatakan seseorang 

dinyatakan bersalah dan dipidana atas kesalahannya.

Khusus dalam hal terjadi pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana 

diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak 

Asasi Manusia, Kejaksaan Agung memiliki kewenangan melakukan penyidikan 

dan penahanan. Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 

menyebutkan bahwa Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan 

penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga 

keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, berdasarkan bukti 

permulaan yang cukup. Pada Pasal 12 ayat (1) dinyatakan bahwa Jaksa Agung 

sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau 

penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan.

Dengan demikian jelas bahwa Kejaksaan yaitu institusi perlindungan 

hak asasi manusia, baik dalam pengertian hak-hak dan kebebasan manusia yang 

diatur dalam KUHP maupun hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang 

Nomor 26 Tahun 2000. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya melindungi 

hak asasi manusia, Kejaksaan tidak saja harus memastikan institusinya bekerja 

dengan cepat, pasti dan terbuka sehingga seseorang bisa cepat mendapatkan 

kejelasan status hukumnya, tetapi juga adil/fair/obyektif dan tidak diskriminatif 

dalam memakai kewenangannya selaku penuntut umum. 

Kejaksaan wajib menjalankan proses peradilan yang fair sebagaimana 

telah digariskan oleh Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik serta Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Kovenan hak sipil politik Pasal 

14 disebutkan antara lain sebagai berikut:

1. Semua orang memiliki  kedudukan yang sama di hadapan 

pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana 

terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya 

dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang 

adil dan terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang 

berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum. 

Media dan warga  dapat dilarang untuk mengikuti seluruh 

atau sebagian sidang sebab alasan moral , ketertiban umum atau 

keamanan nasional dalam suatu warga  yang demokratis 

atau jika  benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan 

dalam keadaan khusus, di mana publikasi justru akan merugikan 

kepentingan keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang diambil 

dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang 

yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan anak-anak menentukan 

sebaliknya, atau jika  persidangan ini  berkenaan dengan 

perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak. 

2. Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap 

tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum. 

3. Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap 

orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam 

persamaan yang penuh: (a) Untuk diberitahukan secepatnya dan 

secara rinci dalam bahasa yang dapat dimengertinya, tentang sifat 

dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya; (b) Untuk diberi 

waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan 

dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri; (c) Untuk 

diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya; (d) Untuk diadili 

dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau 

melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang 

hak ini bila ia tidak memiliki  pembela.

Sementara dalam KUHAP diatur dalam sejumlah pasal sebagai berikut:

1. Hak segera diadili oleh pengadilan {Pasal 50 ayat (3)}.

2. Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti 

olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya (Pasal 51 butir b).

3. Tersangka at