HAM 12

 



au terdakwa yang dikenakan penahanan berhak 

menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan dalam 

KUHAP (Pasal 57).

4. Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak 

menghubungi atau menerima kunjunngan dokter pribadinya untuk 

kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses 

perkara maupun tidak (Pasal 58).

5. Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak 

diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang 

berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses 

peradilan, kepada keluarga atau orang lain yang serumah dengan 

tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya 

dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan 

bantuan hukum atau jaminana bagi penangguhannya (Pasal 59).

6. Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima 

kunjungan dari pihak yang memiliki  hubungan kekeluargaan atau 

lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan 

bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatakan 

bantuan hukum (Pasal 60).

7. Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan 

perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima 

kunjungan sanak keluraganya dalam hal yang tidak ada hubungannya 

dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan 

pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan (Pasal 61).

8. Tersangka atau  terdakwa berhak secara langsung atau dengan 

perantaraan penasihat hukumnya dan menerima surat dari penasihat 

hukumnya dan sanak keluragan setiap kali yang diperlukan olehnya, 

untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat 

tulis-menulis (Pasal 62).

9. Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima 

kunjungan dari rohaniawan (pasal 63).

10. Tersangka tau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan 

mengajukan saksi dan atau seorang yang memiliki  keahlian 

khusus guna memberi  keterangan yang menguntungkan bagi 

dirinya (Pasal 65).

Dengan demikian, jelas bahwa peran Kejaksaan dalam perlindungan hak 

asasi manusia dilakukan dalam bentuk bekerja cepat dan profesional mendakwa 

dan menuntut pelaku kejahatan. Hal itu dilakukan semata-mata sebagai wujud 

tanggungjawabnya mewakili negara menjaga dan menegakkan hak-hak dan 

kebebasan manusia untuk dan atas nama penegakan hukum. Kejaksaan tetapi 

juga wajib menegakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam penegakan 

hukum ini  sehingga kejaksaan benar-benar tampil sebagai kekuatan negara 

yang fair, adil, transparan dan objektif, dan tidak menjadi “pisau bermata dua”. 

Di satu sisi melindungi hak asasi korban, tetapi pada saat yang sama melanggar 

hak asasi pelaku.

D. PENGADILAN

Pengadilan yaitu tempat mengadili dan membantu para pencari keadilan 

agar tercapai suatu peradilan. Pengadilan yaitu badan atau instansi resmi yang 

melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus 

perkara. Bentuk dari sistem peradilan yang dilaksanakan di pengadilan yaitu 

sebuah forum publik yang resmi dan dilakukan berdasarkan hukum acara yang 

berlaku di negara kita .

Pasal 4 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman  menjelaskan bahwa 

Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang 

dan Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala 

hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, 

cepat, dan biaya ringan. Lembaga ini  yaitu tempat dilakukannya proses 

pemeriksaan, proses mengadili dan memutus suatu perkara, baik perkara pidana 

maupun perdata. Semua pelaku kekuasaan di dalam Pengadilan, yaitu jaksa 

selaku penuntut umum, pengacara selaku penasehat hukum atau kuasa hukum, 

para pihak (penggugat/tergugat, pemohon/termohon), serta dan terutama hakim 

sebagai pengadil wajib,  memastikan proses persidangan berlangsung fair/objektif.

Dalam perkara pidana, maka prinsip peradilan cepat harus dijalankan 

sesuai ketentuan KUHAP, yaitu hak segera diadili oleh pengadilan (Pasal 50 

ayat (3)). Begitu pula hak-hak lainnya seperti hak terdakwa untuk diadili di 

sidang pengadilan yang terbuka untuk umum (Pasal 64); hak untuk mengajukan 

saksi dan ahli yang a de charge (Pasal 65); hak agar tidak dibebani kewajiban 

pembuktian (Pasal 66); hak untuk mengajukan banding, kasasi dan melakukan 

peninjauan kembali (Pasal 67, Pasal 233, Pasal 244 dan Pasal 263 ayat (1)); 

hak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 68,  Pasal 95 ayat (1), dan 

Pasal 97 ayat (1) serta hak mengajukan keberataan tantang tidak berwenang 

mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan 

harus dibatalkan (Pasal 156 ayat (1). 

Begitu pula hak-hak yang dijamin dalam Pasal 14 Kovenan hak sipil politik, 

yaitu: hak untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan 

pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri; untuk 

diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya; untuk diadili dengan kehadirannya, 

dan untuk membela diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya 

sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak memiliki  pembela; 

dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentingan keadilan, dan tanpa 

membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya; untuk 

memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang memberatkannya dan 

meminta dihadirkan dan diperiksanya saksi-saksi yang meringankannya, dengan 

syarat-syarat yang sama dengan saksi-saksi yang memberatkannya; untuk 

mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah jika  ia tidak mengerti 

atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan; untuk 

tidak dipaksa memberi  kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa 

mengaku bersalah.

Khusus terhadap hakim dalam perkara apa saja, wajib menjaga dan 

menegakkan independensi dan imparsialitasnya. Tujuannya agar proses 

peradilan di bawah kekuasaan dan kendali hakim berjalan fair dalam proses dan 

putusannya. Hakim harus memahami dan menyadari penuh bahwa independensi 

hakim itu bukan hak (rights), tetapi kewajiban (obligation). Pekerjaan hakim 

--  343342    -

dibatasi oleh asas-asas umum berperkara yang baik, oleh hukum materiil dan 

formil yang berlaku, oleh kode etik, hak-hak keadilan para pihak, komitmen 

moral dan ketuhanan para hakim. Semua itu harus dipertanggungjawabkan dan 

diperjuangkan untuk dijaga terus menerus sepanjang hakim menjalani profesinya. 

Independensi bukan kekebalan (imunitas). Independensi yaitu 

kemerdekaan, kebebasan dan kemandirian kognisi (berpikir) dan afeksi (merasa) 

hakim terhadap subjek dan objek perkara, beserta elemen-elemen lain di luar 

dirinya. Dengan begitu, hakim dapat memeriksa, mengadili dan memutus perkara 

dengan baik dan benar berdasar hukum, fakta dan nurani yang bersih. Etik dan 

hukum  dibuat untuk menjaga dan mencegah reputasi profesi mulia dan terhormat 

itu agar tidak diselewengkan. Akan ada tindakan jika  hakim melakukan 

penyelewengan atas pekerjaan yang terhormat itu. Atas dasar ini , tentu 

aneh bila hakim yang melakukan putusan janggal kemudian dibiarkan tanpa ada 

pertanggungjawaban etika profesi.

Di samping independensi, hakim juga harus memastikan dirinya bahwa 

imparsial (tidak memihak). Imparsilitas yaitu ketidakberpihakan, kenetralan, 

tanpa bias, tanpa prasangka dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu 

perkara. Hakim harus dipastikan imparsial terhadap subjek hukum dan objek 

hukum perkara guna mencegah konflik kepentingan, mencegah keberpihakan, 

serta menjaga kehormatan dan kewibawaan pengadilan.

Undang-undang secara terbatas sudah mengaturnya dalam Pasal 17 ayat 

5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Disana 

disebutkan bahwa seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari 

persidangan, jika  ia memiliki  kepentingan langsung atau tidak langsung 

dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun 

atas permintaan pihak yang berperkara. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap 

ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat ini , putusan dinyatakan tidak 

sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi 

administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan, dan perkara sebagaimana dimaksud diperiksa kembali dengan susunan 

majelis hakim yang berbeda.

Dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dinyatakan bahwa hakim 

dalam menjalankan tugas yudisialnya dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak 

suka, keberpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin, 

agama, asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia, atau 

status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari 

keadilan atau pihakpihak yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui 

perkataan maupun tindakan (point 1:5).

Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara jika  memiliki konflik 

kepentingan, baik sebab hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-

hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik 

kepentingan (point 5:2). Hakim yang memiliki konflik kepentingan wajib 

mengundurkan diri dari memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan. 

Keputusan untuk mengundurkan diri harus dibuat seawal mungkin untuk 

mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul terhadap lembaga peradilan 

atau persangkaan bahwa peradilan tidak dijalankan secara jujur dan tidak berpihak 

(point 5:3).

Ketaatan terhadap hukum dan kode etik peradilan juga dimaksudkan untuk 

kehormatan pengadilan. Dalam salah satu alenia pada pembukaan Kode Etik 

dan Pedoman Perilaku Hakim disebutkan bahwa kehormatan yaitu kemuliaan 

atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dengan sebaik-

baiknya oleh para hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan. Kehormatan 

hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan 

yang melandasi, atau keseluruhan proses pengambilan keputusan. Implementasi 

terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim dapat menimbulkan kepercayaan, 

atau ketidakpercayaan warga  kepada putusan pengadilan. Oleh sebab itu, 

hakim dituntut untuk selalu berperilaku yang berbudi pekerti luhur. Hakim yang 

berbudi pekerti luhur dapat menunjukkan bahwa profesi hakim yaitu suatu 

kemuliaan (officium nobile).

E. KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (KOMNAS HAM)

Pada mulanya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) 

didirikan dengan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi 

Nasional Hak Asasi Manusia. Sejak 1999, keberadaan Komnas HAM didasarkan 

pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Berdasarkan Pasal 75 Undang-

Undang  Nomor 39 Tahun 1999 ini , Komnas HAM bertujuan: (a) 

Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia 

sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Piagam PBB, serta Deklarasi Universal 

Hak Asasi Manusia; dan (b) Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak 

asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia negara kita  seutuhnya dan 

kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Selanjutnya dalam Pasal 89 ayat (3), Komnas HAM bertugas dan 

berwenang melakukan: 

a. Pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan 

laporan hasil pengamatan ini ; 

b. Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam 

warga  yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga 

ada  pelanggaran hak asasi manusia; 

c. Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang 

diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya; 

d. Pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan 

kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan; 

e. Peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap 

perlu; 

f. Pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberi  keterangan 

secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai 

dengan aslinya dengan persetujuan ketua pengadilan; 

g. Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan 

tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu 

dengan persetujuan ketua pengadilan; dan 

h. Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan ketua pengadilan 

terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan. 

Bilamana dalam perkara ini  ada  pelanggaran hak asasi 

manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh 

pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM ini  wajib 

diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.

jika  seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak 

memberi  keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan ketua 

pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa, sesuai dengan ketentuan 

peraturan perundang-undangan (Pasal 95). Selain kewenangan yang diatur dalam 

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Komnas HAM juga memiliki wewenang 

berwenang melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang 

berat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang 

Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam melakukan penyelidikan ini, Komnas HAM 

dapat membentuk Tim Ad Hoc yang terdiri atas Komisi Hak Asasi Manusia dan 

unsur warga .

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan 

Diskriminasi Ras dan Etnis, Komnas HAM mendapatkan tambahan kewenangan 

berupa Pengawasan. Dimana pengawasan didefinisikan sebagai serangkaian 

tindakan yang dilakukan oleh Komnas HAM dengan maksud untuk mengevaluasi 

kebijakan pemerintah,  baik pusat maupun daerah yang dilakukan secara berkala 

atau insidentil dengan cara memantau, mencari fakta, menilai guna mencari dan 

menemukan ada tidaknya diskriminasi ras dan etnis yang ditindaklanjuti dengan 

rekomendasi.

F. MAHKAMAH KONSTITUSI 

Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu lembaga tinggi negara, penyelenggara 

kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung (MA) yang 

dibentuk berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Dalam pasal ini  

dinyatakan bahwa, “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah 

Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan 

umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan 

peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” 

Berdasarkan ketentuan ini , MK yaitu salah satu pelaku 

kekuasaan kehakiman selain MA. Kekuasaan kehakiman yaitu kekuasaan 

yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan 

keadilan. Dengan demikian, MK yaitu suatu lembaga peradilan, sebagai cabang 

kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi 

kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.

Selanjutnya dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali 

dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 

Tahun  2003, kewenangan MK yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 

1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya 

diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus 

perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 

Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 

24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 24 Tahun  2003, kewajiban MK yaitu memberi  keputusan 

atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan 

pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai 

Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. 

Dalam konteks perlindungan hak asasi manusia, kewenangan menguji undang-

undang454 terhadap UUD455 yang dimiliki oleh MK, yaitu wujud kewenangan 

melindungi hak asasi manusia sebab pelanggaran hak asasi manusia tidak saja 

selalu dalam bentuk tindakan langsung dan nyata yang dilakukan oleh aparat 

454  Sri Soemantri mengemukakan hak menguji materiil yaitu suatu wewenang untuk 

menyelidiki dan kemudian menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau 

bertentangan dengan pera-turan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu 

(verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Baca dalam Sri Soemantri, 

Hak Uji Material di negara kita  , Alumni, Bandung, 1997 hal. 11.

455  Pasal 24C ayat (1) UUD 1945: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat 

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD. 

negara atau korporasi, tetapi juga pelanggaran di dalam dan melalui peraturan 

perundang-undangan yang secara nyata atau potensial melanggar hak asasi 

manusia.

Telah banyak peraturan perundang-undangan yang dibatalkan oleh MK 

sebab bertentangan dengan UUD 1945, terutama pasal-pasal perlindungan hak 

asasi manusia. Dalam catatan Saldi Isra456, beberapa putusan MK yang yaitu 

perlindungan terhadap hak asasi manusia antara lain: (1) Putusan No 011-017/

PUU-VIII/2003 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang 

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, 

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; (2) Putusan No 6-13-20/PUU-VIII/2010 

tentang pengujian Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan 

Republik negara kita ; (3) Putusan Nomor 55/PUU-VIII/2010 tentang pengujian 

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; (4) Putusan Nomor 

27/PUU-IX/2011 tentang pengujian Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang 

Ketenagakerjaan.

Dalam analisisnya terhadap Putusan No. 011-017/PUU-VIII/2003, Saldi 

Isra457 menyatakan bahwa hak untuk memajukan diri, hak atas pengakuan dan 

jaminan atas kepastian hukum, hak untuk mendapatkan kesempatan yang 

sama dalam pemerintahan dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat 

diskriminatif yaitu hak asasi manusia yang dijamin dan dilindungi melalui 

Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan Pasal 28 I Ayat 

(2). Sementara, melalui ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Noor 12 

Tahun 2003, yang berisi larangan menjadi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, 

DPRD Kabupaten atau Kota bagi mereka yang bekas anggota organisasi terlarang 

Partai Komunis negara kita , termasuk organisasi massanya, atau bukan orang 

yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam G.30.S/ PKI atau organisasi 

terlarang lainnya, hak-hak asasi yang dijamin UUD 1945 di atas justru dilanggar. 

Di sini, putusan MK menyatakan tindakan diskriminasi berdasarkan 

perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status 

ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik tidak dibenarkan. Dalam 

ranah sipil dan politik, hak konstitusional warga negara untuk memilih dan 

dipilih (right to vote and right to be candidate) yaitu hak yang dijamin oleh 

konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan 

penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud yaitu 

pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara. 

Atas dasar pertimbangan ini , MK menyatakan Pasal 60 huruf 

g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945. 

Berdasarkan putusan ini , hak warga negara yang dicap pernah terlibat 

baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam G 30S/PKI telah dipulihkan. 

Putusan MK ini dinilai sebagai sebuah tonggak baru dalam sejarah negara kita  

yang bisa jadi akan memiliki implikasi-implikasi luas bagi masa depan demokrasi 

di negara kita .458

Sedangkan dalam putusan terhadap kewenangan Kejaksaan Agung 

melarang pengedaran buku seperti tertuang dalam Putusan No 6-13-20/PUU-

VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang 

Kejaksaan Republik negara kita , MK menyatakan dalam pertimbangannya bahwa 

pelarangan pengedaran buku-buku sebagai suatu sumber informasi, penyitaan 

tanpa proses pengadilan, yaitu tindakan yang tidak sejalan bahkan 

bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945.459

Selain itu, pemberian kewenangan untuk melakukan pelarangan atas 

sesuatu yang yaitu pembatasan hak asasi tanpa melalui due process 

of law, jelas tidak termasuk dalam pengertian pembatasan kebebasan seperti 

yang dimaksud Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. Menurut MK, pengawasan atas 

peredaran barang cetakan dapat dilakukan kejaksaan melalui usaha  penyelidikan, 

penyidikan, penyitaan, penggeledahan, penuntutan, dan penyidangan sesuai 

dengan due process of law, yang berujung pada putusan pengadilan yang 

memperoleh kekuatan hukum tetap, yang kemudian dieksekusi kejaksaan. 

Atas dasar pertimbangan itu, MK menyatakan Pasal 30 ayat (3) huruf c 

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indoneia 

bertentangan dengan UUD 1945.460 Berdasarkan putusan ini , hak seseorang 

untuk bebas mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan serta hak untuk 

berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi 

sebagaimana dijamin UUD 1945 telah dijaga dan dilindungi dari penyelenggaraan 

kekuasaan negara secara sewenang-wenang.461

G. OMBUDSMAN REPUBLIK negara kita  (ORI)

Ombudsman Republik negara kita  (yang selanjutnya disebut Ombudsman) 

yaitu lembaga negara yang memiliki  kewenangan mengawasi penyelenggaraan 

pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan 

pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, 

Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta 

atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu 

yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan 

dan belanja Negara dan/atau anggran pendapatan dan belanja daerah. Hal itu 

termaktub secara jelas dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 

Tentang Ombudsman Republik negara kita .

Pasal 2 undang-undang ini  menyataka bahwa, “Ombudsman 

yaitu lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan 

organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam 

menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan 

lainnya.” Visi Ombudsman yaitu menjadi lembaga negara yang mampu 

melaksanakan fungsi pengawasan sehingga warga  dapat memperoleh 

pelayanan sebaik-baiknya dari penyelenggara negara, penyelenggara 

pemerintahan, badan ataupun perorangan yang berkewajiban memberi pelayanan 

publik. 

Sedangkan misinya adalah: (1) Melakukan tindakan pengawasan, 

menyampaikan rekomendasi serta mencegah maladministrasi dalam pelaksanaan 

pelayanan publik; (2) Mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan agar 

lebih efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih serta bebas dari Korupsi, Kolusi, 

dan Nepotisme; (3) Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum 

warga  dan supremasi hukum yang berintikan pelayanan, kebenaran serta 

keadilan.

Dalam praktik penyelenggaraan pelayanan publik oleh khususnya aparat 

birokrasi pemerintahan seringkali melakukan pelanggaran terhadap prinsip dan 

norma-norma pelayanan publik yang baik (maladminisitrasi), padahal pelayanan 

publik yang baik yaitu hak warga  atau bagian dari perlindungan hak 

asasi manusia warga negara. Asas pelayanan publik yang diatur dalam Pasal 4 

UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan pelayanan publik adalah: 

a. Kepentingan umum; 

b. Kepastian hukum; 

c. Kesamaan hak; 

d. Keseimbangan hak dan kewajiban; 

e. Keprofesionalan;

f. Partisipatif; 

g. Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif; 

h. Keterbukaan; 

i. Akuuntabilitas; 

j. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; 

k. Ketepatan waktu; dan 

l. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.

Sementara dalam Pasal 34 menegaskan bahwa pelaksana penyelenggaraan 

pelayanan publik harus berperilaku sebagai berikut: 

a. Adil dan tidak diskriminatif; 

b. Cermat; 

c. Santun dan ramah; 

d. Tegas, andal, dan tidak memberi  putusan yang berlarut-larut; 

e. Profesional; 

f. Tidak mempersulit; 

g. Patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar; 

h. Menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi 

penyelenggara; 

i. Tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan 

sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 

j. Terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari 

benturan kepentingan; 

k. Tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas 

pelayanan publik; 

l. Tidak memberi  informasi yang salah atau menyesatkan dalam 

menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi 

kepentingan warga ; 

m. Tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan 

yang dimiliki; 

n. Sesuai dengan kepantasan; dan 

o. Tidak menyimpang dari prosedur

Hak warga  dalam pelayanan publik telah diatur secara jelas dan 

eksplisit melalui Pasal 18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang 

Pelayanan Publik, sebagai berikut: 

a. Mengetahui kebenaran isi standar pelayanan; 

b. Mengawasi pelaksanaan standar pelayanan; 

c. Mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan; 

d. Mendapat advokasi, perlindungan, dan/atau pemenuhan pelayanan 

e. Memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki 

pelayanan jika  pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan 

standar pelayanan; 

f. Memberitahukan kepada pelaksana untuk memperbaiki pelayanan 

jika  pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar 

pelayanan; 

g. Mengadukan pelaksana yang melakukan penyimpangan standar 

pelayanan dan/ atau tidak memperbaiki pelayanan kepada 

penyelenggara dan ombudsman; 

h. Mengadukan penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar 

pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina 

penyelenggara dan ombudsman; dan 

i. Mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan 

pelayanan.

Perilaku maladministrasi menurut Pasal 1 butir 3 Undang-Undang 

Nomor 37 Tahun 2008 yaitu yaitu perilaku atau perbuatan melawan hukum, 

melampaui wewenang, memakai wewenang untuk tujuan lain dari yang 

menjadi tujuan wewenang ini , termasuk kelalaian atau pengabaian 

kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh 

penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil 

dan/atau immateriil bagi warga  dan orang perseorangan. Maladministrasi 

yang dilakukan oleh birokrat yaitu:462

1. Ketidak jujuran (dishonesty), berbagai tindakan ketidak jujuran 

antara lain: memakai barang publik untuk kepentingan pribadi, 

menerima uang dll.

2. Perilaku yang buruk (unethical behavior), tindakan tidak etis ini 

yaitu tindakan yang mungkin tidak bersalah secara hukum, tetapi 

melanggar etika sebagai administrator.

3. Mengabaikan hukum (disregard of law), tindakan mengabaikan 

hukum mencakup juga tindakan menyepelekan hukum untuk 

kepentingan dirinya sendiri, atau kepentingan kelompoknya.

4. Favoritisme dalam menafsirkan hukum, tindakan menafsirkan hukum 

untuk kepentingan kelompok, dan cenderung memilih penerapan 

hukum yang menguntungkan kelompoknya.

5. Perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai, tindakan ini cenderung 

ke perlakuan pimpinan kepada bawahannya berdasarkan 

faktor like  and dislike . Yaitu orang yang disenangi cenderung 

mendapatkan fasilitas lebih, meski prestasinya tidak begus. 

Sebaliknya untuk orang yang tidak disenangi cenderung diperlakukan 

terbatas.

6. Inefisiensi bruto (gross inefficiency), yaitu kecenderungan suatu 

instansi publik memboroskan keuangan negara.

7. Menutup-nutupi kesalahan, kecenderungan menutupi kesalahan 

dirinya, kesalahan bawahannya, kesalahan instansinya dan menolak 

di liput kesalahannya.

8. Gagal menunjukkan inisiatif, kecenderungan tidak berinisiatif tetapi 

menunggu perintah dari atas, meski secara peraturan memungkinkan 

dia untuk bertindak atau mengambil inisiatif kebijakan.

Dalam kaitan perlindungan hak asasi manusia di dalam pelayanan publik 

ini, Ombudsman berwenang:463

a. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pelapor, 

terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai laporan yang 

disampaikan kepada Ombudsman; 

b. Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada 

pada pelapor ataupun terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu 

laporan; 

c. Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang 

diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan laporan dari 

instansi terlapor; 

d. Melakukan pemanggilan terhadap pelapor, terlapor, dan pihak lain 

yang terkait dengan laporan; 

e. Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas 

permintaan para pihak; 

f. Membuat rekomendasi mengenai penyelesaian laporan, termasuk 

rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada 

pihak yang dirugikan; 

g. Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, 

dan rekomendasi.

Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman 

berwenang: (a) menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau 

pimpinan penyelenggara negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan 

organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik; (b) menyampaikan saran kepada 

DPR dan/atau Presiden, DPRD dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-

undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam 

rangka mencegah maladministrasi.

Guna mewujudkan kewenangan ini , Ombudsman bertugas: 

(1) Menerima laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan 

pelayanan publik; (2) Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan 

maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; (3) Melakukan usaha  

pencegahan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. 

H. LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK)

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yaitu salah satu 

lembaga negara yang lahir di era reformasi atas dasar banyaknya kasus 

pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi; korban mengalami kekerasan, 

kriminalisasi, tekanan fisik atau psikis akibat usaha  menuntut keadilan; serta 

adanya saksi dan pelapor yang mengalami ancaman, kekerasan serta kesulitan 

ekonomi, dan lain-lain. Dalam kaitan ini , berdasarkan Undang-Undang 

Nomor 13 Tahun 2006, LPSK bertugas dan berwenang:

1. Menerima permohonan saksi dan/atau korban untuk perlindungan 

(Pasal 29). 

2. memberi  keputusan pemberian perlindungan saksi dan/atau 

korban (Pasal 29).  

3. memberi  perlindungan kepada saksi dan/atau korban (Pasal 1).

4. Menghentikan program perlindungan saksi dan/atau korban (Pasal 

32). 

5. Mengajukan ke pengadilan (berdasarkan keinginan korban) berupa 

hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia 

yang berat; dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi 

tanggung jawab pelaku tindak pidana (Pasal 7). 

6. Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang 

mewakili korban untuk bantuan (Pasal 33 dan 34). 

7. Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang 

diperlukan diberikannya bantuan kepada saksi dan/atau korban 

(Pasal 34). 

8. Bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dalam 

melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan (Pasal 39).

Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, LPSK 

melaksanakan:465 

a. Merumuskan kebijakan di bidang perlindungan saksi dan korban; 

b. Melaksanakan perlindungan terhadap saksi dan korban; 

c. Melaksanakan pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan kepada 

saksi dan atau korban; 

d. Melaksanakan diseminasi dan hubungan warga ; 

e. Melaksanakan kerjasama dengan instansi dan pendidikan pelatihan; 

f. Melaksanakan pengawasan, pelaporan, penelitian dan pengembangan; 

g. Melaksanakan tugas lain berkaitan dengan pelindungan saksi dan 

korban.

Tata cara memperoleh perlindungan LPSK sebagai berikut:466 

a. Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri 

maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan 

permohonan secara tertulis kepada LPSK; 

b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan 

sebagaimana dimaksud pada huruf a; 

c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) 

hari sejak permohonan perlindungan diajukan. 

Dalam hal LPSK menerima permohonan saksi dan/atau korban 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, saksi dan/atau korban menandatangani 

pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan 

korban. Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi 

dan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: 

a. Kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberi  kesaksian dalam 

proses peradilan; 

b. Kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang 

berkenaan dengan keselamatannya; 

c. Kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan 

cara apa pun dcngan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama 

ia berada dalam perlindungan LPSK; 

d. Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada 

siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; 

dan 

e. Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK. 

Sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud 

dalam Pasal 30, pada Pasal 31 dinyatakan bahwa LPSK wajib memberi  

perlindungan sepenuhnya kepada saksi dan/atau korban, termasuk keluarganya.468  

Perlindungan atas keamanan saksi dan/atau korban hanya dapat dihentikan 

berdasarkan alasan:469

a. Saksi dan/atau korban meminta agar perlindungan terhadapnya 

dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri; 

b. Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan 

perlindungan terhadap saksi dan/atau korban berdasarkan atas 

permintaan pejabat yang bersangkutan; 

c. Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis 

dalam perjanjian; atau 

d. LPSK berpendapat bahwa saksi dan/atau korban tidak lagi 

memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan. 

(2) Penghentian perlindungan keamanan seorang saksi dan/atau 

korban harus dilakukan secara tertulis.

Perjanjian perlindungan LPSK terhadap saksi dan/atau korban tindak 

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan 

mempertimbangkan syarat sebagai berikut: 

a. Sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban; 

b. Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban; 

c. Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau 

korban; 

d. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau 

korban

I.  KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 

(KOMNAS PEREMPUAN)

Komnas Perempuan dibentuk dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 

65 Tahun 2005. Dalam Pasal 1 Perpres ini  dinyatakan bahwa, “dalam 

rangka pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan terhadap perempuan 

serta penghapusan segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan terhadap 

perempuan, dibentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.” 

Kekerasan terhadap perempuan yaitu perwujudan ketimpangan historis 

dalam hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Kekerasan sendiri 

yaitu hambatan yang bersifat struktural bagi tercapainya keadilan sosial, 

perdamaian dan pengembangan diri yang berkelanjutan. Kekerasan terhadap 

perempuan yaitu suatu fenomena yang sudah ada sejak lama, walaupun 

tiap zaman memunculkan kekhasannya sendiri-sendiri mengikuti kondisi sosial, 

politik, ekonomi dan budaya yang berlaku.470

Fokus kerja Komnas Perempuan didasari pada penilaian bahwa persoalan 

mutakhir tentang kekerasan terhadap perempuan dipengaruhi oleh beberapa faktor. 

Ada kecenderungan besar pada tahun-tahun yang akan datang, yaitu semakin 

meningkatnya feminisasi kemiskinan, berkembangnya semangat fundamentalisme 

dan primordialisme yang didukung oleh militerisme, serta masih langgengnya 

impunitas para pelaku pelanggaran hak asasi manusia berat, termasuk yang 

memicu  korban perempuan. Visi Komnas Perempuan yaitu terciptanya 

tatanan, relasi sosial dan pola perilaku yang kondusif untuk mewujudkan 

kehidupan yang menghargai keberagaman dan bebas dari rasa takut, tindakan 

atau ancaman dan diskriminasi sehingga kaum perempuan dapat menikmati 

hak asasinya sebagai manusia.471 Sedangkan misi Komnas Perempuan, yaitu472:

1. Meningkatkan usaha  pencegahan dan penanggulangan segala bentuk 

kekerasan terhadap perempuan dan mendorong pemenuhan hak 

korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan dalam berbagai 

dimensi, termasuk hak ekonomi, sosial, politik, budaya yang berpijak 

pada prinsip hak atas integritas diri;

2. Meningkatkan kesadaran publik bahwa hak-hak perempuan yaitu 

hak asasi manusia dan kekerasan terhadap perempuan yaitu 

pelanggaran hak asasi manusia;

3. Mendorong penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan 

kebijakan yang kondusif serta membangun sinergi dengan lembaga 

pemerintah dan lembaga publik lain yang memiliki  wilayah kerja 

atau yuridiksi yang sejenis untuk pemenuhan tanggungjawab negara 

dalam penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;

4. Mengembangkan sistem pemantauan, pendokumentasian dan 

evaluasi atas fakta kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran 

hak asasi perempuan atas kinerja lembaga-lembaga negara serta 

warga  dalam usaha  pemenuhan hak perempuan, khususnya 

korban kekerasan;

5. Memelopori dan mendorong kajian-kajian yang mendukung 

terpenuhinya mandat Komnas Perempuan;

6. Memperkuat jaringan dan solidaritas antar komunitas korban, pejuang 

hak-hak asasi manusia, khususnya di tingkat lokal, nasional dan 

internasional;

7. Menguatkan kelembagaan Komnas Perempuan sebagai komisi 

nasional yang independen, demokratis, efektif, efisien, akuntabel 

dan responsif terhadap penegakan hak asasi perempuan.

Komnas Perempuan bertujuan: a. mengembangkan kondisi yang 

kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan 

penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di negara kita ; b. meningkatkan usaha  

pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan 

dan perlindungan hak-hak asasi manusia perempuan. Tugas Komnas Perempuan: 

a. Menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan 

terhadap perempuan negara kita  dan usaha -usaha  pencegahan 

dan penanggulangan serta penghapusan segala bentuk kekerasan 

terhadap perempuan; 

b. Melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan 

perundang-undangan yang berlaku serta berbagai instrumen 

internasional yang relevan bagi perlindungan hak-hak asasi manusia 

perempuan; 

c. Melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan 

pendokumentasian tentang segala bentuk kekerasan terhadap 

perempuan dan pelanggaran hak asasi manusia perempuan serta 

penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan 

langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan 

penanganan; 

d. memberi  saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga 

legislatif dan yudikatif serta organisasi-organisasi warga  

guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum 

dan kebijakan yang mendukung usaha -usaha  pencegahan dan 

penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan 

negara kita  serta perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak-hak 

asasi manusia perempuan; 

e. Mengembangkan kerja sama regional dan internasional guna 

meningkatkan usaha -usaha  pencegahan dan penanggulangan segala 

bentuk kekerasan terhadap perempuan negara kita  serta perlindungan, 

penegakan dan pemajuan hak-hak asasi manusia perempuan.

Isu-isu prioritas yang ditangani oleh Komnas Perempuan mencakup 

sebelas (11) isu, yaitu:

1. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks kekerasan seksual.

2. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pelanggaran hak 

asasi manusai masa lalu dan konflik.

3. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pemiskinan 

perempuan.

4. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks penguatan 

mekanisme hak asasi manusia bagi perempuan.

5. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pembela hak asasi 

manusia.

6. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks perkawinan dan 

keluarga.

7. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks politisasi identitas 

dan kebijakan berbasis moralitas dan agama.

8. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks praktik budaya.

9. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pemilu.

10. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks rentan diskriminasi.

11. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks tahanan dan serupa 

tahanan.

J. KOMISI PERLINDUNGAN ANAK negara kita  (KPAI)

Komisi Perlindungan Anak negara kita  yang selanjutnya disingkat KPAI 

yaitu lembaga yang bersifat independen. Lembaga ini dibentuk berdasarkan 

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,475 

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.476 

Kandungan perlindungan anak yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan 

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan 

berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, 

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dalam rangka melindungi hak asasi anak, KPAI memiliki  tugas:

a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan 

pemenuhan hak anak; 

b. memberi  masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan 

tentang penyelenggaraan perlindungan anak; 

c. Mengumpulkan data dan informasi mengenai perlindungan anak; 

d. Menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan warga  

mengenai pelanggaran hak anak; 

e. Melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak; 

f. Melakukan kerja sama dengan lembaga yang dibentuk warga  

di bidang perlindungan anak; dan 

g. memberi  laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan 

pelanggaran terhadap Undang- Undang tentang Perlindungan Anak.

Dalam hal diperlukan, pemerintah daerah dapat membentuk Komisi 

Perlindungan Anak Daerah (KPAD) atau lembaga lainnya yang sejenis. Tujuannya 

untuk mendukung penyelenggaraan perlindungan anak di daerah. Pembentukan 

KPAD atau lembaga lainnya yang sejenis dapat berkoordinasi dengan KPAI.479 

KPAD tingkat provinsi ditetapkan oleh gubernur. (2) KPAD tingkat kabupaten/

kota ditetapkan oleh bupati/walikota. Dalam melaksanakan tugasnya, KPAD 

tingkat provinsi dan kabupaten/kota berkoordinasi dengan KPAI.480 KPAD atau 

lembaga lainnya yang sejenis dapat meminta bimbingan dan konsultasi kepada 

KPAI tentang penyelenggaraan pengawasan perlindungan anak. Pemberian 

bimbingan dan konsultasi sebagaimana dimaksud mencakup aspek perencanaan, 

pelaksanaan, tata laksana, kualitas, dan pengendalian.l

K. LEMBAGA SWADAYA warga  (LSM)

Lembaga Swadaya warga  (LSM) yaitu organisasi kewarga an 

yang sangat penting dan strategis. Mereka memberi  penguatan dan 

perlindungan terhadap hak asasi manusia, baik dalam bidang hak sipil dan politik 

maupun di bidang hak ekonomi, sosial dan budaya. Sejumlah LSM terkemuka 

yang memiliki komitmen dan konsisten memberi  perlindungan hak asasi 

manusia antara lain: 

1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum negara kita  (YLBHI)

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum negara kita  (YLBHI) didirikan pada 

tanggal 26 Oktober 1970 atas inisiatif Dr. Adnan Buyung Nasution, S.H yang 

didukung penuh oleh Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta saat itu. Dalam 

menjalankan kerja-kerja dan program-programnya, YLBHI menyandarkannya pada 

nilai-nilai dasar organisasi, visi dan misi lembaga yang disusun dan disepakati 

bersama oleh seluruh kantor-kantor LBH di negara kita .

 Bahwa sesungguhnya hak untuk mendapatkan dan menikmati 

keadilan yaitu hak setiap insan dan sebab itu penegakannya, di satu 

pihak, harus terus diusahakan dalam suatu usaha  berkesinambungan 

membangun suatu sistem warga  hukum yang beradab dan 

berperikemanusian secara demokratis, dan di lain pihak, setiap kendala 

yang menghalanginya harus dihapuskan;

 Bahwa keadilan hukum yaitu salah-satu pilar utama dari 

warga  hukum dimaksud yang secara bersama-sama dengan 

keadilan ekonomi, keadilan politik, keadilan sosial dan keadilan 

(toleransi) budaya menopang dan membentuk keadilan struktural yang 

utuh saling melengkapi;

 Bahwa sebab keterkaitan secara struktural ini  di atas, 

usaha  penegakan keadilan hukum dan penghapusan kendala-kendala 

nya harus dilakukan berbarengan dan sejalan secara proporsional dan 

kontekstual dengan penegakan keadilan dan penghapusan kendala-

kendala terkait dalam bidang-bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya;

 Bahwa memperjuangkan dan menghormati Hak-Hak Asasi 

Manusia (HAM) yaitu tugas dan kewajiban yang suci sebab 

HAM yaitu kodrat dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Pengasih 

sehingga tidak seorangpun dapat merampas hak-hak yang melekat 

pada manusia sejak lahir itu;

 Bahwa mengamalkan perbuatan yang baik dan mencegah 

perbuatan yang tercela yaitu inti dari penegakan kebenaran dan hati-

nurani warga  dalam suatu tata-hubungan pergaulan sosial yang 

adil, dan sebab itu, penyuaraan dan penegakan kebenaran di hadapan 

kekuasaan yang menyelewng yaitu sikap dan perbuatan yang 

terpuji;

 Bahwa pemberian bantuan hukum bukanlah sekedar sikap dan 

tindakan kedermawanan tetapi lebih dari itu yaitu bagian yang tak 

terpisahkan dari kerangka usaha  pembebasan manusia negara kita  dari 

setiap bentuk penindasan yang meniadakan rasa dan wujud kehadiran 

keadilan yang utuh, beradab dan berprikemanusiaan;

 Bahwa kebhinekaan warga  dan bangsa negara kita  

mengharuskan suatu pemberian bantuan hukum yang tidak membeda-

bedakan Agama, Kepercayaan, keturunan, sukubangsa, keyakinan 

politik maupun latar-belakang lainnya (prinsip imparsialitas), dan bahwa 

keadilan harus tetap ditegakkan walaupun berseberangan dengan 

kepentingan diri-sendiri, kerabat ataupun teman sejawat.

Misi YLBHI bersama-sama dengan komponen-koponen warga  dan 

Bangsa negara kita  yang lain berhasrat kuat dan akan berusaha  sekuat tenaga 

agar di masa depan dapat: (1) terwujudnya suatu suatu sistem warga  

hukum yang terbina di atas tatanan hubungan sosial yang adil dan beradab/

berperikemanusiaan secara demokratis (A just, humane and democratic sociolegal system); (2) terwujudnya suatu sistem hukum dan administrasi yang mampu 

menyediakan tata-cara (prosedur-prosedur) dan lembaga-lembaga melalui 

mana setiap pihak dapat memperoleh dan menikmati keadilan hukum (A fair 

and transparent institutionalized legal-administrative system ); (3) terwujudnya 

suatu sistem ekonomi, politik dan budaya yang membuka akses bagi setiap pihak 

untuk turut menentukan setiap keputusan yang berkenaan dengan kepentingan 

mereka dan memastikan bahwa keseluruhan sistem itu tetap menghormati dan 

menjunjung tinggi HAM (An open political-economic system with a culture that 

fully respects human rights).

Agar Visi Misi ini  di atas dapat terwujud, YLBHI akan melaksanakan 

seperangkat kegiatan misi berikut ini:

(1) Menanamkan, menumbuhkan dan menyebar-luaskan nilai-nilai 

negara hukum yang berkeadilan, demokratis serta menjungjung tinggi 

HAM kepada seluruh lapisan warga  negara kita  tanpa kecuali;

(2) Menanamkan, menumbuhkan sikap kemandir ian serta 

memberdayakan potensi lapisan warga  yang lemah dan 

miskin sedemikian rupa sehingga mereka mampu merumuskan, 

menyatakan, memperjuangkan serta mempertahankan hak-hak dan 

kepentingan mereka baik secara individual maupun secara kolektif;

(3) Mengembangkan sistem, lembaga-lembaga serta instrumen-

instrumen pendukung untuk meningkatkan efektifitas usaha -usaha  

pemenuhan hak-hak lapisan warga  yang lemah dan miskin;

(4) Memelopori, mendorong, mendampingi dan mendukung program 

pembentukan hukum, penegakan keadilan hukum dan pembaharuan 

hukum nasional sesuai dengan Konstitusi yang berlaku dan Deklarasi 

Umum Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human 

Rights).

(5) Memajukan dan mengembangkan program-program yang 

mengandung dimensi keadilan dalam bidang politik, sosial-ekonomi, 

budaya dan jender, utamanya bagi lapisan warga  yang lemah 

dan miskin.

2. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) berdiri pada tanggal 15 Oktober 

1980 yang diprakarsai sejumlah tokoh nasional, antara lain Emil Salim, Erna 

Witoelar, Zen Rachman dengan fokus gerakan perubahan kebijakan lingkungan 

hidup dengan terus menerus memberi  masukan, kritik, atau melakukan 

protes keras terhadap kebijakan pemerintah, baik yang sudah ada maupun yang 

sedang dibahas.484 

Kampanye terhadap dampak pertambangan di PT. Freeport negara kita  

mengawali langkah WALHI dalam hard campign, di mana sikap tegas dan tidak 

kompromi terhadap perusak lingkungan menjadi ciri khasnya. Selanjutnya pada 

tahun 1988, Badan Eksekutif WALHI mulai mengkampanyekan tentang reformasi 

lingkungan hidup, fokus pada hal-hal makro yang meliputi kebijakan lingkungan 

dan kelembagaan lingkungan. Kebijakan ini  dilandasi oleh pernyataan bahwa 

kebijakan lingkungan harus memenuhi rasa keadilan, melindungi lingkungan, dan 

bisa dinikmati oleh warga . Sedangkan dalam hal kelembagaan didasarkan 

pada kelembagaan yang dibangun dan dikembangkan agar dapat menjalankan 

kebijakan ini . 

Dalam melakukan advokasi, tidak jarang WALHI harus ‘berhadapan’ dengan 

pemerintah atau perusahaan besar. Akhir tahun 1988, saat  pertama kalinya forum 

ini menggugat pemerintah dan memasukkan nama menteri lingkungan hidup 

dalam daftar para tergugat.485  Bulan Desember 1989, WALHI memutuskan untuk 

menggugat enam pejabat negara sebab mengijinkan  pembangunan pabrik pulp 

dan rayon, PT Inti Indorayon Utama di Porsea.  Kasus ini pertama kalinya, sebuah 

LSM melakukan legal standing. Ini yaitu catatan pembaharuan hukum acara 

di negara kita , sebab sebelumnya negara kita  menganut “asas tiada gugatan tanpa 

kepentingan hukum”. Saat itu, kepentingan hukum biasanya dikaitkan dengan 

kepentingan kepemilikan atau kerugian yang dialami langsung oleh penggugat. 

Dalam perkembangannya, setelah beberapa kali WALHI mengajukan gugatan, 

akhirnya legal standing WALHI diterima di pengadilan. Meskipun dari pengalaman 


beberapa sidang di pengadilan, legal standing WALHI selalu saja diperdebatkan. 

Namun, dalam perjalanannya, akhirnya legal standing LSM ini diakomodir dalam 

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, 

yang diartikan sebagai Hak Gugat Organisasi Lingkungan.486

Tercatat ada delapan gugatan yang dilakukan WALHI pada periode 

1988 – 2000, yaitu menggugat  amdal PT. Inti Indorayon Utama (1988), Dana 

Reboisasi (1999), Amdal PT. Freeport negara kita , (1995), Pencemaran air di 

Surabaya (1995), Penyelewengan dana Reboisasi oleh PT. Kiani Kertas (1997), 

Kebakaran Hutan di Sumsel (1998), Proyek Pengembangan Lahan Gambut 1 

Juta Hektar (1999), Hak Atas Informasi atas informasi yang diberikan PT. Freeport 

(2000), Hak Penguasaan Hutan di Palu  (2001), Banjir di Sumatera Utara (2002).  

Dari sepuluh kasus gugatan lingkungan, hanya satu kasus yang 

dimenangkan, yaitu Hak Atas Informasi. Dalam putusannya, majelis hakim 

hanya mengabulkan gugatan WALHI sebagian dan mengakui bahwa PT. Freeport 

negara kita  telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Sebagai salah satu LSM terkemuka di negara kita , WALHI telah berkontribusi 

besar dalam memperjuangkan hak asasi manusia, khususnya hak atas lingkungan 

hidup yang sehat dan bermanfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. 

Sekalipun dalam sejumlah gugatan terhadap negara dan atau korporasi Walhi 

WALHI dikalahkan, tidak mengecilkan urgensi kehadirannya sebagai oraganisasi 

kekuatan warga  dalam mengadvokasi dan melindungi hak asasi manusia.

3. Lembaga Studi dan Advokasi warga  (Elsam)

Lembaga Studi dan Advokasi warga  (ELSAM) atau Institute for 

Policy Research and Advocacy, sebuah organisasi hak asasi manusia, yang 

berdiri di Jakarta, sejak Agustus 1993. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha 

menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik 

serta hak-hak asasi manusia pada umumnya, sebagaimana diamanatkan oleh 

UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Sejak awal, semangat 

perjuangan ELSAM yaitu membangun tatanan politik demokratis di negara kita  

melalui pemberdayaan warga  sipil melalui advokasi dan promosi hak asasi 

manusia. Kegiatan utama Elsam adalah: 

Pertama,  pengarusutamaan hak asasi manusia dalam pengambilan 

kebijakan dengan langkah-langkah: (a) memberi  masukan dan rekomendasi 

bagi lembaga legislatif dan pemerintah; (b) Menyusun catatan kritis melalui 

berbagai policy brief atas suatu rancangan kebijakan; (c) Monitoring pelaksanaan 

fungsi legislasi; (d) Menyediakan pendampingan teknis keahilan bagi lembaga-

lembaga pemerintah; (e) Melakukan berbagai kemitraan strategis dengan berbagai 

lembaga.

Kedua,  studi produksi pengetahuan hak asasi manusia untuk mendukung 

advokasi kebijakan dengan melakukan berbagai penelitian dan produksi 

pengetahuan untuk mendorong berbagai pembentukan kebijakan hak asasi 

manusia berbasis bukti (evidence based policies). Fokus-fokus studi ELSAM 

antara lain: (a) Bisnis dan hak asasi manusia: Mengkaji dampak operasi korporasi 

terhadap hak asasi, termasuk mendorong lahirnya rencana aksi nasional bisnis 

dan hak asasi manusia; (b) Internet dan hak asasi manusia: Meneliti mengenai 

implikasi kemajuan teknologi terhadap perlindungan hak asasi, termasuk isu 

tatakelola konten internet, perlindungan data pribadi, surveilans komunikasi, 

dan keamanan dunia maya; (c) Pengembangan kabupaten/kota hak asasi 

manusia (human rights city): ELSAM secara aktif terlibat dalam pengembangan 

kabupaten/kota hak asasi manusia, dengan mendampingi pemerintah daerah 

dalam menjalankan mandat pemenuhan hak asasi. Sebagai contoh di Sanggau, 

Palu, Wonosobo, dan Sikka.

Ketiga,  mendorong penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa 

lalu secara adil dan bermartabat dengan secara intensif mempromosikan 

pengadopsian pendekatan keadilan transisional untuk menyelesaikan berbagai 

kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu. Tujuannya 

untuk memastikan keadilan dan pemulihan bagi korbannya, serta mencegah 

keberulangan, caranya: (a) Mempromosikan kebijakan pengungkapan kebenaran 

dan pemulihan; (b) Mendukung reformasi kelembagaan, khususnya penegak 

hukum dan institusi keamanan; (c) Pendampingan organisasi korban untuk 

memperkuat kapasitas advokasi; (d)  Mewakili korban dalam proses litigasi 

kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu.

Keempat,  ELSAM juga melakukan pendidikan hak asasi manusia seperti: 

(a) Kursus hak asasi manusia untuk pengacara; (b) Penyelenggaraan pelatihan 

dengan topik-topik khusus, seperti penanganan kasus hak asasi manusia 

yang berat, hak asasi manusai di wilayah konflik, kebebasan beragama dan 

berkeyakinan, dan penguatan kapasitas aparat penegak hukum; (c) Pelatihan 

untuk mempromosikan penggunaan pendekatan berbasis hak, bagi pengambil 

kebijakan, termasuk pemerintah daerah, dan sektor bisnis.

4 . Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) berdiri 

pada 20 Maret 1998 oleh sejumlah tokoh warga  dan organisasi warga  

sipil. Visi Kontras terwujudnya demokrasi yang berbasis pada keutuhan kedaulatan 

rakyat melalui landasan dan prinsip rakyat yang bebas dari ketakutan, penindasan, 

kekerasan dan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia atas apapun, 

termasuk yang berbasis jender.

Dengan visi ini , maka misi Kontras yaitu memajukan kesadaran 

rakyat akan pentinnya penghargaan hak asasi manusia, khususnya kepekaan 

terhadap berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran berat hak asasi manusia 

sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan negara. Memperjuangkan keadilan 

dan pertanggungjawaban negara atas berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran 

berat hak asasi manusia. Ini dilakukan melalui berbagai usaha  advokasi menuntut 

pertanggungjawaban negara, serta mendorong secara konsisten perubahan pada 

system hukum dan politik yang berdimensi penguatan dan perlindungan rakyat dari 

bentuk-bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia dari bentuk-bentuk 

kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Dalam perjalanannya, KontraS tidak hanya menangani masalah-masalah 

penculikan dan penghilangan orang secara paksa, tetapi juga diminta oleh 

warga  untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik 

secara vertikal di  Aceh, Papua dan Timor Timur, maupun secara horizontal di 

Maluku, Sambas, Sampit dan Poso. Selanjutnya berkembang menjadi organisasi 

independen yang banyak berpartisipasi dalam membongkar praktik kekerasan 

hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan.

L. PERS

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers 

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pers yaitu lembaga sosial dan wahana 

komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, 

memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi 

baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan 

grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan memakai media cetak, media 

elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, 

legislatif, dan yudikatif. Walaupun berada di luar sistem politik formal, keberadaan 

pers memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik 

sekaligus menjadi alat kontrol sosial. Karenanya, kebebasan pers menjadi salah 

satu tolok ukur kualitas demokrasi di sebuah negara.

Dalam iklim kebebasan pers, dapat dikatakan bahwa pers bahkan 

memiliki  peran lebih kuat dari ketiga pilar demokrasi lain yang berpotensi 

melakukan abuse of power. Demokrasi akan berkembang dengan baik jika pers 

juga berkembang dengan baik. sebab itu, pers harus menjaga hati nurani untuk 

menjaga keberlangsungan demokrasi. Sebagai pilar keempat demokrasi, pers juga 

telah dijamin kemerdekaannya dan diakui keberadaannya oleh UUD 1945. Oleh 

sebab itu, pers diharapkan bisa menjalankan fungsi kontrol bila melihat terjadi 

penyimpangan terhadap demokrasi dan hukum. 

Kemerdekaan pers yang telah dicapai di era reformasi ini yaitu 

salah satu wujud kedaulatan rakyat. Ia menjadi unsur yang sangat penting 

untuk menciptakan kehidupan berwarga , berbangsa dan bernegara 

yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat 

sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 harus dijamin dan 

diperjuangkan terus menerus sebagai bagian dari memperjuangkan demokrasi. 

Dalam kehidupan berwarga , berbangsa, dan bernegara yang demokratis, 

kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak 

memperoleh informasi, yaitu hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang 

diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan 

umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan 

informasi juga sangat penting untuk mewujudkan hak asasi manusia, yang dijamin 

dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik negara kita  Nomor 

XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain menyatakan bahwa setiap 

orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam 

PBB tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi : 

“Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki  dan mengeluarkan 

pendapat; dalam ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa 

gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi 

dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang 

batas-batas wilayah”. 

Pers juga melaksanakan kontrol sosial untuk mencegah terjadinya 

penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun 

penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Dalam melaksanakan fungsi, hak, 

kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, sebab itu 

dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh warga .

Pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, 

dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, 

dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang 

profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta 

bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun. Peran pers berdasar Pasal 

6  yaitu melaksanakan peranannya sebagai berikut: 

a. Memenuhi hak warga  untuk mengetahui; 

b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya 

supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat 

kebhinekaan; 

c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, 

akurat dan benar; 

d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal 

yang berkaitan dengan kepentingan umum; 

e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran;

Pers juga menjalankan fungsi kontrol perilaku, kritik, koreksi, dan saran 

terhadap hal-hal yang menjadi keprihatinan publik. Dengan adanya peran pers 

sebagai sebuah mekanisme pengawasan terhadap pemerintah, jika terjadi 

kesalahan pada pemerintah, pers juga mampu menggerakkan masa untuk 

dapat melakukan perubahan. Dengan posisi dan perannya yang sangat strategis 

sebagai kekuatan kontrol, penyerap dan pemberi informasi kepada warga , 

maka pers memiliki kekuatan pula sebagai pelindung hak asasi manusia dalam 

mencegah potensi pelanggaran serta memberitakan adanya pelanggaran hak 

asasi manusia. Telah banyak kontribusi pers dalam mencegah pelanggaran hak 

asasi manusia, mengawal proses hukum atas pelanggaran hak asasi manusia 

serta memberitakan pelbagai kasus pengabaian hak asasi manusia oleh negara, 

agen-agen negara atau korporasi.