au terdakwa yang dikenakan penahanan berhak
menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan dalam
KUHAP (Pasal 57).
4. Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak
menghubungi atau menerima kunjunngan dokter pribadinya untuk
kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses
perkara maupun tidak (Pasal 58).
5. Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak
diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang
berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan, kepada keluarga atau orang lain yang serumah dengan
tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya
dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan
bantuan hukum atau jaminana bagi penangguhannya (Pasal 59).
6. Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima
kunjungan dari pihak yang memiliki hubungan kekeluargaan atau
lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan
bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatakan
bantuan hukum (Pasal 60).
7. Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan
perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima
kunjungan sanak keluraganya dalam hal yang tidak ada hubungannya
dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan
pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan (Pasal 61).
8. Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan
perantaraan penasihat hukumnya dan menerima surat dari penasihat
hukumnya dan sanak keluragan setiap kali yang diperlukan olehnya,
untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat
tulis-menulis (Pasal 62).
9. Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima
kunjungan dari rohaniawan (pasal 63).
10. Tersangka tau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan
mengajukan saksi dan atau seorang yang memiliki keahlian
khusus guna memberi keterangan yang menguntungkan bagi
dirinya (Pasal 65).
Dengan demikian, jelas bahwa peran Kejaksaan dalam perlindungan hak
asasi manusia dilakukan dalam bentuk bekerja cepat dan profesional mendakwa
dan menuntut pelaku kejahatan. Hal itu dilakukan semata-mata sebagai wujud
tanggungjawabnya mewakili negara menjaga dan menegakkan hak-hak dan
kebebasan manusia untuk dan atas nama penegakan hukum. Kejaksaan tetapi
juga wajib menegakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam penegakan
hukum ini sehingga kejaksaan benar-benar tampil sebagai kekuatan negara
yang fair, adil, transparan dan objektif, dan tidak menjadi “pisau bermata dua”.
Di satu sisi melindungi hak asasi korban, tetapi pada saat yang sama melanggar
hak asasi pelaku.
D. PENGADILAN
Pengadilan yaitu tempat mengadili dan membantu para pencari keadilan
agar tercapai suatu peradilan. Pengadilan yaitu badan atau instansi resmi yang
melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara. Bentuk dari sistem peradilan yang dilaksanakan di pengadilan yaitu
sebuah forum publik yang resmi dan dilakukan berdasarkan hukum acara yang
berlaku di negara kita .
Pasal 4 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang
dan Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat, dan biaya ringan. Lembaga ini yaitu tempat dilakukannya proses
pemeriksaan, proses mengadili dan memutus suatu perkara, baik perkara pidana
maupun perdata. Semua pelaku kekuasaan di dalam Pengadilan, yaitu jaksa
selaku penuntut umum, pengacara selaku penasehat hukum atau kuasa hukum,
para pihak (penggugat/tergugat, pemohon/termohon), serta dan terutama hakim
sebagai pengadil wajib, memastikan proses persidangan berlangsung fair/objektif.
Dalam perkara pidana, maka prinsip peradilan cepat harus dijalankan
sesuai ketentuan KUHAP, yaitu hak segera diadili oleh pengadilan (Pasal 50
ayat (3)). Begitu pula hak-hak lainnya seperti hak terdakwa untuk diadili di
sidang pengadilan yang terbuka untuk umum (Pasal 64); hak untuk mengajukan
saksi dan ahli yang a de charge (Pasal 65); hak agar tidak dibebani kewajiban
pembuktian (Pasal 66); hak untuk mengajukan banding, kasasi dan melakukan
peninjauan kembali (Pasal 67, Pasal 233, Pasal 244 dan Pasal 263 ayat (1));
hak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 68, Pasal 95 ayat (1), dan
Pasal 97 ayat (1) serta hak mengajukan keberataan tantang tidak berwenang
mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan
harus dibatalkan (Pasal 156 ayat (1).
Begitu pula hak-hak yang dijamin dalam Pasal 14 Kovenan hak sipil politik,
yaitu: hak untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan
pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri; untuk
diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya; untuk diadili dengan kehadirannya,
dan untuk membela diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya
sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak memiliki pembela;
dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentingan keadilan, dan tanpa
membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya; untuk
memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang memberatkannya dan
meminta dihadirkan dan diperiksanya saksi-saksi yang meringankannya, dengan
syarat-syarat yang sama dengan saksi-saksi yang memberatkannya; untuk
mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah jika ia tidak mengerti
atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan; untuk
tidak dipaksa memberi kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa
mengaku bersalah.
Khusus terhadap hakim dalam perkara apa saja, wajib menjaga dan
menegakkan independensi dan imparsialitasnya. Tujuannya agar proses
peradilan di bawah kekuasaan dan kendali hakim berjalan fair dalam proses dan
putusannya. Hakim harus memahami dan menyadari penuh bahwa independensi
hakim itu bukan hak (rights), tetapi kewajiban (obligation). Pekerjaan hakim
-- 343342 -
dibatasi oleh asas-asas umum berperkara yang baik, oleh hukum materiil dan
formil yang berlaku, oleh kode etik, hak-hak keadilan para pihak, komitmen
moral dan ketuhanan para hakim. Semua itu harus dipertanggungjawabkan dan
diperjuangkan untuk dijaga terus menerus sepanjang hakim menjalani profesinya.
Independensi bukan kekebalan (imunitas). Independensi yaitu
kemerdekaan, kebebasan dan kemandirian kognisi (berpikir) dan afeksi (merasa)
hakim terhadap subjek dan objek perkara, beserta elemen-elemen lain di luar
dirinya. Dengan begitu, hakim dapat memeriksa, mengadili dan memutus perkara
dengan baik dan benar berdasar hukum, fakta dan nurani yang bersih. Etik dan
hukum dibuat untuk menjaga dan mencegah reputasi profesi mulia dan terhormat
itu agar tidak diselewengkan. Akan ada tindakan jika hakim melakukan
penyelewengan atas pekerjaan yang terhormat itu. Atas dasar ini , tentu
aneh bila hakim yang melakukan putusan janggal kemudian dibiarkan tanpa ada
pertanggungjawaban etika profesi.
Di samping independensi, hakim juga harus memastikan dirinya bahwa
imparsial (tidak memihak). Imparsilitas yaitu ketidakberpihakan, kenetralan,
tanpa bias, tanpa prasangka dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu
perkara. Hakim harus dipastikan imparsial terhadap subjek hukum dan objek
hukum perkara guna mencegah konflik kepentingan, mencegah keberpihakan,
serta menjaga kehormatan dan kewibawaan pengadilan.
Undang-undang secara terbatas sudah mengaturnya dalam Pasal 17 ayat
5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Disana
disebutkan bahwa seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari
persidangan, jika ia memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung
dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun
atas permintaan pihak yang berperkara. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat ini , putusan dinyatakan tidak
sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi
administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, dan perkara sebagaimana dimaksud diperiksa kembali dengan susunan
majelis hakim yang berbeda.
Dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dinyatakan bahwa hakim
dalam menjalankan tugas yudisialnya dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak
suka, keberpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin,
agama, asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia, atau
status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari
keadilan atau pihakpihak yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui
perkataan maupun tindakan (point 1:5).
Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara jika memiliki konflik
kepentingan, baik sebab hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-
hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik
kepentingan (point 5:2). Hakim yang memiliki konflik kepentingan wajib
mengundurkan diri dari memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan.
Keputusan untuk mengundurkan diri harus dibuat seawal mungkin untuk
mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul terhadap lembaga peradilan
atau persangkaan bahwa peradilan tidak dijalankan secara jujur dan tidak berpihak
(point 5:3).
Ketaatan terhadap hukum dan kode etik peradilan juga dimaksudkan untuk
kehormatan pengadilan. Dalam salah satu alenia pada pembukaan Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim disebutkan bahwa kehormatan yaitu kemuliaan
atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dengan sebaik-
baiknya oleh para hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan. Kehormatan
hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan
yang melandasi, atau keseluruhan proses pengambilan keputusan. Implementasi
terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim dapat menimbulkan kepercayaan,
atau ketidakpercayaan warga kepada putusan pengadilan. Oleh sebab itu,
hakim dituntut untuk selalu berperilaku yang berbudi pekerti luhur. Hakim yang
berbudi pekerti luhur dapat menunjukkan bahwa profesi hakim yaitu suatu
kemuliaan (officium nobile).
E. KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (KOMNAS HAM)
Pada mulanya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
didirikan dengan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia. Sejak 1999, keberadaan Komnas HAM didasarkan
pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Berdasarkan Pasal 75 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini , Komnas HAM bertujuan: (a)
Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia
sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Piagam PBB, serta Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia; dan (b) Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak
asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia negara kita seutuhnya dan
kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Selanjutnya dalam Pasal 89 ayat (3), Komnas HAM bertugas dan
berwenang melakukan:
a. Pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan
laporan hasil pengamatan ini ;
b. Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam
warga yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga
ada pelanggaran hak asasi manusia;
c. Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang
diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya;
d. Pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan
kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan;
e. Peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap
perlu;
f. Pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberi keterangan
secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai
dengan aslinya dengan persetujuan ketua pengadilan;
g. Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan
tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu
dengan persetujuan ketua pengadilan; dan
h. Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan ketua pengadilan
terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan.
Bilamana dalam perkara ini ada pelanggaran hak asasi
manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh
pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM ini wajib
diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
jika seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak
memberi keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan ketua
pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan (Pasal 95). Selain kewenangan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Komnas HAM juga memiliki wewenang
berwenang melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang
berat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam melakukan penyelidikan ini, Komnas HAM
dapat membentuk Tim Ad Hoc yang terdiri atas Komisi Hak Asasi Manusia dan
unsur warga .
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis, Komnas HAM mendapatkan tambahan kewenangan
berupa Pengawasan. Dimana pengawasan didefinisikan sebagai serangkaian
tindakan yang dilakukan oleh Komnas HAM dengan maksud untuk mengevaluasi
kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah yang dilakukan secara berkala
atau insidentil dengan cara memantau, mencari fakta, menilai guna mencari dan
menemukan ada tidaknya diskriminasi ras dan etnis yang ditindaklanjuti dengan
rekomendasi.
F. MAHKAMAH KONSTITUSI
Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu lembaga tinggi negara, penyelenggara
kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung (MA) yang
dibentuk berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Dalam pasal ini
dinyatakan bahwa, “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Berdasarkan ketentuan ini , MK yaitu salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman selain MA. Kekuasaan kehakiman yaitu kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Dengan demikian, MK yaitu suatu lembaga peradilan, sebagai cabang
kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi
kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.
Selanjutnya dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali
dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003, kewenangan MK yaitu menguji undang-undang terhadap UUD
1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal
24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban MK yaitu memberi keputusan
atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Dalam konteks perlindungan hak asasi manusia, kewenangan menguji undang-
undang454 terhadap UUD455 yang dimiliki oleh MK, yaitu wujud kewenangan
melindungi hak asasi manusia sebab pelanggaran hak asasi manusia tidak saja
selalu dalam bentuk tindakan langsung dan nyata yang dilakukan oleh aparat
454 Sri Soemantri mengemukakan hak menguji materiil yaitu suatu wewenang untuk
menyelidiki dan kemudian menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau
bertentangan dengan pera-turan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu
(verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Baca dalam Sri Soemantri,
Hak Uji Material di negara kita , Alumni, Bandung, 1997 hal. 11.
455 Pasal 24C ayat (1) UUD 1945: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD.
negara atau korporasi, tetapi juga pelanggaran di dalam dan melalui peraturan
perundang-undangan yang secara nyata atau potensial melanggar hak asasi
manusia.
Telah banyak peraturan perundang-undangan yang dibatalkan oleh MK
sebab bertentangan dengan UUD 1945, terutama pasal-pasal perlindungan hak
asasi manusia. Dalam catatan Saldi Isra456, beberapa putusan MK yang yaitu
perlindungan terhadap hak asasi manusia antara lain: (1) Putusan No 011-017/
PUU-VIII/2003 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; (2) Putusan No 6-13-20/PUU-VIII/2010
tentang pengujian Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik negara kita ; (3) Putusan Nomor 55/PUU-VIII/2010 tentang pengujian
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; (4) Putusan Nomor
27/PUU-IX/2011 tentang pengujian Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Dalam analisisnya terhadap Putusan No. 011-017/PUU-VIII/2003, Saldi
Isra457 menyatakan bahwa hak untuk memajukan diri, hak atas pengakuan dan
jaminan atas kepastian hukum, hak untuk mendapatkan kesempatan yang
sama dalam pemerintahan dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif yaitu hak asasi manusia yang dijamin dan dilindungi melalui
Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), dan Pasal 28 I Ayat
(2). Sementara, melalui ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Noor 12
Tahun 2003, yang berisi larangan menjadi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi,
DPRD Kabupaten atau Kota bagi mereka yang bekas anggota organisasi terlarang
Partai Komunis negara kita , termasuk organisasi massanya, atau bukan orang
yang terlibat langsung atau pun tak langsung dalam G.30.S/ PKI atau organisasi
terlarang lainnya, hak-hak asasi yang dijamin UUD 1945 di atas justru dilanggar.
Di sini, putusan MK menyatakan tindakan diskriminasi berdasarkan
perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik tidak dibenarkan. Dalam
ranah sipil dan politik, hak konstitusional warga negara untuk memilih dan
dipilih (right to vote and right to be candidate) yaitu hak yang dijamin oleh
konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan
penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud yaitu
pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.
Atas dasar pertimbangan ini , MK menyatakan Pasal 60 huruf
g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945.
Berdasarkan putusan ini , hak warga negara yang dicap pernah terlibat
baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam G 30S/PKI telah dipulihkan.
Putusan MK ini dinilai sebagai sebuah tonggak baru dalam sejarah negara kita
yang bisa jadi akan memiliki implikasi-implikasi luas bagi masa depan demokrasi
di negara kita .458
Sedangkan dalam putusan terhadap kewenangan Kejaksaan Agung
melarang pengedaran buku seperti tertuang dalam Putusan No 6-13-20/PUU-
VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik negara kita , MK menyatakan dalam pertimbangannya bahwa
pelarangan pengedaran buku-buku sebagai suatu sumber informasi, penyitaan
tanpa proses pengadilan, yaitu tindakan yang tidak sejalan bahkan
bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945.459
Selain itu, pemberian kewenangan untuk melakukan pelarangan atas
sesuatu yang yaitu pembatasan hak asasi tanpa melalui due process
of law, jelas tidak termasuk dalam pengertian pembatasan kebebasan seperti
yang dimaksud Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. Menurut MK, pengawasan atas
peredaran barang cetakan dapat dilakukan kejaksaan melalui usaha penyelidikan,
penyidikan, penyitaan, penggeledahan, penuntutan, dan penyidangan sesuai
dengan due process of law, yang berujung pada putusan pengadilan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap, yang kemudian dieksekusi kejaksaan.
Atas dasar pertimbangan itu, MK menyatakan Pasal 30 ayat (3) huruf c
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indoneia
bertentangan dengan UUD 1945.460 Berdasarkan putusan ini , hak seseorang
untuk bebas mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan serta hak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi
sebagaimana dijamin UUD 1945 telah dijaga dan dilindungi dari penyelenggaraan
kekuasaan negara secara sewenang-wenang.461
G. OMBUDSMAN REPUBLIK negara kita (ORI)
Ombudsman Republik negara kita (yang selanjutnya disebut Ombudsman)
yaitu lembaga negara yang memiliki kewenangan mengawasi penyelenggaraan
pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan
pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta
atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu
yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan
dan belanja Negara dan/atau anggran pendapatan dan belanja daerah. Hal itu
termaktub secara jelas dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008
Tentang Ombudsman Republik negara kita .
Pasal 2 undang-undang ini menyataka bahwa, “Ombudsman
yaitu lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan
organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, serta dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan
lainnya.” Visi Ombudsman yaitu menjadi lembaga negara yang mampu
melaksanakan fungsi pengawasan sehingga warga dapat memperoleh
pelayanan sebaik-baiknya dari penyelenggara negara, penyelenggara
pemerintahan, badan ataupun perorangan yang berkewajiban memberi pelayanan
publik.
Sedangkan misinya adalah: (1) Melakukan tindakan pengawasan,
menyampaikan rekomendasi serta mencegah maladministrasi dalam pelaksanaan
pelayanan publik; (2) Mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan agar
lebih efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih serta bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme; (3) Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum
warga dan supremasi hukum yang berintikan pelayanan, kebenaran serta
keadilan.
Dalam praktik penyelenggaraan pelayanan publik oleh khususnya aparat
birokrasi pemerintahan seringkali melakukan pelanggaran terhadap prinsip dan
norma-norma pelayanan publik yang baik (maladminisitrasi), padahal pelayanan
publik yang baik yaitu hak warga atau bagian dari perlindungan hak
asasi manusia warga negara. Asas pelayanan publik yang diatur dalam Pasal 4
UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan pelayanan publik adalah:
a. Kepentingan umum;
b. Kepastian hukum;
c. Kesamaan hak;
d. Keseimbangan hak dan kewajiban;
e. Keprofesionalan;
f. Partisipatif;
g. Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
h. Keterbukaan;
i. Akuuntabilitas;
j. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
k. Ketepatan waktu; dan
l. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Sementara dalam Pasal 34 menegaskan bahwa pelaksana penyelenggaraan
pelayanan publik harus berperilaku sebagai berikut:
a. Adil dan tidak diskriminatif;
b. Cermat;
c. Santun dan ramah;
d. Tegas, andal, dan tidak memberi putusan yang berlarut-larut;
e. Profesional;
f. Tidak mempersulit;
g. Patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar;
h. Menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi
penyelenggara;
i. Tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
j. Terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari
benturan kepentingan;
k. Tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas
pelayanan publik;
l. Tidak memberi informasi yang salah atau menyesatkan dalam
menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi
kepentingan warga ;
m. Tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan
yang dimiliki;
n. Sesuai dengan kepantasan; dan
o. Tidak menyimpang dari prosedur
Hak warga dalam pelayanan publik telah diatur secara jelas dan
eksplisit melalui Pasal 18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, sebagai berikut:
a. Mengetahui kebenaran isi standar pelayanan;
b. Mengawasi pelaksanaan standar pelayanan;
c. Mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan;
d. Mendapat advokasi, perlindungan, dan/atau pemenuhan pelayanan
e. Memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki
pelayanan jika pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan
standar pelayanan;
f. Memberitahukan kepada pelaksana untuk memperbaiki pelayanan
jika pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar
pelayanan;
g. Mengadukan pelaksana yang melakukan penyimpangan standar
pelayanan dan/ atau tidak memperbaiki pelayanan kepada
penyelenggara dan ombudsman;
h. Mengadukan penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar
pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina
penyelenggara dan ombudsman; dan
i. Mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan
pelayanan.
Perilaku maladministrasi menurut Pasal 1 butir 3 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2008 yaitu yaitu perilaku atau perbuatan melawan hukum,
melampaui wewenang, memakai wewenang untuk tujuan lain dari yang
menjadi tujuan wewenang ini , termasuk kelalaian atau pengabaian
kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh
penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil
dan/atau immateriil bagi warga dan orang perseorangan. Maladministrasi
yang dilakukan oleh birokrat yaitu:462
1. Ketidak jujuran (dishonesty), berbagai tindakan ketidak jujuran
antara lain: memakai barang publik untuk kepentingan pribadi,
menerima uang dll.
2. Perilaku yang buruk (unethical behavior), tindakan tidak etis ini
yaitu tindakan yang mungkin tidak bersalah secara hukum, tetapi
melanggar etika sebagai administrator.
3. Mengabaikan hukum (disregard of law), tindakan mengabaikan
hukum mencakup juga tindakan menyepelekan hukum untuk
kepentingan dirinya sendiri, atau kepentingan kelompoknya.
4. Favoritisme dalam menafsirkan hukum, tindakan menafsirkan hukum
untuk kepentingan kelompok, dan cenderung memilih penerapan
hukum yang menguntungkan kelompoknya.
5. Perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai, tindakan ini cenderung
ke perlakuan pimpinan kepada bawahannya berdasarkan
faktor like and dislike . Yaitu orang yang disenangi cenderung
mendapatkan fasilitas lebih, meski prestasinya tidak begus.
Sebaliknya untuk orang yang tidak disenangi cenderung diperlakukan
terbatas.
6. Inefisiensi bruto (gross inefficiency), yaitu kecenderungan suatu
instansi publik memboroskan keuangan negara.
7. Menutup-nutupi kesalahan, kecenderungan menutupi kesalahan
dirinya, kesalahan bawahannya, kesalahan instansinya dan menolak
di liput kesalahannya.
8. Gagal menunjukkan inisiatif, kecenderungan tidak berinisiatif tetapi
menunggu perintah dari atas, meski secara peraturan memungkinkan
dia untuk bertindak atau mengambil inisiatif kebijakan.
Dalam kaitan perlindungan hak asasi manusia di dalam pelayanan publik
ini, Ombudsman berwenang:463
a. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pelapor,
terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai laporan yang
disampaikan kepada Ombudsman;
b. Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada
pada pelapor ataupun terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu
laporan;
c. Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang
diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan laporan dari
instansi terlapor;
d. Melakukan pemanggilan terhadap pelapor, terlapor, dan pihak lain
yang terkait dengan laporan;
e. Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas
permintaan para pihak;
f. Membuat rekomendasi mengenai penyelesaian laporan, termasuk
rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada
pihak yang dirugikan;
g. Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan,
dan rekomendasi.
Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ombudsman
berwenang: (a) menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau
pimpinan penyelenggara negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan
organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik; (b) menyampaikan saran kepada
DPR dan/atau Presiden, DPRD dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-
undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam
rangka mencegah maladministrasi.
Guna mewujudkan kewenangan ini , Ombudsman bertugas:
(1) Menerima laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan
pelayanan publik; (2) Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan
maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; (3) Melakukan usaha
pencegahan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
H. LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK)
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yaitu salah satu
lembaga negara yang lahir di era reformasi atas dasar banyaknya kasus
pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi; korban mengalami kekerasan,
kriminalisasi, tekanan fisik atau psikis akibat usaha menuntut keadilan; serta
adanya saksi dan pelapor yang mengalami ancaman, kekerasan serta kesulitan
ekonomi, dan lain-lain. Dalam kaitan ini , berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006, LPSK bertugas dan berwenang:
1. Menerima permohonan saksi dan/atau korban untuk perlindungan
(Pasal 29).
2. memberi keputusan pemberian perlindungan saksi dan/atau
korban (Pasal 29).
3. memberi perlindungan kepada saksi dan/atau korban (Pasal 1).
4. Menghentikan program perlindungan saksi dan/atau korban (Pasal
32).
5. Mengajukan ke pengadilan (berdasarkan keinginan korban) berupa
hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia
yang berat; dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi
tanggung jawab pelaku tindak pidana (Pasal 7).
6. Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang
mewakili korban untuk bantuan (Pasal 33 dan 34).
7. Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang
diperlukan diberikannya bantuan kepada saksi dan/atau korban
(Pasal 34).
8. Bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dalam
melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan (Pasal 39).
Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, LPSK
melaksanakan:465
a. Merumuskan kebijakan di bidang perlindungan saksi dan korban;
b. Melaksanakan perlindungan terhadap saksi dan korban;
c. Melaksanakan pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan kepada
saksi dan atau korban;
d. Melaksanakan diseminasi dan hubungan warga ;
e. Melaksanakan kerjasama dengan instansi dan pendidikan pelatihan;
f. Melaksanakan pengawasan, pelaporan, penelitian dan pengembangan;
g. Melaksanakan tugas lain berkaitan dengan pelindungan saksi dan
korban.
Tata cara memperoleh perlindungan LPSK sebagai berikut:466
a. Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri
maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan
permohonan secara tertulis kepada LPSK;
b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh)
hari sejak permohonan perlindungan diajukan.
Dalam hal LPSK menerima permohonan saksi dan/atau korban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, saksi dan/atau korban menandatangani
pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan
korban. Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi
dan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. Kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberi kesaksian dalam
proses peradilan;
b. Kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan yang
berkenaan dengan keselamatannya;
c. Kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan dengan
cara apa pun dcngan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama
ia berada dalam perlindungan LPSK;
d. Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak memberitahukan kepada
siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK;
dan
e. Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
Sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30, pada Pasal 31 dinyatakan bahwa LPSK wajib memberi
perlindungan sepenuhnya kepada saksi dan/atau korban, termasuk keluarganya.468
Perlindungan atas keamanan saksi dan/atau korban hanya dapat dihentikan
berdasarkan alasan:469
a. Saksi dan/atau korban meminta agar perlindungan terhadapnya
dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;
b. Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan
perlindungan terhadap saksi dan/atau korban berdasarkan atas
permintaan pejabat yang bersangkutan;
c. Saksi dan/atau korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis
dalam perjanjian; atau
d. LPSK berpendapat bahwa saksi dan/atau korban tidak lagi
memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan.
(2) Penghentian perlindungan keamanan seorang saksi dan/atau
korban harus dilakukan secara tertulis.
Perjanjian perlindungan LPSK terhadap saksi dan/atau korban tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan
mempertimbangkan syarat sebagai berikut:
a. Sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban;
b. Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban;
c. Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau
korban;
d. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau
korban
I. KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
(KOMNAS PEREMPUAN)
Komnas Perempuan dibentuk dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor
65 Tahun 2005. Dalam Pasal 1 Perpres ini dinyatakan bahwa, “dalam
rangka pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan terhadap perempuan
serta penghapusan segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan terhadap
perempuan, dibentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.”
Kekerasan terhadap perempuan yaitu perwujudan ketimpangan historis
dalam hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Kekerasan sendiri
yaitu hambatan yang bersifat struktural bagi tercapainya keadilan sosial,
perdamaian dan pengembangan diri yang berkelanjutan. Kekerasan terhadap
perempuan yaitu suatu fenomena yang sudah ada sejak lama, walaupun
tiap zaman memunculkan kekhasannya sendiri-sendiri mengikuti kondisi sosial,
politik, ekonomi dan budaya yang berlaku.470
Fokus kerja Komnas Perempuan didasari pada penilaian bahwa persoalan
mutakhir tentang kekerasan terhadap perempuan dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Ada kecenderungan besar pada tahun-tahun yang akan datang, yaitu semakin
meningkatnya feminisasi kemiskinan, berkembangnya semangat fundamentalisme
dan primordialisme yang didukung oleh militerisme, serta masih langgengnya
impunitas para pelaku pelanggaran hak asasi manusia berat, termasuk yang
memicu korban perempuan. Visi Komnas Perempuan yaitu terciptanya
tatanan, relasi sosial dan pola perilaku yang kondusif untuk mewujudkan
kehidupan yang menghargai keberagaman dan bebas dari rasa takut, tindakan
atau ancaman dan diskriminasi sehingga kaum perempuan dapat menikmati
hak asasinya sebagai manusia.471 Sedangkan misi Komnas Perempuan, yaitu472:
1. Meningkatkan usaha pencegahan dan penanggulangan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan mendorong pemenuhan hak
korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan dalam berbagai
dimensi, termasuk hak ekonomi, sosial, politik, budaya yang berpijak
pada prinsip hak atas integritas diri;
2. Meningkatkan kesadaran publik bahwa hak-hak perempuan yaitu
hak asasi manusia dan kekerasan terhadap perempuan yaitu
pelanggaran hak asasi manusia;
3. Mendorong penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan
kebijakan yang kondusif serta membangun sinergi dengan lembaga
pemerintah dan lembaga publik lain yang memiliki wilayah kerja
atau yuridiksi yang sejenis untuk pemenuhan tanggungjawab negara
dalam penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan;
4. Mengembangkan sistem pemantauan, pendokumentasian dan
evaluasi atas fakta kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran
hak asasi perempuan atas kinerja lembaga-lembaga negara serta
warga dalam usaha pemenuhan hak perempuan, khususnya
korban kekerasan;
5. Memelopori dan mendorong kajian-kajian yang mendukung
terpenuhinya mandat Komnas Perempuan;
6. Memperkuat jaringan dan solidaritas antar komunitas korban, pejuang
hak-hak asasi manusia, khususnya di tingkat lokal, nasional dan
internasional;
7. Menguatkan kelembagaan Komnas Perempuan sebagai komisi
nasional yang independen, demokratis, efektif, efisien, akuntabel
dan responsif terhadap penegakan hak asasi perempuan.
Komnas Perempuan bertujuan: a. mengembangkan kondisi yang
kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan
penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di negara kita ; b. meningkatkan usaha
pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
dan perlindungan hak-hak asasi manusia perempuan. Tugas Komnas Perempuan:
a. Menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan negara kita dan usaha -usaha pencegahan
dan penanggulangan serta penghapusan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan;
b. Melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta berbagai instrumen
internasional yang relevan bagi perlindungan hak-hak asasi manusia
perempuan;
c. Melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan
pendokumentasian tentang segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan dan pelanggaran hak asasi manusia perempuan serta
penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan
langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan
penanganan;
d. memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga
legislatif dan yudikatif serta organisasi-organisasi warga
guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum
dan kebijakan yang mendukung usaha -usaha pencegahan dan
penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
negara kita serta perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak-hak
asasi manusia perempuan;
e. Mengembangkan kerja sama regional dan internasional guna
meningkatkan usaha -usaha pencegahan dan penanggulangan segala
bentuk kekerasan terhadap perempuan negara kita serta perlindungan,
penegakan dan pemajuan hak-hak asasi manusia perempuan.
Isu-isu prioritas yang ditangani oleh Komnas Perempuan mencakup
sebelas (11) isu, yaitu:
1. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks kekerasan seksual.
2. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pelanggaran hak
asasi manusai masa lalu dan konflik.
3. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pemiskinan
perempuan.
4. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks penguatan
mekanisme hak asasi manusia bagi perempuan.
5. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pembela hak asasi
manusia.
6. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks perkawinan dan
keluarga.
7. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks politisasi identitas
dan kebijakan berbasis moralitas dan agama.
8. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks praktik budaya.
9. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pemilu.
10. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks rentan diskriminasi.
11. Kekerasan terhadap perempuan dalam konteks tahanan dan serupa
tahanan.
J. KOMISI PERLINDUNGAN ANAK negara kita (KPAI)
Komisi Perlindungan Anak negara kita yang selanjutnya disingkat KPAI
yaitu lembaga yang bersifat independen. Lembaga ini dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,475
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.476
Kandungan perlindungan anak yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dalam rangka melindungi hak asasi anak, KPAI memiliki tugas:
a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan
pemenuhan hak anak;
b. memberi masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan
tentang penyelenggaraan perlindungan anak;
c. Mengumpulkan data dan informasi mengenai perlindungan anak;
d. Menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan warga
mengenai pelanggaran hak anak;
e. Melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak;
f. Melakukan kerja sama dengan lembaga yang dibentuk warga
di bidang perlindungan anak; dan
g. memberi laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan
pelanggaran terhadap Undang- Undang tentang Perlindungan Anak.
Dalam hal diperlukan, pemerintah daerah dapat membentuk Komisi
Perlindungan Anak Daerah (KPAD) atau lembaga lainnya yang sejenis. Tujuannya
untuk mendukung penyelenggaraan perlindungan anak di daerah. Pembentukan
KPAD atau lembaga lainnya yang sejenis dapat berkoordinasi dengan KPAI.479
KPAD tingkat provinsi ditetapkan oleh gubernur. (2) KPAD tingkat kabupaten/
kota ditetapkan oleh bupati/walikota. Dalam melaksanakan tugasnya, KPAD
tingkat provinsi dan kabupaten/kota berkoordinasi dengan KPAI.480 KPAD atau
lembaga lainnya yang sejenis dapat meminta bimbingan dan konsultasi kepada
KPAI tentang penyelenggaraan pengawasan perlindungan anak. Pemberian
bimbingan dan konsultasi sebagaimana dimaksud mencakup aspek perencanaan,
pelaksanaan, tata laksana, kualitas, dan pengendalian.l
K. LEMBAGA SWADAYA warga (LSM)
Lembaga Swadaya warga (LSM) yaitu organisasi kewarga an
yang sangat penting dan strategis. Mereka memberi penguatan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia, baik dalam bidang hak sipil dan politik
maupun di bidang hak ekonomi, sosial dan budaya. Sejumlah LSM terkemuka
yang memiliki komitmen dan konsisten memberi perlindungan hak asasi
manusia antara lain:
1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum negara kita (YLBHI)
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum negara kita (YLBHI) didirikan pada
tanggal 26 Oktober 1970 atas inisiatif Dr. Adnan Buyung Nasution, S.H yang
didukung penuh oleh Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta saat itu. Dalam
menjalankan kerja-kerja dan program-programnya, YLBHI menyandarkannya pada
nilai-nilai dasar organisasi, visi dan misi lembaga yang disusun dan disepakati
bersama oleh seluruh kantor-kantor LBH di negara kita .
Bahwa sesungguhnya hak untuk mendapatkan dan menikmati
keadilan yaitu hak setiap insan dan sebab itu penegakannya, di satu
pihak, harus terus diusahakan dalam suatu usaha berkesinambungan
membangun suatu sistem warga hukum yang beradab dan
berperikemanusian secara demokratis, dan di lain pihak, setiap kendala
yang menghalanginya harus dihapuskan;
Bahwa keadilan hukum yaitu salah-satu pilar utama dari
warga hukum dimaksud yang secara bersama-sama dengan
keadilan ekonomi, keadilan politik, keadilan sosial dan keadilan
(toleransi) budaya menopang dan membentuk keadilan struktural yang
utuh saling melengkapi;
Bahwa sebab keterkaitan secara struktural ini di atas,
usaha penegakan keadilan hukum dan penghapusan kendala-kendala
nya harus dilakukan berbarengan dan sejalan secara proporsional dan
kontekstual dengan penegakan keadilan dan penghapusan kendala-
kendala terkait dalam bidang-bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya;
Bahwa memperjuangkan dan menghormati Hak-Hak Asasi
Manusia (HAM) yaitu tugas dan kewajiban yang suci sebab
HAM yaitu kodrat dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Pengasih
sehingga tidak seorangpun dapat merampas hak-hak yang melekat
pada manusia sejak lahir itu;
Bahwa mengamalkan perbuatan yang baik dan mencegah
perbuatan yang tercela yaitu inti dari penegakan kebenaran dan hati-
nurani warga dalam suatu tata-hubungan pergaulan sosial yang
adil, dan sebab itu, penyuaraan dan penegakan kebenaran di hadapan
kekuasaan yang menyelewng yaitu sikap dan perbuatan yang
terpuji;
Bahwa pemberian bantuan hukum bukanlah sekedar sikap dan
tindakan kedermawanan tetapi lebih dari itu yaitu bagian yang tak
terpisahkan dari kerangka usaha pembebasan manusia negara kita dari
setiap bentuk penindasan yang meniadakan rasa dan wujud kehadiran
keadilan yang utuh, beradab dan berprikemanusiaan;
Bahwa kebhinekaan warga dan bangsa negara kita
mengharuskan suatu pemberian bantuan hukum yang tidak membeda-
bedakan Agama, Kepercayaan, keturunan, sukubangsa, keyakinan
politik maupun latar-belakang lainnya (prinsip imparsialitas), dan bahwa
keadilan harus tetap ditegakkan walaupun berseberangan dengan
kepentingan diri-sendiri, kerabat ataupun teman sejawat.
Misi YLBHI bersama-sama dengan komponen-koponen warga dan
Bangsa negara kita yang lain berhasrat kuat dan akan berusaha sekuat tenaga
agar di masa depan dapat: (1) terwujudnya suatu suatu sistem warga
hukum yang terbina di atas tatanan hubungan sosial yang adil dan beradab/
berperikemanusiaan secara demokratis (A just, humane and democratic sociolegal system); (2) terwujudnya suatu sistem hukum dan administrasi yang mampu
menyediakan tata-cara (prosedur-prosedur) dan lembaga-lembaga melalui
mana setiap pihak dapat memperoleh dan menikmati keadilan hukum (A fair
and transparent institutionalized legal-administrative system ); (3) terwujudnya
suatu sistem ekonomi, politik dan budaya yang membuka akses bagi setiap pihak
untuk turut menentukan setiap keputusan yang berkenaan dengan kepentingan
mereka dan memastikan bahwa keseluruhan sistem itu tetap menghormati dan
menjunjung tinggi HAM (An open political-economic system with a culture that
fully respects human rights).
Agar Visi Misi ini di atas dapat terwujud, YLBHI akan melaksanakan
seperangkat kegiatan misi berikut ini:
(1) Menanamkan, menumbuhkan dan menyebar-luaskan nilai-nilai
negara hukum yang berkeadilan, demokratis serta menjungjung tinggi
HAM kepada seluruh lapisan warga negara kita tanpa kecuali;
(2) Menanamkan, menumbuhkan sikap kemandir ian serta
memberdayakan potensi lapisan warga yang lemah dan
miskin sedemikian rupa sehingga mereka mampu merumuskan,
menyatakan, memperjuangkan serta mempertahankan hak-hak dan
kepentingan mereka baik secara individual maupun secara kolektif;
(3) Mengembangkan sistem, lembaga-lembaga serta instrumen-
instrumen pendukung untuk meningkatkan efektifitas usaha -usaha
pemenuhan hak-hak lapisan warga yang lemah dan miskin;
(4) Memelopori, mendorong, mendampingi dan mendukung program
pembentukan hukum, penegakan keadilan hukum dan pembaharuan
hukum nasional sesuai dengan Konstitusi yang berlaku dan Deklarasi
Umum Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights).
(5) Memajukan dan mengembangkan program-program yang
mengandung dimensi keadilan dalam bidang politik, sosial-ekonomi,
budaya dan jender, utamanya bagi lapisan warga yang lemah
dan miskin.
2. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) berdiri pada tanggal 15 Oktober
1980 yang diprakarsai sejumlah tokoh nasional, antara lain Emil Salim, Erna
Witoelar, Zen Rachman dengan fokus gerakan perubahan kebijakan lingkungan
hidup dengan terus menerus memberi masukan, kritik, atau melakukan
protes keras terhadap kebijakan pemerintah, baik yang sudah ada maupun yang
sedang dibahas.484
Kampanye terhadap dampak pertambangan di PT. Freeport negara kita
mengawali langkah WALHI dalam hard campign, di mana sikap tegas dan tidak
kompromi terhadap perusak lingkungan menjadi ciri khasnya. Selanjutnya pada
tahun 1988, Badan Eksekutif WALHI mulai mengkampanyekan tentang reformasi
lingkungan hidup, fokus pada hal-hal makro yang meliputi kebijakan lingkungan
dan kelembagaan lingkungan. Kebijakan ini dilandasi oleh pernyataan bahwa
kebijakan lingkungan harus memenuhi rasa keadilan, melindungi lingkungan, dan
bisa dinikmati oleh warga . Sedangkan dalam hal kelembagaan didasarkan
pada kelembagaan yang dibangun dan dikembangkan agar dapat menjalankan
kebijakan ini .
Dalam melakukan advokasi, tidak jarang WALHI harus ‘berhadapan’ dengan
pemerintah atau perusahaan besar. Akhir tahun 1988, saat pertama kalinya forum
ini menggugat pemerintah dan memasukkan nama menteri lingkungan hidup
dalam daftar para tergugat.485 Bulan Desember 1989, WALHI memutuskan untuk
menggugat enam pejabat negara sebab mengijinkan pembangunan pabrik pulp
dan rayon, PT Inti Indorayon Utama di Porsea. Kasus ini pertama kalinya, sebuah
LSM melakukan legal standing. Ini yaitu catatan pembaharuan hukum acara
di negara kita , sebab sebelumnya negara kita menganut “asas tiada gugatan tanpa
kepentingan hukum”. Saat itu, kepentingan hukum biasanya dikaitkan dengan
kepentingan kepemilikan atau kerugian yang dialami langsung oleh penggugat.
Dalam perkembangannya, setelah beberapa kali WALHI mengajukan gugatan,
akhirnya legal standing WALHI diterima di pengadilan. Meskipun dari pengalaman
beberapa sidang di pengadilan, legal standing WALHI selalu saja diperdebatkan.
Namun, dalam perjalanannya, akhirnya legal standing LSM ini diakomodir dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
yang diartikan sebagai Hak Gugat Organisasi Lingkungan.486
Tercatat ada delapan gugatan yang dilakukan WALHI pada periode
1988 – 2000, yaitu menggugat amdal PT. Inti Indorayon Utama (1988), Dana
Reboisasi (1999), Amdal PT. Freeport negara kita , (1995), Pencemaran air di
Surabaya (1995), Penyelewengan dana Reboisasi oleh PT. Kiani Kertas (1997),
Kebakaran Hutan di Sumsel (1998), Proyek Pengembangan Lahan Gambut 1
Juta Hektar (1999), Hak Atas Informasi atas informasi yang diberikan PT. Freeport
(2000), Hak Penguasaan Hutan di Palu (2001), Banjir di Sumatera Utara (2002).
Dari sepuluh kasus gugatan lingkungan, hanya satu kasus yang
dimenangkan, yaitu Hak Atas Informasi. Dalam putusannya, majelis hakim
hanya mengabulkan gugatan WALHI sebagian dan mengakui bahwa PT. Freeport
negara kita telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Sebagai salah satu LSM terkemuka di negara kita , WALHI telah berkontribusi
besar dalam memperjuangkan hak asasi manusia, khususnya hak atas lingkungan
hidup yang sehat dan bermanfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.
Sekalipun dalam sejumlah gugatan terhadap negara dan atau korporasi Walhi
WALHI dikalahkan, tidak mengecilkan urgensi kehadirannya sebagai oraganisasi
kekuatan warga dalam mengadvokasi dan melindungi hak asasi manusia.
3. Lembaga Studi dan Advokasi warga (Elsam)
Lembaga Studi dan Advokasi warga (ELSAM) atau Institute for
Policy Research and Advocacy, sebuah organisasi hak asasi manusia, yang
berdiri di Jakarta, sejak Agustus 1993. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha
menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik
serta hak-hak asasi manusia pada umumnya, sebagaimana diamanatkan oleh
UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Sejak awal, semangat
perjuangan ELSAM yaitu membangun tatanan politik demokratis di negara kita
melalui pemberdayaan warga sipil melalui advokasi dan promosi hak asasi
manusia. Kegiatan utama Elsam adalah:
Pertama, pengarusutamaan hak asasi manusia dalam pengambilan
kebijakan dengan langkah-langkah: (a) memberi masukan dan rekomendasi
bagi lembaga legislatif dan pemerintah; (b) Menyusun catatan kritis melalui
berbagai policy brief atas suatu rancangan kebijakan; (c) Monitoring pelaksanaan
fungsi legislasi; (d) Menyediakan pendampingan teknis keahilan bagi lembaga-
lembaga pemerintah; (e) Melakukan berbagai kemitraan strategis dengan berbagai
lembaga.
Kedua, studi produksi pengetahuan hak asasi manusia untuk mendukung
advokasi kebijakan dengan melakukan berbagai penelitian dan produksi
pengetahuan untuk mendorong berbagai pembentukan kebijakan hak asasi
manusia berbasis bukti (evidence based policies). Fokus-fokus studi ELSAM
antara lain: (a) Bisnis dan hak asasi manusia: Mengkaji dampak operasi korporasi
terhadap hak asasi, termasuk mendorong lahirnya rencana aksi nasional bisnis
dan hak asasi manusia; (b) Internet dan hak asasi manusia: Meneliti mengenai
implikasi kemajuan teknologi terhadap perlindungan hak asasi, termasuk isu
tatakelola konten internet, perlindungan data pribadi, surveilans komunikasi,
dan keamanan dunia maya; (c) Pengembangan kabupaten/kota hak asasi
manusia (human rights city): ELSAM secara aktif terlibat dalam pengembangan
kabupaten/kota hak asasi manusia, dengan mendampingi pemerintah daerah
dalam menjalankan mandat pemenuhan hak asasi. Sebagai contoh di Sanggau,
Palu, Wonosobo, dan Sikka.
Ketiga, mendorong penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa
lalu secara adil dan bermartabat dengan secara intensif mempromosikan
pengadopsian pendekatan keadilan transisional untuk menyelesaikan berbagai
kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat di masa lalu. Tujuannya
untuk memastikan keadilan dan pemulihan bagi korbannya, serta mencegah
keberulangan, caranya: (a) Mempromosikan kebijakan pengungkapan kebenaran
dan pemulihan; (b) Mendukung reformasi kelembagaan, khususnya penegak
hukum dan institusi keamanan; (c) Pendampingan organisasi korban untuk
memperkuat kapasitas advokasi; (d) Mewakili korban dalam proses litigasi
kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu.
Keempat, ELSAM juga melakukan pendidikan hak asasi manusia seperti:
(a) Kursus hak asasi manusia untuk pengacara; (b) Penyelenggaraan pelatihan
dengan topik-topik khusus, seperti penanganan kasus hak asasi manusia
yang berat, hak asasi manusai di wilayah konflik, kebebasan beragama dan
berkeyakinan, dan penguatan kapasitas aparat penegak hukum; (c) Pelatihan
untuk mempromosikan penggunaan pendekatan berbasis hak, bagi pengambil
kebijakan, termasuk pemerintah daerah, dan sektor bisnis.
4 . Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) berdiri
pada 20 Maret 1998 oleh sejumlah tokoh warga dan organisasi warga
sipil. Visi Kontras terwujudnya demokrasi yang berbasis pada keutuhan kedaulatan
rakyat melalui landasan dan prinsip rakyat yang bebas dari ketakutan, penindasan,
kekerasan dan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia atas apapun,
termasuk yang berbasis jender.
Dengan visi ini , maka misi Kontras yaitu memajukan kesadaran
rakyat akan pentinnya penghargaan hak asasi manusia, khususnya kepekaan
terhadap berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran berat hak asasi manusia
sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan negara. Memperjuangkan keadilan
dan pertanggungjawaban negara atas berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran
berat hak asasi manusia. Ini dilakukan melalui berbagai usaha advokasi menuntut
pertanggungjawaban negara, serta mendorong secara konsisten perubahan pada
system hukum dan politik yang berdimensi penguatan dan perlindungan rakyat dari
bentuk-bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia dari bentuk-bentuk
kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam perjalanannya, KontraS tidak hanya menangani masalah-masalah
penculikan dan penghilangan orang secara paksa, tetapi juga diminta oleh
warga untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik
secara vertikal di Aceh, Papua dan Timor Timur, maupun secara horizontal di
Maluku, Sambas, Sampit dan Poso. Selanjutnya berkembang menjadi organisasi
independen yang banyak berpartisipasi dalam membongkar praktik kekerasan
hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan.
L. PERS
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pers yaitu lembaga sosial dan wahana
komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan
grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan memakai media cetak, media
elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi setelah eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Walaupun berada di luar sistem politik formal, keberadaan
pers memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik
sekaligus menjadi alat kontrol sosial. Karenanya, kebebasan pers menjadi salah
satu tolok ukur kualitas demokrasi di sebuah negara.
Dalam iklim kebebasan pers, dapat dikatakan bahwa pers bahkan
memiliki peran lebih kuat dari ketiga pilar demokrasi lain yang berpotensi
melakukan abuse of power. Demokrasi akan berkembang dengan baik jika pers
juga berkembang dengan baik. sebab itu, pers harus menjaga hati nurani untuk
menjaga keberlangsungan demokrasi. Sebagai pilar keempat demokrasi, pers juga
telah dijamin kemerdekaannya dan diakui keberadaannya oleh UUD 1945. Oleh
sebab itu, pers diharapkan bisa menjalankan fungsi kontrol bila melihat terjadi
penyimpangan terhadap demokrasi dan hukum.
Kemerdekaan pers yang telah dicapai di era reformasi ini yaitu
salah satu wujud kedaulatan rakyat. Ia menjadi unsur yang sangat penting
untuk menciptakan kehidupan berwarga , berbangsa dan bernegara
yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat
sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 harus dijamin dan
diperjuangkan terus menerus sebagai bagian dari memperjuangkan demokrasi.
Dalam kehidupan berwarga , berbangsa, dan bernegara yang demokratis,
kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak
memperoleh informasi, yaitu hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang
diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan
umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan
informasi juga sangat penting untuk mewujudkan hak asasi manusia, yang dijamin
dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik negara kita Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain menyatakan bahwa setiap
orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam
PBB tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi :
“Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan
pendapat; dalam ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa
gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi
dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang
batas-batas wilayah”.
Pers juga melaksanakan kontrol sosial untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun
penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Dalam melaksanakan fungsi, hak,
kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, sebab itu
dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh warga .
Pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi,
dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban,
dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang
profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta
bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun. Peran pers berdasar Pasal
6 yaitu melaksanakan peranannya sebagai berikut:
a. Memenuhi hak warga untuk mengetahui;
b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya
supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat
kebhinekaan;
c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat,
akurat dan benar;
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran;
Pers juga menjalankan fungsi kontrol perilaku, kritik, koreksi, dan saran
terhadap hal-hal yang menjadi keprihatinan publik. Dengan adanya peran pers
sebagai sebuah mekanisme pengawasan terhadap pemerintah, jika terjadi
kesalahan pada pemerintah, pers juga mampu menggerakkan masa untuk
dapat melakukan perubahan. Dengan posisi dan perannya yang sangat strategis
sebagai kekuatan kontrol, penyerap dan pemberi informasi kepada warga ,
maka pers memiliki kekuatan pula sebagai pelindung hak asasi manusia dalam
mencegah potensi pelanggaran serta memberitakan adanya pelanggaran hak
asasi manusia. Telah banyak kontribusi pers dalam mencegah pelanggaran hak
asasi manusia, mengawal proses hukum atas pelanggaran hak asasi manusia
serta memberitakan pelbagai kasus pengabaian hak asasi manusia oleh negara,
agen-agen negara atau korporasi.