hukum islam
Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang
data fisik dan data yuridis ini sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur buku
tanah yang bersangkutan. Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat
secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah ini dengan
itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai
hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak ini apabila dalam
kurung waktu 5 tahun sejak diterbitkanya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan
secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan
tanah atau penerbitan sertifikat. Hal ini berarti bahwa data fisik dan data yuridis yang
tercantum dalam sertifikat mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima oleh hakim
sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat bukti lain yang
membuktikan sebaliknya. Dengan demikian, pengadilanlah yang berwenang
memutuskan alat bukti mana yang benar dan apabila terbukti sertifikat ini tidak
benar, maka diadakan perubahan pembetulan sebagaimana mestinya. Ketentuan dalam
Pasal 5 UUPA memberi tempat dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum
adat yang terkait dengan kepemilikan atas tanah yang belum terdaftarkan ataupun belum
memiliki sertifikat sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang nasional.
Hukum adat dijadikan sebagai dasar hukum agraria nasional (yang baru), yaitu
merupakan suatu penegasan pengakuan terhadap hukum yang dominan dan telah
disempurnakan sesuai dengan kepentingan masayarakat dan negara modern dan dalam
hubungannya dengan dunia internasional.
Tanah yaitu kebutuhan, setiap manusia selalu berusaha untuk memilikinya, dan
tetap mempertahankannya apapun yang terjadi. Tanah dapat dimiliki siapa saja,
individu, masyarakat sebagai kelompok, atau badan hukum. Suatu ketika tanah menjadi
warisan atau aset perusahaan bahkan menjadi benda keramat untuk diperebutkan sebab
memiliki nilai ekonomis yang akan naik nilainya setiap tahunnya dan hal ini lah
yang menimbulkan konflik tanah.
Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka
didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan mengenai tanah juga dapat kita
lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA.1
Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan)
yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah,
prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian
secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mencuatnya kasus-kasus
sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan kembali menegaskan
kenyataan bahwa selama 62 tahun Indonesia merdeka, negara masih belum bisa
memberi jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya. Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) baru sebatas menandai
dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya bersifat komunal berkembang
menjadi kepemilikan individual.
Kasus-kasus yang menyangkut sengketa di bidang pertanahan dapat dikatakan
tidak pernah surut, bahkan mempunyai kecenderungan untuk terus meningkat didalam
kompleksitasnya maupun kuantitasnya seiring dinamika dibidang ekonomi, sosial, dan
politik. Bergulirnya reformasi yang dimulai pertengahan tahun 1998, akhirnya bergerak
di segala bidang termasuk diantaranya bidang Pertanahan. Sejak dahulu persoalan
pertanahan selalu ada dan menarik untuk dibahas penyelesaiannya. Reformasi
tampaknya menyadari sebagian masyarakat tentang penegakan tatanan Pemerintah yang
mendasarkan pada Undang- Undang Dasar 1945. Sengketa tanah dalam masyarakat
seringkali terjadi dalam hal ini semakin tahun semakin meningkat dan terjadi hampir di
seluruh daerah di Indonesia baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Persoalan
tanah selama ini sangat relevan untuk dikaji bersama-sama dan dipertimbangkan secara
mendalam dan seksama dalam kaitannya dengan kebijakan dibidang pertanahan selama
ini. Hal ini disebabkan oleh karena ditingkat implementasi kebijakan yang diperlihatkan
selama ini telah mengabaikan aspek struktural penguasaan tanah yang pada akhirnya
menimbulkan berbagai macam sengketa.
Dalam melakukan tindakan penyelesaian sengketa atau konflik pertanahan yang
ada, badan pertanahan nasional merupakan salah satu lembaga mediasi yang dapat
menyelesaikan suatu sengketa pertanahan dengan mengedepankan keadilan, yaitu
penyelesaian konflik melalui musyawarah mufakat dengan menghormati hak dan
kepentingan para pihak yang bersengketa yang prinsip dasarnya yaitu solusi sama-
sama menang atau dikenal dengan istilah “win-win solution” atau normatifnya disebut
jalan penyelesaian “Non-Litigation” atau Alternative Despute Resulution (ADR), yang
selanjutnya untuk mewadahi pelaksanaan ADR ini Pemerintah melalui Undang-
undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Aturan inilah yang menjadi tolok ukur untuk mengetahui seberapa pentingnya lembaga
mediasi didalam penyelesaian konflik tanah.2
Eksistensi Pemilikan Hak Atas Tanah Berdasarkan Hukum Pertanah
Setelah Indonesia merdeka, penguasaan tanah secara umum dikuasai oleh
Negara sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
“bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Hal ini bukan berarti
rakyat tidak boleh memiliki hak atas tanah baik secara individu maupun kelompok,
namun demikian Negara yang bertanggungjawab atas pengelolaan dan pengaturan
secara nasional atas tanah di Indonesia.
Dengan demikian setiap warga Negara, kelompok masyarakat atau badan hukum
dapat memiliki hak atas tanah sesuai dengan jenis yang ditetapkan dalam ketentuan
dimaksud. Selain dikenal jenis-jenis hak tanah juga ditetapkan bukti kepemilikan dan
punguasahaan hak tanah secara sah, sebagaimana diatur dalam pasal 19 ayat (1) UU
No.5 Tahun 1960 tentang UUPA yang substansinya menyatakan bahwa: “Untuk
menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh
wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah”. Pendaftaran tanah dilakukan untuk menjamin kepastian hukum
bagi masyarakat dalam memiliki, menguasai dan memanfaatkan tanah, karena itu bagi
penguasaan tanah yang telah didaftarkan akan diterbitkan surat tanda bukti hak berupa
“sertifikat”.
Mengenai pengertian sertifikat hak atas tanah diatur dalam pasal 13 Peraturan
Pemerintah No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, khususnya dalam ayat (3)
dirumuskan, bahwa: “Salinan buku tanah dan surat ukur setelah dijahit menjadi satu
bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri
Agraria, disebut sertifikat dan diberikan kepada yang berhak”. Selanjutnya dalam ayat
(4) dikatakan: “Sertifikat ini pada ayat (3) pasal ini yaitu surat tanda bukti hak
yang dimaksud dalam pasal 19 UUPA”. Ketentuan undang-undang dimaksud mengikat,
sehingga setiap warga Negara (rakyat) atau masyarakat sebagai pemilik hak atas tanah
diwajibkan untuk mendaftarkan tanah yang dikuasainya dan akan diberikan salinan
buku tanah yang disebut “sertifikat”, yang merupakan surat tanda bukti hak. Dengan
demikian “sertifikat” sebagai salinan buku tanah yang memiliki ketentuan hukum
tertinggi.
Oleh karena itu seseorang atau kelompok masyarakat atau badan hukum yang
telah menguasai tanah dan memiliki tanda bukti sertifikat tanah dapat mengklaim
dirinya sebagai pemilik yang sah, namun demikian tidak menutup kemungkinan dan
bukti-bukti lain di luar sertifikat yang dapat dilakukan secara serentak yang dipengaruhi
kondisi masyarakat, kesiapan aparat dan pembiayaan, maka alat-alat bukti lain ini
tetap dapat dijadikan petunjuk mengenai adanya hak atas tanah milik seseorang atau
badan hukum. Di sini lahir stelsel negatif, yang artinya terbuka kemungkinan untuk
menggugurkan hak seseorang/ pihak sekiranya ada pihak/ orang lain yang lebih berhak
atasnya.
Asas stelsel negatif yang dianut hukum agraria nasional yaitu bertujuan untuk
“memberi perlindungan terhadap pemilik yang berhak”. Hal ini sangat berbeda
dengan asas positif yang memberi perlindungan pada pemilik yang terdaftar atau
tercantum dalam buku tanah. Jadi bukannya sertifikat yang menentukan hak suatu pihak
atau seseorang atas tanah, sehingga kekuatan sertifikat ditopang dengan adanya
hubungan hukum dimaksud. Artinya dengan stelsel positif maka yang namanya
tercantum dalam sertifikat tanah yaitu dianggap sebagai orang yang benar-benar
berhak atas tanah terebut. Sedang apabila ada hak orang lain di atasnya, maka
pemegang hak atas tanah namanya tercantum dalam sertifikat wajib memberi ganti
rugi kepada yang orang berhak jika terjadi pelanggaran dalam penguasaan hak atas
tanah ini , tanpa menggugurkan hak orang yang namanya telah tercantum pada
sertifikat tanah ini .
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa masih ada dua konsep kepemilikan atau
penguasaan hak tanah, yakni penguasaan tanah yang telah terdaftar atau “bersertifikat”
yang mendapatkan pengakuan utama, dan penguasaan tanah yang belum terdaftar atau
yang “belum bersertifikat” yang juga mendapatkan pengakuan walaupun lebih rendah
derajat pengakuannya.
Menurut pasal 3 Peraturan Pemerintahan No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah yang merupakan pengganti dari Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
dikatakan bahwa pendaftaran tanah dilakukan memiliki tujuan, antara lain:
1. Untuk memberi kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang
hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar
agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan,
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
Pemerintah agar dapat dengan mudah memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun yang sudah terdaftar,
3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Apabila dicermati secara mendalam dari ide dasar dan tujuan utama (main
purpose) penyelenggaraan pendaftaran hak tanah sebagaimana ini di atas maka
dapat dipahami bahwa pemilik tanah yang telah didaftarkan lebih memiliki kepastian
hukum dan terjamin perlindungannya secara hukum dibandingkan dengan yang belum
didaftarkan (belum bersertifikat). Namun demikian bukan berarti tidak mengakui bagi
pemilik tanah yang belum didaftarkan. Apabila ada hak orang lain maka orang
yang berhak ini dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Jika terbukti bahwa
pihak yang tercantum dalam sertifikat ternyata tidak berhak, maka pengadilan dapat
membatalkan sertifikat ini dan memerintahkan penggantian nama orang yang
berhak atas tanah dalam sertifikat dimaksud.3
Jenis-Jenis Hak Atas Tanah
Pada tahun 1960 dengan dibentuknya Undang Undang Hukum Agraria Nasional,
yakni Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Peraturan Dasar
Agraria, yang dikenal juga sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan
Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (L.N. 1961 No.28)
maka keberadaan hak eigendom yang diterapkan di Indonesia selama masa penjajahan
Belanda dihapuskan, meskipun hukum agrarian nasional yang dibentuk ini juga
masih bersifat pluralistik, karena yang dijadikan landasan yaitu hukum adat yang
bersifat pluralistis. Di dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang UUPA
mengenai hak-hak atas tanah dirumuskan dalam Pasal 16 dimana dikenal adanya jenis-
jenis hak atas tanah, antara lain :
1. Hak Milik
Untuk sekarang ini, Hak Milik yaitu yang terkuat dan terpenuh, dan berlaku
turun-temurun dalam jangka waktu yang tidak terbatas, pemiliknya warga Negara
Indonesia dan dimungkinkan badan hukum tertentu sesuai PP No. 38 Tahun 1963, dapat
dialihkan kepada pihak lain, dapat dijadikan jaminan hutang, dapat hilang karena
tanahnya jatuh kepada Negara yang disebabkan oleh pencabutan hak; penyerahan
sukarela; ditelantarkan; pengalihan kepada warga Negara/badan hukum asing.
2. Hak Guna Usaha
Biasanya Hak guna usaha ini diberikan untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara dalam bidang usaha pertanian, perikanan atau peternakan, dan
dengan jangka waktu yang terbatas dan dapat diperpanjang (maksimal 35 tahun).
Pemiliknya warga Negara Indonesia dan atau badan hukum yang ada dan didirikan
berdasarkan hukum Indonesia, dapat dialihkan kepada pihak lain serta dapat dijadikan
jaminan hutang. Hak guna usaha ini dapat dihapus karena jangka waktunya berakhir;
dihentikan jangka waktunya; dilepaskan oleh pemegangnya; dicabut untuk kepentingan
umum; ditelantarkan; tanahnya musnah.
3. Hak Guna Bangunan
Hak guna bangunan ini berarti mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah
yang bukan miliknya sendiri; dengan jangka waktu yang terbatas dan dapat
diperpanjang (maksimal 30 tahun). Pemiliknya warga Negara Indonesia dan atau badan
hukum yang ada dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia yang dapat memiliki hak
ini ; dapat dialihkan kepada pihak lain; dapat dijadikan jaminan hutang. Hak guna
bangunan ini akan tidak berlaku lagi karena jangka waktunya berakhir; dihentikan
jangka waktunya; dilepaskan oleh pemegangnya; dicabut untuk kepentingan umum;
ditelantarkan; tanahnya musnah.
4. Hak Pakai
Hak Pakai ini dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia dan warga Negara asing
yang berkedudukan di Indonesia dan atau badan hukum yang ada dan didirikan
berdasarkan hukum Indonesia serta badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia yang dapat memiliki hak ini untuk menggunakan dan atau memungut
hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain dalam
jangka waktu tertentu selama tanahnya masih diperlukan (maksimal 25 tahun). Hak
pakai ini dapat dialihkan kepada pihak lain ataupun jaminan hutang.
Pembuktian Kepemilikan Atas tanah
Dalam penjelasan Pasal 24 ayat (1) ini dikemukakan bahwa pemilikan itu
pada dasarnya terdiri atas bukti pemilikan atas nama pemegang hak pada waktu
berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960 dan apabila hak ini kemudian
beralih, bukti peralihan hak berturut-turut sampai ke tangan pemegang hak pada waktu
dilakukan pembukuan hak yang bersangkutan.
Dalam hal yang demikian, pembukuan haknya dilakukan melalui penegasan
konversi hak yang lama menjadi hak baru yang didaftar. Selanjutnya dijelaskan dalam
Penjelasan ayat (1), bahwa alat-alat bukti tertulis yang dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(1) di atas dapat berupa :
a. Grosse akta hak eigendom yang diterbitlkan berdasarkan Overschrijvings
Ordonnantie (Staatsblad 1834-27) yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak
eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi Hak Milik atau;
b. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Ordonnantie ini sejak
berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut
Peraturan Pemerinta No.10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan atau;
c. Surat tanda bukti hak Milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang
bersangkutan atau;
d. Sertifikat Hak Milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria No. 9
Tahun 1959 atau;
e. Surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang, baik sebelum
atau sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan
hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di
dalamnya atau;
f. Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan, yang dibubuhi tanda kesaksian
oleh Kepala Adat/ Kepala Desa/ Kelurahan, yang dibuat sebelum Peraturan
Pemerintah No.10 Tahun 1961, yang menentukan bahwa harus ada bukti akta
PPAT, sejak Peraturan Pemerintahan ini mulai dilaksanakan di suatu daerah
atau;
g. Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum
dibukukan (seharusnya ditambahkan: atau tanahnya yang sudah dibukukan, tetapi
belum diikuti pendaftaran pemindahan haknya pada Kator Pertanahan) atau;
h. Akta ikrar wakaf/ surat ikrar wakaf yang dibuat sebelumnya atau sejak mulai
dilaksanakannya Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1977 atau;
i. Risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya
belum dibukukan (seharusnya ditambahkan: atau tanahnya yang sudah dibukukan,
tetapi belum diikuti pendaftaran pemindahan haknya pada Kator Pertanahan) atau;
j. Surat penunjukan atau pembelian (seharusnya; pemberian kaveling tanah pengganti
tanah yang diambik oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah atau;
k. Petuk Pajak Bumi/ Landrente, girik, pipil, kekitir, dan Verponding Indonesia
sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 (seharusnya:
sebelum berlakunya UUPA. Sejak mulai berlakunya UUPA tidak dipungut lagi
Pajak Bumi, karena tidak ada lagi tanah Hak Milik Adat) atau;
l. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan atau;
m. Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII ketentuan-ketentuan Konversi
UUPA.
Dalam hak pemilihan bukti tertulis ini tidak lengkap, maka dapat dilakukan
dengan keterangan saksi dan atau pernyataan pemilik tanah yang dapat dipercaya
kebenaranya menurut pendapat Ajudikasi/ Kepala Kantor Pertanahan, demikian
dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan Ayat (1) Pasal 24 PP No.24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.
Keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan mengenai pemilikan tanah
itu berfungsi menguatkan bukti tertulis yang tidak lengkap ini , atau sebagai
pengganti bukti tertulis yang tidak ada lagi. Yang dimaksud dengan saksi yaitu orang
yang cakap memberi kesaksian dan mengetahui kepemilikan tanah yang
bersangkutan.
Maka mengenai kepemilikan itu ada tiga kemumungkinan alat pembuktiannya,
yaitu:
a. Bukti tertulisnya lengkap: tidak memerlukan tambahan alat bukti lain;
b. Bukti tertulisnya sebagian tidak ada lagi; diperkuat keterangan saksi dan atau
pernyataan yang bersangkutan;
c. Bukti tertulisnya semuanya tidak ada lagi: diganti keterangan saksi dan atau
pernyataan yang bersangkutan.
Akan tetapi, semua akan diteliti lagi melalui pengumuman untuk memberi
kesempatan kepada pihak-pihak yang berkepentingan mengajukan keberatan.
Dalam Pasal 24 ayat (2) diatur pembukuan hak dalam hal tidak atau tidak lagi
tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian pemilikan yang tertulis, kebenarannya
mengenai kepemilikan tanah yang bersangkutan, sebagaimana yang disebut dalam ayat
(1) di atas. Dalam hal yang demikian, pembukuan haknya dapat dilakukan tidak
didasarkan pada bukti pemilikan, melainkan pada bukti penguasaan fisik tanahnya oleh
pemohon pendaftaran dan pendahuluan-pendahuluannya selama 20 tahun atau lebih
secara berturut-turut.
Dalam penjelasan ayat (2) ini , dirinci syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi
pembukuan hak yang bersangkutan, yaitu:
a. Penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan dilakukan dengan itikad
baik, secara nyata dan terbuka selama waktu yang disebut di atas;
b. Kenyataannya penguasaan dan penggunaan tanah ini selama itu tidak
diganggu gugat karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum
adat atau desa/ kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya;
c. Hal-hal ini , yaitu penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan srta
tidak adanya gangguan, diperkuat oleh kesaksian orang-orang yang dapat
dipercaya;
d. Telah diadakan penelitian mengenai kebenaran hal-hal yang disebutkan di atas;
e. Telah diberi kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan melalui
pengumuman sebagaimana dimaksud Pasal 26;
f. Akhirnya kesimpulan mengenai status tanah dan pemegang haknya dituangkan
dalam Keputusan berupa poengakuan hak yang bersangkutan oleh Panitia
Ajudikasi/ Kepala Kantor Pertanahan.
Sertifikat sebagai surat tanda bukti hak, diterbitkan untuk kepentinagn pemegang
hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data
yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. Memperoleh sertifikat yaitu hak
pemegang hak atas tanah, yang dijamin undang-undang.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, sertifikat terdiri atas salinan
buku tanah yang memuat data yuridis dan surat ukur yang memuat data fisik hak yang
bersangkurtan, dijilid menjadi suatu dalam sampul dokumen (Pasal 13). Cara
pembuatan sertifikat yaitu seperti pembuatan buku tanah, dengan ketentuan bahwa
catatan-catatan, yang bersifat sementara dan sudah dihapus tidak dicantumkan. Oleh
karena itu, sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat, sebagaimana dinyatakan
dalam pasal 19 UUPA. Sehubungan dengan itu apabila masih ada ketidakpastian
mengenai hak atas tanah yang bersangkutan, yang tercatat dari masih adanya catatan
dalam pembukuannya, pada prinsipnya sertifikat belum dapat diterbitkan. Namun
apabila catatan itu belum lengkap, tetapi tidak disengketakan, sertifikat dapat
diterbitkan.
Praktek Penyelesaian Sengketa Tanah yang terjadi pada daerah pedesaan
Konflik tanah kerap kali terjadi pada tanah yang belum didaftarkan
kepemilkannya kepada Badan Pertanahan, hal ini akan sering kita jumpai pada
tanah yang terletak di daerah-daerah pedesaan atau daerah pelosok yang masih kurang
akan SDM yang mengetahui akan pentingnya pendaftaran tanah dilakukan. Adapun
peran pemerintah desa dalam bentuk mendamaikan secara kekeluargaan, mengajukan
mediasi (adanya pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi
dan menyelesaikan sengketa antara para pihak yang harus berada pada posisi netral dan
tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa, Ia harus mampu menjaga kepentingan
para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan
(trust) dari para pihak yang bersengketa. Perdamaian yaitu suatu persetujuan di mana
kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang,
mengakhiri suatu sengketa yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu
perkara, dan persetujuan perdamaian tidak sah melainkan harus dibuat secara tertulis
dan bentuk penyelesaian sengketa yang dijalankan ini memiliki kelemahan, dimana
tidak mengikat, bahkan kedua belah pihak yang telah setuju mengambil jalur damaipun
kadang menggugat kembali karena merasa tidak adil, dan bentuk penyelesaian sengketa
tanah ini pun tidak memiliki kepastian hukum. Penyelesaian sengketa tanah dapat
ditempuh melalui cara berikut ini :
1. Musyawarah (Negotiation)
Musyawarah atau negosiasi salah satu penyelesaian sengketa digunakan oleh
berbagai pihak dalam menyelesaikan sengketa pertanahan. Dalam UU Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa cara musyawarah atau
negoisasi disebutkan dalam pasal 6 ayat (2).
Musyawarah atau negoisasi berasal dari bahasa Inggris, negotiation yang artinya
perundingan. Dalam istilah sehari-hari negoisasi sepadan dengan istilah berunding,
bermusyawarah atau bermufakat. Penyelesaian secara musyawarah juga dikenal dengan
sebutan penyelesaian secara bipartit yaitu penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak
yang sedang berselisih. Orang yang mengadakan perundingan disebut negosiator.
Dengan demikian musyawarah atau negosiasi merupakan bentuk penyelesaian
sengketa diluar pengadilan atau non litigasi yang dilakukan sendiri oleh pihak yang
bersengketa atau oleh kuasanya, tanpa bantuan dari pihak lain, dengan cara musyawarah
atau berunding untuk mencari pemecahan yang dianggap adil di antara para pihak. Hasil
dari musyawarah atau negosiasi berupa penyelesaian kompromi (compromise solution)
yang tidak mengikat secara hukum.
Jika musyawarah berhasil dilakukan dan mencapai kesepakatan, maka akan
dibuatkan perjanjian bersama yang isinya mengikat para pihak. Sebaliknya, jika dalam
waktu 14 hari tidak mencapai kesepakatan maka atas kesepakatan tertulis kedua belah
pihak, sengketa diselesaikan melalui konsiliasi ataupun mediasi. Penyelesaian sengketa
dengan cara musyawarah atau negosiasi memungkinkan dilakukan untuk sengketa tanah
dengan objek tanah belum terdaftar.
2. Konsiliasi
Konsiliasi yaitu penyelesaian konflik, termasuk konflik pertanahan yang
ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral yang dipilih atas kesepakatan
para pihak. Konsiliator ini harus terdaftar di kantor yang berwenang menangani
masalah pertanahan, dalam hal ini Kantor Pertanahan itu sendiri. Konsiliator harus
dapat menyelesaiakan perselisihan ini paling lama 30 hari sejak menerima
permintaan penyelesaian konflik ini . Pada kesempatan pertama ini ,
konsiliator wajib mendamaikan para pihak terlebih dahulu. Jika terjadi kesepakatan
damai, maka dibuatkan perjanjian bersama untuk kemudian didaftarkan di pengadilan
wilayah hukum mana kesepakatan itu dibuat.
Bila konsiliator gagal mendamaikan para pihak, konsiliator mengeluarkan anjuran
penyelesaian tertulis paling lambat 10 hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama.
Persetujuan atau penolakan para pihak yang berkonflik ini harus disampaikan oleh
para pihak yang berkonflik paling lama 10 hari kerja sejak menerima anjuran tertulis
dari konsiliator.
Apabila para pihak menyetujui anjuran tertulis dari konsiliator, maka dibuatkan
lagi perjanjian bersama untuk didaftarkan di pengadilan wilayah mana tanah yang
menjadi objek konflik untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran, bahwa konflik
diantara para pihak telah diselesaikan secara konsiliasi. Tetapi bila anjuran tertulis
ini ditolak oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak, maka salah satu pihak
atau kedua belah pihak dapat mengajukan penyelesaian ke pengadilan setempat dengan
mengajukan gugatan. Penyelasain sengketa dengan cara konsiliasi tidak cocok
digunakan untuk sengketa tanah dengan objek tanah belum terdaftar.
3. Arbitrase
Penyelesaian sengketa dengan cara ini merupakan pengendalian konflik atau
sengketa yang dilakukan dengan cara kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat
untuk menerima atau terpaksa akan hadirnya pihak ketiga yang akan memberi
keputusan bagi mereka dalam menyelesaikan konflik ini . Dalam penyelesaian
secara arbitrase, kedua belah pihak sepakat untuk mendapatkan keputusan yang bersifat
legal sebagai jalan keluar bagi konflik yang terjadi di antara para pihak. Dalam metode
ini, seorang arbitrator atau majelis arbitrator yaitu orang yang berperan untuk
menyelesaikan konflik ini .
Secara umum proses persidangan arbitrase dapat melalui beberapa tahap. Mulai
dari upaya damai, jawaban termohon, tanggapan pemohon, pemeriksaan bukti,
keterangan saksi dam ahli, kesimpulan akhir para pihak, dan terakhir pembacaan
putusan. Putusan arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap serta
mengikat para pihak. Dengan demikian terhadap putusan arbitrase tidak dapat diajukan
banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali. Metode ini mungkin untuk diterapkan
dalam penyelesaian sengketa tanah belum terdaftar tetapi rumit sehingga tidak
direkomendasikan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Grobogan.
4. Mediasi
Secara formal mediasi merupakan pengendalian sengketa dan konflik pertanahan
yang dilakukan dengan cara membuat konsensus di antara dua pihak yang berkonflik
untuk mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator dalam
penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan. Penyelesaian sengketa pertanahan
melalui cara mediasi, kedua belah pihak sepakat mencari nasehat dari pihak ketiga.
Mediasi dilakukan atas dasar kesepakatan kedua pihak yang bersengketa bahwa masalah
mereka akan diselesaikan melalui bantuan seorang atau beberapa penasehat ahli maupun
seorang mediator. Pihak ketiga yang memberi bantuan ini harus bersifat netral (tidak
memihak) serta independen, dalam artian tidak dapat diintervensi oleh salah satu pihak.
Penyelesaian sengketa tanah belum terdaftar dengan cara mediasi yaitu alternatif
pilihan penyelesaian sengketa non litigasi yang paling tepat untuk digunakan oleh
mediator, dalam hal ini yang berlaku sebagai mediator yaitu pihak Kantor Pertanahan
itu sendiri.
Wujud Penyelesaian Sengketa Tanah
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of
interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara
perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan
badan hukum dan lain sebagainya.Sehubungan dengan hal ini di atas, guna
kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud
antara lain dapat diberikan respons/reaksi/penyelesaian kepada yang berkepentingan
(masyarakat dan pemerintah). Wujud penyelesaian sengketa tanah terbagi atas dua
yaitu:
1. Perdamaian
Perdamaian yaitu suatu persetujuan dimana kedua belah pihak dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu sengketa yang
sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara, dan persetujuan perdamaian
tidak sah melainkan harus dibuat secara tertulis.
2. Keputusan
Keputusan yaitu penarikan kesimpulan keterangan dari semua pihak yang
bersengketa, sehingga adanya atau timbulnya putusan yang kemudian hasil keputusan
ini disampaikan kepala desa selaku mediator sekaligus hakim dalam permasalahan yang
terjadi kepada para pihak yang bersengketa.