hukum islam



  

 Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian 

yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang 

data fisik dan data yuridis ini  sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur buku 

tanah yang bersangkutan. Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat 

secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah ini  dengan 

itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai 

hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak ini  apabila dalam 

kurung waktu 5 tahun sejak diterbitkanya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan 

secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala Kantor Pertanahan yang 

bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan 

tanah atau penerbitan sertifikat. Hal ini berarti bahwa data fisik dan data yuridis yang 

tercantum dalam sertifikat mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima oleh hakim 

sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat bukti lain yang 

membuktikan sebaliknya. Dengan demikian, pengadilanlah yang berwenang 

memutuskan alat bukti mana yang benar dan apabila terbukti sertifikat ini  tidak 

benar, maka diadakan perubahan pembetulan sebagaimana mestinya. Ketentuan dalam 

Pasal 5 UUPA memberi  tempat dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum 

adat yang terkait dengan kepemilikan atas tanah yang belum terdaftarkan ataupun belum 

memiliki sertifikat sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang nasional. 

Hukum adat dijadikan sebagai dasar hukum agraria nasional (yang baru), yaitu  

merupakan suatu penegasan pengakuan terhadap hukum yang dominan dan telah 

disempurnakan sesuai dengan kepentingan masayarakat dan negara modern dan dalam 

hubungannya dengan dunia internasional.  

 

 



 


 


 

Tanah yaitu  kebutuhan, setiap manusia selalu berusaha untuk memilikinya, dan 

tetap mempertahankannya apapun yang terjadi. Tanah dapat dimiliki siapa saja, 

individu, masyarakat sebagai kelompok, atau badan hukum. Suatu ketika tanah menjadi 

warisan atau aset perusahaan bahkan menjadi benda keramat untuk diperebutkan sebab 

memiliki nilai ekonomis yang akan naik nilainya setiap tahunnya dan hal ini lah 

yang menimbulkan konflik tanah. 

Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka 

didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air 

dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan 

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan mengenai tanah juga dapat kita 

lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang 

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA.1 

Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan) 

yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, 

prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian 

secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mencuatnya kasus-kasus 

sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan kembali menegaskan 

kenyataan bahwa selama 62 tahun Indonesia merdeka, negara masih belum bisa 

memberi  jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya. Undang-Undang Nomor 5 

Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) baru sebatas menandai 

dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya bersifat komunal berkembang 

menjadi kepemilikan individual.  

Kasus-kasus yang menyangkut sengketa di bidang pertanahan dapat dikatakan 

tidak pernah surut, bahkan mempunyai kecenderungan untuk terus meningkat didalam 

kompleksitasnya maupun kuantitasnya seiring dinamika dibidang ekonomi, sosial, dan 

politik. Bergulirnya reformasi yang dimulai pertengahan tahun 1998, akhirnya bergerak 

di segala bidang termasuk diantaranya bidang Pertanahan. Sejak dahulu persoalan 

pertanahan selalu ada dan menarik untuk dibahas penyelesaiannya. Reformasi 

                                                            

tampaknya menyadari sebagian masyarakat tentang penegakan tatanan Pemerintah yang 

mendasarkan pada Undang- Undang Dasar 1945. Sengketa tanah dalam masyarakat 

seringkali terjadi dalam hal ini semakin tahun semakin meningkat dan terjadi hampir di 

seluruh daerah di Indonesia baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Persoalan 

tanah selama ini sangat relevan untuk dikaji bersama-sama dan dipertimbangkan secara 

mendalam dan seksama dalam kaitannya dengan kebijakan dibidang pertanahan selama 

ini. Hal ini disebabkan oleh karena ditingkat implementasi kebijakan yang diperlihatkan 

selama ini telah mengabaikan aspek struktural penguasaan tanah yang pada akhirnya 

menimbulkan berbagai macam sengketa.  

Dalam melakukan tindakan penyelesaian sengketa atau konflik pertanahan yang 

ada, badan pertanahan nasional merupakan salah satu lembaga mediasi yang dapat 

menyelesaikan suatu sengketa pertanahan dengan mengedepankan keadilan, yaitu 

penyelesaian konflik melalui musyawarah mufakat dengan menghormati hak dan 

kepentingan para pihak yang bersengketa yang prinsip dasarnya yaitu  solusi sama-

sama menang atau dikenal dengan istilah “win-win solution” atau normatifnya disebut 

jalan penyelesaian “Non-Litigation” atau Alternative Despute Resulution (ADR), yang 

selanjutnya untuk mewadahi pelaksanaan ADR ini  Pemerintah melalui Undang-

undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 

Aturan inilah yang menjadi tolok ukur untuk mengetahui seberapa pentingnya lembaga 

mediasi didalam penyelesaian konflik tanah.2 

 


Eksistensi Pemilikan Hak Atas Tanah Berdasarkan Hukum Pertanah 

 Setelah Indonesia merdeka, penguasaan tanah secara umum dikuasai oleh 

Negara sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa 

“bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara 

dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Hal ini bukan berarti 

rakyat tidak boleh memiliki hak atas tanah baik secara individu maupun kelompok, 

                                                          

namun demikian Negara yang bertanggungjawab atas pengelolaan dan pengaturan 

secara nasional atas tanah di Indonesia. 

Dengan demikian setiap warga Negara, kelompok masyarakat atau badan hukum 

dapat memiliki hak atas tanah sesuai dengan jenis yang ditetapkan dalam ketentuan 

dimaksud. Selain dikenal jenis-jenis hak tanah juga ditetapkan bukti kepemilikan dan 

punguasahaan hak tanah secara sah, sebagaimana diatur dalam pasal 19 ayat (1) UU 

No.5 Tahun 1960 tentang UUPA yang substansinya menyatakan bahwa: “Untuk 

menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh 

wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan 

Peraturan Pemerintah”. Pendaftaran tanah dilakukan untuk menjamin kepastian hukum 

bagi masyarakat dalam memiliki, menguasai dan memanfaatkan tanah, karena itu bagi 

penguasaan tanah yang telah didaftarkan akan diterbitkan surat tanda bukti hak berupa 

“sertifikat”. 

Mengenai pengertian sertifikat hak atas tanah diatur dalam pasal 13 Peraturan 

Pemerintah No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, khususnya dalam ayat (3) 

dirumuskan, bahwa: “Salinan buku tanah dan surat ukur setelah dijahit menjadi satu 

bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri 

Agraria, disebut sertifikat dan diberikan kepada yang berhak”. Selanjutnya dalam ayat 

(4) dikatakan: “Sertifikat ini  pada ayat (3) pasal ini yaitu  surat tanda bukti hak 

yang dimaksud dalam pasal 19 UUPA”. Ketentuan undang-undang dimaksud mengikat, 

sehingga setiap warga Negara (rakyat) atau masyarakat sebagai pemilik hak atas tanah 

diwajibkan untuk mendaftarkan tanah yang dikuasainya dan akan diberikan salinan 

buku tanah yang disebut “sertifikat”, yang merupakan surat tanda bukti hak. Dengan 

demikian “sertifikat” sebagai salinan buku tanah yang memiliki ketentuan hukum 

tertinggi. 

Oleh karena itu seseorang atau kelompok masyarakat atau badan hukum yang 

telah menguasai tanah dan memiliki tanda bukti sertifikat tanah dapat mengklaim 

dirinya sebagai pemilik yang sah, namun demikian tidak menutup kemungkinan dan 

bukti-bukti lain di luar sertifikat yang dapat dilakukan secara serentak yang dipengaruhi 

kondisi masyarakat, kesiapan aparat dan pembiayaan, maka alat-alat bukti lain ini  

tetap dapat dijadikan petunjuk mengenai adanya hak atas tanah milik seseorang atau 

badan hukum. Di sini lahir stelsel negatif, yang artinya terbuka kemungkinan untuk 

 

menggugurkan hak seseorang/ pihak sekiranya ada pihak/ orang lain yang lebih berhak 

atasnya. 

Asas stelsel negatif yang dianut hukum agraria nasional yaitu  bertujuan untuk 

“memberi  perlindungan terhadap pemilik yang berhak”. Hal ini sangat berbeda 

dengan asas positif yang memberi  perlindungan pada pemilik yang terdaftar atau 

tercantum dalam buku tanah. Jadi bukannya sertifikat yang menentukan hak suatu pihak 

atau seseorang atas tanah, sehingga kekuatan sertifikat ditopang dengan adanya 

hubungan hukum dimaksud. Artinya dengan stelsel positif maka yang namanya 

tercantum dalam sertifikat tanah yaitu  dianggap sebagai orang yang benar-benar 

berhak atas tanah terebut. Sedang apabila ada hak orang lain di atasnya, maka 

pemegang hak atas tanah namanya tercantum dalam sertifikat wajib memberi  ganti 

rugi kepada yang orang berhak jika terjadi pelanggaran dalam penguasaan hak atas 

tanah ini , tanpa menggugurkan hak orang yang namanya telah tercantum pada 

sertifikat tanah ini . 

Dengan demikian dapat dipahami, bahwa masih ada dua konsep kepemilikan atau 

penguasaan hak tanah, yakni penguasaan tanah yang telah terdaftar atau “bersertifikat” 

yang mendapatkan pengakuan utama, dan penguasaan tanah yang belum terdaftar atau 

yang “belum bersertifikat” yang juga mendapatkan pengakuan walaupun lebih rendah 

derajat pengakuannya. 

Menurut pasal 3 Peraturan Pemerintahan No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran 

Tanah yang merupakan pengganti dari Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 

dikatakan bahwa pendaftaran tanah dilakukan memiliki tujuan, antara lain: 

1. Untuk memberi  kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang 

hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar 

agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang 

bersangkutan, 

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk 

Pemerintah agar dapat dengan mudah memperoleh data yang diperlukan dalam 

mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan 

rumah susun yang sudah terdaftar, 

3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. 

Apabila dicermati secara mendalam dari ide dasar dan tujuan utama (main 

purpose) penyelenggaraan pendaftaran hak tanah sebagaimana ini  di atas maka 

dapat dipahami bahwa pemilik tanah yang telah didaftarkan lebih memiliki kepastian 

hukum dan terjamin perlindungannya secara hukum dibandingkan dengan yang belum 

didaftarkan (belum bersertifikat). Namun demikian bukan berarti tidak mengakui bagi 

pemilik tanah yang belum didaftarkan. Apabila ada hak orang lain maka orang 

yang berhak ini  dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Jika terbukti bahwa 

pihak yang tercantum dalam sertifikat ternyata tidak berhak, maka pengadilan dapat 

membatalkan sertifikat ini  dan memerintahkan penggantian nama orang yang 

berhak atas tanah dalam sertifikat dimaksud.3 

 

Jenis-Jenis Hak Atas Tanah 

Pada tahun 1960 dengan dibentuknya Undang Undang Hukum Agraria Nasional, 

yakni Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Peraturan Dasar 

Agraria, yang dikenal juga sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan 

Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (L.N. 1961 No.28) 

maka keberadaan hak eigendom yang diterapkan di Indonesia selama masa penjajahan 

Belanda dihapuskan, meskipun hukum agrarian nasional yang dibentuk ini  juga 

masih bersifat pluralistik, karena yang dijadikan landasan yaitu  hukum adat yang 

bersifat pluralistis. Di dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang UUPA 

mengenai hak-hak atas tanah dirumuskan dalam Pasal 16 dimana dikenal adanya jenis-

jenis hak atas tanah, antara lain : 

1.  Hak Milik 

Untuk sekarang ini, Hak Milik yaitu  yang terkuat dan terpenuh, dan berlaku 

turun-temurun dalam jangka waktu yang tidak terbatas, pemiliknya warga Negara 

Indonesia dan dimungkinkan badan hukum tertentu sesuai PP No. 38 Tahun 1963, dapat 

dialihkan kepada pihak lain, dapat dijadikan jaminan hutang, dapat hilang karena 

tanahnya jatuh kepada Negara yang disebabkan oleh pencabutan hak; penyerahan 

sukarela; ditelantarkan; pengalihan kepada warga Negara/badan hukum asing. 

                                                          

2.  Hak Guna Usaha 

Biasanya Hak guna usaha ini diberikan untuk mengusahakan tanah yang dikuasai 

langsung oleh Negara dalam bidang usaha pertanian, perikanan atau peternakan, dan 

dengan jangka waktu yang terbatas dan dapat diperpanjang (maksimal 35 tahun). 

Pemiliknya warga Negara Indonesia dan atau badan hukum yang ada dan didirikan 

berdasarkan hukum Indonesia, dapat dialihkan kepada pihak lain serta dapat dijadikan 

jaminan hutang. Hak guna usaha ini dapat dihapus karena jangka waktunya berakhir; 

dihentikan jangka waktunya; dilepaskan oleh pemegangnya; dicabut untuk kepentingan 

umum; ditelantarkan; tanahnya musnah. 

3.  Hak Guna Bangunan 

Hak guna bangunan ini berarti mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah 

yang bukan miliknya sendiri; dengan jangka waktu yang terbatas dan dapat 

diperpanjang (maksimal 30 tahun). Pemiliknya warga Negara Indonesia dan atau badan 

hukum yang ada dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia yang dapat memiliki hak 

ini ; dapat dialihkan kepada pihak lain; dapat dijadikan jaminan hutang. Hak guna 

bangunan ini akan tidak berlaku lagi karena jangka waktunya berakhir; dihentikan 

jangka waktunya; dilepaskan oleh pemegangnya; dicabut untuk kepentingan umum; 

ditelantarkan; tanahnya musnah. 

4.  Hak Pakai  

Hak Pakai ini dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia dan warga Negara asing 

yang berkedudukan di Indonesia dan atau badan hukum yang ada dan didirikan 

berdasarkan hukum Indonesia serta badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di 

Indonesia yang dapat memiliki hak ini  untuk menggunakan dan atau memungut 

hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain dalam 

jangka waktu tertentu selama tanahnya masih diperlukan (maksimal 25 tahun). Hak 

pakai ini dapat dialihkan kepada pihak lain ataupun jaminan hutang. 

 

Pembuktian Kepemilikan Atas tanah 

Dalam penjelasan Pasal 24 ayat (1) ini  dikemukakan bahwa pemilikan itu 

pada dasarnya terdiri atas bukti pemilikan atas nama pemegang hak pada waktu 

berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960 dan apabila hak ini  kemudian 


beralih, bukti peralihan hak berturut-turut sampai ke tangan pemegang hak pada waktu 

dilakukan pembukuan hak yang bersangkutan. 

Dalam hal yang demikian, pembukuan haknya dilakukan melalui penegasan 

konversi hak yang lama menjadi hak baru yang didaftar. Selanjutnya dijelaskan dalam 

Penjelasan ayat (1), bahwa alat-alat bukti tertulis yang dimaksud dalam Pasal 24 ayat 

(1) di atas dapat berupa : 

a. Grosse akta hak eigendom yang diterbitlkan berdasarkan Overschrijvings 

Ordonnantie (Staatsblad 1834-27) yang telah dibubuhi catatan, bahwa hak 

eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi Hak Milik atau; 

b. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Ordonnantie ini  sejak 

berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut 

Peraturan Pemerinta No.10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan atau; 

c. Surat tanda bukti hak Milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang 

bersangkutan atau; 

d. Sertifikat Hak Milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria No. 9 

Tahun 1959 atau; 

e. Surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang, baik sebelum 

atau sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan 

hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di 

dalamnya atau; 

f. Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan, yang dibubuhi tanda kesaksian 

oleh Kepala Adat/ Kepala Desa/ Kelurahan, yang dibuat sebelum Peraturan 

Pemerintah No.10 Tahun 1961, yang menentukan bahwa harus ada bukti akta 

PPAT, sejak Peraturan Pemerintahan ini  mulai dilaksanakan di suatu daerah 

atau; 

g. Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum 

dibukukan (seharusnya ditambahkan: atau tanahnya yang sudah dibukukan, tetapi 

belum diikuti pendaftaran pemindahan haknya pada Kator Pertanahan) atau; 

h. Akta ikrar wakaf/ surat ikrar wakaf yang dibuat sebelumnya atau sejak mulai 

dilaksanakannya Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1977 atau;

i. Risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya  

belum dibukukan (seharusnya ditambahkan: atau tanahnya yang sudah dibukukan, 

tetapi belum diikuti pendaftaran pemindahan haknya pada Kator Pertanahan) atau; 

j. Surat penunjukan atau pembelian (seharusnya; pemberian kaveling tanah pengganti 

tanah yang diambik oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah atau; 

k. Petuk Pajak Bumi/ Landrente, girik, pipil, kekitir, dan Verponding Indonesia 

sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 (seharusnya: 

sebelum berlakunya UUPA. Sejak mulai berlakunya UUPA tidak dipungut lagi 

Pajak Bumi, karena tidak ada lagi tanah Hak Milik Adat) atau; 

l. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak 

Bumi dan Bangunan atau; 

m. Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII ketentuan-ketentuan Konversi 

UUPA. 

 

Dalam hak pemilihan bukti tertulis ini  tidak lengkap, maka dapat dilakukan 

dengan keterangan saksi dan atau pernyataan pemilik tanah yang dapat dipercaya 

kebenaranya menurut pendapat Ajudikasi/ Kepala Kantor Pertanahan, demikian 

dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan Ayat (1) Pasal 24 PP No.24 Tahun 1997 

tentang Pendaftaran Tanah. 

Keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan mengenai pemilikan tanah 

itu berfungsi menguatkan bukti tertulis yang tidak lengkap ini , atau sebagai 

pengganti bukti tertulis yang tidak ada lagi. Yang dimaksud dengan saksi yaitu  orang 

yang cakap memberi  kesaksian dan mengetahui kepemilikan tanah yang 

bersangkutan. 

Maka mengenai kepemilikan itu ada tiga kemumungkinan alat pembuktiannya, 

yaitu: 

a. Bukti tertulisnya lengkap: tidak memerlukan tambahan alat bukti lain; 

b. Bukti tertulisnya sebagian tidak ada lagi; diperkuat keterangan saksi dan atau 

pernyataan yang bersangkutan; 

c. Bukti tertulisnya semuanya tidak ada lagi: diganti keterangan saksi dan atau 

pernyataan yang bersangkutan. 

Akan tetapi, semua akan diteliti lagi melalui pengumuman untuk memberi 

kesempatan kepada pihak-pihak yang berkepentingan mengajukan keberatan. 

Dalam Pasal 24 ayat (2) diatur pembukuan hak dalam hal tidak atau tidak lagi 

tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian pemilikan yang tertulis, kebenarannya 

mengenai kepemilikan tanah yang bersangkutan, sebagaimana yang disebut dalam ayat 

(1) di atas. Dalam hal yang demikian, pembukuan haknya dapat dilakukan tidak 

didasarkan pada bukti pemilikan, melainkan pada bukti penguasaan fisik tanahnya oleh 

pemohon pendaftaran dan pendahuluan-pendahuluannya selama 20 tahun atau lebih 

secara berturut-turut. 

Dalam penjelasan ayat (2) ini , dirinci syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi 

pembukuan hak yang bersangkutan, yaitu: 

a. Penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan dilakukan dengan itikad 

baik, secara nyata dan terbuka selama waktu yang disebut di atas; 

b. Kenyataannya penguasaan dan penggunaan tanah ini  selama itu tidak 

diganggu gugat karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum 

adat atau desa/ kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya; 

c. Hal-hal ini , yaitu penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan srta 

tidak adanya gangguan, diperkuat oleh kesaksian orang-orang yang dapat 

dipercaya; 

d. Telah diadakan penelitian mengenai kebenaran hal-hal yang disebutkan di atas; 

e. Telah diberi kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan melalui 

pengumuman sebagaimana dimaksud Pasal 26; 

f. Akhirnya kesimpulan mengenai status tanah dan pemegang haknya dituangkan 

dalam Keputusan berupa poengakuan hak yang bersangkutan oleh Panitia 

Ajudikasi/ Kepala Kantor Pertanahan. 

Sertifikat sebagai surat tanda bukti hak, diterbitkan untuk kepentinagn pemegang 

hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data 

yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. Memperoleh sertifikat yaitu  hak 

pemegang hak atas tanah, yang dijamin undang-undang. 

Menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, sertifikat terdiri atas salinan 

buku tanah yang memuat data yuridis dan surat ukur yang memuat data fisik hak yang  

bersangkurtan, dijilid menjadi suatu dalam sampul dokumen (Pasal 13). Cara 

pembuatan sertifikat yaitu  seperti pembuatan buku tanah, dengan ketentuan bahwa 

catatan-catatan, yang bersifat sementara dan sudah dihapus tidak dicantumkan. Oleh 

karena itu, sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat, sebagaimana dinyatakan 

dalam pasal 19 UUPA. Sehubungan dengan itu apabila masih ada ketidakpastian 

mengenai hak atas tanah yang bersangkutan, yang tercatat dari masih adanya catatan 

dalam pembukuannya, pada prinsipnya sertifikat belum dapat diterbitkan. Namun 

apabila catatan itu belum lengkap, tetapi tidak disengketakan, sertifikat dapat 

diterbitkan. 

 

Praktek Penyelesaian Sengketa Tanah yang terjadi pada daerah pedesaan 

Konflik tanah kerap kali terjadi pada tanah yang belum didaftarkan 

kepemilkannya kepada Badan Pertanahan, hal ini  akan sering kita jumpai pada 

tanah yang terletak di daerah-daerah pedesaan atau daerah pelosok yang masih kurang 

akan SDM yang mengetahui akan pentingnya pendaftaran tanah dilakukan. Adapun 

peran pemerintah desa dalam bentuk mendamaikan secara kekeluargaan, mengajukan 

mediasi (adanya pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi 

dan menyelesaikan sengketa antara para pihak yang harus berada pada posisi netral dan 

tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa, Ia harus mampu menjaga kepentingan 

para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan 

(trust) dari para pihak yang bersengketa. Perdamaian yaitu  suatu persetujuan di mana 

kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, 

mengakhiri suatu sengketa yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu 

perkara, dan persetujuan perdamaian tidak sah melainkan harus dibuat secara tertulis 

dan bentuk penyelesaian sengketa yang dijalankan ini memiliki kelemahan, dimana 

tidak mengikat, bahkan kedua belah pihak yang telah setuju mengambil jalur damaipun 

kadang menggugat kembali karena merasa tidak adil, dan bentuk penyelesaian sengketa 

tanah ini pun tidak memiliki kepastian hukum. Penyelesaian sengketa tanah dapat 

ditempuh melalui cara berikut ini : 

 

1.  Musyawarah (Negotiation)  

Musyawarah atau negosiasi salah satu penyelesaian sengketa digunakan oleh 

berbagai pihak dalam menyelesaikan sengketa pertanahan. Dalam UU Nomor 30 Tahun 

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa cara musyawarah atau 

negoisasi disebutkan dalam pasal 6 ayat (2).  

Musyawarah atau negoisasi berasal dari bahasa Inggris, negotiation yang artinya 

perundingan. Dalam istilah sehari-hari negoisasi sepadan dengan istilah berunding, 

bermusyawarah atau bermufakat. Penyelesaian secara musyawarah juga dikenal dengan 

sebutan penyelesaian secara bipartit yaitu penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak 

yang sedang berselisih. Orang yang mengadakan perundingan disebut negosiator.  

Dengan demikian musyawarah atau negosiasi merupakan bentuk penyelesaian 

sengketa diluar pengadilan atau non litigasi yang dilakukan sendiri oleh pihak yang 

bersengketa atau oleh kuasanya, tanpa bantuan dari pihak lain, dengan cara musyawarah 

atau berunding untuk mencari pemecahan yang dianggap adil di antara para pihak. Hasil 

dari musyawarah atau negosiasi berupa penyelesaian kompromi (compromise solution) 

yang tidak mengikat secara hukum.  

Jika musyawarah berhasil dilakukan dan mencapai kesepakatan, maka akan 

dibuatkan perjanjian bersama yang isinya mengikat para pihak. Sebaliknya, jika dalam 

waktu 14 hari tidak mencapai kesepakatan maka atas kesepakatan tertulis kedua belah 

pihak, sengketa diselesaikan melalui konsiliasi ataupun mediasi. Penyelesaian sengketa 

dengan cara musyawarah atau negosiasi memungkinkan dilakukan untuk sengketa tanah 

dengan objek tanah belum terdaftar.  

 

2.  Konsiliasi  

Konsiliasi yaitu  penyelesaian konflik, termasuk konflik pertanahan yang 

ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral yang dipilih atas kesepakatan 

para pihak. Konsiliator ini  harus terdaftar di kantor yang berwenang menangani 

masalah pertanahan, dalam hal ini Kantor Pertanahan itu sendiri. Konsiliator harus 

dapat menyelesaiakan perselisihan ini  paling lama 30 hari sejak menerima 

permintaan penyelesaian konflik ini . Pada kesempatan pertama ini , 

konsiliator wajib mendamaikan para pihak terlebih dahulu. Jika terjadi kesepakatan 

damai, maka dibuatkan perjanjian bersama untuk kemudian didaftarkan di pengadilan 

wilayah hukum mana kesepakatan itu dibuat.   

Bila konsiliator gagal mendamaikan para pihak, konsiliator mengeluarkan anjuran 

penyelesaian tertulis paling lambat 10 hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama. 

Persetujuan atau penolakan para pihak yang berkonflik ini  harus disampaikan oleh 

para pihak yang berkonflik paling lama 10 hari kerja sejak menerima anjuran tertulis 

dari konsiliator.  

Apabila para pihak menyetujui anjuran tertulis dari konsiliator, maka dibuatkan 

lagi perjanjian bersama untuk didaftarkan di pengadilan wilayah mana tanah yang 

menjadi objek konflik untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran, bahwa konflik 

diantara para pihak telah diselesaikan secara konsiliasi. Tetapi bila anjuran tertulis 

ini  ditolak oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak, maka salah satu pihak 

atau kedua belah pihak dapat mengajukan penyelesaian ke pengadilan setempat dengan 

mengajukan gugatan. Penyelasain sengketa dengan cara konsiliasi tidak cocok 

digunakan untuk sengketa tanah dengan objek tanah belum terdaftar.  

 

3.  Arbitrase  

Penyelesaian sengketa dengan cara ini merupakan pengendalian konflik atau 

sengketa yang dilakukan dengan cara kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat 

untuk menerima atau terpaksa akan hadirnya pihak ketiga yang akan memberi  

keputusan bagi mereka dalam menyelesaikan konflik ini . Dalam penyelesaian 

secara arbitrase, kedua belah pihak sepakat untuk mendapatkan keputusan yang bersifat 

legal sebagai jalan keluar bagi konflik yang terjadi di antara para pihak. Dalam metode 

ini, seorang arbitrator atau majelis arbitrator yaitu  orang yang berperan untuk 

menyelesaikan konflik ini . 

Secara umum proses persidangan arbitrase dapat melalui beberapa tahap. Mulai 

dari upaya damai, jawaban termohon, tanggapan pemohon, pemeriksaan bukti, 

keterangan saksi dam ahli, kesimpulan akhir para pihak, dan terakhir pembacaan 

putusan. Putusan arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap serta 

mengikat para pihak. Dengan demikian terhadap putusan arbitrase tidak dapat diajukan 

banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali. Metode ini mungkin untuk diterapkan 

dalam penyelesaian sengketa tanah belum terdaftar tetapi rumit sehingga tidak 

direkomendasikan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Grobogan.  

4.  Mediasi  

Secara formal mediasi merupakan pengendalian sengketa dan konflik pertanahan 

yang dilakukan dengan cara membuat konsensus di antara dua pihak yang berkonflik 

untuk mencari pihak ketiga yang berkedudukan netral sebagai mediator dalam 

penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan. Penyelesaian sengketa pertanahan 

melalui cara mediasi, kedua belah pihak sepakat mencari nasehat dari pihak ketiga. 

Mediasi dilakukan atas dasar kesepakatan kedua pihak yang bersengketa bahwa masalah 

mereka akan diselesaikan melalui bantuan seorang atau beberapa penasehat ahli maupun 

seorang mediator. Pihak ketiga yang memberi  bantuan ini harus bersifat netral (tidak 

memihak) serta independen, dalam artian tidak dapat diintervensi oleh salah satu pihak. 

Penyelesaian sengketa tanah belum terdaftar dengan cara mediasi yaitu  alternatif 

pilihan penyelesaian sengketa non litigasi yang paling tepat untuk digunakan oleh 

mediator, dalam hal ini yang berlaku sebagai mediator yaitu  pihak Kantor Pertanahan 

itu sendiri.

 

Wujud Penyelesaian Sengketa Tanah 

Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of 

interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara 

perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan 

badan hukum dan lain sebagainya.Sehubungan dengan hal ini  di atas, guna 

kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud 

antara lain dapat diberikan respons/reaksi/penyelesaian kepada yang berkepentingan 

(masyarakat dan pemerintah). Wujud penyelesaian sengketa tanah terbagi atas dua 

yaitu: 

1. Perdamaian 

Perdamaian yaitu  suatu persetujuan dimana kedua belah pihak dengan 

menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu sengketa yang 

sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara, dan persetujuan perdamaian 

tidak sah melainkan harus dibuat secara tertulis.                                                           

2. Keputusan 

Keputusan yaitu  penarikan kesimpulan keterangan dari semua pihak yang 

bersengketa, sehingga adanya atau timbulnya putusan yang kemudian hasil keputusan 

ini disampaikan kepala desa selaku mediator sekaligus hakim dalam permasalahan yang 

terjadi kepada para pihak yang bersengketa.