hukum perikatan 2
ebab kan dalam persekutuan perjanjian hanyalah
antara para pihak yang mengikatkan dirinya dan tidak memiliki
pengaruh ke luar kepada pihak yang lain. Begitu juga sebaliknya, pihak
ketiga tidak memiliki kepentingan bagaimana diaturnya kerjasama
dalam persekutuan itu, sebab para sekutu bertanggungjawab secara
pribadi atau perseorangan tentang hutang-hutang yang mereka buat.
Sebagai gambaran jika A , B dan C mengikatkan diri dalam persekutuan,
maka tindakan maupun berbagai perjanjian yang dilakukan oleh A ke luar
yaitumenjadi tanggung jawabnya sendiri. Maknanya A sendirilah yang
terikat dengan perjanjian ini . Berbeda dengan Firma, dalam hal mana
jika salah satu peseronya melakukan perjanjian maka menurut undang-
undang memiliki wewenang untuk mengikatkan kawan-kawan pesero
lainnya kepada pihak ketiga. Tentang pembagian keuntungan maupun
bentuknya modal yang dimasukkan oleh masing-masing sekutu yaitutidak
ditentukan oleh Undang-Undang, untuknya semua diserahkan kepada
mereka sendiri untuk mengaturnya di dalam perjanjian persekutuannya.
Berakhirnya persekutuan dapat terjadi sebab : a) lewat waktu, b)
musnahnya barang atau telah diselesaikannya pekerjaan yang menjadi
pokok persekutuan, c) atas kehendak semata-mata dari seorang atau
beberapa sekutu, dan d) jika sakah seorang sekutu meninggal, atau ditaruh
di bawah pengampuan dan atau dinyatakan pailit.
6. Perkumpulan
Perkumpulan menurut Subekti (1995: 89) yaitujuga “perhimpunan” yaitu
perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang bertujuan untuk mencapai
tujuan tertentu dengan tidak mencari keuntungan tertentu, dalam hal
mana kerja sama ini disusun dengan bentuk dan cara sebagaimana yang
diatur dalam “anggaran dasar” ataupun “statuten”nya. Dalam bukunya
Subekti menyampaikan bahwa pada dasarnya tidak lazim suatu
Perkumpulan dianggap sebagai bentuk perjanjian, disebab kan pengaturan
terhadap tidak ada pada Buku Ketiga KUH Perdata melainkan pada
Buku Pertama Bagian tentang Orang, Perihal Perbuatan Hukum.
Hal lain yang juga dapat menunjukkan bahwa suatu perkumpulan bukanlah
suatu perjanjian termaktub dalam Lembaran Negara Tahun 1870 Nomor 64
yang menyatakan bahwa suatu perkumpulan dapat meminta pengakuan
keberadaannya sebagai Badan Hukum (rechts persoon) kepada Menteri
Kehakiman. Dengan demikian, pada posisi ini perkumpulan yaitusubjek
hukum, bukannya suatu perbuatan ataupun hubungan hukum sebagaimana
perjanjian.
KUH Perdata memberikan pengaturan tentang Perkumpulan pada Pasal
1653 sampai dengan 1665.
7. Hibah
Hibah yaitusuatu perjanjian dengan mana si penghibah (pemberi hibah)
pada masa hidupnya, dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali,
65
menyerahkan sesuat barang guna keperluan si penerima hibah yang
menerima penyerahan ini . Pengaturan atas hibah didapat pada Pasal
1666 sampai dengan 1693 KUH Perdata.
Menelaah dari pengertian ini di atas, dapat diketahui bahwa
perjanjian yaitubersifat sepihak, disebab kan dalam perjanjian ini pihak
penerima hibah tidak perlu memberikan kontraprestasi sebagai imbalan
kepada pihak penghibah. Hibah perlu dibedakan dengan wasiat yang baru
terjadi sesudah si pemberi meninggal dunia dan tertuang dalam bentuk
testament, ataupun dengan warisan.
Ketentuan dalam pengibahan juga mensyaratkan bahwa si penghibah
yaitutidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual
atau memberikan kepada orang lain suatu barang yang termasuk dalam
penghibahan. Jika hal ini terjadi, maknanya bukanlah hibah namun
memberikan hakuntuk menikmati hasi semata. Dan dalam kondisi
sebagaimana ini terjadi, maka hibah yaitubatal.
Hibah sebagaimana perjanjian lainnya yaitubersifat obligatoir,
penyerahan hak milik baru akan terjadi jika telah terlaksananya ”levering”,
yang untuk barang tetap dilakukan melalui akta notaris sedang untuk
barang bergerak tidak diperlukan formalitas ini, namun demi kepentingan
para pihak sangatlah dianjurkan melalui akta notaris, terutama jika
bendanya bernilai tinggi. Penting juga untuk memperhatikan bahwa dalam
pelaksanaannya perjanjian hibah tetap harus memperhatikan ketentuan
serta tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum
maupun kesusilaan.
8. Penitipan Barang
Penitipan barang yaitu suatu perjanian riil yang baru akan terjadi
jika seseorang telah menerima sesuatu barang dari seorang lain dengan
syarat bahwa ia akan menyimpannya dengan mengembalikanya dalam
wujud asal. Dasar hukumnya kita dapati pada Pasal 1694 KUH Perdata.
ada dua macam penitipan barang, yaitu penitipan sejati yaitu yang
dibuat dengan cuma-cuma kecuali jika diperjanjikan sebaliknya dan
terhadap barang bergerak, dan yang kedua yaitupenitipan sekestrasi.
Yaitu perjanjian penitipan barang dalam hal terjadinya perselisihan.
66
Barangnya dapat berupa barang bergerak maupun barang tetap, dan
keberadaannya yaitupada pihak ketiga yang mengikatkan dirinya untuk
menyimpan barang ini dan akan mengembalikannya kepada siapa
yang dinyatakan berhak beserta hasil-hasilnya. Penitipan bentuk ini dapat
terjadi sebab persetujuan para pihak ataupun sebab adanya putusan atau
penetapan dari Pengadilan.
Selain pembedaan di atas, Subekti (1995: 113 – 114) menyebutkan juga
tentang penitipan terpaksa yang terhadapnya mendapatkan pengaturan
pada Pasal 1703. dalam hal ini terjadi sebab adanya malapetaka misalnya:
kebakaran, banjir, karamnya kapal, dan lain-lain malapetaka dalam kategori
peristiwa yang tidak disangka datangnya.
9. Pinjam Pakai
Perjanjian pinjam pakai yaituperjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan
cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini sesudah
memakai atau sesudah lewat waktu tertentu akan mengembalikannya.
Pengaturan umum bisa kita dapatkan pada Pasal 1794 KUH Perdata.
Perjanjian pinjam pakai mensyaratkan pihak yang meminjam pakai untuk
mengembalikan barangnya dan memperlakukan barangnya sebagaimana
bapak rumah yang baik dan terhadap objeknya ditentukan yaitusetiap
barang yang dapat dipakai oleh orang dan memiliki sifat tidak musnah
sebab pemakaian. Perjanjian pinjam pakai harus dibedakan dengan pinjam
meminjam (yang akan dibahas dalam sub pembahasan berikut) serta
dengan sewa menyewa yaitu perjanjian sejenis pinjaman dengan
pembayaran beberapa uang tertentu sebagai harga sewa.
10. Pinjam Meminjam
Perjanjian pinjam meminjam yaitusuatu perjanjian dengan mana pihak
yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu
barang-barang yang habis sebab pemakaian, dengan syarat bahwa pihak
yang terakhir ini akan mengembalikan beberapa yang sama dari jenis dan
mutu yang sama pula. Ketentuan umum terhadapnya dapat kita lihat pada
Pasal 1754 KUH Perdata.
Perjanjian pinjam meminjam mensyaratkan bahwa pihak yang
meminjamkan barang tidak boleh meminta kembali apa yang telah
dipinjamkannya sebelum lewatnya waktu yang telah ditentukan dalam
perjanjian sedang si peminjam yaituberkewajiban untuk
mengembalikanya dalam bentuk dan jumlah serta mutu yang sama.
11. Perjanjian Untung-Untungan
Perjanjian ini yaitusuatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung
ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak yaitu
bergantung pada suatu keadaan yang belum tentu. Yang termasuk dalam
perjanjian ini adalan perjanjian pertanggungan, bunga cagak hidup dan
perjudian dan pertaruhan.
Pasal 1774 KUH Perdata mengatur tentang perjanjian untung-untungan
yang menyatakan bahwa suatu perjanjian untung-untungan yaitusuatu
perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak
maupun bagi sementara pihak yaitubergantung kepada suatu keadaan
yang belum tentu.
Perjanjian pertanggungan diatur dalam KUH Dagang (Pasal 246) yang
ketentuannya bermakna bahwa adanya perjanjian yang dibuat oleh para
pihak dengan mana pihak yang satu berkewajban untuk membayar suatu
angsuran yang disebut premi dalam jangka waktu yang telah disepakati
atau sampai ia meninggal, dan pihak yang lainnya (perusahaan asuransi)
yaituberkewajiban untuk memberikan beberapa uang tertentu pada
waktu pihak yang pertama (atau orang lain yang ditunjuk olehnya
tertanggung) meninggal dunia atau lewatnya waktu dalam perjanjian.
Keberadaannya perjanjian penanggungan ini ada yang menganggap sebagai
bagian dari perjanjian untung-untungan sebagaimana yang dimaksudkan
oleh KUH Perdata namun ada juga yang menganggap berada di luar KUH
Perdata disebab kan pengaturannya secara khusus juga didapat pada KUH
Dagang.
Keberadaan bunga cagak hidup yang menjadi bagian dari perjanjian untung-
untungan yaituyang diistilahkan dengan ”lifjrente” yaitusuatu
perjanjian yang lahir atas beban atau melalui akte hibah maupun wasiat.
Perjanjian atas beban ini bersifat timbal balik, berbeda dengan hibah
maupun wasiat yang bersifat sepihak. Perjanjian ini dikenal juga dengan
bunga tetap atau bunga abadi yang oleh Pasal 1770 KUH Perdata
diperbolehkan, namun dalam perkembangannya sudah mulai ditinggalkan
sebab lahirnya jenis perjanjian baru yang disebut dengan deposito. Terjadi
antara pihak nasabah dengan pihak bank dengan tujuan yang mirip dengan
bunga cagak hidup yaitu mendapatkan pengembangan berupa bunga.
Terkait dengan perjudian ataupun pertaruhan sendiri, hasil tentang untung
ruginya yaitudigantungkan pada suatu keadaan atau peristiwa yang
belum tentu. Perbedaan antara perjudian dengan pertaruhan yaitubahwa
dalam perjudian para pihaknya terlibat, ikut serta ataupun mengambil
bagian sedang dalam pertaruhan, mereka berada di luar permainan
ini . Terhadap hal ini, Pasal 1788 dan 1789 KUH Perdata memberikan
pengaturan bahwa, jika utang judi maupun utang pertaruhan terjadi
maka undang-undang tidak memberikan suatu tuntutan hukum. Namun
demikian, jika hutangnya telah dibayarkan dengan sukarela maka sekali-
kali ia tidak boleh menuntut kembali, kecuali dapat dibuktikan adanya
kecurangan ataupun penipuan.
Hal ini dalam KUH Perdata yang dikenal sebagai Natuurlijke Verbintennis
atau perikatan wajar/alami (Pasal 1359 (2) ).
12. Pemberian Kuasa
Pasal 1792 KUH Perdata mengatur bahwa suatu pemberian kuasa yaitu
persetujuan atau perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan
(wewenang) kepada seorang lain, yang menerima nya untuk atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan. Menyelenggarakan suatu urusan ini
yaitusuatu perbuatan hukum yang akan melahirkan akibat hukum. Kuasa
dapat diberikan dalam suatu akte umum; tulisan di bawah tangan; bahkan
dengan sepucuk surat ataupun lisan. Maknanya dengan apapun bentuknya
pemberian kuasa dia yaitumengikat sejak tercapainya kata sepakat di
antara para pihak.
Pemberian kuasa sebagaimana digambarkan di awal yaitumemberikan
hak kepada orang lain untuk mewakili kepentingan orang yang memberikan
kuasa. Perwakilan ini ada yang lahir sebab undang-undang, dan lahir
sebab perjanjian. Bentuknya dapat berupa pemberian 1) kuasa umum atas
pengurusan umum yang meliputi kepentingan dari si pemberi kuasa, dan
pemberian 2) kuasa khusus yaitu mengenai hanya satu kepentingan. Selain
69
itu, dalam praktek bentuk kuasa juga dapat berupa 3) kuasa istimewa yang
menyebutkan secara khusus dengan tegas menyebutkan satu per satu,
tindakan apa yang harus dilakukan oleh si kuasa. Berikutnya yaitu4) kuasa
perantara, yaitu kuasa yang hanya jadi penghubung antara pemberi kuasa
dengan pihak ketiga.
13. Penanggungan
Penanggungan yaitupersetujuan dengan mana seorang pihak ketiga,
guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi
perikatannya si berhutang saat orang ini sendiri tidak memenuhinya.
Ketentuan tentang penanggungan ada pada Pasal 1820 KUH Perdata.
M. Yahya Harahap (1982: 315-316) menyebutkan bahwa perjanjian
penanggungan memiliki ciri dilakukan dengan atau secara sukarela, dalam
hal mana pihak ketiga ini sama sekali tidak memiliki urusan dan
kepentingan apa-apa dalam perjanjian yang dibuat oleh debitur dan
kreditur. Ciri ini dapat dibedakan pada dua hal: a) Ciri subsidair, yaitu
dengan adanya pernyataan mengikatkan diri memenuhi perjanjian dari
pihak penjamin (borg). Hal ini akan terlihat dengan tibanya waktu
perjanjian, jika debitor tidak memenuhi maka pihak penjamin dapat
dituntut oleh kreditur untuk memenuhinya, b) Ciri assessor yaitu perjanjian
penjaminan hanyalah perjanjian sampingan yang melekat atau menempel
pada perjanjian pokok yang dibuat oleh debitur dan kreditur.
14. Perdamaian
Pasal 1851 KUH Perdata mengatur tentang perjanjian perdamaian yang
yaitu perjanjian dengan mana kedua belah pihak dengan
menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang mengakhiri suatu
perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara.
Perjanjian perdamaian harus dibuat dalam bentuk tertulis, jika terjadi
perdamaian dibuat secara tidak tertulis yaitutidak sah. Perjanjian
perdamaian yaituhanya terbatas pada apa yang termaktub dalam
perjanjian ini , oleh sebab itu setiap perdamaian hanya mengakhiri
apa yang dimaksud dalam perjanjian baik dirumskan secara khusus maupun
umum.
70
15. Pengangkutan
Perjanjian pengangkutan yaituperjanjian timbal balik antara pengangkut
dengan pengirim dalam hal mana pengangkut mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat
ke tempat tujuan tertentu dengan selamat sedang pengirim yaitu
mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.
Objek dari perjanjian pengangkutan yaitubarang dan orang. Untuk
pengangkutan barang, biasanya ditandai dengan tanda bukti pengiriman
barang berupa surat angkutan dan sifatnya yaituwajib ada. Isinya dengan
tegas harus mencantumkan tentang muatan yang diangkut serta
bagaimana tanggung jawab dari pengangkut. Dalam perkembangannya,
perjanjian pengangkut dituangkan dalam suatu kontrak standar yang
klausula-klausulanya telah ditentukan secara sepihak oleh pihak
pengangkut dan seringkali juga membatasi tanggung jawab pengangkut
dalam perjanjian ini . Untuk perjanjian pengangkutan orang yaitu
ditandai dengan diterbitkannya tanda bukti berupa tiket atau karcis
penumpang.
Sebagaimana telah disampaikan di awal pembahasan ini bahwa perjanjian
selain yang telah diatur dalam ketentuan KUH Perdata dapat juga lahir
akibat perkembangan kondisi kemasyarakatan sepanjang dia tidak
melanggar ketentuan perundang-undangan, ketertiban umum maupun
kesusilaan.
Perjanjian sebagaimana dimaksud biasanya tumbuh, hidup dan
berkembang sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat yang bersangkutan
dan pada saat ini telah berkembang cukup banyak jenis perjanjian-
perjanjian baru, diantaranya akan diulas secara umum pada bagian berikut:
1. Perjanjian Keagenan, dimana agen yaituperusahaan yang bertindak
atas nama prinsiple untuk kemudian menyalurkannya kepada
konsumen dengan mendapatkan komisi. Barang-barang yaitutetap
menjadi miliknya si prinsiple.
2. Perjanjian Distributor, yang mana distributor bertindak atas namanya
sendiri ia membeli dari produsen dan menjualnya kembali kepada
konsumen untuk kepentingan sendiri.
3. Perjanjian Pembiayaan, yaitu jenis perjanjian yang pada saat ini
diminati oleh masyarakat. Perjanjian pembiayaan memberikan
kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan modal usaha.
Keberadaan lembaga pembiayaan sendiri sebagai lembaga non
perbankan yaitudiatur dalam Keppres No. 61 Tahun 1988 dan SK
Menkeu No. 1251/KMK/013/1988, dalam praktiknya, perjanjian
pembiayaan ini berupa :
a) Perjanjian sewa guna usaha (leasing) yang memberikan barang
modal, baik dilakukan secara sewa guna usaha tanpa hak opsi
(operating list) untuk dipergunakan oleh leasee selama jangka
waktu tertentu dengan pembayaran berkala;
b) Perjanjian anjak piutang (factoring agreement) yaitu pembiayaan
dalam bentuk pembelian dan pengalihan serta pengurusan
piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari
transaksi perdagangan dalam dan luar negeri;
c) Perjanjian modal ventura yaitu perjanjian penyertaan modal
usaha dalam suatu perusahaan mitra dalam mencapai tujuan
tertentu seperti pengembangan suatu penemuan baru,
pengembangan perusahaan awal yang kesulitan modal,
pengembangan proyek penelitian dan rekayasa serta berbagai
pengembangan usaha dengan memakai teknologi.
4. Perjanjian Kartu Kredit, yaitu perjanjian untuk menerbitkan kartu
kredit oleh pihak perbankan yang dapat dimanfaatkan oleh
pemegangnya untuk pembayaran barang dan jasa.
5. Perjanjian Pembiayaan Konsumen, yaitu perjanjian penyediaan dana
bagi konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya
dilakukan secara angsuran.
6. Perjanjian Kredit, perjanjian ini yaituperjanjian penyediaan uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasar
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara pihak bank
dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya sesudah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, ibalan
atau pembagian keuntungan.
Selain dari perjanjian–perjanjian ini di atas dalam perkembangannya
di dunia internasional juga dikenal perjanjian joint venture, joint enterprise,
license agreement, kontrak karya, franchising agreement, technical
assisstance agreement, dan lain sebagainya.
HUKUM PERJANJIAN ISLAM
negara kita mengenal tiga (3) macam sistem hukum yang mengatur masalah
perrjanjian, yaitu hukum Adat, hukum Perdata Barat dan Hukum Islam yang
ketiganya berlaku di masyarakat beriringan.
Prinsip utama perjanjian dalam hukum Adat yaitubersifat riil atau nyata.
Asas yang berlaku yaituasas terang, tunai dan riil. Titik tolak pelaksanaan
perjanjiannya yaitumendasarkan pada perasaan kekeluargaan dan
kerukunan serta bersifat saling tolong menolong. Dalam konsep hukum
Adat, perjanjian tidak selamanya menyangkut hubungan hukum yang
terjadi di antara para pihak di bidang harta kekayaan sebagaimana dalam
hukum Perdata Barat. Dalam hukum Adat, yang dimaksudkan dengan
perjanjian juga termasuk pada jenis perjanjian yang tidak berwujud seperti
perbuatan karya budi.
Perjanjian dalam hukum Perdata Barat sendiri mendasarkan pada prinsip
kebebasan berkontrak (freedom of contract) sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 1338 jo Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1338 KUH Perdata
menyatakan “(1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. (2) Perjanjian itu tidak
dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau sebab
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. (3)
Perjanjian itu harus dilakukan dengan itikad baik”.
Keabsahan dari perjanjiannya yaitudengan mendasarkan pada ketentuan
Pasal 1320 KUH Perdata yaitu “Untuk sahnya perjanjian-perjanjian
diperlukan empat syarat: (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2)
kecakapan untuk membuat sesuatu perikatan, (3) suatu hal tertentu, (4)
suatu sebab yang halal”.
Akibat hukum dari perjanjian yang sah yaitutimbulnya kewajiban untuk
melaksanakannya dengan itikad baik (in good faith). Jika keempat syarat
dalam Pasal 1320 KUH Perdata ini tidak dipenuhi maka konsekwensi
yuridis dari perjanjian ini yaitubatal, baik batal demi hukum (null
and voit) dalam hal syarat objektifnya tidak dipenuhi maupun dapat
dibatalkan (voidable) dalam hal syarat subjektifnya yang tidak dipenuhi.
Perjanjian menurut sistem hukum Islam memegang peranan penting bagi
masyarakat negara kita yang mayoritasnya beragama Islam, terutama dalam
pelaksanaan muammalah yang menyangkut hubungan ekonomi Islam.
Sistem hukum perjanjian Islam akan melahirkan transaksi-transaksi bisnis
yang terbebas dari riba dan gharar, sehingga diharapkan dapat lebih
mendatangkan kemanfaatan bagi para pihak dan menjadikannya bebas dari
unsur pemanfaatan sepihak terhadap sesama.
B. Pengertian dan Dasar Hukum.
Perjanjian dalam bahasa Arab diistilahkan dengan Mu’ahadah Ittifa’ atau
juga yang disebut Akad. Istilah ini juga sering disandingkan dengan istilah
l
al’ahdu yang diartikan sebagai perjanjian. Perjanjian di sini diartikan
sebagai suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau untuk
tidak mengerjakan sesuatu, dan tidak ada sangkut pautnya dengan
kemauan pihak lain.
Perjanjian sendiri dalam Al – Quran dinyatakan dalam:
1) Surat Al – Maidah ayat 1, “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah
janji-janji. Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan
disebutkan kepadmu, dengan tidak menghalalkan berburu saat kamu
sedang berihram (haji atau umrah)). Sesungguhnya Allah menetapkan
hukum sesua dengan yang dikehendaki”.
(Janji di sini dimaknai sebagai janji setia hamba kepada Allah dan
perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya).
2) Surat An-Nahl ayat 91, “dan tepatilah janji dengan Allah jika kamu
berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah sesudah diikrarkan,
sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap
sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat”.
3) Surat Al-Isra’ ayat 34, “dan janganlah kamu mendekati harta anak
yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai dia
dewasa, dan penuhilah janji, sebab janji itu pasti diminta
pertanggungjawabannya”.
4) Surat Ali Imran ayat 76, “sebenarnya barang siapa yang menepati janji
dan bertakwa, maka sungguh, Allah mencintai orang-orang yang
bertakwa”.
berdasar dalil-dalil sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Quran
Al-Kariim ini maka rumusan akad yaitumensyaratkan suatu
perjanjian harus yaitu perjanjian yang dibuat oleh kedua belah
pihak yang bertujuan saling mengikatkan diri tentang perbuatan yang
akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus sesudah akad secara efektif
mulai diberlakukan. Akad diwujudkan dalam Ijab dan Qabul yang
menunjukkan adanya kesukarelaan secara timbal balik terhadap
perikatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang harus sesuai
dengan kehendak syariat Islam.
C. Asas-asas Hukum Perjanjian Islam.
Hukum perjanjian Islam mengenal asas-asas sebagai berikut:
1. Al-Hurriyah (kebebasan);
Asas ini yaitu asas dasar dalam perjanjian Islam, maknanya para
pihak dibebaskan untuk membuat suatu akad atau perjanjian
(freedom of making contract) kebebasan ini juga meliputi kebebasan
untuk menentukan jenisnya perjanjian atau objeknya, bebas untuk
menentukan para pihak serta bebas untuk menentukan mekanisme
penyelesaian sengketanya. Walau demikian, asas ini dibatasi dengan
ketentuan Syariat Islam, dan dalam pelaksanaannya perjanjian juga
bebas dari adanya paksaan, ancamana, kekhilafan maupun penipuan.
Dasar hukum dari asas ini yaituQS. Al-Baqarah ayat 256 “Tidak ada
paksaan untuk memasuki agama (Islam), ………….”. Mendasarkan pada
ayat ini, maka yang harus dipahami yaituIslam tidak menginginkan
adanya paksaan dalam hal apapun termasuk dibuatnya perjanjian.
Perjanjian hendaknya diserahkan pada kebebasan para pihak dengan
tetap mematuhi ketentuan Syariat Islam.
2. Al-Musawah (Persamaan atau Kesetaraan);
Asas ini mengandung pengertian adanya kedudukan yang seimbang
antara para pihak (have the same bargaining position between each
parties). Sehingga di dalam menentukan syarat maupun kondisi (term
and condition) dari suatu akad/perjanjian para pihak memiliki
pendapat yang seimbang. QS. Al-Hujuurat ayat 13 menyatakan “…….,
hai orang yang beriman sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara
kamu”. berdasar ketentuan ini dinyatakan bahwa posisi manusia,
siapapun dia yaitusama di hadapan Ilahi Rabbi dan hukum (equality
before the law).
3. Al-yaitu(Keadilan);
Asas ini menuntut kepada para pihak untuk berlaku adil antara
sesama, maknanya perjanjian yang dibuat harus senantiasa
mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak dan tidak boleh
mendatangkan kerugian bagi salah satu pihak.
4. Al-Ridha (Kerelaan);
Kerelaan disini dimaksudkan sebagai kesepakatan para pihak yang
bebas dari unsur paksaan, ancaman maupun penipuan. Kerelaan ini
didasarkan pada QS. An-Nisa ayat 29, “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka (kerelaan) di antara kamu. Dan janganlah saling membunuh
dirimu, Sesungguhnya Allah yaituMaha Penyayang kepadamu”.
5. Ash-Sidq (Kebenaran dan Kejujuran);
Mendasarkan pada QS. Al-Ahzab ayat 70 yang artinya “Hai orang-
orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar”. Ayat ini bermakna setiap muslim wajib
hukumnya untuk berkata dan berperilaku jujur dalam keadaan
bagaimanapun, termasuk dalam membuat perjanjian. Setiap
ketidakjujuran atau kebohongan yang terjadi dalam suatu perjanjian
memberikan hak kepada pihak lainnya untuk menghentikan ataupun
membatalkan perjanjian ini .
6. Al-Kitabah (Tertulis);
Bahwa setiap perjanjian hendaknya dibuat secara tertulis yaitu
berkaitan dengan kepentingan pembuktian jika terjadi sengketa di
kemudian hari. Selain itu, jika diinginkan oleh para pihak, suatu
perjanjian juga dapat menghadirkan saksi-saksi serta rahn (gadai) atau
yang dikenal dengan haftung dalam perjanjian Perdata Barat.
D. Berakhirnya Perjanjian.
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam konteks hukum Islam berakhir
dalam hal:
1. Berkahirnya masa berlaku akad/perjanjian:
Hal ini biasanya dinyatakan secara tegas dalam akad tentang masa
berlakunya dan berakhirnya perjanjian.
2. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang ber-akad;
Kondisi ini terjadi disebabkan oleh terjadinya pelanggaran terhadap
ketentuan akad yang dilakukan oleh salah satu pihak, atau oleh
sebab adanya kekhilafan (error in object and error in subject) maupun
sebab adanya penipuan dari salah satu pihak.
78
3. Salah satu pihak yang ber-akad meninggal dunia.
Kondisi ini menjadi sebab berakhirnya perjanjian untuk berbuat
sesuatu. sedang dalam hal perjanjian untuk melakukan sesuatu,
seperti perjanjian utang, hal ini biasanya tidak menjadi sebab
berakhirnya perjanjian sebab masih ada pihak lain yang dapat
memenuhi kewajiban ini , misal ahli waris yang akan
membayarkan hutangnya.
E. Macam-macam Perjanjian dalam Islam.
Dalam Islam mengenal banyak macam perjanjian, dalam sub bab ini akan
dibahas secara singkat beberapa jenis perjanjian dalam Islam yang sering
dilakukan oleh masyarakat, yaitu perjanjian jual beli dan pinjam meminjam.
1. Perjanjian Jual Beli
Jual beli menurut syari’at yaitupertukaran harta atas dasar kerelaan
masing-masing pihak, atau juga yang disebut dengan memindahkan hak
milik dengan ganti yang dapat dibenarkan, yaitu berupa alat tukar yang
sah.
Dasar hukum jual beli ada dalam QS. Annisa Ayat 29 “Hai orang-
orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan (jual beli) yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. Selain itu, dalam QS.
Al-Baqarah ayat 257 dinyatakan bahwa “Allah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba”.
Rukun ataupun unsur mutlak yang harus dipenuhi dalam sesuatu hal
dalam jual beli yaitua) adanya pihak penjual dan pihak pembeli, b)
adanya uang dan benda, dan c) adanya lafal. sedang syarat (unsur
yang harus ada untuk sesuatu hal dan tindakan) dalam jual beli yaitu:
a) Menyangkut subjek nya, yang harus memenuhi syarat : berakal,
dengan kehendaknya sendiri (tidak dipaksa), keduanya tidak
mubazir, serta baligh (sudah dewasa).
b) Menyangkut objeknya, yang terhadap objek ini harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut: barangnya bersih,
barangnya dapat dimanfaatkan, barang ini milik dari orang
yang melakukan akad, mampu menyerahkannya (barangnya harus
sudah ada dan diketahui wujud dan jumlahnya), mengetahui
(bahwa terhadap barang ini secara jelas diketahui bentuk
kualitas, dan spesifikasi nya), serta barang yang diakadkan ada di
tangan.
c) Menyangkut lafaz jual beli. Yaitu secara lisan ataupun tertulis harus
disampaikan kepada pihak lain.
Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli yaitupada
pihak pembeli :
a) wajib menyerahkan uang pembelian yang besarnya sesuai dengan
kesepakatan;
b) berhak menerima penyerahan barang /objek perjanjian jual beli.
sedang pada pihak penjual :
a) wajib menyerahkan barang kepada pembeli sesuai dengan
kesepakatan yang telah dibuat;
b) wajib menanggung barang terhadap cacat tersembunyi;
c) berhak menerima uang pembayaran.
2. Perjanjian Pinjam Meminjam.
Pinjam meminjam yaitusuatu perjanjian untuk memberikan sesuatu
yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak
merusak zatnya, agar dapat dikembalikan seperti semula. Dalam KUH
Perdata, pinjam meminjam diatur dalam Pasal 1740 sedang dalam
perjanjian Islam, salah satu dasar hukum yang dapat dijadikan landasan
yaituQS. Al-Maidah ayat 2 “…..hendaklah kamu tolong menolong
dalam kebaikan dan takwa….”
Perjanjian pinjam meminjam dalam Islam mensyaratkan adanya : 1)
pihak yang meminjamkan, 2) pihak yang meminjam (peminjam), dan 3)
adanya ojek/benda yang dipinjamkan serta 4) lafal adanya perjanjian
pinjam meminjam (ariah).
Tentang keberadaan pihak yang meminjamkan disyaratkan agar
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. bahwa ia berhak atas barang yang dipinjamkannya ini ;
b. bahwa barang ini dapa dimanfaatkan (kemanfaatan barang
menjadi syarat penting dalam pinjam meminjam, dan
pemanfaatanya hanya dapat sebatas yang dibolehkan dalam
syariat Islam).
Keberadaan peminjam disyaratkan haruslah orang yang cakap bertindak
(berhak). sedang terhadap objek nya atau barang yang dipinjamkan
haruslah memenuhi persyaratan bahwa :
a. barang ini yaitubarang yang bermanfaat;
b. barang ini tidak menjadi musnah akibat dari
pemanfaatan/pemakaiannya.
Kewajiban peminjam terhadap barang pinjaman ini yaituuntuk
menjaga dan memelihara barang ini serta mengembalikannya
sesuai dengan perjanjian, dan jika terjadi kerusakan terhadap barang
pinjaman ini , wajib untuk diganti.
HUKUM KONTRAK &
PERKEMBANGANNYA
Istilah kontrak yang diadopsi dari bahasa Inggris ”contract” ataupun
“agreement” diartikan sebagai perjanjian atau persetujuan dalam hukum
negara kita . Pengaturannya sendiri kita dapati pada Pasal 1233 KUH Perdata
yang selengkapnya berbunyi : “Tiap-tiap Perikatan dilahirkan baik sebab
perjanjian baik sebab undang-undang”.
Makna dari perjanjian dapat kita lihat pada rumusan Pasal 1313 KUH
Perdata yang berbunyi “Perjanjian atau persetujuan yaitusuatu perbuatan
dengan mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
lain atau lebih”. Selain makna yang disampaikan oleh Pasal ini di atas,
pendapat R. Subekti dalam bukunya Aneka Perjanjian (1984: 1) dapat juga
kita simak, ”Perjanjian yaitusuatu peristiwa dimana ada seorang berjanji
kepada seorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal”. Pendapat lain disampaikan oleh Yahya Harahap (1982: 3), dan
tampaknya pemahaman yang disampaikan jauh lebih mendekati
pemahaman umum terhadap keberadaan kontrak atau perjanjian
selengkapnya, menurut beliau “Perjanjian yaitusuatu hubungan hukum
kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada
suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada
pihak lain untuk melaksanakan prestasi”.
berdasar makna-makna ini di atas maka dapat juga dipahami,
bahwa inti dari dilaksanakannya perjanjian yang akan melahirkan perikatan
di antara para pihak yang membuatnya yaituadanya pemenuhan prestasi
(Lihat lebih lanjut ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata dan Bab Kedua Buku
ini).
B. Hukum Kontrak Nasional dan Internasional.
Hukum kontrak yang berlaku di negara kita , keberadaannya tidak lepas dari
sejarah perkembangan hukum kontrak maupun hukum perikatan dan
hukum perdata di negara kita . berdasar asas konkordansi, maka
keberadaan hukum perdata barat yang ditinggalkan oleh Pemerintahan
Belanda masih diberlakukan di negara kita sebagai negara jajahan, tentunya
dengan menyesuaikan pada kondisi di negara kita , melalui berbagai kegiatan
pembaharuan hukum negara kita yang telah dicanangkan sejak PELITA kedua
sebagai bagian dari amanat pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Namun demikian usaha untuk melakukan kodifikasi serta unifikasi hukum
sebagai implementasi dari konsep wawasan nusantara terus dilakukan oleh
Pemerintah negara kita . Sejauh ini, kodifikasi hukum acara pidana yang
menggantikan ”Het Herziene Inlands Reglement” telah selesai dilaksanakan
dan proses kodifikasi Hukum Pidana Nasional masih dalam proses.
Terhadap kodifikasi hukum perdata sendiri, tampaknya belum maksimal,
namun demikian berbagai simposium telah dilangsungkan oleh para ahli
hukum negara kita dalam rangka mempersiapkan unifikasi dan kodifikasi
hukum negara kita . Sejauh ini, kesulitan timbul dalam proses kodifikasi
disebabkan oleh beraneka macamnya kehidupan hukum di bidang perdata
yang berlaku di negara kita . sesudah sebelumnya berlaku hukum perdata yang
berbeda-beda bagi golongan etnis yang berlainan dan berlakunya hukum
Islam serta hukum adat yang berbeda-beda pula bagi golongan pribumi
sejak masa perang penjajahan.
Membicarakan hukum kontrak nasional sendiri, tanpa mengenyampingkan
proses kodifikasi dan unifikasi yang masih terus berlangsung, maka dalam
Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Perdata Nasional yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada Jogjakarta Tangal
21 sampai dengan 23 Desember 1981 di Jogjakarta (dikutip dari Lampiran II
Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Perdata Nasional, dari Buku KUH
Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Mariam Darus
Badrulzaman, 2005: 243 – 248) melaporkan poin-poin perubahan dalam
usaha kodifikasi hukum perdata negara kita , diantaranya yang berkenaan
dengan Hukum Perikatan yaitusebagai berikut:
1. Dalam memperbaharui hukum perdata nasional, kita tetap berorientasi
kepada pola kontinental. (ada usulan untuk memperhatikan pola
campuran, baik kontinental maupun anglo saxon)
Dalam hukum perjanjian termasuk hukum perikatan dalam sistem
hukum perdata, diperlukan asas-asas yang melandasinya, dengan
penerapannya didasarkan pada:
a) kemajuan zaman dan kesadaran bahwa Negara dan Bangsa
negara kita telah memasuki gelanggang Internasional, sehingga
perlu memperhatikan standart atau ukuran yang bersifat
Internasional;
b) walaupun KUH Perdata (BW) telah berusia cukup lama namun
materi-materi yang diaturnya akan dipakai sebagai pedoman
dalam penyusunan naskah rencana undang-undang yang akan
datang;
c) hukum adat sedapat mungkin juga harus diberikan tempat dalam
undang-undang hukum perikatan nasional sekedar tidak
menghambat kemajuan.
2. Tentang Asas.
Pemberlakuan asas-asas dalam suatu perjanjian yaitudengan
memperhatikan asas-asas pokok berikut, yaitu :
a) asas konsensualisme;
b) asas kebebasan berkontrak;
dengan catatan bahwa pemberlakuan asas ini yaitutetap dengan
memperhatikan bahwa dalam kontrak perlu dicantumkan syarat :
(1) ”Kontrak tidak boleh berisikan sesuatu yang bertentangan
dengan kesusilaan serta perikemanusiaan bagi sahnya suatu
perjanjian, yang yaitu usaha untuk melindungi
kepentingan pihak yang lemah”. Untuk melindungi
kepentingan pihak yang lemah, mengenai perjanjian standar
perlu diadakan peraturan standar.
(2) Selain itu, dalam kontrak juga harus dicantumkan ketentuan
bahwa ”semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik”.
3. Praktek dan Yurisprudensi.
4. Tentang Syarat Sah Perjanjian yaitutetap memperhatikan ketentuan
Pasal 1320 KUH Perdata yaitu : a) adanya kecakapan melakukan
perbuatan hukum, b) adanya kesepakatan antara para pihak (tanpa
paksaa, khilaf maupun penipuan, c) adanya objek tertentu dalam
perjanjian dan d) objek perjanjian ini haruslah halal dengan tidak
melanggar ketentuan perundang-undangan, ketertiban umum maupun
kesusilaan.
5. Tentang Itikad Baik, yang mana disini diartikan sebagai kejujuran pada
waktu menyusun perjanjian.
6. Tentang eksekusi riil.
7. Tentang Perjanjian khusus yang perlu diatur seperti : a) Jual beli, b)
Tukar menukar, c) Sewa Menyewa, d) Sewa Beli, e) Pengangkutan, f)
Perjanjian melakukan pekerjaan, g) Persekutuan, h) Hibah, i) Penitipan
barang, j) Pinjam pakai, k) Pinjam meminjam, l) Perjanjian untung-
untungan, m) pemberian kuasa, n) penanggungan hutang, o)
perdamaian.
Di samping itu juga dipertimbangkan adanya pengaturan atas perjanjian
baru yang mlai berkembang dalam praktek tapi belum ada
pengaturannya dalam undang-undang.
8. Tentang Sumber-sumber Perikatan. Di sini tidak hanya memperhatikan
bahwa perjanjian sebagai sumber perikatan, namun juga memperhatikan
sumber perikatan lainnya yaitu : Perbuatan melawan hukum,
pengurusan kepentingan orang lain tanpa kuasa, dan pembayaran tak
terutang.
9. Tentang Daluarsa, pengaturan terhadapnya sebaiknya dalam Bagian
Hukum Perikatan, disebab kan adanya menyebabkan hapusnya
perikatan.
10. Perlunya pembatasan atas asas kebebasan berkontrak, yakni tentang
pengertian kesusilaan dan perikemanusiaan perlu pula ditegaskan
pokok-pokok kriterianya.
Lebih lanjut, sebelum pembahasan tentang hukum kontrak Internasional
perlu diketengahkan pula perkembangan-perkembangan positif dari hukum
kontrak, yang jika ditelaah yaitumenunjukkan cir-ciri berikut:
1. Berkembangnya klausula eksonerasi di dalam standart contract yang
membatasi asas kebebasan berkontrak;
2. Di dalam perjanjian pertahanan kepentingan umum tidak mendapat
perlindungan;
3. Untuk perjanjian tertentu diperlukan bentuk tertentu;
4. Prinsip tentang perjanjian dengan Pemerintah perlu diatur dalam UU;
5. Asas profit sharing di dalam perjanjian kerjasama, seperti BOT dan
perjanjian pembiayaan perlu diterapkan;
6. Perlindungan terhadap lingkungan hidup perlu diperhatikan dalam
perjanjian;
7. Diberikannya perlindungan atas konsumen.
8. Itikad baik;
9. Kehidupan ekonomi berorientasi pada ekonomi kerakyatan;
10. Kebiasaan sangat berperan untuk menampung kekosongan hukum;
11. Para pihak di dalam perjanjian secara immateriil yaitu
personifikasi dari kelompok.
Peran hukum kontrak dalam perdagangan bebas tidak hanya bergantung
kepada harmonisasi dan standarisasi berbagai aturan dan praktik, namun juga
bergantung kepada budaya hukum masing-masing pihak, terutama antara
Barat dan Timur.
Masyarakat Barat memandang bahwa hukum yaitusebagai hak (rights)
sehingga menegakkan hukum kontrak yaitumenegakkan hak yang
yaitu kewajiban bagi pihak lain (dikutip dari buku Hukum Kontrak
Internasional, Syahmin AK, 2006 : 92 yang mengutip pendapat Lawrence M.
Friedman ”American Law”).
Suatu perjanjian internasional, dampaknya pada penerapan internal yaitu
sangat erat dengan sistem hukum nasional suatu negara peserta.
Menurut teori adoption, perjanjian internasional memiliki dampak
hukum dalam suasana nasional. Perjanjian internasional tetap
mempertahankan sifat internasionalnya (keasliannya), namun diterapkan
dalam suasana hukum nasional. Sebaliknya menurut teori incorporation,
perjanjian internasional itu harus lebih dahulu di inkorporasi ke dalam
hukum nasional baru dapat diterapkan dan menjadi hukum nasional. Teori
ini mendasarkan ajarannya pada aliran dualisme, yaitu hukum nasional dan
hukum internasional yaitu dua sistem hukum yang berbeda.
C. Standart Contract : Implementasi dan Konsekwensi Yuridisnya.
Berkaitan dengan pembangunan negara kita dengan tujuan untuk
mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat negara kita ,
maka berbagai macam kegiatan transaksi di bidang keuangan dan
perdagangan pun makin berkembang, baik dalam wilayah domesik maupun
internasional. Dalam kondisi demikian, dimana frekwensi transaksi semakin
tinggi, maka dengan sendirinya frekwensi pembuatan kontrak atau
perjanjian juga akan semakin tinggi. Dengan demikian para pelaku transaksi
ini akan berfikir untuk dapat dipakai nya suatu bentuk kontrak yang
efektif dan efisien. Sebagai gambarannya yaitutransaksi di bidang
perbankan, akan menjadi suatu hal yang sangat memboroskan jika Bank
melakukan perlakuan yang berbeda antara satu nasabah dengan nasabah
lainnya dalam satu keadaan perjanjian/kontrak kredit/pinjaman.
Penggunaan perjanjian/kontrak yang sedemikian inilah yang disebut dengan
”Perjanjian Standar (Standart Contract)”, dikenal juga sebagai kontrak baku.
Dalam kelahirannya di negara kita , standart contract berkembang dari hukum
kontrak internasional (sejak revolusi industri), namun demikian
keberadaannya di negara kita yaitudibenarkan dengan mendasarkan pada
pemberlakuan asas kebebasan berkontrak, walaupun dalam praktek
pelaksanaannya, standart contract kadangkala tidak dapat memberikan
kepuasan yang sempurna bagi salah satu pihak dalam perjanjian.
Karakteristik dari perjanjian standar ini sendiri
yaitu:
1. Isi kontrak telah ditetapkan secara tertulis dalam bentuk formulir yang
digandakan;
2. Penggandaan kontrak dimaksudkan untuk melayani permintaan para
konsumen yang berfrekuensi tinggi (sering, banyak ataupun massal);
3. Konsumen dalam banyak hal menduduki posisi tawar menawar
(bargaining position) yang lebih rendah dibandingkan produsen;
berdasar karakteristik ini di atas maka dapat ditarik pengertian dari
Standart Contract, yaitu ”Perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih
dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang digandakan dalam
jumlah tidak terbatas untuk ditawarkan kepada para konsumen tanpa
memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen”.
Sebagai penutup uraian pada bab ini dapat ditambahkan bahwa di dalam
suatu perjanjian standar, khususnya perjanjian standar yang sepihak
(adhesion contract) ada suatu kondisi ataupun syarat yaitu adanya
pencantuman ”klausula eksonerasi” (exemption clause) yang bertujuan
untuk membatasi bahkan meniadakan tanggungjawab kreditur atas resiko-
resiko tertentu yang mungkin timbul dikemudian hari.
Dalam praktek, klausula eksonerasi ini biasanya tercetak di lembar belakang
dari kontrak atau di halaman yang sama dan dicetak dengan huruf kecil.
Contoh, dalam perjanjian pengangkutan. Pada tiket penumpang tercantum
klausula eksonerasi yang bunyinya ”Barang hilang tanggung jawab
penumpang”. Pada contoh ini , tampak bahwa kreditur dalam hal ini
pengangkut membatasi tanggung jawab nya dalam pemeliharaan barang
penumpang yang berada pada angkutannya.
PENYUSUNAN KONTRAK
(CONTRACT DRAFTING)
Memahami suatu kontrak akan terpulang dari berbagai istilah yang ada di
masyarakat beserta defenisi ataupun pengertiannya. Banyak istilah yang
dikenal dalam masyarakat tentang kontrak, di antaranya perjanjian,
persetujuan maupun perhutangan. Masing-masing punya defenisi dan
konotasi. Berbicara tentang kontrak, konotasinya yaitupada suatu bentuk
perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara tertulis. Namun demikian jika
kita kembalikan pada pengertiannya maka kontrak yang yaitu
adaptasi dari istilah asing “contract” yaitutidak lain dari perjanjian yang
diatur dalam pasal 1131 KUH Perdata dan 1233 KUH Perdata.
Dalam Black Law Dictionary, Henry Campbell (1968: 394) menyampaikan
defenisi kontrak yaitusuatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory
agreement) diantara 2 orang/pihak atau lebih yang dapat menimbulkan,
memodifikasi atau menghilangkan hubungan hukum.
Menurut Subekti (1979:1) defenisi perjanjian yaitusebagai suatu
peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal.
Melaksanakan suatu perjanjian ataupun kontrak tidak terlepas dari syarat
sahnya suatu kontrak sebagaimana yang diatur dalam pasal 1320 KUH
Perdata yaitu:
a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. suatu hal tertentu;
d. suatu sebab yang halal.
Mengenai arti penting dari suatu kontrak dapat dijabarkan sebagai berikut:
Untuk mengetahui perikatan apa yang dilakukan dan kapan serta
dimana kontrak ini dilakukan dan waktu berlaku dan berakhirnya
kontrak;
Untuk mengetahui para pihak yang saling mengikatkan diri serta hak
dan kewajiban masing-masingnya;
Untuk mengetahui syarat berlakunya kontrak ini ;
Sebagai alat untuk memantau bagi para pihak, apakah pihak lawan
masing-masing telah menunaikan prestasinya atau belum, atau bahkan
telah melakukan suatu wanprestasi;
Sebagai alat bukti bagi para pihak, jika terjadi perselisihan di
kemudian hari;
Suatu kontrak membawa akibat hukum yang pada dasarnya lahir dari
adanya hubungan hukum dari suatu perikatan, yaitu dalam bentuk hak dan
kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban inilah yang yaitu salah satu
bentuk dibandingkan akibat hukum suatu kontrak. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa akibat hukum di sini tidak lain yaitupelaksanaan (hak dan
kewajiban) dibandingkan suatu kontrak itu sendiri.
Di dalam pembuatan suatu kontrak memperhatikan suatu asas yang disebut
asas kebebasan berkontrak; yaitu adanya kebebasan seluas-luasnya yang
diberikan oleh undang-undang kepada masyarakat untuk mengadakan
perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, ketertiban umum. Hal ini termaktub
dalam pasal 1338 KUH Perdata, yang hal ini juga dimaksudkan untuk
menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan
suatu Undang undang . Kekuatan ini diberikan kepada semua perjanjian
yang dibuat secara sah.
Menurut Remy Sjahdeini (1993:47) asas kebebasan berkontrak meliputi
ruang lingkup sebagai berikut:
1. kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat
perjanjian;
3. kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang
akan dibuatnya;
4. kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;
5. kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
6. kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan Undang
undang yang bersifat optional (aanvullend).
Pembuatan suatu kontraksecara tertulis dengan membubuhkan tanda
tangan para pihak sebagai tanda persetujuan dan kesepakatan atas apa yang
terurai dalam kontrak ini . Perjanjian yang dibuat secara tertulis ini dan
dengan pembubuhan tanda tangan disebut dengan akta.
Akta itu sendiri yaitu suatu tulisan yang sengaja dibuat untuk
dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Dengan
demikian, unsur-unsur yang penting dari suatu akta yaituadanya
kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatangan
tulisan ini . Hal ini diatur dalam pasal 1874 KUH Perdata.
Akta terdiri dari dua jenis; pertama, akta otentik-yaitu akta yang dibuat oleh
notaris dan kedua, akta di bawah tangan yang dibuat tanpa campur
tangan/bantuan notaris sebagai pejabat pembuat akta.
Akta otentik memiliki fungsi :
1. sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan
perjanjian tertentu;
2. sebagai bukti bahwa para pihak bahwa apa yang tertulis dalam
perjanjian yaitumenjadi tujuan dan keinginan para pihak;
3. sebagai bukti bagi pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu, kecuali jika
ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan
bahwa isi perjanjian yaitusesuai dengan kehendak para pihak.
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh para pihak sebelum mengadakan dan
membuat kontrak yaitu(Salim HS, 2003:105 – 108) :
1) Kewenangan hukum para pihak;
2) Perpajakan;
3) Alas hak yang sah;
4) Masalah keagrariaan;
5) Pilihan hukum;
6) Penyelesaian sengketa;
7) Pengakhiran kontrak;
8) Bentuk perjanjian standart.
B. Penyusunan Kontrak dan Unsur-unsur Yang Ada didalam Suatu Kontrak
Seorang perancang kontrak dengan berbagai kemajuan dan fenomena
bisnis maupun perkembangan di masyarakat, disyaratkan memiliki
penguasaan terhadap jenis-jenis kontrak/ perikatan dengan segala
karakteristiknya. Selain itu, seorang perancang kontrak juga dituntut untuk
menyadari bahwa sebagai suatu dokumen hukum kontrak bisnis apapun
yang dirancang harus dapat (lihat lebih lanjut dalam
memberikan kepastian tentang identitas pihak-pihak yang terlibat
dalam transaksi;
memberikan kepastian dan ketegasan tentang hak dan kewajiban
utama masing-masing pihak sesuai dengan inti transaksi;
memuat nilai ekonomis dari transaksi dimaksud, yang dapat
diterjemahkan menjadi suatu nilai uang tertentu;
93
memberikan jaminan tentang keabsahan hukum (legal validity) dari
dan kemungkinan pelaksanaan secara yuridis (legal enforceability) dari
transaksi bersangkutan;
memberikan petunjuk tentang tata cara pelaksanaan hak dan
kewajiban para pihak;
memberikan solving problem terhadap perselisihan yang timbul;
memberikan jaminan bahwa janji-janji dan pelaksanaan janji-janji yang
dimuat di dalam kontrak yaituhal-hal yang mungkin, wajar, patut
dan adil untuk dilaksanakan (fair and reasonable).
menyampaikan bahwa seseorang yang
bermaksud untuk menyusun suatu kontrak wajib memenuhi beberapa
syarat pendahuluan, yang dapat dijabarkan sebagai katalog yang mencakup
hal-hal sebagai berikut:
1. Pemahaman akan latar belakang transaksi;
Pemahaman tentang hal-hal yang melatar belakangi lahirnya atau
dibuatnya suatu kontrak yaitupenting untuk menetapkan judul dari
kontrak itu sendiri. Pemahaman ini bisa didapatkan tidak hanya melalui
pemahaman hukum maupun kemampuan berfikir yuridis dari seorang
perancang kontrak (contract drafter) saja namun juga dibutuhkannya
wawasan yang luas tentang bidang transaksi yang akan dirumuskan
ini .
2. Pengenalan dan pemahaman akan keberadaan para pihak;
Proses identifikasi ataupun pengenalan terhadap keberadaan para pihak
juga perlu dimiliki oleh seorang drafter mencakup tidak hanya tentang
nama dan alamat saja namun juga asal usulnya, serta reputasi bisnis yang
dimilikinya.
3. Pengenalan dan pemahaman akan objek transaksi;
Pada bagian ini pemahaman seorang drafter tentang objek dari
transaksi akan sangat dibutuhkan, terutama pemahamannya tentang
kemungkinan-kemungkinan keberhasilan dari rencana transaksi
ini , peluang, harapan maupun hambatan yang mungkin timbul
dalam pelaksanaannya.
4. Penyusunan Garis Besar Transaksi;
penyusunan suatu
kontrak selalu menghadapakan kita pada tantangan: dapatkah kita
membuat skema transaksi yang transparan dan konklusif? Pertanyaan
ini penting disebab kan transaksi yang akan dilaksanakan oleh para
pihak, sebenarnya tidak hanya tentang hak-hak maupun kewajiban yang
ada diantara keduanya, namun juga harus dipahami sebagai suatu
kesatuan utuh yang kompleks, yang juga haris diketahui mana ujung dan
pangkalnya.
5. Perumusan pokok pokok kontrak;
sesudah dapat diidentifikasikannya dan dilakukannya penyusunan Garis
Besar Transaksi, maka langkah berikutnya yaitumelakukan
penyusunan kontrak.
Pokok-pokok dari suatu kontrak harus dirumuskan dengan cermat dan
akurat, terutama sebab dua alasan : Pertama, rumusan tentang pokok-
pokok kontrak itu menentukan kesinambungan yang logis dari
ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari suatu kontrak. Kedua,
keruntutan itu menentukan apakah hubungan timbal balik dari berbagai
hak dan kewajiban yang akan berlaku bagi para pihak ditetapkan secara
adil dan masuk akal
Selanjutnya, unsur-unsur pokok yang membentuk kerangka umum dan
harus ada dalam suatu kontrak adalah:
1. Bagian Pembukaan;
Bagian pembukaan suatu kontrak berisikan:
a. Judul Kontrak,
b. Tempat dan waktu kontrak diadakan,
c. Komparisi (uraian tentang para pihak: identitas; dasar hukum
yuridis; kedudukan para pihak),
d. Recitals (bagian pertimbangan dibandingkan kontrak, bagian
pembukaan yang memuat latar belakang dibandingkan
kesepakatan dan alasan diadakannya kontrak),
e. Ruang Lingkup.
2. Isi ataupun Pasal-pasal dalam Kontrak:
a. Ketentuan – ketentuan Umum;
Memuat pembatasan istilah dan pengertian yang dipakai
di dalam sebuah kontrak. Pada bagian ini dirumuskan
defenisi-defenisi atau pembatasan pengertian dari istilah-
95
istilah yang dianggap penting dan sering dipakai dalam
kontrak, yang disepakati para pihak.
b. Ketentuan - Ketentuan Pokok Kontrak;
Isi dari ketentuan pokok ini menyangkut tiga hal berikut:
1) Klausula Transaksional, berisi tentang hal-hal yang
disepakati oleh para pihak, tentang objek dan tata cara
pemenuhan prestasi dan kontraprestasi oleh masing-
masing pihak yang menjadi kewajibannya.
Contoh: pasal-pasal ataupun klausula yang mengatur
tentang fasilitas kredit oleh pihak Bank.
2) Klausula Spesifik, berisi tentang hal-hal khusus sesuai
dengan karakteristik jenis perikatan atau bisnisnya
masing-masing
Contoh: Klausula tentang jaminan kredit.
3) Klausula Antisipatif, berisikan tentang hal-hal yang
menyangkut kemungkinan-kemungkinan yang akan
terjadi selama berlangsungnya atau selama masih
berlakunya kontrak dimaksud.
Contoh: perpanjangan kontrak, pengalihan
hak/kewajiban salah satu pihak, penyelesaian sengketa.
c. Ketentuan – ketentuan Penunjang;
Ketentuan ini diperlukan untuk menunjang efektivitas
pelaksanaan kontrak oleh para pihak yang terlibat di
dalamnya. Biasanya berisikan:
1) klausula tentang condition presedent, yaitu klausula
yang memuat tentang syarat-syarat tangguh yang harus
dipenuhi terlebih dahulu oleh salah satu pihak sebelum
pihak lainnya memenuhi kewajibannya (contoh dalam
perjanjian kredit: ada klausula tentang penarikan
pinjaman beserta persyaratannya).
2) Klausula affirmatif covenants, yaitu klausula yang
memuat tentang janji-janji parapihak untuk melakukan
hal-hal tertentu selama perjanjian/kontrak masih
berlangsung (contoh untuk perjanjian kerjasama,
ada klausula pelaksanaan perjanjian).
3) Klausula negatif covenants, yaitu klausula yang memuat
tentang janji-janji para pihak untuk tidak melakukan hal-
hal tertentu selama perjanjian/kontrak masih
berlangsung (contoh dalam perjanjian kerjasama,
ada klausula-klausula batasan, yang tidak
memperkenankan para pihak untuk membuat dan
menandatangani kerjasama serupa dengan pihak lain).