hukum perikatan 2




 ebab kan dalam persekutuan perjanjian hanyalah 

antara para pihak yang mengikatkan dirinya dan tidak memiliki 

pengaruh ke luar kepada pihak yang lain. Begitu juga sebaliknya, pihak 

ketiga tidak memiliki kepentingan  bagaimana diaturnya kerjasama 

dalam persekutuan itu, sebab  para sekutu bertanggungjawab secara 

pribadi atau perseorangan tentang hutang-hutang yang mereka buat.  

 

Sebagai gambaran jika A , B dan  C mengikatkan diri dalam persekutuan, 

maka tindakan maupun berbagai perjanjian yang dilakukan oleh A ke luar 

yaitumenjadi tanggung jawabnya sendiri. Maknanya A sendirilah yang 

terikat dengan perjanjian ini . Berbeda dengan Firma, dalam hal mana 

jika salah satu peseronya melakukan perjanjian maka menurut undang-

undang memiliki wewenang untuk mengikatkan kawan-kawan pesero 

 

 

lainnya kepada pihak ketiga. Tentang pembagian keuntungan maupun 

bentuknya modal yang dimasukkan oleh masing-masing sekutu yaitutidak 

ditentukan oleh Undang-Undang, untuknya semua diserahkan kepada 

mereka sendiri untuk mengaturnya di dalam perjanjian persekutuannya. 

 

Berakhirnya persekutuan dapat terjadi sebab : a) lewat waktu, b) 

musnahnya barang atau telah diselesaikannya pekerjaan yang menjadi 

pokok persekutuan, c) atas kehendak semata-mata dari seorang atau 

beberapa sekutu, dan d) jika sakah seorang sekutu meninggal, atau ditaruh 

di bawah pengampuan dan atau dinyatakan pailit. 

 

 

 

6. Perkumpulan 

Perkumpulan menurut Subekti (1995: 89) yaitujuga “perhimpunan” yaitu 

perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang bertujuan untuk mencapai 

tujuan tertentu dengan tidak mencari keuntungan tertentu, dalam hal 

mana kerja sama ini disusun dengan bentuk dan cara sebagaimana yang 

diatur dalam “anggaran dasar” ataupun “statuten”nya. Dalam bukunya 

Subekti menyampaikan bahwa pada dasarnya tidak lazim suatu 

Perkumpulan dianggap sebagai bentuk perjanjian, disebab kan pengaturan 

terhadap tidak ada  pada Buku Ketiga KUH Perdata melainkan pada 

Buku Pertama Bagian tentang Orang, Perihal Perbuatan Hukum. 

 

Hal lain yang juga dapat menunjukkan bahwa suatu perkumpulan bukanlah 

suatu perjanjian termaktub dalam Lembaran Negara Tahun 1870 Nomor 64 

yang menyatakan bahwa suatu perkumpulan dapat meminta pengakuan 

keberadaannya sebagai Badan Hukum (rechts persoon) kepada Menteri 

Kehakiman. Dengan demikian, pada posisi ini perkumpulan yaitusubjek 

hukum, bukannya suatu perbuatan ataupun hubungan hukum sebagaimana 

perjanjian. 

 

KUH Perdata memberikan pengaturan tentang Perkumpulan pada Pasal 

1653 sampai dengan 1665.  

 

7. Hibah 

Hibah yaitusuatu perjanjian dengan mana si penghibah (pemberi hibah) 

pada masa hidupnya, dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali, 

65 

 

menyerahkan sesuat barang guna keperluan si penerima hibah yang 

menerima penyerahan ini . Pengaturan atas hibah didapat pada Pasal 

1666 sampai dengan 1693 KUH Perdata. 

 

Menelaah dari pengertian ini  di atas, dapat diketahui bahwa 

perjanjian yaitubersifat sepihak, disebab kan dalam perjanjian ini pihak 

penerima hibah tidak perlu memberikan kontraprestasi sebagai imbalan 

kepada pihak penghibah. Hibah perlu dibedakan dengan wasiat yang baru 

terjadi sesudah si pemberi meninggal dunia dan tertuang dalam bentuk 

testament, ataupun dengan warisan. 

 

Ketentuan dalam pengibahan juga mensyaratkan bahwa si penghibah 

yaitutidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual 

atau memberikan kepada orang lain suatu barang yang termasuk dalam 

penghibahan. Jika hal ini terjadi, maknanya bukanlah hibah namun 

memberikan hakuntuk menikmati hasi semata. Dan dalam kondisi 

sebagaimana ini  terjadi, maka hibah yaitubatal.  

 

Hibah sebagaimana perjanjian lainnya yaitubersifat obligatoir, 

penyerahan hak milik baru akan terjadi jika telah terlaksananya ”levering”, 

yang untuk barang tetap dilakukan melalui akta notaris sedang  untuk 

barang bergerak tidak diperlukan formalitas ini, namun demi kepentingan 

para pihak sangatlah dianjurkan melalui akta notaris, terutama jika 

bendanya bernilai tinggi. Penting juga untuk memperhatikan bahwa dalam 

pelaksanaannya perjanjian hibah tetap harus memperhatikan ketentuan 

serta tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum 

maupun kesusilaan. 

 

8. Penitipan Barang 

Penitipan barang yaitu suatu perjanian riil yang baru akan terjadi 

jika  seseorang  telah menerima sesuatu barang dari seorang lain dengan 

syarat bahwa ia akan menyimpannya dengan mengembalikanya dalam 

wujud asal. Dasar hukumnya kita dapati pada Pasal 1694 KUH Perdata. 

 

ada  dua macam penitipan barang, yaitu penitipan sejati yaitu yang 

dibuat dengan cuma-cuma kecuali jika diperjanjikan sebaliknya dan 

terhadap barang bergerak, dan yang kedua yaitupenitipan sekestrasi. 

Yaitu perjanjian penitipan barang dalam hal terjadinya perselisihan. 

66 

 

Barangnya dapat berupa barang bergerak maupun barang tetap, dan 

keberadaannya yaitupada pihak ketiga yang mengikatkan  dirinya untuk 

menyimpan barang ini  dan akan mengembalikannya kepada siapa 

yang dinyatakan berhak beserta hasil-hasilnya. Penitipan bentuk ini dapat 

terjadi sebab  persetujuan para pihak ataupun sebab  adanya putusan atau 

penetapan dari Pengadilan. 

 

Selain pembedaan di atas, Subekti (1995: 113 – 114) menyebutkan juga 

tentang penitipan terpaksa yang terhadapnya mendapatkan pengaturan 

pada Pasal 1703. dalam hal ini terjadi sebab  adanya malapetaka misalnya: 

kebakaran, banjir, karamnya kapal, dan lain-lain malapetaka dalam kategori 

peristiwa yang tidak disangka datangnya. 

 

9. Pinjam Pakai 

Perjanjian pinjam pakai yaituperjanjian dengan mana pihak yang satu 

memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan 

cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini sesudah 

memakai atau sesudah lewat waktu tertentu akan mengembalikannya. 

Pengaturan umum bisa kita dapatkan pada Pasal 1794 KUH Perdata. 

 

Perjanjian pinjam pakai mensyaratkan pihak yang meminjam pakai untuk 

mengembalikan barangnya dan memperlakukan barangnya sebagaimana 

bapak rumah yang baik dan terhadap objeknya ditentukan yaitusetiap 

barang yang dapat dipakai oleh orang dan memiliki sifat tidak musnah 

sebab  pemakaian. Perjanjian pinjam pakai harus dibedakan dengan pinjam 

meminjam (yang akan dibahas dalam sub pembahasan berikut) serta 

dengan sewa menyewa yaitu perjanjian sejenis pinjaman dengan 

pembayaran beberapa uang tertentu sebagai harga sewa. 

 

10. Pinjam Meminjam 

Perjanjian pinjam meminjam yaitusuatu perjanjian dengan mana pihak 

yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu 

barang-barang yang habis sebab  pemakaian, dengan syarat bahwa pihak 

yang terakhir ini akan mengembalikan beberapa yang sama dari jenis dan 

mutu yang sama pula. Ketentuan umum terhadapnya dapat kita lihat pada 

Pasal 1754 KUH Perdata. 

  

 

Perjanjian pinjam meminjam mensyaratkan bahwa pihak yang 

meminjamkan barang tidak boleh meminta kembali apa yang telah 

dipinjamkannya sebelum lewatnya waktu yang telah ditentukan dalam 

perjanjian sedang  si peminjam yaituberkewajiban untuk 

mengembalikanya dalam bentuk dan jumlah serta mutu yang sama. 

 

11. Perjanjian Untung-Untungan 

Perjanjian ini yaitusuatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung 

ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak yaitu

bergantung pada suatu keadaan yang belum tentu. Yang termasuk dalam 

perjanjian ini adalan perjanjian pertanggungan, bunga cagak hidup dan 

perjudian dan pertaruhan. 

 

Pasal 1774 KUH Perdata mengatur tentang perjanjian untung-untungan 

yang menyatakan bahwa suatu perjanjian untung-untungan yaitusuatu 

perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak 

maupun bagi sementara pihak yaitubergantung kepada suatu keadaan 

yang belum tentu. 

 

Perjanjian pertanggungan diatur dalam KUH Dagang (Pasal 246)  yang 

ketentuannya bermakna bahwa adanya perjanjian yang dibuat oleh para 

pihak dengan mana pihak yang satu berkewajban untuk membayar suatu 

angsuran yang disebut premi dalam jangka waktu yang telah disepakati 

atau  sampai ia meninggal, dan pihak yang lainnya (perusahaan asuransi) 

yaituberkewajiban untuk memberikan beberapa uang tertentu pada 

waktu pihak yang pertama (atau orang lain yang ditunjuk olehnya 

tertanggung) meninggal dunia atau lewatnya waktu dalam perjanjian.  

 

Keberadaannya perjanjian penanggungan ini ada yang menganggap sebagai 

bagian dari perjanjian untung-untungan sebagaimana yang dimaksudkan 

oleh KUH Perdata namun ada juga yang menganggap berada di luar KUH 

Perdata disebab kan pengaturannya secara khusus juga didapat pada KUH 

Dagang. 

 

Keberadaan bunga cagak hidup yang menjadi bagian dari perjanjian untung-

untungan yaituyang diistilahkan dengan ”lifjrente” yaitusuatu 

perjanjian yang lahir atas beban atau melalui akte hibah maupun wasiat. 

Perjanjian atas beban ini bersifat timbal balik, berbeda dengan hibah 

 

 

maupun wasiat yang bersifat sepihak. Perjanjian ini dikenal juga dengan 

bunga tetap atau bunga abadi yang oleh Pasal 1770 KUH Perdata 

diperbolehkan, namun dalam perkembangannya sudah mulai ditinggalkan 

sebab  lahirnya jenis perjanjian baru yang disebut dengan deposito. Terjadi 

antara pihak nasabah dengan pihak bank dengan tujuan yang mirip dengan 

bunga cagak hidup yaitu mendapatkan pengembangan berupa bunga. 

 

Terkait dengan perjudian ataupun pertaruhan sendiri, hasil tentang untung 

ruginya yaitudigantungkan pada suatu keadaan atau peristiwa yang 

belum tentu. Perbedaan antara perjudian dengan pertaruhan yaitubahwa 

dalam perjudian para pihaknya terlibat, ikut serta ataupun  mengambil 

bagian sedang  dalam pertaruhan, mereka berada di luar permainan 

ini . Terhadap hal ini, Pasal 1788 dan 1789 KUH Perdata memberikan 

pengaturan bahwa, jika  utang judi maupun utang pertaruhan terjadi 

maka undang-undang tidak memberikan suatu tuntutan hukum. Namun 

demikian, jika  hutangnya telah dibayarkan dengan sukarela maka sekali-

kali ia tidak boleh menuntut kembali, kecuali dapat dibuktikan adanya 

kecurangan ataupun penipuan. 

Hal ini dalam KUH Perdata yang dikenal sebagai Natuurlijke Verbintennis 

atau perikatan wajar/alami (Pasal 1359 (2) ). 

 

12. Pemberian Kuasa 

Pasal 1792 KUH Perdata mengatur bahwa suatu pemberian kuasa yaitu

persetujuan atau perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan 

(wewenang) kepada seorang lain, yang menerima nya untuk atas namanya 

menyelenggarakan suatu urusan. Menyelenggarakan suatu urusan ini 

yaitusuatu perbuatan hukum  yang akan melahirkan akibat hukum. Kuasa 

dapat diberikan dalam suatu akte umum; tulisan di bawah tangan; bahkan 

dengan sepucuk surat ataupun lisan. Maknanya dengan apapun bentuknya 

pemberian kuasa dia yaitumengikat sejak tercapainya kata sepakat di 

antara para pihak. 

 

Pemberian kuasa sebagaimana digambarkan di awal yaitumemberikan 

hak kepada orang lain untuk mewakili kepentingan orang yang memberikan 

kuasa. Perwakilan ini ada yang lahir sebab  undang-undang, dan lahir 

sebab  perjanjian. Bentuknya dapat berupa pemberian 1) kuasa umum atas 

pengurusan umum yang meliputi kepentingan dari si pemberi kuasa, dan 

pemberian 2) kuasa khusus yaitu mengenai hanya satu kepentingan. Selain 

69 

 

itu, dalam praktek bentuk kuasa juga dapat berupa 3) kuasa istimewa yang 

menyebutkan secara khusus dengan tegas menyebutkan satu per satu, 

tindakan apa yang harus dilakukan oleh si kuasa. Berikutnya yaitu4) kuasa 

perantara, yaitu kuasa yang hanya jadi penghubung antara pemberi kuasa 

dengan pihak ketiga. 

 

 

13. Penanggungan  

Penanggungan yaitupersetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, 

guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi 

perikatannya si berhutang saat  orang ini sendiri tidak memenuhinya. 

Ketentuan tentang penanggungan  ada  pada Pasal 1820 KUH Perdata. 

 

M. Yahya Harahap (1982: 315-316) menyebutkan bahwa perjanjian 

penanggungan memiliki ciri dilakukan dengan atau secara sukarela, dalam 

hal mana pihak ketiga ini  sama sekali tidak memiliki urusan dan 

kepentingan apa-apa dalam perjanjian yang dibuat oleh debitur dan 

kreditur. Ciri ini  dapat dibedakan pada dua hal: a) Ciri subsidair, yaitu 

dengan adanya pernyataan mengikatkan diri memenuhi perjanjian dari 

pihak penjamin (borg). Hal ini akan terlihat dengan tibanya waktu 

perjanjian, jika debitor tidak memenuhi maka pihak penjamin dapat 

dituntut oleh kreditur untuk memenuhinya, b) Ciri assessor yaitu perjanjian 

penjaminan hanyalah perjanjian sampingan yang melekat atau menempel 

pada perjanjian pokok yang dibuat oleh debitur dan kreditur.  

 

14. Perdamaian 

Pasal 1851 KUH Perdata mengatur tentang perjanjian perdamaian yang 

yaitu perjanjian dengan mana kedua belah pihak dengan 

menyerahkan, menjanjikan, atau menahan suatu barang mengakhiri suatu 

perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. 

 

Perjanjian perdamaian harus dibuat dalam bentuk tertulis, jika  terjadi 

perdamaian dibuat secara tidak tertulis yaitutidak sah. Perjanjian 

perdamaian yaituhanya terbatas pada apa yang termaktub dalam 

perjanjian ini , oleh sebab  itu setiap perdamaian hanya mengakhiri 

apa yang dimaksud dalam perjanjian baik dirumskan secara khusus maupun 

umum. 

 

70 

 

15. Pengangkutan 

Perjanjian pengangkutan yaituperjanjian timbal balik antara pengangkut 

dengan pengirim dalam hal mana pengangkut mengikatkan diri untuk 

menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat 

ke tempat tujuan tertentu dengan selamat sedang  pengirim yaitu

mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. 

 

Objek dari perjanjian pengangkutan yaitubarang dan orang. Untuk 

pengangkutan barang, biasanya ditandai dengan tanda bukti pengiriman 

barang berupa surat angkutan dan sifatnya yaituwajib ada. Isinya dengan  

tegas harus mencantumkan tentang muatan yang diangkut serta 

bagaimana tanggung jawab dari pengangkut. Dalam perkembangannya, 

perjanjian pengangkut dituangkan dalam suatu kontrak standar yang 

klausula-klausulanya telah ditentukan secara sepihak oleh pihak 

pengangkut dan seringkali juga membatasi tanggung jawab pengangkut 

dalam perjanjian ini . Untuk perjanjian pengangkutan orang yaitu

ditandai dengan diterbitkannya tanda bukti berupa tiket atau karcis 

penumpang.  

 

Sebagaimana telah disampaikan di awal pembahasan ini bahwa perjanjian 

selain yang telah diatur dalam ketentuan KUH Perdata dapat juga lahir 

akibat perkembangan kondisi kemasyarakatan sepanjang dia tidak 

melanggar ketentuan perundang-undangan, ketertiban umum maupun 

kesusilaan.  

 

Perjanjian sebagaimana dimaksud biasanya tumbuh, hidup dan 

berkembang sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat yang bersangkutan 

dan pada saat ini telah berkembang cukup banyak jenis perjanjian-

perjanjian baru, diantaranya akan diulas secara umum pada bagian berikut: 

 

1. Perjanjian Keagenan, dimana agen yaituperusahaan yang bertindak 

atas nama prinsiple untuk kemudian menyalurkannya kepada 

konsumen dengan mendapatkan komisi. Barang-barang yaitutetap 

menjadi miliknya si prinsiple. 

 

2. Perjanjian Distributor,  yang mana distributor bertindak atas namanya 

sendiri ia membeli dari produsen dan menjualnya kembali kepada 

konsumen untuk kepentingan sendiri. 

 

 

 

3. Perjanjian Pembiayaan, yaitu jenis perjanjian yang pada saat ini 

diminati oleh masyarakat. Perjanjian pembiayaan memberikan 

kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan modal usaha. 

Keberadaan lembaga pembiayaan sendiri sebagai lembaga non 

perbankan yaitudiatur dalam Keppres No. 61 Tahun 1988 dan SK 

Menkeu No. 1251/KMK/013/1988, dalam praktiknya, perjanjian 

pembiayaan ini berupa : 

a)  Perjanjian sewa guna usaha (leasing) yang memberikan barang 

modal, baik dilakukan secara sewa guna usaha tanpa hak opsi 

(operating list) untuk dipergunakan oleh leasee selama jangka 

waktu tertentu dengan pembayaran berkala; 

b)  Perjanjian anjak piutang (factoring agreement) yaitu pembiayaan 

dalam bentuk pembelian dan pengalihan serta pengurusan 

piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari 

transaksi perdagangan dalam dan luar negeri; 

c)  Perjanjian modal ventura yaitu perjanjian penyertaan modal 

usaha dalam suatu perusahaan mitra dalam mencapai tujuan 

tertentu seperti pengembangan suatu penemuan baru, 

pengembangan perusahaan awal yang kesulitan modal, 

pengembangan proyek penelitian dan rekayasa serta berbagai 

pengembangan usaha dengan memakai  teknologi. 

 

4. Perjanjian Kartu Kredit, yaitu perjanjian untuk menerbitkan kartu 

kredit oleh pihak perbankan yang dapat dimanfaatkan oleh 

pemegangnya untuk pembayaran barang dan jasa. 

 

5. Perjanjian Pembiayaan Konsumen, yaitu perjanjian penyediaan dana 

bagi konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya 

dilakukan secara angsuran. 

 

6. Perjanjian Kredit, perjanjian ini yaituperjanjian penyediaan uang 

atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasar 

persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara pihak bank 

dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi 

utangnya sesudah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, ibalan 

atau pembagian keuntungan. 

 

 

 

Selain dari perjanjian–perjanjian ini  di atas dalam perkembangannya 

di dunia internasional juga dikenal perjanjian joint venture, joint enterprise, 

license agreement, kontrak karya, franchising agreement, technical 

assisstance agreement, dan lain sebagainya. 

 

 


 

HUKUM PERJANJIAN ISLAM 

 

 

 


negara kita  mengenal tiga (3) macam sistem hukum yang mengatur masalah 

perrjanjian, yaitu hukum Adat, hukum Perdata Barat dan Hukum Islam yang 

ketiganya berlaku di masyarakat beriringan.  

 

Prinsip utama perjanjian dalam hukum Adat yaitubersifat riil atau nyata.  

Asas yang berlaku yaituasas terang, tunai dan riil. Titik tolak pelaksanaan 

perjanjiannya yaitumendasarkan pada perasaan kekeluargaan dan 

kerukunan serta bersifat saling tolong menolong. Dalam konsep hukum 

Adat, perjanjian tidak selamanya menyangkut hubungan hukum yang 


 

terjadi di antara para pihak di bidang harta kekayaan sebagaimana dalam 

hukum Perdata Barat. Dalam hukum Adat,  yang dimaksudkan dengan 

perjanjian juga termasuk pada jenis perjanjian yang tidak berwujud seperti 

perbuatan karya budi. 

 

Perjanjian dalam hukum Perdata Barat sendiri mendasarkan pada prinsip 

kebebasan berkontrak (freedom of contract) sebagaimana dinyatakan 

dalam Pasal 1338 jo Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1338 KUH Perdata 

menyatakan “(1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai 

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. (2) Perjanjian itu tidak 

dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau sebab  

alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. (3) 

Perjanjian itu harus dilakukan dengan itikad baik”. 

 

Keabsahan dari perjanjiannya yaitudengan mendasarkan pada ketentuan 

Pasal 1320 KUH Perdata yaitu “Untuk sahnya perjanjian-perjanjian 

diperlukan empat syarat: (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2) 

kecakapan untuk membuat sesuatu perikatan, (3) suatu hal tertentu, (4) 

suatu sebab yang halal”. 

 

Akibat hukum dari perjanjian yang sah yaitutimbulnya kewajiban untuk 

melaksanakannya dengan itikad baik (in good faith). Jika keempat syarat 

dalam Pasal 1320 KUH Perdata ini  tidak dipenuhi maka konsekwensi 

yuridis dari perjanjian ini  yaitubatal, baik batal demi hukum (null 

and voit) dalam hal syarat objektifnya tidak dipenuhi maupun dapat 

dibatalkan (voidable) dalam hal syarat subjektifnya yang tidak dipenuhi. 

 

Perjanjian menurut sistem hukum Islam memegang peranan penting bagi 

masyarakat negara kita  yang mayoritasnya beragama Islam, terutama dalam 

pelaksanaan muammalah yang menyangkut hubungan ekonomi Islam. 

Sistem hukum perjanjian Islam akan melahirkan  transaksi-transaksi bisnis 

yang terbebas dari riba dan gharar, sehingga diharapkan dapat lebih 

mendatangkan kemanfaatan bagi para pihak dan menjadikannya bebas dari 

unsur pemanfaatan sepihak terhadap sesama. 

  

B. Pengertian dan Dasar Hukum. 

Perjanjian dalam bahasa Arab diistilahkan dengan Mu’ahadah Ittifa’ atau 

juga yang disebut Akad.  Istilah ini juga sering disandingkan dengan istilah 

 

al’ahdu yang diartikan sebagai perjanjian. Perjanjian di sini diartikan 

sebagai suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau untuk 

tidak mengerjakan sesuatu, dan tidak ada sangkut pautnya dengan 

kemauan pihak lain. 

 

Perjanjian sendiri dalam Al – Quran dinyatakan dalam: 

1) Surat Al – Maidah ayat 1, “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah 

janji-janji. Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan 

disebutkan kepadmu, dengan tidak menghalalkan berburu saat  kamu 

sedang berihram (haji atau umrah)). Sesungguhnya Allah menetapkan 

hukum sesua dengan yang dikehendaki”. 

(Janji di sini dimaknai sebagai janji setia hamba kepada Allah dan 

perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya).  

2) Surat An-Nahl ayat 91, “dan tepatilah janji dengan Allah jika  kamu 

berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah sesudah diikrarkan, 

sedang  kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap 

sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu 

perbuat”. 

3) Surat Al-Isra’ ayat 34, “dan janganlah kamu mendekati harta anak 

yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai dia 

dewasa, dan penuhilah janji, sebab  janji itu pasti diminta 

pertanggungjawabannya”. 

4) Surat Ali Imran ayat 76, “sebenarnya barang siapa yang menepati janji 

dan bertakwa, maka sungguh, Allah mencintai orang-orang yang 

bertakwa”. 

 

berdasar dalil-dalil sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Quran 

Al-Kariim ini  maka rumusan akad yaitumensyaratkan suatu 

perjanjian harus yaitu perjanjian yang dibuat oleh kedua belah 

pihak yang bertujuan saling mengikatkan diri tentang perbuatan yang 

akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus sesudah akad secara efektif 

mulai diberlakukan. Akad diwujudkan dalam Ijab dan Qabul yang 

menunjukkan adanya kesukarelaan secara timbal balik terhadap 

perikatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang harus sesuai 

dengan kehendak syariat Islam.  

 

 

 

C. Asas-asas Hukum Perjanjian Islam. 

 Hukum perjanjian Islam mengenal asas-asas sebagai berikut: 

1. Al-Hurriyah (kebebasan); 

 Asas ini yaitu asas dasar dalam perjanjian Islam, maknanya para 

pihak dibebaskan untuk membuat suatu akad atau perjanjian 

(freedom of making contract) kebebasan ini juga meliputi kebebasan 

untuk menentukan jenisnya perjanjian atau objeknya, bebas untuk 

menentukan para pihak serta bebas untuk menentukan mekanisme 

penyelesaian sengketanya. Walau demikian, asas ini dibatasi dengan 

ketentuan Syariat Islam, dan dalam pelaksanaannya perjanjian juga 

bebas dari adanya paksaan, ancamana, kekhilafan maupun penipuan. 

 

Dasar hukum dari asas ini yaituQS. Al-Baqarah ayat 256 “Tidak ada 

paksaan untuk memasuki agama (Islam), ………….”. Mendasarkan pada 

ayat ini, maka yang harus dipahami yaituIslam tidak menginginkan 

adanya paksaan dalam hal apapun termasuk dibuatnya perjanjian. 

Perjanjian hendaknya diserahkan pada kebebasan para pihak dengan 

tetap mematuhi ketentuan Syariat Islam. 

 

2. Al-Musawah (Persamaan atau Kesetaraan); 

Asas ini mengandung pengertian adanya kedudukan yang seimbang 

antara para pihak (have the same bargaining position between each 

parties). Sehingga di dalam menentukan syarat maupun kondisi (term 

and condition) dari suatu akad/perjanjian para pihak memiliki 

pendapat yang seimbang. QS. Al-Hujuurat ayat 13 menyatakan “……., 

hai orang yang beriman sesungguhnya orang yang paling mulia 

diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara 

kamu”. berdasar ketentuan ini dinyatakan bahwa posisi manusia, 

siapapun dia yaitusama di hadapan Ilahi Rabbi dan hukum (equality 

before the law). 

 

3. Al-yaitu(Keadilan); 

Asas ini menuntut kepada para pihak untuk berlaku adil antara 

sesama, maknanya perjanjian yang dibuat harus senantiasa 

mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak dan tidak boleh 

mendatangkan kerugian bagi salah satu pihak. 

  

 

4. Al-Ridha (Kerelaan); 

 Kerelaan disini dimaksudkan sebagai kesepakatan para pihak yang 

bebas dari unsur paksaan, ancaman maupun penipuan. Kerelaan ini 

didasarkan pada  QS. An-Nisa ayat 29, “Hai orang-orang yang beriman, 

janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang 

bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka 

sama suka (kerelaan) di antara kamu. Dan janganlah saling membunuh 

dirimu, Sesungguhnya Allah yaituMaha Penyayang kepadamu”. 

 

5. Ash-Sidq (Kebenaran dan Kejujuran); 

Mendasarkan pada QS. Al-Ahzab ayat 70 yang artinya “Hai orang-

orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah 

perkataan yang benar”. Ayat ini bermakna setiap muslim wajib 

hukumnya untuk berkata dan berperilaku jujur dalam keadaan 

bagaimanapun, termasuk dalam membuat perjanjian. Setiap 

ketidakjujuran atau kebohongan yang terjadi dalam suatu perjanjian 

memberikan hak kepada pihak lainnya untuk menghentikan ataupun 

membatalkan perjanjian ini . 

 

6. Al-Kitabah (Tertulis); 

Bahwa setiap perjanjian hendaknya dibuat secara tertulis yaitu

berkaitan dengan kepentingan pembuktian jika terjadi sengketa di 

kemudian hari. Selain itu, jika diinginkan oleh para pihak, suatu 

perjanjian juga dapat menghadirkan saksi-saksi serta rahn (gadai) atau 

yang dikenal dengan haftung dalam perjanjian Perdata Barat. 

 

 

D. Berakhirnya Perjanjian. 

Perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam konteks hukum Islam berakhir 

dalam hal: 

1. Berkahirnya masa berlaku akad/perjanjian: 

 Hal ini biasanya dinyatakan secara tegas dalam akad tentang masa 

berlakunya dan berakhirnya perjanjian. 

2. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang ber-akad; 

 Kondisi ini terjadi disebabkan oleh terjadinya pelanggaran terhadap 

ketentuan akad  yang dilakukan oleh salah satu pihak, atau oleh 

sebab  adanya kekhilafan (error in object and error in subject) maupun 

sebab  adanya penipuan dari salah satu pihak. 

78 

 

3. Salah satu pihak yang ber-akad meninggal dunia. 

 Kondisi ini menjadi sebab berakhirnya perjanjian untuk berbuat 

sesuatu. sedang  dalam hal perjanjian untuk melakukan sesuatu, 

seperti perjanjian utang, hal ini biasanya tidak menjadi sebab 

berakhirnya perjanjian sebab  masih ada  pihak lain yang dapat 

memenuhi kewajiban ini , misal ahli waris yang akan 

membayarkan hutangnya. 

 

 

E. Macam-macam Perjanjian dalam Islam. 

Dalam Islam mengenal banyak macam perjanjian, dalam sub bab ini akan 

dibahas secara singkat beberapa jenis perjanjian dalam Islam yang sering 

dilakukan oleh masyarakat, yaitu perjanjian jual beli dan pinjam meminjam. 

 

1. Perjanjian Jual Beli 

Jual beli menurut syari’at yaitupertukaran harta atas dasar kerelaan 

masing-masing pihak, atau juga yang disebut dengan memindahkan hak 

milik dengan ganti yang dapat dibenarkan, yaitu berupa alat tukar yang 

sah. 

 

Dasar hukum jual  beli ada  dalam QS. Annisa Ayat 29 “Hai orang-

orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu 

dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan (jual beli) yang 

berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. Selain itu, dalam QS. 

Al-Baqarah ayat 257 dinyatakan bahwa “Allah menghalalkan jual beli 

dan mengharamkan riba”. 

 

Rukun ataupun unsur mutlak yang harus dipenuhi dalam sesuatu hal 

dalam jual beli yaitua) adanya pihak penjual dan pihak pembeli, b) 

adanya uang dan benda, dan c) adanya lafal. sedang  syarat (unsur 

yang harus ada untuk sesuatu hal dan tindakan) dalam jual beli yaitu: 

a) Menyangkut subjek nya, yang harus memenuhi syarat : berakal, 

dengan kehendaknya sendiri (tidak dipaksa), keduanya tidak 

mubazir, serta baligh (sudah dewasa). 

b) Menyangkut objeknya, yang terhadap objek ini  harus 

memenuhi persyaratan sebagai berikut: barangnya bersih, 

barangnya dapat dimanfaatkan, barang ini  milik dari orang 

yang melakukan akad, mampu menyerahkannya (barangnya harus 

 

 

sudah ada dan diketahui wujud dan jumlahnya), mengetahui 

(bahwa terhadap barang ini  secara jelas diketahui bentuk 

kualitas, dan spesifikasi nya), serta barang yang diakadkan ada di 

tangan. 

c) Menyangkut lafaz jual beli. Yaitu secara lisan ataupun tertulis harus 

disampaikan kepada pihak lain. 

 

Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli yaitupada 

pihak pembeli : 

a) wajib menyerahkan uang pembelian yang besarnya sesuai dengan 

kesepakatan; 

b) berhak menerima penyerahan barang /objek perjanjian jual beli. 

 

sedang  pada pihak penjual : 

a) wajib menyerahkan barang kepada pembeli sesuai dengan 

kesepakatan yang telah dibuat; 

b) wajib menanggung barang terhadap cacat tersembunyi; 

c) berhak menerima uang pembayaran. 

  

2. Perjanjian Pinjam Meminjam. 

Pinjam meminjam yaitusuatu perjanjian untuk memberikan sesuatu 

yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak 

merusak zatnya, agar dapat dikembalikan seperti semula. Dalam KUH 

Perdata, pinjam meminjam diatur dalam Pasal 1740 sedang  dalam 

perjanjian Islam, salah satu dasar hukum yang dapat dijadikan landasan 

yaituQS. Al-Maidah ayat 2 “…..hendaklah kamu tolong menolong 

dalam kebaikan dan takwa….” 

 

Perjanjian pinjam meminjam dalam Islam mensyaratkan adanya : 1) 

pihak yang meminjamkan, 2) pihak yang meminjam (peminjam), dan 3) 

adanya ojek/benda yang dipinjamkan serta 4) lafal adanya perjanjian 

pinjam meminjam (ariah). 

 

Tentang keberadaan pihak yang meminjamkan disyaratkan agar 

memenuhi kriteria sebagai berikut: 

a. bahwa ia berhak atas barang yang dipinjamkannya ini ; 

b. bahwa barang ini  dapa dimanfaatkan (kemanfaatan barang 

menjadi syarat penting dalam pinjam meminjam, dan 

 

 

pemanfaatanya hanya dapat sebatas yang dibolehkan dalam 

syariat Islam). 

 

Keberadaan peminjam disyaratkan haruslah orang yang cakap bertindak 

(berhak). sedang  terhadap objek nya atau barang yang dipinjamkan 

haruslah memenuhi persyaratan bahwa : 

a. barang ini  yaitubarang yang bermanfaat; 

b. barang ini  tidak menjadi musnah akibat dari 

pemanfaatan/pemakaiannya. 

 

Kewajiban peminjam terhadap barang pinjaman ini yaituuntuk 

menjaga dan memelihara barang ini  serta mengembalikannya 

sesuai dengan perjanjian, dan jika terjadi kerusakan terhadap barang 

pinjaman ini , wajib untuk diganti. 

 

 

 


HUKUM KONTRAK & 

PERKEMBANGANNYA 

 


Istilah kontrak yang diadopsi dari bahasa Inggris ”contract” ataupun 

“agreement” diartikan sebagai perjanjian atau persetujuan dalam hukum 

negara kita . Pengaturannya sendiri kita dapati pada Pasal 1233 KUH Perdata 

yang selengkapnya berbunyi : “Tiap-tiap Perikatan dilahirkan baik sebab  

perjanjian baik sebab  undang-undang”.  

 

Makna dari perjanjian dapat kita lihat pada rumusan Pasal 1313 KUH 

Perdata yang berbunyi “Perjanjian atau persetujuan yaitusuatu perbuatan 

dengan mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang 

lain atau lebih”. Selain makna yang disampaikan oleh Pasal ini  di atas, 

pendapat R. Subekti dalam bukunya Aneka Perjanjian (1984: 1) dapat juga 

kita simak, ”Perjanjian yaitusuatu peristiwa dimana ada seorang berjanji 

kepada seorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan 

suatu hal”. Pendapat lain disampaikan oleh Yahya Harahap (1982: 3), dan 

tampaknya pemahaman yang disampaikan jauh lebih mendekati 

pemahaman umum terhadap keberadaan kontrak atau perjanjian 

selengkapnya, menurut beliau “Perjanjian yaitusuatu hubungan hukum 

kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada 

suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada 

pihak lain untuk melaksanakan prestasi”. 

 

berdasar makna-makna ini  di atas maka dapat juga dipahami, 

bahwa inti dari dilaksanakannya perjanjian yang akan melahirkan perikatan 

di antara para pihak yang membuatnya yaituadanya pemenuhan prestasi 

(Lihat lebih lanjut ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata dan Bab Kedua Buku 

ini). 

 

B. Hukum Kontrak Nasional dan Internasional. 

Hukum kontrak yang berlaku di negara kita , keberadaannya tidak lepas dari 

sejarah perkembangan hukum kontrak maupun hukum perikatan dan 

hukum perdata di negara kita . berdasar asas konkordansi, maka 

keberadaan hukum perdata barat yang ditinggalkan oleh Pemerintahan 

Belanda masih diberlakukan di negara kita  sebagai negara jajahan, tentunya 

dengan menyesuaikan pada kondisi di negara kita , melalui berbagai kegiatan 

pembaharuan hukum negara kita  yang telah dicanangkan sejak PELITA kedua 

sebagai bagian dari amanat pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara. 

Namun demikian usaha  untuk melakukan kodifikasi serta unifikasi hukum 

sebagai implementasi dari konsep wawasan nusantara terus dilakukan oleh 

Pemerintah negara kita . Sejauh ini, kodifikasi hukum acara pidana yang 

menggantikan ”Het Herziene Inlands Reglement” telah selesai dilaksanakan 

dan proses kodifikasi Hukum Pidana Nasional masih dalam proses.  

Terhadap kodifikasi hukum perdata sendiri, tampaknya belum maksimal, 

namun demikian berbagai simposium telah dilangsungkan oleh para ahli 

hukum negara kita  dalam rangka mempersiapkan unifikasi dan kodifikasi 

hukum negara kita . Sejauh ini, kesulitan timbul dalam proses kodifikasi 

disebabkan oleh beraneka macamnya kehidupan hukum di bidang perdata 

yang berlaku di negara kita . sesudah sebelumnya berlaku hukum perdata yang 

berbeda-beda bagi golongan etnis yang berlainan dan berlakunya hukum 

Islam serta hukum adat yang berbeda-beda pula bagi golongan pribumi 

sejak masa perang penjajahan. 

 

 

Membicarakan hukum kontrak nasional sendiri, tanpa mengenyampingkan 

proses kodifikasi dan unifikasi yang masih terus berlangsung, maka dalam 

Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Perdata Nasional  yang 

diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen 

Kehakiman bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada Jogjakarta Tangal 

21 sampai dengan 23 Desember 1981 di Jogjakarta (dikutip dari Lampiran II  

Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Perdata Nasional, dari Buku KUH 

Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Mariam Darus 

Badrulzaman, 2005: 243 – 248) melaporkan poin-poin perubahan dalam 

usaha  kodifikasi hukum perdata negara kita , diantaranya yang berkenaan 

dengan Hukum Perikatan yaitusebagai berikut: 

1. Dalam memperbaharui hukum perdata nasional, kita tetap berorientasi 

kepada pola kontinental. (ada usulan untuk memperhatikan pola 

campuran, baik kontinental maupun anglo saxon) 

 

Dalam hukum perjanjian termasuk hukum perikatan dalam sistem 

hukum perdata, diperlukan asas-asas yang melandasinya, dengan 

penerapannya didasarkan pada: 

a) kemajuan zaman dan kesadaran bahwa Negara dan Bangsa 

negara kita  telah memasuki gelanggang Internasional, sehingga 

perlu memperhatikan standart atau ukuran yang bersifat 

Internasional; 

b) walaupun KUH Perdata (BW) telah berusia cukup lama namun 

materi-materi yang diaturnya akan dipakai sebagai pedoman 

dalam penyusunan naskah rencana undang-undang yang akan 

datang; 

c) hukum adat sedapat mungkin juga harus diberikan tempat dalam 

undang-undang hukum perikatan nasional sekedar tidak 

menghambat kemajuan. 

 

2. Tentang Asas. 

Pemberlakuan asas-asas dalam suatu perjanjian yaitudengan 

memperhatikan asas-asas pokok berikut, yaitu : 

a) asas konsensualisme; 

b) asas kebebasan berkontrak; 

dengan catatan bahwa pemberlakuan asas ini yaitutetap dengan 

memperhatikan bahwa dalam kontrak perlu dicantumkan syarat : 

 

 

(1) ”Kontrak tidak boleh berisikan sesuatu yang bertentangan 

dengan kesusilaan serta perikemanusiaan bagi sahnya suatu 

perjanjian, yang yaitu usaha  untuk melindungi 

kepentingan pihak yang lemah”. Untuk melindungi 

kepentingan pihak yang lemah, mengenai perjanjian standar 

perlu diadakan peraturan standar. 

(2) Selain itu, dalam kontrak juga harus dicantumkan ketentuan 

bahwa ”semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad 

baik”. 

3. Praktek dan Yurisprudensi. 

4. Tentang Syarat Sah Perjanjian yaitutetap memperhatikan ketentuan 

Pasal 1320 KUH Perdata yaitu : a) adanya kecakapan melakukan 

perbuatan hukum, b) adanya kesepakatan antara para pihak (tanpa 

paksaa, khilaf maupun penipuan, c) adanya objek tertentu dalam 

perjanjian dan d) objek perjanjian ini  haruslah halal dengan tidak 

melanggar ketentuan perundang-undangan, ketertiban umum maupun 

kesusilaan. 

5. Tentang Itikad Baik, yang mana disini diartikan sebagai kejujuran pada 

waktu menyusun perjanjian. 

6. Tentang eksekusi riil. 

7. Tentang Perjanjian khusus yang perlu diatur seperti : a) Jual beli, b) 

Tukar menukar, c) Sewa Menyewa, d) Sewa Beli, e) Pengangkutan, f) 

Perjanjian melakukan pekerjaan, g) Persekutuan, h) Hibah, i) Penitipan 

barang, j) Pinjam pakai, k) Pinjam meminjam, l) Perjanjian untung-

untungan, m) pemberian kuasa, n) penanggungan hutang, o) 

perdamaian. 

 Di samping itu juga dipertimbangkan adanya pengaturan atas perjanjian 

baru yang mlai berkembang dalam praktek tapi belum ada 

pengaturannya dalam undang-undang. 

8. Tentang Sumber-sumber Perikatan. Di sini tidak hanya memperhatikan 

bahwa perjanjian sebagai sumber perikatan, namun juga memperhatikan 

sumber perikatan lainnya yaitu : Perbuatan melawan hukum, 

pengurusan kepentingan orang lain tanpa kuasa, dan pembayaran tak 

terutang. 

9. Tentang Daluarsa, pengaturan terhadapnya sebaiknya dalam Bagian 

Hukum Perikatan, disebab kan adanya menyebabkan hapusnya 

perikatan. 

 

 

10. Perlunya pembatasan atas asas kebebasan berkontrak, yakni tentang 

pengertian kesusilaan dan perikemanusiaan perlu pula ditegaskan 

pokok-pokok kriterianya. 

 

Lebih lanjut, sebelum pembahasan tentang hukum kontrak Internasional 

perlu diketengahkan pula perkembangan-perkembangan positif dari hukum 

kontrak, yang jika ditelaah yaitumenunjukkan cir-ciri berikut: 

1. Berkembangnya klausula eksonerasi di dalam standart contract yang 

membatasi asas kebebasan berkontrak; 

2. Di dalam perjanjian pertahanan kepentingan umum tidak mendapat 

perlindungan; 

3. Untuk perjanjian tertentu diperlukan bentuk tertentu; 

4. Prinsip tentang perjanjian dengan Pemerintah perlu diatur dalam UU; 

5. Asas profit sharing di dalam perjanjian kerjasama, seperti BOT dan 

perjanjian pembiayaan perlu diterapkan; 

6. Perlindungan terhadap lingkungan hidup perlu diperhatikan dalam 

perjanjian; 

7. Diberikannya perlindungan atas konsumen. 

8. Itikad baik; 

9. Kehidupan ekonomi berorientasi pada ekonomi kerakyatan; 

10. Kebiasaan sangat berperan untuk menampung kekosongan hukum; 

11. Para pihak di dalam perjanjian secara immateriil yaitu 

personifikasi dari kelompok.  

 

Peran hukum kontrak dalam perdagangan bebas tidak hanya bergantung 

kepada harmonisasi dan standarisasi berbagai aturan dan praktik, namun juga 

bergantung kepada budaya hukum masing-masing pihak, terutama antara 

Barat dan Timur. 

Masyarakat Barat memandang bahwa hukum yaitusebagai hak (rights) 

sehingga menegakkan hukum kontrak yaitumenegakkan hak yang 

yaitu kewajiban bagi pihak lain (dikutip dari buku Hukum Kontrak 

Internasional, Syahmin AK, 2006 : 92 yang mengutip pendapat Lawrence M. 

Friedman ”American Law”). 

 

Suatu perjanjian internasional, dampaknya pada penerapan internal yaitu

sangat erat dengan sistem hukum nasional suatu negara peserta. 

Menurut teori adoption, perjanjian internasional memiliki dampak 

hukum dalam suasana nasional. Perjanjian internasional tetap 

 

mempertahankan sifat internasionalnya (keasliannya), namun diterapkan 

dalam suasana hukum nasional. Sebaliknya menurut teori incorporation, 

perjanjian internasional itu harus lebih dahulu di inkorporasi ke dalam 

hukum nasional baru dapat diterapkan dan menjadi hukum nasional. Teori 

ini mendasarkan ajarannya pada aliran dualisme, yaitu hukum nasional dan 

hukum internasional yaitu dua sistem hukum yang berbeda. 

 

 

C. Standart Contract : Implementasi dan Konsekwensi Yuridisnya. 

Berkaitan dengan pembangunan negara kita  dengan tujuan untuk 

mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat negara kita , 

maka berbagai macam kegiatan transaksi di bidang keuangan dan 

perdagangan pun makin berkembang, baik dalam wilayah domesik maupun 

internasional. Dalam kondisi demikian, dimana frekwensi transaksi semakin 

tinggi, maka dengan sendirinya frekwensi pembuatan kontrak atau 

perjanjian juga akan semakin tinggi. Dengan demikian para pelaku transaksi 

ini akan berfikir untuk dapat dipakai nya suatu bentuk kontrak yang 

efektif dan efisien. Sebagai gambarannya yaitutransaksi di bidang 

perbankan, akan menjadi suatu hal yang sangat memboroskan jika  Bank 

melakukan perlakuan yang berbeda antara satu nasabah dengan nasabah 

lainnya dalam satu keadaan perjanjian/kontrak kredit/pinjaman. 

 

Penggunaan perjanjian/kontrak yang sedemikian inilah yang disebut dengan 

”Perjanjian Standar (Standart Contract)”, dikenal juga sebagai kontrak baku. 

Dalam kelahirannya di negara kita , standart contract berkembang dari hukum 

kontrak internasional (sejak revolusi industri), namun demikian 

keberadaannya di negara kita  yaitudibenarkan dengan mendasarkan pada 

pemberlakuan asas kebebasan berkontrak, walaupun dalam praktek 

pelaksanaannya, standart contract kadangkala tidak dapat memberikan 

kepuasan yang sempurna bagi salah satu pihak dalam perjanjian. 

 

Karakteristik dari perjanjian standar ini sendiri  

yaitu: 

1. Isi kontrak telah ditetapkan secara tertulis dalam bentuk formulir yang 

digandakan; 

2. Penggandaan kontrak dimaksudkan untuk melayani permintaan para 

konsumen yang berfrekuensi tinggi (sering, banyak ataupun massal); 

 

 

3. Konsumen dalam banyak hal menduduki posisi tawar menawar  

(bargaining position) yang lebih rendah dibandingkan  produsen; 

 

berdasar karakteristik ini  di atas maka dapat ditarik pengertian dari 

Standart Contract, yaitu ”Perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih 

dahulu secara tertulis berupa formulir-formulir yang digandakan dalam 

jumlah tidak terbatas untuk ditawarkan kepada para konsumen tanpa 

memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen”. 

Sebagai penutup uraian pada bab ini dapat ditambahkan bahwa di dalam 

suatu perjanjian standar, khususnya perjanjian standar yang sepihak 

(adhesion contract)  ada  suatu kondisi ataupun syarat yaitu adanya 

pencantuman ”klausula eksonerasi” (exemption clause) yang bertujuan 

untuk membatasi bahkan meniadakan tanggungjawab kreditur atas resiko-

resiko tertentu yang mungkin timbul dikemudian hari. 

 

Dalam praktek, klausula eksonerasi ini biasanya tercetak di lembar belakang 

dari kontrak atau di halaman yang sama dan dicetak dengan huruf kecil. 

Contoh, dalam perjanjian pengangkutan. Pada tiket penumpang tercantum 

klausula eksonerasi yang bunyinya ”Barang hilang tanggung jawab 

penumpang”. Pada contoh ini , tampak bahwa kreditur dalam hal ini 

pengangkut membatasi tanggung jawab nya dalam pemeliharaan barang 

penumpang yang berada pada angkutannya. 

 

 

 

PENYUSUNAN KONTRAK 

(CONTRACT DRAFTING) 


Memahami suatu kontrak akan terpulang dari berbagai istilah yang ada di 

masyarakat beserta defenisi ataupun pengertiannya. Banyak istilah yang 

dikenal dalam masyarakat tentang kontrak, di antaranya perjanjian, 

persetujuan maupun perhutangan. Masing-masing punya defenisi dan 

konotasi. Berbicara tentang kontrak, konotasinya yaitupada suatu bentuk 

perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara tertulis. Namun demikian jika 

kita kembalikan pada pengertiannya maka kontrak yang yaitu 

adaptasi dari istilah asing “contract” yaitutidak lain dari perjanjian yang 

diatur dalam pasal 1131 KUH Perdata dan 1233 KUH Perdata. 

 

Dalam Black Law Dictionary, Henry Campbell (1968: 394) menyampaikan 

defenisi kontrak yaitusuatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory 

agreement) diantara 2 orang/pihak atau lebih yang dapat menimbulkan, 

memodifikasi atau menghilangkan hubungan hukum. 

 

Menurut Subekti (1979:1) defenisi perjanjian yaitusebagai suatu 

peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua 

orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal. 

 

Melaksanakan suatu perjanjian ataupun kontrak tidak terlepas dari syarat 

sahnya suatu kontrak sebagaimana yang diatur dalam pasal 1320 KUH 

Perdata yaitu: 

a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 

b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 

c. suatu hal tertentu; 

d. suatu sebab yang halal. 

 

 Mengenai arti penting dari suatu kontrak dapat dijabarkan sebagai berikut: 

  Untuk mengetahui perikatan apa yang dilakukan dan kapan serta 

dimana kontrak ini  dilakukan dan waktu berlaku dan berakhirnya 

kontrak; 

  Untuk mengetahui para pihak yang saling mengikatkan diri serta hak 

dan kewajiban masing-masingnya; 

  Untuk mengetahui syarat berlakunya kontrak ini ; 

  Sebagai alat untuk memantau bagi para pihak, apakah pihak lawan 

masing-masing telah menunaikan prestasinya atau belum, atau bahkan 

telah melakukan suatu wanprestasi; 

  Sebagai alat bukti bagi para pihak, jika  terjadi perselisihan di 

kemudian hari; 

 

Suatu kontrak membawa akibat hukum yang pada dasarnya lahir dari 

adanya hubungan hukum dari suatu perikatan, yaitu dalam bentuk hak dan 

kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban inilah yang yaitu salah satu 

bentuk dibandingkan  akibat hukum suatu kontrak. Dengan demikian, dapat 

dikatakan bahwa akibat hukum di sini tidak lain yaitupelaksanaan (hak dan 

kewajiban) dibandingkan  suatu kontrak itu sendiri. 

 

 

Di dalam pembuatan suatu kontrak memperhatikan suatu asas yang disebut 

asas kebebasan berkontrak; yaitu adanya kebebasan seluas-luasnya yang 

diberikan oleh undang-undang kepada masyarakat untuk mengadakan 

perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan 

perundang-undangan, kepatutan, ketertiban umum. Hal ini termaktub 

dalam pasal 1338 KUH Perdata, yang hal ini juga dimaksudkan untuk 

menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan 

suatu Undang undang . Kekuatan ini diberikan kepada semua perjanjian 

yang dibuat secara sah. 

Menurut Remy Sjahdeini (1993:47) asas kebebasan berkontrak meliputi 

ruang lingkup sebagai berikut: 

1. kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian; 

2. kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat 

perjanjian; 

3. kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang 

akan dibuatnya; 

4. kebebasan untuk menentukan objek perjanjian; 

5. kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian; 

6. kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan Undang 

undang  yang bersifat optional (aanvullend).  

 

Pembuatan suatu kontraksecara tertulis dengan membubuhkan tanda 

tangan para pihak sebagai tanda persetujuan dan kesepakatan atas apa yang 

terurai dalam kontrak ini . Perjanjian yang dibuat secara tertulis ini dan 

dengan pembubuhan tanda tangan disebut dengan akta. 

Akta itu sendiri yaitu suatu tulisan yang sengaja dibuat untuk 

dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Dengan 

demikian, unsur-unsur yang penting dari suatu akta yaituadanya 

kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatangan 

tulisan ini . Hal ini diatur dalam pasal 1874 KUH Perdata. 

Akta terdiri dari dua jenis; pertama, akta otentik-yaitu akta yang dibuat oleh 

notaris dan kedua, akta di bawah tangan yang dibuat tanpa campur 

tangan/bantuan notaris sebagai pejabat pembuat akta.   

 

 

 

Akta otentik memiliki fungsi : 

1. sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan 

perjanjian tertentu; 

2. sebagai bukti bahwa para pihak bahwa apa yang tertulis dalam 

perjanjian yaitumenjadi tujuan dan keinginan para pihak; 

3. sebagai bukti bagi pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu, kecuali jika 

ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan 

bahwa isi perjanjian yaitusesuai dengan kehendak para pihak. 

  

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh para pihak sebelum mengadakan dan 

membuat kontrak yaitu(Salim HS, 2003:105 – 108) : 

1) Kewenangan hukum para pihak; 

2) Perpajakan; 

3) Alas hak yang sah; 

4) Masalah keagrariaan; 

5) Pilihan hukum; 

6) Penyelesaian sengketa; 

7) Pengakhiran kontrak; 

8) Bentuk perjanjian standart. 

 

 

B. Penyusunan Kontrak dan Unsur-unsur Yang Ada didalam Suatu Kontrak 

 

Seorang perancang kontrak dengan berbagai kemajuan dan fenomena 

bisnis maupun perkembangan di masyarakat, disyaratkan memiliki 

penguasaan terhadap jenis-jenis kontrak/ perikatan dengan segala 

karakteristiknya. Selain itu, seorang perancang kontrak juga dituntut untuk 

menyadari bahwa sebagai suatu dokumen hukum kontrak bisnis apapun 

yang dirancang harus dapat (lihat lebih lanjut dalam 

  memberikan kepastian tentang identitas pihak-pihak yang terlibat 

dalam transaksi; 

  memberikan kepastian dan ketegasan tentang hak dan kewajiban 

utama masing-masing pihak sesuai dengan inti transaksi; 

  memuat nilai ekonomis dari transaksi dimaksud, yang dapat 

diterjemahkan menjadi suatu nilai uang tertentu; 

93 

 

  memberikan jaminan tentang keabsahan hukum (legal validity) dari 

dan kemungkinan pelaksanaan secara yuridis (legal enforceability) dari 

transaksi bersangkutan; 

  memberikan petunjuk tentang tata cara pelaksanaan hak dan 

kewajiban para pihak; 

  memberikan solving problem terhadap perselisihan yang timbul; 

  memberikan jaminan bahwa janji-janji dan pelaksanaan janji-janji yang 

dimuat di dalam kontrak yaituhal-hal yang mungkin, wajar, patut 

dan adil untuk dilaksanakan (fair and reasonable).  

menyampaikan bahwa seseorang yang 

bermaksud untuk menyusun suatu kontrak wajib memenuhi beberapa 

syarat pendahuluan, yang dapat dijabarkan sebagai katalog yang mencakup 

hal-hal sebagai berikut: 

1. Pemahaman akan latar belakang transaksi; 

 Pemahaman tentang hal-hal yang melatar belakangi lahirnya atau 

dibuatnya suatu kontrak yaitupenting untuk menetapkan judul dari 

kontrak itu sendiri. Pemahaman ini bisa didapatkan tidak hanya melalui 

pemahaman hukum maupun kemampuan berfikir yuridis dari seorang 

perancang kontrak (contract drafter) saja namun juga dibutuhkannya 

wawasan yang luas tentang bidang transaksi yang akan dirumuskan 

ini . 

2. Pengenalan dan pemahaman akan keberadaan para pihak; 

 Proses identifikasi ataupun pengenalan terhadap keberadaan para pihak 

juga perlu dimiliki oleh seorang drafter mencakup tidak hanya tentang 

nama dan alamat saja namun juga asal usulnya, serta reputasi bisnis yang 

dimilikinya.  

3. Pengenalan dan pemahaman akan objek transaksi; 

 Pada bagian ini pemahaman seorang drafter tentang objek dari 

transaksi akan sangat dibutuhkan, terutama pemahamannya tentang 

kemungkinan-kemungkinan keberhasilan dari rencana transaksi 

ini , peluang, harapan maupun hambatan yang mungkin timbul 

dalam pelaksanaannya. 

4. Penyusunan Garis Besar Transaksi; 

 penyusunan suatu 

kontrak selalu menghadapakan kita pada tantangan: dapatkah kita 

membuat skema transaksi yang transparan dan konklusif? Pertanyaan 

 

 

ini penting disebab kan transaksi yang akan dilaksanakan oleh para 

pihak, sebenarnya tidak hanya tentang hak-hak maupun kewajiban yang 

ada diantara keduanya, namun juga harus dipahami sebagai suatu 

kesatuan utuh yang kompleks, yang juga haris diketahui mana ujung dan 

pangkalnya. 

5. Perumusan pokok pokok kontrak; 

 sesudah dapat diidentifikasikannya dan dilakukannya penyusunan Garis 

Besar Transaksi, maka langkah berikutnya yaitumelakukan 

penyusunan kontrak. 

 Pokok-pokok dari suatu kontrak harus dirumuskan dengan cermat dan 

akurat, terutama sebab  dua alasan : Pertama, rumusan tentang pokok-

pokok kontrak itu menentukan kesinambungan yang logis dari 

ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari suatu kontrak. Kedua, 

keruntutan itu menentukan apakah hubungan timbal balik dari berbagai 

hak dan kewajiban yang akan berlaku bagi para pihak ditetapkan secara 

adil dan masuk akal 

 

Selanjutnya, unsur-unsur pokok yang membentuk kerangka umum dan 

harus ada dalam suatu kontrak adalah: 

1. Bagian Pembukaan; 

Bagian pembukaan suatu kontrak berisikan: 

a. Judul Kontrak, 

b. Tempat dan waktu kontrak diadakan, 

c. Komparisi (uraian tentang para pihak: identitas; dasar hukum 

yuridis; kedudukan para pihak), 

d. Recitals (bagian pertimbangan dibandingkan  kontrak, bagian 

pembukaan yang memuat latar belakang dibandingkan  

kesepakatan dan alasan diadakannya kontrak), 

e. Ruang Lingkup. 

 

2. Isi ataupun Pasal-pasal dalam Kontrak: 

a. Ketentuan – ketentuan Umum; 

 Memuat pembatasan istilah dan pengertian yang dipakai  

di dalam sebuah kontrak. Pada bagian ini dirumuskan 

defenisi-defenisi atau pembatasan pengertian dari istilah-

95 

 

istilah yang dianggap penting dan sering dipakai  dalam 

kontrak, yang disepakati para pihak. 

 

b. Ketentuan - Ketentuan Pokok Kontrak; 

Isi dari ketentuan pokok ini menyangkut tiga hal berikut: 

1) Klausula Transaksional, berisi tentang hal-hal yang 

disepakati oleh para pihak, tentang objek dan tata cara 

pemenuhan prestasi dan kontraprestasi oleh masing-

masing pihak yang menjadi kewajibannya. 

Contoh: pasal-pasal ataupun klausula yang mengatur 

tentang fasilitas kredit oleh pihak Bank. 

 

2) Klausula Spesifik, berisi tentang hal-hal khusus sesuai 

dengan karakteristik jenis perikatan atau bisnisnya 

masing-masing 

Contoh: Klausula tentang jaminan kredit. 

 

3) Klausula Antisipatif, berisikan tentang hal-hal yang 

menyangkut kemungkinan-kemungkinan yang akan 

terjadi selama berlangsungnya atau selama masih 

berlakunya kontrak dimaksud. 

Contoh: perpanjangan kontrak, pengalihan 

hak/kewajiban salah satu pihak, penyelesaian sengketa. 

 

c. Ketentuan – ketentuan Penunjang; 

Ketentuan ini diperlukan untuk menunjang efektivitas 

pelaksanaan kontrak oleh para pihak yang terlibat di 

dalamnya. Biasanya berisikan: 

1) klausula tentang condition presedent, yaitu klausula 

yang memuat tentang syarat-syarat tangguh yang harus 

dipenuhi terlebih dahulu oleh salah satu pihak sebelum 

pihak lainnya memenuhi kewajibannya (contoh dalam 

perjanjian kredit: ada  klausula tentang penarikan 

pinjaman beserta persyaratannya). 

 

2) Klausula affirmatif covenants, yaitu klausula yang 

memuat tentang janji-janji parapihak untuk melakukan 

hal-hal tertentu selama perjanjian/kontrak masih 

berlangsung (contoh untuk perjanjian kerjasama, 

ada  klausula pelaksanaan perjanjian). 

 

3) Klausula negatif covenants, yaitu klausula yang memuat 

tentang janji-janji para pihak untuk tidak melakukan hal-

hal tertentu selama perjanjian/kontrak masih 

berlangsung (contoh dalam perjanjian kerjasama, 

ada  klausula-klausula batasan, yang tidak 

memperkenankan para pihak untuk membuat dan 

menandatangani kerjasama serupa dengan pihak lain).