hukum perikatan 1
Perikatan ini prestatienya yaituuntuk memberikan sesuatu
(menyerahkan) yang dikenal juga dengan istilah levering dan
merawatnya.
Kewajiban menyerahkan yaitukewajiban pokok, sedang
kewajiban merawat yaitukewajiban preparatoir, yang
dilaksanakan oleh debitur menjelang pemenuhan kewajiban
pokoknya.
Contoh perikatan untuk memberikan sesuatu yaituJual Beli, Sewa
Beli, Tukar Menukar.
b. Perikatan untuk berbuat sesuatu dan perikatan untuk tidak berbuat
sesuatu (Pasal 1239 s.d Pasal 1242 KUH Perdata). KUH Perdata
tidak memberikan pernyataan secara tegas tentang perikatan untuk
berbuat sesuatu dan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.(Lihat
lebih lanjut ketentuan Pasal 1239 s/d 1242 KUH Perdata).
Pasal 1239 KUH Perdata sebagai pasal awal, pada bagian ketiga dari
Bab Kesatu tentang Perikatan-Perikatan Umum menyatakan bahwa,
“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak
berbuat sesuatu, jika si berutang tidak memenuhi
kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajibannya
memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”.
Ketentuan Pasal ini di atas, memberikan pengaturan tentang
tuntutan ganti rugi yang dapat diajukan oleh si yang berpiutang,
saat yang berutang tidak memenuhi perikatannya.
c. Perikatan Bersyarat (Pasal 1253, 1259 – 1267 KUH Perdata):
Pasal 1253 KUH Perdata menyatakan bahwa “Perikatan yaitu
bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan
datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara
menangguhkan perikatan, sehingga terjadinya peristiwa semacam
itu menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa ini ”.
Syarat ini harus dinyatakan secara tegas dalam perikatan.
Namun batasan terhadap syarat ini telah diatur dalam
undang-undang yaitu:
1) bertujuan melakukan sesuatu yang tidak mungkin
dilaksanakan;
2) bertentangan dengan kesusilaan;
3) dilarang undang-undang;
4) pelaksanaannya tergantung dari kemauan orang yang terikat.
Pasal 1266 KUH Perdata memberikan pengaturan tentang
“Ingkar janji yang yaitu syarat batal dalam suatu
perjanjian timbal balik”.
5) Perikatan dengan ketetapan waktu (Pasal 1268 – 1271 KUH
Perdata);
Perikatan dengan ketetapan waktu yaitusuatu perikatan
yang tidak menangguhkan perikatan, hanya menangguhkan
pelaksanaannya.
d. Perikatan manasuka/alternative (Pasal 1272 – 1277 KUH Perdata);
Dalam perikatan alternative ini, debitur dibebaskan jika ia
menyerahkan salah satu barang yang disebutkan dalam perikatan,
namun ia tidak dapat memaksa yang berpiutang untuk menerima
sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lain.
e. Perikatan Tanggung Renteng/ Tanggung Menanggung (Pasal 1278 –
1303 KUH Perdata):
Perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng terjadi
antara beberapa orang berpiutang, jika didalam perjanjian secara
tegas kepada masing-masing diberikan hak untuk menuntut
pemenuhan seluruh hutang, sedang pembayaran yang
dilakukan kepada salah satu membebaskan orang yang berhutang
meskipun perikatan menurut sifatnya dapat dipecah atau dibagi
antara orang yang berpiutang tadi.
Tanggung renteng dibedakan yang aktif dan pasif. Tanggung
renteng aktif yaituperikatan tanggung menanggung yang
pihaknya terdiri dari beberapa kreditur. sedang yang pasif
yaituterjadinya suatu perikatan tanggung menanggung diantara
orang-orang yang berutang yang mewajibkan mereka melakukan
suatu hal yang sama. salah seorang dari kreditur dapat dituntut
untuk seluruhnya, dan pemenuhan dari salah seorang
membebaskan orang-orang berutang lainnya terhadap si
berpiutang/kreditur.
f. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi (Pasal 1296
– 1303 KUH Perdata);
pada perikatan ini, objeknya yaitumengenai suatu barang yang
penyerahannya, atau suatu perbuatan yang pelaksanaannya dapat
dibagi-bagi, baik secara nyata ataupun perhitungan.
g. Perikatan dengan ancaman hukuman (Pasal 1304 – 1312 KUH
Perdata). Ancaman hukuman yaitusuatu keterangan, yang
sedemikian rupa disampaikan oleh seseorang untuk adanya
jaminan pelaksanaan perikatan. Maksud adanya ancaman hukuman
ini yaitu:
1) untuk memastikan agar perikatan itu benar-benar dipenuhi;
2) untuk menetapkan jumlah ganti rugi tertentu jika terjadi
wanprestasi dan untuk menghindari pertengkaran tentang hal
ini .
Ancaman hukuman ini bersifat accessoir. Batalnya perikatan pokok
mengakibatkan batalnya ancamanhukuman. Batalnya ancaman
hukuman tidak berakibat batalnya perikatan pokok.
F. Schuld & Haftung dalam Perikatan.
Schuld yaitukewajiban kreditur untuk menyerahkan prestasi kepada
debitur. sedang Haftung yaitukewajiban debitur untuk menyerahkan
harta kekayaannya untuk diambil kreditur sebanyak utang debitur, guna
pelunasan hutang si debitur, jika debitur tidak memenuhi kewajiban
membayar utang ini .
Antara Schuld dan haftung yaitudapat dibedakan namun tidak
terpisahkan.
Salah satu pasal yang memberikan pengaturan tentang schuld dan haftung
ini yaituPasal 1131 KUH Perdata “Segala kebendaan si berutang, baik yang
bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru
akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan”.
G. Prestasi & Wanprestasi.
Prestasi atau dalam hukum kontrak dikenal juga dalam istilah Inggris sebagai
performance yaitupelaksanaan dari isi kontrak yang telah diperjanjikan
menurut tata cara yang telah disepakati bersama (term and condition).
Macam-macam prestasi yaituyang diatur dalam Pasal 1234 KUH Perdata.
Wanprestasi atau yang juga dikenal dengan cidera janji; default; non-
fulfillment; ataupun breach of contract yaitusuatu kondisi tidak
dilaksanakannya suatu prestasi/ kewajiban sebagaimana mestinya yang
telah disepakati bersama – sebagaimana yang dinyatakan dalam kontrak.
Wanprestasi dapat terjadi sebab kesengajaan; kelalaian ataupun tanpa
kesalahan (kesangajaan dan/kelalaian).
Konsekwensi yuridis dari wanprestasi yaitutimbulnya hak dari pihak yang
dirugikan dalam kontrak ini untuk menuntut ganti rugi dari pihak yang
melakukan wanprestasi.
Bentuk-bentuk ataupun model wanprestasi yaitu:
1. Wanprestasi berupa tidak memenuhi prestasi;
2. Wanprestasi berupa terlambat memenuhi prestasi;
3. Wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi.
Pada beberapa kondisi tertentu, seseorang yang telah tidak melaksanakan
prestasinya sesuai dengan ketentuan yang dinyatakan dalam kontrak, maka
pada umumnya (dengan beberapa perkecualian) tidak dengan sendirinya dia
dianggap telah melakukan wanprestasi.
jika tidak telah ditentukan lain dalam kontrak atau undang-undang maka
wanprestasinya di debitur resmi terjadi sesudah debitur dinyatakan lalai oleh
kreditur, yaitu dikeluarkannya “akta lalai” oleh pihak kreditur. Hal ini diatur
dalam Pasal 1238 KUH Perdata “Si berutang yaitulalai, jika ia dengan
surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai,
atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang
akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang telah ditentukan”.
Akta lalai dalam praktek dikenal juga dengan istilah somasi (somatie:
Belanda, Sommation/Notice of Default: Inggris). Akta lalai ini sendiri dikenal
dan diberlakukan oleh Negara-negara dengan Civil Law System seperti
Perancis, Jerman, Belanda dan negara kita . sedang Negara-negara dengan
Common Law System tidak memberlakukan stelsel akta lalai ini.
Pengecualian terhadap akta lalai yaitudalam hal:
1. Jika di dalam kontrak ditentukan termin waktu;
2. Debitur sama sekali tidak memenuhi prestasi;
3. Debitur keliru memenuhi prestasi;
4. Ditentukan dalam undang-undang bahwa wanprestasi terjadi demi
hukum. Contoh, ketentuan Pasal 1626 KUH Perdata “Sekutu diwajibkan
memasukkan beberapa uang dan tidak melakukannya, itu menjadi
berutang bunga atas jumlah itu, demi hukum dengan tidak usah
ditagihnya pembayaran uang ini , terhitung sejak hari uang
ini sedianya harus dimasukkan….”
Dalam hal wanprestasi yang terjadi yaituberupa tidak sempurna
memenuhi prestasi, maka dalam ilmu hukum kontrak dikenal suatu doktrin
yang disebut “Doktrin Pemenuhan Prestasi Substansial (Substantial
Performance)” yang mengajarkan bahwa dalam hal terjadi wanprestasi
berupa tidak sempurna memenuhi prestasi, namun pihak ini telah
melaksanakan prestasinya secara substantial maka pihak lain ini harus
juga melaksanakan prestasinya secara sempurna (Substantial Performance).
Dengan kata lain, jika salah satu pihak telah melaksanakan Substantial
Performance, maka pihak lain harus memenuhi prestasinya sendiri
sebagaimana yang telah disepakati atau ditetapkan dalam kontrak, dan tidak
dibenarkan kepadanya untuk melaksanakan doktrin exception non adimpleti
contractus, yaitu doktrin yang mengajarkan jika salah satu pihak tidak
melaksanakan prestasinya maka pihak lain dapat juga telah melaksanakan
prestasinya.
Contoh: seorang pemborong (aanemeer) mengikatkan dirinya kepada pihak
yang memborongkan (bouwheer) untuk mendirikan bangunan. sesudah
dinyatakan selesai pekerjaannya ternyata dia belum memasangkan kunci-
kunci bagi bangunan ini , maka dapat dikatakan dia telah
melaksanakan kontrak ini secara substansial.
H. Force Majeure & Akibat Hukumnya.
Force Majeure yaitu keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk
melaksanakan prestasinya sebab keadaan/peristiwa yang tidak terduga
pada saat dibuatnya kontrak. Keadaan/peristiwa ini tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur ini tidak
dalam keadaan beritikad buruk. Peristiwa ini terjadinya juga tidak
telah diasumsikan terlebih dahulu kemungkinannya (seandainya telah
diasumsikan kemungkinannya, maka para pihak harusnya telah
menegoisiasikannya di dalam kontrak). Contoh peristiwa yang menyebabkan
force majeure yaituterjadinya air bah, banjir badang, meletusnya gunung
merapi, gempa bumi, mogok massal serta munculnya peraturan baru yang
melarang pelaksanaan prestasi dari kontrak ini .
Pasal 1244 & 1245 KUH Perdata mengatur masalah force majeure dalam
hubungannya dengan penggantian biaya rugi dan bunga saja; namun
demikian ketentuan ini juga dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam
mengartikan force majeure secara umum.
berdasar Pasal ini di atas, Force Majeure dapat terjadi disebabkan:
1. sebab sebab-sebab yang tidak terduga;
2. sebab keadaan memaksa;
3. sebab perbuatan ini dilarang.
jika force majeure terjadi terhadap suatu kontrak, sehingga salah satu
atau kedua belah pihak terhalang untuk melaksanakan prestasinya, maka
para pihak dibebaskan untuk melaksanakan prestasi dan tidak ada satu (1)
pihak pun yang dapat meminta ganti rugi sebab tidak dilaksanakannya
kontrak bersangkutan.
Force majeure dapat dibedakanatas:
1. Force majeure yang objektif, terjadi terhadap benda yang menjadi objek
dari kontrak ini , misal benda ini terbakar atau terbawa
banjir badang.
2. Force majeure yang subjektif, terjadi terhadap subjek dari perikatan itu.
Misalnya jika si debitur cacat seumur hidup, atau sakit berat sehingga
tidak mungkin lagi memenuhi prestasi.
3. Force majeure yang absolute, yaitu keadaan dimana prestasi oleh
debitur tidak mungkin sama sekali dapat dipenuhi untuk dilaksanakan
bagaimanapun keadaannya. Kondisi ini disebut juga dengan istilah
impossibility – misal, jika barang yang menjadi objek dalam perikatan
ini tidak dapat lagi ditemui di pasaran disebab kan sudah tidak
diproduksi lagi.
4. Force majeure yang relative, disebut juga dengan impracticality –
yaitu kondisi dimana pemenuhan prestasi secara normal tidak lagi
dapat dilaksanakan, walaupun secara tidak normal pada dasarnya masih
bias dilaksanakan. contoh force majeure bentuk ini yaituterhadap
kontrak ekspor impor dimana tiba-tiba pemerintah mengeluarkan
larangan terhadapnya. Secara normal, kontrak ini tidak dapat
dilaksanakan, namun dengan cara tidak normal seperti penyelundupan
(illegal), kontrak masih dapat dilaksanakan.
5. Force Majeure yang permanent, dalam hal ini prestasi sama sekali tidak
mungkin dapat dilaksanakan, sampai kapan pun walau bagaimanapun.
Misal, kontrak pembuatan lukisan, namun si pelukis menderita sakit
stroke (misalnya) yang tidak dapat sembuh lagi sehingga dia tidak
mungkin lagi melukis sampai kapan pun.
6. Force majeure yang temporer yaitusuatu force majeure dimana
prestasi tidak mungkin dilakukan untuk sementara waktu, namun nanti
nya masih mungkin dilakukan. Misal, perjanjian pengadaan suatu
produk tertentu, namun disebab kan berhentinya operasional pabrik
yang disebabkan oleh mogok buruh, maka force majeure terjadi.
sesudah keadaan reda, dan buruh kembali bekerja dan pabrik beroperasi
kembali maka prestasi dapat dilanjutkan kembali.
I. Ganti Rugi.
Ganti rugi yaitu kewajiban pihak yang melakukan wanprestasi untuk
memberikan penggantian atas kerugian yang telah ditimbulkannya.
Ganti rugi secara implicit diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata “Tiap-tiap
perikatan untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, jika
si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya
dalam kewajibannya memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”.
Komponen-komponen ganti rugi adalah:
1. Biaya, meliputi segala biaya (cost) yang telah dikeluarkan oleh pihak
yang dirugikan sehubungan dengan kontrak, misalnya akomodasi, biaya
notaris.
2. Rugi. Pengertian rugi di sini yaitudalam arti sempit yaitu
berkurangnya nilai kekayaan dari pihak yang dirugikan sebab adanya
wanprestasi dari pihak lainnya.
3. Bunga, yaitudimaksudkan sebagai kekurangan yang seharusnya
diperoleh namun tidak jadi diperoleh oleh pihak kreditur sebab adanya
wanprestasi debitur.
Dalam praktek, dikenal lima (5) macam bentuk ganti rugi:
1. Ganti Rugi (saja);
2. Pelaksanaan Kontrak Tanpa Ganti Rugi;
3. Pelaksanaan Kontrak dengan Ganti Rugi;
4. Pembatalan Kontrak Tanpa Ganti Rugi;
5. Pembatalan Kontrak dengan Ganti Rugi.
Ada enam (6) macam bentuk ganti rugi yang dikenal dalam Ilmu Hukum ,yaitu;
1. Ganti Rugi dalam Kontrak, dinyatakan secara tegas di dalam kontrak.
Hanya dapat dimintakan seperti yang tertulis dalam kontrak ini ;
tidak boleh melebihi ataupun kurang.
2. Ganti Rugi Ekspektasi:
Bentuk penghitungannya yaitudengan ekspektasi atau perkiraan.
dilakukan dengan menghitung ganti rugi dengan membayangkan
seolah-olah kontrak jadi dilaksanakan. “Kemungkinan” kehilangan
keuntungan yang diharapjan yaitu inti dari model ganti rugi
bentuk ekspektasi.
3. Penggantian Biaya:
Ganti rugi bentuk ini yaitu penggantian biaya atau yang dikenal
dengan istilah out of pocket; Reliance Damages.
Ganti rugi ini yaitu bentuk ganti rugi dengan memperhitungkan
beberapa biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugkan
dalam hubungan kontrak ini . Pada model ini, para pihak
ditempatkan dalam posisi “status quo ante” yaitu seolah-olah kontrak
belum terjadi. Biaya-biaya yang diperhitungkan biasanya yaitu
ditunjukkan dengan kuitansi-kuitansi, oleh sebab nya juga dikenal
dengan Ganti Rugi Kuitansi.
4. Restitusi:
Restitusi yaitusuatu nilai tambah/manfaat yang telah diterima oleh
pihak yang melakukan wanprestasi, dimana nilai tambah ini
terjadi akibat pelaksanaan prestasi dari pihak lainnya. Nilai tambah
ini harus dikembalikan kepada pihak yang dirugikan sebab nya.
Jika tidak dikembalikan maka pihak ini dianggap “memperkaya diri
tanpa hak (unjust enrichment)” – dan terhadap hal ini tidak dapat
dibenarkan.
5. Quantum Meruit:
Bentuk ganti rugi ini mirip dengan ganti rugi restitusi. Bedanya, manfaat
barang ini sudah tidak dapat dikembalikan lagi. Misalnya
disebab kan barang telah habis pakai, barang musnah, berubah wujud
dan atau sudah dialihkan, sehingga ganti rugi yang diberikan untuk
pengembaliannya yaitunilai wajar (reasonable value) dari hasil
pelaksanaan kontrak ini .
Contoh, dalam Kontrak Kerja: jika pekerja sudah melaksanakan
pekerjaannya sebanyak 2/3 dari seharusnya dan kontrak diputus oleh
pemberi kerja, maka pihak pekerja berhak untuk dinilai secara wajar
dan dibayarkan hasil kerja nya yang telah dilaksanakan ini .
6. Ganti Rugi dengan Pelaksanaan Kontrak:
Ganti rugi ini disebut juga dengan specific performance/equitable
performance/equitable relieve.
Jika terjadi wanprestasi dalam kontrak, maka pihak yang dirugikan
dapat menuntut pemenuhan nya dengan melaksanakan kontrak secara
utuh tanpa bentuk ganti rugi lainnya.
Dalam hal ini, pihak yang wanprestasi dipaksanakan oleh hukum untuk
memenuhikontrak ini . Kontraknya biasanya “khas”. Misal dalam
perjanjian pembuatan lukisan oleh seorang pelukis tertentu/ternama.
dalam hal si pelukis wanprestasi maka pihak pembeli,
“kemungkinannya” tidak mendapatkan hasil lukisan yang serupa dengan
hasil lukisan dari si pelukis ini jika dialihkan kontraknya kepada
pihak lain. Oleh sebab nya, dipandang adil jika si pelukis ini
dimintakan untuk tetap melaksanakan kontrak dengan menyelesaikan
lukisan danmenyerahkannya kepada si pemesan.
PERJANJIAN SEBAGAI SUMBER
HUKUM PERIKATAN
A. Istilah dan Defenisi Perjanjian;
Perjanjian lazim dikenal ataupun disebut sebagai kontrak, yang yaitu
adopsi dari istilah Inggris “contract”, serta juga dikenal sebagai “agreement”
atau “overeenkomst” dalam bahasa Belanda. Selain itu, dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian juga dikenal dengan istilah
“persetujuan”.
Defenisi dari perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi
“Suatu persetujuan yaitusuatu perbuatan yang terjadi antara satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih”.
Defenisi di atas menurut Mariam Darus Badrulzaman (1994:18) dianggap
terlalu luas dan tidak lengkap. Terlalu luas sebab didalamnya juga dianggap
dapat mencakup hal-hal mengenai janji kawin, yang yaitu perbuatan
di dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, namun
istimewa sifatnya sebab mendapatkan pengaturan hukum tersendiri.
Dianggap tidak lengkap, sebab didalamnya hanya merumuskan perjanjian
secara sepihak saja.
Black’s Law Dictionary memberikan pengertian perjanjian sebagai “an
agreement between two or more persons which creates an obligations to do
or not to do a peculiar things”.
“.. yaitusuatu
perjanjian atau serangkaian perjanjian dimana hukum Memberikan ganti
rugi terhadap wanprestasi dari kontrak ini , dan oleh hukum,
pelaksanaan dan kontrak ini dianggap yaitu suatu tugas yang
harus dilaksanakan”.
B. Teori-teori Yuridis dan Konseptual tentang Perjanjian;
Ilmu hukum mengenal beberapa teori tentang perjanjian, yaitu : 1) Teori
berdasar prestasi kedua belah pihak, 2) Teori berdasar Formasi
Kontrak, 3) Teori Dasar Klasik, 4) Teori Holmes tentang Tanggung Jawab yang
berkenaan dengan kontrak, serta 5) Teori Liberal tentang kontrak
1. Teori berdasar prestasi kedua belah pihak yaitudengan melihat
prestasi dari para pihak yang terlibat dalam kontrak.
a. Will Theory.
Disebut juga dengan teori hasrat yang menekankan kepada
pentingnya hasrat atau “will” atau “intend” dari pihak yang
memberikan janji.
Teori ini kurang mendapat tempat, disebab kan bersifat (sangat)
subjektif , dalam hal mana menurut teori ini yang terpenting dari
suatu kontrak bukanlah apa yang dilakukan oleh para pihaknya,
namun apa yang mereka inginkan belaka. Aspek pemenuhan dari
kontraknya sendiri dianggap sebagai urusan belakangan, sebab
yang didahulukan yaitukehendaknya.
b. Equivalent Theori.
Teori ini mengajarkan bahwa suatu kontrak baru mengikat jika para
pihaknya telah memberikan prestasi yang seimbang atau sama nilai
(equivalent). Dalam prakteknya sekarang, teori ini mulai
ditinggalkan disebab kan banyak kontrak dalam perkembangannya
dan disebab kan alasan apapun dilakukan dengan prestasi yang
tidak seimbang antara para pihak.
c. Bargaining Theory.
Teori ini yaitu perkembangan dari teori sama nilai. Teori ini
mengajarkan bahwa suatu kontrak hanya mengikat sejauh apa yang
telah dinegoisiasikan dan kemudian disetujui oleh para pihak.
d. Injurious Reliance Theory.
Disebut dengan teori kepercayaan merugi, bahwa kontrak sudah
dianggap ada jika dengan kontrak yang bersangkutan sudah
menimbulkan kepercayaan bagi pihak terhadap siapa janji itu
diberikan sehingga pihak yang menerima janji ini sebab
kepercaaannya itu akan menimbulkan kerugian jika janji itu tidak
terlaksana
2. Teori berdasar Formasi Kontrak:
a. Teori Kontrak Defacto (implied in-fact).
yaitu formasi kontrak yang tidak pernah disebutkan dengan
tegas namun ada dalam kenyataan serta secara prinsip diterima
sebagai suatu kontrak.
b. Teori Kontrak Ekspresif.
yaitu suatu teori yang sangat kuat berlakunya, bahwa setiap
kontrak yang dinyatakan dengan tegas (ekspresif) oleh para pihak,
baik secara lisan maupun tertulis, sejauhmemenuhi ketentuan dan
syarat-syarat sahnya kontrak.
c. Teori Promissory Estoffel.
Disebut juga dengan “Detrimental Reliance” yang mengajarkan
bahwa dianggap ada kesesuaian kehendak di antara para pihak jika
pihak lawan telah melakukan sesuatu sebagai akibat dari tindakan-
tindakan pihak lainnya yang dianggap yaitu tawaran untuk
suatu ikatan kontrak.
d. Teori Kontrak Quasi (implied in law).
Teori ini mengajarkan bahwa dalam hal-hal tertentu, dan jika
dipenuhi syarat-syarat tertentu, maka hukum dapat menganggap
adanya kontrak di antara para pihak dengan berbagai
konsekwensinya. Sungguhpun dalam kenyataannya kontrak
ini tidak pernah ada.
3. Teori Dasar Klasik. Teori – teori berikut yaitu teori dasar yang
dijadikan landasan awal berpijaknya suatu kontrak:
a. Teori Hasrat;
Teori ini disebut juga sebagai will theory, yang mendasarkan kepada
hasrat dari para pihak dalam kontrak ini , ketimbang apa yang
secara nyata dilakukan.
b. Teori Benda;
Teori ini menyatakan bahwa suatu kontrak, secara objektif
keberadaannya yaitudianggap sebagai suatu “benda”, sebelum
dilaksanakannya pelaksanaan (performance) dari kontrak ini .
Dengan demikian, kontrak yaitu benda yang dibuat,
disimpangi atau bahkan dibatalkan oleh para pihak. Teori ini
perwujudannya yaitudalam bentuk tertulis, sehingga, seolah-olah
yang menjadi benda yang dinamakan kontrak ini yaitu
kertas-kertas yang bertuliskan kontrak dan ditandatangani oleh
masing-masing pihak.
c. Teori Pelaksanaan;
Teori ini mengajarkan bahwa yang terpenting dari suatu kontrak
yaitupelaksanaan (enforcement; performance) dari kontrak yang
bersangkutan.
d. Teori Prinsip Umum;
Menurut teori ini, suatu kontrak tetap mengacu pada efek general
(umum) dari suatu konsep kontrak itu sendiri. Maknanya adalah,
bahwa walaupun ada pengaturan khusus terhadap kontra baik itu
yang lahir dari suatu undang-undang ataupun kesepakatan para
pihak sendiri, namun secara umum prinsip-prinsip yang ada tetap
dipakai.
4. Teori Holmes tentang Tanggung Jawab (Legal Liability) yang berkenaan
dengan kontrak;
Teori ini dihasilkan oleh sarjana hukum terkemuka dari Amerika yang
bernama Holmes. Secara prinsipil, teori ini mengajarkan bahwa:
a. Tujuan utama dari teori hukum yaituuntuk menyesuaikan hal-hal
eksternal ke dalam aturan hukum, dan;
b. Kesalahan-kesalahan moral bukan unsur dari suatu kewajiban.
Teori Holmes tentang kontrak memiliki intisari bahwa:
a. Peranan moral tidak berlaku untuk kontrak;
b. Kontrak yaitu suatu cara mengalokasi resiko, yaitu resiko
wanrestasi;
c. Yang terpenting bagi suatu kontrak yaitustandar tanggung jawab
yang eksternal sedang maksud aktual yang internal yaitutidak
penting.
5. Teori Liberal tentang kontrak;
Teori ini mengajarkan bahwa secara prinsipil setiap orang menginginkan
keamanan. Sehingga, setiap orang harus menghormati oranglain, begitu
juga menghormati hartanya. Namun demikian, untuk melaksanakan ini
perlu adanya komitmen diantara para pihak sehingga secara moral,
komitmen ini harus dilaksanakan.
C. Asas-asas dalam Perjanjian;
Sebagaimana halnya dengan teori-teori dasar dalam aspek hukum
perjanjian, dalam ilmu hukum juga mengenal beberapa asas hukum terhadap
suatu kontrak yaitu:
1. Asas Hukum Perjanjian bersifat mengatur;
Hukum bersifat mengatur (aanvullen recht; optional law) berlaku sebagai
asas dalam perjanjian. Maknanya yaituperaturan-peraturan hukum yang
berlaku bagi subjek hukum, seperti pengaturan tentang para pihak dalam
perjanjian. Akan namun ketentuan ini tidaklah berlaku secara mutlak,
disebab kan para pihak dapat memberikan pengaturan tersendiri
terhadapnya. Peraturan yang bersifat mengatur ini dapat disimpangi oleh
para pihak dengan memberikan pengaturan sendiri terhadapnya.
2. Asas Freedom of Contract;
Asas ini diartikan sebagai asas kebebasan berkontrak yaitu
konsekwensi dari berlakunya asas kontrak yang bersifat mengatur. Asas ini
maksudnya yaitumemberikan kebebasan bagi para pihak untuk membuat
atau untuk tidak membuat perjanjian, serta bebas untuk menentukan isi dari
perjanjiannya sendiri. Namun demikian asas ini dibatasi dengan adanya
rambu-rambu sebagai berikut:
a. harus dipenuhinya persyaratan-persayaratan sebagai suatu kontrak;
b. tidak dilarang oleh undang-undang;
c. tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku;
d. harus dilaksanakan dengan itikad baik.
3. Asas Konsensual;
Asas ini bermakna bahwa dengan telah dibuatnya perjanjian atau dengan
kata lain dengan telah bersepakatnya para pihak maka, perjanjan ini
telah sah dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 (1)
KUH Perdata).
4. Asas Pacta Sunt Servanda
Pacta sunt servanda diartikan “janji itu mengikat” (Munir Fuady, 1999: 30).
Asas ini mengajarkan bahwa suatu kontrak yang telah dibuat secara sah
memiliki kekuatan hukum yang penuh dan berlaku sebagai Undang-
Undang bagi para pihak (Pasal 1338 (2) KUH Perdata).
5. Asas Obligatoir
Asas ini memberikan pengaturan bahwa jika kontrak telah dibuat maka para
pihak yaituterikat, namun keterikatannya ini hanyalah sebatas
timbulnya hak dan kewajiban bagi masing-masing, sedang pemenuhan
prestasinya belum dapat dilakukan atau dipaksakan
disebab kan konrak kebendaannya belum terjadi, dan untuk hal ini disebut
sebagai perjanjian kebendaan atau yang dikenal dengan istilah penyerahan
(levering).
(Catatan: kontrak dalam hukum adat tidak mengenal levering disebab kan
sifatnya yang riil dan tunai. Maknanya dalam perjanjian dengan berdasar
hukum adat harus disertai penyerahannya secara langsung oleh para pihak
dihadapan para tetua adat ataupun pejabat berwenang).
D. Bagian-bagian dari Perjanjian;
Secara prinsip, para pihak bebas untuk menentukan dan mengatur sendiri isi
kontraknya sesuai dengan asas kebebasan berkontrak. Bagian-bagian yang ada
dalam suatu kontrak sendiri dapat diklasifikasikan sebagai berikut
1. Bagian dari Perjanjian yang Essensialia;
yaitu bagian utama dari suatu kontrak. Bagian ini harus ada, misalnya
bagian tentang “harga” pada suatu kontrak Jual Beli; bagian tentang “jenis
pekerjaan” pada Perjanjian Kerja.
2. Bagian dari Perjanjian yang Naturalia;
Bagian ini yaitu bagian dari kontrak yang telah diatur oleh aturan
hukum, namun fungsinya hanya bersifat mengatur saja.
3. Bagian dari Perjanjian yang Accidentalia;
Bagian ini yaitu bagian dari kntrak yang tidak mendapatkan
pengaturannya dalam hukum namun diserahkan kepada para pihak untuk
mengaturnya sesuai dengan asas kebebasan berkontrak (freedom of
contract).
E. Syarat Sah Perjanjian;
Suatu kontrak dianggap sah dan dapat mengikat para pihak, jika
memenui syarat-syarat sah yang telah ditentukan. Syarat-syarat ini
dibedakan sebagai berikut:
1. Syarat Sah Umum:
a. berdasar Pasal 1320 KUH Perdata.
1) Konsensus disebut juga kesepakatan kehendak;
2) Cakap atau wenang berbuat;
3) Perihal Tertentu;
4) Causa Halal.
KUH Perdata juga memberikan pengaturan umum atas syarat sah
perjanjian selain yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :
b. berdasar Pasal 1338-1339 KUH Perdata.
1) Syarat Itikad Baik;
2) Syarat sesuai dengan kebiasaan;
3) Syarat sesuai dengan kepatutan;
4) Syarat sesuai dengan kepentingan umum.
Syarat sah umum berdasar Pasal 1320 KUH Perdata ini dibagi atas syarat
sah subjektif dan syarat sah objektif.
Syarat sah subjektif yaitumemenuhi unsur adanya konsensus atau
kesepakatan para pihak. Maknanya, saat kesepakatan telah dicapai oleh
para pihak maka di antara para pihak telah tercapai kesesuaian pendapat
tentang hal-hal yangmenjadi pokok perjanjiannya. Kesepakatan yang telah
tercapai ini juga tidak boleh diakibatkan oleh adanya paksaan, penipuan
maupu kesilapan dari para pihak.
Selain itu, unsur yang harus dipenuhi dalam syarat sah subjektif yaitu
adanya kecakapan atau wenang berbuat oleh para pihak. Kewenangan
berbuat ini oleh hukum dianggap sah jika perjanjian yang dilakukan oleh
orang-orang ataupun subjek yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
(a) Orang yang sudah dewasa.
(b) Orang yang tidak ditempatkan di bawah pengampuan.
(c) Orang yang tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan
perbuatan tertentu. Seperti, kontrak jual beli yang dilakukan oleh suami
istri.
Tidak dipenuhinya salah satu dari syarat subjektif dalam perjanjian akan
mengakibatkan timbulnya konsekwensi yuridis bahwa perjanjian ini
23
“dapat dibatalkan” atau dalam bahasa lain voidable, vernietigebaar.
Pembatalan ini dapat dilakukan oleh pihak yang berkepentingan. Seandainya
tidak dibatalkan maka, kontrak ini dapat dilaksanakan seperti suatu
kontrak yang sah.
Syarat sah objektif berdasar Pasal 1320 KUH Perdata terdiri dari perihal
tertentu dan kausa halal atau kausa yang diperbolehkan. Perihal tertentu
maksudnya yaitubahwa yang menjadi objek dalam suatu perjanjian
haruslah berkaitan dengan hal tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum.
Syarat kausa yang halal atau yang diperbolehkan maksudnya yaitubahwa
kontrak ini tidak boleh dibuat untuk melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan hukum.
Konsekwensi yuridis yang timbul dari tidak dipenuhinya salah satu syarat
objektif ini akan mengakibatkan kontrak ini “tidak sah” atau “batal
demi hukum” (null and void).
2. Syarat Sah Khusus
a. syarat tertulis untuk kontrak tertentu;
b. syarat akta notaris untuk kontrak tertentu;
c. syarat akta pejabat untuk kontrak tertentu;
d. syarat izin dari yang berwenang.
F. Konsekuensi Yuridis Perjanjian;
Konsekwensi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih dari
syarat-syarat sahnya kntrak yaitubermacam-macam tergantung pada
syarat mana yang tidak dipenuhi. Konsekwensi yuridis perjanjian sendiri
berbentuk :
1. Batal Demi Hukum (dikenal dengan istilah nietig, null dan void);
Kondisi ini terjadi jika dilanggarnya syarat objektif dalam Pasal
1320 KUH Perdata yaitu perihal tertentu dan kausa yang halal.
2. Dapat Dibatalkan (vernetigbaar, voidable);
Terjadi jika syarat subjektif yang diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata tentang kesepakatan kehendak dan kecakapan berbuat tidak
dipenuhi.
3. Perjanjian Tidak Dapat Dilaksanakan (Unenfoeceable);
Perjanjian ini tidak otomatis batal sebagaimana halnya dengan nietig,
sebab pada dasarnya kontrak ini masih dapat dilanjutkan, sepanjang
dipenuhinya syarat tertentu. sesudah dipenuhi syarat ini, maka kontrak
dapat dilaksanakan. Misalnya, dalam kontrak yang mensyaratkan
dibuat secara tertulis, namun para pihak hanya mengikatnya secara
lisan. sesudah dibuatnya secara tertulis maka kontrak ini dapat
dilaksanakan.
4. Sanksi Administratif.
Konsekwensi sanksi administratif ini timbul jika tidak dipenuhinya
syarat-syarat seperti perijinan atau pelaporan kepada instansi terkait.
UNDANG – UNDANG
SEBAGAI SUMBER PERIKATAN
A. Pendahuluan : Perikatan yang Lahir sebab Undang-undang.
Ketentuan tentang perikatan yang dilahirkan dari undang-undang diatur
dalam Buku Ketiga Bab III KUH Perdata, dalam Pasal 1352 sampai dengan
Pasal 1380.selain juga mendasarkan pada ketentuan Pasal 1233 KUH
Perdata yang menyatakan, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik sebab
persetujuan, baik sebab undang-undang”.
Hal ini bermakna bahwa hubungan hukum yang terjadi dalam lapangan
harta kekayaan dapat terjadi setiap saat, baik itu disebab kan kehendak dari
para pihak, maupun tanpa dikehendaki oleh para pihak disebab kan, suatu
peristiwa, hubungan antara para pihak maupun suatu keadaan dapat
berubah menjadi hubungan hukum, baik dikehendaki ataupun tidak
dikehendaki oleh para pihak, dan oleh undang-undang hubungan/keadaan
ataupun peristiwa ini diberikan kewajiban atau prestasi untuk
dipenuhi.
Perikatan yang lahir dari undang-undang secara prinsipil berbeda dengan
perikatan yang lahir sebab perjanjian. Ketentuan tentangnya diatur dalam
Bab III Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan-
perikatan yang dilahirkan demi Undang-undang.
Ketentuan awal tentang perikatan yang lahir dari undang-undang dimulai
pada Pasal 1352 yang menyatakan, ”Perikatan-perikatan yang dilahirkan
demi undang-undang timbul dari undang-undang saja atau dari undang-
undang sebagai akibat perbuatan orang”.
Selanjutnya, dalam Pasal 1353 dinyatakan bahwa ”Perikatan-perikatan yang
dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari
perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum”.
Untuk memahami keberadaan hukum perikatan khususnya yang lahir sebab
undang-undang beserta penjabarannya dapat dimulai dengan memahami
skematika berikut:
Perikatan yang lahir dari (semata-mata) undang-undang, termasuk di
dalamnya peristiwa hukum seperti kematian seseorang yang melahirkan
kewajiban bagi ahli warisnya untuk memenuhi kewajiban pihak yang
meninggal (pewaris) kepada para kreditornya, atau contoh lain dapat
disampaikan, yaituadanya keadaan hukum seperti Putusan atas Kepailitan.
Pernyataan pailit akan melahirkan keadaan dimana pihak yang dinyatakan
Perikatan
Lahir sebab Undang-Undang
Semata-mata (sebab ) Undang-
Undang
sebab Perbuatan
Manusia
Lahir sebab Perjanjian
Pengurusan Kepentingan
Orang lain
(Zaakwaarneming)
Pembayaran
Tak Terutang
Perikatan Wajar
(Natuurlijke
Verbintennissen)
Perbuatan (yang) halal/
Tidak Melanggar Hukum Perbuatan Melawan
Hukum
pailit kehilangan hak untuk mengurus harta kekayaannya yang termasuk
harta pailit, dan harta ini akan disita untuk kepentingan umum dan
akan dipergunakan untuk melunasi seluruh kewajibannya kepada para
kreditor sesuai dengan ketentuan.
Selain contoh sebagaimana ini di atas, suatu perikatan yang lahir
semata-mata sebab undang-undang juga mengatur tentang kewajiban
orang tua untuk memberikan perlindungan bagi anak sejak dilahirkannya,
termasuk merawat, mendidik dan memberikan penghidupan yang layak,
sebagaimana diatur dalam Pasal 104 KUH Perdata yang berbunyi : ”suami
dan istri dengan mengikatkan diri dalam suatu perkawinan, dan hanya
sebab itupun, terikatlah mereka dalam suatu perjanjian bertimbal balik,
akan memelihara dan mendidik sekalian anak mereka”.
Pasal 625 KUH Perdata juga memberikan pengaturan tentang Perikatan yang
lahir (semata-mata) sebab undang-undang. Pasal 625 berbunyi : ”antara
pemilik-pemilik pekarangan yang satu sama lain bertetanggaan, yaitu
berlaku beberapa hak dan kewajiban, baik yang berpangkal pada letak
pekarangan mereka sebab alam, maupun yang berdasar sebab Undang-
undang”.
B. Perikatan yang Lahir sebab Undang-undang Sebagai Akibat Perbuatan
Manusia yang Halal (Tidak Melanggar Hukum)
1. Pengurusan Kepentingan Orang Lain tanpa Perintah
(Zaakwarneming)
Ketentuan selanjutnya yang memberikan pengaturan tentang
Perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang yaitutentang
Pengurusan Kepentingan Orang Lain tanpa Perintah atau yang dikenal
dengan istilah Zaakwarneming.
Zaakwarneeming diatur dalam Pasal 1354 sampai dengan 1358 KUH
Perdata.
Pasal 1354 KUH Perdata menyatakan:
“Jika seorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah
untuk itu, mewakili urusan orang lain, dengan atau tanpa
pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikat dirinya
untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan ini , hingga
orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri
urusan itu,
Ia harus memikul segala kewajiban yang harus dipikulnya,
seandainya ia dikuasakan dengan suatu pemberian kuasa yang
dinyatakan dengan tegas”.
berdasar rumusan pasal di atas maka pemahaman terhadap
zaakwaarneeming dapat ditelaah dengan melihat unsur-unsurnya
yaitu:
a. bahwa zaakwaarneming yaitusuatu perbuatan hukum berupa
pengurusan kepentingan pihak atau orang lain;
Pada unsur pertama ini perlu diperhatikan bahwa zaakwaarneming
yaitu suatu perbuatan hukum, yaitu sesuatu yang dilakukan
dengan memberikan atau membawa akibat dalam lapangan hukum
harta kekayaan.
Selain itu, yang perlu juga diperhatikan yaitubahwa
zaakwaarneming berhubungan dengan kepentingan pihak atau
orang lain, sehingga pelaksanaan dari pengurusan tersebt haruslah
sejalan dan sesuai dengan “hasil akhir” dari pengurusan yang
dikehendaki atau memang diharapkan oleh dominus atau orang yang
diurus kepentingannya ini .
Pasal 1357 KUH Perdata menyatakan bahwa “Pihak-pihak yang
kepentingan-kepentingannya diwakili oleh seorang lain dengan
baik,diwajibkan memenuhi perikatan-perikatan, yang diperbuat
oleh wakil itu atas namanya, memberikan ganti rugi kepada wakil
itu tentang segala perikatan yang secara perseorangan dibuatnya,
dan mengganti segala pengeluaran yang berfaedah atau perlu”.
Maknanya, pasal ini telah dengan tegas menyatakan jika
kepentingan ini telah dilaksanakan dengan baik, maka dominus
berkewajiban untuk mengganti segala pengeluaran yang dikeluarkan
oleh gestor.
Di samping itu, ketentuan Pasal 1356 ayat (1) menyatakan bahwa:
“Ia diwajibkan dalam hal melakukan pengurusan ini ,
memenuhi kewajiban-kewajiban seorang bapak rumah yang baik”.
Maknanya yaituseorang gestor ini harus memelihara,
merawat, mempergunakan serta memperlakukan suatu kebendaan
yang bukan miliknya seolah-olah kebendaan ini yaitu
miliknya.
b. bahwa zaakwaarneming dilakukan dengan sukarela oleh gestor;
Pernyataan sukarela di sini dimaksudkan bahwa pekerjaan
pengurusan ”kepentingan” dominus oleh gestor dilakukan tanpa
maksud atau tujuan tertentu dalam lapangan harta kekayaan.
Dasar hukumnya dari ketentuan ini dapat dilihat pada Pasal 1358
yang menyatakan:”Pihak yang telah mewakili urusan orang lain
dengan tiada mendapat perintah, tidak berhak atas sesuatu upah”.
Maknanya, ketentuan pasal ini menegaskan bahwa gestor tidak
diberikan hak untuk menuntut adanya suatu pembayaran atas
pengurusan kepentingan dominus yang telah dilakukannya.
c. bahwa zaakwaarneming dilakukan tanpa adanya perintah (kuasa
atau kewenangan) yang diberikan oleh pihak yang kepentingannya
diurus;
unsur ketiga dari zaakwarneming ini, yaitu zaakwaarneming
dilakukan tanpa adanya perintah (kuasa atau kewenangan) yang
diberikan oleh pihak yang kepentingannya diurus untuk
membedakan dengan dengan perbuatan hukum ”Pemberian Kuasa”
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1792 KUH Perdata.
Dalam pemberian kuasa, si penerima kuasa harus memikul segala
kewajiban yang harus dipikulnya dengan adanya suatu pemberian
kuasa dan dinyatakan dengan tegas. (Lihat lebih lanjut ketentuan
Pasal 1354 ayat (2) KUH Perdata).
d. bahwa zaakwaarneming dilakukan dengan atau tanpa
sepengetahuan dari orang yang kepentingannya diurus;
masih sejalan dengan pengertian dari unsur ketiga, bahwa
zaakwaarneming berbeda dengan Pemberian Kuasa (Lastgeving)
disebab dalam pemberian kuasa harus dinyatakan dengan tegas,
sedang zaakwaarneming dilakukan oleh gestor tanpa perintah
dari dominus serta zaakwaarneming dilakukan dengan atau tanpa
sepengetahuan dari dominus.
Walaupun demikian, tidaklah berarti pada saat gestor melaksanakan
kepentingan dominus, dominus mutlak tidak mengetahuinya. Dapat
saja terjadi, bahwa seorang dominus pada saat gestor hendak
melakukan kepentingan dominus, telah diketahui oleh gestor dan
gestor telah mendapat persetujuannya.
Walaupun demikian, penawaran untuk melakukan pengurusan
kepentingan tidak pernah lahir dari dominus.
e. bahwa pihak yang melakukan pengurusan (gestor) dengan
dilakukannya pengurusan berkewajiban untuk menyelesaikan
pengurusan ini hingga selesai atau pihak yang diurus
kepentingannya ini (dominus) dapat mengerjakan sendiri
kepentingannya ini .
Hal ini yaitu unsur terakhir dari zaakwaarneming yang
menunjukkan tentang pertanggung jawaban perdata dari suatu
bentuk pengurusan yang telah dimulai oleh gestor.
Seorang yang telah mengikatkan dirinya untuk mengurus
kepentingan orang lain (dominus) diwajibkan untuk menyelesaikan
pengurusan ini , kecuali dalam hal dominus telah dapat
mengerjakan sendiri pengurusan ini dan telah mengambil oper
pengurusan yang telah dikerjakan oleh gestor ini .
Sebagai suatu perikatan, zaakwaarneming berakhir dalam hal:
a) Diselesaikannya pengurusan kepentingan dominus yang telah
dilaksanakan oleh gestor;
b) Diserahkannya pekerjaan pengurusan kepentingan dominus yang telah
dilaksanakan namun belum selesai kepada dominus (atau ahli warisnya
dalam hal dominus telah meninggal), yang disertai dengan laporan dan
perhitungan mengenai perikatan yang telah dibuat atau dilaksanakan
serta biaya-biaya yang telah dikeluarkan yang perlu dan berfaedah bagi
pengurusan kepentingan dominus yang baik.
2. Pembayaran Tak Terutang.
Pembayaran tak terutang yaitu salah satu perikatan yang lahir akibat
perbuatan manusia yang halal atau tidak bertentangan dengan hukum,
kesusilaan dan ketertiban umum.
Dasar hukum pengaturannya dapat kita lihat pada ketentuan Pasal 1359
KUH Perdata sampai Pasal 1365 KUH Perdata.
Pasal 1359 KUH Perdata menyatakan bahwa: ”Tiap-tiap pembayaran
memperkirakan adanya suatu utang; apa yang telah dibayarkan dengan
tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali. Terhadap perikatan-perikatan
bebas, yang secara sukarela telah dipenuhi, tak dapat dilakukan
penuntutan kembali”.
berdasar rumusan Pasal 1359 ini dapat diketahui bahwa yang dimaksud
dengan pembayaran yang tidak terutang yaitusuatu pembayaran yang
dilakukan oleh seseorang atau pihak tertentu kepada seseorang lain atau
pihak tertentu lainnya, yang didasarkan pada suatu asumsi atau anggapan
bahwa orang atau pihak yang disebut pertama sekali ini (yang
membayar), memiliki utang atau kewajiban atau prestasi atau perikatan
yang harus dipenuhi olehnya kepada orang lain atau pihak yang disebutkan
belakangan ini, meskipun sesungguhnya utang atau kewajiban atau prestasi
atau perikatan mana pada dasarnya tidak pernah ada sejak awal, ataupun
sebab suatu sebab tertentu telah hapus, sehingga sesungguhnya utang atau
kewajiban atau prestasi atau perikatan ini sudah tidak ada lagi.
Penjabaran lebih lanjut tentang Ketentuan Pasal 1359 dapat dilihat pada
Pasal 1360 dan 1361 KUH Perdata.
Pasal 1360 KUH Perdata menyatakan, ”Barang siapa secara khilaf atau
dengan mengetahuinya, telah menerima sesuatu yang tak harus
dibayarkan padanya, diwajibkan mengembalikan barang yang tak harus
dibayarkan itu kepada orang dari siapa ia telah menerimanya”.
sedang ketentuan Pasal 1361 KUH Perdata menyatakan bahwa ”Jika
seorang yang secara khilaf mengira bahwa ia berutang membayar suatu
utang, maka ia yaituberhak menuntut kembali dari kreditor apa yang
telah dibayarkannya”.
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa pembayaran tak terutang dapat
berbentuk:
a) sebab kesalahan pihak pembayar;
b) sebab kesalahan pihak yang dibayar;
c) sebab kesalahan objek pembayaran.
3. Perikatan Wajar/alamiah (Natuurlijke Verbintennis)
Suatu perikatan baik yang dibuat sebab adanya kesepakatan kehendak dari
para pihak maupun semata-mata disebab kan adanya pengaturan dalam
perundang-undangan, akan membawa kewajiban pemenuhan serta
tanggung jawab atas prestasi. Hal mana pemenuhan prestasi ini dikenal
dengan istilah schuld, yang disandingkan dengan haftung, yaitu kewajiban
debitur untuk menyerahkan segala kebendaannya (bergerak maupun tidak
bergerak) untuk dijadikan tanggungan atas pelunasan utangnya (lihat lebih
lanjut ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata).
Berkaitan dengan perikatan wajar sendiri oleh Gunawan Widjaya dan
Kartini Muljadi dalam bukunya Perikatan yang Lahir dari Undang-undang
(2003: 51-52), disebut sebagai suatu perikatan yang prestasinya ada pada
pihak debitor namun tidak dapat dituntut pelaksanaannya oleh kreditor,
yang jika kita kaitkan atau hubungkan dengan penjelasan di atas terhadap
kedua unsur perikatan yaitu schuld dan haftung, maka dapat dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan perikatan wajar alamiah yaituperikatan
yang memiliki unsur schuld pada sisi debitur namun tidak memiliki unsur
haftung pada sisi kreditur
Ketentuan Pasal 1359 ayat (2) KUH Perdata memberikan pengaturan atas
Perikatan Wajar/alamiah yang berbunyi:
”Terhadap perikatan-perikatan bebas (natuurlijke verbintennis), yang
secara sukarela telah dipenuhi, tidak dapat dilakukan penuntutan
kembali”.
Dapat dikatakan juga bahwa pemenuhan terhadap suatu perikatan oleh
seorang debitor dalam suatu perjanjian yang tidak memiliki causa yang
halal yaitupemenuhan terhadap suatu perikatan wajar/alamiah, dan
terhadap pemenuhan ini debitur tidak dapat menuntut kembali. Hal
ini berarti, dalam suatu perikatan wajar, syarat sah objektif nya yang
berupa adanya suatu causa yang halal dalam suatu perjanjian telah tidak
dipenuhi, dan saat pihak debitur memenuhi perikatan ini maka
perikatan tadi disebut perikatan wajar/alamiah dan si debitur tidak
diperkenankan untuk menuntut kembali atas pemenuhan perikatan
ini .
C. Perbuatan Melawan Hukum.
Memperhatikan skematika yang telah disajikan pada halaman sebelumnya,
maka dapat kita ketahui bahwa suatu Perbuatan Melawan Hukum yang
diistilahkan sebagai Onrechtmatigee Daad yaituyaitu suatu bentuk
perikatan yang lahir dari Undang-undang disebabkan oleh perbuatan
manusia yang melanggar hukum.
Pengaturan tentang Perbuatan Melawan Hukum ada dalam Pasal 1365
dan 1366 KUH Perdata yang selengkapnya berbunyi:
Pasal 1365 : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang sebab salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian ini ”.
Selanjutnya, Pasal 1366 menyatakan: “Setiap orang bertanggung-jawab
tidak saja untuk kerugian yang disebabkan sebab perbuatannya sendiri,
namun juga untuk kerugian yang disebabkan sebab kelalaian atau
kekurang hati-hatian”.
Gunawan Widjaya dan Kartini Muljadi (2003: 82) berusaha menarik unsur
dari suatu Perbuatan Melawan Hukum, sebagai berikut:
1. adanya suatu perbuatan melawan hukum;
2. yang mana perbuatan ini menyebabkan timbulnya kerugian bagi
orang lain;
3. adanya kesalahan maupun kelalaian dan kekurang hati-hatian dalam
perbuatan melawan hukum ini .
Ketentuan yang mengatur tentang Perbuatan Melawan Hukum sebagai
suatu perikatan ini dapat kita telaah dari pasal–pasal berikut yang satu
dengan lainnya memiliki korelasi yaitu, Pasal 1233, Pasal 1352, Pasal
1353 dan Pasal 1234 KUH Perdata. (Lihat dan pelajari lebih lanjut ketentuan-
ketentuan ini ).
Memperhatikan rumusan yang tercantum dalam Pasal 1365 KUH Perdata
ini maka dapat dijabarkan bahwa suatu perbuatan melawan hukum
yaitusuatu perikatan yang prestasinya berbentuk tidak berbuat sesuatu,
dan disebab kan dengan melakukan tindakan ini saja maka telah
dianggap salah di mata hukum. Lebih lanjut, jika perbuatan yang dilarang
ini telah dilakukan dan mengakibatkan timbulnya kerugian atas orang
lain, maka bagi yang melakukan diwajibkan untuk memberikan ganti rugi.
Selain juga bahwa suatu perbuatan melawan hukum dapat terjadi tidak
hanya dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang namun juga, jika
suatu perbuatan ini dilakukan dengan tidak hati-hati ataupun adanya
kelalaian.
Selain dua pasal ini di atas yaitu Pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata
yang memberikan pengaturan umum tentang Perbuatan Melawan Hukum,
ketentuan lebih lanjut sampai dengan Pasal 1380 memberikan penjabaran
tentang Perbuatan Melawan Hukum.
Perbuatan Melawan Hukum dalam arti luas sebagaimana juga yang
dijabarkan dalam Pasal 1236, 1239, 1240 dan 1242 KUH Perdata yaitu
meliputi segala bentuk wanprestasi terhadap setiap bentuk perikatan atau
kewajiban yang dibebankan dalam setiap ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
Penting juga untuk dicatat bahwa kata hukum dalam konteks Perbuatan
Melawan Hukum tidak haya menjabarkan suatu ketentuan perundang-
undangan yang tertulis namun juga pada suatu kepatutan dan kesusilaan.
Telah disampaikan sebelumnya bahwa suatu Perbuatan Melawan Hukum
yaituyaitu suatu perikatan yang lahir sebab undang-undang
sebagai akibat perbuatan manusia akan melahirkan kewajuban dalam
lapangan harta kekayaan. Kewajiban sebagaimana dimaksud di atas yaitu
dalam rangka pemenuhan atas kerugian yang timbul dan diderita oleh
orang/pihak yang terkena Perbuatan Melawan Hukum ini .
Berkaitan dengan kerugian ini, Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa
”Segala kebendaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang akan baru ada di kemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Maknanya,
bahwa suatu perbuatan melawan hukum pun akan melahirkan kewajiban
untuk memberikan penggantian, apakah dalam bentuk biaya, rugi maupun
bunga.
HAPUSNYA/ BERAKHIRNYA
PERIKATAN
Telah diketahui bahwa perikatan dapat bersumber dari undang-undang
maupun dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak berdasar asas
kebebasan berkontrak. Perikatan yang telah dibuat oleh para pihak yaitu
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka, maknanya keberadaan
perikatan ini yaitutelah melahirkan kewajiban bagi para pihak di
dalam lapangan harta kekayaan.
berdasar Pasal 1234 KUH Perdata, prestasi atau kewajiban para pihak
dapat berbentuk 1) untuk memberikan sesuatu, 2) untuk berbuat sesuatu
atau 3) untuk tidak berbuat sesuatu. Istilah prestasi ini juga kerap
disandingkan dengan istilah wanprestasi yang dimaknai sebagai tidak
dipenuhinya prestasi/kewajiban dari salah satu atau kedua belah pihak
yang akhirnya akan melahirkan konsekwensi yuridis untuk dapat
dituntutnya ganti rugi oleh pihak yang dirugikan.
Ketentuan Pasal 1236, 1239 serta 1240 dapat dijadikan landasan yang
memberikan pengaturan mengenai arti penting dari prestasi ataupun
pemenuhan dari suatu kewajiban. berdasar pasal-pasal ini ,
ketidakpemenuhan prestasi dapat terwujud dalam bentuk penggantian
biaya, kerugian serta bunga.
B. Hapusnya/Berakhirnya Perikatan
Rumusan Pasal 1381 KUH Perdata mengatur sepuluh (10) cara
hapusnya/berakhirnya perikatan, yaitu: 1) sebab pembayaran, 2) sebab
penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan,
3) sebab pembaharuan utang, 4) sebab perjumpaan utang atau
kompensasi, 5) sebab percampuran utang, 6) sebab pembebasan utang,
7) sebab musnahnya barang yang terutang, 8) sebab kebatalan atau
pembatalan, 9) sebab berlakunya suatu syarat batal dan 10) sebab lewat
waktu, sebagaimana yang diatur dalam buku keempat KUH Perdata.
Kesepuluh sebab hapusnya perikatan ini secara umum dapat
dikelompokkan kepada lima (5) hal. Berikut akan disampaikan pemaparan
masing-masing sebab hapusnya perikatan:
1. Pemenuhan Perikatan.
a. Pembayaran.
Pemenuhan perikatan dengan dilakukannya pembayaran diatur dalam
Pasal 1382 KUH Perdata. Yang dimaksudkan dengan pembayaran oleh
hukum perikatan yaitusetiap tindakan pemenuhan prestasi, walau
bagaimanapun bentuk dan sifat dari prestasi ini . Dengan
terjadinya pembayaran ini maka terlaksanalah perjanjian di antara
kedua belah pihak.
Ketentuan Pasal 1382 KUH Perdata menyatakan, ”Tiap perikatan
dapat dipenuhi oleh siapa saja yang berkepentingan, sepertinya
seorang yang turut berutang atau seorang penanggung utang. Suatu
perikatan bahkan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga,
yang tidak memiliki kepentingan, asal saja orang pihak ketiga itu
bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si berutang, atau
jika ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan
hak-hak si berpiutang”.
berdasar Pasal ini di atas, yang memiliki kewajiban untuk
melaksanakan pembayaran yaitudebitur, namun demikian selain
debitur ada juga pihak-pihak lain yang dapat melakukan pembayaran
yaitu :
1) Dia yaituseorang yang turut berutang;
Pemenuhan perikatan oleh seorang turut berutang menghapuskan
perikatan yang ada antara debitor dengan kreditor, dengan
pengertian bahwa dengan dipenuhinya kewajiban debitor oleh
seorang yang turut berutang, debitor dibebaskan dari
kewajibannya untuk melakukan kewajiban yang sama berdasar
pada perikatan yang sama.
Ketentuan ini yaitu penjabaran dari Pasal 1280 KUH Perdata
yang menyatakan ”Di pihak debitor terjadi suatu perikatan
tanggung menanggung, manakala mereka semua wajib
melaksanakan satu hal yang sama, sedemikian rupa sehinga salah
satu dapat dituntut untuk seluruhnya, dan pelunasan oleh salah
satu dapat membebaskan debitor lainnya terhadap kreditor”.
2) Seorang penanggung utang;
Ketentuan mengenai penanggungan utang dapat dilihat pada Pasal
1820 KUH Perdata yang menyatakan ”Penanggungan yaitusuatu
persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna
kepentingan pihak kreditor, mengikatkan diri untuk memenuhi
perikatannya debitor manakala orang ini sendiri tidak
memenuhinya”.
berdasar pasal ini di atas, maka dapat diketahui bahwa
suatu penanggungan utang yaitudiberikan secara sukarela atas
kehendak dari penanggung secara pribadi. Selain itu, pelunasan
utang debitor kepada kreditor oleh seorang penanggung utang ini
yaitudalam kondisi sesudah ternyata bahwa benda-benda debitor
yang menjadi jaminan pelunasan utangnya debitor (haftung) tidak
mencukupi untuk melunasi hutangnya kepada kreditor.
Ketentuan penting lainnya tentang penanggungan utang ini dapat
dilihat pada Pasal 1839 KUH Perdata, yang berbunyi: ”Penanggung
yang telah membayar, dapat menuntutnya kembali dari debitor
utama, baik penanggungan itu telah diadakan dengan maupun
tanpa pengetahuan debitor utama. Penuntutan kembali ini
dilakukan baik mengenai uangnya pokok maupun mengenai
bunga serta biaya-biaya. Mengenai biaya-biaya ini ,
penanggung hanya dapat menuntutnya kembali, sekedar ia telah
memberitahukan kepada debitor utama tentang tuntutan-
tuntutan yang ditujukan kepadanya, di dalam waktu yang patut.
Penanggung ada juga memiliki hak menuntut penggantian
biaya, rugi dan bunga, jika ada alasan untuk itu”.
Selanjutnya dalam Pasal 1840 KUH Perdata disebutkan bahwa
”Penanggung yang telah membayar menggantikan demi hukum
segala hak kreditor terhadap debitor”. Maknanya debitor yang
kewajibannya kepada kreditor telah dipenuhi oleh penanggung
tidak pernah lepas dari kewajibannya untuk memenuhi
kewajibannya semula.
Seorang penanggung yang telah membayarkan utangnya debitor
kepada kreditor, dapat menuntut kembali dari debitor ini ,
dengan tidak memperhatikan apakah penanggungan itu telah
diadakan dengan maupun tanpa sepengetahuan debitor ini .
Penuntutan ini dapat atas utang pokok yang telah dibayarkan
maupun atas bunga serta biaya-biaya yang telah dikeluarkan.
3) Seorang pihak ketiga yang tidak memiliki kepentingan, asal
saja orang pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk
kepentingan melunasi hutangnya debitur, atau pihak ketiga
ini bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak
menggantikan hak-hak kreditur.
Penggantian oleh seorang pihak ketiga ini diatur dalam Pasal 1400
KUH Perdata yang berbunyi:
”Subrogasi atau penggantian hak-hak kreditor kepada seorang
pihak ketiga yang membayar kepada kreditor, dapat terjadi baik
sebab persetujuan maupun demi undang-undang”.
berdasar rumusan ini dapat diketahui bahwa:
(a) Pelunasan utang debitor terhadap kreditor demi hukum
dapat dilakukan oleh pihak ketiga;
(b) Penggantian ini dapat terjadi, baik disebab undang-undang
maupun disebab kan adanya perjanjian yang dibuat oleh para
pihak.
Penggantian oleh pihak ketiga ini dapat terjadi disebab kan adanya
kepentingan dari pihak ketiga ini ataupun terjadi oleh
seorang pihak ketiga yang tidak memiliki kepentingan.
Pasal 1382 ayat (2) KUH Perdata memungkinkan hapusnya
perikatan disebab kan pembayaran yang dilakukan oleh pihak
ketiga yang tidak berkepentingan dengan syarat bahwa:
(a) pihak ketiga ini haruslah bertindak untuk dan atas nama
debitor dan untuk melunasi utang debitor; atau
(b) dalam hal pihak ketiga ini bertindak untuk dan atas
namanya sendiri, maka ia harus menegaskan bahwa
pembayaran atau pelunasan yang dilakukan oleh nya ini
tidak dengan tujuan untuk menggantikan hak-hak kreditor.
b. Penawaran Pembayaran Tunai yang Diikuti oleh Penyimpanan atau
Penitipan.
Alasan kedua yang menghapuskan perikatan yaitudilakukannya
pembayaran tunai dengan diikuti oleh penyimpanan atau penitipan.
Ketentuan terhadap nya dapat kita lihat pada Pasal 1404 sampai dengan
1412 KUH Perdata.
Sebagai catatan awal perlu disampaikan, bahwa dalam penawaran
pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan,
hanya berlaku untuk perikatan yang memiliki prestasi untuk
menyerahkan atau memberikan sesuatu yang berupa benda bergerak.
Ketentuan Pasal 1404 KUH Perdata menyatakan bahwa, ”Jika si
berpiutang menolak pembayaran, maka si berutang dapat melakukan
penawaran pembayaran tunai apa yang diutangnya, dan jika si
berpiutang menolaknya, menitipkan uang atau barangnya kepada
Pengadilan.
Penawaran yang demikian diikuti dengan penitipan, membebaskan
debitor dan berlaku baginya sebagai pembayaran asal penawaran itu
telah dilakukan menurut undang-undang sedang apa yang
dititipkan secara itu tetap atas tanggungan kreditor”.
Ketentuan Pasal 1404 KUH Perdata ini bertujuan untuk memberikan
perlindungan bagi seorang debitor yang beritikad baik, dalam hal mana
ia bermaksud untuk melakukan pembayaran sesuai dengan
kewajibannya.
Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan ini untuk dapat sahnya dilakukan, harus memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagai berikut dan berlaku mutlak serta
memaksa. Persyaratan dimaksud yaitudiatur dalam ketentuan Pasal
1405 KUH Perdata :
1. penawaran dilakukan kepada seorang kreditor atau kepada seorang
yang berkuasa menerimanya untuk kepentingan/atas nama kreditor;
2. penawaran itu dilakukan oleh seorang yang berkuasa untuk
membayar;
3. penawaran itu mengenai semua utang pokok dan bunga yang dapat
ditagih, beserta biaya yang telah ditetapkan dan mengenai beberapa
uang untuk biaya yang belum ditetapkan, dengan tidak mengurangi
penetapan semula;
4. ketetapan waktu yang telah ditentukan telah tiba, jika ketetapan
waktu itu dibuat untuk kepentingan kreditor;
5. syarat dengan mana utang telah dibuat telah terpenuhi;
6. penawaran itu dilakukan di tempat yang menurut persetujuan,
pembayaran harus dilakukan dan jika tiada suatu persetujuan khusus
mengenai itu, kepada kreditor pribadi atau di tempat tinggal yang
sungguh-sungguh atau di tempat tinggal yang telah dipilihnya;
7. penawaran itu dilakukan oleh seorang Notaris atau juru sita, kedua-
duanya disertai dengan dua orang saksi.
Pada prinsipnya, suatu penawaran pembayaran tunai yang disertai
dengan penyimpanan atau penitipan, selama telah dilaksanakan
menurut ketentuan Pasal 1405 KUH Perdata dan Pasal 1406 KUH
Perdata ini di atas maka telah demi hukum menghapuskan
perikatan ini , untuk kepentingan dari tidak hanya debitor
melainkan juga mereka yang terikat secara tanggung menanggung
dengan debitor, dan juga para penanggung utang debitor.
c. Pembaharuan Utang.
Pembaharuan utang dikenal juga dengan istilah novasi, yaitu
salah satu bentuk hapusnya perikatan yang terwujud dalam bentuk
lahirnya perikatan baru.
Ketentuan Pasal 1413 KUH Perdata mengatur tiga macam cara untuk
melaksanakan pembaharuan utang:
1). jika seorang debitor membuat suatu perikatan utang baru
guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan
utang yang lama, yang dihapuskan sebab nya;
2). jika seorang debitor baru ditunjuk untuk menggantikan debitor
lama, yang oleh kreditor dibebaskan dari perikatannya;
3). jika sebagai akibat suatu persetujuan baru, seorang kreditor
baru ditunjuk untuk menggantikan kreditor lama, terhadap siapa
debitor dibebaskan dari perikatannya.
berdasar ketentuan di atas dapat diketahui bahwa, dengan
terjadinya pembaharuan utang (novasi) maka perikatan lama menjadi
hapus dengan terbentuknya perikatan baru yang dibuat oleh para pihak
yang sama.
Berlakunya perikatan yang baru ini masih tetap harus mendasarkan
pada ketentuan dan syarat-syarat sahnya perjanjian.
2. Perjumpaan Utang, Percampuran Utang & Pembebasan Utang.
a. Perjumpaan Utang.
Perjumpaan utang yang disitilahkan dengan kompensasi yaitu
menunjuk pada suatu keadaan dimana dua orang saling memiliki
kewajiban atau utang satu terhadap lainnya. Dalam kondisi ini, oleh
undang-undang ditetapkan bahwa bagi kedua belah pihak yang saling
berkewajiban atau berutang ini , terjadilah penghapusan utang-
utang mereka satu terhadap yang lainnya, dengan cara
memperjumpakan utang pihak yang satu dengan utang pihak yang lain.
Hal ini sebagaimana dinyatakan yaituyaitu penjabaran dari
ketentuan Pasal 1425 KUH Perdata.
Pada Pasal 1426 KUH Perdata dinyatakan tiga (3) syarat untuk dapat
terjadinya perjumpaan utang, yaitu:
1) kedua kewajiban atau utang yang diperjumpakan ini haruslah
utang yang telah ada pada waktu perjumpaan serta telah jatuh
tempo dan dapat ditagih serta dapat dihitung besarnya;
2) kewajiban atau utang ini ada secara bertimbal balik antara
dua pihak, yang satu yaitu debitor sekaligus kreditor
terhadap yang lainnya. Sehingga harus adanya dua pihak yang
saling berutang secara timbal balik.
3) Kewajiban atau utang yang diperjumpakan ini haruslah utang
dengan wujud prestasi yang sama atau objek yang sama, atau
jumlah uang yang sama.
b. Percampuran Utang.
Percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 KUH Perdata, yang
menyatakan : ”jika kedudukan-kedudukan sebagai kreditor dan
debitor berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum
suatu percampuran utang dengan mana piutang dihapuskan”.
Pada kondisi ini, percampuran utang yaituterjadi dalam hal ada nya
satu utang. Berbeda dengan perjumpaan utang yang terkait sekurang-
kurangnya dua utang yang saling bertimbal balik.
Konsekuensi dari terjadinya percampuran utang ini yaitudapat dilihat
pada ketentuan Pasal 1437 KUH Perdata, yang menyatakan:
”Percampuran utang yang terjadi pada diri debitor utama, berlaku
juga untuk keuntungan para penanggung utangnya.
Percampuran yang terjadi pada diri penanggung utang, tidak sekali-
kali mengakibatkan hapusnya utang pokok.
Percampuran yang terjadi pada diri salah satu debitor tanggung
menanggung, tidak berlaku untuk keuntungan para debitor tanggung
menanggung lain hingga melebihi bagiannya dalam utang yang ia
sendiri menjadi debitornya”.
Rumusan Pasal 1437 KUH Perdata sebagaimana ini di atas,
memiliki korelasi dan konsekuensi logis dengan bunyi Pasal 1820
KUH Perdata yang mengatur tentang penanggungan utang.
Percampuran utang dapat terjadi dalam hal:
1. Perkawinan, yang dari dilangsungkannya perkawinan maka
percampuran utang secara terbatas dapat terjadi dengan
bersatunya harta bersama dari suami istri;
2. Merger (Penggabungan) dan konsolidasi (Peleburan).
c. Pembebasan Utang.
Pembebasan utang dimaknai sebagai suatu perbuatan yang dilakukan
oleh kreditor yang membebaskan debitor dari kewajibannya untuk
memenuhi prestasi, atau utang berdasar pada perikatannya kepada
kreditor ini .
Terjadinya pembebasan utang akan menghapuskan perikatan yang
melahirkan utang yang sedianya harus dipenuhi atau dilaksanakan oleh
debitor ini .
Ketentuan yang berkaitan dengan pemebasan utang ini dapat dilihat
dalam Pasal 1294 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:
”Jika kreditor telah membebaskan salah satu debitor dari
perikatannya tanggung menanggung, dan satu atau beberapa debitor
lainnya jatuh dalam keadaan tidak mampu, maka bagian orang-orang
yang tak mampu ini harus dipikul bersama-sama oleh debitor-debitor
lainya dan debitor yang telah melunasi utangnya, menurut imbangan
bagian masing-masing”.
3. Musnahnya Barang yang Terutang.
Eksistensi ataupun keabsahan dari adanya suatu perjanjian yaitu
digantungkan pada keberadaan dari objek yang diperjanjikan. Hal ini sejalan
dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata jo. 1333 KUH Perdata dalam hal
mana dapat disimpulkan bahwa setiap perjanjian baik berupa untuk
melakukan sesuatu, untuk memberikan sesuatu maupun untuk tidak
berbuat sesuatu yaituharus memiliki suatu kebendaan sebagai objek
perjanjiannya.
Kebendaan ini sebagai objek perikatan haruslah diketahui dan dapat
ditentukan jenisnya. Terhadap jumlahnya sendiri, jika belum diketahui
secara pasti jumlahnya maka dapat ditentukan kemudian. Yang tidak kalah
penting yaitusuatu perikatan yang mensyaratkan adanya kebendaan
dalam objeknya harus lah berupa benda yang dapat diperdagangkan,
dengan tetap mengindahkan ketentuan tidak melanggar perundang-
undangan, ketertiban umum maupun kesusilaan.
Sehubungan dengan hal ini di atas maka saat benda yang menjadi
objek perikatannya musnah, tidak dapat diperdagangkan ataupun hilang,
maka hapuslah perikatannya, asalkan barang ini musnah, ataupun
hilang di luar salahnya debitor dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
Pernyataan sebagaimana ini di atas dapat dilihat dalam ketentuan
Pasal 1444 KUH Perdata, yang berlaku pada perikatan untuk memberikan
atau menyerahkan sesuatu.
Sejalan dengan hal ini Pasal 1235 KUH Perdata menyatakan bahwa ”Dalam
tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu yaitutermaktub
kewajiban untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk
merawatnya sebagai kepala rumah tangga yang baik, sampai saat
penyerahan”.
Dalam hal kebendaan yang musnah, hilang atau sebab sesuatu hal tidak
dapat lagi diperdagangkan maka hal ini memberikan hak atau
tuntutan ganti rugi kepada debitor terhadap pihak ketiga mengenai
kebendaan ini . Hal ini menunjukkan pada pentingnya untuk
menegakkan asas keadilan dan kepatutan.
Pada rumusan Pasal 1444 KUH Perdata juga diatur bahwa dalam hal
perikatan bersumber dari undang-undang sebagai perbuatan melawan
hukum, maka musnahnya kebendaan yang sedianya harus dikembalikan
berdasar pada perikatan yang bersumber dari undang-undang sebab
perbuatan melawan hukum ini tidak menghapuskan kewajiban
debitor untuk mengganti harga dari kebendaan ini .
4. Kebatalan dan Pembatalan Perikatan serta Berlakunya Syarat Batal.
Pada bagian ini, pembahasan yaituberkaitan dengan berakhirnya
perikatan yang disebabkan oleh kebatalan atau pembatalan. Pembahasan
juga akan berkaitan dengan syarat sah subjektif dari suatu perjanjian.
Untuk mengulas kaji pada pembahasan ini, bahwa telah diketahui untuk
dapat sahnya suatu perjanjian haruslah memenuhi ketentuan Pasal 1320
KUH Perdata yang mengatur tenatng syarat sah perjanjian. Syarat sah mana
terbagi atas syarat sah subjektif dan syarat sah objektif.
Dalam hal musnahnya barang sebagai bentuk hapusnya perikatan, maka
pembicaraan yaituberkaitan dengan syarat sah objektif dari suatu
perikatan. Ketentuan Pasal 1320 angka 1 dan 2 KUH Perdata memberikan
alasan kepada salah satu pihak dalam perjanjian untuk membatalkan
perjanjian yang telah dibuat olehnya.
Bahwa pembatalan atas suatu perjanjian dapat dimintakan dalam hal:
a) Tidak telah terjadi kesepakatan bebas dari para pihak yang membuat
perjanjian, baik sebab telah terjadi kekhilafan, paksaan atau
penipuan pada salah satu pihak dalam perjanjian pada saat perjanjian
itu dibuat. (lihat lebih lanjut ketentuan Pasal 1321 sampai dengan
50
1328 KUH Perdata). Dalam hal ini, jika terjadi kondisi di atas maka hak
untuk meminta pembatalan perjanjian yaitupada saat ia
mengetahui telah terjadi nya kekhilafan, paksaan atau penipuan pada
dirinya.
b) Salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk bertindak dalam
hukum (lihat lebih lanjut Pasal 1330 dan 1331 KUH Perdata), dan atau
tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan atau
perbuatan hukum tertentu. Dalam hal ketidak cakapan, maka sesudah
pihak yang tidak cakap ini menjadi cakap dan atau oleh
wakilnya yang sah yaituberhak untuk memintakan pembatalan
perjanjian.
Perlu diingat bahwa dalam hal terjadinya salah satu atau dua keadaan
disebut di atas, maka berarti perikatan yang lahir dari perjanjian itupun
hapus demi hukum. Ketentuan mengenai hak untuk mengajukan
pembatalan sendiri dapat dilihat pada rumusan Pasal 1446 sampai dengan
1450 KUH Perdata.
Pasal 1446 ayat 1 KUH Perdata menyatakan, ”Semua perikatan yang dibuat
oleh orang-orang yang belum dewasa, atau orang-orang yang berada di
bawah pengampuan yaitubatal demi hukum (Note: disebut juga ”dapat
dibatalkan”) dan atas tuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak
mereka, harus dinyatakan batal (Note : ”dibatalkan”), semata-mata atas
dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya”.
Secara umum ketentuan Pasal 1454 KUH Perdata menentukan bahwa
penuntutan terhadap pembatalan dapat diajukan dalam jangka waktu lima
(5) tahun, terhitung sejak:
1). Dalam hal kebelumdewasaan sejak hari kedewasaannya;
2). Dalam hal pengampuan, sejak hari pencabutan pengampuan;
3). Dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti;
4). Dalam hal kekhilafan atau penipuan, sejak hari diketahuinya
kekhilafan atau penipuan itu;
5). Dalam hal perbuatan seorang perempuan bersuami yang dilakukan
tanpa kuasa suami, sejak hari pembubaran perkawinan;
6). Dalam hal batalnya suatu perikatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1341, maka sejak hari diketahuinya bahwa kesadaran yang
diperlukan untuk kebatalan itu ada.
Akibat hukum dari terjadinya pembatalan ini yaitubahwa semua
kebendaan dan orang-orangnya dipulihkan sama seperti keadaan sebelum
perjanjian dibuat (lihat lebih lanjut ketentuan Pasal 1451 dan 1452 KUH
Perdata).
Berlakunya syarat batal sebagai suatu sebab berakhirnya perikatan diatur
dalam Bab I Buku III Perikatan, pada Pasal 1265 KUH Perdata, yang
menyatakan ”Suatu syarat batal yaitusyarat yang jika dipenuhi,
menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada
keadaan semula, seolah-oleh tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini
tidak menangguhkan pemenuhan perikatan; hanyalah ia mewajibkan
kreditor mengembalikan apa yang telah diterimanya, jika peristiwa
yang dimaksudkan terjadi”.
berdasar ketentuan pasal ini di atas maka dapat diketahui bahwa
setiap perikatan yang telah dibuat secara sah oleh para pihak dan bahkan
telah dilaksanakan sekalipun dapat dikembalikan keadaannya seperti
semula, jika hal ini memang dikehendaki oleh para pihak. Hal ini
terjadi dengan dicantumkannya klausula yang mengatur tentang syarat
batal dalam perjanjian ini .
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata menyatakan bahwa ”Syarat
batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang
bertimbal balik, manakala salah satu pihaknya tidak memenuhi kewajiban
ini .
Dalam hal yang demikian, persetujuan tidak batal demi hukum, namun
pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai
tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan.
Jika syarat batal ini tidak dinyatakan dalam persetujuan maka
Hakim yaituleluasa untuk, menurut keadaan, atas permintaan tergugat,
memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi
kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu
bulan”.
5. Lewat Waktu (Daluarsa).
Ketentuan tentang lewat waktu atau yang juga dikenal dengan daluarsa
yaitudiatur dalam bagian tersendiri dalam Buku Keempat KUH Perdata,
52
yang dalam Pasal 1946 KUH Perdata menyatakan bahwa ”Daluarsa yaitu
suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu
perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat
yang telah ditentukan oleh Undang-undang”.
Ketentuan tentang daluarsa secara garis besar dimulai pada Bab Ketujuh
Buku Keempat tentang Pembuktian dan Daluarsa.
Pada bagian kesatunya diatur tentang daluarsa umumnya;
Pada bagian kedua tentang daluarsa dipandang sebagai alat untuk
memperoleh sesuatu;
Pada Bagian ketiga tentang daluarsa dipandang sebagai suatu alasan untuk
dibebaskan dari suatu kewajiban.
Pada Bagian keempat tentang sebab-sebab yang mencegah daluarsa.
Pada Bagian kelima tentang sebab-sebab yang menangguhkan berjalannya
daluarsa.
MACAM – MACAM PERJANJIAN
BERNAMA DALAM KUH PERDATA DAN
KUH DAGANG SERTA PERKEMBANGAN
PERJANJIAN BERNAMA DALAM PRAKTEK
Pasal 1319 KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian, baik yang
memiliki nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama
tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan
bab yang lalu” (bab ini maksudnya yaituBab Kedua dariBuku Ketiga yang
mengatur tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau
perjanjian), berdasar pasal ini maka dapat diketahui bahwa suatu
perjanjian terbagi menajadi dua macam yaitu :
1. Perjanjian bernama (nominaat);
2. Perjanjian tidak bernama (innominaat).
Perjanjian tidak bernama sendiri yaituyang dimaksudkan dengan
perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup serta berkembang dalam
masyarakat.
Perjanjian bernama disebut juga dengan perjanjian – perjanjian khusus,
disebab kan pengaturannya ada secara khusus di dalam KUH Perdata,
yang terdiri dari enam belas (16) jenis, yang masing-masingnya akan
dijelaskan dalam uraian umum sebagai berikut.
B. Macam – macam Perjanjian
1. Jual Beli
Pengaturan tentang Jual beli sebagai perjanjian didapat pada Bab kelima,
yang pada Pasal 1457 KUH Perdata diartikan sebagai suatu persetujuan,
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan.
Terhadap rumusan pasal ini Subekti dalam bukunya Aneka Perjanjian (1995:
1) “... yaitusuatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu
(si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang
pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri
atas beberapa uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik ini ”.
berdasar rumusan pasal ini di atas, dapat ditarik unsur pokok
(essentialia) dari perjanjian Jual Beli ini yaitu adanya ”barang dan harga”.
Hal ini tekait dengan ketentuan Pasal 1458 KUH Perdata yang berbunyi
”Jual beli dianggap sudah terjadi sesudah mereka mencapai kata sepakat
tentang barang dan harga, meskipun benda ini belum diserahkan dan
harga belum dibayarkan”. Sejalan dengan ketentuan pasal ini, maka dapat
juga ditarik suatu kesimpulan bahwa dengan mendasarkan pada asas
konsensualisme, suatu perjanjian jual beli yaitudianggap telah lahir sejak
dicapainya kata sepakat diantara para pihak, yang ditunjukkan dengan
adanya ucapan atau perkataan ”setuju”, atau ”ok” atau ”deal”.
Syahmin AK (2006 : 51) menyatakan bahwa di dalam akta perjanjian jual
beli harus dibuat dengan tegas apa saja yang menjadi hak dan kewajiban
para pihak. Kewajiban utama penjual yaitu:
1) menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan. Tentang
penyerahan ini dikaitkan dengan hukum kebendaan (note : kebendaan
ataupun barang dalam hukum dikenal tiga jenis, yaitu Barang Bergerak,
Barang Tetap dan Barang Tidak Berwujud (seperti piutang, penagihan
atau ”claim”) yang menjadi objek perjanjian jual beli ini oleh
Subekti (1995 : 9 -10) dijelaskan sebagai berikut:
(a) untuk barang bergerak, kewajiban menyerahkan cukup dengan
penyerahan kekuasaan atas barang ini , sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 612 KUH Perdata ”Penyerahan kebendaan
bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan
penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama
pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam
mana kebendaan itu berada”.
(b) Untuk barang tetap atau barang tidak bergerak, penyerahan
dilakukan dengan perbuatan yang disebut ”balik nama” dihadapan
atau dicatatkan oleh Pejabat yang berhak. Dasar hukum nya dapat
kita lihat pada Pasal 616 jo 620 KUH Perdata.
58
(c) Untuk barang-barang tak bertubuh maka penyerahannya dilakukan
dengan cara atau perbuatan yang dinamakan ”cessie” yang
pengaturan terhadapnya dapat kita lihat pada Pasal 613 KUH
Perdata yang berbunyi ”Penyerahan akan piutang-piutang atas
nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan
membuat sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan, dengan
mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain”.
Terhadap penyerahan ini perlu juga diperhatikan bahwa perjanjian
jual beli menurut KUH Perdata yaitubelum memindahkan hak
milik. Hak milik baru berpindah dengan dilakukannya suatu
perbuatan hukum atau perbuatan yuridis yang disebut dengan
”Levering” yang diartikan sebagai ”penyerahan”.Dengan demikian,
secara ringkas dapat disimpulkan bahwa perjanjian jual beli dalam
KUH Perdata yaitumenganut sistem ”Obligatoir” yang artinya
perjanjian jual beli baru meletakkan hak dan kewajiban bertimbal
balik antara kedua belah pihak penjual dan pembeli, hak milik
terhadap barang ini baru akan berpindah dengan
dilakukannya perbuatan yuridis ”levering”.
2) Menanggung kenikmatan tenteram atas barang ini dan
menanggung terhadap cacad tersembunyi.
Kewajban ini di atas ini yaitumemberikan konsekuensi untuk
diberikannya penggantian kerugian jika sampai terjadi pada suatu
waktu, si pembeli digugat oleh pihak ketiga dan dengan putusan Hakim
dihukum untuk menyerahkan barang yang telah dibelinya ini
kepada pihak ketiga.
Tentang cacad yang tersembunyi sendiri, si penjual yaitudiwajibkan
untuk menanggung terhadapnya, meskipun ia sendiri tidak mengetahui
adanya cacad-cacad itu, kecuali jika ia, dalam hal yang demikian, telah
minta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu
apapun.
Kewajiban utama dari pembeli yaitumembayar harga pembelian pada
waktu dan tempat sebagaimana yang ditetapkan dalam perjanjian. Jika
si pembeli tidak membayarkan harga pembelian ini maka si penjual
dapat menuntut pembatalan pembelian sesuai dengan ketentuan Pasal
1266 dan 1267 KUH Perdata. Harga ini harus berupa beberapa
uang.
2. Tukar Menukar
Ketentuan dasar tentang perjanjian tukar menukar yaitupada Pasal 1541
KUH Perdata. Perjanjian ini juga dikenal dengan istilah ”barter”. Pasal 1541
menyatakan bahwa tukar menukar ialah suatu persetujuan dengan mana
kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu
barang secara bertibal balik, sebagai gantinya barang lain.
Sebagaimana dengan perjanjian jual beli, perjanjian ini juga bersifat
konsensual dan sudah mengikat pada saat tercapainya kata sepakat di
antara para pihak. Dan juga bersifat ”obligatoir”, dalam arti ia belum
memindahkan hak milik, namun baru sebatas memberikan hak dan
kewajiban. Pada saat terjadinya leveringlah baru secara yuridis, hak milik
berpindah.
Objek tukar menukar dalam KUH Perdata yaitusemua yang dapat
diperjualbelikan, maka dapat menjadi objek tukar menukar. Terhadap hal
ini juga dalam KUH Perdata menyatakan bahwa semua pengaturan tentang
jual beli juga berlaku untuk perjanjian tukar menukar.
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 1545 KUH Perdata mengatur tentang resiko
yang berbunyi ”Jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk
ditukar, musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka persetujuan dianggap
sebagai gugur dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan,
dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar
menukar”.
3. Sewa Menyewa
Ketentuan KUH Perdata yang mengatur tentang sewa menyewa dapat
dilihat pada Pasal 1548 yang berbunyi: ”Sewa menyewa yaitusuatu
perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
memberikan kepada yang lain kenikmatan dari suatu barang, selama
suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh
pihak yanag ini terakhir itu disanggupi pembayarannya”.
Sebagaimana halnya dengan perjanjian lainnya, sewa menyewa yaitu
perjanjian konsensual yang artinya ia sudah sah dan mengikat pada detik
tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya yaitu barang dan
harga.
Penyerahan barang untuk dapat dinikmati oleh pihak penyewa diberikan
oleh yang menyewakan, dengan mana kewajiban penyewa yaituuntuk
membayar harga. Penyerahan barang hanyalah untuk dipakai dan
dinikmati.
Peraturan tentang sewa menyewa yang ada dalam Buku Ketiga KUH
Perdata, bab ketujuh berlaku untuk segala macam sewa menyewa,
mengenai semua jenis barang,baik bergerak maupun tidak bergerak, baik
yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak. (untuk waktu tertentu,
bukanlah menjadi syarat mutlak dalam perjanjian, namun demikian kiranya
penting ada dalam suatu perjanjian, untuk menghindari kesewenag-
wenangan pihak yang menyewakan, terutama untuk menghentikan waktu
sewa dalam sewaktu-waktu).
Kewajiban pihak yang menyewakan adalah:
1. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa;
2. memelihara barang yang disewakan sedemikian sehingga barang
ini dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan;
3. memberikan kepada si penyewa kenikmatan tenteram dari barang
yang disewakan selama berlangsungnya persewaan.
Kewajiban pihak yang menyewakan, utamanya yaitu:
1. Memakai barang yang disewa sebagai seorang ”bapak rumah yang
baik”, sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada barang itu menurut
perjanjian sewanya;
2. Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan
menurut perjanjian.
Pasal 1533 KUH Perdata menentukan, ”Jika selama waktu sewa, barang
yang disewakan musnah sebab suatu kejadian yang tidak disengaja maka
persetujuan sewa gugur demi hukum. Jika barangnya hanya sebagian
musnah, si penyewa dapat memilih menurut keadaan apakah ia akan
meminta bahkan pembatalan persetujuan sewa, namun tidak dalam satu
dari kedua hal ia berhak atas ganti rugi”.
Pasal ini di atas berbicara tentang resiko dan kemungkinan yng
timbul. Tentang resiko ini peting untuk diatur sebelumnya di dalam kontrak,
untuk mengetahui dalam hal dan kondisi apa saja penyewa turut
bertanggungjawab dalam menanggung resiko.
Mengenai objek perjanjian sewa menyewa, yaitutidak dengan sendirinya
perjanjian ini batal jika objeknya diperjual belikan oleh pemiliknya
(kecuali telah diperjanjikan sebelumnya).
Ketentuan lain dalam sewa menyewa ini yaitubahwa yang menyewakan
dilarang untuk mengulangsewakan objek perjanjiannya, ataupun untuk
melepaskan sewanya kepada orang lain. Mengulang sewa yaitusuatu
tindakan dari si penyewa untuk bertindak seolah-olah pemilik sewa untuk
kemudian menyewakan objek ini kepada orang lain, sedang
melepaskan sewa yaitusuatu tindakan dari pihak penyewa untuk
mengundurkan diri dari perjanjian ini dan menarik pihak lain untuk
melanjukan perjanjian ini . Tindakan mengulangsewa atau
melepaskan sewa ini yaitudilarang kecuali jika diperjanjikan
sebelumnya. Namun jika penyewa mengikat perjanjian sewa untuk
sebahagian dari objek perjanjian (misal, sewa menyewa atas suatu rumah,
untuk kemudian penyewa menyewakan satu atau beberapa kamar di dalam
nya kepada orang lain) yaitudibenarkan kecuali jika telah ditegaskan
sebelumnya yaitudilarang.
4. Perjanjian untuk Melakukan Pekerjaan
Perjanjian untuk melakukan pekerjaan secara umum diatur dalam KUH
Perdata Pasal 1601. berdasar rumusan Pasal 1601 KUH Perdata dapat
diketahui bahwa perjanjian untuk melakukan pekerjaan terbagi dalam tiga
macam:
a) Perjanjan untuk melakukan jasa-jasa tertentu.
Yaitu suatu perjanjian dalam hal mana satu pihak menghendaki dari
pihak lawannya untuk melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai
tujuan tertentu dengan mana ia berkewajiban untuk membayarkan
upah. Pihak lawan yang melakukan pekerjaan tertentu ini biasa nya
yaituserang ahli. Misalnya perjanjian antara pengacara dengan klien,
dokter dengan pasien.
b) Perjanjian kerja / perburuhan.
Yaitu suatu perjanjian antara seorang buruh atau pekerja dengan
majikan atau pemberi kerja. Selain itu, perjanjian ini memiliki ciri bahwa
adanya upah atau gaji tertentu yang telah diperjanjikan sebelumnya,
serta adanya hubungan antara majikan/pemberi kerja dengan buruh
penerima kerja, dalam hal mana majikan berhak untuk memberikan
perintah yang harus ditaati dan dikerjakan oleh buruh. Pengaturan
tentang perjanjian kerja dalam KUH Perdata yaituada dalam
Pasal 1601 a KUH Perdata yang menyatakan ”Persetujuan perburuhan
yaitupersetujuan dengan mana pihak yang satu si buruh
mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang lain si
majikan, untuk sesuatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan
menerima upah”.
Ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2003 membedakan antara perjanjian
kerja dengan perjanjian perburuhan. Perjanjian kerja dimaksudkan
sebagai perjanjian yang dilakukan oleh majikan dengan buruh secara
perseorangan sedang perjanjian perburuhan yaituperjanjian
antara majikan dengan serikat buruh. Perjanjian kerja terus mengalami
perkembangan dalam pengaturan terhadapnya, bahwa selain dengan
memenuhi ketentuan umum tentang perjanjian kerja yang ada pada
KUH Perdata juga dengan memenuhi ketentuan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan.
c) Perjanjian pemborongan pekerjaan.
Pengaturan dasar dan umum terhadap perjanjian pemborongan
pekerjaan diatur dalam Pasal 1601 b KUH Perdata yang berbunyi
”Pemborongan pekerjaan yaitupersetujuan dengan mana pihak
yang satu si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan
suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan
dengan menerima suat harga yang ditentukan”.
Pengaturan selanjutnya dalam KUH Perdata yaitutermaktub dalam
Pasal 1604 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1617 KUH Perdata.
Perjanjian ini terbagi dalam dua macam, yaitu : a) Pihak pemborong
diwajibkan untuk melakukan pekerjaannya saja, dan b) pihak
pemborong selain melaksanakan pekerjaannya juga wajib untuk
menyediakan bahannya. Kedua macam perjanjian ini akan
menghadirkan konsekuensi-konsekuensi tersendiri.
5. Persekutuan
Persekutuan atau yang dalam bahasa Belanda disebut dengan ”maatschap
atau venootschap” dan di Inggris dikenal dengan istilah “partnership”
yaitupersetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan dirinya
untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan dengan maksud untuk
membagi keuntungan yang terjadi sebab nya. Pengaturan umum tentang
persekutuan ini dapat dilihat pada Pasal 1618 KUH Perdata.
Persekutuan menurut Syahmin AK (2006: 59) yaitumerupan bentuk
perjanjian yang paling sederhana dalam tujuan untuk mendapatkan
keuntungan bersama. Dalam pelaksanaannya, pada persekutuan akan
ada beberapa perjanjian lainnya yaitu perjanjian kerja, perjanjian batas
waktu persekutuan, perjanjian sekutu dengan pihak ketiga, perjanjian
pembagian keuntungan, serta perjanjian – perjanjian lainnya.
Perjanjian persekutuan berbeda dengan perjanjian-perjanjian lainnya yang
juga bertujuan untuk mencari keuntungan bersama seperti Firma, maupun
Perseroan Terbatas, dis