hukum perikatan 1

 



 



 Perikatan ini prestatienya yaituuntuk memberikan sesuatu 

(menyerahkan) yang dikenal juga dengan istilah levering dan 

merawatnya. 

 

 Kewajiban menyerahkan yaitukewajiban pokok, sedang  

kewajiban merawat yaitukewajiban preparatoir, yang 

dilaksanakan oleh debitur menjelang pemenuhan kewajiban 

pokoknya. 

 

 Contoh perikatan untuk memberikan sesuatu yaituJual Beli, Sewa 

Beli, Tukar Menukar. 

 

b. Perikatan untuk berbuat sesuatu dan perikatan untuk tidak berbuat 

sesuatu (Pasal 1239 s.d Pasal 1242 KUH Perdata). KUH Perdata 

tidak memberikan pernyataan secara tegas tentang perikatan untuk 

berbuat sesuatu dan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.(Lihat 

lebih lanjut ketentuan Pasal 1239 s/d 1242 KUH Perdata).  

 

 

 Pasal 1239 KUH Perdata sebagai pasal awal, pada bagian ketiga dari 

Bab Kesatu tentang Perikatan-Perikatan Umum menyatakan bahwa, 

“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak 

berbuat sesuatu, jika  si berutang tidak memenuhi 

kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajibannya 

memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”. 

  

 Ketentuan Pasal ini  di atas, memberikan pengaturan tentang 

tuntutan ganti rugi yang dapat diajukan oleh si yang berpiutang, 

saat  yang berutang tidak memenuhi perikatannya. 

 

c. Perikatan Bersyarat (Pasal 1253, 1259 – 1267 KUH Perdata): 

 Pasal 1253 KUH Perdata menyatakan bahwa “Perikatan yaitu

bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan 

datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara 

menangguhkan perikatan, sehingga terjadinya peristiwa semacam 

itu menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa ini ”. 

 

 Syarat ini  harus dinyatakan secara tegas dalam perikatan. 

Namun batasan terhadap syarat ini  telah diatur dalam 

undang-undang yaitu: 

1) bertujuan melakukan sesuatu yang tidak mungkin 

dilaksanakan; 

2) bertentangan dengan kesusilaan; 

3) dilarang undang-undang; 

4) pelaksanaannya tergantung dari kemauan orang yang terikat. 

 

Pasal 1266 KUH Perdata memberikan pengaturan tentang 

“Ingkar janji yang yaitu syarat batal dalam suatu 

perjanjian timbal balik”. 

 

5) Perikatan dengan ketetapan waktu (Pasal 1268 – 1271 KUH 

Perdata); 

 Perikatan dengan ketetapan waktu yaitusuatu perikatan 

yang tidak menangguhkan perikatan, hanya menangguhkan 

pelaksanaannya. 

 

d. Perikatan manasuka/alternative (Pasal 1272 – 1277 KUH Perdata); 

 Dalam perikatan alternative ini, debitur dibebaskan jika ia 

menyerahkan salah satu barang yang disebutkan dalam perikatan, 

namun ia tidak dapat memaksa yang berpiutang untuk menerima 

sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lain. 

 

e. Perikatan Tanggung Renteng/ Tanggung Menanggung (Pasal 1278 – 

1303 KUH Perdata): 

 Perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng terjadi 

antara beberapa orang berpiutang, jika didalam perjanjian secara 

tegas kepada masing-masing diberikan hak untuk menuntut 

pemenuhan seluruh hutang, sedang  pembayaran yang 

dilakukan kepada salah satu membebaskan orang yang berhutang 

meskipun perikatan menurut sifatnya dapat dipecah atau dibagi 

antara orang yang berpiutang tadi. 

 

 Tanggung renteng dibedakan yang aktif dan pasif. Tanggung 

renteng aktif yaituperikatan tanggung menanggung yang 

pihaknya terdiri dari beberapa kreditur. sedang  yang pasif 

 

 

yaituterjadinya suatu perikatan tanggung menanggung diantara 

orang-orang yang berutang yang mewajibkan mereka melakukan 

suatu hal yang sama. salah seorang dari kreditur dapat dituntut 

untuk seluruhnya, dan pemenuhan dari salah seorang 

membebaskan orang-orang berutang lainnya terhadap si 

berpiutang/kreditur. 

 

f. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi (Pasal 1296 

– 1303 KUH Perdata); 

 pada perikatan ini, objeknya yaitumengenai suatu barang yang 

penyerahannya, atau suatu  perbuatan yang pelaksanaannya dapat 

dibagi-bagi, baik secara nyata ataupun perhitungan. 

 

g. Perikatan dengan ancaman hukuman (Pasal 1304 – 1312 KUH 

Perdata). Ancaman hukuman yaitusuatu keterangan, yang 

sedemikian rupa disampaikan oleh seseorang untuk adanya 

jaminan pelaksanaan perikatan. Maksud adanya ancaman hukuman 

ini yaitu: 

1) untuk memastikan agar perikatan itu benar-benar dipenuhi; 

2) untuk menetapkan jumlah ganti rugi tertentu jika  terjadi 

wanprestasi dan untuk menghindari pertengkaran tentang hal 

ini . 

 

Ancaman hukuman ini bersifat accessoir. Batalnya perikatan pokok 

mengakibatkan batalnya ancamanhukuman. Batalnya ancaman 

hukuman tidak berakibat batalnya perikatan pokok. 

 

F. Schuld & Haftung dalam Perikatan. 

 Schuld yaitukewajiban kreditur untuk menyerahkan prestasi kepada 

debitur. sedang  Haftung yaitukewajiban debitur untuk menyerahkan 

harta kekayaannya untuk diambil kreditur sebanyak utang debitur, guna 

pelunasan hutang si debitur, jika  debitur tidak memenuhi kewajiban 

membayar utang ini . 

 Antara Schuld dan haftung yaitudapat dibedakan namun tidak 

terpisahkan. 

 

 Salah satu pasal yang memberikan pengaturan tentang schuld dan haftung 

ini yaituPasal 1131 KUH Perdata “Segala kebendaan si berutang, baik yang 

 

 

bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru 

akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan 

perseorangan”. 

 

G. Prestasi & Wanprestasi. 

 Prestasi atau dalam hukum kontrak dikenal juga dalam istilah Inggris sebagai 

performance  yaitupelaksanaan dari isi kontrak yang telah diperjanjikan 

menurut tata cara yang telah disepakati bersama (term and condition). 

Macam-macam prestasi yaituyang diatur dalam Pasal 1234 KUH Perdata. 

 

 Wanprestasi atau yang juga dikenal dengan cidera janji; default; non-

fulfillment; ataupun breach of contract yaitusuatu kondisi tidak 

dilaksanakannya suatu prestasi/ kewajiban  sebagaimana mestinya yang 

telah disepakati bersama – sebagaimana yang dinyatakan dalam kontrak. 

 

 Wanprestasi dapat terjadi sebab  kesengajaan; kelalaian ataupun tanpa 

kesalahan (kesangajaan dan/kelalaian). 

 Konsekwensi yuridis dari wanprestasi yaitutimbulnya hak dari pihak yang 

dirugikan dalam kontrak ini  untuk menuntut ganti rugi dari pihak yang 

melakukan wanprestasi. 

 

 Bentuk-bentuk ataupun model wanprestasi yaitu: 

1. Wanprestasi berupa tidak memenuhi prestasi; 

2. Wanprestasi berupa terlambat memenuhi prestasi; 

3. Wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi. 

 

Pada beberapa kondisi tertentu, seseorang yang telah tidak melaksanakan 

prestasinya sesuai dengan ketentuan yang dinyatakan dalam kontrak, maka 

pada umumnya (dengan beberapa perkecualian) tidak dengan sendirinya dia 

dianggap telah melakukan wanprestasi. 

 

jika  tidak telah ditentukan lain dalam kontrak atau undang-undang maka 

wanprestasinya di debitur resmi terjadi sesudah debitur dinyatakan lalai oleh 

kreditur, yaitu dikeluarkannya “akta lalai” oleh pihak kreditur. Hal ini diatur 

dalam Pasal 1238 KUH Perdata “Si berutang yaitulalai, jika  ia dengan 

surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, 

atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang 

akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang telah ditentukan”. 

Akta lalai dalam praktek dikenal juga dengan istilah somasi (somatie: 

Belanda, Sommation/Notice of Default: Inggris). Akta lalai ini sendiri dikenal 

dan diberlakukan oleh Negara-negara dengan Civil Law System seperti 

Perancis, Jerman, Belanda dan negara kita . sedang  Negara-negara dengan 

Common Law System tidak memberlakukan stelsel akta lalai ini. 

 

Pengecualian terhadap akta lalai yaitudalam hal: 

1.   Jika di dalam kontrak ditentukan termin waktu; 

2.   Debitur sama sekali tidak memenuhi prestasi; 

3.   Debitur keliru memenuhi prestasi; 

4.  Ditentukan dalam undang-undang bahwa wanprestasi terjadi demi 

hukum. Contoh, ketentuan Pasal  1626 KUH Perdata “Sekutu diwajibkan 

memasukkan beberapa uang dan tidak melakukannya, itu menjadi 

berutang bunga atas jumlah itu, demi hukum dengan tidak usah 

ditagihnya pembayaran uang ini , terhitung sejak hari uang 

ini  sedianya harus dimasukkan….” 

 

Dalam hal wanprestasi yang terjadi yaituberupa tidak sempurna 

memenuhi prestasi, maka dalam ilmu hukum kontrak dikenal suatu doktrin 

yang disebut “Doktrin Pemenuhan Prestasi Substansial (Substantial 

Performance)” yang mengajarkan bahwa dalam hal terjadi wanprestasi 

berupa tidak sempurna memenuhi prestasi, namun pihak ini  telah 

melaksanakan prestasinya secara substantial maka pihak lain ini  harus 

juga melaksanakan prestasinya secara sempurna (Substantial Performance). 

Dengan kata lain, jika salah satu pihak telah melaksanakan Substantial 

Performance, maka pihak lain harus memenuhi prestasinya sendiri 

sebagaimana yang telah disepakati atau ditetapkan dalam kontrak, dan tidak 

dibenarkan kepadanya untuk melaksanakan doktrin exception non adimpleti 

contractus, yaitu doktrin yang mengajarkan jika  salah satu pihak tidak 

melaksanakan prestasinya maka pihak lain dapat juga telah melaksanakan 

prestasinya. 

Contoh:  seorang pemborong (aanemeer) mengikatkan dirinya kepada pihak 

yang memborongkan (bouwheer) untuk mendirikan bangunan. sesudah 

dinyatakan selesai pekerjaannya ternyata dia belum memasangkan kunci-

kunci bagi bangunan ini , maka dapat dikatakan dia telah 

melaksanakan kontrak ini  secara substansial.  

 

 

H. Force Majeure & Akibat Hukumnya. 

Force Majeure yaitu keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk 

melaksanakan prestasinya sebab  keadaan/peristiwa yang tidak terduga 

pada saat dibuatnya kontrak. Keadaan/peristiwa ini  tidak dapat 

dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur ini  tidak 

dalam keadaan beritikad buruk. Peristiwa ini  terjadinya juga tidak 

telah diasumsikan terlebih dahulu kemungkinannya (seandainya telah 

diasumsikan kemungkinannya, maka para pihak harusnya telah 

menegoisiasikannya di dalam kontrak). Contoh peristiwa yang menyebabkan 

force majeure yaituterjadinya air bah, banjir badang, meletusnya gunung 

merapi, gempa bumi, mogok massal serta munculnya peraturan baru yang 

melarang pelaksanaan prestasi dari kontrak ini . 

 

Pasal 1244 & 1245 KUH Perdata mengatur masalah force majeure dalam 

hubungannya dengan penggantian biaya rugi dan bunga saja; namun 

demikian ketentuan ini juga dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam 

mengartikan force majeure secara umum. 

 

berdasar Pasal ini  di atas, Force Majeure dapat terjadi disebabkan: 

1. sebab  sebab-sebab yang tidak terduga; 

2. sebab  keadaan memaksa; 

3. sebab  perbuatan ini  dilarang. 

 

jika  force majeure terjadi terhadap suatu kontrak, sehingga salah satu 

atau kedua belah pihak terhalang untuk melaksanakan prestasinya, maka 

para pihak dibebaskan untuk melaksanakan prestasi dan tidak ada satu (1) 

pihak pun yang dapat meminta ganti rugi sebab  tidak dilaksanakannya 

kontrak bersangkutan. 

 

Force majeure dapat dibedakanatas: 

1. Force majeure yang objektif, terjadi terhadap benda yang menjadi objek 

dari kontrak ini , misal benda ini  terbakar atau terbawa 

banjir badang. 

2. Force majeure yang subjektif, terjadi terhadap subjek dari perikatan itu. 

Misalnya jika si debitur cacat seumur hidup, atau sakit berat sehingga 

tidak mungkin lagi memenuhi prestasi. 

3. Force majeure yang absolute, yaitu keadaan dimana prestasi oleh 

debitur tidak mungkin sama sekali dapat dipenuhi untuk dilaksanakan 

 

 

bagaimanapun keadaannya. Kondisi ini disebut juga dengan istilah 

impossibility – misal, jika barang yang menjadi objek dalam perikatan 

ini  tidak dapat lagi ditemui di pasaran disebab kan sudah tidak 

diproduksi lagi. 

4. Force majeure yang relative, disebut juga dengan impracticality – 

yaitu kondisi dimana pemenuhan prestasi secara normal tidak lagi 

dapat dilaksanakan, walaupun secara tidak normal pada dasarnya masih 

bias dilaksanakan. contoh force majeure bentuk ini yaituterhadap 

kontrak ekspor impor dimana tiba-tiba pemerintah mengeluarkan 

larangan terhadapnya. Secara normal, kontrak ini tidak dapat 

dilaksanakan, namun dengan cara tidak normal seperti penyelundupan 

(illegal), kontrak masih dapat dilaksanakan. 

5. Force Majeure yang permanent, dalam hal ini prestasi sama sekali tidak 

mungkin dapat dilaksanakan, sampai kapan pun walau bagaimanapun. 

Misal, kontrak pembuatan lukisan, namun si pelukis menderita sakit 

stroke (misalnya) yang tidak dapat sembuh lagi sehingga dia tidak 

mungkin lagi melukis sampai kapan pun. 

6. Force majeure yang temporer yaitusuatu force majeure dimana 

prestasi tidak mungkin dilakukan untuk sementara waktu, namun nanti 

nya masih mungkin dilakukan. Misal, perjanjian pengadaan suatu 

produk tertentu, namun disebab kan berhentinya operasional pabrik 

yang disebabkan oleh mogok buruh, maka force majeure terjadi. 

sesudah keadaan reda, dan buruh kembali bekerja dan pabrik beroperasi 

kembali maka prestasi dapat dilanjutkan kembali.  


 

 

I. Ganti Rugi. 

 Ganti rugi yaitu kewajiban pihak yang melakukan wanprestasi untuk 

memberikan penggantian atas kerugian yang telah ditimbulkannya. 

 

 Ganti rugi secara implicit diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata “Tiap-tiap 

perikatan untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, jika  

si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya 

dalam kewajibannya memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”. 

  

 

Komponen-komponen ganti rugi adalah: 

1. Biaya, meliputi segala biaya (cost) yang telah dikeluarkan oleh pihak 

yang dirugikan sehubungan dengan kontrak, misalnya akomodasi, biaya 

notaris. 

2. Rugi. Pengertian rugi di sini yaitudalam arti sempit yaitu 

berkurangnya nilai kekayaan dari pihak yang dirugikan sebab  adanya 

wanprestasi dari pihak lainnya. 

3. Bunga, yaitudimaksudkan sebagai kekurangan yang seharusnya 

diperoleh namun tidak jadi diperoleh oleh pihak kreditur sebab  adanya 

wanprestasi debitur. 

  

 

 

Dalam praktek, dikenal lima (5) macam bentuk ganti rugi: 

1. Ganti Rugi (saja); 

2. Pelaksanaan Kontrak Tanpa Ganti Rugi; 

3. Pelaksanaan Kontrak dengan Ganti Rugi; 

4. Pembatalan Kontrak Tanpa Ganti Rugi; 

5. Pembatalan Kontrak dengan Ganti Rugi. 

 

Ada enam (6) macam bentuk ganti rugi  yang dikenal dalam Ilmu Hukum ,yaitu; 

 

1. Ganti Rugi dalam Kontrak, dinyatakan secara tegas di dalam kontrak. 

Hanya dapat dimintakan seperti yang tertulis dalam kontrak ini ; 

tidak boleh melebihi ataupun kurang. 

 

2. Ganti Rugi Ekspektasi: 

 Bentuk penghitungannya yaitudengan ekspektasi atau perkiraan. 

dilakukan dengan menghitung ganti rugi dengan membayangkan 

seolah-olah kontrak jadi dilaksanakan. “Kemungkinan” kehilangan 

keuntungan yang diharapjan yaitu inti dari model ganti rugi 

bentuk ekspektasi. 

 

3. Penggantian Biaya: 

 Ganti rugi bentuk ini yaitu penggantian biaya atau yang dikenal 

dengan istilah out of pocket; Reliance Damages. 

 

 

 Ganti rugi ini yaitu bentuk ganti rugi dengan memperhitungkan 

beberapa biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugkan 

dalam hubungan kontrak ini . Pada model ini, para pihak 

ditempatkan dalam posisi “status quo ante” yaitu seolah-olah kontrak 

belum terjadi.  Biaya-biaya yang diperhitungkan biasanya yaitu

ditunjukkan dengan kuitansi-kuitansi, oleh sebab nya juga dikenal 

dengan Ganti Rugi Kuitansi. 

 

4. Restitusi: 

 Restitusi yaitusuatu nilai tambah/manfaat yang telah diterima oleh 

pihak yang melakukan wanprestasi, dimana nilai tambah ini  

terjadi akibat pelaksanaan prestasi dari pihak lainnya. Nilai tambah 

ini  harus dikembalikan kepada pihak yang dirugikan sebab nya. 

Jika tidak dikembalikan maka pihak ini  dianggap “memperkaya diri 

tanpa hak (unjust enrichment)” – dan terhadap hal ini tidak dapat 

dibenarkan. 

 

5. Quantum Meruit: 

 Bentuk ganti rugi ini mirip dengan ganti rugi restitusi. Bedanya, manfaat 

barang ini  sudah tidak dapat dikembalikan lagi. Misalnya 

disebab kan barang telah habis pakai, barang musnah, berubah wujud 

dan atau sudah dialihkan, sehingga ganti rugi yang diberikan untuk 

pengembaliannya yaitunilai wajar (reasonable value) dari hasil 

pelaksanaan kontrak ini . 

 

 Contoh, dalam Kontrak Kerja: jika pekerja sudah melaksanakan 

pekerjaannya sebanyak 2/3 dari seharusnya dan kontrak diputus oleh 

pemberi kerja, maka pihak pekerja berhak untuk dinilai secara wajar 

dan dibayarkan hasil kerja nya yang telah dilaksanakan ini . 

 

6. Ganti Rugi dengan Pelaksanaan Kontrak: 

 Ganti rugi ini disebut juga dengan specific performance/equitable 

performance/equitable relieve.  

 Jika terjadi wanprestasi dalam kontrak, maka pihak yang dirugikan 

dapat menuntut pemenuhan nya dengan melaksanakan kontrak secara 

utuh tanpa bentuk ganti rugi lainnya.  

 

 

 Dalam hal ini, pihak yang wanprestasi dipaksanakan oleh hukum untuk 

memenuhikontrak ini .  Kontraknya biasanya “khas”. Misal dalam 

perjanjian pembuatan lukisan oleh seorang pelukis tertentu/ternama. 

dalam hal si pelukis wanprestasi maka pihak pembeli, 

“kemungkinannya” tidak mendapatkan hasil lukisan yang serupa dengan 

hasil lukisan dari si pelukis ini  jika dialihkan kontraknya kepada 

pihak lain. Oleh sebab nya, dipandang adil jika si pelukis ini  

dimintakan untuk tetap melaksanakan kontrak dengan menyelesaikan 

lukisan danmenyerahkannya kepada si pemesan. 

 


 

PERJANJIAN SEBAGAI SUMBER  

HUKUM PERIKATAN  

 


A. Istilah dan Defenisi Perjanjian; 

Perjanjian lazim dikenal ataupun disebut sebagai kontrak, yang yaitu 

adopsi dari istilah Inggris “contract”, serta juga dikenal sebagai “agreement” 

atau “overeenkomst” dalam bahasa Belanda. Selain itu, dalam Kitab 

Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian juga dikenal dengan istilah 

“persetujuan”. 

 

Defenisi dari perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi 

“Suatu persetujuan yaitusuatu perbuatan yang terjadi antara satu orang 

atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih”.  

 

Defenisi di atas menurut Mariam Darus Badrulzaman (1994:18) dianggap 

terlalu luas dan tidak lengkap. Terlalu luas sebab  didalamnya juga dianggap 

dapat mencakup hal-hal mengenai janji kawin, yang yaitu perbuatan 

di dalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, namun 

istimewa sifatnya sebab  mendapatkan pengaturan hukum tersendiri. 

Dianggap tidak lengkap, sebab  didalamnya hanya merumuskan perjanjian 

secara sepihak saja. 

 

Black’s Law Dictionary memberikan pengertian perjanjian sebagai “an 

agreement between two or more persons which creates an obligations to do 

or not to do a peculiar things”. 

 

“.. yaitusuatu 

perjanjian atau serangkaian perjanjian dimana hukum Memberikan ganti 

rugi terhadap wanprestasi dari kontrak ini , dan oleh hukum, 

pelaksanaan dan kontrak ini  dianggap yaitu suatu tugas yang 

harus dilaksanakan”. 

 

 

B. Teori-teori Yuridis dan Konseptual tentang Perjanjian; 

Ilmu hukum mengenal beberapa teori tentang perjanjian, yaitu : 1) Teori 

berdasar prestasi kedua belah pihak, 2) Teori berdasar Formasi 

Kontrak, 3) Teori Dasar Klasik, 4) Teori Holmes tentang Tanggung Jawab yang 

berkenaan dengan kontrak, serta 5) Teori Liberal tentang kontrak 

 

1. Teori berdasar prestasi kedua belah pihak yaitudengan melihat 

prestasi dari para pihak yang terlibat dalam kontrak. 

a. Will Theory. 

Disebut juga dengan teori hasrat yang menekankan kepada 

pentingnya hasrat atau “will” atau “intend” dari pihak yang 

memberikan janji.  

Teori ini kurang mendapat tempat, disebab kan bersifat (sangat) 

subjektif , dalam hal mana menurut teori ini yang terpenting dari 

suatu kontrak bukanlah apa yang dilakukan oleh para pihaknya, 

namun apa yang mereka inginkan belaka. Aspek pemenuhan dari 

kontraknya sendiri dianggap sebagai urusan belakangan, sebab  

yang didahulukan yaitukehendaknya. 

b. Equivalent Theori. 

Teori ini mengajarkan bahwa suatu kontrak baru mengikat jika para 

pihaknya telah memberikan prestasi yang seimbang atau sama nilai 

(equivalent). Dalam prakteknya sekarang, teori ini mulai 

ditinggalkan disebab kan banyak kontrak dalam perkembangannya 

dan disebab kan alasan apapun dilakukan dengan prestasi yang 

tidak seimbang antara para pihak. 

c. Bargaining Theory. 

Teori ini yaitu perkembangan dari teori sama nilai. Teori ini 

mengajarkan bahwa suatu kontrak hanya mengikat sejauh apa yang 

telah dinegoisiasikan dan kemudian disetujui oleh para pihak. 

d. Injurious Reliance Theory. 

Disebut dengan teori kepercayaan merugi, bahwa kontrak sudah 

dianggap ada jika dengan kontrak yang bersangkutan sudah 

menimbulkan kepercayaan bagi pihak terhadap siapa janji itu 

diberikan sehingga pihak yang menerima janji ini  sebab  

kepercaaannya itu akan menimbulkan kerugian jika janji itu tidak 

terlaksana 

 

2. Teori berdasar Formasi Kontrak: 

a. Teori Kontrak Defacto (implied in-fact). 

yaitu formasi kontrak yang tidak pernah disebutkan dengan 

tegas namun ada dalam kenyataan serta secara prinsip diterima 

sebagai suatu kontrak. 


 

b. Teori Kontrak Ekspresif. 

 yaitu suatu teori yang sangat kuat berlakunya, bahwa setiap 

kontrak yang dinyatakan dengan tegas (ekspresif) oleh para pihak, 

baik secara lisan maupun tertulis, sejauhmemenuhi ketentuan dan 

syarat-syarat sahnya kontrak. 

 

c. Teori Promissory Estoffel. 

Disebut juga dengan “Detrimental Reliance” yang mengajarkan 

bahwa dianggap ada kesesuaian kehendak di antara para pihak jika 

pihak lawan telah melakukan sesuatu sebagai akibat dari tindakan-

tindakan pihak lainnya yang dianggap yaitu tawaran untuk 

suatu ikatan kontrak. 

 

d. Teori Kontrak Quasi (implied in law). 

Teori ini mengajarkan bahwa dalam hal-hal tertentu, dan jika  

dipenuhi syarat-syarat tertentu, maka hukum dapat menganggap 

adanya kontrak di antara para pihak dengan berbagai 

konsekwensinya. Sungguhpun dalam kenyataannya kontrak 

ini  tidak pernah ada. 

   

3. Teori Dasar Klasik. Teori – teori berikut yaitu teori dasar yang 

dijadikan landasan awal berpijaknya suatu kontrak: 

a. Teori Hasrat; 

Teori ini disebut juga sebagai will theory, yang mendasarkan kepada 

hasrat dari para pihak dalam kontrak ini , ketimbang apa yang 

secara nyata dilakukan. 

 

b. Teori Benda; 

Teori ini menyatakan bahwa suatu kontrak, secara objektif 

keberadaannya yaitudianggap sebagai suatu “benda”, sebelum 

dilaksanakannya pelaksanaan (performance) dari kontrak ini . 

Dengan demikian, kontrak yaitu benda yang dibuat, 

disimpangi atau bahkan dibatalkan oleh para pihak. Teori ini 

perwujudannya yaitudalam bentuk tertulis, sehingga, seolah-olah 

yang menjadi benda yang dinamakan kontrak ini  yaitu

kertas-kertas yang bertuliskan kontrak dan ditandatangani oleh 

masing-masing pihak. 

  

 

c. Teori Pelaksanaan; 

 Teori ini mengajarkan bahwa yang terpenting dari suatu kontrak 

yaitupelaksanaan (enforcement; performance) dari kontrak yang 

bersangkutan. 

 

d. Teori Prinsip Umum; 

Menurut teori ini, suatu kontrak tetap mengacu pada efek general 

(umum) dari suatu konsep kontrak itu sendiri. Maknanya adalah, 

bahwa walaupun ada pengaturan khusus terhadap kontra baik itu 

yang lahir dari suatu undang-undang ataupun kesepakatan para 

pihak sendiri, namun secara umum prinsip-prinsip yang ada tetap 

dipakai. 

 

4. Teori Holmes tentang Tanggung Jawab (Legal Liability) yang berkenaan 

dengan kontrak; 

Teori ini dihasilkan oleh sarjana hukum terkemuka dari Amerika yang 

bernama Holmes. Secara prinsipil, teori ini mengajarkan bahwa: 

a. Tujuan utama dari teori hukum yaituuntuk menyesuaikan hal-hal 

eksternal ke dalam aturan hukum, dan; 

b. Kesalahan-kesalahan moral bukan unsur dari suatu kewajiban. 

 

Teori Holmes tentang kontrak memiliki intisari bahwa: 

a. Peranan moral tidak berlaku untuk kontrak; 

b. Kontrak yaitu suatu cara mengalokasi resiko, yaitu resiko 

wanrestasi; 

c. Yang terpenting bagi suatu kontrak yaitustandar tanggung jawab 

yang eksternal sedang  maksud aktual yang internal yaitutidak 

penting. 

 

5. Teori Liberal tentang kontrak; 

Teori ini mengajarkan bahwa secara prinsipil setiap orang menginginkan 

keamanan. Sehingga, setiap orang harus menghormati oranglain, begitu 

juga menghormati hartanya. Namun demikian, untuk melaksanakan ini 

perlu adanya komitmen diantara para pihak sehingga secara moral, 

komitmen ini harus dilaksanakan. 

 

 

C. Asas-asas dalam Perjanjian; 

Sebagaimana halnya dengan teori-teori dasar dalam aspek hukum 

perjanjian, dalam ilmu hukum juga mengenal beberapa asas hukum terhadap 

suatu kontrak yaitu: 

1. Asas Hukum Perjanjian bersifat mengatur; 

 Hukum bersifat mengatur (aanvullen recht; optional law) berlaku sebagai 

asas dalam perjanjian. Maknanya yaituperaturan-peraturan hukum yang 

berlaku bagi subjek hukum, seperti pengaturan tentang para pihak dalam 

perjanjian. Akan namun ketentuan ini tidaklah berlaku secara mutlak, 

disebab kan para pihak dapat memberikan pengaturan tersendiri 

terhadapnya. Peraturan yang bersifat mengatur ini dapat disimpangi oleh 

para pihak dengan memberikan pengaturan sendiri terhadapnya. 

 

2. Asas Freedom of Contract; 

Asas ini diartikan sebagai asas kebebasan berkontrak yaitu 

konsekwensi dari berlakunya asas kontrak yang bersifat mengatur. Asas ini 

maksudnya yaitumemberikan kebebasan bagi para pihak untuk membuat 

atau untuk tidak membuat perjanjian, serta bebas untuk menentukan isi dari 

perjanjiannya sendiri. Namun demikian asas ini dibatasi dengan  adanya 

rambu-rambu sebagai berikut: 

a.  harus dipenuhinya persyaratan-persayaratan sebagai suatu kontrak; 

b. tidak dilarang oleh undang-undang; 

c. tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku; 

d. harus dilaksanakan dengan itikad baik. 

 

3. Asas Konsensual; 

Asas ini bermakna bahwa dengan telah dibuatnya perjanjian atau dengan 

kata lain dengan telah bersepakatnya para pihak maka, perjanjan ini  

telah sah dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 (1) 

KUH Perdata). 

 

4. Asas Pacta Sunt Servanda 

Pacta sunt servanda diartikan “janji itu mengikat” (Munir Fuady, 1999: 30). 

Asas ini mengajarkan bahwa suatu kontrak yang telah dibuat secara sah 

memiliki kekuatan hukum yang penuh dan berlaku sebagai Undang-

Undang bagi para pihak (Pasal 1338 (2) KUH Perdata). 

 

5. Asas Obligatoir 

 

Asas ini memberikan pengaturan bahwa jika kontrak telah dibuat maka para 

pihak yaituterikat, namun keterikatannya ini  hanyalah sebatas 

timbulnya hak dan kewajiban bagi masing-masing, sedang  pemenuhan 

prestasinya belum dapat dilakukan atau dipaksakan 

disebab kan konrak kebendaannya belum terjadi, dan untuk hal ini disebut 

sebagai perjanjian kebendaan atau yang dikenal dengan istilah  penyerahan 

(levering). 

 

(Catatan: kontrak dalam hukum adat tidak mengenal levering disebab kan 

sifatnya yang riil dan tunai. Maknanya dalam perjanjian dengan berdasar 

hukum adat harus disertai penyerahannya secara langsung oleh para pihak 

dihadapan para tetua adat ataupun pejabat berwenang). 

 

D. Bagian-bagian dari Perjanjian; 

Secara prinsip, para pihak bebas untuk menentukan dan mengatur sendiri isi 

kontraknya sesuai dengan asas kebebasan berkontrak. Bagian-bagian yang ada 

dalam suatu kontrak sendiri dapat diklasifikasikan sebagai berikut 

1. Bagian dari Perjanjian yang Essensialia; 

yaitu bagian utama dari suatu kontrak. Bagian ini harus ada, misalnya 

bagian tentang “harga” pada suatu kontrak Jual Beli; bagian tentang “jenis 

pekerjaan” pada Perjanjian Kerja. 

 

2. Bagian dari Perjanjian yang Naturalia; 

Bagian ini yaitu bagian dari kontrak yang telah diatur oleh aturan 

hukum, namun fungsinya hanya bersifat mengatur saja. 

 

3. Bagian dari Perjanjian yang Accidentalia; 

Bagian ini yaitu bagian dari kntrak yang tidak mendapatkan 

pengaturannya dalam hukum namun diserahkan kepada para pihak untuk 

mengaturnya sesuai dengan asas kebebasan berkontrak (freedom of 

contract).  

 

 

E. Syarat Sah Perjanjian; 

Suatu kontrak dianggap sah dan dapat mengikat para pihak, jika  

memenui syarat-syarat sah yang telah ditentukan. Syarat-syarat ini  

dibedakan sebagai berikut: 

 

 

 

1. Syarat Sah Umum: 

a. berdasar Pasal 1320 KUH Perdata. 

1) Konsensus disebut juga kesepakatan kehendak; 

2) Cakap atau wenang berbuat; 

3) Perihal Tertentu; 

4) Causa Halal. 

  

KUH Perdata juga memberikan pengaturan umum atas syarat sah 

perjanjian selain yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu : 

 

b. berdasar Pasal 1338-1339 KUH Perdata. 

1) Syarat Itikad Baik; 

2) Syarat sesuai dengan kebiasaan; 

3) Syarat sesuai dengan kepatutan; 

4) Syarat sesuai dengan kepentingan umum. 

 

Syarat sah umum berdasar Pasal 1320 KUH Perdata ini dibagi atas syarat 

sah subjektif dan syarat sah objektif. 

Syarat sah subjektif yaitumemenuhi unsur adanya konsensus atau 

kesepakatan para pihak. Maknanya, saat  kesepakatan telah dicapai oleh 

para pihak maka di antara para pihak telah tercapai kesesuaian pendapat 

tentang hal-hal yangmenjadi pokok perjanjiannya. Kesepakatan yang telah 

tercapai ini juga tidak boleh diakibatkan oleh adanya paksaan, penipuan 

maupu kesilapan dari para pihak. 

 

Selain itu, unsur yang harus dipenuhi dalam syarat sah subjektif yaitu

adanya kecakapan atau wenang berbuat oleh para pihak. Kewenangan 

berbuat ini oleh hukum dianggap sah jika  perjanjian yang dilakukan oleh 

orang-orang ataupun subjek yang memenuhi ketentuan sebagai berikut: 

(a) Orang yang sudah dewasa. 

(b) Orang yang tidak ditempatkan di bawah pengampuan. 

(c) Orang yang tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan 

perbuatan tertentu. Seperti, kontrak jual beli yang dilakukan oleh suami 

istri.   

 

Tidak dipenuhinya salah satu dari syarat subjektif dalam perjanjian akan 

mengakibatkan timbulnya konsekwensi yuridis bahwa perjanjian ini  

23 

 

“dapat dibatalkan” atau dalam bahasa lain voidable, vernietigebaar. 

Pembatalan ini dapat dilakukan oleh pihak yang berkepentingan. Seandainya 

tidak dibatalkan maka, kontrak ini  dapat dilaksanakan seperti suatu 

kontrak yang sah. 

 

Syarat sah objektif berdasar Pasal 1320 KUH Perdata terdiri dari perihal 

tertentu dan kausa halal atau kausa yang diperbolehkan. Perihal tertentu 

maksudnya yaitubahwa yang menjadi objek dalam suatu perjanjian 

haruslah berkaitan dengan hal tertentu, jelas dan dibenarkan oleh hukum. 

 

Syarat kausa yang halal atau yang diperbolehkan maksudnya yaitubahwa 

kontrak ini  tidak boleh dibuat untuk melakukan hal-hal yang 

bertentangan dengan hukum. 

 

Konsekwensi yuridis yang timbul dari tidak dipenuhinya salah satu syarat 

objektif ini akan mengakibatkan kontrak ini  “tidak sah” atau “batal 

demi hukum” (null and void). 

 

2. Syarat Sah Khusus 

a. syarat tertulis untuk kontrak tertentu; 

b. syarat akta notaris untuk kontrak tertentu; 

c. syarat akta pejabat untuk kontrak tertentu; 

d. syarat izin dari yang berwenang. 

 

F. Konsekuensi Yuridis Perjanjian; 

Konsekwensi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih dari 

syarat-syarat sahnya kntrak yaitubermacam-macam  tergantung pada 

syarat mana yang tidak dipenuhi. Konsekwensi yuridis perjanjian sendiri 

berbentuk : 

1. Batal Demi Hukum (dikenal dengan istilah nietig, null dan void); 

Kondisi ini terjadi jika  dilanggarnya syarat objektif dalam Pasal 

1320 KUH Perdata yaitu perihal tertentu dan kausa yang halal. 

2. Dapat Dibatalkan (vernetigbaar, voidable); 

Terjadi jika  syarat subjektif yang diatur dalam Pasal 1320 KUH 

Perdata tentang kesepakatan kehendak dan kecakapan berbuat tidak 

dipenuhi. 

3. Perjanjian Tidak Dapat Dilaksanakan (Unenfoeceable); 

 

 

Perjanjian ini tidak otomatis batal sebagaimana halnya dengan nietig, 

sebab  pada dasarnya kontrak ini masih dapat dilanjutkan, sepanjang 

dipenuhinya syarat tertentu. sesudah dipenuhi syarat ini, maka kontrak 

dapat dilaksanakan. Misalnya, dalam kontrak yang mensyaratkan 

dibuat secara tertulis, namun para pihak hanya mengikatnya secara 

lisan. sesudah dibuatnya secara tertulis maka kontrak ini dapat 

dilaksanakan. 

4.      Sanksi Administratif. 

 Konsekwensi sanksi administratif ini timbul jika  tidak dipenuhinya 

syarat-syarat seperti perijinan atau pelaporan kepada instansi terkait. 

 



UNDANG – UNDANG  

SEBAGAI SUMBER PERIKATAN 

 

 

A. Pendahuluan : Perikatan yang Lahir sebab  Undang-undang. 

 Ketentuan tentang perikatan yang dilahirkan dari undang-undang diatur 

dalam Buku Ketiga Bab III KUH Perdata, dalam Pasal 1352 sampai dengan 

Pasal 1380.selain juga mendasarkan pada ketentuan Pasal 1233 KUH 

Perdata yang  menyatakan, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik sebab  

persetujuan, baik sebab  undang-undang”.  

 

 Hal ini bermakna bahwa hubungan hukum yang terjadi dalam lapangan 

harta kekayaan dapat terjadi setiap saat, baik itu disebab kan kehendak dari 

para pihak, maupun tanpa dikehendaki oleh para pihak disebab kan, suatu 

peristiwa, hubungan antara para pihak maupun suatu keadaan dapat 

berubah menjadi hubungan hukum, baik dikehendaki ataupun tidak 

dikehendaki oleh para pihak, dan oleh undang-undang hubungan/keadaan 

ataupun peristiwa ini  diberikan kewajiban atau prestasi untuk 

dipenuhi. 

 

 Perikatan yang lahir dari undang-undang secara prinsipil berbeda dengan 

perikatan yang lahir sebab  perjanjian. Ketentuan tentangnya diatur dalam 

Bab III Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan-

perikatan yang dilahirkan demi Undang-undang. 

 

 Ketentuan awal tentang perikatan yang lahir dari undang-undang dimulai 

pada Pasal 1352 yang menyatakan, ”Perikatan-perikatan yang dilahirkan 

demi undang-undang timbul dari undang-undang saja atau dari undang-

undang sebagai akibat perbuatan orang”.  

 

 Selanjutnya, dalam Pasal 1353 dinyatakan bahwa ”Perikatan-perikatan yang 

dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari 

perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum”. 

 

 Untuk memahami keberadaan hukum perikatan khususnya yang lahir sebab  

undang-undang beserta penjabarannya dapat dimulai dengan memahami 

skematika berikut: 

 


Perikatan yang lahir dari (semata-mata) undang-undang, termasuk di 

dalamnya peristiwa hukum seperti kematian seseorang yang melahirkan 

kewajiban bagi ahli warisnya untuk memenuhi kewajiban pihak yang 

meninggal (pewaris) kepada para kreditornya, atau contoh lain dapat 

disampaikan, yaituadanya keadaan hukum seperti Putusan atas Kepailitan. 

Pernyataan pailit akan melahirkan keadaan dimana pihak yang dinyatakan 

Perikatan 

Lahir sebab  Undang-Undang 

Semata-mata (sebab ) Undang-

Undang 

sebab  Perbuatan 

Manusia 

Lahir sebab  Perjanjian 

Pengurusan Kepentingan 

Orang lain 

(Zaakwaarneming) 

Pembayaran 

Tak Terutang 

Perikatan Wajar 

(Natuurlijke 

Verbintennissen) 

Perbuatan (yang) halal/ 

Tidak Melanggar Hukum Perbuatan Melawan 

Hukum 

 

 

pailit kehilangan hak untuk mengurus harta kekayaannya yang termasuk 

harta pailit, dan harta ini  akan disita untuk kepentingan umum dan 

akan dipergunakan untuk melunasi seluruh kewajibannya kepada para 

kreditor sesuai dengan ketentuan. 

 

Selain contoh sebagaimana ini  di atas, suatu perikatan yang lahir 

semata-mata sebab  undang-undang juga mengatur tentang kewajiban 

orang tua untuk memberikan perlindungan bagi anak sejak dilahirkannya, 

termasuk merawat, mendidik dan memberikan penghidupan yang layak, 

sebagaimana diatur dalam Pasal 104 KUH Perdata yang berbunyi : ”suami 

dan istri dengan mengikatkan diri dalam suatu perkawinan, dan hanya 

sebab  itupun, terikatlah mereka dalam suatu perjanjian bertimbal balik, 

akan memelihara dan mendidik sekalian anak mereka”. 

 

Pasal 625 KUH Perdata juga memberikan pengaturan tentang Perikatan yang 

lahir (semata-mata) sebab  undang-undang. Pasal 625 berbunyi : ”antara 

pemilik-pemilik pekarangan yang satu sama lain bertetanggaan, yaitu

berlaku beberapa hak dan kewajiban, baik yang berpangkal pada letak 

pekarangan mereka sebab  alam, maupun yang berdasar sebab  Undang-

undang”. 

 

B. Perikatan yang Lahir sebab  Undang-undang Sebagai Akibat Perbuatan 

Manusia yang Halal (Tidak Melanggar Hukum) 

 

1. Pengurusan Kepentingan Orang Lain tanpa Perintah 

(Zaakwarneming) 

Ketentuan selanjutnya yang memberikan pengaturan tentang 

Perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang yaitutentang 

Pengurusan Kepentingan Orang Lain tanpa Perintah  atau yang dikenal 

dengan istilah Zaakwarneming. 

 

Zaakwarneeming diatur dalam Pasal 1354 sampai dengan 1358 KUH 

Perdata. 

Pasal 1354 KUH Perdata menyatakan: 

“Jika seorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah 

untuk itu, mewakili urusan orang lain, dengan atau tanpa 

pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikat dirinya 

untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan ini , hingga 

 

 

orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri 

urusan itu, 

Ia harus memikul segala kewajiban yang harus dipikulnya, 

seandainya ia dikuasakan dengan suatu pemberian kuasa yang 

dinyatakan dengan tegas”. 

 

berdasar rumusan pasal di atas maka pemahaman terhadap 

zaakwaarneeming dapat ditelaah dengan melihat unsur-unsurnya 

yaitu: 

a. bahwa zaakwaarneming yaitusuatu perbuatan hukum berupa 

pengurusan kepentingan pihak atau orang lain; 

 Pada unsur pertama ini perlu diperhatikan bahwa zaakwaarneming 

yaitu suatu perbuatan hukum, yaitu sesuatu yang dilakukan 

dengan memberikan atau membawa akibat dalam lapangan hukum 

harta kekayaan. 

 

 Selain itu, yang perlu juga diperhatikan yaitubahwa 

zaakwaarneming berhubungan dengan kepentingan pihak atau 

orang lain, sehingga pelaksanaan dari pengurusan tersebt haruslah 

sejalan dan sesuai dengan “hasil akhir” dari pengurusan yang 

dikehendaki atau memang diharapkan oleh dominus atau orang yang 

diurus kepentingannya ini . 

 

 Pasal 1357 KUH Perdata menyatakan bahwa “Pihak-pihak yang 

kepentingan-kepentingannya diwakili oleh seorang lain dengan 

baik,diwajibkan memenuhi perikatan-perikatan, yang diperbuat 

oleh wakil itu atas namanya, memberikan ganti rugi kepada wakil 

itu tentang segala perikatan yang secara perseorangan dibuatnya, 

dan mengganti segala pengeluaran yang berfaedah atau perlu”. 

 Maknanya, pasal ini telah dengan tegas menyatakan jika 

kepentingan ini  telah dilaksanakan dengan baik, maka dominus 

berkewajiban untuk mengganti segala pengeluaran yang dikeluarkan 

oleh gestor. 

 

 Di samping itu, ketentuan Pasal 1356 ayat (1) menyatakan bahwa: 

“Ia diwajibkan dalam hal melakukan pengurusan ini , 

memenuhi kewajiban-kewajiban seorang bapak rumah yang baik”. 

Maknanya yaituseorang gestor ini  harus memelihara, 

 

 

merawat, mempergunakan serta memperlakukan suatu kebendaan 

yang bukan miliknya seolah-olah kebendaan ini  yaitu

miliknya. 

 

 

b. bahwa zaakwaarneming dilakukan dengan sukarela oleh gestor; 

 Pernyataan sukarela di sini dimaksudkan bahwa pekerjaan 

pengurusan ”kepentingan” dominus oleh gestor dilakukan tanpa 

maksud atau tujuan tertentu dalam lapangan harta kekayaan. 

 

 Dasar hukumnya dari ketentuan ini dapat dilihat pada Pasal 1358 

yang menyatakan:”Pihak yang telah mewakili urusan orang lain 

dengan tiada mendapat perintah, tidak berhak atas sesuatu upah”. 

 Maknanya, ketentuan pasal ini menegaskan bahwa gestor tidak 

diberikan hak untuk menuntut adanya suatu pembayaran atas 

pengurusan kepentingan dominus yang telah dilakukannya. 

 

c. bahwa zaakwaarneming dilakukan tanpa adanya perintah (kuasa 

atau kewenangan) yang diberikan oleh pihak yang kepentingannya 

diurus; 

 unsur ketiga dari zaakwarneming ini, yaitu zaakwaarneming 

dilakukan tanpa adanya perintah (kuasa atau kewenangan) yang 

diberikan oleh pihak yang kepentingannya diurus untuk 

membedakan dengan dengan perbuatan hukum ”Pemberian Kuasa” 

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1792 KUH Perdata.  

 

 Dalam pemberian kuasa, si penerima kuasa harus memikul segala 

kewajiban yang harus dipikulnya dengan adanya suatu pemberian 

kuasa dan dinyatakan dengan tegas. (Lihat lebih lanjut ketentuan 

Pasal 1354 ayat (2) KUH Perdata). 

 

d. bahwa zaakwaarneming dilakukan dengan atau tanpa 

sepengetahuan dari orang yang kepentingannya diurus; 

 masih sejalan dengan pengertian dari unsur ketiga, bahwa 

zaakwaarneming berbeda dengan Pemberian Kuasa (Lastgeving) 

disebab  dalam pemberian kuasa harus dinyatakan dengan tegas, 

sedang  zaakwaarneming dilakukan oleh gestor tanpa perintah 

 

 

dari dominus serta zaakwaarneming dilakukan dengan atau tanpa 

sepengetahuan dari dominus.  

 

 Walaupun demikian, tidaklah berarti pada saat gestor melaksanakan 

kepentingan dominus, dominus mutlak tidak mengetahuinya. Dapat 

saja terjadi, bahwa seorang dominus pada saat gestor hendak 

melakukan kepentingan dominus, telah diketahui oleh gestor dan 

gestor telah mendapat persetujuannya.  

 

 Walaupun demikian, penawaran untuk melakukan pengurusan 

kepentingan tidak pernah lahir dari dominus. 

 

e. bahwa pihak yang melakukan pengurusan (gestor) dengan 

dilakukannya pengurusan berkewajiban untuk menyelesaikan 

pengurusan ini  hingga selesai atau pihak yang diurus 

kepentingannya ini  (dominus) dapat mengerjakan sendiri 

kepentingannya ini .  

 Hal ini yaitu unsur terakhir dari zaakwaarneming yang 

menunjukkan tentang pertanggung jawaban perdata dari suatu 

bentuk pengurusan yang telah dimulai oleh gestor.  

 

 Seorang yang telah mengikatkan dirinya untuk mengurus 

kepentingan orang lain (dominus) diwajibkan untuk menyelesaikan 

pengurusan ini , kecuali dalam hal dominus telah dapat 

mengerjakan sendiri pengurusan ini  dan telah mengambil oper 

pengurusan yang telah dikerjakan oleh gestor ini . 

 

 

Sebagai suatu perikatan, zaakwaarneming berakhir dalam hal: 

a) Diselesaikannya pengurusan kepentingan dominus yang telah 

dilaksanakan oleh gestor; 

b) Diserahkannya pekerjaan pengurusan kepentingan dominus yang telah 

dilaksanakan namun belum selesai kepada dominus (atau ahli warisnya 

dalam hal dominus telah meninggal), yang disertai dengan laporan dan 

perhitungan mengenai perikatan yang telah dibuat atau dilaksanakan 

serta biaya-biaya yang telah dikeluarkan yang perlu dan berfaedah bagi 

pengurusan kepentingan dominus yang baik. 

  

 

2. Pembayaran Tak Terutang. 

Pembayaran tak terutang yaitu salah satu perikatan yang lahir akibat 

perbuatan manusia yang halal atau tidak bertentangan dengan hukum, 

kesusilaan dan ketertiban umum. 

 

Dasar hukum pengaturannya dapat kita lihat pada ketentuan Pasal 1359 

KUH Perdata sampai Pasal 1365 KUH Perdata.  

Pasal 1359 KUH Perdata menyatakan bahwa: ”Tiap-tiap pembayaran 

memperkirakan adanya suatu utang; apa yang telah dibayarkan dengan 

tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali. Terhadap perikatan-perikatan 

bebas, yang secara sukarela telah dipenuhi, tak dapat dilakukan 

penuntutan kembali”. 

 

 berdasar rumusan Pasal 1359 ini dapat diketahui bahwa yang dimaksud 

dengan pembayaran yang tidak terutang yaitusuatu pembayaran yang 

dilakukan oleh seseorang atau pihak tertentu kepada seseorang lain atau 

pihak tertentu lainnya, yang didasarkan pada suatu asumsi atau anggapan 

bahwa orang atau pihak yang disebut pertama sekali ini  (yang 

membayar), memiliki utang atau kewajiban atau prestasi atau perikatan 

yang harus dipenuhi olehnya kepada orang lain atau pihak yang disebutkan 

belakangan ini, meskipun sesungguhnya utang atau kewajiban atau prestasi 

atau perikatan mana pada dasarnya tidak pernah ada sejak awal, ataupun 

sebab  suatu sebab tertentu telah hapus, sehingga sesungguhnya utang atau 

kewajiban atau prestasi atau perikatan ini  sudah tidak ada lagi. 

 

 Penjabaran lebih lanjut tentang Ketentuan Pasal 1359 dapat dilihat pada 

Pasal 1360 dan 1361 KUH Perdata. 

 Pasal 1360 KUH Perdata menyatakan, ”Barang siapa secara khilaf atau 

dengan mengetahuinya, telah menerima sesuatu yang tak harus 

dibayarkan padanya, diwajibkan mengembalikan barang yang tak harus 

dibayarkan itu kepada orang dari siapa ia telah menerimanya”. 

 

 sedang  ketentuan Pasal 1361 KUH Perdata menyatakan bahwa ”Jika 

seorang yang secara khilaf mengira bahwa ia berutang membayar suatu 

utang, maka ia yaituberhak menuntut kembali dari kreditor apa yang 

telah dibayarkannya”. 

  

 

 Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa pembayaran tak terutang dapat 

berbentuk: 

a) sebab  kesalahan pihak pembayar; 

b) sebab  kesalahan pihak yang dibayar; 

c) sebab  kesalahan objek pembayaran. 

 

 

3. Perikatan Wajar/alamiah  (Natuurlijke Verbintennis) 

Suatu perikatan baik yang dibuat sebab  adanya kesepakatan kehendak dari 

para pihak maupun semata-mata disebab kan adanya pengaturan dalam 

perundang-undangan, akan membawa kewajiban pemenuhan serta 

tanggung jawab atas prestasi. Hal mana pemenuhan prestasi ini dikenal 

dengan istilah schuld, yang disandingkan dengan haftung, yaitu kewajiban 

debitur untuk menyerahkan segala kebendaannya (bergerak maupun tidak 

bergerak) untuk dijadikan tanggungan atas pelunasan utangnya (lihat lebih 

lanjut ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata). 

 

Berkaitan dengan perikatan wajar sendiri oleh Gunawan Widjaya dan 

Kartini Muljadi dalam bukunya Perikatan yang Lahir dari Undang-undang 

(2003: 51-52), disebut sebagai suatu perikatan yang prestasinya ada pada 

pihak debitor namun tidak dapat dituntut pelaksanaannya oleh kreditor, 

yang jika kita kaitkan atau hubungkan dengan penjelasan di atas terhadap 

kedua unsur perikatan yaitu schuld dan haftung, maka dapat dikatakan 

bahwa yang dimaksud dengan perikatan wajar alamiah yaituperikatan 

yang memiliki unsur schuld pada sisi debitur namun tidak memiliki unsur 

haftung pada sisi kreditur  

 

Ketentuan Pasal 1359 ayat (2) KUH Perdata memberikan pengaturan atas 

Perikatan Wajar/alamiah yang berbunyi: 

”Terhadap perikatan-perikatan bebas (natuurlijke verbintennis), yang 

secara sukarela telah dipenuhi, tidak dapat dilakukan penuntutan 

kembali”. 

 

Dapat dikatakan juga bahwa pemenuhan terhadap suatu perikatan oleh 

seorang debitor dalam suatu perjanjian yang tidak memiliki causa yang 

halal yaitupemenuhan terhadap suatu perikatan wajar/alamiah, dan 

terhadap pemenuhan ini  debitur tidak dapat menuntut kembali. Hal 

ini berarti, dalam suatu perikatan wajar, syarat sah objektif nya yang 

 

 

berupa adanya suatu causa yang halal dalam suatu perjanjian telah tidak 

dipenuhi, dan saat  pihak debitur memenuhi perikatan ini  maka 

perikatan tadi disebut perikatan wajar/alamiah dan si debitur tidak 

diperkenankan untuk menuntut kembali atas pemenuhan perikatan 

ini . 

 

 

C. Perbuatan Melawan Hukum. 

Memperhatikan skematika yang telah disajikan pada halaman sebelumnya, 

maka dapat kita ketahui bahwa suatu Perbuatan Melawan Hukum yang 

diistilahkan sebagai Onrechtmatigee Daad yaituyaitu suatu bentuk 

perikatan yang lahir dari Undang-undang disebabkan oleh perbuatan 

manusia yang melanggar hukum. 

 

Pengaturan tentang Perbuatan Melawan Hukum ada  dalam Pasal 1365 

dan 1366 KUH Perdata yang selengkapnya berbunyi: 

Pasal 1365 : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian 

kepada seorang lain, mewajibkan orang yang sebab  salahnya 

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian ini ”. 

Selanjutnya, Pasal 1366 menyatakan: “Setiap orang bertanggung-jawab 

tidak saja untuk kerugian yang disebabkan sebab  perbuatannya sendiri, 

namun juga untuk kerugian yang disebabkan sebab  kelalaian atau 

kekurang hati-hatian”. 

 

Gunawan Widjaya dan Kartini Muljadi (2003: 82) berusaha menarik unsur 

dari suatu Perbuatan Melawan Hukum, sebagai berikut: 

1. adanya suatu perbuatan melawan hukum; 

2. yang mana perbuatan ini  menyebabkan timbulnya kerugian bagi 

orang lain; 

3. adanya kesalahan maupun kelalaian dan kekurang hati-hatian dalam 

perbuatan melawan hukum ini . 

 

Ketentuan yang mengatur tentang Perbuatan Melawan Hukum sebagai 

suatu perikatan ini dapat kita telaah dari pasal–pasal berikut yang satu 

dengan lainnya memiliki korelasi yaitu, Pasal 1233, Pasal 1352, Pasal 

1353 dan Pasal 1234 KUH Perdata. (Lihat dan pelajari lebih lanjut ketentuan-

ketentuan ini ). 

  

 

Memperhatikan rumusan yang tercantum dalam Pasal 1365 KUH Perdata 

ini  maka dapat dijabarkan bahwa suatu perbuatan melawan hukum 

yaitusuatu perikatan yang prestasinya berbentuk tidak berbuat sesuatu, 

dan disebab kan dengan melakukan tindakan ini  saja maka telah 

dianggap salah di mata hukum. Lebih lanjut, jika  perbuatan yang dilarang 

ini  telah dilakukan dan mengakibatkan timbulnya kerugian atas orang 

lain, maka bagi yang melakukan diwajibkan untuk memberikan ganti rugi.  

Selain juga bahwa suatu perbuatan melawan hukum dapat terjadi tidak 

hanya dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang namun juga, jika  

suatu perbuatan ini  dilakukan dengan tidak hati-hati ataupun adanya 

kelalaian. 

 

Selain dua pasal ini  di atas yaitu Pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata 

yang memberikan pengaturan umum tentang Perbuatan Melawan Hukum, 

ketentuan lebih lanjut sampai dengan Pasal 1380 memberikan penjabaran 

tentang Perbuatan Melawan Hukum. 

 

Perbuatan Melawan Hukum dalam arti luas sebagaimana juga yang 

dijabarkan dalam Pasal 1236, 1239, 1240 dan 1242 KUH Perdata yaitu

meliputi segala bentuk wanprestasi terhadap setiap bentuk perikatan atau 

kewajiban yang dibebankan dalam setiap ketentuan perundang-undangan 

yang berlaku. 

 

Penting juga untuk dicatat bahwa kata hukum dalam konteks Perbuatan 

Melawan Hukum tidak haya menjabarkan suatu ketentuan perundang-

undangan yang tertulis namun juga pada suatu kepatutan dan kesusilaan. 

 

Telah disampaikan sebelumnya bahwa suatu Perbuatan Melawan Hukum 

yaituyaitu suatu perikatan yang lahir sebab  undang-undang 

sebagai akibat perbuatan manusia akan melahirkan kewajuban dalam 

lapangan harta kekayaan. Kewajiban sebagaimana dimaksud di atas yaitu

dalam rangka pemenuhan atas kerugian yang timbul  dan diderita oleh 

orang/pihak yang terkena Perbuatan Melawan Hukum ini .  

 

Berkaitan dengan kerugian ini, Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa 

”Segala kebendaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, 

baik yang sudah ada maupun yang akan baru ada di kemudian hari, 

menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Maknanya, 

 

 

bahwa suatu perbuatan melawan hukum pun akan melahirkan kewajiban 

untuk memberikan penggantian, apakah dalam bentuk biaya, rugi maupun 

bunga. 

 

 


 

HAPUSNYA/ BERAKHIRNYA 

PERIKATAN 

 

Telah diketahui bahwa perikatan dapat bersumber dari undang-undang 

maupun dari perjanjian yang dibuat  oleh para pihak berdasar asas 

kebebasan berkontrak. Perikatan yang telah dibuat oleh para pihak yaitu

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka, maknanya keberadaan 

perikatan ini  yaitutelah melahirkan kewajiban bagi para pihak di 

dalam lapangan harta kekayaan. 

 

berdasar Pasal 1234 KUH Perdata, prestasi atau kewajiban para pihak 

dapat berbentuk 1) untuk memberikan sesuatu, 2) untuk berbuat sesuatu 

atau 3) untuk tidak berbuat sesuatu. Istilah prestasi ini juga kerap 

disandingkan dengan istilah wanprestasi yang dimaknai sebagai tidak 

dipenuhinya prestasi/kewajiban dari salah satu atau kedua belah pihak 

yang akhirnya akan melahirkan konsekwensi yuridis untuk dapat 

dituntutnya ganti rugi oleh pihak yang dirugikan. 

 

Ketentuan Pasal 1236, 1239 serta 1240 dapat dijadikan landasan yang 

memberikan pengaturan mengenai arti penting dari prestasi ataupun 

pemenuhan dari suatu kewajiban. berdasar pasal-pasal ini , 

ketidakpemenuhan prestasi dapat terwujud dalam bentuk penggantian 

biaya, kerugian serta bunga. 

 

B. Hapusnya/Berakhirnya Perikatan 

Rumusan Pasal 1381 KUH Perdata mengatur sepuluh (10) cara 

hapusnya/berakhirnya perikatan, yaitu: 1) sebab  pembayaran, 2) sebab  

penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, 

3) sebab  pembaharuan utang, 4) sebab  perjumpaan utang atau 

kompensasi, 5) sebab  percampuran utang, 6) sebab  pembebasan utang, 

7) sebab  musnahnya barang yang terutang, 8) sebab  kebatalan atau 

pembatalan, 9) sebab  berlakunya suatu syarat batal dan 10) sebab  lewat 

waktu, sebagaimana yang diatur dalam buku keempat KUH Perdata. 

 

Kesepuluh sebab hapusnya perikatan ini  secara umum dapat 

dikelompokkan kepada lima (5) hal. Berikut akan disampaikan pemaparan 

masing-masing sebab hapusnya perikatan: 


1. Pemenuhan Perikatan. 

 a.  Pembayaran. 

Pemenuhan perikatan dengan dilakukannya pembayaran diatur dalam 

Pasal 1382 KUH Perdata. Yang dimaksudkan dengan  pembayaran oleh 

hukum perikatan yaitusetiap tindakan pemenuhan prestasi, walau 

bagaimanapun bentuk dan sifat dari prestasi ini . Dengan 

terjadinya pembayaran ini maka terlaksanalah perjanjian di antara 

kedua belah pihak. 

 

Ketentuan Pasal 1382 KUH Perdata menyatakan, ”Tiap perikatan 

dapat dipenuhi oleh siapa saja yang berkepentingan, sepertinya 

seorang yang turut berutang atau seorang penanggung utang. Suatu 

perikatan bahkan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga, 

yang tidak memiliki kepentingan, asal saja orang pihak ketiga itu 

bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si berutang, atau 

jika ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan 

hak-hak si berpiutang”. 

 

berdasar Pasal ini  di atas, yang memiliki kewajiban untuk 

melaksanakan pembayaran yaitudebitur, namun demikian selain 

debitur ada juga pihak-pihak lain yang dapat melakukan pembayaran 

yaitu : 

 

1)  Dia yaituseorang yang turut berutang; 

 Pemenuhan perikatan oleh seorang turut berutang menghapuskan 

perikatan yang ada antara debitor dengan kreditor, dengan 

pengertian bahwa dengan dipenuhinya kewajiban debitor oleh 

seorang yang turut berutang, debitor dibebaskan dari 

kewajibannya untuk melakukan kewajiban yang sama berdasar 

pada perikatan yang sama. 

 

 Ketentuan ini yaitu penjabaran dari Pasal 1280 KUH Perdata 

yang menyatakan ”Di pihak debitor terjadi suatu perikatan 

tanggung menanggung, manakala mereka semua wajib 


melaksanakan satu hal yang sama, sedemikian rupa sehinga salah 

satu dapat dituntut untuk seluruhnya, dan pelunasan oleh salah 

satu dapat membebaskan debitor lainnya terhadap kreditor”. 

 

 

2)  Seorang penanggung utang; 

Ketentuan mengenai penanggungan utang dapat dilihat pada Pasal 

1820 KUH Perdata yang menyatakan ”Penanggungan yaitusuatu 

persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna 

kepentingan pihak kreditor, mengikatkan diri untuk memenuhi 

perikatannya debitor manakala orang ini sendiri tidak 

memenuhinya”. 

 

berdasar pasal ini  di atas, maka dapat diketahui bahwa 

suatu penanggungan utang yaitudiberikan secara sukarela atas 

kehendak dari penanggung secara pribadi. Selain itu, pelunasan 

utang debitor kepada kreditor oleh seorang penanggung utang ini 

yaitudalam kondisi sesudah ternyata bahwa benda-benda debitor 

yang menjadi jaminan pelunasan utangnya debitor (haftung) tidak 

mencukupi untuk melunasi hutangnya kepada kreditor. 

 

Ketentuan penting lainnya tentang penanggungan utang ini dapat 

dilihat pada Pasal 1839 KUH Perdata, yang berbunyi: ”Penanggung 

yang telah membayar, dapat menuntutnya kembali dari debitor 

utama, baik penanggungan itu telah diadakan dengan maupun 

tanpa pengetahuan debitor utama. Penuntutan kembali ini 

dilakukan baik mengenai uangnya pokok maupun mengenai 

bunga serta biaya-biaya. Mengenai biaya-biaya ini , 

penanggung hanya dapat menuntutnya kembali, sekedar ia telah 

memberitahukan kepada debitor utama tentang tuntutan-

tuntutan yang ditujukan kepadanya, di dalam waktu yang patut. 

Penanggung ada juga memiliki hak menuntut penggantian 

biaya, rugi dan bunga, jika ada alasan untuk itu”. 

 

Selanjutnya dalam Pasal 1840 KUH Perdata disebutkan bahwa 

”Penanggung yang telah membayar menggantikan demi hukum 

segala hak kreditor terhadap debitor”. Maknanya debitor yang 

kewajibannya kepada kreditor telah dipenuhi oleh penanggung 

 

 

tidak pernah lepas dari kewajibannya untuk memenuhi 

kewajibannya semula. 

 

Seorang penanggung yang telah membayarkan utangnya debitor 

kepada kreditor, dapat menuntut kembali dari debitor ini , 

dengan tidak memperhatikan apakah penanggungan itu telah 

diadakan dengan maupun tanpa sepengetahuan debitor ini . 

Penuntutan ini dapat atas utang pokok yang telah dibayarkan 

maupun atas bunga serta biaya-biaya yang telah dikeluarkan. 

 

3)  Seorang pihak ketiga yang tidak memiliki kepentingan, asal 

saja orang pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk 

kepentingan melunasi hutangnya debitur, atau pihak ketiga 

ini  bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak 

menggantikan hak-hak kreditur. 

 

 Penggantian oleh seorang pihak ketiga ini diatur dalam Pasal 1400 

KUH Perdata yang berbunyi: 

 ”Subrogasi atau penggantian hak-hak kreditor kepada seorang 

pihak ketiga yang membayar kepada kreditor, dapat terjadi baik 

sebab  persetujuan maupun demi undang-undang”. 

 

 berdasar rumusan ini dapat diketahui bahwa: 

(a) Pelunasan utang debitor terhadap kreditor demi hukum 

dapat dilakukan oleh pihak ketiga; 

(b) Penggantian ini dapat terjadi, baik disebab  undang-undang 

maupun disebab kan adanya perjanjian yang dibuat oleh para 

pihak. 

 

Penggantian oleh pihak ketiga ini dapat terjadi disebab kan adanya 

kepentingan dari pihak ketiga ini  ataupun terjadi oleh 

seorang pihak ketiga yang tidak memiliki kepentingan. 

 

Pasal 1382 ayat (2) KUH Perdata memungkinkan hapusnya 

perikatan disebab kan pembayaran yang dilakukan oleh pihak 

ketiga yang tidak berkepentingan dengan syarat bahwa: 

(a) pihak ketiga ini  haruslah bertindak untuk dan atas nama 

debitor dan untuk melunasi utang debitor; atau 

 

 

(b) dalam hal pihak ketiga ini  bertindak untuk dan atas 

namanya sendiri, maka ia harus menegaskan bahwa 

pembayaran atau pelunasan yang dilakukan oleh nya ini  

tidak dengan tujuan untuk menggantikan hak-hak kreditor. 

   

b. Penawaran Pembayaran Tunai yang Diikuti oleh Penyimpanan atau  

Penitipan. 

 Alasan kedua yang menghapuskan perikatan yaitudilakukannya 

pembayaran tunai dengan diikuti oleh penyimpanan atau penitipan. 

Ketentuan terhadap nya dapat kita lihat pada Pasal 1404 sampai dengan 

1412 KUH Perdata. 

 

Sebagai catatan awal perlu disampaikan, bahwa dalam penawaran 

pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, 

hanya berlaku untuk perikatan yang memiliki prestasi untuk 

menyerahkan atau memberikan sesuatu yang berupa benda bergerak. 

 

 Ketentuan Pasal 1404 KUH Perdata menyatakan bahwa, ”Jika si 

berpiutang menolak pembayaran, maka si berutang dapat melakukan 

penawaran pembayaran tunai apa yang diutangnya, dan jika si 

berpiutang menolaknya, menitipkan uang atau barangnya kepada 

Pengadilan. 

Penawaran yang demikian diikuti dengan penitipan, membebaskan 

debitor dan berlaku baginya sebagai pembayaran asal penawaran itu 

telah dilakukan menurut undang-undang sedang  apa yang 

dititipkan secara itu tetap atas tanggungan kreditor”. 

 

Ketentuan Pasal 1404 KUH Perdata ini bertujuan untuk memberikan 

perlindungan bagi seorang debitor yang beritikad baik, dalam hal mana 

ia bermaksud untuk melakukan pembayaran sesuai dengan 

kewajibannya. 

 

Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau 

penitipan ini untuk dapat sahnya dilakukan, harus memenuhi 

persyaratan-persyaratan sebagai berikut dan berlaku mutlak serta 

memaksa. Persyaratan dimaksud yaitudiatur dalam ketentuan Pasal 

1405 KUH Perdata : 

 

 

1. penawaran dilakukan kepada seorang kreditor atau kepada seorang 

yang berkuasa menerimanya untuk kepentingan/atas nama kreditor; 

2. penawaran itu dilakukan oleh seorang yang berkuasa untuk 

membayar; 

3. penawaran itu mengenai semua utang pokok dan bunga yang dapat 

ditagih, beserta biaya yang telah ditetapkan dan mengenai beberapa 

uang untuk biaya yang belum ditetapkan, dengan tidak mengurangi 

penetapan semula; 

4. ketetapan waktu yang telah ditentukan telah tiba, jika ketetapan 

waktu itu dibuat untuk kepentingan kreditor; 

5. syarat dengan mana utang telah dibuat telah terpenuhi; 

6. penawaran itu dilakukan di tempat yang menurut persetujuan, 

pembayaran harus dilakukan dan jika tiada suatu persetujuan khusus 

mengenai itu, kepada kreditor pribadi atau di tempat tinggal yang 

sungguh-sungguh atau di tempat tinggal yang telah dipilihnya; 

7. penawaran itu dilakukan oleh seorang Notaris atau juru sita, kedua-

duanya disertai dengan dua orang saksi. 

 

Pada prinsipnya, suatu penawaran pembayaran tunai yang disertai 

dengan penyimpanan atau penitipan, selama telah dilaksanakan 

menurut ketentuan Pasal 1405 KUH Perdata dan Pasal 1406 KUH 

Perdata ini  di atas maka telah demi hukum menghapuskan 

perikatan ini , untuk kepentingan dari tidak hanya debitor 

melainkan juga mereka yang terikat secara tanggung menanggung 

dengan debitor, dan juga para penanggung utang debitor.  

 

c.  Pembaharuan Utang. 

Pembaharuan utang dikenal juga dengan istilah novasi, yaitu 

salah satu bentuk hapusnya perikatan yang terwujud dalam bentuk 

lahirnya perikatan baru. 

 

Ketentuan Pasal 1413 KUH Perdata mengatur tiga macam cara untuk 

melaksanakan pembaharuan utang: 

1). jika  seorang debitor membuat suatu perikatan utang baru 

guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan 

utang yang lama, yang dihapuskan sebab nya; 

2). jika  seorang debitor baru ditunjuk untuk menggantikan debitor 

lama, yang oleh kreditor dibebaskan dari perikatannya; 

 

 

3). jika  sebagai akibat suatu persetujuan baru, seorang kreditor 

baru ditunjuk untuk menggantikan kreditor lama, terhadap siapa 

debitor dibebaskan dari perikatannya. 

 

berdasar ketentuan di atas dapat diketahui bahwa, dengan 

terjadinya pembaharuan utang (novasi) maka perikatan lama menjadi 

hapus dengan terbentuknya perikatan baru yang dibuat oleh para pihak 

yang sama. 

Berlakunya perikatan yang baru ini masih tetap harus mendasarkan 

pada ketentuan dan syarat-syarat sahnya perjanjian. 

 

 

2.  Perjumpaan Utang, Percampuran Utang & Pembebasan Utang. 

a.  Perjumpaan Utang. 

Perjumpaan utang yang disitilahkan dengan kompensasi yaitu

menunjuk pada suatu keadaan dimana dua orang saling memiliki 

kewajiban atau utang satu terhadap lainnya. Dalam kondisi ini, oleh 

undang-undang ditetapkan bahwa bagi kedua belah pihak yang saling 

berkewajiban atau berutang ini , terjadilah penghapusan utang-

utang mereka satu terhadap yang lainnya, dengan cara 

memperjumpakan utang pihak yang satu dengan utang pihak yang lain. 

Hal ini sebagaimana dinyatakan yaituyaitu penjabaran dari 

ketentuan Pasal 1425 KUH Perdata. 

Pada Pasal 1426 KUH Perdata dinyatakan tiga (3) syarat untuk dapat 

terjadinya perjumpaan utang, yaitu: 

1) kedua kewajiban atau utang yang diperjumpakan ini  haruslah 

utang yang telah ada pada waktu perjumpaan serta telah jatuh 

tempo dan dapat ditagih serta dapat dihitung besarnya; 

2) kewajiban atau utang ini  ada secara bertimbal balik antara 

dua pihak, yang satu yaitu debitor sekaligus kreditor 

terhadap yang lainnya. Sehingga harus adanya dua pihak yang 

saling berutang secara timbal balik. 

3) Kewajiban atau utang yang diperjumpakan ini  haruslah utang 

dengan wujud prestasi yang sama atau objek yang sama, atau 

jumlah uang yang sama. 

 


 

b.  Percampuran Utang. 

Percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 KUH Perdata, yang 

menyatakan : ”jika  kedudukan-kedudukan sebagai kreditor dan 

debitor berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum 

suatu percampuran utang dengan mana piutang dihapuskan”. 

 

Pada kondisi ini, percampuran utang yaituterjadi dalam hal ada nya 

satu utang. Berbeda dengan perjumpaan utang yang terkait sekurang-

kurangnya dua utang yang saling bertimbal balik. 

Konsekuensi dari terjadinya percampuran utang ini yaitudapat dilihat 

pada ketentuan Pasal 1437 KUH Perdata, yang menyatakan: 

”Percampuran utang yang terjadi pada diri debitor utama, berlaku 

juga untuk keuntungan para penanggung utangnya. 

 

Percampuran yang terjadi pada diri penanggung utang, tidak sekali-

kali mengakibatkan hapusnya utang pokok. 

Percampuran yang terjadi pada diri salah satu debitor tanggung 

menanggung, tidak berlaku untuk keuntungan para debitor tanggung 

menanggung lain hingga melebihi bagiannya dalam utang yang ia 

sendiri menjadi debitornya”. 

 

Rumusan Pasal 1437 KUH Perdata sebagaimana ini  di atas, 

memiliki korelasi dan konsekuensi logis dengan bunyi Pasal 1820 

KUH Perdata yang mengatur tentang penanggungan utang. 

Percampuran utang dapat terjadi dalam hal: 

1. Perkawinan, yang dari dilangsungkannya perkawinan maka 

percampuran utang secara terbatas dapat terjadi dengan 

bersatunya harta bersama dari suami istri; 

2. Merger (Penggabungan) dan konsolidasi (Peleburan).  

  

 c.  Pembebasan Utang. 

Pembebasan utang dimaknai sebagai suatu perbuatan yang dilakukan 

oleh kreditor yang membebaskan debitor dari kewajibannya untuk 

memenuhi prestasi, atau utang berdasar pada perikatannya kepada 

kreditor ini . 

Terjadinya pembebasan utang akan menghapuskan perikatan yang 

melahirkan utang yang sedianya harus dipenuhi atau dilaksanakan oleh 

debitor ini . 

 

 

Ketentuan yang berkaitan dengan pemebasan utang ini dapat dilihat 

dalam Pasal 1294 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: 

”Jika kreditor telah membebaskan salah satu debitor dari 

perikatannya tanggung menanggung, dan satu atau beberapa debitor 

lainnya jatuh dalam keadaan tidak mampu, maka bagian orang-orang 

yang tak mampu ini harus dipikul bersama-sama oleh debitor-debitor 

lainya dan debitor yang telah melunasi utangnya, menurut imbangan 

bagian masing-masing”. 

 

 

3.  Musnahnya Barang yang Terutang. 

Eksistensi ataupun keabsahan dari adanya suatu perjanjian yaitu

digantungkan pada keberadaan dari objek yang diperjanjikan. Hal ini sejalan 

dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata jo. 1333 KUH Perdata dalam hal 

mana dapat disimpulkan bahwa setiap perjanjian baik berupa untuk 

melakukan sesuatu, untuk memberikan sesuatu maupun untuk tidak 

berbuat sesuatu yaituharus memiliki suatu kebendaan sebagai objek 

perjanjiannya. 

 

Kebendaan ini  sebagai objek perikatan haruslah diketahui dan dapat 

ditentukan jenisnya. Terhadap jumlahnya sendiri, jika  belum diketahui 

secara pasti jumlahnya maka dapat ditentukan kemudian. Yang tidak kalah 

penting yaitusuatu perikatan yang mensyaratkan adanya kebendaan 

dalam objeknya harus lah berupa benda yang dapat diperdagangkan, 

dengan tetap mengindahkan ketentuan tidak melanggar perundang-

undangan, ketertiban umum maupun kesusilaan. 

 

Sehubungan dengan hal ini  di atas maka saat  benda yang menjadi 

objek perikatannya musnah, tidak dapat diperdagangkan ataupun hilang, 

maka hapuslah perikatannya, asalkan barang ini  musnah, ataupun 

hilang di luar salahnya debitor dan sebelum ia lalai menyerahkannya. 

 

Pernyataan sebagaimana ini  di atas dapat dilihat dalam ketentuan 

Pasal 1444 KUH Perdata, yang berlaku pada perikatan untuk memberikan 

atau menyerahkan sesuatu. 

 

Sejalan dengan hal ini Pasal 1235 KUH Perdata menyatakan bahwa ”Dalam 

tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu yaitutermaktub 

 

 

kewajiban untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk 

merawatnya sebagai kepala rumah tangga yang baik, sampai saat 

penyerahan”. 

 

Dalam hal kebendaan yang musnah, hilang atau sebab  sesuatu hal tidak 

dapat lagi diperdagangkan maka hal ini  memberikan hak atau 

tuntutan ganti rugi kepada debitor terhadap pihak ketiga mengenai 

kebendaan ini . Hal ini menunjukkan pada pentingnya untuk 

menegakkan asas keadilan dan kepatutan. 

 

Pada rumusan Pasal 1444 KUH Perdata juga diatur bahwa dalam hal 

perikatan bersumber dari undang-undang sebagai perbuatan melawan 

hukum, maka musnahnya kebendaan yang sedianya harus dikembalikan 

berdasar pada perikatan yang bersumber dari undang-undang sebab  

perbuatan melawan hukum ini  tidak menghapuskan kewajiban 

debitor untuk mengganti harga dari kebendaan ini . 

 

4.  Kebatalan dan Pembatalan Perikatan serta Berlakunya Syarat Batal. 

Pada bagian ini, pembahasan yaituberkaitan dengan berakhirnya 

perikatan yang disebabkan oleh kebatalan atau pembatalan. Pembahasan 

juga akan berkaitan dengan syarat sah subjektif dari suatu perjanjian. 

 

Untuk mengulas kaji pada pembahasan ini, bahwa telah diketahui untuk 

dapat sahnya suatu perjanjian haruslah memenuhi ketentuan Pasal 1320 

KUH Perdata yang mengatur tenatng syarat sah perjanjian. Syarat sah mana 

terbagi atas syarat sah subjektif dan syarat sah objektif. 

 

Dalam hal musnahnya barang sebagai bentuk hapusnya perikatan, maka 

pembicaraan yaituberkaitan dengan syarat sah objektif dari suatu 

perikatan. Ketentuan Pasal 1320 angka 1 dan 2 KUH  Perdata memberikan 

alasan kepada salah satu pihak dalam perjanjian untuk membatalkan 

perjanjian yang telah dibuat olehnya. 

 

Bahwa pembatalan atas suatu perjanjian dapat dimintakan dalam hal: 

a) Tidak telah terjadi kesepakatan bebas dari para pihak yang membuat 

perjanjian, baik sebab  telah terjadi kekhilafan, paksaan atau 

penipuan pada salah satu pihak dalam perjanjian pada saat perjanjian 

itu dibuat. (lihat lebih lanjut ketentuan Pasal 1321 sampai dengan 

50 

 

1328 KUH Perdata). Dalam hal ini, jika terjadi kondisi di atas maka hak 

untuk meminta pembatalan perjanjian yaitupada saat ia 

mengetahui telah terjadi nya kekhilafan, paksaan atau penipuan pada 

dirinya. 

b) Salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk bertindak dalam 

hukum (lihat lebih lanjut Pasal 1330 dan 1331 KUH Perdata), dan atau 

tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan atau 

perbuatan hukum tertentu. Dalam hal ketidak cakapan, maka sesudah 

pihak yang tidak cakap ini  menjadi cakap dan atau oleh 

wakilnya yang sah yaituberhak untuk memintakan pembatalan 

perjanjian. 

 

Perlu diingat bahwa dalam hal terjadinya salah satu atau dua keadaan 

disebut di atas, maka berarti perikatan yang lahir dari perjanjian itupun 

hapus demi hukum. Ketentuan mengenai hak untuk mengajukan 

pembatalan sendiri dapat dilihat pada rumusan Pasal 1446 sampai dengan 

1450 KUH Perdata. 

Pasal 1446 ayat 1 KUH Perdata menyatakan, ”Semua perikatan yang dibuat 

oleh orang-orang yang belum dewasa, atau orang-orang yang berada di 

bawah pengampuan yaitubatal demi hukum (Note: disebut juga ”dapat 

dibatalkan”) dan atas tuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak 

mereka, harus dinyatakan batal (Note : ”dibatalkan”), semata-mata atas 

dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya”. 

 

Secara umum ketentuan Pasal 1454 KUH Perdata menentukan bahwa 

penuntutan terhadap pembatalan dapat diajukan dalam jangka waktu lima 

(5) tahun, terhitung sejak: 

1). Dalam hal kebelumdewasaan sejak hari kedewasaannya; 

2). Dalam hal pengampuan, sejak hari pencabutan pengampuan; 

3). Dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti; 

4). Dalam hal kekhilafan atau penipuan, sejak hari diketahuinya 

kekhilafan atau penipuan itu; 

5). Dalam hal perbuatan seorang perempuan bersuami yang dilakukan 

tanpa kuasa suami, sejak hari pembubaran perkawinan; 

6). Dalam hal batalnya suatu perikatan sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 1341, maka sejak hari diketahuinya bahwa kesadaran yang 

diperlukan untuk kebatalan itu ada. 

 

 

Akibat hukum dari terjadinya pembatalan ini yaitubahwa semua 

kebendaan dan orang-orangnya dipulihkan sama seperti keadaan sebelum 

perjanjian dibuat (lihat lebih lanjut ketentuan Pasal 1451 dan 1452 KUH 

Perdata). 

 

Berlakunya syarat batal sebagai suatu sebab berakhirnya perikatan diatur 

dalam Bab I Buku III Perikatan, pada Pasal 1265 KUH Perdata, yang 

menyatakan ”Suatu syarat batal yaitusyarat yang jika  dipenuhi, 

menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada 

keadaan semula, seolah-oleh tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini 

tidak menangguhkan pemenuhan perikatan; hanyalah ia mewajibkan 

kreditor mengembalikan apa yang telah diterimanya, jika  peristiwa 

yang dimaksudkan terjadi”. 

 

berdasar ketentuan pasal ini  di atas maka dapat diketahui bahwa 

setiap perikatan yang telah dibuat secara sah oleh para pihak dan bahkan 

telah dilaksanakan sekalipun dapat dikembalikan keadaannya seperti 

semula, jika hal ini  memang dikehendaki oleh para pihak. Hal ini 

terjadi dengan dicantumkannya klausula yang mengatur tentang syarat 

batal dalam perjanjian ini .  

Lebih lanjut, ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata menyatakan bahwa ”Syarat 

batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang 

bertimbal balik, manakala salah satu pihaknya tidak memenuhi kewajiban 

ini .  

Dalam hal yang demikian, persetujuan tidak batal demi hukum, namun 

pembatalan harus dimintakan kepada hakim.  

Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai 

tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan.  

Jika syarat batal ini  tidak dinyatakan dalam persetujuan maka 

Hakim yaituleluasa untuk, menurut keadaan, atas permintaan tergugat, 

memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi 

kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu 

bulan”. 

  

 

5.   Lewat Waktu (Daluarsa). 

Ketentuan tentang lewat waktu atau yang juga dikenal dengan daluarsa 

yaitudiatur dalam bagian tersendiri dalam Buku Keempat KUH Perdata, 

52 

 

yang dalam Pasal 1946 KUH Perdata menyatakan bahwa ”Daluarsa yaitu

suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu 

perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat 

yang telah ditentukan oleh Undang-undang”. 

 

Ketentuan tentang daluarsa secara garis besar dimulai pada Bab Ketujuh 

Buku Keempat tentang Pembuktian dan Daluarsa. 

Pada bagian kesatunya diatur tentang daluarsa umumnya; 

Pada bagian kedua tentang daluarsa dipandang sebagai alat untuk 

memperoleh sesuatu; 

Pada Bagian ketiga tentang daluarsa dipandang sebagai suatu alasan untuk 

dibebaskan dari suatu kewajiban. 

Pada Bagian keempat tentang sebab-sebab yang mencegah daluarsa. 

Pada Bagian kelima tentang sebab-sebab yang menangguhkan berjalannya 

daluarsa. 

 


MACAM – MACAM PERJANJIAN 

BERNAMA DALAM KUH PERDATA DAN  

KUH DAGANG  SERTA PERKEMBANGAN  

PERJANJIAN BERNAMA DALAM PRAKTEK 

 

 

 Pasal 1319 KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian, baik yang 

memiliki nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama 

tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan 

bab yang lalu” (bab ini maksudnya yaituBab Kedua dariBuku Ketiga yang 

mengatur tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau 

perjanjian), berdasar pasal ini  maka dapat diketahui bahwa suatu 

perjanjian terbagi menajadi dua macam yaitu : 

1. Perjanjian bernama (nominaat); 

2. Perjanjian tidak bernama (innominaat). 

 Perjanjian tidak bernama sendiri yaituyang dimaksudkan dengan 

perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup serta berkembang dalam 

masyarakat.  

 Perjanjian bernama disebut juga dengan perjanjian – perjanjian khusus, 

disebab kan pengaturannya ada  secara khusus di dalam KUH Perdata, 

yang terdiri dari enam belas (16) jenis, yang masing-masingnya akan 

dijelaskan dalam uraian umum sebagai berikut. 

 

 

 

B. Macam – macam Perjanjian 

1. Jual Beli 

Pengaturan tentang Jual beli sebagai perjanjian didapat pada Bab kelima, 

yang pada Pasal 1457 KUH Perdata diartikan sebagai suatu persetujuan, 

dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan 

suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah 

dijanjikan. 

 

 

 

Terhadap rumusan pasal ini Subekti dalam bukunya Aneka Perjanjian (1995: 

1) “... yaitusuatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu 

(si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang 

pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri 

atas beberapa uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik ini ”. 

 

berdasar rumusan pasal ini  di atas, dapat ditarik unsur pokok 

(essentialia) dari perjanjian Jual Beli ini yaitu adanya ”barang dan harga”. 

Hal ini tekait dengan ketentuan Pasal 1458 KUH Perdata yang berbunyi 

”Jual beli dianggap sudah terjadi sesudah mereka mencapai kata sepakat 

tentang barang dan harga, meskipun benda ini  belum diserahkan dan 

harga belum dibayarkan”. Sejalan dengan ketentuan pasal ini, maka dapat 

juga ditarik suatu kesimpulan bahwa dengan mendasarkan pada asas 

konsensualisme, suatu perjanjian jual beli yaitudianggap telah lahir sejak 

dicapainya kata sepakat diantara para pihak, yang ditunjukkan dengan 

adanya ucapan atau perkataan ”setuju”, atau ”ok” atau ”deal”.  

 

Syahmin AK (2006 : 51) menyatakan bahwa di dalam akta perjanjian jual 

beli harus dibuat dengan tegas apa saja yang menjadi hak dan kewajiban 

para pihak. Kewajiban utama penjual yaitu:  

1) menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan. Tentang 

penyerahan ini dikaitkan dengan hukum kebendaan (note : kebendaan 

ataupun barang dalam  hukum dikenal tiga jenis, yaitu Barang Bergerak, 

Barang Tetap dan Barang Tidak Berwujud (seperti piutang, penagihan 

atau ”claim”) yang menjadi objek perjanjian jual beli ini  oleh 

Subekti (1995 : 9 -10) dijelaskan sebagai berikut: 

(a) untuk barang bergerak, kewajiban menyerahkan cukup dengan 

penyerahan kekuasaan atas barang ini , sebagaimana yang 

diatur dalam Pasal 612 KUH Perdata ”Penyerahan kebendaan 

bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan 

penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama 

pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam 

mana kebendaan itu berada”. 

(b) Untuk barang tetap atau barang tidak bergerak, penyerahan 

dilakukan dengan perbuatan yang disebut ”balik nama” dihadapan 

atau dicatatkan oleh Pejabat yang berhak. Dasar hukum nya dapat 

kita lihat pada Pasal 616 jo 620 KUH Perdata. 

58 

 

(c) Untuk barang-barang tak bertubuh maka penyerahannya dilakukan 

dengan cara atau perbuatan yang dinamakan ”cessie” yang 

pengaturan terhadapnya dapat kita lihat pada Pasal 613 KUH 

Perdata yang berbunyi ”Penyerahan akan piutang-piutang atas 

nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan 

membuat sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan, dengan 

mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain”. 

 

Terhadap penyerahan ini perlu juga diperhatikan bahwa perjanjian 

jual beli menurut KUH Perdata yaitubelum memindahkan hak 

milik. Hak milik baru berpindah dengan dilakukannya suatu 

perbuatan hukum atau perbuatan yuridis yang disebut dengan 

”Levering” yang diartikan sebagai ”penyerahan”.Dengan demikian, 

secara ringkas dapat disimpulkan bahwa perjanjian jual beli dalam 

KUH Perdata yaitumenganut sistem ”Obligatoir” yang artinya 

perjanjian jual beli baru meletakkan hak dan kewajiban bertimbal 

balik antara kedua belah pihak penjual dan pembeli, hak milik 

terhadap barang ini  baru akan berpindah dengan 

dilakukannya perbuatan yuridis ”levering”. 

 

2) Menanggung kenikmatan tenteram atas barang ini  dan 

menanggung terhadap cacad tersembunyi. 

 

Kewajban ini  di atas ini yaitumemberikan konsekuensi untuk 

diberikannya penggantian kerugian jika sampai terjadi pada suatu 

waktu, si pembeli digugat oleh pihak ketiga dan dengan putusan Hakim 

dihukum untuk menyerahkan barang yang telah dibelinya ini  

kepada pihak ketiga. 

 

Tentang cacad yang tersembunyi sendiri, si penjual yaitudiwajibkan 

untuk menanggung terhadapnya, meskipun ia sendiri tidak mengetahui 

adanya cacad-cacad itu, kecuali jika ia, dalam hal yang demikian, telah 

minta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu 

apapun. 

 

Kewajiban utama dari pembeli yaitumembayar harga pembelian pada 

waktu dan tempat sebagaimana yang ditetapkan dalam perjanjian. Jika 

si pembeli tidak membayarkan harga pembelian ini maka si penjual 

 

 

dapat menuntut pembatalan pembelian sesuai dengan ketentuan Pasal 

1266 dan 1267 KUH Perdata. Harga ini  harus berupa beberapa 

uang. 

 

 

 

2. Tukar Menukar 

Ketentuan dasar tentang perjanjian tukar menukar yaitupada Pasal 1541 

KUH Perdata. Perjanjian ini juga dikenal dengan istilah ”barter”. Pasal 1541 

menyatakan bahwa tukar menukar ialah suatu persetujuan dengan mana 

kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu 

barang secara bertibal balik, sebagai gantinya barang lain. 

 

Sebagaimana dengan perjanjian jual beli, perjanjian ini juga bersifat 

konsensual dan sudah mengikat pada saat tercapainya kata sepakat di 

antara para pihak. Dan juga bersifat ”obligatoir”, dalam arti ia belum 

memindahkan hak milik, namun baru sebatas memberikan hak dan 

kewajiban. Pada saat terjadinya leveringlah baru secara yuridis, hak milik 

berpindah. 

 

Objek tukar menukar dalam KUH Perdata yaitusemua yang dapat 

diperjualbelikan, maka dapat menjadi objek tukar menukar. Terhadap hal 

ini juga dalam KUH Perdata menyatakan bahwa semua pengaturan tentang 

jual beli juga berlaku untuk perjanjian tukar menukar. 

 

Lebih lanjut, ketentuan Pasal 1545 KUH Perdata mengatur tentang resiko 

yang berbunyi ”Jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk 

ditukar, musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka persetujuan dianggap 

sebagai gugur dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, 

dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar 

menukar”. 

 

3. Sewa Menyewa 

Ketentuan KUH Perdata yang mengatur tentang sewa menyewa dapat 

dilihat pada Pasal 1548 yang berbunyi: ”Sewa menyewa yaitusuatu 

perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk 

memberikan kepada yang lain kenikmatan dari suatu barang, selama 

 

 

suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh 

pihak yanag ini  terakhir itu disanggupi pembayarannya”. 

 

Sebagaimana halnya dengan perjanjian lainnya, sewa menyewa yaitu

perjanjian konsensual yang artinya ia sudah sah dan mengikat pada detik 

tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya yaitu barang dan 

harga.  

 

Penyerahan barang untuk dapat dinikmati oleh pihak penyewa diberikan 

oleh yang menyewakan, dengan mana kewajiban penyewa yaituuntuk 

membayar harga. Penyerahan barang hanyalah untuk dipakai dan 

dinikmati. 

 

Peraturan tentang sewa menyewa yang ada  dalam Buku Ketiga KUH 

Perdata, bab ketujuh berlaku untuk segala macam sewa menyewa, 

mengenai semua jenis barang,baik bergerak maupun tidak bergerak, baik 

yang memakai waktu tertentu maupun yang tidak. (untuk waktu tertentu, 

bukanlah menjadi syarat mutlak dalam perjanjian, namun demikian kiranya 

penting ada dalam suatu perjanjian, untuk menghindari kesewenag-

wenangan pihak yang menyewakan, terutama untuk menghentikan waktu 

sewa dalam sewaktu-waktu). 

 

Kewajiban pihak yang menyewakan adalah: 

1. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa; 

2. memelihara barang yang disewakan sedemikian sehingga barang 

ini  dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan; 

3. memberikan kepada si penyewa kenikmatan tenteram dari barang 

yang disewakan selama berlangsungnya persewaan. 

 

Kewajiban pihak yang menyewakan, utamanya yaitu: 

1. Memakai barang yang disewa sebagai seorang ”bapak rumah yang 

baik”, sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada barang itu menurut 

perjanjian sewanya; 

2. Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan 

menurut perjanjian. 

 

Pasal 1533 KUH Perdata menentukan, ”Jika selama waktu sewa, barang 

yang disewakan musnah sebab  suatu kejadian yang tidak disengaja maka 

 

 

persetujuan sewa gugur demi hukum. Jika barangnya hanya sebagian 

musnah, si penyewa dapat memilih menurut keadaan apakah ia akan 

meminta bahkan pembatalan persetujuan sewa, namun tidak dalam satu 

dari kedua hal ia berhak atas ganti rugi”. 

 

Pasal ini  di atas berbicara tentang resiko dan kemungkinan yng 

timbul. Tentang resiko ini peting untuk diatur sebelumnya di dalam kontrak, 

untuk mengetahui dalam hal dan kondisi apa saja penyewa turut 

bertanggungjawab dalam menanggung resiko. 

Mengenai objek perjanjian sewa menyewa, yaitutidak dengan sendirinya 

perjanjian ini  batal jika  objeknya diperjual belikan oleh pemiliknya 

(kecuali telah diperjanjikan sebelumnya). 

 

Ketentuan lain dalam sewa menyewa ini yaitubahwa yang menyewakan 

dilarang untuk mengulangsewakan objek perjanjiannya, ataupun untuk 

melepaskan sewanya kepada orang lain. Mengulang sewa yaitusuatu 

tindakan dari si penyewa untuk bertindak seolah-olah pemilik sewa untuk 

kemudian menyewakan objek ini  kepada orang lain, sedang  

melepaskan sewa yaitusuatu tindakan dari pihak penyewa untuk 

mengundurkan diri dari perjanjian ini  dan menarik pihak lain untuk 

melanjukan perjanjian ini . Tindakan mengulangsewa atau 

melepaskan sewa ini yaitudilarang kecuali jika  diperjanjikan 

sebelumnya. Namun jika  penyewa mengikat perjanjian sewa untuk 

sebahagian dari objek perjanjian (misal, sewa menyewa atas suatu rumah, 

untuk kemudian penyewa menyewakan satu atau beberapa kamar di dalam 

nya kepada orang lain) yaitudibenarkan kecuali jika  telah ditegaskan 

sebelumnya yaitudilarang.  

 

4. Perjanjian untuk Melakukan Pekerjaan 

Perjanjian untuk melakukan pekerjaan secara umum diatur dalam KUH 

Perdata Pasal 1601. berdasar rumusan Pasal 1601 KUH Perdata dapat 

diketahui bahwa perjanjian untuk melakukan pekerjaan terbagi dalam tiga 

macam: 

 

a) Perjanjan untuk melakukan jasa-jasa tertentu. 

 Yaitu suatu perjanjian dalam hal mana satu pihak menghendaki dari 

pihak lawannya untuk melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai 

tujuan tertentu dengan mana ia berkewajiban untuk membayarkan 

 

 

upah. Pihak lawan yang melakukan pekerjaan tertentu ini biasa nya 

yaituserang ahli. Misalnya perjanjian antara pengacara dengan klien, 

dokter dengan pasien. 

 

b) Perjanjian kerja / perburuhan. 

 Yaitu suatu perjanjian antara seorang buruh atau pekerja dengan 

majikan atau pemberi kerja. Selain itu, perjanjian ini memiliki ciri bahwa 

adanya upah atau gaji tertentu yang telah diperjanjikan sebelumnya, 

serta adanya hubungan antara majikan/pemberi kerja dengan buruh 

penerima kerja, dalam hal mana majikan berhak untuk memberikan 

perintah yang harus ditaati dan dikerjakan oleh buruh. Pengaturan 

tentang perjanjian kerja  dalam KUH Perdata yaituada  dalam 

Pasal 1601 a KUH Perdata yang menyatakan ”Persetujuan perburuhan 

yaitupersetujuan dengan mana pihak yang satu si  buruh 

mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang lain si 

majikan, untuk sesuatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan 

menerima upah”. 

  

Ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2003 membedakan antara perjanjian 

kerja dengan perjanjian perburuhan. Perjanjian kerja dimaksudkan 

sebagai perjanjian yang dilakukan oleh majikan dengan buruh secara 

perseorangan sedang  perjanjian perburuhan yaituperjanjian 

antara majikan dengan serikat buruh. Perjanjian kerja terus mengalami 

perkembangan dalam pengaturan terhadapnya, bahwa selain dengan 

memenuhi ketentuan umum tentang perjanjian kerja yang ada pada 

KUH Perdata juga dengan memenuhi ketentuan perundang-undangan di 

bidang ketenagakerjaan. 

 

 

c) Perjanjian pemborongan pekerjaan. 

 Pengaturan dasar dan umum terhadap perjanjian pemborongan 

pekerjaan diatur dalam Pasal 1601 b KUH Perdata yang berbunyi 

”Pemborongan pekerjaan yaitupersetujuan dengan mana pihak 

yang satu si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan 

suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan 

dengan menerima suat harga yang ditentukan”. 

 

 

 

 Pengaturan selanjutnya dalam KUH Perdata yaitutermaktub dalam 

Pasal 1604 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1617 KUH Perdata. 

 Perjanjian ini terbagi dalam dua macam, yaitu : a) Pihak pemborong 

diwajibkan untuk melakukan pekerjaannya saja, dan b) pihak 

pemborong selain melaksanakan pekerjaannya juga wajib untuk 

menyediakan bahannya. Kedua macam perjanjian ini akan 

menghadirkan konsekuensi-konsekuensi tersendiri. 

 

5. Persekutuan 

Persekutuan atau yang dalam bahasa Belanda disebut dengan ”maatschap 

atau venootschap” dan di Inggris dikenal dengan istilah “partnership” 

yaitupersetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan dirinya 

untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan dengan maksud untuk 

membagi keuntungan yang terjadi sebab nya. Pengaturan umum tentang 

persekutuan ini dapat dilihat pada Pasal 1618 KUH Perdata. 

 

Persekutuan menurut Syahmin AK (2006: 59) yaitumerupan bentuk 

perjanjian yang paling sederhana dalam tujuan untuk mendapatkan 

keuntungan bersama. Dalam pelaksanaannya, pada persekutuan akan 

ada  beberapa perjanjian lainnya yaitu perjanjian kerja, perjanjian batas 

waktu persekutuan, perjanjian sekutu dengan pihak ketiga, perjanjian 

pembagian keuntungan, serta perjanjian – perjanjian lainnya. 

 

Perjanjian persekutuan berbeda dengan perjanjian-perjanjian lainnya yang 

juga bertujuan untuk mencari keuntungan bersama seperti Firma, maupun 

Perseroan Terbatas, dis