Desember 2025

Minggu, 14 Desember 2025

Ilmu negara 1



 Ilmu Negaraok




Ilmu negara merupakan ilmu yang tergolong ke dalam

kelompok ilmu-ilmu sosial yang mempelajari asal-usul, tujuan,

formasi, dan lenyapnya negara secara umum, abstrak, dan

universal. Penjelasan lebih lanjut dapat dikemukakan sebagai

berikut:

1. Ilmu Negara “mempelajari negara secara umum”,

maksudnya pembahasan menggunakan dalil-dalil umum,

yaitu pengertian umum mengenai negara. Bila dikenakan

terhadap negara-negara yang ada di dunia  ini, maka

umumnya dalil tadi disepakati sebagai kenyataan yang

berlaku.

2|Pendahuluan

2. Ilmu Negara “mempelajari negara secara abstrak”,

maksudnya dalam uraiannya mengemukakan negara

sebagai suatu nilai. Dalam hal ini, yang diamati bukanlah

suatu negara saja, akan tetapi negara pada umumnya.

Dengan demikian, Ilmu Negara dibedakan dengan Ilmu

Tata Negara atau Administrasi Negara dan Ilmu

Pemerintahan. Ketiga ilmu ini mempelajari suatu negara

dalam keadaan yang nyata, misalnya tata negara Indonesia,

administrasi negara Indonesia, dan pemerintahan Indonesia.

3. Ilmu Negara “mempelajari negara secara universal”,

maksudnya nilai-nilai yang terdapat dan berlaku di mana.

Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa ilmu negara

merupakan ilmu pengetahuan. Maksud dari ilmu pengetahuan

di sini adalah hasil pemikiran manusia yang objektif dan

disusun secara sistematis. Suatu ilmu pengetahuan mempunyai

ciri-ciri sebagai berikut:

1) Bersifat objektif, maksudnya ilmu pengetahuan juga harus

dapat mengejar kebenaran yang dapat diterima secara

umum;

2) Bersifat sistematis, maksudnya pengertian-pengertian yang

diperolehnya tidak boleh bercerai-berai melainkan

merupakan satu kesatuan yang erat dan utuh.

B. Sistematika Ilmu Negara

Seorang sarjana bernama George Jellinek, dalam bukunya yang

berjudul Algemeine Staatslehre mengungkapkan Ilmu Negara

mempunyai sistematika sebagai berikut:

1. Ilmu Negara sebagai ilmu pengetahuan dalam arti yang

sempit (Staatswissenschaft), yang menyelidiki negara dalam

keadaan abstrak dan umum.


2. Ilmu Negara sebagai ilmu pengetahuan dalam arti luas

(Rechtswissenschaft), yang terbagi ke dalam 2 kategori

yaitu:

(a) Ilmu pengetahuan yang yang menyelidiki negara

tertentu, misalnya mempelajari lembaga negara,

peradilan, dan sebagainya (Individuelle Staaslehre); dan

(b) Ilmu pengetahuan yang penyelidikannya ditujukan

kepada negara dalam pengertian umum serta lembaga-

lembaga perwakilan yang dipelajari secara khusus

(Pezielle Staaslehre).

George Jellinek, merupakan sosok yang pertama sekali

merumuskan Ilmu Negara sebagai suatu ilmu pengetahuan

yang berdiri sendiri. Karena itu, ia kerap kali diberi julukan

“Bapak Ilmu Negara.” Hal ini menimbulkan pertanyaan, yaitu

apakah sebelum sistematisasi oleh George Jellinek itu Ilmu

Negara telah dipelajari sebagai ilmu pengetahuan?  Dalam hal

ini masih menimbulkan spekulasi, sebab pada waktu

sebelumnya, Ilmu Negara belum merupakan suatu ilmu

pengetahuan yang mandiri dan sifatnya masih deskriptif atau

mencakup segala pengetahuan yang berhubungan dengan

negara. Persoalan seperti agama, politik, kebudayaan, moral,

dan ekonomi yang berhubungan dengan negara dimasukkan ke

dalam pembicaraan Ilmu Negara.

Hal tersebut dapat diketahui dari karya Plato dan Aristoteles

pada masa Yunani Kuno dalam buku yang berjudul Politeia

dan Politica yang membicarakan persoalan-persoalan negara di

dalamnya. Pada masa itu, objek yang diamati dan dipelajari

adalah negara kota (city state) yang dikenal dengan istilah polis

dengan wilayah yang tidak seberapa luas dan jumlah penduduk

4|Pendahuluan

yang tidak banyak. Sehingga tidak mengherankan jika semua

ihwal persoalan yang berhubungan dengan negara dapat

disusun dan dituangkan dalam suatu karya yang membahas

mengenai negara. Tetapi kondisi itu dalam perkembangan

waktu tidak dapat dipertahankan lagi dengan kemunculan

negara bangsa (nation state) dengan batas-batas kedaulatan

yang semakin lama semakin luas dengan jangkauan wilayah

dan penduduk yang lebih besar lagi. Akibat kondisi ini, maka

dibutukan pelajaran mengenai negara yang perlu

disistematisasi dalam ilmu pengetahuan yang mandiri.1

Mengenai pembelajaran di Indonesia, Ilmu Negara

diperkenalkan oleh Universitas Gadjah Mada, saat merintis

sebagai perguruan tinggi swasta (1946). Pada saat menyusun

materi pelajaran untuk Fakultas Hukum, Universitas Gadjah

Mada membandingkan dengan Rechstsschool di Jakarta pada

masa Hindia Belanda. Akan tetapi struktur kurikulum ternyata

dianggap tidak sesuai dengan kenyataan alam kemerdekaan

dan kemudian dicarikan pembanding di Universitas Leiden,

Belanda. Sehubungan dengan itu, kuliah awal Ilmu Negara

diberi titel Staasleer yang mencakup hal-hal pokok mengenai

sendi-sendi negara dan lepas dari kenyataan kolonial.2 Dalam

perkembangannya, ada juga yang menggunakan istilah Teori

Negara, terutama dalam kajian Ilmu Politik, untuk


mensistematisasikan objek penyelidikan mengenai negara

tersebut.3

C. Keterkaitan Ilmu Negara dengan Ilmu Lain

Ilmu Negara telah lama diajarkan, namun baru pada permulaan

abad ke-20 disusun sebagai suatu ilmu pengetahuan secara

sistematis oleh George Jellinek. Dengan adanya perkembangan

situasi masyarakat seperti yang diajarkan oleh Herbert

Spencer4 , maka dibutuhkan cabang-cabang ilm pengetahuan

yang mengadakan penyelidikan khusus mengenai bidang-

bidang tertentu. Dengan adanya kenyataan itu maka Ilmu

Negara kemudian mempunyai relasi dengan cabang-cabang

ilmu pengetahuan yang lain, yang antara lain dengan ilmu

Hukum Tata Negara, Ilmu Hukum Administrasi Negara, Ilmu

Politik, dan Ilmu Ekonomi.

1. Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Hukum Tata

Negara

Telah dikemukakan bahwa Ilmu Negara mempunyai objek

penyelidikan bersifat umum mengenai pertumbuhan, wujud,

formasi, dan lenyapnya negara atau dapat pula mengenai

negara tertentu. Inilah kesamaan Ilmu Negara dengan Ilmu

Hukum Tata Negara, yaitu sama-sama mempunyai objek

penyelidikan berupa negara. Akan tetapi, dalam Ilmu Hukum

Tata Negara, objek penyelidikan itu lebih konkrit, karena

3 Arief Budiman, 1997, Teori Negara, Jakarta, Penerbit Gramedia Pustaka

Utama.

4 Lihat dalam: Syaiful Bahri, 2010, Ilmu Negara dalam Konteks Negara

Hukum Modern, Jakarta, Penerbit Total Media, hlm. 13.

6|Pendahuluan

terikat dengan waktu, tempat, keadaan, dan tata pengaturan

tertentu, misalnya Hukum Tata Negara Indonesia, Hukum Tata

Negara Amerika Serikat, dan sebagainya.5 Bahkan, ada yang

mengatakan dengan tegas bahwa Ilmu Hukum Tata Negara

adalah hukum mengenai organisasi negara. 6 Oleh sebab itu,

rincian pembahasan dalam Ilmu Hukum Tata Negara dikaitkan

dengan organ-organ negara, hubungan antarorgan negara,

kewaganegaraan, keabsahan undang-undang, dan sebagainya.

Dengan demikian, keterikatan antara kedua cabang ilmu

pengetahuan itu adalah kesamaan dalam objek akan tetapi

persoalan-persoalan yang dibahas berlainan. Sudah barang

tentu, untuk mempelajari Ilmu Hukum Tata Negara harus

mempunyai bekal  yang cukup mengenai pokok-

pokok hal yang berkaitan dengan sendi-sendi negara yang

semuanya terdapat dalam Ilmu Negara.

2. Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Hukum

Adminsitrasi Negara

Secara umum, hukum adminsitrasi didefinisikan sebagai

hukum yang mengatur hubungan antara organ administrasi

dengan warga masyarakat.7 Bidang-bidang yang menjadi fokus

pembahasan adalah perizinan, pegawai negeri, pajak,

pendaftaran yang menciptakan hak, dan sebagainya. Dengan

demikian, yang dipelajari Ilmu Hukum Administrasi Negara

sama dengan Ilmu Negara yaitu negara. Hanya perbedaannya,

apabila Ilmu Negara menyelidiki sendi-sendi pokok negara

secara umum dan abstrak. Sebaliknya, Ilmu Hukum

Administrasi Negara justru mengkaji “negara dalam keadaan

bergerak”, yaitu hubungan antara (organ) negara dengan

masyarakat.” Oleh sebab itu, Ilmu Negara menjadi dasar dalam

mempelajari Ilmu Hukum Administrasi Negara, karena untuk

mempelajari ilmu terakhir itu membutuhkan juga pengertian-

pengertian pokok yang berkaitan dengan negara.

3. Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik

Ilmu Politik (dis Staswissenschaft, Political Science) adalah

cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai

persoalan-persoalan yang berhubungan dengan negara.8 Objek

kajiannya adalah mengenai syarat-syarat berdirinya negara

(Grundlagen), hakikat negara (Wesen), formasi-formasi negara

(Erscheinungsformen), dan perkembangan negara. Walaupun

demikian, tidak semua hal yang bersinggungan dengan negara

dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan dapat

dikategorikan sebagai Ilmu Politik, tetapi bagi politik ini

merupakan unsur penunjang dalam kajian. Misalnya:

a) Sejarah, khususnya yang menyangkut manusia atau negara,

bukan merupakan disiplin Ilmu Politik, kecuali

menyangkut sejarah ketatanegaraan atau konstitusi.

Perilaku kehidupan masyarakat, tindakan individu, sejarah

kesusasteraan, ilmu pengetahuan, kondisi ekonomi, moral,

militer, perjuangan diplomatik; misalnya, semua ini tidak

dikategorikan ke dalam bagian dari Ilmu Politik.

b) Statistik, yang menyangkut masalah sosial kemasyarakatan,

tidak merupakan bagian dari Ilmu Politik.

c) Politik ekonomi, sepanjang menyangkut hukum ekonomi

yang diterapkan bagi perseorangan, maka tidak

berhubungan dengan negara, sehingga bukan bagian dari

Ilmu Politik.

d) Studi kemasyarakatan, khususnya yang menyangkut

identitas yang tidak berhubungan dengan negara.

Dalam tradisi Yunani, ilmu politik disebut dengan istilah

politiki. Di Jerman dikembangkan kajian Hukum Publik

(Stasrecht) dan Politik (Politics) sebagai dua cabang ilmu

pengetahuan yang berbeda. Belakangan berkembang

diferensiasi lain seperti Statistik Politik, Administrasi,

Hubungan Internasional, dan sebagainya.

Dalam perkembangannya, terutama dalam praktik

pembelajaran, terdapat perbedaan antara objek kajian Ilmu

Politik di Eropa (khususnya Inggris dan Prancis) dengan di

Amerika Serikat. Pada pembelajaran di Eropa, mereka

mengambil akar materi pada masa Yunani Kuno, sehingga

karakter materinya bersifat konservatif dan normatif.

Sedangkan di Amerika Serikat, Ilmu Politik sudah mempunyai

pengertian yang lebih khusus yaitu mengenai gejalan-gejala

tertentu yang berhubungan dengan negara lain.

Sementara itu, di Indonesia, Ilmu Politik sampai dasawarsa

60-an, masih diajarkan oleh sarjana hukum, sehingga sifat

pengkajiannya analitis dan bersifat normatif. Baru kemudian

dengan rintisan Miriam Budiardjo dan pelembagaan dalam

fakultas yang berdiri sendiri, maka Ilmu Politik mulai

memapankan objek kajian yang mempunyai karakteristik yang

lebih khas dibandingkan objek kajian Ilmu Negara di Fakultas


Hukum. Walaupun metode dan pelembagaan gagasan kajian

berbeda-beda di satu negara dengan negara lain, akan tetapi

secara umum dapat dikatakan bahwa objek kajian Ilmu Politik

adalah mengenai negara. Di sinilah keterikatannya dengan Ilmu

Negara. Dalam hal ini, Ilmu Negara memberikan pemahaman

dasar mengenai hal-hal pokok mengenai negara, sedangkan

kajian aspek-aspek tertentu mengenai negara secara empiris

dilakukan oleh Ilmu Politik. Pada pertumbuhan berikutnya,

objek kajian Ilmu Politik itu menjadi ketentuan-ketentuan yang

berlaku di suatu negara tertentu, sehingga pada

perkembangannya akan dikaji oleh Ilmu Hukum Tata Negara.

4. Hubungan Ilmu Negara dengan llmu Ekonomi

Persoalan  peranan  negara  atau  pemerintah  di  bidang

perekonomian  sudah sejak  lama  menimbulkan  perdebatan

ideologis  antara empa aliran  utama mazab ekonomi dunia,

yaitu (i) laissez faire, (ii) sosialisme, (iii) liberalisme modern,

dan (iv) konservatisme modern. Namun, pertanyaan mendasar

yang dipersoalkan adalah peranan  seperti apa yang  dimainkan

dalam  hal  kepemilikan  dan  pengelolaan  pemerintah  di

bidang ekonomi.

Menurut teori kedaulatan negara oleh Jean Bodin dan George  Jelinek:

Kekuasaan  tertinggi  ada  pada  negara  dan  negara  mengatur  kehidupan

anggota masyarakatnya.  Negara  yang  berdaulat  melindungi  anggota

masyarakatnya  terutama  anggota  masyarakat  yang  lemahî. Dalam  hal

ini,  ìteori  kedaulatan  negara  akan  berfungsi  apabila  didukung oleh  teori

pengayoman  dan  teori perlindunganî.

10|Pendahuluan

(1) Aliran Laissez Faire

Beberapa  ahli ekonomi  berpandangan  bahwa laissez  faire

sama  dengan kapitalisme.  Padahal  kapitalisme  itu  sendiri

bukanlah  ideologi  politik,  melainkan suatu  sistem  ekonomi

yang  didominasi  pihak  swasta  terutama  dalam  hal  cara-

cara berproduksi, pendistribusian hasil-hasil produksi, serta

pertukaran barang dan jasa.10 Di  belahan  dunia  barat, laissez

faire adalah  ideologi  politik  yang  sepenuhnya bersandar

pada  kapitalisme, yang  dalam  perkembangannya mereka

selalu  berusaha agar kapitalisme itu sendiri menjadi sebuah

sistem ekonomi.

Paham laissez faire lahir di Perancis  semasa  pemerintahan

Raja Louis XIV,  dan  istilah laissez  faire pertama kali

muncul  dalam  pertemuan  khusus  dengan  Menteri

Keuangan  Perancis  Jean Baptiste  (1619-1683)  yang

diprakarsai  oleh  pemerintah.  Ketika Menteri  Keuangan

menanyakan  apa  yang  dapat  dibantu  oleh  pemerintah

untuk  kepentingan  para saudagar,  salah  seorang  di  antara

mereka menjawab: laissez  faire (leave  us  alone: “biarkan

kami berusaha  sendiri”). Sejak  itu laissez  faire diakui

sebagai  ideologi  yangmenghendaki  campur  tangan

pemerintah  sekecil  mungkin  di  bidang  ekonomi.

Dengan  demikian  jelas bahwa  kapitalisme  adalah

tangan-tangan  politik  yang bekerja  untuk  kepentingan

laissez  faire dalam  mengelola  berbagai  kebijakan

pemerintah di bidang ekonomi dan bisnis. Dalam

10 Menurut Austin Ranney, capitalisme adalah  ìan economic  system  in

which  the means of production,  distribution  dan  exchange  are  privately

owned  and  operated. Ibid., hlm. 81.

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum. |11

perkembangan selanjutnya laissez faire dipahami sebagai

aplikasi dari semua  urusan  ekonomi  yang  bersandar  kepada

doktrin  Presiden  Amerika  Thomas Jefferson, “that

government  is  best  which  governs  least” (pemerintah  yang

baik adalah  yang  memerintah  atau  mengatur  sedikit).11

(2) Aliran Liberalisme Modern

Paham kapitalisme klasik kemudian mendapatkan kritik dan

sorotan tajam. Sekelompok pemikir mulai mempertanyakan

sistem ekonomi liberalisme  klasik  yang  dipandang  lebih

cenderung menekankan  pengertian  bebas dari (freedom  from)

campur  tangan negara atau pemerintah dalam urusan ekonomi.

Kecenderungan  ini  kemudian  disebut  sebagai negative

freedom (kebebasan  yang bersifat  negatif)  karena

penekanan  terhadap freedom  from tersebut  justru memakan

kebebasan  itu  sendiri.  Sebaliknya  yang  diperlukan  adalah

sistem ekonomi yang menekankan freedom  to (bebas untuk)

dalam konteks peran negara atau  pemerintah  di  seluruh

bidang  perekonomian.  Dalam  perkembangannya kemudian

freedom  to dikenal  sebagai positive  freedom (kebebasan

yang  bersifat positif),  yang  mendorong  pemerintah  untuk

secara  serius  dan  riil  memberikan jaminan kebebasan hidup

bagi semua lapisan masyarakat.

Ideologi (positive freedom) yang  dicetuskan  oleh  Thomas

Green  pada  tahun  1880-an  ini  selanjutnya  dikenal sebagai

liberalisme  modern.  Jadi  jelas  bahwa  penganut  “liberalisme

klasik” mendesak  pemerintah  keluar  dari  pasar,  sebaliknya

“liberalisme  modern” memasukkan  kembali  pemerintah  ke

dalam  pasar  agar  setiap  orang  mendapat perlindungan dari

sistem ekonomi  liberalisme klasik yang adakalanya  tidak adil

itu.

Untuk melindungi hak-hak  setiap orang dalam  sistem

ekonomi,  liberalisme modern mempromosikan  ketentuan

tentang  upah  dan  jam  kerja,  hak  berserikat  dan

berorganisasi,  asuransi  pengangguran  dan  kesehatan,  serta

memberikan  kesempatan bagi  semua  orang  untuk

meningkatkan  keterampilan  bekerja  melalui  pendidikan.

Liberalisme  semacam  ini  dikembangkan  oleh Woodrow

Wilson dan  Franklin D. Roosevelt  di Amerika  Serikat  pada

abad  ke-20,  dengan  tujuan  pokok  untuk mencapai a  free

society (masyarakat yang bebas).12

Franklin D. Roosevelt  dan  kolega-kolega New Deal-nya

berpendapat  bahwa liberalisme  sejati  haruslah  menjadi

ìliberalisme  yang  positif.  Artinya,  jaminan kebebasan  yang

diberikan oleh negara kepada  rakyat untuk berbicara dan

memeluk agama  masing-masing  tidak  akan  memberikan  arti

yang  positif  apabila  anggota masyarakat  itu  sendiri  tidak

bisa:  (i)  menghidupi  keluarganya;  (ii)  mendapatkan

pendidikan  yang  baik;  dan  (iii)  mendapatkan  jaminan

kesehatan  yang  cukup memadai.13

Mereka  sependapat  bahwa  proteksi  semacam  itu  harus

diberikan  dan dijamin  oleh  negara  sepenuhnya  sehingga

mengarah  kepada welfare  state (negara kesejahteraan),


sebagai  suatu  sistem  di  mana  pemerintah  menjamin

prasyarat kehidupan  minimum  warganya  secara  layak

mencakup  keadilan  mendasar  seperti pendidikan, kesehatan,

pekerjaan dan kesejahteraan sosial-ekonomi. Kendati standar

persyaratan  minimum  bagi  setiap  individu  pada  dasarnya

tidak  sama,  penganut  liberalisme modern pada umumnya

menerima premis bahwa negara harus memiliki  tanggung

jawab  sosial-ekonomi  atas  warga  negaranya. Sebaliknya

kaum liberalis modern mengembangkan tradisi kebebasan

individu dan pilihan bebas dalam hal  urusan  non-ekonomi.

Dengan  kata  lain,  para  penganut  paham  ini  menjaga

intervensi  atau  campur  tangan  negara  atau  pemerintah  di

bidang moral,  agama, dan intelektual  harus  seminimal

mungkin.  Untuk  itu,  pemerintah  harus  memisahkan secara

tegas fungsi gereja dan negara.

(3) Aliran Konservatif Modern

Aliran konservatisme mempunyai pandangan yang berbeda.

Aliran konservatisme pada dasarnya berurusan dengan upaya

pelestarian nilai-nilai dan  institusi  tradisional. Persoalan pelik

yang mereka hadapi  adalah berbagai perubahan radikal  yang

didorong  oleh  kaum  liberal  klasik  pada  abad  ke-19.

Penganut  aliran konservatisme berkeyakinan bahwa

masyarakat harus tetap berjalan sebagaimana adanya. Akan

tetapi, pemegang  kekuasaan  adalah  kaum  bangsawan,

bukan  kelompok-kelompok bisnis  yang  baru muncul.

Setiap majikan  harus  dapat menjamin  kehidupan  sosial

para buruh pabrik dan petani,  serta kehidupan moral yang

dituntun oleh nilai-nilai  tradisi dan agama. Hal  ini didasari

pemikiran bahwa masyarakat yang baik adalah masyarakat

14|Pendahuluan

yang hidup dengan tradisi kemasyarakatan dan keagamaan.

Untuk itu setiap anggota masyarakat harus  dapat memahami

posisi dan  peran  masing-masing  dalam  hierarki  sosial,

dengan asumsi bahwa  setiap  individu  telah memahami hak

dan kewajiban masing-masing,  serta berhak untuk turut serta

menikmati keuntungan yang diperoleh masyarakat.14

Di  Amerika  Serikat,  gagasan  yang  dikemukakan  Milton

Friedman, yaitu bahwa  pasar bebas masih  tetap merupakan

jalan  terbaik dan kebenaran akan doktrin Adam Smith  (“di

manapun  pemerintah  melakukan  campur  tangan  akan

mengacaukan banyak hal sehingga menimbulkan masalah”),

tidak sedikit kaum konservatisme yang meyakini  dan

mengikutinya.  Lebih  lanjut Milton  Friedman mengemukakan

bahwa pilihan  individual  akan  memberikan  eksistensi  moral

yang  lebih  baik  ketimbang dipilihkan  oleh  pemerintah,  dan

bersama  Friedrich von Hayek memiliki  pandangan yang

sama bahwa pemerintah seharusnya mengatur usaha swasta

seminimal mungkin atau  tidak  sama  sekali.

Di bidang kegiatan  ekonomi, pemerintah harus menegaskan

aturan-aturan  dasar  persaingan  bebas  dengan memperkuat

kontrak  dan  melindungi hak milik  pribadi. Dalam  hal  ini,

pemerintah  tidak  boleh membatasi  keuntungan  si pemenang

dan  tidak  boleh  pula  mengatasi  kerugian  pihak  yang

kalah.  Menurut pandangan  kaum  konservatif  modern,

pengusaha  yang  kreatif  akan  berkembang seiring dengan

tumbuhnya pasar serta munculnya produk-produk baru yang

menarik dan  bisa  mencetak  uang.

Harapan  mereka  adalah  setiap  pengusaha  diperbolehkan

berusaha  secara  bebas  sehingga  bisnis  lama  dapat

berkembang dan  sekaligus membangun  bisnis  baru  yang

pada  gilirannya  akan  membuka  dan  menciptakan lapangan

kerja baru serta membawa kemakmuran bagi banyak orang.

Sebaliknya jika para pengusaha dihambat oleh berbagai

ketentuan  yang dibuat oleh pemerintah dan dibebani pula

dengan pajak yang tinggi akan mengakibatkan penurunan

investasi dan produksi  secara drastis dan  lapangan kerja

semakin  terbatas. Dengan demikian  jelas bahwa  kaum

konservatif  modern  tetap  menghendaki  agar  pemerintah

tidak membebani pelaku usaha dengan berbagai macam

peraturan yang memberatkan, dan mereka mempertimbangkan

intervensi  pemerintah  di  bidang  intelektual, moral, dan

agama.15

(4) Aliran Sosialisme

Pandangan kaum  sosialis  tentang kebebasan dan persaingan

berbeda dengan aliran  lainnya.  Karena  kebebasan  dan

persaingan  tersebut  sangat  erat  kaitannya dengan  struktur

sosial  secara  keseluruhan,  maka  kebebasan  dan  persaingan

dalam suatu  susunan  masyarakat  yang  tidak  adil  akan

mengukuhkan  ketidakadilan itu sendiri.  Oleh  sebab  itu,

negara  atau  pemerintah  tidak  bisa  tidak  harus  mengambil

peran  tertentu  secara  lebih  aktif  agar  pihak-pihak  yang

lemah  dapat  dilindungi  dari pihak-pihak yang kuat karena

mereka memiliki kekuasaan. Secara moral dan politik, campur

tangan pemerintah di bidang ekonomi dapat dibenarkan dan


bersifat mutlak agar  keadilan  dan  kesejahteraan  bersama

dapat  diwujudkan  bagi  semua  anggota masyarakat.16

Aliran  sosialis  (sosialisme)  adalah  sistem  ekonomi dan

sekaligus  sebagai ideologi  politik.  Sebagai  sistem  ekonomi,

sosialisme merupakan  lawan  dari  sistem ekonomi kapitalis.

Secara sederhana sosialisme dapat dipahami sebagai suatu

sistem ekonomi  dengan  cara  produksi,  distribusi, serta

pertukaran  barang  dan  jasa  dimiliki dan  dioperasikan  oleh

publik. Menurut  paham  kaum  sosialis,  negara  adalah  suatu

organisasi  yang  paling  representatif,  sehingga  konsepsi

“dimiliki  dan  dioperasikan oleh  publik”  artinya kuasa

kepemilikan dan  operasionalisasi  berada  di  tangan

pemerintah  atau  negara.

Sosialisme  sebagai  ideologi  politik,  dan  dalam  kaitannya

dengan kontrol di bidang ekonomi, penganut paham ini

meyakini bahwa negara perlu mengembangkan  perencanaan

ekonomi  dan  pengendalian  pasar.  Hal  itu  perlu dilakukan

untuk mencegah  terjadinya  eksploitasi  sekelompok  orang

atas  kelompok lain,  dan  selain  itu  untuk  menjamin

berlangsungnya  distribusi  keadilan  dan kesejahteraan bagi

setiap orang.17

Dalam perekonomian modern yang sudah sedemikian

kompleks sekarang ini, campur  tangan  pemerintah  terhadap

kegiatan  ekonomi merupakan sesuatu  hal  yang mutlak. Tugas

pemerintah atau para birokrat tidak lagi hanya mengurusi

bidang sosial dan politik, tetapi juga mengurusi masalah-

masalah perekonomian. Sulit dibayangkan bagaimana  jadinya

sistem dan mekanisme perekonomian modern tanpa adanya

peranan pemerintah. Banyak ahli ekonomi berpandangan sama

bahwa negara atau birokrasi adalah entitas kelembagaan yang

paling dominan dan sangat berpengaruh dalam kehidupan

ekonomi suatu negara, karena di tangan negara lah tergenggam

kewenangan politik dan sumber-sumber daya ekonomi yang

sangat besar.

Campur tangan negara  atau pemerintah  ini  semakin

dirasakan urgen bila  sudah menyangkut keadilan. Untuk itu

pemerintah diminta bertindak tegas dan bijaksana dalam

membuat peraturan  yang  pada  akhirnya  untuk  melindungi

masyarakat  banyak.  Dengan  kata lain, dunia bisnis  tidak

pernah bebas dari rambu-rambu aturan hukum. Namun perlu

dicatat  bahwa  dunia  bisnis  tidak  bisa  diikat  atau

dibelenggu  dengan  peraturan perundang-undangan  yang

rumit  karena  pada  gilirannya  akan  mematikan  kegiatan

bisnis itu sendiri.18

Ketika pemerintah menerapkan  suatu kebijakan  dan

kebijakan tersebut  tidak berjalan  efektif  di  dalam

masyarakat,  sering kali  pemerintah  menuduh  masyarakat

telah  melakukan  kesalahan  karena  masyarakat  tidak  dapat

mengikuti  dan  tidak memberikan  respon  yang  positif

terhadap  kebijakan  tersebut. Tuduhan  pemerintah seperti ini

bisa terjadi karena dua hal mendasar: (i) pemerintah melihat

kebijakannya tersebut hanya dari sudut pandangnya sendiri;

dan (ii) pemerintah belum sepenuhnya mengakomodir


keinginan  dan  kepentingan  individu,  berbagai  kelompok

dan organisasi sosial dalam masyarakat yang lebih luas.19

Pada  dasarnya  kebijakan  ekonomi  merupakan  keputusan

politik  karena kebijakan  ekonomi  mempengaruhi  distribusi

kekayaan  dan  pendapatan  dalam masyarakat. Golongan  yang

memerintah  akan menentukan  kebijakan  ekonomi  dan akan

mengambil  keputusan  dari  berbagai  alternatif  yang  tersedia

dalam  pemecahan masalah-masalah  ekonomi.  Oleh  karena

itu,  siapa  yang  memerintah  sangat lah menentukan  pilahan

kebijakan  ekonomi, sedangkan  penentuan  siapa  yang

memerintah merupakan produk politik.20 Menurut  Didik  J.

Rachbini,  bahwa  inti  dari  desain  besar  suatu  kebijakan

ekonomi bermuara kepada dua pilar  yaitu bobot  institusi

negara dan bobot  institusi pasar. Kesalahan dalam meramu

keduanya akan menimbulkan kerancuan atau bahkan kesalahan

dalam desain besar sistem ekonomi-politik. Misalnya, jika

sistem ekonomi terlalu  liberal  dengan menyerahkan

segalanya  kepada mekanisme  pasar  dan  hukum persaingan,

maka  tujuan untuk  mensejahterakan  rakyat  banyak  tidak

akan  pernah terwujud selamanya.


PERKEMBANGAN

TEORI NEGARA


Sejak akhir abad ke-19, di mana kajian ilmu negara telah mulai

memiliki ruang lingkup, fokus, dan kerangka keilmuan yang

jelas,1 negara telah menjadi objek kajian utama, di samping

konstitusi, sejarah negara atau bangsa, dan

pemerintahan.2Dalam perkembangan sebagaimana ditunjukkan

oleh Nordlinger, disebabkan bahwa negara makin menjadi

“badan” yang memiliki otoritas tertinggi dalam semua formasi

masyarakat, maka negara menjadi penting sebagai unit


analisis.3 Dalam posisi seperti ini, maka negara menjadi

kekuatan politik penentu dinamika sosial-politik sebuah

masyarakat dan negara-bangsa.

Pemikiran-pemikiran mengenai negara dalam pengertian

yang umum, sering kali hasil dari spekulasi. Usaha untuk

melakukan deduksi dengan berlandaskan konsekuensi logika

tertentu, masih berdasarkan uraian yang spekulatif. Dengan

demikian, dalam dunia akademik muncul kategorisasi

pemikiran-pemikiran mengenai negara yang beragam,

tergantung kepada sudut pandang yang dipakai dari variabel-

variabel yang dijadikan tolok ukur kategorisasi. Begitu pula

perbedaan pemakaian variabel akan menghasilkan juga

kategorisasi yang tidak sama.4

Ditinjau dari variabel waktu perkembangan pemikiran

negara secara umum (yang dalam materi ini adalah

dikaterogikan pada pra-Perang Dunia II dan pasca-Perang

Dunia II) dan akar ideologis dari pemikiran tersebut (yang

merujuk kepada pemilihan akar ideologi liberal dan marxis)5,

maka dalam literatur dijumpai minimal 8 teori negara yaitu:

1. Teori Negara Korporatis;

2. Teori Negara Strukturalis;

3 Eric A. Nordlinger, “Taking State Seriously”, dalam Myron Weiner

dan Samuel P. Huntington (Editors), 1987, 

3. Teori Negara Formal;

4. Teori Negara Kapitalis Klasik;

5. Teori Negara Marxis Klasik;

6. Teori Negara Bonapartis;

7. Teori Negara Pluralis;

8. Teori Negara Organis.

B. Teori Negara Formal

Teori ini melihat negara sebagai sebuah lembaga formal

dengan sudut pandang normatif dan yuridis.6 Negara dikaji

dengan memperhatikan konstitusi dan aturan-aturan yang ada

di dalamnya serta struktur-struktur kelembagaan yang terpola

secara formal. Negara lebih dipandang sebagai sebuah struktur

status daripada tempat perumusan berbagai proses politik dan

dinamika masyarakat.

Negara hanya dipandang sebagai perwujudan dari

seperangkat aturan-aturan normatif, atau negara dilihat dari

segi kesejarahannya secara deskriptif. Pendeknya, negara dikaji

dari sudut das sollen, apa yang seharusnya dilakukan oleh

negara; dan tidak dari sudut das sein, apa yang dilakukan

negara dalam kenyataan.

Fungsi utama negara dipandang hanya sebagai penjaga

keamanan dan ketertiban sekaligus sebagai media artikulasi

aspirasi masyarakat menurut kontrak sosial telah dibuat oleh

masyarakat dan negara. Teori negara formal ini dapat

dipandang sebagai bagian dari Pendekatan Tradisional,7 atau

Pendekatan Kelembagaan,8 atau Pendekatan Formal9 dalam

kajian ilmu politik.

Negara yang menganut paham berdasarkan hukum pada

abad ke-17 dan paham ajaran negara berkonstitusi pada abad

ke-19 pada umumnya menganut teori ini. Negara dengan tipe

ini, lembaga pemerintah atau eksekutif hanya bertugas

menjalankan undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif.

Produk hukum yang dihasilkan pada abad ke-17 hingga abad

ke-19 banyak yang tidak memihak rakyat  karena lembaga diisi

oleh oleh orang-orang dan kelompok orang yang mempunyai

status ekonomi lebih mapan. Kelompok sosial ekonomi

tersebut membeli suara rakyat dalam pemilu. Kemudian setelah

terpilih menjadi anggota legislatif mereka membuat peraturan

perundang-undangan yang memihak kepentingan individu dan

kelompoknya.10

Jadi, prinsip yang utama adalah negara dan pemerintahan

hendaknya tidak campur tangan dalam urusan warga negara,

kecuali dalam hal yang menyangkut kepentingan umum seperti

misalnya bencana alam, hubungan luar negeri, dan pertahanan

negara. Aliran pikiran semacam ini disebut liberalisme dan

dirumuskan dalam dalil, “Pemerintahan yang paling sedikit

adalah yang paling baik” (the least governemnt is the best

government) atau dengan istilah Belanda dikenal sebagai

Staatssonthouding. Negara dalam pandangan semacam ini

disebut juga Negara Penjaga Malam (Nachtmachterstaat) yang

sangat sempit ruang geraknya. Ditinjau dari segi hukum,

konfigurasi negara semacam ini dikenal juga sebagai Negara

Hukum Klasik.

Menurut Miriam Budiardjo, tatanan yang melekatkan ruang

gerak negara dalam porsinya yang sempit itu didorong oleh

keinginan untuk menyelenggarakan hak-hak politik secara

efektif dengan cara membatasi kekuasaan pemerintahan

melalui konstitusi.11 Dalam hal ini, konstitusi itu menjamin

hak-hak politik  dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan

negara sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif

diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga

hukum, yang kemudian mencuatkan ide mengenai

konstitusionalisme.12

Dalam studi ilmu negara, kontekstualisasi kemunculan

Negara Hukum Klasik seperti diuraikan di atas, berpijak

kepada perkawinan antara teori ekonomi kapitalistik Adam

Smith dengan demokrasi konstitusional, yang berimplikasi

fungsi atau kewajiban negara. Seperti dituturkan oleh

Muchsan, agar setiap individu dalam melakukan kebebasannya

dalam rangka meningkatkan kesejahteraan mereka, dibutuhkan

adnaya keamanan dan ketertiban hukum. Dengan adanya

fourable climate dapatlah diciptakan kesejahteraan masyarakat.

Jadi, dalam negara yang bernapaskan liberalisme, perwujudan

kesejahteraan masyarakat lebih banyak diserahkan kepada

masyarakat itu sendiri sehingga fungsi negara terbatas hanya

dituntut menciptakan suatu situasi yang dapat melancarkan

kesejahteraan tersebut.13

Menurut Mochtar Mas’oed14, birokrasi sebagai aktor negara

dalam sistem bernegara ini masih mencakup fungsi yang

terbatas. Fungsi paling sederhana dengan tingkat keaktivan

paling rendah adalah sekedar melakukan administrasi.  Ia

hanya melaksanakan pekerjaan secara administratif, mencatat

statistik, dan menyimpan arsip. Kadang-kadang ia digambarkan

seperti “tukang jaga malam.” Kalau masyarakat sibuk bekerja,

negara tidak boleh ikut campur, tetapi kalau masyarakat tidur,

negara harus menjaga keamanan mereka. Ketika negara

sedemikian aktivnya, ia melakukan fungsi arbitrase dan

regulasi. Di sini, ia aktif menerapkan kekuasaan sebagai polisi

dan menyelesaikan sengketa antarberbagai kelompok

masyarakat dan mencoba mengendalikan kegiatan kelompok-

kelompok masyarakat itu sehingga tidak menimbulkan konflik

yang terbuka.

15 Hal ini dapat mengantarkan kepada suatu analisis tentang usaha

pemerintah  mengontrol oposisi serta mengembangkan strategi untuk

mengaitkan kepentingan-kepentingan masyarakat sipil yang diorganisir

menurut persekutuannya dengan struktur yang  menentukan dari rezim.

Strategi semacam ini disebut sebagai “korporatisme” yaitu suatu strategi

yang lebih berkaitan dengan penyelenggaraan perwakilan kepentingan

rakyat. Untuk itu negara mengatur dan menciptakan kelompok-kelompok

kepentingan dengan monopoli tertentu dan hak-hak istimewa dengan ciri-

ciri: (1) jumlahnya terbatas; (2) bersifat tunggal; (3) keanggotaan bersifat

wajib; (4) tidak saling bersaing; (5) diorganisasikan secara hierarkis; (6)

masing-masing kelompok dibedakan berdasarkan fungsinya; (7) memiliki

C. Teori Negara Kapitalis Klasik

Teori ini merupakan pertentangan dengan pandangan

kapitalisme klasik Adam Smith tentang pengaturan masyarakat

oleh “tangan yang tidak tampak” (the invisible hand)16 dengan

pandangan demokrasi mengenai negara penjaga malam

(nachtwachtersstaat).17 Dalam teori ini, negara dipandang

sebagai organ kemasyarakatan dengan peran yang kecil. Fungsi

negara didefinisikan sebagai agen pelayanan sosial

kemasyarakatan (social servises).

D. Teori Negara Marxis Klasik

Ini merupakan satu versi teori negara dari Karl Mark (1818-

1883).18 Dalam teori ini negara dipandang sebagai badan yang

tidak mandiri dan tidak memiliki kepentingannya sendiri. Hal

ini terjadi, mengingat negara hanyalah panitia yang bertugas

melayani kepentingan kelas borjuis atau kelas pemilik modal

yang merupakan kelas dominan dan berkuasa dalam

masyarakat. Negara berfungsi untuk mengelola kepentingan

kaum borjuis itu. Negara memainkan peran “tidak penting”

monopoli dalam mewakilkan kepentingan menurut kategori masing-masing;

(8) memperoleh pengakuan, ijian atau bahkan diciptakan sendiri oleh

pemerintah; dan (9) pemilihan kepemimpinan dan cara mengajukan tuntutan

dikendalikan oleh pemerintah. Dengan menunjuk kepada konfigurasi Orde

Baru, kelompok kepentingan dengan ciri-ciri semacam itu antara lain Korpri

(PNS), PWI (wartawan), dan sebagainya. Tentang hal ini periksa: Mohtar

Mas’oed,  “Hak-hak Politik dalam Negara Hegemonik: Pokok-pokok

Pikiran, makalah dalam diskusi LBH Yogyakarta, 23 September 1984,.

atau sekunder, sehingga menjadi alat pemaksa sekaligus

penindas dari kelas dominan terhadap kelas proletar.19

E. Teori Negara Bonapartis

Teori negara ini merupakan versi lain dari teori negara Marx,

yang dihasilkan dari studinya di Perancis di bawah Louis

Bonaparte.20 Dalam teori ini, negara tidak hanya dipandang

sebagai alat yang berkuasa dan tak sekedar pengelola

kepentingan kaum borjouis. Negara mempunyai kemandirian

relatif sehubungan untuk mempertahankan sistem kapitalisme.

Perubahan pandangan ini dipicu adanya pertentangan antara

golongan pemilik modal dengan kaum buruh. Para kaum buruh

menuntut perbaikan kesejahteraan, termasuk upah dan hak

untuk mogok yang ditolak kalangan pemilik modal karena akan

mengurangi akumulasi keuntungan. Dalam kondisi ini, negara

menyadari tidak dipenuhinya tuntutan itu akan berpengaruh

terhadap tujuan jangka panjang negara dan hanya akan

melanggengkan kapitalisme. Oleh sebab itu tekanan kelas

borjuis ditolak oleh negara dan negara bertindak sendiri.

Negara tidak lagi menjadi alat pribadi dari kelas borjuis,

melainkan menjadi alat sistem kapitalisme. Ada suatu spekulasi

bahwa negara Bonapartes ini tercipta dalam keadaan di mana

kelas borjuis sudah dikalahkan dan kelas buruh sudah cukup

kuat untuk menguasai negara.

F. Teori Negara Pluralis

Teori ini melihat negara sebagai alat yang netral dari aktor-

aktor sosial politik yang menguasai atau mempengaruhi negara.

Paham ini menekankan peran penting dari heterogenitas

masyarakat. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok

kekuatan sosial politik yang saling berinteraksi. Menurut

paham ini, tidaklah mungkin ada satu kelompok yang secara

eksklusif mengendalikan negara, yang mungkin terjadi adanya

kelompok tertentu yang lebih dominan dibandingkan dengan

kelompok yang lain.

Negara, menurut paham ini, mencerminkan pluralisme yang

ada dalam masyarakat dengan jalan menjadikan dirinya cermin

pluralitas, serta dengan melaksanakan kebijakan sejalan dengan

keragaman kepentingan masyarakat. Semua kelompok,

golongan atau kepentingan, bersama-sama mempengaruhi dan

mengendalikan negara sebagai alat yang netral.22

G. Teori Negara Korporatis

Menurut Kevin Passmore, gagasan korporatisme secara

sederhana diartikan sebagai sebuah proses pengambilan

putusan atau kebijakan yang dilakukan oleh lembaga badan

yang terorganisir. Lembaga yang ada itu mencerminkan

kepentingan-kepentingan yang ada, seperti serikat buruh,

organisasi pengusaha, kelompok keluarga dan petani, dan

sebagainya. Dan itu tidak termasuk pemerintah atau

parlemen.

Dalam pandangan Passmore, korporatisme itu mempunyai

motif politik untuk menciptakan proses politik yang

terorganisir. Jalan yang ditempuh adalah mengikat setiap

asosiasi yang ada sehingga tunduk kepada kemauan negara,

untuk menciptakan suatu patriotisme alamiah dari setiap kelas

masyarakat.24 Gagasan ini telah berkembang jauh ketika Plato

menulis karya yang berjudul Republic, bahkan secara praktis

sudah dilaksanakan pada masa pemikiran Abad Pertengahan

Berjaya dalam wujud konkritnya yaitu pandangan fungsional

tentang masyarakat.25

H. Teori Negara Strukturalis

Teori ini memperlihatkan bahwa negara memiliki kemandirian

secara relatif yang biasa disebut otonomi relatif negara.26

Kemandirian negara dianggap lahir karena terjadi konfigurasi

struktural dari kekuatan-kekuatan yang ada dalam kehidupan

masyarakat. Dengan demikian, kemandirian negara yang

bersifat relatif itu muncul dari perubahan sosial dan bukan

negara yang memformasinya. Dengan demikian, kemandirian

negara tidak merupakan inisiatif negara, melainkan produk

konfigurasi struktural masyarakat.

I. Teori Negara Organis

Teori ini memperlihatkan bahwa negara memiliki kemandirian

yang besar.27 Negara bukanlah cermin dari tuntutan dalam

masyarakat. Negara berperan aktif dalam mengambil kebijakan

non-demokratis sehingga negara “tidak melayani kepentingan

umum.” Yang terjadi adalah sistem totalitarianisme yaitu suatu

keadaan di mana akhirnya elit negara berlomba-lomba

berkuasa guna memenuhi ambisi kekayaan pribadi.


DEFINISI DAN

HAKIKAT NEGARA

A. 

Definisi negara berisi hakikat dan esensi karakteristik negara

yang sesungguhnya. Sekali pun demikian rumusan defisini itu

berada dalam alam gagasan manusia, sehingga tidak berbicara

negara itu sendiri, melainkan gambaran hal-hal yang berkaitan

dengan negara. Definisi negara berkembang dalam

pertumbuhan sejarah pemikiran manusia dan umumnya

merupakan hasil dari spekulasi filosofis. Definisi negara yang

universal diterima ketika didasarkan kepada penyelidikan

berbagai pemikiran kemudian diambil ciri-ciri karakteristiknya

dari kenyataan yang bersifat umum. Definisi negara yang

paling ideal mempertimbangkan kenyataan manusia sebagai

makhluk politik.

Ciri-ciri umum karakterisitk negara mencakup:

1. Negara merupakan gabungan dari sejumlah kehidupan

manusia.

32 | Definisi dan Hakikat Negara

2. Negara eksis karena adanya ikatan jiwa antara manusia

dengan negara.

3. Negara terdiri atas kesatuan yang meliputi bangsa-bangsa.

B. Pendapat Ahli

Ada sejumlah pendapat yang disampaikan oleh para ahli

mengenai definisi negara.

1. Menurut Poulantzas, negara merupakan badan yang

dominan, hegemonik, dan mandiri dalam membuat

kebijakan.1

2. Menurut Anthony Gidden, negara merupakan badan yang

kuat untuk menggapai tujuan jangka panjang guna

melindungi sistem produksi kapitalis.2

3. Menurut Harold J. Laski, negara adalah suatu masyarakat

yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang

bersifat memaksa di mana individu atau kelompok

merupakan bagian dari masyarakat itu.3

4. Menurut Max Weber, negara adalah suatu masyarakat yang

mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik

secara sah dalam suatu wilayah.4

5. Menurut Robert Mac Iver, negara adalah asosiasi yang

diselenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat pada

suatu wilayah yang berdasarkan sistem hukum yang

diselenggarakan oleh pemerintah.5

6. Menurut Woodrow Wilson, negara merupakan orang-orang

yang diorganisasikan dalam suatu wilayah tertentu.6

7. Menurut Miriam Budiardjo, negara merupakan suatu

daerah yang rakyatnya diperintah oleh pejabat yang

menuntut kepatuhan warganya menurut aturan serta melalui

kontrol dan kekuasaan yang sah.7

Jika diperhatikan berbagai pendapat para pakar di atas

menunjukkan sifat spekulasi filosofis mengenai kedudukan

negara sebagai alat/agency yang mempunyai wewenang

tertentu dalam mengendalikan persoalan-persolan dalam suatu

wilayah tertentu. Singkatnya, negara merupakan alat untuk

mencapai suatu tujuan dan alat itu berupa organisasi yang

berwibawa.8

C. Hakikat Negara

Sifat hakikat dari sebuah negara senantiasa sama walaupun

corak negara itu berbeda satu sama lain. Sebagai organisasi di

masyarakat, ia dibedakan dari organisasi-organisasi lain karena

negara mempunyai sifat-sifat yang khusus. Kekhususannya

terletak pada monopoli kekuasaan jasmaniah yang tidak

dimiliki oleh organisasi yang lain.

Hal ini karena negara dapat mendisiplinkan warganya

melalui mekanisme penjatuhan hukuman. Selain itu, negara


juga dapat mewajibkan warganya untuk mengangkat senjata

kalau negara itu diserang oleh musuh. Kewajiban itu juga

berlaku bagi warga negara di luar negeri. Negara dapat

memerintahkan warga negara untuk memungut pajak dan

menentukan mata uang yang berlaku di dalam wilayahnya.

Dengan demikian hakikat negara dapat dikualifikasi ke dalam 3

karakteristik sebagai berikut:

1. Bersifat memaksa.

2. Bersifat monopoli.

3. Bersifat mencakup semua (all-encompassing all

embracing).


UNSUR-UNSUR

NEGARA

A. 

Sekali pun sudah sering dicoba, hingga kini sulit untuk

menentukan secara pasti unsur-unsur yang memformasi

negara.1 Ketentuan yang pasti yang menentukan unsur-unsur

berdirinya suatu negara terdapat dalam The 1933 Montevideo

Convention on the Rights and Duties of States2 yang

menyebutkan adanya empat unsur-unsur sebagai hal yang

menentukan pemformasian negara.

1Lihat: the International Law Commission’s work on the proposed

Declaration on the Rights and Duties quoted in Crawford, Creation of States

in International Law, hlm.38-39.

2 Crawford J., 2006, Creation of States in International Law, 2nd

edition, Oxford University Press, hlm. . 32.

36 | Unsur-Unsur Negara

Unsur-unsur tersebut adalah (i) jangkauan wilayah yang

pasti; (ii) diselenggarakan oleh pemerintahan yang efektif; (iii)

adanya penduduk sebagai warga negara yang tetap; dan (iv)

kemampuan untuk melakukan hubungan internasional,

termasuk kewajiban menaati perjanjian internasional.3 Unsur-

unsur itu sering disebut sebagai the tradisional kriteria.

Kriteria itu diakui menurut prinsip efektivitas4 dan dalil dalam

bahasa Latin ex factis jus oritur, yang artinya kepastian hukum

menggambarkan sebagian dari fakta.5 Hanya saja dewasa ini

diperkenalkan unsur lain sebagai syarat berdirinya negara yaitu

exepcitional case.6

B. Wilayah

Syarat ini menjadi problematik. Tak ada ketentuan yang pasti

berapa kah luas minimum suatu wilayah untuk ditetapkan

sebagai salah satu unsur yang memformasi negara. Crawford

mengatakan, hak suatu negara yang independen untuk

menyusun pemerintahan yang berada dalam suatu wilayah

tertentu.7 Dalam formulasi ini, mempunyai makna sebagai

“kedaulatan wilayah.” Jangkauan kedaulatan wilayah ini,

menurut pendapat Mahkamah Internasional dalam Island of

Palmas Case, “involves the exclusive right to display the

activities of a State.”8

Suatu negara baru akan mampu mengontrol dirinya terhadap

“negara induk”, akan tetapi bukanlah dapat dikatakan sebagai

hal yang sebaliknya, apabila negara tersebut tidak mampu

berdaulat atas wilayahnya sendiri, dianggap belum dalam

kondisi sebagai negara mandiri. Masa kendali kontrol itu dapat

berlangsung dalam bermacam-macam situasi, akan tetapi 2

tahun adalah suatu masa sebagai “the minimum time period

necessary to qualify as a state.”9

C. Penduduk

Unsur ini dalam sejumlah kasus tidak dianggap sebagai suatu

masalah. Kenyataannya, definisi unsur ini diperluas sedemikian

rupa untuk dapat mencakup seluruh bagian dari tuntutan.

Syarat “tetap” dalam unsur ini dapat diartikan dalam 2 hal.

Pertama, penduduk menjadikan wilayah yang ada sebagai

dasar untuk menentukan tempat tinggalnya. Kedua, wilayah

itu—sebagai tempat tinggal—dapat diajukan tuntutan sebagai

lingkungan tertentu. 10 Pada asasnya tak ada ketetapan yang

pasti jumlah penduduk minimum untuk memformasi negara.

Penentu status penduduk adalah ikatan hukum dalam satu

kebangsaan.

D. Pemerintahan yang Efektif

Menurut Crawford, “The requirement that a putative State

have an effective government might be regarded as central to

its claim to statehood.”12 Makna pemerintahan sendiri dapat

dikaitkan dalam hubungan kepada 2 hal. Pertama, meliputi

lembaga-lembaga politik, administratif, dan eksekutif, yang

bertujuan untuk melakukan pengaturan dalam komunitas yang

bersangkutan dan melaksanakan tugas-tugas yang ditetapkan

dalam aturan hukum. Kedua, dengan menggunakan prinsip

afektivitas, kriteria government menunjuk kepada makna

“pemerintahan yang efektif” yang berarti lembaga politik,

administratif, dan eksekutif sungguh-sungguh melaksanakan

tugasnya dalam wilayah yang bersangkutan dan diakui oleh

penduduk setempat.13 Supaya efektif, maka pemformasian

lembaga-lembaga itu didirikan dan diatur oleh hukum yang

ditetapkan setelah pemformasian negara yang bersangkutan.14

Dalam hukum internasional tak ada ketentuan pasti

bagaimanakah kriteria kekuasaan negara itu dijalankan kecuali

berdasarkan bahwa hal itu berhubungan dengan self

determintion right. Keberadaan sistem pemerintahan akan

menjamin kepastian hukum berdirinya negara dan umumnya

sudah dipersiapkan saat pendirian suatu negara.

E. Hubungan dengan Negara Lain

Sebagian ahli menyebutkan syarat ini merupakan unsur

deklaratif, dan bukan unsur konstitutif berdirinya suatu negara.

Hal ini karena kemampuan menjalin hubungan dengan negara

lain lebih merupakan konsekuensi lahirnya suatu negara

dibandingkan sebagai syarat pendiriannya.15 Bahkan, syarat ini

tak hanya diperuntukkan bagi negara, akan tetapi juga untuk

organisasi internasional, termasuk bagian dari pengaturan

konstitusional seperti halnya dalam sistem federasi.16

F. Kriteria Modern

Konsep afektivitas memegang peran utama dalam syarat

berdirinya negara.17 Afektivitas bertujuan untuk memberikan

kepastian hukum dalam situasi nyata. Alasan penggunaan

prinsip ini adalah karena tidak adanya lembaga terpusat yang

mampu memaksakan hak dan kewajiban di tingkat

internasional.18 Oleh sebab itu, prinsip efektivitas merupakan

syarat pengakuan status hukum.

Dalam kaitannya dengan penentuan unsur-unsur berdirinya

negara, prinsip efektivitas bertujuan untuk landasan

menghadapi gugatan pihak lain. Pendiri negara sudah

melakukan perhitungan terhadap tindakan-tindakan mereka

saat menyatakan berdirinya suatu negara. Andai kata penentuan

syarat wilayah misalnya, dilakukan menurut suatu perjanjian

sebagai landasan hukum, maka prinsip efektivitas ini menjadi

tak begitu penting. Dalam kasus kolonisasi, ketidakmapuan

pemerintahan bekerja secara efektif merupakan kompensasi

dari adanya “right of external self-determination.”19

Di dalam praktik, prinsip efektivitas ini tak hanya berlaku

untuk penentuan unsur-unsur berdirinya negara. Misalnya,

dalam kasus Ethiopia, Austria, Czechoslovakia, Poland, the

Baltic States, Guinea-Bissau, dan Kuwait diakui sebagai negara

sementara keberadaan unsur-unsur pendiriannya tidak efektif.

Kemudian dalam kasus Rhodesia, Taiwan, dan the Turkish

Republic of Northern Cyprus, sekalipun unsur-unsurnya

efektif, akan tetapi tak dapat diakui sebagai negara. 20 Ada

banyak istilah untuk menyebut negara dalam kondisi ini,

seperti de facto state, quasi state, unrecognized state21,

unacknowledged condition22, pseudo state23, isolated state24,

ostracised state25, dan separatist state.

22 R. Baker, “Challenges to Traditional Concepts of Sovereignty”,


Oleh sebab itu, secara akademik, di samping prinsip

efektivitas, penilaian unsur-unsur berdirinya negara dalam

kajian kontemporer mengajukan usul kriteria modern.

Crawford menyebutnya sebagai kriteria de facto. Seperti kasus

Taiwan yang telah efektif mempunyai unsur-unsur pendirian

negara, akan tetap tak dapat bertindak sebagai negara dalam

ranah hukum internasional.27 Menurut Michael Rywkin, de

facto state lahir karena “detachment from a ‘parent state’ as a

result of an ethnic or religious conflict or state disintegration,

the wrong policy of a respective ‘mother state’ causing fear

among the population of the territory in question, existence of

an outside protector supporting the claims of the quasi-state,

lack of substantial recognition of the quasi-state, the fact that

despite their need for external support, these territorial units

function like real states.”28

Menurut Pål Kolstø, pengertian de facto state mempunyai 2

konsepsi yaitu, “the first one is a recognized state which has no

effective machinery to assert factual control over its whole

territory, the second case refers to the situation in which a

region of a respective state has seceded from that state and has

gained effective territorial control over a portion of the land

claimed by its elites, but the lack of recognition is its essential

feature.”29 Sehubungan dengan itu, penulis yang sama

mengatakan bahwa, “in order to clear up this confusion,


recognized but ineffectual states ought to be referred as ‘failed

states’, while the term ‘quasi-states’ ought to be reserved for

unrecognized, de facto states.”30 Selanjutnya diuraikan bahwa

“It is of overwhelming importance to note that the concept of

sovereignty is crucial in the context of clarifying the status of

the territorial entities involved. Kolstø asserts that modern

states are in possession of double sovereignty: internal (vis-à-

vis their citizens) and external (vis-à-vis foreign states) and it

follows that failed states and quasi-states represent deviations

from this ‘normal’ situation as the first category lacks internal

sovereignty despite its international recognition and in the

second case ‘the state as such is not accepted by the

international community as legitimate.”31

Menurut S. Pegg, “a de facto state exists where there is an

organized political leadership which has risen to power

through some degree of indigenous capability; receives

popular support; and has achieved sufficient capacity to

provide governmental services to a given population in a

specific territorial area, over which effective control is

maintained for a significant period of time.


ASAL MULA NEGARA

Pembahasan mengenai terformasinya negara dapat dibagi ke

dalam beberapa masa tahap pemikiran sebagai berikut:

1. Masa Yunani Kuno

2. Masa Romawi Kuno

3. Abad Pertengahan

4. Abad Renaissance

5. Masa Aukflarung

6. Masa Berkembangnya Teori Kekuatan

7. Masa Teori Positivisme

8. Masa Teori Modern

Berikut disajikan pembahasan pemikiran mengenai asal

mula negara dalam masing-masing periode secara ringkas.

A. Masa Yunani Kuno

Pada masa ini, pemikiran mengenai asal mula negara tumbuh

bukan karena Yunani sudah terformasi sebagai suatu negara


yang mandiri. Pada abad 4-8 SM masyarakat Yunani —atau

yang menggunakan bahasa atau terpengaruh kebudayaan

Yunani— tersebar di banyak tempat seperti Yunani, Kepulauan

Aegean, pesisir Asia Kecil, dan Kepulauan Sicily dan Italia

Selatan, termasuk semenanjung Mediterania termasuk Spanyol

dan Prancis, Libya, Mesir, dan Laut Hitam.

Bangsa Yunani tersebar di ratusan polies, salah satunya

adalah Athena, yang dikenal telah memenuhi persyaratan

sebagai sebuah negara modern, tetapi komposisinya sedikit

lebih besar dibandingkan dengan sebuah desa di negara modern

dewasa ini. Berbagai polies secara esensial merupakan

kesatuan politik yang independen, yang berhubungan antara

satu dengan yang lain, termasuk independensi dalam

menetapkan hukum dan menyusun kebijaksanaan masing-

masing.

Athena adalah polis terbesar dari jumlah penduduk,

kekuasaan, dan pengaruhnya, sampai kemundurannya akibat

orang Sparta. Pada masa Yunani Kuno ini, khususnya di

Athena, telah muncul banyak orator ulung, termasuk pemikir

filosof seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Para filosof itu

kebanyakan tinggal di wilayah Ionia (kawasan Asia Kecil, kira-

kira di Turki sekarang).1

Socrates (469-399 SM)

Menurut Socrates, negara bukanlah organisasi yang dapat

dibuat oleh manusia untuk kepentingan diri sendiri. Negara

adalah jalan susunan objektif yang berdasarkan hakikat

manusia. Manusia saling membutuhkan, manusia saling

bergaul, dan manusia saling menolong. Oleh karena itu, tugas

negara adalah melaksanakan hukum. Hukum yang objektif

mengandung keadilan bagi umum dan tidak semata-mata

melayani kebutuhan penguasa yang oknum-oknumnya silih

berganti.

Dalam pandangan Socrates, dengan berjalannya hukum dan

pemerintahan mempunyai efek untuk mencapai tujuan yang

ditetapkan dan ketidakpatuhan warga negara terhadap hukum,

akan menimbulkan tiga keadaan: seseorang akan melukai

orang tuanya, guru, dan mengingkari janji yang telah dibuat.

Oleh sebab ketidakpatuhan ini, akan mendorong perilaku

berbohong yang akan membahayakan negara secara

keseluruhan. Socrates menentang pendapat Glaucon, yang

mengatakan bahwa secara kodrati manusia memang senantiasa

berbuat tidak adil dalam pergaulan dengan sesama. Menurut

Socrates, manusia mempunyai kekuatan untuk menghindari

perilaku salah atau menyalahkan orang lain dan akan segera

mengambil faktor penentu lain untuk memperoleh kemanfaatan

dalam berhubungan dengan orang lain dan komitmen ini

tidaklah tercantum di dalam aturan-aturan yang dibuat oleh

negara.

Cara pandang Socrates yang mengajarkan pola pikir kritis

itu dianggap berbahaya. Oleh karena itu ia kemudian

ditangkap, diadili, dan dihukum dengan cara minum racun.

Selama dalam masa tahanan dan sebelum saat pelaksanaan

hukuman, sesungguhnya Socrates dapat dengan leluasa

melarikan diri dari penjara. Kawan satu tahanan pun membujuk

Socrates segera mengubah pandangan-pandangan hidupnya

supaya terbebas dari hukuman, akan tetapi Socrates menolak.

Alasan Socrates adalah sudah menjadi kewajiban setiap warga


negara untuk mematuhi hukum yang berlaku, sekalipun ia

sendiri menyadari bahwa ia menjadi korban dari perlakuan

hukum yang tidak adil tersebut.

Plato

Plato (427-347) adalah murid Socrates. Di dalam buku yang

berjudul Protagoras, Plato mengatakan bahwa sekali pun

manusia mempunyai kekuatan untuk memperoleh makanannya

sendiri, dirinya tak akan mampu menghadapi kekejaman seekor

binatang. Dalam posisi ini, manusia adalah belum mempunyai

civic skill, kemauan untuk hidup bersama sesamanya dalam

suatu masyarakat. Dalam karya yang lain, Laws, ketika

makanan jarang maka manusia akan berusaha untuk

mencegahnya dan oleh sebab itu akan bersatu dengan manusia

yang lain. Sekali pun belum mengenal aturan formal, manusia

yang berkelompok itu berkembang menjadi kesatuan yang

lebih besar dan akhirnya menjadi sesuatu yang mendekati

sebuah negara nasional. Dengan simbol memenuhi kebutuhan

akan makanan tersebut, Plato mengisyaratkan bahwa

berdirinya suatu negara didorong oleh kesadaran manusia

untuk mencukupi kebutuhannya sendiri.

Negara yang pada akhirnya terformasi itu bukanlah entitas

yang statis, melainkan dinamis yang perubahannya dikenal

dengan Siklus Plato. Maksudnya, pada awalnya negara

berformasi aristrokrasi. Jika para aristokrat itu mulai mengenal

ambisi duniawi, maka akan berubah menjadi tymokrasi. Jika

pembesar negara itu kemudian mulai bersekutu dengan orang-

orang kaya, maka akan memicu pemberontakan rakyat dan

kemudian melahirkan negara demokrasi. Akan tetapi,

demokrasi dapat lenyap jika tidak ada keamanan dan ketertiban

yang mendorong kelahiran diktator dalam negara tirani.  Lama-


lama ada gerakan rakyat yang memberontak dipimpin para

cendekiawan, yang kemudian menggulingkan tirani, dan

negara kembali ke formasi aristrokrasi, demikian seterusnya.

Plato sendiri menyenangi pendidikan sebagai jalan untuk

menumbuhkan kesadaran kepada rakyat akan cara mengatasi

kesukaran-kesukaran yang ditemui. Oleh sebab itu, Plato

mensyaratkan agar negara dipimpin oleh filosof, karena mereka

lah yang dapat mendidik rakyat seperti itu.

Aristoteles

Karena merupakan murid Plato, maka jalan pikiran Aristoteles

(346-322 SM), sama dengan sang guru tersebut. Dalam

argumen Aristoteles, negara yang baik adalah negara yang

memberlakukan hukum-hukum yang baik. Negara baik dapat

ditemui jika hukum berdaulat di dalamnya. Jadi Aristoteles

sangat menyukai adanya penguasa yang memerintah

berdasarkan konstitusi dan memerintah dengan persetujuan

warga negaranya, bukan pemerintahan diktator.

Mengenai asal mula negara, Aristoteles memberikan

pendapat yang tidak berbeda jauh dengan Plato, yang meyakini

bahwa negara merupakan gabungan dari keluarga-keluarga

yang menjadi kelompok besar. Kemudian kelompok ini

bergabung kembali lalu menjadi desa, kemudian desa

memformasi negara.

Negara terbaik adalah yang berformasi Republik

Konstitusional dan pemerintahannya adalah pemerintahan yang

berdasarkan konstitusi, dengan ciri-ciri sebagai berikut:2

1. Pemerintahan untuk kepentingan umum;

2. Pemerintahan dijalankan menurut hukum; dan

3. Pemerintahan mendapatkan persetujuan dari warga

negaranya.

Menurut Aristoteles dalam buku yang berjudul

Nicomachean Ethics, keadilan dan kesetaraan tercapai dengan

pengaturan oleh hukum, dan hukum bertahan diantara

kenyataan adanya ketidakadilan, ketika pelaksanaan hukum

bersifat diskrimination dalam menentukan mana yang adil dan

mana yang tidak adil. Keadilan itu sendiri dapat bersifat

distributif maupun korektif. Keadilan distributif  adalah

keadilan yang mencakup pembagian pendapatan, kekayaan,

dan aset-aset lain dalam masyarakat. Dalam alam pikiran

modern, keadilan yang ini lazimnya disebut “keadilan

legislatif” (legislative justice).3

Sementara itu, keadilan korektif tidak sama dengan keadilan

legislatif, tetapi ia merupakan suatu justice of the courts,

keadilan yang ditentukan oleh pengadilan. Keadilan korektif

memulihkan kembali hak-hak yang dilanggar, mengembalikan

kepada keseimbangan semula sebelum terjadinya pelanggaran.

Keadilan korektif dapat tercapai secara sukarela maupun

dengan paksaan. Keadilan dengan sukarela terjadi dalam

perbuatan seperti menjual, membeli, meminjam, menabung,

memadamkan api, dan sebagainya; sementara paksaan antara

lain melalui pemenjaraan, pembunuhan, dan perampokan

dengan kekerasan.

Dalam buku Nicomachean Ethics tersebut, Aristoteles juga

mengemukakan masalah kesetaraan, yang disebutnya

“memiliki pengertian tidak begitu jauh dari keadilan.” Hanya

saja kesetaraan tidak diberikan oleh hukum karena hukum tidak

bisa memberikannya atas semua kasus, khususnya melalui

keadilan korektif.5 Kesetaraan sendiri merupakan wujud nyata

dari keadilan.

B. Masa Romawi Kuno

Dalam perkembangan selanjutnya, bangsa Yunani yang besar

itu kemudian terpecah-pecah dan jatuh dalam kekuasaan

imperium Romawi. Oleh sebab itu, sedikit banyak kebudayaan

Yunani mempengaruhi Romawi, sekalipun ada sejumlah

perbedaan di antara keduanya.6

Setelah meninggalkan formasi kerajaan, Romawi kemudian

menjadi negara republik, tetapi dimaksudkan dengan formasi

ini tidaklah sama dengan pengertian di alam modern dewasa

ini, tetapi suatu formasi pemerintahan yang ditandai dengan

dominasi oleh sekelompok Aristokrat. Ada sebagian pejabat

publik yang dipilih dan mempunyai parlemen (Senate) yang

terdiri dari warga negara yang sudah dewasa. Komposisi Senat

meliputi para kepala keluarga, sehingga rekrutmen dilakukan

dari golongan kelas atas, dengan kewenangan terbatas di

bidang legislatif, akan tetapi dilekati juga fungsi sebagai

penuntut umum.

Pelaksanaan fungsi Senat jangan dibayangkan dengan kerja

parlemen modern yang penuh dengan perdebatan atau

pengajuan usul rancangan undang-undang lazimnya dewasa

ini, akan tetapi hanya menerima atau menolak usul-usul yang

diajukan oleh pemerintah, yang sebelumnya dipilih olehnya.

Pemerintah meliputi: (i) paretors yang bertanggung jawab

terhadap administrasi pengadilan; (ii) quaestors, yang

mengelola keuangan; dan (iii) aediles, yang menjalankan

fungsi kepolisian.7

Kalau bangsa Yunani menggunakan istilah polis untuk

mengabstrasikan alam pikiran mengenai negara, maka Romawi

menggunakan istilah civitas untuk menggambarkan hal yang

sama. Para pemikir kenegaraan yang terkenal pada masa ini

antara lain Lucretius (99-55 SM), Polybious (120-102 SM),

dan Cicero ( 106-43 SM).

Lucretius

Ahli kenegaraan ini mengikuti pola pikir Ephicurus, pemikir

Yunani murid dari Aristoteles yang memperkenalkan filsafat

individualisme. Menurut Locretius, manusia hidup tidak dalam

suatu masyarakat, akan tetapi mempertahankan diri dengan

ketersediaan pangan dan sandang yang ada di muka bumi.

Karena perasaan dengan kepentingan yang sama, manusia lalu

berkelompok untuk memformasi suatu komunitas yang lebih

besar melalui suatu perjanjian (foedera, treaty). Namun

komunitas ini mudah terpecah belah karena rebutan tambang

emas, yang memaksa pemikiran untuk membuat suatu aturan.

Oleh sebab itu, jika pada awalnya manusia dapat hidup

tanpa peraturan atau kebiasaan (custom), kemudian

memutuskan untuk menyusun peraturan dan menetapkan

undang-undang, dan memaksa orang-orang untuk bersedia

mematuhinya. Meskipun demikian, sedikit demi sedikit

dijumpai orang-orang yang melakukan pelanggaran hukum,

yang dengan tindakan-tindakannya menyebabkan terjadi

kekacuan dan ketidaktertiban kehidupan masyarakat.

Polybius

Pemikiran Polybius mengenai negara yang terkenal adalah

Siklus Polybius. Pada mulanya negara berformasi monarki

yang kekuasaan dilaksanakan oleh raja secara turun temurun.

Namun kemudian, raja itu bertindak sewenang-wenang dan

tidak memikirkan rakyatnya. Dengan demikian, pemerintah

berubah menjadi tirani yang dikendalikan oleh seorang

diktator.

Tirani mendapatkan tentangan dari cendekiawan dan

bangsawan yang menjatuhkan diktator, lalu pemerintahan

berubah formasi ke aristocrat. Dalam perkembangannya,

beberapa aristokrat tadi tidak lagi memikirkan kepentingan

rakyat sehingga formasi pemerintahan menjadi oligarki, yang

menyebabkan rakyat mendiri.

Dengan penderitaan rakyat itu, maka kemudian terjadi

pembangkangan sipil yang kemudian menempatkan rakyat

sebagai aktor utama pengambil keputusan kenegaraan dan

dalam hal ini pemerintahan berubah menjadi demokrasi, yang

antara lain memberikan kebebasan bertindak. Akibat

kebebasan yang tidak dikelola dengan baik, maka terjadi

kekacauan sehingga pemerintahan berubah menjad okhlokrasi.

Dalam keadaan kacau itu muncul orang kuat untuk

mengendalikan keadaan dan merubah formasi pemerintahan

menjadi monarki kembali.

Cicero

Dalam karya yang berjudul De republica, Cicero mengatakan

asal mula kehidupan bernegara tidaklah sama dengan jalan

berpikir Lucretius. Cicero mengatakan bahwa asal mula negara

adalah sebuah kota yang kemudian melalui sebuah kontrak

sosial, memformasi diri menjadi negara. Jadi, motivasi

pemformasian negara adalah dorongan rasional untuk

menciptakan ketertiban.

Dengan adanya kontrak sosial ini, Cicero meyakinkan

mengenai terhindarnya negara dari tirani. Bagaimana pun, kata

Cicero, tirani bertentangan dengan kepentingan negara itu

sendiri karena mengeskpresikan sosok manusia yang kejam.

C. Masa Abad Pertengahan

Masa Abad Pertengahan ini terbagi menjadi 2 periode yaitu

Masa Abad Pertengahan Awal (hingga tahun 1100 M) dan

Masa Abad Pertengahan Akhir (1100-1350 M). Masa ini

ditandai dengan lenyapnya berbagai gagasan kenegaraan masa

sebelumnya ketika bangsa Romawi dikalahkan oleh suku

bangsa Eropa Barat dan Benua Eropa memasuki abad

pertengahan.  Masyarakat Abad Pertengahan ini dicirikan oleh

struktur sosial yang feodal, kehidupan sosial dan spritualnya

dikuasia oleh Paus dan pejabat-pejabat agama, sedangkan

kehidupan politiknya ditandai oleh rebutan kekuasaan diantara

kaum bangsawan.9 Dengan demikian, masyarakat Abad

Pertengahan terbelenggu oleh kekuasaan feodal dan kekuasaan

pemimpin-pemimpin agama, sehingga tenggelam dalam apa

yang disebut masa kegelapan.

Dalam masa ini, ajaran Nasrani menunjukkan dominasinya

dengan menggeser pengaruh agama Yahudi dan kebudayaan

Romawi. Sekali pun tidak secara langsung mengendalikan

negara, akan tetapi ajaran Nasrani mempunyai kepedulian

terhadap persoalan negara dan kepentingan politik. Keadaan ini

menimbulkan dualisme antara gereja dengan negara. Dalam hal

ini, negara yang mempunyai otoritas politik dan hukum, tidak

seberapa kuat berhadap dengan gereja yang mempunyai

wibawa keagamaan dan spiritual dengan jangkauan kekuasaan

yang lebih luas. Kekuasaan negara dianggap turunan dari

kekuasaan Tuhan, sehingga negara terserap di bawah pengaruh

gereja. Demikian pula, kehidupan ilmu pengetahuan

dikendalikan oleh gereja. Pemikiran-pemikiran kritis ditentang

sepanjang bertentangan dengan doktrin yang diajarkan oleh

gereja.

Dalam perkembangan selanjutnya, muncul gerakan untuk

melakukan perubahan sosial dan kultural yang berintikan pada

pendekatan kemerdekaan akal dari berbagai batasan. Gerakan

itu berpusat pada 2 kejadian besar yaitu Renaissance dan

reformasi. Renaissance adalah aliran yang menghidupkan

kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno, yang

berupa gelombang kebudayaan dan pemikiran yang dimulai di

Italia pada abad ke-14 dan mencapai puncaknya pada abad ke-

15 dan ke-16. Masa Renaissance adalah masa di mana orang

mematahkan semua ikatan yang ada dan menggantikan dengan

kebebasan bertindak seluas-luasnya, sepanjang sesuai dengan

apa yang dipikirkan karena dasar dari ide ini adalah kebebasan

berpikir dan bertindak bagi manusia. Kejadian tersebut di

samping telah mengantarkan dunia pada kehidupan yang lebih

modern dan mendorong berkembang pesatnya ilmu,

pengetahuan dan teknologi, telah pula memberikan sisi buruk

seperti perbuatan amoral dan melakukan apa saja yang

diinginkan sepanjang dikehendaki oleh akal.10

Berkembangnya pengaruh kebudayaan Yunani Kuno yang

mendorong Renaissance disebabkan terjadinya Perang Salib,

suatu perang antara penganut agama Kristen dan Islam selama

lebih dari 2 abad (1096-1291) dalam memperebutkan kota

Yerusalem. Dorongan Perang Salib bagi Renaissance ini

muncul karena terjadinya kontak gagasan antara dua pihak

yang berperang.11 Seperti diketahui, bahwa pada Abad

Pertengahan peradaban Barat tenggelam dalam kegelapan,

sebaliknya, dunia Islam pada waktu itu justru berada pada

puncak kejayaan peradaban yang karena perhatiannya untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga masa itu menjadi

“Peradaban Ilmu.”

Islam telah memberikan kontribusi besar kepada

kebudayaan Eropa dengan menerjemahkan warisan Parsi dan

Yunani yang kemudian disesuaikan dengan watak bangsa Arab

serta menyeberangkannya ke Eropa melalui Siria, Spanyol, dan

Sisilia, suatu arus penyeberangan yang menguasai alam pikiran

Eropa dalam Abad Pertengahan.12 Dipandang dari sudut

sejarah kebudayaan maka tugas menyeberangkan kebudayaan

ilmu pengetahuan itu tidaklah kecil nilainya bagi penciptaan

ilmu pengetahuan yang asli, sebab tanpa migrasi budaya itu,

islam telah mengembangkan karya Aristoteles, Galenus,

Prolemaois, dan menyeberangkannya ke Barat, sehingga ilmu-

ilmu itu diwarisi oleh generasi Renaissance di Eropa.

Peristiwa lain adalah Reformasi, yaitu revolusi agama di

Eropa Barat pada abad ke-16 yang awalnya dimaksudkan untuk

perbaikan dalam geraja Katolik akan tetapi kemudian

berkembang menjadi asas-asas Protestanisme. Reformasi

dimulai ketika Martin Luther menempelkan 95 dalil di pintu

gereja Wittenberg (31 Oktober 1517) yang kemudian segera

memancing serangan kepada gereja. Berakhirnya Reformasi

ditandai dengan terjadinya perdamaian Westphalia (1648) yang

mengakhiri peperangan selama 30 tahun. Namun Protestanisme

yang lahir dari reformasi itu tidak hilang, melainkan tetap

menjadi kekuatan dasar di dunia Barat sampai sekarang.13

Para pemikir kenegaraan pada masa Abad Pertengahan

paruh pertama adalah:

1. Agustinus

2. Thomas Aquinas

3. Marsilius

4. Thomas Mores

Ciri-ciri pemikiran asal mula negara dalam masa ini adalah

sebagai berikut:

1. Kekuasaan negara diperoleh dari Tuhan dan negara sebagai

suatu organisasi bersedia untuk mematuhi segala perintah

Tuhan.

2. Konsepsi negara berdasarkan ajaran Tuhan (theocracy). Di

Eropa, berdasarkan ajaran Nasrani, mengakui dualisme

gereja dan negara. Hanya saja segala urusan spritual


merupakan bagian dari kekuasaan Tuhan yang

dilaksanakan oleh Paus, sedangkan ketertiban merupakan

urusan negara. Ajaran Protestan menolak konstruksi ini,

akan tetapi hanya mengakui satu kekuasaan yang melekat

pada negara, sekalipun mengakui bahwa sumber kedaulatan

adalah Tuhan.

3. Sistem pemerintahan adalah teokrasi tidak langsung,

maksudnya Pemerintah adalah wakil Tuhan yang

mengurusi kekuasaan negara.

4. Negara menggantungkan diri kepada masyarakat yang

beragama dan bertumpu pada satu keyakinan sehingga

segala sesuatu yang dianggap bid’ah akan dihukum dan

diasingkan.

5. Gereja merupakan pusat spritualiatas sedangkan negara

merupakan pusat kekuasaan; Hukum atau panduan

kehidupan di bawah lindungan raja, yang mana raja kebal

dan menduduki posisi yang terhormat.

6. Gereja mendidik kaum muda dan menolak kehadiran ilmu

pengetahuan.

7. Hukum publik dan privat tidak dibedakan, kedaulatan

wilayah digunakan untuk melindungi kepemilikan tanah,

dan bertumpu pada kekuatan keluarga bangsawan.

8. Sistem sosial kemasyarakatan bersifat feodal. Kekuasaan

negara terbagi-bagi, dari Tuhan kepada raja, dari raja

kepada bangsawan, lalu kepada kesatria, dan kepada kepala

wilayah (town). Hukum bersifat partikularistik.

9. Lembaga perwakilan terdiri dari bangsawan, yang mana

hukum negara ditentukan oleh para pendeta dan para

bangsawan.


10. Bangsawan besar dan kecil mempunyai kekuasaan untuk

meneruskan keturunannya, yang kekuasaanya jauh

berkembang seiring dengan melemahnya negara.

Sementara pada posisi lain kaum tani tidak menikmati

kebebasan yang berarti.

11. Negara pada masa ini menjalankan konsep Rechsstaat,

akan tetapi tidak ada pengelolaan badan pengadilan,

sehingga upaya menegakkan hak dilaksanakan oleh

masyarakat sendiri. Pemerintah dan birokrasi lemah dan

tidak berkembang.

12. Kesadaran spiritual rendah, dan jika ada, maka itu

dilaksanakan menurut insting dan tendensius, sehingga

kebiasaan merupakan sumber hukum yang utama.

Setelah Renaissance dan reformasi mulai muncul pemikiran

yang khas mengenai kenegaraan seperti nampak dalam karya-

karya:

1. Nicollo Machiaveli

2. Jean Bodin

3. Fransisco Suarez

4. Hugo Gratius

5. Thomas Hobbes

Nicollo Machiaveli (1469-1527)

Pemikiran mengenai negara dituangkan di dalam buku yang

berjudul Il Principle (Sang Penguasa). Menurut Machiaveli

negara merupakan puncak kesadaran tertinggi. Kesadaran itu

dicapai oleh kesadaran manusia itu sendiri dan tidak diberikan

oleh agama. Namun demikian ia menolak keberadaan negara

yang berdasarkan hukum seperti cita-cita pemikir Yunani dan


Romawi Kuno. Baginya, hukum publik tidak lebih merupakan

saran mencapai kesejahteraan dan juga memperbesar

kekuasaan negara. Negara amat ditentukan oleh bagaimana

politik kekuasaan dijalankan. Negara ada bukan karena alasan

moral atau hukum, tetapi karena kebutuhan politik. Politik dan

kekuasaan dijalankan oleh negarawan, tetapi tidak perlu

memperhatikan ajaran moral dan pertimbangan hukum. Cita-

cita untuk mewujudkan kesejahteraan secara menyeluruh harus

diabaikan.

Machiavelli memelopori tumbuhnya sistem politik yang

independen dari ajaran agama dan pemisahan antara hukum

dan politik. Dia mengajukan kebijakan negara yang tidak

bermoral dan tidak adil, yang menyumbang gagasan besar bagi

tumbuhnya politik yang korup pada setidaknya di 3 negara.

Machiavelli adalah penyokong intelektual untuk pemerintahan

yang tiran.

Abstrasi gagasan Machiavelli itu dikenal sebagai ragione di

statio atau dalih negara, yang kemudian ditafsirkan sebagai

politik “menghalalkan segala cara.” Ajaran ini sangat

mengejutkan bagi dunia yang baru beranjak dari Abad

Pertengahan yang didonomiasi oleh paham keagamaan.

Kendati dekat dengan kalangan Paus, Machiavelli telah

membahas kekuasaan dan politik secara sekuler.

Jean Bodin (1530-1598)

Bodin melihat negara merupakan hak pemerintah dengan

kekuasaan penuh. Basis negara adalah keluarga, kepemilikan

umum, dan kedaulatan. Bodin menyalalahkan gagasan

kenegaraan pada masa sebelumnya terlalu menekankan kepada

kesejahteraan. Dengan ajaran kedaulatannya, Bodin

memberikan kontribusi bagi berlangsungnya sistem monarki

absolut di Prancis. Bukan hanya di Prancis, gagasan Bodin juga

diterima di Inggris.

Bodin berpendapat bahwa negara adalah keseluruhan dari

keluarga dengan segala miliknya yang dipimpin oleh akal dari

seorang penguasa yang berdaulat. Para keluarga, yang menjadi

basis berdirinya negara, menyerahkan beberapa hal menjadi

urusan negara yang kemudian membuat kekuasaan negara

dibatasi tindakannya menurut moralitas hukum alam.

Raja sebagai pemimpin yang berkuasa disampiri oleh atribut

kedaulatan yang bersifat, pertama, tunggal. Ini berarti hanya

negara yang memiliki segalanya jadi di dalam negara itu tidak

ada kekuasaan lain yang membuat undang-undang atau hukum.

Kedua, asli, yang berarti kekuasaan itu tidak berasal dari

kekuasaan lain, bukan diberikan atau diturunkan dari

kekuasaan lain. Ketiga, abadi. Kekuasaan tertinggi ada pada

negara. Keempat, tidak dapat dibagi-bagi. Kedaulatan itu tidak

dapat diserahkan kepada orang atau badan lain, baik sebagian

maupun seluruhnya.

Fransisco Suarez

Fransisco Suarez merupakan pemikir hukum dari Spanyol yang

beraliran Jesuit.  Dalam karya yang berjudul De legibus ac Deo

legislatore (1612), dikatakan bahwa orang-orang bergabung

memformasi negara sebagai political body adalah “by their

deliberate will and common consent14.” Kemudian, dari

pemformasian negara itu, kekuasaan diserahkan kepada

seseorang sebagai raja atau kepada negara lain, dan kemudian

sang raja mewariskan kekuasaan turun temurun dengan syarat-

syarat yang sama pada saat ia menerima kekuasaan untuk

pertama kali dari masyarakat.

Dalam pandangan Suarez, tidak benar bahwa Tuhan yang

memberikan kekuasaan kepada raja, tetapi mungkin saja

memberikan wahyu seperti yang dialami oleh Sulaiman dan

Dawud, tetapi jelas itu bukan merupakan hukum. Dalam situasi

norma, masyarakat yang menentukan sebuah wewenang

pemerintahannya, dan kemudian atas kehendak Tuhan semua

itu dapat terlaksana.15

Hugo Gratius (1583-1645)

Gratius juga sering disebut sebagai Bapak Hukum

Internasional karena pemikirannya dianggap sebagai peletak

dasar teori hukum internasional, sebagaimana karyanya dalam

buku De Jure Bell ac Pacis, artinya “Hukum Perang dan

Damai.” Menurut Gratius, negara ada karena perjanjian

masyarakat, akan tetapi perjanjian itu tidaklah karena

mendapatkan ilham dari Tuhan, melainkan atas dasar rasio

manusia itu sendiri. Dia menghargai pemikiran individu

manusia. Oleh sebab itu, peradaban baru manusia itu tidak

karena terformasinya negara, melainkan karena keberadaan

para individu tersebut.

Pemisahan tajam antara gereja dengan politik negara dan

penghargaannya kepada kebebasan manusia merupakan prinsip

dasar dari gagasan penulis Belanda ini. Dia menyebut negara

sebagai kesatuan dari kebebasan manusia yang bergabung di

dalamny


Ilmu negara 2


 


a berarti akan memperoleh keadilan hukum dan

kesejahteraan. Personalitas negara tidak dikenal dalam

pemikirannya, tetapi hal ini tidak banyak dibahas di dalam


karya-karyanya. Ia menegaskan bahwa kesadaran manusia

adalah sumber hukum yang tertinggi.

Thomas Hobbes (1588-1679)

Karena struktur masyarakat Inggris yang terjebak dalam perang

saudara, maka pada waktu itu Thomas Hobbes belum

menggunakan gagasan asal mula negara yang terbuka seperti

Gratius. Hobbes, karena pengalaman hidupnya sendiri, melihat

manusia itu merupakan serigala bagi manusia lain (homo

homini lupus) yang mengakibatkan perang permanen antara

semua lawan semua (bellum omnium comtra omnes) seperti

dikemukakan dalam buku yang berjudul Leviathan (1651).

Namun manusia tidak mungkin terus menerus hidup dalam

situasi seperti itu. Karena itu mereka harus mengadakan

perjanjian di mana mereka menyerahkan segala hak-hak

asasinya kepada negara. Sebagai akibatnya, negara berkuasa

secara mutlak dan dengan kedaulatan yang tidak terbagi, yang

diwujudkan dengan adanya monarki absolut.

Dengan konstruksi pemikiran itu, Hobbes menjadi teoritikus

monarki absolut dan pelopor ateisme di Inggris.16 Ajaran itu

menjadi sandaran bagi penguasa di Eropa lebih dari satu abad

lamanya.

D. Masa Aukflarung

Masa Aukflarung sering juga disebut sebagai Masa Pencerahan

atau Masa Rasionalisme. Seperti sudah dikemukakan di atas,

adanya Perjanjian Westphalia (1648) telah mengakhiri

peperangan antara golongan Katolik dan Protestan di Eropa.

Implikasi perjanjian itu menghasilkan konsep negara yang


sekuler dengan toleransi agama. Semenjak itu penguasa tidak

berwenang lagi menghalangi atau mengharuskan pengalihan

agama dari masing-masing rakyatnya. Di bidang politik,

wewenang monarki untuk menetapkan undang-undang harus

melalui persetujuan parlemen. Intinya, perjanjian itu

menghasilkan balance of power dalam hubungan internasional.

Para pemikir kenegaraan pada masa ini antara lain John

Locke, Montesqiue, dan Immanuel Kant.

John Locke (1632-1704)

Perang Saudara yang berkecamuk di Inggris membuat John

Locke harus hidup dalam pengungsian di Prancis dan Belanda

(1683-1689). Locke mengambil jarak dari ajaran hukum alam

dan Hobbes, serta mengambil sikap yang liberal. Dalam

pandangan Locke, keadaan alamiah (saat individu belum

memformasi negara) bukanlah keadaan kacau, melainkan

keadaan dalam suasana yang tertib.

Dalam buku Two Treaties of Government (1689) Locke

menguraikan cikal bakal konsepnya mengenai pemisahan

kekuasaan, terutama dalam bab XII yang membicarakan

“kekuasaan legislatif, eksekutif, dan federatif dari negara.”

Locke mengajarkan cikal bakal konsep balance of power

dengan memungkinkan rakyat ‘memecat’ raja yang melanggar

perjanjian masyarakat, melalui mana rakyat telah melimpahkan

kekuasaan kepada raja untuk menjalankan pemerintahan.

Rakyat dengan senang hati telah mengikatkan diri pada

perjanjian masyarakat justru untuk melindungi lives, liberty,

dan estates mereka.

Filosof Prancis ini antara lain menulis Lectures persanes

(Surat-Surat dari Prusia, 1721) dan kemudian yang terpenting

De I’esprit des lois (Semangat Undang-Undang, 1748). Dia

memberikan sumbangan utama kepada pemikiran politik dan

hukum melalui konsep formasi-formasi negara dalam kerangka

negara hukum. Montesqieu mengembangkan lebih jauh konsep

John Locke mengenai monarki konstitusional, di mana

kekuasaan yang satu membatasi kekuasaan yang lain.

Kekuasaan absolut dicegahnya melalui pemisahan kekuasaan

yang membagi negara ke dalam 3 poros kekuasaan yaitu

eksekutif, legislatif, dan yudisial.

Menurut konsep ini, kekuasaan eksekutif ada pada raja,

yang menjadwalkan kerja legislatif, dan mempunyai veto

terhadap keputusan legislatif, yang diatur menurut konsep

perwakilan. Kekuasaan yudisial adalah kekuasaan independen.

Ajaran Montesqiue berdampak langsung pada robohnya paham

absolutisme yang sampai zaman itu terutama diwujudkan pada

pemerintahan monarki.

Jean-Jacques Rousseau (1712-1778)

Karya terutama filosof Prancis ini adalah Du Contract Social:

Ou Principle du Droit Politique (Tentang Kontrak Sosial; atau

Prinsip Hak Politik, 1762).  Timbulnya Rousseau bukanlah

karena kehendak Tuhan atau alam, akan tetapi karena

perjanjian masyarakat. Adapun perjanjian itu lahir karena ada

hakikat kebebasan yang melekat pada diri manusia.

Kemerdekaan hanya dapat tegak karena pengakuan persamaan.

Kehendak bersama itu merupakan abstraksi dari keseluruhan

kehendak masing-masing warga negara. Atas dasar itulah,

keadaan yang absolut tidak terbagi dan tidak dapat dialihkan

berada di tangan rakyat.

64 | Asal Mula Negara

Immanuel Kant (1724-1804)

Filosof Jerman ini baru pada usia 46 tahun menghasilkan

karya-karya yang penting. Immanuel Kant menyebut dasar

ajarannya adalah filsafat transendental. Sehubungan dengan

negara, Immanuel Kant menekankan pentingnya Rechsstaat

atau Negara Hukum yang meletakkan tugas penting negara

untuk menjamin keamanan setiap warga negaranya. Kant

menolak konsep Negara Polisi (Polizeistat) yang kemudian

membayangkan timbulnya negara menurut aturan-aturan

konstitusional.

Ciri-ciri Negara Hukum ini menurut Kant, meliputi hal

sebagai berikut. Pertama, negara terutama sekali untuk

menjamin hak asasi manusia. Kedua, negara harus mengakui

hak-hak individu. Ketiga, jaminan kesejahteraan rakyat dapat

dicapai apabila negara melaksanakan kewajibannya sebatas apa

yang sudah diatur dalam hukum. Keempat, negara tidak

berdasarkan agama, melainkan kebebasan individu. Kelima,

rakyat harus dilibatkan dalam urusan-urusan publik.

E. Masa Teori Kekuatan

Teori kekuatan berbasis kepada pendapat bahwa kekuasaan

muncul karena adanya keunggulan kekuatan seseorang yang

lain. Jika mereka berada di alam bebas, maka mereka akan

hidup sendiri-sendiri, dan ketika bertemu yang lebih kuat akan

menakhlukkan yang lemah. Jadi, kekunggulan fisik dapat

digunakan untuk menguasai orang lain, guna kepentingan si

kuat tadi, ataupun untuk kepentingan bersama di bawah

perintah si kuat tadi.

Dalam ketatanegaraan modern, orang kuat dapat diartikan

sebagai orang-orang yang memegang kekuasaan peemrintahan.

Jika yang dimaksud kuat dalam alam bebas adalah kekuatan


fisik, maka pada zaman modern kekuatan tidak semata-mata

pada fisik, tetapi juga menyangkut politik, ekonomi dan

militer.18

Beberapa pemikir yang pendapatnya mencerminkan teori

kekuatan antara lain adalah Oppenheimer, Otto van Gierke,

Karl Marx, Harold J. Laski, dan Leon Duguit.

Oppenheimer

Dalam buku yang berjudul Die Sache Oppenheimer

mengatakan bahwa negara merupakan alat dari golongan yang

kuat untuk menertibkan masyarakat. Golongan kuat tadi

mengenakan peraturan ini kepada golongan yang lemah dengan

maksud untuk menyusun dan membela kekerasan yang

dilakukan golongan kuat tadi terhadap orang baik di dalam

maupun di luar sistem, terutama sistem ekonomi. Sedangkan

tujuan akhir dari semuanya ini adalah penghisapan ekonomi

golongan lemah oleh golongan yang kuat.19

Otto van Gierke (1841-1921)

Aliran pemikiran Gierke merujuk kepada mazhab historis yang

didirikan oleh Von Savigny. Menurut Savigny, hukum

merupakan struktur organik yang pertumbuhannya

menggambarkan perkembangan negara.  Namun berlainan

dengan Savigny yang mempertahankan hukum Romawi

sebagai elemen pembangunan hukum di Jerman, Gierke justru

menolak, karena menurutnya yang terbaik struktur hukum itu

dibanding atas “hukum asli” Jerman yang telah ada di masa

lampau. Gierke menganggap negara merupakan struktur

organik yang lahir dari perjanjian sosial yang mencerminkan

perilaku orang-orang yang ada di dalamnya.

Karl Marx

Menurut Karl Marx, negara adalah penjelmaan dari

pertentangan-pertentangan kekuatan ekonomi. Negara

dipergunakan sebagai alat dari mereka yang kuat untuk

menindas golongan-golongan yang lemah ekonominya. Yang

dimaksud dengan orang yang kuat adalah mereka yang

memiliki alat-alat produksi. Negara, menurut Marx, akan

lenyap dengan sendirinya kalau dalam masyarakat itu tidak

terdapat lagi perbedaan-perbedaan kelas dan pertentangan-

pertentangan ekonomi.20

Harold J. Laski

Dalam buku yang berjudul The Satet in the Theory and

Practice, Laski berpendapat bahwa negara merupakan suatu

alat pemaksa (Dwang Organizatie) untuk melaksanakan dan

melangsungkan suatu jenis sistem produksi yang stabil.

Pelaksanaan sistem produksi ini semata-mata akan

menguntungkan golongan kuat yang berkuasa. Artinya, andai

kata penguasa itu berasal dari aliran kapitalis, maka organisasi

negara itu tadi selalu akan dipergunakan oleh penguasa untuk

melangsungkan sistem ekonomi kapitalis.21

Leon Duguit (1859-1928)

Dalam buku yang berjudul Traite de Droit Constitutional,

pemikir Prancis ini tidak mengakui adanya hak subjektif atas

kekuasaan, dan juga menolak ajaran perjanjian masyarakat

tentang terjadinya negara dan kekuasaan. Menurutnya yang

terjadi adalah orang-orang yang paling kuat memperoleh power

untuk memerintah karena beberapa negara lain telah menurun

kekuatannya atau dapat dikatakan telah hilang dan cenderung

membicarakan negara sebagai organisasi kemasyarakatan yang

diatur oleh hukum-hukum positif.22

F. Masa Positivisme

Positivisme adalah aliran pemikiran yang bekerja berdasarkan

empirisme, dalam upaya untuk merespon keterbatasan yang

diperlihatkan oleh filsfat spekulatif seperti yang diperlihatkan

oleh Immanuel Kant. Sebagai aliran filsafat, positivisme adalah

suatu aliran yang mula-mula diperkenalkan oleh Saint-Simon

(1760-1825) dari Prancis dan kemudian dikembangkan oleh

Auguste Comte (1798-1857). Beberapa pemikir yang

dikategorikan dalam aliran ini adalah Rudolf von Jhering

(1818-1892), Eugen Erlich (1862-1922), dan Hans Kelsen

(1881-1973).

Rudolf von Jhering

Mula-mula von Jhering menempatkan diri dalam aliran sejarah

yang dipelopori oleh von Savigny di Jerman. Tetapi dalam

buku yang berjudul Der Zweck im Recht dia menegaskan

pandangan positivistik, bahwa negara adalah satu-satunya

sumber hukum. Konsekuensi logis dari pernyataan ini adalah di

luar negara tidak ada hukum dan penerimaan pandangan ini

bisa menjurus ke arah absolutisme.

Eugen Erlich

Bagi Erlich, program pokok dari tatanan hukum adalah

mengembalikan hukum kepada kenyataan eksistensia

(Seinstatsachen). Setiap perilaku yang dilakukan berulang-

ulang, akan dianggap sebagai hukum, sedangkan apa yang

dianggap sebagai norma akan menjadi norma. Menurut

Budiono Kusumohamidjojo, pemikiran seperti itu ada

bahayanya.

Karena masyarakat dapat kalah melawan oligarki yang

korup tetapi solid, orang dapat menjadi semakin apatis

terhadap korupsi dan kolusi sedemikian rupa, sehingga korupsi

dan kolusi dianggap sebagai perilaku yang normal. Apakah

korupsi dan kolusi lalu pantas dijadikan norma juga?

Hans Kelsen

Menurut Kelsen, negara merupakan suatu tertib hukum yang

muncul karena diciptakannya peraturan-peraturan hukum yang

menentukan bagaimana orang di dalam masyarakat atau negara

itu harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Peraturan-

peraturan hukum itu berlaku mengikat, artinya bahwa setiap

orang harus menaatinya. Jadi, negara adalah suatu tertib hukum

yang memaksa.

G. Teori Modern

Gugus pendapat dalam teori modern mengatakan bahwa negara

adalah suatu kenyataan. Negara terikat, waktu, keadaan, dan

tempat. Oleh sebab itu, teori modern lebih condong kepada

hukum tata negara karena membicarakan negara sebagai

kenyataan yang ada.

Menurut Soehino, pemikiran teori modern ini nampak antara

lain dari pendapat Kranenburg dan Logeman.24

Kranenburg

Menurut Kranenburg, negara adalah suatu organisasi

kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang

disebut bangsa. Jadi, terdapat kelompok manusia, lalu

mempunyai kesadaran bersama, dan kemudian mendirikan

organisasi. Organisasi itu bertujuan untuk memelihara

kepentingan kelompok tersebut.

Logeman

Menurut Logeman, negara adalah organisasi kekuasaan yang

menyatukan kelompok manusia yang disebut sebagai bangsa.

Oleh sebab itu, pertama-tama negara merupakan organisasi

kekuasaan, kemudian organisasi itu mempunyai kewibawaan.

Dalam pandangan ini, negara merupakan hal yang utama,

sedangkan manusia atau bangsa sebagai pendukungnya,

merupakan masalah berikutnya.


BENTUK NEGARA

A. 

Peninjauan mengenai masalah bentuk negara merupakan

pembahasan mengenai dalam formasi apa organisasi negara itu

menjelma ke dalam masyarakat. Berdasarkan teori kenegaraan

pembahasan masalah ini merupakan batas antara peninjauan

secara sosiologis dan yuridis. Dari segi sosiologis, yang

melihat bangunan negara sebagai satu kebulatan (Ganzeit)

maka pembahasannya adalah mengenai bentuk negara. Akan

tetapi dari segi yuridis yang melihat bangunan negara dalam

struktur atau isi, maka pembahasannya mengenai sistem

pemerintahan.

Kondisi ini mengakibatkan tidak adanya kesepakatan antara

para sarjana dalam memberi pengertian bentuk negara dan

72 | Bentuk Negara

bentuk pemerintahan. Misalnya, beberapa sarjana menyatakan

bahwa bentuk negara adalah kerajaan dan republik, sedangkan

pendapat lain mengatakan bahwa bentuk negara adalah negara

kesatuan atau negara federal. Bahkan, ada yang memberi arti

sama antara bentuk negara dengan bentuk pemerintahan.

Menurut Miriam Budiardjo1, pemisahan itu dilaksanakan

secara horisontal dan vertikal. Pemisahan kekuasaan secara

horisontal kekuasaan dibagi menurut fungsinya yaitu legislatif,

eksekutif, dan yudisial. Sementara itu, pemisahan kekuasaan

secara vertikal tercermin dalam pembagian kekuasaan

berdasarkan tingkat atau hubungan antar-tingkatan

pemerintahan. Dalam konteks pemisahan kekuasaan secara

vertikal itulah maka perbincangan mengenai bentuk negara

menemukan relevansinya.

Dalam tulisan pada bab ini, bentuk negara diartikan sebagai

susunan negara, yang menyangkut pengorganisasian kekuasaan

negara secara vertikal. Dengan demikian, fokus utama dalam

masalah ini adalah bagaimanakah kekuasaan itu dijalankan di

dalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi bentuk negara

di sini dibahas menurut susunan kekuasaan. Sedangkan

masalah bentuk pemerintahan, penulis dalam pembahasan bab

lain akan menggunakan istilah sistem pemerintahan. Oleh

sebab itu kajian mengenai bentuk negara dibatasi ke pada 2

bentuk negara yang lazim dikenal dalam literatur yaitu negara

kesatuan (unitary state) dan negara serikat (federal state).


B. Negara Kesatuan

Para ahli umumnya membagi negara kesatuan ke dalam 4

macam model. Pertama, vertical management model.  Dalam

model ini, pemerintah pusat mendirikan badan-badan

pemerintahan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di

tingkat lokal. Model ini dianut di Inggris dan Jepang. Kedua,

central representative model. Pada model ini dicirikan adanya

dua badan pemerintahan yaitu badan/organ yang didirikan oleh

pemerintah lokal untuk melayani kepentingannya dan

badan/organ yang didirikan oleh pemerintah pusat di tingkat

lokal. Kedua badan itu bersifat pararel dalam menjalankan

urusan pemerintahan. Model ini dijalankan di negara Swedia,

Spanyol, dan Denmark. Ketiga, unification model. Pemerintah

pusat menempatkan pejabat pilihannya guna menduduki badan

administratif yang didirikan oleh pemerintah lokal. Hal ini

dilaksanakan di Belanda. Keempat, mixed model. Model ini

dianut di Prancis. Dalam model ini, ada tiga kategori organ

yang melaksanakan wewenang, yaitu: (i) badan yang didirikan

oleh pemerintah lokal; (ii) perwakilan pemerintah pusat, baik

dalam distrik maupun pemerintahan provinsi; dan (iii)

perwakilan organ pemerintah pusat di daerah.2

Paling tidak ada lima ciri negara kesatuan. Pertama, hanya

ada satu konstitusi yang berlaku di seluruh negara yang

bersangkutan. Kedua, ada satu pemerintahan di tingkat pusat

yang berdaulat. Ketiga, seluruh penduduk hanya mempunyai

satu kewarga negaraan. Keempat, terdapat satuan pemerintahan

lokal yang merupakan subdivisi pemerintah pusat, dengan

wewenang kepala daerah yang bersifat absolut. Kelima, hanya

pemerintah pusat yang berwenang menjalankan hubungan luar

negeri.3

Dalam konteks negara kesatuan, hubungan pemerintah pusat

dengan pemerintah daerah (sebagai bagian atau satuan teritorial

negara yang “lebih kecil”) di bidang otonomi bersifat

administrasi negara. Jadi, kekuasaan asli (original power)

melekat kepada negara, yang dalam hal ini diwakili oleh

pemerintah pusat. Oleh sebab itu, pemahaman desentralisasi

dalam konteks negara kesatuan harus dipahami sebagai

penyerahan kekuasaan  oleh negara, dalam hal ini pemerintah

pusat, untuk menjadi urusan rumah tangga daerah suatu urusan

pemerintahan kepada daerah. Dalam negara kesatuan,

pemerintah pusatlah yang membentuk cara-cara penentuan

urusan rumah tangga satuan otonomi, yang akan menentukan

juga sifat (luas atau terbatas) atas suatu otonomi. Memang,

dalam konteks negara kesatuan, persoalan hubungan dengan

satuan otonomi “yang lebih rendah” tidak saja mencakup

praktik  penentuan urusan otonomi, tetapi juga menyangkut

perosalan hubungan keuangan, hubungan pengawasan, dan

cara menyusun serta menyelenggarakan organisasi

pemerintahan di daerah.

Negara kesatuan sering dibedakan ke dalam dua bentuk,

yaitu negara kesatuan dengan sistem sentralisasi dan negara

kesatuan dengan sistem desentralisasi. Ciri khas sistem

sentralisasi adalah pemerintah pusat senantiasa mendominasi

pelaksanaan urusan pemerintahan dengan mengesampingkan

peran dan hak pemerintah daerah untuk ikut terlibat langsung 

dan mandiri dalam rangka mengelola serta memperjuangkan

kepentingan daerahnya. Sementara itu, dalam sistem

desentralisasi, kepada daerah-daerah diberikan kekuasaan

untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, yang

disebut dengan daerah otonom.4

Salah satu kecenderungan untuk mengelola pemerintahan di

negara kesatuan adalah fenomena desentralisasi. Dalam hal ini,

Desentralisasi sering dianggap sebagai bentuk konkrit dari

mekanisme pemisahan kekuasaan negara. Sebagai suatu

konsep, terutama di lingkungan negara berkembang,

desentralisasi telah diperdebatkan sejak lama dan ditilik dari

segi pertumbuhan pemahamannya,  telah berkembang melalui

tiga gelombang. Ketiga gelombang pertumbuhan desentralisasi

itu digambarkan oleh Syarief Hidayat sebagai berikut.5

Gelombang pertama, terjadi pada tahun 1950-an, di mana

desentralisasi telah mendapatkan perhatian khusus dan telah

diartikulasi sebagai konsep yang paling relevan untuk

memperkuat dan memberdayakan pemerintahan daerah.

Sementara itu, gelombang kedua desentralisasi, terutama di

negara berkembang, terjadi pada dasawarsa 1970-an,

penerimaan konsep desentralisasi lebih bervariatif, dan

pemahamannya lebih ditujukan sebagai alat untuk pencapaian

tujuan pembangunan nasional. Sedangkan gelombang


desentralisasi yang ketiga,  ditandai dengan perluasan kajian, di

mana desentralisasi tidak lagi menjadi monopoli fokus ilmu

politik dan administrasi negara saja, tetapi telah menarik

perhatian disiplin yang lain. Dapat disebut di sini misalnya,

ekonomi, hukum, sosiologi, dan antropologi.

Menurut Mawhood, desentralisasi merupakan devolution of

power from central to local government.6 Dalam perspektif

yang lebih luas, Rondinelli dan Cheema merumuskan

desentralisasi sebagai the transfer of planing, decision making,

or administrative authority from central goverment to its field

organisations, local administrative units, semi autonomous and

parastatal organisations, local government, or non-

government organisations.7 Dalam uraian selanjutnya,

Rondinelli dan Cheema merumuskan adanya empat bentuk

desentralisasi.8

Pertama, deconcentration, yaitu distribusi wewenang

administrasi dalam pemerintahan. Kedua, delegation to semi

autonomous or parastatal organisations, yaitu pendelegasian

otoritas manajemen dan pengambilan keputusan atas fungsi-

fungsi tertentu yang sangat spesifik, kepada organisasi-

organisasi yang secara  langsung tidak di bawah kontrol

pemerintah. Ketiga, devolution, yaitu penyerahan fungsi dan

otoritas (the transfer of function and authorities) dari

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan bentuk

keempat, adalah swastanisasi, yaitu penyerahan beberapa

otoritas dalam perencanaan  dan tanggung jawab administrasi

tertentu kepada organisasi swasta.

Saya berpendapat bahwa makna desentralisasi beserta

bentuk-bentuknya sebagaimana dikemukakan oleh Rondinelli

dan Cheema di atas cukup komprehensif dan luas.  Sifat

komprehensif dan luas nampak dari konseptualisasi

desentralisasi yang disorot dalam aspek teknik, spasial, dan

administratif, sebagai elemen utama. Selanjutnya, makna

desentralisasi juga mencakup pendelegasian wewenang tidak

hanya mengenai teknis pemerintahan tetapi juga mencakup

organisasi semi pemerintah, bahkan di dalam sektor swasta.

Namun demikian saya menganggap cakupan desentralisasi

seperti dikemukakan oleh Rondinelli dan Cheema di atas tidak

menggambarkan secara penuh persoalan hubungan antara

pemerintah pusat dan daerah. Saya setuju dengan Slater, ketika

mengatakan bahwa aspek penting yang dilupakan oleh definisi

kedua pakar tersebut adalah mengabaikan the transfer of power

from central to peripheral state.9 Lugasnya, definisi itu

mengabaikan the territorial dimension of state power, seperti

dipaparkan oleh Conyers.

Di samping itu, mengutip pendapat Henry Maddick, antara

desentralisasi dengan dekonsentrasi dapat dibedakan.

Desentralisasi dipandang sebagai “pengalihan kekuasaan

secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik

maupun risudal yang menjadi kewenangan pemerintah

daerah”, sedangkan dekonsentrasi merupakan the delegation of

authority adequate for the discharge of specified functions to

staff of a central department who are situated outside the

headquaters.

Mengenai perbedaan desentralisasi dan dekonsentrasi ini,

dengan mengutip pendapat Parson, Syarif Hidayat dan

Bhenyamin Hoessen11 menyatakan bahwa dari aspek politik

desentralisasi merupakan sharing of the govermental power by

a central rulling group with other groups each having

authority within a specefic area of the state. Sementara

dekonsentrasi merupakan the sharing of power between

members of the same rulling group having authority

respectively in different areas of the state.

C. Negara Federal

Kata “federal” berasal dari bahasa Latin foedus, yang berarti

perjanjian. Kata ini menggambarkan ikatan perjanjian di antara

negara-negara bagian untuk melakukan kerja sama, khususnya

dalam rangka pertahanan.  Perjanjian itu harus saling

menguntungkan, yang dapat diarahkan untuk mencapai tujuan-

tujuan tertentu, akan tetapi masing-masing pihak harus menaati

perjanjian tersebut. Menurut William Riker, ikatan federasi

pada mulanya digunakan untuk mencapai tujuan militer, yang

kemudian berkembang menjadi kebutuhan untuk mencukupi


logistik, seperti pasar bebas dan penggunaan mata uang

tunggal.12 Perjanjian itu yang kemudian dikenal sebagai

konstitusi federal. Menurut Miriam Budiardjo, untuk

membentuk negara federal, harus dipenuhi dua syarat.

Pertama, adanya perasaan sebangsa di antara kesatuan-

kesatuan politik yang hendak membentuk federasi dan, kedua,

adanya keinginan untuk membentuk ikatan yang terbatas. Jika

ikatan itu dilakukan secara penuh, maka bukan negara federal,

tetapi negara kesatuan.13

Dalam negara federal, sering dijumpai ciri-ciri sebagai

berikut. Pertama, satu wilayah negara terbagi atas negara-

negara bagian. Kedua, ada kedaulatan ganda, di mana masing-

masing antara pemerintahan federal dan pemerintahan negara

bagian mempunyai otonomi untuk melaksanakan urusan

pemerintahan. Ketiga, hubungan antara pemerintah federal

dengan pemerintahan daerah bersifat koordinatif atau

kooperatif.14 Dalam hal hubungan tersebut bersifat koordinatif,

maka ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut. Pertama,

masing-masing pihak mempunyai kewenangan yang bersifat

eksklusif. Kedua, masing-masing pihak mempunyai susunan

pemerintahan. Ketiga, masing-masing pihak mempunyai

kewenangan untuk menetapkan perpajakan. Keempat,

kebutuhan untuk kerja sama di antara masing-masing pihak

amat minimal.

Sementara itu, hubungan antara pemerintah federal dengan

negara bagian berlangsung dalam bentuk kooperatif apabila

ditemua lima ciri khas. Pertama, masing-masing wewenang

pemerintahan dibagi di antara kedua pihak. Kedua, pemerintah

federal dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan diatur

melalui sebuah Undang-Undang, yang kemudian menjadi

pedoman bagi negara bagian untuk melaksanakannya. Ketiga,

ada pembagian mekanisme perpajakan. Keempat, negara

bagian mempunyai sistem perwakilan di lembaga perwakilan

federal. Kelima, ada kebutuhan kuat untuk melakukan kerja

sama.

Dalam pelaksanaan selama bertahun-tahun, hubungan antara

pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian

mempunyai kecenderungan untuk bergeser dari koordinatif

menjadi kooperatif. Hal ini disebabkan oleh minimal tiga hal.

Pertama, tantangan pemerintahan modern yang semakin

kompleks, sehingga urusan pemerintahan tidak dilaksanakan

secara kaku menurut list wewenang dalam konstitusi. Kedua,

adanya hubungan keuangan yang mengarah kepada pencapaian

perimbangan di antara tingkat pemerintahan. Ketiga, kebijakan

diadakan sehubungan dengan adanya pencapaian kepentingan

tertentu di setiap tingkat pemerintahan.

Dalam buku teks mengenai federalisme, umum dijumpai

pembagian model negara federal dalam tiga model.15 Pertama,

model Amerika Serikat. Dalam model ini, kewenangan

pemerintah federal (yang disebut sebagai listed authority)

ditetapkan dalam ketentuan konstitusi, sedangkan selebihnya

yang dikenal sebagai kept power merupakan wewenang negara

bagian. Kedua, model Kanada. Dalam model ini, wewenang

pemerintahan provinsi ditentukan secara rinci dalam ketentuan

konstitusi, sedangkan sisanya merupakan wewenang

pemerintah federal. Ketiga, model India. Dalam model ini, baik

wewenang pemerintah federal maupun wewenang pemerintah

negara bagian diatur secara rinci di dalam konstitusi, diikuti

dengan klausula, bahwa dalam situasi tertentu, wewenang

pemerintah negara bagian dapat diambil alih oleh pemerintah

federal.

Di dalam praktik, komposisi negara federal cenderung

dilaksanakan dalam penduduk yang bersifat multietnik,

sehingga hubungan di antara tingkat pemerintahan berlangsung

koordinatif. Setiap negara bagian mempunyai susunan

pemerintahan sendiri-sendiri. Praktik semacam ini dikenal

sebagai asymetric federalism. Sudah tentu tantangan yang

muncul adalah instabilitas pemerintahan yang dapat terjadi

sewaktu-waktu. Salah satu variasi dari asymetrci federalism

adalah seperti praktik di Belgia, di mana federasi ditentukan

oleh dua hal yaitu konflik dan penggunaan bahasa. Wilayah

Belgia yaitu Flanders, Wallonia, dan Brussels, ditetapkan

sebagai daerah khusus karena faktor ekonomi dengan

penggunaan bahasa masing-masing Belanda, Jerman, dan

Prancis. Ketentuan ini diatur dalam konstitusi federal (1993).

Variasi lain adalah praktik etnofederalism, yaitu pemerintah

negara bagian masing-masing merupakan tempat konsentrasi

etnis tertentu. Pola semacam ini lahir karena ada dominasi

mayoritas dan perlawanan minoritas. Hal ini dipraktikkan di

India, Afrika Selatan, Spanyol, dan Kanada; seperti juga

praktik di bekas Yugoslavia, Cekoslvakia, dan Uni Soviet.


TUJUAN NEGARA

A. 

Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik dan bahkan

menjadi pokok dari kekuasaan politik. Negara merupakan alat

dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur

hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan

menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Oleh

sebab itu, negara mempunyai karakter untuk dapat

memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua

golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan

tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Untuk mencapai hal

itu, maka negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai

di mana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama

itu. Dengan demikian, negara dapat mengintegrasikan dan

84 | Tujuan Negara

membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari warganya untuk

mencapai tujuan bersama.

Tujuan bersama tersebut menjadi dasar dari segenap

aparatur negara dalam menjalankan tugas. Tujuan negara

menjadi kompos penunjuk jalan bagi pemerintah negara

tersebut dan juga menjadi barometer bagi pengukur sejauh

mana pemerintah berhasil menjalankan pekerjaannya.

Berikut ini akan dilihat formulasi tujuan negara yang telah

lama dikemukakan oleh para ahli maupun dalam kenyataan

praktik, yang mana di abad modern ini sekali pun, tiap-tiap

negara mempunyai tujuan yang tidak sama dengan negara yang

lain. Adapun formulasi tujuan negara itu meliputi pendapat

sebagai berikut:

1. Teori Lord Shang

2. Teori Nicollo Machiavelli

3. Teori Dante Alleghiere

4. Teori John Locke

5. Teori Immanuel Kant

6. Pandangan Paham Sosialis

7. Pandangan Paham Liberalis-Kapitalis; dan

8. Pandangan Sosial Demokrat.

B. Teori Lord Shang

Lord Shang merupakan pemikir Tiongkok yang hidup sekita

abad ke-3. Pendapat mengenai tujuan negara dapat dilihat

dalam buku A Classic of Chinese School of Law. Semasa

hidupnya keadaan di Tiongkok adalah sangat kacau dan penuh

dengan kerusuhan, pemerintahannya lemah, di mana tingkat

pemerintahan yang rendah tidak lagi tunduk kepada

pemerintahan yang lebih tinggi.

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum. | 85

Menurut Shang, tujuan negara adalah membuat

pemerintahan negara menjadi berkuasa penuh terhadap rakyat.

Supaya negara dapat berkuasa penuh, maka rakyat harus dalam

kondisi lemah dan miskin; sebaliknya jika rakyat dijadikan

kuat dan kaya maka negara menjadi lemah.1

C. Teori Nicollo Machiavelli

Menurut Nicollo Machiavelli, tujuan negara adalah untuk

mengusahakan terselenggaranya ketertiban, keamanan, dan

ketenteraman. Oleh karena itu, kedudukan pemerintah harus

ditempatkan di atas segala aliran-aliran yang ada. Bagaimana

pun lemahnya, pemerintahan harus diperlihatkan sebagai yang

lebih berkuasa, sehingga dengan demikian banyak harapan

demi tercapainya kemakmuran.2

Sebagai penganut paham realistis, Machiavelli menyatakan

bahwa negara itu ada untuk kepentingannya sendiri dan harus

mengejar tujuan dan kepentinganya dengan cara yang dianggap

paling tepat, bahkan dengan cara yang licik sekali pun. Untuk

mencapai tujuan negara, pemerintah terkadang harus bersikap

seperti singa terhadap rakyatnya agar rakyat takut dan tunduk

kepada pemerintah.3

D. Teori Dante Alghieri

Dante Alghieri (1266-1321) merupakan filosof dan penyair

asal Italia. Salah satu pendapat yang dinilai cukup berani guna

menentramkan situasi di Italia pada waktu itu adalah usul agar

Paus hanya berkonsentrasi mengenai masalah-masalah


kerohanian saja dan tidak campur tangan dalam masalah

politik. Sebaliknya, negara harus turut mengatur hal-hal yang

bersifat keagamaan. Upaya ini perlu ditempuh guna

menghindari kompetisi antara negara dengan gereja yang

menyebabkan keadaan merosot dan tidak stabil.

Dalam pandangan Dante, tujuan negara adalah untuk

menciptakan perdamaian dunia. Karena itu, undang-undang

yang seragam bagi umat manusia perlu diciptakan untuk dapat

mencapai tujuan tersebut.

E. Teori John Locke

Menurut John Locke, negara didirikan untuk memenuhi dan

melindungi hak-hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup, hak

kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi. Jika hak-hak asasi itu

dilanggar maka akan timbul kekacuan. Dengan pernyataan ini,

Locke menolak pikiran yang berkembang sebelumnya bahwa

rakyat telah menyerahkan seluruh kedaulatannya kepada

negara. Menurut Locke tidak seluruh hak asasi itu diserahkan,

hak-hak yang bersifat alamiah seperti hak untuk hidup, hak

kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi tidak diserahkan.

Bagi Locke, negara yang merampas seluruh hak asasi itu

adalah negara yang tidak sesuai dengan fungsinya yaitu

melindungi manusia yang menjadi warga negaranya. Karena

tidak sesuai dengan tujuan didirikannya negara, negara ini

menjadi tidak sah. Dia kehilangan keabsahannya.4

F. Teori Immanuel Kant

Menurut Immanuel Kant, negara mempunyai tujuan untuk

menegakkan hak dan kebebasan warganya yang telah diatur

dalam hukum. Pemerintah bersama-sama rakyat merupakan

subjek hukum, dan sebagai subyek hukum, keduanya harus

tunduk dan patuh kepada hukum. Kehidupan rakyat dalam

suatu negara bukan atas kemurahan hati pemerintah tetapi

karena kemampuan diri  sendiri untuk hidup.

Menurut Kant, manusia dilahirkan sederajat dan sama.

Perbedaan hanya ditimbulkan oleh harta dan pangkat manusia.

Segala kemauan dan kehendak dalam masyarakat harus melalui

dan berdasarkan undang-undang. Peraturan-peraturan hukum

sebagai kehendak negara juga harus dirumuskan karena dia

menjadi dasar pelaksanaan negara.

G. Pandangan Paham Sosialis

Dengan memandang manusia sebagai makhluk yang setara,

maka tujuan negara menurut paham sosialis adalah

memberikan kebahagiaan hidup yang merata dan sama kepada

setiap warganya. Kebahagiaan yang merata perlu

dipertahankan dengan pemberian pekerjaan, sehingga manusia

dapat hidup layak. Negara juga perlu memberi jaminan bahwa

hak-hak asas tidak dilanggar tanpa memandang kelasnya.

Mengenai pemerintahan, paham ini berpendapat bahwa

penguasa berasal dari keseluruhan masyarakat tanpa ada

perbedaan kelompok dalam pemerintahan. Sistem

pemerintahan negara tidak mengenal partai. Negara bertujuan

untuk mengatur kehidupan masyarakat secara komunal.

H. Pandangan Paham Liberalis Kapitalis

Paham liberal kapitalis pada dasarnya memandang manusia

sebagai makhluk hidup yang individualis. Pengertian manusia

sebagai makhluk individu sangat ditonjolkan dan karena itu dia

sangat berbeda dengan paham sosialis.

88 | Tujuan Negara

Tujuan negara menurut paham ini adalah memberikan

kebebasan penuh bagi setiap warga negara untuk memperoleh

kebahagiaan hidup masing-masing. Negara bertugas untuk

menjaga agar pelanggaran hak pribadi tidak terjadi. Dalam

bidang perekonomian, juga berlaku kebebasan bersaing atau

free fight liberalism. Dalam bidang ekonomi, negara tidak

banyak turut campur karena diserahkan kepada mekanisme

pasar.

I. Pandangan Sosial Demokrat

Sebagai suatu ideologi, pandangan sosial demokrat merupakan

reaksi terhadap sistem kapitalis, yang mulai berkembang pada

awal abad ke-20. Tujuan sistem sosial demokrat adalah untuk

mensejahterakan rakyat melalui peran aktif negara dalam

memberikan jaminan kesejahteraan. Adapun kesejahteraan itu

diwujudkan dalam lima pilar, yaitu demokrasi, rule of law,

perlindungan hak asasi manusia, keadilan sosial, dan anti

diskriminasi.


TEORI KEDAULATAN

A. 

Pembahasan mengenai kekuasaan negara akan menyentuh hal

yang disebut sebagai “kedaulatan.” Jika kekuasaan

dikonstruksikan dalam kerangka yuridis, maka kekuasaan itu

disebut kedaulatan.1 Jadi, kedaulatan adalah kekuasaan dalam

perspektif yuridis.

Istilah kedaulatan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris

dan Jerman, soverignty atau souvereinteit yang secara ekstrim

menunjuk kepada pengertian “kekuasaan yang tertinggi.”

Orang yang pertama kali mengemukakan konsep kedaulatan

adalah Jean Bodin. Pemikir Prancis ini mengatakan bahwa

kedaulatan adalah “wewenang tertinggi yang tidak dapat

dibatasi oleh hukum.” Wewenang tersebut ada pada penguasa

yang menguasai seluruh warga negara dan orang-orang lain

dalam ruang lingkup wilayahnya. Pemikiran Bodin itu

kemudian berkembang seiring dengan perkembangan sejarah

politik yang bergeser dari kuatnya sistem monarki (kerajaan)

menjadi sistem demokrasi (kedaulatan rakyat)  yang masih

disanjung tinggi hingga penghujung milinium ketiga saat ini.

Dalam buku teks kenegaraan, dijumpai minimal 6 teori

kedaulatan, yaitu:

1. Teori kedaulatan Tuhan;

2. Teori kedaulatan Raja;

3. Teori Kedaulatan Rakyat;

4. Teori Kedaulatan Negara; dan

5. Teori Kedaulatan Hukum.

B. Teori Kedaulatan Tuhan

Dalam teori ini kekuasaan tertinggi ada di Tangan Tuhan. Oleh

karena itu, seluruh perintah negara haruslah merupakan

implementasi dari kedaulatan Tuhan.2 Seluruh gerak dari

pemerintahan dan rakyat harus sesuai dengan kehendak-

kehendak Tuhan tersebut.

Dalam lintasan sejarah disebutkan banyak penguasa zaman

kuno yang mengaku dirinya sebagai Tuhan. Ada yang

menyembahnya secara sadar dan sukarela, namun lebih banyak

yang menyembah karena terpaksa atau dipaksa oleh aparat

penguasa.  Adapula yang mengaku sebagai wakil atau titisan

Tuhan. Agar kekuasaanya mempunyai legitimasi, banyak juga

penguasa yang merasa representasi sah dari Tuhan semesta

alam. Kedua tipe dari teori kedaulatan Tuhan itu menghasilkan

pemerintahan yang absolut. Oleh sebab itu kemudian teori ini

mulai ditinggalkan.

C. Teori Kedaulatan Raja

Raja biasanya bersandar pada kemampuan untuk menyakinkan

rakyat bahwa ia dan keturunannya yang berhak diangkat dalam

kedaulatan atau kekuasaan yang tertinggi. Tuhan lah yang

memberikan hak untuk memerintah secara mutlak kepada para

raja. Oleh karena itu, kekuasaan politik yang dimiliki para raja

tidak dapat dicabut oleh rakya jelata.3

Kekuasaan yang mutlak pada raja dan banyaknya

penyelewengan kekuasaan ini ke dalam tirani menyebabkan

rakyat tidak lagi percaya kekuasaan tertinggi harus di tangan

raja. Mereka mulai memberontak terhadap raja dan mulai

menyadari kekuatannya “sendiri” sebagai rakyat yang

beridentitas dan berhak.

D. Teori Kedaulatan Rakyat

Timbulnya teori kedaulatan rakyat merupakan reaksi atas teori

kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan monopoli dan

penyimpangan kekuasaan yang akhirnya menyebabkan tirani

dan kesengsaraan rakyat. Ada indikasi kuat bahwa paham

kedaulatan rakyat itu telah membawa secara inheren kepada

semangat sekulerisme dan antroposentrisme. Hal ini

disebabkan oleh paradigma baru yang dibawa oleh kedaulatan

rakyat adalah suatu pembangkangan terhadap legitimasi

kekuasaan Tuhan yang diatasnamakan oleh raja sebagai

pendasaran kekuasaannya.

Jean Jacques Rousseau menggemakan kedaulatan rakyat

lewat buku Du Contract Social. Dalam teori fiksi mengenai

“perjanjian masyarakat” ia mengatakan bahwa dalam suatu

negara, natural liberty telah berubah menjadi civil liberty di

mana rakyat memiliki hak-haknya. Kekuasaan rakyat sebagai

yang tertinggi dalam hal ini melampaui perwakilan yang

berdasarkan suara terbanyak dari suatu kehendak bersama

(general will, volonte generale). Kehendak bersama harus

berdasarkan kepentingan dari golongan yang terbanyak. Jadi,

apabila hanya kepentingan satu golongan minoritas yang

diutamakan, maka bukan menjadi apa yang disebut sebagai

kepentingan umum.

Teori kedaulatan rakyat, yang kemudian secara politik

menjadi gagasan dasar dalam sistem demokrasi, hendak

mengatakan bahwa rakyat sendiri yang berwenang untuk

menentukan bagaimana ia mau dipimpin dan oleh siapa.

Karena semua anggota masyarakat sama kedudukannya

sebagai manusia dan warga negara, dan berdasarkan keyakinan

bahwa tidak ada orang atau kelompok orang yang begitu saja

berhak untuk memerintah orang lain, wewenang untuk

memerintah masyarakat harus berdasarkan penugasan dan

persetujuan para warga masyarakat sendiri.

E. Teori Kedaulatan Negara

Teori kedaulatan negara merupakan reaksi terhadap teori

kedaulatan rakyat. Namun demikian, teori ini sebenarnya

melanggengkan dan melangsungkan teori kedaulatan raja

dalam suasana kedaulatan rakyat.


Dalam hal ini, perwujudan negara yang abstrak dikonkritkan

dalam diri raja. Ajaran ini dikenal sebagai Verkulpritstheorie,

yang artinya negara menjelma dalam tubuh raja. Di sini negara

berdaulat karena rakyat, selanjutnya kedaulatan itu dimiliki

oleh negara yang dimanifestasikan dalam diri raja, sehingga

pada hakikatnya ajaran ini sama dengan teori kedaulatan raja.

F. Teori Kedaulatan Hukum

Teori kedaulatan hukum merupakan penyangkalan terhadap

teori kedaulatan negara. Seperti dikemukakan oleh Krabbe,

bahwa kekuasaan tertinggi tidak pada raja dan negara, tetapi

berada pada hukum, yang bersumber kepada kesadaran hukum

setiap orang. Dalam teori kedaulatan negara, hukum

ditempatkan di bawah negara, sehingga negara tidak tunduk

kepada hukum. Oleh sebab itu, sehubungan dengan hak asasi

manusia, sudah semestinya negara tidak boleh melanggar

hukum. Kalau pun hendak mengadakan perubahan, maka harus

dengan persetujuan rakyat.

Perasaan kesadaran hukum ini terjelma ke dalam naluri

hukum (Rechts instink) di dalam negara melalui adanya

lembaga legislatif. Dengan demikian, lembaga legislatif, yang

populer disebut parlemen, hanyalah suatu lembaga atau alat

untuk menjelmakan kesadaran hukum dari rakyat.


KONSTITUSI

A. Pengertian Konstitusi

Lazim dipahami bahwa salah satu sendi hukum ketatanegaraan

yang paling utama adalah konstitusi. Boleh dikatakan dewasa

ini setiap negara di dunia memiliki konstitusi. Konstitusi

berasal dari Bahasa Latin, constitutio.1 Istilah ini berkaitan

dengan kata jus atau ius, yang berarti hukum atau prinsip.2 Saat

1 M. Solly Lubis menyebutkan kata konstitusi berasal dari kata dalam

bahasa Prancis constituer. Lihat M. Solly Lubis, 1978, Asas-asas Hukum

Tata Negara, Cetakan 2, Bandung, Penerbit Alumni, hlm. 44. Sementara Sri

Soemantri menyebutkan bahwa asal usul istilah konstitusi adalah dari

bahasa Inggris constitution. Lihat dalam Sri Soemantri, 1982, 

Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Jakarta, Rajawali, hlm. 44.

2 Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme di

Indonesia, Jakarta, Penerbit Konpress, hlm. 1.

96 | Konstitusi

ini, bahasa yang biasa dijadikan rujukan istilah konstitusi

adalah bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Italia, Spanyol,

Portugis, dan Belanda.

Menurut Jimly Asshiddiqie, untuk pengertian constitution

dalam bahasa Inggris, bahasa Belanda membedakan antara

constitutie dan grondwet, sedangkan bahasa Jerman

memebdakan antara verfassung dan gerundgesetz. Bahkan

dalam bahasa Jerman pengertian tentang konstitusi ini

dibedakan pula antara gerundrecht dengan gerundgesetz seperti

antara grondrecht dengan grondwet dalam bahasa Belanda.

Gerundrecht (Jerman) dan grondrecht (Belanda) secara

harfiah berarti hak dasar, tetapi sering juga diartikan sebagai

hak asasi manusia.3

Dalam bahasa Prancis, digunakan istilah Droit

Constitutionel untuk pengertian luas, sedangkan pengertian

sempit, yaitu konstitusi yang tertulis digunakan istilah Loi

Constitutionnel. Droit Constitutionnel identik dengan

pengertian konstitusi, sedangkan Loi Constitutionnel identik

dengan Undang-Undang Dasar dalam bahasa Indonesia, yaitu

dalam arti konstitusi tertulis.4

Dalam bahasa Italia, istilah yang dipakai untuk pengertian

konstitusi adalah Dirrito Constitutionale. Dalam bahasa Arab

dipakai pula beberapa istilah yang terkait dengan pengertian

konstitusi itu, yaitu Masturiyah, Dustuur, atau Qanun Asasi

Di Negeri Belanda, pada awalnya digunakan istilah

staatsregeling untuk menyebut konstitusi. Tetapi, atas prakarsa

Gijbert Karel van Hogendorp pada tahun 1813, istilah

grondwet digunakan untuk menggantikan istilah staatsregeling

yang juga memiliki pengertian undang-undang dasar atau

konstitusi.6 Menurut Jimly Asshiddiqie, di berbagai negara di

Eropa Kontinental, yang menganut tradisi civil law, istilah

konstitusi memang selalu dibedakan antara pengertian

konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis.

Konstitusi yang tertulis itulah yang biasa disebut dengan

istilah-istilah grondwet (Belanda), gerundgesetz (Jerman), Loi

Constituionnel (Prancis). Sementara itu, kata constitutie,

verfassung, gerundrecht, grondrecht, Droit Constitutionnel,

Dirrito Constitutionale, merupakan istilah-istilah yang dipakai

dalam arti luas.7 Dalam praktik sehari-hari memang yang

digunakan sebagai pemahaman adalah pengertian dalam arti

sempit tersebut. Tulisan ini memaknai konstitusi sama dengan

Undang-Undang Dasar. Tetapi perlu diperingatkan bahwa

konstitusi hanya salah satu sumber hukum tata negara. Selain

konstitusi, ada berbagai kaidah-kaidah lain, baik dalam

formasi peraturan perundang-undangan, kebiasaan (konvensi),

dan yurisprudensi, yang menjadi sumber dan aturan-aturan

hukum tata negara.

Dalam penyusunan konstitusi tertulis, nilai-nilai dan norma

dasar yang hidup dalam masyarakat dan dalam praktik

penyelenggaraan negara turut mempengaruhi perumusan suatu

norma ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Karena itu,

suasana kebatinan (geistichenhentergrund) yang menjadi latar

belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis, perumusan

yuridis suatu ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami

dengan saksama, untuk dapat dimengerti sebaik-baiknya

ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar.

Konsep tentang negara itu dapat dikenali karena lazimnya

dituangkan dalam ketentuan pasal-pasal konstitusi, tentu

dengan catatan jika negara yang bersangkutan mempunyai

konstitusi sebagai dokumen tertulis. Hanya saja, perumusan

undang-undang dasar tidak selalu mengatur secara lengkap dan

rinci segala sesuatunya atau rumusannya masih mengandung

makna ganda atau ketidakpastian, sehingga sering dibutuhkan

pedoman lain untuk menanggulangi masalah yang timbul.

Selain dari penjelasan resmi yang tersedia, pedoman ini antara

lain didapat melalui berbagai cara penafsiran atas rumusan

yang terkandung dalam konstitusi tadi.

Pada sisi lain, seperti dikatakan oleh Kusnu Goesniadhie,

setiap kurun waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-

kondisi kehidupan yang memformasi dan mempengaruhi

kerangka pemikiran (frame of reference) dan medan

pengalaman (field of experience) dengan muatan kepentingan

yang berbeda, sehingga proses pemahaman terhadap konstitusi

dapat terus berkembang dalam praktik di kemudian hari.

Berkaitan dengan hal ini, maka penafsiran terhadap konstitusi

pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang,

memerlukan rujukan standar yang dapat

dipertanggungjawabkan sebaik-baiknya, sehingga konstitusi

tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak

oleh pihak mana pun juga.10 Seperti yang dikatakan oleh Bagir

Manan, tidaklah cukup untuk memahami hukum

ketatanegaraan suatu negara kalau hanya menggantungkan atau

mengukur segala sesuatu dengan asas atau aturan yang ada

dalam konstitusi.11

Menurut Moh. Mahfud M.D. keberadaan konstitusi pada

awal pertumbuhan negara-bangsa modern tidak lepas dari

pengakuan adanya paham demokrasi, yang pada intinya

menyatakan bahwa kekuasaan negara yang tertinggi berada di

tangan rakyat.12 Dalam hal ini, negara terformasi karena

adanya “kontrak sosial” antara individu-individu dengan

penguasa di mana kepada sang penguasa diberi mandat untuk

menjamin pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi individu

tersebut.Tidak semua hak-hak asasi tadi diserahkan kepada

penguasa, namun sebatas apa yang tertuang di dalam “kontrak”

pada saat pemformasian negara tadi. Dalam khasanah

peradaban modern, “kontrak” tersebut dituangkan dalam

formasi konstitusi. Dengan demikian, maka konstitusi

1

merupakan fungsi residual dari hak asasi manusia dan bukan

sebaliknya.13

Dengan tertib berpikir demikian, maka dipahami bahwa

konstitusi merupakan sarana untuk membatasi penguasa

negara. Penggunaan konstitusi sebagai sarana untuk membatasi

kekuasaan negara telah menimbulkan paham

konstitusionalisme. Di dalam gagasan konstitusionalisme

tersebut, konstitusi atau undang-undang dasar tidak hanya

merupakan suatu dokumen yang mencerminkan pembagian

kekuasaan (anatomy of a power relationship) saja, tetapi

dipandang sebagai suatu lembaga yang mempunyai fungsi

khusus, yaitu di satu pihak untuk menentukan dan membatasi

kekuasaan dan di pihak lain untuk menjamin hak-hak asasi

politik warga negaranya. Konstitusi dipandang sebagai

perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh

negara dan pejabat-pejabat pemerintah, sesuai dengan dalil

“Government by laws, not by men”.

Bagir Manan menunjuk hakikat konstitusi sebagai

perwujudan paham tentang konstitusi atau konstitusionalisme

yaitu pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan di satu

pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga negara maupun

setiap penduduk di pihak lain.14 Tetapi, Bagir Manan juga

mengingatkan bahwa adanya rangkaian kaidah atau ketentuan

yang membatasi kekuasaan pemerintah disertai jaminan hak-

hak dasar belum berarti hakikat konstitusi telah diwujudkan.

Kesemuanya harus dilihat dalam kehidupan sehari-hari negara

yang bersangkutan. Suatu negara mungkin memilih rangkaian

kaidah konstitusi yang lengkap, tetapi bukan negara

konstitusional. Sebab dalam kenyataan pemerintah negara

tersebut menjalankan kekuasaan tanpa batas dan hak-hak

rakyat sama sekali ditelantarkan.15

Dengan demikian, pembuatan konstitusi didorong oleh

kesadaran politik yang tinggi mengenai keperluan pengaturan

penyelenggaraan pemerintahan negara sebaik mungkin. Baik

sebagai kaidah hukum maupun sebagai pernyataan prinsip dan

cita-cita, konstitusi sebagaimana juga perundang-undangan

yang lain, merupakan  the resultan of a pralellogram of forces-

political, economic, and social of its adoption, kata Ni’matul

Huda.16 Dalam hal ini konstitusi sebenarnya membawa pesan

tentang bagaimana relativitas kekuasaan pemerintah

distrukturkan.

Singkat kata, suatu konstitusi merupakan buatan manusia

dan dirumuskan oleh pemimpin-pemimpin negara dan para

sarjana serta praktisi politik untuk dipatuhi rakyat. Ini

merupakan fenomena sosial dan mencerminkan adanya nilai-

nilai, ide-ide, kepentingan-kepentingan golongan, dan juga

kepentingan perumusnya. Suatu konstitusi dengan demikian

dipahami sebagai produk dari suatu proses politik yang

seharusnya secara demokratis menampung dan menyalurkan

aspirasi-aspirasi politik yang utama, yang sebenarnya

mencerminkan pandangan rakyat tentang tata norma etis sosial,

ketertiban umum, keadilan, tata nilai sosial, dan budaya,

peranan serta hubungan antar lembaga-lembaga sosial.17

Secara akademik uraian di atas hendak menyatakan bahwa

semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat

perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang

perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya. Menurut Ivo

D. Duchacek, “pembatasan kekuasaan pada umumnya

merupakan corak umum materi konstitusi.”18 Secara filsafati,

ada anggapan bahwa sebelum sebuah aturan hukum diformasi,

termasuk konstitusi, selalu ada nilai yang dianggap mengawali,

lebih utama, dan mendasari [keberlakuan] serta dijadikan dasar

untuk memberi formasi dan isi aturan-aturan hukum tersebut.

B. Model Penyusunan Konstitusi

Kajian tentang hukum konstitusi semakin hari dianggap

semakin penting bagi kebanyakan negara di dunia, khususnya

oleh  negara-negara yang memiliki sistem negara demokrasi

konstitusional. Hal tersebut menjadi relevan mengingat

konstitusi adalah hukum tertinggi di dalam suatu negara (the

supreme law of the land). Oleh karena konstitusi merupakan

landasan fundamental terhadap segala formasi hukum atau

peraturan perundang-undangan, maka sebagai prinsip hukum

yang berlaku secara universal, formasi hukum dan peraturan

perundang-undangan tersebut tidak boleh bertentangan dengan

konstitusi.

Konstitusi kini juga dipahami bukan lagi sekedar suatu

dokumen mati, tetapi lebih dari itu, konstitusi telah menjelma

dan berfungsi sebagai prinsip-prinsip dasar dalam

penyelenggaraan suatu negara yang selalu hidup mengikuti

perkembangan zamannya (the living constitution). Dilihat dari

sudut kedudukannya, konstitusi adalah kesepakatan umum

(general consensus) atau persetujuan bersama (common

agreement) dari seluruh rakyat mengenai hal-hal dasar yang

terkait dengan prinsip dasar kehidupan dan penyelenggaraan

negara, serta struktur organisasi suatu negara.19 Artinya,

ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam konstitusi memiliki

makna penting dan konsekuensi besar untuk dilaksanakan

dengan sungguh-sungguh dan tanpa terkecuali, baik melalui

beragam kebijakan maupun produk peraturan perundangan-

undangan.

Prinsip-prinsip perekonomian nasional yang harus

diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi yang jelas

termaksud dalam UUD 1945, menyebabkan konstitusi negara

kita itu berbeda dari konstitusi negara lain, seperti misalnya

Konstitusi Amerika Serikat yang sama sekali tidak mengatur

urusan-urusan perekonomian dalam konstitusi. Para perumus

Konstitusi Amerika Serikat (1878) berpandangan bahwa urusan

perekonomian mutlak merupakan urusan pasar sehingga tidak

perlu diatur dalam konstitusi. Dalam tradisi Amerika Serikat,

yang bersumber dari tradisi hukum common law di Inggris20,

masalah-masalah perekonomian dipandang sebagai fenomena

pasar (market) yang berkembang dalam dinamika masyarakat

sendiri, sehingga tidak memerlukan pengaturan ketat oleh

negara.

Keseluruhan naskah konstitusi, yang sudah diamamandemen

hingga 27 kali, tidak ada satu pun pasal yang berkaitan dengan

soal-soal perekonomian atau hak-hak ekonomi. Kalau pun ada

pasal yang berkaitan dengan ekonomi dan keuangan, hanya

yang berhubungan dengan kebijakan administrasi negara yang

berkaitan dengan bidang keuangan (moneter), fiskal, dan

anggaran (budgeting). Walaupun sudah tentu pasal-pasal tadi

berpengaruh dalam dinamika perekonomian yang terjadi di

dalam masyarakat, akan tetapi lebih bersifat administrasi

negara daripada misalnya pola hubungan antara peran pasar

dengan negara dalam pengelolaan hak milik dan manajemen

kekayaan alam yang secara langsung berhubungan dengan ciri-

ciri liberalisme atau sosialisme.21

Pola pengaturan semacam itu kemudian ditiru oleh negara di

dunia, sehingga sebagian  besar negara-negara demokrasi Barat

20 Kerajaan Inggris dikenal tidak mempunyai konstitusi, dalam arti

dokumen yang memuat aturan dasar, akan tetapi tidaklah serta merta dicap

tidak konstitusional. Inggris adalah monarki konstitusional, di mana

kekuasaan raja/ratu serta pemerintahannya diatur melalui hukum dasar yang

tidak tertulis. Negara ini sebenarnya juga memiliki dokumen-dokumen

tertulis sebagai rujukan dasar dalam penyelenggaraan kegiatan kekuasaan

negara, di samping berbagai konvensi yang tumbuh dan hidup dalam

praktik. Sekalipun lama di bawah koloni Inggris, saat merdeka Amerika

Serikat menyimpang dari tradisi bernegara semacam itu, dan sering ditunjuk

sebagai negara modern pertama yang menyusun konstitusi.

juga tidak mencantumkan soal-soal perekonomian itu dalam

konstitusi. Dapat dilihat dalam konstitusi Prancis, Italia,

Belanda, Jepang, Filipina, Meksiko,  Korea Selatan, Malaysia,

Thailand, dan sebagainya. Lagi pula dalam tradisi common law

berakar keyakinan tidak semua hal harus diatur dalam hukum

tertulis. Jika timbul masalah, cukup pengadilan yang

mengambil peran untuk menyelesaikannya dengan putusan

yang final dan menjadi menjadi sumber hukum bagi kasus-

kasus berikutnya yang terkait dengan persoalan yang sama.

Dilacak lebih jauh, negara seperti Amerika Serikat dan

Inggris, sudah “mempunyai pengalaman sendiri mengenai

kegiatan perekonomian.”22 Sejak semula, kegiatan bisnis pada

pokoknya memang terpisah dari soal kenegaraan. Inggris

merupakan negara pertama yang mengembangkan sistem yang

kemudian dikenal sebagai kapitalisme klasik. Pada awalnya,

terutama pada abad ke-14 dan ke-15, setiap cabang

perdagangan dan industri di Inggris terhambat  oleh peraturan-

peraturan yang rumit dari penguasa-penguasa feodal dan

berdasarkan ajaran-ajaran abad pertengahan itu. Tetapi

peraturan-peraturan itu dihancurkan dan diganti oleh peraturan-

peraturan baru didasarkan pada usaha peningkatan

industrialisasi. Kebebasan pribadi, kemerdekaan berkontrak,

merupakan asas-asas yang secara mutlak dijunjung setinggi-

tingginya. Segala campur tangan pemerintah terhadap industri

dan perdagangan ditolak dan oleh karena itu lalu dapat

berkembang pesat. Selama 50 tahun sejak tahun 1760-an,

Inggris mengalami masa jaya, karena penguasa mendapatkan

kebebasan untuk mengejar keuntungan sebesar-besarnya

dengan memperkerjakan petani-petani yang menjadi miskin

karena industrialisasi, kaum perempuan, dan anak-anak.

Negara-negara Eropa lainnya atas motif ekonomi juga

melakukan pendudukan serta penjajahan ke seluruh dunia,

yaitu di benua Asia, Afrika, Australia, dan Amerika melalui

perusahaan-perusahaan multinasional yang dikembangkan oleh

perorangan warga negara. Demikian juga pasukan-pasukan

perang dari penjajah itu, berkolaborasi dengan perusahaan-

perusahaan besar mengeksploitasi sumber daya ekonomi di

negara jajahan  untuk keuntungan negara penjajah.

Sesudah dekolonisasi, negara-negara dalam tradisi civil law

tidak terlampau risau soal penting atau tidaknya pemisahan

kegiatan politik dan ekonomi. Sebaliknya, negara common law

bersikukuh mempertahankan tradisi pemisahan itu. Urusan

politik dianggap sebagai urusan negara dan pemerintah,

sedangkan urusan bisnis diserahkan sepenuhnya kepada

dinamika yang berkembang dalam masyarakat sendiri yang

diatur berdasarkan mekanisme pasar. Paradigma inilah yang di

kemudian hari dikenal sebagai kapitalisme, yaitu paham yang

mengutamakan kapital, yang menekankan peranan perusahaan

sebagai penggerak roda perekonomian dalam masyarakat.

Berbeda dengan negara dengan tradisi civil law, yang juga

menganut paham kapitalisme-liberalisme, yang secara umum

memang semenjak awal mempunyai naskah konstitusi. Diawali

dari Prancis (1791), kemudian juga negara Jerman, Belanda,

Swedia, Belgia, Italia, Spanyol, Portugal, Irlandia, dan lain-

lain. Sekalipun sistem ekonomi bersifat kapitalisme-

liberalisme, tetapi tradisi menuangkan kebijakan-kebijakan

pemerintahan dalam formasi hukum tertulis, mendorong juga

untuk menuangkan kebijakan ekonomi dalam undang-undang,

dan bahkan dalam derajat yang lebih tinggi sebagai ketentuan

undang-undang dasar.23

Hal itu sangat berbeda dengan UUD 1945 yang sejak awal

mencantumkan ketentuan tentang haluan atau politik

perekonomian itu dalam 1 bab tersendiri, yakni Bab XIV.

Bahkan, bab yang semula berjudul “Kesejahteraan Sosial”,

sesudah reformasi, yaitu melalui Perubahan Ke-4 2002,

dilengkapi menjadi “Perekonomian Nasional dan

Kesejahteraan Sosial”. Dengan demikian, UUD 1945 dewasa

ini telah makin tegas mempermaklumkan diri sebagai

konstitusi ekonomi (economic constitution, the constitution of

economic policy), di samping sebagai konstitusi politik

(political constitution) dan konstitusi sosial (social

constitution).

Artinya, semua kebijakan-kebijakan ekonomi yang kita

kembangkan haruslah mengacu dan/atau tidak boleh

bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam UUD

1945. Sekarang, masalahnya bukan lagi persoalan setuju/tidak

setuju dengan ketentuan konstitusional semacam ini. Undang-

undang dasar sebagai hukum tertinggi merupakan kesepakatan

kewarganegaraan dan konsensus kebangsaan yang tertinggi

yang harus dijadikan pegangan bersama dalam segenap

aktivitas penyelenggaraan negara. Jika kesepakatan ini

dilanggar, kebijakan yang melanggar demikian itu dapat

dibatalkan melalui proses peradilan.

Dalam perjalanan sejarah, memang berkembang kelompok

pendapat yang berusaha menafsirkan ketentuan Pasal 33 UUD

1945 menurut alur pikirannya sendiri, yang seolah-olah adanya

Pasal 33 itu tidak mempunyai makna sama sekali. Pasal 33

ditafsirkan seolah tidak menolak ekonomi pasar liberal asal

tujuan akhirnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pengertian demikian tentu sama saja jika Pasal 33 itu

dihapuskan sama sekali dari rumusan UUD 1945. Memang

cukup besar hasrat para pakar dan para wakil rakyat yang

berhimpun di Majelis Permuswaratan Rakyat pada tahun 2001-

2002 menjelang Perubahan Keempat disahkan untuk

menghapuskan sama sekali Pasal 33 itu dari UUD 1945. Akan

tetapi, keinginan seperti itu mendapat perlawanan dan tidak

berhasil diwujudkan. Sebaliknya, rumusan Pasal 33 itu

dilengkapi dan bahkan bunyi judul XIV pun dilengkapi

menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”

Rumusan lengkap Pasal 33 menjadi terdiri atas 5 ayat,

ditambah lagi dengan Pasal 34 yang juga dilengkapi menjadi 4

ayat. “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama

berdasar atas asas kekeluargaan”, “(2) Cabang-cabang

produksi yang penting bagi negara dan memenuhi hajat hidup

orang banyak dikuasai oleh negara”, “(3) Bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”, “(4) Perekonomian nasional

diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan

prinsip kebersamaan, efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan,

berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga

keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”,

“(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini

diatur dalam undang-undang”.

“(1) Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh

negara”, “(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial

bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang

lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat

kemanusiaan”, “(3) Negara bertanggungjawab atas

penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas

pelayanan umum yang layak”, dan “(4) Ketentuan lebih lanjut

mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-

undang”.

Gagasan demokrasi ekonomi tercantum eksplisit dalam

konstitusi sebagai hukum tertinggi di negara kita. UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 memang mengandung gagasan

demokrasi politik dan sekaligus demokrasi ekonomi. Artinya,

dalam pemegang kekuasaan tertinggi di negara kita adalah

rakyat, baik di bidang politik maupun ekonomi. Seluruh

sumber daya politik dan ekonomi dikuasai oleh rakyat yang

berdaulat. Dalam sistem demokrasi yang dibangun tentu tidak

semuanya secara langsung dikuasai oleh rakyat. Beberapa

bagian yang pokok diwakilkan pengurusannya kepada negara,

dalam hal ini kepada (i) MPR, DPR, DPD, dan Presiden dalam

urusan penyusunan haluan-haluan dan perumusan kebijakan-

kebijakan resmi bernegara, dan (ii) kepada Presiden dan

lembaga-lembaga eksekutif pemerintahan lainnya dalam

urusan-urusan melaksanakan haluan-haluan dan kebijakan-

kebijakan negara itu, serta (iii) secara tidak langsung kepada

lembaga peradilan dalam urusan mengadili pelanggaran

terhadap haluan dan kebijakan-kebijakan negara itu.

Namun, terlepas dari adanya pendelegasian kewenangan

dari rakyat yang berdaulat kepada para delegasi rakyat, baik di

bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif itu, makna

kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi menurut sistem

demokrasi politik dan demokrasi ekonomi itu tidak dapat

110 | Konstitusi

dikurangi dengan dalih kewenangan rakyat sudah diserahkan

kepada para pejabat. Dalam konteks bernegara, kedaulatan

rakyat itu bersifat ‘relatif mutlak’, meskipun harus diberi

makna yang terbatas sebagai perwujudan ke-Maha-Kuasaan

Allah sebagaimana diakui dalam Alinea Ketiga Pembukaan

UUD 1945. Sebagai konsekuensi tauhid, yaitu keimanan

bangsa Indonesia kepada Allah Swt, Tuhan Yang Maha Esa,

maka setiap manusia Indonesia dipahami sebagai khalifah

Tuhan di atas muka bumi yang diberi kekuasaan untuk

mengolah dan mengelola alam kehidupan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran bersama berdasar atas demokrasi

ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,

berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta

dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan

ekonomi nasional, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 33

ayat (4) UUD 1945.

Seperti dikatakan oleh Kusnu Goesniadhie, setiap kurun

waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi

kehidupan yang memformasi dan mempengaruhi kerangka

pemikiran (frame of reference) dan medan pengalaman (field of

experience) dengan muatan kepentingan yang berbeda,

sehingga proses pemahaman terhadap konstitusi dapat terus

berkembang dalam praktik di kemudian hari.24 Pada tahun

1940-an, mencantumkan urusan perekonomian dalam

ketentuan konstitusi tentu tidak lazim, kecuali di lingkungan

negara-negara sosialis-komunis. Akan tetapi, sesudah

komunisme sendiri runtuh, sekarang banyak sekali negara

demokrasi terbuka yang justru mengadopsi gagasan konstitusi

perekonomian. Republik China (Taiwan) yang menganut

sistem demokrasi dan anti komunis juga memuat ketentuan

pokok mengenai kebijakan ekonomi nasionalnya dalam

konstitusi, pada Bab XIII tentang Fundamental National

Policies, Section 3, mulai dari article 142 s/d artikel 157.

Misalnya, artikel 142 menentukan, “National economy shall

be based on the Principle of People’s Livelihood and shall seek

to effect equalization of land ownership and restriction of

private capital in order to attain a well-balanced sufficiency in

national wealth and people’s livelihood”. Pada bagian dari

artikel 143 ditentukan pula, “... Mineral deposits which are

embedded in the land, and natural power which may, for

economic purpose, be utilized for public benefit shall belong to

the State, regardless of the fact that private individuals may

have acquired ownership over such land”. “If the value of a

piece of land has increased, not through the exertion of labor

or the employment of capital, the State shall levy thereon an

increment tax, the proceeds of which shall be enjoyed by the

people in common”.

Selanjutnya, artikel 144 menentukan, “Public utilities and

other enterprises of a monopolistic nature shall, in principle,

be under public operation. In cases permitted by by law, they

may be operated by private citizens”. Artikel 145 menentukan

pula, “With respect to private wealth and privately operated

enterprises, the State shall restrict them by law if they are

deemed detrimental to a balanced development of national

wealth and people’slivelihood”. “Cooperative enterprises shall

receive encouragement and assistance from the State”.

“Private citizens’ productive enterprises and foreign trade


shall receive encouragement, guidance, dan protection from

the State”.

Memang dapat diakui juga bahwa sebagian ketentuan-

ketentuan konstitusional yang demikian itu sudah ketinggalan

zaman, jika dikaitkan dengan perkembangan globalisasi

dewasa ini. Namun demikian, perlu dicatat bahwa sampai

sekarang –terlepas dari masalah politiknya dengan Republik

Rakyat Cina– Taiwan telah berkembang menjadi salah satu

negara tanpa hutang di dunia. Perekonomian rakyat tumbuh

merata sampai ke desa-desa. Padahal Taiwan bukan negara

komunis dan bahkan anti komunis sejak awal berdirinya.

Selain Taiwan, tentu banyak lagi negara-negara lain yang

dapat dibahas berkenaan dengan pengaturan konstitusional

kebijakan ekonomi negaranya. Misalnya, Konstitusi Afrika

Selatan memuat ketentuan seperti Pasal 34 UUD 1945 yang

mengatur serangkaian hak-hak warga negara di bidang

ekonomi dan sosial yang membebani Pemerintah dengan

kewajiban untuk menyediakan “basic goods and services”

untuk warganya. Demikian pula banyak negara demokrasi

lainnya yang tidak membiarkan kegiatan perekonomian

rakyatnya bergerak sendiri tanpa regulasi dan campur tangan

pemerintah di mana dan kapan diperlukan, semata-mata untuk

menjaga agar dinamika pasar tidak merugikan kepentingan

rakyat banyak yang harus dilindungi oleh negara.

Bahkan, di Amerika Serikat sendiri diskusi-diskusi tentang

konstitusionalisasi kebijakan ekonomi ini juga sangat

berkembang. Pentingnya peran dan intervensi negara ke dalam

mekanisme pasar terus meningkat dari waktu ke waktu.

Apalagi, di tengah krisis keuangan Amerika Serikat sekarang

dan kebijakan “bail-out” yang diterapkan untuk mengatasinya

sekarang justru menambah bukti mengenai pentingnya peranan

negara dalam perekonomian masa kini. Misalnya, Frank I.

Michelman dalam bukunya “Socio Economic Rights in

Constitutional Law: Explaining American Way”, menyatakan,

“... this article suggests why inclusion (pen: maksud pemuatan

ketentuan tentang ekonomi dalam konstitusi) could be

demanded, nonetheless, as a matter of political-moral

principle. It then canvasses possible responses to the American

case. These include both a possible denial that socio-economic

guarantees are,in fact, lacking from US constitutional law and

a possible claim that omitting them is the correct choice for the

US as a matter of non ideal political morality”.

Malah, secara khusus, James M. Buchanan Jr., dalam Prize

Lecture-nya guna memperingati Alfred Nobel (1986) menulis

judul “The Constitution of Economic Policy”. Menurutnya, “In

the standard theory of choice in markets, there is little or no

concern with the constitution of the choice environment”.

“There is no institutional barrier between the revealed

expression of preference and direct satisfaction”. Akan tetapi,

dalam kesimpulannya ia menyatakan, “.... the political

economist who seek to remain within the normative constraints

imposed by the individualistic canon may enter the ongoing

dialogue on constitutional policy”. “The whole contractarian

exercise remains empty if the critical dependence of politically-

generated results upon the rules that constrain political action

is denied. If end states are invariant over shifts in

constitutional structure, there in no role for constitutional

political economy. On the other hand, if institutions do, indeed,

matter, the role is well defined”.

114 | Konstitusi

Dengan menempatkannya sebagai norma-norma konstitusi,

maka ketentuan-ketentuan konstitusional perekonomian itu

mempunyai kedudukan yang dapat memaksa untuk dipakai

sebagai standar rujukan dalam semua kebijakan ekonomi. Jika

bertentangan, kebijakan demikian dapat dituntut

pembatalannya melalui proses peradilan. Dengan demikian,

ekonomi dapat diharapkan membantu dalam membuat

perhitungan, tetapi yang memutuskan adalah politik

berdasarkan ketentuan hukum sesuai dengan apa yang sudah

disepakati bersama oleh seluruh anak bangsa sebagaimana

yang tercermin dalam konstitusi sebagai kontrak sosial.

Dengan perkataan lain, ekonomi memperhitungkan, politik

memutuskan, tetapi hukum lah yang akhirnya menentukan.

Jangan biarkan ekonomi memutuskan segala sesuatu dengan

logikanya sendiri. Politik juga tidak boleh dibiarkan

memutuskan nasib seluruh anak negeri hanya dengan

logikanya sendiri. Inilah hakikat makna bahwa negara kita

adalah negara demokrasi konstitusional, Negara Hukum,

Rechtsstaat, the Rule of Law, not of Man.

C. Penafsiran Konstitusi

Penafsiran konstitusi selama bertahun-tahun, dalam sistem di

Amerika Serikat, dan sekarang di Indonesia dalam pelaksanaan

pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi, telah

berkembang sedemikian rupa dalam putusan perkara hukum

konkrit.25 Tidak ada definisi yang pasti mengenai jenis

penafsiran konstitusi karena setiap peneliti dapat


mengembangkan kajian sendiri mengenai hal ini.26 Dalam

tulisan ini coba diuraikan mengenai jenis penafsiran hukum

yang paling sering dianalisis.27 Adapun jenis penafsiran

tersebut adalah yang berhubungan dengan keberadaan

konstitusi sebagai dokumen hukum, yang sering disebut

sebagai metode original, yang variasinya terbagi ke dalam 3

formasi penafsiran yaitu: (i) tekstual; (ii) struktur; dan (iii)

doktrinal.

1. Penafsiran Tektual

Konstitusi merupakan dokumen hukum yang terdiri atas narasi

yang terbagi ke dalam pasal-pasal dan perubahan.28 Para

penyusunnya merumuskan ketentuan-ketentuan konstitusi yang

berlaku pada masa yang terus menerus, dengan keraguan-

raguan mengenai komitmen generasi yang akan datang.29

Ketentuan itu sendiri merupakan akhir dari pembahasan dalam

persoalan-persoalan tertentu.30

Persoalan sehubungan dengan ketentuan tekstual konstitusi

adalah keterbatasan dan metodologi. Keterbatasan itu

menyangkut relasi dengan persoalan-persoalan yang sifatnya

abstrak. Di Amerika Serikat, mayoritas hakim agung hal itu

dirasakan menimbulkan keragu-raguan, sehingga rumusan

pendapat hukum yang muncul dirasakan sebagai suatu kreasi

hukum dibandingkan penafsiran hukum.31 Dalam kritik

literatur, keterbatasan tekstualisme karena metode ini harus

dihubungkan dengan kenyataan pada saat pertama kali

ketentuan itu disepakati oleh penyusunnya. Sebagai contoh

pendapat Ketua Mahkamah Agung mengenai wewenang

Kongres dalam memformasi Bank Sentral (1889). Menurut

Marshall, Kongres berwenang mengatur perdagangan dan mata

uang, akan tetapi tidak mempunyai kekuasaan untuk

memformasi bank. Marshall mencoba untuk melihat kebutuhan

dan tujuan pelaksanaan diskresi Kongres yang diperlebar

sehubungan dengan masalah itu.  Dari segi kebutuhan, Kongres

dibatasi wewenangnya untuk menentapkan Undang-Undang

untuk memastikan penyelenggaraan negara oleh pemerintah,

yang mana klausula ini mempunyai sifat sebagai nessicerity,

bukan absolute.

Suatu perancangan amandemen Konstitusi juga telah

melalui proses pembahasan yang panjang. Dengan demikian,

originalitas sebagai cara penafsiran adalah memperhatikan

kepada riset yang dilakukan dalam rangka penetapan aturan

yang kemudian menjadi amandemen Konstitusi itu.

Kesulitan menyangkut metode meliputi beberapa hal.

Dengan banyaknya penyusun yang membahas dan

membicarakan konstitusi, menjadi kesulitan, pendapat siapakah

yang akan dianut untuk menjadi pijakan penafsiran? Dapatkah

seketika orang menanyakan kepada penyusunnnya maksud

mengenai dirumuskannya aturan dalam konstitusi? Sebagai

contoh, Hakim Agung Souter berpendapat bahwa klasula

kebebasan beragama dalam ketentuan konstitusi tidak merujuk

kepada preferensi agama tertentu. Sebaliknya, Hakim Agung

Scalia mempunyai pendapat berbeda, bahwa Geraja Inggris

didirikan selama masa kolonialisasi dan pendasaran sumpah

George Washington sebagai Presiden untuk pertama kalinya

merujuk kepada agama itu, sehingga hal itu menunjukkan

komitmen preferensi agama tertentu.

2. Penafsiran Struktural

Konstitusi menetapkan dan mengakui pembagian kekuasaan

vertikal dan horizontal. Secara vertikal, terdapat pemerintahan

nasional, yang menjalankan kekuasaan residu dibandingkan

pemerintahan di bawahnya, ada hubungan antara pusat dan

daerah. Secara horizontal, ada separation of power, yang

memformasi cabang kekuasaan legislatif, yudisial, dan

eksekutif. Pengadilan menjadi penentu akhir dalam

pelaksanaan konstitusi diantara kedua cabang kekuasaan lain.

Oleh karena itu, penafsiran ini berhubungan dengan persoalan

distribusi kekuasaan diantara cabang kekuasaan negara.

Pengadilan sering kali memutuskan ketentuan yang

bertentangan dengan ketentuan yang ada, bahkan mengubah

ketentuan untuk menetapkan perintah pelaksanaan wewenang

yang dilaksanakan oleh suatu cabang kekuasaan negara.

Dengan demikian, pengadilan akan memutuskan bagaimana

cabang kekuasaan harus dilaksanakan secara lebih baik. Hal ini

dapat dibaca bagaimana Mahkamah Agung di Amerika Serikat

membatalkan suatu Undang-Undang yang disetujui oleh

Kongres, atau membatalkan tindakan-tindakan yang

118 | Konstitusi

dilaksanakan oleh Presiden dengan alasan bertentangan dengan

pembagian kekuasaan dalam konstitusi.

3. Penafsiran Doktrinal

Dalam hal ini, penafsiran berpijak kepada pendapat para ahli

atau sarjana hukum sehubungan dengan masalah-masalah yang

harus ditafsirkan atas ketentuan dalam Undang-Undang Dasar.

Banyak putusan pengadilan mengenai hal ini menyangkut

persoalan-persoalan yang bersifat mendasar. Misalnya

keabsahan pejabat yang dipilih melalui pemilu.

Untuk memutus perkara tersebut, pengadilan harus

menetapkan bahwa ketentuan dalam konstitusi berlaku jelas

dan konsisten dengan pertanggungjawaban sosial dan

keberlanjutan. Hal ini disebabkan doktrin adalah hasil

perkembangan pemikiran secara bertahap dari satu waktu ke

waktu berikutnya. Hasil putusan dengan metode penafsiran ini

dapat memperluas ketentuan dalam konstitusi maupun

inkremental.

PEMISAHAN

KEKUASAAN

Sebelum dikenalnya pemisahan kekuasaan dalam negara,

seluruh kekuasaan yang ada dalam negara dilaksanakan oleh

raja. Monarki absolut tersebut terjadi di seluruh Eropa. Perang

berkepanjangan menyebabkan para raja tersebut menarik pajak

yang tinggi dari masyarakat dan meminta bantuan keuangan

pada para bangsawan di negaranya yang merupakan cikal bakal

parlemen di beberapa negara. Hal tersebut antara lain dapat

dilihat pada negara Inggris yang memiliki parlemen pertama di

dunia yang diformasi pada tahun 12651, dan juga Prancis, di

mana Pemerintah Prancis yang bangkrut pada tahun 178