komunikasi 5
stitusi atau batas negara.
b. Peserta didik dapat dengan mudah berguru pada para ahli di bidang yang
diminatinya.
c. Kuliah / belajar dapat dengan mudah diambil di berbagai penjuru dunia tanpa
bergantung pada universitas/sekolah tempat si mahasiswa belajar. Di samping
itu kini hadir perpustakan internet yang lebih dinamis dan bisa digunakan di
seluruh jagat raya.
Pendapat ini hampir senada dengan Budi Rahardjo. Menurutnya, manfaat internet bagi pendidikan
adalah dapat menjadi akses kepada sumber informasi, akses kepada nara sumber, dan sebagai media
kerjasama. Akses kepada sumber informasi yaitu sebagai perpustakaan on-line, sumber literatur, akses hasil-
hasil penelitian, dan akses kepada materi kuliah. Akses kepada nara sumber bisa dilakukan komunikasi tanpa
harus bertemu secara fisik. Sedangkan sebagai media kerjasama internet bisa menjadi media untuk
melakukan penelitian bersama atau membuat semacam makalah bersama.
Penelitian di Amerika Serikat tentang pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi untuk
keperluan pendidikan diketahui memberikan dampak positif (Pavlik, 19963)). Studi lainya dilakukan oleh
Center for Applied Special Technology (CAST), “bahwa pemanfaatan internet sebagai media pendidikan
menunjukan positif terhadap hasil belajar peserta didik)”.
Internet sebagai media pendidikan memiliki banyak keunggulan,. Namun tentu saja memiliki
kelemahan; seperti infrastruktur internet masih terbatas dan mahal, keterbatasan dana, dan budaya baca kita
masih lemah. Di sinilah tantangan bagaimana mengembangkan model pembelajaran melalui internet.
3. Internet untuk Dakwah
Perkembangan dakwah melalui internet merupakan salah satu bentuk dakwah masa
depan, persiapan sumber daya manusia dengan memberdayakan informasi teknologi
terutama dalam menghasilkan tenaga dai yang kompetetif sangat mendesak keberadannya.
Dakwah lewat internet merupakan fenemoma baru dalam dunia dakwah.
Fasilitas-fasitas internet yang ada sudah pasti mampu menjadikan materi dakwah berkembang
secara luas dan itu bias dinikmati oleh semua kalangan. Fasilitas Web Site Islami dapat di buka oleh siapapun
dan beredar di seluruh dunia, Email dapat dilakukan dai kepada maduwnya yang membutuhkan nasehatnya,
IRC dapat dilakukan langsung oleh dai kepada maduwnya tanpa ada orang yang mengetahuinya. Hal ini bisa
dilihat dan didengar oleh dai dan maduw. Dan banyak lagi fasilitas-fasilitas yang lain yang bisa di gunakan
oleh para Dai dalam melaksanakan tugasnya sebagai dai yang professional.
Dakwah dapat di gunakan dengan beberapa sarana internet, contohnya saja:
a. Homepage: http://www.ukhuwah .or.id
http://www.annida.co.id
http://www.myquran.com
e-Dakwah adalah sebuah software/perangkat lunak yang bersifat MultiMedia persembahan
haadzaa.info yang dibuat dengan maksud untuk memberikan layanan dan kemudahan pada pemanfaatan
Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam pelaksanaan pendidikan dan dakwah.
Saat ini e-Dakwah baru memasuki versi yang ke 0.2 (e-Dakwah ver 0.2). Hasil karya penggunaan
e-Dakwah ver 0.2 yang pertama berupa website dan dapat dilihat di situs www.smpit-nurhidayah.info (masih
dalam tahap pengembangan).
e-Dakwah juga dapat didefinisikan sebagai pelaksanaan dakwah (penyebaran ajaran dan informasi
tentang Islam) dengan bantuan teknologi informasi, terutama internet. e-Dakwah merupakan respon aktif-
kreatif positif terhadap perkembangan teknologi informasi yang ada.
Umat Islam sepantasnya tidak menutup mata dengan perkembangan teknologi yang ada.
Perkembangan Internet merupakan peluang yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Perdebatan
tentang dampak negatif internet jangan sampai menjadikan kita skeptis dan melupakan sisi baik yang dapat
dimanfaatkan.
Mengapa e-Dakwah?
i. Sejak dulu Islam telah menyebar di seluruh penjuru dunia. Internet seharusnya dapat dijadikan
sarana yang mudah dan murah untuk selalu berkomunikasi dengan komunitas muslim yang tersebar
di seluruh penjuru dunia.
ii. Citra islam yang diracuni dengan pemberitaan satu sisi oleh banyak media barat perlu sekali untuk
dilawan. Internet menawarkan kemudahan penyebaran pemikiran-pemikiran serta pesan kebenaran
islam ke seluruh dunia.
iii. Pemanfaatan Internet untuk dakwah, dengan sendirinya juga menunjukkan bahwa muslim bisa
menyesuaikan dengan perkembangan teknologi selama itu tidak bertentangah dengan akidah. Di
negara-negara maju internet telah memudahkan muslim dalam mengelola dakwahnya dan
berkomunikasi dengan anggota jama’ah lainnya.
6.6 Melek Media
A. Defenisi Melek Media
Menurut Jane Tallim Melek media adalah kemampuan untuk menyaring dan menganalisis pesan
yang menginformasikan, menghibur dan menjual kepada kita setiap hari. Ini adalah kemampuan untuk
membawa keterampilan berpikir kritis untuk menanggung semua media-dari video musik dan lingkungan
Web untuk penempatan produk dalam film dan menampilkan virtual pada papan NHL hoki. Ini tentang
menanyakan pertanyaan penting tentang apa yang ada di sana, dan melihat apa yang tidak ada. Dan itu naluri
untuk mempertanyakan apa yang ada di balik media yang produksi-motif, uang, nilai-nilai dan kepemilikan-
dan untuk mengetahui bagaimana faktor-faktor ini mempengaruhi isi.
Media pendidikan mendorong pendekatan menyelidik ke dunia media: Siapa pesan ini ditujukan
untuk? Siapa yang ingin menjangkau khalayak ini, dan mengapa? Dari perspektif yang menceritakan kisah
ini? Suara siapa yang didengar, dan yang tidak hadir? Strategi apa dengan pesan ini gunakan untuk
mendapatkan perhatian saya dan membuat saya merasa dilibatkan?
Dalam dunia kita multi-tasking globalisasi,, komersialisme dan interaktivitas, pendidikan media
bukan tentang memiliki hak jawaban-tentang mengajukan pertanyaan yang tepat. Hasilnya adalah
pemberdayaan seumur hidup dari peserta didik dan warga
B. Melek Media
Sebelum media berkembang pesat seperti dewasa ini, yang diperlukan oleh setiap warga warga
adalah cukup jika melek huruf (literate) yang memungkinkan mereka terampil membaca dan menulis.
Ternyata sekarang kemampuan itu sudah tidak lagi memadai dan harus dilengkapi dengan melek yang lain,
yaitu media literacy (melek media).
Pada dasarnya melek huruf di era pra-TV telah melatih pikiran untuk menjadi reflektif, bersuara
untuk berartikulasi. Membandingkan hal itu dengan masa sekarang, Pei (1976) mengatakan bahwa membaca
merupakan proses pembebasan, bersifat individual dan demokratis. Membaca tidak hanya memberikan
pilihan yang luas akan topik, tapi juga kesempatan menjadi kritikal untuk menelusuri kembali dan mengkaji
apa yang disampaikan oleh penulis, membandingkannya dengan ide dan sikap Anda sendiri, lalu
mencernanya dengan ramuan enzim Anda sendiri.
Amat berbeda dengan pembawaan sebagai khalayak TV dan media audiovisual lainnya (penerima
yang bersifat pasif) yang memang diandalkan oleh para propagandis radio dan TV agar pesan-pesan mereka
menenggelamkan dan menghasilkan efek yang mereka inginkan. Sebagai dampak dari kecanduan TV ada
yang menyebutkan telah terjadinya "the decline of literacy". Dari sini muncul pendapat bahwa pengenaan
yang terus-menerus terhadap TV telah menanamkan kepasifan pada diri khalayak.
Dalam pandangan Dahl (1983) dewasa ini jika seorang warga negara mau mampu mencerna pesan-
pesan media massa, ia memerlukan basis untuk mengevaluasi. Dan basis itu haruslah ada sejak masih kecil.
Karena itu, anak-anak perlu dilatih untuk mendekati teks visual seperti bagaimana mereka menguasai huruf
dan angka. Sejak masa anak-anak seseorang perlu diakrabkan dengan lexicon atau peristilahan khas yang
berlaku di dunia audio dan visual.
Tantangan pedagogis itu harus diatasi oleh institusi kultural bersama pemerintah, namun tanggung
jawab utama tetap ada di rumah. Karena di rumahlah arena konsumen tempat dibentuknya kriteria tentang
yang benar dan salah dalam kaitan hubungan kita dengan media.
Agar isi pesan dapat dicerna oleh anak, perlu diberikan informasi tentang ide yang ada di balik
program; perlu penjelasan mengenai kata-kata asing dan informasi tentang efek khusus (special effects)
seperti lighting dan angle kamera; perlu menciptakan situasi diskusi menyangkut pengalaman tiap anak yang
diterima dari program TV dan isi pesannya.
C. Tahapan Melek Media
Melek media adalah istilah keseluruhan yang mencakup tiga tahapan kontinum yang mengarah ke
media pemberdayaan:
Tahap pertama adalah hanya menjadi sadar akan pentingnya mengelola media yang banyak "diet" - yaitu,
membuat pilihan dan mengurangi waktu yang dihabiskan dengan televisi, video, permainan elektronik, film
dan media cetak berbagai bentuk.
Tahap kedua adalah belajar keterampilan khusus kritis melihat-belajar menganalisis dan
mempertanyakan apa yang ada di frame, bagaimana dibangun dan apa yang mungkin telah ditinggalkan.
Keterampilan untuk melihat kritis paling baik dipelajari melalui penyelidikan berbasis kelas atau kegiatan
kelompok interaktif, serta dari menciptakan dan memproduksi pesan media sendiri.
Tahap ketiga yang terjadi di balik bingkai untuk mengeksplorasi isu-isu yang lebih dalam. Siapa
yang memproduksi media yang kita alami-dan untuk tujuan apa? Siapa yang mendapatkan keuntungan?
Siapa yang kalah? Dan siapa yang memutuskan? Tahap analisis sosial, politik dan ekonomi melihat
bagaimana setiap orang dalam warga membuat makna dari pengalaman kita media, dan bagaimana
media massa mendorong perekonomian konsumen global kami. Permintaan ini kadang-kadang dapat
mengatur panggung untuk advokasi upaya media untuk menantang atau meminta ganti kebijakan publik atau
praktik berbagai perusahaan.
Meskipun televisi dan media elektronik mungkin tampak untuk menyajikan alasan yang paling
menarik untuk mempromosikan pendidikan melek media dalam warga kontemporer, prinsip-prinsip dan
praktek pendidikan melek media yang berlaku untuk semua media-dari televisi ke T-shirt, dari billboard ke
Internet.
D. Pendidikan Media
Konsep melek media (media literacy) telah dikembangkan sejak pertengahan tahun 70-an. kemudian
tahun 1976 sebuah konferensi yang disponsori oleh Ford Foundation, Markle Foundation, dan National
Science Foundation mengusulkan agar yang menjadi komponen dari kurikulum melek media mencakup
beberapa hal. Antara lain kebiasaan-kebiasaan produksi acara TV; analisis daya pikat (appeal) TV; karakter
dan peran isyarat-isyarat non-verbal; overview sejarah dan struktur industri penyiaran; basis ekonomi untuk
televisi; analisis format-format tipikal untuk programming hiburan; keprihatinan yang pokok tentang efek
negatif programming; analisis nilai-nilai yang digambarkan dalam isi TV; standar-standar untuk kritik isi TV;
dan jika mungkin, pengalaman langsung dengan peralatan TV.
Tahun 1978 United States Office of Education membiayai pengembangan paket kurikulum "critical
TV viewing skills" berskala nasional untuk empat jenjang pendidikan: dasar, menengah, atas, dan kolej.
Keterampilan menonton kritis ini didefinisikan sebagai: "Faktor-faktor yang memungkinkan seseorang untuk
memperbedakan (to distinguish) di antara serangkaian unsur-unsur program yang luas sehingga mereka dapat
membuat alasan yang sah untuk waktu yang digunakan buat menonton TV."
Kemudian pertemuan para pakar yang diselenggarakan oleh Unesco tahun 1979 merumuskan
konsep pendidikan media sebagai mencakup "segala cara mengkaji, mempelajari dan mengajarkan pada
semua tingkat (dasar, menengah, tinggi, dewasa dan pendidikan seumur hidup)... dan dalam semua konteks,
sejarah, kreativitas, penggunaan dan evaluasi media sebagai suatu keterampilan teknis dan praktis sekaligus
sebagai lahan yang ditempati oleh media dalam warga, dampak sosialnya, implikasi komunikasi
bermedia, partisipasi, modifikasi modus dari persepsi yang dihasilkannya, peran karya kreatif dan akses ke
media".
Rumusan itu lantas diperjelas pada sidang umum Unesco ke-25, November 1989, bahwa
"pengembangan pendidikan media yang kritis dengan menekankan pengembangan kesadaran kritis,
kemampuan untuk bereaksi terhadap segala informasi yang diterima dan pendidikan bagi para pengguna
media untuk mempertahankan hak-hak mereka, membentuk pendidikan media".
Untuk konkretnya, Masterman (1988) menyarankan agar pendidikan media hendaklah
mengembangkan kepercayaan diri yang cukup dan kedewasaan yang kritis (critical maturity) pada diri anak
agar mereka mau dan mampu menerapkan critical judgement terhadap program televisi dan sajian media
lainnya.
Keberhasilan pendidikan media ditandai oleh sejauh mana murid-murid kritikal dalam penggunaan
dan pemahaman media ketika guru tidak ada. Tujuan utama pendidikan media seumur hidup tidak hanya
kesadaran dan pengertian yang kritikal (critical awareness) melainkan suatu otonomi yang kritis (critical
autonomy). Kalau tujuan itu dapat dicapai, besar kemungkinan kita tidak lagi menjadi korban dari
penyalahgunaan media. Dampak negatif dan pengaruh yang tidak diinginkan dari pesan-pesan media juga
diharapkan bisa dikurangi.
E. Intervensi
Intervensi media massa --terutama televisi-- ke dalam kehidupan khalayak dari hari ke hari akan
makin jauh. Sementara itu peran agen-agen sosialisasi mengalami pergeseran. Karena itu diperlukan
sejumlah langkah konkret untuk mencegah dan mengatasi berbagai kemungkinan dampak yang tidak
diinginkan.
Langkah-langkah yang dimaksud dapat ditempuh melalui penataan kebijakan program media
dengan acara-acara yang dapat dipertanggungjawabkan kemanfaatannya bagi pertumbuhan anak yang sehat
secara fisik dan mental, serta pembekalan anak dengan keterampilan menonton televisi secara benar. Yang
belakangan ini dapat dimulai dengan menyusun suatu materi pelatihan kepada para orangtua agar mereka
dapat membimbing anaknya menjadi pengguna media yang kritis, selektif, dan memahami isi pesan dengan
tepat.
Untuk itu harus ada yang mengawasi isi media yang dikonsumsi oleh khalayak. Begitu pentingnya
hal ini sehingga tidak bisa diserahkan atau dipercayakan begitu saja hanya kepada para penyelenggara media.
warga harus turut serta mengawasinya, dengan: pertama, mencegah masuknya program media yang
diperkirakan akan merusak; dan kedua, memberi "kekebalan" kepada khalayak.