cyber crime 24
ngan yang lainnya.
5. Keterangan terdakwa
Mengenai keterangan terdakwa diatur dalam KUHAP pada Pasal 189
yang berbunyi sebagai berikut : keterangan terdakwa yaitu apa yang
ia nyatakan dalam persidangan mengenai perbuatan yang ia ketahui
dan ia alami sendiri, keterangan terdakwa yang diberikan diluar
persidangan hanya dapat digunakan untuk menemukan bukti yang
lainnya dan keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap
dirinya sendiri, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk mealat
bukti lainnya yang mendukung dan sah.
Keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau
terbentur pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya
didengar, apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan ataupun
pengakuan sebagaian dari perbuatan atau keadaan.
B. Asas – Asas dalam Pembuktian
Hukum pembuktian dalam cyber crime yaitu bersifat khusus. Akan
tetapi atasnya tetap diharuskan mengacu kepada asas-asas pembuktian
yang umum. Beberapa asas dalam hukum acara perdata mengenai
pembuktian, yaitu :
1. Asas Audi Et Alteram Partem; yaitu asas kesamaan proses
dan para pihak yang berperkara. berdasar asas ini,
hakim tidak boleh menjatuhkan putusan sebelum memberi
kesempatan untuk mendengarkan kedua pihak. Hakim harus
adil dalam memberikan beban pembuktian pada pihak yang
berperkara agar kesempatan untuk kalah atau menang bagi
kedua pihak tetap sama.
2. Asas Actori Incumbit Probatio; bahwa asas ini terkait
dengan beban pembuktian. Asas ini berarti bahwa
barangsiapa yang memiliki suatu hak atau menyangkali
adanya hak orang lain, harus membuktikannya. Hal ini
berarti bahwa dalam hal pembuktian yang diajukan
penggugat dan tergugat sama-sama kuat, maka baik
penggugat maupun tergugat ada kemungkinan dibebani
dengan pembuktian oleh hakim.
3. Gugatan harus diajukan pada pengadilan dimana tergugat
bertempat tinggal atau dikenal dengan ―Actor sequitor
forum rei”
Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori pembuktian
yang menjadi pegangan bagi hakim dalam melakukan pemeriksaan
terhadap di sidang pengadilan. Sejalan dengan perkembangan waktu,
teori atau sistem pembuktian mengalami perkembangan dan
perubahan. Demikian pula penerapan sistem pembuktian di suatu
negara dengan negara lain dapat berbeda. Adapun sistem atau teori
pembuktian yang dikenal dalam dunia hukum pidana yaitu conviction
intime atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim sematamata, conviction rasionnee atau teori pembuktian berdasar
keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis,
positif wettelijk bewijstheorie atau teori Pembuktian yang hanya
berdasar kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh undangundang secara positif, dan negatief wettelijk bewijstheorie atau teori
pembuktian berdasar keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat
bukti dalam undang-undang secara negatif, berikut penjelasannya :
1. Conviction intime atau Teori pembuktian berdasaran
keyakinan hakim semata-mata
Conviction intime diartikan sebagai pembuktian
berdasar keyakinan hakim belaka. Teori pembuktian ini
lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk
menjatuhkan suatu putusan berdasar keyakinan hakim,
artinya bahwa jika dalam pertimbangan putusan hakim telah
menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan
keyakinan yang timbul dari hati nurani, terdakwa yang
diajukan kepadanya dapat dijatuhkan putusan.
Keyakinan hakim pada teori ini yaitu menetukan dan
mengabaikan hal-hal lainnya jika sekiranya tidak sesuai atau
bertentangan dengan keyakinan hakim ini .Sistem ini
mengandung kelemahan yang besar, sebab sebagai manusia
biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya,
berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang
harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam
membentuk keyakinannya itu. Di samping itu, pada sistem ini
terbuka peluang yang besar untuk terjadi praktik penegakan
hukum yang sewenang-wenang, dengan bertumpa pada alasan
keyakinan hakim.
2. Conviction Rasionnee atau Teori pembuktian berdasar
keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang
logis Sistem pembuktian conviction rasionnee yaitu sistem
pembuktian yang tetap memakai keyakinan hakim, tetapi
keyakinan hakim didasarkan pada alasan-alasan
(reasoning) yang rasional. Dalam sistem ini hakim tidak dapat
lagi memiliki kebebasan untuk menentukan keyakinannya,
tetapi keyakinannya harus diikuti dengan alasan-alasan
yang reasonable yakni alasan yang dapat diterima oleh akal
pikiran yang menjadi dasar keyakinannya itu.
3. Teori Pembuktian yang hanya berdasar kepada alat-alat
pembuktian yang disebut oleh undang-undang secara positif
Sistem pembuktian berdasar alat bukti menurut undangundang secara positif atau pembuktian dengan memakai
alat-alat bukti yang sebelumnya telah ditentukan dalam
undang-undang. Dengan kata lain, keyakinan hakim tidak
diberi kesempatan dalam menentukan ada tidaknya kesalahan
seseorang, keyakinan hakim harus dihindari dan tidak dapat
dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan kesalahan
seseorang.
4. Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim yang timbul
dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif
Pembuktian pembuktian berdasar undang-undang secara
negatif yaitu pembuktian yang selain memakai alat-alat
bukti yang dicantumkan di dalam undang-undang, juga
memakai keyakinan hakim. Sekalipun memakai
keyakinan hakim, namun keyakinan hakim terbatas pada alatalat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Sistem
pembuktian ini menggabungkan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian
menurut keyakinan hakim sehingga sistem pembuktian ini
disebut pembuktian berganda (doubelen grondslag).
Dengan demikian, maksud dilakukannya kegiatan
pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP yaitu
untuk menjatuhkan atau mengambil putusan in casu menarik amar
putusan oleh majelis hakim. Pembuktian dilakukan terlebih dahulu
dalam usaha mencapai derajat keadilan dan kepastian hukum yang
setinggi-tingginya dalam putusan hakim. Sehigga pembuktian
tidak hanya ditujukan untuk menjatuhkan pidana saja berdasar
syarat minimal dua alat bukti yang harus dipenuhi dalam hal
pembuktian untuk menjatuhkan pidana.
C. Alat Bukti Elektronik dalam Cyber Crime
Berbicara mengenai pembuktian secara elektronik, tidak terlepas dari
alat-alat elekrtonik itu sendiri. Proses pembuktian secara elektronik
sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya, merupakan
pembuktian yang melibatkan berbagai hal terkait teknologi informasi
seperti informasi dan atau dokumen elektronik dalam perkara Cyber
Crime namun tetap mendasarkan pada ketentuan pembuktian
sebagaimana diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara
Pidana serta peraturan perundang-undangan lainnya seperti UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008.
Proses pembuktian secara elektronik, tentu harus didukung oleh
berbagai alat-alat bukti secara elektronik pula, dalam hal ini tetap
melihat pada ketentuan tentang alat bukti yang sah dalam Pasal 184
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan
alatalat bukti yang sah terdiri dari : (1) Keterangan saksi; (2)
Keterangan ahli; (3) Surat; (4) Petunjuk; (5) Keterangan terdakwa.
Proses pembuktian pada kasus cybercrime pada dasarnya tidak
berbeda dengan pembuktian pada kasus pidana konvensional, tetapi
dalam kasus cybercrime terdapat ada beberapa hal yang bersifat
elektronik yang menjadi hal utama dalam pembuktian, antara lain
adanya informasi elektronik atau dokumen elektronik. Ketentuan
hukum mengenai pembuktian atas kasus cybercrime telah diatur
dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008, yang menyatakan bahwa informasi dan atau dokumen
elektronik dianggap sebagai alat bukti yang sah dalam proses
pembuktian kasus cybercrime dan alat bukti elektronik ini
dianggap pula sebagai perluasan dari alat bukti yang berlaku dalam
hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini alat-alat
bukti yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP. Minimal, kesalahan
pelaku dapat terbukti dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti
yang sah. Alat-alat bukti ini harus mampu membuktikan telah terjadi
suatu perbuatan dan membuktikan adanyab akibat dari perbuatan
cybercrime.\
1. Keterangan Saksi
Sehubungan dengan sifat cybercrime yang virtual, sehingga
pembuktian dengan memakai keterangan saksi tidak
dapat diperoleh secara langsung melainkan hanya dapat
berupa hasil pembicaraan atau mendengar dari orang lain
(testimonium de auditum). Meskipun kesaksian jenis ini
dianggap tidak sah sebagai alat bukti, dalam praktik tetap
dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan hakim
untuk memperkuat keyakinannya dalam menjatuhkan
putusan. Yang dapat dijadikan keterangan saksi dalam dunia
cyber, seperti chatting dan e-mail antara pengguna internet.
2. Keterangan Ahli
Peran keterangan ahli disini yaitu untuk memberikan suatu
penjelasan dalam persidangan bahwa dokumen/data
elektronik yang diajukan yaitu sah dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Saksi ahlimelibatkan
ahli-ahli dalam berbagai bidang antara lain, ahli dalam
teknologi informasi, mendesain internet, program-program
jaringan komputer, serta ahli dalam bidang
enskripsi/password atau pengamanan jaringan komputer.
Pentingnya kedudukan seorang ahli yaitu untuk memberikan
keyakinan kepada hakim.
3. Alat Bukti Surat
Surat merupakan alat bukti yang penting dalam proses
penyelidikan dan penyidikan kasus cybercrime. Surat
menajdi alat bukti yang sah dengan didukung oleh keterangan
saksi. Secara terminology surat dalam kasus cybercrime
mengalami perubahan dari bentuk yang tertulis,emjadi tidak
tertulis dan bersifat on-line. Alat bukti surat dalam sistem
komputer ada dua kategori :
a. Bila sebuah sistem komputer yang telah disertifiksi oleh
badan yang berwenang maka hasil prin out komputer
dapat dipercaya hasil keotentikannya.
b. Bukti sertifikasi dari badan yang berwenang ini
dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat, sebab
dibuat oleh pejabat yang berwenang.
4. Petunjuk
Pengumpulan data secara fisik dalam cyber crime akan sulit
dipenuhi, lebih mudah mencari petunjuk-petunjuk yang
mengindikasikan telah adanya suatu niat jahat berupa akses
secara tidak sah antara lain dengan melihat dan
mendengarkan keterangan saksi di pengadilan atau hasil print
out data, atau juga dari keterangan terdakwa di pengadilan.
Petunjuk yang diajukan di persidangan yaitu bukti
elektronik (yang disertai dengan keterangan ahli) maka
petunjuk ini bersifat lebih kuat dan memberatkan terdakwa.
5. Keterangan Terdakwa
Pasal 189 ayat 1 KUHAP menentukan bahwa keterangan
terdakwa yaitu ap yang terdakwa lakukan, ketahui dan alam
sendiri. Dalam kasus cybercrime, keterangan terdakwa yang
dibutuhkan terutama mengenai cara-cara pelaku melakukan
perbuatannya, akibat yang ditimbulkan, informasi jaringan
serta motivasinya. Sifat keterangan terdakwa yaitu
memberatkan terdakwa.
Sistem hukum pembuktian sampai saat ini masih
memakai ketentuan hukum yang lama, yang belum mampu
menjangkau pembuktian atas kejahatan-kejahatan yang berlaku di
cyberspace. Namun demikian keberadaan Undang-undang No. 8
tahun 1997 tentang dokumen perusahaan telah mulai menjangkau
kea rah pembuktian data elektronik. Walaupun tidak mengatur
masalah pembuktian, namun melalui undang-undang ini,
pemerintah berusaha mengatur pengakuan atas microfilm, dan
media lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan
memiliki tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian
dokumen yang dpat dialihkan atau ditansformasikan) misalnya
Compact Disk-Read Only Memory (CD-ROM) dan Write-OneRead-many (WORM), yang diatur dalam pasal 12 UndangUndang Dokumen Perusahaan sebagai alat bukti yang sah
Pasal 12 Undang-undang Dokumen Perusahaan ini
berbunyi sebagai berikut :
(1) Dokumen perusahaan dapat dialihkan ke dalam microfilm
atau media lainnya.
(2) Pengalihan dokumen perusahaan ke dalam microfilm atau
media lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat
dilakukan sejak dokumen ini dibuat atau diterima
perusahaan yang bersangkutan.
(3) Dalam mengalihkan dokumen perusahaan sebagaiman
dimaksud dalam ayat 1, pimpinan perusahaan wajib
mempertimbangkan kegunaan naskah asli dokumen yang
perlu tetap disimpan sebab mengandung nilai tertentu demi
kepentingan perusahaan atau demi kepentingan nasional.
(4) Dalam hal dokumen perusahaan yang dialihkan ke dalam
microfilm atau sarana lainnya yaitu naskah asli yang
memiliki kekuatan hukum pembuktian otentik dan masih
mengandung kepentingan hukum tertentu, pimpinan
perusahaan wajib tetap menyimpan naskah asli ini .
Kemudian pasal 3 Undang-undang Dokumen Perusahaan
member pemahaman secara luas atas alat bukti, yaitu : ―dokumen
keuangan terdiri dari catatan, bukti pembukuan dan data
pendukuung administrasi keuangan, yang merupakan bukti
adanya hak dan kewajiban serta kegiatan usaha suatu
perusahaan.”
Selanjutnya, pasal 4 menyatakan ―dokumen lainnya
terdiri dari data atau setiap tulisan yang berisi keterangan yang
memiliki nilai guna bagi perusahaan meskipun tidak terkait
langsung dengan dokumen perusahaan”
Sebuah dokumen perusahaan baru memiliki kekuatan
sebagai alat bukti setelah dilakukan proses pengalihan yang
kemudian dilanjutkan dengan proses legalisasi, yang diatur dalam
pasal 13 dan 14 Undang-undang Dokumen Perusahaan. Setelah
proses pengalihan dan legalisasi, dokumen perusahaan ini
dinyatakan sebagai alat bukti yang sah sebagaimana disebutkan
dalam pasal 15 Undang-undang Dokumen Perusahaan.
a) Pasal 13 : ”Setiap pengalihan dokumen perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) wajib
dilegalisasi”
b) Pasal 14 :
(1) Legalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dilakukan oleh pimpinan perusahaan atau pejabat yang
ditunjuk di lingkungan perusahaan yang bersangkutan,
dengan dibuatkan berita acara.
(2) Berita acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat :
a. keterangan tempat, hari, tanggal, bulan, dan tahun
dilakukannya legalisasi;
b. keterangan bahwa pengalihan dokumen
perusahaan yang dibuat di atas kertas ke dalam
mikrofilm atau media lainnya telah dilakukan
sesuai dengan aslinya; dan
c. tanda tangan dan nama jelas pejabat yang
bersangkutan.
c) Pasal 15 :
(1) Dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam
mikrofilm atau media lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti yang sah.
(2) jika dianggap perlu dalam hal tertentu dan untuk
keperluan tertentu dapat dilakukan legalisasi terhadap
hasil cetak dokumen perusahaan yang telah dimuat
dalam mikrofilm atau media lainnya.
Pengakuan catatan transaksi elektronik sebagai alat bukti yang
sah di pengadilan sudah dirintis oleh United Nation Commission on
Internasional Trade (UNCITRAL) yang mencantumkan dalam ecommerce model law ketentuan mengenai transaksi elektronik diakui
sederjat dengan ―tulisan‖ diatas kertas sehingga tidak dapat ditolak
sebagai bukti pengadilan. Pasal 5 dan Pasal 6 peraturan ini
menyatakan bahwa transaksi yang dilakukan dengan memanfaatkan
media elektronik memiliki nilai yang sama dengan tulisan atau akta
yang dibuat secara konvensional, sehingga pada praktiknya tidak
dapat ditolak suatu bukti transaksi yang dilakukan secara elektronik.
Kemudian peraturan peundang-undangan lain yang memberikan
pengakuan terhadap dokumen elektronik yaitu Undang-undang
Nomor 7 tahun 1971 tetntang Sistem Kearsipan yang menyatakan
bahwa suatu informasi elektronik tetap diakui, sebab definisi
kearsipan tidak pernah menyatakan arsip harus dalam bentuk tertulis
dalam media kertas saja tapi dimungkinkan juga untuk disimpan
dalam media lainnya. Dalam UU ini yang dimaksud dengan arsip
ialah :
a. Naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh lembagalembaga Negara dan badan-badan pemerintahan dalam
bentuk corak apapun, baik dalam keadaan tunggal maupun
berkelompok, dalam rangka pelaksanaan tugas pemerintah.
b. Naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh badan-badan
swasta dan/atau perorangan, dalam bentuk corak apapun,
baik dalam keadaan tunggal maupun berkelompok, dalam
rangka pelaksanaan kehidupan kebangsaan.
Dalam Rancangan Undang-undang Teknologi Informasi
memuat hal yang baru mengenai data elektronik yaitu dengan
mengakui data elektronik yang terdapat pada ruang maya. Hal ini
dapat dilihat pada BAB I mengenai ketentuan Umum, Pasal 1 angka
16, yaitu :
―Dokumen Elektronik yaitu setiap informasi yang
dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan
dalam media magnetic, optikal, memori komputer atau
media elektronik‖
berdasar ketentuan diatas, maka berkenaan dengan
dokumen elektronik sebagai alat bukti pada cybercrime harus juga
dibarengi oleh alat bukti lainnya sehingga sesuai dengan ketentuan
alat bukti minimum dalam KUHAP. Keabsahan dokumen elektronik
harus memperoleh keyakinan dari hakim bahwa dokumen ini
memang benar digunakan untuk melakukan cybercrime.
Hak Kekayaan Intelektual (HaKI), merupakan hak eksklusif yang
diberikan negara kepada seseorang, sekelompok orang, maupun
lembaga untuk memegang kuasa dalam memakai dan
memperoleh manfaat dari kekayaan intelektual yang dimiliki atau
diciptakan. Istilah HAKI merupakan terjemahan dari Intellectual
Property Right (IPR), sebagaimana diatur dalam undang-undang
Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan WTO (Agreement
Establishing The World Trade Organization). Pengertian Intellectual
Property Right sendiri yaitu pemahaman mengenai hak atas
kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual manusia, yang
memiliki hubungan dengan hak seseorang secara pribadi yaitu hak
asasi manusia (human right).31
Jadi HaKI pada umumnya berhubungan dengan perlindungan
penerapan ide dan informasi yang memiliki nilai jual. HakI
merupakan kekayaan pribadi yang dpat dimiliki dan diperlakukan
sama dengan bentuk-bentuk kekayaan lainnya.32 Hak Kekayaan
Intelektual dipergunakan untuk mewadahi hak-hak yang timbul dari
hasil kreasi intelektual manusia yang memiliki nilai ekonomi bagi
pencipta, perancang, penemu atau pemiliknya. Oleh sebab nya Hak
Kekayaan Intelektual masuk dalam bidang hukum harta benda (benda
tak berwujud). Karya cipta berwujud dalam bahasan bidang kekayaan intelektual
yang dapat didaftarkan untuk memperoleh perlindungan hukum, yaitu
seperti karya kesusastraan, artistik, ilmu pengetahuan (scientific),
pertunjukan, kaset, penyiaran audio visual, penemuan ilmiah, desain
industri, paten, merek dagang, nama usaha, dan lain sebagainya. Jadi
pada prinsipnya HKI merupakan suatu hak kekayaan yang berada
dalam ruang lingkup kehidupan manusia di bidang teknologi, ilmu
pengetahuan, maupun seni dan sastra, sehingga pemilikannya bukan
terhadap barangnya melainkan terhadap hasil kemampuan intelektual
manusianya dan tentu harus berwujud. Pemerintah memiliki
kewajiban untuk melindungi secara hukum dari ide, gagasan dan
informasi yang memiliki nilai komersial atau nilai ekonomi yang
telah dihasilkan oleh seseorang maupun kelompok ini .Hak
kekayaan Intelektual (HKI) memberikan hak monopoli kepada
pemilik hak dengan tetap menjujung tinggi pembatasan-pembatasan
yang mungkin diberlakukan berdasar peraturan perundangundangan yang berlaku.
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual di dalam buku
panduan HKI menjelaskan bahwa Hak Kekayaan Intelektual atau yang
disingkat ―HKI‖ atau akronim ―HaKI‖, yaitu padanan kata yang
biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak
yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu
produk atau proses yang berguna untuk manusia. Pada intinya HKI
yaitu hak untuk untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu
kreatifitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI yaitu karyakarya yang timbul atau lahir sebab kemampuan intelektual manusia.
Dasar dari Hak Kekayaan Intelektual didasarkan pada suatu
pandangan bahwa hak ini lahir dari karya-karya intelektual yang
dihasilakan oleh manusia, dalam proses pembuatan suatu karya
intelektual sudah barang tentu memerlakukan sauatu keahlian khusus,
ketekunan dan juga pengorbanan baik waktu, tenaga maupun
pemikiran yang dituangkan dalam karya ini . Pada hakikatnya
kepemilikan hak atas karya intelektual merupakan suatu hal yang
sangat abstrak jika dibandingkan dengan kepemilikan hak benda yang
dapat terlihat namun keduanya meiliki sifat mutlak. Selanjutnya,
terdapat analogi bahwa setelah benda yang tak berwujud itu keluar
dari pikiran manusia, menjelma dalam suatu ciptaan kesusastraan,
ilmu pengetahuan, kesenian atau dalam bentuk pendapat. Jadi, berupa
berwujud (lichamelijke zaak) yang dalam pemanfaatannya (exploit)
dan reproduksinya dapat merupakan sumber keuntungan uang. Inilah
yang membenarkan penggolongan hak ini ke dalam hukum harta
benda yang ada.34
B. Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual
1. Pengaturan Hukum Hak Kekayaan Intelektual dalam
Hukum Internasional
Seiringa dengan berkembangnya zaman dan dunia
teknologi informasi, bekremabnganya pula mengenai hukum
yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual yang pada
umumnya bersifat melintasi batas negara. Negara berperan
aktif dalan hal penegakan hukum melalui sistem hukumnya
sebagai salah satu bentuk perlindungan Hak Kekayaan
Inteletual Negara akan menindak tegas siapa saja yang
melanggar perraturan mengabi Hak Kekyaan Intelektual,
sebab perdagangan internasional sudah sedemikian meluas
maka produk tidak hanya dinikmati oleh nagara asalnya saja,
namun juga dinikmati di seluruh dunia. Ketentuan hukum
mengenai Hak Kekayaan Intelektual untuk pertama kalinya
dilakukan di Venesia, yakni aturan Paten yang mulai berlaku
pada tahun 1470. usaha harmonisasi (penyelarasan aturan
secara internasional) tentang Hak Kekayaan Intelektual
pertama kali terjadi pada tahun 1883 dengan lahirnya Paris
Convention35
Di dalam tatanan internasional, Hak Kekayaan
Intelektual berkembang cukup pesat dan menjadi salah satu
identitas yang menunjukkan suatu era globalisasi sekarang.
Aspek-Aspek Hak Kekayaan Intelektual dalam Perdagangan
Internasional World Trade Organization (WTO)diratifikasi
oleh lebih dari 150 negara berisi norma dan standar
perlindungan bagi karya-karya intelektual. Berikut ini
berbagai instrumen hukum internasional yang mengatur
tentang Hak Kekayaan Intelektual.
a. Convention Establishing The World Intellectual
Property Organization (WIPO) diadakan di Stockholm
tahun 1967, yang kemudian diratifikasi Indonesia
melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 yang
telah dirubah dengan Keputusan Presiden Nomor 15
Tahun 1997. WIPO yaitu perjanjian khusus di bawah
Konvensi Bern. Setiap Pihak harus mematuhi ketentuanketentuan substantif tentang Perlindungan Karya Sastra
dan Seni (1886).,
b. Paris Convention for The Protection of Industrial
Property Rights (Paris Convention) di bidang hak milik
perindustrian ditandatangani di Paris pada tanggal 20
Maret 1883. Konvensi ini diratifikasi dengan Keputusan
Presiden Nomor 15 Tahun 1997, membahas mengenai
perlindungan terhadap industrialpropertyuntuk
membantu rakyat satu negara memperoleh
perlindungan di negara-negara lain untuk kreasi
intelektual mereka dalam bentuk hak kekayaan industri,
dikenal sebagai: Penemuan (paten), Merek dagang,
Desain industri.
c. Berne Convention for The Protection of Literary and
Artistic Works (Berne Convention) di bidang Hak Cipta,
ditandatangani di Berne, 9 September 1986. Indonesia
meratifikasi dengan dengan Keputusan Presiden Nomor
18 Tahun 1997.Konvensi Bern mewajibkan
penandatangan mengakui hak cipta dari karya-karya
penulis dari negara-negara penandatangan lain.
d. Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights (TRIPs) yang mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 1995. Perjanjian ini membahas
perdagangan barang palsu untuk, meningkatkan
perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual dari
produk-produk yang diperdagangkan, Menjamin
prosedur pelaksanaan hak atas kekayaan intelektual yang
tidak menghambat kegiatan perdagangan;, merumuskan
aturan serta disiplin mengenai pelaksanaan perlindungan
terhadap hak atas kekayaan intelektual, dan
mengembangkan prinsip, aturan dan mekanisme
kerjasama internasional
e. Agreement Establishing World Trade Organization
(WTO) yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1994. World Trade Organization (WTO) atau
Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya
badan internasional. Sistem perdagangan multilateral
WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi
aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai
hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh
negara-negara anggota.
f. Trademark Law Treaty, mengatur perlindungan
terhadap Merek, disahkan di Genewa pada tanggal 27
Oktober 1997, diratifikasi Indonesia melalui Keputusan
Presiden Nomor 17 Tahun 1997. Perjanjian ini
membahasperjanjian dari praktek merek dagang untuk
menyelaraskan mencakup, antara jangka waktu
pendaftaran dan pembaharuan pendaftaran merek
dagang akan sepuluh tahun dan layanan tanda diberi
perlindungan yang sama.
g. Patent Cooperation Treaty (PCT), yaitu perjanjian
kerjasama di bidang Paten. Indonesia meratifikasinya
dengan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1997.
Perjanjian ini membahas mengenai para negara pihak :
1) Ingin memberi kontribusi pada kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
2) Penyempurnaan perlindungan hukum terhadap
penemuan;
3) Penyederhanaan dan membuat lebih ekonomis
dalam memperoleh perlindungan penemuan;
4) Mempermudah dan mempercepat akses oleh
warga dengan informasi teknis yang
terkandung dalam dokumen yang menjelaskan
penemuan baru.36
2. Pengaturan Hukum Hak Kekayaan Intelektual dalam
Hukum Positif di Indonesia
Sejarah lahirnya pertauran mengenai Hak Kekayaan
Inteletual di Indonesia di mulai pada tahun 1953, dimana ada
suatu Rancangan pearuran perundang-undanagn di bidang
Hak Kekayaan Inteltual yang memuat mengenai Paten dan
kemudian pemerintah Indonesia melalui Menteri Kehakiman
Republik Indonesia menerbitkan surat edaran Nomor : J. S.
5/41 tanggal 12 Agustus 1954 dan Nomor J.G. 1/2/17 tanggal
29 Oktober 1953 tentang Pendaftaran Sementara Paten, hal
ini dilakukan agar tidak adanya kekosangan hukum sebab
Undang-Undang Paten masih dalam proses pembuatan.
Kemudian pada tahun 1989 awal mula disahkannya UndangUndang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten, kemudian
dilakukan amandemen pada tahun 1997 yang di ubah
menjadi Undang-Undnag Nomor 13 Tahun 1997 Tentang
Paten, hal ini lah yang menjadi tonggak lahirnya pertauran
hukum nasional yang terkiat dengan Hak Kekayaan
Intelektual.
Setelah mengalami beberapa perkembangan, maka
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Hak
Kekayaan Intelektual yaitu sebagai berikut : a. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang
Perlindungan Varietas Tanaman;
b. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang
Rahasia Dagang;
c. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain
Industri;
d. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain
Tata Letak Sirkuit Terpadu;
e. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten;
f. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2014 tentang Hak
Cipta;
g. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek
dan Indikasi Geografis.
Penegakan hukum dalam tindak pidana yang
berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual memiliki
pengaruh yang cukup signifikan dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di wilayah negara Indonesia. Hak
Kekayaan Intelektual hadir sebagai bentuk keseimbnagan
untuk mencegah timbulnya suatu konflik yang dapat
merugikan orang lain bahkan negara. Dengan hadirnya
payung hukum yang mengatur mengenai Hak Kekyaan
Intelektual diharapkan dapat saling melengkapi sehingga
tidak akan terjadi keksongan hukum.
C. Ruang Lingkup Hak Kekayaan Intelektual
Istilah Hak Kekayaan Intelektual sebagai hak milik intelektual dan
hak tak berwujud, pengertian Hak Kekayaan Intelektual merujuk pada
hubungan proses berfikir manusia yang rasional bahwa kenyataan itu
membutuhkan sebuah usaha. Di dalam ketentuan Pasal 2 Ayat 8
Konvensi Pendirian WIPO yang cakupan Hak Kekayaan Intelektual
didefinisikan sebagai berikut:37
“Intellectual property shall incude the rights relating to :
a. Literary, artistic and scientific works,
b. Performance of performing artists, phonograms,
and broadcastas,
c.Inventions in all fields of human endeavour,
d. Scientific discoveries,
e.Industrial designs,
f. Trademarks, service marks, and commercial names
and designations, 7) Protection against unfair
competition,
g. And all other rights resulting from intel
Secara umum, Hak Kekayaan Intelektual terbagi menjadi
2 (dua) bagian, yaitu:
1. Hak Cipta (copyright)
berdasar Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2014 tentang Hak Cipta: ―Hak Cipta yaitu hak
eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasar
prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam
bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan‖
Hak Cipta. yaitu hak eksklusif bagi pencipta atau penerima
hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya
atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan menurut Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku.
Pencipta, yaitu seorang atau bebetapa orang yang secara
bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu
ciptaan berdasar kemampuan pikiran, imajinasi,
kecekatan, keterampilan, dan keahlian yang dituangkan
dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
Perlindungan Hak Cipta. Perlindungan terhadap suatu
ciptaan timbul secara otomatis sejak ciptaan itu diwujudkan
dalam bentuk nyata. Pendaftaran ciptaan tidak merupakan
suatu kewajiban untuk memperoleh hak cipta. Namun
demikian, pencipta maupun pemegang hak cipta yang
mendaftarkan ciptaannya akan mendapat surat pendaftaran
ciptaan yang dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di
Pengadilan jika timbul sengketa di kemudian hari
terhadap ciptaan ini
2. Hak Milik Perindustrian, yang terdiri dari:
a. Paten (Patent)
berdasar Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2001 tentang Paten: ―Paten yaitu hak
eksklusif yang diberikan negara kepada inventor atas
hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama
waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya ini
atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain
untuk melaksanakannya.‖
b. Merek (Trademark)
berdasar Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis:
―Merek yaitu tanda yang dapat ditampilkan secara
grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka,
susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3
(tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2
(dua) atau lebih unsur ini untuk membedakan
barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau
badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang
dan/atau jasa.‖
c. Desain Industri (Industrial Design)
berdasar Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2000 tentang Desain Industri: ―Desain industri
yaitu suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau
komposisigaris atau warna, atau berbentuk tiga dimensi
atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan
dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua
dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu
produk, barang komoditas industri, atau kerajinan
tangan.‖
d. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
berdasar Pasal 1 Angka 1 dan 2 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak
Sirkuit Terpadu: ―Sirkuit terpadu yaitu suatu produk
dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya
terdapat berbagai elemen, dan sekurang-kurangnya satu
dari elemen ini yaitu elemen aktif, yang sebagian
atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara
terpadu di dalam sebuah bahan semi konduktor yang
dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik
e. Perlindungan Varietas Tanaman
berdasar Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman:
―Perlindungan Varietas Tanaman yang selanjutnya
disingkat PVT yaitu suatu perlindungan khusus yang
diberikan negara, yang dalam hal ini diwakili oleh
Pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor
Perlindungan Varietas Tanaman, terhadap Varietas
Tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui
kegiatan pemuliaan tanaman‖
f. Rahasia Dagang
Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang: ―Rahasia dagang
yaitu informasi yang tidak diketahui oleh umum di
bidang teknologi dan/atau bisnis, memiliki nilai
ekonomi sebab berguna dalam kegiatan usaha, dan
dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang‖.
Ruang linkup dari Hak Kekayaan Intelektual mencakup
didalamnya yaitu hak milik dalam lingkup kehidupan manusia
seperti teknologi, ilmu pengentahuan, ataupun sebuah seni dan
juga sastra. Kepemilikan Hak Kekyaan Inteltual bukan tertelatk
pada sebuah barang yang dihasilan melainkan terhadap hasil
intelektual berupa ide atau pemikiran yang memiliki kekhasan.
Menurut W.R. Cornish, milik intelektual melindungi pemakaian
ide dan informasi yang memiliki nilai komersial atau nilai
ekonomi.38 Hak Kekayaan Intelektual baru ada jika kemampuan
intelektual manusia itu membentuk sesuatu, baik itu yang bisa dilihat, didengar, dibaca, maupun digunakan dengan praktis.
David I. Bainbridge mengatakan:
“Intellectual property is the collective name given to legal
rights which protects the product of human intellect. The
term intellectual property seem tobe the best available to
cover the body of legal rights which arise from mental
and artistic endeavour.”
Dari uraian di atas maka dapat diketahui bahwa bentuk
nyata dari karya intelektual ini bisa di bidang tata teknologi,
ilmu pengetahuan ataupun seni dan sastra.Sebagai suatu hak milik
yang timbul dari karya, karsa, cipta manusia atau dapat pula
dikatakan sebagai hak yang timbul sebab lahir dari kemampuan
intelektualitas manusia, maka harus diakui bahwa yang telah
menciptakan ini boleh menguasainya untuk tujuan yang
menguntungkannya. Kreasi sebagai milik berdasar postulat
hak milik dalam arti seluasluasnya yang juga meliputi milik yang
tidak berwujud. Esensi terpenting dari setiap bagian Hak
Kekayaan Intelektual yaitu adanya suatu ciptaan tertentu
(creation).
Hak Kekayaan Intelektual, sebagai bagian dari hukum
benda (hukum kekayaan), maka pada prinsipnya yaitu
pemiliknya bebas dalam berbuat apa saja sesuai dengan
kehendaknya dan memberikan isi yang dikehendakinya sendiri
pada hubungan hukumnya. Hanya di dalam perkembangan
selanjutnya kebebasan itu mengalami perubahan. Misalnya terkait
dengan adanya suatu pembatasan berupa adanya lisensi wajib,
pengambilalihan oleh negara, ataupun kreasi dan penciptaan tidak
boleh bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Perubahan pengaturan ini masih bertumpu pada sifat asli
yang ada pada Hak Kekayaan Intelektual itu sendiri, di antaranya:
a. memiliki jangka waktu terbatas
Setelah habis masa perlindungannya, ciptaan (penemuan)
ini akan menjadi milik umum. Namun, ada pula yang
setelah habis masa perlindungannya bisa diperpanjang terus,
misalnya, Hak Merek. Jangka waktu perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual ini ditentukan secara jelas dan pasti
dalam undang-undangnya.
b. Bersifat eksklusif dan mutlak
Hak ini dapat dipertahankan terhadap siapapun.
Pemiliknya dapat menuntut pelanggarnya. PemilikHak
Kekayaan Intelektual memiliki suatu hak monopoli, yaitu
dia dapat mempergunakan haknya dengan melarang siapapun
tanpa persetujuannya membuat ciptaan/penemuan ataupun
memakai nya.
c. Bersifat hak mutlak yang bukan kebendaan
Di dalam hal pemanfaatannya, berdasar ketentuan Pasal
50 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa
hak milik yaitu hak untuk menikmati kegunaan suatu benda
dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan
itu dengan kedaulatan sepenuhnya asal tidak bersalahan
dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan
oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya dan tidak
mengganggu hak orang lain. D. Perlindungan HaKI dalam Cyber Law
Salah satu keterkaitan teknologi informasi yang saat ini mejadi
perhatian yaitu pengaruhnya terhadap eksistensi Hak Atas Kekayaan
Intelektual (HAKI), di samping terhadap bidang-bidang lain seperti
transaksi bisnis (eletronik), kegiatan e-government, dan lainlain. Kasus-kasus terkait dengan pelanggaran Hak Cipta dan Merek
melalui sarana internet dan media komunikasi lainnya yaitu contoh
yang marak terjadi saat ini. Di samping itu pelanggaran hukum dalam
transaksi eletronik juga merupakan fenomena yang sangat
mengkhawatirkan mengingat tindakan carding, hacking, cracking, dan
cybersquating telah menjadi bagian dari aktivitas internet yang telah
menjadikan Indonesia disorot dunia Interntional. Cyber Crime
dilakukan oleh subjek yang memakai sarana teknologi canggih
dan sulit dilacak keberadaannya bahkan seringkali dilakukan dari luar
teritori Indonesia atau sebaliknya, Sehingga menjadi persoalan yang
seringkali sulit terpecahkan.
Dalam Cyber Law, Hak Kekayaan Intelektual memiliki
kedudukan yang sangat khusus mengingat kegiatan dalam cyber crime
sangat lekat dengan pemanfaatan teknologi informasi berbasis pada
perlindungan rezim hukum Hak Cipta, Merek, Paten, Rahasia Dagang,
Desain Industri dll. Seiring dengan perkembangan zaman yang
ditandai dengan lahirnya aktivitas virtual dan internet, hukum
mengenai Hak Kekayaan Intelektual memperoleh tantangan baru.
Permasalahan yang timbul saat ini mengenai perlindungan terhadap
program computer, dan objek hak cipta lainnya yang ada dalam
aktivitas siber.
berdasar teori negara hukum yang demokratis, pengaturan
terkait cybersquatting ditujukan tidak hanya untuk memberikan
perlidungan dan keadilan bagi pemilk merek, melainkan juga menguoayakan tercapainya suatu peningkatan kesejahteraan melalui
pemakaian merek sebagai nama domain. Keadilan bagi pemilik
merek tetap dapat ditegakan meskipun pemakaian merek oleh para
cybersqutter merupakan bentuk baru pemakaian merek yang
memang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
Tentang Merek (untuk selanjutnya disebut sebagai Undnag-Undang
Merek). pemakaian merek sebagai nama domain oleh pihak lain
secara tabpa hak dapat terjadi sebab ketiadaan pemeriksaan terhadap
keniripan dalam proses pendaftaran nama domain. Cybersquatter
memanfaatkan celah atau kelemahan dalam prinsip pendaftaran nama
domain yang dilakukan berdasar prinsip pendaftaran nama domain
yang dilakukan berdasar prinsip pendaftar pertama.
Risiko penyalahgunaan merek dalam dunia Teknologi Informasi
sebagai nama domain dalam prakti cybersquatting menjadi bukti
bahwa risiko yang dihadapi pemilik merek tidak hanya dapat terjadi di
dunai nyata dalam bentuk pelanggaran merek konvensional berupa
pemasaran merek atau pemakaian merek unrtuk produk palsu,
melainkan pula risiko dalam dunia maya dalam bentuk cybersquatting
sebagai bentuk baru pelanggaran merek di internet. Menurut Eric H.
Smith manfaat Hak Kekayaan Intelektual tidak terkecuali di dalamnya
termasuk merek sangat erat kaitannya engan ekonomi dan investasi.
Pelaksanaan Hak Kekayaan Intelektual akan membawa manfaat bagi
sebuah negara, antara lain meningkatkan pertumbuhan ekonomi
domestik.
Dalam praktik cybersquatting, merek menjadi obyek pelanggaran
hak yang dilakukan oleh para cybersquatter, di Indonesia gugatan
ganti rugi terhadap warga negara Indonesia (WNI) atau badan hukum
Indonesia yang melakukan pelanggaran terhadap merek terdaftar
sebagai nama domain tanpa hak dapat dilakukan dengan berdasar
pada Undang-Undang Merek. Pengertian merek diatur dalam Pasal 1
Angka 1 Undang-Undang Merek, yang menyatakan :
―Merek yaitu tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa
gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam
bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram,
ataui kombinasi, dari 2 (dua) atau lebih unsur ini untuk
membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang
atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau
jasa.‖
Kata tanda dapat diartikan secara luas melalui penafsiran yang luas
sehingga juga meliputi nama domain itu sendiri, mengingat nama
domain juga merupakan tanda yang berfungsi sebagai penunjuk
alamat dalam aktivitas di internet. Unsur diguakan dalam perdagangan
barang/jasa dalam pengertian merek, harus pula diartikan bahwa nama
domain dalam internet sebagai tempat melakukan e-commerce juga
merupakan sarana perdagangan barang/jasa. Nama domain dalam hal
ini dapat diibaratkan sebagai took virtual tempat melakukan kegiatan
jual beli, penawaran, bahkan tanda tangan kontrak dalam suatu proses
transaksi jual beli barang/jasa.
pemakaian merek terdaftar milik orang lain sebagai suatu nama
domain tanpa izin juga harus dikualifikasikan sebagai perbuatan yang
dilakukan drngan itikad buruk sebagaiman diatur dalam Pasal 21 ayat
(3) Undang-Undang Merek mengingat bahwa dengan perbuatan
ini dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan secara tidak
jujur dengan memanfaatkan reputasi merek orang lain dengan
melakukan penyesatan terhadap kinsumen. Adanya usaha untuk
mendaftarkan suatu merek dari suatu nama domain yang dilakukan
setelah suatu nama domain terdaftar lebih dahulu, membuat ketentuan
tentang itikad baik ini sangat relevan untuk dikaji agar pendaftaran
merek dari suatu nama domain hasil cybersquatting dapat ditolak
sebab melanggar prinsip itikad baik.
Terkait hal ini bagi yang merasa dirugikan dapat menempuh
usaha hukum melalui gugatan ganti rugi perdata, hak untuk
melakukan gugatan ganti rugi perdata terhadap pelanggaran merek
diatur dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Merek yang pada
pokoknya menyebutkan bahwa pemilik merek terdaftar dan/atau
penerima Lisensi Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap
pihak lain yang secara tanpa hak memakai Merek yang
memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk
barang dan/atau jasa yang sejenis, berupa gugatan ganti rugi dan/atau
pengehentian semua perbuatan yang berkaitan dengan pemakaian
merek ini . Dengan rumusan yang jelas ini , maka rumusan
dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Merek menjadi dapat
diharmonisasikan dengan Pasal 38 ayat (1) Undnag-Undang ITE yang
pada pokoknya menyebutkan bahwa setiap orang dapat mengajukan
gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan system elektronik
dan/atau memakai teknologi informasi yang menimbulkan
kerugian., sehingga maksud pengaturan dalam Undang-Undang ITE
dapat secara nyata dirumuskan oleh Undang-Undnag Merek.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen telah mengatur mengenai pengertian perlindungan
konsumen yakni terdapat di pasal 1 angka 1 yang berbunyi
―Perlindungan Konsumen yaitu segala usaha yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada Konsumen.‖
Pengertian perlindungan Konsumen terdapat dalam pasal ini ,
dirasa cukup memadai. Kalimat yang menyatakan ―segala usaha yang
menjamin adanya kepastian hukum‖, menjadi harapan untuk dapat
meniadakan tindakan sewenang-wenang yang justru dapat merugikan
pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan Konsumen,
begitu pula sebaliknya menjamin kepastian hukum bagi konsumen.
Kepastian hukum dilakukan guna melindungi hak-hak konsumen,
yang diperkuat melalui undang-undang khusus tersendiri, memberikan
harapan agar pelaku usaha tidak dapat bertindak sewenang-wenang
yang selalu merugikan hak konsumen. Dengan dibentuknya Undangundang perlindungan konsumen beserta perangkat hukum lainnya,
konsumen memiliki hak dan posisi yang sama serta berimbang,
mereka pun bisa menggugat maupun menuntut jika suatu saat ternyata
hak-hak konsumen telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.
Berbicara mengenai konsumen, Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang perlindungan konsumen telah mencantumkan pengertian
konsumen yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam warga , baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. sebab posisi konsumen yang lemah maka ia harus
diberikan perlindungan oleh hukum.
Prinsip kedudukan konsumen dalam hubungan dengan pelaku
usaha antara lain prinsip let the buyer beware, kedudukan pelaku
usaha berada di posisi seimbang dengan konsumen. Prinsip the due
care theory, pelaku usaha memiliki kewajiban untuk berhati-hati
dalam memasarkan suatu produk, baik berupa barang maupun jasa.
Selama berhati-hati dengan produknya, pelaku usaha tidak dapat
dipersalahkan. Prinsip the privity of contract pelaku usaha memiliki
kewajiban melindungi konsumen, namun hal ini dilakukan bila
diantara mereka terjadi suatu hubungan kontraktual.
Az. Nasution mendefinisikan Perlindungan Konsumen yaitu
suatu bagian dari hukum yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah
yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi
kepentingan Konsumen. Adapun hukum Konsumen diartikan sebagai
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain yang
berkaitan dengan barang dan/atau jasa Konsumen dalam pergaulan
hidup.
Perlindungan konsumen merupakan hal yang sangat perlu untuk
terus dikembangkan sebab berkaitan dengan usaha mensejahterakan
warga dalam kaitan dengan semakin berkembangnya transaksi
perdagangan di era serba modern saat ini. Perhatian mengenai
perlindungan konsumen ini bukan hanya di Indonesia namun telah
menjadi perhatian dunia.
Hukum Perlindungan Konsumen secara umum bertujuan untuk
memberikan perlindungan bagi konsumen baik dalam bidang hukum
privat maupun bidang hukum publik. Kedudukan Hukum Perlindungan Konsumen berada dalam kajian Hukum Ekonomi.
berdasar ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK, perlindungan
konsumen yaitu ―Segala usaha yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan hukum kepada konsumen‖
Kalimat yang menyatakan ―segala usaha yang menjamin adanya
kepastian hukum‖, diharapkan menjadi benteng untuk meniadakan
tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi
untuk kepentingan perlindungan konsumen.
berdasar pemahaman bahwa perlindungan konsumen
mempersoalkan perlindungan hukum yang diberikan kepada
konsumen dalam usahanya untuk memperoleh barang atau jasa dari
adanya kemungkinan kerugian, maka. Hukum perlindungan konsumen
dapat dikatakan sebagai hukum yang mengatur tentang pemberian
perlindungan terhadap konsumen sebagai pemenuhan kebutuhannya
terhadap konsumen Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen
mengatur hak dan kewajiban produsen, serta cara-cara untuk
mempertahankan hak dan kewajiban itu.43 Dalam berbagai litelatur
ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum yang
mempersoalkan konsumen, yaitu hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen. Az. Nasution berpendapat bahwa kedua
istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen yaitu
bagian dari konsumen. Hukum Konsumen menurutnya yaitu
―Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan
dengan barang dan/atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup‖.
Makna dari kata ―keseluruhan‖ bermaksud untuk menggambarkan
bahwa didalamnya termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi termasuk didalamnya, baik aturan hukum pidana,
perdata, administrasi negara hingga aturan hukum internasional.
Sedangkan cakupannya yaitu ‖hak dan kewajiban serta cara-cara
pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya‖,
yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk memperoleh
kebutuhannya dari produsen, meliputi : hak atas informasi yang
diterima, memilih harga, hingga akibat-akibat yang timbul sebab
pemakaian kebutuhan itu, misalnya untuk memperoleh penggantian
kerugian. Sedangkan bagi produsen meliputi kewajiban yang
berkaitan dengan produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan
produk, serta akibat dari pemakaian produk itu. Dengan demikian, jika
perlindungan konsumen diartikan sebagai segala usaha yang
menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai
wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan
konsumen tidak lain yaitu hukum yang mengatur usaha -usaha untuk
menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan
konsumen.
B. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Pada dasarnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang
menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia,
yakni:
Pertama, Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari
segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa
pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan warga adil
dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui
sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu
menumbuhkan dan mengemb