Tindak pidana khusus yaitu tindak pidana vang diatur di luar Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan memiliki ketentuan-ketentuan khusus
acara pidana.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) atau
Wetboek van Strafrecht, UU No. 1 Tahun 1946 jo Staatsblad 1915 No. 732,
telah dirumuskan sejumlah tindak pidana yang ditempatkan dalam Buku II
tentang Kejahatan (Misdrijven) dan Buku III tentang Pelanggaran
(Overtredingen). Di luar KUHPidana ini masih ada sejumlah
undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana seperti:
1. UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan. Penuntutan dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi;
2. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
3. UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Tindak pidana ekonomi, tindak pidana psikotropika, dan tindak pidana
narkotika merupakan beberapa contoh dari tindak pidana yang diatur dalam
undang-undang tersendiri di !uar KUHPidana.
Mengapa tindak pidana seperti tindak pidana ekonomi, psikotropika.
dan narkotika, tidak diintegrasikan saja dalam KUHPidana, melainkan
sampai perlu diatur dalam undang-undang tersendiri di luar KUHPidana?
Hal ini karena tindak pidana-tindak pidana ini memerlukan
pengaturan yang lebih komprehensif dan bukan sekedar hanya
mendapatkan rumusan tindak pidana saja.
Untuk tindak pidana ekonomi dipandang perlu ada pengaturan antara
lain tentang:
- tindakan tata tertib (Pasal 8).
- tindak pidana oleh korporasi (Pasal 15).
- tindakan sementara selama pemeriksaan di muka pengadilan belum
dimulai (Pasal 27), dan
- wewenang yang besar dalam penyidikan misalnya menurut Pasal 20:
(1) Pegawai-pegawai pengusut pada setiap waktu berhak memasuki
setiap tempat yang menurut pendapatnya perludimasuki untuk
menjalankan tugasnya. Jika perlu pegawai-pegawai itu masuk ke
dalam tempat itu dengan bantuankekuasaan umum.
(2) Bertentangan dengan kemauan penghuni mereka tidak akanmasuk
ke dalam sebuah rumah selain untuk mengusut suatutindak-pidana
ekonomi dan disertai oleh seorang komisarispolisi atau oleh
walikota, atau atas perintah tertulis dan jaksa.
Untuk tindak pidana narkotika dan tindak pidana psikotropika
dipandang perlu ada pengaturan antara lain tentang
- penggolongan narkotika/psikotropika,
- perlakuan khusus terhadap korban narkotika/ psikotropika, dan
- ketentuan khusus dalam penyidikan seperti teknik penyidikan
penyerahanyang diawasi dan teknik pembelian terselubung.
Apa yang menjadi kebutuhan untuk pengaturan bersifat komprehensif.
dapat berbeda-beda antara satu tindak pidana dengan tindak pidana
lainnya Tetapi semuanya memiliki kebutuhan untuk adanya sejumlah
ketentuan khusus acara pidana, walaupun ketentuan khusus itu dapat
berfaeda antara satu tindak pidana dengan tindak pidana lainnya.
Adanya sejumlah ketentuankhusus acara pidana ini merupakan
karakteristik penting untuk tindak pidana khusus. Ini tidak berarti dalam
suatu Undang-Undang, seperti UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
telah diatur keseluruhan acara pidana. Dalam UU No. 5 Tahun 1997 hanya
diatur beberapa saja ketentuan acara pidana. Penyidikan, Penuntutan dan
Peradilan berkenaan dengan tindak pidana psikotropika. pada umumnya
tunduk pada ketentuan-ketentuan acara pidana dalam KUHAP.
B. Ruang Lingkup
Beberapa dan tindak pidana khusus yang diatur dalam
Undang-Undang tersendiri di luar KUHPidana dan memiliki ketentuan
khusus acara pidana, yaitu:
1. Tindak Pidana Ekonomi dalam UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana;
2. Tindak Pidana Korupsi;
3. Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun
2010;
4. Tindak Pidana Terorisme;
5. Tindak Pidana Psikotropika dalam UU No. 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika;
6. Tindak Pidana Narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika;
7. Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik.
BAB II
SEKELUMIT TINDAK PIDANA KHUSUS
A. Informasi Elektronik dan/atau Data Elektronik sebagai Alat Bukti
Dalam undang-undang mengatur tentang tindak pidana korupsi, tindak
pidana pencucian uang. dan tindak pidana informasi dan transaksi
elektronik. salah satu ketentuan khusus acara pidana yang ada dalam
beberapa undang-undang itu. yakni informasi elektronik dan/atau data
elektronik sudah diakui sebagai alat bukti yang sah.
Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, pada Pasal 44 ditentukan bahwa;
Alat bukti penyidikan penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan
menurut ketentuan Undang-Undang ini yaitu sebagai berikut :
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Perundang-undangan; dan
b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau DokumenElektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 danangka 4 serta Pasal 5
ayat (1). ayat (2). dan ayat (3).
Jadi, sebagai alat bukti daiam tindak pidana informasi dan transaksi
elektronik, selain alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
perundang-undangan. dalam hal ini KUHAP juga diterima adanya alat bukti
lain yang berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
Pengertian informasi elektronik menurut Pasal 1 angka 1 UU No.
11/2008. yaitu 'satu atau sekumpulan data elektronik. termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,electronic
data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram,
perforasi yangtelah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu memahaminya."
Pengertian dokumen etektronik, menurut Pasal 1 angka 4. yaitu
"setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan dalam bentuk analog, digital, etektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui
Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar. peta, rancangan. foto atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka. Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya."
Beberapa ketentuan dalam undang-undang sebelumnya. yaitu:
1. Pasal 26 A UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No.31/1999
jo UU No. 20 Tahun 2001) menentukan bahwa:
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga
dapat diperolen dari:
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,
dikirim,diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik
atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan
denganatau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di
ataskertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam
secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki
makna.
Dalam UU No.20/2001, kedudukan dari informasi yang disimpan
secara elektronik dan dokumen elektronik itu belum merupakan alat bukti
yang berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari alat bukti petunjuk.
2. Pasal 72 UU No.10 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, menentukan bahwa:
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atauyang serupa
dengan itu; dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 7.
Menurut Pasal 1 angka 7 UU No.15 Tahun 2002 (yang kemudian
dalam UU No.25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No.15/2002
menjadi Pasal 1 butir 9) jo. Pasal 1 butir 16 UU No. 8 Tahun 2010
ditentukan bahwa:
Dokumen yaitu data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk
tetapi tidak terbatas pada:
a. tulisan, suara, atau gambar;
b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau
memahaminya.
Dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang ini, kedudukan informasi
elektronik dan dokumen elektronik telah merupakan alat bukti yang berdiri
sendiri; bukan lagi merupakan bagian dari alat bukti petunjuk sebagaimana
dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
3. Dalam Perpu No.1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme (yang menjadi Undang-Undang berdasarkan UU No.15
Tahun 2003), pada Pasal 27 ditentukan bahwa:
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana:
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atauyang serupa
dengan itu; dan
c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,dan/atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas,benda fisik apapun selain
kertas atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada :
1) Tulisan,suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna
atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau
memahaminya.
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme ini juga informasi
elektronik dan dokumen elektronik telah memiliki kedudukan sebagai alat
bukti yang berdiri sendiri.
B. Korporasi Sebagai Subyek Tindak Pidana
Dalam beberapa Undang-Undang tentang tindak pidana khusus yang
lama, dipakai istilah berupa uraian yang panjang, yaitu:
1. Dalam UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi, masih dipakai uraian yang panjang
untukmenggambarkan apa yang dimaksudkan. Pada Pasal 15 ayat
(1)dikatakan bahwa:
Jika suatu tindak-pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama
suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu persenkatan orang
yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan-pidana dilakukan
dan hukuman-pidana serta tindakan tata-tertib dijatuhkan, baik
terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu.
baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan
tindak-pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagal pemimpin
dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap
kedua-duanya.
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi ini dipakai uraian
'suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang
lainnya atau suatu yayasan'.
2. Dalam Undang-Undang Narkotika yang lama, yaitu UU No. 9 Tahun
1976, juga dipakai istilah yang panjang, yaitu dalam 49
Undang-Undang ini dikatakan bahwa:
Jika suatu tindak pidana mengenai narkotika dilakukan oleh atau
atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu persenkatan
orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana
dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan,
baik terhadap badan hukum, perseroan, persenkatan atau yayasan
itu, maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan
tindak pidana narkotika itu atau yang bertindak sebagai pemimpin
atau penanggungjawab dalam perbuatan atau kelalaian itu, ataupun
terhadap kedua-duanya.
Dalam undang-undang ini dipakai istilah 'suatu badan hukum.
suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu
yayasan. Istilah ini sama dengan istilah yang dipakai dalam UU
No.7/0rt/1955.
Dalam undang-undang tindak pidana khusus yang lebih baru
dipakai istilah korporasi. yaitu:
1. Dalam UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, pada Pasal 1 angka
13 dijelaskan bahwa Korporasi yaitu kumpulan terorganisasi dari
orangdan/atau kekayaan, baik meaipakan badan hukum maupun
bukan." Ketentuan lainnya dalan undang-undang ini:
a. dalam Pasal 53 ayat (3) ditentukan bahwa "Jika tindak pidana dalam
pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka di samping dipidananya
pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda
sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)."
b. dalam Pasal 70 ditentukan bahwa: 'Jika tindak pidana psikotropika
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal
63,dan Pasal 64 dilakukan oleh korporasi, maka di samping
dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan
pidana denda sebesar 2 (dua) kali pidana denda yang beriaku untuk
tindak pidana ini dan dapat dijatuhkan pidana tambahan
berupa pencabutan izin usaha."
2. Dalam Undang-Undang tentang Narkotika yang baru, yaitu UU No. 35
Tahun 2009, pada Pasal 1 angka 19 dijelaskan bahwa "Korporasi yaitu
kumpulan terorganisasi dan orang dan/atau kekayaan, baik merupakan
badan hukum maupun bukan."
3. Dalam UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi,pada Pasal 1 butir 1 diberikan keterangan bahwa "Korporasi
yaitu kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakanbadan hukum maupun bukan badan hukum.
Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (1) ditentukan bahwa "Dalam rial
tindak pidana korupsi oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan
dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau
pengurusnya."
4. Dalam UU No.18 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian uang
pada Pasal 1 angka 9 dan angka 10 dijelaskan bahwa:
1. Setiap orang yaitu orang perseorangan atau korporasi.
2. Korporasi yaitu kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.
TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Perkembangan Peraturan Pemberantasan Korupsi di negara kita
Perkembangan undang-undang pemberantasan korupsi di luar
KUHPidana dapat diringkaskan sebagai berikut
1. Undang-undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan,
Penuntutandan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
TindakPidana Korupsi.
3. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsisebagaimana yang telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
4. UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
B. Tindak Pidana Korupsi
Dalam UU No.3 Thn 1971, tindak pidana korupsi dirumuskan pada
Pasal 1 ayat (1) yang menentukan bahwa dihukum karena tindak pidana
korupsi ialah:
a. barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan yang secara
langsung atautidak langsung merugikan keuangan negara dan atau
perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa
perbuatan ini merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara;
b. barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara
langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau
Perekonomian negara, bangsiapa melakukan kejahatan tercantum
dalam pasal-pasal 209,210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423,
425 dan 435 KUHP;
c. barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti
dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau
sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya
atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan
atau kedudukan itu;
d. barang siapa tanpa alasan yang wajar. dalam waktu yang
sesingkat-sesingkatnya sesudah menerima pemberian atau janji yang
diberikan kepadanya, seperti yang ini dalam pasal-pasal 418, 419
dan 420 KUHP tidak mdaporkan pemberian atau janji ini kepada
yang berwajib. Selain itu ada beberapa tindak pidana yang berkaitan
dengan tindak pidana korupsi.
Dalam UU No.31 Tahun 1999. rumusan tindak pidana diatur dalam
2(dua) bab, yaitu Bab II: Tindak Pidana Korupsi, mencakup Pasal 2-20 dan
Bab III: Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi.
mencakup Pasal 21 - 24.
Keseluruhan tindak pidana dalam UU No.31 Thn 1999 jo UU No.20
Thn2001terdiri alas:
1. Tindak Pidana Korupsi. Diatur dalam Bab II: Tindak Pidana Korupsi.
mencakup Pasal 2 - 20.
TPK masih dapat dibedakan pula atas:
a. TPK yang sejak semula diciptakan sebagai TPK oleh Undang-undang
Pemberantasan TPK. Termasuk di sini, yaitu:
1) Pasal 2 UU No.31 Thn 1999: secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri yang dapat merugikan
keuangan/perekonomian negara. TPK ini sudah ada dalam Pasal1
huruf a UU No.3 Thn 1971.
2) Pasal 3 UU No.31 Thn 1999: dengan tujuan menguntungkan diri
menyalahgunakan kewenangan yang dapat merugikan
keuangan/perekonomian negara. TPK ini sudah ada dalam Pasal1
huruf b UU No.3 Thn 1971.
3) Pasal 13 UU No.31 Thn 1999: memberikan hadiah atau janji kepada
pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang
melekat pada jabatan atau kedudukannya.
b. TPK yang diambil dari rumusan tindak pidana dalam KUHPidana.
Termasuk di sini. yaitu:
1) Menyuap pegawai negeri untuk sesuatu yang bertentangan
dengan kewajibannya (Pasal 5 UU No.31 Thn 1999 jo UU No.20
Thn 2001).
2) Menyuap hakim dan advokat (Pasal 6 UU No.31 Thn 1999 jo UU
No .20 Thn 2001);
3) Perbuatan curang berkenaan dengan penyerahan banang (Pasal
7UU No.31 Thn 1999 jo UU No.20 Thn 2001);
4) Pegawai negeri menggelapkan uang atau surat berharga yang
disimpan karena jabatannya (Pasal 8 UU No.31 Thn 1999 jo
UUNo. 20 Thn 2001);
5) Pegawai negeri memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang
khususuntuk pemeriksaan administrasi (Pasal 9 UU No.31 Thn
1999 jo UU No.20 Thn 2001);
6) Pegawai negeri merusak surat bukti yang dikuasai karena
jabatannya (Pasal 10 UU No.31 Thn 1999 jo UU No.20 Thn 2001);
7) Pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima hadiah
ataujanji padahal diketahui atau patut diduga bahwa itu
berhubungan dengan jabatannya (Pasal 11 UU No.31 Thn 1999 jo
UU No. 20 Thn 2001);
8) Sembilan macam tindak pidana dalam Pasal 12 UU No.31
Thn1999 jo UU No.20 Thn 2001.
2. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi. Diatur
dalam Bab III: Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana
Korupsi. mencakup Pasal 21 - 24.
Dalam bagian ini akan diuraikan mengenai Tindak Pidana Korupsi
saja.
1. TPK Pasal 2 UU No.31 Thn 1999: Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1 000.000.000.00 (satu miliar
rupiah).
Unsur-unsur TPK ini:
a. secara melawan hukum
b. melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atausuatu korporasi
c. yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara Pasal 4 UU No. 31 Thn 1999 ditentukan bahwa
pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3
Pada Pasal 2 ayat (2) UU No 31 Thn 1999 ditentukan bahwa dalam
hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1)dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Menurut penjelasan pasalnya, yang dimaksud dengan 'keadaan
tertentu‘ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi
pelaku tindak pidana korupsi bila tindak pidana ini dilakukan
pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan
undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam
nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu
negara dalam keadaan krisis ekonorni dan moneter.
Dalam UU No.20 Thn 2001, pada Pasal 1 angka 1 dikatakan bahwa
Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga
rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi
Pasal angka 1 Undang-undang ini. Menurut Penjelasan Pasal Demi
Pasal angka 1 ini, yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam
ketentuan ini yaitu keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan
pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu bila tindak pidana
ini dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,
penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak
pidana korupsi.
2. TPK Pasal 3 UU No.31 Thn 1999: Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1
000.000.000.00 (satu miliar rupiah)
Unsur-unsur TPK ini:
a. dengan tujuan menguntungkan din sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi.
b. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan alau kedudukan atau sarana yang
adapadanya karena jabatan atau kedudukan
c. yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pasal 4 UU No.31 Thn 1999: ditentukan bahwa pengembalian
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
3. TPK Pasal 13 UU No.31 Thn 1999: Setiap orang yang memberikan
hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan
atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau
oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan ini , dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima
puluhjuta rupiah).
Unsur-unsur TPK ini:
a. memberi hadiah atau janji
b. kepada pegawai negeri
c. dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat
padajabatan atau kedudukannya, atau oleh si pemberi hadiah artau
janjidianggap melekat pada jabatan atau kedudukan ini
4. TPK Pasal 5 UU No.31 Thn 1999 jo UU No.20 Thn 2001
Dalam UU No.20 Thn 2001 pada Pasal I angka 2 dikatakan
bahwa―Ketentuan Pasal 5, Pasal 6. Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11, dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu
pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi
langsung menyebutkan unsur-unsur yang ada dalam
masing-masing pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diacu,
sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 5 UU No.31 Thn 1999 ssbagaimana yang telah dirubah
dengan UU No.20 Thn 2001:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit
Rp 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000.00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang
yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara dengan maksud supaya
pegawainegeri atau penyetenggara negara ini berbuat
atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggaranegara karena atau berhubungan dengan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerimapemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) hurufa atau huruf b. dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimanadimaksud dalam ayat (1).
Pasal 5 UU No.31 Thn 1999 sebelum perubahan: Setiap orang
yangmelakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 250.000.000.00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah).
4. Tindak Pidana Korupsi Pasal 6 UU No.31 Thn 1999 jo UU No.20 Thn
2001
Pasal 6 UU No.31 Thn 1999 sebagaimana yang telah dirubah
dengan UU No.20 Thn 2001:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima betas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 150.000.000.00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 750.000.000.00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)
setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang
yangmenurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau
pendapat yang akandiberikan bemubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengaditan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Pasal 6 lama: Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
5. Tindak Pidana Korupsi Pasal 7 UU No.31 Thn 1999 jo UU No.20 Thn
2001
Pasal 7 UU No.31 Thn 1999 sebagaimana yang telah dirubah
dengan UU No.20 Thn 2001:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat
bangunan atau penjual bahan bangunan yang pada waktu
menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang
yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang,
atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau
penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan
curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barangkeperluan
Tentara Nasional negara kita dan atau Kepolisian Negara
Republik negara kita melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang;
atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan
barangkeperluan Tentara Nasional negara kita dan atau
KepolisianNegara Republik negara kita dengan sengaja
membiarkanperbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam
huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau
orang yang menerima penyerahan barang keperiuan Tentara
Nasional negara kita dan atau Kepolisian Negara Republik
negara kita dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, diptdana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 7 lama: Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 387 atau pasal 388 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp. 100.000.000.00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 350.000.000.00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
6. Tindak Pidana Korupsi Pasal 8 UU No.31 Thn 1999 jo UU No.20 Thn
2001
Pasal 8 UU No.31 Thn 1999 jo UU No.20 Thn 2001: Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (liga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000.00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain
pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau" untuk sementara atau dengan sengaja
menggelapkan uang, atausurat-berharga yang disimpan karena, atau
membiarkan uang atau surat berharga ini diambil atau digelapkan
oleh orang lain, atau membantu melakukan tindak pidana ini .
Pasal 8 lama: Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal Undang-undang Hukum Pidana,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
150.000.000.00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
750.000.000.00 (Tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
7. Tindak Pidana Korupsi Pasal 9 UU No.31 Thn 1999 jo UU No.20 Thn
2001
Pasal 9 UU No.31 Thn 1999 jo UU No.20 Thn 2001: Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 250.000.000.00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar
yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Pasal 9 lama : Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 416 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000.00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah).
8. Tindak Pidana Konjpsi Pasal 10 UU No.31 Thn 1999 jo UU No.20 Thn
2001
Pasal 10 UU No.31 Thn 1999 jo UU No20 Thn 2001: Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000 000.00 (seratus uta rupiah)
dan paling banyak Rp 350.000.000.00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah)
pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja:
a. Menggelapkan. menghancurkan. Merusakkan, atau membuat tidak
dipakai barang, akta, surat atau daftar yang dipakai untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang. yang
dikuasai karena jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
ini atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
ini .
Pasal 10 lama: Setiapp orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 417 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, dipidana dengan pjdana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000.00 (tiga ratus lima
puluh juta rupiah).
9. Tindak Pidana Korupsi Pasal 11 UU No.31 Thn 1999 jo UU No.20 Thn
2001
Pasal V11 IJU No.31 Thn 1999 jo UU No.20 Thn 2001: Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000.00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah
atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji
ini diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan
hadiah atau janji ini ada hubungan dengan jabatannya.
Pasal 11 lama: Setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana. dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000.00
(lima putuh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000.00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah).
10. Tindak Pidana Korupsi Pasal\12 UU No.31 Thn 1999 jo UU No.20
Thn2001
Pasal 12 UU No.31 Thn 1999 jo UU No.20 Thn 2001: Dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4(empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 200.000 000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiahatau
janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau
janjiini diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau
tidakmelakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengankewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah ini diberikan
sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengankewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji ini diberikan untuk mempengaruhii
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan,
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji ini untuk mernpengaruhi nasihat atau pendapat
yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yangdiserahkan
kepada pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan
maksudmenguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum,atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa
seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi
dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau
kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau
penyelenggaranegara yang lain atau kas umum ini mempunyai
utang kepadanya. padahal diketahui bahwa hal ini bukan
merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan
barang, seoah-olah merupakan utang kepada dirinyap adahal diketahui
bahwa hal ini bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas telah memakai tanah negara yang di atasnya
ada hak pakaiseolah-olah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan telah merugikan orang yang berhak, padahal
diketahuinya bahwa perbuatan ini bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun
langsung dengan sengaja tunjt serta dalam pemborongan, pengadaan,
atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan untuk seluruh
atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Pasal 12 lama: Setiap orang yang melakukan tindak
pidanasebagaimana dimaksud dalam Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423.
Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta njpiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
f. Pasal 14: Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undangyang
secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan
Undang-undang ini sebagai tindak pidana korupsi berlaku
ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
g.Pasal 15: Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan,
ataupermufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 3.
Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16: Setiap orang diluar
wilayah negara Republik negara kita yangmemberikan bantuan,
kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana
korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai
dengan Pasal 14.
5. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU
No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selanjutnya juga pada Pasal 1 butir 3 ditentukan bahwa diantara
Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal
128. dan Pasal 12 C. yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 12 A
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana dendasebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagitindak pidana korupsi yang
nilainya kurang dari Rp 5.000.000.00(lima juta rupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari
Rp5.000.000.00 (lima juta njpiah) sebagaimana dimaksud (dalam ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)tahun dan
pidana denda paling banyak Rp 50.000.000.00 (limapuluh juta njpiah).
Pasa 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, bila berhubungan denganjabatannya
dan yang berlawanan dengan kewajiban atautugasnya, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah) ataulebih,
pembuktian bahwa gratifikasi ini bukanmerupakan suap
dilakukan oteh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh jutarupiah).
pembuktian bahwa gratifikasi ini suapdilakukan oleh penuntut
umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) yaitu pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tanun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000.00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000.00 (satu miliar
rupiah).
Pasal12 C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1)tidak
bertaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yangditerimanya
kepada Komisi Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)wajib
dilakukan oteh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tigapuluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi ini diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan
wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milikpenerima atau milik
negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa telah terjadi perluasan dan
rincian yang cukup besar mengenai cakupan tindak pidana korupsi.
C. Pembuktian Terbalik Yang Terbatas
Dalam Pasal 66 KUHAP ditentukan bahwa tersangka atau terdakwa
tidak dibebani kewajiban pembuktian. Dengan kata lain, beban pembuktian
berada pada Jaksa Penuntut Umum, yaitu Jaksa Penuntut Umum yang
harus membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Terdakwa tidak memiliki
kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. bila
terdakwa hendak membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, maka hal itu
merupakan hak dan terdakwa, bukan merupakan suatu kewajiban.
Tetapi. dalam UU No.3 Tahun 1971, UU No.31 Tahun 1999 dan UU No
20 Tahun 2001 ada ketentuan khusus mengenai pembagian beban
pembuktian. Bagaimana pembagian beban pernbuktian dalam ketiga
undang-undang ini akan dibahas satu persatu berikut ini.
1. Dalam UU No.3 Tahun 1971.
Dalam UU No.3 Tahun 1971, beban pembuktian diatur pada Pasal
17 yang menentukan sebagai berikut,
(1) Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan
pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwaia
tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdakwa
bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalam ayat (1) hanyadapat
diperkenankan dalam hal:
a. bila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan bahwa
perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan
keuangan dan perekonomian negara atau
b. bila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan. Bahwa
perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum.
(3) Dalam hal terdakwa dapat memberi keterangan tentang pembuktian
seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan ini
dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan
baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umumtetap mempunyai
kewenangan untuk memberikan pembuktianyang bertawanan.
(4) bila terdakwa tidak dapat memberi keterangan tentang
pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan
ini dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan
baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap diwajibkan
memberi pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindakpidana korupsi.9
Dalam bagian Penjelasan terhadap Pasal 17 ayat (1) dikatakan bahwa,
Aturan mengenai pembebanan pembuktian tidak diikuti sepenuhnya
meskipun hal ini tidak berarti bahwa pasal ini menghendski suatu
pembuktian yang terbalik.
Pembuktian yang terbalik akan memicu Penuntut
Umumdibebaskan dan kewajiban untuk membuktikan terhadap salah
atautidaknya seorang terdakwa. dan terdakwa sebaliknya dibebani
pembuktian tentang salah atau tidaknya.
Dalam pasal ini Hakim memperkenankan terdakwa memberi
keterangan tentang pembuktian yang tidak merupakan alat bukti
menurut hukum, tatapi segala sesuatu yang dapat tebihmemberikan
kejelasan membuat terang tentang duduknya suatu perkara.10
Terhadap Ayat (3) dari Pasal 17, dalam bagian Penjelasan
diberikan keterangan,
Keterangan pembuktian itu yaitu bahan penilaian bagi Hakim yang
dapat dipandang sebagai hal yang menguntungkan atau merugikan
terdakwa. Keterangan yang menguntungkan atau merugikan ini
bukanlah sesuatu yang mengandung di dalamnya suatu penghukuman
atau pembebasan dari penghukuman. bila terdakwa dapat
memberikan keterangan tentang pembuktian Penuntut Umum tetap
mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang
bertawanan (tegenbewijs).11
Terhadap ayat (2) dan ayat (4) dari Pasal 17 ini, dalam Penjelasan
Pasal Demi Pasal hanya diberikan catatan 'Cukup Jelas".
Pokok-pokok penting yang merupakan hakekat (substansi) dari Pasal
17 Undang-undang No.3 Tahun 1971 ini yaitu sebagai berikut :
1.1. Penuntut Umum tetap dibebani kewajiban untuk membuktikan
unsur-unsur tindak pidana korupsi.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 17 ayat (4) UU No.3 Tahun 1971.
1.2. Terdakwa dapat diperkenankan den Hakim untuk memberikan
keterangan tentang pembuktian' bahwa ia tidak bersalah.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 17 ayat (1) UU No.3 Tahun 1971).
Menurut penjelasan pasal. •keterangan tentang pembuktian' ini tidak
merupakan alat bukti menurut hukum. tetap* segata sesuatu yang
dapat tebih memberikan kejelasan membuat terang tentang duduknya
suatu perkara.
1.3. Keterangan tentang pembuktian" dari terdakwa tidak membawa
konsekuensi dihukum atau dibebaskannya terdakwa.
Menurut Penjelasan Pasal 17 ayat 3. konsekuensinya hanyalah
menguntungkan terdakwa jika menurut penilaian Hakim si terdakwa
dapat memberikan keterangan tentang pembuktian. atau merugikan
terdakwa. jika menurut penilaian Hakim si terdakwa tidak dapat
memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa dirinya tidak
bersalah melakukan tindak pidana korupsi. tetapi
konsekuensi-konsekuensi ini tidak sampai pada membebaskan atau
sebaliknya menghukum terdakwa.
1.4.Terdakwa berhak membuktikan dirinya tidak bersalah melakukan
perbuatan pidana korupsi.
Dalam Pasal 17 UU No 3 Tahun Tetapi. hak paling dasar seorang
terdakwa yaitu hak untukmembela diri. Oleh karena itu senarusnya
terdakwa tetap memiliki hak untuk membela diri dengan
mengemukakan bahwa dirinya tidak bersalah dan untuk itu berhak
mengajukan alat-alat bukti yang sah menurut hukum. Jika menurut
penilaian Hakim bahwa terdakwa dapat memberikan pembuktian
dengan alat-alat bukti yang sah bahwa dirinya tidak bersalah, maka
Hakim seharusnya membebaskan terdakwa atau melepaskannya dari
segala tuntutan hukum.
Pembagian beban pembuktian dalam Pasal 17 UU No.3 Tahun1971
bukan merupakan pembalikan beban pembuktian (omkering van de
bewijslast) melainkan hanya suatu penyimpangan beban pembuktian.
Menurut Penjelasan Pasal 17 ayat (1). aturan mengenai pembebanan
pembuktian tidak diikuti sepenuhnya meskipun hal ini tidak berarti bahwa
pasal ini menghendaki suatu pembuktian yang terbalik. Pembuktian yang
terbalik akan memicu Jaksa Penuntut Umum dibebaskan dari
kewajiban untuk membuktikan terhadap salah atau tidaknya seorang
terdakwa. dan terdakwa sebaliknya yang dibebani kewajiban pembuktian
tentang salah atau tidaknya.
2. UU No. 31 Tahun 1999.
Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, cara pembagian beban
pembuktian diatur dalam Pasal 37. Dalam pasal ini ditentukan sebagai
berikut,
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi, maka keterangan ini dipergunakan
sebagai hal yang menguntungkan baginya.
(3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak. dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan
dengan perkara yang bersangkutan.
(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang
tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan
kekayaannya, maka keterangan ini dapat dipakai untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi.
(5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). ayat (2).ayat
(3). dan ayat (4). penuntut umum tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya.
Dalam bagian Penjelasan terhadap Pasal 37 UU No.31 Tahun 1999 ini
diberikan penjelasan bahwa,
Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksa
yang wajib membuktikan dilakukanya tindak pidana, bukan dakwaan.
Menurut ketentuan ini ... penuntut umum masih tetap berkewajiban
untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan
pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib
membuktikan dakwaannya.13
Dalam bagian Penjelasan Umum dikatakan bahwa undang-undang ini
menganut "pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang'.
Pokok-pokok penting yang merupakan hakekat (substansi) dari Pasal
37 UU No.31 Tahun 1999 ini yaitu sebagai berikut :
2.1. Penuntut Umum tetap dibebani kewajiban untuk membuktikan
unsur-unsur tindak pidana korupsi.
Hal ini ditegaskan dalam Pasa! 37 ayat (5) UU No.37 Tahun 1999.
2.2. Terdakwa dibebani kewajiban untuk memberikan keterangan tentang
seluruh harta bendanya dan harta benda tsteri atau suami, anak dan
harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
Hal ini ditentukan dalam Pasal 37 ayat (3) UU No.31 Tahun 1999.
2.3. Jika terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak
seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan
kekayaannya. maka keterangan ini dapat dipakai untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi.
Hal ini ditentukan dalam Pasal 37 ayat (4) UU No.31 Tahun 1999.
2.4. Jika terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi. maka keterangan ini dipergunakan sebagai hal
yang menguntungkan baginya.
Kata ‗membuktikan' menunjukkan bahwa terdakwa memakai
alat-alat bukti yang sah. bukan hanya keterangan tentang pembuktian
sebagaimana pada Pasal 17 UU No.3 Tahun 1971.
Secara penafsiran tata bahasa, pasal ini telah menutup kemungkinan
pembebasan seorang terdakwa dari dakwaan tindak pidana korupsi.
Sekalipun terdakwa dengan memakai alat-alat bukti yang sah
dapat membuktikan dirinya tidak bersalah melakukan tindak pidana
korupsi hal ini hanya membawa konsekuensi 'menguntungkan' saja
tetapi tidak membebaskannya dari dakwaan.
Pembagian beban pembuktian dalam Pasal 37 UU No.31 Tahun 1999
merupakan pembuktian terbalik yang terbatas atau bsrimbang.
Nama 'pembuktian terbalik yang terbatas atau berimbang" ini dapat
ditemukan dalam bagian Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal 37.
3. UU No.20 Tahun 2001.
Pada Pasal 1 butir 5 UU No.20 Tahun 2001 diberikan ketentuan
bahwa,
Pasal 37 dipecah menjadi 2 (dua) pasal yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal
37 A dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Pasal 37 dengan substansi yang berasal dari ayat (1) dan ayat(2)
dengan penyempuraan pada ayat (2) frasa yang berbunyi"keterangan
ini dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya"
diubah menjadi "pembuktian ini dipakai oleh pengadilan
sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti",
sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 yaitu sebagai berikut:
Pasal 37
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia
tidakmelakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi. maka pembuktian ini
dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan
bahwa dakwaan tidak terbukti.
b. Pasal 37 A dengan substansi yang berasal dari ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5) dengan penyempurnaan kata "dapat pada ayat (4) dihapus dan
penunjukan ayat (1) dan ayat (2) pada ayat (5) dihapus serta ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5) masing-masing berubah menjadi ayat (1) ayat (2),
dan ayat (3), sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 A yaitu sebagai
berikut
Pasal 37 A
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta
benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak ciapat membuktikan tentang kekayaan
yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber
penambahan kekayaannya, maka keteraragan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dipakai untuk memperkuat alat bukti
yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana
korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat(2)
merupakan tindak pidana atau perkara pokoksebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 3. Pasal 4.Pasal 13, Pasal 14.
Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undangNomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5
sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga
penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya.
Terhadap Pasal 37 ayat (1) diberikan keterangan dalam Penjelasan
pasal bahwa pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan
pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan
perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang
mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption
of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination).
Sedangkan teradap ayat (2) diberi keterangan bahwa ketentuan ini tidak
menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang
(negatiefwettelijk).
Pokok-pokok penting yang merupakan hakekat (substansi) dan Pasal
37 dan 37 A UU No. 37 Tahun 1999 yang merupakan perubahan yang
ditentukan oleh UU No. 20 Tahun 2001 yaitu sebagai berikut :
3.1 Penuntut Umum tetap dibebani kewajiban untuk membuktikan
unsur-unsur tindak pidana korupsi.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 37 A ayat (3) UU No.37 Tahun 1999 jo
UU No. 20 Tahun 2001.
3.2. Terdakwa dibebani kewajiban memberikan keterangan tentang
seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan
harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang didakwakan.
Hal ini ditentukan dalam Pasal 37 A ayat (1) UU No.37 Tahun 1999 jo
UU No.20 Tahun 2001.
3.3. Jika terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak
seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan
kekayaannya. maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat(1) dipakai untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada
bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Hal ini ditentukan dalam Pasal 37 A ayat (2) UU No.37 Tahun 1999 jo
UU No.20 Tahun 2001.
3.4. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi dan dalam hal terdakwa dapat
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi maka
pembuktian ini dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar
untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
Hal ini ditentukan dalam Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) UU No.37
Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001.
Ketentuan ini dapat dikatakan merupakan koreksi terhadap
rumusan Pasal 37 ayat (2) UU No 37 Tahun 1999 yang sebelumnya
memberi kesan menutup sama sekali kemungkinan pembebasan
seorang terdakwa perkara tindak pidana korupsi.
Dalam penjelasan Pasal 37 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 jo UU
No 20 Tahun 2001 dikatakan bahwa pasal ini (Pasal 37 ayat 1)
sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik
terhadap terdakwa. Ini menunjukkan bahwa pembentuk
undang-undang memandang pembagian beban pembuktian dalam
Pasal 37 dan Pasal 37 A sebagai 'pembuktian terbalik".
Tetapi, menurut penulis, sebenamya beban kewajiban
pembuktian pada terdakwa dalam UU No.37 Tahun 1999 jo UU No.20
Tahun 2001 ini tidak berbeda dengan kewajiban beban pembuktian
terdakwa dalam Pasal 37 dari UU No.37 Tahun 1999, sehingga
pembagian beban pembuktian ini lebih tepat untuk tetap dinamakan
pembuktian terbalik yang terbatas atau berimbang.
Ketentuan-ketentuan di atas dapat dibandingkan dalam bentuk tabel
sebagai berikut :
Tabel. Perbandingan pembagian beban pembuktian
UU No.3/1971 UU No.31/1999 UUNo.31/1999 jo UU
No.20/2001
penyimpangan beban
pembuktian.
Pembuktian terbalik yang
terbatas atau berimbang
Pembuktian terbalik (yang
terbatas dan berimbang)
1 Penuntut Umum tetap
dibebani kewajiban
untuk membuktikan
unsur-unsur tindak
pidana korupsi.
Penuntut Umum tetap
dibebani kewajiban untuk
membuktikan unsur-unsur
tindak pidana korupsi.
Penuntut Umum tetap
dibebani kewajiban untuk
membuktikan unsur-unsur
tindak pidana korupsi.
Tendakwa dapat
diperkenankan oleh
Hakim
untukmemberikan
keterangan tentang
pembuktian bahwa ia
tidak bersalah
Terdakwa dibebani kewajiban
untuk memberikan
keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta
benda isteri atau suami.
anak, dan harta benda
setiap orang atau korporasi
yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara
yang bersangkutan.
Terdakwa dibebani kewajiban
untuk memberikan
keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta
benda isteri atau suami,
anak, dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang
diduga mempunyai hubungan
dengan perkara yang
bersangkutan.
3 Keterangan tentang
Pembuktian
Terdalwa tidak
membawa
konsekuensi dihukum
atau dibebaskannya
terdakwa
Jika terdakwa tidak dapat
membuktikan tentang
kekayaanyang tidak
seimbang dengan
penghasilannya atau sumber
penambahan
Jika terdakwa tidak dapat
membuktikan tentang
kekayaan yang tidak
seimbang dengan
penghasilannya atau
sumber penambahan
kekayaannya, maka
dibebaskannya
terdakwa.
kekayaannya, maka
keterangan ini
dapat dipakai untuk
memperkuat alat bukti
yang sudah ada
bahwa terdakwa telah
melakukan tindak
pidana korupsi.
keterangan ini
dapat dipakai untuk
memperkuat alat bukti
yang sudah ada bahwa
terdakwa telah
melakukan tindak
pidana korupsi.
4 Terdakwa berhak
Membuktikan dirinya
tidak bersalah
dengan memakai
alat-alat bukti yang
sah.
Jika terdakwa dapat
membuktikan bahwa
ia tidak melakukantindak
pidana korupsi maka
keterangan ini
dipergunakan sebagai
hal yang menguntungkan
baginya
Terdakwa mempunyai
hak untuk membuktikan
bahwa ia tidakmelakukan
tindak pidana korupsi
dan :dalam hal terdakwa
dapat membuktikan bahwa
ia tidakmelakukan
tindak pidana korupsi.
Maka pembuktian
ini ;dipergunakan
oleh pengadilan sebagai
dasar untukmenyatakan
bahwadakwaan tidak terbukti.
D. Peran Pembagian Beban Pembuktian untuk Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Pada bagian menimbang huruf (a) dari UU No.20 Tahun 2001
dikatakan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara
meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah
menerapkan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas. sehingga tindak pidana korupsi pertu digolongkan
sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar
biasa.
Sekalipun dikatakan bahwa pPemberantasan tindak pidana korupsi
dilakukan secara luar biasa tetapi undang-undang ini mengenal
pembatasan contohnya untuk pembagian beban pembuktian, sekalipun
menyimpang dari ketentuan dalam KUHAP tetapi tidak sampai merupakan
pembuktian terbaliknya melainkan pembuktian terbalik yang terbatas atau
berimbang.
Hal yang serupa telah dikemukakan oleh Oemar Seno Adji, saat
memberikan komentar mengenai beban pembuktian dalam tindak pidana
korupsi dalam Pasal 17 RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tahun
1971 Dikatakan oleh Oemar Seno Adji bahwa.
Dengan tujuan untuk mempercepat prosedur dan menyederhanakan
atau mempermudah pembuktian, RUU tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menempuh jalan dengan membuka pintu bagi
ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari acara biasa dan pada
saat yang bersamaan dengan memberikan kewenangan yang
exeptionil kepada justitie dan politik.
Namun demikian. ia sekedar merupakan penyimpangan, pengurangan
dari hak-hak asasi seorang terdakwa dalam suatu proses pidana,
tanpa •overgaan" pada suatu penyampingan seluruhnya hak-hak
ini Oleh karena itu, ia tidak akan mengarah dalam seal
pembuktian pada pembalikan pembuktian, pada 'shifting of the burden
of proof" seperti perah dijalankan oleh Inggris dan Malaysia (tahun
1916 dan 1961). Dengan tidak mengikuti pula hukum pembuktian
biasa, ia menempuh jalannya sendiri dalam pasal 17 RUU ini
Penyampingan hak asasi sebagai suatu keseluruhan, dalam hal in!
asas 'presumption of innocence' dan 'non-selfincrimination' dapat
dipertimbangkan dengan menghantar hukum darurat dan selama
situasi demikian belum tampak, maka penyampingan hak demikian
kiranya kurang dapat dibenarkan
Sekarang ini, sebagaimana telah dikemukakan dalam sub bab
sebelumnya dalam Pasal 37 A UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun
2001. kepada terdakwa telah diletakkan beban kewajiban pembuktian yang
lebih berat lagi daripada dalam UU No.3 Tahun 1971.
Terdakwa diwajibkan untuk membuktikan dengan memakai
alat-alat bukti yang sah tentang asal usul kekayaannya. Jika ia tidak dapat
membuktikan asal usul kekayaannya dengan alat-alat bukti yang sah maka
hal itu dapat dipakai untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada
bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Seberapa besar sebenamya peran dari Pasal 37 A UU No.31 Tahun
1999 jo UU No.20 Tahun 2001?
Peran dari Pasal 37 A UU No.31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001
dapat dilihat dari dua aspek, yartu
1. Pembuktian dakwaan tindak pidana korupsi; dan,
2. Pemberantasan tindak pidana korupsi secara umum berupa
pengembaliankerugian negara.
Dari aspek pembuktian dakwaan, ketidakmampuan terdakwa
dakwaannya dapat dipakai untuk memperkuat alat bukti sudah ada
bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Suatu hal yang
perlu diperhatikan yaitu bahwa ketidak mampuan untuk membuktikan
tentang asal usul dari harta kekayaannya dapat dipakai sebagai suatu
alat bukti yang sah yang memberatkan dirinya, yaitu alat bukti keterangan
terdakwa, yang merupakan salah satu alat bukti yang sah dalam ketentuan
KUHAP.
Dengan demikian peran Pasal 37 A UU No.31 Tahun 1999 jo UU NO. 20
Tahun 2001 yaitu untuk mempermudah pembuktian dakwaan tindak
pidana korupsi.
Peran Pasal 37 A UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001
kenaan dengan aspek pemberantasan tindak pidana korupsi secara umum
yang berupa pengembalian kerugian negara, merupakan pokok yang
penting.
Pada dasamya. Penuntut Umum dengan memakai alat-alat bukti
yang dihimpunnya relatif mudah membuktikan perbuatan yang dilakukan
oleh terdakwa. Tetapi lebih sulit untuk membuktikan ke mana hasil korupsi
disimpan atau disembunyikan oleh seorang terdakwa.
Dengan adanya Pasal 37 A UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 31
jika terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak
seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan
kekayaannya, aka harta benda terdakwa dan harta benda isteri atau suami,
anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dan perkara yang bersangkutan. yang sebelumnya telah
dikenakan an dapat diputuskan oleh pengadilan untuk dirampas.
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
A. Sistem Pembuktian Dalam Uu No. 8 Tahun 2010
Sebagaimana yang telan disinggung dalam bab-bab sebelumnya,
Pasal 77 dari uu No. 8 Tahun 2010 merupakan ketentuan khusus terhadap
Pasal 66 KUHAP yang merupakan bagian dari sistem pembuktian.
Pasal pokok sistem pembuktian dalam KUHAP yaitu Pasal 183
KUHAP, di mana ditentukan bahwa Hakim tidak boieh menjatuhkan pidana
kepada seorang kecuali bila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Sedangkan dalam bagian bagian Penjelasan Pasal diberikan keterangan
bahwa ketentuan ini yaitu untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan
dan kepastian hukum bagi seorang.
Pasal 183 KUHAP ini sebenamya hanyalah merupakan pasal pokok
mengenai sistem pembuktian. Di samping pasal pokok ini masih ada
sejumlah pasal lainnya dalam KUHAP yang terkait erat dan bersama-sama
membentuk suatu sistem pembuktian.
Salah satu pasal di antaranya yaitu Pasal 66 KUHAP yang
menentukan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban
pembuktian. Dalam bagian Penjelasan Pasalnya dikatakan bahwa
ketentuan ini yaitu penjelmaan dari asas "praduga tak bersalah".
Pasal 77 UU No. 8 Tahun 2010 memberikan ketentuan bahwa untuk
kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib
membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak
pidana.
Selanjutnya dalam bagian penjelasan pasalnya diberikan keterangan
bahwa pasal ini berisi ketentuan bahwa terdakwa diberi kesempatan untuk
membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana.
Ketentuan ini dikenal sebagai asas pembuktian terbalik.
Dengan demikian Pasal 77 ini sebenamya telah membawa
kecenderungan kepada sistem inquisitoir dengan asas substantive law
model.
Walaupun demikian. kecenderungan ini masih dapat diterima dalam
hukum pidana negara kita sebab sebagaimana yang dikemukakan sistem
hukum pidana bagian menimbang huruf c, tindak pidana pencucian uang
merupakan pidana yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan
yang jumlahnya besar serta berkaitan pula dengan stabilitas
perekonomian nasionaldankeamanannegara.
Mengenai rumusan Pasal 77 UU No. 8 Tahun 2010 itu sendiri, menurut
penulis ada dua hal yang periu mendapatkan perhatian, yaitu:
1. Pembuktian terbalik hanya terbatas pada seal pembuktian bahwa harta
kekayaan terdakwa bukan berasal dari tindak pidana.
Pasal 77 UU No. 8 Tahun 2010 memang dengan tegas
menyatakan bahwa kepada terdakwa dibebani kewajiban pembuktian.
Penjelasan pasalnya juga menyatakan bahwa ketentuan ini dikenal
sebagai asas pembuktian terbalik.
Tetapi dengan melihat rumusan Pasal 77, kewajiban pembuktian
yang dibebankan kepada terdakwa bukanlah tidak terbatas sehingga
menyangkut semua hal. Kewajiban pembuktian yang dibebankan
kepada terdakwa hanya dibatasi pada pembuktian bahwa harta
kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana.
2. UU No. 8 Tahun 2010 tidak menentukan konsekuensi dari Pasal 77.
Hal lainnya yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu dalam
Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang tidak ditentukan
konsekuensi lebih lanjut dari ketentuan Pasal 77.
Tidak ditentukan apakah konsekuensinya jika terdakwa dapat
membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan berasal dari tindak
pidana dan sebaliknya juga apa konsekuensinya jika terdakwa tiaak
dapat membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan berasal dari
tindak pidana.
Berbeda halnya dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. sebagaimana yang
telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Dalam
undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi ini diatur secara
cukup rind mengenai konsekuensi dari pasal yang meletakkan beban
pembuktian kepada terdakwa.
Pasal 37 UU No.31 Tahun 1999 sebelum dirubah dengan UU
No.20 Tahun 2001 ditentukan bahwa.
(1)Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi.
(2)Dalam hal terdakwa dapat dibuktikan bahwa ia tidak
melakukantindak pidana korupsi maka keterangan lersebut
dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.
(3)Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang Seluruh
hartabendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta
benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
(4)Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang
kekayaanyang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber
penambahan kekayaannya, maka keterangan ini dapat
dipakai untuk memperkuat alat buktu yang sudah ada bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
(5)Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
92),dan 93) dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban
untukmembuktikan dakwaannya.
Dengan UU No.20 Tahun 2001, Pasal 37 dipecah menjadi dua.
yaitu menjadi Pasal 37 dan Pasal 37A. Pasal 37 dirubah sehingga
selengkapnya berbunyi.
(1)Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi.
(2)Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebu tdipergunakan oleh
pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak
terbukti.
Sedangkan Pasal 37A menjadi berbunyi sebagai berikut ini.
(1)Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan
dengan perkara yang didakwakan.
(2)Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan
yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber
penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dipakai untuk memperkuat alat bukti
yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana
korupsi.
(3)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3. Pasal 4. Pasal 13. Pasal 14, Pasal
15 dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 6 sampai dengan
Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap
berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Berbeda halnya dengan UU No. 10 Tahun 2010 yang tidak
memberikan ketentuan tentang konsekuensi dari dapat atau tidak dapatnya
terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil
tindak pidana.
Dengan demikian, secara yuridisketentuan Pasal 77 UU No. 10
Tahun 2010 sebenamya tidak memiliki konsekuensi hukum.
Pertanyaan yang muncul di sini yaitu apakah ketentuan Pasal 37 dan
Pasal 37 A Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
berserta konsekuensinya dapat diterapkan juga terhadap terdakwa tindak
pidana pencucian uang (money bundling)?
Menurut pendapat penulis, ketentuan dalam undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi tidak dapat diterapkan terhadap
undang-undang pencucian uang. Alasannya yaitu karena ketentuan
dalam suatu undang-undang di luar KUHPidana yang berisi ketentuan
khusus acara pidana. hanya berlaku bagi undang-undang itu saja.
Ketentuan-ketentuan khusus ini tidak berlaku bagi undang-undang
yang lain. Jadi, sifat khusus ini hanya berlaku untuk tindak pidana
yang diatur dalam undang-undang itu semata-mata.
B. Alat Buktl Menurat Pasal 73 Uu No. 8 Yahun 2010
Pasal 73 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang mengamjung ketentuan khusus berkenaan dengan alat bukti. Pada
pasal ini dutentukan bahwa alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian
uang berupa:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan. diterima.
Atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu; dan
c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 16.
Ketiga macam alat bukti ini akan dibahas satu persatu berikut ini.
1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana.
Alat bukti yang dimaksudkan dalam Pasal 73 huruf a UU No. 8 Tahun
2010. yaitu alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara pidana,
yaitu alat-alat bukti menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa alat bukti yang
sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Pembuktian semua tindak pidana di negara kita , memang harus tunduk
pada ketentuan alat-alat bukti dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ini
Malahan. sekalipun tidak disebutkan dalam UU No. 8 Tahun 2010.
ketentuan umum tentang macam-macam alat bukti yang sah ini akan tetap
berlaku untuk dakwaan tindak pidana pencucian uang
2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan. dikirimkan. ditenma.
atau disimpan secara elektronik dengan alat opt'k atau yang serupa
dengan itu.
Alat bukti berikutnya menurut Pasal 73 huruf b UU No. 8 Tahun 2010,
yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan
itu.
Tidak ada penjelasan dalam penjelasan pasal mengenai apa yang
merupakan cakupan dari alat bukti ini. Pada bagian penjelasan pasal hanya
dikatakan 'cukup jelas" saja.
Tetapi sesuai dengan perkembangan teknologi. maka yang dapat
dipandang sebagai dapat dimasukkan dalam lingkup ini antara lain yaitu
pembicaraan melalui tetepon yang direkam ataupun disadap. fax. electronic
mail (e-mail), dan disket komputer ataupun harddisk komputer yang berisi
data benjpa informasi.
Alat-alat bukti ini berada di luar jangkauan KUHAP. yaitu betum dikenal
oleh pasal-pasal yang ada dalam KUHAP.
Dalam hal ini dapat dikemukakan bahwa Negara negara kita belum
memiliki suatu undang-undang yang memberikan aturan-aturan umum
mengenai informasi yang dikirim, diterima atau disimpan dengan
memakai peralatan elektronik dan bagaimana kekuatan
pembuktiannya dalam perkara pidana.
Oleh karena itu, menurut pendapat penulis, banyak kesulitan akan
dihadapi dalam praktek berkenaan dengan upaya untuk menerapkan
ketentuan ini. Para pihak dapat berdebat apakah suatu alat bukti berupa file
elektronik yang dikemukakan oleh suatu pihak dapat dipandang sebagai
alat bukti yang sah untuk kasus itu ataukah tidak.
3. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7.
Alat bukti lainnya lagi, menuoit Pasal 38 huarf c, yaitu alat bukti yang
dapat dipakai yaitu dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 7.
Menurut Pasal 1 angka 7 UU No. 15 Tahun 2002. dokumen yaitu
data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat dibaca, dan/atau didengar.
yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik
yang lertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang
terekam secara elektronik. termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. tulisan, suara, atau gambar;
b. peta. rancangan. foto, atau sejenisnya.
c. huruf. tanda. angka, simbol, atau perforasi yang memifiki makna
ataudapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau
memahaminya.
Negara negara kita juga belum memiliki undang-undang yang
memberikan aturan umum mengenai alat-alai bukti seperti ini dalam
perkara pidana, sehingga kesulitan-kesulitan juga akan terjadi dalam
praktek.
negara kita memang telah memiliki UU No.8 Tanun 1997 tentang
Dokumen Perusahaan. di mana diatur di mana telah molai memberikan
perhaten terhadap dokumen atau file elektronik. Beberapa ketentuan dalam
undang-undang ini yaitu sebagai berikut :
Pada bagian menimbang huruf f dikatakan bahwa kemajuan teknologi
telah memungkinkan catatan dan dokumen yang dibuat di atas kertas
dialihkan ke dalam media elektronik atau dibuat secara langsung dalam
media elektronik.
Pada Pasal 1 butir 2 diberikan diberikan definisi bahwa dokumen
perusahaan yaitu data, catatan, dan atau keterangan yang dibuat dan
atau diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya,
baik tertulis di atas kertas atau sarana lain maupun terekam dalam bentuk
corak apapun yang dapat dllihat, dibaca, atau dldengar.
Catatan yang berbentuk neraca tahunan, perhitungan laba rugi
tahunan, atau tulisan lain yg menggambarkan neraca dan laba rugi wajib
dibuat di atas kertas (Pasal 10 ayat 1). Catatan yang berbentuk rekening,
jumal transaksi harian, atau setiap tulisan yang berisi keterangan mengenai
hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha
suatu perusahaan, dibuat di atas kertas atau dalam sarana lalnnya (Pasal
10 ayat 2). Menurut Penjelasan Pasal 10 ayat (2), yang dimaksud dengan
"sarana lainnya" yaitu alat bantu untuk memproses pembuatan dokumen
perusahaan yang sejak semula tidak dibuat di atas kertas, misalnya
memakai pita magnebk atau diskeL Dokumen perusahaan dapat
dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya (Pasal 12'ayat 1). Setiap
pengalihan dokumen perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1) wajib ditegalisasi (Pasal 13). Dokumen perusahaan yang telah
dimuat dalam mikrofilm atau media lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1) dan atau hasil cetaknya merupakan alat buktl yang sah
(Pasal 15 ayat 1). bila dianggap perlu dalam hal tertentu dan untuk
kepertuan tertentu dapat dilakukan legalisasi terhadap hasil cetak dokumen
perusahaan yang telah dimuat oatem mikrofilm atau media lainnya (Pasal
15 ayat 2).
Tetapi sudah tentu masih menjadi pertanyaan bagaimana pemakaian
ketentuan terseout sebagai alat bukti untuk perkara pidana.
Perluasan alat bukti berupa alat bukti menuoU Pasal 73 huruf b UU
No. 8 Tahun 2010, dapat dikatakan didorong modus operandi pencucian
uang yang banyak kali memakai cara transfer dana.
Modus operansi ini terlihat dalam oontoh-contoh yang diberikan dalam
Surat Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan No.2/1/Kep.PPATK/2003 tentang Pedoman Umum Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencudan Dang Bagi Penyedia Jasa
Keuangan.
Dalam Bab 6 (Identifikasi dan Pelaporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan) huruf B (Beberapa Contoh Transaksi Keuangan
Mencurigakan) surat keputusan ini dikatakan bahwa ada
beberapa contoh yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi transaksi
keuangan mencurigakan dan kondisi yang sering dipakai dalam rangka
pencucian uang.
bila tidak diperoleh penjelasan yang memuaskan maka
transaksi-transaksi di bawah ini hams dipandang seoagai transaksi
keuangan mencurigakan:
1. Setoran tunai yang cukup besar dalam satu transaksi atau kumpulan
dan transaksi. khususnya bila :
a. Transaksi dari kegiatan usaha yang biasa dilakukan oleh nasabah
tidak tunai tetapi dalam bentuk lain seperti cek. bank draft, letter of
credit bills of exchange atau instrumen lain.
b. Setoran ke dalam suatu rekening semata-mata agar nasabah dapat
metakukan transaksi bank draft, transfer atau instrumen pasar uang
yang dapat diperjualbelikan.
2. Nasabah atau kuasanya benjpaya menghindari untuk berhubungan
secara langsung dengan PJK.
3. pemakaian nominee accounts, trustee accounts dan clientaccounts
yang sebenarnya tidak perlu dilakukan dan tidak konsisten dengan
kegiatan usaha nasabah.
4. pemakaian banyak rekening dengan alasan yang tidak jelas.
5. Penyetoran dalam nominal kecil dengan frekuensi yang cukup tinggi,
dan kemudian dilakukan penarikan secara sekaligus.
6. Sering melakukan pemindahan dana antar rekening pada
negara/wilayah yang berbeda.
7. Adanya jumlah yang hampir sama antara dana yang ditarik
denganyang disetor sacara tunai pada hari yang sama atau
harisebelumnya.
8. Penarikan dalam jumlah besar terhadap rekening yang tidak aktif.
9. Penarikan dalam jumlah besar terhadap rekening yang baru menerima
dana yang tidak diduga dan tidak biasa dari luar negeri.
10. Nasabah yang memperlihatkan kehati-hatian yang berlebihanterutama
terhadap kerahasiaan identitas atau kegiatan usahanyaatau nasabah
yang menunda-nunda untuk memberikan informasidan dokumen
pendukung mengenai identitasnya.
11. Nasabah yang berasal dari atau yang mempunyai rekening dinegara
yang dikenal sebagai tempat pencucian uang atau negarayang
kerahasiaan banknya sangat ketat.
12. Adanya transfer dana ke dalam suatu rekening dengan frekuensiyang
sangat tinggi dan secara tiba-tiba padahal sebelumnyarekening
ini tergolong tidak aktif.
13.Pembayaran atas pembelian saham yang dilakukan melalui transfer dari
rekening atas nama pihak lain.
TINDAK PIDANA EKONOMI
A. Pengertian Tindak Pidana Ekonomi
Mengenai keberadaan undang-undang pidana di luar kodifikasi (KUHP)
dikemukakan oleh Andi Hamzah bahwa,
yaitu suatu kenyataan bahwa semakin hari semakin banyak delik-delik
yang terpencar di luar KUHP. Hal ini disebabkan anlara lain:
1. Adanya perobahan sosial secara cepat, sehingga perobahan-perobahan
itu periu dtsertai dan diikuti dengan peraturan-peraturan hukum pula dengan
sanksi pidana. Hukum di sini telah berfungsi sebagai "social control'.
2. Kehidupan modem semakin komplex sehingga di samping adanya
peraturan hukum (pidana) berupa unifikasi yang taham lama (KUHP)
diperlukan pula peraturan pidana yang bersifat temporer.
3. Pada banyak peraturan hukum berupa perundang-undangan dilapangan
perdata, tata negara dan terutama administrasi negara perlu dikaitkan
dengan sanksi-sanksi pidana untuk mengawasi peraturan-peraturan itu
supaya ditaati.
Hal ini nyata pada peraturan-peraturan perburuhan, agraria, kehutanan,
perbankan, pemilihan umum. perikanan. perhubungan, kemaritiman,
perkoperasian dan seterusnya.
Antara KUHP dengan tindak-tindak pidana yang tersebar di luar
KUHPidana itu ada hubungan melalui Ketentuan Umum dalam Buku!
KUHP Dalam pasal 103 KUHPidana dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan
dalam Bab I sampai dengan Bab VIII Buku ini juga bertaku bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lain diancam
pidana kecuali jika oleh undang-undang