t kuat memicu sindrom
ketergantungan (contoh: amfetamin,metamfetamin).
b. Golongan II
Psikotropika yang khasiatnya dapat dipakai untuk
pengobatan dan atau bertujuan untuk ilmu serta memiliki potensi
kuat mengakibatka ketergantungan (contoh: metilfenidat atau
ratalin).
c. Golongan III
Psikotropika yang memiliki khasiat untuk pengobatan,
banyak dipakai dalam terapi dan atau dapat dipakai dengan
tujuan ilmu pengetahuan memiliki potensi sedang memicu
sindroma ketergantungan (contoh: fenobarbital, flunitrazepam)
d. Golongan IV
Psikotropika yang berpengaruh psikoaktif selain narkotika
dan psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan contoh:
Penggolongan jenis-jenis psikotropika ini dibedakan
berdasar sindroma ketergantungan. Psikotropika yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 hanyalah psikotropika yang
memiliki potensi memicu sindroma ketergantungan. Untuk
menentukan tingkat pelanggaran hukum dengan sanksi pidana yang
berat lebih banyak ditentukan oleh golongan psikotropika yang
dilanggar. Adapun tindak pidana di bidang psikotropika antara lain
berupa perbuatan-perbuatan seperti memproduksi atau mengedarkan
secara gelap maupun penyalahgunaan psikotropika.
Penggolongan jenis-jenis psikotropika ini dibedakan
berdasar sindroma ketergantungan. Psikotropika yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 hanyalah psikotropika yang
memiliki potensi memicu sindroma ketergantungan. Untuk
menentukan tingkat pelanggaran hukum dengan sanksi pidana yang
berat lebih banyak ditentukan oleh golongan psikotropika yang
dilanggar. Adapun tindak pidana di bidang psikotropika antara lain
berupa perbuatan-perbuatan seperti memproduksi atau mengedarkan
secara gelap maupun penyalahgunaan psikotropika.54
C. Pengertian Tindak Psikotropika
Tindak pidana psikotropika diatur dalam Undang-Undang No. 5
Tahun 1997 (UU Psikotropika). Psikotropika, sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 angka 1 UU Psikotropika, yaitu zat atau obat, baik
alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang memicu
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Tindak pidana di bidang psikotropika digolongkan sebagai delik
kejahatan. Dilihat dari akibat kejahatannya, pengaruhnya sangat
merugikan bagi bangsa dan negara, dapat menggoyahkan ketahanan
nasional, sebab itu terhadap pelakunya diancam dengan pidana yang
tinggi dan berat yaitu maksimal pidana mati dan ditambah pidana denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miyar rupiah).55
Ancaman pidana ini memang tergolong sangat tinggi dan
berat, sebab undang-undang menganggap bahwa yang ditimbulkan
oleh penyalahgunaan psikotropika sangat serius bagi bangsa dan
negara, sehingga sekecil apapun pelanggaran undang-undang
psikotropika tidak dapat ditoleransi.Ancaman pidana yang demikian itu
sudah dipandang setimpal dengan perbuatannya.Undang-undang ini
memuat kehendak pemerintah untuk memberantas kejahatan di bidang
psikotropika dengan memberikan pidana yang berat sampai pelakunya
jera.
Tindak Pidana Psikotropika yaitu suatu kejahatan yang
dampaknya sangat berbahaya.Psikotropika sudah menjadi barang yang
biasa didalam warga .Hampir semua kalangan dapat
menyalahgunakan psikotropika berbagai golongan.Jenis Psikotropika
yang sering disalahgunakan yaitu amfetamin, ekstasi, shabu, obat
penenang seperti mogadon, rohypnol, dumolid, lexotan, pil koplo, BK,
termasuk LSD, Mushroom.
A. Pengertian Tindak Pidana Anak
Pada dasarnya dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana
Anak tidak dijelaskan mengenai pengertian tentang tindak pidana anak,
melainkan hanya hanya berupa apa itu system peradilan pidana anak
bukan tindak pidana anak yaitu ,Anak sebagai pelaku tindak pidana
telah diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang sistem
peradilan pidana anak Pasal 1 ayat (1),(2),dan (3) yaitu :
ayat (1) yaitu “Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu keseluruhan
proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum,
mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan
setelah menjalani pidana”
ayat (2) adalah“Anak yang Berhadapan dengan Hukum yaitu anak
yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak
pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”,
ayat (3) yaitu “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang
selanjutnya disebut Anak yaitu anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
diduga melakukan tindak pidana.
Pengertian dari tindak pidana anak itu sendiri masih berdasar
pada pendapat oleh para pakar-pakar hukum atau ahli hukum
berdasar penelitian yang telah penulis lakukan di pengadilan anak
sleman penulis mewawancarai salah satu hakim pengadilan anak
sleman mengenai pengertian tindak pidana anak itu sendiri yaitu Hakim
Zulfikar Siregar.SH.,M.H. , beliauberpedapat bahwa pengertian dari
tindak pidana anak yaitu kejahatan pidana yang menyangkut anak baik
sebagai pelaku ataupun sebagai korban, sebab menurut beliau bahwa
defenisi tindak pidana anak itu belum ada di negara kita dan dalam
Undang-Undang system peradilan pidana anak dijelaskan daris segi
filosofinya yaitu anak yang berhadapan denbgan hukum atau peradilan.
B. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Anak
Seorang Anak yang melakukan tindak pidana biasa disebut dengan
anak nakal.Kenakalan anak menurut Kartini Kartono yaitu perilaku jahat
/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, yaitu gejala sakit
(patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh
suatu bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.56Kenakalan
anak yaitu reaksi dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh
anak, namun tidak segera ditanggulangi, sehingga menimbulkan akibat
yang berbahaya baik untuk dirinya maupun bagi orang lain. Menurut
Romli Atmasasmita, Juvenile Deliquency yaitu setiap perbuatan atau
tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun dan
belum kawin yang yaitu pelanggaran terhadap norma-norma hukum
yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan peribadi anak
yang bersangkutan.
Adapun bentuk-bentuk dari kenakalan anak dikategorikan
sebagai berikut :
1. Kenakalan Anak sebagai status offences, yaitu segala prilaku anak
yang dianggap menyimpang, tetapi bila dilakukan oleh orang
dewasa tidak dianggap sebagai tindak pidana, misalnya membolos
sekolah, melawan orang tua, lari dari rumah, dan lain-lain.
2. Kenakalan anak sebagai tindak pidana (Juvenile delinquency), yaitu
segala prilaku anak yang dianggap melanggar aturan hukum dan
bila dilakukan oleh orang dewasa juga yaitu tindak pidana,
tetapi pada anak dianggap belum bertanggung jawab penuh atas
perbuatannya.
C. Faktor-Faktor Penyebab Anak Melakukan Tindak Pidana
1) Faktor Intern, yang terdiri dari beberapa unsur yaitu :
a. Faktor keluarga, yaitu hubungan antara orang tua dengan anak,
yang tidak harmonis dan ekonomi keluarga tergolong lemah,
orang tua bercerai, sering marah, banyak bersaudara, penghasilan
orang tua pas-pasan bahkan tidak mencukupi kebutuhan sehari-
hari
b. Faktor mental dan kejiwaan pada anak yang melakukan tindak
pidana kesusilaan dipengaruhi oleh perkembangan emosi pada
anak yang belum matang dan masih labil sebab usianya.
c. Faktor pendidikan anak yang rendah (SD/SMP), memicu
pola pikir anak mudah untuk melakukan perbuatan yang
menyimpang / kejahatan
d. Faktor agama/moral juga mempengaruhi anak melakukan
kejahatan sebab kurang pengetahuan agama dan tidak taat
beribadah sehingga tidak takut berbuat dosa besar.
2) Faktor Ekstern, yang terdiri dari:
a. faktor lingkungan sosial yang tidak baik, akan berpengaruh
terhadap perkembangan watak pelaku, dimana seorang yang
bergaul dengan lingkungan yang kurang baik, kondisi perumahan
yang tidak memadai dan tidak sehat cenderung untuk melakukan
tindak pidana / kejahatan
b. faktor perkembangan IPTEK seperti pengaruh film, VCD porno,
bacaan porno bahkan situs porno di Internet, cenderung
memberikan dorongan untuk melakukan kejahatan.
c. faktor kesempatan memegang peranan dalam hal terjadinya tindak
pidana, sebab walaupun ada niat jika kesempatan tidak ada maka
tidak akan terjadi perbuatan ini .
Faktor-faktor penyebab anak melakukan tindak pidana yang
paling dominan yaitu pengaruh perkembangan IPTEKS dan faktor
kesempatan. Kebijakan kriminal terhadap anak yang melakukan tindak
pidana yaitu usaha untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
kejahatan, melalui :
a. usaha Penal, usaha melalui sarana penal yaitu sarana penegakan
hokum, berdasar UU No. 3 Tahun 1997 yang sangat berbeda
dengan perkara pidana orang dewasa sebab para pihak yang terlibat
harus memiliki perhatian terhadap masalah anak sudah cukup baik
dan efektif.
b. usaha Non Penal, meliputi peran lingkungan keluarga yaitu
memberikan pendidikan agama dan etika, pemanfaatan waktu luang
dan peran sekolah (pendidikan formal) serta peran lingkungan sosial
seperti kelompok edukatif, kelompok ulama, cendekiawan, penegak
hukum (pemerintah) serta peranan warga (LSM lainnya).
D. Sistem Pemidanaan
Dari pengertian yang luas tentang pidana dan pemidanaan, pola
pemidanaan yaitu suatu sistem sebab ruang lingkup pola
pemidanaan tidak hanya meliputi masalah yang berhubungan dengan
jenis sanksi, lamanya atau berat ringannya suatu sanksi tetapi juga
persoalan-persoalan yang berkaitan denga perumusan sanksi dalam
hukum pidana.
Jika diperhatikan ketentuan pasal 45 KUHP, dapat dikatakan
bahwa sistem pertanggungjawaban pidana yang dianut oleh KUHP
yaitu sistem pertanggungjawaban yang menyatakan bahwa semua
anak, asal jiwanya sehat, dianggap mampu bertanggungjawab dan dapat
dituntut. Andi Hamzah, 1994)
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ada dua
alternatif tindakan yang dapat diambil bila anak yang berumur
dibawah 8 tahun melakukan tindak pidana tertentu, yaitu pertama
diserahkan kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya, jika anak
ini masih dapat dibina. Kedua,diserahkan kepada Departemen
Sosial jika anak ini tidak dapat dibina oleh orang tua, wali atau
orang tua asuhnya.Namun dalam hal memperhatikan kepentingan anak,
hakim dapat menghendaki diserahkan kepada organisasi sosial
kewarga an, seperti pesantren, panti sosial dan lembaga sosial
lainnya dengan memperhatikan agama si anak yang bersangkutan.
Selama ini sistim pemidanaan yang diberlakukan terhadap anak
yang dibawah umur 18 tahun, yang melakukan tindak pidana ditentukan
sesuai dengan ketentuan KUHP, yaitu adanya lembaga kebijakan,
penindakan dan pemidanaan anak.
1. Lembaga Kebijakan
a. Dalam vonis diputuskan: “Anak terbukti bersalah dan
menyakinkan, namun anak itu tetap dikembalikan kepada
orangtua / wali pemeliharanya tanpa pidana apapun
b. Dalam hal ini sudah harus dipertimbangkan terlebih dahulu antara
lain:Bahwa orang tua / wali / pemeliharanya mampu dan mau
memperbaiki anak ini dan Anak ini lebih tepat “dididik
rumahnya” mengingat rumah penjara malahan dapat merusak
anak itu.
c. Pertimbangan untuk mengadakan lembaga kebijakan
1) Dididik agar mau / mampu bertanggung jawab. Bukan
pembalasan
2) Membebaskan anak dari lingkungan atau pengaruh jahat /
buruk
3) Membiasakan di tempat yang tertib dan susila
2. Lembaga Pendidikan Paksa
a. Dalam vonnis diputuskan: “Anak terbukti bersalah dan
menyakinkan, serta dalam rangka pengulangan (residive) dalam
arti untuk kejahatan / pelanggaran pertama yang belum lewat dua
tahun, anak itu sudah pernah divonnis dan memiliki kekuatan
yang tetap”
b. Namun untuk anak itu kini tanpa pidana apapun, melainkan
Memerintahkan diserahkan kepada pemerinta untuk didiik pakasa
c. Pendidikan paksa sesuai putusan hakim dilakukan dengan cara :
i) dimasukkan rumah pendidikan Negara untuk didik paksa
ii) diserahkan kepada suatu badan hokum tertentu yang
berdomisili di negara kita untuk didik paksa
iii) diserahkan kepada suatu badan hukum, yayasan atau lembaga
amal yang berdomisili di negara kita untuk didik paksa
iv) anak disebut sebagai anak Negara.
3. Pemidanaan Anak
a. Hukum Pidana Anak
i) Pidana mati diganti menjadi maksimum 15 tahun
ii) Pidana perampasan kemerdekaan atau denda dengan
pengurangan sepertiga dari maksimumnya
iii) Pidana pencabutan hak tertentu dan pengumuman putusan
hakim tidak diterapkan kepada anak belum dewasa
iv) Tempat dan cara pelaksanaan pidana diatur dalam peraturan
pelaksana
b. Hukuman Pidana Untuk Anak
Tidak ada diatur secara tegas, melainkan jenis pidana yang
berlaku bagi orang dewasa berlaku juga untuk anak, hanya
diperbedakan lamanya / jumlahnya dengan pengurangan
sepertiga. Sedang untuk pidana mati ditiadakan.
Bentuk dan jenis sanksi yang diberikan kepada anak dibawah
umur melalui ketentuan menurut aturan hokum di negara kita , dianggap
sangat merugikan dan merusak psikolog / kejiwaan dari anak ini ,
banyaknya kasuskasus kekerasan atau tindak pidana yang terjadi
diselesaikan secara hukum, tidak memberikan hasil seperti yang
diinginkan.
Harus diakui, hingga saat ini kebijakan tentang anak, khususnya
perlindungan bagi anak yang berada dalam sistem peradilan bukanlah
kebijakan yang popular ditengah sorotan warga , sehingga peran
serta BalaiPewarga an (Bapas) baik di dalam siding maupun diluar
sidang akan menjadi bahan pertimbangan hakim dalam memutuskan
perkara-perkara anak yang berhadapan dengan hukum.
E. Anak Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana
Hukum Pidana yaitu keseluruhan peraturan yang isinya
menunjukkan peristiwa pidana yang disertai dengan ancaman hukuman
pada penyelenggaranya.Adapun unsurunsur dalam hukum pidana yang
penting yaitu :
1) Unsur subjektif : orang/pelaku, dimana pelaku ini harus
memenuhi syarat :
a. Bertanggung Jawab
Dalam hukum pidana, ada orang yang hanya
“Bertanggung jawab sebagian” sebab penyakit yang dideritanya,
sehingga orang-orang ini hanya dapat bertanggung jawab
sebagian saja, misalnya :Kliptomani (yaitu seseorang yang
memiliki penyakit suka mencuri, dan ia tidak menyadari bahwa
perbuatan ini dilarang dalam undang-undang. Tindakan
kliptoman dilakukan sematamata sebab penyakitnya, ia tidak
dapat dipertanggungjawabkan atas pencurian yang dilakukan,
tetapi ia hanya dimintai pertanggungjawaban bila membunuh,
memperkosa atau tindakan lainnya).
b. Tidak Ada Alasan Pemaaf
Seseorang yang melakukan tindak pidana namun sebab
alasan tertentu, maka perbuatan ini dapat dimaafkan,
alasan-alasan ini antara lain :Gila, belum dewasa/belum
cukup umur, di bawah pengampuan.Perbuatan seseorang yang
memenuhi salah satu alas an ini , maka dapat dimaafkan.
bila anak melakukan tindak pidana sebab ketidak
cakapannya secara emosional tentu akan diperlakukan sama
bila melihat tindak pidana yang dilakukannya, namun
bila dalam konteks unsur tindak pidana pada alasan pemaaf,
maka harus dipertimbangkan model atau bentuk
bertanggungjawabnya anak atas tindak pidana yang telah
dilakukannya. Tindak pidana perlu dikenakan yaitu “tindakan
tata tertib “ yang dapat diberikan negara antara lain :
a. Tetap menjalani pidana dengan ketentuan pidananya yaitu
maksimal 1/3 pidana pokok yang diancamkan kepadanya.
b. Dimasukkan ke Lembaga Pewarga an Anak.
c. Dimasukan dalam panti sosial, panti rehabilitasi anak.
d. Dikembalikan kepada orang tua untuk dididik
2) Unsur Objektif
Perbuatan yang dilakukan oleh pelaku ini harus
memenuhi syarat-syarat tertentu yakni :
a. Memenuhi unsur-unsur dalam undangundang bahwa perbuatan
ini yaitu yang dilarang oleh undangundang.
b. Perbuatan ini yaitu perbuatan melawan hukum.
c. Tidak ada alasan pembenar, artinya walaupun suatu perbuatan
yang dilakukan oleh pelaku memenuhi unsur-unsur dalam
undang-undang dan perbuatan ini melawan hukum, namun
jika ada “alasan pembenar”, maka perbuatan ini bukan
perbuatan pidana. Adapun yang termasuk alasan pembenar yaitu
perintah undang-undang/jabatan, Overmacht, daya paksa/keadaan
darurat Suatu perbuatan pidana atau tindak pidana hanya
menunjuk pada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu
pidana. Orang yang melakukan tindak pidana dijatuhi pidana,
sebagaimana diancamkan tergantung pada adanya kesalahan,
sebab azas dalam pertanggungjawaban pidana ialah “Tidak
dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld;
Actus non facit reum nisi mens sir rea).
Seseorang dapat dipidana, terlebih dahulu harus ada dua syarat
yang menjadi satu keadaan, yaitu perbuatan yang melawan hukum
sebagai sebagai unsur perbuatan pidana dan perbuatan itu dapat
dipertanggungjawabkan sebagai unsur kesalahan.Kesalahan harus
disertai alat bukti dengan keyakinan hakim terhadap seorang tertuduh di
muka pengadilan. Moeljatno, menyatakan: bahwa orang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan
perbuatan pidana, tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana tidak
selalu dia dapat dipidana. Dalam konteks inilah, anak akan tetap
dipidana dengan model pemidanaan yang berbeda atas kesalahan yang
dilakukan.