pidana khusus 3




 nsur-unsur tindak pidana 

sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini. Terorisme yaitu 

perbuatan yang memakai  kekerasan atau ancaman kekerasan yang 

menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat 

menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan 

kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, 

lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan 

motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. 

Terorisme dalam sudut pandang Fiqh Jinayah termasuk ke 

dalam Jarimah Hirabah.Hirabah mengandung unsur perampokan, 

penteroran, pembegalan, serta istilah-istilah lainnya. Hirabah 

yaitu  tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau 

sekelompok orang kepada pihak lain untuk menguasai harta orang lain 

dengan cara menakut-nakuti dan kadang-kadang disertai dengan 

pembunuhan. Dalam hal ini, pelaku menakut-nakuti korban dengan 

gertakan, ancaman, kecaman, dan kekerasan.Dengan demikian untuk 

konteks saat ini, merakit bom dan meledakkannya termasuk Hirabah. 

Termasuk ke dalam unsur-unsur hirabah yaitu: 

1. Menimbulkan rasa takut di jalanan, tetapi tidak merampas harta dan 

tidak membunuh. 

2. Mengambil harta tetapi tidak membunuh korbannya. 

3. Membunuh korbannya tetapi tidak mengambil hartanya. 

                                                             

4. Merampas harta sekaligus membunuh korbannya.

 

B. Bentuk-Bentuk Terorisme 

Menurut Wilson, sebagaimana diikuti oleh Permadi, secara 

umum ada  tiga bentuk terorisme: 

1. Terorisme Revolusioner, yaitu pemakaian  kekerasan secara 

sistematis dengan tujuan akhir untuk mewujudkan perubahan radikal 

dalam tatanan politik.  

2. Terorisme Subrevolusioner, yaitu pemakaian  kekerasan teroristik 

untuk menimbulkan perubahan dalam kebijakan publik tanpa 

mengubah tatanan politik.  

3. Terorisme Represif, yaitu pemakaian  kekerasan teroristik untuk 

menekan atau membelenggu individu atau kelompok dari bentuk-

bentuk prilaku yang dianggap tidak berkenan oleh Negara. 

 

Dengan mengutip National Advisory Committe dalam the 

Report of the Task Force on Disorder and Terrorism, Muladi membagi 

terorisme ke dalam lima bentuk, yaitu: 

1. Terorisme Politik, yaitu tindakan kriminal yang dilakukan dengan 

kekerasan yang didesain terutama untuk menimbulkan ketakutan di 

lingkungan warga  dengan tujuan politis.  

2. Terorisme Non-Politik, yaitu terorisme yang dilakukan untuk tujuan 

keuntungan pribadi, termasuk aktivitas-aktivitas kejahatan 

terorganisasi.  

3. Quasi Terorisme, yaitu tindakan yang menggambarkan aktivitas 

yang bersifat insidental untuk melakukan kejahatan kekerasan yang 

bentuk dan caranya menyerupai terorisme, tetapi tidak memiliki  

unsur esensialnya.  

4. Terorisme Politik Terbatas, yaitu tindakan yang menunjuk kepada 

perbuatan terorisme yang dilakukan untuk tujuan atau motif politik, 

tetapi tidak yaitu  bagian dari suatu kampanye bersama untuk 

menguasai pengendalian negara.  

5. Terorisme Penjabat atau Negara, yaitu suatu tindakan terorisme yang 

terjadi di suatu bangsa yang tatanannya didasarkan atas 

penindasan.

Jika dilihat dari motif yang melatarbelakangi terjadinya 

terorisme atau tujuan yang hendak dicapai oleh pelaku, ada  tiga 

bentuk terorisme: 

1. Pertama, Political Terorism, yaitu suatu terorisme yang dilakukan 

oleh seseorang atau sekelompok orang secara sistematik, 

memakai  pola-pola kekerasan, intimidasi, dan ditujukan 

terutama untuk menumbuhkan ketakutan dalam suatu warga  

demi mencapai tujuan-tujuan yang bersifat politik.  

2. Kedua, Criminal Terrorism, yaitu terorisme yang diarahkan untuk 

tujuan-tujuan politik, tetapi dilakukan berdasar kepentingan suatu 

kelompok atau suatu komunitas tertentu dalam memperjuangkan 

tujuan kelompok atau organisasinya. Kelompok yang termasuk 

dalam pengertian ini yaitu kelompok yang bermotif ideologi, 

agama, aliran atau yang memiliki  paham-paham tertentu.  

3. Ketiga, state terrorism, yaitu kegiatan terorisme yang disponsori oleh 

negara atau dilakukan atas nama negara yang berupa aksi teror yang 

dilakukan oleh negara terhadap individu atau kelompok-kelompok 

warga  tertentu ataupun terhadap bangsa-bangsa atau negara-

negara tertentu

 

C. Karakteristik Terorisme 

Loudewijk F. Paulus mengemukakan bahwa terorisme memiliki 

empat karakteristik ditinjau dari empat macam 

pengelompokannya.Pertama, karakter organisasi yang meliputi 

Organisasi, rekrutmen, pendanaan, dan hubungan internasional.Kedua, 

karakteristik operasi yang meliputi perencanaan, waktu, taktik, dan 

kolusi.Ketiga, karakteristik prilaku yang meliputi motivasi, dedikasi, 

disiplin, keinginan membunuh dan keinginan menyerah hidup-hidup. 

Ketiga karakteristik sumber daya yang meliputi latihan/kemampuan 

pengalaman perorangan di bidang teknologi, persenjataan, 

perlengkapan dan transportasi.. 

Hasana Hasbi mengatakan bahwa karakteristik terorisme antara lain: 

1. Pengeksploitasian teror sebagai salah satu kelemahan manusia secara 

sistematik.  

2. pemakaian  unsur-unsur pendadakan/kejutan dalam perencanaan 

setiap aksi teror.  

                                                             

3. memiliki  tujuan-tujuan strategi untuk mencapai tujuan politik dan 

sasaran-sasaran spesifik pada umumnya. 

 

Menurut FX Adji Samekto yang mengutip pendapat James H. 

Wolfe, menyebutkan beberapa karakteristik terorisme, antara lain 

sebagai berikut : 

1. Terorisme dapat didasarkan pada motivasi yang bersifat politis 

maupun non politis  

2. Sasaran yang menjadi objek aksi terorisme bisa sasaran sipil 

(supermarket, mall, sekolah, tempat ibadah, rumah sakit dan fasilitas 

umum lainnya), maupun sasaran non sipil (tangsi militer, kamp 

militer)  

3. Aksi terorisme dapat ditujukan untuk mengintimidasi atau 

mempengaruhi kebijakan pemerintah negara  

4. Aksi terorisme dilakukan melalui tindakan yang tidak menghormati 

hukum internasional atau etika internasional. Serangan yang 

dilakukan dengan segaja untuk membinasakan penduduk sipil seperti 

yang terjadi pada Bom Bali beberapa waktu lalu yaitu pelanggaran 

hukum internasional  

5. Aktivitas teroris menciptakan perasaan tidak aman dan yaitu  

gangguan psikologis untuk warga   

6. Persiapan atau perencanaan aksi teror bisa bersifat multinasional. 

Maksudnya, pelaku terorisme dapat dilakukan oleh warga negara itu 

sendiri maupun oleh warga nagara asing atau gabungan dari keduanya  

7. Tujuan jangka pendek aksi terorisme yaitu menarik perhatian 

media massa dan perhatian publik.  

8. Aktivitas terorisme memiliki  nilai mengagetkan (shock value) 

yang bagi teroris bergguna untuk mendapatkan perhatian. Untuk 

itulah dampak aktivitas terorisme selalu terkesan kejam, sadis dan 

tanpa menghargai nilai-nilai kemanusiaan. 

 

Karakteristik juga dikemukakan oleh Paul Wilkinson. 

Menurutnya, pengertian terorisme yaitu aksi teror yang sistematis, rapi 

dan dilakukan oleh organisasi tertentu dan terorisme politis dengan 

karakteristik sebagai berikut: 

1. yaitu  intimidasi yang memaksa.  

2. memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai 

sarana untuk suatu tujuan tertentu.  


3. Korban bukan tujuan melainkan sarana untuk menciptakan perang 

urat syaraf, yakni “bunuh satu orang untuk menakuti seribu orang” 

4. Target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, tetapi tujuannya 

yaitu publisitas  

5. Pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan 

secara personal. 

 

Adapun dalam menggencarkan serangan-serangan teror ini, para 

teroris memiliki  beberapa motivasi yang melatarbelakangi tindakan 

ini , antara lain yaitu sebagai berikut : 

a. Dorongan atau motivasi dari keinginan serta pemikiran yang rasional 

(Rational Motivation). Motivasi yang rasional membuat para teroris 

berpikir mengenai tujuan dan tindakan yang mereka lakukan dapat 

menghasilkan keuntungan. Untuk menghindari resiko, teroris 

melemahkan kemampuan bertahan dari para korban/target sehingga 

teroris dapat melakukan serangan dengan lancar.  

b. Motivasi dari keadaan psikologis (Psychological Motivation). 

Motivasi ini berasal dari para teroris yang mengalami gangguan 

terhadap kejiwaan dalam kehidupan. Biasanya mereka membenarkan 

tindakan mereka sebagai bentuk dari amarah/emosi. Pada umumnya 

para teroris dengan tipe seperti ini mereka mengalami suatu kejadian 

yang tidak mengenakkan dalam kehidupan mereka sehingga mereka 

melampiaskannya dalam bentuk tindakan yang dapat menimbulkan 

rasa takut serta korban jiwa (balas dendam).  

c. Motivasi yang berasal dari kebudayaan (Cultural Motivation). Teroris 

dari tipe ini biasanya memiliki karakteristik kebudayaan yang keras 

serta mengarah ke terorisme. Pada kehidupan sosial dimana 

orangorang mengidentifikasikan diri mereka kedalam suatu klen, suku 

dan kebudayaan, dan ada  suatu pengharapan/keinginan utuk 

bertahan hidup di dalam lingkungan yang keras dan memaksa 

seseorang atau lebih untuk melakukan hal-hal di luar keinginan 

mereka, hal-hal ini  dapat menciptakan suatu image yang 

nantinya dapat menjadi karakter dari perbuatan mereka. 

 

D. Tipologi Terorisme 

Selain karakteristik dan motivasi terorisme, kita juga perlu 

mengetahui tipologi terorisme.Tipologi ini berfungsi untuk mengetahui 

penyebab, strategi dan tujuan yang hendak dicapai dalam aksi teroris 

ini . 

Menurut Paul Wilkinson ada beberapa macam tipologi 

terorisme, antara lain : 

a. Terorisme epifenomenal (teror dari bawah) dengan cir-ciri tak 

terencana rapi, terjadi dalam konteks perjuangan yang sengit;  

b. Terorisme revolusioner (teror dari bawah) yang bertujuan revolusi 

atau perubahan raddikal atas sistem yang ada dengan ciri-ciri selalu 

yaitu  fenomena kelompok, struktur kepemimpinan, program 

ideologi, konspirasi, elemen para militer;  

c. Terorisme subrevolusioner (teror dari bawah) yang bermotifkan 

politis, menekan pemerintah untuk mengubah kebiakan atau hukum, 

perang politis dengan kelompok rival, menyingkirkan pejabat 

tertentu yang memiliki  ciri-ciri dilakukan oleh kelompok kecil, 

bisa juga individu, sulit diprediksi, kadang sulit dibedakan apakah 

psikopatologis atau criminal;  

d. Terorisme represif (teror dari atas atau terorisme negara) yang 

bermotifkan menindas individu atau kelompok (oposisi) yang tidak 

dikehendaki oleh penindas (rezim otoriter atau totaliter) dengan cara 

likuidasi dengan ciri-ciri berkembang menjadi teror masa, ada 

aparatteror, polisi rahasia, teknik penganiayaan, penyebaran rasa 

kecurigaan di kalangan rakyat, wahana untuk paranoid pemimpin. 

 

Selanjutnya dikutip dari National Advisory Committee dalam 

the Report of the Tasks Force on Disordernand Terrorism 

menggolongkan tipologi terorisme menjadi lima macam. Tipologi 

ini  antara lain : 

a. Terorisme politik, yaitu tindakan kriminal yang dilakukan dengan 

kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam warga  dengan 

tujuan politik.  

b. Terorisme non-politik, yaitu terorisme yang dilakukan untuk 

kepentingan pribadi termasuk aktivitas kejahatan terorganisasi.  

c. Quasi terorisme yaitu gambaran aktivitas yang bersifat isidental 

untuk melakukan kekerasan yang menyerupai terorisme, tapi tidak 

mengandung unsur esensialnya.  

d. Terorisme politik terbatas menunjuk pada perbuatan terorisme yang 

dilakukan untuk tujuan politis tetapi tidak untuk menguasai 

pengendalian negara.  

72  

e. Terorisme pejabat atau negara (official or state terrorism) yaitu 

terorisme yang terjadi di suatu bangsa yang tatanannya didasarkan 

atas penindasan. 

 

berdasar macam-macam tipologi terorisme ini  dapat 

membantu menganalisa cara-cara yang umum dipakai dalam 

tindakan terorisme, diantaranya yaitu pengeboman/teror bom, 

pembajakan, serangan militer dan pembunuhan, perampokan, 

penculikan dan penyanderaan, dan dengan cara serangan bersenjata.  

Motif dari tindak pidana terorisme ini  bersifat kompleks, sebab 

tidak hanya dari faktor psikologis, namun juga faktor politik, agama, 

sosiologis, sosial budaya dan faktor lain yang bersumber daripada 

tujuan yang ingin dicapai. 

 

E. Pengaturan Sanksi Tindak Pidana Terorisme di dalam UU No. 

15 Tahun 2003 

Dalam hal usaha  mencegah terjadinya serangan terorisme dalam 

berbagai tragedi yang terjadi akhir-akhir ini, pemerintah mengeluarkan 

Peraturan No. 1 Tahun 2002 yang kemudian diundangkan menjadi UU 

No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 

(UUPTPT). 

Terorisme yang bersifat internasional yaitu  kejahatan yang 

terorganisasi, sehingga pemerintah negara kita  meningkatkan 

kewaspadaan dalam memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik 

negara kita . 

Pemerintah negara kita  menyadari terhadap bahaya aksi terorisme 

yang telah menjadi isu internasional dan negara lain seperti Australia 

dan Amerika Serikat begitu fokus dalam usaha  memerangi terorisme. 

oleh sebab itu perlunya akan pemahaman mengenai terorisme menurut 

UUPTPT. 

Sanksi hukum mengandung inti berupa suatu ancaman pidana 

(strafbedreiging) kepada mereka yang melakukan pelanggaran 

peraturan/norma.Sanksi memiliki  tugas agar peraturan yang sudah 

ditetapkan itu ditaati dan dilaksanakan.Dan sanksi yaitu  alat 

pemaksa agar seseorang menaati peraturanperaturan yang berlaku.

Adapun sanksi terhadap pelanggar aturan hukum pidana ialah pelanggar 

akan mendapatkan hukuman pidana sesuai dengan yang tercantum 

dalam pasal 10 KUHP, yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana 

kurungan, pidana denda, dan pidana tambahan. 

Dalam hal ini, sanksi hukum tindak pidana terorisme disebutkan 

dalam beberapa pasal di dalam Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 

tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, antara lain : 

Pasal 6  

Setiap orang yang dengan sengaja memakai  kekerasan atau 

ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut 

terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang 

bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya 

nyawa dan harta benda orang lain, atau memicu  kerusakan 

atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau 

lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, 

dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana 

penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua 

puluh) tahun.  

 

Pasal 8  

Dipidana sebab melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana 

yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang: 

a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak 

bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan 

usaha untuk pengamanan bangunan ini ;  

b. memicu  hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya 

bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya 

usaha untuk pengamanan bangunan ini ;  

c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, 

mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan 

penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat 

ini , atau memasang tanda atau alat yang keliru;  

d. sebab kealpaannya memicu  tanda atau alat untuk 

pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah 

                                                             

atau memicu  terpasangnya tanda atau alat untuk 

pengamanan penerbangan yang keliru;  

e. dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau 

membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya 

atau sebagian kepunyaan orang lain;  

f. dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, 

menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak 

pesawat udara;  

g. sebab kealpaannya memicu  pesawat udara celaka, hancur, 

tidak dapat dipakai, atau rusak;  

h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain 

dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan 

kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau 

membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang 

dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan 

muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan 

muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan ini  telah 

diterima uang tanggungan; 

i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, 

merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai 

pesawat udara dalam penerbangan;  

j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan 

atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau 

mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian 

pesawat udara dalam penerbangan;  

k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, 

dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, memicu  

luka berat seseorang, memicu  kerusakan pada pesawat 

udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan 

dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan 

merampas kemerdekaan seseorang;  

l. dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan 

kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam 

penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan 

keselamatan pesawat udara ini ;  

m. dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara 

dalam dinas atau memicu  kerusakan atas pesawat udara 

ini  yang memicu  tidak dapat terbang atau 

membahayakan keamanan penerbangan;  

n. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau 

memicu  ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam 

dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat 

menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat 

terbang atau memicu  kerusakan pesawat udara ini  yang 

dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan;  

o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai 

kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan 

direncanakan lebih dahulu, dan memicu  luka berat bagi 

seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, 

huruf m, dan huruf n;  

p. memberikan keterangan yang diketahuinya yaitu palsu dan 

sebab perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara 

dalam penerbangan;  

q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat 

membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam 

penerbangan;  

r. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang 

dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat 

udara dalam penerbangan. 

 

Pasal 9  

Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke negara kita , 

membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau 

mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, memiliki  persediaan 

padanya atau memiliki  dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, 

menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau 

dari negara kita  sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak 

dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk 

melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau 

penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun 

dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. 

 

Pasal 14  

Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain 

untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud 

dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 

12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. 

 

Pasal 15  

Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau 

pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, 

dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku 

tindak pidananya.  

 

Pasal 16  

Setiap orang di luar wilayah negara Republik negara kita  yang 

memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk 

terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang 

sama sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam 

Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.  

 

Pasal 19  

Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, 

Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan 

mengenai penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku 

tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) 

tahun. 

 

A. Pengertian Tindak Pidana Narkotika 

Tindak Pidana Narkotika dapat diartikan suatu perbuatan yang 

melanggar ketentuan sebagaimana diatur Pasal 111 sampai dengan 

Pasal 148 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal ini  dapat 

diketahui dari pendapat Supramono bahwa bila  narkotika hanya 

untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka perbuatan 

diluar kepentingan-kepentingan ini  yaitu  kejahatan (tindak 

pidana).45 

Tindak pidana Narkotika diatur dalam Undang-Undang No. 35 

Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Narkotika sebagaimana 

diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Narkotika yaitu sebagai berikut: “zat 

atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis 

maupun semisintetis, yang dapat memicu  penurunan atau 

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai 

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, 

yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir 

dalam Undang-Undang ini.” 

Tindak pidana narkotika dapat dirumuskan sebagai crime 

without victim, dimana para pelaku juga berperan sebagai 

korban.Menurut Hj. Tutty Alawiyah A.S dalam Moh.Taufik Makarao 

dkk menyebut, tindak pidana atau kejahatan narkotika yaitu 

yaitu  salah satu bentuk kejahatan yang dikenal sebagai kejahatan 

tanpa korban (VictimlessCrime).Selain narkotika, yang termasuk 

kejahatan tanpa korban yaitu perjudian, minuman keras, pornograpi, 

dan prostitusi.

Kejahatan tanpa korban biasanya bercirikan hubungan antara 

pelaku dan korban yang tidak kelihatan akibatnya.Tidak ada sasaran 

korban, sebab semua pihak yaitu terlibat dan termasuk dalam 

kejahatan ini .Ia menjadi pelaku dan korban sekaligus. Namun 

demikian, jika di kaji secara mendalam istilah kejahatan tanpa korban 

(Victimless Crime) ini sebetulnya tidak tepat, sebab semua perbuatan 

yang masuk ruang lingkup kejahatan pasti memiliki  korban atau 

dampak baik langsung maupun tidak langsung, atau dalam bahasa 

agamanya perubahan – perubahan yang dilakukan ini lebih banyak 

mudharatnya dari pada manfaatnya. Oleh sebab itu kejahatan ini lebih 

tepat disebut sebagai kejahatan yang disepakati (Concensual Crimes). 

Kejahatan tanpa korban ini yaitu kejahatan yang grafiknya 

meningkat sebab terlibatnya lembaga dan kelompok tertentu, misalnya 

polisi, jaksa, pengadilan, bea cukai, imigrasi, lembaga, professional, 

dan lain sebagainya. Di Amerika Serikat, maupun di Negara – Negara 

lain seperti misalnya : Cina, Belanda yaitu  suatu konsekuensi 

yang sangat serius terhadap hukum berkaitan dengan kejahatan tanpa 

korban yaitu bahwa kejahatan ini berkembang menjadi sebuah 

jaringan operasi yang disebut sebagai kejahatan terorganisir (organize 

crime). Kejahatan terorganisasi seperti ini yaitu yaitu  kejahatan 

yang berkaitan dengan kepentingan ekonomi.Dia eksis dan berkembang 

sebab memberikan barang dan pelayanan kepada orang yang terlibat 

secara melawan hukum. 

 

1. Pengertian Narkotika  

berdasar ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 35 Tahun 2009 

tentang Narkotika, narkotika didefinisikan: “zat atau obat yang berasal 

dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, 

yang dapat memicu  penurunan atau perubahan kesadaran, 

hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangnya rasa nyeri, dan 

dapat menimbulkan ketergantungan”.Golongan-golongan narkotika 

secara lengkap dapat dilihat dalam lampiran UU No. 35 Tahun 2009 ini. 

Menurut Mardani, narkotika adalah: “obat atau zat yang dapat 

menenangkan syarat, memicu  ketidaksadaran atau pembiusan, 

menghilangkan rasa sakit dan nyeri, menimbulkan rasa mengantuk atau 

merangsang, dapat menimbulkan efek stupor, serta dapat menimbulkan 


adiksi atau kecanduan dan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan 

sebagai narkotika”. 

Faktor terjadinya penyalagunaan narkotika menurut Sumarno 

Ma’sum, dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian yaitu: 

1) Dapat diperoleh dengan mudah, status hukumnya lemah, mudah 

menimbulkan ketergantungan dan adiksi 

2) Faktor kepribadian, antara lain: pendidikan agama mini, 

informasi yang kurang tentang obat keras berikut 

penyalahgunaannya, perkembangan yang labil (baik fisik 

maupun mental), gagal mewujudkan keinginan, bermasalah 

dalam cinta, prestasi, jabatan dan lainnya, kurang percaya diri 

dan menutup diri dari kenyataan, ingin tahu dan bertualang 

mencari identitas diri; 

3) Faktor lingkungan, antara lain kondisi rumah tangga dan warga  

yang kacau, tanggungjawab orang tua kurang, pengangguran, serta 

sanksi hukum yang lemah. 

 

Dadang Hawari menggolongkan penyalahguna narkotika 

menjadi tiga yaitu: 

1) Penyalahguna narkotika dengan ketergantungan primer, golongan ini 

gejala-gejalanya: adanya kecemasan dan depresi. Hal ini terjadi pada 

orang yang kepribadiannya tidak stabil;  

2) Penyalahguna narkotika dengan ketergantungan simtomatis. 

Biasanya pemakai memakai  narkotika untuk kesenangan 

semata. Hal ini terjadi pada orang dengan kepribadian psikopatik 

(anti sosial) dan kriminal;  

3) Penyalahguna narkotika dengan ketergantungan reaktif. Hal ini  

terjadi disebabkan rasa keingintahuan, pengaruh lngkungan, dan 

pengaruh teman sebaya (peer group presure). Penyalahguna 

narkotika golongan ini biasa yaitu remaja. 

 

Penentuan tiga golongan ini  di atas penting dalam 

menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan atau dapat 

                                                            

juga untuk menentukan pengguna penyalahguna ini  yaitu  

penderita (pasien), sebagai korban (victim), atau pelaku criminal.

 

2. Golongan Narkotika  

Berdasar UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, jenis-jenis 

dari Narkotika dgolongkan sebagai berikut: 

1. Narkotika golongan I:  

Golongan ini: “hanya dapat dipakai untuk tujuan pengembangan 

ilmu pengetahuan dan tidak dipakai dalam terapi, serta 

memiliki  potensi sangat tinggi memicu  ketergantungan, 

antara lain: tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-

bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya; opium 

mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah 

tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan 

sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan 

kadar morfinnya; tanaman koka, tanaman dari semua genus 

Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan 

bijinya”. 

2. Narkotika golongan II:  

Golongan ini: “dapat dipakai dalam pengobatan, namun berpotensi 

adiksi tinggi. Pemakaian untuk pengobatan sebagai pilihan terakhir. 

Antara lain seperti: Alfasetilmetadol dan Alfameprodina”. 

3. Narkotika golongan III:  

Golongan ini: “berkhasiat obat dan potensi ketergantungannya 

rendah. Golongan ini antara lain seperti: Asetildihidrokodeinadan 

Dekstropropoksifena:α-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-2-

butanol propionat”. 

 

B. Subyek Tindak Pidana Narkotika 

Selain dari segi perbuatan, penjatuhan pidana juga harus dilihat 

dari segi orang yang melakukan perbuatan ini .Subyek dari suatu 

tindak pidananya pada dasarnya yaitu manusia, namun tidak menutup 

kemungkinan subyek ini  yaitu perkumpulan atau korporasi, jika 

hal ini  secara khusus diatur dalam undang-undang tertentu. 

 

                                                             

a. Korporasi  

Korporasi menurut Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 35 

Tahun 2009 tentang Narkotika adalah: “kumpulan terorganisasi dari 

orang dan/atau kekayaan, baik yaitu  badan hukum maupun 

bukan badan hukum”. 

b. Perorangan  

“Perbuatan pidana disebut juga dengan tindak pidana atau delik, 

perbuatan ini dilakukan oleh orang maupun oleh badan hukum 

sebagai subyek-subyek hukum dalam hukum pidana”. Sebagaimana 

dikatakan Wirjono  

Prodjodikoro pengertian tindak pidana, “Tindak pidana 

berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman 

pidana dan pelaku ini dapat dikatakan yaitu  subyek tindak 

pidana”. Selanjutnya dikatakan: “Syarat untuk menjatuhkan pidana 

terhadap tindakan seseorang, harus memenuhi unsur-unsur yang 

ada  dalam rumusan tindak pidana di dalam Undang-undang”.

Berdasar uraian ini  seseorang sebagai subyek tindak pidana 

bila  mencocoki ketentuan sebagaimana ada  dalam 

peraturannya  

c. Korban Penyalahguna 

Penyalah guna narkotika yaitu mereka yang mengkonsumsi 

narkotika atau pecandu narkotika tanpa sepengetahuan atau 

pengawasan dokter dan melawan hukum sampai memicu  

ketergantungan. Menurut pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 

35 tahun 2009 tentang Narkotika, Penyalah Guna adalah: “orang 

yang memakai  Narkotika tanpa hak atau melawan hukum”. 

d. Pecandu 

Pecandu narkotika dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang 

Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika adalah: “orang yang 

memakai  atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan 

ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis” 

e. Pengeda 

“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum 

membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika 

Golongan I”, sebagaimana diatur dalam Pasal 115. 

                                                             

C. Kategorisasi 

Pelaku Tindak Pidana Narkotika dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 

a. Sebagai Pengguna  

“Dikenakan ketentuan pidana berdasar Pasal 127 Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dimana pengguna 

wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, meskipun 

ada  pula ancaman pidana penjara”. 

b. Sebagai Pengedar  

“Dikenakan ketentuan pidana berdasar Pasal 114 Undang-undang 

No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan ancaman pidana 

penjara minimal 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) 

tahun/seumur hidup/mati + denda”. 

c. Sebagai Produsen  

“Dikenakan ketentuan pidana berdasar Pasal 113 Undang-undang 

No. 35 Tahun 2009, dengan ancaman pidana penjara minimal 5 

(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun/seumur 

hidup/mati + denda”. 

 

Mengenai pengertian tindak pidana narkotika, UndangUndang 

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak memberikan definisi 

secara khusus mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana 

narkotika itu sendiri, namun hanya merumuskan perbuatan-perbuatan 

yang dianggap sebagai tindak pidana narkotika. Maka secara singkat 

dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana narkotika 

yaitu suatu perbuatan yang melanggar ketentuanketentuan hukum 

narkotika, dalam hal ini yaitu UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 

Tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dalam 

ketentuan Undang-Undang ini  

 

D. Delik Formil dan Delik Materi Tindak Pidana Narkotika  

bila  di cermati kategori tindak pidana atau peristiwa pidana 

maka dalam hukum pidana di kenal beberapa kategorisasi tindak pidana 

atau peristiwa pidana. 

 

1. Menurut Doctrine 

a. Dolus dan Culpa Dolus berarti sengaja, delik dolus yaitu perbuatan 

sengaja yang dilarang dan diancam dengan pidana, contoh : pasal 

336 KUHP. Culpa berarti alpa. “Culpose Delicten” artinya perbuatan 

yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan 

tidak sengaja hanya sebab kealpaan (ketidak hati – hatian) saja, 

contoh : pasal 359 KUHP. Tindak pidana narkotika sebagaimana 

yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 

tentang Narkotika dirumuskan adanya kesengajaan yang 

mensyarakatkan adanya tindak pidana. 

b. Commissionis, Ommissionis dan Commissionis per Ommissionem. 

Commissionis delik yang terjadi sebab seseorang melangar 

larangan, yang dapat meliputi baik delik formal maupun delik 

material.Contoh : pasal 362 KUHP : Pasal 338 KUHP. Ommissions 

delik yang terjadi sebab seseorang melalaikan suruhan (tidak 

berbuat) biasanya delik formal. Contoh : pasal 164 KUHP, pasal 165 

KUHP. Commissionis per Ommissionem delik yang pada umumnya 

dilaksanakan denganperbuatan, tetapi mungkin terjadi pula bila 

orang tidak berbuat (berbuat tapi yang tampak tidak berbuat). 

Contoh : Pasal 304 yakni dengan sengaja memicu  atau 

membiarkan orang dalam kesengsaraan sedang ia wajib member 

kehidupan, perawatan atau pemelihaaan kepada orang itu. 

c. Material dan Formal. Kategorisasi ini didasarkan pada perumusan 

peristiwa pidana yakni delik material dan delik formal.Delik material 

yaitu delik yang perumusannya menitik beratkan pada akibat yang 

dilarang dan dianacam dengan pidana oleh Undang – Undang. 

Contoh : Pasal 338 KUNP, tentang pembunuhan dan Pasal 351 

KUHP, tentang penganiayaan. Delik formal yaitu delik yang 

perumusannya menitik beratkan pada perbuatan yang dilarang dan 

diancam dengan pidana oleh Undang – Undang. Contoh : pasal 362 

KUHP, tentang pencurian. Dalam praktek kadang – kadang sukar 

untuk dapat menentukan sesuatu delik itu bersifat material atau 

formal, seperti pasal 378 KUHP tentang penipuan. Tindak pidana 

narkotika sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang 

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirumuskan dalam delik 

formal yang merumuskan secara rinci mengenai perbuatan pidana 

yang dilakukan. 

d. Without Victim dan With Victim - Without Victim yaitu delik yang 

dilakukan dengan tidak ada korban - With Victimyaitu : delik yang 

dilakukan dengan ada korbannya beberapa atau seseorang tertentu. 


2. Menurut KUHP 

KUHP yang berlaku di negara kita  sebelum tahun 1918 

mengkategorikan tiga jenis peristiwa pidana yaitu : 

a. Kejahatan (Crimes)  

b. Perbuatan buruk (Delict)  

c. Pelanggaran (Contraventions). 

 

Menurut KUHP yang berlaku sekarang, tindak pidana itu ada 

dalam dua (2) jenis saja yaitu “ Misdrif” (kejahatan) dan “Overtreding” 

(pelanggaran). KUHP tidak memberikan ketentuan / syarat – syarat 

untuk membedakan kejahatan dan pelanggaran.KUHP hanya mnetukan 

semua ketentuan yang dimuat dalam buku II yaitu kejahatan, sedang 

semua yang ada  dalam buku III yaitu pelanggaran.Kedua jenis 

tindak pidana ini  bukan perbedaan gradual saja.Kejahatan pada 

umumnya diancam dengan hukuman yang lebih berat dari pada 

pelanggaran. Menurut M.V.T pembagian tindak pidana atas “kejahatan” 

dan “Pelanggaran” ini  didasarkan atas perbedaan prinsipil, yaitu: 

kejahatan yaitu “Rechsdelicten” yaitu “perbuatan – perbuatan yang 

mskipun tidak ditentukan dalam Undang – undang, sebagai perbuatan 

pidana telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang 

bertentangan dengan tata hukum. Sebaliknya pelanggaran yaitu 

“Wetsdelicten” yaitu “Perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukum 

baru dapat di ketahui setelah ada wet yang menentukan demikian. 

Pendapat M.V.T ini  di atas, identik dengan pendapat S.B 

Simandjuntak, yang mengatakan perbedaan antara pelanggaran dan 

kejahatan yaitu  perbedaan antara delik Undang – undang dan 

delik hukum.Kejahatan yaitu  delik hukum sedang pelanggaran 

yaitu  delik Undang – undang. Suatu perbuatan akan yaitu  

delik hukum (Rechtsdelict) bila  perbuatan itu dianggap bertentangan 

dengan hati nurani setiap manusia dan asas – asas hukum pada 

umumnya. Sedang perbuatan akan yaitu  delik Undang – undang 

(Wetsdelict), bila Undang – Undang dengan tegas melarangnya 

walaupun belum tentu perbuatan itu dianggap bertentangan dengan hati 

nurani setiap manusia dan asas – asas hukum pada umumnya, juga 

belum tentu perbuatan itu yaitu  perbuatan yang tidak baik. 

Perbuatan itu dilarang dengan tujuan untuk menjaga keterlibatan umum. 

Dengan kata lain, kejahatan adalah: perbuatan sebab sifatnya 

bertentangan dengan ketertiban hukum, sedang pelanggaran yaitu 

perbuatan yang oleh Undang – undang dicap sebagai suatu perbuatan 

yang bertentangan dengan ketertiban hukum. 

Selain itu ada  beberapa ketentuan yang termuat dalam buku 

I KUHP yang membedakan antara kejahatan dan pelanggaran seperti : 

a. Percobaan (poging) atau membantu (medeplictig heid) untuk 

pelanggaran tindak pidana pasal 54 pasal 60 KUHP.  

b. Daluarsa (Verjaring) bagi kejahatan lebih lama dari pada 

pelanggaran pasal 78,84 KUHP.  

c. Pengaduan (Klacht) hanya ada terhadap beberapa kejahatan dan 

tidak ada pada pelanggaran.  

d. Peraturan pada berbarengan (samenloop) yaitu berlainan untuk 

kejahatan dan pelanggaran. 

 

Tindak pidana narkotika sebagaimana yang tercantum dalam 

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu  

suatu kejahatan.Hal ini dapat dilihat pada penggolongan kejahatan 

berdasar karakteristik pelaku kejahatan sebagai kejahatan 

terorganisasi. Kejahatan Terorganisasi menurut Pasal 1 angka 20 

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu 

kejahatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur yang 

terdiri atas 3 (tiga) orang atau lebih yang telah ada untuk suatu waktu 

tertentu dan bertindak bersama dengan tujuan melakukan suatu tindak 

pidana Narkotika. 

 

E. Sanksi terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika 

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 

Sebelum membahas sanksi terhadap tindak pidana penyalahgunaan 

narkotika maka terlebih dahulu dibahas jenis naarkotika dan cara 

mengkonsumsinya, hal ini  yang mengacu pemerintah mengatur 

perbuatan- perbuatan penyalahgunaan narkotika yang tertuang dalam 

UndangUndang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. 

Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang 

Narkotika, ada  4 (empat) kategori tindakan melawan hukum yang 

dilarang oleh undang-undang dan dapat diancam dengan sanksi pidana, 

yakni : 

                                                             

1. Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki, 

menyimpan, menguasai, atau meneyediakan narkotika dan prekusor 

narkotika. 

2. Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memproduksi, 

mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan prekusor 

narkotika. 

3. Ketegori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan 

untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam 

jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dan 

prekusornarkotika. 

4. Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa, 

mengirim, mengangkut, atau mentransit nerkotika dan prekusor 

narkotika. Selain dalam kategori penyalahgunaan narkotika ada 

beberapaunsur-unsur dan golongan narkotika yang diatur dalam 

Undang-Undang Nomor 35 tahun2009, hal ini dimaksudkan untuk 

menentukan sanksi dari perbuatan penyalahgunaan 

narkotikaini . 

 

Unsur-unsur tindak pidana narkotika dalam Undang-Undang 

Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, terdiridari: 

1. Unsur setiap orang  

Adanya subyek hukum, yang dapat dijadikan subyek hukum 

hanyalah orang. 

2. Unsur tanpa hak atau melawan hukum  

Adanya perbuatan yang dilarang, perbuatan yang dilakukan 

sesuai dengan rumusan delik. Bersifat melawan hukum yaitu;  

a. Melawan hukum formal artinya bila  perbuatan yang dilakukan 

sebelumnya telah diatur dalamundang-undang.  

b. Melawan hukum material artinya bila  perbuatan yang 

dilakukan melanggar aturan atau nilai-nilai yang hidup dalam 

warga  harus adanya kesalahan, kesalahan yang dimaksud 

yaitu pencelaan dari warga  bila  melakukan hal ini  

sehingga adanya hubungan batin antara pelaku dengan kejadian 

yang nantinya akan menimbulkan suatu akibat. Kesalahan itu 

sendiri dapat dibagi 2 yaitu kesengajaan/dolus dankealpaan 

3. Unsur memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan  

Sesuai dengan ketentuan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang 

Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa ; 

“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, 

menyimpan, menguasai, atau  

4. Unsur narkotika golongan I berbentuk tanaman, golongan I bukan 

tanaman, golongan II dan golonganIII.  

Penggolongan narkotika sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 

ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 untuk pertama kali 

ditetapkan 64 sebagaimana tercantum dalam lampiran I dan 

yaitu  bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini 

menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman. 

 

Adapun sanksi terhadap pelaku kejahatan narkotika telah diatur 

dalam undang-undang nomor 35 tahun 2009, sehingga dalam setiap 

perbuatan melanggar hukum pasti ada balasan hukum yang setimpal 

dan dapat memberikan efek jera bagi pelakunya. 

Dalam hukum positif di negara kita , ancaman hukuman terhadap 

pelaku tindak pidana ada  dalam kitab Undang-Undang Hukum 

Pidana (KUHP).KUHP menetapkan jenis-jenis tindak pidana atau 

hukuman yang termasuk di dalam Pasal 10 KUHP, yang terbagi dalam 

dua bagian yaitu hukuman pokok dan hukum tambahan.52 

Pada pecandu narkotika, hakekatnya mereka lebih tepat 

dikategorikan sebagai korban pergaulan secara bebas, Pskiater (ahli 

kejiwaan) menganggap bahwa tidak tepat bila  pecandu narkotika 

diberikan sanksi pidana yang berupa penjatuhan pidana penjara, sebab 

bila  memang itu yang diterapkan, maka yang terjadi yaitu pecandu 

narkotika dapat mengalami depresi beraty ang berpotensi tinggi 

mengganggu mental sebab tidak mendapatkan bantuan dalam bentuk 

perawatan oleh pihak ahli dalam bidang psikologis (Rehabiilitasi).53 

Berikut akan dijelaskan menganai perumusan sanksi pidana dan 

jenis pidana penjara dan jenis pidana denda terhadap perbuatan-

perbuatan tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, 

yaitu : 

1. Perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan penggolongan 

narkotika (golongan I, II dan III) meliputi 4 (empat) kategori,yakni: 

a. Berupa memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan 

narkotika dan prekusornarkotika.  

                                                             

b. Memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan 

narkotika dan prekusornarkotika 

c. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, 

menjadi perantara dalam jual-beli, menukar atau menyerahkan 

narkotika dan prekusornarkotika  

d. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika 

dan prekusornarkotika.  

Sanksi yang dikenakan minimal 2 tahun dan paling 

maksimal 20 tahun penjara, pengenaan pidana denda diberlakukan 

kepada semua golongan narkotika, dengan denda minimal Rp 

400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dan paling maksimal Rp 

8.000.000.000 (delapan miliar rupiah), untuk jenis-jenis 

pelanggaran terhadap narkotika dengan unsur-unsur pemberatan 

maka penerapan denda maksimum dari tiap- tiap pasal 

yangdilanggar ditambah dengan 1/3 (satu pertiga) Penerapan 

pidana penjara dan pidana denda menurut undang-undang ini 

bersifat kumulatif, yakni pidana penjara dan pidana denda. 

2. Ancaman sanksi pidana bagi orang yang tidak melaporkan adanya 

tindak pidana narkotika (Pasal 131) sanksi yang dikenakan pidana 

penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana dendan paling 

banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), yang tidak 

melaporkan terjadinya perbuatan melawan hukum, yang meliputi: 

a. Memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakannarkotika. 

b. Menawarkan untuk dijual, membeli, menerima, menjadi 

perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan.  

c. Mengunakan, memberikan untuk dipakai oranglain. 

3. Ancaman sanksi pidana bagi menyuruh, memberi, membujuk, 

memaksa dengan kekerasan, tipu muslihat, membujuk anak diatur 

dalam ketentuan Pasal 133 ayat (1) dan(2). 

4. Ancaman sanksi pidana bagi pecandu narkotika yang tidak 

melaporkan diri atau keluarganya kepada instalasi rehabilitasi 

medis dan rehabilitasi sosial (Pasal 134 ayat 1) sanksi yang 

dikenakan dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan 

pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua 

miliarrupiah). Demikian pula keluarga dari pecandu narkotika 

dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika (Pasal 134 

ayat 2) sanksi yang dikenakan dengan pidana kurungan paling lama 


3 (tiga) bulan dan pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000,- 

(satu juta rupiah). 

5. Ancaman sanksi pidana bagi hasil-hasil tindak pidana narkotika 

dan/atau Prekusor Narkotika, yang ada  dugaan kejahatan 

money loundering sanksi yang dijatuhkan pidana penjara 5-15 

Tahun atau 3-10 tahun, dan pidana denda antara Rp. 

1000.000.000,- (satu miliar rupiah) sampai Rp.10.000.000,- 

(sepuluh miliar rupiah) atau Rp. 500.000,- (lima ratus juta rupiah 

atau Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah), yang ada  dalam 

pasal 137 ayat (1) dan (2). Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 

25 tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah 

disusun secara limitatif tentang perbuatan tindak pidana yang ada 

kaitannya dengan perbuatan pencucian uang, antara lain : tindak 

pidana korupsi, tindak pidaa narkotika, tindak pidana psikotropika, 

dansebagainya. 

6. Ancaman sanksi pidana bagi orang yang menghalangi atau 

mempersulit penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara 

terhadap tindakpidana narkotika (Pasal 138) sanksi yangdikenakan 

penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling 

banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Pada umumnya 

para saksi dan korban takut memberikan kesaksian sebab adanya 

ancaman atau intimidasi tertentu, sehingga perbuatan ini dapat 

dikatagorikan sebagai perbuatan yang mengahalangi dan 

menghasut, sert mempersulit jalannya penyidikan, penuntutan, dan 

pemeriksaan di depanpersidangan. 

7. Ancaman sanksi pidana bagi nahkoda atau kapten penerbang, 

mengangkut narkotika dan pengangkutan udara (Pasal 139)sanksi 

yang dikenakan ancaman pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan 

paling lama 10 (sepuluh) tahun, serta pidana denda paling sedikit 

Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyakRp. 

1.000.000.000,- (satu miliarrupiah). Ketentuan Undang-Undang ini 

bertujuan untuk kepentingan pengawasan dan pengendalian serta 

kepentingan pelaporan pengangkutan narkotika antara negara 

pengimpor/pengekspor narkotika kepada negara tujuan. Disamping 

itu, ketentuan ini untuk mencegah terajadinya kebocoran dalam 

pengangkutan narkotika yang mudah disalahgunakan oleh para 

pihak pengangkut narkotika dan prekusor narkotika. 

8. Ancaman sanksi pidana bagi PPNS, Penyidik Polri, Penyidik, BNN 

yang tidak melaksanakan ketentuan tentang barang bukti (Pasal 140 

ayat 1), di mana bagi PPNS untuk melaksanakan ketentuan Pasal 

88 dan Pasal 89, yang diancam dengan pidana penjara paling 

singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. 

Kewajiban PNS menurut Pasal 88 dan Pasal 89 yang melakukan 

penyitaan terhadap narkotika dan prekusor Narkotika wajib 

membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan barang sitaan 

ini  beserta berita acaranya kepada Penyidik BNN atau 

Penyidik Polri, dengan tembusan Kepala Kejaksaan Negeri 

setempat, Ketua Pengadilan Negeri setempat, Menteri dan Kepala 

Badan Pengawas Obat dan Makanan pada Pasal 140 ayat (2) 

Penyidik Polri atau Penyidik BNN yang melakukan penyitaan dan 

prekusor narkotika wajib melakukan penyegelandan membuat 

berita acara penyitaan, dan wajib memberitahukan penyitaan yang 

dilakukannya kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dalam 

waktu paling lama 3x24 jam sejak dilakukan penyitaan dan 

tebusannya disampaikan kepada Kepala Kejaksaan negeri 

setempat, Ketua Pengadilan Negeri setempat, Menteri dan Kepala 

Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan penyidik Polri atau 

Penyidik BNN bertanggung jawab atas penyimpanan dan 

pengamanan barang sitaan yang berada dibawah penguasaanya. 

9. Ancaman sanksi pidana bagi petugas laboratorium yang 

memalsukan hasil Pengujian (Pasal 142), dimana petugas tidak 

melaporkan hasil pengujian kepada penyidik dan penuntut umum, 

yaitu  perbuatan melawan hukum dan dikenakan ancaman 

sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun 

dan pidana denda paling banyak lima ratus ribu rupiah. Penyidikan 

terhadap penyalahgunaan narkotika atau prekusor narkotika, maka 

peranan laboratorium amat menentukan bagi kebenaran terjadinya 

tindak pidana narkotika, sehingga dapat menentukan unsur 

kesalahan sebagai dasar untuk menentukan pertanggung jawaban 

pidannya. Dalam kasus tertentu sering terjadinya pemalsuan hasil 

tes laboratorium, untuk mengehindarkan diri pelaku tindak pidana 

terhadap hasil tes laboratorium telah mengkonsumsi narkotika, atau 

menukarkan hasil tes laboratorium ini  menjadi milik 

oranglain. 

10. Ancaman sanksi pidana bagi saksi yang memberikan keterangan 

tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan 

prekusor narkotika di muka pengadilan (pasal 143) diancam dengan 

penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) 

tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam 

puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam 

ratus juta rupiah). 

11. Ancaman sanksi pidana bagi setiap orang yang 

melakukanpengulangan tindak pidana (Pasal 144), dimana dalam 

jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tidak pidana 

maka ancaman pidana maksimum dari masing-masing pasal 

ditambah dengan 1/3 (sepertiga). Ketentuan ini memiliki  tujuan 

untuk membuat jera pelaku tindak pidana, agar tidak mengulangi 

perbuatan pidanalagi. 

12. Ketentuan pidana bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana 

di luar wilayah Negara Republik negara kita  (pasal 145). Warga 

negara negara kita  yang berbuat salah satu dari kejahatan-kejahatan 

sebagaimana disebut dalam sub I Pasal ini (termasuk tindak pidana 

narkotika) meskipun diluar negara kita , dapat dikenakan Undang-

Undang Pidana negara kita . 

13. Putusan pidana denda yang tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak 

pidana(Pasal 148) ketentuan ini paling lama 2 (dua)tahun.  

 

Penerapan sanksi pidana ini , yaitu bertujuan untuk 

memberikan efektivitas dari peran serta warga .Peran serta ini 

memiliki  kesempatan yang seluas-luasnya dimana warga  

memiliki  hak dan tanggung jawab untuk membantu pencegahan dan 

pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan 

prekusor narkotika. 

 

F. usaha  Penegakan Hukum terhadap Narkotika 

Mengingat permasalahan narkotika dan psikotropika ini semakin 

memprihatinkan maka perlu diawasi sejak dini dan dilakukan langkah 

penanggulangan secara terpadu dan efektif baik pada tingkat nasional 

maupun internasional (Hamzah, 1994:33) dengan menegakkan hukum. 

Penegakan hukum yaitu  proses dilakukannya usaha  untuk 

tegaknnya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai 

pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum 

dalam kehidupan berwarga  dan bernegara. 

Dari sudut subjeknya penegakan hukum dapat dilakukan oleh 

subjek dalam arti luas dengan melibatkan semua subjek hukum dalam 

setiap hubungan hukum (yang menjalankan aturan normative atau 

melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan 

diri pada norma aturan hukum yang berlaku.  

Dalam arti sempit dari segi subjeknya itu, penegak hukum hanya 

diartikan sebagai usaha  aparatur penegak hukum tertentu untuk 

menjamin dan memastikan suatu aturan hukum berjalan sebagaimana 

mestinya.Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut 

objeknya, yaitu dari segi hukumnya.Dalam arti luas, penegakan hukum 

itu mencakup nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalam bunyi 

aturanformal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam 

warga .Dalam arti sempit penegakan hukum hanya yaitu  

penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. sebab itu 

penerjemahan perkataan “law enforcement” ke dalam bahasa negara kita  

dengan penegakan hukum meliputi arti luas dan sempit. 

Dari uraian di atas, maka penegakan hukum yaitu usaha  yang 

dilakukan untuk menjadikan hukum baik dalam arti formil yang sempit 

maupun dalam arti materil yang luas sebagai pedoman perilaku dalam 

setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang 

bersangkutan maupun aparatur penegak hukum yang resmi diberi tugas 

dan wewenang oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya 

norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan berwarga  dan 

bernegara 

Dalam prose penegakan hukum, ada tiga elemen penting yang 

mempengaruhi apatur penegakan hukum yaitu: 

a. Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan 

prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya,  

b. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, dan  

c. Perangkat peraturan yang mendukung baik kenierja kelembagaannya 

maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, 

baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Untuk penegakan 

hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu 

secara simultan, sehingga proses penegakan hukum secara internal 

dapat diwujudkan. 

Selain apatur penegak hukum salah satu acuan dalam konsep 

penegakan hukum terhadap penyalahgunaan narkoba yaitu 

keikutsertaan negara kita  di dalam konvensi-konvensi internasional yang 

membahas dan mengambil keputusan tentang kejahatan-kejahatan 

internasional khususnya narkotika dan psikotropika. negara kita  telah 

menjadi negara peserta konvensi Tunggal Narkotika Tahun 1961, 

Konvensi Tahun 1971 tentang Psikotropika, Konvensi Tahun 1988 

tentang Pemberantasan Lalu Lintas Gelap Narkotika dan dan 

Psikotropika. pengesahan konvensi ini  yaitu  landasan 

dibentuknya UU No. 22/1997 tentang Narkotika dan UU No. 5/1997 

tentang Psikotropika. 

Sikap pemerintah Republik negara kita  terhadap penanggulangan 

narkotika adala mendukung sepenuhnya.usaha  kerjasama 

penanggulangan bahaya narkotika dan psikotropika.makin canggihnya 

usaha para pelaku tindak pidana narkotika melaksanakan kegiatannya, 

maka perlu perangkat hukumnya disempurnakan dan disesuaikan 

dengan perkembangan dewasa ini, baik perumusan perbuatan, tanggung 

jawab maupun ancaman pidana. 

Jika penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan 

psikotropika dengan memakai  hukum pidana berati kita akan 

berbicara mengEnai politik kriminal (suatu usaha yang rasional dari 

warga  atau penguasa untuk menanggulangi kejahatan). 

Dalam rangka menanggulangi kejahatan ada  berbagai 

sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, 

yang dapat berupa sarana hukum pidana (penal) dan Non hukum pidana 

(non penal). bila  kita memilih sarana penanggulangan kejahatan 

dengan hukum pidana berati kita akan melasksanakan politik hukum 

pidana. Usaha penanggulangan dengan hukum pidana perlu 

diintegrasikan dengan keseluruhan kebijakan sosial.Dengan demikian 

dilihat dari sudut politik kriminal, masalah strategis yang justru harus 

ditanggulangi ialah memahami masalah-masalah atau kondisi-kondisi 

sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan 

atau menumbuhsuburkan kejahatan. Ini berarti penanganan masalah 

sosial sangat menentukan dalam penanggulangan kejahatan, hal ini 

disebabkan karena: 

1. Masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas 

hidup yang pantas bagi semua orang.  

2. Strategi penanggulangan kejahatan harus didasarkan penghapusan 

sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.  

3. Penyebab utama dari kejahatan di banyak negara ialah ketimpangan 

sosial, diskriminasi rasial, dan nasional, standar hidup yang rendah, 

pegangguran dan kebutahurufan sebagai besar penduduk 

Hal yang sangat perlu untuk mendapat perhatian yaitu 

kenyataan bahwa akibat penyalahgunaan narkotika dan psikotropika 

memicu  rusaknya pusat syaraf, yang berakibat lebih jauh si 

pemakai menjadi ketagihan (addiction). Sehubungan dengan hal 

ini,dalam Pasal 38 Konvensi Tunggal narkotika disebutkan bahwa 

pemakai narkotika dan psikotropika yang sudah kecanduan harus 

mendapat perawatan medis dan bukan pemidanaan. 

Dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum perlu dikaitkan 

instansi terkait yang memiliki  kewenangan sesuai dengan ketentuan 

perundang-undangan dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika 

dan psikotropika lainnya di bidang penegakan hukum (law 

enforcement) meliputi: penyidikan lalu lintas gelap narkotika termasuk 

kultivasi, produksi, distribusi dan konsumsi ditangani oleh Polri dan 

PPNS Depkes, penuntutan tindak pidana untuk diteruskan ke 

pengadilan ditangani oleh kejaksaan, persidangan perkara oleh 

pengadilan dan pembinaan/resosialisasi ditangani oleh Lembaga 

Pemasayrakatan,Bapas dan lembaga sosial lainnya. 

Penegakan hukum terhadap penyalahgunaan narkotika dan 

psikotropika dengan modus operandi dan dengan mempergunakan 

teknologi canggih harus diantisipasi dengan peningkatan kualitas 

penegaka hukum dan kelengkapan perangkat hukum serta tatanan 

hukum yang dilandaskan kepada pandangan bahwa warga  nasional 

yaitu  bagian yang tidak terpisahkan dari warga  

internasional.Bertitik tolak dari pandangan ini , konsep penegakan 

hukum yang tepat, berdaya guna dan berhasil guna yaitu konsep 

penegakan hukum yang tidak hanya mengutamakan kepentingan untuk 

melindungi warga  nasional, melainkan juga memperhatikan 

kepentingan perlindungan warga  internasional. 

Memperhatikan kepentingan perlindungan warga  

internasional. Fungsionalisasi hukum pidana dalam penanggulangan 

penyalahgunaan narkotika dan psikotropika berarti kita memakai  

hukum pidana untuk menangkal pembuat, pengedar dan pengguna. 

Peraturan perundang-udangan pidana yang dapat dipakai untuk 

menangkal mereka ini antara lain UU No. 10/1995 tentang Kepabeanan, 

UU NO. 22/1997 tentang Narkotika 

1. Undang-undang No.10/1995. Undang-undang ini dapat dipakai 

untuk pelaku pengimpor atau para penyeludupnarkotika atau 

psikotropika, mengingat barang-barang ini sebahagian besar 

keberadaannya di negara kita  sebab diseludupkan dari luar negeri.Di 

dalan Pasal 10 UU No.10/1995 disebutkan mengimpor atau 

mengekspor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang 

tanpa mengindahkan ketentuan undang-undang diancaman pidana 

berupa pidana penjara paling lama 8 tahun dan denda paling banyak 

500 juta rupiah.  

2. UU. No. 22/1997. Dalam membicarakan ancaman pidana terhadap 

penyalahgunaan narkotika ini UU No. 22/l997 menetapkan pula 

perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan berhubungan dengan 

narkotika sebagaimana ditentukan dalam Pasal 78 s.d 100. Bagi 

barang siapa tanpa hak dan melawan hukum melakukan perbuatan 

yang dilarang diancam pidana. 

 

A. Psikotropika 

yaitu zat atau obat, baik alamiah maupun sintetik bukan 

narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada 

susunan saraf pusat yang memicu  perubahan khas pada aktifitas 

mental dan perilaku. 

1. Stimulansia 

Dalam dosis rendah menimbulkan peninggian kewaspadaan, 

perasaan segarnyaman, dan penekanan nafsu makan, toleransi 

terhadap efek-efek yangtimbul cepat dan memicu  

ketergantunga denga cepat dan tidak jarang memicu  timbunya 

episode psikotik sesudah pemakaian dosis tinggi yang lama. Gejala 

yang timbul ialah perasaan panic, delirium, agitasi, euphoria 

2. Amfetamin 

Pemakaian terus menerus dalam jangka waktu yang panjang 

akan memicu  si pengguna insomnia, timbulnya rasa ketakutan 

yang berlebihan dan gangguan pada kejiwaan 

3. Metamfetamin 

Metamfetamin atau lebih dikenal dengan shabu menyerang 

saraf dan menimbulkan efek gelisah, sulit tidur pernafasan pendek, 

jantung berdebar , dan pemakai akan merasa enerjik lalu kehilangan 

nafsu makan. 

4. Sadativa hipnotika 

Di dunia kedokteran ada  jenis obat yang berkhasiat 

sebagai obat tidur ( sedative/ hipnotika ) yang dipakai untuk klien 

menderita stress dengan gejala kecemasan berlebih dan sulit tidur 

(BNN, 2011).Pengunaan obat ini juga meninbulkan adiksi atau 

ketagihan dan dependensi ketergantungan. Penyalahgunaan napza ini 

dapat menimbulkan gangguan mental bagi penggunanya gejala yang 

timbul ialah emosi labil, hilangnya hambatan dorongan atau impulse 

agresif, adanya gangguan koordinasi gangguan perhatian dan daya 

ingat, dan menimbulkan perilaku maladaftif yaitu perilaku yang 

tidak bisa beradaptasi dengan lingkugan selain itu pemakaian  zat 

psikotropika sendiri memicu  gangguan psikologis pada diri 

seseorang dimana dalam beberapa kasus pemakaian  ekstasi ditandai 

dengan rasa takut dan curiga yang berlebihan yaitu paranoid, merasa 

seolah-olah dikejar atau ditindas. Dalam kasus lainnya terkadang 

pemakai mengalami halusinasi maupun ilusi, kehilangan rasa takut, 

dan mudah tersinggung.Adapun mengeluh panas dan juga dehidrasi 


 

B. Penggolongan Psikotropika 

Psikotropika yaitu zat atau obat baik alamiah maupun sintetis 

bukan narkotika yang berkhasia psikoaktif melalui pengaruh slektif 

susunan saraf maupun pusat yang memicu  perubahan khas pada 

aktivitas mental dan perilaku, dipakai untuk mengobati gangguan 

jiwa. Adapun penggolongan psikotropika menurut undang-undang 

negara kita  Nomor 5 Tahun 1997 yaitu: 

a. Golongan I  

Psikotropika ini dapat dipakai hanya untuk kepentingan 

ilmu pengetahuan dan tidak dipakai dalam terapi serta 

memiliki  potensi sanga