ian
uang di negara kita masih banyak kelemahan, maka dalam amandemen
pertama definisi yang sebelumnya tidak dicantumkan, kemudian
dicantumkan dalam Pasal (1) Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 yang
isinya sebagai berikut: “Pencucian uang yaitu menempatkan,
mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan
lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
yaitu hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan,
atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah
menjadi harta kekayaan yang sah.
Dari definisi di atas, money laundering bukan kejahatan tunggal
tetapi kejahatan ganda. Pencucian uang yaitu kejahatan follow up
crime atau kejahatan lanjutan atas kejahatan utama (core creme). Dalam
kejahatan pencucian uang ada dua kelompok pelaku yang berkaitan
langsung dengan kejahatan utama dan kelompok kedua tidak berkaitan
langsung dengan core creme, misalnya penyedia jasa keuangan, baik
lembaga perbankan maupun non perbankan.
Dari rumusannya, kejahatan pencucian uang dalam Undang-
Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dapat dibedakan dalam dua
kriteria yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 3 dan 6) dan
Tindak Pidana yang berkaitan dengan Pencucian Uang (Pasal 8 dan 9).
Masing-masing pasal ini yaitu :
Pasal 3:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a. Menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduga yaitu hasil tindak pidana kedalam penyedia jasa
keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b. Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya yaitu hasil tindak pidana dari suatu penyedia
jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain baik atas
nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c. Membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduga yaitu hasil tindak pidana,
baik perbuatan itu atas namanya maupun atas nama pihak lain;
d. Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduga yaitu hasil tindak pidana
baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e. Menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga
yaitu hasil tindak pidana baik atas namanya maupun atas
nama pihak lain;
f. Membawa keluar negeri harta kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduga yaitu hasil tindak pidana; atau
g. Menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduga yaitu hasil tindak pidana
dengan mata uang atau surat berharga lainnya; dengan maksud
untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya yaitu
hasil tindak pidana, dipidana sebab tindak pidana pencucian
uang dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling
lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp.100 juta dan paling
banyak Rp. 15.milyar.
Unsur objektif (actus reus) dari Pasal 3 sangat luas dan
yaitu inti delik maka harus dibuktikan. Unsur objektif ini
terdiri dari menempatkan, mentransfer, membayarkan atau
membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan,
membawa keluar negari, menukarkan atau perbuatan lain atas harta
kekayaan (yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan).
Sedang unsur subjektifnya (mens rea) yang juga yaitu
inti delik yaitu sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta
kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk
menyembunyikan atau menyamarkan harta ini .
Pasal 6:
(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai:
a. Penempatan;
b. Pentransferan;
c. Pembayaran;
d. Hibah;
e. Sumbangan;
f. Penitipan;
g. Penukaran, harta kekayaan yang diketahui atau patut
diduganya yaitu hasil tindak pidana dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun
dan denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp.
15 milyar.
Unsur objektif Pasal 6 yaitu menerima atau menguasai
penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,
penukaran harta kekayaan (yang diketaui atau patut diduga berasal dari
hasil tindak pidana).Sedang unsur subyektif atau mens reanya
yaitu mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan
yaitu hasil tindak pidana.
Untuk menegakan hukum terhadap praktik pencucian uang
memerlukan kerjasama yang baik dari semua unsur Sistem Peradilan
Pidana (SPP) yang dalam hal ini terdiri dari polisi, jaksa, hakim dan
juga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Masing-masing unsur SPP dan PPATK harus bisa berjalan dengan baik
terkoordinir dan simultan.Namun nampaknya masih ada masalah
dalam penegakan terhadap pencucian uang.Untuk itu dibentuklah badan
investigasi sebagai Financial Intelligence Unit (FIU).26
Dalam usaha pemberantasan tindak pidana pencucian badan
investigasi yang bersifat independen yaitu Financial Intelegent Unit
(FIU), sebagai jalan tengah atas keberadaan badan investigasi pada
Penyediaan Jasa Keuangan (PJK) terutama bagi pihak bank. Bank
selalu berhati-hati dalam menjaga kepercayaan nasabahn yaitu
faktor yang sangat penting, sementra polisi melihat bahwa segala
sesuatu yang mencurigakan akan ditindaklanjuti dan akan dijadikan
tersangka sebagai suatu sikap antusiasme dan profesionalismenya.
Pada awalnya pelaku banyak memakai jasa bank untuk
mencuci uangnya, untuk itu diperlukan badan khusus untuk investigasi
sebelum masuk dalam tahap penyidikan. Terkait dengan usaha
pemberantasan pencucian uang Penyediaan Jasa Keuangan (PJK)
diharuskan menerapkan Know your Customer (KYC) sebagai langkah
prefentif dalam usaha pemberantasan pencucian uang dan kewajiban
lainnya.
A. Pengertian Tindak Pidana Ekonomi
Hukum pidana ekonomi yaitu bagian dari hukum pidana yang
memiliki ciri tersendiri yaitu sifat ekonomisnya. Banyak para praktisi
dan akademisi memberikan definisi tentang apa itu tindak pidana
ekonomi,28 namun, secara umum, tindak pidana ekonomi dibagi
menjadi dua pengertian: pengertian dalam arti sempit dan arti luas.
Terlepas dari perbedaannya, kedua pengertian itu memiliki
persamaan yaitu keduanya memiliki motif ekonomi dan/atau
memiliki pengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian dan
keuangan negara serta dunia usaha.
Menurut MuhammadAnwar : Dalam bukunya Hukum Pidana
dibidang Ekonomi menyebutkan bahwa ada 2 jenis kelompok tindak
pidana dibidang Ekonomi yaitu :
1. Tindak Pidana dalam arti Sempit
Tindak pidana ekonomi yang bersumber pada pasal 1 UU
Tindak Pidana Ekonomi. Hal ini dapat dibagi 3 yaitu :
a. Tindak pidana Ekonomi berdasar pasal 1 ayat 1
Himpunan peraturan – peraturan dibidang ekonomi yang sudah
ada sebelum UU tindak pidana ekonomi ini diundangkan.
b. Tindak pidana ekonomi berdasar pasal 1 ayat 2 UU TPE
yakni sebagai yang diatur dalam pasal 26, 32,33
c. Tindak Pidana ekonomi berdasar pasal 1 ayat 3 UU TPE yakni
pelanggaran suatu ketentuan :
2. Tindak pidana dalam arti luas
Dapat dibagi atas :
a. Pelanggaran terhadap ketentuan – ketentuan dari peraturan –
peraturan dibidang ekonomi, pelanggaran mana diancam dengan
hukuman yang termuat dalam UU TPE yang biasanya
berdasar ketentuan – ketentuan pidana dalam peraturan khusus
dibidang ekonomi.
Menurut Undang-undang Darurat itu, yang dimaksud dengan
tindak pidana ekonomi adalah:
1. Tindak pidana ekonomi berdasar pasal 1 sub 1e:
a. Pelanggaran di bidang devisa;
b. Pelanggaran terhadap prosedur impor, ekspor/ Penyelundupan;
c. Pelanggaran izin; d. pelanggaran ketentuan barang-barang yang
diawasi
2. Tindak pidana ekonomi berdasar pasal 1 sub 2 e meliputi:
a. Pasal 26, dengan sengaja tidak memenuhi tuntutan pegawai
pengusut berdasar suatu ketentuan dalam undang– undang;
b. Pasal 32, dengan sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan :
- Suatu hukuman tambahan sebagai tercantum dalam pasal 7 sub
s, b, dan c
- Suatu tindakan tata tertib sebagai tercantum dalam pasal 8
- Suatu peraturan termaksud dalam pasal 10
- Suatu tindakan tata tertib sementara atau menghindari
hukuman tambahan / tindakan tata tertib sementara seperti
ini diatas.
- Sasal 33, dengan sengaja baik sendiri maupun perantara orang
lain menarik bagian -bagian kekayaan untuk dihindarkan dari :
tagihan-tagihan, pelaksanaan suatu hukuman atau tindakan tata
tertib sementara, yang dijatuhkan berdasar undang -
undang;
3. Tindak pidana ekonomi berdasar pasal 1 sub 3e: Pelanggaran
sesuatu ketentuan dalam undang – undang lain dan berdasar
undang – undang lain.
B. Pengaturan Tindak Pidana Ekonomi
Tindak pidana ekonomi diatur dalam Undang-Undang Darurat
No. 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi (yang selanjutnya disebut sebagai UU TPE). Sesuai
dengan namanya UndangUndang Darurat yaitu undang-undang yang
dikeluarkan oleh Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan dalam suatu keadaan yang mendesak agar segera
diberlakukan, sebab pada saat itu memang sangat di perlukan adanya
undang-undang ini, kalau kita flash back ke sejarah lahirnya UU Drt No
7 tahun 1955 bahwa pada saat itu negara kita baru saja merdeka, dan
untuk kemajuan perekonomian bangsa maka negara kita membuka diri
untuk berbagai jenis investasi.
Undang-Undang Darurat No 7 tahun 1955 yaitu yaitu
saduran dari wet op de Economich Delicten di Nederland, tetapi telah
disesuaikan dengan keadaan di negara kita walaupun ada beberapa
kalimat yang masih asli dari induknya seperti dalam Pasal 1.
Economic crime atau tindak pidana ekonomi dalam ensiklopedia
Crime and justice diartikan sebagai kegiatan kriminil yang memiliki
kesamaan tertentu dengan kegiatan ekonomi pada umumnya yaitu
kegiatan usaha-usaha yang nampak non criminal.
Dalam American Bar association memberikan batasan
mengenai economic crime yaitu setiap tindakan ilegal tanpa
kekerasan, terutama menyangkut penipuan, perwakilan tidak sah,
penimbunan, manipulasi, pelanggaran kontrak, tindakan curang atau
tindakan menjebak secara ilegal, sehingga ada juga yang menyebutnya
sebagai business crime.
Sebelumnya Sunarjati Hartono menyebutkan bahwa bisa
economic crime bisa dikategorikan sebagai white collar crime atau
kejahatan berkerah putih, dalam perkembangan selanjutnya Muladi
menyebutkan sebagai socio economic crime. Ciri penting dari economic
crime yaitu proses pemilikan harta benda secara licik atau dengan
penipuan dan beroperasi secara diam-diam (tersembunyi) dan sering
dilakukan oleh perorangan yang memiliki status sosial dan ekonomi
yang tinggi.
Dengan demikian tindak pidana ekonomi, mengandung unsur :
a. Perbuatan dilakukan dalam kerangka kegiatan ekonomi yang pada
dasarnya bersifat normal dan sah.
b. Perbuatan ini melanggar atau merugikan kepentingan negara
atau warga secara umum, tidak hanya kepantingan imdividual,
c. Perbuatan itu mencakup pula perbuatan di lingkungan bisnis yang
merugikan perusahaan lain atau individu lain.
Tetapi ada juga yang mendefinisikan bahwa economic crime
yaitu setiap perbuatan pelanggaran atas kebijakan negara di bidang
ekonomi yang dituangkan dalam peraturan hukum ekonomi yang
memuat ketentuan pidana terhadap pelanggarnya.
Ada tiga golongan delik dalam UU drt Tindak Pidana Ekonomi
yaitu :
1. Golongan pertama ditunjuk undang-undang, ordonanties yang
dimaksudkan menjadi delik ekonomi, diatur dalam Pasal 1 sub 1
UUTPE.
a. Indische scheepvaartwet (Stbl 1936 Nomor 700), Scheeovaart
verordening nya (Stbl 1936 Nomor 703). Ini sudah dicabut,
diganti dengan UndangUndang tentang pelayaran (UU No 17
tahun 2008) , yang tidak dimasukan dalam delik ekonomi.
b. Bedriff Reglementerings Ordonantie 1934 (Stbl 1938 Nomor 86) ,
ordonansi ini sudah dicabut yang berlaku sekarang yaitu
Undang-Undang tentang Perindustrian (UU No. 22 tahun 1984).
c. Kapok Belangen Ordonantie 1935 (Stbl 1935 Nomor 1650, Pasal
5 menyebutkan bahwa dilarang tanpa ijin tertulis yang diberikan
oleh Direktur atau seorang pegawai yang ditunjuk olehnya untuk
mengeluarkan kapok.
d. Ordonantie Aetherische Olien (Stbl 1937 Nomor 601), yaitu
tentang ekspor minyak.
e. Ordonantie Cassava Producten 1937 ( Stbl 1937 Nomor 602),
yaitu tentang pelarangan ekspor produk ketela.
f. Krosok Ordonantie 1937 (Stbl 1937 Nomor 64) yaitu pelarangan
ekspor krosok atau tembakau.
2. Golongan kedua, Undang-Undang (drt) TPE sendiri memuat
perumusan delik seperti dalam Pasal 26, 32 dan 33 yang semuanya
yaitu pelanggaran terhadap hukum acara.
Pasal 26 UUTPE mengatur tentang subjeknya yaitu “barang
siapa” dan adanya bagian inti delik yaitu dengan “sengaja dan
tidak memenuhi tuntutan pegawai pengusust, berdasarkab suatu
aturan dari undang-undang darurat ini yaitu tindak pidana
ekonomi, mengenyampingkan Pasal 216 KUHP”.
Pasal 32 UUTPE mengatur tentang subjek yaitu dengan kalimat
“Barang siapa” dan inti delik yaitu dengan “sengaja”, “berbuat
atau tidak berbuat sesuatu” dan “yang bertentangan dengan suatu
hukuman tambahan sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat
(1) sub a,b atau e dengan suatu tindakan tata tertib seperti
tercantum dalam Pasal 8, dengan suatu peraturan seperti
termaksud dalam Pasal 10, atau dengan suatu tindakan tata tertib
sementara atau menghindari hukumantambahan, tindakan tata
tertib, peraturan, tindakan tata tertib sementara seperti ini
diatas”.
Pasal 33 UUTPE mengarur tentang subjek “ Barang Siapa”, dan
bagian initi deliknya menyebutkan subjek yaitu “Barang siapa”,
bagian intinya yaitu “sengaja”, “baik sendiri atau dengan
perantaraan orang lain”, “menarik bagianbagian kekayaan untuk
dihindarkan dari tagihan-tagihan atau pelaksaan suatu hukuman,
tindakan tata tertib atau tindakan tata tertib sementara,
berdasar UUTPE”.
3. Golongan ketiga, ialah undang-undang yang dibuat belakangan yang
secara tegas dinyatakan dalam undang-undang itu bahwa
pelanggaran atasnya termasuk delik ekonomi seperti umpamanya
UU No 8 (Prp) tahun 1962 tentang Pengawasan Barang-Barang.
Undang-Undang No 7 (Drt) Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi
H. Nolte menjelaskan dua macam pengecualian berlakunya
Pasal 103 KUHP yaitu undang-undang lain menentukan dengan tegas
pengecualian berlakunya Pasal 103 KUHP atau undang-undang itu
menentukan secara diamdiam pengecualian seluruh atau sebagian dari
Pasal 103 KUHP itu yang dikenal dengan adagium lex specialis
derogate legi generali.
Undang -Undang No 7 (drt) tahun 1955, ini mengandung
banyak keistimewaan yang berbeda dengan ya ng diatur dalam KUHP,
diantaranya adalah:
1. Pasal 2 membedakan antara tindak pidana ekonomi kejahatan dan
pelanggaran, hanya ditentukan bahwa bila tindak pidana itu
dilakukan dengan sengaja yaitu kejahatan Sedang bila
dilakukan tidak dengan sengaja maka tindak pidana itu digolongkan
sebagai pelanggaran.
2. Pasal 3 mengatur tentang asas teritorial , “ Barangsiapa turut
melakukan suatu tindak pidana ekonomi yang dilakukan di dalam
daerah hukum Republik negara kita , dapat dihukum pidana, begitu
pula jika ia turut melakukan tindak pidana ekonomi itu diluar
negeri”, maksudnya apakah tindak pidana ekonomi itu dilakukan di
negara kita atau tidak maka tetap haru dipidana bila merugikan negara
negara kita .
3. Pasal 4 mengatur bahwa percobaan (poging) dan membantu dapat
dipidana dan dianggap delik selesai, dalam Pasal 53 KUHP delik
percobaan kalau ada niat maka akan dihukum 1/3 dari hukuman
yang diancamkan dan dalam Padal 57 KUHP tentang membantu
melakukan pelanggaran tidak dipidana.
4. Sanksi pidana diatur dalam Pasal 6, yang menyebutkan bahwa :
1) Barangsiap melakukan suatu tindak pidana ekonomi:
a. Dalam hal kejahatan sekadar yang mengenai tindak pidana
ekonomi termasuk dalam Pasal 1 sub 1 e dihukum dengan
hukuman perjara selama-lamanya enam tahun dan hukuman
denda setinggi-tingginya lima ratus ribu rupiah atau dengan
salah satu dari hukuman pidana itu;
b. Dalam hal kejahatan sekadar yang mengenai tindak pidana
ekonomi termasuk dalam Pasal 1 sub 2 e dan berdasar sub
3 e dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua
tahun dan hukuman dendasetinggi-tingginya seratus ribu
rupiah atau dengan salah satu dari hukuam pidana itu;
c. Dalam hal pelanggaran sekadar yang mengenai tindak pidana
ekonomi ini dalam Pasal 1 sub 1 e dihukum dengan
hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun dan hukuman
denda setinggi-tingginya seratus ribu ruoiah atau dengan
salah satu dari hukuman pidana itu.
d. Dalam hal pelanggaran yang berdasar Pasal 1 sub 3 e
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya enam
bulan dan hukuman denda setinggi-tingginya lima puluh ribu
rupiah, atau dengan salah satu dari hukuman pidana itu.
2) Jika harga barang, dengan mana atau mengenai mana tindak
pidana ekonomi itu dilakukan, atau yang diperoleh baik
seluruhnya maupun sebagian sebab tindak pidana itu lebih
tinggi daripada seperempat bagian hukuman denda tertinggi
yang setinggi-tingginya empat kali harga barang itu.
3) Lain daripada itu dapat dijatuhkan juga hukuman-hukuman
ini dalam Pasal 7 ayat 1 atau tindakan tata tertib ini
dalam Pasal 8, dengan tidak mengurangi dalam hal-hal yang
memungkinkannya dijatuhkan tindakan tara tertib yang
ditentukan dalam peraturan lain.
4) Pasal 7 mengatur tentang sanksi tambahan yaitu berupa :
a. Pencabutan hak dalam Pasal 35 KUHP minimal 6 bulan dan
maksimal 6 tahun,
b. Penutupan seluruh atau sebagian perusaan si terhukum,
maksimal selama 1 tahun,
c. Perampasan barang-barang tidak tetap yang berwujud dan
tidak berwujud yang diperoleh dari tindak pidana ekonomi,
d. Perampasan barang-barang tidak tetap yang berwujud dan
yang tidak berwujud termasuk perusahaan diterhukum
dimana tindak pidana ekonomi itu dilakukan,
e. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
pengahupusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu
yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh
pemerintah berhubung dengan perusahaannya untuk waktu
paling lama 2 tahun,
f. Pengumuman putusan hakim.
5) Pasal 8 tentang tindakan tata tertib , yaitu :
a. Penempatan perusahaan siterhukum, di mana dilakukan suatu
tindak pidana ekonomi di bawah pengampuan untuk waktu
selama-lamanya tiga tahun, dalam hal tindak pidana ekonomi
itu yaitu kejahatan dan dalam hal tindak pidana ekonomi itu
yaitu pelanggaran untuk waktu selamalamanya dua tahun.
b. Mewajibkan pembayaran uang jaminan sebanyak-banyaknya
seratus ribu rupiah dan untuk waktu selama-lamanya tiga
tahun dalam hal tindak pidana ekonomi yaitu kejahatan,
dalam hal tindak pidana ekonomi yaitu pelanggaran maka
uang jaminan itu sebanyak-banyaknya lima puluh ribu rupiah
untuk waktu selama-lamanya oleh si terhukum;
c. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak,
meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan
jasa-jasa untuk memperbaikiakibat-akibat satu sama lain,
semua atas biaya siterhukum, sekedar hakim menentukan
lain.
6) Pasal 9 mengatakan bahwa tindakan tata tertib dijatuhkan
bersama-sama dengan sanksi pidana,
7) Pasal 11, untuk pengangkatan pengampu maka mengacu pada
ketentua yang ada dalam BW.
8) Pasal 12 yaitu tentang pengambilan uang jaminan oleh
pemerintah bila si terhukum melanggar syarat khusus yang
ditentukan oleh Hakim.
9) Pasal 13 menyebutkan bahwa hak melaksanakan perampasan
tidak lenyap sebab meninggalnya siterhukum, tetapi kalau
tindakan tata tertib maka akan lenyap bila siterhukum
meninggal dunia, Sedang dalam Pasal 77 KUHP mengenai
penghapusan tuntutan pidana sebab meninggalnya terdakwa.
10) Pasal 16 menyatakjan dimungkinkannya peradilan in absentia,
dan terhadap putusan ini tidak dapat dimintakan banding atau
kasasi.
Undang-Undang No 7 drt tahun 1955 sebagai UUTPE
memperluas subjek hukum seperti yang diatur dalam KUHP dimana
dalam UU TPE subjek hukum selain orang tetapi juga menyangkut
badan hukum, perseroan, perserikatan dan yayasan atau korporasi. (Edi
Setiadi dan Rena Yulia, 2010).Sehingga UU TPE ini yaitu yaitu
undang-undang yang menerobos KUHP, dimana adanya perluasan
subjek hukum.
Dalam melaksanakan pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan
tindak pidana ekonomi ada berbagai kekhususan, yaitu :
a. Dapat dijatuhkan pidana kumulatif (gabungan dua pidana pokok
yaitu hukuman badan dengan hukuman denda), yang tidak dianut
dalam tindak pidana biasa,
b. Dapat dilakukan peradilan in absensia, dengan maksud untuk
menyelamatkan kerugian negara,
c. Dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa yang sudah meninggal
dunia berupa perampasan barang bukti hasil kejahatan ,
d. Subjek hukum terdiri dari orang dan badan hukum,
e. Dalam tindak pidana ekonomi, percobaan pelanggaran dapat
dihukum,
f. Dapat dijatuhkan tindakan tata tertib sebagai hukuman tambahan.
Edmund Kitch mengemukakan ada tiga karateristik yaitu :
1. Pelaku memakai modus operandi yang sulit dibedakan
dengan modus operandi kegiatan ekonomi pada umumnya;
2. Tindak pidana ini biasanya melibatkan pengusaha-pengusaha
yang sukses dalam bidanynya; dan
3. Tindak pidana ini memerlukan penanganan atau pengendalian
secara khusus dari aparatur penegak hukum.
Property crime ini meliputi objek yang dikuasai individu
(perorangan) dan juga yang dikuasai oleh negara.Regulatory crimes
yaitu setiap tindakanyang yaitu pelanggaran terhadap peraturan
pemerintah yang berkaitan dengan usaha di bidang perdagangan atau
pelanggaran atas ketentuan-ketentuan mengenai strandarisasi dalam
dunia usaha.Sedang tax crime yaitu tindakan yang melanggar
ketentuan mengenai pertanggungjawaban di bidang pajak dan
persyaratan yang telah diatur di dalam undang-undang pajak. mengatakan tipologi tindak pidana ekonomi bisa
dibedakan atas dasar tujuan pengaturannya dan motivasi dilakukannya
Edwin H. Sutherland sebagai yang pertama mengemukakan
istilah white collar crime mengemukakan bahwa white collar crime
yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki status
sosial ekonomi yang tinggi dan terhormat dan melakukan kejahatan
ini dalam kaitannya dengan pekerjaannya. Dengan kata lainwhite
collar crimes dapat dikategorikan sebagai kejahatan orang-orang kelas
atas atau orang-orang terhormat.
White collar crimes ini biasanya dilakukan dalam bentuk
kejahatan korporasi.Korporasi yaitu suatu gabungan orang yang dalam
pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai subjek hukum
tersendiri, suatu personifikasi.Korporasi yaitu banadn hukum yang
beranggotakan tetapi memiliki hak dan kewajiban sendiri terpisah
dari hak dan kewajiban anggota masing-masing.
Kejahatan di bidang ekonomi (economic crimes) perlu
ditanggulangi bersama dengan negara-negara lain, bersifat
transnasional. Kejahatan ini termasuk kejahatan canggih yang
memerlukan keahlian khusus penegak hukumnya, termasuk law
intelegence (intelijen hukum). Kejahatan canggih ini memiliki ciri:
a. Dapat dilakukan secara transnasional, artinya melampaui batas-batas
negara, jadi untuk menanggulanginya perlu mutual assistance act;
b. Alat yang dipakai ialah alat canggih, seperti peralatan elektronik,
komputer, email, sms internet dan cyber;
c. Cara atau metode dan yang dipakai sangat canggih;
d. Kerugian yang ditimbulkan dapat mencapai jumlah yang sangat
besar;
e. Seringkali belum tersedia norma hukum positifnya;
f. Memerlukan keahlian khusus bagi penegak hukum untuk
menanganinya;
g. Diperlukan biaya besar dalam usaha memberantas dan menuntutnya;
h. Disamping penyidikan dan penuntutan diperlukan pula intelegen
hukum (law intelegence) atau melacaknya;
i. Khusus negara kita , kurang perhatian dan kesadaran betapa
berbahayanya kejahatan ini, kita sibuk dengan pemberantasan
korupsi, terorisme dan narkoba.
C. Tindak Pidana Ekonomi sebagai Tindak Pidana Khusus
Tidak dapat dipungkiri bahwa KUHP pun memiliki beberapa
pasal yang berkaitan dengan bidang perekonomian seperti delik
kecurangan yang tercantum dalam Pasal 378 sampai dengan Pasal 481.
Delik-delik ini selain mengatur mengenai penipuan secara umum
juga mengatur beberapa hal seperti kecurangan di bidang kesusasteraan
(Pasal 380), penipuan terhadap asuransi (Pasal 381 KUHP), kecurangan
terhadap pembeli (Pasal 383 KUHP), delik ikatan kredit (Pasal 385 KUHP), delik penjualan makanan, minuman dan obat palsu (Pasal 386
KUHP), pemborong melakukan perbuatan curang (Pasal 388 KUHP),
memindahkan batas pekarangan (Pasal 389 KUHP), menyiarkan kabar
bohong (Pasal 390 KUHP), kecurangan surat utang (Pasal 391 KUHP),
kecurangan daftar neraca (Pasal 392 KUHP), memasukkan barang palsu
ke negara kita (Pasal 393 KUHP), dan pengacara memberikan
keterangan tidak benar (Pasal 393 KUHP).
Keseluruh delik-delik ini dianggap sebagai delik umum
sebab penempatannya di dalam KUHP yang bersifat umum.Hal ini
berarti bahwa delik ini walaupun mengatur hal yang khusus
namun sebab KUHP yaitu kitab umum dan dasar dari hukum
pidana, maka berlaku juga seluruh teori dan dasar-dasar yang berlaku di
buku I dan hukum acara biasa.
Sementara itu, hukum pidana khusus sering kali diartikan sebagai
ketentuan pidana yang mengatur khusus yaitu menyimpang dari ketentuan
pidana umum.30Aspek penyimpangan ini penting dalam pidana
khusus sebab bila tidak ada penyimpangan tidaklah dapat disebut
hukum pidana khusus.Dalam hukum materiil, pengaturan khusus ini
dapat berupa tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, perluasan asas
teritorial, subyek hukum, atau pidana yang ditentukan berdasar
kerugian, keuangan dan perekonomian negara.Dalam hukum formil,
penyimpangan dapat berupa penyidikan yang dilakukan oleh lembaga
tertentu, didahulukannya pidana tertentu dari perkara pidana lain, adanya
pengaturan mengenai gugatan perdata, dan seterusnya.
Tindak pidana ekonomi baik dalam arti sempit maupun dalam
arti luas dianggap yaitu tindak pidana khusus yang berbeda
pengaturannya dari KUHP. Perbedaannya terletak pada hukum formil
maupun materiilnya sebagai berikut:
a. Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955
Dipandang sebagai tindak pidana khusus, Undang-undang
Darurat No. 7 Tahun 1955 memiliki kekhususan tersendiri baik
secara formil maupun materiil yang menyimpang dari hukum pidana
dan hukum acara pidana pada umumnya.
b. Undang-undang Lainnya
Selain Undang-undang darurat ini, tindak pidana ekonomi
juga diatur dalam peraturan perundang-undangan khusus lainnya.
Masing-masing undang-undang ini pada umumnya memiliki
kekhususan baik dari sisi materiil perumusan tindak pidana maupun
dalam hukum acaranya seperti kekhususan pelakunya, cara
melakukan tindak pidana, kesengajaan, penyelesaian di luar siding,
sistem pemidanaan maupun tujuan dari tindak pidana yang khusus
untuk melindungi suatu kepentingan.
Keseluruhan penyimpangan atau perluasan dari KUHP
ini yaitu suatu bentuk amandemen dari KUHP tanpa
mencabut KUHP itu sendiri.Sehingga bagi sebagian ahli,
keanekaragaman regulasi memicu duplikasi dan tumpang
tindih pengaturan. Pada ahirnya, akan timbul ketidakjelasan dan
ketidakpastian dalam hukum. Prinsip lex specialis derogat lex
generalis sering kali sukar diterapkan sebab tidak jelas mana yang
menjadi undang-undang umum dan khusus.Oleh sebab itu, para ahli
hukum dan praktisi hukum memberikan harapan yang besar kepada
RKUHP untuk membaharui sistem hukum pidana di negara kita dan
menata kembali keanekaragaman hukum pidana negara kita melalui
sistem pengkodifikasian.
D. Tindak Pidana Ekonomi dalam RKUHP Hukum Pidana
1. Tujuan Pembaharuan Hukum Pidana dalam RKUHP
Lahirnya RKUHP dikarenakan adanya desakan untuk
mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan
keadaan dan situasi pada masa kini dan masa yang akan datang. KUHP
pada saat ini dinilai sudah tidak dapat menjawab kevakuman hukum
sebab tidak dapat dijeratnya berbagai perilaku yang merugian dan
mengancam warga tetapi belum atau tidak diatur dalam
KUHP.Untuk mengatasi masalah ini , pemerintah membentuk
berbagai undangundang baru secara sektoral.Solusi ini bukan
tanpa tantangan. Duplikasi norma aturan di dalam KUHP dengan norma
di luar KUHP, pejatuhan pidana yang tidak berstruktur dan sistematik
serta terlalu banyaknya undang-undang yang membuat ketentuan
khusus dan terlalu seringnya perubahan norma hukum pidana
yaitu tantangan besar yang dihadapi para ahli dan praktiksi
hukum. Sistem solusi cepat yang tambal sulam ini dikritisi oleh
berbagai ahli pidana sebagai ’tumbuhan/bangunan liar yang tidak
bersistem, tidak konsisten, bermasalah secara yuridis, dan bahkan
menggerogoti, mencabik-cabik sistem bangunan induk.
Oleh sebab itu, semangat yang dilahirkan oleh RKUHP yaitu
kodifikasi. Kodifikasi yaitu suatu bentuk hukum yang dibuat
secara tertulis, dimana pembuatnya memberikan suatu bentuk yurisdiksi
atau rumusan asas-asas yang dibuat secara tertulis sebagai suatu standar
operasi berlakunya ketentuan dalam kodifikasi Oleh sebab itu tujuan
utama dari kodifikasi yaitu sistematisasi dan standarisasi dari
perkembangan warga yang ada melalui sebuah kitab undang-
undang.
Kodifikasi tidak berarti bahwa tindak pidana khusus yang
tercantum ketentuan di luar KUHP akan dihapuskan.328 Hal ini
terutama berkaitan dengan undang-undang administratif yang
memiliki sanksi pidana. Muladi menyatakan bahwa konsep
kodifikasi didasarkan pada beberapa kriteria: tindak pidana ini
yaitu kejahatan yang terpisah dari pelanggaran terlalu dahulu
dalam hukum administrasi dan tidak terkait prosedur administrasi serta
ancaman pidana yang lebih dari 1 tahun. Ini semua yaitu usaha
(re)kodifikasi pengaturan tindak pidana yang ingin dilakukan melalui
RKUHP.
2. Tindak Pidana Ekonomi di dalam Sistematika RKUHP
RKUHP dibagi menjadi dua buku: buku kesatu mengenai
ketentuan umum dan buku kedua mengenai mengenai tindak pidana.
RKUHP tidak lagi membagi tindak pidana ke dalam dua kategori yaitu
kejahatan dan pelanggaran.Hal ini dikarenakan banyak sekali
pelanggaran yang diatur dalam buku ketiga KUHP saat ini dipandang
tidak lagi relevan sebagai suatu tindak pidana.Oleh sebab itu, buku
ketiga dilebur dengan buku kedua.
A. Pengertian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
UU ITE yaitu undang-undang yang mengatur segala hal
tentang teknologi informasi yang berlaku di negara kita .Undang-
undang ini mulai dirancang pada tahun 2003 oleh Kementerian
Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo).Kemudian, UU ITE
terus diolah dan didiskusikan hingga akhirnya disahkan pada masa
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.UU ITE memiliki yurisdiksi
yang berlaku untuk warga negara yang melakukan perbuatan hukum,
baik di dalam maupun di luar wilayah negara kita . Beberapa materi
yang diatur, antara lain:
1. Pengakuan informasi atau dokumen elektronik sebagai alat bukti
hukum yang sah (Pasal 5 dan 6 UU ITE);
2. Tanda tangan elektronik (Pasal 11 dan 12 UU ITE);
3. Penyelenggaraan sertifikasi elektronik (Pasal 13 dan 14 UU ITE);
4. Penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 dan 16 UU ITE);
5. Perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam memakai terknologi
informasi (cyber crime), antara lain:
- Konten ilegal, yang terdiri dari kesusilaan, perjudian, penghinaan
atau pencemaran nama baik, pengancaman, dan pemerasan (Pasal
27, 28, dan 29 UU No. ITE);
- Akses ilegal (Pasal 30);
- Intersepsi ilegal (Pasal 31);
- Gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE);
- Gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU
ITE);
- Penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34
UU ITE).
Awal mula dirumuskan UU ini bertujuan untuk melindungi hak
pengguna internet dan menjaga stabilitas arus internet dari hal yang
dapat merusak.Bila melihat substansi UU ITE secara garis besar, tujuan
ini dapat terlihat.Akan tetapi, dalam berbagai kajian yang membahas
UU ITE secara mendalam, ditemukan kejanggalan-kejanggalan dalam
UU ITE.Hal yang sering menjadi sorotan yaitu ketentuan konten ilegal
yang dinilai terlalu multitafsir dan dapat memicu kriminalisasi
yang berlebihan. Hal ini kemudian menuntun pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyepakati revisi terhadap UU ITE
pada tanggal 27 Oktober 2016, yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (revisi UU ITE).
B. Ancaman Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik dalam UU
ITE
Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE berbunyi: “Setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Dari bunyi pasal ini dapat
ditarik rumusan delik yang ada dalam ketentuan ini , yaitu:
1. Setiap orang;
2. Dengan sengaja dan tanpa hak;
3. Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik;
4. Memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Dalam pasal ini telah disebutkan dengan jelas dan tegas
terkait dengan unsur-unsur tindak pidana yang dimaksud, sehingga
setiap orang mampu untuk memahami hukum yang dimaksud.Selain itu
juga ada hal-hal teknis yang dapat dikategorikan sebagai penjelasan
tambahan dalam peristilahan untuk mempermudah pemahaman dalam
praktik hukum di bidang informasi elektronik. Dalam proses yudicial
juga banyak diuraikan terkait peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang delikdelik tindak pidana pencemaran nama baik, yang
pada intinya lebih pada pembahasan terkait dengan tindak pidana
pencemaran nama baik sebagaimana ada dalam rumusan KUHP
sebagai asal peristilahan hukum yang dipakai.
Dari hasil analisis diperoleh pemahaman bahwa model rumusan
delik ini membawa konskuensi yang tidak sederhana seperti dalam
delik-delik tindak pidana lainnya. sebab dalam praktek penegakkan
hukumnya, Pengadilan dapat memutuskan secara berbeda-beda
terhadap rumusan delik tindak pidana pencemaran nama baik di
informasi elektronik ini . Dalam konteks seperti ini yang membawa
pemahaman secara diametral dengan rumusan delik tindak pidana
pencemaran nama baik yang ada dalam Pasal 310 KUHP. Jika
dibandingkan kontruksi tentang delik tindak pidana pencemaran nama
baik dalam UU ITE dengan KUHP, maka ada beberapa unsur
kesamaan, yaitu unsur kesengajaan dan unsur menyerang kehormatan
atau nama baik. Sedang dalam KUHP menuntut bahwa tindakan
ini harus dilakukan dimuka umum, akan tetapi dalam UU ITE
berubah menjadi peristilahan teknis seperti “mendistribusikan,
mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya informasi dan/ atau
dokumen elektronik” yang tidak memerlukan adanya unsur di muka
umum. Berikut beberapa hal-hal yang harus diwaspadai terkait dengan
ancaman pencemaran nama baik dalam UU ITE ini :
1. Jerat Hukum Pelaku Lebih Luas
Dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika dianalisis lebih jauh
maka ada lebih dari satu macam golongan pelaku yang secara
potensial dapat dikatakan sebagai pelaku pelanggaran dari perbuatan
yang dilarang dalam UU ITE ini , yaitu: 1) Setiap orang yang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik. 2) Setiap orang yang
menciptakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik. Dari
dua macam penggolongan pelaku tindak pidana ini dapat
mengenai siapapun jika ada pihak yang merasa dirinya telah dihina
dan/atau dicemarkan nama baiknya di media sosial. Meskipun tidak
membuat konten negatif, tetapi jika ikut menyebarkan kepada pihak
lain, maka dapat dikenai ancaman hukum tindak pidana ini .
Dapat menjadi masalah jika seseorang yang merasa tercemar
nama baiknya dapat menyeret atau melibatkan pihak lain yang tidak
ada hubungannya akibat dari pasal UU ITE ini atas tuduhan
menyebar luaskan informasi yang dianggap mencemarkan nama
baik. Bagaimana seseorang mengetahui bahwa hal itu telah
mencemarkan nama baik seseorang di media sosial, sebab banyak
sekali informasi yang diberikan layanan media sosial kepada
penggunanya. Ketika seseorang mengambil di media sosial dan
ternyata datanya mencemarkan nama baik orang lain, maka ia dapat
terkena UU ITE ini . Hal itu tentu berbahaya bagi seseorang
yang melakukan aktivitas di media sosial.
Selanjutanya dalam Pasal 2 UU ITE, jika ada seseorang yang
bekerja atau menjual jasa di bidang media informasi teknologi
elektronik, maka dalam melaksanakan pekerjaannya dapat dikatakan
menciptakan informasi elektronik. Maka jika terjadi masalah pada
data informasi yang dibuatnya, maka ia dapat terjerat UU ITE
ini . sebab secara langsung atau tidak seseorang yang membuat
informasi teknologi elektronik dapat digolongkan dalam pelaku
tindak pidana pencemaran nama baik ini. Oleh sebab luasnya jerat
pelaku dalam UU ITE ini maka warga harus berhati-hati dalam
media sosial, sebab dapat saja mereka terjerat dalam tindak pidana
UU ITE ini.
2. Ada Tidaknya Unsur Niat Dapat Terjerat Hukum
Dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak menjelaskan adanya
niat sebagai bagian dari unsur delik yang akan dikenakan bagi
pelaku tindak pidana penghinaan. Artinya, niat tidak menjadi syarat
terpenuhinya pelanggaran terhadap aturan ini, sehingga meskipun
tidak ada niat dari pelaku untuk mencemarkan nama baik seseorang,
tetapi jika ada seseorang yang merasa dirinya tercemar nama baiknya
akibat dari perbuatannya (tulisan, gambar, suara atau bentuk media
lain), maka pelaku ini dapat terjerat tindak pidana ini. Di dunia
informasi elektronik seperti media sosial, banyak sekali informasi
yang dapat masuk dan diterima begitu saja tanpa kita harus
mencarinya.Respon dari seseorang sering tidak terkontrol atau dapat
dikatakan berjalan secara alamiah terhadap sesuatu yang dirasa
menarik minat pelaku. Keadaan seperti itu biasanya terjadi dalam
kondisi yang sadar, tetapi bukan dalam artian sadar akan ada dampak
resiko atau konsekuensi akibat dari perbuatannya, tetapi sadar akan
dirinya telah melakukan perbuatan secara spontanitas tanpa
memikirkan dampak akibat dari perbuatan yang dilakukannya.
Sehingga sadar dalam konteks media sosial lebih cenderung pada
kesadaran teknik aplikasi logis informasi elektronik, bukan sadar
bagaimana dampak hukum yang akan ditimbulkannya. Tentu hal-hal
semacam ini harus dipertanggungjawabkan secara hukum.
Permasalahan niat ini , jika dikaitkan dengan Pasal 310
ayat (1) dan (2) KUHP, maka dalam pasal tentang pencemaran nama
baik ada kata-kata “dengan sengaja” di depan kata-kata
“menyerang kehormatan atau nama baik seseorang”. Meskipun
pelaku tindak pidana pencemaran nama baik memberikan alasan
pembelaan bahwa pelaku tidak memiliki niat atau tidak terbukti
secara sengaja untuk melakukan pencemaran nama baik yang
seakan-akan untuk menghindari adanya unsur kesengajaan sebagai
salah satu unsur dari Pasal 310 KUHP. Hal itu akan terbentur dengan
dengan doktrin dalam yurisprudensi yang terjadi dalam KUHP yang
membenarkan bahwa bukan “animus injuriandi” yang disyaratkan
dalam KUHP, akan tetapi cukup dengan adanya kesadaran,
pengetahuan, ataupun pengertian pada pelaku bahwa pernyataannya
objektif yang akan berakibat menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang. Sehingga muncul doktrin yang menyatakan bahwa bukan
tujuan utama yaitu sengaja untuk mencemarkan nama baik
seseorang dapat diancam pidana, tetapi sebab perbuatan yang
dilakukan dinilai telah mencemarkan nama baik seseorang.
3. Unsur-Unsur Teknis di Bidang Informasi Elektronik Telah Jelas
Dalam Pasal 7 ayat (3) UU ITE telah diatur secara jelas
unsur-unsur teknis di bidang ITE, sehingga harus ditafsirkan sesuai
dengan konteks pemahaman yang berlaku.Seperti kata
“mendistribusikan, mentransmisikan dan membuat dapat diakses”
telah dijelaskan dengan tegas bahwa dalam hal ini yaitu konteks di
bidang ITE, yang memiliki karakteristik tertentu jika dibanding
dengan bidang lainnya. Arti kata ini dapat dipahami secara
umum dan jika diberlakukan pada kasus-kasus nyata tentu dapat
dimaknai sama. Apalagi kejadian hukum yang disangkakan secara
jelas dan tegas membuktikan terjadinya pelangggaran UU ITE.
Masih adanya kemungkinan lain untuk menyampaikan alasanalasan
yang jika dipahami akan sama dari penjelasan UU ITE ini .
Berbagai keadaan dan hal-hal lain dapat mendukung atau
melemahkan pelanggaran UU ITE dapat terjadi.
Secara umum, mendistribusikan dapat dipahami sebagai
persamaan kata dari menyebarkan atau menyampaikan kepada pihak
lain, mentransmisikan dapat dipahami sebagai bentuk istilah teknis
yang dapat dilakukan dengan berbagai cara dalam ITE yang intinya
yaitu menyalurkan ke media lain, Sedang istilah membuat dapat
diakses dapat dipahami sebagai kegiatan melakukan interaksi dengan
sistem ITE yang melibatkan banyak jaringan. Dalam tafsir
pemahaman pasal ini memiliki cakupan yang sangat luas,
sebab hampir seluruh kegiatan yang terkait dengan kegiatan
informasi transaksi elektronik yang mengandung unsur pencemarana
naman baik dapat dikenai dengan pasal ini .warga harus
berhati-hati dalam melakukan kegiatan di media sosial, sebab
tindakan mereka mungkin saja termasuk dalam pelanggaran UU ITE
ini. Belum juga permasalahan media sosial yang sangat rentan
dengan penyalahgunaan data untuk kepentingan komersial, sehingga
jika tidak disadari data dapat berpindah dan menyebar kepada pihak
lain jika itu dikehendaki. Maka pasal dalam UU ITE ini akan
menjerat siapa saja yang di duga melakukan tindak pidana ini .
4. Arti Pemahaman Pencemaran Nama Baik yang Luas
Untuk menghindari penilaian yang bersifat subjekti, maka
istilah pencemaran nama baik merujuk pada norma awal dari hukum
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 dan
Pasal 315 KUHP yang sering disebut sebagai asal mula hukum
pidana pencemaran nama baik. Sehingga pencemaran nama baik di
bidang informasi elektronik diuji dengan pengertian yang sama
dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP ini
yang mencakup unsur: kejahatan, alasan pembenar dan doktrin-
doktrin umum dalam pemakaian nya. Kejelasan unsur pencemaran
nama baik tercermin dari praktik penerapan hukum dalam putusan
sidang di pengadilan. Dalam praktiknya pengadilan menemukan
kesamaan dalam penerapan rumusan ini dan cenderung
memakai rumusan unsur yang telah biasa dipakai dalam
KUHP.Meskipun konteks kasusnya berbeda, sebab ruang lingkup
yang dipakai sebagai media untuk melakukan tindakan pun
berbeda, media sosial yaitu media maya non riil yang hanya ada
jika sistem elektronik melakukannya.Sedang KUHP yaitu untuk
mengatur tindakan yang secara nyata dilakukan dalam bentuk
empiris konkrit. Akan tetapi secara substansi, maksudnya yaitu
pencemaran nama baik.
Dari berbagai putusan pengadilan telah menunjukkan bahwa
apa yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE yaitu tindak
pidana yang telah di atur dalam hukum positif. Pencemaran nama
baik hanya dapat dirasakan oleh seseorang yang merasa dirugikan
saja, sehingga pihak lain bisa saja memahami berbeda. Sifat subjektif
inilah yang harus diwaspadai oleh warga .Apalagi di media
sosial yang gerak mobilitas sangat cepat dan kompleks, maka
terhadap realitas itu sering diabaikan atau dianggap sebagai hal yang
biasa saja.Majelis hakim dapat merujuk dari berbagai sumber untuk
menafsirkan unsur ini . Oleh sebab itu dari berbagai putusan
pengadilan yang memberikan vonis hukuman terhadap pelanggar
Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini masih ditemukan beberapa
pertimbangan dalam putusan yang dapat dijadikan pelajaran penting
bagi putusan lainnya. Artinya, bahwa unsur-unsur tindak pidana
pencemaran mana baik telah diatur dengan jelas dan tegas dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam UU ITE pencemaran nama baik dapat dipahami
sebagai penghinaan, fitnah, prasangka palsu, berita bohong yang
merugikan atau jenis tidak pidana yang lain yang dapat dinilai
merugikan orang lain. Maka hal ini berdampak pada berapa batasan
maksimal sanksi pidana penjara atau denda bagi tersangka yang
dianggap melanggarnya. Putusan hakim dapat saja menentukan
tindak pidana ini dengan mengestimasi batasan maksimal
sanksi penjara atau denda yang dapat dikenakan, tentu hal itu tidak
akan melebihi sanksi pidana sebagaimana yang ada dalam Pasal
45 ayat (1) UU ITE. Pengenaan tindak pidana ini tentu memiliki
dampak kepada tersangka. Jika estimasi hukumnya meringankan,
maka itu menguntungkan, tetapi jika hukumnya berat maka jelas itu
akan merugikan.
5. Pertanggungjawaban Privasi Lebih Ketat
Terhadap pernyataan-pernyataan yang dapat merugikan
orang lain yang disampaikan ke muka umum atau publik menurut
hukum dapat dilakukan pemidanaan terhadapnya. Hal itu terkait
dengan “private correspondence” yang mencemarkan nama baik
diperbolehkan untuk dijadikan subjek maupun objek pemidanaan
terhadap hal-hal yang bersifat pribadi. Syarat publisitas dan
demokrasi menjadi penting dalam menilai apakah pernyataan
ini termasuk dalam kategori pencemaran nama baik atau tidak.
Terhadap delik pencemaran nama baik dalam hukum pidana akan
selalu di dasari adanya unsur dengan maksud untuk diketahui oleh
umum. Sehingga syarat penyampaian ke umum menjadi penting
untuk diperhatikan.Jangan sampai halhal yang bersifat pribadi dapat
dikenakan pidana pelanggaran UU ITE.Begitu pentingnya sifat
umum dari tindak pidana yang di sangkakan, maka unsur demikian
yang menentukan suatu perbuatan itu memenuhi rumusan delik atau
tidak.
Jika ditarik ke dalam ranah hak asasi, maka mungkin saja
pernyataan-pernyataan yang dianggap sebagai pencemaran nama
baik bertentangan dengan hak asasi manusia dalam menyampaikan
suaranya, baik kepada yang bersifat privat maupun publik. sebab
setiap orang berhak mendapat perlakuan yang baik atau komentar
yang tidak merugikan dengan tidak melanggar aturan hukum dan
etika yang ada.Fenomena ini sering terjadi di media sosial.
warga dalam menyampaikan kritiknya sering memakai
kata-kata yang kurang baik atau bahkan dapat dikatakan telah
mencemarkan nama baik. warga yang baru menerima
perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung
memahami keadaan ini sebagai bentuk kebebasan
berekspresi.Sehingga setiap orang bebas melakukan aktivitas di
media sosial namun, jika tidak hati-hati bisa menjeratnya kedalam
kasus hukum pidana.
6. Penguatan Hukum oleh Delik Aduan
Sejak diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2009
yang lalu bahwa tindak pidana pencemaran nama baik dalam UU
ITE yaitu yaitu delik aduan, maka diperlukan keaktifan dari
pihak yang merasa tercemar namanya. Tanpa disadari bahwa delik
aduan juga memiliki potensi yang cukup besar untuk menjerat
seseorang dalam hukum. Akibat dari perubahan menjadi delik aduan
ini maka terjadi peningkatan yang cukup banyak terhadap kasus-
kasus pencemaran nama baik. Aparat penegak hukum menerima
banyak pengaduan dari orang-orang yang merasa namanya
dirugikan. Delik aduan yang pada intinya menuntut peran aktif dari
pihak yang merasa dicemarkan nama baiknya dapat membuka
peluang kepada seseorang yang tidak suka kepada orang lain untuk
memperkarakan kedalam ranah hukum. Aparat penegak hukum akan
memproses segala pelaporan dari pihak-pihak yang merasa tercemar
nama baiknya, meskipun itu ada hal-hal yang
melatarbelakanginya atau sebab-sebab kenapa itu dapat terjadi,
namun penegakkan tindak pidana tetap berjalan.
Bahkan jika tidak ada pemahaman yang cermat dan teliti,
maka dapat saja delik aduan dalam tindak pidana pencemaran nama
baik ini dapat saja masuk dalam ranah hukum perdata khususnya
urusan pribadi masing-masing yang terbawa ke ranah publik. Hal itu
tentu dapat menambah rumit dan panjang masalah hukum. Apalagi
dalam proses penegakkan hukum ini melibatkan aparat penegak
hukum, maka itu dapat mempengaruhi proses hukum. Dalam tindak
pelanggaran UU ITE ini instrument hukum yang ada yang
disediakan oleh negara dapat bekerja untuk kepentingan pribadi
berdasar syarat pengaduan ini . Negara dalam hal ini
seolaholah memfasilitasi adanya proses hukum yang terjadi antar
hubungan individu, namun perlu disadari tugas negara dalam
memberikan perlindungan hukum bagi seluruh warga .
7. Ketiadaan Alasan Pembenar
Dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak diperlukan adanya
alasan pembenar dalam memahami tindak pidana pencemaran nama
baik. Jika demikian seolah-olah doktrin untuk membela diri dan
alasan pembenar tidak ada dalam rumusan pasal ini. Ketiadaan
alasan pembenar akibat dari tidak adanya jenis pencemaran nama
baik seperti ada dalam Pasal 310 KUHP ini . Sehingga
dengan itu, maka terbuka kemungkinan aparat penegak hukum untuk
menafsirkan kapan dapat dan tidaknya dilakukan proses pidana.
Selain itu juga dapat menentukan sendiri batas maksimal atau
minimal pidana penjara atau denda untuk setiap tindak pidana
pencemaran nama baik yang dimaksud.
Untuk dapat dikatakan pencemaran nama baik diperlukan
adanya tuduhan terhadap seseorang yang bersifat menyerang
kehormatan atau nama baik dan dilakukan di depan umum. Dalam
hal itu memerlukan niat kesengajaan untuk menghina, akan tetapi itu
bukan akibat kegiatan pribadi yang dilakukan dalam media sosial.
Meskipun tuduhan itu benar namun jika tidak dilakukan dalam
rangka kepentingan umum atau sebab terpaksa membela diri atau
bila yang dituduh ini bukanlah seorang pejabat yang sedang
dalam menjalankan tugasnya, maka akan terjerat sanksi pidana.
Sehingga alasan pembenar hanya diletakkan dalam kontruksi Pasal
310 KUHP dimana alasannya untuk kepentingan umum atau
pembelaan diri sebab terpaksa.Alasan pembenar dalam UU ITE ini
tidak dapat dijadikan instrumen untuk melakukan pembelaan diri
seperti halnya dalam KUHP, sebab wilayah objek permasalahan
hukum yang berada dalam informasi elektronik. Maka
sebagaimanapun kuatnya alasan pembenar akan tetap terjerat tindak
pidana pencemaran nama baik dalam UU ITE. Hal ini didasari oleh
pemakaian media elektronik yang melekat dengan kewajiban untuk
bertanggungjawab terhadapnya.sebab semua pengguna media
informasi teknologi elektronik dianggap telah mampu untuk
bertanggungjawab secara hukum terhadap semua hal yang terjadi
dalam kegiatan informasi teknologi elektronik ini .Biasanya
dibuktikan dengan konfirmasi persetujuan atas segala yang
dilakukan dalam media elektronik.
8. Pengakuan Hukum Alat Bukti Elektronik
Maraknya pelanggaran hukum yang terjadi di dunia ITE telah
menimbulkan suatu jenis baru dari alat bukti yang dikenal dengan
istilah bukti elektronik (digital evidence). Menurut Casey, alat bukti
elektronik yaitu informasi elektronik yang dapat dipakai untuk
menghubungkan dengan terjadinya tindak pidana dan pelaku
kejahatan ini .
Sedang menurut Cohen, alat bukti elektronik yaitu
produk dari proses forensic digital. Forensic digital yaitu
identifikasi kegiatan yang memerlukan investigasi (menentukan
sumber digital yang terkait), mengumpulkan informasi, memastikan
keaslian informasi, menganalisis informasi dan pelaporan hasil
pemeriksaan.Bukti elektronik menurut Kerr memiliki konteks yang
berbeda dari pada bukti fisik seperti pada umumnya, sebab dalam
alat bukti elektronik hanya ada dalam bentuk nol dan satu.sebab
perbedaan ini maka diperlukan perlakuan yang berbeda dalam
pemakaian ya dalam hukum. Dalam legislasi dan praktek yang
berlangsung International Criminal Court (ICC) pada dasarnya
mengakui bukti elektronik sebagai alat bukti
Secara umum pada prinsipnya ada tiga klasifikasi bentuk alat
bukti secara elektronik yang dapat diakui secara hukum, yaitu: 1)
Dokumen elektronik yang disamakan dengan dokumen surat; 2)
Tanda tangan elektronik yang disamakan dengan tanda tangan
tulisan tangan; 3) Surat elektronik sama dengan surat melalui pos.
Semua alat bukti elektronik ini muncul dari suatu sistem yang
diciptakan dari peralatran elektronik, sehingga dalam melakukan
validasi kebenarannya tergantung pula pada peralatan ini .
C. Pengertian Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik
Tindak pidana informasi dan transaksi elektronik (ITE) diatur
dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). Informasi Elektronik, sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 1, UU ITE yaitu satu atau sekumpulan data
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat
elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya. Sedang , transaksi elektronik, diatur dalam Pasal 1
angka 2 UU ITE, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan dengan
memakai Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik
lainnya.
Subjek hukum dalam tindak pidana ITE antara lain:
a. Orang
b. Korporasi
Penyidik dalam tindak pidana ITE ialah pejabat polisi Negara
Republik negara kita , Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan pemerintah yang lingkungan tugas dan tunggung jawabnya
di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi
wewenang khusus sebagai penyidik, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik..
A. Pengertian Terorisme
Secara etimologis, terorisme terdiri dari dua kata, yaitu “Teror”
dan “Isme” kata “teror” memiliki arti kekejaman, tindak kekerasan, dan
kengerian, Sedang kata “Isme” berarti suatu paham. Ada juga yang
mengatakan bahwa kata “teroris” dan terorisme berasal dari kata latin
“terrere” yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau
menggentarkan. Kata teror juga bermakna menimbulkan kengerian.
Beberapa pengertian atau definisi terorisme yang dikemukakan baik
oleh beberapa lembaga maupun beberapa ahli antara lain sebagai berikut:
1. Purdawarminta
Purdawarminta mengartikan terorisme sebagai praktek
praktek tindakan teror dengan memakai kekerasan untuk
menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai sesuatu. Terorisme
juga diartikan sebagai suatu pemakaian kekerasan untuk
menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan tertentu,
terutama tujuan politik dan tindakan-tindakan keras yang
dipraktekkan oleh pihak tertentu.
2. James Adams
Pengertian terorisme dalam rumusan yang panjang yaitu
pemakaian atau ancaman kekerasan fisik oleh individu-individu
atau kelompok-kelompok untuk tujuan-tujuan politik, baik untuk
kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang ada bila
tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan,
melumpuhkan atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang
lebih besar dari pada korban-korban secara langsung.36
3. US Central Inteligence Agency (CIA).
Terorisme internasional yaitu terorisme yang dilakukan
dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau
diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing.
4. US Faderal Bureau of Investigation (FBI).
Terorisme yaitu pemakaian kekerasan tidak sah atau
kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah
pemerintah, penduduk sipil elemen-elemennya untuk mencapai
tujuan sosial atau politik.
5. US Departments of State and Defense
Terorisme yaitu kekerasan bermotif politik dan dilakukan
oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran
kelompok non kombatan.Biasanya dengan maksud untuk
mempengaruhi audien.
E. V. Walter, Proses teror memiliki tiga unsur, yaitu:
1. Tindakan atau ancaman kekerasan.
2. Reaksi emosional terhadap ketakutan yang amat sangat dari pihak
korban atau calon korban. Dampak sosial yang mengikuti kekerasan
atau ancaman kekerasan dan rasa ketakutan yang muncul kemudian.
Adapun pengertian terorisme yang dikemukakan baik oleh
beberapa lembaga maupun beberapa pakar ahli, yaitu :
a. Terorisme Act 2000, UK., Terorisme mengandung arti sebagai
pemakaian atau ancaman tindakan, dengan ciri-ciri:
1. Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang ,
kerugian berat terhadap harta benda, membahayakan kehidupan
seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan,
menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik
atau bagi tertentu yang didesain secara serius untuk campur
tangan atau menggangu system elektronik;
2. pemakaian atau ancaman didesain untuk mempengaruhi
pemerintah atau untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu
dari publik;
3. pemakaian atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama,
atau ideology;
4. pemakaian atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang
melibatkan senjata api dan bahan peledak.
b. Menurut Konvensi PBB, Terorisme yaitu segala bentuk tindak
kejahatan yang ditujukan langsung kepada Negara dengan maksud
menciptakan bentuk teror tehadap orang-orang tertntu atau kelompok
orang atau warga luas.
c. Dalam Kamus Bahasa negara kita , Terorisme yaitu pemakaian
kekerasan atau ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-
nakuti dan menakutkan terutama untuk tujuan politik.
d. Dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, bahwa terorisme yaitu perbuatan melawan
hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan
kedaulatan bangsa dan Negara dengan membahayakan bagi badan,
nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau
menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa tacit
terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap
objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan
hidup, moral, peradaban, rahasia Negara, kebudayaan, pendidikan,
perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas
internasional.
e. Menurut Syed Hussein Alatas, terroris (pengganas) yaitu mereka
yang merancang ketakutan sebagai senjata persengketaan terhadap
lawan dengan serangan pada manusia yang tidak terlibat, atau harta
benda tanpa menimbang salah atau benar dari segi agama atau moral,
berdasar atas perhitungan bahwa segalanya itu boleh dilakukan
bagi mencapai tujuan matlamat persengketaan.
f. T. P. Thornton, terorisme didefinisikan sebagai pemakaian teror
sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi
kebijaksanaan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra
normal, khususnya dengan pemakaian kekerasan dan ancaman
kekerasan.
Dari berbagai pendapat dan pandangan mengenai pengertian
yang berkaitan dengan terorisme diatas dapat ditarik kesimpulan,
bahwasanya terorisme yaitu kekerasan terorganisir, menempatkan
kekerasan sebagai kesadaran, metode berpikir sekaligus alat pencapaian
66
tujuan. Dari berbagai pengertian diatas, menurut pendapat para ahli
bahwasanya kegiatan terorisme tidak akan pernah dibenarkan sebab
ciri utamanya, yaitu :
a. Aksi yang dipakai memakai cara kekerasan dan ancaman
untuk menciptakan ketakutan publik;
b. Ditujukan kepada Negara, warga atau individu atau kelompok
warga tertentu;
c. Memerintah anggota-anggotanya dengan cara teror juga; d.
Melakukan kekerasan dengan maksud untuk mendapat dukungan
dengan cara yang sistematis dan terorganisir39
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme: Tindak pidana terorisme
yaitu segala perbuatan yang memenuhi u