pidana khusus 2




 ian 

uang di negara kita  masih banyak kelemahan, maka dalam amandemen 

pertama definisi yang sebelumnya tidak dicantumkan, kemudian 

dicantumkan dalam Pasal (1) Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 yang 

isinya sebagai berikut: “Pencucian uang yaitu menempatkan, 

mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, 

menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan 

lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga 

yaitu  hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, 

atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah 

menjadi harta kekayaan yang sah. 

Dari definisi di atas, money laundering bukan kejahatan tunggal 

tetapi kejahatan ganda. Pencucian uang yaitu  kejahatan follow up 

crime atau kejahatan lanjutan atas kejahatan utama (core creme). Dalam 

kejahatan pencucian uang ada  dua kelompok pelaku yang berkaitan 

langsung dengan kejahatan utama dan kelompok kedua tidak berkaitan 

langsung dengan core creme, misalnya penyedia jasa keuangan, baik 

lembaga perbankan maupun non perbankan. 

Dari rumusannya, kejahatan pencucian uang dalam Undang-

Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dapat dibedakan dalam dua 

kriteria yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 3 dan 6) dan 

Tindak Pidana yang berkaitan dengan Pencucian Uang (Pasal 8 dan 9). 

Masing-masing pasal ini  yaitu : 

Pasal 3:  

(1) Setiap orang yang dengan sengaja: 

a. Menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut 

diduga yaitu  hasil tindak pidana kedalam penyedia jasa 

keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;  

b. Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut 

diduganya yaitu  hasil tindak pidana dari suatu penyedia 

jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain baik atas 

nama sendiri maupun atas nama pihak lain; 

c. Membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang 

diketahuinya atau patut diduga yaitu  hasil tindak pidana, 

baik perbuatan itu atas namanya maupun atas nama pihak lain;  

d. Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang 

diketahuinya atau patut diduga yaitu  hasil tindak pidana 

baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;  

e. Menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga 

yaitu  hasil tindak pidana baik atas namanya maupun atas 

nama pihak lain;  

f. Membawa keluar negeri harta kekayaan yang diketahuinya 

atau patut diduga yaitu  hasil tindak pidana; atau  

g. Menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang 

diketahuinya atau patut diduga yaitu  hasil tindak pidana 

dengan mata uang atau surat berharga lainnya; dengan maksud 

untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta 

kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya yaitu  

hasil tindak pidana, dipidana sebab tindak pidana pencucian 

uang dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling 

lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp.100 juta dan paling 

banyak Rp. 15.milyar. 

 

Unsur objektif (actus reus) dari Pasal 3 sangat luas dan 

yaitu  inti delik maka harus dibuktikan. Unsur objektif ini  

terdiri dari menempatkan, mentransfer, membayarkan atau 

membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, 

membawa keluar negari, menukarkan atau perbuatan lain atas harta 

kekayaan (yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan). 

Sedang  unsur subjektifnya (mens rea) yang juga yaitu  

inti delik yaitu sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta 

kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk 

menyembunyikan atau menyamarkan harta ini . 

 

Pasal 6: 

(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai:  

a. Penempatan;  

b. Pentransferan;  

c. Pembayaran;  

d. Hibah;  

e. Sumbangan;  

f. Penitipan;  

g. Penukaran, harta kekayaan yang diketahui atau patut 

diduganya yaitu  hasil tindak pidana dipidana dengan 

pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun 

dan denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 

15 milyar. 

 

Unsur objektif Pasal 6 yaitu menerima atau menguasai 

penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, 

penukaran harta kekayaan (yang diketaui atau patut diduga berasal dari 

hasil tindak pidana).Sedang  unsur subyektif atau mens reanya 

yaitu mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan 

yaitu  hasil tindak pidana. 

Untuk menegakan hukum terhadap praktik pencucian uang 

memerlukan kerjasama yang baik dari semua unsur Sistem Peradilan 

Pidana (SPP) yang dalam hal ini terdiri dari polisi, jaksa, hakim dan 

juga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). 

Masing-masing unsur SPP dan PPATK harus bisa berjalan dengan baik 

terkoordinir dan simultan.Namun nampaknya masih ada  masalah 

dalam penegakan terhadap pencucian uang.Untuk itu dibentuklah badan 

investigasi sebagai Financial Intelligence Unit (FIU).26 

Dalam usaha  pemberantasan tindak pidana pencucian badan 

investigasi yang bersifat independen yaitu Financial Intelegent Unit 

(FIU), sebagai jalan tengah atas keberadaan badan investigasi pada 

Penyediaan Jasa Keuangan (PJK) terutama bagi pihak bank. Bank 

selalu berhati-hati dalam menjaga kepercayaan nasabahn yaitu  

faktor yang sangat penting, sementra polisi melihat bahwa segala 

sesuatu yang mencurigakan akan ditindaklanjuti dan akan dijadikan 

tersangka sebagai suatu sikap antusiasme dan profesionalismenya. 

Pada awalnya pelaku banyak memakai  jasa bank untuk 

mencuci uangnya, untuk itu diperlukan badan khusus untuk investigasi 

sebelum masuk dalam tahap penyidikan. Terkait dengan usaha  

pemberantasan pencucian uang Penyediaan Jasa Keuangan (PJK) 

diharuskan menerapkan Know your Customer (KYC) sebagai langkah 

prefentif dalam usaha  pemberantasan pencucian uang dan kewajiban 

lainnya.

 

A. Pengertian Tindak Pidana Ekonomi 

Hukum pidana ekonomi yaitu bagian dari hukum pidana yang 

memiliki  ciri tersendiri yaitu sifat ekonomisnya. Banyak para praktisi 

dan akademisi memberikan definisi tentang apa itu tindak pidana 

ekonomi,28 namun, secara umum, tindak pidana ekonomi dibagi 

menjadi dua pengertian: pengertian dalam arti sempit dan arti luas. 

Terlepas dari perbedaannya, kedua pengertian itu memiliki  

persamaan yaitu keduanya memiliki  motif ekonomi dan/atau 

memiliki  pengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian dan 

keuangan negara serta dunia usaha.

Menurut MuhammadAnwar : Dalam bukunya Hukum Pidana 

dibidang Ekonomi menyebutkan bahwa ada 2 jenis kelompok tindak 

pidana dibidang Ekonomi yaitu : 

1. Tindak Pidana dalam arti Sempit  

Tindak pidana ekonomi yang bersumber pada pasal 1 UU 

Tindak Pidana Ekonomi. Hal ini dapat dibagi 3 yaitu : 

a. Tindak pidana Ekonomi berdasar pasal 1 ayat 1  

Himpunan peraturan – peraturan dibidang ekonomi yang sudah 

ada sebelum UU tindak pidana ekonomi ini diundangkan. 

b.  Tindak pidana ekonomi berdasar pasal 1 ayat 2 UU TPE 

yakni sebagai yang diatur dalam pasal 26, 32,33  

c. Tindak Pidana ekonomi berdasar pasal 1 ayat 3 UU TPE yakni 

pelanggaran suatu ketentuan : 

 

2. Tindak pidana dalam arti luas 

Dapat dibagi atas : 

a. Pelanggaran terhadap ketentuan – ketentuan dari peraturan – 

peraturan dibidang ekonomi, pelanggaran mana diancam dengan 

hukuman yang termuat dalam UU TPE yang biasanya 

berdasar ketentuan – ketentuan pidana dalam peraturan khusus 

dibidang ekonomi. 

 

Menurut Undang-undang Darurat itu, yang dimaksud dengan 

tindak pidana ekonomi adalah: 

1. Tindak pidana ekonomi berdasar pasal 1 sub 1e: 

a. Pelanggaran di bidang devisa; 

b. Pelanggaran terhadap prosedur impor, ekspor/ Penyelundupan;  

c. Pelanggaran izin; d. pelanggaran ketentuan barang-barang yang 

diawasi 

2. Tindak pidana ekonomi berdasar pasal 1 sub 2 e meliputi: 

a. Pasal 26, dengan sengaja tidak memenuhi tuntutan pegawai 

pengusut berdasar suatu ketentuan dalam undang– undang;  

b. Pasal 32, dengan sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang 

bertentangan dengan : 

- Suatu hukuman tambahan sebagai tercantum dalam pasal 7 sub 

s, b, dan c 

- Suatu tindakan tata tertib sebagai tercantum dalam pasal 8  

- Suatu peraturan termaksud dalam pasal 10  

- Suatu tindakan tata tertib sementara atau menghindari 

hukuman tambahan / tindakan tata tertib sementara seperti 

ini  diatas. 

- Sasal 33, dengan sengaja baik sendiri maupun perantara orang 

lain menarik bagian -bagian kekayaan untuk dihindarkan dari : 

tagihan-tagihan, pelaksanaan suatu hukuman atau tindakan tata 

tertib sementara, yang dijatuhkan berdasar undang -

undang; 

3. Tindak pidana ekonomi berdasar pasal 1 sub 3e: Pelanggaran 

sesuatu ketentuan dalam undang – undang lain dan berdasar 

undang – undang lain. 

B. Pengaturan Tindak Pidana Ekonomi 

Tindak pidana ekonomi diatur dalam Undang-Undang Darurat 

No. 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak 

Pidana Ekonomi (yang selanjutnya disebut sebagai UU TPE). Sesuai 

dengan namanya UndangUndang Darurat yaitu undang-undang yang 

dikeluarkan oleh Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala 

Pemerintahan dalam suatu keadaan yang mendesak agar segera 

diberlakukan, sebab pada saat itu memang sangat di perlukan adanya 

undang-undang ini, kalau kita flash back ke sejarah lahirnya UU Drt No 

7 tahun 1955 bahwa pada saat itu negara kita  baru saja merdeka, dan 

untuk kemajuan perekonomian bangsa maka negara kita  membuka diri 

untuk berbagai jenis investasi. 

Undang-Undang Darurat No 7 tahun 1955 yaitu yaitu  

saduran dari wet op de Economich Delicten di Nederland, tetapi telah 

disesuaikan dengan keadaan di negara kita  walaupun ada beberapa 

kalimat yang masih asli dari induknya seperti dalam Pasal 1. 

Economic crime atau tindak pidana ekonomi dalam ensiklopedia 

Crime and justice diartikan sebagai kegiatan kriminil yang memiliki 

kesamaan tertentu dengan kegiatan ekonomi pada umumnya yaitu 

kegiatan usaha-usaha yang nampak non criminal. 

Dalam American Bar association memberikan batasan 

mengenai economic crime yaitu setiap tindakan ilegal tanpa 

kekerasan, terutama menyangkut penipuan, perwakilan tidak sah, 

penimbunan, manipulasi, pelanggaran kontrak, tindakan curang atau 

tindakan menjebak secara ilegal, sehingga ada juga yang menyebutnya 

sebagai business crime. 

Sebelumnya Sunarjati Hartono menyebutkan bahwa bisa 

economic crime bisa dikategorikan sebagai white collar crime atau 

kejahatan berkerah putih, dalam perkembangan selanjutnya Muladi 

menyebutkan sebagai socio economic crime. Ciri penting dari economic 

crime yaitu proses pemilikan harta benda secara licik atau dengan 

penipuan dan beroperasi secara diam-diam (tersembunyi) dan sering 

dilakukan oleh perorangan yang memiliki status sosial dan ekonomi 

yang tinggi. 

Dengan demikian tindak pidana ekonomi, mengandung unsur : 

a. Perbuatan dilakukan dalam kerangka kegiatan ekonomi yang pada 

dasarnya bersifat normal dan sah.  

b. Perbuatan ini  melanggar atau merugikan kepentingan negara 

atau warga  secara umum, tidak hanya kepantingan imdividual,  

c. Perbuatan itu mencakup pula perbuatan di lingkungan bisnis yang 

merugikan perusahaan lain atau individu lain.  

 

Tetapi ada juga yang mendefinisikan bahwa economic crime 

yaitu setiap perbuatan pelanggaran atas kebijakan negara di bidang 

ekonomi yang dituangkan dalam peraturan hukum ekonomi yang 

memuat ketentuan pidana terhadap pelanggarnya. 

Ada tiga golongan delik dalam UU drt Tindak Pidana Ekonomi 

yaitu : 

1. Golongan pertama ditunjuk undang-undang, ordonanties yang 

dimaksudkan menjadi delik ekonomi, diatur dalam Pasal 1 sub 1 

UUTPE. 

a. Indische scheepvaartwet (Stbl 1936 Nomor 700), Scheeovaart 

verordening nya (Stbl 1936 Nomor 703). Ini sudah dicabut, 

diganti dengan UndangUndang tentang pelayaran (UU No 17 

tahun 2008) , yang tidak dimasukan dalam delik ekonomi.  

b. Bedriff Reglementerings Ordonantie 1934 (Stbl 1938 Nomor 86) , 

ordonansi ini sudah dicabut yang berlaku sekarang yaitu 

Undang-Undang tentang Perindustrian (UU No. 22 tahun 1984).  

c. Kapok Belangen Ordonantie 1935 (Stbl 1935 Nomor 1650, Pasal 

5 menyebutkan bahwa dilarang tanpa ijin tertulis yang diberikan 

oleh Direktur atau seorang pegawai yang ditunjuk olehnya untuk 

mengeluarkan kapok.  

d. Ordonantie Aetherische Olien (Stbl 1937 Nomor 601), yaitu 

tentang ekspor minyak.  

e. Ordonantie Cassava Producten 1937 ( Stbl 1937 Nomor 602), 

yaitu tentang pelarangan ekspor produk ketela.  

f. Krosok Ordonantie 1937 (Stbl 1937 Nomor 64) yaitu pelarangan 

ekspor krosok atau tembakau. 

2. Golongan kedua, Undang-Undang (drt) TPE sendiri memuat 

perumusan delik seperti dalam Pasal 26, 32 dan 33 yang semuanya 

yaitu  pelanggaran terhadap hukum acara. 

 

Pasal 26 UUTPE mengatur tentang subjeknya yaitu “barang 

siapa” dan adanya bagian inti delik yaitu dengan “sengaja dan 

tidak memenuhi tuntutan pegawai pengusust, berdasarkab suatu 

aturan dari undang-undang darurat ini yaitu tindak pidana 

ekonomi, mengenyampingkan Pasal 216 KUHP”. 

 

Pasal 32 UUTPE mengatur tentang subjek yaitu dengan kalimat 

“Barang siapa” dan inti delik yaitu dengan “sengaja”, “berbuat 

atau tidak berbuat sesuatu” dan “yang bertentangan dengan suatu 

hukuman tambahan sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat 

(1) sub a,b atau e dengan suatu tindakan tata tertib seperti 

tercantum dalam Pasal 8, dengan suatu peraturan seperti 

termaksud dalam Pasal 10, atau dengan suatu tindakan tata tertib 

sementara atau menghindari hukumantambahan, tindakan tata 

tertib, peraturan, tindakan tata tertib sementara seperti ini  

diatas”. 

 

Pasal 33 UUTPE mengarur tentang subjek “ Barang Siapa”, dan 

bagian initi deliknya menyebutkan subjek yaitu “Barang siapa”, 

bagian intinya yaitu “sengaja”, “baik sendiri atau dengan 

perantaraan orang lain”, “menarik bagianbagian kekayaan untuk 

dihindarkan dari tagihan-tagihan atau pelaksaan suatu hukuman, 

tindakan tata tertib atau tindakan tata tertib sementara, 

berdasar UUTPE”. 

3. Golongan ketiga, ialah undang-undang yang dibuat belakangan yang 

secara tegas dinyatakan dalam undang-undang itu bahwa 

pelanggaran atasnya termasuk delik ekonomi seperti umpamanya 

UU No 8 (Prp) tahun 1962 tentang Pengawasan Barang-Barang. 

 

Undang-Undang No 7 (Drt) Tahun 1955 tentang Pengusutan, 

Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi 

H. Nolte menjelaskan dua macam pengecualian berlakunya 

Pasal 103 KUHP yaitu undang-undang lain menentukan dengan tegas 

pengecualian berlakunya Pasal 103 KUHP atau undang-undang itu 

menentukan secara diamdiam pengecualian seluruh atau sebagian dari 

Pasal 103 KUHP itu yang dikenal dengan adagium lex specialis 

derogate legi generali.  

Undang -Undang No 7 (drt) tahun 1955, ini mengandung 

banyak keistimewaan yang berbeda dengan ya ng diatur dalam KUHP, 

diantaranya adalah: 

1. Pasal 2 membedakan antara tindak pidana ekonomi kejahatan dan 

pelanggaran, hanya ditentukan bahwa bila  tindak pidana itu 

dilakukan dengan sengaja yaitu kejahatan Sedang  bila  

dilakukan tidak dengan sengaja maka tindak pidana itu digolongkan 

sebagai pelanggaran.  

2. Pasal 3 mengatur tentang asas teritorial , “ Barangsiapa turut 

melakukan suatu tindak pidana ekonomi yang dilakukan di dalam 

daerah hukum Republik negara kita , dapat dihukum pidana, begitu 

pula jika ia turut melakukan tindak pidana ekonomi itu diluar 

negeri”, maksudnya apakah tindak pidana ekonomi itu dilakukan di 

negara kita  atau tidak maka tetap haru dipidana bila merugikan negara 

negara kita .  

3. Pasal 4 mengatur bahwa percobaan (poging) dan membantu dapat 

dipidana dan dianggap delik selesai, dalam Pasal 53 KUHP delik 

percobaan kalau ada niat maka akan dihukum 1/3 dari hukuman 

yang diancamkan dan dalam Padal 57 KUHP tentang membantu 

melakukan pelanggaran tidak dipidana. 

4. Sanksi pidana diatur dalam Pasal 6, yang menyebutkan bahwa : 

1) Barangsiap melakukan suatu tindak pidana ekonomi: 

a. Dalam hal kejahatan sekadar yang mengenai tindak pidana 

ekonomi termasuk dalam Pasal 1 sub 1 e dihukum dengan 

hukuman perjara selama-lamanya enam tahun dan hukuman 

denda setinggi-tingginya lima ratus ribu rupiah atau dengan 

salah satu dari hukuman pidana itu;  

b. Dalam hal kejahatan sekadar yang mengenai tindak pidana 

ekonomi termasuk dalam Pasal 1 sub 2 e dan berdasar sub 

3 e dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua 

tahun dan hukuman dendasetinggi-tingginya seratus ribu 

rupiah atau dengan salah satu dari hukuam pidana itu;  

c. Dalam hal pelanggaran sekadar yang mengenai tindak pidana 

ekonomi ini  dalam Pasal 1 sub 1 e dihukum dengan 

hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun dan hukuman 

denda setinggi-tingginya seratus ribu ruoiah atau dengan 

salah satu dari hukuman pidana itu.  

d. Dalam hal pelanggaran yang berdasar Pasal 1 sub 3 e 

dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya enam 

bulan dan hukuman denda setinggi-tingginya lima puluh ribu 

rupiah, atau dengan salah satu dari hukuman pidana itu. 

2) Jika harga barang, dengan mana atau mengenai mana tindak 

pidana ekonomi itu dilakukan, atau yang diperoleh baik 

seluruhnya maupun sebagian sebab tindak pidana itu lebih 

tinggi daripada seperempat bagian hukuman denda tertinggi 

yang setinggi-tingginya empat kali harga barang itu.  

3) Lain daripada itu dapat dijatuhkan juga hukuman-hukuman 

ini  dalam Pasal 7 ayat 1 atau tindakan tata tertib ini  

dalam Pasal 8, dengan tidak mengurangi dalam hal-hal yang 

memungkinkannya dijatuhkan tindakan tara tertib yang 

ditentukan dalam peraturan lain.  

4) Pasal 7 mengatur tentang sanksi tambahan yaitu berupa : 

a. Pencabutan hak dalam Pasal 35 KUHP minimal 6 bulan dan 

maksimal 6 tahun,  

b. Penutupan seluruh atau sebagian perusaan si terhukum, 

maksimal selama 1 tahun,  

c. Perampasan barang-barang tidak tetap yang berwujud dan 

tidak berwujud yang diperoleh dari tindak pidana ekonomi,  

d. Perampasan barang-barang tidak tetap yang berwujud dan 

yang tidak berwujud termasuk perusahaan diterhukum 

dimana tindak pidana ekonomi itu dilakukan,  

e. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau 

pengahupusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu 

yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh 

pemerintah berhubung dengan perusahaannya untuk waktu 

paling lama 2 tahun,  

f. Pengumuman putusan hakim. 

5) Pasal 8 tentang tindakan tata tertib , yaitu : 

a. Penempatan perusahaan siterhukum, di mana dilakukan suatu 

tindak pidana ekonomi di bawah pengampuan untuk waktu 

selama-lamanya tiga tahun, dalam hal tindak pidana ekonomi 

itu yaitu kejahatan dan dalam hal tindak pidana ekonomi itu 

yaitu pelanggaran untuk waktu selamalamanya dua tahun.  

b. Mewajibkan pembayaran uang jaminan sebanyak-banyaknya 

seratus ribu rupiah dan untuk waktu selama-lamanya tiga 

tahun dalam hal tindak pidana ekonomi yaitu kejahatan, 

dalam hal tindak pidana ekonomi yaitu pelanggaran maka 

uang jaminan itu sebanyak-banyaknya lima puluh ribu rupiah 

untuk waktu selama-lamanya oleh si terhukum;  

c. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, 

meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan 

jasa-jasa untuk memperbaikiakibat-akibat satu sama lain, 

semua atas biaya siterhukum, sekedar hakim menentukan 

lain. 

6) Pasal 9 mengatakan bahwa tindakan tata tertib dijatuhkan 

bersama-sama dengan sanksi pidana,  

7) Pasal 11, untuk pengangkatan pengampu maka mengacu pada 

ketentua yang ada  dalam BW.  

8) Pasal 12 yaitu tentang pengambilan uang jaminan oleh 

pemerintah bila  si terhukum melanggar syarat khusus yang 

ditentukan oleh Hakim.  

9) Pasal 13 menyebutkan bahwa hak melaksanakan perampasan 

tidak lenyap sebab meninggalnya siterhukum, tetapi kalau 

tindakan tata tertib maka akan lenyap bila  siterhukum 

meninggal dunia, Sedang  dalam Pasal 77 KUHP mengenai 

penghapusan tuntutan pidana sebab meninggalnya terdakwa.  

10) Pasal 16 menyatakjan dimungkinkannya peradilan in absentia, 

dan terhadap putusan ini tidak dapat dimintakan banding atau 

kasasi. 

 

Undang-Undang No 7 drt tahun 1955 sebagai UUTPE 

memperluas subjek hukum seperti yang diatur dalam KUHP dimana 

dalam UU TPE subjek hukum selain orang tetapi juga menyangkut 

badan hukum, perseroan, perserikatan dan yayasan atau korporasi. (Edi 

Setiadi dan Rena Yulia, 2010).Sehingga UU TPE ini yaitu yaitu  

undang-undang yang menerobos KUHP, dimana adanya perluasan 

subjek hukum. 

Dalam melaksanakan pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan 

tindak pidana ekonomi ada  berbagai kekhususan, yaitu : 

a. Dapat dijatuhkan pidana kumulatif (gabungan dua pidana pokok 

yaitu hukuman badan dengan hukuman denda), yang tidak dianut 

dalam tindak pidana biasa,  

b. Dapat dilakukan peradilan in absensia, dengan maksud untuk 

menyelamatkan kerugian negara,  

c. Dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa yang sudah meninggal 

dunia berupa perampasan barang bukti hasil kejahatan ,  

d. Subjek hukum terdiri dari orang dan badan hukum,  

e. Dalam tindak pidana ekonomi, percobaan pelanggaran dapat 

dihukum,  

f. Dapat dijatuhkan tindakan tata tertib sebagai hukuman tambahan. 

Edmund Kitch mengemukakan ada tiga karateristik yaitu : 

1. Pelaku memakai  modus operandi yang sulit dibedakan 

dengan modus operandi kegiatan ekonomi pada umumnya;  

2. Tindak pidana ini biasanya melibatkan pengusaha-pengusaha 

yang sukses dalam bidanynya; dan  

3. Tindak pidana ini memerlukan penanganan atau pengendalian 

secara khusus dari aparatur penegak hukum. 

 

Property crime ini meliputi objek yang dikuasai individu 

(perorangan) dan juga yang dikuasai oleh negara.Regulatory crimes 

yaitu setiap tindakanyang yaitu  pelanggaran terhadap peraturan 

pemerintah yang berkaitan dengan usaha di bidang perdagangan atau 

pelanggaran atas ketentuan-ketentuan mengenai strandarisasi dalam 

dunia usaha.Sedang  tax crime yaitu tindakan yang melanggar 

ketentuan mengenai pertanggungjawaban di bidang pajak dan 

persyaratan yang telah diatur di dalam undang-undang pajak. mengatakan tipologi tindak pidana ekonomi bisa 

dibedakan atas dasar tujuan pengaturannya dan motivasi dilakukannya 

Edwin H. Sutherland sebagai yang pertama mengemukakan 

istilah white collar crime mengemukakan bahwa white collar crime 

yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki  status 

sosial ekonomi yang tinggi dan terhormat dan melakukan kejahatan 

ini  dalam kaitannya dengan pekerjaannya. Dengan kata lainwhite 

collar crimes dapat dikategorikan sebagai kejahatan orang-orang kelas 

atas atau orang-orang terhormat.  

White collar crimes ini biasanya dilakukan dalam bentuk 

kejahatan korporasi.Korporasi yaitu suatu gabungan orang yang dalam 

pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai subjek hukum 

tersendiri, suatu personifikasi.Korporasi yaitu banadn hukum yang 

beranggotakan tetapi memiliki  hak dan kewajiban sendiri terpisah 

dari hak dan kewajiban anggota masing-masing. 

Kejahatan di bidang ekonomi (economic crimes) perlu 

ditanggulangi bersama dengan negara-negara lain, bersifat 

transnasional. Kejahatan ini termasuk kejahatan canggih yang 

memerlukan keahlian khusus penegak hukumnya, termasuk law 

intelegence (intelijen hukum). Kejahatan canggih ini memiliki  ciri: 

a. Dapat dilakukan secara transnasional, artinya melampaui batas-batas 

negara, jadi untuk menanggulanginya perlu mutual assistance act;  

b. Alat yang dipakai ialah alat canggih, seperti peralatan elektronik, 

komputer, email, sms internet dan cyber;  

c. Cara atau metode dan yang dipakai sangat canggih;  

d. Kerugian yang ditimbulkan dapat mencapai jumlah yang sangat 

besar;  

e. Seringkali belum tersedia norma hukum positifnya;  

f. Memerlukan keahlian khusus bagi penegak hukum untuk 

menanganinya;  

g. Diperlukan biaya besar dalam usaha memberantas dan menuntutnya;  

h. Disamping penyidikan dan penuntutan diperlukan pula intelegen 

hukum (law intelegence) atau melacaknya;  

i. Khusus negara kita , kurang perhatian dan kesadaran betapa 

berbahayanya kejahatan ini, kita sibuk dengan pemberantasan 

korupsi, terorisme dan narkoba.  

 

C. Tindak Pidana Ekonomi sebagai Tindak Pidana Khusus 

Tidak dapat dipungkiri bahwa KUHP pun memiliki  beberapa 

pasal yang berkaitan dengan bidang perekonomian seperti delik 

kecurangan yang tercantum dalam Pasal 378 sampai dengan Pasal 481. 

Delik-delik ini  selain mengatur mengenai penipuan secara umum 

juga mengatur beberapa hal seperti kecurangan di bidang kesusasteraan 

(Pasal 380), penipuan terhadap asuransi (Pasal 381 KUHP), kecurangan 

terhadap pembeli (Pasal 383 KUHP), delik ikatan kredit (Pasal 385 KUHP), delik penjualan makanan, minuman dan obat palsu (Pasal 386 

KUHP), pemborong melakukan perbuatan curang (Pasal 388 KUHP), 

memindahkan batas pekarangan (Pasal 389 KUHP), menyiarkan kabar 

bohong (Pasal 390 KUHP), kecurangan surat utang (Pasal 391 KUHP), 

kecurangan daftar neraca (Pasal 392 KUHP), memasukkan barang palsu 

ke negara kita  (Pasal 393 KUHP), dan pengacara memberikan 

keterangan tidak benar (Pasal 393 KUHP). 

Keseluruh delik-delik ini  dianggap sebagai delik umum 

sebab penempatannya di dalam KUHP yang bersifat umum.Hal ini 

berarti bahwa delik ini  walaupun mengatur hal yang khusus 

namun sebab KUHP yaitu  kitab umum dan dasar dari hukum 

pidana, maka berlaku juga seluruh teori dan dasar-dasar yang berlaku di 

buku I dan hukum acara biasa. 

Sementara itu, hukum pidana khusus sering kali diartikan sebagai 

ketentuan pidana yang mengatur khusus yaitu menyimpang dari ketentuan 

pidana umum.30Aspek penyimpangan ini  penting dalam pidana 

khusus sebab bila  tidak ada penyimpangan tidaklah dapat disebut 

hukum pidana khusus.Dalam hukum materiil, pengaturan khusus ini  

dapat berupa tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, perluasan asas 

teritorial, subyek hukum, atau pidana yang ditentukan berdasar 

kerugian, keuangan dan perekonomian negara.Dalam hukum formil, 

penyimpangan dapat berupa penyidikan yang dilakukan oleh lembaga 

tertentu, didahulukannya pidana tertentu dari perkara pidana lain, adanya 

pengaturan mengenai gugatan perdata, dan seterusnya. 

Tindak pidana ekonomi baik dalam arti sempit maupun dalam 

arti luas dianggap yaitu  tindak pidana khusus yang berbeda 

pengaturannya dari KUHP. Perbedaannya terletak pada hukum formil 

maupun materiilnya sebagai berikut: 

a. Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 

Dipandang sebagai tindak pidana khusus, Undang-undang 

Darurat No. 7 Tahun 1955 memiliki  kekhususan tersendiri baik 

secara formil maupun materiil yang menyimpang dari hukum pidana 

dan hukum acara pidana pada umumnya. 

                                                             

b. Undang-undang Lainnya 

Selain Undang-undang darurat ini, tindak pidana ekonomi 

juga diatur dalam peraturan perundang-undangan khusus lainnya. 

Masing-masing undang-undang ini  pada umumnya memiliki  

kekhususan baik dari sisi materiil perumusan tindak pidana maupun 

dalam hukum acaranya seperti kekhususan pelakunya, cara 

melakukan tindak pidana, kesengajaan, penyelesaian di luar siding, 

sistem pemidanaan maupun tujuan dari tindak pidana yang khusus 

untuk melindungi suatu kepentingan. 

Keseluruhan penyimpangan atau perluasan dari KUHP 

ini  yaitu  suatu bentuk amandemen dari KUHP tanpa 

mencabut KUHP itu sendiri.Sehingga bagi sebagian ahli, 

keanekaragaman regulasi memicu  duplikasi dan tumpang 

tindih pengaturan. Pada ahirnya, akan timbul ketidakjelasan dan 

ketidakpastian dalam hukum. Prinsip lex specialis derogat lex 

generalis sering kali sukar diterapkan sebab tidak jelas mana yang 

menjadi undang-undang umum dan khusus.Oleh sebab itu, para ahli 

hukum dan praktisi hukum memberikan harapan yang besar kepada 

RKUHP untuk membaharui sistem hukum pidana di negara kita  dan 

menata kembali keanekaragaman hukum pidana negara kita  melalui 

sistem pengkodifikasian. 

 

D. Tindak Pidana Ekonomi dalam RKUHP Hukum Pidana 

1. Tujuan Pembaharuan Hukum Pidana dalam RKUHP 

Lahirnya RKUHP dikarenakan adanya desakan untuk 

mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan 

keadaan dan situasi pada masa kini dan masa yang akan datang. KUHP 

pada saat ini dinilai sudah tidak dapat menjawab kevakuman hukum 

sebab tidak dapat dijeratnya berbagai perilaku yang merugian dan 

mengancam warga  tetapi belum atau tidak diatur dalam 

KUHP.Untuk mengatasi masalah ini , pemerintah membentuk 

berbagai undangundang baru secara sektoral.Solusi ini  bukan 

tanpa tantangan. Duplikasi norma aturan di dalam KUHP dengan norma 

di luar KUHP, pejatuhan pidana yang tidak berstruktur dan sistematik 

serta terlalu banyaknya undang-undang yang membuat ketentuan 

khusus dan terlalu seringnya perubahan norma hukum pidana 

yaitu  tantangan besar yang dihadapi para ahli dan praktiksi 

hukum. Sistem solusi cepat yang tambal sulam ini  dikritisi oleh 

berbagai ahli pidana sebagai ’tumbuhan/bangunan liar yang tidak 

bersistem, tidak konsisten, bermasalah secara yuridis, dan bahkan 

menggerogoti, mencabik-cabik sistem bangunan induk. 

Oleh sebab itu, semangat yang dilahirkan oleh RKUHP yaitu 

kodifikasi. Kodifikasi yaitu  suatu bentuk hukum yang dibuat 

secara tertulis, dimana pembuatnya memberikan suatu bentuk yurisdiksi 

atau rumusan asas-asas yang dibuat secara tertulis sebagai suatu standar 

operasi berlakunya ketentuan dalam kodifikasi Oleh sebab itu tujuan 

utama dari kodifikasi yaitu sistematisasi dan standarisasi dari 

perkembangan warga  yang ada melalui sebuah kitab undang-

undang. 

Kodifikasi tidak berarti bahwa tindak pidana khusus yang 

tercantum ketentuan di luar KUHP akan dihapuskan.328 Hal ini 

terutama berkaitan dengan undang-undang administratif yang 

memiliki  sanksi pidana. Muladi menyatakan bahwa konsep 

kodifikasi didasarkan pada beberapa kriteria: tindak pidana ini  

yaitu  kejahatan yang terpisah dari pelanggaran terlalu dahulu 

dalam hukum administrasi dan tidak terkait prosedur administrasi serta 

ancaman pidana yang lebih dari 1 tahun. Ini semua yaitu usaha  

(re)kodifikasi pengaturan tindak pidana yang ingin dilakukan melalui 

RKUHP. 

 

2. Tindak Pidana Ekonomi di dalam Sistematika RKUHP 

RKUHP dibagi menjadi dua buku: buku kesatu mengenai 

ketentuan umum dan buku kedua mengenai mengenai tindak pidana. 

RKUHP tidak lagi membagi tindak pidana ke dalam dua kategori yaitu 

kejahatan dan pelanggaran.Hal ini dikarenakan banyak sekali 

pelanggaran yang diatur dalam buku ketiga KUHP saat ini dipandang 

tidak lagi relevan sebagai suatu tindak pidana.Oleh sebab itu, buku 

ketiga dilebur dengan buku kedua. 

 

A. Pengertian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik 

UU ITE yaitu  undang-undang yang mengatur segala hal 

tentang teknologi informasi yang berlaku di negara kita .Undang-

undang ini mulai dirancang pada tahun 2003 oleh Kementerian 

Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo).Kemudian, UU ITE 

terus diolah dan didiskusikan hingga akhirnya disahkan pada masa 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.UU ITE memiliki yurisdiksi 

yang berlaku untuk warga negara yang melakukan perbuatan hukum, 

baik di dalam maupun di luar wilayah negara kita . Beberapa materi 

yang diatur, antara lain: 

1. Pengakuan informasi atau dokumen elektronik sebagai alat bukti 

hukum yang sah (Pasal 5 dan 6 UU ITE); 

2. Tanda tangan elektronik (Pasal 11 dan 12 UU ITE); 

3. Penyelenggaraan sertifikasi elektronik (Pasal 13 dan 14 UU ITE); 

4. Penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 dan 16 UU ITE); 

5. Perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam memakai  terknologi 

informasi (cyber crime), antara lain: 

- Konten ilegal, yang terdiri dari kesusilaan, perjudian, penghinaan 

atau pencemaran nama baik, pengancaman, dan pemerasan (Pasal 

27, 28, dan 29 UU No. ITE); 

- Akses ilegal (Pasal 30); 

- Intersepsi ilegal (Pasal 31); 

- Gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE); 

- Gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU 

ITE); 

- Penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 

UU ITE). 


Awal mula dirumuskan UU ini bertujuan untuk melindungi hak 

pengguna internet dan menjaga stabilitas arus internet dari hal yang 

dapat merusak.Bila melihat substansi UU ITE secara garis besar, tujuan 

ini dapat terlihat.Akan tetapi, dalam berbagai kajian yang membahas 

UU ITE secara mendalam, ditemukan kejanggalan-kejanggalan dalam 

UU ITE.Hal yang sering menjadi sorotan yaitu ketentuan konten ilegal 

yang dinilai terlalu multitafsir dan dapat memicu  kriminalisasi 

yang berlebihan. Hal ini kemudian menuntun pemerintah dan Dewan 

Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyepakati revisi terhadap UU ITE 

pada tanggal 27 Oktober 2016, yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 

2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (revisi UU ITE). 

 

B. Ancaman Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik dalam UU 

ITE 

Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE berbunyi: “Setiap 

orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau 

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi 

elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan 

penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dipidana dengan pidana 

penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Dari bunyi pasal ini  dapat 

ditarik rumusan delik yang ada dalam ketentuan ini , yaitu: 

1. Setiap orang;  

2. Dengan sengaja dan tanpa hak;  

3. Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat 

diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik;  

4. Memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. 

 

Dalam pasal ini  telah disebutkan dengan jelas dan tegas 

terkait dengan unsur-unsur tindak pidana yang dimaksud, sehingga 

setiap orang mampu untuk memahami hukum yang dimaksud.Selain itu 

juga ada  hal-hal teknis yang dapat dikategorikan sebagai penjelasan 

tambahan dalam peristilahan untuk mempermudah pemahaman dalam 

praktik hukum di bidang informasi elektronik. Dalam proses yudicial 

juga banyak diuraikan terkait peraturan perundang-undangan yang 

mengatur tentang delikdelik tindak pidana pencemaran nama baik, yang 

pada intinya lebih pada pembahasan terkait dengan tindak pidana 

pencemaran nama baik sebagaimana ada  dalam rumusan KUHP 

sebagai asal peristilahan hukum yang dipakai.

Dari hasil analisis diperoleh pemahaman bahwa model rumusan 

delik ini membawa konskuensi yang tidak sederhana seperti dalam 

delik-delik tindak pidana lainnya. sebab dalam praktek penegakkan 

hukumnya, Pengadilan dapat memutuskan secara berbeda-beda 

terhadap rumusan delik tindak pidana pencemaran nama baik di 

informasi elektronik ini . Dalam konteks seperti ini yang membawa 

pemahaman secara diametral dengan rumusan delik tindak pidana 

pencemaran nama baik yang ada  dalam Pasal 310 KUHP. Jika 

dibandingkan kontruksi tentang delik tindak pidana pencemaran nama 

baik dalam UU ITE dengan KUHP, maka ada  beberapa unsur 

kesamaan, yaitu unsur kesengajaan dan unsur menyerang kehormatan 

atau nama baik. Sedang  dalam KUHP menuntut bahwa tindakan 

ini  harus dilakukan dimuka umum, akan tetapi dalam UU ITE 

berubah menjadi peristilahan teknis seperti “mendistribusikan, 

mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya informasi dan/ atau 

dokumen elektronik” yang tidak memerlukan adanya unsur di muka 

umum. Berikut beberapa hal-hal yang harus diwaspadai terkait dengan 

ancaman pencemaran nama baik dalam UU ITE ini : 

1. Jerat Hukum Pelaku Lebih Luas 

Dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika dianalisis lebih jauh 

maka ada  lebih dari satu macam golongan pelaku yang secara 

potensial dapat dikatakan sebagai pelaku pelanggaran dari perbuatan 

yang dilarang dalam UU ITE ini , yaitu: 1) Setiap orang yang 

dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau 

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi 

elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan 

penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik. 2) Setiap orang yang 

menciptakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang 

memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik. Dari 

dua macam penggolongan pelaku tindak pidana ini  dapat 

mengenai siapapun jika ada pihak yang merasa dirinya telah dihina 

dan/atau dicemarkan nama baiknya di media sosial. Meskipun tidak 

                                                            

membuat konten negatif, tetapi jika ikut menyebarkan kepada pihak 

lain, maka dapat dikenai ancaman hukum tindak pidana ini . 

Dapat menjadi masalah jika seseorang yang merasa tercemar 

nama baiknya dapat menyeret atau melibatkan pihak lain yang tidak 

ada hubungannya akibat dari pasal UU ITE ini  atas tuduhan 

menyebar luaskan informasi yang dianggap mencemarkan nama 

baik. Bagaimana seseorang mengetahui bahwa hal itu telah 

mencemarkan nama baik seseorang di media sosial, sebab banyak 

sekali informasi yang diberikan layanan media sosial kepada 

penggunanya. Ketika seseorang mengambil di media sosial dan 

ternyata datanya mencemarkan nama baik orang lain, maka ia dapat 

terkena UU ITE ini . Hal itu tentu berbahaya bagi seseorang 

yang melakukan aktivitas di media sosial. 

Selanjutanya dalam Pasal 2 UU ITE, jika ada seseorang yang 

bekerja atau menjual jasa di bidang media informasi teknologi 

elektronik, maka dalam melaksanakan pekerjaannya dapat dikatakan 

menciptakan informasi elektronik. Maka jika terjadi masalah pada 

data informasi yang dibuatnya, maka ia dapat terjerat UU ITE 

ini . sebab secara langsung atau tidak seseorang yang membuat 

informasi teknologi elektronik dapat digolongkan dalam pelaku 

tindak pidana pencemaran nama baik ini. Oleh sebab luasnya jerat 

pelaku dalam UU ITE ini maka warga  harus berhati-hati dalam 

media sosial, sebab dapat saja mereka terjerat dalam tindak pidana 

UU ITE ini. 

2. Ada Tidaknya Unsur Niat Dapat Terjerat Hukum 

Dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak menjelaskan adanya 

niat sebagai bagian dari unsur delik yang akan dikenakan bagi 

pelaku tindak pidana penghinaan. Artinya, niat tidak menjadi syarat 

terpenuhinya pelanggaran terhadap aturan ini, sehingga meskipun 

tidak ada niat dari pelaku untuk mencemarkan nama baik seseorang, 

tetapi jika ada seseorang yang merasa dirinya tercemar nama baiknya 

akibat dari perbuatannya (tulisan, gambar, suara atau bentuk media 

lain), maka pelaku ini  dapat terjerat tindak pidana ini. Di dunia 

informasi elektronik seperti media sosial, banyak sekali informasi 

yang dapat masuk dan diterima begitu saja tanpa kita harus 

mencarinya.Respon dari seseorang sering tidak terkontrol atau dapat 

dikatakan berjalan secara alamiah terhadap sesuatu yang dirasa 

menarik minat pelaku. Keadaan seperti itu biasanya terjadi dalam 

kondisi yang sadar, tetapi bukan dalam artian sadar akan ada dampak 

resiko atau konsekuensi akibat dari perbuatannya, tetapi sadar akan 

dirinya telah melakukan perbuatan secara spontanitas tanpa 

memikirkan dampak akibat dari perbuatan yang dilakukannya. 

Sehingga sadar dalam konteks media sosial lebih cenderung pada 

kesadaran teknik aplikasi logis informasi elektronik, bukan sadar 

bagaimana dampak hukum yang akan ditimbulkannya. Tentu hal-hal 

semacam ini harus dipertanggungjawabkan secara hukum. 

Permasalahan niat ini , jika dikaitkan dengan Pasal 310 

ayat (1) dan (2) KUHP, maka dalam pasal tentang pencemaran nama 

baik ada  kata-kata “dengan sengaja” di depan kata-kata 

“menyerang kehormatan atau nama baik seseorang”. Meskipun 

pelaku tindak pidana pencemaran nama baik memberikan alasan 

pembelaan bahwa pelaku tidak memiliki  niat atau tidak terbukti 

secara sengaja untuk melakukan pencemaran nama baik yang 

seakan-akan untuk menghindari adanya unsur kesengajaan sebagai 

salah satu unsur dari Pasal 310 KUHP. Hal itu akan terbentur dengan 

dengan doktrin dalam yurisprudensi yang terjadi dalam KUHP yang 

membenarkan bahwa bukan “animus injuriandi” yang disyaratkan 

dalam KUHP, akan tetapi cukup dengan adanya kesadaran, 

pengetahuan, ataupun pengertian pada pelaku bahwa pernyataannya 

objektif yang akan berakibat menyerang kehormatan atau nama baik 

seseorang. Sehingga muncul doktrin yang menyatakan bahwa bukan 

tujuan utama yaitu sengaja untuk mencemarkan nama baik 

seseorang dapat diancam pidana, tetapi sebab perbuatan yang 

dilakukan dinilai telah mencemarkan nama baik seseorang. 

3. Unsur-Unsur Teknis di Bidang Informasi Elektronik Telah Jelas 

Dalam Pasal 7 ayat (3) UU ITE telah diatur secara jelas 

unsur-unsur teknis di bidang ITE, sehingga harus ditafsirkan sesuai 

dengan konteks pemahaman yang berlaku.Seperti kata 

“mendistribusikan, mentransmisikan dan membuat dapat diakses” 

telah dijelaskan dengan tegas bahwa dalam hal ini yaitu konteks di 

bidang ITE, yang memiliki karakteristik tertentu jika dibanding 

dengan bidang lainnya. Arti kata ini  dapat dipahami secara 

umum dan jika diberlakukan pada kasus-kasus nyata tentu dapat 

dimaknai sama. Apalagi kejadian hukum yang disangkakan secara 

jelas dan tegas membuktikan terjadinya pelangggaran UU ITE. 

Masih adanya kemungkinan lain untuk menyampaikan alasanalasan 

yang jika dipahami akan sama dari penjelasan UU ITE ini . 

Berbagai keadaan dan hal-hal lain dapat mendukung atau 

melemahkan pelanggaran UU ITE dapat terjadi. 

Secara umum, mendistribusikan dapat dipahami sebagai 

persamaan kata dari menyebarkan atau menyampaikan kepada pihak 

lain, mentransmisikan dapat dipahami sebagai bentuk istilah teknis 

yang dapat dilakukan dengan berbagai cara dalam ITE yang intinya 

yaitu menyalurkan ke media lain, Sedang  istilah membuat dapat 

diakses dapat dipahami sebagai kegiatan melakukan interaksi dengan 

sistem ITE yang melibatkan banyak jaringan. Dalam tafsir 

pemahaman pasal ini  memiliki cakupan yang sangat luas, 

sebab hampir seluruh kegiatan yang terkait dengan kegiatan 

informasi transaksi elektronik yang mengandung unsur pencemarana 

naman baik dapat dikenai dengan pasal ini .warga  harus 

berhati-hati dalam melakukan kegiatan di media sosial, sebab 

tindakan mereka mungkin saja termasuk dalam pelanggaran UU ITE 

ini. Belum juga permasalahan media sosial yang sangat rentan 

dengan penyalahgunaan data untuk kepentingan komersial, sehingga 

jika tidak disadari data dapat berpindah dan menyebar kepada pihak 

lain jika itu dikehendaki. Maka pasal dalam UU ITE ini akan 

menjerat siapa saja yang di duga melakukan tindak pidana ini . 

4. Arti Pemahaman Pencemaran Nama Baik yang Luas 

Untuk menghindari penilaian yang bersifat subjekti, maka 

istilah pencemaran nama baik merujuk pada norma awal dari hukum 

pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 dan 

Pasal 315 KUHP yang sering disebut sebagai asal mula hukum 

pidana pencemaran nama baik. Sehingga pencemaran nama baik di 

bidang informasi elektronik diuji dengan pengertian yang sama 

dengan ketentuan-ketentuan yang ada  dalam KUHP ini  

yang mencakup unsur: kejahatan, alasan pembenar dan doktrin-

doktrin umum dalam pemakaian nya. Kejelasan unsur pencemaran 

nama baik tercermin dari praktik penerapan hukum dalam putusan 

sidang di pengadilan. Dalam praktiknya pengadilan menemukan 

kesamaan dalam penerapan rumusan ini  dan cenderung 

memakai  rumusan unsur yang telah biasa dipakai dalam 


KUHP.Meskipun konteks kasusnya berbeda, sebab ruang lingkup 

yang dipakai sebagai media untuk melakukan tindakan pun 

berbeda, media sosial yaitu media maya non riil yang hanya ada 

jika sistem elektronik melakukannya.Sedang  KUHP yaitu untuk 

mengatur tindakan yang secara nyata dilakukan dalam bentuk 

empiris konkrit. Akan tetapi secara substansi, maksudnya yaitu 

pencemaran nama baik. 

Dari berbagai putusan pengadilan telah menunjukkan bahwa 

apa yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE yaitu  tindak 

pidana yang telah di atur dalam hukum positif. Pencemaran nama 

baik hanya dapat dirasakan oleh seseorang yang merasa dirugikan 

saja, sehingga pihak lain bisa saja memahami berbeda. Sifat subjektif 

inilah yang harus diwaspadai oleh warga .Apalagi di media 

sosial yang gerak mobilitas sangat cepat dan kompleks, maka 

terhadap realitas itu sering diabaikan atau dianggap sebagai hal yang 

biasa saja.Majelis hakim dapat merujuk dari berbagai sumber untuk 

menafsirkan unsur ini . Oleh sebab itu dari berbagai putusan 

pengadilan yang memberikan vonis hukuman terhadap pelanggar 

Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini  masih ditemukan beberapa 

pertimbangan dalam putusan yang dapat dijadikan pelajaran penting 

bagi putusan lainnya. Artinya, bahwa unsur-unsur tindak pidana 

pencemaran mana baik telah diatur dengan jelas dan tegas dalam 

peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Dalam UU ITE pencemaran nama baik dapat dipahami 

sebagai penghinaan, fitnah, prasangka palsu, berita bohong yang 

merugikan atau jenis tidak pidana yang lain yang dapat dinilai 

merugikan orang lain. Maka hal ini berdampak pada berapa batasan 

maksimal sanksi pidana penjara atau denda bagi tersangka yang 

dianggap melanggarnya. Putusan hakim dapat saja menentukan 

tindak pidana ini  dengan mengestimasi batasan maksimal 

sanksi penjara atau denda yang dapat dikenakan, tentu hal itu tidak 

akan melebihi sanksi pidana sebagaimana yang ada  dalam Pasal 

45 ayat (1) UU ITE. Pengenaan tindak pidana ini tentu memiliki 

dampak kepada tersangka. Jika estimasi hukumnya meringankan, 

maka itu menguntungkan, tetapi jika hukumnya berat maka jelas itu 

akan merugikan. 

 


5. Pertanggungjawaban Privasi Lebih Ketat 

Terhadap pernyataan-pernyataan yang dapat merugikan 

orang lain yang disampaikan ke muka umum atau publik menurut 

hukum dapat dilakukan pemidanaan terhadapnya. Hal itu terkait 

dengan “private correspondence” yang mencemarkan nama baik 

diperbolehkan untuk dijadikan subjek maupun objek pemidanaan 

terhadap hal-hal yang bersifat pribadi. Syarat publisitas dan 

demokrasi menjadi penting dalam menilai apakah pernyataan 

ini  termasuk dalam kategori pencemaran nama baik atau tidak. 

Terhadap delik pencemaran nama baik dalam hukum pidana akan 

selalu di dasari adanya unsur dengan maksud untuk diketahui oleh 

umum. Sehingga syarat penyampaian ke umum menjadi penting 

untuk diperhatikan.Jangan sampai halhal yang bersifat pribadi dapat 

dikenakan pidana pelanggaran UU ITE.Begitu pentingnya sifat 

umum dari tindak pidana yang di sangkakan, maka unsur demikian 

yang menentukan suatu perbuatan itu memenuhi rumusan delik atau 

tidak. 

Jika ditarik ke dalam ranah hak asasi, maka mungkin saja 

pernyataan-pernyataan yang dianggap sebagai pencemaran nama 

baik bertentangan dengan hak asasi manusia dalam menyampaikan 

suaranya, baik kepada yang bersifat privat maupun publik. sebab 

setiap orang berhak mendapat perlakuan yang baik atau komentar 

yang tidak merugikan dengan tidak melanggar aturan hukum dan 

etika yang ada.Fenomena ini  sering terjadi di media sosial. 

warga  dalam menyampaikan kritiknya sering memakai  

kata-kata yang kurang baik atau bahkan dapat dikatakan telah 

mencemarkan nama baik. warga  yang baru menerima 

perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung 

memahami keadaan ini sebagai bentuk kebebasan 

berekspresi.Sehingga setiap orang bebas melakukan aktivitas di 

media sosial namun, jika tidak hati-hati bisa menjeratnya kedalam 

kasus hukum pidana. 

6. Penguatan Hukum oleh Delik Aduan 

Sejak diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2009 

yang lalu bahwa tindak pidana pencemaran nama baik dalam UU 

ITE yaitu yaitu  delik aduan, maka diperlukan keaktifan dari 

pihak yang merasa tercemar namanya. Tanpa disadari bahwa delik 


aduan juga memiliki potensi yang cukup besar untuk menjerat 

seseorang dalam hukum. Akibat dari perubahan menjadi delik aduan 

ini maka terjadi peningkatan yang cukup banyak terhadap kasus-

kasus pencemaran nama baik. Aparat penegak hukum menerima 

banyak pengaduan dari orang-orang yang merasa namanya 

dirugikan. Delik aduan yang pada intinya menuntut peran aktif dari 

pihak yang merasa dicemarkan nama baiknya dapat membuka 

peluang kepada seseorang yang tidak suka kepada orang lain untuk 

memperkarakan kedalam ranah hukum. Aparat penegak hukum akan 

memproses segala pelaporan dari pihak-pihak yang merasa tercemar 

nama baiknya, meskipun itu ada  hal-hal yang 

melatarbelakanginya atau sebab-sebab kenapa itu dapat terjadi, 

namun penegakkan tindak pidana tetap berjalan. 

Bahkan jika tidak ada pemahaman yang cermat dan teliti, 

maka dapat saja delik aduan dalam tindak pidana pencemaran nama 

baik ini dapat saja masuk dalam ranah hukum perdata khususnya 

urusan pribadi masing-masing yang terbawa ke ranah publik. Hal itu 

tentu dapat menambah rumit dan panjang masalah hukum. Apalagi 

dalam proses penegakkan hukum ini melibatkan aparat penegak 

hukum, maka itu dapat mempengaruhi proses hukum. Dalam tindak 

pelanggaran UU ITE ini instrument hukum yang ada yang 

disediakan oleh negara dapat bekerja untuk kepentingan pribadi 

berdasar syarat pengaduan ini . Negara dalam hal ini 

seolaholah memfasilitasi adanya proses hukum yang terjadi antar 

hubungan individu, namun perlu disadari tugas negara dalam 

memberikan perlindungan hukum bagi seluruh warga . 

7. Ketiadaan Alasan Pembenar 

Dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak diperlukan adanya 

alasan pembenar dalam memahami tindak pidana pencemaran nama 

baik. Jika demikian seolah-olah doktrin untuk membela diri dan 

alasan pembenar tidak ada dalam rumusan pasal ini. Ketiadaan 

alasan pembenar akibat dari tidak adanya jenis pencemaran nama 

baik seperti ada  dalam Pasal 310 KUHP ini . Sehingga 

dengan itu, maka terbuka kemungkinan aparat penegak hukum untuk 

menafsirkan kapan dapat dan tidaknya dilakukan proses pidana. 

Selain itu juga dapat menentukan sendiri batas maksimal atau 


minimal pidana penjara atau denda untuk setiap tindak pidana 

pencemaran nama baik yang dimaksud.  

Untuk dapat dikatakan pencemaran nama baik diperlukan 

adanya tuduhan terhadap seseorang yang bersifat menyerang 

kehormatan atau nama baik dan dilakukan di depan umum. Dalam 

hal itu memerlukan niat kesengajaan untuk menghina, akan tetapi itu 

bukan akibat kegiatan pribadi yang dilakukan dalam media sosial. 

Meskipun tuduhan itu benar namun jika tidak dilakukan dalam 

rangka kepentingan umum atau sebab terpaksa membela diri atau 

bila  yang dituduh ini  bukanlah seorang pejabat yang sedang 

dalam menjalankan tugasnya, maka akan terjerat sanksi pidana. 

Sehingga alasan pembenar hanya diletakkan dalam kontruksi Pasal 

310 KUHP dimana alasannya untuk kepentingan umum atau 

pembelaan diri sebab terpaksa.Alasan pembenar dalam UU ITE ini 

tidak dapat dijadikan instrumen untuk melakukan pembelaan diri 

seperti halnya dalam KUHP, sebab wilayah objek permasalahan 

hukum yang berada dalam informasi elektronik. Maka 

sebagaimanapun kuatnya alasan pembenar akan tetap terjerat tindak 

pidana pencemaran nama baik dalam UU ITE. Hal ini didasari oleh 

pemakaian  media elektronik yang melekat dengan kewajiban untuk 

bertanggungjawab terhadapnya.sebab semua pengguna media 

informasi teknologi elektronik dianggap telah mampu untuk 

bertanggungjawab secara hukum terhadap semua hal yang terjadi 

dalam kegiatan informasi teknologi elektronik ini .Biasanya 

dibuktikan dengan konfirmasi persetujuan atas segala yang 

dilakukan dalam media elektronik. 

8. Pengakuan Hukum Alat Bukti Elektronik 

Maraknya pelanggaran hukum yang terjadi di dunia ITE telah 

menimbulkan suatu jenis baru dari alat bukti yang dikenal dengan 

istilah bukti elektronik (digital evidence). Menurut Casey, alat bukti 

elektronik yaitu informasi elektronik yang dapat dipakai untuk 

menghubungkan dengan terjadinya tindak pidana dan pelaku 

kejahatan ini .

Sedang  menurut Cohen, alat bukti elektronik yaitu 

produk dari proses forensic digital. Forensic digital yaitu 

                                                             

identifikasi kegiatan yang memerlukan investigasi (menentukan 

sumber digital yang terkait), mengumpulkan informasi, memastikan 

keaslian informasi, menganalisis informasi dan pelaporan hasil 

pemeriksaan.Bukti elektronik menurut Kerr memiliki konteks yang 

berbeda dari pada bukti fisik seperti pada umumnya, sebab dalam 

alat bukti elektronik hanya ada dalam bentuk nol dan satu.sebab 

perbedaan ini  maka diperlukan perlakuan yang berbeda dalam 

pemakaian ya dalam hukum. Dalam legislasi dan praktek yang 

berlangsung International Criminal Court (ICC) pada dasarnya 

mengakui bukti elektronik sebagai alat bukti 

Secara umum pada prinsipnya ada tiga klasifikasi bentuk alat 

bukti secara elektronik yang dapat diakui secara hukum, yaitu: 1) 

Dokumen elektronik yang disamakan dengan dokumen surat; 2) 

Tanda tangan elektronik yang disamakan dengan tanda tangan 

tulisan tangan; 3) Surat elektronik sama dengan surat melalui pos. 

Semua alat bukti elektronik ini  muncul dari suatu sistem yang 

diciptakan dari peralatran elektronik, sehingga dalam melakukan 

validasi kebenarannya tergantung pula pada peralatan ini . 

 

C. Pengertian Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik 

Tindak pidana informasi dan transaksi elektronik (ITE) diatur 

dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan 

Transaksi Elektronik (UU ITE). Informasi Elektronik, sebagaimana 

diatur dalam Pasal 1 angka 1, UU ITE yaitu satu atau sekumpulan data 

elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, 

peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat 

elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, 

huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah 

diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu 

memahaminya. Sedang , transaksi elektronik, diatur dalam Pasal 1 

angka 2 UU ITE, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan dengan 

memakai  Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik 

lainnya. 

Subjek hukum dalam tindak pidana ITE antara lain: 

a. Orang  

b. Korporasi 

Penyidik dalam tindak pidana ITE ialah pejabat polisi Negara 

Republik negara kita , Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di 

lingkungan pemerintah yang lingkungan tugas dan tunggung jawabnya 

di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi 

wewenang khusus sebagai penyidik, sebagaimana dimaksud dalam 

Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan 

penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi 

Elektronik.. 

 

A. Pengertian Terorisme 

Secara etimologis, terorisme terdiri dari dua kata, yaitu “Teror” 

dan “Isme” kata “teror” memiliki arti kekejaman, tindak kekerasan, dan 

kengerian, Sedang  kata “Isme” berarti suatu paham. Ada juga yang 

mengatakan bahwa kata “teroris” dan terorisme berasal dari kata latin 

“terrere” yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau 

menggentarkan. Kata teror juga bermakna menimbulkan kengerian.

Beberapa pengertian atau definisi terorisme yang dikemukakan baik 

oleh beberapa lembaga maupun beberapa ahli antara lain sebagai berikut: 

1. Purdawarminta 

Purdawarminta mengartikan terorisme sebagai praktek 

praktek tindakan teror dengan memakai  kekerasan untuk 

menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai sesuatu. Terorisme 

juga diartikan sebagai suatu pemakaian  kekerasan untuk 

menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan tertentu, 

terutama tujuan politik dan tindakan-tindakan keras yang 

dipraktekkan oleh pihak tertentu. 

2. James Adams 

Pengertian terorisme dalam rumusan yang panjang yaitu 

pemakaian  atau ancaman kekerasan fisik oleh individu-individu 

atau kelompok-kelompok untuk tujuan-tujuan politik, baik untuk 

kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang ada bila  

tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan, 

melumpuhkan atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang 

lebih besar dari pada korban-korban secara langsung.36 

                                                             

3. US Central Inteligence Agency (CIA). 

Terorisme internasional yaitu terorisme yang dilakukan 

dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau 

diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing. 

4. US Faderal Bureau of Investigation (FBI). 

Terorisme yaitu pemakaian  kekerasan tidak sah atau 

kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah 

pemerintah, penduduk sipil elemen-elemennya untuk mencapai 

tujuan sosial atau politik. 

5. US Departments of State and Defense 

Terorisme yaitu kekerasan bermotif politik dan dilakukan 

oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran 

kelompok non kombatan.Biasanya dengan maksud untuk 

mempengaruhi audien.

 

E. V. Walter, Proses teror memiliki tiga unsur, yaitu:  

1. Tindakan atau ancaman kekerasan.  

2. Reaksi emosional terhadap ketakutan yang amat sangat dari pihak 

korban atau calon korban. Dampak sosial yang mengikuti kekerasan 

atau ancaman kekerasan dan rasa ketakutan yang muncul kemudian.

 

Adapun pengertian terorisme yang dikemukakan baik oleh 

beberapa lembaga maupun beberapa pakar ahli, yaitu : 

a. Terorisme Act 2000, UK., Terorisme mengandung arti sebagai 

pemakaian  atau ancaman tindakan, dengan ciri-ciri: 

1. Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang , 

kerugian berat terhadap harta benda, membahayakan kehidupan 

seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, 

menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik 

atau bagi tertentu yang didesain secara serius untuk campur 

tangan atau menggangu system elektronik;  

2. pemakaian  atau ancaman didesain untuk mempengaruhi 

pemerintah atau untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu 

dari publik;  

                                                             

3. pemakaian  atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama, 

atau ideology;  

4. pemakaian  atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang 

melibatkan senjata api dan bahan peledak. 

b. Menurut Konvensi PBB, Terorisme yaitu segala bentuk tindak 

kejahatan yang ditujukan langsung kepada Negara dengan maksud 

menciptakan bentuk teror tehadap orang-orang tertntu atau kelompok 

orang atau warga  luas. 

c. Dalam Kamus Bahasa negara kita , Terorisme yaitu pemakaian  

kekerasan atau ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-

nakuti dan menakutkan terutama untuk tujuan politik.  

d. Dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak 

Pidana Terorisme, bahwa terorisme yaitu perbuatan melawan 

hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan 

kedaulatan bangsa dan Negara dengan membahayakan bagi badan, 

nyawa, moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau 

menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa tacit 

terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap 

objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan 

hidup, moral, peradaban, rahasia Negara, kebudayaan, pendidikan, 

perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas 

internasional. 

e. Menurut Syed Hussein Alatas, terroris (pengganas) yaitu mereka 

yang merancang ketakutan sebagai senjata persengketaan terhadap 

lawan dengan serangan pada manusia yang tidak terlibat, atau harta 

benda tanpa menimbang salah atau benar dari segi agama atau moral, 

berdasar atas perhitungan bahwa segalanya itu boleh dilakukan 

bagi mencapai tujuan matlamat persengketaan. 

f. T. P. Thornton, terorisme didefinisikan sebagai pemakaian  teror 

sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi 

kebijaksanaan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra 

normal, khususnya dengan pemakaian  kekerasan dan ancaman 

kekerasan. 

 

Dari berbagai pendapat dan pandangan mengenai pengertian 

yang berkaitan dengan terorisme diatas dapat ditarik kesimpulan, 

bahwasanya terorisme yaitu kekerasan terorganisir, menempatkan 

kekerasan sebagai kesadaran, metode berpikir sekaligus alat pencapaian 

66  

tujuan. Dari berbagai pengertian diatas, menurut pendapat para ahli 

bahwasanya kegiatan terorisme tidak akan pernah dibenarkan sebab 

ciri utamanya, yaitu : 

a. Aksi yang dipakai memakai  cara kekerasan dan ancaman 

untuk menciptakan ketakutan publik;  

b. Ditujukan kepada Negara, warga  atau individu atau kelompok 

warga  tertentu;  

c. Memerintah anggota-anggotanya dengan cara teror juga; d. 

Melakukan kekerasan dengan maksud untuk mendapat dukungan 

dengan cara yang sistematis dan terorganisir39 

 

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang 

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme: Tindak pidana terorisme 

yaitu segala perbuatan yang memenuhi u