Tindak pidana khusus pertama kali dikenal istilah Hukum
Pidana Khusus, sekarang diganti dengan istilah Hukum Tindak Pidana
Khusus. berada di luar hukum pidana
umum yang mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang
tertentu. Tindak pidana khusus yaitu bagian dari hukum pidana.
ada beberapa definisi menurut para ahli yaitu, Moeljatno, Simons,
serta definisi pidana itu sendiri menurut Wirjono Prodjodikoro,
Lamintang, Sudarto, dan Andi Hamzah. Tindak pidana itu sendiri biasa
dikenal dengan istilah delik. Delik dalam kamus hukum yaitu
perbuatan yang dapat dikenakan hukuman sebab yaitu
pelanggaran terhadap undang-undang.
Tindak pidana khusus ini diatur dalam undang-undang di luar
hukum pidana umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang
ada dalam undang-undang pidana yaitu indikator apakah
undang-undang pidana itu yaitu tindak pidana khusus atau bukan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa yaitu
undang-undang pidana atau hukum pidana yang diatur dalam undang-
undang pidana tersendiri.
Lalu, pernyataan ini sesuai dengan pendapat pompe yang
mengatakan bahwa hukum pidana khusus memiliki tujuan dan fungsi
tersendiri undang-undang pidana yang dikualifikasikan sebagai hukum
tindak pidana khusus ada yang berhubungan dengan ketentuan hukum
administrasi negara terutama mengenai penyalahgunaan kewenangan.
Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan ini
ada dalam perumusan tindak pidana korupsi.
B. Pengertian Tindak Pidana Khusus
Tindak pidana khusus yaitu bagian dari hukum pidana.
Sebelum membahas pengertian tindak pidana khusus, sangat perlu
untuk membahas istilah pidana menurut beberapa ahli dan tindak
pidana terlebih dahulu sebagai dasar dari tindak pidana khusus. Hukum
pidana menurut Moeljatno ialah bagian daripada keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-
aturan untuk.
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan ini
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan pidana
sebagaimana yang telah diancamkan
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan bila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan ini .
Selain itu, hukum pidana menurut Simons yaitu sebagai berikut:
1. Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh negara diancam
dengan nestapa yaitu suatu “pidana” bila tidak ditaati
2. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk
penjatuhan pidana
3. Keseluruhan ketentuan yang mmeberikan dasar untuk penjatuhan
dan penerapan pidana
Secara umum ada dua jenis istilah yaitu hukum dan pidana.
Menurut Prof. Dr.Van Kan, Hukum yaitu keseluruhan peraturan hidup
yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia dalam
warga . Pidana juga ada beberapa pengertian menurut para
ahli. Menurut Profesor Van Hamel pidana atau straf yaitu suatu
penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan
yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai
tanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar,
yakni semata-mata sebab orang ini telah melanggar suatu
peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negaraTindak pidana
khusus yaitu tindak pidana vang diatur di luar Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan memiliki ketentuan-ketentuan khusus acara pidana.
Di dalam perundang-undangan dipakai istilah perbuatan pidana,
peristiwa pidana dan tindak pidana yang juga sering disebut delik.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana berarti suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelakunya ini
dapat dikatakan subjek tindak pidana. Di dalam WVS dikenal dengan
istilah Strafbaar feit, Sedang dalam kepustakaan dipergunakan
istilah delik. Pembuat undang-undang memakai istilah peristiwa
pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana.
Menurut Moeljatno, unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:
1. Perbuatan itu harus yaitu perbuatan manusia,
2. Perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan pidana,
3. Perbuatan itu bertentangan dengan undang-undang,
4. Harus dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan,
5. Perbuatan itu harus disalahkan oleh si pembuat.
Menurut EY Kanter dan SR Sianturi, unsur-unsur tindak pidana adalah:
1. Subjek,
2. Kesalahan,
3. Bersifat melawan hukum,
4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang
terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana, Waktu, tempat
dan keadaan (unsur objektif lainnya).
Dari apa yang disebutkan di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana bila
perbuatan itu:
1. Melawan hukum,
2. Merugikan warga ,
3. Dilarang oleh aturan pidana,
4. Pelakunya akan diancam dengan pidana,
5. Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Lamintang, ada unsur objektif yang berhubungan
dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan dimana tindakan dari si pelaku
itu harus dilakukan. Unsur-unsur obyektif itu meliputi:
a. Perbuatan manusia, terbagi atas perbuatan yang bersifat positif dan
bersifat negatif yang memicu suatu pelanggaran pidana.
Terkadang perbuatan positif dan negatif ada dengan tegas di
dalam norma hukum pidana yang dikenal dengan delik formil.
Dimana pada delik formil yang diancam hukuman yaitu
perbuatannya seperti yang ada pada Pasal 362 KUHP dan Pasal
372 KUHP, Sedang terkadang pada suatu perbuatan saja diancam
hukuman Sedang cara menimbulkan akibat itu tidak diuraikan
lebih lanjut, delik seperti ini disebut sebagai delik materil yang
ada pada Pasal 338 KUHP.
b. Akibat perbuatan manusia, yaitu akibat yang terdiri atas merusaknya
atau mebahayakan kepentingan-kepentingan hukum yang menurut
norma hukum pidana itu perlu ada susaha dapat dipidana.
c. Sifat melawan hukum dan dapat dipidana. Perbuatan itu melawan
hukum jika bertentangan dengan undang-undang. Sifat dapat
dipidana artinya bahwa perbuatan itu harus diancam dengan pidana,
oleh suatu norma pidana yang tertentu.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana)
atau Wetboek van Strafrecht, UU No. 1 Tahun 1946 jo Staatsblad 1915
No. 732, telah dirumuskan sejumlah tindak pidana yang ditempatkan
dalam Buku II tentang Kejahatan (Misdrijven) dan Buku III tentang
Pelanggaran (Overtredingen). Di luar KUHPidana ini masih ada
sejumlah undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana seperti:
1. UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan. Penuntutan dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi;
2. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
3. UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Tindak pidana ekonomi, tindak pidana psikotropika, dan tindak
pidana narkotika yaitu beberapa contoh dari tindak pidana yang
diatur dalam undang-undang tersendiri di !uar KUHPidana. Mengapa
tindak pidana seperti tindak pidana ekonomi, psikotropika.dan
narkotika, tidak diintegrasikan saja dalam KUHPidana, melainkan
sampai perlu diatur dalam undang-undang tersendiri di luar
KUHPidana? Hal ini sebab tindak pidana-tindak pidana ini
memerlukan pengaturan yang lebih komprehensif dan bukan sekedar
hanya mendapatkan rumusan tindak pidana saja.
Untuk tindak pidana ekonomi dipandang perlu ada pengaturan
antara lain tentang:
1. Tindakan tata tertib (Pasal 8).
2. Tindak pidana oleh korporasi (Pasal 15).
3. Tindakan sementara selama pemeriksaan di muka pengadilan belum
dimulai (Pasal 27), dan
4. Wewenang yang besar dalam penyidikan misalnya menurut Pasal
20:
a. Pegawai-pegawai pengusut pada setiap waktu berhak memasuki
setiap tempat yang menurut pendapatnya perlu dimasuki untuk
menjalankan tugasnya. Jika perlu pegawai-pegawai itu masuk ke
dalam tempat itu dengan bantuan kekuasaan umum.
b. Bertentangan dengan kemauan penghuni mereka tidak akanmasuk
ke dalam sebuah rumah selain untuk mengusut suatutindak-pidana
ekonomi dan disertai oleh seorang komisarispolisi atau oleh
walikota, atau atas perintah tertulis dan jaksa.
Untuk tindak pidana narkotika dan tindak pidana psikotropika
dipandang perlu ada pengaturan antara lain tentang
1. Penggolongan narkotika/psikotropika,
2. Perlakuan khusus terhadap korban narkotika/ psikotropika, dan
3. Ketentuan khusus dalam penyidikan seperti teknik penyidikan
penyerahanyang diawasi dan teknik pembelian terselubung.
Apa yang menjadi kebutuhan untuk pengaturan bersifat
komprehensif. dapat berbeda-beda antara satu tindak pidana dengan
tindak pidana lainnya Tetapi semuanya memiliki kebutuhan untuk
adanya sejumlah ketentuan khusus acara pidana, walaupun ketentuan
khusus itu dapat berfaeda antara satu tindak pidana dengan tindak
pidana lainnya.
Adanya sejumlah ketentuankhusus acara pidana ini yaitu
karakteristik penting untuk tindak pidana khusus. Ini tidak berarti dalam
suatu Undang-Undang, seperti UU No. 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika telah diatur keseluruhan acara pidana. Dalam UU No. 5
Tahun 1997 hanya diatur beberapa saja ketentuan acara
pidana.Penyidikan, Penuntutan dan Peradilan berkenaan dengan tindak
pidana psikotropika.pada umumnya tunduk pada ketentuan-ketentuan
acara pidana dalam KUHAP.
C. Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus
Dengan adanya perkembangan dalam warga , untuk
memenuhi kebutuhan hukum dan mengimbangi perkembangan
warga yang berkembang pesat, baik peraturan sebagai
penyempurnaan ketentuanketentuan yang telah ada dalam KUHP, maka
dibentuklah beberapa peraturan perundang-undangan pidana yang
bersifat khusus.4
Tindak Pidana Khusus mengalami perkembangan yang sangat
pesat sehingga telah diatur dalam peraturan perundang-undangan secara
khusus baik hukum materiilnya maupun hukum formilnya.Berkenaan
dengan fenomena pembentukan berbagai peraturan perundang-
undangan tindak pidana khusus, Muladi mengakui bahwa
perkembangan hukum pidana di luar kodifikasi KUHP, khususnya
berupa Undang-Undang Tindak Pidana Khusus.Kedudukan Undang-
Undang Tindak Pidana Khusus dalam hukum pidana yaitu sebagai
pelengkap dari hukum pidana yang dikodifikasikan dalam KUHP.
Hakim yang memiliki tugas pokok memeriksa dan memutus
perkara melalui proses persidangan di pengadilan, juga harus senantiasa
mengikuti perkembangan hukum pidana khusus sehingga putusan yang
dihasilkan dapat mencerminkan nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum. Hakim dituntut untuk mengembangkan kemampuan
pengetahuan hukum termasuk hukum pidana khusus baik mulai dari
norma hukum yang berlaku di warga , asas-asas hukum, kaidah-
kaidah hukum, peraturan perundangundangan, sampai dengan
penerapan hukum yang dimanifestasikan dalam bentuk putusan
pengadilan.
Setelah mengetahui pengertian hukum pidana khusus
sebagaimana telah dijelaskan sebelumya, ada ruang lingkup tindak
pidana khusus yang mengikuti sifat dan karakter hukum pidana khusus,
yang dasar hukumnya diatur di luar KUHP.Sifat dan karakter hukum
pidana khusus terletak pada kekhususan dan penyimpangan dari hukum
pidana umum, mulai dari subjek hukumnya yang tidak hanya orang
tetapi juga korporasi.5
Selain itu, mengenai ketentuan sanksi yang umumnya lebih
berat dan juga mengenai hukum acara yang biasanya dipakai , juga
hukum acara pidana khusus. Ruang lingkup hukum pidana khusus tidak
bersifat tetap, tetapi dapat berubah tergantung dengan apa ada
penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari undang-
undang pidana yang mengatur substansi tertentu.
Azis syamsudin berpendapat bahwa substansi hukum pidana
khusus menyangkut tiga permasalahan, yaitu tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan.
Berikut Ruang lingkup tindak pidana khusus dalam buku Ruslan
Renggong sebagai berikut:
1. Korupsi
2. Pencucian Uang
3. Terorisme
4. Pengadilan Hak Asasi Manusia
5. Narkotika
6. Psikotropika
7. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
8. Tindak Pidana Lingkungan Hidup
9. Oerikanan
10. Kehutanan
11. Penataan Ruang
12. Keimigrasian
13. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
14. Kesehatan
15. Praktik Kedokteran
16. Sistem Pendidikan Nasional
17. Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
18. Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
19. Perlindungan Anak
20. Informasi dan Transaksi Elektronik
21. Pornografi
22. Kepabeanan
23. Cukai
24. Perlindungan Konsumen
25. Pangan
26. Paten
27. Merk
28. Hak Cipta
29. Pemilihan Umum (Pemilu)
30. Kewarganegaraan
31. Penerbangan
Beberapa dan tindak pidana khusus yang diatur dalam Undang-
Undang tersendiri di luar KUHPidana dan memiliki ketentuan khusus
acara pidana, yaitu:
1. Tindak Pidana Ekonomi dalam UU No.7/Drt/1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana;
2. Tindak Pidana Korupsi;
3. Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun
2010;
4. Tindak Pidana Terorisme;
5. Tindak Pidana Psikotropika dalam UU No. 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika;
6. Tindak Pidana Narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika; 7. Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik.
D. Karakteristik Hukum Pidana Khusus
Hukum pidana khusus yaitu bagian dari hukum pidana
vang tersebar dalam berbagai undang-undang yang dibentuk untuk
mengatur materi hukum secara khusus. Dalam Undang-undang ini ,
selain memuat materi hukum pidana materiil juga memuat materi
hukum pidana formil, atau dengan kata lain hukum pidana khusus
memuat norma dan sanksi pidana yang tidak diatur dalam KUHP dan
juga memuat aturan hukum acara yang menyimpang dari ketentuan
yang ada dalam KUHAP.
Secara umum, karakteristik atau kekhususan dan penyimpangan
hukum pidana khusus terhadap hukum pidana materiil digambarkan
oleh Teguh Prasetyo, sebagai berikut:
1. Hukum pidana bersifat elastis (ketentuan khusus).
2. Percobaan dan membantu melakukan tindak pidana diancam
dengan hukuman (menyimpang)
3. Pengaturan tersendiri tindak pidana kejahatan dan pelanggaran
(ketentuan khusus).
4. Perluasan berlakunya asas teritorial (ekstrateritorial)
(menyimpang/ketentuan khusus).
5. Subjek hukum berhubungan/ditentukan berdasar kerugian
keuangan dan perekonomian negara (ketentuan khusus).
6. Pegawai negeri yaitu subjek hukum tersendiri
(ketentuankhusus).
7. Memiliki sifat terbuka, maksudnya adanya ketentuan untuk
memasukkan tindak pidana yang berada dalam UU lain asalkan UU
lain itu menentukan menjadi tindak pidana (ketentuan khusus).
8. Pidana denda ditambah sepertiga terhadap korporasi
(menyimpang).
9. Perampasan barang bergerak, tidak bergerak (ketentuan khusus)
10. Adanya pengaturan tindak pidana selain yang diatur dalam UU
itu(ketentuan khusus)
11. Tindak pidana bersifat transnasional (ketentuan khusus)
12. Adanya ketentuan yurisdiksi dari negara lain terhadap tindk pidana
yang terjadi (ketentuan khusus)
13. Tindak pidananya dapat bersifat politik (ketentuan khusus).
Selain aspek-aspek yang menggambarkan kekhususan dan
penyimpangan dari hukum pidana materil, juga dapat pula berlaku asas
retro active. Penyimpangan terhadap hukum pidana formil dapat
ditemukan dalam hal-hal, sebagai berikut:
1. Penyidikan dapat dilakukan oleh Jaksa, Penyidik Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Perkara pidana khusus harus didahulukan dari perkara pidana lain.
3. Adanya gugatan perdata terhadap tersangka/terdakwa tindak pidana
korupsi.
4. Penuntutan kembali terhadap pidana bebas atas dasar kerugian
negara.
5. Perkara pidana khusus diadili di pengadilan khusus.
6. Dianutnya peradilan in absentia.
7. Diakuinya terobosan terhadap rahasia bank.
8. Dianut pembuktian terbalik.
9. Larangan menyebutkan identitas pelapor.
10. Perlunya pegawai penghubung
berdasar pendapat Teguh Prasetyo ini , dapat
disimpulkan bahwa hukum pidana khusus, memang memiliki
karateristik tertentu sehingga berbeda dengan hukum pidana
umum.Perbedaan itu terlihat baik pada substansi hukum pidana
materiilnya maupun substansi hukum formilnya.Perbedaan itu terlihat
pada insitusi penegak hukumnya, peradilan, dan subjek hukumnya.
Dalam hukum tindak khusus, subjek hukumnya tidak hanya terbatas
pada orang perseorangan, akan tetapi juga subjek hukum korporasi....
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Ensiklopedia negara kita disebut korupsi (dari bahasa Latin :
corruptio = penyuapan; corruptore = merusak) gejala di mana para
pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan
terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidak beresan lainnya.8
Secara harfiah korupsi yaitu sesuatu yang busuk, jahat dan
merusak. Hal ini disebabkan korupsi memang menyangkut segi moral,
sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur
pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan sebab
pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau
golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.
Kartono menjelaskan :
“Korupsi yaitu tingkah laku individu yang memakai
wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi,
merugikan kepentingan umum dan negara.Jadi korupsi demi
keuntungan pribadi, salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan
pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara
dengan memakai wewenang dan kekuatan-kekuatan formal
(misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk
memperkaya diri sendiri”.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana
Korupsi, yang berlaku terhitung mulai tanggal 16 Agustus 1999 yang
kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tujuan dengan diundangkannya Undang-Undang Korupsi ini
sebagaimana dijelaskan dalam konsiderans menimbang diharapkan
dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan
hukum bagi warga dalam rangka mencegah dan memberantas
secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat merugikan
keuangan, perekonomian negara pada khususnya serta warga pada
umumnya.
Pasal 2, 3 dan 4 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
ada 3 istilah hukum yang perlu diperjelas, yaitu istilah tindak
pidana korupsi, keuangan negara dan perekonomian negara. Yang
dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah:
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya sebab jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara (sesuai Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999).
Selanjutnya Tindak pidana korupsi dalam undang-undang ini
dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil, hal ini sangat
penting untuk pembuktian.Dengan rumusan formil yang dianut dalam
undang-undang ini berarti meskipun hasil korupsi telah dikembalikan
kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke
Pengadilan dan tetap di pidana sesuai dengan Penjelasan Pasal 4
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.
Penjelasan dari pasal ini yaitu dalam hal pelaku tindak
pidana korupsi, melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur
pasal dimaksud, dimana pengembalian kerugian negara atau
perekonomian negara, yang telah dilakukan tidak menghapuskan pidana
si pelaku tindak pidana ini . Pengembalian kerugian negara atau
perekonomian negara, yang telah dilakukan tidak menghapuskan pidana
si pelaku tindak pidana ini . Pengembalian kerugian negara atau
perekonomian negara ini hanya yaitu salah satu faktor yang
meringankan pidana bagi pelakunya.
B. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi
berdasar Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan tindak pidana korupsi, maka ditemukan beberapa unsur
sebagai berikut:
1. Secara melawan hukum.
2. Memperkara diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
3. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Penjelasan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yang dimaksud
dengan secara melawan hukum mencakup perbuatan melawan hukum
dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan
ini tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun
bila perbuatan ini dianggap tercela, sebab tidak sesuai dengan
rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam warga ,
maka perbuatan ini dapat dipidana.
Memperhatikan perumusan ketentuan tentang tindak pidana
korupsi seperti yang ada dalam Undang-Undang No. 20 Tahun
2001, dapat diketahui bahwa unsur melawan hukum dari ketentuan
tindak pidana korupsi ini yaitu sarana untuk melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
Sedang yang dimaksud dengan merugikan yaitu sama artinya
dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan
demikian yang dimaksudkan dengan unsur merugikan keuangan negara
yaitu sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau
berkurangnya keuangan negara.
Sebagai akibat dari perumusan ketentuan ini , meskipun
suatu perbuatan telah merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, tetapi jika dilakukan tidak secara melawan hukum, perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi ini
bukan yaitu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
C. Sebab-Sebab Tindak Pidana Korupsi
Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri.Perilaku
korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks.Faktor-faktor
penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, juga berasal dari
situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan
korupsi.
Menurut Sarlito W. Sarwono dalam berita yang ditulis oleh
warga Transparansi negara kita , tidak ada jawaban yang persis,
tetapi ada dua hal yang jelas, yakni :
1. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan
sebagainya),
2. Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan,
kurang kontrol dan sebagainya.
Andi Hamzah dalam disertasinya menginventarisasikan
beberapa penyebab korupsi, yakni :
1. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan
yang makin meningkat;
2. Latar belakang kebudayaan atau kultur negara kita yang yaitu
sumber atau sebab meluasnya korupsi;
3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan
efisien, yang memberikan peluang orang untuk korupsi;
4. Modernisasi pengembangbiakan korupsi.
Analisa yang lebih detil lagi tentang penyebab korupsi
diutarakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) dalam bukunya berjudul "Strategi Pemberantasan Korupsi,"
antara lain:
1. Aspek Individu Pelaku
a. Sifat Tamak Manusia
Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan sebab
orangnya miskin atau penghasilan tak cukup.Kemungkinan orang
ini sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk
memperkaya diri.Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam
itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.
b. Moral yang Kurang Kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah
tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari
atasan, teman setingkat, bawahannya, atau pihak yang lain yang
memberi kesempatan untuk itu.
c. Penghasilan yang Kurang Mencukupi
Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan
selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu
tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan
berbagai cara. Tetapi bila segala usaha dilakukan ternyata sulit
didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi peluang
besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu,
tenaga, pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk
keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.
d. Kebutuhan Hidup yang Mendesak
Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang
mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi.Keterdesakan itu
membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas
diantaranya dengan melakukan korupsi.
e. Gaya Hidup yang Konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya
hidup seseong konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila
tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan
membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan
untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu
yaitu dengan korupsi.
f. Malas atau Tidak Mau Kerja
Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah
pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat
semacam ini akan potensial melakukan tindakan apapun dengan
cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan korupsi.
g. Ajaran Agama yang Kurang Diterapkan
negara kita dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan
melarang indak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di
lapangan menunjukkan bila korupsi masih berjalan subur di
tengah warga . Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran
agama kurang diterapkan dalam kehidupan
2. Aspek Organisasi
a. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan Posisi pemimpin
dalam suatu lembaga formal maupun informal memiliki
pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa
memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya,
misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya
akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar Kultur organisasi
biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. bila
kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan
berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi.
Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki
peluang untuk terjadi.
c. Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang
kurang memadai Pada institusi pemerintahan umumnya belum
merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan
juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus
dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi ini .
Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian
apakah instansi ini berhasil mencapai sasaranya atau tidak.
Akibat lebih lanjut yaitu kurangnya perhatian pada efisiensi
pemakaian sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini
memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik
korupsi.
d. Kelemahan sistim pengendalian manajemen Pengendalian
manajemen yaitu salah satu syarat bagi tindak pelanggaran
korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah
pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka
perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak
korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi.
Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan
dengan berbagai bentuk.
3. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada
a. Nilai-nilai di warga kondusif untuk terjadinya korupsi.
Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya warga . Misalnya,
warga menghargai seseorang sebab kekayaan yang
dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat warga tidak kritis
pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.
b. warga kurang menyadari sebagai korban utama korupsi
warga masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan
dalam korupsi itu warga . Anggapan warga umum yang
rugi oleh korupsi itu yaitu negara. Padahal bila negara rugi, yang
rugi yaitu warga juga sebab proses anggaran
pembangunan bisa berkurang sebab dikorupsi.
c. warga kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi. Setiap
korupsi pasti melibatkan anggota warga . Hal ini kurang
disadari oleh warga sendiri. Bahkan seringkali warga
sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan
cara-cara terbuka namun tidak disadari.
d. warga kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah
dan diberantas bila warga ikut aktif Pada umumnya
warga berpandangan masalah korupsi itu tanggung jawab
pemerintah. warga kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa
diberantas hanya bila warga ikut melakukannya.
e. Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul
sebab adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-
undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang
monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa,
kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang
disosialisasikan, sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi
yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang
evaluasi dan revisi peraturan perundangundangan.
Evi Hartanti menyebutkan faktor lainnya yang memicu
terjadinya korupsi adalah:
1. Lemahnya pendidikan agama dan etika.
2. Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan
dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
3. Kurangnya pendidikan, namun kenyataannya sekarang kasus-kasus
korupsi di negara kita yang dilakukan oleh koruptor yang memiliki
kemampuan intelektual yang tinggi, terpelajar dan terpandang
sehingga alasan ini dapat dikatakan kurang tepat.
4. Kemiskinan, pada kasus korupsi yang merebak di negara kita , para
pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan,
5. Tidak adanya sanksi yang keras.
6. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi.
7. Struktur pemerintahan.
D. Subjek Tindak Pidana Korupsi
Selanjutnya, menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999,
subjek tindak pidana korupsi dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian yaitu:
1. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri;
2.Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh bukan pegawai negeri;
3.Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri maupun
oleh bukan pegawai negeri.
1. Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh Pegawai Negeri
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, pengertian
pegawai negeri dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
tentang kepegawaian.
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana;
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan dari negara atau
daerah;
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal dan fasilitas dari negara atau warga
Secara lebih rinci, Pasal 92 KUHP menegaskan pengertian
pegawai negeri sebagai berikut :
1. Orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan
berdasar aturan-aturan umum.
2. Orang-orang yang bukan sebab pilihan menjadi anggota badan
pembuat undang-undang, badan pemerintahan atau badan perwakilan
rakyat yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama pemerintah.
3. Semua anggota dewan-dewan daerah.
4. Semua kepala rakyat Bumiputera dan kepala Golongan Timur Asing
yang menjalankan kekuasaan yang saja.
Ketentuan pegawai negeri dalam Undang-Undang No. 18 Tahun
1961, sekarang yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun
1974, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 43 Tahun
1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian khususnya dalam Pasal 1 huruf (a)
dari undang-undang ini dinyatakan bahwa pegawai negeri yaitu setiap
warga negara Republik negara kita yang telah memenuhi syarat yang
ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas
dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan
digaji berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mereka yang termasuk pegawai negeri menurut Undang-
Undang No. 43 Tahun 1999, yaitu ada dalam Pasal 2 dari undang-
undang ini , yaitu :
1. Pegawai negeri terdiri dari :
a. Pegawai Negeri Sipil
b. Anggota Tentara Nasional negara kita , dan
c. Anggota Kepolisian Negara Republik negara kita .
2. Pegawai Negeri Sipil terdiri dari :
a. Pegawai Negeri Sipil Pusat
b. Pegawai Negeri Sipil Daerah
c. Di samping pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai tidak tetap.
Dalam tulisan ini yang dimaksudkan dengan pegawai negeri
yaitu seperti yang termasuk dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 20
Tahun 2001. Oleh sebab Pasal-pasal 209, 210, 387, 415, 416, 517, 418,
419, 420, 423, 425 dan 435 KUH Pidana ditarik masuk menjadi delik
korupsi maka kalau ditilik perluasan pengertian pegawai negeri menurut
Pasal 2 UU No. 20 Tahun 2001 di atas nyata ruang lingkupnya sangat
luas. Dikatakan luas, sebab ada kata-kata …”meliputi juga orang-
orang”… yang demikian Pasal 92 KUHP tentang pengertian pegawai
negeri tetap berlaku, hanya diperluas pengertiannya.
Menurut penjelasan, Pasal 2 UU No. 20 Tahun 2001 ini
yaitu perluasan pengertian pegawai negeri menurut Pasal 92
KUHP dan UndangUndang Pokok Kepegawaian No. 18 Tahun 1961.
Oleh sebab undang-undang kepegawaian yang disebut itu sudah
dicabut dan diganti dengan UU No. 8 Tahun 1974, maka penjelasan itu
sudah dicabut dan diganti dengan UU No. 8 Tahun 1974, maka
penjelasan ini harus dibaca sesuai dengan yang terakhir itu, yaitu UU
No. 8 Tahun 1974.
Dengan demikian pengertian Pegawai Negeri menurut UUPTK
(UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) mengandung
tiga pengertian, sebab diatur dalam tiga undang-undang, yaitu sebagai
berikut:
1. Pegawai Negeri menurut UU No. 8 Tahun 1974 yang diubah dengan
UU No. 43 Tahun 1999.
2. Pegawai Negeri menurut Pasal 92 KUHP
3. Pegawai Negeri menurut Pasal 2 UUPTPK
Jadi kalau perluasan pengertian pegawai negeri seperti
ditentukan dalam Pasal 1 UUPTPK tidak berlaku lagi, maka ini berarti
tidak memperluas delik korupsi yang ada dan hanya berlaku satu pasal
atau perumusan saja, yaitu Pasal 1 ayat (2) sub d, dan disitupun tidak
sebagai subjek melainkan sebagai salah satu unsur dari perumusan itu.
Untuk jelasnya, perumusan Pasal 1 ayat (2) sub d yaitu demikian :
“Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti
dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu wewenang yang
melekat pada jabatan dan kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu”.16
Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Pegawai Negeri
seperti dimaksudkan dalam pembahasan ini (point 1 di atas).Pada
umumnya kalau berbicara mengenai korupsi, maka asosiasi ini
tertuju kepada pegawai negeri, sebab menurut pendapat umum hanya
pegawai negerilah yang dapat melakukan Tindak Pidana Korupsi.
Tetapi setelah diteliti perumusan Tindak Pidana Korupsi yang
dilakukan oleh pegawai negeri maupun bukan pegawai negeri dapat
diketahui dari kata-kata : Barangsiapa dengan melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau
suatu badan, yang secara langsung, atau tidak langsung merugikan
keuangan negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa
2. Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh Bukan Pegawai
Negeri
Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh bukan pegawai negeri,
dapat dilihat dari perumusan tindak pidana korupsi itu sendiri sebagaimana
bunyi Pasal 2 UUPTPK “Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah)”.
Arti setiap orang di sini adalah, baik pegawai negeri maupun
non pegawai negeri.Oleh sebab itu, seseorang yang tidak memiliki
jabatan dalam hubungannya dengan negara juga dapat melakukan
korupsi.
Menurut pendapat penulis rumusan ini terlalu luas
sehingga sebagian besar tindak pidana dalam KUHP yang akibatnya
langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dikwalifikasikan menjadi tindak pidana korupsi.
3. Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh Pegawai Negeri
Maupun oleh Bukan Pegawai Negeri
R. Soesilo mengatakan bahwa : Turut melakukan dalam arti kata
“bersama-sama melakukan” sedikitdikitnya harus ada dua orang ialah
orang yang melakukan (pledger) dan orang yang turut melakukan
(medpledger) peristiwa pidana itu. Di sini diminta bahwa kedua orang
itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi, semuanya
melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir dari peristiwa
pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan
saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong sebab jika demikian
orang yang menolong itu tidak masuk turut melakukan akan tetapi
dihukum sebagai membantu melakukan.
Pada bagian ini penulis menguraikan tindak pidana korupsi yang
dilakukan bersama-sama oleh pegawai negeri atau dengan bukan
pegawai negeri atau sesama pegawai negeri.Tindak pidana korupsi
dikatakan dilakukan bersama-sama oleh pegawai negeri dan bukan
pegawai negeri bila masingmasing telah melakukan elemen daripada
tindak pidana korupsi itu.Tindak pidana demikian dapat menimbulkan
diadakannya peradilan koneksitas bilamana pegawai negeri yang
terlibat yaitu anggota ABRI. Peradilan koneksitas ini dalam Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 diatur dalam Pasal 25 ayat 1 yang
berbunyi:
“Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seorang yang harus
diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer
bersama-sama dengan seorang yang harus diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dengan
kekecualian yang ditetapkan dalam Pasal 22 UndangUndang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman”.
Adapun bunyi dari Pasal 22 ini yaitu sebagai berikut :
“Tindak pidana yang dilakukan bersama oleh mereka yang
termasuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Militer
diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali jika menurut Menteri Kehakiman
perkaraan itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Milier”.
E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Tindak
Pidana Korupsi
Soerjono Soekanto (2004: 7-26).mengatakan bahwa penegakan
hukum dapat berjalan dengan baik bila terpenuhinya beberapa
faktor, yaitu faktor hukum, penegak hukum, sarana, warga , dan
faktor budaya:
1. Faktor hukum (undang-undang). negara kita saat ini sudah memiliki
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU Pemberantasan Korupsi). Pembentukan
undang-undang ini bertujuan untuk mencegah setiap orang untuk
melakukan tindak pidana korupsi. UU Pemberantasan Korupsi telah
memuat ancaman sanksi pidana yang berat bagi pelaku tindak pidana
korupsi. Namun dengan masih terjadinya kasus korupsi seakan-akan
menunjukkan bahwa sanksi pidana yang berat tidak menimbulkan
efek jera bagi pelaku dan efek pencegahan bagi warga .
2. Faktor penegak hukum. berdasar peraturan perundang-undangan,
penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh tiga
lembaga, yaitu Penyidik Kepolisian, Penyidik Kejaksaan, dan
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketiga institusi
ini memiliki sistem tersendiri yang diatur dalam undangundang
yang terpisah. KPK berwenang melakukan penyelidikan dan
penyidikan kasus korupsi serta melakukan penuntutan terhadap
kasus ini melalui Pengadilan Tipikor. Sedang penyelidikan
dan penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian dan serta penyidikan
oleh Kejaksaan akan menuju pada proses penuntutan kasus korupsi
melalui peradilan umum di Pengadilan Negeri. Dalam praktek,
adanya perbedaan sistem ini menciptakan kecenderungan
fragmentasi institusi sehingga mempengaruhi jalannya proses
penanganan perkara tindak pidana korupsi.
3. Faktor sarana prasarana. Dari tiga lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penyidikan kasus korupsi, di satu sisi Kepolisian
dan Kejaksaan selain tidak memiliki kewenangan sebesar
kewenangan KPK, juga belum memiliki sarana prasarana pendukung
sebagaimana yang dimiliki KPK. Kepolisian dan Kejaksaan juga
tidak mendapatkan dukungan warga sebagaimana warga
mendukung KPK. Namun di sisi lain, KPK memiliki keterbatasan
personil dan belum ada perwakilan di setiap provinsi. Dari ketiga
institusi yang memiliki kewenangan dalam pemberantasan korupsi,
hanya KPK yang memiliki kewenangan sangat besar dibanding
kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan. KPK tidak perlu memenuhi
“prosedur khusus” seperti izin tertulis dari atasan tersangka yang
sering menghambat Kepolisian dan Kejaksaan dalam melakukan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi [Pasal 46 ayat (1)
UU No. 30 Tahun 2002]. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan, KPK juga tidak perlu meminta izin
kepada Ketua Pengadilan bila akan menyita barang bukti dan
menyadap telepon seseorang. Perbedaan sarana prasarana yang
dimiliki ketiga lembaga dalam pemberantasan korupsi ini
tentunya akan mempengaruhi penegakan hukumnya.
4. Faktor warga yakni lingkungan di mana hukum ini
berlaku atau diterapkan. Masih terjadinya korupsi terutama di
lembaga yudikatif, tidak hanya yaitu tanggung jawab
Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK untuk penegakan hukumnya,
namun juga memerlukan peran warga . Dalam pemberantasan
korupsi diperlukan usaha sungguh-sungguh dan dukungan semua
pihak, termasuk warga . Peran warga dibutuhkan sebab
selain dapat menjadi korban, warga dapat berperan melakukan
pencegahan, termasuk melakukan pengawasan dan tidak terlibat
dalam penyuapan.
5. Faktor budaya sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia dalam pergaulan hidup. Faktor budaya
yaitu salah satu faktor yang cukup penting dalam penegakan
hukum kasus-kasus korupsi di negara kita . Saat ini, masih terjadinya
atau bahkan meningkatnya kasus korupsi di lembaga yudikatif
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain rendahnya moralitas
pelaku, tidak adanya budaya malu, ketidaktaatan terhadap hukum,
tidak amanah, dan tidakjujur. Oleh sebab itu diperlukan
langkahlangkah perbaikan seperti penyadaran dan pembinaan
moralitas bangsa, sehingga penyelenggaraan negara dapat berjalan
dengan baik, yakni bersih dari tindakan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN). Langkah perbaikan juga dapat dilakukan melalui
rekrutmen di lembaga yudikatif untuk mendapatkan hakim yang
jujur dan amanah terhadap tugas dan wewenangnya.
6. Kelima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum ini saling
mempengaruhi satu sama lain. Penegakan hukum dapat dilaksanakan
dengan baik bila kelima faktor ini dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Faktor-faktor ini harus saling
mendukung satu sama lain dan tidak saling terpisahkan. Faktor
peraturan perundang-undangan harus didukung oleh para penegak
hukum yang dapat menjalankan dan melaksanakan peraturan
perundang-undangan ini dengan baik dan benar. Pelaksanaan
penegakan hukum yang dilakukan oleh para penegak hukum juga
harus diikuti dengan sarana dan prasarana yang memadai dan
canggih dari sisi teknologi, sehingga para penegak hukum dapat
dengan cepat dan tepat mencegah dan memberantas tindak pidana
korupsi. Ketiga faktor ini juga perlu didukung oleh warga
sehingga tercipta negara yang bebas dari korupsi. Menciptakan
budaya untuk mematuhi peraturan perundangundangan juga menjadi
penting dalam usaha penegakan hukum tindak pidana korupsi.
bahwa pencegahan
dan pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan dengan cara
konvensional, melainkan harus dilakukan dengan cara yang berbeda
dan di luar kelaziman penanggulangan kejahatan lainnya. Oleh sebab
itu, pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan secara
ekstrem,khususnya di lingkungan lembaga peradilan.Salah satu usaha
yang dapat dilakukan yaitu mendorong agar hukum mampu berperan
dalam usaha menciptakan kontrol guna mencegah hasil tindak pidana
korupsi untuk dinikmati oleh para koruptor.usaha ini yaitu
bentuk dari asset recovery (pengamanan aset).
Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan harus ada
reformasi hukum di Mahkamah Konstitusi yang dilakukan dengan
ekstrem.ada tiga hal yang dapat dilakukan untuk melakukan
reformasi hukum, salah satunya yaitu mengganti semua hakim. Menurut
Refly Harun hal ini dimungkinkan, tetapi akan menuai pro dan
kontra di kalangan warga , sehingga perlu dikaji dan dipikirkan
secara matang. Hal kedua yang dapat dilakukan yaitu memperbaiki
sistem rekrutmen hakim Mahkamah Konstitusi. Proses rekrutmen
Hakim Mahkamah Agung dan Hakim Konsitusi yang dilakukan oleh
Presiden dan DPR RI harus dilakukan secara transparan dan selektif
sehingga menggambarkan bahwa lembaga yudikatif bersifat terbuka
dan bebas dari korupsi. Hal yang ketiga yaitu sistem anti korupsi juga
diperbaiki dan diaudit kelemahannya.Sebagai contoh apakah misalnya
gerak hakim dibatasi atau tidak, pergaulan hakim dibatasi atau tidak.
Menurut Refly Harun, sistem di MK harus mampu dibangun untuk
mencegah orang baik menjadi jahat atau orang jahat akan tetap menjadi
jahat. Sistem yang dibangun oleh MK yaitu menjadikan orang baik
tetap menjadi baik atau orang jahat menjadi baik.
A. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang
Tindak Pidana Pencucian uang yaitu kejahatan yang
memiliki ciri khas yakni, kejahatan ini bukan yaitu kejahatan
tunggal akan tetapi kejahatan ganda. Kejahatan ini ditandai dengan
bentuk pencucian uang yaitu kejahatan yang bersifat follow up
crime atau kejahatan lanjutan, Sedang kejahatan utamanya atau
kejahatan asalnya disebut sebagai predicate offense atau core crime
atau ada negara yang merumuskannya sebagai unlawful actifity yaitu
kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan
proses pencucian,
money laundering yaitu serangkaian kegiatan yang yaitu proses yang dilakukan oleh
seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal
dari kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan data dan
menyamarkan asal-usul uang ini dari pemerintah atau otoritas
yang berwenang melakukan tindakan dengan memasukkan uang ke
dalam sistem keuangan, baik memanfaatkan jasa bank maupun non
bank. Lembaga-lembaga ini termasuk di dalamnya bursa efek,
asuransi dan perdagangan valuta asing sehingga uang ini dapat
dikeluarkan dari sistem keuangan sebagai uang halal.
Tindakan ini termasuk dalam lingkup kejahatan
terorganisir, dalam kaitan pencucian uang yaitu tindak pidana di
bidang ekonomi yang pada intinya memberikan gambaran terhadap
hubungan langsung bahwa kriminalitas yaitu suatu kelanjutan
dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi.Fenomena pencucian uang
bukan permasalahan nasional lagi tetapi sudah internasional, sehingga
sangat penting ditempatkan pada sentral pengaturan hukum.Hampir
semua kejahatan ekonomi dilakukan dengan motif keuntungan. Oleh
sebab itu untuk membuat pelaku jera atau mengurangi tindak pidana
itu dengan cara mencari fakta kejahatan susaha pelaku tidak dapat
menikmatinya dan kejahatan juga sirna.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 sebagai
perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang, bahwa pencucian uang yaitu perbuatan
menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan,
menghibahkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduga yaitu hasil tindak pidana dengan
maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Dunia internasional melarang kejahatan yang berhubungan
dengan narkotika dan pencucian uang. Kesepakatan ini dituangkan
dalam sebuah konvensi Internasional tentang pencucian uang “Konvensi
the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotic, Drugs
and Psycotropic Substances of 1998, yang biasa disebut dengan The
Vienna Convention, disebut juga UN Drugs Convention 1998, yang
mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap pelaku
tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan money
laundering.
Perhatian dunia internasional ini tidak mengherankan,
sebab money laundering yaitu kejahatan yang menimbulkan
dampak negatif yang sangat luar biasa. Ada beberapa dampak negatif
yang ditimbulkan oleh kegiatan money laundering terhadap warga
sebagai konsekuensi yang ditimbulkan berupa :
a. Money laundering memungkinkan para penjual dan pengedar
narkoba, para penyelundup dan para penjahat lainnya untuk dapat
memperluas kegiatan operasinya. Hal ini akan meningkatkan baiaya
penegakan hukum untuk memberantasnya dan biaya perawatan serta
pengobatan kesehatan bagi para korban atau para pecandu narkoba.
Memungkinkan para penjual dan pengedar narkoba, para penyeludup
dan para penjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatan
operasinya. Hal ini akan meninggkatkan biaya penegakan hukum
untuk memberantasnya dan biaya perawatan serta pengobatan
kesehatan bagi para pecandu narkoba.
b. Kegiatan money laundering memiliki potensi merongrong
keuangan warga , hal ini sebagai akibat dari besarnya jumlah
uang yang terlibat dalam kegiatan ini . Potensi untuk melakukan
korupsi meningkat bersama dengan peredaran jumlah uang haram
yang sangat besar.
c. Money laundering juga dapat mengurangi pendapatan pemerintah dari
sektor pajak dan secara tidak langsung merugikan para pembayar pajak
yang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang sah.
d. Mudahnya uang masuk ke negara-negara maju telah menarik unsur
yang tidak diiginkan melalui perbatasan, menurunkan tingkat
kualitas hidup dan meningkatkan kekhawatiran terhadap keamanan
nasional. Sifat money laundering sudah menjadi universal dan
bersifat international yakni melintasi batasan-batasan yuridis negara.
Transaksi dari negara ke negara sekarang sudah sangat mudah, yaitu
melaui system internet, pembayaran dilakukan melalui bank secara
elektronik. Maka tidak heran jika money laundering sudah biasa
disebut sebagi kejahatan transnasional, sebab praktik money
laundering dapat dilakukan oleh seseorang tanpa harus berpergian
keluar negeri.
B. Tindak Pidana Money Laundering
Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak perlu
mempertimbangkan hasil yang diperoleh, dan besarnya uang yang
dikeluarkan, sebab tujuan utamanya untuk menyamarkan atau
menghilangkan asal usul uang.Sehingga pada akhirnya dapat dinikmati
atau dipakai secara aman.Tujuan kriminalisasi pencucian uang
yaitu untuk mencegah segala bentuk praktik penyamaran hasil
kekayaan yang didapatkan dari hasil kejahatan.Kejahatan money
laundering diancam dengan sanksi pidana. Pelaku dapat memakai
hasil kejahatannya secara “aman” tanpa dicurigai oleh aparat penegak
hukum, sehingga berkeinginan untuk melakukan kejahatan lagi, atau
untuk melakukan kejahatan lain yang terorganisir.22 Unsur-unsur pidana
yang terkait dengan money laundering meliputi: (1) Unsur Act, (2)
Unsur Knowledge, (3) Unsur Objektif. Ketiga unsur itu sudah direduksi
dalam rumusan Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No.
25 Tahun 2003.
Dalam bukunya, John Mcdowell dan Gary Novis menyebutkan
dampak dari pencucian uang di suatu negara antara lain:
Merongrong Sektor Swasta yang Sah
Praktik pencucian uang banyak dilakukan di sektor bisnis,
selain di sektor perbankan sebagai usaha menyamarkan asal-usul
uang hasil kegiatan illegal. Kegiatan bisnis yang didanai oleh hasil
kejahatan tentu akan masuk pasar dan bersaing dengan kegiatan
bisnis yang berasal dari investasi modal yang legal. Tentu
keberadaan bisnis yang berasal dari TPPU ini akan berpotensi
menggangu kegiatan bisnis yang sah.
Merongrong Integritas Pasar-Pasar Keuangan
Tidak jelasnya skema investasi keuangan atas harta yang
berkaitan dengan kejahatan dalam satu lembaga keuangan tentu akan
menjadikan stabilitas lembaga keuangan ini tidak jelas. Sebagai
contoh, seseorang yang menempatkan danahasil kejahatan dalam
satu lembaga keuangan dalam jumlah besar guna menyamarkan asal-
usul hartanya dapat sewaktu-waktu menarik kembali dananya
ini . Lembaga keuangan ini tentu dapat menghadapi
masalah likuiditas serius akibat penarikan dana ini seperti yang
terjadi pada Bank-Bank di negara kita saat krisis moneter.24
Hilangnya Kendali Pemerintah atas Kebijakan Ekonomi
Besarnya jumlah uang yang diputar di berbagai negara tentu
akan berdampak pula pada stabilitas ekonomi suatu negara.
Sebagaimana yang disebutkan dalam riset UNODC pada tahun 2009,
diperkirakan jumlah uang yang berkaitan dengan kejahatan yang
diputar di dunia mencapai 2,7 % dari nilai Gross Domestic Product
(GDP) saat itu. Meski nilai itu bisa jadi lebih besar lagi dikarenakan
adanya potensi aset-aset yang berkaitan dengan kejahatan yang
belum terpetakan.Besarnya nilai ini tentu dapat mempengaruhi
kebijakan ekonomi suatu negara, apalagi negara-negara kecil dengan
kemampuan ekonomi yang lemah. Pertimbangan semata-mata pada
keamanan dana yang dicuci menjadikan pertimbangan kebijakan
ekonomi bukan menjadi faktor penentu penempatan suatu dana
pencucian uang. Karenanya sifat pencucian uang yang tidak dapat
diduga menjadikan pemerintah tidak dapat mengontrol secara penuh
atas kondisi pasar atau kebijakan ekonomi suatu Negara.
Hilangnya Pendapatan Negara dari Sektor Pajak
Salah satu kejahatan asal dari TPPU yaitu kejahatan yang
berkaitan dengan pajak, seperti tax evasion dan tax avoidance.
Praktik ini menjadikan wajib pajak yang seharusnya membayar
sekian jumlah pajak justru membayar dengan nilai yang lebih kecil,
atau bahkan tidak membayar sama sekali. Modus ini terjadi dalam
kasus Asian Agri Grup yang membuat transaksi palsu dalam
kegiatan usahanya guna memperkecil jumlah pajak yang harus
dibayarkannya. Meski dalam kasus ini Asian Agri Grup tidak
didakwa dengan Pasal TPPU, akan tetapi terbukti dari praktik
ini negara mengalami kerugian hingga 2,5 trilyun atas pajak
yang tidak dibayarkan.38 Karenanya praktik TPPU ini secara
langsung juga berdampak pada perolehan negara yang bersumber
dari pajak.
Merusak Reputasi Negara
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, negara yang belum
menerapkan rezim AML sampai batasan tertentu, akan masuk dalam
daftar NCCT. Dampak dari NCCT ini dapat dirasakan bila
negara ini akan menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga
keuangan global, di mana beberapa di antaranya sudah berkomitmen
untuk mengadopsi penerapan Rezim AML sebagai bagian asesmen
kerja sama dengan negara-negara terkait. Hal ini sebagai contoh
dirasakan negara kita ketika rezim Presiden Soeharto, di mana
negara kita masih masuk dalam daftar NCCT, sehingga berdampak
pada hubungan kerja sama yang akan dijalin dengan IMF dan World
Bank.
Menimbulkan Biaya Sosial yang Tinggi
Ada kemungkinan bahwa uang hasil pencucian uang ini
diputar kembali untuk melanjutkan dan memperluas kejahatan yang
sebelumnya sudah mereka lakukan.Sebagai contoh terorisme atau
32
narkotika. Hal ini tentu akan berdampak pada munculnya biaya
sosial yang harus dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal
menanggulangi kejahatan yang muncul ini akibat adanya
perputaran uang hasil TPPU.
C. Tipologi Transaksi pada Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang
Meski proses pencucian uang dapat dilakukan dengan berbagai
cara dan metodologi, mulai dari yang sederhana hingga yang paling
rumit melibatkan multi yurisdiksi, akan tetapi secara umum proses
pencucian uang dapat dikelompokkan menjadi tiga tahapan, yakni:
a. Placement, yaitu tahapan permulaan, di mana uang hasil atau
yang berkaitan dengan kejahatan diubah ke dalam bentuk yang
kurang atau tidak menimbuklan kerugian. Dalam hal ini contohnya
yaitu memasukkan dalam deposito bank, polis asuransi, membeli
aset seperti rumah, kapal, atau perhiasan.
b. Layering, yaitu tahap selanjutnya dari placement¸di mana
pemilik uang melakukan transaksi berlapis secara anonim atas aset
yang berasal dari peralihan uang ini . Misal dalam hal ini
dipakai metode penjualan aset ini , dan dana hasil
penjualannya ditransfer melalui “wire transfer” ke berbagai rekening
di dalam satu negara, atau antar negara lain. Hal ini bertujuan
mempersulit pelacakan asal mula dana ini .
c. Integration, yaitu tahap di mana dana yang sudah disamarkan
ini dimasukkan kembali ke dalam rekening pelaku melalui
transaksi sah, sehingga tidak terlihat asal mula dana.
D. usaha Pencegahan Money Laundering di negara kita
Kasus kejahatan money laundering sudah bersifat international,
untuk itu diperlukan suatu standar pengaturan dan persepsi yang sama
dan bersifat international untuk ditempatkan pada suatu sentral
pengaturan. Dalam melakukan kriminalisasi ditentukan terlebih dahulu
bentuk model low on money laundering mana yang akan di anut di
negara kita dan tentunya disesuaikan dengan sistem hukum serta kondisi
keseluruhan di negara kita .
Untuk melihat faktor yang memicu belum optimalnya
penegakan hukum terhadap ketentuan anti pencucian uang di negara kita ,
perlu melihat kembali pemahaman untuk apa dilakukan kriminalisasi
pencucian uang atau mengapa praktik pencucian uang harus diberantas.
Terlepas dari kenyataan bahwa negara kita membuat anti pencucian uang
pada awalnya sebab desakan internasional bukan sebab kesadaran
pentingnya pemberantasan pencucian uang bagi negara kita , praktik
pencucian uang yaitu suatu jalan bagi para pelaku kejahatan ekonomi
agar dengan leluasa dapat menikmati dan memanfaatkan hasil
kejahatannya.Selain itu uang (hasil kejahatan) yaitu nadi bagi
kejahatan terorganisasi (organized crimes) dalam mengembangkan
jaringan kejahatan mereka, maka penghalangan agar pelaku dapat
menikmati hasil kejahatan menjadi sangat penting.
Kejahatan teroganisasi yang paling berbahaya dan sangat
berkepentingan untuk mencuci hasil kejahatan mereka pada awalnya
hanya kejahatan perdagangan illegal narkotika dan substansi
psichotropika. Maka kriminalisasi pencucian uang semula hanya
diarahkan untuk memberantas perdagangan narkotika dan sejenisnya
seperti yang tercantum dalam United Nation Convention Against Illicit
Traffic In Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988 (The
Vienna Convention).
Istilah money laundering dalam artian hukum dipakai
pertama kali oleh Pengadilan Amerika berkaitan dengan putusan
tentang penyitaan atas hasil kejahatan narkotika yang dilakukan oleh
warga Columbia.Kekhawatiran internasional terhadap narkotika dan
pencucian uang melahirkan suatu kesepakatan yang disebut sebagai
International Legal Regime to Combat Money Laundering dan bahkan
ada kecenderungan bahwa pencucian uang dilakukan dengan sangat
rumit. Selanjutnya pencucian uang semakin berkembang dan bukan
hanya berasal dari kejahatan obat bius saja tetapi juga berbagai
kejahatan termasuk kejahatan terorganisasi (organized crimes).
Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang pencuc