hak asasi manusia 1

 





1. Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 

(UUD 1945), mengakui dan menjamin hak setiap orang untuk bebas dari penyiksaan, 

perlakuan dan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. 

Pasal 28G ayat (2) menyatakan bahwa Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan 

atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh 

suaka politik dari negara lain. Sementara Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menegaskan 

bahwa hak untuk tidak disiksa merupakan hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan 

apapun.  

2. Pengakuan dan jaminan hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan dan penghukuman 

yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat juga diatur dalam berbagai 

peraturan perundang-undangan Indonesia, diantaranya dalam UU No. 39 Tahun 1999 

tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara 

Pidana (KUHAP) dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.  

3. Komitmen Indonesia untuk mengakui dan menjamin hak untuk bebas dari penyiksaan, 

perlakuan dan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat 

telah diperkuat dengan ratifikasi atau aksesi berbagai perjanjian HAM internasional. Pada 

Tahun 1998 Indonesia meratifikasi Convention against Torture and Other Cruel, 

Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) melalui UU No. 5 Tahun 1998 

tentang Pengesahan Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading 

Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau 

Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat 

Manusia). Selanjutnya disebut Konvensi Menentang Penyiksaan. 

4. Komitmen Indonesia yang mengakui dan menjamin hak untuk dari penyiksaan, perlakuan 

dan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat merupakan 

usaha  untuk melindungi setiap orang dari tindakan penyiksaan dan perlakuan buruk 

lainnya (other ill treatments) - selanjutnya disebut penyiksaan dan perlakuan sewenang-

wenang lainnya - dan menjadi bagian dari usaha  global untuk menghapuskan penyiksaan. 

Dalam hukum internasional, penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya 

merupakan perbuatan yang tegas dilarang yang memberikan kewajiban bagi setiap negara 

untuk mencegah dan melakukan penghukuman bagi para pelaku penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya. penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang 

lainnya merupakan perbuatan yang tegas dilarang baik di bawah hukum hukum HAM 

internasional, hukum humaniter internasional serta hukum pengungsi internasional. 

5. usaha  Indonesia untuk mencegah penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya 

dilakukan baik di tingkat nasional maupun dalam fora internasional. Dalam usaha  

memperkuat pencegahan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya, 

Indonesia telah melakukan langkah-langkah bersama ASEAN Intergovernmental 

 Commission on Human Rights (AICHR) dan sebagai salah satu anggota Core Group on 

the Convention against Torture Initiative (CTI) seperti penyelenggaraan lokakarya di 

tingkat Regional, meluncurkan Modul Pelatihan untuk Pelatih sebagai pedoman bagi 

penegak hukum untuk mencegah tindakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang 

lainnya, dan  mendorong Negara-negara Anggota ASEAN untuk meratifikasi dan 

mengimplementasikan Konvensi Menentang Penyiksaan.1 

6. Di tingkat nasional, berbagai usaha  telah dilakukan untuk memperkuat pencegahan 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya dan penguatan perundang-

undangan yang melarang penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya, 

perlakuan dan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. 

Norma dan standar tentang pencegahan dan larangan penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya dalam hukum HAM internasional terus diusaha kan untuk 

diadopsi dan diinkorporasikan dalam berbagai peraturan dan perundang-undangan di 

Indonesia, termasuk mengusaha kan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang 

lainnya sebagai kejahatan sesuai dengan definisi penyiksaan dan perlakuan sewenang-

wenang lainnya berdasar  Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan dalam Rancangan 

Hukum Pidana Indonesia (RUU KUHP).  

7. Selain itu, untuk lebih memperkuat kapasitas pejabat pemerintah dan pemangku 

kepentingan di tingkat nasional dan daerah, Indonesia secara rutin mengadakan program 

pelatihan dan sosialisasi tentang kewajiban dan komitmen HAM, termasuk kewajiban 

menentang penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Untuk mencegah 

kasus-kasus penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya dan perlakuan 

sewenang-wenang terhadap tahanan, langkah-langkah yang diambil termasuk 

menyediakan pengacara atau bantuan hukum untuk tahanan selama interogasi; 

menyiapkan sistem pemantauan penyidikan dan CCTV dalam setiap penyidikan yang 

dilakukan oleh Polisi, dan pengaturan waktu maksimal delapan jam untuk setiap 

interogasi.

8. Komnas HAM bersama Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia 

(KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Ombudsman Republik 

Indonesia, yang tergabung dalam Kerja sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP)3 

berusaha  untuk mendorong Pemerintah Indonesia meratifikasi Optional Protocol 

Convention Against Torture (OPCAT) atau Protokol Opsional Konvensi Internasional 

Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak 

Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.  

9. Namun demikian, meskipun berbagai usaha  penguatan kerangka hukum dan pencegahan, 

praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya terus terjadi.  Komnas HAM 

mencatat terjadinya berbagai tindakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang 

lainnya, yakni 99 kasus (2017), 120 kasus (2018), dan 94 kasus (2019).4  

10. Penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya masih terus di terjadi di tempat-

tempat penahanan. di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) misalnya, terjadi overcrowding 

dimana kepadatan tahanan melampaui kapasitas yang tersedia dan tempat-tempat 

penahanan yang lain, yang mengakibatkan kondisi yang buruk, tidak manusiawi yang 

merendahkan martabat manusia. berdasar  data per tanggal 27 Juni 2022 penghuni 

tempat-tempat penahanan yang berada di bawah kendali Ditjen Pemasyarakat Indonesia 

(seperti Lapas/Rutan) adalah 273.997 orang dengan kapasitas hunian di seluruh 

Indonesia sebesar 132.107. Artinya secara keseluruhan kelebihan kapasitas mencapai 

kurang lebih 107%.5 Secara spesifik beberapa lapas dan rutan dapat mengalami 

overcrowding melebihi 250%. 

11. Dalam konteks penegakan hukum, penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya 

pada para tersangka atau tahanan terus terjadi. Praktik penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya terjadi mulai dari proses penangkapan, 

pemeriksaan/interogasi, penahanan dan penghukuman. Seluruh lembaga aparat penegak 

hukum terlibat dalam level keterlibatan yang beragam (various level of involvement) dan 

praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya diterima sebagai pola 

tindakan dan pola perilaku aparat dalam sistem peradilan pidana.

12. Praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya yang terus terjadi 

menunjukkan adanya problem sistemik yang melingkupi berbagai aspek diantaranya 

kerangka hukum masih belum kuat, budaya kekerasan di berbagai institusi penegak 

hukum dan institusi keamanan, serta masih lemahnya sistem pengawasan serta lemahnya 

mekanisme pencegahan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya.  

13. Komnas HAM memandang bahwa ada kemendesakan untuk memastikan terjaminnya 

hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya dan perlakuan 

atau hukuman lain yang kejam tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, 

dengan memperkuat standar dan norma pengaturan tentang larangan penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya, perlakuan dan penghukuman yang kejam, tidak 

manusiawi dan merendahkan martabat yang mendasarkan pada norma-norma dan standar 

dalam hukum HAM internasional, Konstitusi Indonesia UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya.  

 


MAKSUD DAN TUJUAN STANDAR NORMA DAN PENGATURAN 

14. Komnas HAM dapat menetapkan peraturan yang mengikat secara hukum sepanjang 

sesuai dengan kewenangannya sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang 

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dalam UU No. 

15 Tahun 2019 dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 8 ayat (1), menyebutkan bahwa 

“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 

ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, 

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah 

Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, 

badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau 

Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, 

Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala 

Desa atau yang setingkat. Kemudian di ayat (2) menyebutkan, “Peraturan Perundang-

undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan memiliki  

kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasar  kewenangan.” 

15. Komnas HAM adalah lembaga yang dibentuk berdasar  UU No. 39 Tahun 1999 

dengan sejumlah tugas dan kewenangan. Pasal 8 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2019 ini  

mengakui peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh komisi sepanjang 

diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk 

berdasar  kewenangan. Dengan demikian, Peraturan Komnas HAM memiliki  

kekuatan mengikat sepanjang berdasar  kewenangan.  

16. SNP ini merupakan salah satu produk hukum Komnas HAM yang ditetapkan oleh Sidang 

Paripurna, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Komnas HAM, dalam menetapkan 

SNP sebagai peraturan Komnas HAM yang memiliki  kekuatan hukum mengikat. 

17. SNP disusun sebagai bagian dari pelaksanaan tujuan dan wewenang Komnas HAM RI 

untuk memajukan dan menegakkan HAM sebagaimana diatur di dalam UU HAM 

maupun peraturan perundang-undangan terkait lainnya.  

18. berdasar  Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang 

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dalam Undang- 

Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Komnas HAM 

memiliki kewenangan atributif dalam membentuk peraturan yang memiliki  kekuatan 

mengikat. 

19. SNP merupakan pemaknaan, penilaian, dan petunjuk atas kaidah-kaidah dan peristiwa 

HAM yang terjadi di tengah masyarakat. Standar Norma dan Pengaturan merupakan 

dokumen yang mendudukkan prinsip dan pengaturan HAM internasional dan merupakan 

penjabaran prinsip dan norma-norma HAM yang berlaku internasional di tingkat 

nasional. 

20. Dalam proses penyusunan SNP, Komnas HAM membuka partisipasi pelbagai pihak yaitu 

lembaga negara, kementerian, pemerintah daerah, kelompok-kelompok masyarakat sipil, 

akademisi, organisasi, dan individu, dan membuka diri atas partisipasi dan transparansi 

publik, termasuk melalui forum-forum diskusi, media sosial, media elektronik, situs, dan 

lain-lain. 

21. Apabila ditinjau dari segi substantif, SNP menjadi bagian dari pengaturan atas pelbagai 

norma hukum HAM, pedoman dalam putusan pengadilan, praktik hukum dan HAM, 

terutama tentang penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Tafsiran yang 

disusun dan kemudian diterbitkan oleh Komnas HAM ini berlaku mengikat bagi semua 

pihak dalam menjawab persoalan HAM yang terjadi di tengah masyarakat. Standar 

Norma dan Pengaturan ini juga berfungsi sebagai tolok ukur untuk menilai dan 

membangun pembanding atas tindakan atau perbuatan agar sejalan dengan HAM. 

22. Maksud dan tujuan SNP adalah: 

a. Bagi negara khususnya penyelenggara pemerintahan, untuk memastikan tidak ada 

regulasi, kebijakan, dan tindakan yang bertentangan dengan HAM sejak perencanaan, 

pengaturan, dan pelaksanaan, serta memastikan proses hukum dan pemberian sanksi 

bagi pelaku atas tindakan yang melanggar HAM. 

b. Bagi penegak hukum, agar dalam melakukan tindakan, penegakan hukum ataupun 

pertimbangan dalam putusan, memastikan adanya perlindungan hukum dan HAM 

serta berkeadilan.  

c. Bagi korporasi atau swasta, untuk membangun akuntabilitas dan menghormati HAM, 

menghindari perlakuan yang melanggar HAM, memastikan patuh atas penyelesaian 

yang adil dan layak, dan menyediakan akses pemulihan atas tindakan yang melanggar 

HAM. 

d. Bagi individu, masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan, untuk membangun 

pengertian dan pemahaman mengenai segala hal yang terkait dengan tindakan yang 

melanggar norma HAM sehingga ada proses untuk memastikan perlindungan dan 

penikmatan hak asasinya, serta dapat dijadikan dasar dalam usaha  pembelaan terhadap 

individu, masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan dalam menegakkan HAM. 

C. SIFAT DASAR DAN PRINSIP-PRINSIP HAM 

Harkat dan Martabat Manusia (Human Dignity) 

23. Hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya berkaitan erat 

dengan prinsip harkat dan martabat manusia. Larangan penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak 

manusiawi atau merendahkan martabat manusia (perlakuan sewenang-wenang) diatur 

secara tegas di level internasional berdasar  fakta bahwa perbuatan kejam seperti itu 

merupakan penghinaan dan serangan secara serius terhadap harkat dan martabat manusia. 

Bahkan, terdapat konsensus internasional bahwa perbuatan ini melanggar martabat yang 

melekat pada diri pribadi manusia dan tidak dibenarkan dalam keadaan apapun. 

24. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) di Pasal 1 menyatakan “semua orang 

dilahirkan merdeka dan memiliki  martabat dan hak-hak yang sama. Mereka 

dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam 

persaudaraan.” International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau 

Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Politik (KIHSP) menegaskan dalam 

pembukaannya bahwa hak-hak yang terdapat di dalamnya berasal dari martabat yang 

melekat pada manusia. Dalam hal ini, setiap orang berhak untuk dihargai dan dihormati 

serta diperlakukan secara etis. Sedangkan Di Indonesia, Undang-Undang No.39 Tahun 

1999 tentang HAM Pasal 1 menyebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah 

seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk 

Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah‑Nya yang wajib dihormati, dijunjung 

tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi 

kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Sementara Pasal 3 

menyatakan bahwa “Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat 

manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati murni untuk hidup 

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan.” 

Absolut dan Non-derogable 

25. Hak yang bersifat absolut dan hak yang non-derogable adalah dua kategori yang terpisah. 

Perbedaan keduanya menjadi penting karena memiliki dampak yang signifikan terhadap 

seberapa ketat interpretasi dan penerapannya. Hak-hak yang bersifat absolut berarti hak 

ini  harus dijamin pada setiap waktu dan tidak dapat dibatasi dalam keadaan apapun, 

kapanpun, dan untuk alasan apapun. Contohnya adalah hak untuk bebas dari penyiksaan 

dan perlakuan sewenang-wenang lainnya, hak bebas dari perbudakan, larangan genosida, 

larangan diskriminasi rasial, dan kebebasan berpikir dan beragama/berkeyakinan. 

Pembatasan terhadap hak-hak ini  tidak dapat dibenarkan dalam keadaan apapun dan 

untuk alasan apapun. 

26. Hak-hak yang tidak bersifat absolut berarti hak ini  dapat dibatasi dalam keadaan 

tertentu dan syarat-syarat yang ketat. Contohnya adalah hak atas kebebasan berekspresi, 

hak untuk menjalankan agama atau keyakinan, dan kebebasan untuk berkumpul dan 

berserikat. Pembatasan HAM hanya bisa dilakukan jika diatur berdasar  hukum dan 

diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk melindungi ketertiban umum, kesehatan 

publik, keamanan nasional, keselamatan publik, atau untuk melindungi hak dan 

kebebasan fundamental orang lain. 

27. Hak-hak yang bersifat derogable adalah hak yang boleh ditunda pemenuhannya dalam 

keadaan darurat. Dalam hal ini negara dimungkinkan untuk menangguhkan sebagian dari 

kewajiban hukum mereka, dan dengan demikian mengurangi atau menunda beberapa 

hak, dalam keadaan tertentu. Pengurangan atau penundaan digunakan untuk 

memungkinkan suatu negara menanggapi keadaan darurat publik serius yang mengancam 

kehidupan bangsa. Setiap pengurangan harus untuk jangka waktu terbatas (temporer), 

proporsional dan tidak diskriminatif. Contoh hak yang bersifat derogable adalah hak 

untuk bergerak, hak untuk berkumpul dan hak menjalankan agama atau kepercayaan 

(forum internum). 

28. Hak-hak yang bersifat non-derogable berarti hak ini  tidak dapat dikurangi atau 

ditunda pemenuhannya bahkan dalam keadaan perang, sengketa bersenjata atau keadaan 

darurat. Contohnya adalah, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan sewenang-

wenang lainnya, hak bebas dari perbudakan, larangan genosida, larangan diskriminasi 

rasial, dan kebebasan berpikir dan beragama/berkeyakinan. 

29. Konsep non-derogable rights diatur dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan 

Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan 

Martabat Manusia Pasal 2 yang menyebutkan bahwa “Tidak ada keadaan luar biasa 

apapun, baik keadaan perang atau ancaman perang, ketidakstabilan politik internal atau 

keadaan darurat publik lainnya, dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan.” 

Sementara dalam UUD 1945 Pasal 28I menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk 

tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak 

diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak 

dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat 

dikurangi dalam keadaan apapun”. 

30. berdasar  hukum kebiasaan internasional, berbagai perjanjian HAM internasional 

serta peraturan perundangan-undangan di Indonesia, hak untuk bebas dari penyiksaan 

dan perlakuan sewenang-wenang lainnya merupakan hak yang bersifat absolut karena 

tidak dapat dibatasi dalam keadaan apapun maupun hak non-derogable karena tidak dapat 

dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Bahkan keadaan perang atau ancaman 

perang sekalipun, atau ketidakstabilan politik dalam negeri atau keadaan darurat lainnya, 

tidak dapat digunakan sebagai alasan atau justifikasi penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya. Perintah dari atasan atau pejabat publik juga tidak boleh 

digunakan sebagai pembenaran penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. 

Artinya, baik kerangka hukum HAM internasional maupun hukum nasional Indonesia 

tidak memberikan pengecualian terhadap praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-

wenang lainnya. 

Prinsip Universalitas 

31. Hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya bersifat 

universal, yang berarti bahwa semua orang di dunia memiliki hak yang sama karena 

setiap manusia lahir dengan kemerdekaan dan martabat yang sama dalam hak. Deklarasi 

Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) di Pasal 1 menyatakan “semua orang 

dilahirkan merdeka dan memiliki  martabat dan hak-hak yang sama. Mereka 

dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam 

persaudaraan.” KIHSP menegaskan dalam pembukaannya bahwa hak-hak yang ada di 

dalamnya berasal dari martabat yang melekat pada manusia. Dalam hal ini, setiap orang 

berhak untuk dihargai dan dihormati serta diperlakukan secara etis.  

32. Larangan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya diatur secara tegas di 

level internasional berdasar  fakta bahwa perbuatan kejam seperti itu merupakan 

penghinaan dan penyerangan secara serius terhadap harkat dan martabat manusia. 

Bahkan, terdapat konsensus internasional bahwa perbuatan ini melanggar martabat yang 

melekat pada diri pribadi manusia dan tidak dibenarkan dalam keadaan apapun. 

Sementara itu, di Indonesia, Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 1 

menyebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada 

hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan 

merupakan anugerah‑Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh 

negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan 

harkat dan martabat manusia”. Lalu Pasal 3 menyatakan bahwa “Setiap orang 

dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta 

dikaruniai akal dan hati murni untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara 

dalam semangat persaudaraan.” 

Prinsip Indivisible and Interdependent and Interrelated 

33. Indivisibility berarti hak asasi manusia tidak dapat dibagi. Baik yang terkait dengan 

masalah sipil, budaya, ekonomi, politik atau sosial, HAM melekat pada martabat setiap 

pribadi manusia. Akibatnya, semua hak asasi manusia memiliki status yang sama, dan 

tidak dapat ditempatkan dalam tatanan hierarkis.  

34. Interdependent and interrelated berarti hak asasi manusia saling bergantung dan saling 

terkait. Masing-masing hak berkontribusi pada pemenuhan harkat dan martabat manusia 

melalui penikmatan serta pemuasan kebutuhan baik perkembangan, fisik, psikologis dan 

spiritual. Pemenuhan satu hak seringkali tergantung, seluruhnya atau sebagian, pada 

pemenuhan hak orang lain. Misalnya orang yang menghadapi penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya akan dapat memunculkan pelanggaran hak lainnya seperti hak 

atas kebebasan dan keamanan, hak bebas dari rasa takut dan terganggunya kesehatan fisik 

dan mental yang dapat mempengaruhi kehidupan pribadi dan keluarga. 

Prinsip Non-Diskriminasi 

35. Prinsip non-diskriminasi merupakan prinsip dasar dan umum yang berkaitan dengan 

perlindungan hak asasi manusia. DUHAM Pasal 2 menyebutkan bahwa “setiap orang 

berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi 

ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis 

kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau 

kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.” Sementara, KIHSP 

Pasal 2 paragraf 1 mewajibkan setiap Negara Pihak untuk menghormati dan menjamin 

semua orang di dalam wilayahnya dan tunduk pada yurisdiksinya hak-hak yang diakui 

dalam Kovenan tanpa pembedaan dalam bentuk apapun, seperti ras, warna kulit, jenis 

kelamin, bahasa, agama, asal usul kebangsaan atau sosial, kelahiran atau status lainnya. 

 36. Istilah diskriminasi yang terdapat dalam semua perjanjian HAM baik perjanjian yang 

bersifat umum seperti KIHSP, maupun perjanjian khusus seperti Konvensi Internasional 

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dan Konvensi Penghapusan Segala 

Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan harus dipahami untuk menyiratkan perbedaan, 

pengecualian, pembatasan atau preferensi yang didasarkan pada alasan apa pun seperti 

ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya, asal 

kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran atau status lain, dan yang memiliki  tujuan 

atau akibat meniadakan atau merusak pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan oleh 

semua orang, pada pijakan yang sama, semua hak dan kebebasan. Di Indonesia, larangan 

prinsip ini juga ditegaskan di dalam UUD 1945 Pasal 28I ayat (2) yang menyatakan 

“setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa 

pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat 

diskriminatif itu.” 

Prinsip Non-Refoulement 

37. Prinsip non-refoulement merupakan prinsip perlindungan esensial di bawah hukum HAM 

internasional, hukum pengungsi internasional hukum humaniter serta hukum kebiasaan 

internasional yang dibangun atas dasar ketidakberpihakan dan anti-diskriminasi. Negara 

dilarang memindahkan individu dari yurisdiksi atau kontrol efektif mereka ketika ada 

alasan kuat untuk percaya bahwa orang ini , apapun statusnya, akan menghadapi 

risiko dari bahaya yang tidak dapat diperbaiki setelah kembali. Adapun resiko yang 

dimaksud termasuk penganiayaan, penyiksaan, perlakuan buruk atau pelanggaran HAM 

serius lainnya. 

38. Prinsip ini diatur di dalam Konvensi Menentang Penyiksaan, Konvensi tentang 

Pengungsi, Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Internasional untuk Perlindungan 

Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Pasal 3 Konvensi Menentang Penyiksaan 

menyatakan “Tidak ada Negara Pihak yang boleh mengusir, mengembalikan, atau 

mengekstradisi seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk 

menduga bahwa orang itu dalam bahaya karena menjadi sasaran penyiksaan.” 

Sedangkan Konvensi Pengungsi 1951 menyangkut larangan melakukan pemindahan 

seorang atau sekelompok pengungsi ke negara lain di mana nyawa atau kebebasannya 

bisa terancam atas dasar etnisitas atau ras, agama, kewarganegaraan, atau keanggotaanya 

di suatu organisasi sosial atau politik (prinsip non-refoulement). Pasal 33(1) mencakup 

larangan refoulement terhadap seseorang atau sekelompok orang yang kuat diduga akan 

mengalami penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya di negara target 

pemindahan. Sementara itu, prinsip non-refoulement juga dimasukkan dalam Konvensi 

Jenewa 1949, terutama berkaitan dengan pemindahan tahanan serta perlindungan 

penduduk sipil.

39. Dalam Komentar Umum No. 20, Komite HAM PBB mencatat bahwa Negara-negara 

pihak tidak boleh menempatkan individu pada bahaya penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi 

atau merendahkan martabat setelah kembali ke negara lain melalui ekstradisi, pengusiran 

ataupun pemindahan.8 Prinsip non-refoulement ini sekaligus menggambarkan bahwa 

larangan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya dan bentuk-bentuk 

perlakuan buruk bersifat mutlak atau absolute. 

Prinsip Jus Cogens 

40. Larangan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya termasuk prinsip jus 

cogens,9 yaitu hukum yang memaksa dan mengikat serta memiliki  hierarki yang 

tertinggi dari semua norma dan prinsip hukum internasional. Konsekuensi dari norma-

norma yang termasuk jus cogens adalah norma ini  harus ditaati dan tidak dapat 

dikurangi (non-derogable), yang berarti pula bahwa penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya dilarang dalam situasi apapun. Prinsip jus cogens ini 

mengesampingkan segala ketentuan yang tidak konsisten dalam perjanjian internasional 

ataupun hukum kebiasaan internasional. Sebagai jus cogens, larangan penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya mengikat semua Negara terlepas dari apakah 

negara ini  telah menandatangani atau meratifikasi perjanjian hak asasi manusia 

internasional yang relevan. 

41. Norma ini menimbulkan kewajiban erga omnes yang berarti setiap Negara memiliki 

kepentingan hukum dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang terutang kepada 

masyarakat internasional secara keseluruhan.10 Kewajiban ini memiliki konsekuensi 

penting di bawah prinsip-prinsip dasar tanggung jawab negara, yang menyediakan 

kepentingan dan dalam keadaan tertentu kewajiban semua Negara untuk mencegah 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya dan bentuk-bentuk perlakuan 

sewenang-wenang lainnya, untuk tidak mendukung dan berusaha mengakhirinya, serta 

mengadopsi atau mengakui tindakan yang melanggar larangan ini . 

Prinsip Yurisdiksi Universal  

42. Yurisdiksi universal mengacu pada gagasan bahwa pengadilan nasional dapat menuntut 

individu untuk kejahatan serius terhadap hukum internasional, termasuk penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya, berdasar  prinsip bahwa kejahatan ini  

merugikan komunitas internasional atau tatanan internasional itu sendiri sehingga setiap 

Negara dapat bertindak untuk melindunginya. Konvensi Menentang Penyiksaan Pasal 5 

hingga 9 mewajibkan setiap Negara Pihak untuk menetapkan yurisdiksinya atas 

kejahatan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya, terlepas dari apakah 

kejahatan itu dilakukan di luar perbatasannya dan terlepas dari asal kebangsaan tersangka 

atau pelakunya, negara tempat tinggal atau tidak adanya hubungan lain dengan negara 

ini . 

43. Pelaksanaan yurisdiksi universal termasuk antara lain, tugas untuk menahan orang yang 

dicurigai, untuk melakukan penyelidikan atas tuduhan penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya dan untuk menyerahkan tersangka penyiksa kepada otoritas 

penuntut. Jika Negara tidak mampu untuk mengadili kejahatan ini , Negara ini  

harus mengekstradisi tersangka pelaku ke Negara yang mampu dan bersedia untuk 

mengadili kejahatan ini . 

44. Bila penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya merupakan bagian dari 

serangan yang meluas atau sistematis, atau terjadi dalam konflik bersenjata, maka mereka 

yang bertanggung jawab atas penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya juga 

dapat diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Hal ini karena penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya merupakan salah satu kejahatan dasar (underlying 

act) dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Namun, lebih banyak 

Negara telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan yang mencakup semua 

tindakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya dan menciptakan 

kewajiban untuk melaksanakan yurisdiksi universal. 

D. DEFINISI DAN KONSEP 

Konsep Penyiksaan dan Perlakuan Sewenang-Wenang Lainnya 

45. Penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya bukanlah suatu tindakan itu sendiri, 

atau jenis tindakan tertentu, tetapi merupakan kualifikasi hukum dari suatu peristiwa atau 

perilaku, berdasar  penilaian komprehensif dari peristiwa atau perilaku ini .11 

Unsur-unsur penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya, perlakuan tidak 

manusiawi dan merendahkan martabat manusia secara sengaja dibedakan. Perlakuan 

yang tidak manusiawi akan merendahkan martabat tetapi belum tentu merupakan 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya, sedangkan penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya akan mencakup perlakuan yang tidak manusiawi 

dan merendahkan martabat. 

46. Konvensi Menentang Penyiksaan adalah perjanjian HAM internasional pertama yang 

mendefinisikan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Konvensi 

mengatur perilaku “penyiksaan” sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 dan bentuk-bentuk 

lain dari “penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya sebagaimana diatur 

dalam Pasal 16. Pasal 1 harus dibaca dalam hubungannya dengan Pasal 16 yang 

mewajibkan Negara-negara Pihak untuk mencegah perlakuan sewenang-wenang yang 

tidak termasuk penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Larangan perilaku 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya maupun perlakuan atau 

penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia sama-

sama bersifat absolut. 

47. Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan mendefinisikan penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya sebagai “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, 

sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang luar biasa, baik jasmani 

maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari 

orang itu atau orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah 

dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam 

atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan apa pun yang 

didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan ini  

ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan seorang 

pejabat publik atau orang lain yang bertindak di dalam kapasitas publik. Hal itu tidak 

meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada atau 

diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku. Ini tidak termasuk rasa sakit atau 

penderitaan yang timbul hanya dari, yang melekat pada atau terkait dengan sanksi yang 

sah.” 

48. Unsur-unsur kumulatif untuk menentukan suatu tindakan sebagai penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya adalah sebagai berikut: 

1. Menimbulkan rasa sakit atau penderitaan mental atau fisik yang parah; 

a. Penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya menimbulkan rasa sakit 

atau penderitaan yang parah, baik secara fisik maupun mental. Tingkat keparahan 

secara umum dapat ditentukan berdasar  fakta dari masing-masing kasus, 

dengan mempertimbangkan kekhususan kondisi korban, akibat yang ditimbulkan 

secara fisik dan atau mental, serta durasi dan konteks dimana penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya itu dilakukan. Faktor-faktor seperti kondisi 

fisik atau mental korban, usia korban, jenis kelamin atau kondisi kesehatan korban 

juga akan relevan dalam menilai tingkat keparahan yang ditimbulkan.12 

b. Rasa sakit atau penderitaan parah secara fisik atau mental ini  didasarkan 

pada dugaan kuat serta didukung oleh bukti medis atau bukti pendukung lainnya. 

Bukti-bukti yang sering ditemukan adalah sejumlah luka dan memar yang serius, 

kesakitan dan kecemasan fisik yang permanen dimana tahanan tidak memiliki 

kepastian akan nasib dirinya, misalnya akibat pukulan yang berulang kali 

ditimpakan padanya selama proses interogasi. 

2. Tindakan atau pembiaran dilakukan dengan sengaja 

Rasa sakit atau penderitaan yang parah yang dilakukan baik melalui tindakan (act) 

atau pembiaran (omission) haruslah sengaja ditimpakan kepada korban. Konvensi 

Menentang Penyiksaan memang tidak secara khusus menyebut tentang tindakan 

berupa pembiaran, namun interpretasi terhadap hukum internasional telah 

merekomendasikan bahwa definisi penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang 

lainnya mencakup pula tindakan pembiaran.13 Sedangkan kelalaian tidak cukup 

untuk mengkualifikasikan suatu perlakuan sebagai penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya. 

3. Dengan tujuan yang khusus 

a. Perbuatan yang menimbulkan rasa sakit dan penderitaan parah dilakukan dengan 

maksud atau tujuan tertentu. Konvensi Menentang Penyiksaan Pasal 1 telah 

memberikan daftar tujuan melakukan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang 

lainnya, yaitu:

- memperoleh informasi atau pengakuan dari orang itu atau orang ketiga; 

- menghukumnya atas suatu tindakan yang telah dilakukan atau diduga telah 

dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga; 

- mengintimidasi atau memaksa orang itu atau orang ketiga; 

- untuk alasan apapun yang didasarkan pada diskriminasi dalam bentuk apapun. 

Bila tidak ada maksud atau tujuan yang dimaksud diatas, bahkan rasa sakit dan 

penderitaan yang sangat parah pun tidak akan memenuhi syarat sebagai 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. 

b. Setiap negara diperbolehkan untuk menambahkan ketentuan tentang tujuan-tujuan 

lain dari penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya, sepanjang tetap 

terbuka dan fleksibel. Maksud dan tujuan ini  haruslah merupakan tujuan-

tujuan yang objektif dengan mempertimbangkan semua situasi, dan tidak 

mencakup suatu penyelidikan yang subjektif atas motivasi pelaku. Dalam konteks 

ini, sangat penting untuk menyelidiki pertanggungjawaban orang-orang dalam 

struktur komando atau dalam struktur atasan bawahan, serta terhadap pelaku 

langsung penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya.

4. Dengan persetujuan atau sepengetahuan seorang pejabat publik atau orang lain 

yang bertindak di dalam kapasitas resmi 

a. Tindakan atau pembiaran yang merupakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-

wenang lainnya harus dilakukan oleh pejabat publik, dengan persetujuan atau 

sepengetahuan pejabat publik atau dilakukan oleh seseorang yang bertindak dalam 

kapasitas resmi. Pejabat publik tidak boleh ditafsirkan secara sangat sempit. Komite 

Menentang Penyiksaan mengklarifikasi bahwa definisi pejabat publik adalah luas 

yang meliputi pula pelaku penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya 

non-negara dan aktor privat (private actors), jika pejabat publik mengetahui atau 

memiliki alasan yang masuk akal bahwa penyiksaan dan perlakuan sewenang-

wenang lainnya sedang dilakukan oleh pelaku non-negara atau aktor privat 

ini , dan pejabat publik ini  gagal melakukan tindakan pencegahan, 

penyelidikan, atau penghukuman terhadap pelaku non-negara atau aktor privat 

ini , maka pejabat publik ini  haruslah dianggap sebagai pihak yang 

mendalangi, ikut serta atau bertanggung jawab karena dianggap menyetujui.16 

Kegagalan negara baik karena ketidakpedulian atau kelambanan pejabat publiknya 

ini  memberikan suatu bentuk dorongan dan/atau persetujuan secara de facto. 

b. Dalam hal ini, pejabat publik hanya perlu unsur kesadaran akan adanya tindakan 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya yang dilakukan oleh pihak 

ketiga untuk dapat dikatakan memberikan persetujuan. Tujuan dari unsur kesadaran 

ini adalah untuk memperjelas dan mempertegas bahwa baik pengetahuan secara 

langsung maupun ketidakpedulian atau kelambanan yang disengaja, termasuk 

dalam definisi istilah persetujuan. 

c. Selain itu, jika seseorang akan dipindahkan atau dikirim ke tahanan atau dibawah 

kendali seseorang atau lembaga yang diketahui terlibat dalam penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya atau perlakuan buruk, atau tidak menerapkan 

perlindungan secara memadai, Negara bertanggung jawab dan pejabatnya 

dikenakan hukuman karena memerintahkan, mengizinkan atau berpartisipasi dalam 

pemindahan ini  karena bertentangan dengan kewajiban Negara untuk 

mengambil tindakan efektif untuk mencegah penyiksaan dan perlakuan sewenang-

wenang lainnya. Pemindahan atau pengiriman orang ke tempat-tempat ini  

harus melalui proses hukum sebagaimana diharuskan oleh pasal 2 dan 3 Konvensi. 

d. Komite Menentang Penyiksaan juga menginterpretasikan bahwa frasa “public 

officials or other persons acting in an official capacity” mencakup pihak yang 

berwenang secara de facto termasuk pada pemberontak yang melaksanakan 

kewenangan-kewenangan tertentu yang dapat dipersamakan dengan penerapan 

kewenangan dari pemerintahan yang sah. berdasar  hukum kebiasaan 

internasional mengenai tanggung jawab pidana individu, International Criminal 

Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY) telah menyimpulkan bahwa individu 

dapat memikul tanggung jawab pidana atas tindakan penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya bahkan jika pelakunya bukan pejabat publik dan bahkan 

jika kejahatan itu tidak dilakukan di hadapan seorang pejabat publik. 

adanya fakta bahwa bila sanksi-sanksi ini diterima dan dianggap sah menurut hukum 

domestik tidak serta-merta menjadikannya sah menurut pengertian Pasal 1 Konvensi 

Menentang Penyiksaan. Contohnya, pidana penjara pelaku kejahatan bukan merupakan 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya itu sendiri, sekalipun bagi orang 

tertentu dianggap menimbulkan rasa sakit yang berat. 

50. Komite Menentang Penyiksaan menjelaskan bahwa hukuman fisik (corporal 

punishment) tidak diterima sebagai sanksi yang sah. Komite menyatakan keprihatinan 

mendalam dan merekomendasikan agar Negara Pihak memeriksa kembali penerapan 

hukuman fisiknya (khususnya hukuman cambuk dan amputasi bagian tubuh), yang 

melanggar Konvensi.18 Praktek-praktek cambuk, amputasi bagian tubuh, dan segala 

bentuk hukuman fisik lainnya dan dilarang pemakaian nya oleh hukum, harus segera 

dihentikan karena merupakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya 

merupakan bentuk pelanggaran Konvensi.19 

51. Penafsiran bahwa hukuman fisik adalah sanksi yang sah secara hukum jelas tidak sesuai 

dengan objek dan tujuan Konvensi dan oleh karena itu, tidak dapat ditegakkan mengingat 

Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian mengatur bahwa Negara tidak boleh 

menggunakan ketentuan hukum internalnya sebagai pembenaran atas kegagalannya 

untuk melakukan suatu perjanjian internasional. Ketentuan ini sekarang menjadi bagian 

dari hukum kebiasaan internasional.

52. Demikian pula, Pelapor Khusus tentang penyiksaan telah menyatakan bahwa sebuah 

hukuman harus mengacu pada sanksi-sanksi yang merupakan praktik yang diterima 

secara luas dan dianggap sah oleh masyarakat internasional, seperti perampasan 

kemerdekaan melalui pemenjaraan, yang mana umum terjadi di hampir semua sistem 

pidana.22 Perampasan kebebasan, betapapun tidak menyenangkannya, selama itu sesuai 

dengan standar dasar yang diterima secara internasional, seperti yang ditetapkan dalam 

Aturan Minimum Standar PBB untuk Perlakuan terhadap Tahanan (Mandela Rules),

tidak diragukan lagi merupakan sanksi yang sah. 

53. berdasar  berbagai standar diatas, Pelapor Khusus untuk Penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya, badan-badan HAM internasional serta para ahli hukum telah 

membuat daftar tindakan yang dianggap cukup parah sehingga dapat dikategorikan 

sebagai penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya dan atau yang mungkin 

dikategorikan sebagai penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya (tergantung 

pada situasinya). Pemukulan, pembakaran, kekerasan seksual, paparan berlebihan 

terhadap cahaya atau kebisingan, larangan tidur, makanan, kebersihan, bantuan medis, 

dan isolasi yang berkepanjangan, mutilasi bagian tubuh, serta ancaman penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya, ancaman pemerkosaan, ancaman pembunuhan 

kerabat, atau simulasi eksekusi adalah beberapa tindakan yang paling sering disebut 

sebagai tindakan yang mungkin merupakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang 

lainnya. 

54. Pada tahun 2002, Komisi Inter-Amerika untuk Hak Asasi Manusia mengeluarkan 

Laporan tentang Terorisme dan Hak Asasi Manusia,24 yang meneliti yurisprudensi 

internasional mengenai penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya, dimana 

terdapat daftar perbuatan yang dilarang dalam konteks interogasi, yaitu penahanan 

berkepanjangan tanpa komunikasi; menahan tahanan dengan tudung dan telanjang di 

dalam sel dan menginterogasi mereka di bawah obat pentothal; memaksakan diet terbatas 

yang menyebabkan malnutrisi; memberikan kejutan listrik kepada seseorang; menahan 

kepala seseorang di dalam air sampai tenggelam; berdiri atau berjalan di atas individu; 

memukuli, memotong dengan pecahan kaca, meletakkan tudung di atas kepala seseorang 

dan membakarnya dengan rokok yang menyala; memperkosa; eksekusi palsu, 

pemukulan, perampasan makanan dan air; ancaman pengambilan atau penghilangan 

bagian tubuh, paparan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya terhadap 

korban lain; dan ancaman kematian. 

Konsep Perlakuan Atau Penghukuman Yang Kejam, Tidak Manusiawi Atau 

Merendahkan Martabat Manusia 

55. Pasal 16 Konvensi Menentang Penyiksaan menyebutkan bahwa “Setiap Negara Pihak 

harus mencegah di wilayah kewenangan hukumnya perlakuan atau penghukuman lain 

yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, yang tidak termasuk 

tindak penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya sebagaimana ditetapkan 

dalam pasal 1, apabila tindakan semacam itu dilakukan oleh atau atas hasutan atau 

dengan persetujuan atau kesepakatan diam-diam pejabat publik atau orang lain yang 

bertindak dalam kapasitas resmi. Secara khusus, kewajiban-kewajiban yang terkandung 

dalam pasal 10, 11, 12, dan 13 berlaku sebagai pengganti acuan terhadap perlakuan 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya ke perlakuan atau penghukuman 

lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.25 Pasal-pasal 

dalam Konvensi Menentang Penyiksaan tidak mempengaruhi ketentuan dari setiap 

perangkat internasional atau hukum nasional yang melarang perlakuan atau 

penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia 

atau yang berhubungan dengan ekstradisi atau pengusiran. 

56. Penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya memang terkadang sulit untuk 

dibedakan. berdasar  analisis menyeluruh dari travaux preparatoires Pasal 1 dan 

Pasal 16 Konvensi Menentang Penyiksaan serta interpretasi sistematis dari kedua 

ketentuan ini , Pelapor Khusus telah mengambil posisi bahwa unsur tujuan yang 

khusus merupakan kriteria yang paling menentukan untuk membedakan penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya dari perlakuan sewenang-wenang lainnya, dan 

bukan tingkat keparahan dari rasa sakit atau penderitaan yang ditimbulkan. Konsensus 

internasional juga mengarah pada unsur tujuan sebagai elemen pembeda utama dengan 

dasar bahwa psikiater dan ahli traumatologi telah menunjukkan bahwa penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya, perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan 

merendahkan seringkali memiliki tingkat rasa sakit atau penderitaan mental yang serupa. 

Terlebih lagi, tingkat rasa sakit dan penderitaan adalah relatif dan mungkin berbeda 

secara subyektif.26 berdasar  berbagai faktor (misalnya lamanya penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya, usia, jenis kelamin, kesehatan, konteks, dll), 

konsekuensi fisik dan mental dari penyiksaan dan bentuk-bentuk perlakuan sewenang-

wenang lainnya dapat bervariasi dalam intensitas untuk setiap orang. 

57. Dalam kasus di mana tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa suatu tindakan 

dilakukan untuk mencapai maksud dan tujuan tertentu sebagaimana Pasal 1 Konvensi 

Menentang Penyiksaan, perlakuan ini  bukan merupakan penyiksaan tetapi dapat 

dianggap sebagai perlakuan kejam atau tidak manusiawi atau merendahkan. Dengan 

demikian, unsur-unsur penting yang merupakan perlakuan atau hukuman lain yang 

kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia yang tidak termasuk 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya direduksi menjadi setiap perbuatan 

yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang 

luar biasa, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang yang ditimbulkan oleh, atas 

hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan seorang pejabat publik atau orang 

lain yang bertindak di dalam kapasitas publik. 

58. Proporsionalitas kekuatan yang digunakan dalam kaitannya dengan tujuan yang sah yang 

ingin dicapai berperan penting. Jika rasa sakit atau penderitaan parah dilakukan dengan 

sengaja dan diterapkan secara proporsional untuk tujuan yang sah di luar cakupan Pasal 

 

Pasal 11 mewajibkan negara mematuhi aturan, instruksi, metode dan praktik interogasi yang ditinjau secara sistematis serta 

pengaturan untuk penahanan dan perlakuan orang-orang yang menjadi sasaran segala bentuk penangkapan, penahanan atau 

pemenjaraan di wilayah manapun di bawah yurisdiksinya, dengan tujuan untuk mencegah setiap kasus penyiksaan. 

Pasal 12 mengharuskan negara memastikan bahwa pejabat berwenangnya melanjutkan penyelidikan yang cepat dan tidak 

memihak, di mana pun ada alasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa suatu tindakan penyiksaan telah dilakukan di 

wilayah mana pun di bawah yurisdiksinya.Pasal 13 mengharuskan negara menjamin bahwa setiap individu yang menyatakan 

dirinya telah menjadi sasaran penyiksaan di wilayah manapun di bawah yurisdiksinya berhak untuk mengadu, dan agar 

kasusnya segera dan tidak memihak diperiksa oleh, otoritas yang berwenang. 


 

1, maka tindakan ini  dibenarkan dan tidak termasuk perlakuan kejam, tidak 

manusiawi atau merendahkan martabat. Jika pemakaian  kekuatan tidak mutlak 

diperlukan untuk mencapai tujuan ini , perlakuan ini  mungkin dikualifikasikan 

sebagai merendahkan, tidak manusiawi atau kejam.  

59. Perlakuan tidak manusiawi setidaknya mencakup tindakan yang secara sengaja dilakukan 

untuk menimbulkan rasa sakit dan penderitaan yang parah, baik mental maupun fisik, 

dan tidak ada pembenar atas tindakan ini . Perlakuan ini  tidak membutuhkan 

suatu tujuan khusus. Dalam keadaan dimana seseorang dalam keadaan sehat sebelum 

proses penangkapan atau penahanan dan setelahnya terbukti mengalami luka dan rasa 

sakit atau penderitaan selama dalam tahanan, beban pembuktian ada pada pihak 

berwenang untuk menunjukkan tidak adanya kekuatan atau kekerasan yang digunakan, 

atau kekuatan yang digunakan tidak berlebihan, atau dibenarkan oleh korban sendiri. 

Pengekangan tidak semestinya selama penangkapan juga dapat dianggap sebagai 

perlakuan yang tidak manusiawi. 

60. Sementara, perlakuan merendahkan martabat manusia juga memiliki  karakteristik 

spesifik yang berbeda dengan gagasan perlakukan kejam dan tidak manusiawi. Perlakuan 

merendahkan martabat manusia bertujuan mempermalukan, menghina atau 

merendahkan seseorang secara serius. Tindakan yang termasuk merendahkan martabat 

apabila menimbulkan tingkat keparahan tertentu dan mengganggu martabat seseorang. 

Perlakuan merendahkan mencakup perlakuan yang mempermalukan secara kasar para 

korban dihadapan pihak lain misalnya atau memaksa tahanan untuk bertindak diluar 

kehendak atau hati nuraninya. Contoh lain adalah tidak mengizinkan narapidana untuk 

mengganti pakaiannya yang kotor atau menempatkan seseorang dalam penahanan yang 

tidak layak. Penggeledahan dengan telanjang, yang memiliki kemungkinan untuk 

dibenarkan sebagai alasan keamanan, dapat merendahkan martabat jika dilakukan tanpa 

menghormati martabat seseorang, misalnya, di depan umum atau di depan lawan jenis. 

Pengurungan isolasi dikategorikan sebagai perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan 

bila dilakukan berkepanjangan. Tidak adanya atau penolakan bantuan medis berpotensi 

menurunkan derajat seseorang dimana hal itu menyebabkan kecemasan atau stres atau 

penderitaan, terutama pada pasien yang mengalami gangguan jiwa. Sebaliknya, 

intervensi medis secara paksa, misalnya, memberi makan secara paksa, meskipun pada 

prinsipnya tidak tergolong tidak manusiawi atau merendahkan martabat, jika secara 

medis tidak diperlukan atau dilakukan tanpa perlindungan atau rasa hormat.27 

61. berdasar  penjelasan diatas (disertai beberapa Putusan Pengadilan HAM Eropa dan 

Komisi HAM Eropa), perlakuan atau penghukuman tidak manusiawi adalah suatu 

tindakan atau pengabaian yang secara sengaja dilakukan dan menyebabkan penderitaan 

fisik atau mental yang sangat serius. Sementara perlakuan atau penghukuman yang 

merendahkan adalah tindakan yang mempermalukan atau merendahkan seseorang, 

menunjukkan ketiadaan atau berkurangnya martabat kemanusiaanya atau 

membangkitkan rasa ketakutan, kecemasan atau rasa rendah diri yang mampu merusak 

ketahanan moral dan fisik seseorang, dan menyebabkan penderitaan fisik atau mental 

yang cukup parah.

62. Semua penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya merupakan perlakuan yang 

tidak manusiawi dan merendahkan martabat, tetapi istilah penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya pada umumnya diberikan terhadap bentuk-bentuk perlakuan 

tidak manusiawi yang sangat parah, yang memiliki tujuan seperti memperoleh informasi 

atau pengakuan. Sehingga hierarki dimulai dengan perlakuan yang merendahkan, 

kemudian diikuti perlakuan tidak manusiawi dan lalu penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya. Di bawah kerangka ini, penyiksaan dan perlakuan sewenang-

wenang lainnya adalah bentuk perlakuan tidak manusiawi yang lebih parah, yang 

dilakukan untuk tujuan tertentu. 

63. Dalam praktiknya, kondisi yang menimbulkan perlakuan sewenang-wenang lainnya 

sebagaimana Pasal 16 Konvensi Menentang Penyiksaan seringkali memfasilitasi 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya dan oleh karena itu langkah-

langkah yang diperlukan untuk mencegah penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang 

lainnya harus diterapkan pula untuk mencegah perlakuan sewenang-wenang lainnya. 

Larangan terhadap perlakuan sewenang-wenang lainnya adalah hal yang tidak dapat 

dikurangi dan pencegahannya harus efektif dan tidak dapat dikurangi. Dengan kata lain, 

kewajiban untuk mencegah penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya dan 

perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan 

martabat berdasar  Pasal 16 ayat 1, tidak dapat dipisahkan, saling bergantung dan 

saling terkait. Negara-negara bebas untuk mengadopsi atau membentuk aturan, misalnya 

untuk mengkriminalkan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, 

atau merendahkan martabat manusia sebagai kejahatan yang terpisah. Namun negara 

tetap memiliki  kewajiban melakukan langkah-langkah untuk mencegah tindakan-

tindakan ini .

Penyiksaan Psikologis

64. Basis hukum dari penyiksaan psikologis adalah Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan 

yang menyebutkan salah satu elemen penyiksaan adalah adanya “kesengajaan 

menimbulkan rasa sakit baik fisik maupun mental. Dalam hukum hak asasi internasional 

‘penyiksaan psikologis’ mengacu pada penderitaan atau rasa sakit secara mental.31 

Menurut Pelapor khusus PBB untuk penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang 

lainnya, bahwa ‘penyiksaan psikologi’ merupakan segala bentuk, teknik dan keadaan 

yang dimaksudkan atau didesain untuk dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau penderitaan mental yang parah, tanpa harus merupakan perpanjangan atau efek dari 

penderitaan fisik yang parah.  

65. Untuk mempengaruhi pikiran dan emosi korban, penyiksaan psikologis melakukannya 

dengan: secara tidak langsung mengarahkan kebutuhan psikologis korban, seperti 

kebutuhan keamanan, penentuan nasib sendiri, martabat dan identitas, orientasi 

lingkungan, kesesuaian emosional, dan kepercayaan komunal. Dimensi psikologi dari 

penyiksaan terdiri dari tiga aspek yaitu metode, efek dan rationale.  

66. Dari segi metode, semua metode untuk melakukan penyiksaan dan perlakuan sewenang-

wenang lainnya dilarang dan menimbulkan kewajiban hukum yang sama, tanpa 

mempedulikan sakit yang ditimbulkan berciri penderitaan fisik atau mental atau 

kombinasi dari keduanya. Jadi, tidak ada perbedaan implikasi hukum atau tingkat 

kesalahan dari penyiksaan psikologis maupun ‘penyiksaan fisik’.

67. Dari segi ‘efek’, penyiksaan mental tidak dapat digabungkan dengan efek (psikologis) 

penyiksaan fisik.32 Rasa sakit dan penderitaan fisik yang timbul hampir selalu 

mengakibatkan penderitaan mental, termasuk trauma, kecemasan, depresi dan berbagai 

bentuk luka psikologis lainnya. Sebaliknya rasa sakit dan penderitaan mental yang timbul 

mempengaruhi fungsi-fungsi fisik termasuk bahkan kematian, keruntuhan syaraf atau 

gagal jantung. 

68. Dari segi ‘rationale’, alasan penyiksaan pada dirinya bersifat psikologis. Setiap bentuk 

penyiksaan menjadikan sakit dan penderitaan yang sangat sebagai alat untuk mencapai 

maksud tertentu.33 Penyiksaan tidak pernah semata-mata bersifat fisikal, tapi selalu 

bertujuan untuk mempengaruhi pikiran dan emosi korban atau pihak ketiga yang menjadi 

sasaran. Banyak metode penyiksaan fisik dengan sengaja dimaksudkan untuk 

menciptakan atau mengeksploitasi konflik batin misalnya dengan menginstruksikan 

orang yang ditangkap dalam posisi menekan, yang secara fisik menyakitkan, di bawah 

ancaman perkosaan jika tidak mematuhi instruksi ini . Konflik batin juga dapat 

distimulasi tanpa rasa sakit secara fisik, misalnya dengan menginstruksikan orang yang 

ditahan melakukan masturbasi di hadapan penjaga penjara atau sesama tahanan, dengan 

ancaman akan diperkosa jika tidak menaati instruksi ini .   

69. Penyiksaan psikologis tidak selalu sama dengan penyiksaan ‘tanpa tanda’ atau ‘tanpa 

sentuhan’, karena bisa saja merupakan penyiksaan fisik hanya tanda-tanda atau bekas 

penyiksaan tidak kelihatan secara kasat mata, hanya ahli forensik yang dapat melihatnya 

dengan jelas. Misalnya, waterboarding atau dry submarine. Teknik-teknik ini dilakukan 

dengan perhitungan agar tidak kelihatan tanda-tanda fisik penyiksaan. Sedangkan 

penyiksaan ‘tanpa sentuhan’ dilakukan dengan memanipulasi kebutuhan fisiologis 

tahanan. Misalnya, menempatkan tahanan dalam posisi tertentu dengan sinar yang sangat 

terang atau suara yang sangat bising sehingga menimbulkan rasa sakit dan penderitaan 

fisik yang sangat pada korban.  

70. Penyiksaan psikologis, sama dengan penyiksaan fisik dalam hal mempengaruhi emosi 

dan pikiran korban, namun berbeda dalam hal sasarannya yaitu pada penyiksaan 

psikologis secara langsung menargetkan kebutuhan dasar psikologis korban. Sebagai 

ilustrasi (dan bukan pembeda – karena bisa saja penyiksaan psikologis dan fisik tumpang 

tindih) adalah: 

a. Kebutuhan akan rasa aman 

b. Kebutuhan akan determinasi diri (dengan dominasi dan perbudakan) 

c. Kebutuhan akan martabat dan identitas 

71. Kebutuhan akan rasa aman, dengan: 

- Menakut-nakuti secara berulang dan dengan ancaman yang meningkat dengan 

ancaman mutilasi, kekerasan seksual, termasuk terhadap saudara, teman maupun 

sesame tahanan; 

- Dipaksa menyaksikan pembunuhan atau penyiksaan atas orang lain; 

- Memprovokasi fobia tertentu yang ada pada dirinya atau budaya masyarakatnya; 

dan/ atau 

- Memasukan ke peti mati atau dikubur hidup-hidup untuk menciptakan rasa takut. 

72. Kebutuhan akan determinasi diri (dengan dominasi dan perbudakan):  

Penyiksaan psikologis dengan menghilangkan kendali atas sebanyak mungkin aspek-

aspek kehidupan dirinya, otonomi dirinya untuk menunjukan bahwa korban berada di 

bawah dominasi pelaku dan tergantung total pada pelaku. Untuk ini, cara yang paling 

terkemuka adalah: 

- Secara paksa menyediakan, menahan atau mengambil akses atas informasi, bacaan, 

udara segar, sinar, makanan atau penghangat; 

- Menciptakan atau mempertahankan lingkungan yang secara konstan berubah-ubah; 

- Memaksakan sanksi dan reward yang absurd, tidak logis, dan saling bertentangan; 

dan atau 

- Memaksakan pilihan-pilihan yang tidak mungkin sehingga korban terpaksa terlibat 

dalam penyiksaan atas dirinya sendiri. 

73. Kebutuhan akan martabat dan identitas:  

Sama seperti mengarah pada kebutuhan determinasi diri disertai merendahkan harga diri 

dan identitas secara sengaja dan sistematis dengan melanggar privasi, martabat dan 

integritas seksual, antara lain dengan: 

- Pengawasan secara terus menerus; 

- Pelecehan secara verbal, penghinaan agama, seksual dan rasial dan pribadi; 

- Mempermalukan secara public atau  defamasi; 

- Pemaksaan untuk telanjang atau masturbasi; 

- Pelecehan seksual melalui insinuasi, candaan secara verbal, tuduhan, ancaman 

maupun dengan menunjukan alat vital; dan/ atau 

- Penyebaran informasi yang menunjukan bahwa korban tengah disiksa atau mendapat 

pelecehan seksual. 

E. DASAR HUKUM LARANGAN PENYIKSAAN      

Instrumen HAM Internasional 

74. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 Pasal 5 menyatakan tidak 

seorangpun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum 

secara tidak manusiawi atau dihina. DUHAM, yang menetapkan standar dasar hak asasi 

manusia yang berlaku bagi semua Negara, merupakan bagian dari hukum kebiasaan 

internasional. 

75. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, 

Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia 1984 Pasal 2 mengharuskan 

setiap negara pihak mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, dan hukum atau 

langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindakan penyiksaan di dalam wilayah 

hukumnya. Pasal 16 mengharuskan setiap negara pihak mencegah, di wilayah 

kewenangan hukumnya, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi 

atau merendahkan martabat manusia. 

76. KIHSP 1966 Pasal 7 menyatakan bahwa tidak seorangpun yang dapat dikenakan 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Pada khususnya, tidak seorang pun 

dapat dijadikan objek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan 

secara bebas. Pasal 10 berbunyi bahwa setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib 

diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada 

diri manusia. 

77. Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan 

Anggota Keluarganya 1990 Pasal 10 menyatakan bahwa tidak seorang pun pekerja 

migran atau anggota keluarganya boleh dijadikan sasaran penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya. 

78. Konvensi Hak-hak Anak 1989 Pasal 37 menyatakan tidak seorangpun akan mengalami 

siksaan, dan kekejaman-kekejaman lainnya, perlakuan atau hukuman yang tidak 

manusiawi atau yang menurunkan martabat. 

79. Konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang 

yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat Pasal 3 melarang tindakan kekerasan 

atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengudungan, perlakuan kejam 

dan penganiayaan dalam situasi apapun. Pasal 17 menyatakan penganiayaan jasmani atau 

rohani atau paksaan lain dalam bentuk apapun, tidak boleh dilakukan atas diri tawanan 

perang untuk memperoleh dari mereka keterangan-keterangan jenis apapun. Tawanan 

perang yang menolak menjawab, tidak boleh diancam, dihina, atau dikenakan perlakuan 

yang tidak menyenangkan atau merugikan dalam bentuk apapun. 

80. Statuta Roma 1998 Pasal 7 menyatakan penyiksaan berarti ditimbulkannya secara 

sengaja rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik fisik maupun mental, terhadap 

seseorang yang ditahan atau di bawah penguasaan tertuduh; kecuali kalau siksaan itu 

tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, yang melekat pada 

atau sebagai akibat dari, sanksi yang sah. Bila penyiksaan dilakukan sebagai bagian dari 

serangan meluas dan sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, 

dengan mengetahui adanya serangan itu, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan. 

81. Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Semua Orang dari Tindakan 

Penghilangan Secara Paksa 2006 Pasal 12 menyatakan setiap tindakan penghilangan 

paksa menempatkan orang-orang yang menjadi sasarannya di luar perlindungan hukum 

dan menimbulkan penderitaan yang berat bagi mereka dan keluarga mereka. Ini 

merupakan pelanggaran terhadap aturan hukum internasional yang menjamin, antara lain, 

hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, hak atas kebebasan dan keamanan 

pribadi, dan hak untuk tidak menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan sewenang-

wenang lainnya. perlakuan atau hukuman yang merendahkan. 

82. Protokol Opsional untuk Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau 

Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia 

2002 Pasal 1 menyebutkan bahwa tujuan dari Protokol ini adalah untuk menetapkan 

sistem kunjungan rutin yang dilakukan oleh badan-badan internasional dan nasional yang 

independen ke tempat-tempat di mana orang-orang dirampas hak-haknya kebebasan, 

untuk mencegah penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. 

83. The United Nations Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (The Nelson 

Mandela Rule) Pasal 1 menyatakan semua tahanan harus diperlakukan dengan hormat 

berdasar  nilai-nilai martabat sebagai manusia yang melekat pada mereka. Tidak ada 

tahanan yang akan dikenakan, dan semua tawanan harus dilindungi dari, penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya dimana tidak ada keadaan apa pun dapat digunakan 

sebagai pembenaran. Keselamatan dan keamanan narapidana, staf, penyedia layanan dan 

pengunjung harus dipastikan setiap saat. 

84. The UN Code of Conduct for Law Enforcement Officials 1979 Pasal 2 menyatakan bahwa 

dalam melaksanakan tugasnya, aparat penegak hukum menghormati dan melindungi 

harkat dan martabat manusia serta memelihara dan menjunjung tinggi hak asasi semua 

orang. Pasal 5 menyatakan tidak ada pejabat penegak hukum yang boleh melakukan, 

menghasut atau mentoleransi tindakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang 

lainnya, atau penegak hukum tidak boleh menjadikan perintah atasan atau keadaan luar 

biasa (seperti keadaan perang atau ancaman bahaya perang, ancaman terhadap keamanan 

nasional, ketidakstabilan politik internal atau keadaan darurat publik lainnya) sebagai 

pembenaran atas penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. 

85. Principles on Effective Interviewing for Investigations and Information Gathering 

(Mendez Principles) Para 38 menyatakan larangan penyiksaan adalah mutlak, mengikat 

semua Negara, dan berlaku dalam semua keadaan. Metode wawancara paksa atau 

tindakan lain yang bertujuan untuk mempermalukan, membangkitkan rasa takut, 

memperoleh informasi atau memaksa pengakuan dari orang yang diwawancarai dengan 

cara paksaan atau ancaman atau dengan cara lain yang merusak kapasitas atau orang yang 

diwawancarai atau keputusan untuk penilaian, dapat berupa penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya 

86. Principles of Medical Ethics Relevant to the Role of Health Personnel, Particularly 

Physicians, in the Protection of Prisoners and Detainees against Torture and other 

Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment 1982 Pasal 2 menyatakan bahwa 

bagi tenaga kesehatan, terutama dokter, yang terlibat secara aktif atau pasif dalam 

tindakan yang merupakan partisipasi dalam, keterlibatan, hasutan, atau usaha  untuk 

melakukan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya merupakan pelanggaran 

berat etika kedokteran, serta pelanggaran berdasar  instrumen internasional yang 

berlaku. 

87. UN Body of Principles for the Protection of all Persons under any Form of Detention or 

Imprisonment 1988 Pasal 6 menyatakan tidak seorang pun yang berada di bawah 

penahanan atau pemenjaraan dalam bentuk apa pun dapat menjadi sasaran penyiksaan 

dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Tidak ada keadaan apa pun yang dapat 

digunakan sebagai pembenaran untuk penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang 

lainnya. 

88. UN Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty 1990 No.87 

menyatakan tidak ada anggota fasilitas penahanan atau personel institusional yang boleh 

melakukan, menghasut atau mentolerir tindakan penyiksaan atau segala bentuk 

perlakuan, hukuman, koreksi atau disiplin yang keras, kejam, tidak manusiawi atau 

merendahkan martabat dengan dalih atau keadaan apa pun.  

89. Di tingkat internasional, terdapat mekanisme dan badan yang memiliki peran khusus 

dalam menangani penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Dewan Hak 

Asasi Manusia PBB yang secara teratur mengadopsi resolusi dan rekomendasi yang 

menangani masalah penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya; Komite 

Menentang Penyiksaan yang mempertimbangkan laporan dari negara-negara pihak 

tentang tindakan yang telah mereka ambil untuk melaksanakan kewajiban mereka 

berdasar  Konvensi Menentang Penyiksaan dan untuk mempertimbangkan pengaduan 

mengenai penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya yang diduga telah dilakukan di dalam 

atau oleh suatu negara pihak baik dari negara pihak lain atau individu; LSM dan lainnya 

juga dapat menyerahkan laporan mereka sendiri kepada Komite dengan tinjauan 

independen mereka terhadap tindakan yang diambil untuk melaksanakan kewajiban 

dalam Konvensi Menentang Penyiksaan, dan dapat menghadiri tinjauan laporan negara 

pihak; Pelapor Khusus tentang penyiksaan dapat mengirimkan seruan mendesak kepada 

pemerintah mengenai individu yang dikhawatirkan akan menjalani atau berisiko disiksa, 

serta pesan lain kepada pemerintah mengenai kekhawatiran penyiksaan dan perlakuan 

buruk lainnya. Pelapor Khusus tentang penyiksaan juga melakukan kunjungan ke negara-

negara atas undangan pemerintah yang bersangkutan untuk memeriksa secara langsung 

tingkat penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. 

Instrumen Hukum Regional 

90. Berbagai wilayah regional juga mengatur penghormatan atas martabat yang melekat pada 

diri manusia dan pengakuan status hukumnya, serta larangan segala bentuk eksploitasi 

dan degradasi manusia khususnya perbudakan, penyiksaan dan perlakuan sewenang-

wenang lainnya, seperti African Charter on Human and Peoples’ Rights 1981 (Pasal 5); 

American Convention on Human Rights 1969 (Pasal 5); American Declaration of the 

Rights and Duties of Man 1948 (Pasal 27); Arab Charter on Human Rights 2004 (Pasal 

13); Cairo Declaration on Human Rights in Islam 1990 (Pasal 20); European Convention 

for the Prevention of Torture and Inhuman or Degrading Treatment or Punishment 1987; 

European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 

1950 (Pasal 3); Inter-American Convention To Prevent and Punish Torture 1985 (pasal 5). 

Larangan Penyiksaan dalam Hukum Indonesia 

91. Peraturan perundang-undangan Indonesia mengakui dan menjamin hak untuk bebas dari 

segala bentuk penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Hak untuk bebas dari 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya merupakan hak konstitusional 

sebagaimana diakui dan dijamin dalam Konstitusi Indonesia, UUD 1945.   

92. Peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur hak setiap orang untuk bebas 

dari penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya serta melarang penyiksaan 

diantaranya adalah:  

1) UUD 1945: mengatur bahwa hak untuk tidak disiksa adalah hak asasi manusia 

(HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28I ayat 1). UUD 

1945 juga menjamin bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, 

keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta 

berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau 

tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi, serta setiap orang berhak untuk 

bebas dari penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya dan berhak 

memperoleh suaka politik dari negara lain (Pasal 28G). 

2) UU No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Hukum pidana (Kitab Undang-Undang 

Hukum Pidana/KUHP): mengatur larangan berbagai perbuatan yang dapat 

dikualifikasikan sebagai tindakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang 

lainnya (Pasal 351, Pasal 352, Pasal 442). 

3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: mengatur definisi penyiksaan 

(Pasal 1 angka 4), hak setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, 

penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat 

dan martabat kemanusiaannya (Pasal 33 ayat 1), dan setiap orang tidak boleh 

ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-

wenang (Pasal 34). 

4) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP):  mengatur hak-hak 

para tahanan, tersangka dan terdakwa, mengatur bahwa setiap tersangka atau 

terdakwa berhak memberikan keterangan kepada penyidik/penuntut umum maupun 

kepada hakim, dan bebas dari tekanan fisik maupun psikis (Pasal 52). Keterangan 

tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan 

atau dalam bentuk apa pun (Pasal 117 ayat 1). 

5) UU No. 5 Tahun 1998  tentang Pengesahan Convention against Torture and Other 

Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang 

Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, 

atau Merendahkan Martabat Manusia): Mengatur definisi penyiksaan (Pasal 1 

Konvensi), kewajiban negara untuk melakukan semua langkah yang diperlukan 

untuk mencegah penyiksaan di wilayah yurisdiksinya (Pasal 2 Konvensi), 

memastikan setiap mengatur bahwa penyiksaan adalah tindak pidana, termasuk 

tindakan percobaan penyiksaan dan mengatur hukuman atas penyiksaan dengan 

hukuman yang layak (Pasal 4 Konvensi), kewajiban negara untuk melakukan 

investigasi, penuntutan dan penghukuman kepada pelaku dan melakukan pemulihan 

korban (Pasal 13, Pasal 14 Konvensi) dan berbagai kewajiban negara lainnya.  

6) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia: mengatur tentang 

kejahatan penyiksaan sebagai salah satu bentuk kejahatan asal (underlying act) dari 

kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 9).  

7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant 

on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan 

Politik): mengatur bahwa hak untuk bebas dari penyiksaan adalah hak yang tidak 

dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 4). Kovenan ini juga mengatur bahwa 

setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan dan hukuman lain yang 

kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat (Pasal 7 Kovenan).  

8) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia: Setiap anggota 

Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib mempedomani dan menaati ketentuan 

UU No. 5 Tahun 1998, UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 

(Penjelasan).  

9) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan UU 

No. 35 Tahun 2014: mengatur tentang perlindungan khusus bagi Anak yang 

berhadapan dengan hukum diantaranya dengan perlakuan secara manusiawi dengan 

memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya dan pembebasan dari penyiksaan 

dan perlakuan sewenang-wenang lainnya (Pasal 64 huruf a dan d).  

10) UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang diperbaharui 

dengan UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 13 

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban: Mengatur hak-hak korban 

penyiksaan yang meliputi hak-hak prosedural diantaranya hak atas perlindungan 

serta hak-hak substantif diantaranya hak untuk mendapatkan keadilan, ganti 

rugi/restitusi dan hak atas bantuan pemulihan medis dan psiko sosial (Pasal 6, Pasal 

6 dan Pasal 7).  

11) UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Person with 

Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas): mengatur  bahwa setiap orang tidak boleh menjadi subyek penyiksaan dan perlakuan sewenang-

wenang lainnya, serta setiap negara pihak harus melakukan langkah-langkah yang 

efektif baik legislatif, administratif, yudisial atau langkah-langkah lainnya untuk 

mencegah orang-orang dengan disabilitas menjadi subyek dari penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya (Pasal 15 Konvensi). 

12) UU No. 6 Tahun 2012 Tentang Pengesahan International Convention On The 

Protection Of The Rights Of All Migrant Workers And Members Of Their Families 

(Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran 

Dan Anggota Keluarganya): mengatur bahwa setiap pekerja migran atau anggota 

keluarganya tidak boleh menjadi subyek penyiksaan dan perlakuan sewenang-

wenang lainnya (Pasal 10 Konvensi).  

13) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak: mengatur bahwa setiap Anak 

dalam proses peradilan pidana berhak, diantaranya diperlakukan secara manusiawi 

dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya dan bebas dari 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya (Pasal 3 huruf a dan e).  

14) UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual: mengatur 

larangan penyiksaan seksual (Pasal 4, Pasal 11). Para pejabat atau orang yang 

bertindak dalam kapasitas resmi, atau orang yang orang yang bertindak karena 

digerakkan atau sepengetahuan pejabat melakukan kekerasan seksual terhadap orang 

dengan tujuan: (a) intimidasi untuk memperoleh informasi atau pengakuan dari 

orang ini  atau pihak ketiga; (b) persekusi atau memberikan hukuman terhadap 

perbuatan yang telah dicurigai atau dilakukannya;dan/atau (c) mempermalukan atau 

merendahkan martabat atas alasan diskriminasi dan/ atau seksual dalam segala 

bentuknya merupakan bentuk dari penyiksaan seksual.  

15) Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1999 tentang Pengesahan Convention of the 

Rights of the Child (CRC): mengatur bahwa setiap negara pihak harus melakukan 

semua langkah yang diperlukan untuk memasukan pemulihan fisik dan psikologis 

dan reintegrasi sosial terhadap Anak Korban, termasuk korban dari penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya (Pasal 39 Konvensi).  

16) Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2021: mengatur perlindungan Khusus bagi Anak 

yang Berhadapan dengan Hukum diantaranya melalui pembebasan dari penyiksaan 

dan perlakuan sewenang-wenang lainnya (Pasal 7 huruf e).  

93. UUD 1945, sebagaimana dalam hukum HAM internasional, mengatur bahwa hak untuk 

bebas dari penyiksaan adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-

derogable rights). Tidak ada kondisi dan situasi apapun, termasuk dalam situasi perang 

atau darurat, yang dapat menjadi justifikasi atau alasan pembenaran tindakan penyiksaan 

kepada para tahanan atau orang-orang yang berada di tempat-tempat penahanan.  

94. Berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk dengan merujuk undang-undang 

tentang pengesahan perjanjian HAM internasional memberikan kewajiban bagi negara. 

Ratifikasi Indonesia terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan beberapa perjanjian 

HAM internasional lainnya menjadikan Indonesia juga menjadi negara pihak dalam 

berbagai perjanjian HAM internasional ini  yang memperkuat tanggung jawab 

Negara untuk mencegah dan melarang penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang 

lainnya. 

95. Negara berkewajiban melakukan semua langkah yang diperlukan, baik legislatif, 

administratif, yudikatif maupun langkah-langkah lain untuk melakukan pencegahan 

terhadap segala bentuk penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Bentuk-

bentuk pencegahan ini meliputi usaha -usaha  yang luas dan beragam diantaranya terkait 

dengan proses peradilan pidana, pertahanan dan keamanan, dan pencegahan penyiksaan 

dan perlakuan sewenang-wenang lainnya di tempat-tempat penahanan atau tempat-

tempat dimana orang terampas kebebasannya.  

96. Negara berkewajiban untuk melakukan investigasi atau penyelidikan dengan segera 

dalam hal terjadi tindakan penyiksaan, serta melakukan penuntutan dan penghukuman 

dengan hukuman yang layak/setimpal kepada para pelaku. Para korban penyiksaan 

berhak atas perlindungan, termasuk perlindungan dari tindakan pembalasan atas 

laporannya dan berhak atas akses pada keadilan.  

97. Negara berkewajiban untuk melakukan pemulihan kepada korban penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya melalui berbagai mekanisme yang tersedia baik 

legislatif, yudikatif, administratif maupun bentuk-bentuk pemulihan lainnya yang 

diperlukan. Hukum Indonesia menjamin bahwa para korban berhak atas keadilan, berhak 

atas restitusi (ganti rugi) dari pelaku dan berhak atas bantuan medis dan rehabilitasi psiko-

sosial yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 

98. Negara berkewajiban melarang segala bentuk penyiksaan dan perlakuan sewenang-

wenang lainnya adalah dilarang. Lebih spesifik negara berkewajiban untuk mengatur 

dalam hukum nasionalnya bahwa penyiksaan adalah kejahatan/tindak pidana.  

99. Hukum pidana Indonesia mengatur tentang larangan berbagai perbuatan yang melibatkan 

kekerasan diantaranya penganiayaan yang menimbulkan luka ringan, luka berat dan 

menimbulkan kematian, dan penganiayaan dengan adanya perencanaan (Pasal 351, Pasal 

352 KUHP). KUHP melarang seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana 

menggunakan barang paksaan, baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk 

mendapatkan keterangan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun (Pasal 

422 KUHP). ketentuan-ketentuan ini  merupakan ketentuan yang selama ini 

digunakan menuntut dan menghukum berbagai tindak pidana penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya.  

100. Bahwa pengaturan tentang tindak pidana penyiksaan dalam hukum pidana yang berlaku 

saat ini perlu disempurnakan dengan perumusan sebagaimana perumusan atau definisi 

penyiksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan untuk 

memberikan penguatan pada tingkat kejahatan (gravity of crime) penyiksan dengan 

unsur-unsur tindak pidana penganiayaan. Selain itu juga diperlukan adanya ancaman 

hukuman yang lebih tinggi untuk tindak pidana penyiksaan. 

101. Hukum pidana Indonesia tidak secara definitif memberikan pengaturan tentang 

“perlakukan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat”. Pasal 16 

Konvensi Menentang Penyiksaan, memberikan ruang bagi negara untuk memberikan 

definisi dan batasan tentang “perlakukan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan 

martabat” sehingga setiap negara perlu memberikan definisi yang memadai untuk 

membantu memberikan kejelasan indikator dalam menyelesaikan kasus-kasus yang 

terkait dengan “perlakukan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat”. 

Berbagai putusan pengadilan HAM Regional dan Komite HAM PBB dapat digunakan 

sebagai rujukan dalam mendefinisikan definisi dari “perlakukan yang kejam, tidak 

manusiawi dan merendahkan martabat