hak asasi manusia 3




 kekerasan Seksual pasal 83) 

215. Ketika seseorang dirampas kebebasannya dan mendapat luka, Negara berkewajiban 

memberi penjelasan yang masuk akal tentang bagaimana kejadiannya dan memberikan 

bukti untuk menyanggah tuduhan perlakuan buruk yang bersangkutan. 

Kewajiban Memulihkan korban 

216. Negara wajib memulihkan hak korban penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang 

lainnya. Remedi bagi korban penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya harus 

efektif (effective remedies) dan dilakukan dengan cara- cara terbaik.  

 

General Comment 31/18 menyatakan kegagalan menghadapkan pelaku ke pengadilan dapat menimbulkan pelanggaran 

yang lain. Dalam kasus Sathasivam and Saraswathi v. Sri Lanka, CCPR/C/93/D/1436/2005, 8 July 2008 [6.4] Komite HAM 

menyebutkan bahwa keputusan Kejaksaan Agung Sri Lanka untuk mengenakan tindakan disiplin daripada memproses secara 

pidana dalam sebuah kasus kematian ketika dalam penahanan oleh dinilai sebagai semena-mena dan  menimbulkan 

penyangkalan atas keadilan, melanggar pasal 6 dan 7 KIHSP untuk melakukan investigasi secara tepat atas kematian dan 

penyiksaan korban dan melakukan tindakan yang tepat terhadap mereka yang terbukti bersalah.  

217. Pasal 2 ayat (3) KIHSP menyatakan bahwa Negara berkewajiban untuk: (a) menjamin 

bahwa setiap orang yang hak-hak atau kebebasannya dilanggar, akan memperoleh usaha  

pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran ini  dilakukan oleh orang-orang yang 

bertindak dalam kapasitas resmi; (b) menjamin, bahwa setiap orang yang menuntut usaha  

pemulihan ini  harus ditentukan hak-haknya itu oleh lembaga peradilan, 

administratif, atau legislatif yang berwenang, atau oleh lembaga berwenang lainnya yang 

diatur oleh sistem hukum Negara ini , dan untuk mengembangkan segala 

kemungkinan usaha  penyelesaian peradilan; dan (c) Menjamin, bahwa lembaga yang 

berwenang ini  akan melaksanakan penyelesaian untuk pemulihan ini .  

218. Pasal 13 Konvensi Menentang Penyiksaan juga menegaskan bahwa harus menjamin agar 

setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam wilayah kewenangan 

hukumnya memiliki  hak untuk mengadu, dan agar kasusnya diperiksa dengan segera 

dan tidak memihak oleh pihak-pihak berwenang. Langkah-langkah harus diambil untuk 

menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksi dilindungi dari segala perlakuan 

buruk atau intimidasi sebagai akibat dari pengaduannya atau setiap kesaksian yang 

mereka berikan. 

219. Pasal 14 Konvensi Menentang Penyiksaan juga mewajibkan Negara untuk menjamin 

agar dalam sistem hukumnya korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti rugi 

dan memiliki  hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk 

sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin. Dalam hal korban meninggal dunia akibat 

tindak penyiksaan, ahli warisnya berhak mendapatkan kompensasi. Bahwa tidak ada 

ketentuan apapun yang boleh mengurangi hak korban atau orang lain atas ganti kerugian 

yang mungkin telah diatur dalam hukuman nasional apabila dikabulkan. Hak atas 

pemulihan korban penyiksaan ini  telah dijamin dalam berbagai peraturan 

perundang-undangan Indonesia.   

220. Remedi bagi korban yang dipaksa mengaku atas suatu tindak pidana. Seperti disebut di 

atas, pengakuan yang diperoleh dalam proses investigasi oleh Negara adalah pelanggaran 

atas larangan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Jika hal ini terjadi 

maka remedi yang dapat diberikan adalah pengurangan hukuman, kompensasi pada 

tersangka atau kompensasi pada anggota keluarga terpidana mati jika hukuman mati telah 

dieksekusi pada yang bersangkutan. 

Kewajiban Berkaitan Dengan Pengusiran dan Ekstradisi 118 

221. Ekstradisi merupakan sarana penting dalam kerjasama administrasi peradilan pidana 

antar negara, dimana prinsipnya tidak menyediakan ‘safe haven’ (tempat perlindungan 

yang aman) bagi mereka yang lari dari tuntutan pidana atau dari putusan pengadilan yang 

fair. Tanggung jawab negara tidak berhenti di sini.  

222. Negara juga tidak boleh membiarkan seseorang beresiko menghadapi penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya dengan mengirimkan yang bersangkutan pada 

negaranya atau negara lain melalui ekstradisi, pengusiran maupun refulmen (yakni 

pemulangan secara paksa pengungsi maupun pencari suaka ke negara dimana mereka 

dikenakan persekusi). 

223. Individu yang bersangkutan harus menunjukan bahwa terdapat resiko nyata atas tindak 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya yang dapat diperkirakan terjadi. 

224. Kewajiban non-refoulement sebagaimana Pasal 7 KIHSP dan Pasal 3 Konvensi 

Menentang Penyiksaan tidak mempengaruhi keputusan Negara untuk memberi atau 

menolak suaka. Negara bagaimanapun tetap bertanggung jawab untuk mencari solusi 

yang tepat, baik solusi legal maupun politik (mencari pihak ketiga). 

Kewajiban Pencegahan Penyiksaan dan Perlakuan sewenang-wenang Lainnya 

225. Pasal 2 dan Pasal 16 Konvensi Menentang Penyiksaan mengatur kewajiban Negara 

Pihak melakukan berbagai usaha  pencegahan terjadinya penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya. Pasal 2 Konvensi Menentang Penyiksaan menyebutkan 

negara wajib untuk “… …take effective legislative, administrative, judicial or other 

measures to prevent acts of torture” sedangkan Pasal 16 dari konvensi yang sama 

menentukan kewajiban negara untuk …prevent in any territory under its jurisdiction119 

other acts of cruel, inhuman or degrading treatment or punishment which do not amount 

to torture. Di dalam wilayah yurisdiksinya Negara harus mencegah setiap tindakan / 

hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan yang bukan merupakan 

tindak penyiksaan. Pencegahan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya.  

226. Kedua pasal ini menentukan kewajiban negara mengambil langkah-langkah legislatif, 

administratif, yudikatif maupun langkah-langkah lain yang diperlukan untuk mencegah 

terjadinya segala bentuk penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya, tidak 

manusiawi dan merendahkan martabat. 

227. Pasal 2 ini  di atas melengkapi kewajiban pencegahan penyiksaan yang secara 

eksplisit diatur dalam Konvensi Menentang Penyiksaan, yaitu larangan melakukan 

refoulement120 (pasal 3), kewajiban memperkusi pelaku penyiksaan (pasal 4 dan 9), 

kewajiban menyediakan pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum dan 

petugas lainnya (pasal 10), meninjau kembali secara sistematis metode interogasi dan 

kondisi tahanan (pasal 11), melakukan investigasi ex officio atas tindak penyiksaan 

yang mungkin terjadi (pasal 12), dan semua tuduhan penyiksaan (pasal 13)  dan 

larangan menggunakan bukti yang diperoleh melalui penyiksaan (pasal 15). 

228. Disamping ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini  di atas (para 244), 

pencegahan penyiksaan mencakup (a) pengamanan saat penahanan; dalam proses 

hukum itu berarti dari saat ditangkap hingga pelaksanaan hukuman, (b) penuntutan atas 

tindak penyiksaan, (c) monitoring atas tempat-tempat penahanan dan (d) tersedianya 

mekanisme pengaduan. Kewajiban-kewajiban Negara ini  dalam butir-butir di atas 

(76 – 83), termasuk kriminalisasi tindak penyiksaan merupakan bagian dari usaha  

pencegahan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya  

229. Dalam proses hukum, Negara wajib menjalankan proses peradilan secara fair. 

Pencegahan penyiksaan dan perbuatan kejam lainnya dilakukan sejak awal-awal 

penangkapan hingga akhir menjalankan putusan pengadilan yang tetap dan mengikat; 

seperti pemenuhan hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana (sebagaimana Pasal 10 

dan Pasal 14 KIHSP). Pada tahap penangkapan, pencegahan penyiksaan dilakukan 

antara lain dengan pemenuhan hak tertuduh atas pengacara, akses pada keluarga dan 

mendapat pemeriksaan medis . Dalam hal ini Negara menghormati, melindungi dan 

memenuhi hak tersangka dan terdakwa berikut ini:  

a. untuk didaftarkan dalam registrasi penahanan dan pemeliharaan catatan 

b. untuk diberitau hak-hak mereka oleh pihak kepolisian (Miranda Rule)

c. mempertanyakan legalitas penahanan 

d. diperiksa oleh pengadilan  secepat mungkin 

e. atas akses untuk mengeluhkan mekanisme  

f. perekaman saat interogasi 

g. atas penerjemah 

h. hak atas penasihat hukum dan penasihat hukum harus gratis jika tidak mampu 

membayar 

i. Hak untuk berhubungan dengan pihak luar termasuk: Hak memberitahu pada 

keluarga, hak atas akses pada pengacara dan pemeriksaan kesehatan oleh petugas 

kesehatan yang independen. 

 

230. Pemberitauan mengenai hak-hak mereka yang ditangkap dan ditahan meliputi: alasan 

menangkap dan tuntutannya, hak untuk diperlakukan dengan hormat dan bermartabat; 

hak untuk tetap diam (right to remain silent); memberitahu keluarga atau orang lain; 

menghubungi dan berkonsultasi dengan seorang pengacara;  

231. Penahan terhadap tersangka sebelum proses pengadilan harus dilakukan secara terbatas. 

KUHAP memungkinkan penahanan selama puluhan hari, apalagi untuk tindak pidana 

dengan ancaman di atas 5 tahun, di luar tindak pidana khusus seperti terorisme bisa 

mencapai 110 hari. Hukum HAM internasional menentukan bahwa masa penahanan 

sebelum persidangan paling lama adalah 48 jam. 

232. Selama masa ditahan, hak-hak terpidana sebagaimana dijamin dalam Mandela Rules, 

Bangkok Rules, Havana Rules juga wajib dipenuhi oleh Negara. Misalnya, harus 

terdapat jaminan tidak terjadinya incommunicado detention, yakni ketika tahanan tidak 

diperkenankan menghubungi siapapun di luar tempat tahanannya, jaminan 

pemberitahuan pada keluarga atau teman, akses pada penasehat hukum dan petugas 

medis. 

233. Negara juga berkewajiban melakukan usaha -usaha  pencegahan atas perbuatan/ 

penghukuman yang kejam yang dilakukan oleh pelaku-pelaku non-Negara terhadap 

individu atau kelompok minoritas dan terpinggirkan yang berisiko disiksa maupun 

menjadi sasaran perbuatan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, seperti 

kelompok perempuan dari praktek-praktek mutilasi genital, anak jalanan, tunawisma, 

etnis tertentu, penyandang disabilitas mental, korban perdagangan manusia, dan lain-

lain.  

234. Disamping prosedur-prosedur pengaman (safeguard) ini  di atas, praktik 

pemakaian  CCTV dalam pemeriksaan (dugaan) kejahatan semakin meningkat.  

Meskipun ada pro dan kontra atas pemakaian  pemantauan CCTV di tempat-tempat di 

bawah kewenangan lembaga penegak hukum, tetapi rekaman interogasi polisi secara 

luas diakui sebagai perlindungan penting terhadap penyiksaan dan perlakuan sewenang-

wenang lainnya. Berbagai kasus penganiayaan oleh polisi telah terungkap melalui 

rekaman video dan berujung pada penyelidikan dan penuntutan para pelakunya.  

235. Sebagaimana dinyatakan oleh Sub-komite tentang Pencegahan Penyiksaan dan 

Perlakuan atau Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat, 

sebagian besar tindakan kekerasan polisi yang dilaporkan kepada delegasi selama 

kunjungannya ke Negara Pihak tampaknya terjadi di jalan atau di mobil polisi selama 

pengangkutan tahanan ke fasilitas polisi.  Karena pemindahan tahanan merupakan 

momen yang berisiko, perekaman video mobil polisi merupakan perlindungan penting 

terhadap perlakuan buruk. 

236. Komite Menentang Penyiksaan dalam Komentar Umum No.2 atas Pasal 2 Konvensi, 

menyatakan bahwa metode pencegahan baru (misalnya merekam video semua proses 

interogasi) telah ditemukan, diuji dan terbukti efektif. Pasal 2 memberikan wewenang 

untuk mengembangkan pasal-pasal lain dan memperluas cakupan tindakan yang 

diperlukan untuk mencegah penyiksaan.  

237. Rekaman-rekaman elektronik (audio dan/atau video) wawancara polisi merupakan 

perlindungan tambahan yang penting terhadap perlakuan buruk terhadap tahanan. 

Komite Eropa untuk Pencegahan Penyiksaan mencatat bahwa pengenalan sistem 

semacam itu sedang dipertimbangkan di semakin banyak negara karena dapat 

memberikan catatan lengkap dan otentik dari proses wawancara, sehingga sangat 

memudahkan penyelidikan atas segala tuduhan perlakuan buruk. Hal ini penting demi 

kepentingan orang-orang yang telah dianiaya oleh polisi maupun kepentingan petugas 

polisi yang dihadapkan dengan tuduhan tidak berdasar bahwa mereka telah terlibat 

dalam penganiayaan fisik atau tekanan psikologis. Rekaman elektronik wawancara 

polisi juga mengurangi kesempatan bagi terdakwa untuk kemudian secara salah 

menyangkal bahwa mereka telah membuat pengakuan tertentu.  

238. Pengawas juga harus menyadari fakta bahwa ada margin untuk penyalahgunaan CCTV, 

terutama yang berkaitan dengan privasi tahanan dan penghormatan terhadap martabat 

mereka. Pengawas harus menetapkan apakah area seperti kamar mandi dan toilet 

tertutup dari kamera. Jika perlu, mereka harus membuat rekomendasi tentang masalah 

ini. Pengawas juga harus waspada terhadap fakta bahwa area yang tidak tercakup oleh 

peralatan pengawasan dapat menimbulkan risiko tertentu. 

239. Pelapor Khusus juga menekankan bahwa semua sesi interogasi harus direkam dan 

sebaiknya direkam dengan video, dan identitas semua orang yang hadir harus 

dimasukkan dalam catatan. Bukti dari interogasi yang tidak direkam harus dikeluarkan 

dari proses pengadilan.  

240. Negara wajib memberi sarana bagi petugas medis dan pengacara untuk mendampingi 

Negara dalam mengenali dan mendokumentasi ciri-ciri penyiksaan untuk maksud-

maksud forensik. 

241. Pencegahan penyiksaan dan perlakuan sewenang wenang lainnya sesungguhnya 

mendekati masalah dengan melihat pengalaman dan problem sistemik terjadinya 

penyiksaan, dengan berusaha  membenahi kondisi yang memungkinkan terjadinya 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Maka, kewajiban pencegahan 

juga meliputi pembentukan dan pemeliharaan mekanisme pencegahan penyiksaan yang 

independen, yang memiliki sumber daya yang cukup untuk mengawasi dan melakukan 

investigasi atas pelanggaran larangan penyiksaan dan ill treatment, terutama tempat-

tempat penahanan. 

242. Negara berkewajiban melakukan usaha -usaha  pencegahan atas perbuatan/ 

penghukuman yang kejam yang dilakukan oleh pelaku-pelaku Non-Negara terhadap 

individu atau kelompok minoritas dan terpinggirkan yang berisiko disiksa maupun 

menjadi sasaran perbuatan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, seperti 

kelompok perempuan dari praktek-praktek mutilasi genital, anak jalanan, tunawisma, 

etnis tertentu, penyandang disabilitas mental, korban perdagangan manusia, dan lain-

lain.  

243. Negara berkewajiban melakukan pelarangan atas tindak penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya (Pasal 7 KIHSP dan Pasal 1 dan 16 Konvensi Menentang 

Penyiksaan) terhadap semua orang yang dirampas kemerdekaannya termasuk kewajiban 

memperlakukan mereka secara manusiawi dan hormat karena martabat kemanusiaan 

yang melekat pada diri mereka (Pasal 10 KIHSP) 

244. Kewajiban Negara mencakup pembatasan pemakaian  penahanan secara 

incommunicado; menjamin tahanan ditahan di tempat-tempat yang diakui secara resmi; 

menjamin nama-nama orang yang bertanggung jawab atas penahanan dan tahanan 

terdaftar dalam buku registrasi yang siap sedia dan dapat diakses oleh pihak-pihak yang 

berkepentingan termasuk keluarga dan teman-teman dari tahanan; 

245. Negara juga berkewajiban menjamin setiap tempat tahanan bebas dari alat-alat yang 

berpotensi disalahgunakan.  

246. Negara wajib merekam semua interogasi, termasuk waktu dan tempat berlangsungnya 

interogasi serta nama-nama yang hadir. Rekaman ini harus tersedia bagi catatan 

administrasi maupun prosiding pengadilan.  

247. Negara wajib memastikan tersedianya tinjauan sistematis berkaitan dengan aturan, 

instruksi, metode dan praktek interogasi dan berkaitan dengan perlakuan pada mereka 

yang ditangkap, ditahan atau dipenjara. 

248. Negara wajib memberi narapidana akses pada dokter dan pengacara secara regular dan 

segera di bawah pengawasan pihak terkait yang tepat. 

249. Negara wajib menyediakan instruksi dan pelatihan bagi semua orang yang terlibat dalam 

penahanan atau perlakuan atas siapa saja yang ditahan, termasuk petugas polisi dan 

medis. 

Kewajiban Negara Terhadap Tahanan Anak. 

250. Negara harus menjamin perlindungan dan penegakan hak-hak anak ketika ditahan pada 

saat pemeriksaan dan di tempat tahanan. Terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum 

Negara wajib menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas praduga tak bersalah, 

hak untuk diberitahu tuntutannya, hak untuk tetap diam, hak untuk mendapat penasehat 

hukum, hak untuk menghadirkan orang tua atau pengawas, hak untuk menghadapi dan 

menguji saksi-saksi, hak untuk mengajukan banding pada otoritas yang lebih tinggi  

251. Pada saat pemeriksaan: 

a) Anak pada saat memberikan keterangan, berhak mendapatkan pendampingan oleh 

Kuasa Hukum, Pekerja Sosial, ataupun oleh orang tua.  

b) Pada tahap pemeriksaan Negara wajib 

i. Memeriksa Anak oleh Penyidik yang telah bersertifikasi sebagai penyidik Anak. 

ii. Pemeriksaan Anak dilakukan di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) 

dan ramah Anak 

iii. Tersedianya Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang mendampingi anak dalam 

rangka melakukan penelitian kemasyarakatan (Litmas). 

iv. Ruang penahanan Anak terpisah dengan orang dewasa. 

c) Terpenuhinya hak-hak Anak atas pendidikan, kesehatan, pemenuhan gizi, layanan 

psikologi atau konseling. 

d) Anak dikunjungi oleh orang tua. 

252. Pada tahap persidangan: 

a) Bapas wajib mendampingi Anak pada saat proses persidangan di Pengadilan 

b) Anak dijemput menggunakan mobil Kejaksaan, terpisah dengan tahanan dewasa. 

c) Anak tidak menggunakan seragam tahanan ataupun diborgol ketika dibawa ke 

pengadilan. 

d) Ruang tunggu Anak di Pengadilan terpisah dari tahanan dewasa. 

e) Pelaksanaan sidang disesuaikan dengan kondisi Anak dan tidak memakan waktu 

f) atau jam istirahat Anak. 

g) Anak mendapatkan pendampingan pada saat mengikuti proses persidangan 

h) Tidak terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar Anak (pendidikan, 

i) kesehatan, makanan dan konseling) selama mengikuti proses persidangan. 

 

253. Di tempat-tempat tahanan (Lembaga Pembinaan Khusus Anak/LPKA) 

a) Negara wajib memenuhi hak dasar anak atas pendidikan, kesehatan (dokter, obat-

obatan), makanan, air bersih, layanan psikolog atau konseling. 

b) Negara wajib menyediakan sarana dan prasarana LPKA dan serupa tahanan yang 

ramah anak (terjaminnya kebersihan ruangan atau tempat Anak, alas tidur, pakaian 

yang layak dan bersih, memastikan tidak adanya ruangan tutupan sunyi). 

c) Negara wajib Anak bebas dari penyiksaan baik dari sesama Andikpas / Anak Didik 

Pemasyarakatan ataupun petugas, dan menjamin keamanan Anak dari resiko bencana 

d) Negara wajib menyediakan keterampilan serta pembinaan agama 

e) Negara wajib menjamin anak untuk menerima kunjungan rutin dan tetap berhubungan 

dengan keluarga atau pemegang hak asuh. 

f) Negara wajib memenuhi hak bagi Anak yang berkebutuhan khusus (ABK) pada saat 

menjalani tahanan dan pembinaan di LPKA atau tempat-tempat penahanan lainnya. 

g) Negara wajib menyediakan mekanisme pengaduan/komplain dan mendapatkan 

bantuan bila Anak ingin membuat pengaduan. 

h) Negara wajib menyediakan bagi petugas yang bekerja di dalam tahanan atau tempat-

tempat penahanan lainnya mendapatkan pendidikan dan pelatihan tentang hak Anak. 

i) Negara wajib memastikan tahanan anak perempuan mendapatkan hak atau 

keperluannya seperti keperluan khusus dan pribadi (pembalut)  

j) Negara wajib menjamin proses reintegrasi dalam masyarakat bagi anak setelah 

menjalani proses pembinaan di LPKA atau tempat-tempat penahanan lainnya. 

k) Negara wajib menjamin dan memenuhi anak mendapatkan kesempatan untuk 

melakukan aktivitas bermain, berolahraga, rekreasi serta tersedianya ruang bermain 

dan ruang untuk beraktivitas bagi anak. 

Kewajiban Menjamin Sistem Monitoring Independen Atas Tempat-Tempat Penahanan  

254. Negara wajib menjamin adanya mekanisme imparsial yang memonitor dan menginspeksi 

tempat-tempat dimana seseorang dirampas kebebasannya125, seperti tempat-tempat 

penahanan.126 Mekanisme ini dilakukan dengan kunjungan secara regular dan tanpa 

pemberitahuan sebelumnya. Negara wajib memberi akses ke tempat-tempat penahanan 

tanpa hambatan,127 terutama untuk pengumpulan data.128 

255. Sejak 2006 berlaku OPCAT129 (Protokol Opsional Terhadap Konvensi PBB Menentang 

Penyiksaan), sebuah perjanjian internasional yang disepakati oleh Negara-negara untuk 

kepentingan pencegahan terhadap penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya 

256. Kerangka kerja OPCAT dalam pencegahan penyiksaan: 

a) membentuk sistem yang proaktif dan bukan sekedar reaktif ketika pelanggaran telah 

terjadi. 

b) bekerja berdasar  semangat dialog dan kerjasama dengan pihak-pihak yang 

berwenang untuk menyelesaikan masalah dalam sistem penahanan. 

c) bukan untuk mencari kesalahan, tetapi menyelesaikan masalah dalam sistem 

penahanan. 

257. Monitoring secara independen dilakukan oleh Mekanisme Nasional Pencegahan 

(National Prevention Mechanisms/NPM) dan Sub Komite PBB bagi pencegahan (SPT). 

258. Negara Republik Indonesia belum meratifikasi OPCAT ini meski sempat menjadikan 

OPCAT sebagai salah satu instrumen hak asasi untuk diratifikasi dalam Ranham.  Di 

Indonesia 5 lembaga negara yakni Komnas HAM, Komnas Perempuan, Lembaga 

Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 

dan Ombudsman bekerjasama untuk menginisiasi terbentuknya Mekanisme Nasional 

Pencegahan Penyiksaan. Inisiasi awal ini sudah berlangsung dan menerapkan prinsip 

serta kerangka kerja formil OPCAT.  Pemerintah Indonesia perlu memperkuat kehadiran 

Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan ini sebelum OPCAT diratifikasi oleh 

pemerintah RI. 

Kewajiban Penyediaan Pelatihan 

259. Pencegahan dilakukan pula dengan penyediaan pelatihan secara menyeluruh bagi aparat 

penegak hukum, militer dan petugas tahanan untuk membuat mereka terbiasa dengan 

prinsip-prinsip dan norma-norma hak asasi termasuk Protokol Istanbul.

260. Petugas yang terlibat dalam penahanan, interograsi, atau perlakuan terhadap mereka yang 

ditangkap, yang ditahan atau dipenjara dituntut untuk selalu bertindak profesional. 

 

261. Negara berkewajiban untuk menjamin bahwa pendidikan dan informasi berkenaan 

dengan larangan penyiksaan dimasukan secara menyeluruh dalam pelatihan aparat 

penegak hukum, aparat sipil dan militer, petugas kesehatan, Aparatur Sipil Negara (ASN) 

dan mereka yang terlibat dalam penahanan, interogasi atau perlakuan terhadap seseorang 

yang ditangkap, ditahan atau dipenjara.131 Kewajiban ini berlaku pula secara setara bagi 

perbuatan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. 

 

262. Kewajiban penyediaan pelatihan melengkapi kewajiban negara untuk mengkriminalisasi 

tindak penyiksaan dan membawa pelaku penyiksaan ke pengadilan. Larangan 

‘penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya bukan saja harus masuk dalam 

manual pelatihan namun juga dalam kode etik petugas public, dan aturan dan instruksi 

spesifik (SOP) bagi petugas penjara, inteligen, petugas reskrim, dan petugas-petugas 

yang menangani mereka yang kemerdekaannya dirampas.132 Pasal 10 (2) KIHSP 

menyebutkan bahwa negara pihak harus memasukan dalam aturan atau instruksi 

berkaitan dengan tugas dan fungsi aparat penegak hukum, interogasi, penjara, dan staf 

medis.  

Perlindungan Saksi dan Korban 

263. Tanggung jawab utama untuk melindungi saksi dan korban juga dalam perkara 

penyiksaan berada di Negara sebagai pemangku kewajiban hak asasi. 

264. UU Perlindungan Saksi dan Korban mengakui hak Saksi dan Korban seperti hak:  

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta 

bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah 

diberikannya; 

b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan 

keamanan;  

c. memberikan keterangan tanpa tekanan; 

d. bebas dari pertanyaan yang menjerat;  

e. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan 

 

Kewajiban Aktor Non-Negara (Non-State Actors) 

265. Konvensi Menentang Penyiksaan mengatur bahwa penyiksaan adalah tindakan yang 

secara terbatas dilakukan oleh kelompok orang-orang tertentu, yakni aparat negara atau 

orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi. Berbagai perjanjian internasional 

diantaranya dalam hukum humaniter internasional dan hukum pidana internasional juga 

melarang perbuatan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Bahwa 

kategori aktor pelaku penyiksaan berdasar  hukum humaniter internasional dan hukum 

pidana internasional lebih luas daripada berdasar  CAT, karena hukum humaniter 

internasional tidak hanya mengikat orang-orang yang merupakan pejabat public atau 

hanya orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi.133  

266. Aktor non-negara134 dilarang melakukan segala bentuk penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya. Meskipun aktor non negara secara umum tidak terikat pada 

perjanjian HAM internasional (human rights treaty), mereka terikat dengan berbagai 

perjanjian internasional yang spesifik misalnya dalam hukum humaniter internasional 

aktor negara maupun aktor non-negara secara absolut dilarang untuk melakukan 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya dalam konflik bersenjata.135  

267. Dalam kasus Kunarac di ICTY, pengadilan menerima bahwa penyiksaan dapat dilakukan 

oleh individu (privat) yang melanggar hukum humaniter internasional terlepas dari 

kapasitas resminya. Putusan ini menolak syarat-syarat terkait dengan status pelaku, 

dengan mempertimbangkan bahwa penyiksaan didefinisikan semata-mata dari sifat 

perbuatannya (solely by the nature of the act committed).136 

268. Setiap orang, baik aktor negara atau aktor non-negara juga dilarang untuk melakukan 

penyiksaan. Dalam hal terjadi penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya 

sebagai tindak pidana atau menjadi kejahatan dasar (underlying acts) dari kejahatan 

perang atau kejahatan terhadap kemanusian atau genosida misalnya yang menjadi subyek 

hukum pidana internasional maka para pelaku baik aktor negara maupun non-negara 

harus bertanggung jawab dan dapat dituntut serta dihukum atas kejahatan-kejahatan 

ini . Pasal 7 Statuta Roma 1998 mengembangkan definisi penyiksaan sebagai 

kejahatan kemanusiaan, dengan tidak mensyaratkan adanya tujuan (purposive 

requirement) sehingga memperluas cakupan penerapannya dalam hal unsur-unsur lain 

dalam penyiksaan terjadi.  

269. Berbagai yurisprudensi hukum internasional mengakui bahwa aktor non negara dapat 

dianggap melakukan penyiksaan, namun hal ini tidak mencakup semua bentuk aktor non-

negara dan hanya dalam kategori; (i) aktor non-negara yang memiliki  status khusus, 

misalnya mereka yang bertindak dalam “kapasitas resmi” dalam hukum HAM 

internasional dan/atau pihak-pihak yang dalam konflik bersenjata berdasar  hukum 

humaniter internasional, dan (ii) aktor non-negara yang tindakan-tindakan yang 

mensyaratkan kebijakan organisasional, misalnya penyiksaan yang dilakukan sebagai 

bagian dari “serangan yang meluas atau sistematis pada penduduk sipil” atau merupakan 

kejahatan terhadap kemanusiaan yang bentuknya penyiksaan berdasar  hukum pidana 

internasional.137 Larangan penyiksaan juga berlaku pada kelompok bersenjata 

berdasar  hukum humaniter internasional yang merupakan pihak dalam konflik.  

270. Dalam sejarahnya berbagai kelompok bersenjata (armed group) melakukan penyiksaan 

dalam situasi konflik utamanya dalam konflik internal bersenjata (internal armed 

conflict). Kelompok bersenjata ini  biasanya memiliki  tujuan, struktur komando 

yang jelas dan menguasai suatu wilayah atau teritorial tertentu dan menggunakan 

penyiksaan sebagai metode, selain bertujuan untuk mendapatkan informasi dari 

penduduk lokal juga menggunakan penyiksaan sebagai senjata politik untuk menjaga dan 

memaksakan kontrol pada anggota kelompoknya dan pendudukan di wilayah ini .  

271. Dalam hal negara mendelegasikan penegakan hukum dan ketertiban kepada pihak swasta 

misalnya perusahaan keamanan, militer privat, atau pihak-pihak swasta yang mengelola 

tempat-tempat penahanan, Negara dapat dianggap bertanggung jawab atas terjadinya 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya karena mereka bertindak atas nama 

negara atau bertindak berdasar   delegasi negara.  

272. Secara umum negara bertanggung jawab pada kesalahan yang dilakukan oleh organ-

organ negara atau pihak lain yang bertindak karena adanya arahan (direction), dorongan 

(instigation) atau kontrol dari organ-organ negara. Dengan demikian, aktor 

privat/perorangan yang bukan bagian dari organ negara namun bertindak di di bawah 

instruksi organ negara atau adanya organ negara yang memberikan “delegasi”, atau aktor 

non negara menjadi bagian dari tindakan penyiksaan meskipun mereka tetap berada 

diluar organ negara. Negara tidak dapat menghindarkan diri dari pertanggungjawaban 

hukum atas tindakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya yang 

dilakukan oleh pihak keamanan atau militer privat atau kontraktor keamanan privat yang 

bertindak atas nama negara.  

273. Para individu aktor non-negara dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika terlibat 

dalam ikut serta (complicit) atas terjadinya penyiksaan. Aktor non-negara ini dapat 

terlibat baik sebagai pelaku langsung (direct-perpetrator), pembantu (aider/ abettor) 

maupun ikut partisipasi dan keterlibatan-keterlibatan dalam bentuk lainnya.  

274. Negara memiliki  kewajiban untuk melakukan investigasi dengan segera dan layak 

serta menuntut dan menghukum para pelaku, apakah pelakunya adalah aktor negara 

maupun aktor-non negara. Kewajiban negara ini termasuk memastikan para korban 

mendapatkan akses pada keadilan dan bentuk-bentuk pemulihan yang diperlukan, sama 

halnya dengan korban penyiksaan yang dilakukan oleh aktor negara.  

275. Institusi-institusi privat memiliki  tanggung jawab untuk melakukan pencegahan 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Institusi bisnis atau korporasi 

misalnya diharapkan untuk menghormati nilai-nilai hak asasi manusia dan melakukan 

langkah-langkah penghormatan HAM,141 termasuk melakukan langkah-langkah untuk 

melakukan pencegahan penyiksaan dan perbuatan atau perlakuan yang kejam, tidak 

manusiawi dan merendahkan martabat dalam operasi perusahaannya. 

H. KEWENANGAN KOMNAS HAM  

276. Menurut Pasal 1 UU No. 39 Tahun 1999 Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang 

kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan 

pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM. Tujuan Komnas 

HAM sesuai dengan Pasal 75 huruf a UU No. 39 Tahun 1999 adalah: 

a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan 

Pancasila, UUD NRI 1945, Piagam PBB, serta Deklarasi Universal Hak Asasi 

Manusia; 

b. meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna berkembangnya pribadi 

manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai 

bidang kehidupan. 

277. Untuk mencapai tujuannya, menurut Pasal 76 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999, Komnas 

HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan 

mediasi tentang HAM. 

278. Dalam konteks usaha  pencapaian tujuan Komnas HAM dalam pengembangan kondisi 

yang kondusif bagi pelaksanaan HAM, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf a 

UU No. 39 Tahun 1999, Komnas HAM sebagai lembaga pemajuan dan perlindungan 

HAM melaksanakan fungsi pemajuan HAM yang mencakup pengkajian, penelitian, dan 

penyuluhan yang diarahkan untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM. Hal ini 

dilakukan dengan melaksanakan kegiatan, diantaranya, pengkajian dan penelitian 

terhadap berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan dan 

pemajuan HAM. Hasilnya berupa masukan dan rekomendasi bagi pembentukan, 

perubahan, atau pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan 

HAM. 

279. Untuk memperkuat usaha  pencegahan pelanggaran HAM, Komnas HAM melakukan 

penyuluhan HAM dalam rangka peningkatan kesadaran masyarakat tentang HAM 

dengan penyebarluasan wawasan HAM kepada seluruh masyarakat Indonesia, baik 

melalui lembaga formal, non-formal maupun kalangan lainnya. 

280. Dalam rangka usaha  pencapaian tujuan Komnas HAM bagi peningkatan perlindungan 

dan penegakan HAM (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf a UU No. 39 Tahun 

1999) Komnas HAM melakukan pengamatan pelaksanaan HAM. Untuk dapat 

melaksanakan fungsi ini Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan penyelidikan 

dan pemeriksaan dugaan pelanggaran HAM, pemanggilan pengadu, saksi, dan pihak 

terkait lainnya, peninjauan di tempat kejadian, pemeriksaan setempat, serta penyampaian 

pendapat kepada pengadilan mengenai perkara di mana terdapat pelanggaran HAM.  

281. Guna mengusaha kan kemungkinan penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM, 

Komnas HAM berwenang menempuh jalan mediasi dengan melakukan perdamaian 

antara para pihak, penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, 

konsiliasi, dan penilaian ahli, pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan 

sengketa melalui pengadilan, dan penyampaian rekomendasi atas suatu kasus 

pelanggaran HAM kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) 

untuk ditindaklanjuti serta pemberian pendapat kepada pengadilan mengenai perkara 

yang berkaitan dengan pelanggaran HAM. Selain itu, Komnas HAM juga memiliki 

kewenangan untuk menyampaikan rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran HAM 

kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; serta menyampaikan 

rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran HAM kepada Dewan Perwakilan Rakyat 

Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.  

282. Dalam konteks keseluruhan fungsinya, Komnas HAM memiliki kewenangan untuk 

menerima laporan atau aduan dari setiap orang maupun kelompok masyarakat terkait 

pelaksanaan kewajiban HAM oleh Negara termasuk peristiwa yang diduga merupakan 

pelanggaran HAM yang berat. Penanganan laporan atau aduan dari masyarakat dilakukan 

dengan mekanisme pemantauan, penyelidikan, dan mediasi tentang HAM. 

283. Dalam hal menyangkut pelanggaran HAM yang berat, Komnas HAM ditetapkan sebagai 

satu-satunya lembaga yang memiliki tugas dan kewenangan untuk melakukan 

penyelidikan pro yustisia terhadap pelanggaran HAM yang berat. Pasal 18 Undang-

Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyebutkan: 

Ayat (1): Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan 

oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 

Ayat (2): Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan 

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat. 

Tujuan dari penyelidikan ini  adalah untuk menemukan bukti permulaan yang 

cukup telah terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat. 

284. Selain UU No. 39 Tahun 1999, dan UU No. 26 Tahun 2000, Komnas HAM juga 

mendapat kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap segala bentuk usaha   penghapusan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 2008 

tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.