Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain.
(2) Tidak seorang pun boleh dirampas harta miliknya dengan semena-mena.
Pasal 18
Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal
ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan
untuk menyatakan agama atau kepercayaann dengan cara mengajarkannya,
melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.
Pasal 19
Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat;
dalam ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat
gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-
-- 6160 -
keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang
batas-batas.
Pasal 20
(1) Setiap orang memiliki hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat
tanpa kekerasan.
(2) Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan.
Pasal 21
(1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya, secara
langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
(2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam
jabatan pemerintahan negaranya.
(3) Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak
ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara
berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat,
dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain
yang menjamin kebebasan memberi suara.
Pasal 22
Setiap orang, sebagai anggota warga , berhak atas jaminan sosial dan
berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat
diperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui usaha-
usaha nasional maupun kerjasama internasional, dan sesuai dengan pengaturan
serta sumber daya setiap negara.
Pasal 23
(1) Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih
pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan
menguntungkan serta berhak atas perlindungan dari pengangguran.
(2) Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan yang sama
untuk pekerjaan yang sama.
(3) Setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan
menguntungkan, yang memberi jaminan kehidupan yang bermartabat
baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah
-- 6160 -
dengan perlindungan sosial lainnya.
(4) Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat pekerja
untuk melindungi kepentingannya.
Pasal 24
Setiap orang berhak atas istirahat dan liburan, termasuk pembatasan-
pembatasan jam kerja yang layak dan hari liburan berkala, dengan tetap
menerima upah.
Pasal 25
(1) Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan
dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan,
pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang
diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita
sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan
lainnya yang memicu nya kekurangan nafkah, yang berada di luar
kekuasaannya.
(2) Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa.
Semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar
perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama.
Pasal 26
(1) Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan
cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan
pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan
teknik dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan
pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh
semua orang, berdasarkan kepantasan.
(2) Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-
luasnya serta untuk mempertebal penghargaan terhadap hak asasi
manusia dan kebebasan-kebebasan dasar. Pendidikan harus menggalakkan
saling pengertian, toleransi dan persahabatan di antara semua bangsa,
kelompok ras maupun agama, serta harus memajukan kegiatan PBB dalam
memelihara perdamaian.
-- 6362 -
(3) Orang tua memiliki hak utama dalam memilih jenis pendidikan yang
akan diberikan kepada anak-anak mereka.
Pasal 27
(1) Setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan
warga dengan bebas, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut
mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan.
(2) Setiap orang berhak untuk memperoleh perlindungan atas keuntungan-
keuntungan moril maupun material yang diperoleh sebagai hasil karya
ilmiah, kesusasteraan atau kesenian yang diciptakannya.
Pasal 28
Setiap orang berhak atas suatu tatanan sosial dan internasional di mana hak-
hak dan kebebasan- kebebasan yang termaktub di dalam deklarasi ini dapat
dilaksanakan sepenuhnya.
Pasal 29
(1) Setiap orang memiliki kewajiban terhadap warga tempat satu-
satunya di mana dia dapat mengembangkan kepribadiannya dengan bebas
dan penuh.
(2) Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang
harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh
undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-
kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil
dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu
warga yang demokratis.
(3) Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dengan jalan bagaimana pun
sekali-kali tidak boleh dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan
prinsip-prinsip PBB.
Pasal 30
Tidak sesuatu pun di dalam deklarasi ini boleh ditafsirkan memberi sesuatu
negara, kelompok ataupun seseorang, hak untuk terlibat di dalam kegiatan
apa pun, atau melakukan perbuatan yang bertujuan merusak hak-hak dan
-- 6362 -
kebebasan-kebebasan yang mana pun yang termaktub di dalam Deklarasi ini.
2. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) yaitu
kovenan kembar dari kovenan hak sipil dan politik, yang digagas dan disahkan
oleh PBB pada waktu yang sama, yaitu tanggal 16 Desember 1966 dan berlaku
pada 23 Maret 1976. jika hak-hak sipil dan politik dikatakan sebagai hak-hak
negatif (negative rights), maka hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yaitu
hak-hak positif (positif rights), artinya negara harus aktif positif melakukan
langkah-langkah atau tindakan agar hak-hak yang diatur dan dijamin dalam
kovenan itu dapat terwujud. Negara dikatakan melanggar hak ekonomi, sosial,
dan budaya jika negara diam atau pasif dalam pemenuhan hak ekonomi,
sosial dan budaya.
Pandangan lama menyatakan bahwa watak hukum hak ekonomi dan
sosial tidak dapat diadili (non-justicable), dalam arti bahwa hak-hak itu tidak dapat
dituntut dalam sidang pengadilan dan diberlakukan oleh hakim.39 Artinya, tidak
ada mekanisme penegakan hukumnya. Berbeda dengan hak-hak sipil dan
politik, sebagai hak negatif dapat dituntut di muka pengadilan. Misalnya, orang
yang disiksa oleh aparatur negara dapat menuntut ke pengadilan. Pandangan
ini sudah tidak bisa dipertahankan lagi seiring dengan perkembangan
pandangan menyusul Prinsip-Prinsip Limburg40 yang memuat sejumlah prinsip
penegakkan hukum oleh badan peradilan dalam usaha pemenuhan hak-hak
39 Baca Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus (Ed.), Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya: Esai-Esai Pilihan , Elsam, Jakarta, 2001, hlm. 53.
40 Prinsip-prinisp Limburg yaitu prinsip-prinsip yang dicetuskan pada tanggal 28
September 2011, dalam sebuah pertemuan yang dilakukan oleh Universitas Maastricht dan
International Commission of Jurists : sekelompok ahli dalam bidang hukum internasional serta hak
asasi manusia mengadopsi Prinsip Maastricht untuk Kewajiban Ekstrateritorial Negara di bidang Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Para ahli datang dari beragam universitas dan organisasi yang berlokasi
di pelbagai wilayah di dunia dan termasuk anggota dan mantan anggota badan perjanjian hak asasi
manusia internasional, badan hak asasi manusia regional, dan mantan serta Pelapor Khusus Dewan
Hak Asasi Manusia PBB.
-- 6564 -
ekonomi, sosial dan budaya. Beberapa prinsip itu antara lain:
1. Prinsip 8, meskipun pelaksanaan sepenuhnya hak-hak yang diakui
dalam kovenan akan dicapai secara bertahap, pelaksanaan beberapa
hak dapat dibenarkan dengan segera, sementara hak-hak lainnya
dapat dibenarkan setelah beberapa waktu kemudian.
2. Prinsip 13, semua badan yang memantau kovenan seharusnya
memberi perhatian khusus kepada prinsip-prinsip non-
diskriminasi dan persamaan di hadapan hukum pada saat menilai
kepatuhan Negara Pihak terhadap kovenan.
3. Prinsip 17, pada tingkat nasional, Negara Pihak seharusnya
memakai semua sarana yang tepat, termasuk tindakan-tindakan
legislatif, administratif, yudisial, ekonomi, sosial dan pendidikan,
sesuai dengan sifat dari hak-hak untuk memenuhi kewajiban mereka
berdasarkan kovenan ini.
4. Prinsip 19, Negara Pihak seharusnya menyediakan usaha perbaikan
efektif yang meliputi, jika tepat, usaha perbaikan yudisial.
5. Prinsip 78, dalam melaporkan langkah-langkah hukum yang diambil
untuk memberi pengaruh pada kovenan, Negara Pihak seharusnya
tidak hanya menggambarkan suatu ketentuan legislatif yang relevan.
Mereka seharusnya merinci, jika tepat, usaha perbaikan lewat
pengadilan, prosedur administratif dan tindakan-tindakan lain yang
telah diambil untuk memberlakukan hak-hak ini dan praktek-
praktek berdasarkan usaha perbaikan dan prosedur ini .
Melalui prinsip-prinsip ini menjadi jelas bahwa hak ekonomi,
sosial dan budaya yaitu hak yang bisa diperjuangkan pemenuhannya melalui
pengadilan. Lebih-lebih bila dihubungkan dengan kewajiban positif negara untuk
-- 6564 -
menghormati,41 memenuhi42 dan melindungi43 hak ekonomi, sosial dan budaya,
maka dengan sendirinya negara bisa dimintai pertanggungjawaban atas kewajiban
ini
Dengan demikian, kegagalan negara untuk memberi pelayanan
kesehatan dasar, menyediakan fasilitas pendidikan, pekerjaan, perumahan
yaitu pelanggaran. Pelanggaran yang dimaksud berupa tindakan pejabat (acts
of commision) maupun pelanggaran berupa pembiaran (acts of omission).
Pelanggaran berupa tindakan pejabat yaitu tindakan langsung yang berdampak
pada pengurangan dan berkurangnya atau bahkan hilangnya hak.
Sementara pelanggaran yang bersifat pembiaran dapat berupa kegagalan
untuk mengubah atau mencabut undang-undang yang jelas-jelas tidak sesuai
dengan kewajiban terhadap kovenan; kegagalan untuk memberlakukan
undang-undang atau melaksanakan kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk
melaksanakan ketetapan dalam kovenan; kegagalan untuk mengatur kegiatan dari
perorangan atau kelompok sehingga mencegah mereka agar tidak melakukan
pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya; kegagalan
memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara maksimum ke arah pelaksanaan
penuh dari kovenan ini.
Cakupan hak ekonomi, sosial dan budaya yaitu:
1. Hak atas pekerjaan;
2. Hak mendapatkan program pelatihan;
3. Hak mendapatkan kenyamanan dan kondisi kerja yang baik;
4. Hak membentuk serikat buruh;
5. Hak menikmati jaminan sosial, termask asuransi sosial;
6. Hak menikmati perlindungan pada saat dan setelah melahirkan;
41 Kewajiban negara untuk menahan diri tidak mengambil tindakan atau langkah-langkah
yang bisa memicu hilangnya, gagalnya atau terlanggarnya hak-hak.
42 Kewajiban negara mengambil langkah-langkah hukum dan anggaran untuk memenuhi
hak-hak
43 Kewajiban negara mencegah, melindungi hak-hak serta memastikan negara melakukan
langkah-langkah hukum jika terjadi pelanggaran hak-hak
-- 6766 -
7. Hak atas standar hidup yang layak termasuk pangan, sandang, dan
perumahan;
8. Hak terbebas dari kelaparan;
9. Hak menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tinggi;
10. Hak atas pendidikan, termasuk pendidikan dasar secara cuma-cuma;
11. Hak untuk berperan serta dalam kehidupan budaya menikmati
manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan aplikasinya;
Pertimbangan negara kita untuk menjadi pihak pada Kovenan Internasional
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dimuat dalam penjelasan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2005, yaitu:44
Bahwa negara kita yaitu negara hukum dan sejak kelahirannya padatahun
1945 menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sikap negara kita ini dapat dilihat
dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, UUD 1945 sudah memuat beberapa ketentuan
tentang penghormatan hak asasi manusia. Hak-hak ini antara lain:
1. Hak semua bangsa atas kemerdekaan (alinea pertama Pembukaan);
2. Hak atas kewarganegaraan (Pasal 26);
3. Persamaan kedudukan semua warga negara negara kita di dalam
hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1));
4. Hak warga negara negara kita atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2);
5. Hak setiap warga negaranegara kita atas kehidupan yang layak bagi
kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2);
6. Hak berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara (Pasal 2
8);
7. Kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya
itu (Pasal 29 ayat (2); dan
8. Hak setiap warga negara negara kita atas pendidikan (Pasal 31 ayat
(1).
44 Baca Penjelasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.
-- 6766 -
Sikap negara kita dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia
terus berlanjut, meskipun negara kita mengalami perubahan susunan negara dari
negara kesatuan menjadi negara federal (27 Desember 1949 sampai dengan 15
Agustus 1950). Konstitusi yang berlaku pada waktu itu, yaitu Konstitusi Republik
negara kita Serikat (Konstitusi RIS), memuat sebagian besar pokok-pokok hak
asasi manusia yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan
kewajiban pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33).
Undang-Undang Dasar Sementara Republik negara kita (UUDS RI Tahun
1950) yang berlaku sejak 15 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959,
sebagaimana Konstitusi RIS, juga memuat sebagian besar pokok-pokok hak
asasi manusia yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
dan kewajiban pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal
33), dan bahkan sebagian sama bunyinya kata demi kata dengan ketentuan yang
tercantum dalam Konstitusi RIS.
Di samping komitmen nasional, pada masa berlakunya UUDS RI Tahun
1950, negara kita juga menegaskan komitmen internasionalnya dalam pemajuan
dan perlindungan hak asasi manusia. ini sebagaimana ditunjukkan dengan
keputusan pemerintah untuk tetap memberlakukan beberapa konvensi perburuhan
yang dihasilkan oleh ILO yang dibuat sebelum Perang Dunia II dan dinyatakan
berlaku untuk Hindia Belanda oleh Pemerintah Belanda, menjadi pihak pada
beberapa konvensi lain yang dibuat oleh Organisasi Perburuhan Internasional
setelah Perang Dunia II, dan mengesahkan sebuah Konvensi Hak Asasi Manusia
yang dibuat oleh PBB, yakni Convention on the Political Rights of Women 1952
(Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan 1952), melalui Undang-Undang
Nomor 68 Tahun 1958.
Dalam sejarah kehidupan bangsa negara kita , usaha penegakan dan
perlindungan hak asasi manusia telah mengalami pasang surut. Pada suatu
masa, usaha ini berhasil diperjuangkan, tetapi pada masa lain dikalahkan
oleh kepentingan kekuasaan. Akhirnya, disadari bahwa kehidupan berbangsa dan
bernegara yang tidak mengindahkan penghormatan, penegakan dan perlindungan
hak asasi manusia akan selalu menimbulkan ketidakadilan bagi warga luas.
-- 6968 -
Tidak bisa memberi landasan yang sehat bagi pembangunan ekonomi, politik,
sosial dan budaya untuk jangka panjang.
Gerakan reformasi yang mencapai puncaknya pada tahun 1998,
telah membangkitkan semangat bangsa negara kita untuk melakukan koreksi
terhadap sistem dan praktik-praktik masa lalu, terutama untuk menegakkan
kembali pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Selanjutnya negara kita
mencanangkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM) melalui
Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional
Hak Asasi Manusia 1998-2003 yang kemudian dilanjutkan dengan RAN HAM
kedua, melalui Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana
Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009 dan ratifikasi atau pengesahan
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment
or Punishment, 1984 (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat
Manusia, 1984) pada 28 September 1998 (Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1998; Lembaran Negara Republik negara kita Tahun 1998 Nomor 164; Tambahan
Lembaran Negara Republik negara kita Nomor 3783). Selain itu, melalui Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 1999, negara kita juga telah meratifikasi International
Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (Konvensi
Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial).
Pada tanggal 13 November 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
mengambil keputusan yang sangat penting artinya bagi pemajuan, penghormatan
dan penegakan hak asasi manusia, yaitu dengan mengesahkan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik negara kita Nomor XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia, yang lampirannya memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa
negara kita terhadap Hak Asasi Manusia” (Lampiran angka I) dan “Piagam Hak
Asasi Manusia” (Lampiran angka II).
Konsideran Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 ini menyatakan,
antara lain: “bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan
pengakuan, penghormatan, dan kehendak bagi pelaksanaan hak asasi manusia
dalam menyelenggarakan kehidupan berwarga , berbangsa dan bernegara”
-- 6968 -
(huruf b) dan “bahwa bangsa negara kita sebagai bagian warga dunia patut
menghormati hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia PBB serta instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi
manusia” (huruf c). Selanjutnya, Ketetapan MPR ini menyatakan bahwa
bangsa negara kita sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki
tanggung jawab untuk menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
dan berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia”
(Lampiran IB angka 2).
Sebagaimana diketahui bahwa Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Protokol Opsional pada
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yaitu instrumen-
instrumen internasional utama mengenai hak asasi manusia.Intrumen itu lazim
disebut sebagai “International Bill of Human Rights” (Prasasti Internasional
tentang Hak Asasi Manusia), yang yaitu instrumen-instrumen internasional
inti mengenai hak asasi manusia.
MPR telah mengesahkan perubahan UUD 1945. Perubahan pertama
disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 1999; perubahan kedua
disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000; perubahan ketiga
disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001; dan perubahan keempat
disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002. Perubahan kedua UUD
1945 menyempurnakan komitmen negara kita terhadap usaha pemajuan dan
perlindungan hak asasi manusia dengan mengintegrasikan ketentuan-ketentuan
penting dari instrumen-instrumen internasional mengenai hak asasi manusia,
sebagaimana tercantum dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia. Perubahan
ini dipertahankan sampai dengan perubahan keempat UUD 1945.
Sesuai dengan UUD 1945 yang mengamanatkan pemajuan dan
perlindungan hak asasimanusia dalam kehidupan berwarga , berbangsa,
dan bernegara serta komitmen bangsa negara kita sebagai bagian dari warga
internasional untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia, negara kita
perlu mengesahkan instrumen-instrumen internasional utama mengenai hak
-- 7170 -
asasi manusia.Instrumen ini khususnya yaitu International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya) serta International Covenant on Civil and Political
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Dengan pemikiran
dan pertimbangan ini , pemerintah negara kita akhirnya mengesahkan Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menjadi bagian dari
hukum negara kita Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, yang dimuat dalam
Lembaran (LN) Nomor 118 dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4557.
3. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
Setelah Majelis Umum PBB mengeluarkan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia yang memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar,
sejumlah negara menginginkan agar deklarasi ditindaklanjuti dalam bentuk hukum
perjanjian internasional yang kuat. Atas dasar itu, Majelis Umum PBB meminta
kepada Komisi Hak Asasi Manusia PBB untuk merancang kovenan tentang hak
sipil dan politik serta kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya.
Setelah melalui perdebatan panjang, Komisi Hak Asasi Manusia PBB
berhasil menyelesaikan rancangan kovenan sesuai dengan keputusan Majelis
Umum PBB pada 1951. Setelah dilakukan pembahasan pasal demi pasal, pada
akhirnya Majelis Umum PBB melalui Resolusi No.2200 A (XXI) mengesahkan
Kovenan Internasional tentang Hak sipil dan Politik (International Covenant on Civil
and Political Rights/ ICCPR) serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights) pada tanggal 16 Desember 1966 dan berlaku pada 23 Maret 1976.
Kovenan Internasional tentang Hak sipil dan Politik bertujuan untuk
mengukuhkan pokok-pokok hak asasi manusia di bidang sipil dan politik yang
tercantum dalamDeklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sehingga menjadi
ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan penjabarannya mencakup
pokok-pokok lain yang terkait. Konvenan ini terdiri dari pembukaan dan
pasal-pasal yang mencakup 6 BAB dan 53 pasal.
-- 7170 -
Hak Sipil Politik pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan
penggunaan kewenangan oleh aparatur represif negara. Itu sebabnya hak-hak
yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak-hak negatif (negative
right). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan terpenuhi
jika peran negara terbatasi atau terlihat minus atau tidak melakukan tindakan
interventif yang dapat memicu hak dan kebebasan yang diatur didalam
konvenan tidak terwujud.
Hak-hak dan kebebasan dalam kovenan ini diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu hak-hak non-derogable , yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh
dikurangi pemenuhannya oleh Negara Pihak walaupun dalam keadaan darurat
sekalipun, seperti hak untuk hidup (rights to life), hak bebas dari penyiksaan
(right to be free from torture), hak bebas dari perbudakan (right to be free from
slavery), hak bebas dari penahanan sebab gagal memenuhi perjanjian (utang),
hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut, hak sebagai subyek hukum, dan
hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan agama.
Kelompok kedua yaitu hak-hak dalam jenis derogable, yakni hak-hak
yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara Pihak. Hak dan
Kebebasan yang termasuk dalam jenis ini adalah: hak atas kebebasan berkumpul
secara damai, hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi
serikat buruh, dan hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi;
termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberi informasi dan segala
macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui tulisan ataupun lisan).
Hanya saja, penyimpangan itu hanya dapat dilakukan jika sebanding
dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif, yaitu demi
menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moralitas
umum dan demi menghormati hak atau kebebasan orang lain.
KonvenanHak Sipil dan Politik memiliki dua protokol tambahan,
yaitu:Pertama, protokol tambahan untuk mekanisme komplain individu. Protokol ini
mengakui kompetensi Komite Hak Asasi Manusia PBB untuk mempertimbangkan
komplain dari individu atau kelompok yang menyatakan bahwa hak-hak mereka
yang dijamin oleh kovenan dilanggar.Kedua, protokol untuk mengatur lebih lanjut
-- 7372 -
mengenai hukuman mati. Protokol ini dibuat dengan tujuan untuk penghapusan
hukuman mati di bawah yuridiksi hukum suatu Negara Pihak. Diadopsi dan
dinyatakan oleh Resolusi Majelis Umum 44/128 tertanggal 15 Desember 1989.
Isi dari kovenan ini mencakup: ( 1) Hak hidup; (2) Hak bebas dari
penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi; (3) Hak bebas dari perbudakan
dan kerja paksa; (4) Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi; (5) Hak atas
kebebasan bergerak dan berpindah; (6) Hak atas pengakuan dan perlakuan yang
sama dihadapan hukum; (7) Hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama;
(8) Hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi; (9) Hak untuk berkumpul dan
berserikat; (10) Hak untuk turut serta dalam pemerintahan.
Dalam penjelasan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan Konvensi Hak Sipil dan Politik dijabarkan dengan terang bahwa
pertimbangan negara kita untuk menjadi pihak pada International Covenant on Civil
and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
melalui beberapa pertimbangan yang ketat. Atas dasar itulah, negara kita akhirnya
mengesahkan Konvensi Hak Sipil dan Politik menjadi bagian dari hukum negara kita
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, yang dimuat dalam Lembaran
Negara (LN) No. 119 dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) No. 4558.
4. Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional
Statuta Roma atau Roma Statuta of The International Criminal Court
yaitu hasil pertemuan Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa
(United Nations Diplomatics Conference of Plenipotentiaries on Establishment
of an International Criminal Court) mengenai pembentukan ICC (International
Criminal Court). Tujuannya untuk mengadili individu-individu yang dituduh
melakukan atau terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan
kejahatan perang.
Dalam Mukadimah Statuta Roma dinyatakan bahwa semua orang
dipersatukan oleh ikatan bersama, kebudayaan mereka yang bertaut kembali
dalam suatu warisan bersama, dan diprihatinkan bahwa mosaik yang rapuh ini
dapat hancur setiap saat. Dalam abad ini, berjuta-juta anak, perempuan, dan
-- 7372 -
laki-laki telah menjadi korban kekejaman yang sangat mengguncang nurani
kemanusiaan. Kejahatan yang sangat keji ini mengancam perdamaian,
keamanan dan kesejahteraan dunia.Kejahatan paling serius yang menjadi
perhatian warga internasional secara keseluruhan tidak boleh dibiarkan.
Kejahatan yang demikian harus dihukum dan bahwa penuntutan mereka secara
efektif harus dijamin dengan mengambil langkah-langkah di tingkat nasional dan
dengan memajukan kerja sama internasional; bertekad untuk memutuskan rantai
kekebalan hukum (impunity) bagi para pelaku kejahatan ini dan dengan demikian
memberi sumbangan kepada dicegahnya kejahatan ini .
Kewajiban setiap negara untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya
terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas kejahatan internasional;
menegaskan kembali tujuan dan prinsip-prinsip yang tertera dalam Piagam PBB,
dan pada khususnya bahwa semua negara harus menghindarkan diri dari ancaman
atau penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik
suatu negara lain, atau dengan suatu cara lain yang tidak sesuai dengan tujuan
PBB. Terkait dengan ini , tidak ada satu ketentuanpun dalam statuta
yang dianggap sebagai memberi wewenang kepada suatu Negara Pihak untuk
campur tangan dalam suatu sengketa bersenjata yang yaitu urusan dalam
negeri suatu negara.45
Untuk tujuan ini dan demi kepentingan generasi sekarang dan yang akan
datang, untuk membentuk suatu Mahkamah Pidana Internasional permanen
dalam hubungan dengan sistem PBB, dengan yurisdiksi atas kejahatan paling
serius yang menjadi perhatian warga internasional secara keseluruhan;
dan Mahkamah Pidana Internasional yang dibentuk di bawah statuta ini akan
yaitu pelengkap dari jurisdiksi pidana nasional.
Mahkamah ini yaitu suatu lembaga permanen dan memiliki
kekuasaan untuk melaksanakan yurisdiksinya atas orang-orang yang melakukan
kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional, sebagaimana
45 Ini salah satu kekhawatiran negara kita sehingga belum juga mengesahkan Statuta Roma
menjadi bagian dari hukum negara kita , meskipun beberapa substansinya telah diadobsi kedalam UU
No. 26 Tahun 2000.
-- 7574 -
dicantumkan dalam statuta, sekaligus menjadi pelengkap terhadap jurisdiksi
kejahatan nasional.
Kedudukan mahkamah berada di Den Haag (The Hague), tetapi
mahkamah dapat bersidang tempat lain, jika dianggap perlu Mahkamah
dapat menjalankan fungsi dan kekuasaannya, sebagaimana ditetapkan dalam
statuta, atas wilayah suatu Negara Pihak46 dan dengan perjanjian khusus, atas
wilayah suatu negara.47 Kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi mahkamah
yaitu: (a) kejahatan genosida;48 (b) kejahatan terhadap kemanusiaan;49 (c)
46 Pasal 3 ayat (3): Mahkamah dapat bersidang di suatu tempat lain, jika dianggap
diperlukan, sebagaimana ditetapkan dalam statuta ini.
47 Pasal 4 ayat (2): Mahkamah dapat menjalankan fungsi dan kekuasaannya, sebagaimana
ditetapkan dalam Statuta, atas wilayah suatu Negara Pihak dan, dengan perjanjian khusus, atas
wilayah suatu negara.
48 Pasal 6: Setiap perbuatan berikut ini yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan,
seluruhnya atau untuk sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan, seperti misalnya:
(a) Membunuh anggota kelompok ini ; (b) Menimbulkan luka fisik atau mental yang serius
terhadap para anggota kelompok ini ; (c) Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas
kelompok ini yang diperhitungkan akan memicu kehancuran fisik secara keseluruhan atau
untuk sebagian; (d) Memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam
kelompok ini ; (e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok
lain.
49 Pasal 7: “kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti salah satu dari perbuatan berikut
ini jika dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada
suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu: (a) Pembunuhan; (b)
Pemusnahan; (c) Perbudakan; (d) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk; (e) Pemenjaraan atau
perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;
(f) Penyiksaan; (g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa,
pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat; (h) Penganiayaan
terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional,
etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara
universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan
setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam yurisdiksi
mahkamah; (i) Penghilangan paksa; (j) Kejahatan apartheid; (k) Perbuatan tak manusiawi lain dengan
sifat sama yang secara sengaja memicu penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan
atau mental atau kesehatan fisik.
-- 7574 -
kejahatan perang;50 (d) kejahatan agresi51.
5. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat (Convention against
Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) ,
yang selanjutnya disebut “CAT”, telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB
dalam Resolusinya No. 39/46 tanggal 10 Desember 1984. Konvensi itu mulai
diberlakukan pada tanggal 26 Juni 1987. Kelahiran konvensitidak lepas dari
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia dan Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan
di dalam Kovenan Hak Sipil Politik inilah diatur tentang manusia bebas dari
penyiksaan (Pasal 7). Dalam kovenan itu dengan jelas disebut, “tidak seorangpun
boleh dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman yang keji, tidak
manusiawi atau merendahkan martabatnya, khususnya tidak seorangpun, tanpa
persetujuannya secara sukarela dapat dijadikan eksperimen medis atau ilmiah.”
Pasal itulah yang kemudian diperluas menjadi konvensi khusus yang
mengatur masalah anti penyiksaan yang diadopsi oleh Sidang Majelis Umum
PBB melalui Resolusi 39/46 pada 10 Desember 1984 dan mulai berlaku pada
26 Juni 1987. Kovensi ini mengatur lebih lanjut mengenai apa yang ada
dalam Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik. Konvensi ini mewajibkan negara
untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-
langkah efektif lainnya guna:
50 Dalam Statuta Roma, perbuatan yang dikualifikasi sebagai kejahatan perang dibadi
menjadi empat kelompok: (1) pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa berupa perbuatan yang
ditujukan terhadap orang dan/atau benda yang dilindungi oleh konvensi; (b) pelanggaran serius lainnya
terhadap hukum dan kebiasaan konflik bersenjata; (c) pelanggaran terhadap Pasal 2 Konvensi Jenewa
dalam hal non international armed conflict; dan (d) pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan
kebiasaan yang berlaku dalam non international armed conflict. Selanjutnya baca Pasal 8.
51 Statuta Roma tidak mendefenisikan pengertian agresi sebab kejahatan ini sebab agresi
juga menjadi bagian dari kewenangan dewan keamanan PBB sehingga defensi dan batasan bisa
berbeda antara ICC dan DK PBB.
-- 7776 -
1. Mencegah tindak penyiksaan, pengusiran, pengembalian (refouler),
atau pengekstradisian seseorang ke negara lain jika ada
alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang ini akan
berada dalam keadaan bahaya (sebab menjadi sasaran penyiksaan).
2. Menjamin agar setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya telah
disiksa dalam suatu wilayah kewenangan hukum memiliki hak
untuk mengadu, memastikan agar kasusnya diperiksa dengan segera
oleh pihak-pihak yang berwenang secara tidak memihak.
3. Menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksinya dilindungi
dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat dari
pengaduan atau kesaksian yang mereka berikan.
4. Menjamin korban memperoleh ganti rugi serta (hak untuk
mendapatkan) kompensasi yang adil dan layak. Konvensi ini dalam
pelaksanaannya diawasi oleh Komite Menentang Penyiksaan (CAT),
yang dibentuk berdasarkan aturan yang ada didalamnya.
Meskipun CAT sudah berlaku sejak 1987, praktik penyiksaan --atau
perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan
martabat-- masih banyak terjadi. Pengamatan menunjukkan bahwa praktik
penyiksaan terjadi, terutama, di tempat-tempat di mana orang dirampas
kebebasannya (sebab diduga atau dinyatakan melakukan pelanggaran hukum).
Dengan kata lain, perlakuan itu terjadi di tempat-tempat penahanan dan tempat-
tempat penghukuman atau pemenjaraan.
Konvensi ini memuat 33 pasal. Secara umum mengatur pelarangan
penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang
kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan
oleh atau atas hasutan dari atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat
publik (public official) dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Adapun
pelarangan penyiksaan yang diatur dalam konvensi ini tidak mencakup rasa
sakit atau penderitaan yang timbul, melekat, atau diakibatkan oleh suatu sanksi
hukum yang berlaku.
-- 7776 -
Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif,
hukum, dan langkah efektif lainnya guna mencegah tindak penyiksaan di dalam
wilayah yurisdiksinya. Tidak ada pengecualian apapun, baik dalam keadaan
perang, ketidakstabilan politik dalam negeri, maupun keadaan darurat lainnya, yang
dapat dijadikan sebagai pembenaran atas tindak penyiksaan. Dalam kaitan ini,
perintah dari atasan atau penguasa (public authority) juga tidak dapat digunakan
sebagai pembenaran atas suatu penyiksaan.
Negara Pihak diwajibkan mengatur semua tindak penyiksaan sebagai
tindak pidana dalam peraturan perundang-undangannya. Hal yang sama berlaku
pula bagi siapa saja yang melakukan percobaan, membantu, atau turut serta
melakukan tindak penyiksaan. Negara Pihak juga wajib mengatur bahwa pelaku
tindak pidana ini dapat dijatuhi hukuman yang setimpal dengan sifat tindak
pidananya.
Konvensi juga mewajibkan Negara Pihak memasukkan tindak penyiksaan
sebagai tindak pidana yang dapat diekstradisikan. Konvensi selanjutnya melarang
Negara Pihak untuk mengusir, mengembalikan, atau mengekstradisikan seseorang
ke negara lain, jika ada alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa
orang itu rnenjadi sasaran penyiksaan. Negara Pihak lebih lanjut harus melakukan
penuntutan terhadap seseorang yang melakukan tindak penyiksaanjika tidak
mengekstradiksikannya.
Negara Pihak lebih lanjut wajib saling membantu dalam proses peradilan
atas tindak penyiksaan dan menjamin bahwa pendidikan dan penyuluhan
mengenai larangan terhadap penyiksaan sepenuhnya dimasukkan ke dalam
program pelatihan bagi para aparat penegak hukum, sipil, atau militer, petugas
kesehatan, pejabat publik dan orang-orang lain yang terlibat dalam proses
penahanan, permintaan keterangan (interogasi), atau perlakuan terhadap setiap
pribadi individu yang ditangkap, ditahan, atau dipenjarakan.
Negara Pihak juga wajib mengatur dalam sistem hukumnya bahwa
korban suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti rugi dan memiliki hak
untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk
mendapatkan rehabilitasi. Ditegaskan pula tentang tidak ada pengecualian apapun
-- 7978 -
atas hak bebas dari penyiksaan, sekalipun dalam keadaan perang atau ancaman
perang ketidakstabilan politik dalam negeri ataupun keadaan darurat, yang dapat
digunakan sebagai pembenaran dilakukannya penyiksaan.
negara kita sendiri telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1998 pada 28 September 1998 dengan pertimbangan antara
lain sebagai berikut:52
1. Bahwa Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa
negara kita dan UUD 1945 sebagai sumber dan landasan hukum
nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti
tercermin dalam sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Asas ini
yaitu amanat konstitusional bahwa bangsa negara kita bertekad
untuk mencegah dan melarang segala bentuk penyiksaan, sesuai
dengan ini konvensi ini.
2. Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945,
negara kita pada dasarnya telah menetapkan peraturan perundang-
undangan yang langsung mengatur pencegahan dan pelarangan,
segala bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi dan merendahkan
martabat manusia. Namun sebab perundang-undangan itu belum
sepenuhnya sesuai dengan konvensi, masih perlu disempurnakan.
3. Penyempurnaan perundang-undangan nasional ini , akan
meningkatkan perlindungan hukum secara lebih efektif, sehingga
akan lebih menjamin hak-hak setiap warga negara bebas dari
penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat manusia, demi tercapainya
suatu warga negara kita yang tertib, teratur, dan berbudaya.
4. Pengesahan dan pelaksanaan isi konvensi secara bertanggungjawab
menunjukkan kesungguhan negara kita dalam usaha pemajuan
dan perlindungan hak asasimanusia, khususnya hak bebas dari
penyiksaan. Hak ini juga akan lebih meningkatkan citra positif
52 Baca Penjelasan Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Anti
Penyiksaan.
-- 7978 -
negara kita di dunia internasional dan memantapkan kepercayaan
warga internasional terhadap negara kita
6. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusiamemproklamirkan bahwa semua
umat manusia setara. Ia dilahirkan dengan kebebasan dan kesederajatan dalam
martabat dan hak-haknya. Semua orang berhak akan semua hak-hak dan
kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalamnyatanpa perbedaan apapun
juga;khususnya ras, warna kulit atau pun asal usul kebangsaan. Dengan
menimbang bahwa semua umat manusia yaitu sederajat di hadapan hukum dan
berhak atas perlindungan hukum yang sama terhadap segala bentuk diskriminasi
dan segala bentuk hasutan yang menimbulkan diskriminasi.
Keberadaan hambatan-hambatan ras yaitu suatu hal yang mengotori
peri kehidupan ideal manusia. Ada kekhawatiran bahwa diskriminasi rasial nyata
masih ada di beberapa kawasan dunia, serta ada pula kebijakan-kebijakan
pemerintah yang berdasarkan kepada supremasi rasial atau kebencian, seperti
apartheid, pengucilan atau pemisahan. Menyadari hal yang sangat krusial ini ,
PBB memutuskan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
Tujuannya untuk menghapus diskriminasi rasial dengan segala bentuk
dan manifestasinya, serta mencegah dan memerangi doktrin-doktrin dan praktek-
praktek rasis guna memajukan saling pengertian antar ras serta membangun
warga internasional yang bebas dari segala bentuk pengucilan rasial
dan diskriminasi rasial. Dengan pandangan dan keyakinan akan pentingnya
melindungi manusia dimanapun dari kejahatan rasialis, PBB menetapkan Konvensi
Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial pada 4 Januari
1949, dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, memperhatikan bahwa Piagam PBB menguatkan lagi keyakinan
atas hak-hak azasi manusia, atas martabat dan nilai pribadi manusia, dan atas
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Kedua, memperhatikan bahwa Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
menegaskan azas mengenai tidak dapat diterimanya diskriminasi dan menyatakan
-- 8180 -
bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak,
dan bahwa tiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dimuat di
dalamnya, tanpa perbedaan apapun, termasuk perbedaan berdasarkan jenis
kelamin.
Ketiga, memperhatikan bahwa negara-negara peserta pada perjanjian-
perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia berkewajiban untuk
menjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua
hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik.
Keempat, mempertimbangkan konvensi-konvensi internasional yang
ditanda tangani di bawah naungan PBB dan badan-badan khususnya, yang
menganjurkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Kelima, memperhatikan juga resolusi-resolusi, deklarasi-deklarasi dan
rekomendasi-rekomendasi yang disetujui oleh PBB dan badan-badan khususnya
yang menganjurkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, namun
demikian sangat memprihatinkan bahwa meskipun adanya bermacam-macarn
dokumen ini , namun diskriminasi yang luas terhadap perempuan masih
tetap ada.
Keenam, mengingat bahwa diskriminasi terhadap perempuan yaitu
melanggar azas persamaan hak dan rasa hormat terhadap martabat manusia,
yaitu halangan bagi partisipasi perempuan, atas dasar persamaan dengan
kaum laki-laki dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya negara-negara
mereka. ini menghambat perkembangan kemakmuran warga dan
menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari potensi kaum perempuan
dalam pengabdiannya terhadap negara-negara mereka dan terhadap umat
manusia.
Ketujuh , memprihatinkan bahwa dalam situasi-situasi kemiskinan,
perempuan yang paling sedikit mendapat kesempatan untuk memperoleh
makanan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, pelatihan, maupun untuk
memperoleh kesempatan kerja dan lain-lain kebutuhan.
Kedelapan, yakin bahwa dengan terbentuknya tata ekonomi internasional
yang baru, berdasarkan pemerataan dan keadilan, akan memberi sumbangan
-- 8180 -
yang berarti terhadap peningkatan persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Kesembilan, menekankan bahwa penghapusan apartheid, penghapusan
semua bentuk rasisme, diskriminasi rasial, kolonialisme, neo-kolonialisme, agresi,
pendudukan dan dominasi serta campur tangan asing dalam urusan dalam negeri
negara yaitu penting, untuk dapat menikmati sepenuhnya hak-hak laki-laki dan
perempuan.
Sepuluh, menegaskan bahwa memperkuat perdamaian dan keamanan
internasional, pengendoran ketegangan internasional, kerjasama timbal-balik di
antara semua negara, terlepas dari sistem sosial dan ekonomi mereka, pelucutan
senjata secara umum dan menyeluruh, dan khususnya pelucutan senjata nuklir
di bawah pengawasan internasional yang ketat dan efektif, penegasan azas-
azas keadilan, persamaan dan manfaat bersama dalam hubungan antar negara,
realisasi hak bangsa-bangsa yang berada di bawah dominasi asing, dominasi
kolonial pendudukan asing untuk menentukan nasib sendiri dan kemerdekaannya,
maupun menghormati kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah, akan
meningkatkan kemajuan sosial dan pembangunan, yang dampaknya akan
menunjang tercapainya persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan,
Sebelas, yakin bahwa pembangunan menyeluruh dan selengkapnya suatu
negara, kesejahteraan dunia dan usaha perdamaian menghendaki partisipasi
maksimal kaum perempuan atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki di
segala lapangan,
Dua belas, mengingatkan kembali sumbangan besar kaum perempuan
terhadap kesejahteraan keluarga dan pembangunan warga yang selama ini
belum sepenuhnya diakui, arti sosial darl kehamilan, dan peranan kedua orang
tua dalam keluarga dalam membesarkan anak-anak, dan menyadari bahwa
peranan perempuan dalam memperoleh keturunan hendaknya jangan menjadi
dasar diskriminasi, akan tetapi bahwa membesarkan anak-anak menghendaki
pembagian tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dan warga
sebagai keseluruhan.
Tiga belas, menyadari bahwa diperlukan perubahan pada peranan
tradisional kaum laki-laki maupun peranan kaum perempuan dalam warga
-- 8382 -
dan dalam keluarga, untuk mencapai persamaan sepenuhnya antara laki-laki
dan perempuan.
Empat belas, bertekad untuk melaksanakan azas-azas yang tercantum
dalam Deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, dan
untuk itu membuat peraturan yang diperlukan untuk menghapus diskriminasi
seperti itu dalam segala bentuk dan perwujudannya.
Konvensi ini pada pada pokoknya memuat kesepakatan internasional
tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial yang terdiri atas
pembukaan dengan 12 paragraf dan batang tubuh dengan 3 bab, yang terdiri
atas 25 pasal.53 Pembukaan meletakkan dasar-dasar dan tujuan konvensi.
Tujuan konvensi yaitu untuk mengambil semua langkah yang diperlukan
guna penghapusan dengan segera diskriminasi rasial dalam segala bentuk dan
manifestasinya, serta mencegah dan memerangi doktrin-doktrin dan praktek-
praktek rasis guna memajukan saling pengertian antar ras serta membangun
warga internasional yang bebas dari segala bentuk pengucilan dan
diskriminasi rasial.
Bab I memuat ketentuan-ketentuan pokok yang mengatur
pengertiandiskriminasi rasial dan kewajiban Negara Pihak untuk mengutuk
diskriminasi rasial serta mengambil semua langkah yang sesuai guna menyusun
secepatmungkin kebijakan penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial
danmemajukan pengertian antar ras.
Bab II mengatur ketentuan mengenai Komite tentang Penghapusan
DiskriminasiRasial (Committee on the Elimination of Racial Discrimination) dan
tugas serta kewenangannya dalam melakukan pemantauan atas pelaksanaan
konvensi.
Bab III yaitu ketentuan penutup yang memuat hal-hal yang berkaitan
dengan mulai berlakunya konvensi, perubahan, pensyaratan (reservation),ratifikasi,
dan aksesi, pengunduran diri serta mekanisme penyelesaian sengketa antar
Negara Pihak.
53 Baca Penjelasan Undang-Undang No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.
-- 8382 -
Substansi pokok konvensi mengatur larangan untuk menerapkan
diskriminasi rasial yang diwujudkan dengan pembedaan, pengucilan, pembatasan,
atau preferensi yang didasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, asal-usul
kebangsaan atau etnis, kepada siapa pun dengan dalih apa pun, baik terhadap
warga negara maupun bukan warga negara.54 Negara-negara yang telah
meratifikasi konvensi ini memiliki kewajiban-kewajiban berikut:55
Pertama, bahwa Negara Pihak wajib untuk melaksanakan kebijakan anti
diskriminasi rasial ini, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam
prakteknya, dengan melarang dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi
rasial dan menjamin hak-hak setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit,
keturunan, asal usul kebangsaan atau etnis, dan kesederajatan di muka hukum,
terutama kesempatan untuk memakai hak-haknya.
Kedua, Negara Pihak harus mengutuk pemisahan (segregasi) rasial dan
apartheid, dan bertindak untuk mencegah, melarang, dan menghapus seluruh
praktek diskriminasi rasial di wilayah hukumnya.
Ketiga, Negara Pihak wajib menjadikan segala bentuk penghasutan,
kekerasan, provokasi, pengorganisasian, dan penyebarluasan yang didasarkan
pada diskriminasi rasial sebagai tindak pidana.
Keempat, Negara Pihak juga harus menjamin perlindungan dan perbaikan
yang efektif bagi setiap orang yang berada di bawah yurisdiksinya terhadap
setiap tindakan diskriminasi rasial, serta hak atas ganti rugi yang memadai
dan memuaskan atas segala bentuk kerugian yang diderita akibat perlakuan
diskriminasi.
Kelima, Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang segera
dan efektif, khususnya di bidang pengajaran, pendidikan, kebudayaan, dan
penyebarluasan nilai-nilai anti diskriminasi rasial dengan tujuan untuk memerangi
berbagai prasangka yang mengarah kepada diskriminasi rasial.
Bagi pemerintah dan bangsa negara kita , diskriminasi rasial pada dasarnya
yaitu suatu penolakan terhadap hak asasi manusiadan kebebasan mendasar.
54 Ibid.
55 Ibid.
-- 8584 -
Tidak jarang, diskriminasi rasial terjadi sebab dukungan pemerintah.Hal itu bisa
dilakukan melalui berbagai kebijakan diskriminasi rasial dalam bentuk apartheid,
pemisahan dan pengucilan atau dukungan sebagian warga dalam bentuk
penyebaran doktrin-doktrin supremasi ras, warna kulit, keturunan, asal usul
kebangsaan atau etnis. Oleh sebab diskriminasi rasial menjadi musuh baik bagi
warga luas maupun warga internasional, maka harus dihapuskan dari
peradaban umat manusia.
Keinginan warga internasional untuk menghapuskan diskriminasi
rasial ini dijabarkan dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial ( United Nations Declaration on
the Elimination of All Forms of Racial Discrimination ) yang diproklamirkan dalam
Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 20 November
1963, melalui Resolusi 1904 (XVIII).Deklarasi ini memuat penolakan
terhadap diskriminasi rasial, penghentian segala bentuk diskriminasi rasial yang
dilakukan oleh pemerintah dan sebagian warga , penghentian propaganda
supremasi ras atau warna kulit tertentu dan langkah-langkah yang harus diambil
oleh negara-negara dalam penghapusan diskriminasi rasial.
Namun demikian, sebab deklarasi itu bersifat tidak mengikat secara
hukum, maka Komisi Hak Asasi Manusia PBB telah menyusun rancangan
konvensi internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
yang selanjutnya diajukan kepada Majelis Umum PBB untuk disahkan.Pada
tanggal 21 Desember 1965, Majelis Umum PBB memberi kekuatan hukum
yang mengikat semangat penghapusan diskriminasi rasial dengan menerima
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.
Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993 sepakat antara lain menghimbau
negara-negara anggota PBB untuk secepatnya mengesahkan perangkat-perangkat
internasional yang sangat penting di bidang hak asasi manusia, termasuk
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Rasial. Sesuai dengan isi Deklarasi Wina 1993, Pemerintah negara kita telah
menyusun Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia negara kita 1998-2003
yang berisi kegiatan-kegiatan yang diprioritaskan dalam rangka memajukan dan
-- 8584 -
melindungi hak asasi manusia. Prioritas kegiatan tahun pertama Rencana Aksi
ini mencakup pengesahan tiga perangkat internasional di bidang hak asasi
manusia, termasuk Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial.
Selanjutnya berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Nomor VII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan didorong oleh rasa
tanggung jawab untuk memajukan dan menegakkan hak asasi manusia dan
pembangunan hukum di negara kita , pemerintah memutuskan untuk mengajukan
Rancangan Undang-undang tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Konvensi ini telah diterima oleh
warga internasional sebagai salah satu perangkat internasional di bidang
hak asasi manusia yang sangat penting. Saat ini, konvensi telah disahkan oleh
151 (seratus lima puluh satu) negara.
Sesuai dengan ketentuankonvensi, negara kita menyatakan pensyaratan
(reservation) terhadap Pasal 22, yang mengatur usaha penyelesaian sengketa
mengenai penafsiran dan pelaksanaan konvensi melalui Mahkamah Internasional
(International Court of Justice). Sikap ini diambil antara lain atas pertimbangan
bahwa negara kita tidak mengakui yurisdiksi Mahkamah Internasional yang
mengikat secara otomatis (compulsory jurisdiction ). Pensyaratan ini bersifat
prosedural sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Alasan negara kita menjadi Negara Pihak dalam konvensi itu yaitu sebab
adanya Pancasila sebagai dasar pemikiran.Selain itu, Pancasila dianggap sebagai
falsafah dan pandangan hidup bangsa negara kita dan UUD 1945 sebagai hukum
dasar yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, seperti tercermin
dalam Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Asas ini yaitu amanat
konstitusional bahwa bangsa negara kita bertekad untuk menghapuskan segala
bentuk diskriminasi rasial.
Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945,
negara kita pada dasarnya telah menetapkan peraturan perundang-undangan
yang mengandung ketentuan tentang penghapusan bentuk-bentuk diskriminasi
rasial. Hanya saja ini masih belum memadai untuk mencegah,
-- 8786 -
mengatasi, dan menghilangkan praktek-praktek diskriminasi rasial, sehingga
perlu disempurnakan.Penyempurnaan peraturan perundang-undangan nasional
ini dapat meningkatkan perlindungan hukum yang lebih efektif, sehingga
dapat lebih menjamin hak-hak setiap warga negara untuk bebas dari segala
bentukdiskriminasi rasial.
Pengesahan dan pelaksanaan isi konvensi secara bertanggung jawab
menunjukkan kesungguhan negara kita dalam usaha memajukan dan melindungi
hak asasi manusia, khususnya hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi
rasial. ini juga dapat meningkatkan citra positif negara kita di dunia internasional
dan memantapkan kepercayaan warga internasional terhadap negara kita .
Atas dasar itulah, negara kita mengesahkan konvensi ini menjadi bagian dari hukum
negara kita dengan Undang-Undang No. 29 Tahun 1999, Lembaran Negara (LN)
No. 83 dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) No. 3852.
7. Kon vensi International Labour Organization (ILO) Mengenai
Diskriminasi Dalam Pekerjaan Dan Jabatan
Konferensi Ketenagakerjaan Internasional dalam sidangnya yang ke-42
pada tanggal 25 Juni 1958 di Jenewa, telah menyetujui International Labour
Organization (ILO) Convention No. 111 Concerning Discrimination in Respect
of Employment and Occupation (Konvensi ILO mengenai Diskriminasi dalam
Pekerjaan dan Jabatan). Konvensi ini mewajibkan setiap negara anggota ILO
yang telah meratifikasi untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dalam
pekerjaan dan jabatan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama,
pandangan politik, kebangsaan atau asal usul keturunan.
Konvensi ini didasari kenyataan adanya praktek diskriminasi mengenai
prinsip pengupahan antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan, serta perlakuan
dan kesempatan dalam pekerjaan dan jabatan, sehingga pada Konvensi ILO No.
100 Tahun 1951 ditegaskan mengenai kesamaan remunerasi dan pengupahan
bagi pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. Konvensi itu juga meminta semua
negara untuk menjamin pelaksanaan prinsip pengupahan yang sama bagi pekerja
laki-laki dan pekerja perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya.
-- 8786 -
Negara anggota ILO yang mengesahkan konvensi ini wajib melarang
setiap bentuk diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan, termasuk dalam
memperoleh pelatihan dan keterampilan yang didasarkan atas ras, warna kulit,
jenis kelamin, agama, pandangan politik, kebangsaan atau asal usul keturunan,
serta wajib mengambil langkah-langkah kerja sama dalam peningkatan pentaatan
pelaksanaannya, peraturan perundang-undangan, administrasi, penyesuaian
kebijaksanaan, pengawasan, pendidikan dan pelatihan.
negara kita telah mengesahkan Konvensi No. 111 ini dengan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 1999. Dasar pengesahan konvensi yaitu:56
1. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa negara kita
dan UUD 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional,
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagaimana
tercermin dalam Sila-sila Pancasila, khususnya Sila Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab. Untuk itu bangsa negara kita bertekad untuk
mencegah, melarang dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi
dalam pekerjaan dan jabatan sesuai dengan ketentuan konvensi ini.
2. Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945,
negara kita telah menetapkan peraturan perundang-undangan yang
mengatur pencegahan dan pelarangan segala bentuk diskriminasi
dalam pekerjaan dan jabatan.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik negara kita melalui
Ketetapan Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia,
menugasi Presiden Republik negara kita dan DPR untuk meratifikasi
berbagai instrumen PBB yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
negara kita telah meratifikasi Konvensi PBB pada tanggal 18 Desember
1979 mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Disamping itu,
Presiden Republik negara kita telah ikut menandatangani Keputusan
Pertemuan Tingkat Tinggi mengenai Pembangunan Sosial di
Kopenhagen Tahun 1995. Keputusan pertemuan ini antara
56 Baca Konsideran Undang-UndangNomor 21 Tahun 1999.
-- 8988 -
lain mendorong anggota PBB meratifikasi tujuh Konvensi ILO yang
memuat hak-hak dasar pekerja, termasuk Konvensi Nomor 111
Tahun 1958 mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan.
4. ILO dalam Sidang Umumnya yang ke-86 di Jenewa bulan Juni
1998 telah menyepakati deklarasi setiap bentuk diskriminasi dalam
pekerjaan dan jabatan.
5. Pengesahan konvensi ini menunjukkan kesungguhan negara kita
dalam memajukan dan melindungi hak-hak dasar pekerja khususnya
hak mendapatkan persamaan kesempatan dan perlakuan dalam
pekerjaan dan jabatan. ini akan lebih meningkatkan citra positif
negara kita dan memantapkan kepercayaan warga internasional.
8. Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 87 Tahun
1948
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yaitu badan PBB yang
bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
pekerjaan yang layak dan produktif dalam kondisi yang merdeka, setara, aman,
bermartabat. Tujuan utama ILO ialah mempromosikan hak-hak kerja, memperluas
kesempatan kerja yang layak, meningkatkan perlindungan sosial, dan memperkuat
dialog dalam menangani berbagai masalah terkait dengan dunia kerja.
Kebebasan berserikat yaitu perubahan yang paling signifikan dalam
tonggak sejarah pergerakkan serikat pekerja di negara kita melalui ratifikasi