HAM 3




   Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama-sama 

dengan orang lain. 

(2)  Tidak seorang pun boleh dirampas harta miliknya dengan semena-mena. 

Pasal 18

Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal 

ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan 

untuk menyatakan agama atau kepercayaann dengan cara mengajarkannya, 

melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama 

dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri. 

Pasal 19

Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki  dan mengeluarkan pendapat; 

dalam ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat 

gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-

--  6160    -

keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang 

batas-batas. 

Pasal 20

(1)  Setiap orang memiliki  hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat 

tanpa kekerasan. 

(2)  Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan. 

Pasal 21

(1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya, secara 

langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.

(2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam 

jabatan pemerintahan negaranya. 

(3) Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak 

ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara 

berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, 

dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain 

yang menjamin kebebasan memberi  suara. 

Pasal 22

Setiap orang, sebagai anggota warga , berhak atas jaminan sosial dan 

berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat 

diperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui usaha-

usaha nasional maupun kerjasama internasional, dan sesuai dengan pengaturan 

serta sumber daya setiap negara. 

Pasal 23

(1)  Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih 

pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan 

menguntungkan serta berhak atas perlindungan dari pengangguran.

(2)  Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan yang sama 

untuk pekerjaan yang sama.  

(3)  Setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan 

menguntungkan, yang memberi  jaminan kehidupan yang bermartabat 

baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah 

--  6160    -

dengan perlindungan sosial lainnya. 

(4)  Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat pekerja 

untuk melindungi kepentingannya. 

Pasal 24

Setiap orang berhak atas istirahat dan liburan, termasuk pembatasan-

pembatasan jam kerja yang layak dan hari liburan berkala, dengan tetap 

menerima upah. 

Pasal 25

(1)  Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan 

dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, 

pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang 

diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita 

sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan 

lainnya yang memicu nya kekurangan nafkah, yang berada di luar 

kekuasaannya. 

(2)  Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa. 

Semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar 

perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama.

Pasal 26

(1)  Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan 

cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan 

pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan 

teknik dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan 

pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh 

semua orang, berdasarkan kepantasan. 

(2)  Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-

luasnya serta untuk mempertebal penghargaan terhadap hak asasi 

manusia dan kebebasan-kebebasan dasar. Pendidikan harus menggalakkan 

saling pengertian, toleransi dan persahabatan di antara semua bangsa, 

kelompok ras maupun agama, serta harus memajukan kegiatan PBB dalam 

memelihara perdamaian. 

--  6362    -

(3)  Orang tua memiliki  hak utama dalam memilih jenis pendidikan yang 

akan diberikan kepada anak-anak mereka. 

Pasal 27

(1)  Setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan 

warga  dengan bebas, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut 

mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan. 

(2)  Setiap orang berhak untuk memperoleh perlindungan atas keuntungan-

keuntungan moril maupun material yang diperoleh sebagai hasil karya 

ilmiah, kesusasteraan atau kesenian yang diciptakannya. 

Pasal 28

Setiap orang berhak atas suatu tatanan sosial dan internasional di mana hak-

hak dan kebebasan- kebebasan yang termaktub di dalam deklarasi ini dapat 

dilaksanakan sepenuhnya. 

Pasal 29

(1)  Setiap orang memiliki  kewajiban terhadap warga  tempat satu-

satunya di mana dia dapat mengembangkan kepribadiannya dengan bebas 

dan penuh.

(2)  Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang 

harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh 

undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan 

serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-

kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil 

dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu 

warga  yang demokratis. 

(3)  Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dengan jalan bagaimana pun 

sekali-kali tidak boleh dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan 

prinsip-prinsip PBB. 

Pasal 30

Tidak sesuatu pun di dalam deklarasi ini boleh ditafsirkan memberi  sesuatu 

negara, kelompok ataupun seseorang, hak untuk terlibat di dalam kegiatan 

apa pun, atau melakukan perbuatan yang bertujuan merusak hak-hak dan 

--  6362    -

kebebasan-kebebasan yang mana pun yang termaktub di dalam Deklarasi ini.

2. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 

(International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights)  yaitu 

kovenan kembar dari kovenan hak sipil dan politik, yang digagas dan disahkan 

oleh PBB pada waktu yang sama, yaitu tanggal 16 Desember 1966 dan berlaku 

pada 23 Maret 1976. jika  hak-hak sipil dan politik dikatakan sebagai hak-hak 

negatif (negative rights), maka hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yaitu 

hak-hak positif (positif rights), artinya negara harus aktif positif melakukan 

langkah-langkah atau tindakan agar hak-hak yang diatur dan dijamin dalam 

kovenan itu dapat terwujud. Negara dikatakan melanggar hak ekonomi, sosial, 

dan budaya jika  negara diam atau pasif dalam pemenuhan hak ekonomi, 

sosial dan budaya.

Pandangan lama menyatakan bahwa watak hukum hak ekonomi dan 

sosial tidak dapat diadili (non-justicable),  dalam arti bahwa hak-hak itu tidak dapat 

dituntut dalam sidang pengadilan dan diberlakukan oleh hakim.39 Artinya, tidak 

ada  mekanisme penegakan hukumnya. Berbeda dengan hak-hak sipil dan 

politik, sebagai hak negatif dapat dituntut di muka pengadilan. Misalnya, orang 

yang disiksa oleh aparatur negara dapat menuntut ke pengadilan. Pandangan 

ini  sudah tidak bisa dipertahankan lagi seiring dengan perkembangan 

pandangan menyusul Prinsip-Prinsip Limburg40 yang memuat sejumlah prinsip 

penegakkan hukum oleh badan peradilan dalam usaha  pemenuhan hak-hak 

39  Baca Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus (Ed.), Hak Ekonomi, Sosial, dan 

Budaya: Esai-Esai Pilihan , Elsam, Jakarta, 2001, hlm. 53.

40 Prinsip-prinisp Limburg yaitu prinsip-prinsip yang dicetuskan pada tanggal 28 

September 2011, dalam sebuah pertemuan yang dilakukan oleh Universitas Maastricht dan 

International Commission of Jurists : sekelompok ahli dalam bidang hukum internasional serta hak 

asasi manusia mengadopsi Prinsip Maastricht untuk Kewajiban Ekstrateritorial Negara di bidang Hak 

Ekonomi, Sosial dan Budaya. Para ahli datang dari beragam universitas dan organisasi yang berlokasi 

di pelbagai wilayah di dunia dan termasuk anggota dan mantan anggota badan perjanjian hak asasi 

manusia internasional, badan hak asasi manusia regional, dan mantan serta Pelapor Khusus Dewan 

Hak Asasi Manusia PBB.

--  6564    -

ekonomi, sosial dan budaya. Beberapa prinsip itu antara lain:

1. Prinsip 8, meskipun pelaksanaan sepenuhnya hak-hak yang diakui 

dalam kovenan akan dicapai secara bertahap, pelaksanaan beberapa 

hak dapat dibenarkan dengan segera, sementara hak-hak lainnya 

dapat dibenarkan setelah beberapa waktu kemudian.

2. Prinsip 13, semua badan yang memantau kovenan seharusnya 

memberi  perhatian khusus kepada prinsip-prinsip non-

diskriminasi dan persamaan di hadapan hukum pada saat menilai 

kepatuhan Negara Pihak terhadap kovenan. 

3. Prinsip 17, pada tingkat nasional, Negara Pihak seharusnya 

memakai semua sarana yang tepat, termasuk tindakan-tindakan 

legislatif, administratif, yudisial, ekonomi, sosial dan pendidikan, 

sesuai dengan sifat dari hak-hak untuk memenuhi kewajiban mereka 

berdasarkan kovenan ini. 

4. Prinsip 19, Negara Pihak seharusnya menyediakan usaha  perbaikan 

efektif yang meliputi, jika  tepat, usaha  perbaikan yudisial. 

5. Prinsip 78, dalam melaporkan langkah-langkah hukum yang diambil 

untuk memberi  pengaruh pada kovenan, Negara Pihak seharusnya 

tidak hanya menggambarkan suatu ketentuan legislatif yang relevan. 

Mereka seharusnya merinci, jika  tepat, usaha  perbaikan lewat 

pengadilan, prosedur administratif dan tindakan-tindakan lain yang 

telah diambil untuk memberlakukan hak-hak ini  dan praktek-

praktek berdasarkan usaha  perbaikan dan prosedur ini .

Melalui prinsip-prinsip ini  menjadi jelas bahwa hak ekonomi, 

sosial dan budaya yaitu hak yang bisa diperjuangkan pemenuhannya melalui 

pengadilan. Lebih-lebih bila dihubungkan dengan kewajiban positif negara untuk 

--  6564    -

menghormati,41 memenuhi42 dan melindungi43 hak ekonomi, sosial dan budaya, 

maka dengan sendirinya negara bisa dimintai pertanggungjawaban atas kewajiban 

ini 

Dengan demikian, kegagalan negara untuk memberi  pelayanan 

kesehatan dasar, menyediakan fasilitas pendidikan, pekerjaan, perumahan 

yaitu pelanggaran. Pelanggaran yang dimaksud berupa tindakan pejabat (acts 

of commision) maupun pelanggaran berupa pembiaran (acts of omission).

Pelanggaran berupa tindakan pejabat yaitu tindakan langsung yang berdampak 

pada pengurangan dan berkurangnya atau bahkan hilangnya hak.

Sementara pelanggaran yang bersifat pembiaran dapat berupa kegagalan 

untuk mengubah atau mencabut undang-undang yang jelas-jelas tidak sesuai 

dengan kewajiban terhadap kovenan; kegagalan untuk memberlakukan 

undang-undang atau melaksanakan kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk 

melaksanakan ketetapan dalam kovenan; kegagalan untuk mengatur kegiatan dari 

perorangan atau kelompok sehingga mencegah mereka agar tidak melakukan 

pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya; kegagalan 

memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara maksimum ke arah pelaksanaan 

penuh dari kovenan ini.

Cakupan hak ekonomi, sosial dan budaya yaitu: 

1. Hak atas pekerjaan;

2. Hak mendapatkan program pelatihan;

3. Hak mendapatkan kenyamanan dan kondisi kerja yang baik;

4. Hak membentuk serikat buruh;

5. Hak menikmati jaminan sosial, termask asuransi sosial;

6. Hak menikmati perlindungan pada saat dan setelah melahirkan;

41  Kewajiban negara untuk menahan diri tidak mengambil tindakan atau langkah-langkah 

yang bisa memicu  hilangnya, gagalnya atau terlanggarnya hak-hak. 

42  Kewajiban negara mengambil langkah-langkah hukum dan anggaran untuk memenuhi 

hak-hak

43  Kewajiban negara mencegah, melindungi hak-hak serta memastikan negara melakukan 

langkah-langkah hukum jika  terjadi pelanggaran hak-hak

--  6766    -

7. Hak atas standar hidup yang layak termasuk pangan, sandang, dan 

perumahan;

8. Hak terbebas dari kelaparan;

9. Hak menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tinggi;

10. Hak atas pendidikan, termasuk pendidikan dasar secara cuma-cuma;

11. Hak untuk berperan serta dalam kehidupan budaya menikmati 

manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan aplikasinya;

Pertimbangan negara kita  untuk menjadi pihak pada Kovenan Internasional 

Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dimuat dalam penjelasan Undang-Undang 

Nomor 11 Tahun 2005, yaitu:44

Bahwa negara kita  yaitu negara hukum dan sejak kelahirannya padatahun 

1945 menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sikap negara kita  ini  dapat dilihat 

dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya Deklarasi 

Universal Hak Asasi Manusia, UUD 1945 sudah memuat beberapa ketentuan 

tentang penghormatan hak asasi manusia. Hak-hak ini  antara lain:

1. Hak semua bangsa atas kemerdekaan (alinea pertama Pembukaan); 

2. Hak atas kewarganegaraan (Pasal 26); 

3. Persamaan kedudukan semua warga negara negara kita  di dalam 

hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)); 

4. Hak warga negara negara kita  atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2); 

5. Hak setiap warga negaranegara kita  atas kehidupan yang layak bagi 

kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2); 

6. Hak berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara (Pasal 2 

8); 

7. Kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-

masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya 

itu (Pasal 29 ayat (2); dan 

8. Hak setiap warga negara negara kita  atas pendidikan (Pasal 31 ayat 

(1).

44  Baca Penjelasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.

--  6766    -

Sikap negara kita  dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia 

terus berlanjut,  meskipun negara kita  mengalami perubahan susunan negara dari 

negara kesatuan menjadi negara federal (27 Desember 1949 sampai dengan 15 

Agustus 1950). Konstitusi yang berlaku pada waktu itu, yaitu Konstitusi Republik 

negara kita  Serikat (Konstitusi RIS), memuat sebagian besar pokok-pokok hak 

asasi manusia yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan 

kewajiban pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33). 

Undang-Undang Dasar Sementara Republik negara kita  (UUDS RI Tahun 

1950) yang berlaku sejak 15 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959, 

sebagaimana Konstitusi RIS, juga memuat sebagian besar pokok-pokok hak 

asasi manusia yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 

dan kewajiban pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 

33), dan bahkan sebagian sama bunyinya kata demi kata dengan ketentuan yang 

tercantum dalam Konstitusi RIS. 

Di samping komitmen nasional, pada masa berlakunya UUDS RI Tahun 

1950, negara kita  juga menegaskan komitmen internasionalnya dalam pemajuan 

dan perlindungan hak asasi manusia. ini sebagaimana ditunjukkan dengan 

keputusan pemerintah untuk tetap memberlakukan beberapa konvensi perburuhan 

yang dihasilkan oleh ILO yang dibuat sebelum Perang Dunia II dan dinyatakan 

berlaku untuk Hindia Belanda oleh Pemerintah Belanda, menjadi pihak pada 

beberapa konvensi lain yang dibuat oleh Organisasi Perburuhan Internasional 

setelah Perang Dunia II, dan mengesahkan sebuah Konvensi Hak Asasi Manusia 

yang dibuat oleh PBB, yakni Convention on the Political Rights of Women  1952 

(Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan 1952), melalui Undang-Undang 

Nomor 68 Tahun 1958. 

Dalam sejarah kehidupan bangsa negara kita , usaha  penegakan dan 

perlindungan hak asasi manusia telah mengalami pasang surut. Pada suatu 

masa, usaha  ini  berhasil diperjuangkan, tetapi pada masa lain dikalahkan 

oleh kepentingan kekuasaan. Akhirnya, disadari bahwa kehidupan berbangsa dan 

bernegara yang tidak mengindahkan penghormatan, penegakan dan perlindungan 

hak asasi manusia akan selalu menimbulkan ketidakadilan bagi warga  luas.

--  6968    -

Tidak bisa memberi  landasan yang sehat bagi pembangunan ekonomi, politik, 

sosial dan budaya untuk jangka panjang. 

Gerakan reformasi yang mencapai puncaknya pada tahun 1998, 

telah membangkitkan semangat bangsa negara kita  untuk melakukan koreksi 

terhadap sistem dan praktik-praktik masa lalu, terutama untuk menegakkan 

kembali pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Selanjutnya negara kita  

mencanangkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM) melalui 

Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional 

Hak Asasi Manusia 1998-2003 yang kemudian dilanjutkan dengan RAN HAM 

kedua, melalui Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana 

Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009 dan ratifikasi atau pengesahan 

Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment 

or Punishment,  1984 (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau 

Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat 

Manusia, 1984) pada 28 September 1998 (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 

1998; Lembaran Negara Republik negara kita  Tahun 1998 Nomor 164; Tambahan  

Lembaran Negara Republik negara kita  Nomor 3783). Selain itu, melalui Undang-

Undang Nomor 29 Tahun 1999, negara kita  juga telah meratifikasi International 

Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination   (Konvensi 

Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial). 

Pada tanggal 13 November 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 

mengambil keputusan yang sangat penting artinya bagi pemajuan, penghormatan 

dan penegakan hak asasi manusia, yaitu dengan mengesahkan Ketetapan Majelis 

Permusyawaratan Rakyat Republik negara kita  Nomor XVII/MPR/1998 tentang 

Hak Asasi Manusia, yang lampirannya memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa 

negara kita  terhadap Hak Asasi Manusia” (Lampiran angka I) dan “Piagam Hak 

Asasi Manusia” (Lampiran angka II). 

Konsideran Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 ini  menyatakan, 

antara lain: “bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan 

pengakuan, penghormatan, dan kehendak bagi pelaksanaan hak asasi manusia 

dalam menyelenggarakan kehidupan berwarga , berbangsa dan bernegara” 

--  6968    -

(huruf b) dan “bahwa bangsa negara kita  sebagai bagian warga  dunia patut 

menghormati hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak 

Asasi Manusia PBB serta instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi 

manusia” (huruf c). Selanjutnya, Ketetapan MPR ini  menyatakan bahwa 

bangsa negara kita  sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki  

tanggung jawab untuk menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 

dan berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia” 

(Lampiran IB angka 2). 

Sebagaimana diketahui bahwa  Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, 

Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Protokol Opsional pada 

Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan 

Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yaitu instrumen-

instrumen internasional utama mengenai hak asasi manusia.Intrumen itu lazim 

disebut sebagai “International Bill of Human Rights” (Prasasti Internasional 

tentang Hak Asasi Manusia), yang yaitu instrumen-instrumen internasional 

inti mengenai hak asasi manusia. 

MPR telah mengesahkan perubahan UUD 1945. Perubahan pertama 

disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 1999; perubahan kedua 

disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000; perubahan ketiga 

disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001; dan perubahan keempat 

disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002. Perubahan kedua UUD 

1945 menyempurnakan komitmen negara kita  terhadap usaha  pemajuan dan 

perlindungan hak asasi manusia dengan mengintegrasikan ketentuan-ketentuan 

penting dari instrumen-instrumen internasional mengenai hak asasi manusia, 

sebagaimana tercantum dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia. Perubahan 

ini  dipertahankan sampai dengan perubahan keempat UUD 1945. 

Sesuai dengan UUD 1945 yang mengamanatkan pemajuan dan 

perlindungan hak asasimanusia dalam kehidupan berwarga , berbangsa, 

dan bernegara serta komitmen bangsa negara kita  sebagai bagian dari warga  

internasional untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia, negara kita  

perlu mengesahkan instrumen-instrumen internasional utama mengenai hak 

--  7170    -

asasi manusia.Instrumen ini  khususnya yaitu International Covenant on 

Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak 

Ekonomi, Sosial dan Budaya) serta International Covenant on Civil and Political 

Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Dengan pemikiran 

dan pertimbangan ini , pemerintah negara kita  akhirnya mengesahkan Kovenan 

Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menjadi bagian dari 

hukum negara kita  Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, yang dimuat dalam 

Lembaran (LN) Nomor 118 dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4557. 

3. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik

Setelah Majelis Umum PBB mengeluarkan Deklarasi Universal Hak Asasi 

Manusia yang memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar, 

sejumlah negara menginginkan agar deklarasi ditindaklanjuti dalam bentuk hukum 

perjanjian internasional yang kuat. Atas dasar itu,  Majelis Umum PBB meminta 

kepada Komisi Hak Asasi Manusia PBB untuk merancang kovenan tentang hak 

sipil dan politik serta kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya.

Setelah melalui perdebatan panjang, Komisi Hak Asasi Manusia  PBB 

berhasil menyelesaikan rancangan kovenan sesuai dengan keputusan Majelis 

Umum PBB pada 1951. Setelah dilakukan pembahasan pasal demi pasal, pada 

akhirnya Majelis Umum PBB melalui Resolusi No.2200 A (XXI) mengesahkan 

Kovenan Internasional tentang Hak sipil dan Politik (International Covenant on Civil 

and Political Rights/ ICCPR)  serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, 

Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural 

Rights) pada tanggal 16 Desember 1966 dan berlaku pada 23 Maret 1976.

Kovenan Internasional tentang Hak sipil dan Politik bertujuan untuk 

mengukuhkan pokok-pokok hak asasi manusia di bidang sipil dan politik yang 

tercantum dalamDeklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sehingga menjadi 

ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan penjabarannya mencakup 

pokok-pokok lain yang terkait. Konvenan ini  terdiri dari pembukaan dan 

pasal-pasal yang mencakup 6 BAB dan 53 pasal.

--  7170    -

Hak Sipil Politik pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan 

penggunaan kewenangan oleh aparatur represif negara. Itu sebabnya hak-hak 

yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak-hak negatif (negative 

right). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan terpenuhi 

jika  peran negara terbatasi atau terlihat minus atau tidak melakukan tindakan 

interventif yang dapat memicu  hak dan kebebasan yang diatur didalam 

konvenan tidak terwujud.

Hak-hak dan kebebasan dalam kovenan ini diklasifikasikan menjadi dua, 

yaitu hak-hak non-derogable , yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh 

dikurangi pemenuhannya oleh Negara Pihak walaupun dalam keadaan darurat 

sekalipun, seperti hak untuk hidup (rights to life), hak bebas dari penyiksaan 

(right to be free from torture), hak bebas dari perbudakan (right to be free from 

slavery), hak bebas dari penahanan sebab gagal memenuhi perjanjian (utang), 

hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut, hak sebagai subyek hukum, dan 

hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan agama.

Kelompok kedua yaitu hak-hak dalam jenis derogable, yakni hak-hak 

yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara Pihak. Hak dan 

Kebebasan yang termasuk dalam jenis ini adalah: hak atas kebebasan berkumpul 

secara damai, hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi 

serikat buruh, dan hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi; 

termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberi  informasi dan segala 

macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui tulisan ataupun lisan). 

Hanya saja, penyimpangan itu hanya dapat dilakukan jika  sebanding 

dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif, yaitu demi 

menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moralitas 

umum  dan demi menghormati hak atau kebebasan orang lain.

KonvenanHak Sipil dan Politik memiliki  dua protokol tambahan, 

yaitu:Pertama, protokol tambahan untuk mekanisme komplain individu. Protokol ini 

mengakui kompetensi Komite Hak Asasi Manusia PBB untuk mempertimbangkan 

komplain dari individu atau kelompok yang menyatakan bahwa hak-hak mereka 

yang dijamin oleh kovenan dilanggar.Kedua,  protokol untuk mengatur lebih lanjut 

--  7372    -

mengenai hukuman mati. Protokol ini dibuat dengan tujuan untuk penghapusan 

hukuman mati di bawah yuridiksi hukum suatu Negara Pihak. Diadopsi dan 

dinyatakan oleh Resolusi Majelis Umum 44/128 tertanggal 15 Desember 1989.

Isi dari kovenan ini mencakup: ( 1) Hak hidup; (2) Hak bebas dari 

penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi; (3) Hak bebas dari perbudakan 

dan kerja paksa; (4) Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi; (5) Hak atas 

kebebasan bergerak dan berpindah; (6) Hak atas pengakuan dan perlakuan yang 

sama dihadapan hukum; (7) Hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama; 

(8) Hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi; (9) Hak untuk berkumpul dan 

berserikat; (10) Hak untuk turut serta dalam pemerintahan.

Dalam penjelasan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang 

Pengesahan Konvensi Hak Sipil dan Politik dijabarkan dengan terang bahwa 

pertimbangan negara kita  untuk menjadi pihak pada International Covenant on Civil 

and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) 

melalui beberapa pertimbangan yang ketat. Atas dasar itulah, negara kita  akhirnya 

mengesahkan Konvensi Hak Sipil dan Politik menjadi bagian dari hukum negara kita  

dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, yang dimuat dalam Lembaran 

Negara (LN) No. 119 dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) No. 4558.

4. Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional

Statuta Roma atau Roma Statuta of The International Criminal Court  

yaitu hasil pertemuan Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa 

(United Nations Diplomatics Conference of Plenipotentiaries on Establishment 

of an International Criminal Court)  mengenai pembentukan ICC (International 

Criminal Court). Tujuannya untuk mengadili individu-individu yang dituduh 

melakukan atau terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan 

kejahatan perang. 

Dalam Mukadimah Statuta Roma dinyatakan bahwa semua orang 

dipersatukan oleh ikatan bersama, kebudayaan mereka yang bertaut kembali 

dalam suatu warisan bersama, dan diprihatinkan bahwa mosaik yang rapuh ini 

dapat hancur setiap saat. Dalam abad ini, berjuta-juta anak, perempuan, dan 

--  7372    -

laki-laki telah menjadi korban kekejaman yang sangat mengguncang nurani 

kemanusiaan. Kejahatan yang sangat keji ini  mengancam perdamaian, 

keamanan dan kesejahteraan dunia.Kejahatan paling serius yang menjadi 

perhatian warga  internasional secara keseluruhan tidak boleh dibiarkan.

Kejahatan yang demikian harus dihukum dan bahwa penuntutan mereka secara 

efektif harus dijamin dengan mengambil langkah-langkah di tingkat nasional dan 

dengan memajukan kerja sama internasional; bertekad untuk memutuskan rantai 

kekebalan hukum (impunity) bagi para pelaku kejahatan ini dan dengan demikian 

memberi sumbangan kepada dicegahnya kejahatan ini .

Kewajiban setiap negara untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya 

terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas kejahatan internasional; 

menegaskan kembali tujuan dan prinsip-prinsip yang tertera dalam Piagam PBB, 

dan pada khususnya bahwa semua negara harus menghindarkan diri dari ancaman 

atau penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik 

suatu negara lain, atau dengan suatu cara lain yang tidak sesuai dengan tujuan 

PBB. Terkait dengan ini , tidak ada satu ketentuanpun dalam statuta 

yang dianggap sebagai memberi wewenang kepada suatu Negara Pihak untuk 

campur tangan dalam suatu sengketa bersenjata yang yaitu urusan dalam 

negeri suatu negara.45

Untuk tujuan ini dan demi kepentingan generasi sekarang dan yang akan 

datang, untuk membentuk suatu Mahkamah Pidana Internasional permanen 

dalam hubungan dengan sistem PBB, dengan yurisdiksi atas kejahatan paling 

serius yang menjadi perhatian warga  internasional secara keseluruhan; 

dan Mahkamah Pidana Internasional yang dibentuk di bawah statuta ini akan 

yaitu pelengkap dari jurisdiksi pidana nasional.

Mahkamah ini yaitu suatu lembaga permanen dan memiliki  

kekuasaan untuk melaksanakan yurisdiksinya atas orang-orang yang melakukan 

kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional, sebagaimana 

45  Ini salah satu kekhawatiran negara kita  sehingga belum juga mengesahkan Statuta Roma 

menjadi bagian dari hukum negara kita , meskipun beberapa substansinya telah diadobsi kedalam UU 

No. 26 Tahun 2000.

--  7574    -

dicantumkan dalam statuta, sekaligus menjadi pelengkap terhadap jurisdiksi 

kejahatan nasional. 

Kedudukan mahkamah berada di Den Haag (The Hague), tetapi 

mahkamah dapat bersidang tempat lain, jika  dianggap perlu Mahkamah 

dapat menjalankan fungsi dan kekuasaannya, sebagaimana ditetapkan dalam 

statuta, atas wilayah suatu Negara Pihak46 dan dengan perjanjian khusus, atas 

wilayah suatu negara.47 Kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi mahkamah 

yaitu: (a) kejahatan genosida;48 (b) kejahatan terhadap kemanusiaan;49 (c) 

46  Pasal 3 ayat (3): Mahkamah dapat bersidang di suatu tempat lain, jika  dianggap 

diperlukan, sebagaimana ditetapkan dalam statuta ini.

47  Pasal 4 ayat (2): Mahkamah dapat menjalankan fungsi dan kekuasaannya, sebagaimana 

ditetapkan dalam Statuta, atas wilayah suatu Negara Pihak dan, dengan perjanjian khusus, atas 

wilayah suatu negara.

48  Pasal 6: Setiap perbuatan berikut ini yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, 

seluruhnya atau untuk sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan, seperti misalnya: 

(a) Membunuh anggota kelompok ini ; (b) Menimbulkan luka fisik atau mental yang serius 

terhadap para anggota kelompok ini ; (c) Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas 

kelompok ini  yang diperhitungkan akan memicu  kehancuran fisik secara keseluruhan atau 

untuk sebagian; (d) Memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam 

kelompok ini ; (e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok 

lain.

49  Pasal 7: “kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti salah satu dari perbuatan berikut 

ini jika  dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada 

suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu: (a) Pembunuhan; (b) 

Pemusnahan; (c) Perbudakan; (d) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk; (e) Pemenjaraan atau 

perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional; 

(f) Penyiksaan; (g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, 

pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat; (h) Penganiayaan 

terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, 

etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara 

universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan 

setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam yurisdiksi 

mahkamah; (i) Penghilangan paksa; (j) Kejahatan apartheid; (k) Perbuatan tak manusiawi lain dengan 

sifat sama yang secara sengaja memicu  penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan 

atau mental atau kesehatan fisik.

--  7574    -

kejahatan perang;50 (d) kejahatan agresi51.

5. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman 

yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman 

yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat (Convention against 

Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) , 

yang selanjutnya disebut “CAT”,  telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB 

dalam Resolusinya No. 39/46 tanggal 10 Desember 1984. Konvensi itu mulai 

diberlakukan pada tanggal 26 Juni 1987. Kelahiran konvensitidak lepas dari 

Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia  dan Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan 

di dalam Kovenan Hak Sipil Politik inilah diatur tentang manusia bebas dari 

penyiksaan (Pasal 7). Dalam kovenan itu dengan jelas disebut, “tidak seorangpun 

boleh dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman yang keji, tidak 

manusiawi atau merendahkan martabatnya, khususnya tidak seorangpun, tanpa 

persetujuannya secara sukarela dapat dijadikan eksperimen medis atau ilmiah.” 

Pasal itulah yang kemudian diperluas menjadi konvensi khusus yang 

mengatur masalah anti penyiksaan yang diadopsi oleh Sidang Majelis Umum 

PBB melalui Resolusi 39/46 pada 10 Desember 1984 dan mulai berlaku pada 

26 Juni 1987. Kovensi ini mengatur lebih lanjut mengenai apa yang ada  

dalam Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik. Konvensi ini mewajibkan negara 

untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-

langkah efektif lainnya guna: 

50  Dalam Statuta Roma, perbuatan yang dikualifikasi sebagai kejahatan perang dibadi 

menjadi empat kelompok: (1) pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa berupa perbuatan yang 

ditujukan terhadap orang dan/atau benda yang dilindungi oleh konvensi; (b) pelanggaran serius lainnya 

terhadap hukum dan kebiasaan konflik bersenjata; (c) pelanggaran terhadap Pasal 2 Konvensi Jenewa 

dalam hal non international armed conflict; dan (d) pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan 

kebiasaan yang berlaku dalam non international armed conflict. Selanjutnya baca Pasal 8.

51  Statuta Roma tidak mendefenisikan pengertian agresi sebab kejahatan ini sebab agresi 

juga menjadi bagian dari kewenangan dewan keamanan PBB sehingga defensi dan batasan bisa 

berbeda antara ICC dan DK PBB.

--  7776    -

1. Mencegah tindak penyiksaan, pengusiran, pengembalian (refouler), 

atau pengekstradisian seseorang ke negara lain jika  ada  

alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang ini  akan 

berada dalam keadaan bahaya (sebab menjadi sasaran penyiksaan).

2. Menjamin agar setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya telah 

disiksa dalam suatu wilayah kewenangan hukum memiliki  hak 

untuk mengadu, memastikan agar kasusnya diperiksa dengan segera 

oleh pihak-pihak yang berwenang secara tidak memihak.

3. Menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksinya dilindungi 

dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat dari 

pengaduan atau kesaksian yang mereka berikan.

4. Menjamin korban memperoleh ganti rugi serta (hak untuk 

mendapatkan) kompensasi yang adil dan layak. Konvensi ini dalam 

pelaksanaannya diawasi oleh Komite Menentang Penyiksaan (CAT), 

yang dibentuk berdasarkan aturan yang ada  didalamnya.

Meskipun CAT sudah berlaku sejak 1987, praktik penyiksaan --atau 

perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan 

martabat-- masih banyak terjadi.  Pengamatan menunjukkan bahwa praktik 

penyiksaan terjadi, terutama, di tempat-tempat di mana orang dirampas 

kebebasannya (sebab diduga atau dinyatakan melakukan pelanggaran hukum).

Dengan kata lain, perlakuan itu terjadi di tempat-tempat penahanan dan tempat-

tempat penghukuman atau pemenjaraan. 

Konvensi ini memuat 33 pasal. Secara umum mengatur pelarangan 

penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang 

kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan 

oleh atau atas hasutan dari atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat 

publik (public official) dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Adapun 

pelarangan penyiksaan yang diatur dalam konvensi ini tidak mencakup rasa 

sakit atau penderitaan yang timbul, melekat, atau diakibatkan oleh suatu sanksi 

hukum yang berlaku. 

--  7776    -

Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, 

hukum, dan langkah efektif lainnya guna mencegah tindak penyiksaan di dalam 

wilayah yurisdiksinya. Tidak ada  pengecualian apapun, baik dalam keadaan 

perang, ketidakstabilan politik dalam negeri, maupun keadaan darurat lainnya, yang 

dapat dijadikan sebagai pembenaran atas tindak penyiksaan. Dalam kaitan ini, 

perintah dari atasan atau penguasa (public authority) juga tidak dapat digunakan 

sebagai pembenaran atas suatu penyiksaan.  

Negara Pihak diwajibkan mengatur semua tindak penyiksaan sebagai 

tindak pidana dalam peraturan perundang-undangannya. Hal yang sama berlaku 

pula bagi siapa saja yang melakukan percobaan, membantu, atau turut serta 

melakukan tindak penyiksaan. Negara Pihak juga wajib mengatur bahwa pelaku 

tindak pidana ini  dapat dijatuhi hukuman yang setimpal dengan sifat tindak 

pidananya. 

Konvensi juga mewajibkan Negara Pihak memasukkan tindak penyiksaan 

sebagai tindak pidana yang dapat diekstradisikan. Konvensi selanjutnya melarang 

Negara Pihak untuk mengusir, mengembalikan, atau mengekstradisikan seseorang 

ke negara lain, jika  ada  alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa 

orang itu rnenjadi sasaran penyiksaan. Negara Pihak lebih lanjut harus melakukan 

penuntutan terhadap seseorang yang melakukan tindak penyiksaanjika  tidak 

mengekstradiksikannya. 

Negara Pihak lebih lanjut wajib saling membantu dalam proses peradilan 

atas tindak penyiksaan dan menjamin bahwa pendidikan dan penyuluhan 

mengenai larangan terhadap penyiksaan sepenuhnya dimasukkan ke dalam 

program pelatihan bagi para aparat penegak hukum, sipil, atau militer, petugas 

kesehatan, pejabat publik dan orang-orang lain yang terlibat dalam proses 

penahanan, permintaan keterangan (interogasi), atau perlakuan terhadap setiap 

pribadi individu yang ditangkap, ditahan, atau dipenjarakan. 

Negara Pihak juga wajib mengatur dalam sistem hukumnya bahwa 

korban suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti rugi dan memiliki  hak 

untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk 

mendapatkan rehabilitasi. Ditegaskan pula tentang tidak ada pengecualian apapun 

--  7978    -

atas hak bebas dari penyiksaan, sekalipun dalam keadaan perang atau ancaman 

perang ketidakstabilan politik dalam negeri ataupun keadaan darurat, yang dapat 

digunakan sebagai pembenaran dilakukannya penyiksaan.

negara kita  sendiri telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang 

Nomor 5 Tahun 1998 pada 28 September 1998 dengan pertimbangan antara 

lain sebagai berikut:52

1. Bahwa Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa 

negara kita  dan UUD 1945 sebagai sumber dan landasan hukum 

nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti 

tercermin dalam sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Asas ini 

yaitu amanat konstitusional bahwa bangsa negara kita  bertekad 

untuk mencegah dan melarang segala bentuk penyiksaan, sesuai 

dengan ini konvensi ini. 

2. Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945, 

negara kita  pada dasarnya telah menetapkan peraturan perundang-

undangan yang langsung mengatur pencegahan dan pelarangan, 

segala bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi dan merendahkan 

martabat manusia. Namun sebab perundang-undangan itu belum 

sepenuhnya sesuai dengan konvensi, masih perlu disempurnakan. 

3. Penyempurnaan perundang-undangan nasional ini , akan 

meningkatkan perlindungan hukum secara lebih efektif, sehingga 

akan lebih menjamin hak-hak setiap warga negara bebas dari 

penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak 

manusiawi atau merendahkan martabat manusia, demi tercapainya 

suatu warga  negara kita  yang tertib, teratur, dan berbudaya. 

4. Pengesahan dan pelaksanaan isi konvensi secara bertanggungjawab 

menunjukkan kesungguhan negara kita  dalam usaha  pemajuan 

dan perlindungan hak asasimanusia,  khususnya hak bebas dari 

penyiksaan. Hak ini juga akan lebih meningkatkan citra positif 

52  Baca Penjelasan Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Anti 

Penyiksaan.

--  7978    -

negara kita  di dunia internasional dan memantapkan kepercayaan 

warga  internasional terhadap negara kita 

6. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusiamemproklamirkan bahwa semua 

umat manusia setara. Ia dilahirkan dengan kebebasan dan kesederajatan dalam 

martabat dan hak-haknya. Semua orang berhak akan semua hak-hak dan 

kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalamnyatanpa perbedaan apapun 

juga;khususnya ras, warna kulit atau pun asal usul kebangsaan. Dengan 

menimbang bahwa semua umat manusia yaitu sederajat di hadapan hukum dan 

berhak atas perlindungan hukum yang sama terhadap segala bentuk diskriminasi 

dan segala bentuk hasutan yang menimbulkan diskriminasi.

Keberadaan hambatan-hambatan ras yaitu suatu hal yang mengotori 

peri kehidupan ideal manusia. Ada kekhawatiran bahwa diskriminasi rasial nyata 

masih ada di beberapa kawasan dunia, serta ada pula kebijakan-kebijakan 

pemerintah yang berdasarkan kepada supremasi rasial atau kebencian, seperti 

apartheid, pengucilan atau pemisahan. Menyadari hal yang sangat krusial ini , 

PBB memutuskan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan. 

Tujuannya untuk menghapus diskriminasi rasial dengan segala bentuk 

dan manifestasinya, serta mencegah dan memerangi doktrin-doktrin dan praktek-

praktek rasis guna memajukan saling pengertian antar ras serta membangun 

warga  internasional yang bebas dari segala bentuk pengucilan rasial 

dan diskriminasi rasial. Dengan pandangan dan keyakinan akan pentingnya 

melindungi manusia dimanapun dari kejahatan rasialis, PBB menetapkan Konvensi 

Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial pada 4 Januari 

1949, dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: 

Pertama, memperhatikan bahwa Piagam PBB menguatkan lagi keyakinan 

atas hak-hak azasi manusia, atas martabat dan nilai pribadi manusia, dan atas 

persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. 

Kedua, memperhatikan bahwa Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 

menegaskan azas mengenai tidak dapat diterimanya diskriminasi dan menyatakan 

--  8180    -

bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak, 

dan bahwa tiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dimuat di 

dalamnya, tanpa perbedaan apapun, termasuk perbedaan berdasarkan jenis 

kelamin. 

Ketiga, memperhatikan bahwa negara-negara peserta pada perjanjian-

perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia berkewajiban untuk 

menjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua 

hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik. 

Keempat, mempertimbangkan konvensi-konvensi internasional yang 

ditanda tangani di bawah naungan PBB dan badan-badan khususnya, yang 

menganjurkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. 

Kelima, memperhatikan juga resolusi-resolusi, deklarasi-deklarasi dan 

rekomendasi-rekomendasi yang disetujui oleh PBB dan badan-badan khususnya 

yang menganjurkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, namun 

demikian sangat memprihatinkan bahwa meskipun adanya bermacam-macarn 

dokumen ini , namun diskriminasi yang luas terhadap perempuan masih 

tetap ada.

Keenam, mengingat bahwa diskriminasi terhadap perempuan yaitu 

melanggar azas persamaan hak dan rasa hormat terhadap martabat manusia, 

yaitu halangan bagi partisipasi perempuan, atas dasar persamaan dengan 

kaum laki-laki dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya negara-negara 

mereka. ini menghambat perkembangan kemakmuran warga  dan 

menambah sukarnya perkembangan sepenuhnya dari potensi kaum perempuan 

dalam pengabdiannya terhadap negara-negara mereka dan terhadap umat 

manusia.

Ketujuh , memprihatinkan bahwa dalam situasi-situasi kemiskinan, 

perempuan yang paling sedikit mendapat kesempatan untuk memperoleh 

makanan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, pelatihan, maupun untuk 

memperoleh kesempatan kerja dan lain-lain kebutuhan.

Kedelapan, yakin bahwa dengan terbentuknya tata ekonomi internasional 

yang baru, berdasarkan pemerataan dan keadilan, akan memberi sumbangan 

--  8180    -

yang berarti terhadap peningkatan persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Kesembilan, menekankan bahwa penghapusan apartheid, penghapusan 

semua bentuk rasisme, diskriminasi rasial, kolonialisme, neo-kolonialisme, agresi, 

pendudukan dan dominasi serta campur tangan asing dalam urusan dalam negeri 

negara yaitu penting, untuk dapat menikmati sepenuhnya hak-hak laki-laki dan 

perempuan. 

Sepuluh, menegaskan bahwa memperkuat perdamaian dan keamanan 

internasional, pengendoran ketegangan internasional, kerjasama timbal-balik di 

antara semua negara, terlepas dari sistem sosial dan ekonomi mereka, pelucutan 

senjata secara umum dan menyeluruh, dan khususnya pelucutan senjata nuklir 

di bawah pengawasan internasional yang ketat dan efektif, penegasan azas-

azas keadilan, persamaan dan manfaat bersama dalam hubungan antar negara, 

realisasi hak bangsa-bangsa yang berada di bawah dominasi asing, dominasi 

kolonial pendudukan asing untuk menentukan nasib sendiri dan kemerdekaannya, 

maupun menghormati kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah, akan 

meningkatkan kemajuan sosial dan pembangunan, yang dampaknya akan 

menunjang tercapainya persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan, 

Sebelas, yakin bahwa pembangunan menyeluruh dan selengkapnya suatu 

negara, kesejahteraan dunia dan usaha perdamaian menghendaki partisipasi 

maksimal kaum perempuan atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki di 

segala lapangan, 

Dua belas, mengingatkan kembali sumbangan besar kaum perempuan 

terhadap kesejahteraan keluarga dan pembangunan warga  yang selama ini 

belum sepenuhnya diakui, arti sosial darl kehamilan, dan peranan kedua orang 

tua dalam keluarga dalam membesarkan anak-anak, dan menyadari bahwa 

peranan perempuan dalam memperoleh keturunan hendaknya jangan menjadi 

dasar diskriminasi, akan tetapi bahwa membesarkan anak-anak menghendaki 

pembagian tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dan warga  

sebagai keseluruhan. 

Tiga belas, menyadari bahwa diperlukan perubahan pada peranan 

tradisional kaum laki-laki maupun peranan kaum perempuan dalam warga  

--  8382    -

dan dalam keluarga, untuk mencapai persamaan sepenuhnya antara laki-laki 

dan perempuan.

Empat belas, bertekad untuk melaksanakan azas-azas yang tercantum 

dalam Deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, dan 

untuk itu membuat peraturan yang diperlukan untuk menghapus diskriminasi 

seperti itu dalam segala bentuk dan perwujudannya. 

Konvensi ini pada pada pokoknya memuat kesepakatan internasional 

tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial yang terdiri atas 

pembukaan dengan 12 paragraf dan batang tubuh dengan 3 bab, yang terdiri 

atas 25 pasal.53 Pembukaan meletakkan dasar-dasar dan tujuan konvensi. 

Tujuan konvensi yaitu untuk mengambil semua langkah yang diperlukan 

guna penghapusan dengan segera diskriminasi rasial dalam segala bentuk dan 

manifestasinya, serta mencegah dan memerangi doktrin-doktrin dan praktek-

praktek rasis guna memajukan saling pengertian antar ras serta membangun 

warga  internasional yang bebas dari segala bentuk pengucilan dan 

diskriminasi rasial.

Bab I  memuat ketentuan-ketentuan pokok yang mengatur 

pengertiandiskriminasi rasial dan kewajiban Negara Pihak untuk mengutuk 

diskriminasi rasial serta mengambil semua langkah yang sesuai guna menyusun 

secepatmungkin kebijakan penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial 

danmemajukan pengertian antar ras.

Bab II mengatur ketentuan mengenai Komite tentang Penghapusan 

DiskriminasiRasial (Committee on the Elimination of Racial Discrimination)  dan 

tugas serta kewenangannya dalam melakukan pemantauan atas pelaksanaan 

konvensi.

Bab III yaitu ketentuan penutup yang memuat hal-hal yang berkaitan 

dengan mulai berlakunya konvensi, perubahan, pensyaratan (reservation),ratifikasi, 

dan aksesi, pengunduran diri serta mekanisme penyelesaian sengketa antar 

Negara Pihak.

53  Baca Penjelasan Undang-Undang No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi 

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.

--  8382    -

Substansi pokok konvensi mengatur larangan untuk menerapkan 

diskriminasi rasial yang diwujudkan dengan pembedaan, pengucilan, pembatasan, 

atau preferensi yang didasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, asal-usul 

kebangsaan atau etnis, kepada siapa pun dengan dalih apa pun, baik terhadap 

warga negara maupun bukan warga negara.54 Negara-negara yang telah 

meratifikasi konvensi ini  memiliki kewajiban-kewajiban berikut:55

Pertama, bahwa Negara Pihak wajib untuk melaksanakan kebijakan anti 

diskriminasi rasial ini, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam 

prakteknya, dengan melarang dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi 

rasial dan menjamin hak-hak setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, 

keturunan, asal usul kebangsaan atau etnis, dan kesederajatan di muka hukum, 

terutama kesempatan untuk memakai hak-haknya.

Kedua, Negara Pihak harus mengutuk pemisahan (segregasi) rasial dan 

apartheid, dan bertindak untuk mencegah, melarang, dan menghapus seluruh 

praktek diskriminasi rasial di wilayah hukumnya.

Ketiga, Negara Pihak wajib menjadikan segala bentuk penghasutan, 

kekerasan, provokasi, pengorganisasian, dan penyebarluasan yang didasarkan 

pada diskriminasi rasial sebagai tindak pidana.

Keempat, Negara Pihak juga harus menjamin perlindungan dan perbaikan 

yang efektif bagi setiap orang yang berada di bawah yurisdiksinya terhadap 

setiap tindakan diskriminasi rasial, serta hak atas ganti rugi yang memadai 

dan memuaskan atas segala bentuk kerugian yang diderita akibat perlakuan 

diskriminasi.

Kelima, Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang segera 

dan efektif, khususnya di bidang pengajaran, pendidikan, kebudayaan, dan 

penyebarluasan nilai-nilai anti diskriminasi rasial dengan tujuan untuk memerangi 

berbagai prasangka yang mengarah kepada diskriminasi rasial.

Bagi pemerintah dan bangsa negara kita , diskriminasi rasial pada dasarnya 

yaitu suatu penolakan terhadap hak asasi manusiadan kebebasan mendasar. 

54  Ibid.

55 Ibid.

--  8584    -

Tidak jarang, diskriminasi rasial terjadi sebab dukungan pemerintah.Hal itu bisa 

dilakukan melalui berbagai kebijakan diskriminasi rasial dalam bentuk apartheid, 

pemisahan dan pengucilan atau dukungan sebagian warga  dalam bentuk 

penyebaran doktrin-doktrin supremasi ras, warna kulit, keturunan, asal usul 

kebangsaan atau etnis. Oleh sebab diskriminasi rasial menjadi musuh baik bagi 

warga  luas maupun warga  internasional, maka harus dihapuskan dari 

peradaban umat manusia.

Keinginan warga  internasional untuk menghapuskan diskriminasi 

rasial ini  dijabarkan dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang 

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial ( United Nations Declaration on 

the Elimination of All Forms of Racial Discrimination ) yang diproklamirkan dalam 

Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 20 November 

1963, melalui Resolusi 1904 (XVIII).Deklarasi ini  memuat penolakan 

terhadap diskriminasi rasial, penghentian segala bentuk diskriminasi rasial yang 

dilakukan oleh pemerintah dan sebagian warga , penghentian propaganda 

supremasi ras atau warna kulit tertentu dan langkah-langkah yang harus diambil 

oleh negara-negara dalam penghapusan diskriminasi rasial.

Namun demikian, sebab deklarasi itu bersifat tidak mengikat secara 

hukum, maka Komisi Hak Asasi Manusia PBB telah menyusun rancangan 

konvensi internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 

yang selanjutnya diajukan kepada Majelis Umum PBB untuk disahkan.Pada 

tanggal 21 Desember 1965, Majelis Umum PBB memberi  kekuatan hukum 

yang mengikat semangat penghapusan diskriminasi rasial dengan menerima 

Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.

Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993 sepakat antara lain menghimbau 

negara-negara anggota PBB untuk secepatnya mengesahkan perangkat-perangkat 

internasional yang sangat penting di bidang hak asasi manusia, termasuk 

Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi 

Rasial. Sesuai dengan isi Deklarasi Wina 1993, Pemerintah negara kita  telah 

menyusun Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia negara kita  1998-2003 

yang berisi kegiatan-kegiatan yang diprioritaskan dalam rangka memajukan dan 

--  8584    -

melindungi hak asasi manusia. Prioritas kegiatan tahun pertama Rencana Aksi 

ini  mencakup pengesahan tiga perangkat internasional di bidang hak asasi 

manusia, termasuk Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk 

Diskriminasi Rasial.

Selanjutnya berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 

Nomor VII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan didorong oleh rasa 

tanggung jawab untuk memajukan dan menegakkan hak asasi manusia dan 

pembangunan hukum di negara kita , pemerintah memutuskan untuk mengajukan 

Rancangan Undang-undang tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang 

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Konvensi ini telah diterima oleh 

warga  internasional sebagai salah satu perangkat internasional di bidang 

hak asasi manusia yang sangat penting. Saat ini, konvensi telah disahkan oleh 

151 (seratus lima puluh satu) negara.

Sesuai dengan ketentuankonvensi, negara kita  menyatakan pensyaratan 

(reservation) terhadap Pasal 22, yang mengatur usaha  penyelesaian sengketa 

mengenai penafsiran dan pelaksanaan konvensi melalui Mahkamah Internasional 

(International Court of Justice).  Sikap ini diambil antara lain atas pertimbangan 

bahwa negara kita  tidak mengakui yurisdiksi Mahkamah Internasional yang 

mengikat secara otomatis (compulsory jurisdiction ). Pensyaratan ini  bersifat 

prosedural sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku.

Alasan negara kita  menjadi Negara Pihak dalam konvensi itu yaitu sebab 

adanya Pancasila sebagai dasar pemikiran.Selain itu, Pancasila dianggap sebagai 

falsafah dan pandangan hidup bangsa negara kita  dan UUD 1945 sebagai hukum 

dasar yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, seperti tercermin 

dalam Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Asas ini yaitu amanat 

konstitusional bahwa bangsa negara kita  bertekad untuk menghapuskan segala 

bentuk diskriminasi rasial.

Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945, 

negara kita  pada dasarnya telah menetapkan peraturan perundang-undangan 

yang mengandung ketentuan tentang penghapusan bentuk-bentuk diskriminasi 

rasial. Hanya saja ini  masih belum memadai untuk mencegah, 

--  8786    -

mengatasi, dan menghilangkan praktek-praktek diskriminasi rasial, sehingga 

perlu disempurnakan.Penyempurnaan peraturan perundang-undangan nasional 

ini  dapat meningkatkan perlindungan hukum yang lebih efektif, sehingga 

dapat lebih menjamin hak-hak setiap warga negara untuk bebas dari segala 

bentukdiskriminasi rasial.

Pengesahan dan pelaksanaan isi konvensi secara bertanggung jawab 

menunjukkan kesungguhan negara kita  dalam usaha  memajukan dan melindungi 

hak asasi manusia, khususnya hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi 

rasial. ini juga dapat meningkatkan citra positif negara kita  di dunia internasional 

dan memantapkan kepercayaan warga  internasional terhadap negara kita . 

Atas dasar itulah, negara kita  mengesahkan konvensi ini menjadi bagian dari hukum 

negara kita  dengan Undang-Undang No. 29 Tahun 1999, Lembaran Negara (LN) 

No. 83 dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) No. 3852.

7.  Kon vensi International Labour Organization (ILO) Mengenai 

Diskriminasi Dalam Pekerjaan Dan Jabatan

Konferensi Ketenagakerjaan Internasional dalam sidangnya yang ke-42 

pada tanggal 25 Juni 1958 di Jenewa, telah menyetujui International Labour 

Organization (ILO) Convention No. 111 Concerning Discrimination in Respect 

of Employment and Occupation (Konvensi ILO mengenai Diskriminasi dalam 

Pekerjaan dan Jabatan). Konvensi ini mewajibkan setiap negara anggota ILO 

yang telah meratifikasi untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dalam 

pekerjaan dan jabatan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, 

pandangan politik, kebangsaan atau asal usul keturunan.

Konvensi ini didasari kenyataan adanya praktek diskriminasi mengenai 

prinsip pengupahan antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan, serta perlakuan 

dan kesempatan dalam pekerjaan dan jabatan, sehingga pada Konvensi ILO No. 

100 Tahun 1951 ditegaskan mengenai kesamaan remunerasi dan pengupahan 

bagi pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. Konvensi itu juga meminta semua 

negara untuk menjamin pelaksanaan prinsip pengupahan yang sama bagi pekerja 

laki-laki dan pekerja perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya. 

--  8786    -

Negara anggota ILO yang mengesahkan konvensi ini wajib melarang 

setiap bentuk diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan, termasuk dalam 

memperoleh pelatihan dan keterampilan yang didasarkan atas ras, warna kulit, 

jenis kelamin, agama, pandangan politik, kebangsaan atau asal usul keturunan, 

serta wajib mengambil langkah-langkah kerja sama dalam peningkatan pentaatan 

pelaksanaannya, peraturan perundang-undangan, administrasi, penyesuaian 

kebijaksanaan, pengawasan, pendidikan dan pelatihan.

negara kita  telah mengesahkan Konvensi No. 111 ini dengan Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 1999. Dasar pengesahan konvensi yaitu:56

1. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa negara kita  

dan UUD 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional, 

menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagaimana 

tercermin dalam Sila-sila Pancasila, khususnya Sila Kemanusiaan 

yang Adil dan Beradab. Untuk itu bangsa negara kita  bertekad untuk 

mencegah, melarang dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi 

dalam pekerjaan dan jabatan sesuai dengan ketentuan konvensi ini. 

2. Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan UUD 1945, 

negara kita  telah menetapkan peraturan perundang-undangan yang 

mengatur pencegahan dan pelarangan segala bentuk diskriminasi 

dalam pekerjaan dan jabatan. 

3. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik negara kita  melalui 

Ketetapan Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, 

menugasi Presiden Republik negara kita  dan DPR untuk meratifikasi 

berbagai instrumen PBB yang berkaitan dengan hak asasi manusia. 

negara kita  telah meratifikasi Konvensi PBB pada tanggal 18 Desember 

1979 mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap 

Wanita dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Disamping itu, 

Presiden Republik negara kita  telah ikut menandatangani Keputusan 

Pertemuan Tingkat Tinggi mengenai Pembangunan Sosial di 

Kopenhagen Tahun 1995. Keputusan pertemuan ini  antara 

56  Baca Konsideran Undang-UndangNomor 21 Tahun 1999. 

--  8988    -

lain mendorong anggota PBB meratifikasi tujuh Konvensi ILO yang 

memuat hak-hak dasar pekerja, termasuk Konvensi Nomor 111 

Tahun 1958 mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan. 

4. ILO dalam Sidang Umumnya yang ke-86 di Jenewa bulan Juni 

1998 telah menyepakati deklarasi setiap bentuk diskriminasi dalam 

pekerjaan dan jabatan. 

5. Pengesahan konvensi ini menunjukkan kesungguhan negara kita  

dalam memajukan dan melindungi hak-hak dasar pekerja khususnya 

hak mendapatkan persamaan kesempatan dan perlakuan dalam 

pekerjaan dan jabatan. ini akan lebih meningkatkan citra positif 

negara kita  dan memantapkan kepercayaan warga  internasional.

8. Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 87 Tahun 

1948

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yaitu badan PBB yang 

bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh 

pekerjaan yang layak dan produktif dalam kondisi yang merdeka, setara, aman, 

bermartabat. Tujuan utama ILO ialah mempromosikan hak-hak kerja, memperluas 

kesempatan kerja yang layak, meningkatkan perlindungan sosial, dan memperkuat 

dialog dalam menangani berbagai masalah terkait dengan dunia kerja.

Kebebasan berserikat yaitu perubahan yang paling signifikan dalam 

tonggak sejarah pergerakkan serikat pekerja di negara kita  melalui ratifikasi