merendahkan martabat”.
102. Hukum pidana Indonesia juga mengatur tindak pidana penyiksaan yang berupa serangan
yang sistematis atau meluas yang ditujukan pada penduduk sipil adalah kejahatan
terhadap kemanusiaan (Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000). Terhadap kejahatan ini, negara
berkewajiban melakukan investigasi, penuntutan dan penghukuman pada para pelaku
serta mengatur bahwa tindak pidana ini tidak berlaku masa daluarsa (statute of
limitation). Para korban berhak atas keadilan dan reparasi, termasuk hak atas restitusi dari
pelaku dan kompensasi dari negara serta bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial.
103. Hukum acara pidana Indonesia mengatur larangan segala bentuk tekanan dan ancaman
kepada para tersangka atau terdakwa dalam memberikan keterangan baik dalam masa
tahap penyidikan atau pemeriksaan di pengadilan. Tersangka atau terdakwa berhak untuk
mendapatkan perlakuan yang manusiawi dan menghormati martabat mereka. Segala
bentuk kesaksian atau pengakuan yang diperoleh dari tekanan, paksaan atau ancaman
tidak dapat diakui sebagai alat bukti yang sah (inadmissible). Selain itu para terdakwa
dan tersangka juga berhak atas penasihat hukum yang dapat mendampingi terdakwa atau
tersangka dalam proses pemeriksaan untuk menghindarkan terjadinya penyiksaan.
104. Hukum Indonesia memiliki pengaturan khusus untuk melindungi anak dari penyiksaan
dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Dalam UU Perlindungan Anak dan Sistem
Perlindungan Anak, bagi Anak yang berhadapan dengan hukum harus diperlakukan
dengan manusiawi, dibebaskan dari penyiksaan, perbuatan kejam dan tidak manusiawi
dan merendahkan martabat serta anak sebagai pelaku tidak dapat dijatuhi dengan
hukuman mati.
105. Dalam proses peradilan pidana, institusi-institusi penegak hukum juga telah membentuk
berbagai norma dan standar serta regulasi guna menjamin memastikan proses penegakan
hukum dalam kewenangannya tetap menjamin penghormatan dan perlindungan hak
34 Definisi Penyiksaan sebagaimana dalam Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan telah dimasukkan dalam RUU KUHP.
untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi dan merendahkan martabat.
106. Institusi Kepolisian telah membentuk berbagai regulasi internal diantaranya Peraturan
Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang pemakaian Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian,
Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi dan Standar Hak Asasi
Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia, dan Peraturan
Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Peraturan
Kapolri No. 8 Tahun 2009 misalnya mengatur tentang berbagai pedoman dasar
implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam setiap penyelenggaraan tugas
Polri (Pasal 2 ayat 1 huruf a) dan mengakui jaminan bahwa setiap orang berhak untuk
bebas dari tindakan penyiksaan (Pasal 5- Pasal 11).
107. Institusi Kejaksaan membentuk Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per–
014/A/Ja/11/2012 Tentang Kode Perilaku Jaksa, yang mengatur kewajiban Jaksa kepada
Profesi Jaksa diantaranya memastikan terdakwa, saksi dan korban mendapatkan
informasi dan jaminan atas haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan hak
asasi manusia (Pasal 5 huruf g). Jaksa dilarang menggunakan kewenangannya untuk
melakukan penekanan secara fisik dan/atau psikis dan menggunakan barang bukti dan
alat bukti yang patut diduga telah direkayasa atau diubah atau dipercaya telah didapatkan
melalui cara-cara yang melanggar hukum (Pasal 1 ayat 1 huruf g dan h).
108. Perkembangan perundang-undangan Indonesia yang semakin memperkuat pengakuan
dan perlindungan HAM dan hak-hak asasi merupakan hak konstitusional secara umum
juga secara normatif meningkatkan pengakuan atas hak untuk bebas dari penyiksaan dan
perlakuan sewenang-wenang lainnya. tempat-tempat penahanan, misalnya rumah
tahanan dan penjara, telah membentuk standar perlindungan hak-hak para tahanan dan
narapidana serta orang-orang yang terampas kebebasannya.
109. Institusi pertahanan negara juga telah membentuk regulasi terkait penyelenggaran
pertahanan yang terkait dengan perlindungan hak asasi manusia melalui Peraturan
Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 09 Tahun 2013 Tentang Penerapan
Hukum Humaniter Dan Hukum Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Pertahanan
Negara. Peraturan ini mengatur bahwa setiap personel Kementerian Pertahanan dan TNI
wajib menaati ketentuan Hukum Humaniter dan HAM sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan (Pasal 4 ayat 1). Peraturan ini juga memberikan dasar
hukum-hukum humaniter dan hukum HAM yang menjadi rujukan, termasuk diantaranya
adalah KIHSP dan Konvensi Menentang Penyiksaan (Pasal 5 dan Pasal 6).
110. Namun demikian, berbagai laporan menunjukkan masih terjadinya berbagai tindak
penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya di Indonesia. Berbagai kasus
penyiksaan yang terjadi mengindikasikan adanya masalah yang bersifat sistemik, yang
mencakupi kelemahan-kelemahan dalam sistem hukum dan perundang-undangan
Indonesia (legal gaps) diantaranya pengaturan tentang prinsip-prinsip peradilan yang adil
dan tidak memihak (fair trial) dan pengaturan yang ketat tentang dapat diterimanya alat
31
bukti khususnya terkait kesaksian yang diperoleh dari tekanan, paksaan atau ancaman,
penerapan hukum yang tidak dilaksanakan secara konsisten dan budaya kekerasan
penegak hukum misalnya dalam usaha untuk mendapatkan pengakuan yang belum
sepenuhnya hilang.
111. Dalam hal masih terdapat kelemahan pengaturan, penting untuk memastikan penguatan
hak-hak para tahanan, tersangka, terdakwa atau orang-orang dalam penahanan sebagai
jaminan perlindungan (safeguard) mencegah terjadinya penyiksaan dan perlakuan
sewenang-wenang lainnya. Dalam proses peradilan, jaminan perlindungan ini
diantaranya adalah akses pada advokat (penasihat hukum), hak atas informasi, akses pada
hakim, akses adanya mekanisme pengaduan (complaint procedure) dan akses pada
pemeriksaan medis yang independen. Jaminan perlindungan dapat dibentuk dan
diterapkan di masing-masing institusi, misalnya di tempat-tempat penahanan di
kepolisian, yang harus juga memiliki safeguard untuk mencegah terjadinya
penyiksaan.
F. PERSOALAN HAM TERKAIT PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN SEWENANG-
WENANG LAINNYA
I. PROBLEM INVESTIGASI - PENYIKSAAN
112. Polisi dan lembaga kepolisian memiliki peran penting dalam melindungi hak asasi
manusia. Melalui penegakan hukum, polisi bertanggung jawab memastikan keselamatan
dan keamanan tiap individu. Polisi juga berkewajiban melindungi hak asasi manusia dari
pelanggaran oleh individu lain. Petugas polisi bertanggung jawab pada penegakan hukum
dan perlindungan hak-hak semua anggota masyarakat.
113. Di Indonesia, peran strategis kepolisian dalam memelihara keamanan dan ketertiban,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat juga
ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Undang-undang yang merupakan salah satu tonggak reformasi
kepolisian,35 memberi kewenangan yang sangat besar pada Kepolisian, seperti (a)
menghentikan orang untuk memeriksa bukti identitas, (b) menahan orang, (c) melakukan
pencarian, (d) memonitor demonstrasi, (e) menangkap, menginterogasi orang, (f)
melakukan investigasi, dan (g) menggunakan kekuatan minimum dalam kondisi tertentu.
114. Pelaksanaan tugas ini harus dilakukan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM
dan menerapkan prinsip-prinsip HAM sebagaimana telah ditetapkan dalam berbagai
instrumen hukum yang mengatur tentang hak asasi manusia seperti UUD 1945, UU
HAM, UU tentang Kepolisian Negara RI, dan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009
tentang Pedoman Implementasi HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian RI
maupun Peraturan Kapolri No. 1/2009 tentang pemakaian Kekuatan dalam Tindakan
Kepolisian.
115. Bagi petugas kepolisian di manapun ‘mendapatkan pengakuan’ adalah elemen paling
penting dalam menjalankan tugas menginvestigasi kejahatan. Seringkali petugas polisi
melakukan apapun termasuk penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya
terhadap orang-orang yang ditangkap untuk mendapatkan pengakuan. Tetapi justru ini
menjebak, yakni merebaknya penyalahgunaan wewenang di kepolisian dan menjadikan
lembaga kepolisian dalam sorotan perhatian publik misalnya karena tingkat pengaduan
pelanggaran hak asasi manusia sangat tinggi/tertinggi.
116. PBB telah mengembangkan prinsip-prinsip yang memberi panduan bagi kepolisian di
mana saja dalam melakukan investigasi. Di dalamnya terkandung prinsip-prinsip untuk
interogasi dalam rangka investigasi kasus pidana. Prinsip-prinsip ini dikenal dengan
sebutan Mendez’ Principles, tepatnya ‘Principles on Effective Interviewing for
Investigations and Information Gathering.
117. Di dalam Prinsip-prinsip Melakukan Interogasi dalam rangka Investigasi dan
Pengumpulan informasi terkandung 6 prinsip yaitu:
(1) Wawancara yang efektif ditentukan oleh penerapan ilmu pengetahuan, hukum dan
etika
(2) Dalam prakteknya, wawancara yang efektif merupakan proses yang menyeluruh
untuk mengumpulkan informasi yang akurat dan dapat dipercaya sementara
menjalankan perlindungan hukum
(3) wawancara yang efektif mensyaratkan identifikasi dan mengatasi kebutuhan-
kebutuhan dari yang diwawancarai dalam situasi-situasi yang rentan
(4) wawancara yang efektif merupakan usaha profesional yang mensyaratkan pelatihan
khusus
(5) wawancara yang efektif mensyaratkan Lembaga yang transparan dan akuntabel
(6) implementasi wawancara yang efektif mensyaratkan langkah-langkah nasional yang
kuat.
118. Pihak Polri dan aparat penegak hukum lain dapat menggunakan prinsip-prinsip ini dan
mengimplementasikan Standar Operasional Prosedur (SOP) pemakaian kekuatan untuk
meningkatkan kualitas profesionalisme dan akuntabilitas kepolisian, dengan pelatihan
yang dilakukan secara berulang dan pengawasan melekat pimpinan pada bawahannya.
119. Dalam melakukan interogasi perekaman secara audio-video36 harus menjadi standar dan
prosedur interogasi yang berpotensi terjadinya penyiksaan. Misalnya dalam hal polisi
melakukan perusakan, penghapusan atau manipulasi atas rekaman maka yang
bersangkutan harus mempertanggungjawabkan perbuatan. Rekaman harus disimpan
dalam tempat yang aman hingga untuk jangka waktu yang cukup hingga digunakan
sebagai bukti.
120. Perlu perhatian khusus terhadap persoalan investigasi terhadap kasus penyiksaan
perempuan dan anak. Idealnya, tim investigasi harus terdiri dari spesialis laki-laki
maupun perempuan, sehingga memungkinkan orang yang mengatakan mereka telah
disiksa untuk memilih jenis kelamin penyelidik dan, jika perlu, seorang penerjemah. Hal
ini penting terutama ketika seorang wanita ditahan dalam situasi di mana tindakan
pemerkosaan diketahui telah terjadi, meskipun korban belum membuat keluhan.37 Jika
petugas yang memeriksa memiliki jenis kelamin yang sama dengan korban, proses
wawancara mungkin lebih mudah dan dapat menyerupai situasi penyiksaan sebenarnya
daripada jika jenis kelaminnya berbeda. Sebagai contoh, seorang perempuan yang
diperkosa atau disiksa di penjara oleh seorang penjaga laki-laki cenderung mengalami
lebih banyak kesusahan, ketidakpercayaan, dan ketakutan ketika berhadapan dengan
pewawancara laki-laki daripada dengan pewawancara perempuan.38
II. PENYIKSAAN DALAM PEMENJARAAN
Hukuman Mati-Penyiksaan
121. Irisan ‘hukuman mati’ dan ‘hak untuk bebas dari penyiksaan dan perbuatan/hukuman
yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat’ berkaitan pada 2 aspek.
Pertama, berkaitan dengan hukuman mati sebagai bentuk dari tindak penyiksaan; dan
kedua berkaitan dengan fenomena ‘deret tunggu’ (death row phenomenon).
122. Selama hukuman mati masih ada, maka tidak pernah tercapai pemenuhan ‘hak atas hidup’
maupun ‘hak untuk bebas dari penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan
merendahkan’. Kecenderungan dunia internasional mengarah pada penghapusan
hukuman mati. Arah ini sudah terlihat sejak dalam perumusan Kovenan Hak-hak
Sipil dan Politik (KIHSP)39. Protokol Opsional ke 2 dari KIHSP yang telah diratifikasi
oleh 89 negara juga bertujuan menghapus hukuman mati. Perjanjian tambahan yang
dikeluarkan pada 15/12/1989 ini mengikat negara-negara anggotanya untuk menghapus
hukuman mati dalam yurisdiksi negara yang bersangkutan.40 Pandangan dan arah yang
sama juga terjadi di tingkat regional (Eropa dan benua Amerika), sebagaimana pada
Protokol ke 6 dan ke 13 dari Konvensi HAM Eropa (ECHR) dan Protokol dari Konvensi
HAM Amerika (ACHR).
123. Sumber dari sikap masyarakat internasional untuk lebih memuliakan kehidupan daripada
hukuman mati adalah ‘hak hidup’. Hak atas hidup merupakan hak asasi yang paling dasar
dan paling utama yang dimiliki oleh setiap orang. Dari sini semua hak asasi bersemi. Jika
hak ini dilanggar maka tidak lagi dapat ditarik mundur/diperbaiki. Oleh karena itu, hak
atas hidup adalah salah satu hak yang tidak dapat diderogasi, bahkan dalam keadaan
darurat publik yang sangat fatal sekalipun. Hak hidup yang sama telah dijamin dalam
Pasal 28 a dan 28i UUD 1945, Pasal 9 UU HAM, Pasal 6 UU mengenai No. 12/2005
tentang Ratifikasi KIHSP. Secara internasional hak ini ditentukan dalam pasal 3
DUHAM, dan Pasal 16 KIHSP.
124. Jumlah negara di seluruh dunia yang sepenuhnya menghapuskan hukuman mati hingga
Mei 2022 telah mencapai 105 negara. Indonesia meski bersikap abstain dalam Resolusi-
resolusi Majelis Umum PBB perihal moratorium universal hukuman mati dan eksekusi
mati, sejak 2017 secara de facto tidak melakukan eksekusi hukuman mati. Dalam
Rancangan KUHP narapidana mati dapat memperoleh masa percobaan selama 10 tahun,
dimana nanti akan dievaluasi apakah hukumannya bisa diubah menjadi hukuman seumur
hidup.
125. Dengan sikap masyarakat internasional untuk menghapus hukuman mati, berbagai
lembaga hak asasi memberi tafsir atas apakah metode-metode eksekusi masuk dalam
kategori hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan dan metode yang
paling tidak mengakibatkan penderitaan. Tafsir berbagai pengadilan dan lembaga hak
asasi manusia berpendapat bahwa eksekusi hukuman dengan melempar batu hingga mati
dan dengan gas asphyxiation41 sebagai metode hukuman mati yang tergolong
penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Melempar batu
hingga mati memiliki intensi untuk memperpanjang rasa sakit dan penderitaan sehingga
melanggar larangan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan.
126. KIHSP dan Konvensi Hak-hak Anak melarang hukuman mati terhadap mereka yang
berusia di bawah 18 tahun, saat kejahatan itu dilakukan. KIHSP juga melarang
melakukan hukuman mati terhadap penyandang disabilitas mental dan perempuan hamil.
127. Hukum internasional menganggap hukuman mati terhadap anak di bawah usia 18 tahun,
penyandang disabilitas mental, perempuan hamil, dan mereka yang dihukum setelah
melalui proses peradilan yang tidak adil merupakan pelanggaran atas larangan
memperlakukan atau menghukum secara kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
martabat. Dalam hal ini apapun metodenya maupun kondisi di seputar peristiwa
bersangkutan (mens rea, perilaku bersalah, dan situasi petugas) sejauh dikenakan pada
kelompok ini merupakan perbuatan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan
martabat.
128. Tidak jarang orang yang telah dijatuhi hukuman mati harus menunggu lama sebelum
mereka tahu apakah hukumannya akan dilakukan atau tidak. Jika penundaan ini
merupakan konsekuensi dari prosedur banding atau permintaan pengampunan, itu tidak
bisa dihindari. Namun jika ketidakpastian berlangsung beberapa tahun (hal yang tidak
biasa), efek psikologis mungkin dapat disamakan dengan penderitaan mental yang
parah.43 Dalam situasi ini , penghormatan terhadap martabat manusia dan integritas
fisik dan mental dipertanyakan.
Fenomena Deret Tunggu
129. Hingga Oktober 2021 jumlah terpidana mati di Indonesia adalah 401 orang dengan
komposisi perempuan 11 orang dan laki-laki 390 orang44. Sebagai negara yang
mendasarkan pada ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’ dan mengakui ‘hak hidup’ dan
‘hak untuk bebas dari penyiksaan’ dalam konstitusi dan berbagai peraturan turunannya,
maka praktek hukuman mati merupakan sesuatu yang harus dihentikan secara de facto
maupun legal. Dari jumlah ini terdapat narapidana yang telah menjadi tahanan /
menghuni lapas sejak tahun 2001. Dengan kata lain selama 20 tahun yang bersangkutan
menjadi terpidana mati. Selama ‘menunggu eksekusi’ terpidana mati ini berada
dalam posisi yang sangat rentan, yang kemudian menciptakan fenomena deret tunggu
(death row phenomenon). Fenomena demikian terjadi di banyak negara.
130. Pelapor Khusus PBB untuk penyiksaan menjelaskan bahwa fenomena death row / deret
tunggu eksekusi mati merupakan kombinasi dari berbagai keadaan yang menghasilkan
kemunduran fisik dan trauma mental pada tahanan (narapidana yang dihukum hukuman
mati). Yang dimaksud dengan berbagai keadaan itu adalah lamanya waktu yang
dijalankan dalam deret tunggu eksekusi mati yang mengakibatkan kecemasan yang
tinggi, penerapan ruang isolasi bagi terpidana mati ini , ukuran ruang tahanan dengan
pencahayaan dan ventilasi yang sangat kurang, ketersediaan makanan, kesempatan
berolahraga yang minim, dan pembatasan dikunjungi dan berkorespondensi dengan pihak
luar.45
131. Fenomena deret tunggu mencakup lamanya waktu yang dijalankan narapidana mati
dalam deret tunggu dan kondisi tahanan yang sangat buruk yang dialami oleh narapidana
ini 46. Misalnya, pengurungan berkepanjangan di ruang isolasi disertai dengan
kesadaran akan mati dan tidak jelas kapan eksekusi berlangsung (berada dalam deret
tunggu) menciptakan resiko kerusakan mental dan fisik yang tak dapat diperbaiki.47
132. Kondisi penjara yang sangat buruk yang dialami oleh narapidana mati yang berada dalam
deret tunggu itu sendiri dapat dikategorikan sebagai perbuatan / penghukuman yang
kejam.48 Dalam kasus Soering vs. United Kingdom, 1993 Pengadilan HAM Eropa
pemerintah Inggris (Britania Raya) dianggap telah melanggar larangan pasal 3 dari
Konvensi HAM Eropa yang mengatur mengenai penyiksaan dan perlakuan sewenang-
wenang lainnya karena yang bersangkutan akan menghadapi fenomena death row.
Sementara, kombinasi perampasan hak-hak dasar atas mereka yang berada dalam deret
tunggu eksekusi mati merupakan perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat,
yang melanggar pasal 7 KIHSP dan Konvensi Menentang Penyiksaan.
133. Dengan adanya fenomena deret tunggu tidak berarti mendorong percepatan eksekusi
mati. Dalam pasal 6 (4) KIHSP49 narapidana mati berhak memperoleh komutasi yaitu
perubahan hukuman dari hukuman mati menjadi hukuman penjara seumur hidup.
Berkaitan dengan hal ini, (a) Negara wajib meninjau kembali secara reguler status
hukuman narapidana mati dengan standar hukum yang tinggi disertai ketersediaan
bantuan medis dan psikologis bagi narapidana. (b) Negara wajib terus memantau kondisi
kesehatan fisik dan mental terpidana mati. (c) Negara wajib memberi akses pemantauan
oleh lembaga independen atas tempat-tempat penahanan guna menghilangkan peluang
terjadinya penyiksaan bagi terpidana mati dan (d) Negara harus berusaha melakukan
pengurangan jumlah deret tunggu antara lain dengan komutasi hukuman mati, grasi, dan
menghapus hukuman mati.
134. Kondisi penjara yang keras, seperti penerapan ruang isolasi secara semena-mena, ukuran
ruang dengan pencahayaan dan ventilasi yang sangat kurang; ketersedian makanan, air
minum dan sanitasi yang sangat buruk; pembatasan kesempatan berolahraga dan
pembatasan dikunjungi dan berkorespondensi dengan pihak luar mudah terjadi pada
tempat-tempat tahanan (lapas atau rutan maupun ruang tahanan di kepolisian) yang
dihuni oleh tahanan yang melebihi kapasitas yang tersedia; biasa disebut dengan
overcrowding.
Overcrowding
135. Overcrowding adalah kondisi tempat tahanan yang jumlah penghuninya
(tahanan/narapidana/ warga binaan) melebihi kapasitas yang tersedia. Kondisi demikian
mengakibatkan kondisi penahanan di bawah standar perlindungan hak asasi, tidak
manusiawi serta merendahkan martabat manusia. Diantaranya adalah perampasan
berbagai hak-hak dasar seperti hak atas kesehatan, sanitasi dan air bersih. Kamar tahanan
yang tidak sepadan dengan pencahayaan dan ventilasi yang sangat kurang, kesempatan
berolahraga, dikunjungi dan berkorespondensi dengan keluarga atau pengacara dan hak-
hak khusus bagi tahanan perempuan dan anak. Kondisi ini juga berpotensi mudah
terjadinya konflik antar penghuni, kerusuhan, dan perkelahian
136. Dampaknya bagi anak didik lembaga pemasyarakatan (andikpas) antara lain
penggabungan andikpas dengan tahanan dewasa. Bagi tahanan perempuan dampaknya
dapat berupa ibu yang terpaksa melahirkan di lapas, kekerasan seksual dan eksploitasi
ekonomi terhadap para tahanan perempuan. Kondisi demikian yang disertai berbagai
pelanggaran HAM lain yang terjadi di dalamnya merupakan perbuatan kejam, tidak
manusiawi dan merendahkan martabat manusia dan berpotensi terjadinya penyiksaan
137. Seperti disebutkan di muka (para 10), per tanggal 27 Juni 2022 secara keseluruhan
Lapas/Rutan yang berada di bawah kendali Ditjen Pemasyarakat kelebihan penghuni
hingga 107%, dan di sejumlah lapas/rutan kepadatan penghuni itu bisa mencapai 250%
hingga 600%. Sebagai contoh, Lapas Kelas IIB Bireun (657%), Lapas Kelas IIA
Banjarmasin (575%), Lapas Perempuan Kelas II Mataram (545%), Lapas Narkotika
Kelas IIA Jakarta (103%), Rutan Kelas I Cipinang (405%), Lapas Pemuda Kelas IIA
Tangerang (244%) dan Lapas Kelas I Cipingan (345%). Overcrowding juga terjadi di
sejumlah ruang tahanan Kepolisian dimana tingkat kepadatan hunian tingkat kepadatan
hunian yang berlebihan bisa mencapai 14%-112%. Polda-polda yang ruang tahanannya
melebihi kapasitas yang tersedia wilayah Polda Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera
Selatan, Metro Jaya, Jawa Timur, Bali, Kalsel, Banten dan Gorontalo.50 Salah satu sebab
persoalan ini adalah penahanan berkepanjangan menunggu pelimpahan berkas. Jika
dihitung kontribusinya pada persoalan overcrowding, mencapai 85% dari kasus.
138. Problem overcrowding juga merupakan akibat dari sistem penghukuman pidana yang
berlaku, yaitu kecenderungan untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran hukum / hak
asasi manusia dengan penghukuman pidana penjara Sebagai akibatnya banyak tindak
pidana, termasuk tindak pidana tanpa korban yang berujung pada pemenjaran.
139. Pemerintah telah mengeluarkan Permen Hukum dan HAM mengenai grand design
overcrowding, yang dikeluarkan pada 2017. Persoalan overcrowding diatasi dengan
mengendalikan penghukuman pidana penjara secara sistemik dengan pemakaian
penghukuman alternatif dari hukuman penjara, serta penerapan asimilasi dan rehabilitasi
terhadap narapidana. Dalam konteks pengadilan, hakim dapat menjatuhkan hukuman
percobaan, atau hukuman kerja sosial/pengawasan kepada narapidana/warga binaan.
140. Disamping hukuman alternatif solusi lain adalah dekriminalisasi, yakni sejumlah pasal
dihilangkan sifat pidananya. Hal ini bisa dilakukan dengan sama sekali meniadakan pasal
pidana atau dengan memperkuat aspek keperdataan, dimana orang yang merasa dirugikan
tetap dapat menggugat dalam konteks perdata. Misalnya ‘pencemaran nama baik’. orang
yang merasa dicemarkan nama baiknya dapat menggugat atas kerugian yang ditimbulkan,
bukan atas perbuatan.
141. Dalam usaha pencegahan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya di
berbagai tempat tahanan yang terjadi karena overcrowding ini, Negara harus memastikan
adanya pemantauan secara rutin dan mendadak atas tempat-tempat penahanan yang
dilakukan oleh lembaga independen. Mekanisme pencegahan penyiksaan ini
mengikuti prinsip-prinsip internasional sebagaimana diatur dalam Protokol Opsional
Konvensi Menentang Penyiksaan (OPCAT).
pemakaian Kekuatan Secara Eksesif
142. pemakaian kekuatan secara eksesif dalam tugas-tugas kepolisian dan dalam mengatasi
kerusuhan atau demonstrasi merupakan pelanggaran atas larangan menghukum atau
melakukan perbuatan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
Dalam hal ini kepolisian berwenang menggunakan kekuatan fisik dan senjata untuk
maksud-maksud yang sah secara hukum (lawful purposes). Wewenang ini hanya dapat
dilakukan jika sesuai dengan prinsip legalitas, benar-benar dibutuhkan (prinsip
necessity), tidak boleh eksesif (prinsip proporsionalitas). Disamping ketiga prinsip ini,
pemakaian kekuatan harus mendasarkan pada prinsip pencegahan (precaution) yakni
aparat penegak hukum sebelumnya telah melakukan berbagai usaha terjadinya
pemakaian kekuatan secara berlebihan. Prinsip proporsionalitas menjadi pertimbangan
pertama untuk menentukan pemakaian kekuatan ini berlebihan atau tidak.
143. pemakaian less lethal weapons (senjata yang kurang mematikan) sekalipun, harus
terkendali. Misalnya gas air mata kalau ditembakkan ke ruangan dimana orang-orang
yang tidak bisa keluar menghirup udara bersih, apalagi bagi yang memiliki penyakit
seperti asma.
Perempuan dalam Tahanan
144. Ketika perempuan ditahan, sangat penting agar standar internasional dijalankan yang
diterapkan dengan kepekaan terhadap kebutuhan khusus perempuan.51 Perempuan di
penjara menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dalam mengakses layanan yang
sensitif gender di berbagai aspek, seperti perawatan kesehatan, kesempatan memperoleh
pendidikan, layanan rehabilitasi dan hak berkunjung. Selain itu, perempuan juga
menghadapi penghinaan seksual misalnya ketika penjaga laki-laki menonton tahanan
perempuan di saat-saat intim seperti berpakaian atau mandi.
145. Risiko kekerasan seksual dan bentuk-bentuk lain dapat muncul selama pemindahan ke
kantor polisi, pengadilan atau penjara, dan khususnya di mana tahanan laki-laki dan
perempuan tidak dipisahkan atau ketika staf laki-laki mengangkut tahanan perempuan.
Memisahkan tahanan laki dan perempuan dan memastikan bahwa tahanan perempuan
diawasi oleh penjaga perempuan dan petugas penjara adalah perlindungan utama
terhadap terjadinya pelecehan. The Nelson Mandela Rules mengamanatkan bahwa staf
laki tidak boleh memasuki tempat penahanan perempuan kecuali mereka didampingi
oleh petugas perempuan.
146. pemakaian pengait atau rantai dan borgol pada perempuan hamil selama persalinan dan
secara segera setelah melahirkan mewakili kegagalan sistem penjara untuk
menyesuaikan protokol dengan situasi khusus yang dihadapi perempuan, yang mana
benar-benar dilarang.53 Bila dilakukan sebagai bentuk hukuman atau paksaan, untuk
alasan apa pun berdasar diskriminasi atau untuk menyebabkan rasa sakit yang parah,
termasuk dengan menimbulkan ancaman serius terhadap kesehatan, perlakuan ini
dapat dianggap sebagai penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya.
147. pemakaian sel isolasi harus diatur secara ketat. Sel isolasi harus digunakan hanya dalam
kasus luar biasa sebagai usaha terakhir, untuk waktu sesingkat mungkin, dan hanya
dengan izin dari pejabat yang berwenang. Sel isolasi dapat menjadi penyiksaan dan
perlakuan sewenang-wenang lainnya bila digunakan sebagai hukuman, selama
penahanan pra-persidangan, untuk waktu yang lama (lebih dari 15 hari berturut-turut)
atau tanpa batas waktu.54 Sel isolasi dalam jangka waktu berapa pun tidak boleh
dikenakan pada anak-anak, atau orang-orang dengan cacat mental atau fisik, atau pada
perempuan hamil dan menyusui, atau ibu dengan anak kecil.55 pemakaian nya sebagai
tindakan pembalasan terhadap perempuan yang mengeluhkan pelecehan seksual atau
perlakuan berbahaya lainnya harus dilarang.
148. Penggeledahan tubuh, khususnya penggeledahan telanjang dapat dianggap sebagai
perlakuan buruk jika dilakukan dengan cara yang tidak proporsional, memalukan atau
diskriminatif. Praktek-praktek sentuhan dan penanganan yang mengarah pada pelecehan
seksual selama penggeledahan seperti pada pemeriksaan vagina rutin terhadap wanita
yang didakwa dengan pelanggaran narkoba, memiliki dampak yang tidak proporsional
pada perempuan, terutama bila dilakukan oleh penjaga laki-laki. Tidak adanya perawatan
kesehatan khusus gender dalam penahanan dapat mengakibatkan perlakuan buruk atau,
bila dipaksakan dengan sengaja dan untuk tujuan yang dilarang, merupakan penyiksaan.
Kegagalan negara untuk memastikan kebersihan dan sanitasi yang memadai dan untuk
menyediakan fasilitas dan bahan yang sesuai juga dapat mengakibatkan perlakuan buruk
atau bahkan penyiksaan.56 Penting untuk terlibat dalam pengembangan kapasitas dan
pelatihan yang memadai bagi staf pusat penahanan dan personel perawatan kesehatan
dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan menangani kebutuhan perawatan kesehatan
dan kebersihan khusus perempuan.
Anak dalam Tahanan
149. Karena kerentanan khusus terhadap anak-anak, ambang batas rasa sakit yang lebih
rendah untuk anak-anak harus dipertimbangkan sejauh menyangkut definisi hukum
penyiksaan. Konvensi Hak Anak menetapkan bahwa perampasan kebebasan anak harus
digunakan hanya sebagai usaha terakhir dan untuk jangka waktu tersingkat dan anak-
anak memiliki hak untuk menantang legalitas perampasan kebebasan sebelum
pengadilan atau otoritas lain yang kompeten, independen dan tidak memihak.57 Selain
itu, anak-anak yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi dan
menghormati martabat yang melekat pada diri mereka, dan dengan cara yang
memperhatikan kebutuhan mereka sebagai anak-anak.58
150. Pelapor Khusus tentang penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya
menyatakan bahwa penjatuhan hukuman seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan
atau hukuman yang terlalu lama memiliki dampak yang tidak proporsional pada anak-
anak dan menyebabkan kerugian fisik dan psikologis yang mengarah pada hukuman yang
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.59
151. Setiap penahanan anak tanpa dasar hukum, setiap penundaan dalam penyerahan anak
yang ditahan kepada pejabat pengadilan yang berwenang, setiap penundaan pembebasan
anak, atau penahanan tanpa pengadilan, merugikan kesejahteraan fisik dan psikologis
seorang anak dan menghadapkan anak-anak pada risiko tinggi penyiksaan dan perlakuan
sewenang-wenang lainnya. Dalam hal ini, harus selalu ada catatan sistematis dalam buku
catatan anak-anak yang masuk ke fasilitas pra-penahanan atau penahanan.
152. Langkah-langkah untuk memastikan pengurangan penahanan dan penahanan pra-
ajudikasi ke durasi minimum yang diperlukan sangatlah mendesak karena saat itulah
situasi di mana anak-anak paling berisiko menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan
sewenang-wenang lainnya, termasuk selama interogasi, untuk mendapatkan pengakuan
atau sebagai tindakan disipliner. Persyaratan hukum yang memastikan bahwa anak
dibawa ke pengadilan sebelum berakhirnya 24 jam,60 harus diterapkan secara ketat,
sehingga legalitas penahanan dapat dikonfirmasi dan opsi untuk pembebasan atau
pengalihan dapat dipertimbangkan. Pemberitahuan kepada keluarga dan akses ke
pengacara dan profesional kesehatan pada tahap awal penahanan dapat membantu
mengurangi risiko menjadi sasaran penyiksaan. Perlu dibatasi hingga 30 hari lamanya
seorang anak ditahan tanpa tuntutan resmi yang diajukan dan perlu dipastikan bahwa
keputusan akhir atas dakwaan ini dibuat dalam waktu enam bulan sejak tanggal
awal penahanan, jika tidak anak ini harus dibebaskan.
153. Kehadiran pengacara adalah wajib bagi anak-anak yang ditahan yang diwawancarai
sebagai tersangka.62 Anak-anak tidak dapat melepaskan hak mereka untuk mendapatkan
pengacara. Dalam kasus anak-anak, proses wawancara harus tunduk pada prosedur
khusus dan dilakukan oleh pewawancara yang terlatih khusus. Kehadiran pengacara
selama penahanan, khususnya selama interogasi, memainkan peran pencegahan untuk
potensi penyalahgunaan oleh petugas penegak hukum, mencegah terjadinya penyiksaan.
Larangan untuk mempertimbangkan pengakuan yang diperoleh melalui penyiksaan
selama proses peradilan juga merupakan perlindungan mendasar terhadap pemakaian
penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya terhadap anak-anak untuk
mendapatkan pengakuan.
154. Tindakan disipliner yang berupa penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat, harus dilarang keras, termasuk hukuman fisik,
penempatan di tempat gelap sel, kurungan tertutup atau isolasi, atau hukuman lain yang
dapat membahayakan kesehatan fisik atau mental atau kesejahteraan anak.63 Karena
seorang anak memiliki kerentanan yang meningkat terhadap situasi di mana kontak
dengan dunia luar terputus, kurungan isolasi dalam jangka waktu berapa pun memiliki
efek berbahaya pada kesehatan fisik dan mentalnya dan dapat menjadi perlakuan yang
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, atau bahkan penyiksaan.64
Kurangnya ruang dan kondisi tidur yang memadai, termasuk ventilasi, nutrisi yang tepat
dalam kualitas dan kuantitas, kebersihan, akses ke fasilitas sanitasi termasuk di malam
hari, serta akses ke perawatan kesehatan, cahaya alami, waktu di luar sel, atau informasi
layanan dapat menjadi bentuk perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan.
Hak anak atas standar hidup yang layak menetapkan bahwa setiap anak berhak atas
standar hidup yang memadai untuk perkembangannya, fisik, mental, spiritual, moral dan
sosial.
155. Karena kerentanan khusus mereka, anak-anak penyandang disabilitas dalam tahanan
lebih rentan untuk menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya.
Negara harus mengambil semua tindakan legislatif, administratif, yudisial atau tindakan
lain yang efektif untuk mencegah penyandang disabilitas, atas dasar kesetaraan dengan
orang lain, agar tidak menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang
lainnya. Kepentingan terbaik anak dan hak untuk mengekspresikan pandangan mereka
juga berlaku.65
156. Perhatian Pelapor Khusus tertuju pada fakta bahwa di beberapa negara anak di bawah
umur (kadang-kadang usia yang sangat muda) yang disangkakan atau dihukum karena
kejahatan biasa ditahan bersama dengan orang dewasa. Anak-anak tidak boleh ditahan
bersama orang dewasa karena hal ini meningkatkan risiko anak untuk menjadi sasaran
penyiksaan,66 pelecehan seksual atau kekerasan dari orang dewasa, serta meningkatkan
trauma dan melukai diri sendiri. Pelapor Khusus melawan penyiksaan dan perlakuan
sewenang-wenang lainnya juga menunjukkan bahwa menahan anak-anak dan orang
dewasa bersama-sama pasti akan mengakibatkan konsekuensi negatif bagi anak-anak,
yang lima kali lebih mungkin menjadi sasaran insiden kekerasan seksual dan juga lebih
mungkin untuk menyaksikan atau mengalami bentuk kekerasan lain, termasuk cedera
fisik oleh anggota staf fasilitas.67
157. Peraturan Bangkok (The Bangkok Rules) mensyaratkan bahwa tanggung jawab orang tua
dan pengasuhan anak diperhitungkan dalam proses alokasi dan perencanaan hukuman.68
Kepentingan terbaik anak, termasuk kebutuhan untuk mempertahankan kontak langsung
dengan ibu, harus dipertimbangkan secara hati-hati dan independen oleh para profesional
yang kompeten dan diperhitungkan dalam semua keputusan yang berkaitan dengan
penahanan, termasuk penahanan pra-persidangan, penghukuman dan penempatan anak.69
Anak-anak yang tinggal di penjara bersama ibu mereka mungkin berisiko lebih tinggi
mengalami kekerasan, pelecehan dan kondisi kurungan yang sama dengan penyiksaan
dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Dalam konteks ini, pemenjaraan ibu hamil dan
perempuan dengan anak kecil harus dikurangi seminimal mungkin.
III. PENYIKSAAN DI LUAR PEMENJARAAN
Penyiksaan – Pemasungan dan Panti Sosial
158. Kaitan ‘penyiksaan’ dan panti sosial terletak pada praktik-praktik penyiksaan dan
perlakuan sewenang-wenang lainnya dari pengelola panti terhadap penghuni; khususnya
terhadap Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Termasuk di dalamnya praktek
pemasungan yang terjadi di dalam panti maupun di luar panti.
159. Pemasungan adalah tindakan berupa pengikatan dan atau pengekangan mekanis/fisik
lainnya dan atau penelantaran dan atau pengisolasian sehingga merampas kebebasan dan
hak asasi seseorang, terutama hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. 1.
Biasanya, kedua kaki diletakan dalam lobang kayu yang sangat berat sehingga tidak
dapat bergerak. Untuk makan dan minum terpasung tergantung pada ‘kebaikan’ orang
lain, tidak dapat membersihkan dirinya sendiri dan yang sudah terpasung terus menerus
tersisih dari teman-temannya.
160. Pemasungan merupakan sebuah metode penyiksaan yang sudah lama dipraktekan. Pada
abad pertengahan di Eropa pasung diterapkan untuk menciptakan penghinaan publik
yang menorehkan penjahat sebagai paria-sosial.70Biasanya kedua kaki diletakan dalam
lobang kayu yang sangat berat sehingga terpasung tidak dapat banyak bergerak. Pada
zaman silam, praktek pasung dilakukan juga dalam rangka perbudakan yang
menempatkan terpasung seperti barang dagangan.
161. Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan pada 1998. Menurut
Konvensi ini pemasungan merupakan perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan
martabat manusia, dan pemasungan terhadap ODGJ dapat dianggap sebagai tindak
penyiksaan (sebagaimana Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan) karena tindakan itu
‘mengakibatkan penderitaan yang berat dengan tujuan mendiskriminasi yang dilakukan
atas pengetahuan aparat negara’. Sebagai salah satu negara yang menyatakan
komitmennya untuk mengeradikasi penyiksaan, tindakan seperti ini tidak bisa
dibenarkan.
162. Pada dasarnya ODGJ atau Penyandang Disabilitas Mental memiliki kebebasan dasar
yang sama dengan manusia lain. Keterbatasan atau kemampuan khusus yang dimilikinya
tidak menjadi justifikasi bagi siapapun untuk memperlakukan ODGJ secara semena-
mena. Pasal 19 Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention
on the Rights of Persons with Disability) menjamin prinsip non-diskriminasi dan
pengakuan atas kesetaraan penyandang disabilitas untuk hidup mandiri dalam
masyarakat. Pengakuan akan kebebasan setiap manusia tampak pada UUD 1945; UU
HAM, UU No. 5/1988 (tentang ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan), UU tentang
ratifikasi KIHSP, UU tentang ratifikasi CEDAW) dan UU tentang ratifikasi Konvensi
Hak Anak.
163. Berbagai bentuk penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya tidak boleh
dikenakan pada penyandang disabilitas. Pemasungan harus dihentikan, dan berbagai
langkah harus dilakukan oleh Negara agar tidak ada pihak negara maupun non-negara
melakukan tindakan pemasungan, antara lain mengusaha kan perubahan stigma /
diskriminasi baik dari pejabat publik maupun masyarakat terhadap ODGJ, menghadirkan
Desa Siaga Jiwa, memaksimalisasi puskesmas dan rumah sakit, memungkinkan
puskesmas memiliki obat yang cukup dan Dokter Jiwa, sehingga ODGJ dapat tetap
berobat jalan, dan mengoptimalkan program mengedukasi keluarga maupun masyarakat
tentang ODGJ menuju Indonesia bebas pasung.
164. Negara perlu melakukan langkah-langkah dengan menyediakan Rumah Sakit Jiwa (RSJ)
di setiap provinsi dan membuat skema untuk meningkatkan rasio dan proporsionalitas
ketersediaan dokter jiwa dibandingkan dengan jumlah masyarakat yang harus dilayani
terkait dengan gangguan jiwa. Rumah sakit perlu memiliki poli jiwa dan ruang inap-jiwa
bagi pasien ‘gaduh’; yang setelah sekitar 2 minggu bisa kembali ke masyarakat untuk
berobat.
Hukuman Badan
165. Hukuman badan (corporal punishment) di luar pemenjaraan seperti mutilasi bagian-
bagian tubuh, hukuman cambuk, mengubur manusia hidup-hidup, yang dilakukan oleh
negara atau sepengetahuan negara merupakan suatu bentuk dari hukuman yang kejam,
tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Dalam kasus Osbourne v.
Jamaica71 Komite Menentang Penyiksaan secara bulat berpendapat bahwa hukuman
badan merupakan tindakan / hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan.
Perbuatan kejam ini dapat pula dilakukan oleh aktor non-negara.
166. Negara yang mempraktekkan hukuman badan dan tidak melakukan tindakan-tindakan
efektif untuk mencegah dan melarang perbuatan ini terjadi, juga di ranah privat,
melanggar larangan menghukum/melakukan perbuatan yang kejam, tidak manusiawi dan
merendahkan martabat manusia.
Isu Terkait Penyiksaan Berbasis Gender
167. Secara konseptual, penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya dapat terjadi
baik di dalam tahanan maupun di luar tahanan serta di ruang publik dan atau privat.
Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan mengingatkan perlunya menerapkan Konvensi
Menentang Penyiksaan dengan cara yang inklusif gender.72 Integrasi penuh perspektif
gender ke dalam setiap analisis penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya
sangat penting untuk memastikan bahwa pelanggaran yang berakar pada norma-norma
sosial yang diskriminatif seputar gender dan seksualitas sepenuhnya diakui, ditangani
dan diperbaiki. Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan telah
menegaskan bahwa kekerasan berbasis gender adalah sebuah bentuk diskriminasi
terhadap perempuan,73 dan dapat berupa penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat dalam keadaan tertentu, termasuk dalam kasus
pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga atau praktik-praktik berbahaya lainnya.74
Unsur maksud dan tujuan penyiksaan selalu akan terpenuhi jika suatu tindakan tertuju
pada gender tertentu atau dilakukan terhadap orang berdasar jenis kelamin, identitas
gender, orientasi seksual atau ketidakpatuhan terhadap norma sosial seputar gender dan
seksualitas.75
168. Dalam Komentar Umum No.2,76 Komite Menentang Penyiksaan mengklasifikasi sifat
dan tingkat tanggung jawab Negara atas tindakan penyiksaan atau perlakuan sewenang-
wenang lainnya yang dilakukan oleh aktor non-Negara dan memberikan perhatian
khusus kepada penerapan prinsip ini sehubungan dengan kekerasan berbasis gender,
termasuk pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, mutilasi alat kelamin perempuan
dan perdagangan manusia.
Perkosaan dan Kekerasan Seksual
169. Saat ini terdapat pengakuan internasional bahwa perkosaan merupakan bagian dari
penyiksaan. Diakui secara luas, termasuk oleh Pelapor Khusus tentang Penyiksaan dan
yurisprudensi regional, bahwa tindakan perkosaan merupakan penyiksaan bila dilakukan
oleh atau atas hasutan atau dengan persetujuan dari pejabat publik.77 Pengadilan HAM
Eropa mengakui bahwa pemerkosaan terhadap seorang tahanan oleh pejabat negara harus
dianggap sebagai bentuk perlakuan sewenang-wenang yang sangat serius dan
menjijikkan mengingat akses dan kemudahan pelaku untuk dapat mengeksploitasi
kerentanan dan melemahkan perlawanan korban. Selain itu, pemerkosaan meninggalkan
bekas luka psikologis yang mendalam pada korban dan proses pemulihannya
membutuhkan waktu yang lebih dalam daripada bentuk kekerasan fisik dan mental
lainnya.78
170. Aktor negara maupun non-negara sama-sama sering melakukan tindakan kekerasan
seksual selama konflik bersenjata internasional dan non-internasional.79 Kekerasan
seksual selama konflik merupakan produk stereotip gender yang lazim terjadi di
masyarakat selama masa damai. Pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual
lainnya merupakan pelanggaran hukum humaniter internasional80 dan secara tegas
merupakan penyiksaan menurut yurisprudensi hukum pidana internasional. Di bawah
hukum humaniter internasional, penyiksaan merupakan pelanggaran hukum dan
kebiasaan perang dan dapat dilakukan baik oleh Negara maupun kelompok bersenjata
non-Negara.
171. Yurisprudensi tribunal pidana internasional telah memperluas cakupan kejahatan
kekerasan seksual yang dapat dituntut sebagai pemerkosaan dengan menyertakan seks
oral dan penetrasi vagina atau anal melalui pemakaian benda atau bagian tubuh
penyerang. Patut dicatat bahwa bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya, baik yang
didefinisikan sebagai pemerkosaan atau tidak, dapat merupakan penyiksaan dan
perlakuan sewenang-wenang lainnya dan tidak boleh dianggap sebagai pelanggaran
ringan. Negara bertanggung jawab atas tindakan aktor privat ketika Negara gagal
melakukan uji tuntas untuk mencegah, menghentikan atau memberikan sanksi kepada
mereka, atau memberikan reparasi kepada korban.
Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga
172. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah semua tindakan kekerasan fisik, seksual,
psikologis atau ekonomi yang terjadi di dalam keluarga atau unit rumah tangga atau
antara mantan atau pasangan saat ini, baik pelaku sedang atau telah berbagi tempat tinggal
yang sama dengan korban.81 Dalam hal kesengajaan, tujuan dan keparahan rasa sakit dan
penderitaan yang ditimbulkan, KDRT sering kali tidak kurang dari penyiksaan dan
perlakuan sewenang-wenang lainnya.
173. Bergantung pada keadaannya, rasa sakit, penderitaan atau penghinaan yang diakibatkan
oleh KDRT dapat berkisar dari yang relatif sedang dan singkat hingga yang sangat parah
dan bertahan lama. Tetapi, menurut definisinya, kekerasan selalu berarti pelanggaran
integritas fisik, mental dan emosional yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat
manusia. Terlepas dari pertanyaan tentang tanggung jawab Negara dan kesalahan pidana
individu, yang keduanya perlu dinilai secara terpisah, KDRT selalu berarti perlakuan atau
penghukuman sewenang-wenang dan sangat sering berupa kekerasan fisik atau
penyiksaan psikologis.82
174. Pelapor Khusus tentang penyiksaan berpandangan bahwa kekerasan dalam rumah tangga
tidak dapat dianggap sebagai masalah pribadi, tetapi merupakan masalah utama hak asasi
manusia yang secara inheren menjadi perhatian publik yang perlu dikaji dari perspektif
larangan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Karena KDRT terjadi
dalam konteks keluarga atau rumah sehingga jarang dilihat sebagai tindakan resmi
negara, namun dalam keadaan tertentu pejabat negara dapat menjadi pelaku langsung
KDRT, yaitu ketika negara terlibat dalam penyediaan rumah, seperti di panti asuhan atau
bentuk perawatan sosial tertentu.
175. Negara harus mengambil tindakan legislatif, administratif, yudisial atau tindakan lain
yang efektif untuk mencegah tindakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang
lainnya di wilayah mana pun di bawah yurisdiksi mereka (Pasal 2 dan 16 Konvensi
Menentang Penyiksaan). Kegagalan untuk melakukan uji tuntas untuk mencegah,
menyelidiki, menuntut, dan memulihkan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang
lainnya oleh pelaku privat, termasuk dalam konteks KDRT, dianggap sama dengan
pemberian persetujuan terhadap penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya.83
Pelapor Khusus sebelumnya telah mengamati bahwa Negara secara internasional
bertanggung jawab atas penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya ketika
mereka gagal melakukan uji tuntas untuk melindungi dari kekerasan semacam itu atau
ketika mereka melegitimasi kekerasan dalam rumah tangga dengan, misalnya,
mengizinkan suami untuk menghukum istri mereka atau gagal mengkriminalisasi
pemerkosaan dalam perkawinan.84
176. Terlebih lagi, perkembangan hukum internasional menafsirkan bahwa penyiksaan tidak
perlu melibatkan agen Negara, tetapi juga dapat dilakukan oleh aktor privat tanpa
partisipasi, hasutan, persetujuan atau pengetahuan pejabat Negara. Misalnya, hukum
humaniter internasional melarang setiap tindakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-
wenang lainnya, yang dilakukan oleh kelompok bersenjata terorganisir dalam konflik
bersenjata.85 Statuta Roma juga mengkriminalisasi kejahatan perang dan kejahatan
terhadap kemanusiaan yang melibatkan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang
lainnya oleh setiap pelaku, terlepas dari status mereka atau keterlibatan agen Negara.86
Dalam hukum HAM internasional, diakui secara luas bahwa penyiksaan dan perlakuan
sewenang-wenang lainnya di tangan pelaku privat dapat memicu berbagai kewajiban
positif Negara, termasuk dalam konteks KDRT.87 Jadi, keterlibatan agen Negara
signifikan dapat menentukan apakah suatu tindakan penyiksaan secara hukum dapat
diatribusikan kepada suatu Negara atau memberikan gambaran tentang kewajiban positif
Negara di bawah hukum hak asasi manusia.
177. Di luar kewajiban pencegahan langsung, penyelidikan dan ganti rugi atas tindakan
penyiksaan dan perlakuan buruk, Negara juga harus mengambil langkah-langkah tepat
untuk mengubah struktur dan nilai masyarakat yang melanggengkan KDRT,88 dan untuk
memperbaiki kondisi hukum, struktural dan sosial ekonomi yang dapat meningkatkan
KDRT oleh aktor privat,89 serta membangun dan memfasilitasi akses layanan dan
dukungan untuk korban, seperti hotline telepon dan platform online, perawatan
kesehatan, pusat konseling, bantuan hukum, tempat penampungan dan bantuan keuangan.
Kekerasan Terhadap Perempuan Hamil dan Penyangkalan Terhadap Hak-Hak
Reproduktif
178. Komentar Umum Komite Hak Asasi Manusia No.28 tentang kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan90 menyatakan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 7 KIHSP juga
mencakup aborsi secara paksa maupun penyangkalan terhadap penyediaan akses aborsi
yang aman bagi perempuan yang telah hamil akibat pemerkosaan.91 Undang-undang
aborsi yang sangat ketat yang melarang aborsi bahkan dalam kasus inses, pemerkosaan
atau gangguan janin atau untuk melindungi kehidupan atau kesehatan perempuan
melanggar hak perempuan untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang
lainnya.92
179. Penolakan aborsi yang dilakukan secara aman dan menempatkan perempuan dan gadis
pada sikap yang menghina dan menghakimi sehingga menjadi sangat rentan serta di mana
perawatan kesehatan yang tepat waktu, sangat dapat mengarah pada penyiksaan dan
perlakuan sewenang-wenang lainnya. Negara memiliki kewajiban untuk mereformasi
undang-undang tentang aborsi yang restriktif yang melanggengkan penyiksaan dan
perlakuan sewenang-wenang lainnya dengan menolak akses dan perawatan yang aman
bagi perempuan.93
180. Sterilisasi secara paksa juga merupakan pelanggaran terhadap pasal 7 KIHSP,94 dan
pelanggaran terhadap hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang
lainnya. Sterilisasi secara paksa juga merupakan Sterilisasi paksa adalah tindakan
kekerasan dan bentuk kontrol sosial,95 serta melanggar hak seseorang untuk bebas dari
penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Persetujuan penuh, bebas dan
diinformasikan dari pasien itu sendiri sangatlah penting dan tidak pernah dapat dimaafkan
atas dasar kebutuhan medis atau keadaan darurat ketika sebuah persetujuan masih
memungkinkan. Mengingat kerentanan khusus perempuan penyandang disabilitas,
Pelapor Khusus Penyiksaan juga menekankan bahwa aborsi paksa dan sterilisasi
perempuan hasil dari proses hukum dimana keputusan dibuat oleh wali yang sah namun
bertentangan dengan keinginan mereka, dapat merupakan penyiksaan dan perlakuan
sewenang-wenang lainnya.
Mutilasi Alat Kelamin Perempuan (Female Genital Mutilation)
181. Mutilasi alat kelamin perempuan (FGM) merupakan semua prosedur yang melibatkan
pengangkatan sebagian atau seluruh alat kelamin perempuan bagian luar atau cedera lain
pada alat kelamin perempuan karena alasan non-medis.97 FGM menyebabkan
penderitaan yang parah dan berkepanjangan dan tujuannya umumnya bersifat
diskriminatif, mengingat hal itu dilakukan dengan maksud untuk menegakkan standar
patriarki kesucian perempuan melalui penghapusan kenikmatan seksual. Praktek ini
umumnya dikenakan pada anak perempuan yang dalam keadaan tidak berdaya untuk
melawan atau melarikan diri dari pelecehan ini .
182. Mengingat bahwa FGM melibatkan rasa sakit atau penderitaan yang parah yang disengaja
dan umumnya bertujuan diskriminatif dari pada orang-orang yang tidak berdaya, praktik
ini sama dengan penyiksaan. Atau jika tidak ada satu atau lebih elemen konstitutif
ini , FGM merupakan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat. Jelas bahwa jika undang-undang mengizinkan
praktik ini , tindakan FGM apa pun akan sama dengan penyiksaan dan keberadaan
hukum dengan sendirinya akan merupakan sepengetahuan atau persetujuan oleh negara.98
Pemaksaan Pemeriksaan Keperawanan
183. Tes keperawanan adalah pemeriksaan ginekologis yang dilakukan dengan keyakinan
pemeriksaan ini menentukan apakah seorang perempuan telah melakukan hubungan
seks melalui vagina.99 Pemeriksaan ginekologi yang biasanya dilakukan dengan inspeksi
visual daerah hymen, sering dikombinasikan dengan memasukkan jari ke dalam vagina
untuk menentukan kelonggaran vagina dan kehadirannya atau tidak adanya selaput dara
dan penetrasinya. Tes keperawanan adalah tradisi lama yang telah didokumentasikan di
setidaknya 20 negara yang mencakup semua wilayah di dunia. Perempuan dan anak
perempuan menjadi sasaran, dan seringkali dipaksa, untuk menjalani tes keperawanan
karena berbagai alasan, seperti permintaan dari orang tua atau calon pasangan untuk
menetapkan kelayakan pernikahan atau dari majikan untuk kelayakan pekerjaan. Hal ini
sebagian besar dilakukan oleh dokter, petugas polisi, atau tokoh masyarakat pada
perempuan dan anak perempuan untuk menilai kebajikan, kehormatan atau nilai sosial
mereka.
184. Istilah keperawanan bukanlah istilah medis atau ilmiah. Sebaliknya, konsep ini
adalah konstruksi sosial, budaya dan agama yang mencerminkan diskriminasi gender
terhadap perempuan dan anak perempuan.100 Harapan sosial bahwa anak perempuan dan
perempuan harus tetap perawan didasarkan pada gagasan stereotip bahwa seksualitas
perempuan harus dibatasi dalam pernikahan. Gagasan ini berbahaya bagi perempuan dan
anak perempuan secara global. Apalagi sebuah tinjauan sistematis tentang kegunaan
medis tes keperawanan dengan pemeriksaan selaput dara menyimpulkan bahwa praktik
ini tidak akurat atau tidak andal menentukan keperawanan.
185. Komite PBB untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan,
Komite PBB untuk Hak Anak, Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan dan Perlakuan
atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat dan PBB
Khusus Pelapor Kekerasan Terhadap Perempuan, Penyebab dan Konsekuensinya telah
semuanya menyatakan tes keperawanan sebagai praktik yang berbahaya. Tes
keperawanan melanggar hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan sewenang-
wenang lainnya, karena pemeriksaan seringkali memalukan, merendahkan dan dilakukan
dengan cara untuk mengintimidasi dan menghukum.101
186. Yurisprudensi internasional mengakui bahwa tindakan pemaksaan terhadap pemeriksaan
keperawanan dapat menjadi penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya.
Bahkan hukum pidana internasional juga mempertimbangkan tes keperawanan sama
dengan pemerkosaan. Pakar forensik internasional mendukung larangan jenis tes
ini . Bahkan PBB (WHO, UN Women & OHCHR) dan Asosiasi Medis Dunia
(WMA) menyampaikan agar tes ini diakhiri.102
187. Negara-negara harus melakukan uji tuntas atau prinsip kehati-hatian untuk melarang,
mencegah, dan memulihkan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya setiap
kali ada alasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa tindakan ini dilakukan oleh
aktor swasta. Ketidakpedulian atau kelambanan Negara dianggap sebagai suatu bentuk
dorongan dan/atau izin secara de facto. Prinsip ini berlaku untuk kegagalan Negara dalam
mencegah dan memberantas kekerasan berbasis gender.
Pernikahan Dini dan Perkawinan Paksa Anak
188. Perkawinan dini dan perkawinan paksa pada anak adalah pelanggaran HAM dan praktik
berbahaya yang secara tidak proporsional mempengaruhi perempuan dan anak
perempuan secara global yang mencegah mereka menjalani hidup bebas dari segala
bentuk kekerasan. Praktik ini merugikan kapasitas korban untuk mewujudkan
seluruh hak asasi mereka. Komite Hak Anak menyatakan perkawinan dini dan
perkawinan paksa sebagai bentuk kekerasan terhadap anak.
189. Baik perkawinan dini maupun perkawinan paksa pada anak dapat menimbulkan kerugian
yang berkepanjangan, termasuk penderitaan psikologis, emosional dan fisik yang parah,
pemerkosaan dalam perkawinan dan bentuk-bentuk pelecehan seksual lainnya,
kehamilan dini yang mengancam jiwa atau kehamilan yang tidak diinginkan.
Konsekuensi ini dapat diprediksi mengingat usia anak-anak yang masih muda,
penderitaan yang diakibatkannya harus dianggap disengaja dan umumnya berakar pada
pandangan diskriminatif terhadap perempuan dan anak perempuan.
190. Kepentingan terbaik anak dan perlindungan hak anak perempuan harus selalu
dipertimbangkan dan kondisi yang diperlukan harus tersedia untuk memungkinkan
mereka mengekspresikan sudut pandang mereka dan memastikan pendapat mereka
diberikan dengan benar. Pertimbangan yang cermat juga harus diberikan pada potensi
jangka pendek dan jangka panjang dampak terhadap anak atau perempuan dari putusnya
perkawinan anak dan/atau kawin paksa.105
191. Perkawinan anak merupakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya,106
terutama ketika Negara gagal menetapkan usia minimum untuk menikah yang sesuai
dengan standar internasional atau mengizinkan pernikahan anak meskipun ada undang-
undang yang mengatur usia ini (mayoritas pada usia 18 tahun),107 untuk
mengkriminalisasi pernikahan paksa dan untuk menyelidiki, mengadili dan menghukum
pelakunya.
Pencari Suaka dan Pengungsi
192. Irisan ‘penyiksaan’ dan ‘pengungsi’ atau pencari suaka terletak pada pengungsi yang lari
dari ancaman penyiksaan dari negara asal, dan penyiksaan dan perlakuan sewenang-
wenang lainnya dan merendahkan di tempat-tempat pengungsian.
193. penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya dapat terjadi dimana-mana. Banyak
orang yang lari keluar dari negerinya, mengungsi dan menjadi pengungsi karena ancaman
penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya di negara asal. Banyak dari mereka
adalah penyintas dari tindak penyiksaan atau karena terancam mendapat siksaan atas
dasar identitasnya yakni identitas ras, identitas agama, identitas pandangan politik, dan
identitas sebagai perempuan. Diperkirakan 20 % – 30% pengungsi di seluruh dunia yang
jumlahnya mencapai 15 juta orang adalah korban penyiksaan.108
194. Hukum internasional perlindungan pengungsi diatur pada Konvensi Terkait Status
Pengungsi, 1951 (yang biasa dikenal dengan Konvensi Pengungsi 1951). Konvensi ini
memberikan perlindungan hukum internasional bagi pengungsi. Prinsip dari konvensi ini
adalah bahwa seseorang (pengungsi) tidak dapat dipaksa pulang ke negara dimana ia
beresiko dipersekusi karena alasan-alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada
suatu kelompok sosial tertentu atau pendapat politik.
195. Pasal 1 Konvensi Pengungsi mendefinisikan pengungsi sebagai “as a person who is
outside his or her country of nationality or habitual residence; has a well-founded fear
of being persecuted because of his or her race, religion, nationality, membership of a
particular social group or political opinion; and is unable or unwilling to avail him— or
herself of the protection of that country, or to return there, for fear of persecution”
196. Dari Pasal 1 ini terdapat 4 unsur untuk disebut pengungsi: (1) yang bersangkutan berada
di luar negara asal mereka, (2) mereka tidak dapat atau tidak ingin memperoleh
perlindungan dari negara asalnya / tidak dapat atau tidak ingin kembali ke negara asal,
(3) ketidak-dapatan dan ketidak-inginan ini disebabkan oleh rasa takut yang cukup
beralasan akan dipersekusi dan (4) rasa takut akan persekusi ini karena alasan ras,
agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pada pendapat
politik.
197. Yang dimaksud dengan kelompok sosial tertentu mencakup pula perempuan dimana
komunitas atau keluarganya menganut nilai-nilai yang tidak meletakan perempuan setara
dengan laki-laki sedemikian sehingga terdapat alasan kuat bahwa yang bersangkutan
diperkusi. Pengertian persekusi disini mencakup pula dirampasnya hak hidup atau hak
untuk bebas dari penyiksaan. Ancaman itu dapat berasal dari negara maupun aktor non –
negara.
198. Terhadap pengungsi, Konvensi Menentang Penyiksaan juga melindungi mereka karena
secara khusus melarang pengusiran, pengembalian atau ekstradisi siapa saja ke sebuah
negara karena ada alasan yang kuat untuk percaya bahwa di sana orang yang
bersangkutan akan berada dalam bahaya menjadi sasaran penyiksaan’.109 Dengan
Konvensi Menentang Penyiksaan, prinsip non-refoulement tidak hanya berlaku bagi
pengungsi tertentu sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 Konvensi Pengungsi 1951,
tetapi juga pada siapa saja karena adanya ancaman penyiksaan. Mereka yang lari dari
negaranya karena ‘alasan takut disiksa’ berhak mendapat perlindungan internasional,
berupa pemberian suaka, sehingga mereka tidak harus balik kepada pelaku-pelaku
penyiksaan.
199. Setiap pemerintah sebelum memutuskan untuk melakukan ekstradisi seseorang ke negara
lain wajib melakukan penilaian secara hati-hati atas kemungkinan orang yang
bersangkutan terkena penyiksaan atau hukuman mati. Negara wajib menahan diri dari
tindakan mengusir atau mengekstradisi seseorang jika tindakan itu justru memudahkan
terjadinya penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya.110 Terhadap pengungsi
dan pencari suaka yang datang, Negara penerima harus memperlakukan pengungsi
dengan bermartabat dan menerapkan prinsip non refoulement.
200. Indonesia tidak meratifikasi Konvensi tentang pengungsi, namun meratifikasi Konvensi
Menentang Penyiksaan, sehingga terikat pada dan mengakui prinsip ‘non-refoulement’.
Konsekuensinya, pemerintah Indonesia tidak dapat begitu saja melakukan pengusiran,
pemulangan atau ekstradisi atau cara apapun seorang pengungsi ke negara dimana ia
memiliki alasan yang kuat terancam disiksa atau ill treatment. Jika negara Indonesia
melakukan hal ini maka melanggar larangan penyiksaan. Karena Indonesia telah
meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaana, maka Negara RI sebaiknya menjamin
prinsip non refoulment dalam UU Imigrasi dan peraturan turunannya seperti Peraturan
Presiden No.125/2016 mengenai Pengungsi Luar Negeri.
201. Direktur Jenderal Imigrasi, pada tahun 2010 mengeluarkan Surat Direktur Jenderal
Imigrasi Nomor F.IL.01.10-1297 tentang Penanganan Imigran Ilegal yang berisi
“Apabila terdapat orang asing yang menyatakan keinginan untuk mencari suaka pada
saat tiba di Indonesia, agar tidak dikenakan tindakan keimigrasian berupa
pendeportasian ke wilayah negara yang mengancam kehidupan dan kebebasannya”.
Surat Dirjen ini menunjukan pengakuan akan prinsip non-refoulement dan harus
diterapkan secara konsisten.
202. Penyiksaan dapat terjadi di tempat pengungsian, karena kondisi dari tempat-tempat
menampung pengungsi atau pencari suaka. Kehidupan pencari suaka sangat tergantung
pada negara yang mau menerima. Dalam memperoleh suaka banyak sekali pengungsi
yang mendapat siksaan dari aparat atau dari sesama pengungsi di negara ‘pelarian’.
Beberapa pencari suaka perempuan bahkan mengalami kekerasan seksual oleh aparat.
Banyak pula kondisi tempat pengungsian dari pencari suaka yang berhasil kabur dari
negaranya tidak menjamin perlindungan atas hak-hak asasinya.
203. Terhadap pengungsi perempuan negara harus menjamin tidak terjadinya diskriminasi dan
penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya terhadap perempuan saat
pengungsian, yang dapat terjadi dalam bentuk-bentuk khusus yang dialami perempuan
seperti pemerkosaan, FGM dan sterilisasi paksa. Negara juga juga harus melindungi
pengungsi perempuan dari diskriminasi semata karena ia adalah perempuan. Misalnya,
dalam komunitasnya terdapat norma-norma yang sangat ketat membatasi hak dan
aktivitas perempuan untuk keluar; sehingga membatasi hak memperoleh air bersih yang
dapat diminum, makanan dan pelayanan kesehatan dasar, yang dapat membuat
perempuan kehilangan hak atas hidup yang layak.
204. Terhadap pengungsi anak-anak Negara harus memenuhi kebutuhan khusus anak. Ada
beberapa kebutuhan khusus anak yang harus menjadi pertimbangan dalam melindungi
pengungsi anak-anak yaitu menjamin anak-anak pengungsi dari rekrutmen sebagai
anggota militer / bersenjata, dari pelecehan seksual, dan detensi.
Penggusuran Paksa Sistematis
205. Praktek penggusuran paksa merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia (a gross
violation of human rights) terutama hak atas tempat tinggal yang layak. Pengadilan
HAM Eropa pada perkara Selcuk and Asker vs. Turkey (12/1997/796/998-999)
berpandangan bahwa pengrusakan rumah mengakibatkan penderitaan yang
dikategorikan sebagai perlakuan tidak manusiawi (inhuman treatment), oleh karenanya
melanggar Pasal 3 dari Konvensi HAM Eropa111
206. Kasus-kasus penggusuran paksa dengan dimensi penyiksaan banyak terjadi di dalam
komunitas yang mengalami diskriminasi luar biasa. (1) kelompok Roma di Eropa.
Rumah mereka dibakar sehingga mengalami kesakitan mental yang luar biasa. (2)
penghancuran perumahan sistematik milik orang Palestina di sepanjang jalur Gaza.
Penyiksaan dan Enforced Disappearance
207. Penghilangan secara paksa (enforced disappearance) memiliki hubungan yang sangan
dekat dengan penyiksaan terutama ketika melibatkan penahanan berkepanjangan tanpa
komunikasi (prolonged ‘incommunicado’) dengan pihak luar. Ketika itu keberadaan
tahanan tidak diketahui dan pelaku penahanan biasanya tidak mengakui adanya
penahanan terhadap korban, sekalipun banyak saksi mata yang melihat bahwa korban
ditahan di dalamnya atau di tempat-tempat rahasia. Selama puluhan atau ratusan hari
korban ditahan tanpa berhubungan dengan pihak luar manapun (seperti keluarga,
pengacara ataupun petugas kesehatan). Keluarga korban mengalami kesedihan yang
tidak pasti dengan penuh pertanyaan; apakah korban masih hidup atau sudah mati,
bagaimana kalau suatu saat korban muncul di hadapan mereka; dan korban berada di
luar jangkauan perlindungan hukum.
Banyak korban / orang hilang ini yang juga mengalami ‘penyiksaan’ sebagaimana
definisi pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan di samping extra judicial killing atau
pembunuhan oleh otoritas negara tanpa melalui proses hukum.
208. PBB telah melahirkan Konvensi Internasional untuk Perlindungan bagi Semua Orang
dari Penghilangan secara Paksa yang mendefinisikan penghilangan paksa (Pasal 2)
sebagai “… is considered to be the arrest, detention, abduction or any other form of
deprivation of liberty by agents of the State … followed by a refusal to acknowledge
the deprivation of liberty or by concealment of the fate or whereabouts of the
disappeared person, which place such a person outside the protection of the law.”
Dari sudut pandang larangan penyiksaan, kasus-kasus penghilangan paksa yang
melibatkan penahanan berkepanjangan merupakan perbuatan tidak manusiawi dan
kejam yang mengarah pada penyiksaan. Dalam kasus Polay Compos v. Peru[1] [2] ,
isolasi selama 1 tahun yang dialami Polay tanpa dapat berkorespondensi dianggap oleh
Komite HAM sebagai perlakuan tidak manusiawi.113 Di Indonesia, setidaknya masih
terdapat 13 orang yang diculik dan keberadaannya hingga kini belum diketahui,
termasuk penyair Wiji Thukul, dan terdapat setidaknya 10 orang yang diculik dan
kemudian dilepaskan
G. KEWAJIBAN NEGARA DAN AKTOR NON-NEGARA
209. Kewajiban Negara menghormati hak untuk bebas dari penyiksaan adalah Negara
menahan diri dari tindak penyiksaan, perbuatan kejam, tidak manusiawi dan
merendahkan martabat. Tidak boleh ada aparat negara yang melakukan tindak-tindak
ini .
Kewajiban Negara Melindungi
210. Kewajiban negara untuk menjamin (ensure) perlindungan yang efektif (Pasal 7 jo Pasal
2 KIHSP mengharuskan adanya tindakan-tindak legislatif, administratif dan yudikatif
dari negara untuk mencegah dan menghukum tindak penyiksaan dan perlakuan
sewenang-wenang lainnya. Kewajiban ini meliputi kewajiban untuk: (1) menginvestigasi
serta (2) menuntut mereka yang mendorong, memerintahkan, mentoleransi atau
melakukan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya (3) memulihkan korban
dan (4) Kewajiban non-refoulement yakni untuk tidak menjadikan seseorang mudah
menjadi sasaran (expose to) penyiksaan perlakuan sewenang-wenang lainnya dengan
memulangkan yang bersangkutan ke negaranya.
211. Dari segi aktor. Perlindungan oleh Negara ini meliputi perlindungan baik dari
tindakan yang dilakukan oleh aktor negara maupun non negara,114 termasuk di dalamnya
kekerasan dalam rumah tangga dan FGM (Lihat aktor non negara dan FGM). Kewajiban
perlindungan ini juga mencakup perlindungan dari tindakan yang dilakukan oleh petugas
negara asing di wilayah Indonesia yang bertindak atas pengetahuan dan persetujuan
negara Indonesia.
212. Kewajiban investigasi. Negara wajib melakukan investigasi atas pengaduan mengenai
dugaan terjadinya penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya secara cepat,
menyeluruh, imparsial oleh otoritas negara yang kompeten115 dan lengkap116. Kegagalan
negara melakukan investigasi atas tuduhan yang disampaikan oleh seseorang
mengakibatkan dilanggarnya hak orang ini untuk memperoleh kompensasi.
Examinasi medis dilakukan segera setelah adanya tuduhan perlakuan kejam, dan
dilakukan secara rutin terhadap mereka yang ditahan sebelum pengadilan, guna
memastikan tiadanya kejahatan/penyiksaan atau ill treatment
213. Penuntutan. Negara harus melakukan penuntutan yang sungguh-sungguh terhadap
mereka yang mendorong melakukan, memerintahkan, dan mentolerir atau melakukan
tindakan yang dilarang ini (penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya).117
Negara harus mengadili dan menghukum pelaku tindak penyiksaan, termasuk pelaku
non-negara. Pemberian amnesti bagi pelaku penyiksaan atau perbuatan keji lainnya tidak
sesuai dengan kewajiban negara untuk mempersekusi/menghadapkan pelaku ke
pengadilan.
Beban Pembuktian
214. Dalam banyak perkara penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya
pembuktiannya tergantung pada informasi yang hanya ada di tangan negara dan
membutuhkan klarifikasi. Dalam keadaan demikian, beban pembuktian tuduhan akan
penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya tidak hanya terletak di pihak
pengadu. Tuduhan yang disampaikan menjadi bukti yang memperkuat bukti yang dapat
dipercaya, seperti laporan kesehatan yang mengindikasikan adanya penyiksaan fisik atau
mental, atau deskripsi kejadian di hadapan hakim atau pada saat pengadilan, atau
sertifikasi/dokumen resmi yang menjelaskan sebab-sebab kematian (misalnya hasil
otopsi) maupun sertifikat kematian. Bukti lain yang dapat dipercaya termasuk visum et
repertum psychiatricum. (UU Tindak Pidana Keker