hak asasi manusia 2




 merendahkan martabat”.  

102. Hukum pidana Indonesia juga mengatur tindak pidana penyiksaan yang berupa serangan 

yang sistematis atau meluas yang ditujukan pada penduduk sipil adalah kejahatan 

terhadap kemanusiaan (Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000). Terhadap kejahatan ini, negara 

berkewajiban melakukan investigasi, penuntutan dan penghukuman pada para pelaku 

serta mengatur bahwa tindak pidana ini tidak berlaku masa daluarsa (statute of 

limitation). Para korban berhak atas keadilan dan reparasi, termasuk hak atas restitusi dari 

pelaku dan kompensasi dari negara serta bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial.  

103. Hukum acara pidana Indonesia mengatur larangan segala bentuk tekanan dan ancaman 

kepada para tersangka atau terdakwa dalam memberikan keterangan baik dalam masa 

tahap penyidikan atau pemeriksaan di pengadilan. Tersangka atau terdakwa berhak untuk 

mendapatkan perlakuan yang manusiawi dan menghormati martabat mereka. Segala 

bentuk kesaksian atau pengakuan yang diperoleh dari tekanan, paksaan atau ancaman 

tidak dapat diakui sebagai alat bukti yang sah (inadmissible). Selain itu para terdakwa 

dan tersangka juga berhak atas penasihat hukum yang dapat mendampingi terdakwa atau 

tersangka dalam proses pemeriksaan untuk menghindarkan terjadinya penyiksaan.  

104. Hukum Indonesia memiliki  pengaturan khusus untuk melindungi anak dari penyiksaan 

dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Dalam UU Perlindungan Anak dan Sistem 

Perlindungan Anak, bagi Anak yang berhadapan dengan hukum harus diperlakukan 

dengan manusiawi, dibebaskan dari penyiksaan, perbuatan kejam dan tidak manusiawi 

dan merendahkan martabat serta anak sebagai pelaku tidak dapat dijatuhi dengan 

hukuman mati.  

105. Dalam proses peradilan pidana, institusi-institusi penegak hukum juga telah membentuk 

berbagai norma dan standar serta regulasi guna menjamin memastikan proses penegakan 

hukum dalam kewenangannya tetap menjamin penghormatan dan perlindungan hak 

 

34 Definisi Penyiksaan sebagaimana dalam Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan telah dimasukkan dalam RUU KUHP.  


untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak 

manusiawi dan merendahkan martabat.  

106. Institusi Kepolisian telah membentuk berbagai regulasi internal diantaranya Peraturan 

Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang pemakaian  Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian,  

Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi dan Standar Hak Asasi 

Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia, dan Peraturan 

Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Peraturan 

Kapolri No. 8 Tahun 2009 misalnya mengatur tentang berbagai pedoman dasar 

implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam setiap penyelenggaraan tugas 

Polri (Pasal 2 ayat 1 huruf a) dan mengakui jaminan bahwa setiap orang berhak untuk 

bebas dari tindakan penyiksaan (Pasal 5- Pasal 11).  

107. Institusi Kejaksaan membentuk Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per–

014/A/Ja/11/2012 Tentang Kode Perilaku Jaksa, yang mengatur kewajiban Jaksa kepada 

Profesi Jaksa diantaranya memastikan terdakwa, saksi dan korban mendapatkan 

informasi dan jaminan atas haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan hak 

asasi manusia (Pasal 5 huruf g). Jaksa dilarang menggunakan kewenangannya untuk 

melakukan penekanan secara fisik dan/atau psikis dan menggunakan barang bukti dan 

alat bukti yang patut diduga telah direkayasa atau diubah atau dipercaya telah didapatkan 

melalui cara-cara yang melanggar hukum (Pasal 1 ayat 1 huruf g dan h).  

108. Perkembangan perundang-undangan Indonesia yang semakin memperkuat pengakuan 

dan perlindungan HAM dan hak-hak asasi merupakan hak konstitusional secara umum 

juga secara normatif meningkatkan pengakuan atas hak untuk bebas dari penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya. tempat-tempat penahanan, misalnya rumah 

tahanan dan penjara, telah membentuk standar perlindungan hak-hak para tahanan dan 

narapidana serta orang-orang yang terampas kebebasannya.  

109. Institusi pertahanan negara juga telah membentuk regulasi terkait penyelenggaran 

pertahanan yang terkait dengan perlindungan hak asasi manusia melalui Peraturan 

Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 09 Tahun 2013 Tentang Penerapan 

Hukum Humaniter Dan Hukum Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Pertahanan 

Negara. Peraturan ini mengatur bahwa setiap personel Kementerian Pertahanan dan TNI 

wajib menaati ketentuan Hukum Humaniter dan HAM sebagaimana diatur dalam 

peraturan perundang-undangan (Pasal 4 ayat 1). Peraturan ini juga memberikan dasar 

hukum-hukum humaniter dan hukum HAM yang menjadi rujukan, termasuk diantaranya 

adalah KIHSP dan Konvensi Menentang Penyiksaan (Pasal 5 dan Pasal 6).  

110. Namun demikian, berbagai laporan menunjukkan masih terjadinya berbagai tindak 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya di Indonesia. Berbagai kasus 

penyiksaan yang terjadi mengindikasikan adanya masalah yang bersifat sistemik, yang 

mencakupi kelemahan-kelemahan dalam sistem hukum dan perundang-undangan 

Indonesia (legal gaps) diantaranya pengaturan tentang prinsip-prinsip peradilan yang adil 

dan tidak memihak (fair trial) dan pengaturan yang ketat tentang dapat diterimanya alat 

 

 

31 

 

bukti khususnya terkait kesaksian yang diperoleh dari tekanan, paksaan atau ancaman, 

penerapan hukum yang tidak dilaksanakan secara konsisten dan budaya kekerasan 

penegak hukum misalnya dalam usaha  untuk mendapatkan pengakuan yang belum 

sepenuhnya hilang.  

111. Dalam hal masih terdapat kelemahan pengaturan, penting untuk memastikan penguatan 

hak-hak para tahanan, tersangka, terdakwa atau orang-orang dalam penahanan sebagai 

jaminan perlindungan (safeguard) mencegah terjadinya penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya. Dalam proses peradilan, jaminan perlindungan ini 

diantaranya adalah akses pada advokat (penasihat hukum), hak atas informasi, akses pada 

hakim, akses adanya mekanisme pengaduan (complaint procedure) dan akses pada 

pemeriksaan medis yang independen. Jaminan perlindungan dapat dibentuk dan 

diterapkan di masing-masing institusi, misalnya di tempat-tempat penahanan di 

kepolisian, yang harus juga memiliki  safeguard untuk mencegah terjadinya 

penyiksaan.  

F. PERSOALAN HAM TERKAIT PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN SEWENANG-

WENANG LAINNYA  

I. PROBLEM INVESTIGASI - PENYIKSAAN 

 

112. Polisi dan lembaga kepolisian memiliki peran penting dalam melindungi hak asasi 

manusia. Melalui penegakan hukum, polisi bertanggung jawab memastikan keselamatan 

dan keamanan tiap individu. Polisi juga berkewajiban melindungi hak asasi manusia dari 

pelanggaran oleh individu lain. Petugas polisi bertanggung jawab pada penegakan hukum 

dan perlindungan hak-hak semua anggota masyarakat. 

113. Di Indonesia, peran strategis kepolisian dalam memelihara keamanan dan ketertiban, 

penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat juga 

ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara 

Republik Indonesia. Undang-undang yang merupakan salah satu tonggak reformasi 

kepolisian,35 memberi kewenangan yang sangat besar pada Kepolisian, seperti (a) 

menghentikan orang untuk memeriksa bukti identitas, (b) menahan orang, (c) melakukan 

pencarian, (d) memonitor demonstrasi, (e) menangkap, menginterogasi orang, (f) 

melakukan investigasi, dan (g) menggunakan kekuatan minimum dalam kondisi tertentu. 

114. Pelaksanaan tugas ini  harus dilakukan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM 

dan menerapkan prinsip-prinsip HAM sebagaimana telah ditetapkan dalam berbagai 

instrumen hukum yang mengatur tentang hak asasi manusia seperti UUD 1945, UU 

HAM, UU tentang Kepolisian Negara RI, dan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 

tentang Pedoman Implementasi HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian RI 

maupun Peraturan Kapolri No. 1/2009 tentang pemakaian  Kekuatan dalam Tindakan 

Kepolisian. 

115. Bagi petugas kepolisian di manapun ‘mendapatkan pengakuan’ adalah elemen paling 

penting dalam menjalankan tugas menginvestigasi kejahatan. Seringkali petugas polisi 

melakukan apapun termasuk penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya 

terhadap orang-orang yang ditangkap untuk mendapatkan pengakuan. Tetapi justru ini 

menjebak, yakni merebaknya penyalahgunaan wewenang di kepolisian dan menjadikan 

lembaga kepolisian dalam sorotan perhatian publik misalnya karena tingkat pengaduan 

pelanggaran hak asasi manusia sangat tinggi/tertinggi. 

116. PBB telah mengembangkan prinsip-prinsip yang memberi panduan bagi kepolisian di 

mana saja dalam melakukan investigasi. Di dalamnya terkandung prinsip-prinsip untuk 

interogasi dalam rangka investigasi kasus pidana. Prinsip-prinsip ini  dikenal dengan 

sebutan Mendez’ Principles, tepatnya ‘Principles on Effective Interviewing for 

Investigations and Information Gathering.  

117. Di dalam Prinsip-prinsip Melakukan Interogasi dalam rangka Investigasi dan 

Pengumpulan informasi terkandung 6 prinsip yaitu: 

(1) Wawancara yang efektif ditentukan oleh penerapan ilmu pengetahuan, hukum dan 

etika 

(2) Dalam prakteknya, wawancara yang efektif merupakan proses yang menyeluruh 

untuk mengumpulkan informasi yang akurat dan dapat dipercaya sementara 

menjalankan perlindungan hukum 

(3) wawancara yang efektif mensyaratkan identifikasi dan mengatasi kebutuhan-

kebutuhan dari yang diwawancarai dalam situasi-situasi yang rentan 

(4) wawancara yang efektif merupakan usaha profesional yang mensyaratkan pelatihan 

khusus 

(5) wawancara yang efektif mensyaratkan Lembaga yang transparan dan akuntabel 

(6) implementasi wawancara yang efektif mensyaratkan langkah-langkah nasional yang 

kuat. 

118. Pihak Polri dan aparat penegak hukum lain dapat menggunakan prinsip-prinsip ini dan 

mengimplementasikan Standar Operasional Prosedur (SOP) pemakaian  kekuatan untuk 

meningkatkan kualitas profesionalisme dan akuntabilitas kepolisian, dengan pelatihan 

yang dilakukan secara berulang dan pengawasan melekat pimpinan pada bawahannya. 

119. Dalam melakukan interogasi perekaman secara audio-video36 harus menjadi standar dan 

prosedur interogasi yang berpotensi terjadinya penyiksaan. Misalnya dalam hal polisi 

melakukan perusakan, penghapusan atau manipulasi atas rekaman maka yang 

bersangkutan harus mempertanggungjawabkan perbuatan. Rekaman harus disimpan 

dalam tempat yang aman hingga untuk jangka waktu yang cukup hingga digunakan 

sebagai bukti. 

120. Perlu perhatian khusus terhadap persoalan investigasi terhadap kasus penyiksaan 

perempuan dan anak. Idealnya, tim investigasi harus terdiri dari spesialis laki-laki 

maupun perempuan, sehingga memungkinkan orang yang mengatakan mereka telah 

disiksa untuk memilih jenis kelamin penyelidik dan, jika perlu, seorang penerjemah. Hal 

ini penting terutama ketika seorang wanita ditahan dalam situasi di mana tindakan 

pemerkosaan diketahui telah terjadi, meskipun korban belum membuat keluhan.37 Jika 

petugas yang memeriksa memiliki jenis kelamin yang sama dengan korban, proses 

wawancara mungkin lebih mudah dan dapat menyerupai situasi penyiksaan sebenarnya 

daripada jika jenis kelaminnya berbeda. Sebagai contoh, seorang perempuan yang 

diperkosa atau disiksa di penjara oleh seorang penjaga laki-laki cenderung mengalami 

lebih banyak kesusahan, ketidakpercayaan, dan ketakutan ketika berhadapan dengan 

pewawancara laki-laki daripada dengan pewawancara perempuan.38 

II. PENYIKSAAN DALAM PEMENJARAAN 

Hukuman Mati-Penyiksaan 

121. Irisan ‘hukuman mati’ dan ‘hak untuk bebas dari penyiksaan dan perbuatan/hukuman 

yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat’ berkaitan pada 2 aspek. 

Pertama, berkaitan dengan hukuman mati sebagai bentuk dari tindak penyiksaan; dan 

kedua berkaitan dengan fenomena ‘deret tunggu’ (death row phenomenon). 

122. Selama hukuman mati masih ada, maka tidak pernah tercapai pemenuhan ‘hak atas hidup’ 

maupun ‘hak untuk bebas dari penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan 

merendahkan’. Kecenderungan dunia internasional mengarah pada penghapusan 

hukuman mati. Arah ini  sudah terlihat sejak dalam perumusan Kovenan Hak-hak 

Sipil dan Politik (KIHSP)39. Protokol Opsional ke 2 dari KIHSP yang telah diratifikasi 

oleh 89 negara juga bertujuan menghapus hukuman mati. Perjanjian tambahan yang 

dikeluarkan pada 15/12/1989 ini mengikat negara-negara anggotanya untuk menghapus 

hukuman mati dalam yurisdiksi negara yang bersangkutan.40  Pandangan dan arah yang 

sama juga terjadi di tingkat regional (Eropa dan benua Amerika), sebagaimana pada 

Protokol ke 6 dan ke 13 dari Konvensi HAM Eropa (ECHR) dan Protokol dari Konvensi 

HAM Amerika (ACHR).  

123. Sumber dari sikap masyarakat internasional untuk lebih memuliakan kehidupan daripada 

hukuman mati adalah ‘hak hidup’. Hak atas hidup merupakan hak asasi yang paling dasar 

dan paling utama yang dimiliki oleh setiap orang. Dari sini semua hak asasi bersemi. Jika 

hak ini dilanggar maka tidak lagi dapat ditarik mundur/diperbaiki. Oleh karena itu, hak 

atas hidup adalah salah satu hak yang tidak dapat diderogasi, bahkan dalam keadaan 

darurat publik yang sangat fatal sekalipun. Hak hidup yang sama telah dijamin dalam 

Pasal 28 a dan 28i UUD 1945, Pasal 9 UU HAM, Pasal 6 UU mengenai No. 12/2005 

tentang Ratifikasi KIHSP. Secara internasional hak ini ditentukan dalam pasal 3 

DUHAM, dan Pasal 16 KIHSP. 

124. Jumlah negara di seluruh dunia yang sepenuhnya menghapuskan hukuman mati hingga 

Mei 2022 telah mencapai 105 negara. Indonesia meski bersikap abstain dalam Resolusi-

resolusi Majelis Umum PBB perihal moratorium universal hukuman mati dan eksekusi 

mati, sejak 2017 secara de facto tidak melakukan eksekusi hukuman mati. Dalam 

Rancangan KUHP narapidana mati dapat memperoleh masa percobaan selama 10 tahun, 

dimana nanti akan dievaluasi apakah hukumannya bisa diubah menjadi hukuman seumur 

hidup. 

125. Dengan sikap masyarakat internasional untuk menghapus hukuman mati, berbagai 

lembaga hak asasi memberi tafsir atas apakah metode-metode eksekusi masuk dalam 

kategori hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan dan metode yang 

paling tidak mengakibatkan penderitaan. Tafsir berbagai pengadilan dan lembaga hak 

asasi manusia berpendapat bahwa eksekusi hukuman dengan melempar batu hingga mati 

dan dengan gas asphyxiation41 sebagai metode hukuman mati yang tergolong 

penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Melempar batu 

hingga mati memiliki intensi untuk memperpanjang rasa sakit dan penderitaan sehingga 

melanggar larangan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan.  

126. KIHSP dan Konvensi Hak-hak Anak melarang hukuman mati terhadap mereka yang 

berusia di bawah 18 tahun, saat kejahatan itu dilakukan. KIHSP juga melarang 

melakukan hukuman mati terhadap penyandang disabilitas mental dan perempuan hamil. 

127. Hukum internasional menganggap hukuman mati terhadap anak di bawah usia 18 tahun, 

penyandang disabilitas mental, perempuan hamil, dan mereka yang dihukum setelah 

melalui proses peradilan yang tidak adil merupakan pelanggaran atas larangan 

memperlakukan atau menghukum secara kejam, tidak manusiawi dan merendahkan 

martabat.  Dalam hal ini apapun metodenya maupun kondisi di seputar peristiwa 

bersangkutan (mens rea, perilaku bersalah, dan situasi petugas) sejauh dikenakan pada 

kelompok ini merupakan perbuatan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan 

martabat.

128. Tidak jarang orang yang telah dijatuhi hukuman mati harus menunggu lama sebelum 

mereka tahu apakah hukumannya akan dilakukan atau tidak. Jika penundaan ini 

merupakan konsekuensi dari prosedur banding atau permintaan pengampunan, itu tidak 

bisa dihindari. Namun jika ketidakpastian berlangsung beberapa tahun (hal yang tidak 

biasa), efek psikologis mungkin dapat disamakan dengan penderitaan mental yang 

parah.43 Dalam situasi ini , penghormatan terhadap martabat manusia dan integritas 

fisik dan mental dipertanyakan. 

Fenomena Deret Tunggu 

129. Hingga Oktober 2021 jumlah terpidana mati di Indonesia adalah 401 orang dengan 

komposisi perempuan 11 orang dan laki-laki 390 orang44. Sebagai negara yang 

mendasarkan pada ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’ dan mengakui ‘hak hidup’ dan 

‘hak untuk bebas dari penyiksaan’ dalam konstitusi dan berbagai peraturan turunannya, 

maka praktek hukuman mati merupakan sesuatu yang harus dihentikan secara de facto 

maupun legal. Dari jumlah ini  terdapat narapidana yang telah menjadi tahanan / 

menghuni lapas sejak tahun 2001. Dengan kata lain selama 20 tahun yang bersangkutan 

menjadi terpidana mati. Selama ‘menunggu eksekusi’ terpidana mati ini  berada 

dalam posisi yang sangat rentan, yang kemudian menciptakan fenomena deret tunggu 

(death row phenomenon). Fenomena demikian terjadi di banyak negara. 

130. Pelapor Khusus PBB untuk penyiksaan menjelaskan bahwa fenomena death row / deret 

tunggu eksekusi mati merupakan kombinasi dari berbagai keadaan yang menghasilkan 

kemunduran fisik dan trauma mental pada tahanan (narapidana yang dihukum hukuman 

mati). Yang dimaksud dengan berbagai keadaan itu adalah lamanya waktu yang 

dijalankan dalam deret tunggu eksekusi mati yang mengakibatkan kecemasan yang 

tinggi, penerapan ruang isolasi bagi terpidana mati ini , ukuran ruang tahanan dengan 

pencahayaan dan ventilasi yang sangat kurang, ketersediaan makanan, kesempatan 

berolahraga yang minim, dan pembatasan dikunjungi dan berkorespondensi dengan pihak 

luar.45  

131. Fenomena deret tunggu mencakup lamanya waktu yang dijalankan narapidana mati 

dalam deret tunggu dan kondisi tahanan yang sangat buruk yang dialami oleh narapidana 

ini 46. Misalnya, pengurungan berkepanjangan di ruang isolasi disertai dengan 

kesadaran akan mati dan tidak jelas kapan eksekusi berlangsung (berada dalam deret 

tunggu) menciptakan resiko kerusakan mental dan fisik yang tak dapat diperbaiki.47   

132. Kondisi penjara yang sangat buruk yang dialami oleh narapidana mati yang berada dalam 

deret tunggu itu sendiri dapat dikategorikan sebagai perbuatan / penghukuman yang 

kejam.48 Dalam kasus Soering vs. United Kingdom, 1993 Pengadilan HAM Eropa 

pemerintah Inggris (Britania Raya) dianggap telah melanggar larangan pasal 3 dari 

Konvensi HAM Eropa yang mengatur mengenai penyiksaan dan perlakuan sewenang-

wenang lainnya karena yang bersangkutan akan menghadapi fenomena death row. 

Sementara, kombinasi perampasan hak-hak dasar atas mereka yang berada dalam deret 

tunggu eksekusi mati merupakan perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat, 

yang melanggar pasal 7 KIHSP dan Konvensi Menentang Penyiksaan. 

133. Dengan adanya fenomena deret tunggu tidak berarti mendorong percepatan eksekusi 

mati. Dalam pasal 6 (4) KIHSP49 narapidana mati berhak memperoleh komutasi yaitu 

perubahan hukuman dari hukuman mati menjadi hukuman penjara seumur hidup. 

Berkaitan dengan hal ini, (a) Negara wajib meninjau kembali secara reguler status 

hukuman narapidana mati dengan standar hukum yang tinggi disertai ketersediaan 

bantuan medis dan psikologis bagi narapidana. (b) Negara wajib terus memantau kondisi 

kesehatan fisik dan mental terpidana mati. (c) Negara wajib memberi akses pemantauan 

oleh lembaga independen atas tempat-tempat penahanan guna menghilangkan peluang 

terjadinya penyiksaan bagi terpidana mati dan (d) Negara harus berusaha  melakukan 

pengurangan jumlah deret tunggu antara lain dengan komutasi hukuman mati, grasi, dan 

menghapus hukuman mati.  

134. Kondisi penjara yang keras, seperti penerapan ruang isolasi secara semena-mena, ukuran 

ruang  dengan pencahayaan dan ventilasi yang sangat kurang; ketersedian makanan, air 

minum dan sanitasi yang sangat buruk; pembatasan kesempatan berolahraga dan 

pembatasan dikunjungi dan berkorespondensi dengan pihak luar mudah terjadi pada 

tempat-tempat tahanan (lapas atau rutan maupun ruang tahanan di kepolisian) yang 

dihuni oleh tahanan yang melebihi kapasitas yang tersedia; biasa disebut dengan 

overcrowding. 

Overcrowding 

135. Overcrowding adalah kondisi tempat tahanan yang jumlah penghuninya 

(tahanan/narapidana/ warga binaan) melebihi kapasitas yang tersedia. Kondisi demikian 

mengakibatkan kondisi penahanan di bawah standar perlindungan hak asasi, tidak 

manusiawi serta merendahkan martabat manusia. Diantaranya adalah perampasan 

berbagai hak-hak dasar seperti hak atas kesehatan, sanitasi dan air bersih. Kamar tahanan 

yang tidak sepadan dengan pencahayaan dan ventilasi yang sangat kurang, kesempatan 

berolahraga, dikunjungi dan berkorespondensi dengan keluarga atau pengacara dan hak-

hak khusus bagi tahanan perempuan dan anak.  Kondisi ini juga berpotensi mudah 

terjadinya konflik antar penghuni, kerusuhan, dan perkelahian 

136. Dampaknya bagi anak didik lembaga pemasyarakatan (andikpas) antara lain 

penggabungan andikpas dengan tahanan dewasa. Bagi tahanan perempuan dampaknya 

dapat berupa ibu yang terpaksa melahirkan di lapas, kekerasan seksual dan eksploitasi 

ekonomi terhadap para tahanan perempuan. Kondisi demikian yang disertai berbagai 

pelanggaran HAM lain yang terjadi di dalamnya merupakan perbuatan kejam, tidak 

manusiawi dan merendahkan martabat manusia dan berpotensi terjadinya penyiksaan 

137. Seperti disebutkan di muka (para 10), per tanggal 27 Juni 2022 secara keseluruhan 

Lapas/Rutan yang berada di bawah kendali Ditjen Pemasyarakat kelebihan penghuni 

hingga 107%, dan di sejumlah lapas/rutan kepadatan penghuni itu bisa mencapai 250% 

hingga 600%. Sebagai contoh, Lapas Kelas IIB Bireun (657%), Lapas Kelas IIA 

Banjarmasin (575%), Lapas Perempuan Kelas II Mataram (545%), Lapas Narkotika 

Kelas IIA Jakarta (103%), Rutan Kelas I Cipinang (405%), Lapas Pemuda Kelas IIA 

Tangerang (244%) dan Lapas Kelas I Cipingan (345%). Overcrowding juga terjadi di 

sejumlah ruang tahanan Kepolisian dimana tingkat kepadatan hunian tingkat kepadatan 

hunian yang berlebihan bisa mencapai 14%-112%. Polda-polda yang ruang tahanannya 

melebihi kapasitas yang tersedia wilayah Polda Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera 

Selatan, Metro Jaya, Jawa Timur, Bali, Kalsel, Banten dan Gorontalo.50  Salah satu sebab 

persoalan ini adalah penahanan berkepanjangan menunggu pelimpahan berkas. Jika 

dihitung kontribusinya pada persoalan overcrowding, mencapai 85% dari kasus. 

138. Problem overcrowding juga merupakan akibat dari sistem penghukuman pidana yang 

berlaku, yaitu kecenderungan untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran hukum / hak 

asasi manusia dengan penghukuman pidana penjara      Sebagai akibatnya banyak tindak 

pidana, termasuk tindak pidana tanpa korban yang berujung pada pemenjaran.  

139. Pemerintah telah mengeluarkan Permen Hukum dan HAM mengenai grand design 

overcrowding, yang dikeluarkan pada 2017. Persoalan overcrowding diatasi dengan 

mengendalikan penghukuman pidana penjara secara sistemik dengan pemakaian  

penghukuman alternatif dari hukuman penjara, serta penerapan asimilasi dan rehabilitasi 

terhadap narapidana. Dalam konteks pengadilan, hakim dapat menjatuhkan hukuman 

percobaan, atau hukuman kerja sosial/pengawasan kepada narapidana/warga binaan.  

140.  Disamping hukuman alternatif solusi lain adalah dekriminalisasi, yakni sejumlah pasal 

dihilangkan sifat pidananya. Hal ini bisa dilakukan dengan sama sekali meniadakan pasal 

pidana atau dengan memperkuat aspek keperdataan, dimana orang yang merasa dirugikan 

tetap dapat menggugat dalam konteks perdata. Misalnya ‘pencemaran nama baik’. orang 

yang merasa dicemarkan nama baiknya dapat menggugat atas kerugian yang ditimbulkan, 

bukan atas perbuatan.  

141.  Dalam usaha  pencegahan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya di 

berbagai tempat tahanan yang terjadi karena overcrowding ini, Negara harus memastikan 

adanya pemantauan secara rutin dan mendadak atas tempat-tempat penahanan yang 

dilakukan oleh lembaga independen. Mekanisme pencegahan penyiksaan ini  

mengikuti prinsip-prinsip internasional sebagaimana diatur dalam Protokol Opsional 

Konvensi Menentang Penyiksaan (OPCAT).  

pemakaian  Kekuatan Secara Eksesif 

142. pemakaian  kekuatan secara eksesif dalam tugas-tugas kepolisian dan dalam mengatasi 

kerusuhan atau demonstrasi merupakan pelanggaran atas larangan menghukum atau 

melakukan perbuatan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. 

Dalam hal ini kepolisian berwenang menggunakan kekuatan fisik dan senjata untuk 

maksud-maksud yang sah secara hukum (lawful purposes). Wewenang ini hanya dapat 

dilakukan jika sesuai dengan prinsip legalitas, benar-benar dibutuhkan (prinsip 

necessity), tidak boleh eksesif (prinsip proporsionalitas). Disamping ketiga prinsip ini, 

pemakaian  kekuatan harus mendasarkan pada prinsip pencegahan (precaution) yakni 

aparat penegak hukum sebelumnya telah melakukan berbagai usaha  terjadinya 

pemakaian  kekuatan secara berlebihan. Prinsip proporsionalitas menjadi pertimbangan 

pertama untuk menentukan pemakaian  kekuatan ini  berlebihan atau tidak. 

143. pemakaian  less lethal weapons (senjata yang kurang mematikan) sekalipun, harus 

terkendali. Misalnya gas air mata kalau ditembakkan ke ruangan dimana orang-orang 

yang tidak bisa keluar menghirup udara bersih, apalagi bagi yang memiliki penyakit 

seperti asma.  

Perempuan dalam Tahanan 

144. Ketika perempuan ditahan, sangat penting agar standar internasional dijalankan yang 

diterapkan dengan kepekaan terhadap kebutuhan khusus perempuan.51 Perempuan di 

penjara menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dalam mengakses layanan yang 

sensitif gender di berbagai aspek, seperti perawatan kesehatan, kesempatan memperoleh 

pendidikan, layanan rehabilitasi dan hak berkunjung. Selain itu, perempuan juga 

menghadapi penghinaan seksual misalnya ketika penjaga laki-laki menonton tahanan 

perempuan di saat-saat intim seperti berpakaian atau mandi. 

145. Risiko kekerasan seksual dan bentuk-bentuk lain dapat muncul selama pemindahan ke 

kantor polisi, pengadilan atau penjara, dan khususnya di mana tahanan laki-laki dan 

perempuan tidak dipisahkan atau ketika staf laki-laki mengangkut tahanan perempuan. 

Memisahkan tahanan laki dan perempuan dan memastikan bahwa tahanan perempuan 

diawasi oleh penjaga perempuan dan petugas penjara adalah perlindungan utama 

terhadap terjadinya pelecehan. The Nelson Mandela Rules mengamanatkan bahwa staf 

laki tidak boleh memasuki tempat penahanan perempuan kecuali mereka didampingi 

oleh petugas perempuan.

146. pemakaian  pengait atau rantai dan borgol pada perempuan hamil selama persalinan dan 

secara segera setelah melahirkan mewakili kegagalan sistem penjara untuk 

menyesuaikan protokol dengan situasi khusus yang dihadapi perempuan, yang mana 

benar-benar dilarang.53 Bila dilakukan sebagai bentuk hukuman atau paksaan, untuk 

alasan apa pun berdasar  diskriminasi atau untuk menyebabkan rasa sakit yang parah, 

termasuk dengan menimbulkan ancaman serius terhadap kesehatan, perlakuan ini  

dapat dianggap sebagai penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. 

147. pemakaian  sel isolasi harus diatur secara ketat. Sel isolasi harus digunakan hanya dalam 

kasus luar biasa sebagai usaha  terakhir, untuk waktu sesingkat mungkin, dan hanya 

dengan izin dari pejabat yang berwenang. Sel isolasi dapat menjadi penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya bila digunakan sebagai hukuman, selama 

penahanan pra-persidangan, untuk waktu yang lama (lebih dari 15 hari berturut-turut) 

atau tanpa batas waktu.54 Sel isolasi dalam jangka waktu berapa pun tidak boleh 

dikenakan pada anak-anak, atau orang-orang dengan cacat mental atau fisik, atau pada 

perempuan hamil dan menyusui, atau ibu dengan anak kecil.55 pemakaian nya sebagai 

tindakan pembalasan terhadap perempuan yang mengeluhkan pelecehan seksual atau 

perlakuan berbahaya lainnya harus dilarang. 

148. Penggeledahan tubuh, khususnya penggeledahan telanjang dapat dianggap sebagai 

perlakuan buruk jika dilakukan dengan cara yang tidak proporsional, memalukan atau 

diskriminatif. Praktek-praktek sentuhan dan penanganan yang mengarah pada pelecehan 

seksual selama penggeledahan seperti pada pemeriksaan vagina rutin terhadap wanita 

yang didakwa dengan pelanggaran narkoba, memiliki dampak yang tidak proporsional 

pada perempuan, terutama bila dilakukan oleh penjaga laki-laki. Tidak adanya perawatan 

kesehatan khusus gender dalam penahanan dapat mengakibatkan perlakuan buruk atau, 

bila dipaksakan dengan sengaja dan untuk tujuan yang dilarang, merupakan penyiksaan. 

Kegagalan negara untuk memastikan kebersihan dan sanitasi yang memadai dan untuk 

menyediakan fasilitas dan bahan yang sesuai juga dapat mengakibatkan perlakuan buruk 

atau bahkan penyiksaan.56 Penting untuk terlibat dalam pengembangan kapasitas dan 

pelatihan yang memadai bagi staf pusat penahanan dan personel perawatan kesehatan 

dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan menangani kebutuhan perawatan kesehatan 

dan kebersihan khusus perempuan. 

Anak dalam Tahanan 

149. Karena kerentanan khusus terhadap anak-anak, ambang batas rasa sakit yang lebih 

rendah untuk anak-anak harus dipertimbangkan sejauh menyangkut definisi hukum 

penyiksaan. Konvensi Hak Anak menetapkan bahwa perampasan kebebasan anak harus 

digunakan hanya sebagai usaha  terakhir dan untuk jangka waktu tersingkat dan anak-

anak memiliki hak untuk menantang legalitas perampasan kebebasan sebelum 

pengadilan atau otoritas lain yang kompeten, independen dan tidak memihak.57 Selain 

itu, anak-anak yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi dan 

menghormati martabat yang melekat pada diri mereka, dan dengan cara yang 

memperhatikan kebutuhan mereka sebagai anak-anak.58 

150. Pelapor Khusus tentang penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya 

menyatakan bahwa penjatuhan hukuman seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan 

atau hukuman yang terlalu lama memiliki dampak yang tidak proporsional pada anak-

anak dan menyebabkan kerugian fisik dan psikologis yang mengarah pada hukuman yang 

kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.59 

151. Setiap penahanan anak tanpa dasar hukum, setiap penundaan dalam penyerahan anak 

yang ditahan kepada pejabat pengadilan yang berwenang, setiap penundaan pembebasan 

anak, atau penahanan tanpa pengadilan, merugikan kesejahteraan fisik dan psikologis 

seorang anak dan menghadapkan anak-anak pada risiko tinggi penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya. Dalam hal ini, harus selalu ada catatan sistematis dalam buku 

catatan anak-anak yang masuk ke fasilitas pra-penahanan atau penahanan. 

152. Langkah-langkah untuk memastikan pengurangan penahanan dan penahanan pra-

ajudikasi ke durasi minimum yang diperlukan sangatlah mendesak karena saat itulah 

situasi di mana anak-anak paling berisiko menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya, termasuk selama interogasi, untuk mendapatkan pengakuan 

atau sebagai tindakan disipliner. Persyaratan hukum yang memastikan bahwa anak 

dibawa ke pengadilan sebelum berakhirnya 24 jam,60 harus diterapkan secara ketat, 

sehingga legalitas penahanan dapat dikonfirmasi dan opsi untuk pembebasan atau 

pengalihan dapat dipertimbangkan. Pemberitahuan kepada keluarga dan akses ke 

pengacara dan profesional kesehatan pada tahap awal penahanan dapat membantu 

mengurangi risiko menjadi sasaran penyiksaan. Perlu dibatasi hingga 30 hari lamanya 

seorang anak ditahan tanpa tuntutan resmi yang diajukan dan perlu dipastikan bahwa 

keputusan akhir atas dakwaan ini  dibuat dalam waktu enam bulan sejak tanggal 

awal penahanan, jika tidak anak ini  harus dibebaskan.

153. Kehadiran pengacara adalah wajib bagi anak-anak yang ditahan yang diwawancarai 

sebagai tersangka.62 Anak-anak tidak dapat melepaskan hak mereka untuk mendapatkan 

pengacara. Dalam kasus anak-anak, proses wawancara harus tunduk pada prosedur 

khusus dan dilakukan oleh pewawancara yang terlatih khusus. Kehadiran pengacara 

selama penahanan, khususnya selama interogasi, memainkan peran pencegahan untuk 

potensi penyalahgunaan oleh petugas penegak hukum, mencegah terjadinya penyiksaan. 

Larangan untuk mempertimbangkan pengakuan yang diperoleh melalui penyiksaan 

selama proses peradilan juga merupakan perlindungan mendasar terhadap pemakaian  

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya terhadap anak-anak untuk 

mendapatkan pengakuan. 

154. Tindakan disipliner yang berupa penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak 

manusiawi atau merendahkan martabat, harus dilarang keras, termasuk hukuman fisik, 

penempatan di tempat gelap sel, kurungan tertutup atau isolasi, atau hukuman lain yang 

dapat membahayakan kesehatan fisik atau mental atau kesejahteraan anak.63 Karena 

seorang anak memiliki kerentanan yang meningkat terhadap situasi di mana kontak 

dengan dunia luar terputus, kurungan isolasi dalam jangka waktu berapa pun memiliki 

efek berbahaya pada kesehatan fisik dan mentalnya dan dapat menjadi perlakuan yang 

kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, atau bahkan penyiksaan.64 

Kurangnya ruang dan kondisi tidur yang memadai, termasuk ventilasi, nutrisi yang tepat 

dalam kualitas dan kuantitas, kebersihan, akses ke fasilitas sanitasi termasuk di malam 

hari, serta akses ke perawatan kesehatan, cahaya alami, waktu di luar sel, atau informasi 

layanan dapat menjadi bentuk perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan. 

Hak anak atas standar hidup yang layak menetapkan bahwa setiap anak berhak atas 

standar hidup yang memadai untuk perkembangannya, fisik, mental, spiritual, moral dan 

sosial. 

155. Karena kerentanan khusus mereka, anak-anak penyandang disabilitas dalam tahanan 

lebih rentan untuk menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. 

Negara harus mengambil semua tindakan legislatif, administratif, yudisial atau tindakan 

lain yang efektif untuk mencegah penyandang disabilitas, atas dasar kesetaraan dengan 

orang lain, agar tidak menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang 

lainnya. Kepentingan terbaik anak dan hak untuk mengekspresikan pandangan mereka 

juga berlaku.65 

156. Perhatian Pelapor Khusus tertuju pada fakta bahwa di beberapa negara anak di bawah 

umur (kadang-kadang usia yang sangat muda) yang disangkakan atau dihukum karena 

kejahatan biasa ditahan bersama dengan orang dewasa. Anak-anak tidak boleh ditahan 

bersama orang dewasa karena hal ini meningkatkan risiko anak untuk menjadi sasaran 

penyiksaan,66 pelecehan seksual atau kekerasan dari orang dewasa, serta meningkatkan 

trauma dan melukai diri sendiri. Pelapor Khusus melawan penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya juga menunjukkan bahwa menahan anak-anak dan orang 

dewasa bersama-sama pasti akan mengakibatkan konsekuensi negatif bagi anak-anak, 

yang lima kali lebih mungkin menjadi sasaran insiden kekerasan seksual dan juga lebih 

mungkin untuk menyaksikan atau mengalami bentuk kekerasan lain, termasuk cedera 

fisik oleh anggota staf fasilitas.67 

157. Peraturan Bangkok (The Bangkok Rules) mensyaratkan bahwa tanggung jawab orang tua 

dan pengasuhan anak diperhitungkan dalam proses alokasi dan perencanaan hukuman.68 

Kepentingan terbaik anak, termasuk kebutuhan untuk mempertahankan kontak langsung 

dengan ibu, harus dipertimbangkan secara hati-hati dan independen oleh para profesional 

yang kompeten dan diperhitungkan dalam semua keputusan yang berkaitan dengan 

penahanan, termasuk penahanan pra-persidangan, penghukuman dan penempatan anak.69 

Anak-anak yang tinggal di penjara bersama ibu mereka mungkin berisiko lebih tinggi 

mengalami kekerasan, pelecehan dan kondisi kurungan yang sama dengan penyiksaan 

dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Dalam konteks ini, pemenjaraan ibu hamil dan 

perempuan dengan anak kecil harus dikurangi seminimal mungkin. 

 

III. PENYIKSAAN DI LUAR PEMENJARAAN 

Penyiksaan – Pemasungan dan Panti Sosial 

158. Kaitan ‘penyiksaan’ dan panti sosial terletak pada praktik-praktik penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya dari pengelola panti terhadap penghuni; khususnya 

terhadap Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Termasuk di dalamnya praktek 

pemasungan yang terjadi di dalam panti maupun di luar panti. 

159. Pemasungan adalah tindakan berupa pengikatan dan atau pengekangan mekanis/fisik 

lainnya dan atau penelantaran dan atau pengisolasian sehingga merampas kebebasan dan 

hak asasi seseorang, terutama hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. 1.         

Biasanya, kedua kaki diletakan dalam lobang kayu yang sangat berat sehingga tidak 

dapat bergerak. Untuk makan dan minum terpasung tergantung pada ‘kebaikan’ orang 

lain, tidak dapat membersihkan dirinya sendiri dan yang sudah terpasung terus menerus 

tersisih dari teman-temannya.  

160. Pemasungan merupakan sebuah metode penyiksaan yang sudah lama dipraktekan. Pada 

abad pertengahan di Eropa pasung diterapkan untuk menciptakan penghinaan publik 

yang menorehkan penjahat sebagai paria-sosial.70Biasanya kedua kaki diletakan dalam 

lobang kayu yang sangat berat sehingga terpasung tidak dapat banyak bergerak. Pada 

zaman silam, praktek pasung dilakukan juga dalam rangka perbudakan yang 

menempatkan terpasung seperti barang dagangan. 

 

161. Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan pada 1998. Menurut 

Konvensi ini pemasungan merupakan perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan 

martabat manusia, dan pemasungan terhadap ODGJ dapat dianggap sebagai tindak 

penyiksaan (sebagaimana Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan) karena tindakan itu 

‘mengakibatkan penderitaan yang berat dengan tujuan mendiskriminasi yang dilakukan 

atas pengetahuan aparat negara’. Sebagai salah satu negara yang menyatakan 

komitmennya untuk mengeradikasi penyiksaan, tindakan seperti ini tidak bisa 

dibenarkan.  

 

162. Pada dasarnya ODGJ atau Penyandang Disabilitas Mental memiliki kebebasan dasar 

yang sama dengan manusia lain. Keterbatasan atau kemampuan khusus yang dimilikinya 

tidak menjadi justifikasi bagi siapapun untuk memperlakukan ODGJ secara semena-

mena. Pasal 19 Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention 

on the Rights of Persons with Disability) menjamin prinsip non-diskriminasi dan 

pengakuan atas kesetaraan penyandang disabilitas untuk hidup mandiri dalam 

masyarakat. Pengakuan akan kebebasan setiap manusia tampak pada UUD 1945; UU 

HAM, UU No. 5/1988 (tentang ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan), UU tentang 

ratifikasi KIHSP, UU tentang ratifikasi CEDAW) dan UU tentang ratifikasi Konvensi 

Hak Anak.  

 

163. Berbagai bentuk penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya tidak boleh 

dikenakan pada penyandang disabilitas. Pemasungan harus dihentikan, dan berbagai 

langkah harus dilakukan oleh Negara agar tidak ada pihak negara maupun non-negara 

melakukan tindakan pemasungan, antara lain mengusaha kan perubahan  stigma / 

diskriminasi baik dari pejabat publik maupun masyarakat terhadap ODGJ, menghadirkan 

Desa Siaga Jiwa, memaksimalisasi puskesmas dan rumah sakit, memungkinkan 

puskesmas memiliki obat yang cukup dan Dokter Jiwa, sehingga ODGJ dapat tetap 

berobat jalan, dan mengoptimalkan program mengedukasi keluarga maupun masyarakat 

tentang ODGJ menuju Indonesia bebas pasung. 

 

164. Negara perlu melakukan langkah-langkah dengan menyediakan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) 

di setiap provinsi dan membuat skema untuk meningkatkan rasio dan proporsionalitas 

ketersediaan dokter jiwa dibandingkan dengan jumlah masyarakat yang harus dilayani 

terkait dengan gangguan jiwa. Rumah sakit perlu memiliki poli jiwa dan ruang inap-jiwa 

 


 

bagi pasien ‘gaduh’; yang setelah sekitar 2 minggu bisa kembali ke masyarakat untuk 

berobat. 

 

Hukuman Badan 

165. Hukuman badan (corporal punishment) di luar pemenjaraan seperti mutilasi bagian-

bagian tubuh, hukuman cambuk, mengubur manusia hidup-hidup, yang dilakukan oleh 

negara atau sepengetahuan negara merupakan suatu bentuk dari hukuman yang kejam, 

tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Dalam kasus Osbourne v. 

Jamaica71 Komite Menentang Penyiksaan secara bulat berpendapat bahwa hukuman 

badan merupakan tindakan / hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan. 

Perbuatan kejam ini dapat pula dilakukan oleh aktor non-negara. 

166. Negara yang mempraktekkan hukuman badan dan tidak melakukan tindakan-tindakan 

efektif untuk mencegah dan melarang perbuatan ini  terjadi, juga di ranah privat, 

melanggar larangan menghukum/melakukan perbuatan yang kejam, tidak manusiawi dan 

merendahkan martabat manusia. 

 

Isu Terkait Penyiksaan Berbasis Gender 

167. Secara konseptual, penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya dapat terjadi 

baik di dalam tahanan maupun di luar tahanan serta di ruang publik dan atau privat. 

Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan mengingatkan perlunya menerapkan Konvensi 

Menentang Penyiksaan dengan cara yang inklusif gender.72 Integrasi penuh perspektif 

gender ke dalam setiap analisis penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya 

sangat penting untuk memastikan bahwa pelanggaran yang berakar pada norma-norma 

sosial yang diskriminatif seputar gender dan seksualitas sepenuhnya diakui, ditangani 

dan diperbaiki. Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan telah 

menegaskan bahwa kekerasan berbasis gender adalah sebuah bentuk diskriminasi 

terhadap perempuan,73 dan dapat berupa penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak 

manusiawi atau merendahkan martabat dalam keadaan tertentu, termasuk dalam kasus 

pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga atau praktik-praktik berbahaya lainnya.74 

Unsur maksud dan tujuan penyiksaan selalu akan terpenuhi jika suatu tindakan tertuju 

pada gender tertentu atau dilakukan terhadap orang berdasar  jenis kelamin, identitas 

 

gender, orientasi seksual atau ketidakpatuhan terhadap norma sosial seputar gender dan 

seksualitas.75 

168. Dalam Komentar Umum No.2,76 Komite Menentang Penyiksaan mengklasifikasi sifat 

dan tingkat tanggung jawab Negara atas tindakan penyiksaan atau perlakuan sewenang-

wenang lainnya yang dilakukan oleh aktor non-Negara dan memberikan perhatian 

khusus kepada penerapan prinsip ini sehubungan dengan kekerasan berbasis gender, 

termasuk pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, mutilasi alat kelamin perempuan 

dan perdagangan manusia.  

Perkosaan dan Kekerasan Seksual 

169. Saat ini terdapat pengakuan internasional bahwa perkosaan merupakan bagian dari 

penyiksaan. Diakui secara luas, termasuk oleh Pelapor Khusus tentang Penyiksaan dan 

yurisprudensi regional, bahwa tindakan perkosaan merupakan penyiksaan bila dilakukan 

oleh atau atas hasutan atau dengan persetujuan dari pejabat publik.77 Pengadilan HAM 

Eropa mengakui bahwa pemerkosaan terhadap seorang tahanan oleh pejabat negara harus 

dianggap sebagai bentuk perlakuan sewenang-wenang yang sangat serius dan 

menjijikkan mengingat akses dan kemudahan pelaku untuk dapat mengeksploitasi 

kerentanan dan melemahkan perlawanan korban. Selain itu, pemerkosaan meninggalkan 

bekas luka psikologis yang mendalam pada korban dan proses pemulihannya 

membutuhkan waktu yang lebih dalam daripada bentuk kekerasan fisik dan mental 

lainnya.78 

170. Aktor negara maupun non-negara sama-sama sering melakukan tindakan kekerasan 

seksual selama konflik bersenjata internasional dan non-internasional.79 Kekerasan 

seksual selama konflik merupakan produk stereotip gender yang lazim terjadi di 

masyarakat selama masa damai. Pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual 

lainnya merupakan pelanggaran hukum humaniter internasional80 dan secara tegas 

merupakan penyiksaan menurut yurisprudensi hukum pidana internasional. Di bawah 

hukum humaniter internasional, penyiksaan merupakan pelanggaran hukum dan 

kebiasaan perang dan dapat dilakukan baik oleh Negara maupun kelompok bersenjata 

non-Negara. 

 

 

171. Yurisprudensi tribunal pidana internasional telah memperluas cakupan kejahatan 

kekerasan seksual yang dapat dituntut sebagai pemerkosaan dengan menyertakan seks 

oral dan penetrasi vagina atau anal melalui pemakaian  benda atau bagian tubuh 

penyerang. Patut dicatat bahwa bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya, baik yang 

didefinisikan sebagai pemerkosaan atau tidak, dapat merupakan penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya dan tidak boleh dianggap sebagai pelanggaran 

ringan. Negara bertanggung jawab atas tindakan aktor privat ketika Negara gagal 

melakukan uji tuntas untuk mencegah, menghentikan atau memberikan sanksi kepada 

mereka, atau memberikan reparasi kepada korban. 

Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga 

172. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah semua tindakan kekerasan fisik, seksual, 

psikologis atau ekonomi yang terjadi di dalam keluarga atau unit rumah tangga atau 

antara mantan atau pasangan saat ini, baik pelaku sedang atau telah berbagi tempat tinggal 

yang sama dengan korban.81 Dalam hal kesengajaan, tujuan dan keparahan rasa sakit dan 

penderitaan yang ditimbulkan, KDRT sering kali tidak kurang dari penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya. 

173. Bergantung pada keadaannya, rasa sakit, penderitaan atau penghinaan yang diakibatkan 

oleh KDRT dapat berkisar dari yang relatif sedang dan singkat hingga yang sangat parah 

dan bertahan lama. Tetapi, menurut definisinya, kekerasan selalu berarti pelanggaran 

integritas fisik, mental dan emosional yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat 

manusia. Terlepas dari pertanyaan tentang tanggung jawab Negara dan kesalahan pidana 

individu, yang keduanya perlu dinilai secara terpisah, KDRT selalu berarti perlakuan atau 

penghukuman sewenang-wenang dan sangat sering berupa kekerasan fisik atau 

penyiksaan psikologis.82 

174. Pelapor Khusus tentang penyiksaan berpandangan bahwa kekerasan dalam rumah tangga 

tidak dapat dianggap sebagai masalah pribadi, tetapi merupakan masalah utama hak asasi 

manusia yang secara inheren menjadi perhatian publik yang perlu dikaji dari perspektif 

larangan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Karena KDRT terjadi 

dalam konteks keluarga atau rumah sehingga jarang dilihat sebagai tindakan resmi 

negara, namun dalam keadaan tertentu pejabat negara dapat menjadi pelaku langsung 

KDRT, yaitu ketika negara terlibat dalam penyediaan rumah, seperti di panti asuhan atau 

bentuk perawatan sosial tertentu. 

175. Negara harus mengambil tindakan legislatif, administratif, yudisial atau tindakan lain 

yang efektif untuk mencegah tindakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang 

lainnya di wilayah mana pun di bawah yurisdiksi mereka (Pasal 2 dan 16 Konvensi 

Menentang Penyiksaan). Kegagalan untuk melakukan uji tuntas untuk mencegah, 

 


menyelidiki, menuntut, dan memulihkan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang 

lainnya oleh pelaku privat, termasuk dalam konteks KDRT, dianggap sama dengan 

pemberian persetujuan terhadap penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya.83 

Pelapor Khusus sebelumnya telah mengamati bahwa Negara secara internasional 

bertanggung jawab atas penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya ketika 

mereka gagal melakukan uji tuntas untuk melindungi dari kekerasan semacam itu atau 

ketika mereka melegitimasi kekerasan dalam rumah tangga dengan, misalnya, 

mengizinkan suami untuk menghukum istri mereka atau gagal mengkriminalisasi 

pemerkosaan dalam perkawinan.84 

176. Terlebih lagi, perkembangan hukum internasional menafsirkan bahwa penyiksaan tidak 

perlu melibatkan agen Negara, tetapi juga dapat dilakukan oleh aktor privat tanpa 

partisipasi, hasutan, persetujuan atau pengetahuan pejabat Negara. Misalnya, hukum 

humaniter internasional melarang setiap tindakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-

wenang lainnya, yang dilakukan oleh kelompok bersenjata terorganisir dalam konflik 

bersenjata.85 Statuta Roma juga mengkriminalisasi kejahatan perang dan kejahatan 

terhadap kemanusiaan yang melibatkan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang 

lainnya oleh setiap pelaku, terlepas dari status mereka atau keterlibatan agen Negara.86 

Dalam hukum HAM internasional, diakui secara luas bahwa penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya di tangan pelaku privat dapat memicu berbagai kewajiban 

positif Negara, termasuk dalam konteks KDRT.87 Jadi, keterlibatan agen Negara 

signifikan dapat menentukan apakah suatu tindakan penyiksaan secara hukum dapat 

diatribusikan kepada suatu Negara atau memberikan gambaran tentang kewajiban positif 

Negara di bawah hukum hak asasi manusia. 

177. Di luar kewajiban pencegahan langsung, penyelidikan dan ganti rugi atas tindakan 

penyiksaan dan perlakuan buruk, Negara juga harus mengambil langkah-langkah tepat 

untuk mengubah struktur dan nilai masyarakat yang melanggengkan KDRT,88 dan untuk 

memperbaiki kondisi hukum, struktural dan sosial ekonomi yang dapat meningkatkan 

KDRT oleh aktor privat,89 serta membangun dan memfasilitasi akses layanan dan 

dukungan untuk korban, seperti hotline telepon dan platform online, perawatan 

kesehatan, pusat konseling, bantuan hukum, tempat penampungan dan bantuan keuangan. 

Kekerasan Terhadap Perempuan Hamil dan Penyangkalan Terhadap Hak-Hak 

Reproduktif 

178. Komentar Umum Komite Hak Asasi Manusia No.28 tentang kesetaraan antara laki-laki 

dan perempuan90  menyatakan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 7 KIHSP juga 

mencakup aborsi secara paksa maupun penyangkalan terhadap penyediaan akses aborsi 

yang aman bagi perempuan yang telah hamil akibat pemerkosaan.91  Undang-undang 

aborsi yang sangat ketat yang melarang aborsi bahkan dalam kasus inses, pemerkosaan 

atau gangguan janin atau untuk melindungi kehidupan atau kesehatan perempuan 

melanggar hak perempuan untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang 

lainnya.92 

179. Penolakan aborsi yang dilakukan secara aman dan menempatkan perempuan dan gadis 

pada sikap yang menghina dan menghakimi sehingga menjadi sangat rentan serta di mana 

perawatan kesehatan yang tepat waktu, sangat dapat mengarah pada penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya. Negara memiliki kewajiban untuk mereformasi 

undang-undang tentang aborsi yang restriktif yang melanggengkan penyiksaan dan 

perlakuan sewenang-wenang lainnya dengan menolak akses dan perawatan yang aman 

bagi perempuan.93 

180. Sterilisasi secara paksa juga merupakan pelanggaran terhadap pasal 7 KIHSP,94 dan 

pelanggaran terhadap hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang 

lainnya. Sterilisasi secara paksa juga merupakan Sterilisasi paksa adalah tindakan 

kekerasan dan bentuk kontrol sosial,95 serta melanggar hak seseorang untuk bebas dari 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Persetujuan penuh, bebas dan 

diinformasikan dari pasien itu sendiri sangatlah penting dan tidak pernah dapat dimaafkan 

atas dasar kebutuhan medis atau keadaan darurat ketika sebuah persetujuan masih 

memungkinkan. Mengingat kerentanan khusus perempuan penyandang disabilitas, 

Pelapor Khusus Penyiksaan juga menekankan bahwa aborsi paksa dan sterilisasi 

perempuan hasil dari proses hukum dimana keputusan dibuat oleh wali yang sah namun 

bertentangan dengan keinginan mereka, dapat merupakan penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya.

Mutilasi Alat Kelamin Perempuan (Female Genital Mutilation) 

181. Mutilasi alat kelamin perempuan (FGM) merupakan semua prosedur yang melibatkan 

pengangkatan sebagian atau seluruh alat kelamin perempuan bagian luar atau cedera lain 

pada alat kelamin perempuan karena alasan non-medis.97 FGM menyebabkan 

penderitaan yang parah dan berkepanjangan dan tujuannya umumnya bersifat 

diskriminatif, mengingat hal itu dilakukan dengan maksud untuk menegakkan standar 

patriarki kesucian perempuan melalui penghapusan kenikmatan seksual. Praktek ini 

umumnya dikenakan pada anak perempuan yang dalam keadaan tidak berdaya untuk 

melawan atau melarikan diri dari pelecehan ini . 

182. Mengingat bahwa FGM melibatkan rasa sakit atau penderitaan yang parah yang disengaja 

dan umumnya bertujuan diskriminatif dari pada orang-orang yang tidak berdaya, praktik 

ini  sama dengan penyiksaan. Atau jika tidak ada satu atau lebih elemen konstitutif 

ini , FGM merupakan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak 

manusiawi atau merendahkan martabat. Jelas bahwa jika undang-undang mengizinkan 

praktik ini , tindakan FGM apa pun akan sama dengan penyiksaan dan keberadaan 

hukum dengan sendirinya akan merupakan sepengetahuan atau persetujuan oleh negara.98 

Pemaksaan Pemeriksaan Keperawanan  

183. Tes keperawanan adalah pemeriksaan ginekologis yang dilakukan dengan keyakinan 

pemeriksaan ini  menentukan apakah seorang perempuan telah melakukan hubungan 

seks melalui vagina.99 Pemeriksaan ginekologi yang biasanya dilakukan dengan inspeksi 

visual daerah hymen, sering dikombinasikan dengan memasukkan jari ke dalam vagina 

untuk menentukan kelonggaran vagina dan kehadirannya atau tidak adanya selaput dara 

dan penetrasinya. Tes keperawanan adalah tradisi lama yang telah didokumentasikan di 

setidaknya 20 negara yang mencakup semua wilayah di dunia. Perempuan dan anak 

perempuan menjadi sasaran, dan seringkali dipaksa, untuk menjalani tes keperawanan 

karena berbagai alasan, seperti permintaan dari orang tua atau calon pasangan untuk 

menetapkan kelayakan pernikahan atau dari majikan untuk kelayakan pekerjaan. Hal ini 

sebagian besar dilakukan oleh dokter, petugas polisi, atau tokoh masyarakat pada 

perempuan dan anak perempuan untuk menilai kebajikan, kehormatan atau nilai sosial 

mereka.  

184. Istilah keperawanan bukanlah istilah medis atau ilmiah. Sebaliknya, konsep ini  

adalah konstruksi sosial, budaya dan agama yang mencerminkan diskriminasi gender 

terhadap perempuan dan anak perempuan.100 Harapan sosial bahwa anak perempuan dan 

perempuan harus tetap perawan didasarkan pada gagasan stereotip bahwa seksualitas 

perempuan harus dibatasi dalam pernikahan. Gagasan ini berbahaya bagi perempuan dan 

anak perempuan secara global. Apalagi sebuah tinjauan sistematis tentang kegunaan 

medis tes keperawanan dengan pemeriksaan selaput dara menyimpulkan bahwa praktik 

ini tidak akurat atau tidak andal menentukan keperawanan.   

185. Komite PBB untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, 

Komite PBB untuk Hak Anak, Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan dan Perlakuan 

atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat dan PBB 

Khusus Pelapor Kekerasan Terhadap Perempuan, Penyebab dan Konsekuensinya telah 

semuanya menyatakan tes keperawanan sebagai praktik yang berbahaya. Tes 

keperawanan melanggar hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan sewenang-

wenang lainnya, karena pemeriksaan seringkali memalukan, merendahkan dan dilakukan 

dengan cara untuk mengintimidasi dan menghukum.101 

186. Yurisprudensi internasional mengakui bahwa tindakan pemaksaan terhadap pemeriksaan 

keperawanan dapat menjadi penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. 

Bahkan hukum pidana internasional juga mempertimbangkan tes keperawanan sama 

dengan pemerkosaan. Pakar forensik internasional mendukung larangan jenis tes 

ini . Bahkan PBB (WHO, UN Women & OHCHR) dan Asosiasi Medis Dunia 

(WMA) menyampaikan agar tes ini  diakhiri.102 

187. Negara-negara harus melakukan uji tuntas atau prinsip kehati-hatian untuk melarang, 

mencegah, dan memulihkan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya setiap 

kali ada alasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa tindakan ini  dilakukan oleh 

aktor swasta. Ketidakpedulian atau kelambanan Negara dianggap sebagai suatu bentuk 

dorongan dan/atau izin secara de facto. Prinsip ini berlaku untuk kegagalan Negara dalam 

mencegah dan memberantas kekerasan berbasis gender. 

Pernikahan Dini dan Perkawinan Paksa Anak 

188. Perkawinan dini dan perkawinan paksa pada anak adalah pelanggaran HAM dan praktik 

berbahaya yang secara tidak proporsional mempengaruhi perempuan dan anak 

perempuan secara global yang mencegah mereka menjalani hidup bebas dari segala 

bentuk kekerasan. Praktik ini  merugikan kapasitas korban untuk mewujudkan 

seluruh hak asasi mereka. Komite Hak Anak menyatakan perkawinan dini dan 

perkawinan paksa sebagai bentuk kekerasan terhadap anak.

189. Baik perkawinan dini maupun perkawinan paksa pada anak dapat menimbulkan kerugian 

yang berkepanjangan, termasuk penderitaan psikologis, emosional dan fisik yang parah, 

pemerkosaan dalam perkawinan dan bentuk-bentuk pelecehan seksual lainnya, 

kehamilan dini yang mengancam jiwa atau kehamilan yang tidak diinginkan. 

Konsekuensi ini dapat diprediksi mengingat usia anak-anak yang masih muda, 

penderitaan yang diakibatkannya harus dianggap disengaja dan umumnya berakar pada 

pandangan diskriminatif terhadap perempuan dan anak perempuan. 

190. Kepentingan terbaik anak dan perlindungan hak anak perempuan harus selalu 

dipertimbangkan dan kondisi yang diperlukan harus tersedia untuk memungkinkan 

mereka mengekspresikan sudut pandang mereka dan memastikan pendapat mereka 

diberikan dengan benar. Pertimbangan yang cermat juga harus diberikan pada potensi 

jangka pendek dan jangka panjang dampak terhadap anak atau perempuan dari putusnya 

perkawinan anak dan/atau kawin paksa.105 

191. Perkawinan anak merupakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya,106 

terutama ketika Negara gagal menetapkan usia minimum untuk menikah yang sesuai 

dengan standar internasional atau mengizinkan pernikahan anak meskipun ada undang-

undang yang mengatur usia ini  (mayoritas pada usia 18 tahun),107 untuk 

mengkriminalisasi pernikahan paksa dan untuk menyelidiki, mengadili dan menghukum 

pelakunya. 

Pencari Suaka dan Pengungsi 

192. Irisan ‘penyiksaan’ dan ‘pengungsi’ atau pencari suaka terletak pada pengungsi yang lari 

dari ancaman penyiksaan dari negara asal, dan penyiksaan dan perlakuan sewenang-

wenang lainnya dan merendahkan di tempat-tempat pengungsian.  

193. penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya dapat terjadi dimana-mana. Banyak 

orang yang lari keluar dari negerinya, mengungsi dan menjadi pengungsi karena ancaman 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya di negara asal. Banyak dari mereka 

adalah penyintas dari tindak penyiksaan atau karena terancam mendapat siksaan atas 

dasar identitasnya yakni identitas ras, identitas agama, identitas pandangan politik, dan 

identitas sebagai perempuan. Diperkirakan 20 % – 30% pengungsi di seluruh dunia yang 

jumlahnya mencapai 15 juta orang adalah korban penyiksaan.108 

194. Hukum internasional perlindungan pengungsi diatur pada Konvensi Terkait Status 

Pengungsi, 1951 (yang biasa dikenal dengan Konvensi Pengungsi 1951). Konvensi ini 

memberikan perlindungan hukum internasional bagi pengungsi. Prinsip dari konvensi ini 

adalah bahwa seseorang (pengungsi) tidak dapat dipaksa pulang ke negara dimana ia 

beresiko dipersekusi karena alasan-alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada 

suatu kelompok sosial tertentu atau pendapat politik.  

195. Pasal 1 Konvensi Pengungsi mendefinisikan pengungsi sebagai “as a person who is 

outside his or her country of nationality or habitual residence; has a well-founded fear 

of being persecuted because of his or her race, religion, nationality, membership of a 

particular social group or political opinion; and is unable or unwilling to avail him— or 

herself of the protection of that country, or to return there, for fear of persecution”  

196. Dari Pasal 1 ini terdapat 4 unsur untuk disebut pengungsi: (1) yang bersangkutan berada 

di luar negara asal mereka, (2) mereka tidak dapat atau tidak ingin memperoleh 

perlindungan dari negara asalnya / tidak dapat atau tidak ingin kembali ke negara asal, 

(3) ketidak-dapatan dan ketidak-inginan ini disebabkan oleh rasa takut yang cukup 

beralasan akan dipersekusi dan (4) rasa takut akan persekusi ini  karena alasan ras, 

agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pada pendapat 

politik.  

197. Yang dimaksud dengan kelompok sosial tertentu mencakup pula perempuan dimana 

komunitas atau keluarganya menganut nilai-nilai yang tidak meletakan perempuan setara 

dengan laki-laki sedemikian sehingga terdapat alasan kuat bahwa yang bersangkutan 

diperkusi. Pengertian persekusi disini mencakup pula dirampasnya hak hidup atau hak 

untuk bebas dari penyiksaan. Ancaman itu dapat berasal dari negara maupun aktor non – 

negara.  

198. Terhadap pengungsi, Konvensi Menentang Penyiksaan juga melindungi mereka karena 

secara khusus melarang pengusiran, pengembalian atau ekstradisi siapa saja ke sebuah 

negara karena ada alasan yang kuat untuk percaya bahwa di sana orang yang 

bersangkutan akan berada dalam bahaya menjadi sasaran penyiksaan’.109 Dengan 

Konvensi Menentang Penyiksaan, prinsip non-refoulement tidak hanya berlaku bagi 

pengungsi tertentu sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 Konvensi Pengungsi 1951, 

tetapi juga pada siapa saja karena adanya ancaman penyiksaan. Mereka yang lari dari 

negaranya karena ‘alasan takut disiksa’ berhak mendapat perlindungan internasional, 

berupa pemberian suaka, sehingga mereka tidak harus balik kepada pelaku-pelaku 

penyiksaan. 

199. Setiap pemerintah sebelum memutuskan untuk melakukan ekstradisi seseorang ke negara 

lain wajib melakukan penilaian secara hati-hati atas kemungkinan orang yang 

bersangkutan terkena penyiksaan atau hukuman mati. Negara wajib menahan diri dari 

tindakan mengusir atau mengekstradisi seseorang jika tindakan itu justru memudahkan 

terjadinya penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya.110 Terhadap pengungsi 

dan pencari suaka yang datang, Negara penerima harus memperlakukan pengungsi 

dengan bermartabat dan menerapkan prinsip non refoulement. 

200. Indonesia tidak meratifikasi Konvensi tentang pengungsi, namun meratifikasi Konvensi 

Menentang Penyiksaan, sehingga terikat pada dan mengakui prinsip ‘non-refoulement’. 

Konsekuensinya, pemerintah Indonesia tidak dapat begitu saja melakukan pengusiran, 

pemulangan atau ekstradisi atau cara apapun seorang pengungsi ke negara dimana ia 

memiliki alasan yang kuat terancam disiksa atau ill treatment. Jika negara Indonesia 

melakukan hal ini  maka melanggar larangan penyiksaan. Karena Indonesia telah 

meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaana, maka Negara RI sebaiknya menjamin 

prinsip non refoulment dalam UU Imigrasi dan peraturan turunannya seperti Peraturan 

Presiden No.125/2016 mengenai Pengungsi Luar Negeri. 

201. Direktur Jenderal Imigrasi, pada tahun 2010 mengeluarkan Surat Direktur Jenderal 

Imigrasi Nomor F.IL.01.10-1297 tentang Penanganan Imigran Ilegal yang berisi 

“Apabila terdapat orang asing yang menyatakan keinginan untuk mencari suaka pada 

saat tiba di Indonesia, agar tidak dikenakan tindakan keimigrasian berupa 

pendeportasian ke wilayah negara yang mengancam kehidupan dan kebebasannya”. 

Surat Dirjen ini menunjukan pengakuan akan prinsip non-refoulement dan harus 

diterapkan secara konsisten. 

202. Penyiksaan dapat terjadi di tempat pengungsian, karena kondisi dari tempat-tempat 

menampung pengungsi atau pencari suaka. Kehidupan pencari suaka sangat tergantung 

pada negara yang mau menerima. Dalam memperoleh suaka banyak sekali pengungsi 

yang mendapat siksaan dari aparat atau dari sesama pengungsi di negara ‘pelarian’. 

Beberapa pencari suaka perempuan bahkan mengalami kekerasan seksual oleh aparat. 

Banyak pula kondisi tempat pengungsian dari pencari suaka yang berhasil kabur dari 

negaranya tidak menjamin perlindungan atas hak-hak asasinya. 

203. Terhadap pengungsi perempuan negara harus menjamin tidak terjadinya diskriminasi dan 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya terhadap perempuan saat 

pengungsian, yang dapat terjadi dalam bentuk-bentuk khusus yang dialami perempuan 

seperti pemerkosaan, FGM dan sterilisasi paksa. Negara juga juga harus melindungi 

pengungsi perempuan dari diskriminasi semata karena ia adalah perempuan. Misalnya, 

dalam komunitasnya terdapat norma-norma yang sangat ketat membatasi hak dan 

aktivitas perempuan untuk keluar; sehingga membatasi hak memperoleh air bersih yang 

dapat diminum, makanan dan pelayanan kesehatan dasar, yang dapat membuat 

perempuan kehilangan hak atas hidup yang layak.   

204. Terhadap pengungsi anak-anak Negara harus memenuhi kebutuhan khusus anak. Ada 

beberapa kebutuhan khusus anak yang harus menjadi pertimbangan dalam melindungi 

pengungsi anak-anak yaitu menjamin anak-anak pengungsi dari rekrutmen sebagai 

anggota militer / bersenjata, dari pelecehan seksual, dan detensi. 

Penggusuran Paksa Sistematis 

205. Praktek penggusuran paksa merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia (a gross 

violation of human rights) terutama hak atas tempat tinggal yang layak. Pengadilan 

HAM Eropa pada perkara Selcuk and Asker vs. Turkey (12/1997/796/998-999) 

berpandangan bahwa pengrusakan rumah mengakibatkan penderitaan yang 

dikategorikan sebagai perlakuan tidak manusiawi (inhuman treatment), oleh karenanya 

melanggar Pasal 3 dari Konvensi HAM Eropa111 

206. Kasus-kasus penggusuran paksa dengan dimensi penyiksaan banyak terjadi di dalam 

komunitas yang mengalami diskriminasi luar biasa. (1) kelompok Roma di Eropa.  

Rumah mereka dibakar sehingga mengalami kesakitan mental yang luar biasa. (2) 

penghancuran perumahan sistematik milik orang Palestina di sepanjang jalur Gaza. 

Penyiksaan dan Enforced Disappearance  

207. Penghilangan secara paksa (enforced disappearance) memiliki hubungan yang sangan 

dekat dengan penyiksaan terutama ketika melibatkan penahanan berkepanjangan tanpa 

komunikasi (prolonged ‘incommunicado’) dengan pihak luar. Ketika itu keberadaan 

tahanan tidak diketahui dan pelaku penahanan biasanya tidak mengakui adanya 

penahanan terhadap korban, sekalipun banyak saksi mata yang melihat bahwa korban 

ditahan di dalamnya atau di tempat-tempat rahasia. Selama puluhan atau ratusan hari 

korban ditahan tanpa berhubungan dengan pihak luar manapun (seperti keluarga, 

pengacara ataupun petugas kesehatan). Keluarga korban mengalami kesedihan yang 

tidak pasti dengan penuh pertanyaan; apakah korban masih hidup atau sudah mati, 

bagaimana kalau suatu saat korban muncul di hadapan mereka; dan korban berada di 

luar jangkauan perlindungan hukum. 

Banyak korban / orang hilang ini  yang juga mengalami ‘penyiksaan’ sebagaimana 

definisi pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan di samping extra judicial killing atau 

pembunuhan oleh otoritas negara tanpa melalui proses hukum.   

208. PBB telah melahirkan Konvensi Internasional untuk Perlindungan bagi Semua Orang 

dari Penghilangan secara Paksa yang mendefinisikan penghilangan paksa (Pasal 2) 

sebagai “… is considered to be the arrest, detention, abduction or any other form of 

deprivation of liberty by agents of the State … followed by a refusal to acknowledge 

the deprivation of liberty or by concealment of the fate or whereabouts of the 

disappeared person, which place such a person outside the protection of the law.”  

Dari sudut pandang larangan penyiksaan, kasus-kasus penghilangan paksa yang 

melibatkan penahanan berkepanjangan merupakan perbuatan tidak manusiawi dan 

kejam yang mengarah pada penyiksaan. Dalam kasus Polay Compos v. Peru[1] [2] , 

isolasi selama 1 tahun yang dialami Polay tanpa dapat berkorespondensi dianggap oleh 

Komite HAM sebagai perlakuan tidak manusiawi.113 Di Indonesia, setidaknya masih 

terdapat 13 orang yang diculik dan keberadaannya hingga kini belum diketahui, 

termasuk penyair Wiji Thukul, dan terdapat setidaknya 10 orang yang diculik dan 

kemudian dilepaskan 

 

G. KEWAJIBAN NEGARA DAN AKTOR NON-NEGARA 

209. Kewajiban Negara menghormati hak untuk bebas dari penyiksaan adalah Negara 

menahan diri dari tindak penyiksaan, perbuatan kejam, tidak manusiawi dan 

merendahkan martabat. Tidak boleh ada aparat negara yang melakukan tindak-tindak 

ini . 

Kewajiban Negara Melindungi 

210. Kewajiban negara untuk menjamin (ensure) perlindungan yang efektif (Pasal 7 jo Pasal 

2 KIHSP mengharuskan adanya tindakan-tindak legislatif, administratif dan yudikatif 

dari negara untuk mencegah dan menghukum tindak penyiksaan dan perlakuan 

sewenang-wenang lainnya. Kewajiban ini meliputi kewajiban untuk: (1) menginvestigasi 

serta (2) menuntut mereka yang mendorong, memerintahkan, mentoleransi atau 

melakukan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya (3) memulihkan korban 

dan (4) Kewajiban non-refoulement yakni untuk tidak menjadikan seseorang mudah 

menjadi sasaran (expose to) penyiksaan perlakuan sewenang-wenang lainnya dengan 

memulangkan yang bersangkutan ke negaranya. 

211. Dari segi aktor. Perlindungan oleh Negara ini  meliputi perlindungan baik dari 

tindakan yang dilakukan oleh aktor negara maupun non negara,114 termasuk di dalamnya 

kekerasan dalam rumah tangga dan FGM (Lihat aktor non negara dan FGM). Kewajiban 

perlindungan ini juga mencakup perlindungan dari tindakan yang dilakukan oleh petugas 

negara asing di wilayah Indonesia yang bertindak atas pengetahuan dan persetujuan 

negara Indonesia. 

212. Kewajiban investigasi. Negara wajib melakukan investigasi atas pengaduan mengenai 

dugaan terjadinya penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya secara cepat, 

menyeluruh, imparsial oleh otoritas negara yang kompeten115 dan lengkap116. Kegagalan 

negara melakukan investigasi atas tuduhan yang disampaikan oleh seseorang 

mengakibatkan dilanggarnya hak orang ini  untuk memperoleh kompensasi. 

Examinasi medis dilakukan segera setelah adanya tuduhan perlakuan kejam, dan 

dilakukan secara rutin terhadap mereka yang ditahan sebelum pengadilan, guna 

memastikan tiadanya kejahatan/penyiksaan atau ill treatment 

213. Penuntutan. Negara harus melakukan penuntutan yang sungguh-sungguh terhadap 

mereka yang mendorong melakukan, memerintahkan, dan mentolerir atau melakukan 

tindakan yang dilarang ini (penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya).117 

Negara harus mengadili dan menghukum pelaku tindak penyiksaan, termasuk pelaku 

non-negara. Pemberian amnesti bagi pelaku penyiksaan atau perbuatan keji lainnya tidak 

sesuai dengan kewajiban negara untuk mempersekusi/menghadapkan pelaku ke 

pengadilan.  

Beban Pembuktian 

214. Dalam banyak perkara penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya 

pembuktiannya tergantung pada informasi yang hanya ada di tangan negara dan 

membutuhkan klarifikasi. Dalam keadaan demikian, beban pembuktian tuduhan akan 

penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya tidak hanya terletak di pihak 

pengadu.  Tuduhan yang disampaikan menjadi bukti yang memperkuat bukti yang dapat 

dipercaya, seperti laporan kesehatan yang mengindikasikan adanya penyiksaan fisik atau 

mental, atau deskripsi kejadian di hadapan hakim atau pada saat pengadilan, atau 

sertifikasi/dokumen resmi yang menjelaskan sebab-sebab kematian (misalnya hasil 

otopsi) maupun sertifikat kematian. Bukti lain yang dapat dipercaya termasuk visum et 

repertum psychiatricum. (UU Tindak Pidana Keker