komunikasi 3



 hami oleh masayrakat pedesaan. Dalam penyajiannya, pertunjukkan ini biasanya diiringi oleh musik 

daerah setempat. 

 Di berbagai daerah, media komunikasi tradisional tampil dalam berbagai bentuk dan sifat, sejalan 

dengan variasi kebudayaan yang ada di daerah-daerah itu. Misalnya tudang sipulung (duduk bersama), 

ma’bulo sibatang (kumpul bersama dalam sebuah pondok bamboo) di Sulawesi Selatan dan selapanan 

(peringatan pada hari ke-35 kelahiran) di Jawa Tengah. 

 

a) Sifat-sifat Media Tradisional 

Menurut Ranganath menuturkan bahwa media tradisional itu akrab dengan massa khalayak, kaya 

akan variasi, dengan segera tersedia, dan biayanya rendah. Ia disenangi baik oleh pria maupun wanita dari 

berbagai kelompok umur. Secara tradisional media ini dikenal sebagai pembawa tema. Di samping itu, ia 

memiliki potensi yang besar bagi komunikasi persuasip, komunikasi tatap muka, dan umpan balik yang 

segera.  

Menurut Rapen menyatakan bahwa media ini secara komparatif murah. Ia tidak perlu diimpor, 

karena ia merupakan milik komunitas. Di samping itu media ini tidak akan memicu  ancaman 

kolonialisme kebudayaan dan dominasi ideologi asing. Terlebih lagi, kredibitasnya lebih besar karena ia 

mempertunjukkan kebolehan orang-orang setempat dan membawa pesan-pesan lokal, yang tidak berasal dari 

pemerintah pusat. Media rakyat ini bersifat egaliter, sehingga dapat menyalurkan pesan-pesan kerakyatan 

dengan lebih baik daripada surat kabar yang bersifat elit, film, radio dan televisi yang ada sekarang ini. 

Sifat-sifat umum media tradisional ini, antara lain ialah mudah diterima, relevan dengan budaya 

yang ada, menghibur, menggunakan bahasa lokal, memiliki unsur legimitasi,   fleksibel,   memiliki    

kemampuan   untuk   mengulangi   pesan-pesan  yang  

dibawanya, komunikasi dua arah, dan sebagainya. 

Oleh  karena sifat - sifat di atas,   media   ini   dapat  berfungsi  sebagai pembawa pesan yang lebih 

baik daripada media lainnya bagi kesejahteraan seluruh warga warga dalam berbagai aspek 

pembangunan social, ekonomi, dan budaya. Kesejahteraan ini diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup 

manusia di daerah pedesaan secara menyeluruh. 

Di pihak lain, Dissanayake (1977) menunjukkan kelebihan media rakyat ini jika dibandingkan 

dengan media massa yang ada di Negara-negara yang sedang berkembang. Pertama, kredibilitas media 

tradisional lebih besar, karena ia telah lama dikenal. Media ini  dapat mengekspresikan kebutuhan, 

kegembiraan, kesedihan, kemenangan, ataupun kekecewaan warga yang mendalam karena menderita 

kekalahan. Kedua, para petani menganggap bahwa media massa di negeri mereka bersifat elit, yang hanya 

melayani kepentingan kelompok yang berkuasa. Media tradisional menggunakan ungkapan-ungkapan dan 

symbol-simbol yang mudah dipahami oleh rakyat, dan mencapai sebagian dari populasi yang berada di luar 

jangkauan pengaruh media massa, dan yang menuntut partisipasi aktif dalam proses komunikasi. 

 

4. 1 Jenis-jenis Media Komunikasi Tradisional 

 

1. Wayang 

A. Sejarah Wayang  

 Jauh sebelum agama Hindu masuk ke negara kita , nenek moyang  bangsa     negara kita   beberapa  

tahun  sebelum masehi telah mengenal wayang. Wayang dalam bahasa Jawa berarti bayangan.  Pertunjukan  

ini  adalah  kebudayaan  asli  negara kita   yang sangat erat hubungannya dengan pemujaan roh  nenek  

moyang  mereka.  Menurut  kepercayaan animisme, roh nenek moyang dapat diminta untuk memberikan 

bantuan serta  perlindungan;  sebaliknya  roh   ini    dapat   juga     mengganggu  dan  mencelakakan  

orang.  Dalam  upaya untuk meminta bantuan kepada roh nenek moyang dimaksud, maka diadakanlah  suatu 

upacara ritual yang dapat mendatangkan roh nenek moyang dimaksud, maka diadakanlah suatu upacara ritual 

yang dapat mendatangkan roh ini . Caranya ialah dengan mempergelarkan pertunjukan wayang. 

 Pada    permulaan    masehi,   bangsa    Hindu  dari   jazirah  India   banyak  

berdatangan  ke  negara kita .  Sedikit  demi  sedikit penduduk asli   menerima pengaruh Hindu ini. Pada zaman  

ini, bahasa  Sansekerta banyak dipergunakan di kalangan atas dan mempengaruhi bahasa  Jawa  dan Bali. 

Bangsa Hindu menemukan wayang sebagai suatu wadah untuk membawakan cerita Mahabharata atau 

Ramayana dalam menyebarluaskan ajaran agamanya. Kemudian, terjadilah suatu perpaduan  yang  amat    

serasi  antara  kedua kebudayaan yang berasal dari Hindu dan yang  asli dari negara kita , sehingga sampai  

dewasa  ini  wayang  dengan     cerita   dari   Hindu   itu   sanggup  menyesuaikan  diri  dengan 

perkembangan sejarah bangsa negara kita . Oleh karena pulau Jawa dan semenanjung pulau Sumatera bagian 

selatan merupakan pulau-pulau  tempat para pedagang dan sastrawan singgah, maka pada pulau-pulau itulah  

ada  sisa-sisa peninggalan sejarah yang ada kaitannya dengan perkembangan wayang di negara kita . 

Akhirnya,  kebudayaan     Hindu sangat cepat meresap pada penduduk. 

 Pada  zaman Islam,  ketika Raden Patah memerintah kerajaan Demak, ia berminat  sekali pada 

wayang.  Namun, para Wali kurang sepakat jika  bentuk  wayang  digambarkan  secara realistis sebab ajaran 

Islam melarang     pembuatan gambar-gambar mahluk hidup. Kemudian, para Wali menciptakan  bentuk  

wayang  purwa yang dibuat dari kulit. Gambar wayang dirubah  dan  disederhanakan  agar  bentuk  manusia  

tidak  tampak, sehingga wayang hanya merupakan lambang watak manusia. 

UNESCO, Badan Dunia di Bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan telah 

menetapkan wayang negara kita  sebagai Warisan Budaya Dunia Nonbendawi (Masterpiece of Oral and 

Intangible Heritage of Humanity) yang perlu dilestarikan. Penetapan itu menyiratkan pengakuan bahwa 

wayang negara kita  adalah karya budaya autentik atau indigenous bangsa negara kita . Namun, ternyata cukup 

sulit untuk mendapatkan informasi atau data sejarah yang autentik menyangkut wayang negara kita . Ini 

mengingat tradisi (sistem) dokumentasi pada bangsa kita memang lemah. 

Keyakinan bahwa wayang merupakan produk budaya sejati bangsa negara kita  antara lain ditegaskan 

oleh pakar wayang, Prof Dr Soetarno, Ketua Sekolah Tinggi Seni negara kita  (STSI), Surakarta, yang di 

antaranya membawahi Jurusan Pedalangan. Ia menguraikan argumentasinya secara panjang lebar, baik dari 

segi sejarah, pengetahuan, konsep estetika maupun teknis, serta filosofis. Wayang, ujarnya, telah dikenal 

secara meluas di sini dalam bentuk relief di candi, pertunjukan, karya sastra, dan tradisi oral. 

Menurut Soetarno, istilah "wayang" sendiri mulai disebut pada Bait 664 Kitab Bharatayudha karya 

Pu Sedah (1157 M). Juga dalam Kitab Tantu Panggelaran (abad ke-12) disebutkan tentang wayang yang 

menggunakan bahan dari kulit binatang yang ditatah. Adapun kelir (layar) juga telah digunakan pada masa 

itu (Kitab Wreta Sancaya). Pada pertengahan abad ke-12, iringan musik untuk pementasan wayang antara 

lain berupa tudungan dan saron kemanak. Adapun pada Kitab Negarakertagama (abad ke-15) disebutkan, 

iringan musiknya berupa tambur, gambang, kala, sangha, dan kemanak. 

Gaj  Hazeu, seorang ahli bahasa dari Belanda yang meneliti tentang wayang, pada tahun 1897 

meyakini pula bahwa wayang merupakan hasil kebudayaan Jawa. Ini didasarkan etimologi istilah-istilah 

yang dikenal dalam pementasan wayang, yaitu dalang, kelir, wayang, keprak, dan blencong. Secara leksikon, 

wayang berarti bayangan. Disertasi Hazeu di atas merupakan hasil penelitian ilmiah tentang wayang yang 

pernah dilakukan meski lebih dari sudut linguistik, karenanya juga menjadi sumber informasi paling valid. 

Namun, sesungguhnya hingga sekarang amat sedikit hasil penelitian, baik dari luar maupun dalam 

negeri, mengenai (sejarah) pertunjukan wayang. Priyohutomo pada tahun 1933 menulis disertasi berjudul 

Nawaruci, juga dari sudut linguistik. Sejumlah sumber tertulis lain seperti Serat Centhini (1823) dan 

Sastramiruda (1920) juga menyinggung tentang wayang, namun itu lebih didasarkan pada tradisi oral 

sehingga sulit diyakini validitasnya. Kemudian, Prof. Poerbatjaraka dalam Kapustakan Jawi (1952) 

memaparkan sejumlah hasil penelitian yang di antaranya mengungkap tentang sejarah wayang. 

Dalam proses yang panjang, antara abad ke-11 hingga akhir abad ke-18, pertunjukan wayang kulit 

purwa tampaknya terus mengalami perkembangan disertai inovasi-inovasi, baik menyangkut aspek estetika 

pertunjukan maupun pemaknaan (filsafat). Proses "penyempurnaan" wayang hingga ke bentuk yang kita 

kenal sekarang berlangsung sejak Kerajaan Demak kemudian Pajang, Mataram, hingga Kartasura. 

Mulai masa Kerajaan Demak (abad ke-15), tokoh wayang di atas kulit binatang mengalami stilisasi, 

yaitu sepenuhnya miring (dua dimensi). Ada yang menyebutkan bahwa perubahan ini  akibat pengaruh 

agama Islam yang dalam syariahnya menolak pencitraan manusia secara "realis". Pada masa itu, Sunan 

Kalijaga konon sangat berperan dalam inovasi pertunjukan wayang kulit ini. Kalijaga yang juga piawai 

mendalang memanfaatkan media ini  untuk menyampaikan dakwah. 

Pada masa Demak itu, sosok wayang dilengkapi dengan anggota tubuh (tangan) yang bisa 

digerakkan atau "lepas" (dengan sumbu pada lengan) seperti sekarang. Diciptakan pula ricikan berupa senjata 

dan hewan sehingga pertunjukan lebih menarik. 

Estetika menyangkut seni rupa wayang menunjukkan terjadinya inovasi dari waktu ke waktu, baik 

menyangkut sosok wayangnya sendiri maupun teknik permainannya. Para seniman perupa pada masa itu 

menuangkan kreativitas mereka dalam berbagai kreasi dan setiap wilayah (komunitas) menemukan kekhasan 

mereka sendiri. Apakah itu menyangkut karakter sosok, wanda, ukuran tinggi, gelung, ornamen, aksesori, 

tatahan, sunggingan (pewarnaan), hingga ke gaya pedalangan. 

Alhasil, dari data sejarah di atas dan proses perkembangan yang dialami, berbagai pihak meyakini 

bahwa wayang adalah karya budaya "asli" karena lahir dan mengalami proses panjang di negara kita . Meski 

tidak diingkari bahwa cerita-cerita pewayangan berasal dari tradisi Hinduisme di India, sebagai produk 

kebudayaan, wayang mengalami proses "pencanggihan" sendiri di bumi nusantara. Kompleksitas dan 

intensitas proses pencanggihan pada pertunjukan wayang yang meliputi berbagai aspeknya itu agaknya tidak 

kita kenal pada produk budaya yang lain di nusantara. 

Dari zaman ke zaman, inovasi dan kreasi-kreasi dari berbagai aspek pertunjukan wayang ini 

mengalami perkembangan secara intensif. Pertunjukan wayang sendiri kemudian juga mengalami keragaman 

bentuk dan media. 

Sebagai hasil interaksi, budaya wayang mempengaruhi segala ekspresi keseharian warga, termasuk 

dalam pembentukan adat istiadat, tradisi, filsafat, ajaran-ajaran moral, dan etika. Pada masa itu, hubungan 

antara pertunjukan wayang dan warga niscaya bukan sekadar interaksi antara publik dan tontonannya 

belaka. Ini pada gilirannya memberikan pengaruh bagi pembentukan nilai-nilai yang kompleks dalam tatanan 

sosial serta ketatanegaraan  

 

B. Jenis-jenis Wayang 

1) Wayang kulit purwa (dengan kisah Ramayana dan Mahabharata) 

2) Wayang beber (kisah Panji. 

3) Wayang madya (zaman sesudah Parikesit) 

4) Wayang gedog (siklus Panji) 

5) Wayang klithik (kisah Damarwulan),  

6) Wayang golek (dari Serat Menak) 

7) Wayang dupara (Babad Mataram II) 

8) Wayang krucil (kisah Damarwulan),  

9) Wayang kancil (fabel) 

10) Wayang perjuangan (1945),  

11) Wayang suluh (1945) 

12) Wayang pancasila (1947),  

13) Wayang wahyu (1960),  

14) Wayang buddha (1979),  

15) Wayang sandosa 

16) Wayang orang 

17) Wayang topeng 

18) Langen mandra wanaran 

19) Sendratari wayang 

20) Wayang jemblung 

 

C. Wayang Sebagai Media Komunikasi Rakyat 

Wayang pernah dibikin lewat media film, sinetron di televisi, belakangan lahir pula wayang 

multimedia, wayang animasi, wayang listrik, wayang cyber. Dan tak kurang pula teater modern yang 

mengambil inspirasi cerita dari kisah pewayangan, begitu juga dalam bentuk cerita pendek dan novel. 

 Namanya saja media tradisional, sehingga tidak sama dengan media massa. Kalau media massa 

adalah media dengan menggunakan alat teknologi komunikasi modern, sedangkan media tradisional adalah 

alat komunikasi yang sudah lama digunakan di suatu tempat (desa) sebelum kebudayaannya tersentuh oleh 

teknologi modern dan sampai sekarang masih digunakan di daerah itu. Adapun isinya masih berupa lisan, 

gerak isyarat atau alat pengingat dan alat bunyi-bunyian. 

 Ditinjau dari aktualialisasinya, ada seni tradisional seperti wayang purma, wayang golek, ludruk, 

ketoprak. Seni ini memakai peralatan atau media tradisional.Seni tradisional ini  juga sampai sekarang 

masih ada dan akan terus dipelihara. Hanya saat ini sudah mengalami transformasi dengan media massa 

modern. Dengan kata lain, ia tidak lagi dimunculkan secara apa adanya, melainkan sudah masuk ke media 

televisi (transformasi). Sekadar contoh adalah acara seni tradisional yang dimunculkan oleh televisi swasta 

Indosiar setiap Sabtu malam. Dari segi cerita juga mengalami transformasi. 

 William R. basom mengemukakan fungsi-fungsi wayang sebagai media tradisional adalah sebagai 

berikut: 

1) sebagai sistem proyek (projective system) 

2) sebagai pengesahan/penguat adapt 

3) sebagai alat pendidikan (pedagogical device) 

4) sebagai alat paksaan dan pengendalian social agar norma-norma warga  

    dipatuhi oleh anggota kolektifnya. 

Beberapa kelebihan media tradisional dan seni tradisional dibanding media lain 

adalah: 

a. Ia  tumbuh   dan   berkembang   di warga,   sehingga  dianggap  sebagai     bagian 

    atau   cermin   kehidupan   warga   desa. Di  samping apa yang disuguhkan  lebih     

    mengena di hati  warga,  melalui  media  tradisional  juga  bisa  diselipkan  pesan   

    dakwah,  pembangunan, misalnya dalam cerita  teater rakyat, ketoprak atau wayang. 

2. Media  rakyat   harus dinikmati  dengan  jenjang pengetahuan atau pendidikan tertentu   

     (karena  sifatnya tertulis,  maka  warga  harus   bisa  membaca terlebih dahulu),   

     sedangkan  media tradisional bisa dinikmati semua lapisan warga. 

3. Seni     tradisional  sifatnya  lebih   menghibur sehingga lebih mudah    mempengaruhi    

    sikap warga. Di   samping  itu, seni   tradisional   tidak   perlu   dinikmati dengan  

    mengerutkan dahi. 

Namun begitu, seni atau media tradisional terbentur hambatan dalam pengembangan. Pertama, 

sejalan dengan tingkat perkembangan warga yang kian maju dan modern, ia akan terancam 

eksistensinya.  Kita bisa ambil contoh banyak kalangan muda yang enggan memupuk dan mewarisi media 

atau seni tradisional ini . Kedua, peran serta pemerintah sangat kecil, padahal seni tradisional menjadi 

salah satu sumber devisa yang dapat diandalkan. Ketiga, media massa kurang tertarik mengekspos atau 

memberitakan seni tradisional ini . Padahal pemberitaan ini menjadi sarana efektif menjaga 

kelangsungannya. 

Melihat fungsi media tradisional yang sedemikian besar, ia jelas punya fungsi yang sangat efektif 

untuk menyebarkan pesan di pedesaan. Ia tidak dilakukan dengan komunikasi antarpersona dan juga tidak 

memakai media massa modern, tetapi dengan alat tradisional yang memang hanya ada di pedesaan. 

 

D. Wayang Sebagai Media Dakwah 

Dalam pertunjukkan wayang kulit yang paling dikenal adalah cerita tentang Serat Kalimasada 

(lembaran yang berisi mantera/sesuatu yang sakral) yang cukup ampuh dalam melawan segala 

keangkaramurkaan dimuka bumi. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa si pembawa serat ini akan menjadi sakti 

mandraguna. Tidak ada yang tahu apa isi serat ini. Namun diakhir cerita, rahasia dari serat inipun 

dibeberkan oleh dalang. Isi serat Kalimasada berbunyi "Aku bersaksi tiada Tuhan Selain Allah dan Aku 

bersaksi Muhammad adalah utusan-Nya" ,isi ini tak lain adalah isi dari Kalimat Syahadat. 

Dalam pertunjukan wayangpun sang wali selalu mengadakan di halaman masjid, yang 

disekelilingnya di beri parit melingkar berair jernih. Guna parit ini tak lain adalah untuk melatih para 

penonton wayang untuk Wisuh atau mencuci kaki mereka sebelum masuk masjid. Simbolisasi dari wudhu 

yang disampaikan secara baik. 

Dalam perkembangan selanjutnya, sang wali juga menyebarkan lagu-lagu yang bernuansa 

simbolisasi yang kuat. Yang terkenal karangan dari Sunan Kalijaga adalah lagu Ilir-Ilir. Memang tidak semua 

syair menyimbolkan suatu ajaran islam, mengingat diperlukannya suatu keindahan dalam mengarang suatu 

lagu. Sebagian arti yang kini banyak digali dari lagu ini diantaranya : 

Tak ijo royo-royo tak senggoh penganten anyar : Ini adalah sebuah diskripsi mengenai para pemuda, Cah 

angon,cah angon, penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno kanggo sebo mengko sore : Cah angon 

adalah simbolisasi dari manusia sebagai Khalifah Fil Ardh, atau pemelihara alam bumi ini angon bhumi). 

Penekno blimbing kuwi ,mengibaratkan buah Belimbing yang memiliki lima segi membentuk bintang. 

Kelima segi itu adalah pengerjaan rukun islam (yang lima) dan Sholat lima waktu. Sedang (lunyu-lunyu 

penekno,  berarti, tidak mudah untuk dapat mengerjakan keduanya (Rukun islam dan sholat lima waktu) ,dan 

memang jalan menuju ke surga tidak mudah dan mulus. Kanggo sebo mengko sore, untuk bekal di hari esok 

(kehidupan setelah mati). 

Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar galangane : Selagi masih banyak waktu selagi 

muda, dan ketika tenaga masih kuat, maka lakukanlah (untuk beribadah). 

Memang masih banyak translasi dari lagu ini, namun substansinya sama, yaitu membumikan 

agama,mensosialisasikan ibadah dengan tidak lupa tetap menyenangkan kepada pengikutnya yang baru. 

Dalam lagu-lagu jawa, ada gendhing bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, kinanthi, 

asmaradhana,hingga megatruh dan pucung. Ternyata kesemuanya merupakan perjalanan hidup seorang 

manusia. Ambillah Mijil,yang berarti keluar, dapat diartikan sebagai lahirnya seorang jabang bayi dari rahim 

ibu. Sinom dapat di artikan sebagai seorang anak muda yang bersemangat untuk belajar. Maskumambang 

berarti seorang pria dewasa yang cukup umur untuk menikah, sedangkan untuk putrinya dengan 

gendhingKinanthi. Proses berikutnya adalah pernikahan atau katresnan antar keduanya disimbolkan dengan 

Asmaradhana. Hingga akhirnya Megatruh, atau dapat dipisah Megat-Ruh.Megat berarti bercerai atau terpisah 

sedangkan ruh adalah Roh atau jiwa seseorang. Ini proses sakaratul maut seorang manusia. Sebagai umat 

beragama islam tentu dalam prosesi penguburannya ,badan jenazah harus di kafani dengan kain putih 

,mungkin inilah yang disimbolkan dengan pucung (atau Pocong). 

Kesemua jenis gendhing ditata apik dengan syair-syair yang beragam, sehingga mudah dan selalu 

pas untuk didendangkan pada masanya. 

 

2. Ludruk  

A. Sejarah Ludruk 

Pada tahun 1994 , group ludruk keliling tinggal 14 group saja. Mereka main di desa desa yang 

belum mempunyai listrik dengan tarif Rp 350. Group ini didukung oleh 50 . 60 orang pemain. Penghasilan 

mereka sangat minim yaitu: Rp 1500 s/d 2500 per malam. Bila pertunjukan sepi, terpaksa mengambil uang 

kas untuk bisa makan di desa. 

Sewaktu James L Peacok (1963-1964) mengadakan penelitian ludruk di Surabaya tercatat sebanyak 

594 group. Menurut Depdikbud propinsi jatim, sesudah tahun 1980 meningkat menjadi 789 group (84/85), 

771 group (85/86), 621 group (86/87) dan 525 (8788). Suwito HS, seniman ludruk asal Malang mengatakan 

tidak lebih dari 500 group karena banyak anggota group yang memiliki keanggotaan sampai lima group. 

Hasil penelitian Suripan Sadi Hutomo, menurut kamus javanansch Nederduitssch Woordenboek 

karya Gencke dan T Roorda (1847), Ludruk artinya Grappermaker (badutan). Sumber lain menyatakan 

ludruk artinya penari wanita dan badhut artinya pelawak di dalam karya WJS Poerwadarminta, Bpe Sastra 

(1930). Sedangkan menurut S.Wojowasito (1984) bahwa kata badhut sudah dikenal oleh warga jawa 

timur sejak tahun 760 masehi di masa kerajaan Kanyuruhan Malan dengan rajanya Gjayana, seorang seniman 

tari yang meninggalkan kenangan berupa candi Badhut. 

Ludruk tidak terbentuk begitu saja, tetapi mengalami metamorfosa yang cukup panjang. Kita tidak 

punya data yang memadai untuk merekonstruksi waktu yang demikian lama, tetapi saudara hendricus 

Supriyanto mencoba menetapkan berdasarkan nara sumber yang masih hidup sampai tahun 1988, bahwa 

ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907, oleh pak Santik dari desa Ceweng, Kecamatan Goda 

kabupaten Jombang. 

Bermula dari kesenian ngamen yang berisi syair syair dan tabuhan sederhana, pak Santik berteman 

dengan pak Pono dan Pak Amir berkeliling dari desa ke desa. Pak Pono mengenakan pakaian wanita dan 

wajahnya  dirias coret coretan agar tampak lucu. Dari sinilah penonton melahirkan kata Wong Lorek.. Akibat 

variasi dalam bahasa maka kata lorek berubah menjadi kata Lerok. 

 1. Periode Lerok Besud (1920-1930) 

Kesenian yang berasal dari ngamen ini  mendapat sambutan penonton. Dalam 

perkembangannya yang sering diundang untuk  mengisi acara pesta pernikahan dan pesta rakyat yang lain. 

Pertunjukkan selanjutnya ada perubahan terutama pada acara yang disuguhkan. Pada awal acara diadakan 

upacara persembahan. Persembahan itu berupa penghormatan ke empat arah angin atau empat kiblat, 

kemudian baru  diadakan pertunjukkan. Pemain utama memakai topi merah Turki, tanpa atau memakai baju 

putih lengan panjang dan celana stelan warna hitam. Dari sini berkembalah akronim Mbekta maksud arinya 

membawa maksud, yang akhirnya mengubah sebutan lerok menjadi lerok besutan. 

 

2. Periode Lerok dan Ludruk (1930-1945) 

Periode lerok besut tumbuh subur pada   1920-1930, setelah   masa   itu    banyak 

bermunculan ludruk di daerah jawa timur. Istilah ludruk sendiri lebih banyak ditentukan oleh warga 

yang telah memecah istilah lerok.  Nama lerok dan ludruk terus berdampingan sejak kemunculan sampai 

tahun 1955, selanjutnya warga dan seniman pendukungnya cenderung memilih ludruk. 

Sezaman dengan masa perjuangan dr Soetomo di bidang politik yang mendirikan Partai negara kita  

raya, pada tahun 1933 cak Durasim  mendirikan Ludruk Oraganizatie (LO). Ludruk inilah yang merintis 

pementasan ludruk berlakon  dan  amat  terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan baik  

Belanda maupun Jepang. 

Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan  kepada  

rakyat, oleh pemain pemain ludruk digunakan untuk menyampaikan pesan  pesan persiapan Kemerdekaan, 

dengan puncaknya peristiwa akibat kidungan Jula Juli yang menjadi legenda di seluruh grup Ludruk di 

negara kita  yaitu : Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro., cak Durasim dan kawan kawan 

ditangkap dan dipenjara oleh Jepang. 

3. Periode Ludruk Kemerdekaan (1945-1965) 

Ludruk  pada  masa  ini  berfungsi sebagai hiburan  dan  alat penerangan  kepada 

rakyat, untuk menyampaikan pesan pesan pembangunan. Pada masa in Ludruk yang terkenal adalah 

.Marhaen. milik .Partai Komunis negara kita .. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika PKI saat itu dengan 

mudah mempengaruhi rakyat, dimana ludruk digunakan sebagai corong PKI untuk melakukan penggalangan 

masa untuk tujuan pemberontakan. Peristiwa madiun 1948 dan G-30 S 1965 merupakan puncak kemunafikan 

PKI.  

Ludruk benar benar mendapatkan tempat di rakyat Jawa Timur. Ada dua grup ludruk yang sangat 

terkenal yaitu : Ludruk Marhaen dan Ludruk tresna Enggal. Ludruk Marhaen pernah main di Istana negara 

sampai 16 kali , hal ini menunjukkan betapa dekatnya para seniman ludruk dengan para pengambil keputusan 

di negeri ini. Ludruk ini juga berkesempatan menghibur para pejuang untuk merebut kembali irian Jaya, 

TRIKORA II B yang memperoleh penghargaan dari panglima Mandala (Soeharto). Ludruk ini lebih condong 

 .ke kiri., sehingga ketika terjadi peristiwa G 30 S PKI Ludruk ini bubar. 

4. Periode Ludruk Pasca G 30 S PKI ( 1965 saat ini) 

Peristiwa G30S PKI benar benar memporak perandakan grup grup Ludruk terutama yang berafiliasi 

kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat milik PKI. Terjadi kevakuman antara 1965-1968. Sesudah itu 

muncullah kebijaksanaan baru menyangkut grup grup ludruk di Jawa Timur. Peleburan ludruk dikoordinir 

oleh Angkatan Bersenjata dalam hal ini DAM VIII Brawijaya proses peleburan ini terjadi antara tahun 1968-

1970. 

1. Eks-Ludruk marhaen di  Surabaya  dilebur   menjadi   ludruk  Wijaya Kusuma  Unit I 

2. Eks-Ludruk Anogara Malang dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit II 

3. Eks-Ludruk Uril  A  Malang  dilebur  menjadi Ludruk Wijaya Kusuma unit III, dibina 

    Korem 083 Baladika Jaya Malang 

4. Eks-Ludruk Tresna Enggal Surabaya dilebur  menjadi  ludruk Wijaya Kusuma unit IV 

5. Eks-Ludruk kartika di Kediri dilebur menjadi Ludruk Kusuma unit V 

Di berbagai daerah  ludruk-ludruk dibina oleh ABRI,  sampai tahun 1975. 

Sesudah itu mereka kembali ke grup seniman ludruk yang independen  hingga kini.Dengan pengalaman pahit 

yang pernah dirasakan akibat kesenian ini, Ludruk lama tidak muncul kepermukaan sebagai sosok Kesenian 

yang menyeluruh. Pada masa ini ludruk benar benar menjadi alat hiburan. Sehingga generasi muda yang 

tidak mendalami sejarah akan mengenal ludruk sebagai grup  sandiwara Lawak. 

Setiap orang Jawa timur khususnya Surabaya, pasti mengenal Markeso, Kartolo dkk. Coba perhatian 

bagaimana mereka bermain Ludruk. Sampai saat ini hanya beberapa kalangan saja yang mengetahui 

.Binatang apakah ludruk itu ? .. Ibarat mobil, semua tergantung sopirnya, kalau sopirnya lurus ya lurus 

jalannya, tapi kalau sopirnya menyeleweng , ngantuk dsb , kita dapat melihat dan menduga keadaaan yang 

akan terjadi. 

Sejarah Ludruk juga membuktikan bahwa kesenian ini tidak bisa dianggap remeh dan kalah dengan 

kesenian-kesenian yang lainnya. Di tahun 60an, Ludruk pernah diundang di Istana Negara, sampai dituduh 

disusupi oleh Lekra antek PKI. Hingga sekarang organisasi-organisasi Ludruk semakin berkembang 

jumlahnya, masing-masing daerah seperti Jombang, Surabaya, Malang, Pasuruan, Madura mempunyai 

beberapa organisasi Ludruk yang khas dengan daerahnya sendiri. Namun peminatnya hanya didesa-desa atau 

dikampung-kampung. Jarang sekali peminat dari warga kota, di Surabaya saja pementasan yang sering 

di Taman Hiburan Rakyat ( THR ) Surabaya tidaklah mudah mendapatkan penonton lebih dari sepuluh 

orang, masih kalah dengan pementasan hiburan dangdut. Survive! itulah yang dialami Ludruk sekarang, 

mencoba untuk bertahan hidup dijaman yang serba instan dan budaya semakin berubah. 

Ludruk masih bertahan hanya karena mereka mempunyai jiwa Ludruk yang tidak bisa didapatkan 

hanya menonton saja.  

 

B. Perkembangan Ludruk 

Apresiasi warga terhadap ludruk, terutama generasi muda, terus merosot  

dan dikhawatirkan dalam waktu satu dasawarsa lagi kesenian tradisi ini akan kehilangan bukan hanya 

penonton melainkan pula pewaris aktifnya. Lalu, bagaimana kita haru menyikapinya? 

Menurut Ayu Sutarto "Diakui atau tidak, seni pertunjukan ludruk merupakan salah satu jenis seni 

pertunjukan tradisional yang menjadi korban perubahan selera berkesenian dan selera publik terhadap jenis 

tontonan dan hiburan”. Menurutnya tidak semua seni pertunjukan tradisional memiliki nasib buruk. Paling 

tidak, meskipun tidak bisa hidup mandiri, masih ada beberapa jenis seni pertunjukan tradisional yang tetap 

hidup normal karena ada tangan-tangan kuat yang menopang kehidupannya. 

"Arja dan gambuh di Bali, misalnya, masih tetap hidup karena para pewarisnya dan pemerintah 

setempat dengan sangat gigih memelihara keberadaannya," katanya. Teater Noh dan Kabuki di Jepang juga 

masih ditonton orang dari berbagai penjuru dunia karena pemerintah memiliki komitmen untuk berperan 

serta dalam pelestariannya. Teater boneka air di Vietnam juga tetap berjaya karena di samping pemerintah 

peduli, produk kebudayaan rakyat ini  berhasil dikemas sebagai komoditas wisata yang laku jual. 

"Produk-produk seni klasik di negara-negara maju masih juga bertahan karena adanya campur 

tangan pemerintah dalam melestarikan kelangsungan hidupnya," ujar Ayu Sutarto yang dikenal sebagai 

peneliti tradisi itu. Lalu, mengapa ludruk yang memiliki nama besar dan pernah memiliki peran historis tak 

mampu hidup wajar? Salahnya di mana? Mengapa apresiasi warga sangat rendah? 

Menurut Drs Henrikus Supriyanto MHum, seni pertunjukan ludruk masih memiliki fungsi yang 

strategis dalam kehidupan sosial, di antaranya berfungsi sebagai alat pendidikan warga, media 

perjuangan, media kritik sosial, media pembangunan, dan media komunikasi/sponsor.  

Banyak hal yang menjadi sebab mengapa fungsi, peran, dan posisi ludruk dalam warga 

merosot. Menurut ketua Dewan Kesenian Jatim, Setya Yuwana Sudikan, demikian kata Ayu, sejak tahun 

1990-an perkumpulan ludruk dihadapkan pada kondisi yang serba sulit. 

1. Kalah  bersaing dengan  berbagai  jenis seni  pertunjukan modern dan  kesenian pop.  

2. Kehadiran  teknologi  komunikasi  modern,  seperti televisi,  VCD,  Internet,  dan  lain 

    lainnya   memicu    orang    enggan   pergi  ke   tanah lapang atau tobong   untuk  

    menyaksikan pertunjukan ludruk. 

3. warga   perkotaan  merasa  turun gengsinya apabila diketahui sebagai penggemar 

    ludruk. Dan, keempat, bagi sebagian  umat  Islam,   ludruk   dipandang   sebagai   seni  

    sekuler karena adanya penampilan seniman pria yang memerankan  tokoh wanita. 

  Beberapa jenis seni pertunjukan tradisional ternyata mampu bangkit dan merebut kembali hati 

publik setelah inovasi dan terobosan dilakukan. Seperti Lenong Betawi yang dikemas sesuai dengan selera 

anak muda ternyata mampu merebut pasar. Ketoprak yang penuh bumbu humor ternyata dapat menaklukkan 

hati publik. Dan, pergelaran wayang purwa yang " bertabur bintang dengan berbagai atraksi ternyata juga 

"dibeli", meski mahal. Tetapi, mengapa ludruk glamor dan ludruk humor yang dimotori Cak Kartolo kurang 

mendapat respons dari warga ? "Bukanlah suatu dosa jika suatu produk kebudayaan, termasuk ludruk, 

meninggalkan unsur konvensional yang tak lagi sesuai dengan perkembangan zaman dan kemudian 

melakukan inovasi terus-menerus untuk merebut hati publik. 

 

3. Bedug 

A. Definisi 

Beduk adalah gendang satu muka yang berbentuk memanjang iaitu 'elongated'. Peranannya dalam 

budaya warga Melayu khususnya di Nusantara adalah bersifat 'non-musical'. Malah ianya merupakan 

sebagai 'instrument' untuk mengesakan perintah Allah s.w.t. Ianya digunakan di surau ataupun masjid di 

kampung-kampung bagi menandakan masuknya waktu untuk bersolat. Ianya dipukul dengan pemukul kayu 

dalam pola rithme yang beransur cepat iaitu 'accelerando' 

 Bedug umumnya dikenal sebagai salah satu kelengkapan masjid, untuk memberi tanda waktu dan 

memanggil orang Islam sholat. Bedug terbuat dari sepotong kayu besar atau pokok endu sepanjang kira-kira 

satu dipa. Bagian tengah batang itu dilubangi sehingga berbentuk tabung besar. Ujung batang yang berfungsi 

sebagai membran atau selaput gendang. Bila ditabuh, bedug memicu  suara berat bernadah rendah, 

tetapi dapat terdenagr sampai jarak cukup jauh. 

 Di negara kita  beduk digunakan di Masjid-masjid atau tempat ibadah umat Islam. Sedangkan di 

Jepang, memang asal mulanya dari beduk yang digunakan di Tera atau tempat ibadah umat Budha. Dari 

situlah terbentuk perkumpulan seni memukul beduk, dan sampai sekarang dikenal dengan Wadaiko. 

 Seni bedug yang popular di daerah Banten, menggunakan belasan sampai puluhan  bedug yang 

dijajarkan dipalangan luas. Jumlah penabuhnya sama dengan jumlah bedug yang tersedia. Irama pukulannya 

dinamis, sesuai dengan gerak tangan dan tubuh sipanabuh. Seni bedug ini hanya dipertunjukkan pada hari-

hari besar agama Islam. 

Seni memukul beduk banyak sekali membawa manfaat, suara yang ditimbulkan membawa perasaan 

pendengar mengalun-alun mengikuti iramanya. Selain itu badan menjadi kuat dan sehat. Memukul beduk 

tidak hanya membutuhkan kekuatan, tetapi juga kelenturan tangan, tubuh, dan kaki, semua menyatu. 

Alat yang digunakan untuk memukul beduk terbuat dari kayu pilihan yang sengaja didatangkan dari 

Jepang, nama pemukul beduk itu adalah Bachi. Karena sifatnya keras dan kuat, Bachi tidak akan patah 

walaupun memukul dengan sekuat tenaga.  

 Ada pula perangkat gamelan kuno yang dilengkapi dengan bedug, antara lain Gamelan Sari Oneng 

yang kini tersimpan di Museum Sumedang Jawa Barat. Bedug yang dinamakan Bheri ini kedua sisinya 

memakai membra kulit binatang. Di Banten ada bedug kuno yang disebut Khu, tersimpan dalam sebuah 

kelenteng kuno. Membran pada bedug ini direnggangkan dengan sietem paku berkepala besar. Saat ini bedug 

yang paling besar ada  di Mesjid Istiqlal Jakarta. Bedug ini terbuat dari potongan kayu jati gelondong  

yang ditebang di Jawa tengah. 

 

B. Sejarah Bedug 

Beduk tua yang masih termasuk kategori terbesar pada saat ini berada di Masjid  

Jami Darrul Muttaqin Purworejo. Beduk ini  diletakkan di samping kiri depan masjid. Beduk ini dibuat 

sekira tahun 1834 hingga 1840 ketika Purworejo dalam pemerintahan Raden Adipati Cokronegoro. Jabatan 

Bupati Purworejo I ketika itu masih dipegang oleh Bagelen. Oleh karena itu pula, beduk itu diberi nama 

Beduk Bagelen.  

Badan beduk itu dibuat dari batang pohon utuh, pohon jati yang tumbuh di Desa Pendowo 

Kelurahan Bragolan Kecamatan Purwodadi. Beduk kebanggaan warga Purworejo itu memunyai 

panjang 292 cm dengan garis tengah bagian bawah (depan) 194 cm, garis tengah bagian atas belakang 180 

cm, keliling lingkaran bawah depan 601 cm, dan lingkaran atas belakang 564 cm. 

Pembuatan beduk ini  dipimpin Tumenggung Prawironegoro. Di tangan ahli tukang kayu, bonggol 

(bagian pangkal) pohon jati yang keras karena berusia ratusan tahun itu dapat dilubangi dan dihaluskan. 

Kabarnya, bonggol kayu ini  dilubangi dengan cara meletakkan bara api pada bagian tengah kayu dan 

mencukil kayu ini  secara perlahan-lahan. 

Setelah selesai pembuatan, beduk ini  dibawa ke Purworejo dengan cara meletakkan beberapa 

batang kayu panjang bulat sebagai pengganti roda. Kenudian, beduk ini diikat dengan stagen (ikat pinggang 

wanita) dan ditarik secara beramai-ramai. Jarak sejauh 9 km dari lokasi pembuatan ini  dibagi dalam 20 

pos. Jarak setiap pos berkisar dari 400 meter hingga 700 meter bergantung pada kondisi medan jalan. 

Sebagai pemimpin dalam pemindahan beduk legendaris ini adalah Kiai Muhamad Irsyad yang 

merupakan menantu dari Raden Tumenggung Prawironegoro. Kiai Muhamad Irsyad adalah seorang ulama 

serta Kaum (Lebai) dari Ponpes Seloti di daerah Lowanu. 

Sementara itu, pada setiap pos pemberhentian disediakan jamuan makan dan minum serta hiburan 

tayub atau tledek. Lurah-lurah yang wilayahnya dilalui pengangkutan beduk ini diminta agar menyediakan 

tenaga pengangkut. Setiap pos yang dilalui, konon, memakan waktu satu-dua hari. Jadi, total waktu 

pemindahan beduk ini  mencapai 20 hari. 

Rombongan ini diterima   langsung  oleh Adipati Cokronegoro I sesampainya di depan gapura 

Masjid Jami Darrul Muttaqin. Setelah itu, barulah beduk ditutupi kulit banteng. Waktu itu di Purworejo 

masih banyak ada  banteng liar. Sebelum ditutup kulit, dalam beduk ini  dipasang dua buah 

lempengan tembaga yang saling berhadapan sebagai alat resonansi gema. Dengan demikian, saat beduk itu 

ditabuh, suaranya akan bertambah nyaring. Beduk itu kemudian digantungkan pada kerangka kayu jati 

dengan menggunakan rantai sebagai pengikat. Lalu, ditempatkan di sisi selatan kiri serambi Masjid Jami 

Darrul Muttaqin Purworejo. 

Tanggal 3 Mei 1936, kurang lebih satu abad setelah pembuatan, kulit penutup beduk bagian 

belakang diganti dengan kulit sapi jenis benggala karena telah rusak berlubang (jebol). Beduk ini ditabuh 

hanya pada saat-saat tertentu. Pada bulan Puasa, beduk ditabuh sebanyak lima kali dalam seharinya di awal 

waktu salat wajib. Padahal, biasanya beduk hanya ditabuh pada setiap subuh dan hari Jumat. 

Kini Beduk Kiai Bagelen dijadikan aset pariwisata oleh Pemkab Purworejo karena dinilai sebagai 

beduk terbesar di dunia. Sementara Masjid Darrul Muttaqin sendiri banyak dikunjungi kaum Muslimin 

sebagai salah satu tempat ziarah.  

Wayang kulit maupun wayang baris, terutama di daerah Solo dan Semarang, sejak tahun 1960an 

juga menggunakan bedug sebagai salah satu kelengkapan gamelan pengiringnya. Gagasan untuk 

menggunakan bedug ini pertama kali dicetuskan oleh Sukarno Ki Nortosabdo, dalang kenamaan dari 

Semarang.  

 Kemudian mempopulerkan penggunaan bedug ini, terutama untuk mengiringi adegan perang dan 

kiprahnya Gatot Kaca. Dengan suara bedug, gerakan wayang yang dimainkan dalang, atau gerakan penari 

wayang orang akan lebih terasa mantap bagi penonton.  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB V 

MEDIA-MEDIA CETAK 

 

5. Media Cetak 

 

 Hamundu (1999), media cetak merupakan bagian dari media massa yang digunakan dalam 

penyuluhan. Media cetak mempunyai karakteristik yang penting. Literatur dalam pertanian dapat di temui 

dalam artikel, buku, jurnal, dan majalah secara berulang-ulang terutama untuk petani yang buta huruf dapat 

mempelajarinya melalui gambar atau diagram yang diperlihatkan poster. Media cetak membantu penerimaan 

informasi untuk mengatur masukan informasi ini . Lebih jauh lagi media cetak dapat di seleksi oleh 

pembacanya secara mudah dibandingkan dengan berita melalui radio dan televisi. 

 Media cetak merupakan suatu media yang bersifat statis dan mengutamakan pesan-pedan visual. 

Media ini terdiri dari lembaran kertas dengan sejumlah kata, gambar, atau foto dengan tata warna dan 

halaman putih. Media cetak merupakan dokumen atas segala dikatakan orang lain dan rekaman peristiwa 

yang ditangkap oleh jurnalis dan diubah dalam bentuk kata-kata, gambar , foto, dan sebagainya.  

Dalam pengertian ini, media cetak yang dipakai untuk memasang iklan adalah surat kabar dan 

majalah. Dalam media ini dikenal jenis iklan baris, iklan display, dan iklan advetorial. Iklan baris adalah 

iklan yang pertama kali dikenal warga. Umumnya hanya terdiri dari iklan lowongan pekerjaan; iklan 

penjualan rumah, mobil bekas, tanah, handphone; dan penawaran jasa tertentu. Iklan ini ukurannya kecil dan 

banyak mengandung singkatan tertentu. 

 

Bentuk-Bentuk Media Cetak 

 

 

5. 1.  Buku  

A. Pengertian Buku 

Buku dilihat dari penampilannya dapat didefinisikan sebagai kumpulan lembaran kertas empat 

persegi panjang yng satu sisinya dijilid bersama-sama, bagian depan dan belakang lembar-lembar kertas ini 

dilindungi  oleh sampul yang terbuat dari bahan yang lebih tahan terhadap gesekan, kelembapan, dan lain-

lain. Definis ini terasa terlalu sempit karena belum mencakup rekaman lain, seperti misalnya gulungan kertas 

yang fungsinya sama dengan buku. Sebaliknya, definisi ini juga  dirasa luas dehingga mencakup buku tulis, 

buku kas dan buku catatan lain. 

Dilihat dari fungsinya, buku dapat didefinisikan sebagai media komunikasi tulisan yang dirakit 

dalam satu satuan atau lebih, agar pemaparannya dapat bersistem, dan isi maupun perangkat kerasnya dapat 

lebih lestari. Segi pelestarian inilah yang memperbedakan buku dari benda-benda komunikasi tulisan lain 

yang lebih pendek umurnya seperti majalah, surat-kabar dan brosur. 

Jenis Buku 

Dilihat dari macamnya, buku dapat dikelompokkan sebagai: 

1. Buku Pelajaran 

Mencakup buku ajar dari sekolah dasar sampai universitas, baik umum, kejuruan maupun berbagai 

kursus, 

2. Buku Umum 

Mencakup buku sastra, buku fiksi (umumnya novel), nonfiksi (kebanyakan biografi dan buku yang 

mengupas masalah poliitk dan  kewargaan). 

3. Buku Rujukan 

    Berbagai kamus dan ensiklopedia serta buku pegangan 

4. Buku Pesanan 

Di Amerika Serikat dan banyak negara maju, ada  banyak klub buku yang mencetak buku dalam 

jumlahh tertentu sesusai dengan pesanan. Umumnya, harga buku ini jauh lebih rendah karena berupa 

cetakan ulang sehingga hak cipta di peroleh tanpa harga tinggi. Di samping itu, hampir tak ada masalah 

penyimpanan persediaan sehingga modal pun tidak mandeg. Buku cetakan ulang ini dapat bersifat pebuh, 

atau singkatan, atau dalam satu jilid yang terdiri dari atas gabungan beberapa buku yang disingkat. 

Di pihak lain, ada buku pesanan nerupa bukusurvai yang dicetak secara terbatas, harganya sangat 

tinggi, karena biaya survai dibebankan pada harga buku. Perusahaan yang membeli buku semacam ini 

menyimpannya baik-baik agar tidak mudah diperbanyak oleh mereka yang tidak berhak. 

B.  Proses Lahirnya Buku 

Buku mengakami proses yang panjang bila diamati muakiu dari pikiran  

pengarang sampai ke mata pembaca. 

Bagaimana penerbit memperoleh naskah. Banyak orang menawarkan naskah karangan kepada penerbit, 

terutama penerbit yang ternama. Namun sedikit sekali naskah yang akhirnya diterbitkan. Alasan penolakan 

umumnya adalah karena naskah tidak sesuai dengan program penerbit, kelayakan pasarnya diragukan, 

penerbit tidak sempat mempelajari naskah itu dsb. Sebaliknya, mekanisme yang lebih sering digunakan ialah 

penerbit mencari naskah sesusai dengan programnya, dan setelah penerbit mempelajari situasi pasar. Penerbit 

lebih aktif mendatangi tokoh-tokoh pengarang atau guru besar di universitas, untuk mengetahui apakah ada 

naskah mentah yang dapat di kembangkan secara komersial, atau bahkan gagasan sang tokoh mengenai 

penerbitan sebuah buku. 

 Oknum yang mendadak tenar karena suatu peristiwa sering segera didekati penerbit untuk diminta 

menuangkan pengalamannya dalam sebuah naskah. Sering kali orang yang dimintai naskah ini bukanlah 

seorang yang mampu mengarang.  

Maka mereka didampingi oleh penulis bayangan (ghost writer).     

Bagaimana pun mendapatkan naskah itu, akhirnya pengarang dan penerbit mengikatkan diri dalam 

kontrak yang mengatur jadwal, honorarium, dan sebagainya. 

 

C.  Menyunting Naskah. 

Editor lebih banyak menghabiskan waktu untuk menangani naskah, hubungan antara penyunting 

dan  pengarang menjadi sangat erat. Dewasa ini penyunting lebih bersifat pelontar gagasan dan banyak 

berurusan dengan petugas penerbit yang mencari naskah, dan dengan pengarang dalam urusan pencarian 

naskah. Namun tugas utama penyunting yang tradisonal itu masih bertahan. 

Segera naskah masuk, tugas pertama penyunting adalah memeriksa apakah bentuk dan isi naskah itu 

sesuai dengan kontrak. Ia akan memberi saran kepada pengarang hal-hal yang perlu ditambah atau dikurangi, 

gaya bahasa mana yang kurang serasi, pernyataan mana yang bernada memfitnah, dan bahan mana yang 

faktanya diragukan. Bila timbul silang pendapat antara penyunting dan pengarang, penyunting harus bisa 

membereskannya secara bijaksana. 

 Ada lagi penyunting yang disebut penyunting kopi (copy editor). Tugas utamanya adalah mengubah  

Naskah, agar siap cetak, memperbaiki ejaan dan tanda baca, dan kadang-kadang mengecek fakta. Penyunting 

kopi yang lebih aktif akan membubuhkan catatan pinggir mengenai fakta yang diragukan, kalimat yang 

kedodoran, kembar arti, atau membingunkan. 

 Terutama dalam hal buku pelajaran, sering timbul sengketa yang tajam antara penyunting yang 

mengingkan agar naskah lebih mudah dipahami pembaca, dan pengarang biasanya dosen universitas yang 

cepat tersinggung kewibawaan ilmiahnya bila terlalu banyak gaya bahasa dibenahi. 

 Dalam hal penulisan bayangan, penyunting menghadapi dua oknum sekaligus; orang tenar yang 

dimintai naskah dan penulis bayangan yang menuangkan pengalaman itu menjadi naskah. 

 Penyunting juga berwajib menyesuikan seluruh proses penyuntingan dengan jadwal penerbitan. 

Setelah pengarang membubuhkan tanda setuju pada naskah cetak coba dan naskah itu telah dicetak pada 

halaman-halaman yang bernomor (buku menjelang dijilid), penyunting menulis laporan kepada bagian 

promosi dan penjualan, dan berakhirlah tugasnya. 

 

D.  Desain dan Produksi.  

Buku merupakan kebanggaan penerbit, bukan hanya karena isinya, tetapi juga karena 

penampilannya.  

a) Komposisi   merupakan   tahap   pertama pembikinan buku, dan terdiri atas dua  

langkah ; tata huruf (type setting) dan rias halaman (make up). Langkah ketiga adalah membuat cetak 

coba (proof) untuk mengoreksi kesahalan. 

b) Tata     huruf.  Meskipun  peranti   elektronik   telah   meningkatkan   kecepatan    dan  

efisiensi, namun hanya ada  empat cara saja untuk mengubah kopi naskah menjadi bentuk yang dapat 

dicetak, yakni : menyusun cetakan logam dengan tangan, dengan mesin (mekanis), komposisi mesin 

ketik, dan komposisi fotografi. Komputer dan pita magnetik digunakan untuk melengkapi keempat 

metode dasar ini. 

c) Rias halaman.    Setelah    cetakan     selesai    dipasang,   unsur  -  unsur   pada   suatu  

halaman dirakit agar saling berhubungan dengan benar dan serasi. Dalam hal komposisi fotografi, rias 

halaman berupa penyusunan film negatif atau positif. 

Cetak coba biasanya dilakukan di atas kertas gulungan yang belum dipotong menurut halaman. 

d) Tipografi adalah teknik  dan  seni memilih dan menata huruf untuk percetakan,  

dan merupakan bagian penting dari desain buku. ada  misalnya empat bentuk huruf latin ; kelas ini 

masih dibagi lagi dalam beberapa variasi. 

Ada dua hal yang harus diperhatikan oleh perancang kualitas cetak huruf dan kenyamanan baca. Suatu 

novel yang sarat dengan catatan kaki tidak nyaman dibaca, meskipun catatan kaki itu dapat dibaca dengan 

jelas. 

e) Perancang harus  menjaga  keseimbangan  antara  semua faktor  yang  mempengaruhi 

kenyamanan baca ; wajah huruf, ukuran huruf, panjang baris, tekstur kertas, pola halaman (gambar, teks, 

agris pinggir dan hiasan), ruang antar baris, kontras antara huruf dan kertas, dan kesesuaian banyaknya 

halaman dengan isi buku. 

f) Percetakan. Perancang buku harus mengetahui teknik apa yang akan  digunakan untuk 

mencetak buku itu, jelasnya   pembuatan   plat   cetak.   Bergantung ukuran  halaman, 

ukuran  mesin  cetak, dan  persyaratan penjilidan, ada 8, 16, 32 atau 64 halaman yang  

dapat dicetak sekaligus pada satu sisi 64 halaman. 

Ada dua masalah percetakan warna : warna itu sendiri dan proses warna. Masalah pertama mencakup 

apakah digunakan warna datat (warna garis) ataukah warna separo-nada, yang digunakan untuk mencetak 

setengah nada dalam suatu warna tunggal. Proses warna berarti menghasilkan ulang dalam warna-warni 

asli suatu lukisan atau potret berwarna. 

E.  Sejarah Buku 

Sejak jaman kerajaan-kerajaan di negara kita , sesungguhnya telah ada  banyak naskah berbentuk 

buku ataupun lembaran-lembaran yang ditulis tangan, baik berupa karya sastra, kenegaraan (naskah 

perjanjian), hingga ayat-ayat suci. Kitab-kitab seperti Nagara Kertagama karya Mpu Prapanca di abad 14, 

Sutasoma karya Mpu Tantular, dan lain-lain cukup dikenal publik sebagai peninggalan berharga dari sejarah 

negara kita . 

Buku-buku Islam karya berbagai ulama terkenal juga amat mewarnai dan mempengaruhi budaya 

dan kehidupan warga saat itu. Sebut saja semisal Kitab Tajussalatin atau Mahkota Segala Raja yang 

dikarang oleh Bukhari Al-Jauhari pada tahun 1603. Bahkan dalam kitab seperti "Serat Centini" dan "Serat 

Cebolek" yang merupakan karya sastra Jawa kuno, yang tersusun pada abad ke-19, disebutkan bahwa sejak 

permulaan abad ke-16 di Nusantara telah banyak dijumpai pesantren besar yang mengajarkan kitab-kitab 

Islam klasik di bidang fikih, teologi, dan tasawuf. 

"Serat Centini" yang ditulis oleh Raja Keraton Surakarta Hadiningrat, Paku Buwono V, tatkala 

menjadi putra mahkota pada 1814, malah dengan jelas menuliskan judul-judul kitab yang diajarkan pesantren 

sejak abad ke-16, seperti Mukarrar (al Muharrar, karya Imam Rafi'i), Sujak (mungkin kitab Taqrib karya 

Ibnu Suja), Ibnu Kajar (Ibnu Hajar al Haitami, penulis kitab Tuhfatul Muhtaj?), Samarqandi (Abu Laits 

Muhammad Abu Nasr as Samarqandi, penulis kitab Ushuludin, tanpa judul, sehingga terkenal dengan 

sebutan pengarangnya), Humuludin (Ihya Ulumuddin karya Imam Gazali), Sanusi (Abu Abdallah 

Muhammad Yusuf as Sanusi al Hasani, penulis kitab Ummul Barahin atau Durrah yang membahas akidah 

dari sudut pandang tarekat Sanusiyah), dan lain-lain. 

Sementara di luar Jawa ada  lembaga pendidikan semodel pesantren dengan nama atau istilah 

lain, seperti meunasah di Aceh dan surau di Sumatra Barat. Mereka juga telah menggunakan kitab-kitab 

untuk dipelajari, yang nyaris sama dengan kitab-kitab di pesantren Pulau Jawa. 

Prof. Dr. M.C. Ricklefs dalam makalahnya di sebuah seminar tahun 2000 menyebutkan, konon 

banyak buku yang diilhami oleh kebudayaan Islam diintroduksikan pada abad ke-17 ke dalam kesusastraan 

kraton Jawa, yaitu Carita Sultan Iskandar, Kitab Usulbiyah dan Serat Yusuf (versi panjang). Semua buku itu 

dianggap sebagai objek yang sakti dan hanya dikenal dalam lingkungan kraton, meskipun Serat Yusuf versi 

pendek dikenal dan tersebar luas di warga Jawa. Menurut kolofon Carita Sultan Iskandar, buku itu 

berdasarkan atas versi bahasa Melayu, diciptakan dalam bahasa Jawa di Surabaya dan dibawa ke Mataram 

oleh Pangeran Pekik. Sementara menurut kolofon Serat Yusuf, versi itu ditulis di desa Karang (disamping 

Tembayat) pada bulan Jumadilawal AJ 1555 (Anno Javonico: kalender Islam-Jawa) atau bulan Nopember 

1633M. 

Namun perkembangan yang menandai dimulainya kegiatan percetakan di tanah air terjadi ketika 

mesin cetak masuk ke Hindia Belanda abad ke -17 yang dibawa oleh VOC (Verenidge Oostindische 

Compagnie). Mereka mencetak banyak hal, mulai dari brosur, pamflet, hingga koran dan majalah 

(Kurniawan Junaedhi, 1995: Rahasia Dapur Majalah di negara kita ). Pada tahun 1778, berdiri perpustakaan 

Bataviaash Genootschaap vor Kunsten en Watenschappen, dengan koleksi naskah dan karya tulis bidang 

budaya dan ilmu pengetahuan di negara kita . Budaya dan kebiasaan baca pada waktu itu, sebagaimana di 

daratan Eropa dan Amerika, terbatas pada kaum kolonial, bangsawan, kaum terpelajar, dan pemuka-pemuka 

agama. 

Sejak Hindia-Belanda dikembalikan oleh Inggris tahun 1812, percetakan (surat kabar) dikendalikan 

sepenuhnya oleh negara, meski perusahaan percetakannya berlokasi di negeri Belanda. Waktu itu percetakan 

buku juga dikelola oleh swasta, dimulai pada tahun 1839, dipelopori oleh Cijveer & Company. Tiga tahun 

berselang, percetakan ini berubah nama menjadi Cijveer & Knollaert. Ia berpindah tangan lagi ke Ukeno & 

Company, dan terus berpindah tangan karena kegagalan dalam pemasaran produknya. Di tangan Bruyning 

Wijt kondisinya akhirnya membaik. 

Misi agama juga mempelopori pencetakan buku atau kitab suci. Zending Protestan dilaporkan 

pertama kali datang ke negara kita  tahun 1831. dan mendirikan sekolah di Tomohon, Minahasa, pada tahun 

1850. Di sini mereka mencetak buku, selebaran, dan surat kabar. 

Pada akhir abad ke-19, terutama di Jawa, tumbuh penerbit dan percetakan milik orang Tionghoa 

peranakan dan Indo-Eropa yang menerbitkan sekitar 3000 judul buku, pamflet, dan terbitan lainya sebelum 

kemerdekaan. Terbitan mereka terutama buku-buku cerita dalam bahasa Melayu  

Tionghoa atau Melayu pasar. Mereka juga menerbitkan koran yang tumbuh dengan subur. Sastra Melayu 

Tionghoa mulai berkembang jauh sebelum didirikannya Balai Pustaka pada tahun 1918. Golongan Tionghoa 

yang hidup lebih makmur dibandingkan dengan golongan bumiputra, dengan sendirinya lebih mampu 

membeli buku dan membayar langganan koran dan majalah secara teratur. Pada zaman pendudukan Jepang 

pers Melayu-Tionghoa dihapus. Beberapa bumiputra yang magang di penerbitan milik Tionghoa ini 

kemudian tumbuh sebagai jurnalis dan penerbit sekaligus, antara lain RM Tirtoadisoerjo dan Mas Marco 

Katrodikromo, yang dikenal dengan bukunya Student Hidjo. 

   Tahun 1906, pemerintah kolonial mengubah peraturan sensor barang terbitan. Sebelumnya, setiap 

penerbit harus menyerahkan naskah mereka kepada penguasa sebelum dicetak. Peraturan baru menerapkan 

sensor represif, yakni menindak dna membatasi barang cetakan setelah diedarkan. Ini memicu  akibat 

positif berupa maraknya berbagai terbitan, termasuk buku dan majalah. 

Cerdik”, disadur dari cerita Prancis. 

 

F.  Buku Pasca Kemerdekaan 

Periode setelah kemerdekaan ditandai dengan penerbitan buku-buku dsalam bahasa negara kita . 

ada  tren melakukan cetak ulang buku-buku, di samping menerbitkan buku baru. Hingga tahun 1950, 

penerbitan seperti BP masih dominan dan berhasil menerbitkan dan mencetak ulang 128 judul buku dengan 

tiras 603.000 ekslempar. Pada saat ini pula muncul karya-karya sastra dari para penulis seperti Idrus dengan 

“Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma”; Tambera karya Utuy Tatang Sontani; Pramudya Ananta Toer 

dengan “Dia Jang Menjerah” dan “Bukan Poasar Malam”; Mochtar Lubis dengan “Si Djamal”. Selain karya 

anak negeri, BP juga menghadirkan karya para penulis dunia seperti Fyodor Dostojevsky, John Steinbeck, 

Anton Chekov, dan lainnya. Di masa sekarang, penerbit BP rata-rata memprroduksi buku sebanyak 320 judul 

pertahun, dengan porsi terbesar masih buku-buku yang cetak ulang dari tahun-tahun sebelumnya. 

Pasca pengakuan kedaulatan negara kita  pada tahun 1949, kebutuhan buku-buku sekolah dapat dibeli 

di pasar, meskipun banyak dari buku-buku ini  masih dalam bahasa Belanda. Sejumlah kecil penerbit 

nasional mulai muncul dengan menerbitkan buku-buku pelajaran sekolah, di antaranya adalah Pustaka 

Antara, Pustaka Rakyat (sekarang Dian Rakyat), Endang, dan beberapa lagi yang semuanya berpusat di 

Jakarta. Di Bandung, ada penerbit Ganaco yang mengambil alih percetakan Nix. Situasi yang masih sulit 

  Tahun 1950 lahirlah Ikatan Penerbit negara kita  (IKAPI) di Jakarta. IKAPI adalah sebuah asosiasi 

penerbit buku nasional yang bertujuan membantu pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa 

melalui buku. IKAPI kini memiliki sekitar 650 anggota di penjuru Nusantara. Di era awal 50-an ini pula 

sempat populer apa yang disebut buku roman atau majalah picisan berharga murah, yang kebanyakan 

dikeluarkan oleh berbagai penerbitan di -1996 tinggal 17.000 eksemplar setiap judul. Untuk SLTP-SLTA, 

jumlah yang dipesan lewat Proyek Inpres jauh lebih sedikit, sekitar 5000-15.000 eksemplar. 

 

5.2 Majalah   

I. Pengertian Majalah  

Suatu penerbitan berkala yang menyajikan liputan jurnalistik dan artikel berisi informasi dan 

opini yang membahas berbagai aspek kehidupan. Ada kalanya pemuatan tulisan dalam majalah hanya 

dimaksudkan sebagai hiburan. Majalah lazimnya berjilid. Sampul depannya dapat berilustrasi foto, 

gambar atau lukisan, tetapi dapat pula berisi daftar isi atau art ikel utama. 

Kata majalah berasal dari kata Arab, majalah. Demikian pula kata magazine dalam bahasa 

Inggris berasal dan bahasa yang sama, yaitu mahasin, yang semula berarti gudang tetapi kemudian 

diartikan sebagai "gudang pengetahuan." Di negeri-negeri Arab sendiri lebih populer sebutan 

majallah daripada Mahazin. negara kita  pada tahun 1988-1989 memiliki sekitar 105 majalah yang 

berbeda-beda, terdiri atas majalah-majalah minguan (30), dwimingguan (38), bulanan (35), 

dwibulanan (1). dan triwulanan (1). Kebanyakan majalah itu diterbitkan di Jakarta. Jum!ah ini tidak 

mencakup jenis-jenis penerbitan yang tidak beredar di pasaran umum seperti majalah perusahaan, 

berbagai majalah ilmiah, dan majalah sari tulisan. 

Isi dan Jadwal Terbit. Majalah dibedakan menurut kala (jadwal waktu) penerbitan dan 

pengkhususan isinya. Menurut kala penerbitannya, terbitan berkala ini disebut majalah mingguan, 

dwimingguan atau tengah bulanan, bulanan, triwulanan, dan sebagainya. 

 

II. Jenis-Jenis Majalah 

Menurut pengkhususan isinya, di antaranya termasuk jenis-jenis majalah berikut, dengan contoh-

contoh penerbitan di negara kita  yang masih beredar dewasa ini atau yang pernah terbit pada masa lampau. 

1) Majalah Anak-anak berisi bahan bacaan yang menjadi perhatian dan sesuai  

dengan tingkat kecerdasan anak-anak (Ananda, Bobo, Kawanku, Kunang-kunang). 

2) Majalah Bergambar   memberi   tempat   yang  dominan  kepada   foto dari  

gambar, sedangkan reportase dan karangan biasanya ditulis secara singkat (Jakarta Jakarta, X -

tra). 

3) Majalah berita memuat reportase dan ulasan tentang peristiwa dan masalah  

aktual (Editor, Fokus, Matahari, Tempo, Topik). 

Majalah Bisnis dan Ekonomi mengutamakan reportase dan artikel mengenai masalah -masalah 

perdagangan, perekonomian dan keuangan (Eksekutif, Infobank, Progres, Swasembada, Warta 

Ekonomi). 

4) Majalah  Budaya  memuat   artikel  tentang  masalah   kebudayaan  (Basis,  

Budaya Jaya, negara kita , Konfrontasi, Poedjangga Baroe).  

Majalah Dinding atau Majalah Tempel yang acap kali juga dinamakan Koran  Dinding, tidak 

dijilid seperti umumnya majalah melainkan hanya berupa lembaran yang ditempelkan di dinding 

atau papan pengumuman. 

5) Majalah  Film  berisi  ulasan  dan laporan   perkembangan  perfilman  serta  

resensi film (aneka)  

6) Majalah hiburan  sarat  dengan  karangan  berita  ringan  semata-mata untuk  

menghibur pembaca, senang. Terang Bulan, Varia).  

7) Majalah Humor  memuat   tulisan   dan  ilustrasi  jenaka,  seperti kartun dan  

komik, yang menggelikan hati (Astaga, Stop). 

8) Majalah  Ilmiah,  penerbitan  khusus berisi  arti mengenai ilmu pengetahuan  

berdasarkan hasil penelitian yang tidak jarang mengandung uraian bersifat teknis, biasanya dikelola 

dan diterbitkan oleh lembaga-lembaga ilmiah, perguruan tinggi, dan organisasi profesi (Ekonomi 

dan Keuangan, The negara kita n querterly, Jumal Kependidikan, Jurnal Penelitian Sosial majalah 

Obstetri dan Ginekologi negara kita , Medika. Metalurgi). 

9) Majalah  Keagamaan  memusatkan perhatian pada masalah keagamaan serta  

masalah pendidikan dan kewargaan yang juga diulas dari sudut pandang agama (Hidup. Kiblat, 

Mizan, Panji warga, Penabur. Pesantren. Suara Masjid, Warta Hindu Dharma).  

10) Majalah Keluarga memuat karangan yang menjadi kepentingan, dan dapat  

dibaca oleh seluruh angota keluarga (Amanah, Ayah bunda). 

11) Majalah  Khas  menyajikan  masalah - masalah  berbagai  bidang  profesi  

tertentu seperti alam lingkungan (Suara Alam, Voice of Nature), arsitektur dan berkebun (Asri, 

Laras), hukum (Hukum dan Keadilan, Hukum dan Pembangunan, Pro Justitia), ilmu pengetahuan 

(Aku Tahu. Info Komputer, Scientiae, Sigma), jurnalistik (Reporter), kesehatan (Higiena, Panasea), 

militer (Yudhagama, Inti, Telstra [Telaah Strategis], SM [Teknologi dan Strategi Militer], 

pariwisata rona Alam dan Lingkungan, Suasana, Travel negara kita ), penerbangan (Angkasa), 

perpajakan (Berita pajak), pertanian (Trubus), peternakan (Ayam dan Telur), psikologi (Anda), atau 

sosial-politik (Persepsi, Prisma). 

12) Majalah Mode   menguraikan, masalah dan perkembangan  modal  dan dihampiri 

lembaran berisi pola pakaian (Mode negara kita  sebelum diubah menjadi majalah remaja).  

13) Majalah  Olahraga  memuat artikel dan  berita  tentang   olahraga (Sportif).  

Majalah Perusahaan dikelola dan diterbitkan perusahaan sebagai media informasi dan promosi.  

14) Majalah  Remaja  mengetengahkan  permasalahan   remaja  dan masalah-masalah 

lain yang diminati kaum muda ; biasanya menggunakan bahasa populer yang khas berlaku di 

kalangan mereka (Gadis, Hai, Mode negara kita , Nona). 

15) Majalah Sari Tulisan  memuat ringkasan karangan dari berbagai penerbitan  

sebagai petunjuk singkat bagi peminat yang memerlukan bahun bacaan yang luas (Abstrak Hasil 

Penelitian Pertanian negara kita , Himpunan Abstrak Perikanan, Sari Karangan negara kita ). 

16) Majalah Sastra membahas masalah serta perkembangan kesusastraandan memuat 

karya sastra seperti puisi, cerita pendek dan novel selain resensi buku sastra (Horison, Kisah, 

Sastra). 

17) Majalah Umum  berisi  karangan  yang  diminati  oleh  kalangan  pembaca seluas 

mungkin (Intisari, Liberty, Matra, Minggu Pagi, Star Weekly, Vista) 

18) Majalah wanita memuat   karangan  mengenai soal-sal kewanitan seperti masalah 

karier bagi berkeja wanita, resep makanan, mode pakaian dan kehidupan keluara (Dunia wanita, 

famili, femina Kartini, pertiwi, Poetri Hindia, Sarinah) 

Selain itu di negara kita  bereda pula berbagai mjalah berbahasa daerah yang peredaranya 

ditujukan kepada pembac aumum. Umpamanya Jayabaya, majalah Sunda, mangle, dan penyebar 

semangat. 

Di  luar negara kita ,  diterbitkan  banyak  majalah Internasional berisi masalah- 

masalah umum atau khusus yang pelanggannya tersebar di seluruh dunia, termasuk di negara kita . 

Misalnya The Economist dari Inggris serta National Getographic, News week. Reader's Digest. dan 

Time dari Amerika Serikat. 

Di lingkungan kawasan yang lebih terbatas beredar majalah-majalah regional. Di kawasan 

Asia Tenggara dan Timur, umpamanya, beredar Asiaweek dan Fan Eastern Economic Review yang 

diterbitkan di Hong Kong. 

Sejarah Majalah. Majalah pertama di dunia, yaitu The Review, diterbitkan pada tahun 1704 oleh Daniel 

Defoe (1659-1731), wartawan dan sastrawan lnggris pengarang cerita Robin Crusee yang terkenal itu. 

Media penyalur aspirasi politik itu terbit secara tetap seminggu sekali selama sembilan tahun. Sewaktu 

The Review berumur lima tahun, munculah majalah The Tatler, juga di Inggris, yang diterbitkan Sir 

Richard Steele. Majalah kedua itu beredar tiga kali dalam seminggu sejak tahun 1709 sampai tahun 

1711 dan merupakan majalah pertama yang menjual halamannya untuk iklan. 

Orang pertama yang menggunakan kata magazine adalah Edward Cave, yang menerbitkan 

Gentleman's Magazine pada tahun 1731. Majalah itu bertahan sampai tahun 1907. 

Bentuk majalah mulai ditiru jauh di seberang Samudera  Atlantik,  ketika   pada 

tanggal 13 Februari 1741 diterbitkan American Magazine, or a Monthly View of the Political State of 

the British Colonies. Ini adalah majalah pertama di daerah koloni Inggris yang kelak menjadi negara 

Amerika Serikat itu, tetapi umurnya hanya tiga bulan. Majalah ini diterbitkan di Philadelphia oleh 

Andrew Bradford, ahli percetakan kelahiran London, Inggris. Tiga hari setelah kelahiran majalah 

pertama itu, Benjamin Franklin di kota yang sama mulai menerbitkan General Magazine, yang umumya 

sedikit lebih panjang enam bulan. Rencana menerbitkan majalah milik Franklin itu sebetulnya sudah 

diumumkan pada bulan November 1940, tetapi kelahirannya kalah cepat dari pesaingnya. Franklin 

adalah wartawan, penerbit, ahli percetakan, pengusaha, ilmuwan, dan kelak negarawan terkemuka. Pada 

ahun 1729, ia membeli The Pennsylvania Gazette, yang dalam pengelolaannya menjadi surat kabar 

terktenal pada jamannya. 

Pada tahun 1922, di Amerika Serikat muncul jenis majalah baru, yakni Reader's Digest, 

majalah berukuran buku saku yang dianggap yang pertama di dunia. Majalah yang semula tanpa iklan 

itu cepat populer, sehingga dalam tempo 13 tahun oplahnya sudah mencapai satu juta eksemplar, dan 

kini tersebar di diseluruh dunia. Majalah yang semula tana iklan itu cepat populer, sehingga da lam 

tempat 13 tahun oplahnya sudah mencapai satu juta eksamplar, dan kini tersebar di seluruh dunia. Bentu 

majalah ini ditiru di berbagai negara, misalnya intisari dan warnasari di negara kita  Reader’s Digest 

dewasa ini beroplaahh lebih dari 16,5 juta eksamplar, sehingga menempatkannya pada kedudukan 

sebagai majalah Amerika Serikat terbesar nomor dua sesudah TV Guide yang beroplah sekitar 17 juta 

eksemplar. 

Setahun setelah Reader's Diqest didirikan, muncul pula jenis majalah baru lainnya. Dua wartawan 

News di Baltimore, Henrv R. Luce dan Briton Hadden. menerbitkan majalah berita mingguan pertama di 

Amerika Serikat dan di dunia, yaitu Time, Mereka pulalah yang pertama kali menerbitkan majalah ber-

gambar pertama di negeri itu dan di dunia, Life, pada tahun 1936, yang berhenti terbit pada awal tahun 1973. 

Di Amerika Serikat kini ada  sekitar 20.000 majalah mingguan, dwi mingguan, bulanan, dwibulanan, atau 

triwulanan. 

 

 

5.3 Surat Kabar 

I. Pengertian dan Ciri Surat Kabar 

Pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam arti sempit dan pers dalam aerti luas. Pers dalam 

arti sempit adalah media massa cetak, seperti surat kabar, majalah, tabloid, dan sebagainya, sedangkan pers 

dalam arti luas meliputi media massa cetak elektronik, antar lain radio siaran dan televisi siaran, sebagai 

media yang menyiarkan karya jurnalistik. Film teatrikal, yakni film yang diputar di gedung bioskop, 

walaupun termasuk media komunikasi massa, tidak disebut pers sebab tidak menayangkan karya jurnalistik. 

 Surat kaabr adalah jenis pers yang paling tua dibandingkan dengan media massa lainnya, paling 

banyak dan paling luas penyebarannya dan paling dalam daya mampunya dalam merekam kejadian sehari-

hari sepanjang sejarah di negara manapun di dunia.   

 Adapun ciri-ciri surat kabar adalah sebagai berikut: 

1. Publisitas 

    Yang dimaksud dengan publisitas  (publicity)  ialah  penyebaran  kepada publik  

    atau khalayak. Karena  diperuntukkan  khalayak, maka  sifat surat kabar adalah  

    umum. Isi surat kabar terdiri dari berbagai  hal  yang   erat   kaitannya   dengan  

    kepentingan   umum.    Ditinjau   dari   segi   lembarannya   jika   surat    kabar 

    mempunyai  halaman  yang  banyak, isinya  juga dengan sendirinya  pula akan  

    memenuhi kepentingan khalayak yang lebih banyak. 

    Dengan  ciri  publisitas  ini,  maka  penerbitan  yang  meskipun bentuk fisiknya  

    sama dengan surat kabar tidak bisa disebut surat kabar  apabila   diperuntukkan  

    sekelompok  orang  atau   segolongan   orang. Tidak   sedikit   organisasi   atau  

    lembaga yang mempunyai penerbitan untuk amggota-anggotanya dalam bentuk  

    surat   kabar   yang  biasa dilanggani atau dibeli secara eceran. Penerbitan yang  

    sifanya khusus, tidak termasuk surat kabar. 

 

2. Periodisitas 

    Periodisitas   (periodicity)   adalah   ciri  surat  kabar  yang  kedua.  Keteraturan  

    terbitnya surat kabar bisa satu kali sehari,  bisa  dua  kali sehari, dapat pula satu  

    kali atau dua kali seminggu. Penerbitan lainnya seperti buku umpamanya, tidak  

    disebarkan secara periodik, tidak teratur, karena terbitannya hanya satu kali.  

    Kalaupun ada yang diterbitkan  lebih  dari  satu kali, terbitanya itu tidak teratur.  

    Jadi,  penerbitan  seperti  buku  tidak  mempunyai   ciri   periodisitas, meskipun  

   disebarkan keapda khalayak dan isinya menyangkut kepentingan umum. 

 

3. Universalitas 

    Yang  dimaksud  dengan  universalitas  (universality)  sebagai  ciri  ketiga surat  

    kabar  ialah  kesemestaan  isinya, aneka ragam dan  dari  seluruh dunia. Sebuah  

    penerbitan  berkala  yang  isinya  mengkhususkan  diri  pada  suatu profesi atau  

    aspek   kehidupan,   seperti   majalah   kedokteran,    arsitektur,   koperasi   atau  

    pertanian,  tidak  termasuk  surat  kabar. Adalah  benar  bahwa  berkala ini   

    diperuntukkan   khalayak dan  terbit  secara  periodik,   tetapi  ciri  universalitas  

    tidak ada, sebab isinya hanya mengenai suatu aspek kehidupan saja. 

 

4. Aktualitas 

    Aktualitas  (actuality)  sebagai  ciri  keempat  dari surat kabar adalah mengenai  

    berita  yang  disiarkan. Aktualitas,  menurut  kata  asalnya,  berarti  “kini”   dan  

    “keadaan  sebenarnya”. Kedua-duanya  erat  sekali   sangkut   pautnya   dengan  

    berita  yang  disiarkan   surat  kabar. Berita  adalah laporan mengenai peristiwa  

    yang terjadi kini, dengan lain perkataan  laporan  mengenai peristiwa yang baru  

    terjadi dan  yang  dilaporkan  harus  benar. Tetapi  yang  dimaksudkan   dengan   

    aktualitas  sebagai  ciri  surat  kabar  adalah  pertama,  yakni kecepatan laporan,  

    tanpa menyampingkan pentingnya kebenaran berita. 

    Hal-hal  yang  disiarkan  media cetak lainnya bisa saja mengandung kebenaran,  

    tetapi belum  tentu  mengenai  sesuatu yang baru terjadi. Di antara media cetak,  

    hanyalah  surat  kabar   yang  menyiarkan   hal-hal   yang   baru   terjadi.   Pada   

    kenyataannya,   memang   isi   surat   kabar   beraneka ragam, selain berita juga  

    ada  artikel,  cerita  sambung,  teka-teki  silang,  dan  lain-lain  yang  bukan  

    merupakan laporan  cepat. Kesemuanya  itu  sekadar  untuk  menunjang  upaya  

    membangkitkan minta agar surat kabar bersangkutan dibeli orang.  

 

II. Fungsi Surat Kabar 

 Pada zaman modern sekarang ini, jurnalistik tidak hanya mengelola berita, tetapi juga aspek-aspek 

lain untuk isi surat kabar. Karena itu fungsinya, bukan lagi menyiarkan informasi, tetapi juga mendidik, 

menghibur dan mempengaruhi agar khalayak melakukan kegiatan tertentu. 

Fungsi-fungsi ini  dapat dijelaskan sebagai berikut: 

 

(1) Fungsi Menyiarkan Informasi 

Menyiarkan informasi adalah fungsi surat kabar yang pertama dan utama. Khalayak pembaca 

berlangganan atau membeli surat kabar karena memerlukan informasi mengenai berbagai hal di buni ini: 

mengenai peristiwa yang tejadi, gagasan atau pikiran orang lain, apa yang dilakukan orang lain, apa yang 

dikatakan orang lain, dan lain sebagainya. 

 

(2) Fungsi Mendidik 

Fungsi kedua dari surat kabar ialah mendidik.Sebagai sarana pendidikan massa (Mass education), surat 

kabar memuat tulisan-tu;lisan yang mengandung penegtahuan, sehingga khayalak pembaca bertambah 

pengetahuannya. Fungsi mendidik ini bisa secara implicit dalam bentuk berita, dapat juga secara eksplisit 

dalam bentuk artikel atau tajuk rencana. Kadang-kadang cerita bersambung atau berita bergambar juga 

mengandung aspek pendidikan. 

 

3. Fungsi Menghibur 

Hal-hal yang bersifat hiburan sering dimuat surat kabar untuk mengimbangi berita-berita berat  (hard 

news) dan artikel-artikel yang berbobot. Isi surat kabar yang bersifat hiburan bisa berbentuk cerita 

pendek, cerita bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, karikatur, tidak jarang juga berita yang 

mengandung minat insani (human interest) dan kadang-kadang tajuk rencana.  

Maksud pemuatan isi yang mengandung hiburan, semata-mata untk melemaskan ketegangan pikiran 

setelah para pembaca dihidangi berita dan artikel yang berat-berat. 

 

4.   Fungsi Mempengaruhi 

Adalah fungsi yang keempat ini, yakni fungsi mempengaruhi, yang memicu surat kabar memagang 

peranan penting dalam kehidupan warga. Napoleon pada masa jayanya pernah berkata bahwa ia 

lebih takut kepada empat surat kabar daripada seratus serdadu dengan sankur terhunus. 

Sudah tentu surat kabar yang ditakuti ini ialah surat kabar yang independent, yang bebas menyatakan 

pendapat, bebas melakukan social control, bukan surat kabar organ pemerintah yang membawakan suara 

pemerintah. 

Fungsi mempengaruhi dari surat kabar secara implicit ada  pada berita, sedang secara eksplisit 

ada  pada tajuk rencana dan artikel. 

Fungsi mempengaruhi untuk bidang perniagaan ada  pada iklan-iklan yang dipesnan oleh perusahaan-

perusahaan. 

 

III. Sejarah Surat Kabar 

Surat   kabar   pertama     kali     dikenal     pada    tahun   59  sebelum masehi di  

kekaisaran Romawi kuno. Saat itu hanya berisi jurnal kegiatan Sang Kaisar yaitu Julius Cesar bertajuk "Acta 

Diurna". Walaupun begitu baru pada tahun 1605 surat Kabar terbit yang pertama kali dalam bentuk tercetak 

oleh Johan Carolus dengan tajuk "Relations" di Perancis yang saat itu dikenal dengan daerah merdeka 

bernama Strasbourg dengan bahasa dominan "Bahasa Jerman" (Pertanyaan tentang Kota Stratsbourg pernah 

muncul pada Who Wants 2 be a Millionare versi negara kita ). Koran tertua di dunia yang saat ini masih terbit 

adalah "Post-och Inrikes Tidningar " dari Swedia yang terbit pertama kali pada tahun 1645.  

Jurnalisme memiliki sejarah yang sangat panjang. Dalam situs ensiklopedia, www.questia.com 

tertulis, jurnalisme yang pertama kali tercatat adalah di masa kekaisaran Romawi kuno, ketika informasi 

harian dikirimkan dan dipasang di tempat-tempat publik untuk menginformasikan hal-hal yang berkaitan 

dengan isu negara dan berita lokal. Seiring berjalannya waktu, warga mulai mengembangkan berbagai 

metode untuk memublikasikan berita atau informasi. 

Surat kabar pertama di dunia. Avisa Relation ader Zaitung. terbit pada tanggal 15 Januari 1609 di 

Augsburg, Jerman. setelah sekitar 169 tahun penemuan mesin cetak. Mesin ini , yang terbuat dari kayu. 

ditemukan pada tahun 1440 oleh  Johannes Gutenberg yang tinggal di tepi Sungai Rhein, di kota Mainz, 

Jerman. Sebagian orang menyebutkan Laurens Jans zoon Coster dari Negeri Belanda sebagai penemu pertama 

pada sekitar waktu yang sama. Sejak itu, mesin cetak kerap digunakan untuk mencetak selebaraan mengenai 

suatu peritiwa atau pengumuman. Namun, hanya Avisa Relation oder Zeitung yang dapat terbit secara teratur. 

Negara lain pun kemudian meniru menerbitkan surat kabar. Inggris 13 tahun kemudian (1622) 

melahirkan surat kabarnya yang pertama. Weekly news. Menyusul kemudian Negeri Belanda dengan De 

Weeke Lijksche Courant (8 Januari 1656), yang diterbitkan oleh Abraham Castelijn di Haarlem. Benjamin 

Harris di Boston, Amerika Serikat, pada tahun 1690 mencoba menerbitkan Public Occurrences Both Foreign 

and Domestic. Tetapi hanya sempat satu kali terbit karena gubernur Massachusetts tidak menyukainya. Sejak 

itu pula di sana dikeluarkan peraturan bahwa setiap surat kabar harus mempunyai surat izin terbit. Selama 14 

tahun tidak ada yang berani menerbitkan koran sampai pada tahun 1704 John Campbell mendapat restu untuk 

menerbitkan News-Letter. 

Pada awalnya, publikasi informasi itu hanya diciptakan untuk kalangan terbatas, terutama para 

pejabat pemerintah. Baru pada sekira abad 17-18 surat kabar dan majalah untuk publik diterbitkan untuk 

pertama kalinya di wilayah Eropa Barat, Inggris, dan Amerika Serikat. Surat kabar untuk umum ini sering 

mendapat tentangan dan sensor dari penguasa setempat. Iklim yang lebih baik untuk penerbitan surat kabar 

generasi pertama ini baru muncul pada pertengahan abad 18, ketika beberapa negara, semisal Swedia dan AS, 

mengesahkan undang-undang kebebasan pers. 

Industri surat kabar mulai menunjukkan geliatnya yang luar biasa ketika budaya membaca di 

warga semakin meluas. Terlebih ketika memasuki masa Revolusi Industri, di mana industri surat kabar 

diuntungkan dengan adanya mesin cetak tenaga uap, yang bisa menggenjot oplah untuk memenuhi 

permintaan publik akan berita. 

Seiring dengan semakin majunya bisnis berita, pada pertengahan 1800-an mulai berkembang 

organisasi kantor berita yang berfungsi mengumpulkan berbagai berita dan tulisan untuk didistribusikan ke 

berbagai penerbit surat kabar dan majalah. 

Pada 1893 untuk pertama kalinya surat-surat kabar di AS menggunakan tinta warna untuk komik dan 

beberapa bagian di koran edisi Minggu. Pada 1899 mulai digunakan teknologi merekam ke dalam pita, 

walaupun belum banyak digunakan oleh kalangan jurnalis saat itu.  

 

IV. Awal Surat Kabar di negara kita .  

Di negara kita , jauh sebelum ada surat kabar. Gubernur Jenderal Jan Pie  

Terszoon Coen ( 1587-1629) pada tahun 1615 memperkarsai penerbitan Memorie der Nouvelles. Ini adalah 

prasurat-kabar tulisan tangan yang berisi berita-berita dari Nederland untuk kalangan pejabat VOC (Vereenigde 

Oostindische Compagnie, Perserikatan Dagang Hindia Timur) yang dikirimkan sampai sejauh Ambon. 

Percetakan pertama di negara kita  tiba pada tahun 1659, dan yang kedua pada tahun 1712. Percetakan 

itu umumnya digunakan oleh VOC untuk keperluannya sendiri, umpamanya untuk membuat surat edaran ke-

matian. 

Setelah tenggang waktu cukup lama, barulah ada yang mencoba-coba kembali mengajukan 

permohonan izin menerbitkan surat kabar, itu pun setelah pergantian pucuk pimpinan VOC. Pada tahun 

1775, Van Riemslijk, yang dikenal sebagai seorang moderat, diangkat sebagai gubernur jenderal VOC. Pada 

tahun itu juga, L. Dominicus, juru cetak yang berumur 33 tahun di Batavia. memperoleh izin menerbitkan 

mingguan berita lelang het Vendu-Nieuws yang berukuran folio.  

Penerbitan ini dapat bertahan lana, 34 tahun. Pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Herman 

willem Daendels (1762-1818), penerbitan ini  diambil alih oleh pemerintah. Sejak tanggal 5 Januari 

1810, mingguan terscbut diganti namanya menjadi Batavia Koloniale Courant dan dijadikan penerbitan 

resmi pemerintah Hindia Belanda. 

Pada waktu pendudukan Inggris di negara kita , letnan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford 

Raffles pada tahun 1812 mengubah Bataviasche Koloniale Courant menjadi Java Government 

Gazette.(Gazette berasal dari bahasa Italia gazetta. Gazzeta semula adalah nama koran yang terbit di 

Venezia, Italia, sekitar tahun 1600-an yang harganya I gazetta. Gazetta atau gazette kemudian bergeser arti 

menjadi surat kabar). 

Lava Government Gazette, yang terbit sejak tanggal 29 Februari 1812. isinya berbeda dengan 

Koran Belanda yang terbit sebelumnya. Dalam surat kabar berbahasa Inggris itu tidak hanya dimuat berita-

berita tentang perdagangan dan kejadian di luar negeri tetapi ada pula lelucon yang bahkan kadang-kadang 

menyindir pemerintah. Penerbitan ini berakhir pada tanggal 13 Agustus 1816 karena pemerintah Inggris 

harus meninggalkan negara kita . Java Government Gazette kembali berganti menjadi berbahasa Belanda 

ketika pemerintahan dikembalikan kepada Hindia Belanda. Nama mingguan itu menjadi De Bataviasche 

Courant, dan 12 tahun kemudian menjadi Javasche Courant. 

 Salah satu ranjau hukum yang menelan banyak korban adalah pasal-pasal haatzai artikelen yang 

mengancam hukuman terhadap yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan ter-

hadap pemerintah. Dalam tempo satu tahun saja (1919-1920) belasan wartawan negara kita  dijatuhi hukuman. 

Tiga belas tahun setelah haatzaai artikelen ditetapkan, diberlakukan pula Persbreidel Ordonnantie 

(Ordonansi Pembredelan pers). Kedua peraturan itu sangat merugikan pihak yang didakwa, antara lain 

karena tidak diberi kesempatan membela diri. Pengekangan terhadap kebebasan pers ini  dimaksudkan 

untuk mengendalikan keadaan pada jaman yang tengah bergulir berubah. 

Pada mulanya pers merupakan budaya Belanda. dimiliki, dikelola dan dibaca oleh orang Belanda 

atau orang yang berbahasa Belanda. Minat baca untuk itu tergolong tinggi. Pada tahun 1920 misalnya, 

ada  sekitar 20 surat kabar dengan tiras berkisar sekitar 60.000 eksemplar dan jumlah orang Belanda di 

negara kita  diperkiirakan 170.000 orang. Dengan demikian. Koran dibaca oleh lebih dari 35 persen orang 

belanda. 

Media massa tercetak juga bersaing dengaan sesamanya dalam merebut jumlah pembaca. Kensikan 

jumlah pembaca dari tahun ke tahun relatif kecil: menurut suatu penelitian hanya sekitar empat persen. 

Sedangkan jumlah penerbitan pers di negara kita  lebih dari 150 (60 persen koran dan 40 persen majalah). Untuk 

meningkatkan jumlah pembaca, pemerintah menyelenggarakan program koran masuk desa, yang sekaligus juga 

untuk mengurangi keetimpangan informasi antara kota dan desa. Penduduk kola hanya sekitar 20 persen dan 

desa 80 persen. Namun arus inform:si terjadi sebaliknya: dari kota 8O persen dan sisanya dari desa. 

Bentuk persaingan yang lain adalah lpada segi memperoleh dan mengola berita. Masing-masing 

berusaha mendapatkan berita yang ekslusif dan cepatdari sumber yang tepat dan diolah selengkap-lengkapnya. 

Suatu berita yang menarik dikembangkan pada edisi-edisi berikutnva, baik dengan cara menyajikan 

kelanjutanperistiwa yang diberitakan ataupun dikomentari  oleh orang yang tepat memberikan pendapat.  Surat 

kabar juga berlomba menuliskan berit:a yang menarik secara Iengkap, misalnya dengan ditambah Iatar 

belakang, perbandingnn dan komentar. 

Perkembangan surat kabar, selama dasawarsa-dasawarsa terakhir dalam berbagi segi sangat cepat. Hal 

ini sangat kontras dengan masa awal pertumbuhannya pada masa silam yang jauh, yang perkembangannya 

lamban dan bersahaja. 

 

V. Perkembangan surat kabar 

Kegiatan jurnalisme terkait erat dengan perkembangan teknologi publikasi dan informasi. Pada 

masa antara tahun 1880-1900, ada  berbagai kemajuan dalam publikasi jurnalistik. Yang paling menonjol 

adalah mulai digunakannya mesin cetak cepat, sehingga deadline penulisan berita bisa ditunda hingga malam 

hari dan mulai munculnya foto di surat kabar.  

Pada 1920-an, surat kabar dan majalah mendapatkan pesaing baru dalam pemberitaan, dengan 

maraknya radio berita. Namun demikian, media cetak tidak sampai kehilangan pembacanya, karena berita 

yang disiarkan radio lebih singkat dan sifatnya sekilas. Baru pada 1950-an perhatian warga sedikit 

teralihkan dengan munculnya televisi. 

Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat pada era 1970-1980 juga ikut mengubah cara 

dan proses produksi berita. Selain deadline bisa diundur sepanjang mungkin, proses cetak, copy cetak yang 

bisa dilakukan secara massif, perwajahan, hingga iklan, dan