hami oleh masayrakat pedesaan. Dalam penyajiannya, pertunjukkan ini biasanya diiringi oleh musik
daerah setempat.
Di berbagai daerah, media komunikasi tradisional tampil dalam berbagai bentuk dan sifat, sejalan
dengan variasi kebudayaan yang ada di daerah-daerah itu. Misalnya tudang sipulung (duduk bersama),
ma’bulo sibatang (kumpul bersama dalam sebuah pondok bamboo) di Sulawesi Selatan dan selapanan
(peringatan pada hari ke-35 kelahiran) di Jawa Tengah.
a) Sifat-sifat Media Tradisional
Menurut Ranganath menuturkan bahwa media tradisional itu akrab dengan massa khalayak, kaya
akan variasi, dengan segera tersedia, dan biayanya rendah. Ia disenangi baik oleh pria maupun wanita dari
berbagai kelompok umur. Secara tradisional media ini dikenal sebagai pembawa tema. Di samping itu, ia
memiliki potensi yang besar bagi komunikasi persuasip, komunikasi tatap muka, dan umpan balik yang
segera.
Menurut Rapen menyatakan bahwa media ini secara komparatif murah. Ia tidak perlu diimpor,
karena ia merupakan milik komunitas. Di samping itu media ini tidak akan memicu ancaman
kolonialisme kebudayaan dan dominasi ideologi asing. Terlebih lagi, kredibitasnya lebih besar karena ia
mempertunjukkan kebolehan orang-orang setempat dan membawa pesan-pesan lokal, yang tidak berasal dari
pemerintah pusat. Media rakyat ini bersifat egaliter, sehingga dapat menyalurkan pesan-pesan kerakyatan
dengan lebih baik daripada surat kabar yang bersifat elit, film, radio dan televisi yang ada sekarang ini.
Sifat-sifat umum media tradisional ini, antara lain ialah mudah diterima, relevan dengan budaya
yang ada, menghibur, menggunakan bahasa lokal, memiliki unsur legimitasi, fleksibel, memiliki
kemampuan untuk mengulangi pesan-pesan yang
dibawanya, komunikasi dua arah, dan sebagainya.
Oleh karena sifat - sifat di atas, media ini dapat berfungsi sebagai pembawa pesan yang lebih
baik daripada media lainnya bagi kesejahteraan seluruh warga warga dalam berbagai aspek
pembangunan social, ekonomi, dan budaya. Kesejahteraan ini diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup
manusia di daerah pedesaan secara menyeluruh.
Di pihak lain, Dissanayake (1977) menunjukkan kelebihan media rakyat ini jika dibandingkan
dengan media massa yang ada di Negara-negara yang sedang berkembang. Pertama, kredibilitas media
tradisional lebih besar, karena ia telah lama dikenal. Media ini dapat mengekspresikan kebutuhan,
kegembiraan, kesedihan, kemenangan, ataupun kekecewaan warga yang mendalam karena menderita
kekalahan. Kedua, para petani menganggap bahwa media massa di negeri mereka bersifat elit, yang hanya
melayani kepentingan kelompok yang berkuasa. Media tradisional menggunakan ungkapan-ungkapan dan
symbol-simbol yang mudah dipahami oleh rakyat, dan mencapai sebagian dari populasi yang berada di luar
jangkauan pengaruh media massa, dan yang menuntut partisipasi aktif dalam proses komunikasi.
4. 1 Jenis-jenis Media Komunikasi Tradisional
1. Wayang
A. Sejarah Wayang
Jauh sebelum agama Hindu masuk ke negara kita , nenek moyang bangsa negara kita beberapa
tahun sebelum masehi telah mengenal wayang. Wayang dalam bahasa Jawa berarti bayangan. Pertunjukan
ini adalah kebudayaan asli negara kita yang sangat erat hubungannya dengan pemujaan roh nenek
moyang mereka. Menurut kepercayaan animisme, roh nenek moyang dapat diminta untuk memberikan
bantuan serta perlindungan; sebaliknya roh ini dapat juga mengganggu dan mencelakakan
orang. Dalam upaya untuk meminta bantuan kepada roh nenek moyang dimaksud, maka diadakanlah suatu
upacara ritual yang dapat mendatangkan roh nenek moyang dimaksud, maka diadakanlah suatu upacara ritual
yang dapat mendatangkan roh ini . Caranya ialah dengan mempergelarkan pertunjukan wayang.
Pada permulaan masehi, bangsa Hindu dari jazirah India banyak
berdatangan ke negara kita . Sedikit demi sedikit penduduk asli menerima pengaruh Hindu ini. Pada zaman
ini, bahasa Sansekerta banyak dipergunakan di kalangan atas dan mempengaruhi bahasa Jawa dan Bali.
Bangsa Hindu menemukan wayang sebagai suatu wadah untuk membawakan cerita Mahabharata atau
Ramayana dalam menyebarluaskan ajaran agamanya. Kemudian, terjadilah suatu perpaduan yang amat
serasi antara kedua kebudayaan yang berasal dari Hindu dan yang asli dari negara kita , sehingga sampai
dewasa ini wayang dengan cerita dari Hindu itu sanggup menyesuaikan diri dengan
perkembangan sejarah bangsa negara kita . Oleh karena pulau Jawa dan semenanjung pulau Sumatera bagian
selatan merupakan pulau-pulau tempat para pedagang dan sastrawan singgah, maka pada pulau-pulau itulah
ada sisa-sisa peninggalan sejarah yang ada kaitannya dengan perkembangan wayang di negara kita .
Akhirnya, kebudayaan Hindu sangat cepat meresap pada penduduk.
Pada zaman Islam, ketika Raden Patah memerintah kerajaan Demak, ia berminat sekali pada
wayang. Namun, para Wali kurang sepakat jika bentuk wayang digambarkan secara realistis sebab ajaran
Islam melarang pembuatan gambar-gambar mahluk hidup. Kemudian, para Wali menciptakan bentuk
wayang purwa yang dibuat dari kulit. Gambar wayang dirubah dan disederhanakan agar bentuk manusia
tidak tampak, sehingga wayang hanya merupakan lambang watak manusia.
UNESCO, Badan Dunia di Bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan telah
menetapkan wayang negara kita sebagai Warisan Budaya Dunia Nonbendawi (Masterpiece of Oral and
Intangible Heritage of Humanity) yang perlu dilestarikan. Penetapan itu menyiratkan pengakuan bahwa
wayang negara kita adalah karya budaya autentik atau indigenous bangsa negara kita . Namun, ternyata cukup
sulit untuk mendapatkan informasi atau data sejarah yang autentik menyangkut wayang negara kita . Ini
mengingat tradisi (sistem) dokumentasi pada bangsa kita memang lemah.
Keyakinan bahwa wayang merupakan produk budaya sejati bangsa negara kita antara lain ditegaskan
oleh pakar wayang, Prof Dr Soetarno, Ketua Sekolah Tinggi Seni negara kita (STSI), Surakarta, yang di
antaranya membawahi Jurusan Pedalangan. Ia menguraikan argumentasinya secara panjang lebar, baik dari
segi sejarah, pengetahuan, konsep estetika maupun teknis, serta filosofis. Wayang, ujarnya, telah dikenal
secara meluas di sini dalam bentuk relief di candi, pertunjukan, karya sastra, dan tradisi oral.
Menurut Soetarno, istilah "wayang" sendiri mulai disebut pada Bait 664 Kitab Bharatayudha karya
Pu Sedah (1157 M). Juga dalam Kitab Tantu Panggelaran (abad ke-12) disebutkan tentang wayang yang
menggunakan bahan dari kulit binatang yang ditatah. Adapun kelir (layar) juga telah digunakan pada masa
itu (Kitab Wreta Sancaya). Pada pertengahan abad ke-12, iringan musik untuk pementasan wayang antara
lain berupa tudungan dan saron kemanak. Adapun pada Kitab Negarakertagama (abad ke-15) disebutkan,
iringan musiknya berupa tambur, gambang, kala, sangha, dan kemanak.
Gaj Hazeu, seorang ahli bahasa dari Belanda yang meneliti tentang wayang, pada tahun 1897
meyakini pula bahwa wayang merupakan hasil kebudayaan Jawa. Ini didasarkan etimologi istilah-istilah
yang dikenal dalam pementasan wayang, yaitu dalang, kelir, wayang, keprak, dan blencong. Secara leksikon,
wayang berarti bayangan. Disertasi Hazeu di atas merupakan hasil penelitian ilmiah tentang wayang yang
pernah dilakukan meski lebih dari sudut linguistik, karenanya juga menjadi sumber informasi paling valid.
Namun, sesungguhnya hingga sekarang amat sedikit hasil penelitian, baik dari luar maupun dalam
negeri, mengenai (sejarah) pertunjukan wayang. Priyohutomo pada tahun 1933 menulis disertasi berjudul
Nawaruci, juga dari sudut linguistik. Sejumlah sumber tertulis lain seperti Serat Centhini (1823) dan
Sastramiruda (1920) juga menyinggung tentang wayang, namun itu lebih didasarkan pada tradisi oral
sehingga sulit diyakini validitasnya. Kemudian, Prof. Poerbatjaraka dalam Kapustakan Jawi (1952)
memaparkan sejumlah hasil penelitian yang di antaranya mengungkap tentang sejarah wayang.
Dalam proses yang panjang, antara abad ke-11 hingga akhir abad ke-18, pertunjukan wayang kulit
purwa tampaknya terus mengalami perkembangan disertai inovasi-inovasi, baik menyangkut aspek estetika
pertunjukan maupun pemaknaan (filsafat). Proses "penyempurnaan" wayang hingga ke bentuk yang kita
kenal sekarang berlangsung sejak Kerajaan Demak kemudian Pajang, Mataram, hingga Kartasura.
Mulai masa Kerajaan Demak (abad ke-15), tokoh wayang di atas kulit binatang mengalami stilisasi,
yaitu sepenuhnya miring (dua dimensi). Ada yang menyebutkan bahwa perubahan ini akibat pengaruh
agama Islam yang dalam syariahnya menolak pencitraan manusia secara "realis". Pada masa itu, Sunan
Kalijaga konon sangat berperan dalam inovasi pertunjukan wayang kulit ini. Kalijaga yang juga piawai
mendalang memanfaatkan media ini untuk menyampaikan dakwah.
Pada masa Demak itu, sosok wayang dilengkapi dengan anggota tubuh (tangan) yang bisa
digerakkan atau "lepas" (dengan sumbu pada lengan) seperti sekarang. Diciptakan pula ricikan berupa senjata
dan hewan sehingga pertunjukan lebih menarik.
Estetika menyangkut seni rupa wayang menunjukkan terjadinya inovasi dari waktu ke waktu, baik
menyangkut sosok wayangnya sendiri maupun teknik permainannya. Para seniman perupa pada masa itu
menuangkan kreativitas mereka dalam berbagai kreasi dan setiap wilayah (komunitas) menemukan kekhasan
mereka sendiri. Apakah itu menyangkut karakter sosok, wanda, ukuran tinggi, gelung, ornamen, aksesori,
tatahan, sunggingan (pewarnaan), hingga ke gaya pedalangan.
Alhasil, dari data sejarah di atas dan proses perkembangan yang dialami, berbagai pihak meyakini
bahwa wayang adalah karya budaya "asli" karena lahir dan mengalami proses panjang di negara kita . Meski
tidak diingkari bahwa cerita-cerita pewayangan berasal dari tradisi Hinduisme di India, sebagai produk
kebudayaan, wayang mengalami proses "pencanggihan" sendiri di bumi nusantara. Kompleksitas dan
intensitas proses pencanggihan pada pertunjukan wayang yang meliputi berbagai aspeknya itu agaknya tidak
kita kenal pada produk budaya yang lain di nusantara.
Dari zaman ke zaman, inovasi dan kreasi-kreasi dari berbagai aspek pertunjukan wayang ini
mengalami perkembangan secara intensif. Pertunjukan wayang sendiri kemudian juga mengalami keragaman
bentuk dan media.
Sebagai hasil interaksi, budaya wayang mempengaruhi segala ekspresi keseharian warga, termasuk
dalam pembentukan adat istiadat, tradisi, filsafat, ajaran-ajaran moral, dan etika. Pada masa itu, hubungan
antara pertunjukan wayang dan warga niscaya bukan sekadar interaksi antara publik dan tontonannya
belaka. Ini pada gilirannya memberikan pengaruh bagi pembentukan nilai-nilai yang kompleks dalam tatanan
sosial serta ketatanegaraan
B. Jenis-jenis Wayang
1) Wayang kulit purwa (dengan kisah Ramayana dan Mahabharata)
2) Wayang beber (kisah Panji.
3) Wayang madya (zaman sesudah Parikesit)
4) Wayang gedog (siklus Panji)
5) Wayang klithik (kisah Damarwulan),
6) Wayang golek (dari Serat Menak)
7) Wayang dupara (Babad Mataram II)
8) Wayang krucil (kisah Damarwulan),
9) Wayang kancil (fabel)
10) Wayang perjuangan (1945),
11) Wayang suluh (1945)
12) Wayang pancasila (1947),
13) Wayang wahyu (1960),
14) Wayang buddha (1979),
15) Wayang sandosa
16) Wayang orang
17) Wayang topeng
18) Langen mandra wanaran
19) Sendratari wayang
20) Wayang jemblung
C. Wayang Sebagai Media Komunikasi Rakyat
Wayang pernah dibikin lewat media film, sinetron di televisi, belakangan lahir pula wayang
multimedia, wayang animasi, wayang listrik, wayang cyber. Dan tak kurang pula teater modern yang
mengambil inspirasi cerita dari kisah pewayangan, begitu juga dalam bentuk cerita pendek dan novel.
Namanya saja media tradisional, sehingga tidak sama dengan media massa. Kalau media massa
adalah media dengan menggunakan alat teknologi komunikasi modern, sedangkan media tradisional adalah
alat komunikasi yang sudah lama digunakan di suatu tempat (desa) sebelum kebudayaannya tersentuh oleh
teknologi modern dan sampai sekarang masih digunakan di daerah itu. Adapun isinya masih berupa lisan,
gerak isyarat atau alat pengingat dan alat bunyi-bunyian.
Ditinjau dari aktualialisasinya, ada seni tradisional seperti wayang purma, wayang golek, ludruk,
ketoprak. Seni ini memakai peralatan atau media tradisional.Seni tradisional ini juga sampai sekarang
masih ada dan akan terus dipelihara. Hanya saat ini sudah mengalami transformasi dengan media massa
modern. Dengan kata lain, ia tidak lagi dimunculkan secara apa adanya, melainkan sudah masuk ke media
televisi (transformasi). Sekadar contoh adalah acara seni tradisional yang dimunculkan oleh televisi swasta
Indosiar setiap Sabtu malam. Dari segi cerita juga mengalami transformasi.
William R. basom mengemukakan fungsi-fungsi wayang sebagai media tradisional adalah sebagai
berikut:
1) sebagai sistem proyek (projective system)
2) sebagai pengesahan/penguat adapt
3) sebagai alat pendidikan (pedagogical device)
4) sebagai alat paksaan dan pengendalian social agar norma-norma warga
dipatuhi oleh anggota kolektifnya.
Beberapa kelebihan media tradisional dan seni tradisional dibanding media lain
adalah:
a. Ia tumbuh dan berkembang di warga, sehingga dianggap sebagai bagian
atau cermin kehidupan warga desa. Di samping apa yang disuguhkan lebih
mengena di hati warga, melalui media tradisional juga bisa diselipkan pesan
dakwah, pembangunan, misalnya dalam cerita teater rakyat, ketoprak atau wayang.
2. Media rakyat harus dinikmati dengan jenjang pengetahuan atau pendidikan tertentu
(karena sifatnya tertulis, maka warga harus bisa membaca terlebih dahulu),
sedangkan media tradisional bisa dinikmati semua lapisan warga.
3. Seni tradisional sifatnya lebih menghibur sehingga lebih mudah mempengaruhi
sikap warga. Di samping itu, seni tradisional tidak perlu dinikmati dengan
mengerutkan dahi.
Namun begitu, seni atau media tradisional terbentur hambatan dalam pengembangan. Pertama,
sejalan dengan tingkat perkembangan warga yang kian maju dan modern, ia akan terancam
eksistensinya. Kita bisa ambil contoh banyak kalangan muda yang enggan memupuk dan mewarisi media
atau seni tradisional ini . Kedua, peran serta pemerintah sangat kecil, padahal seni tradisional menjadi
salah satu sumber devisa yang dapat diandalkan. Ketiga, media massa kurang tertarik mengekspos atau
memberitakan seni tradisional ini . Padahal pemberitaan ini menjadi sarana efektif menjaga
kelangsungannya.
Melihat fungsi media tradisional yang sedemikian besar, ia jelas punya fungsi yang sangat efektif
untuk menyebarkan pesan di pedesaan. Ia tidak dilakukan dengan komunikasi antarpersona dan juga tidak
memakai media massa modern, tetapi dengan alat tradisional yang memang hanya ada di pedesaan.
D. Wayang Sebagai Media Dakwah
Dalam pertunjukkan wayang kulit yang paling dikenal adalah cerita tentang Serat Kalimasada
(lembaran yang berisi mantera/sesuatu yang sakral) yang cukup ampuh dalam melawan segala
keangkaramurkaan dimuka bumi. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa si pembawa serat ini akan menjadi sakti
mandraguna. Tidak ada yang tahu apa isi serat ini. Namun diakhir cerita, rahasia dari serat inipun
dibeberkan oleh dalang. Isi serat Kalimasada berbunyi "Aku bersaksi tiada Tuhan Selain Allah dan Aku
bersaksi Muhammad adalah utusan-Nya" ,isi ini tak lain adalah isi dari Kalimat Syahadat.
Dalam pertunjukan wayangpun sang wali selalu mengadakan di halaman masjid, yang
disekelilingnya di beri parit melingkar berair jernih. Guna parit ini tak lain adalah untuk melatih para
penonton wayang untuk Wisuh atau mencuci kaki mereka sebelum masuk masjid. Simbolisasi dari wudhu
yang disampaikan secara baik.
Dalam perkembangan selanjutnya, sang wali juga menyebarkan lagu-lagu yang bernuansa
simbolisasi yang kuat. Yang terkenal karangan dari Sunan Kalijaga adalah lagu Ilir-Ilir. Memang tidak semua
syair menyimbolkan suatu ajaran islam, mengingat diperlukannya suatu keindahan dalam mengarang suatu
lagu. Sebagian arti yang kini banyak digali dari lagu ini diantaranya :
Tak ijo royo-royo tak senggoh penganten anyar : Ini adalah sebuah diskripsi mengenai para pemuda, Cah
angon,cah angon, penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno kanggo sebo mengko sore : Cah angon
adalah simbolisasi dari manusia sebagai Khalifah Fil Ardh, atau pemelihara alam bumi ini angon bhumi).
Penekno blimbing kuwi ,mengibaratkan buah Belimbing yang memiliki lima segi membentuk bintang.
Kelima segi itu adalah pengerjaan rukun islam (yang lima) dan Sholat lima waktu. Sedang (lunyu-lunyu
penekno, berarti, tidak mudah untuk dapat mengerjakan keduanya (Rukun islam dan sholat lima waktu) ,dan
memang jalan menuju ke surga tidak mudah dan mulus. Kanggo sebo mengko sore, untuk bekal di hari esok
(kehidupan setelah mati).
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar galangane : Selagi masih banyak waktu selagi
muda, dan ketika tenaga masih kuat, maka lakukanlah (untuk beribadah).
Memang masih banyak translasi dari lagu ini, namun substansinya sama, yaitu membumikan
agama,mensosialisasikan ibadah dengan tidak lupa tetap menyenangkan kepada pengikutnya yang baru.
Dalam lagu-lagu jawa, ada gendhing bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, kinanthi,
asmaradhana,hingga megatruh dan pucung. Ternyata kesemuanya merupakan perjalanan hidup seorang
manusia. Ambillah Mijil,yang berarti keluar, dapat diartikan sebagai lahirnya seorang jabang bayi dari rahim
ibu. Sinom dapat di artikan sebagai seorang anak muda yang bersemangat untuk belajar. Maskumambang
berarti seorang pria dewasa yang cukup umur untuk menikah, sedangkan untuk putrinya dengan
gendhingKinanthi. Proses berikutnya adalah pernikahan atau katresnan antar keduanya disimbolkan dengan
Asmaradhana. Hingga akhirnya Megatruh, atau dapat dipisah Megat-Ruh.Megat berarti bercerai atau terpisah
sedangkan ruh adalah Roh atau jiwa seseorang. Ini proses sakaratul maut seorang manusia. Sebagai umat
beragama islam tentu dalam prosesi penguburannya ,badan jenazah harus di kafani dengan kain putih
,mungkin inilah yang disimbolkan dengan pucung (atau Pocong).
Kesemua jenis gendhing ditata apik dengan syair-syair yang beragam, sehingga mudah dan selalu
pas untuk didendangkan pada masanya.
2. Ludruk
A. Sejarah Ludruk
Pada tahun 1994 , group ludruk keliling tinggal 14 group saja. Mereka main di desa desa yang
belum mempunyai listrik dengan tarif Rp 350. Group ini didukung oleh 50 . 60 orang pemain. Penghasilan
mereka sangat minim yaitu: Rp 1500 s/d 2500 per malam. Bila pertunjukan sepi, terpaksa mengambil uang
kas untuk bisa makan di desa.
Sewaktu James L Peacok (1963-1964) mengadakan penelitian ludruk di Surabaya tercatat sebanyak
594 group. Menurut Depdikbud propinsi jatim, sesudah tahun 1980 meningkat menjadi 789 group (84/85),
771 group (85/86), 621 group (86/87) dan 525 (8788). Suwito HS, seniman ludruk asal Malang mengatakan
tidak lebih dari 500 group karena banyak anggota group yang memiliki keanggotaan sampai lima group.
Hasil penelitian Suripan Sadi Hutomo, menurut kamus javanansch Nederduitssch Woordenboek
karya Gencke dan T Roorda (1847), Ludruk artinya Grappermaker (badutan). Sumber lain menyatakan
ludruk artinya penari wanita dan badhut artinya pelawak di dalam karya WJS Poerwadarminta, Bpe Sastra
(1930). Sedangkan menurut S.Wojowasito (1984) bahwa kata badhut sudah dikenal oleh warga jawa
timur sejak tahun 760 masehi di masa kerajaan Kanyuruhan Malan dengan rajanya Gjayana, seorang seniman
tari yang meninggalkan kenangan berupa candi Badhut.
Ludruk tidak terbentuk begitu saja, tetapi mengalami metamorfosa yang cukup panjang. Kita tidak
punya data yang memadai untuk merekonstruksi waktu yang demikian lama, tetapi saudara hendricus
Supriyanto mencoba menetapkan berdasarkan nara sumber yang masih hidup sampai tahun 1988, bahwa
ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907, oleh pak Santik dari desa Ceweng, Kecamatan Goda
kabupaten Jombang.
Bermula dari kesenian ngamen yang berisi syair syair dan tabuhan sederhana, pak Santik berteman
dengan pak Pono dan Pak Amir berkeliling dari desa ke desa. Pak Pono mengenakan pakaian wanita dan
wajahnya dirias coret coretan agar tampak lucu. Dari sinilah penonton melahirkan kata Wong Lorek.. Akibat
variasi dalam bahasa maka kata lorek berubah menjadi kata Lerok.
1. Periode Lerok Besud (1920-1930)
Kesenian yang berasal dari ngamen ini mendapat sambutan penonton. Dalam
perkembangannya yang sering diundang untuk mengisi acara pesta pernikahan dan pesta rakyat yang lain.
Pertunjukkan selanjutnya ada perubahan terutama pada acara yang disuguhkan. Pada awal acara diadakan
upacara persembahan. Persembahan itu berupa penghormatan ke empat arah angin atau empat kiblat,
kemudian baru diadakan pertunjukkan. Pemain utama memakai topi merah Turki, tanpa atau memakai baju
putih lengan panjang dan celana stelan warna hitam. Dari sini berkembalah akronim Mbekta maksud arinya
membawa maksud, yang akhirnya mengubah sebutan lerok menjadi lerok besutan.
2. Periode Lerok dan Ludruk (1930-1945)
Periode lerok besut tumbuh subur pada 1920-1930, setelah masa itu banyak
bermunculan ludruk di daerah jawa timur. Istilah ludruk sendiri lebih banyak ditentukan oleh warga
yang telah memecah istilah lerok. Nama lerok dan ludruk terus berdampingan sejak kemunculan sampai
tahun 1955, selanjutnya warga dan seniman pendukungnya cenderung memilih ludruk.
Sezaman dengan masa perjuangan dr Soetomo di bidang politik yang mendirikan Partai negara kita
raya, pada tahun 1933 cak Durasim mendirikan Ludruk Oraganizatie (LO). Ludruk inilah yang merintis
pementasan ludruk berlakon dan amat terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan baik
Belanda maupun Jepang.
Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan kepada
rakyat, oleh pemain pemain ludruk digunakan untuk menyampaikan pesan pesan persiapan Kemerdekaan,
dengan puncaknya peristiwa akibat kidungan Jula Juli yang menjadi legenda di seluruh grup Ludruk di
negara kita yaitu : Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro., cak Durasim dan kawan kawan
ditangkap dan dipenjara oleh Jepang.
3. Periode Ludruk Kemerdekaan (1945-1965)
Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan kepada
rakyat, untuk menyampaikan pesan pesan pembangunan. Pada masa in Ludruk yang terkenal adalah
.Marhaen. milik .Partai Komunis negara kita .. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika PKI saat itu dengan
mudah mempengaruhi rakyat, dimana ludruk digunakan sebagai corong PKI untuk melakukan penggalangan
masa untuk tujuan pemberontakan. Peristiwa madiun 1948 dan G-30 S 1965 merupakan puncak kemunafikan
PKI.
Ludruk benar benar mendapatkan tempat di rakyat Jawa Timur. Ada dua grup ludruk yang sangat
terkenal yaitu : Ludruk Marhaen dan Ludruk tresna Enggal. Ludruk Marhaen pernah main di Istana negara
sampai 16 kali , hal ini menunjukkan betapa dekatnya para seniman ludruk dengan para pengambil keputusan
di negeri ini. Ludruk ini juga berkesempatan menghibur para pejuang untuk merebut kembali irian Jaya,
TRIKORA II B yang memperoleh penghargaan dari panglima Mandala (Soeharto). Ludruk ini lebih condong
.ke kiri., sehingga ketika terjadi peristiwa G 30 S PKI Ludruk ini bubar.
4. Periode Ludruk Pasca G 30 S PKI ( 1965 saat ini)
Peristiwa G30S PKI benar benar memporak perandakan grup grup Ludruk terutama yang berafiliasi
kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat milik PKI. Terjadi kevakuman antara 1965-1968. Sesudah itu
muncullah kebijaksanaan baru menyangkut grup grup ludruk di Jawa Timur. Peleburan ludruk dikoordinir
oleh Angkatan Bersenjata dalam hal ini DAM VIII Brawijaya proses peleburan ini terjadi antara tahun 1968-
1970.
1. Eks-Ludruk marhaen di Surabaya dilebur menjadi ludruk Wijaya Kusuma Unit I
2. Eks-Ludruk Anogara Malang dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit II
3. Eks-Ludruk Uril A Malang dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma unit III, dibina
Korem 083 Baladika Jaya Malang
4. Eks-Ludruk Tresna Enggal Surabaya dilebur menjadi ludruk Wijaya Kusuma unit IV
5. Eks-Ludruk kartika di Kediri dilebur menjadi Ludruk Kusuma unit V
Di berbagai daerah ludruk-ludruk dibina oleh ABRI, sampai tahun 1975.
Sesudah itu mereka kembali ke grup seniman ludruk yang independen hingga kini.Dengan pengalaman pahit
yang pernah dirasakan akibat kesenian ini, Ludruk lama tidak muncul kepermukaan sebagai sosok Kesenian
yang menyeluruh. Pada masa ini ludruk benar benar menjadi alat hiburan. Sehingga generasi muda yang
tidak mendalami sejarah akan mengenal ludruk sebagai grup sandiwara Lawak.
Setiap orang Jawa timur khususnya Surabaya, pasti mengenal Markeso, Kartolo dkk. Coba perhatian
bagaimana mereka bermain Ludruk. Sampai saat ini hanya beberapa kalangan saja yang mengetahui
.Binatang apakah ludruk itu ? .. Ibarat mobil, semua tergantung sopirnya, kalau sopirnya lurus ya lurus
jalannya, tapi kalau sopirnya menyeleweng , ngantuk dsb , kita dapat melihat dan menduga keadaaan yang
akan terjadi.
Sejarah Ludruk juga membuktikan bahwa kesenian ini tidak bisa dianggap remeh dan kalah dengan
kesenian-kesenian yang lainnya. Di tahun 60an, Ludruk pernah diundang di Istana Negara, sampai dituduh
disusupi oleh Lekra antek PKI. Hingga sekarang organisasi-organisasi Ludruk semakin berkembang
jumlahnya, masing-masing daerah seperti Jombang, Surabaya, Malang, Pasuruan, Madura mempunyai
beberapa organisasi Ludruk yang khas dengan daerahnya sendiri. Namun peminatnya hanya didesa-desa atau
dikampung-kampung. Jarang sekali peminat dari warga kota, di Surabaya saja pementasan yang sering
di Taman Hiburan Rakyat ( THR ) Surabaya tidaklah mudah mendapatkan penonton lebih dari sepuluh
orang, masih kalah dengan pementasan hiburan dangdut. Survive! itulah yang dialami Ludruk sekarang,
mencoba untuk bertahan hidup dijaman yang serba instan dan budaya semakin berubah.
Ludruk masih bertahan hanya karena mereka mempunyai jiwa Ludruk yang tidak bisa didapatkan
hanya menonton saja.
B. Perkembangan Ludruk
Apresiasi warga terhadap ludruk, terutama generasi muda, terus merosot
dan dikhawatirkan dalam waktu satu dasawarsa lagi kesenian tradisi ini akan kehilangan bukan hanya
penonton melainkan pula pewaris aktifnya. Lalu, bagaimana kita haru menyikapinya?
Menurut Ayu Sutarto "Diakui atau tidak, seni pertunjukan ludruk merupakan salah satu jenis seni
pertunjukan tradisional yang menjadi korban perubahan selera berkesenian dan selera publik terhadap jenis
tontonan dan hiburan”. Menurutnya tidak semua seni pertunjukan tradisional memiliki nasib buruk. Paling
tidak, meskipun tidak bisa hidup mandiri, masih ada beberapa jenis seni pertunjukan tradisional yang tetap
hidup normal karena ada tangan-tangan kuat yang menopang kehidupannya.
"Arja dan gambuh di Bali, misalnya, masih tetap hidup karena para pewarisnya dan pemerintah
setempat dengan sangat gigih memelihara keberadaannya," katanya. Teater Noh dan Kabuki di Jepang juga
masih ditonton orang dari berbagai penjuru dunia karena pemerintah memiliki komitmen untuk berperan
serta dalam pelestariannya. Teater boneka air di Vietnam juga tetap berjaya karena di samping pemerintah
peduli, produk kebudayaan rakyat ini berhasil dikemas sebagai komoditas wisata yang laku jual.
"Produk-produk seni klasik di negara-negara maju masih juga bertahan karena adanya campur
tangan pemerintah dalam melestarikan kelangsungan hidupnya," ujar Ayu Sutarto yang dikenal sebagai
peneliti tradisi itu. Lalu, mengapa ludruk yang memiliki nama besar dan pernah memiliki peran historis tak
mampu hidup wajar? Salahnya di mana? Mengapa apresiasi warga sangat rendah?
Menurut Drs Henrikus Supriyanto MHum, seni pertunjukan ludruk masih memiliki fungsi yang
strategis dalam kehidupan sosial, di antaranya berfungsi sebagai alat pendidikan warga, media
perjuangan, media kritik sosial, media pembangunan, dan media komunikasi/sponsor.
Banyak hal yang menjadi sebab mengapa fungsi, peran, dan posisi ludruk dalam warga
merosot. Menurut ketua Dewan Kesenian Jatim, Setya Yuwana Sudikan, demikian kata Ayu, sejak tahun
1990-an perkumpulan ludruk dihadapkan pada kondisi yang serba sulit.
1. Kalah bersaing dengan berbagai jenis seni pertunjukan modern dan kesenian pop.
2. Kehadiran teknologi komunikasi modern, seperti televisi, VCD, Internet, dan lain
lainnya memicu orang enggan pergi ke tanah lapang atau tobong untuk
menyaksikan pertunjukan ludruk.
3. warga perkotaan merasa turun gengsinya apabila diketahui sebagai penggemar
ludruk. Dan, keempat, bagi sebagian umat Islam, ludruk dipandang sebagai seni
sekuler karena adanya penampilan seniman pria yang memerankan tokoh wanita.
Beberapa jenis seni pertunjukan tradisional ternyata mampu bangkit dan merebut kembali hati
publik setelah inovasi dan terobosan dilakukan. Seperti Lenong Betawi yang dikemas sesuai dengan selera
anak muda ternyata mampu merebut pasar. Ketoprak yang penuh bumbu humor ternyata dapat menaklukkan
hati publik. Dan, pergelaran wayang purwa yang " bertabur bintang dengan berbagai atraksi ternyata juga
"dibeli", meski mahal. Tetapi, mengapa ludruk glamor dan ludruk humor yang dimotori Cak Kartolo kurang
mendapat respons dari warga ? "Bukanlah suatu dosa jika suatu produk kebudayaan, termasuk ludruk,
meninggalkan unsur konvensional yang tak lagi sesuai dengan perkembangan zaman dan kemudian
melakukan inovasi terus-menerus untuk merebut hati publik.
3. Bedug
A. Definisi
Beduk adalah gendang satu muka yang berbentuk memanjang iaitu 'elongated'. Peranannya dalam
budaya warga Melayu khususnya di Nusantara adalah bersifat 'non-musical'. Malah ianya merupakan
sebagai 'instrument' untuk mengesakan perintah Allah s.w.t. Ianya digunakan di surau ataupun masjid di
kampung-kampung bagi menandakan masuknya waktu untuk bersolat. Ianya dipukul dengan pemukul kayu
dalam pola rithme yang beransur cepat iaitu 'accelerando'
Bedug umumnya dikenal sebagai salah satu kelengkapan masjid, untuk memberi tanda waktu dan
memanggil orang Islam sholat. Bedug terbuat dari sepotong kayu besar atau pokok endu sepanjang kira-kira
satu dipa. Bagian tengah batang itu dilubangi sehingga berbentuk tabung besar. Ujung batang yang berfungsi
sebagai membran atau selaput gendang. Bila ditabuh, bedug memicu suara berat bernadah rendah,
tetapi dapat terdenagr sampai jarak cukup jauh.
Di negara kita beduk digunakan di Masjid-masjid atau tempat ibadah umat Islam. Sedangkan di
Jepang, memang asal mulanya dari beduk yang digunakan di Tera atau tempat ibadah umat Budha. Dari
situlah terbentuk perkumpulan seni memukul beduk, dan sampai sekarang dikenal dengan Wadaiko.
Seni bedug yang popular di daerah Banten, menggunakan belasan sampai puluhan bedug yang
dijajarkan dipalangan luas. Jumlah penabuhnya sama dengan jumlah bedug yang tersedia. Irama pukulannya
dinamis, sesuai dengan gerak tangan dan tubuh sipanabuh. Seni bedug ini hanya dipertunjukkan pada hari-
hari besar agama Islam.
Seni memukul beduk banyak sekali membawa manfaat, suara yang ditimbulkan membawa perasaan
pendengar mengalun-alun mengikuti iramanya. Selain itu badan menjadi kuat dan sehat. Memukul beduk
tidak hanya membutuhkan kekuatan, tetapi juga kelenturan tangan, tubuh, dan kaki, semua menyatu.
Alat yang digunakan untuk memukul beduk terbuat dari kayu pilihan yang sengaja didatangkan dari
Jepang, nama pemukul beduk itu adalah Bachi. Karena sifatnya keras dan kuat, Bachi tidak akan patah
walaupun memukul dengan sekuat tenaga.
Ada pula perangkat gamelan kuno yang dilengkapi dengan bedug, antara lain Gamelan Sari Oneng
yang kini tersimpan di Museum Sumedang Jawa Barat. Bedug yang dinamakan Bheri ini kedua sisinya
memakai membra kulit binatang. Di Banten ada bedug kuno yang disebut Khu, tersimpan dalam sebuah
kelenteng kuno. Membran pada bedug ini direnggangkan dengan sietem paku berkepala besar. Saat ini bedug
yang paling besar ada di Mesjid Istiqlal Jakarta. Bedug ini terbuat dari potongan kayu jati gelondong
yang ditebang di Jawa tengah.
B. Sejarah Bedug
Beduk tua yang masih termasuk kategori terbesar pada saat ini berada di Masjid
Jami Darrul Muttaqin Purworejo. Beduk ini diletakkan di samping kiri depan masjid. Beduk ini dibuat
sekira tahun 1834 hingga 1840 ketika Purworejo dalam pemerintahan Raden Adipati Cokronegoro. Jabatan
Bupati Purworejo I ketika itu masih dipegang oleh Bagelen. Oleh karena itu pula, beduk itu diberi nama
Beduk Bagelen.
Badan beduk itu dibuat dari batang pohon utuh, pohon jati yang tumbuh di Desa Pendowo
Kelurahan Bragolan Kecamatan Purwodadi. Beduk kebanggaan warga Purworejo itu memunyai
panjang 292 cm dengan garis tengah bagian bawah (depan) 194 cm, garis tengah bagian atas belakang 180
cm, keliling lingkaran bawah depan 601 cm, dan lingkaran atas belakang 564 cm.
Pembuatan beduk ini dipimpin Tumenggung Prawironegoro. Di tangan ahli tukang kayu, bonggol
(bagian pangkal) pohon jati yang keras karena berusia ratusan tahun itu dapat dilubangi dan dihaluskan.
Kabarnya, bonggol kayu ini dilubangi dengan cara meletakkan bara api pada bagian tengah kayu dan
mencukil kayu ini secara perlahan-lahan.
Setelah selesai pembuatan, beduk ini dibawa ke Purworejo dengan cara meletakkan beberapa
batang kayu panjang bulat sebagai pengganti roda. Kenudian, beduk ini diikat dengan stagen (ikat pinggang
wanita) dan ditarik secara beramai-ramai. Jarak sejauh 9 km dari lokasi pembuatan ini dibagi dalam 20
pos. Jarak setiap pos berkisar dari 400 meter hingga 700 meter bergantung pada kondisi medan jalan.
Sebagai pemimpin dalam pemindahan beduk legendaris ini adalah Kiai Muhamad Irsyad yang
merupakan menantu dari Raden Tumenggung Prawironegoro. Kiai Muhamad Irsyad adalah seorang ulama
serta Kaum (Lebai) dari Ponpes Seloti di daerah Lowanu.
Sementara itu, pada setiap pos pemberhentian disediakan jamuan makan dan minum serta hiburan
tayub atau tledek. Lurah-lurah yang wilayahnya dilalui pengangkutan beduk ini diminta agar menyediakan
tenaga pengangkut. Setiap pos yang dilalui, konon, memakan waktu satu-dua hari. Jadi, total waktu
pemindahan beduk ini mencapai 20 hari.
Rombongan ini diterima langsung oleh Adipati Cokronegoro I sesampainya di depan gapura
Masjid Jami Darrul Muttaqin. Setelah itu, barulah beduk ditutupi kulit banteng. Waktu itu di Purworejo
masih banyak ada banteng liar. Sebelum ditutup kulit, dalam beduk ini dipasang dua buah
lempengan tembaga yang saling berhadapan sebagai alat resonansi gema. Dengan demikian, saat beduk itu
ditabuh, suaranya akan bertambah nyaring. Beduk itu kemudian digantungkan pada kerangka kayu jati
dengan menggunakan rantai sebagai pengikat. Lalu, ditempatkan di sisi selatan kiri serambi Masjid Jami
Darrul Muttaqin Purworejo.
Tanggal 3 Mei 1936, kurang lebih satu abad setelah pembuatan, kulit penutup beduk bagian
belakang diganti dengan kulit sapi jenis benggala karena telah rusak berlubang (jebol). Beduk ini ditabuh
hanya pada saat-saat tertentu. Pada bulan Puasa, beduk ditabuh sebanyak lima kali dalam seharinya di awal
waktu salat wajib. Padahal, biasanya beduk hanya ditabuh pada setiap subuh dan hari Jumat.
Kini Beduk Kiai Bagelen dijadikan aset pariwisata oleh Pemkab Purworejo karena dinilai sebagai
beduk terbesar di dunia. Sementara Masjid Darrul Muttaqin sendiri banyak dikunjungi kaum Muslimin
sebagai salah satu tempat ziarah.
Wayang kulit maupun wayang baris, terutama di daerah Solo dan Semarang, sejak tahun 1960an
juga menggunakan bedug sebagai salah satu kelengkapan gamelan pengiringnya. Gagasan untuk
menggunakan bedug ini pertama kali dicetuskan oleh Sukarno Ki Nortosabdo, dalang kenamaan dari
Semarang.
Kemudian mempopulerkan penggunaan bedug ini, terutama untuk mengiringi adegan perang dan
kiprahnya Gatot Kaca. Dengan suara bedug, gerakan wayang yang dimainkan dalang, atau gerakan penari
wayang orang akan lebih terasa mantap bagi penonton.
BAB V
MEDIA-MEDIA CETAK
5. Media Cetak
Hamundu (1999), media cetak merupakan bagian dari media massa yang digunakan dalam
penyuluhan. Media cetak mempunyai karakteristik yang penting. Literatur dalam pertanian dapat di temui
dalam artikel, buku, jurnal, dan majalah secara berulang-ulang terutama untuk petani yang buta huruf dapat
mempelajarinya melalui gambar atau diagram yang diperlihatkan poster. Media cetak membantu penerimaan
informasi untuk mengatur masukan informasi ini . Lebih jauh lagi media cetak dapat di seleksi oleh
pembacanya secara mudah dibandingkan dengan berita melalui radio dan televisi.
Media cetak merupakan suatu media yang bersifat statis dan mengutamakan pesan-pedan visual.
Media ini terdiri dari lembaran kertas dengan sejumlah kata, gambar, atau foto dengan tata warna dan
halaman putih. Media cetak merupakan dokumen atas segala dikatakan orang lain dan rekaman peristiwa
yang ditangkap oleh jurnalis dan diubah dalam bentuk kata-kata, gambar , foto, dan sebagainya.
Dalam pengertian ini, media cetak yang dipakai untuk memasang iklan adalah surat kabar dan
majalah. Dalam media ini dikenal jenis iklan baris, iklan display, dan iklan advetorial. Iklan baris adalah
iklan yang pertama kali dikenal warga. Umumnya hanya terdiri dari iklan lowongan pekerjaan; iklan
penjualan rumah, mobil bekas, tanah, handphone; dan penawaran jasa tertentu. Iklan ini ukurannya kecil dan
banyak mengandung singkatan tertentu.
Bentuk-Bentuk Media Cetak
5. 1. Buku
A. Pengertian Buku
Buku dilihat dari penampilannya dapat didefinisikan sebagai kumpulan lembaran kertas empat
persegi panjang yng satu sisinya dijilid bersama-sama, bagian depan dan belakang lembar-lembar kertas ini
dilindungi oleh sampul yang terbuat dari bahan yang lebih tahan terhadap gesekan, kelembapan, dan lain-
lain. Definis ini terasa terlalu sempit karena belum mencakup rekaman lain, seperti misalnya gulungan kertas
yang fungsinya sama dengan buku. Sebaliknya, definisi ini juga dirasa luas dehingga mencakup buku tulis,
buku kas dan buku catatan lain.
Dilihat dari fungsinya, buku dapat didefinisikan sebagai media komunikasi tulisan yang dirakit
dalam satu satuan atau lebih, agar pemaparannya dapat bersistem, dan isi maupun perangkat kerasnya dapat
lebih lestari. Segi pelestarian inilah yang memperbedakan buku dari benda-benda komunikasi tulisan lain
yang lebih pendek umurnya seperti majalah, surat-kabar dan brosur.
Jenis Buku
Dilihat dari macamnya, buku dapat dikelompokkan sebagai:
1. Buku Pelajaran
Mencakup buku ajar dari sekolah dasar sampai universitas, baik umum, kejuruan maupun berbagai
kursus,
2. Buku Umum
Mencakup buku sastra, buku fiksi (umumnya novel), nonfiksi (kebanyakan biografi dan buku yang
mengupas masalah poliitk dan kewargaan).
3. Buku Rujukan
Berbagai kamus dan ensiklopedia serta buku pegangan
4. Buku Pesanan
Di Amerika Serikat dan banyak negara maju, ada banyak klub buku yang mencetak buku dalam
jumlahh tertentu sesusai dengan pesanan. Umumnya, harga buku ini jauh lebih rendah karena berupa
cetakan ulang sehingga hak cipta di peroleh tanpa harga tinggi. Di samping itu, hampir tak ada masalah
penyimpanan persediaan sehingga modal pun tidak mandeg. Buku cetakan ulang ini dapat bersifat pebuh,
atau singkatan, atau dalam satu jilid yang terdiri dari atas gabungan beberapa buku yang disingkat.
Di pihak lain, ada buku pesanan nerupa bukusurvai yang dicetak secara terbatas, harganya sangat
tinggi, karena biaya survai dibebankan pada harga buku. Perusahaan yang membeli buku semacam ini
menyimpannya baik-baik agar tidak mudah diperbanyak oleh mereka yang tidak berhak.
B. Proses Lahirnya Buku
Buku mengakami proses yang panjang bila diamati muakiu dari pikiran
pengarang sampai ke mata pembaca.
Bagaimana penerbit memperoleh naskah. Banyak orang menawarkan naskah karangan kepada penerbit,
terutama penerbit yang ternama. Namun sedikit sekali naskah yang akhirnya diterbitkan. Alasan penolakan
umumnya adalah karena naskah tidak sesuai dengan program penerbit, kelayakan pasarnya diragukan,
penerbit tidak sempat mempelajari naskah itu dsb. Sebaliknya, mekanisme yang lebih sering digunakan ialah
penerbit mencari naskah sesusai dengan programnya, dan setelah penerbit mempelajari situasi pasar. Penerbit
lebih aktif mendatangi tokoh-tokoh pengarang atau guru besar di universitas, untuk mengetahui apakah ada
naskah mentah yang dapat di kembangkan secara komersial, atau bahkan gagasan sang tokoh mengenai
penerbitan sebuah buku.
Oknum yang mendadak tenar karena suatu peristiwa sering segera didekati penerbit untuk diminta
menuangkan pengalamannya dalam sebuah naskah. Sering kali orang yang dimintai naskah ini bukanlah
seorang yang mampu mengarang.
Maka mereka didampingi oleh penulis bayangan (ghost writer).
Bagaimana pun mendapatkan naskah itu, akhirnya pengarang dan penerbit mengikatkan diri dalam
kontrak yang mengatur jadwal, honorarium, dan sebagainya.
C. Menyunting Naskah.
Editor lebih banyak menghabiskan waktu untuk menangani naskah, hubungan antara penyunting
dan pengarang menjadi sangat erat. Dewasa ini penyunting lebih bersifat pelontar gagasan dan banyak
berurusan dengan petugas penerbit yang mencari naskah, dan dengan pengarang dalam urusan pencarian
naskah. Namun tugas utama penyunting yang tradisonal itu masih bertahan.
Segera naskah masuk, tugas pertama penyunting adalah memeriksa apakah bentuk dan isi naskah itu
sesuai dengan kontrak. Ia akan memberi saran kepada pengarang hal-hal yang perlu ditambah atau dikurangi,
gaya bahasa mana yang kurang serasi, pernyataan mana yang bernada memfitnah, dan bahan mana yang
faktanya diragukan. Bila timbul silang pendapat antara penyunting dan pengarang, penyunting harus bisa
membereskannya secara bijaksana.
Ada lagi penyunting yang disebut penyunting kopi (copy editor). Tugas utamanya adalah mengubah
Naskah, agar siap cetak, memperbaiki ejaan dan tanda baca, dan kadang-kadang mengecek fakta. Penyunting
kopi yang lebih aktif akan membubuhkan catatan pinggir mengenai fakta yang diragukan, kalimat yang
kedodoran, kembar arti, atau membingunkan.
Terutama dalam hal buku pelajaran, sering timbul sengketa yang tajam antara penyunting yang
mengingkan agar naskah lebih mudah dipahami pembaca, dan pengarang biasanya dosen universitas yang
cepat tersinggung kewibawaan ilmiahnya bila terlalu banyak gaya bahasa dibenahi.
Dalam hal penulisan bayangan, penyunting menghadapi dua oknum sekaligus; orang tenar yang
dimintai naskah dan penulis bayangan yang menuangkan pengalaman itu menjadi naskah.
Penyunting juga berwajib menyesuikan seluruh proses penyuntingan dengan jadwal penerbitan.
Setelah pengarang membubuhkan tanda setuju pada naskah cetak coba dan naskah itu telah dicetak pada
halaman-halaman yang bernomor (buku menjelang dijilid), penyunting menulis laporan kepada bagian
promosi dan penjualan, dan berakhirlah tugasnya.
D. Desain dan Produksi.
Buku merupakan kebanggaan penerbit, bukan hanya karena isinya, tetapi juga karena
penampilannya.
a) Komposisi merupakan tahap pertama pembikinan buku, dan terdiri atas dua
langkah ; tata huruf (type setting) dan rias halaman (make up). Langkah ketiga adalah membuat cetak
coba (proof) untuk mengoreksi kesahalan.
b) Tata huruf. Meskipun peranti elektronik telah meningkatkan kecepatan dan
efisiensi, namun hanya ada empat cara saja untuk mengubah kopi naskah menjadi bentuk yang dapat
dicetak, yakni : menyusun cetakan logam dengan tangan, dengan mesin (mekanis), komposisi mesin
ketik, dan komposisi fotografi. Komputer dan pita magnetik digunakan untuk melengkapi keempat
metode dasar ini.
c) Rias halaman. Setelah cetakan selesai dipasang, unsur - unsur pada suatu
halaman dirakit agar saling berhubungan dengan benar dan serasi. Dalam hal komposisi fotografi, rias
halaman berupa penyusunan film negatif atau positif.
Cetak coba biasanya dilakukan di atas kertas gulungan yang belum dipotong menurut halaman.
d) Tipografi adalah teknik dan seni memilih dan menata huruf untuk percetakan,
dan merupakan bagian penting dari desain buku. ada misalnya empat bentuk huruf latin ; kelas ini
masih dibagi lagi dalam beberapa variasi.
Ada dua hal yang harus diperhatikan oleh perancang kualitas cetak huruf dan kenyamanan baca. Suatu
novel yang sarat dengan catatan kaki tidak nyaman dibaca, meskipun catatan kaki itu dapat dibaca dengan
jelas.
e) Perancang harus menjaga keseimbangan antara semua faktor yang mempengaruhi
kenyamanan baca ; wajah huruf, ukuran huruf, panjang baris, tekstur kertas, pola halaman (gambar, teks,
agris pinggir dan hiasan), ruang antar baris, kontras antara huruf dan kertas, dan kesesuaian banyaknya
halaman dengan isi buku.
f) Percetakan. Perancang buku harus mengetahui teknik apa yang akan digunakan untuk
mencetak buku itu, jelasnya pembuatan plat cetak. Bergantung ukuran halaman,
ukuran mesin cetak, dan persyaratan penjilidan, ada 8, 16, 32 atau 64 halaman yang
dapat dicetak sekaligus pada satu sisi 64 halaman.
Ada dua masalah percetakan warna : warna itu sendiri dan proses warna. Masalah pertama mencakup
apakah digunakan warna datat (warna garis) ataukah warna separo-nada, yang digunakan untuk mencetak
setengah nada dalam suatu warna tunggal. Proses warna berarti menghasilkan ulang dalam warna-warni
asli suatu lukisan atau potret berwarna.
E. Sejarah Buku
Sejak jaman kerajaan-kerajaan di negara kita , sesungguhnya telah ada banyak naskah berbentuk
buku ataupun lembaran-lembaran yang ditulis tangan, baik berupa karya sastra, kenegaraan (naskah
perjanjian), hingga ayat-ayat suci. Kitab-kitab seperti Nagara Kertagama karya Mpu Prapanca di abad 14,
Sutasoma karya Mpu Tantular, dan lain-lain cukup dikenal publik sebagai peninggalan berharga dari sejarah
negara kita .
Buku-buku Islam karya berbagai ulama terkenal juga amat mewarnai dan mempengaruhi budaya
dan kehidupan warga saat itu. Sebut saja semisal Kitab Tajussalatin atau Mahkota Segala Raja yang
dikarang oleh Bukhari Al-Jauhari pada tahun 1603. Bahkan dalam kitab seperti "Serat Centini" dan "Serat
Cebolek" yang merupakan karya sastra Jawa kuno, yang tersusun pada abad ke-19, disebutkan bahwa sejak
permulaan abad ke-16 di Nusantara telah banyak dijumpai pesantren besar yang mengajarkan kitab-kitab
Islam klasik di bidang fikih, teologi, dan tasawuf.
"Serat Centini" yang ditulis oleh Raja Keraton Surakarta Hadiningrat, Paku Buwono V, tatkala
menjadi putra mahkota pada 1814, malah dengan jelas menuliskan judul-judul kitab yang diajarkan pesantren
sejak abad ke-16, seperti Mukarrar (al Muharrar, karya Imam Rafi'i), Sujak (mungkin kitab Taqrib karya
Ibnu Suja), Ibnu Kajar (Ibnu Hajar al Haitami, penulis kitab Tuhfatul Muhtaj?), Samarqandi (Abu Laits
Muhammad Abu Nasr as Samarqandi, penulis kitab Ushuludin, tanpa judul, sehingga terkenal dengan
sebutan pengarangnya), Humuludin (Ihya Ulumuddin karya Imam Gazali), Sanusi (Abu Abdallah
Muhammad Yusuf as Sanusi al Hasani, penulis kitab Ummul Barahin atau Durrah yang membahas akidah
dari sudut pandang tarekat Sanusiyah), dan lain-lain.
Sementara di luar Jawa ada lembaga pendidikan semodel pesantren dengan nama atau istilah
lain, seperti meunasah di Aceh dan surau di Sumatra Barat. Mereka juga telah menggunakan kitab-kitab
untuk dipelajari, yang nyaris sama dengan kitab-kitab di pesantren Pulau Jawa.
Prof. Dr. M.C. Ricklefs dalam makalahnya di sebuah seminar tahun 2000 menyebutkan, konon
banyak buku yang diilhami oleh kebudayaan Islam diintroduksikan pada abad ke-17 ke dalam kesusastraan
kraton Jawa, yaitu Carita Sultan Iskandar, Kitab Usulbiyah dan Serat Yusuf (versi panjang). Semua buku itu
dianggap sebagai objek yang sakti dan hanya dikenal dalam lingkungan kraton, meskipun Serat Yusuf versi
pendek dikenal dan tersebar luas di warga Jawa. Menurut kolofon Carita Sultan Iskandar, buku itu
berdasarkan atas versi bahasa Melayu, diciptakan dalam bahasa Jawa di Surabaya dan dibawa ke Mataram
oleh Pangeran Pekik. Sementara menurut kolofon Serat Yusuf, versi itu ditulis di desa Karang (disamping
Tembayat) pada bulan Jumadilawal AJ 1555 (Anno Javonico: kalender Islam-Jawa) atau bulan Nopember
1633M.
Namun perkembangan yang menandai dimulainya kegiatan percetakan di tanah air terjadi ketika
mesin cetak masuk ke Hindia Belanda abad ke -17 yang dibawa oleh VOC (Verenidge Oostindische
Compagnie). Mereka mencetak banyak hal, mulai dari brosur, pamflet, hingga koran dan majalah
(Kurniawan Junaedhi, 1995: Rahasia Dapur Majalah di negara kita ). Pada tahun 1778, berdiri perpustakaan
Bataviaash Genootschaap vor Kunsten en Watenschappen, dengan koleksi naskah dan karya tulis bidang
budaya dan ilmu pengetahuan di negara kita . Budaya dan kebiasaan baca pada waktu itu, sebagaimana di
daratan Eropa dan Amerika, terbatas pada kaum kolonial, bangsawan, kaum terpelajar, dan pemuka-pemuka
agama.
Sejak Hindia-Belanda dikembalikan oleh Inggris tahun 1812, percetakan (surat kabar) dikendalikan
sepenuhnya oleh negara, meski perusahaan percetakannya berlokasi di negeri Belanda. Waktu itu percetakan
buku juga dikelola oleh swasta, dimulai pada tahun 1839, dipelopori oleh Cijveer & Company. Tiga tahun
berselang, percetakan ini berubah nama menjadi Cijveer & Knollaert. Ia berpindah tangan lagi ke Ukeno &
Company, dan terus berpindah tangan karena kegagalan dalam pemasaran produknya. Di tangan Bruyning
Wijt kondisinya akhirnya membaik.
Misi agama juga mempelopori pencetakan buku atau kitab suci. Zending Protestan dilaporkan
pertama kali datang ke negara kita tahun 1831. dan mendirikan sekolah di Tomohon, Minahasa, pada tahun
1850. Di sini mereka mencetak buku, selebaran, dan surat kabar.
Pada akhir abad ke-19, terutama di Jawa, tumbuh penerbit dan percetakan milik orang Tionghoa
peranakan dan Indo-Eropa yang menerbitkan sekitar 3000 judul buku, pamflet, dan terbitan lainya sebelum
kemerdekaan. Terbitan mereka terutama buku-buku cerita dalam bahasa Melayu
Tionghoa atau Melayu pasar. Mereka juga menerbitkan koran yang tumbuh dengan subur. Sastra Melayu
Tionghoa mulai berkembang jauh sebelum didirikannya Balai Pustaka pada tahun 1918. Golongan Tionghoa
yang hidup lebih makmur dibandingkan dengan golongan bumiputra, dengan sendirinya lebih mampu
membeli buku dan membayar langganan koran dan majalah secara teratur. Pada zaman pendudukan Jepang
pers Melayu-Tionghoa dihapus. Beberapa bumiputra yang magang di penerbitan milik Tionghoa ini
kemudian tumbuh sebagai jurnalis dan penerbit sekaligus, antara lain RM Tirtoadisoerjo dan Mas Marco
Katrodikromo, yang dikenal dengan bukunya Student Hidjo.
Tahun 1906, pemerintah kolonial mengubah peraturan sensor barang terbitan. Sebelumnya, setiap
penerbit harus menyerahkan naskah mereka kepada penguasa sebelum dicetak. Peraturan baru menerapkan
sensor represif, yakni menindak dna membatasi barang cetakan setelah diedarkan. Ini memicu akibat
positif berupa maraknya berbagai terbitan, termasuk buku dan majalah.
Cerdik”, disadur dari cerita Prancis.
F. Buku Pasca Kemerdekaan
Periode setelah kemerdekaan ditandai dengan penerbitan buku-buku dsalam bahasa negara kita .
ada tren melakukan cetak ulang buku-buku, di samping menerbitkan buku baru. Hingga tahun 1950,
penerbitan seperti BP masih dominan dan berhasil menerbitkan dan mencetak ulang 128 judul buku dengan
tiras 603.000 ekslempar. Pada saat ini pula muncul karya-karya sastra dari para penulis seperti Idrus dengan
“Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma”; Tambera karya Utuy Tatang Sontani; Pramudya Ananta Toer
dengan “Dia Jang Menjerah” dan “Bukan Poasar Malam”; Mochtar Lubis dengan “Si Djamal”. Selain karya
anak negeri, BP juga menghadirkan karya para penulis dunia seperti Fyodor Dostojevsky, John Steinbeck,
Anton Chekov, dan lainnya. Di masa sekarang, penerbit BP rata-rata memprroduksi buku sebanyak 320 judul
pertahun, dengan porsi terbesar masih buku-buku yang cetak ulang dari tahun-tahun sebelumnya.
Pasca pengakuan kedaulatan negara kita pada tahun 1949, kebutuhan buku-buku sekolah dapat dibeli
di pasar, meskipun banyak dari buku-buku ini masih dalam bahasa Belanda. Sejumlah kecil penerbit
nasional mulai muncul dengan menerbitkan buku-buku pelajaran sekolah, di antaranya adalah Pustaka
Antara, Pustaka Rakyat (sekarang Dian Rakyat), Endang, dan beberapa lagi yang semuanya berpusat di
Jakarta. Di Bandung, ada penerbit Ganaco yang mengambil alih percetakan Nix. Situasi yang masih sulit
Tahun 1950 lahirlah Ikatan Penerbit negara kita (IKAPI) di Jakarta. IKAPI adalah sebuah asosiasi
penerbit buku nasional yang bertujuan membantu pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa
melalui buku. IKAPI kini memiliki sekitar 650 anggota di penjuru Nusantara. Di era awal 50-an ini pula
sempat populer apa yang disebut buku roman atau majalah picisan berharga murah, yang kebanyakan
dikeluarkan oleh berbagai penerbitan di -1996 tinggal 17.000 eksemplar setiap judul. Untuk SLTP-SLTA,
jumlah yang dipesan lewat Proyek Inpres jauh lebih sedikit, sekitar 5000-15.000 eksemplar.
5.2 Majalah
I. Pengertian Majalah
Suatu penerbitan berkala yang menyajikan liputan jurnalistik dan artikel berisi informasi dan
opini yang membahas berbagai aspek kehidupan. Ada kalanya pemuatan tulisan dalam majalah hanya
dimaksudkan sebagai hiburan. Majalah lazimnya berjilid. Sampul depannya dapat berilustrasi foto,
gambar atau lukisan, tetapi dapat pula berisi daftar isi atau art ikel utama.
Kata majalah berasal dari kata Arab, majalah. Demikian pula kata magazine dalam bahasa
Inggris berasal dan bahasa yang sama, yaitu mahasin, yang semula berarti gudang tetapi kemudian
diartikan sebagai "gudang pengetahuan." Di negeri-negeri Arab sendiri lebih populer sebutan
majallah daripada Mahazin. negara kita pada tahun 1988-1989 memiliki sekitar 105 majalah yang
berbeda-beda, terdiri atas majalah-majalah minguan (30), dwimingguan (38), bulanan (35),
dwibulanan (1). dan triwulanan (1). Kebanyakan majalah itu diterbitkan di Jakarta. Jum!ah ini tidak
mencakup jenis-jenis penerbitan yang tidak beredar di pasaran umum seperti majalah perusahaan,
berbagai majalah ilmiah, dan majalah sari tulisan.
Isi dan Jadwal Terbit. Majalah dibedakan menurut kala (jadwal waktu) penerbitan dan
pengkhususan isinya. Menurut kala penerbitannya, terbitan berkala ini disebut majalah mingguan,
dwimingguan atau tengah bulanan, bulanan, triwulanan, dan sebagainya.
II. Jenis-Jenis Majalah
Menurut pengkhususan isinya, di antaranya termasuk jenis-jenis majalah berikut, dengan contoh-
contoh penerbitan di negara kita yang masih beredar dewasa ini atau yang pernah terbit pada masa lampau.
1) Majalah Anak-anak berisi bahan bacaan yang menjadi perhatian dan sesuai
dengan tingkat kecerdasan anak-anak (Ananda, Bobo, Kawanku, Kunang-kunang).
2) Majalah Bergambar memberi tempat yang dominan kepada foto dari
gambar, sedangkan reportase dan karangan biasanya ditulis secara singkat (Jakarta Jakarta, X -
tra).
3) Majalah berita memuat reportase dan ulasan tentang peristiwa dan masalah
aktual (Editor, Fokus, Matahari, Tempo, Topik).
Majalah Bisnis dan Ekonomi mengutamakan reportase dan artikel mengenai masalah -masalah
perdagangan, perekonomian dan keuangan (Eksekutif, Infobank, Progres, Swasembada, Warta
Ekonomi).
4) Majalah Budaya memuat artikel tentang masalah kebudayaan (Basis,
Budaya Jaya, negara kita , Konfrontasi, Poedjangga Baroe).
Majalah Dinding atau Majalah Tempel yang acap kali juga dinamakan Koran Dinding, tidak
dijilid seperti umumnya majalah melainkan hanya berupa lembaran yang ditempelkan di dinding
atau papan pengumuman.
5) Majalah Film berisi ulasan dan laporan perkembangan perfilman serta
resensi film (aneka)
6) Majalah hiburan sarat dengan karangan berita ringan semata-mata untuk
menghibur pembaca, senang. Terang Bulan, Varia).
7) Majalah Humor memuat tulisan dan ilustrasi jenaka, seperti kartun dan
komik, yang menggelikan hati (Astaga, Stop).
8) Majalah Ilmiah, penerbitan khusus berisi arti mengenai ilmu pengetahuan
berdasarkan hasil penelitian yang tidak jarang mengandung uraian bersifat teknis, biasanya dikelola
dan diterbitkan oleh lembaga-lembaga ilmiah, perguruan tinggi, dan organisasi profesi (Ekonomi
dan Keuangan, The negara kita n querterly, Jumal Kependidikan, Jurnal Penelitian Sosial majalah
Obstetri dan Ginekologi negara kita , Medika. Metalurgi).
9) Majalah Keagamaan memusatkan perhatian pada masalah keagamaan serta
masalah pendidikan dan kewargaan yang juga diulas dari sudut pandang agama (Hidup. Kiblat,
Mizan, Panji warga, Penabur. Pesantren. Suara Masjid, Warta Hindu Dharma).
10) Majalah Keluarga memuat karangan yang menjadi kepentingan, dan dapat
dibaca oleh seluruh angota keluarga (Amanah, Ayah bunda).
11) Majalah Khas menyajikan masalah - masalah berbagai bidang profesi
tertentu seperti alam lingkungan (Suara Alam, Voice of Nature), arsitektur dan berkebun (Asri,
Laras), hukum (Hukum dan Keadilan, Hukum dan Pembangunan, Pro Justitia), ilmu pengetahuan
(Aku Tahu. Info Komputer, Scientiae, Sigma), jurnalistik (Reporter), kesehatan (Higiena, Panasea),
militer (Yudhagama, Inti, Telstra [Telaah Strategis], SM [Teknologi dan Strategi Militer],
pariwisata rona Alam dan Lingkungan, Suasana, Travel negara kita ), penerbangan (Angkasa),
perpajakan (Berita pajak), pertanian (Trubus), peternakan (Ayam dan Telur), psikologi (Anda), atau
sosial-politik (Persepsi, Prisma).
12) Majalah Mode menguraikan, masalah dan perkembangan modal dan dihampiri
lembaran berisi pola pakaian (Mode negara kita sebelum diubah menjadi majalah remaja).
13) Majalah Olahraga memuat artikel dan berita tentang olahraga (Sportif).
Majalah Perusahaan dikelola dan diterbitkan perusahaan sebagai media informasi dan promosi.
14) Majalah Remaja mengetengahkan permasalahan remaja dan masalah-masalah
lain yang diminati kaum muda ; biasanya menggunakan bahasa populer yang khas berlaku di
kalangan mereka (Gadis, Hai, Mode negara kita , Nona).
15) Majalah Sari Tulisan memuat ringkasan karangan dari berbagai penerbitan
sebagai petunjuk singkat bagi peminat yang memerlukan bahun bacaan yang luas (Abstrak Hasil
Penelitian Pertanian negara kita , Himpunan Abstrak Perikanan, Sari Karangan negara kita ).
16) Majalah Sastra membahas masalah serta perkembangan kesusastraandan memuat
karya sastra seperti puisi, cerita pendek dan novel selain resensi buku sastra (Horison, Kisah,
Sastra).
17) Majalah Umum berisi karangan yang diminati oleh kalangan pembaca seluas
mungkin (Intisari, Liberty, Matra, Minggu Pagi, Star Weekly, Vista)
18) Majalah wanita memuat karangan mengenai soal-sal kewanitan seperti masalah
karier bagi berkeja wanita, resep makanan, mode pakaian dan kehidupan keluara (Dunia wanita,
famili, femina Kartini, pertiwi, Poetri Hindia, Sarinah)
Selain itu di negara kita bereda pula berbagai mjalah berbahasa daerah yang peredaranya
ditujukan kepada pembac aumum. Umpamanya Jayabaya, majalah Sunda, mangle, dan penyebar
semangat.
Di luar negara kita , diterbitkan banyak majalah Internasional berisi masalah-
masalah umum atau khusus yang pelanggannya tersebar di seluruh dunia, termasuk di negara kita .
Misalnya The Economist dari Inggris serta National Getographic, News week. Reader's Digest. dan
Time dari Amerika Serikat.
Di lingkungan kawasan yang lebih terbatas beredar majalah-majalah regional. Di kawasan
Asia Tenggara dan Timur, umpamanya, beredar Asiaweek dan Fan Eastern Economic Review yang
diterbitkan di Hong Kong.
Sejarah Majalah. Majalah pertama di dunia, yaitu The Review, diterbitkan pada tahun 1704 oleh Daniel
Defoe (1659-1731), wartawan dan sastrawan lnggris pengarang cerita Robin Crusee yang terkenal itu.
Media penyalur aspirasi politik itu terbit secara tetap seminggu sekali selama sembilan tahun. Sewaktu
The Review berumur lima tahun, munculah majalah The Tatler, juga di Inggris, yang diterbitkan Sir
Richard Steele. Majalah kedua itu beredar tiga kali dalam seminggu sejak tahun 1709 sampai tahun
1711 dan merupakan majalah pertama yang menjual halamannya untuk iklan.
Orang pertama yang menggunakan kata magazine adalah Edward Cave, yang menerbitkan
Gentleman's Magazine pada tahun 1731. Majalah itu bertahan sampai tahun 1907.
Bentuk majalah mulai ditiru jauh di seberang Samudera Atlantik, ketika pada
tanggal 13 Februari 1741 diterbitkan American Magazine, or a Monthly View of the Political State of
the British Colonies. Ini adalah majalah pertama di daerah koloni Inggris yang kelak menjadi negara
Amerika Serikat itu, tetapi umurnya hanya tiga bulan. Majalah ini diterbitkan di Philadelphia oleh
Andrew Bradford, ahli percetakan kelahiran London, Inggris. Tiga hari setelah kelahiran majalah
pertama itu, Benjamin Franklin di kota yang sama mulai menerbitkan General Magazine, yang umumya
sedikit lebih panjang enam bulan. Rencana menerbitkan majalah milik Franklin itu sebetulnya sudah
diumumkan pada bulan November 1940, tetapi kelahirannya kalah cepat dari pesaingnya. Franklin
adalah wartawan, penerbit, ahli percetakan, pengusaha, ilmuwan, dan kelak negarawan terkemuka. Pada
ahun 1729, ia membeli The Pennsylvania Gazette, yang dalam pengelolaannya menjadi surat kabar
terktenal pada jamannya.
Pada tahun 1922, di Amerika Serikat muncul jenis majalah baru, yakni Reader's Digest,
majalah berukuran buku saku yang dianggap yang pertama di dunia. Majalah yang semula tanpa iklan
itu cepat populer, sehingga dalam tempo 13 tahun oplahnya sudah mencapai satu juta eksemplar, dan
kini tersebar di diseluruh dunia. Majalah yang semula tana iklan itu cepat populer, sehingga da lam
tempat 13 tahun oplahnya sudah mencapai satu juta eksamplar, dan kini tersebar di seluruh dunia. Bentu
majalah ini ditiru di berbagai negara, misalnya intisari dan warnasari di negara kita Reader’s Digest
dewasa ini beroplaahh lebih dari 16,5 juta eksamplar, sehingga menempatkannya pada kedudukan
sebagai majalah Amerika Serikat terbesar nomor dua sesudah TV Guide yang beroplah sekitar 17 juta
eksemplar.
Setahun setelah Reader's Diqest didirikan, muncul pula jenis majalah baru lainnya. Dua wartawan
News di Baltimore, Henrv R. Luce dan Briton Hadden. menerbitkan majalah berita mingguan pertama di
Amerika Serikat dan di dunia, yaitu Time, Mereka pulalah yang pertama kali menerbitkan majalah ber-
gambar pertama di negeri itu dan di dunia, Life, pada tahun 1936, yang berhenti terbit pada awal tahun 1973.
Di Amerika Serikat kini ada sekitar 20.000 majalah mingguan, dwi mingguan, bulanan, dwibulanan, atau
triwulanan.
5.3 Surat Kabar
I. Pengertian dan Ciri Surat Kabar
Pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam arti sempit dan pers dalam aerti luas. Pers dalam
arti sempit adalah media massa cetak, seperti surat kabar, majalah, tabloid, dan sebagainya, sedangkan pers
dalam arti luas meliputi media massa cetak elektronik, antar lain radio siaran dan televisi siaran, sebagai
media yang menyiarkan karya jurnalistik. Film teatrikal, yakni film yang diputar di gedung bioskop,
walaupun termasuk media komunikasi massa, tidak disebut pers sebab tidak menayangkan karya jurnalistik.
Surat kaabr adalah jenis pers yang paling tua dibandingkan dengan media massa lainnya, paling
banyak dan paling luas penyebarannya dan paling dalam daya mampunya dalam merekam kejadian sehari-
hari sepanjang sejarah di negara manapun di dunia.
Adapun ciri-ciri surat kabar adalah sebagai berikut:
1. Publisitas
Yang dimaksud dengan publisitas (publicity) ialah penyebaran kepada publik
atau khalayak. Karena diperuntukkan khalayak, maka sifat surat kabar adalah
umum. Isi surat kabar terdiri dari berbagai hal yang erat kaitannya dengan
kepentingan umum. Ditinjau dari segi lembarannya jika surat kabar
mempunyai halaman yang banyak, isinya juga dengan sendirinya pula akan
memenuhi kepentingan khalayak yang lebih banyak.
Dengan ciri publisitas ini, maka penerbitan yang meskipun bentuk fisiknya
sama dengan surat kabar tidak bisa disebut surat kabar apabila diperuntukkan
sekelompok orang atau segolongan orang. Tidak sedikit organisasi atau
lembaga yang mempunyai penerbitan untuk amggota-anggotanya dalam bentuk
surat kabar yang biasa dilanggani atau dibeli secara eceran. Penerbitan yang
sifanya khusus, tidak termasuk surat kabar.
2. Periodisitas
Periodisitas (periodicity) adalah ciri surat kabar yang kedua. Keteraturan
terbitnya surat kabar bisa satu kali sehari, bisa dua kali sehari, dapat pula satu
kali atau dua kali seminggu. Penerbitan lainnya seperti buku umpamanya, tidak
disebarkan secara periodik, tidak teratur, karena terbitannya hanya satu kali.
Kalaupun ada yang diterbitkan lebih dari satu kali, terbitanya itu tidak teratur.
Jadi, penerbitan seperti buku tidak mempunyai ciri periodisitas, meskipun
disebarkan keapda khalayak dan isinya menyangkut kepentingan umum.
3. Universalitas
Yang dimaksud dengan universalitas (universality) sebagai ciri ketiga surat
kabar ialah kesemestaan isinya, aneka ragam dan dari seluruh dunia. Sebuah
penerbitan berkala yang isinya mengkhususkan diri pada suatu profesi atau
aspek kehidupan, seperti majalah kedokteran, arsitektur, koperasi atau
pertanian, tidak termasuk surat kabar. Adalah benar bahwa berkala ini
diperuntukkan khalayak dan terbit secara periodik, tetapi ciri universalitas
tidak ada, sebab isinya hanya mengenai suatu aspek kehidupan saja.
4. Aktualitas
Aktualitas (actuality) sebagai ciri keempat dari surat kabar adalah mengenai
berita yang disiarkan. Aktualitas, menurut kata asalnya, berarti “kini” dan
“keadaan sebenarnya”. Kedua-duanya erat sekali sangkut pautnya dengan
berita yang disiarkan surat kabar. Berita adalah laporan mengenai peristiwa
yang terjadi kini, dengan lain perkataan laporan mengenai peristiwa yang baru
terjadi dan yang dilaporkan harus benar. Tetapi yang dimaksudkan dengan
aktualitas sebagai ciri surat kabar adalah pertama, yakni kecepatan laporan,
tanpa menyampingkan pentingnya kebenaran berita.
Hal-hal yang disiarkan media cetak lainnya bisa saja mengandung kebenaran,
tetapi belum tentu mengenai sesuatu yang baru terjadi. Di antara media cetak,
hanyalah surat kabar yang menyiarkan hal-hal yang baru terjadi. Pada
kenyataannya, memang isi surat kabar beraneka ragam, selain berita juga
ada artikel, cerita sambung, teka-teki silang, dan lain-lain yang bukan
merupakan laporan cepat. Kesemuanya itu sekadar untuk menunjang upaya
membangkitkan minta agar surat kabar bersangkutan dibeli orang.
II. Fungsi Surat Kabar
Pada zaman modern sekarang ini, jurnalistik tidak hanya mengelola berita, tetapi juga aspek-aspek
lain untuk isi surat kabar. Karena itu fungsinya, bukan lagi menyiarkan informasi, tetapi juga mendidik,
menghibur dan mempengaruhi agar khalayak melakukan kegiatan tertentu.
Fungsi-fungsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1) Fungsi Menyiarkan Informasi
Menyiarkan informasi adalah fungsi surat kabar yang pertama dan utama. Khalayak pembaca
berlangganan atau membeli surat kabar karena memerlukan informasi mengenai berbagai hal di buni ini:
mengenai peristiwa yang tejadi, gagasan atau pikiran orang lain, apa yang dilakukan orang lain, apa yang
dikatakan orang lain, dan lain sebagainya.
(2) Fungsi Mendidik
Fungsi kedua dari surat kabar ialah mendidik.Sebagai sarana pendidikan massa (Mass education), surat
kabar memuat tulisan-tu;lisan yang mengandung penegtahuan, sehingga khayalak pembaca bertambah
pengetahuannya. Fungsi mendidik ini bisa secara implicit dalam bentuk berita, dapat juga secara eksplisit
dalam bentuk artikel atau tajuk rencana. Kadang-kadang cerita bersambung atau berita bergambar juga
mengandung aspek pendidikan.
3. Fungsi Menghibur
Hal-hal yang bersifat hiburan sering dimuat surat kabar untuk mengimbangi berita-berita berat (hard
news) dan artikel-artikel yang berbobot. Isi surat kabar yang bersifat hiburan bisa berbentuk cerita
pendek, cerita bersambung, cerita bergambar, teka-teki silang, karikatur, tidak jarang juga berita yang
mengandung minat insani (human interest) dan kadang-kadang tajuk rencana.
Maksud pemuatan isi yang mengandung hiburan, semata-mata untk melemaskan ketegangan pikiran
setelah para pembaca dihidangi berita dan artikel yang berat-berat.
4. Fungsi Mempengaruhi
Adalah fungsi yang keempat ini, yakni fungsi mempengaruhi, yang memicu surat kabar memagang
peranan penting dalam kehidupan warga. Napoleon pada masa jayanya pernah berkata bahwa ia
lebih takut kepada empat surat kabar daripada seratus serdadu dengan sankur terhunus.
Sudah tentu surat kabar yang ditakuti ini ialah surat kabar yang independent, yang bebas menyatakan
pendapat, bebas melakukan social control, bukan surat kabar organ pemerintah yang membawakan suara
pemerintah.
Fungsi mempengaruhi dari surat kabar secara implicit ada pada berita, sedang secara eksplisit
ada pada tajuk rencana dan artikel.
Fungsi mempengaruhi untuk bidang perniagaan ada pada iklan-iklan yang dipesnan oleh perusahaan-
perusahaan.
III. Sejarah Surat Kabar
Surat kabar pertama kali dikenal pada tahun 59 sebelum masehi di
kekaisaran Romawi kuno. Saat itu hanya berisi jurnal kegiatan Sang Kaisar yaitu Julius Cesar bertajuk "Acta
Diurna". Walaupun begitu baru pada tahun 1605 surat Kabar terbit yang pertama kali dalam bentuk tercetak
oleh Johan Carolus dengan tajuk "Relations" di Perancis yang saat itu dikenal dengan daerah merdeka
bernama Strasbourg dengan bahasa dominan "Bahasa Jerman" (Pertanyaan tentang Kota Stratsbourg pernah
muncul pada Who Wants 2 be a Millionare versi negara kita ). Koran tertua di dunia yang saat ini masih terbit
adalah "Post-och Inrikes Tidningar " dari Swedia yang terbit pertama kali pada tahun 1645.
Jurnalisme memiliki sejarah yang sangat panjang. Dalam situs ensiklopedia, www.questia.com
tertulis, jurnalisme yang pertama kali tercatat adalah di masa kekaisaran Romawi kuno, ketika informasi
harian dikirimkan dan dipasang di tempat-tempat publik untuk menginformasikan hal-hal yang berkaitan
dengan isu negara dan berita lokal. Seiring berjalannya waktu, warga mulai mengembangkan berbagai
metode untuk memublikasikan berita atau informasi.
Surat kabar pertama di dunia. Avisa Relation ader Zaitung. terbit pada tanggal 15 Januari 1609 di
Augsburg, Jerman. setelah sekitar 169 tahun penemuan mesin cetak. Mesin ini , yang terbuat dari kayu.
ditemukan pada tahun 1440 oleh Johannes Gutenberg yang tinggal di tepi Sungai Rhein, di kota Mainz,
Jerman. Sebagian orang menyebutkan Laurens Jans zoon Coster dari Negeri Belanda sebagai penemu pertama
pada sekitar waktu yang sama. Sejak itu, mesin cetak kerap digunakan untuk mencetak selebaraan mengenai
suatu peritiwa atau pengumuman. Namun, hanya Avisa Relation oder Zeitung yang dapat terbit secara teratur.
Negara lain pun kemudian meniru menerbitkan surat kabar. Inggris 13 tahun kemudian (1622)
melahirkan surat kabarnya yang pertama. Weekly news. Menyusul kemudian Negeri Belanda dengan De
Weeke Lijksche Courant (8 Januari 1656), yang diterbitkan oleh Abraham Castelijn di Haarlem. Benjamin
Harris di Boston, Amerika Serikat, pada tahun 1690 mencoba menerbitkan Public Occurrences Both Foreign
and Domestic. Tetapi hanya sempat satu kali terbit karena gubernur Massachusetts tidak menyukainya. Sejak
itu pula di sana dikeluarkan peraturan bahwa setiap surat kabar harus mempunyai surat izin terbit. Selama 14
tahun tidak ada yang berani menerbitkan koran sampai pada tahun 1704 John Campbell mendapat restu untuk
menerbitkan News-Letter.
Pada awalnya, publikasi informasi itu hanya diciptakan untuk kalangan terbatas, terutama para
pejabat pemerintah. Baru pada sekira abad 17-18 surat kabar dan majalah untuk publik diterbitkan untuk
pertama kalinya di wilayah Eropa Barat, Inggris, dan Amerika Serikat. Surat kabar untuk umum ini sering
mendapat tentangan dan sensor dari penguasa setempat. Iklim yang lebih baik untuk penerbitan surat kabar
generasi pertama ini baru muncul pada pertengahan abad 18, ketika beberapa negara, semisal Swedia dan AS,
mengesahkan undang-undang kebebasan pers.
Industri surat kabar mulai menunjukkan geliatnya yang luar biasa ketika budaya membaca di
warga semakin meluas. Terlebih ketika memasuki masa Revolusi Industri, di mana industri surat kabar
diuntungkan dengan adanya mesin cetak tenaga uap, yang bisa menggenjot oplah untuk memenuhi
permintaan publik akan berita.
Seiring dengan semakin majunya bisnis berita, pada pertengahan 1800-an mulai berkembang
organisasi kantor berita yang berfungsi mengumpulkan berbagai berita dan tulisan untuk didistribusikan ke
berbagai penerbit surat kabar dan majalah.
Pada 1893 untuk pertama kalinya surat-surat kabar di AS menggunakan tinta warna untuk komik dan
beberapa bagian di koran edisi Minggu. Pada 1899 mulai digunakan teknologi merekam ke dalam pita,
walaupun belum banyak digunakan oleh kalangan jurnalis saat itu.
IV. Awal Surat Kabar di negara kita .
Di negara kita , jauh sebelum ada surat kabar. Gubernur Jenderal Jan Pie
Terszoon Coen ( 1587-1629) pada tahun 1615 memperkarsai penerbitan Memorie der Nouvelles. Ini adalah
prasurat-kabar tulisan tangan yang berisi berita-berita dari Nederland untuk kalangan pejabat VOC (Vereenigde
Oostindische Compagnie, Perserikatan Dagang Hindia Timur) yang dikirimkan sampai sejauh Ambon.
Percetakan pertama di negara kita tiba pada tahun 1659, dan yang kedua pada tahun 1712. Percetakan
itu umumnya digunakan oleh VOC untuk keperluannya sendiri, umpamanya untuk membuat surat edaran ke-
matian.
Setelah tenggang waktu cukup lama, barulah ada yang mencoba-coba kembali mengajukan
permohonan izin menerbitkan surat kabar, itu pun setelah pergantian pucuk pimpinan VOC. Pada tahun
1775, Van Riemslijk, yang dikenal sebagai seorang moderat, diangkat sebagai gubernur jenderal VOC. Pada
tahun itu juga, L. Dominicus, juru cetak yang berumur 33 tahun di Batavia. memperoleh izin menerbitkan
mingguan berita lelang het Vendu-Nieuws yang berukuran folio.
Penerbitan ini dapat bertahan lana, 34 tahun. Pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Herman
willem Daendels (1762-1818), penerbitan ini diambil alih oleh pemerintah. Sejak tanggal 5 Januari
1810, mingguan terscbut diganti namanya menjadi Batavia Koloniale Courant dan dijadikan penerbitan
resmi pemerintah Hindia Belanda.
Pada waktu pendudukan Inggris di negara kita , letnan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford
Raffles pada tahun 1812 mengubah Bataviasche Koloniale Courant menjadi Java Government
Gazette.(Gazette berasal dari bahasa Italia gazetta. Gazzeta semula adalah nama koran yang terbit di
Venezia, Italia, sekitar tahun 1600-an yang harganya I gazetta. Gazetta atau gazette kemudian bergeser arti
menjadi surat kabar).
Lava Government Gazette, yang terbit sejak tanggal 29 Februari 1812. isinya berbeda dengan
Koran Belanda yang terbit sebelumnya. Dalam surat kabar berbahasa Inggris itu tidak hanya dimuat berita-
berita tentang perdagangan dan kejadian di luar negeri tetapi ada pula lelucon yang bahkan kadang-kadang
menyindir pemerintah. Penerbitan ini berakhir pada tanggal 13 Agustus 1816 karena pemerintah Inggris
harus meninggalkan negara kita . Java Government Gazette kembali berganti menjadi berbahasa Belanda
ketika pemerintahan dikembalikan kepada Hindia Belanda. Nama mingguan itu menjadi De Bataviasche
Courant, dan 12 tahun kemudian menjadi Javasche Courant.
Salah satu ranjau hukum yang menelan banyak korban adalah pasal-pasal haatzai artikelen yang
mengancam hukuman terhadap yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan ter-
hadap pemerintah. Dalam tempo satu tahun saja (1919-1920) belasan wartawan negara kita dijatuhi hukuman.
Tiga belas tahun setelah haatzaai artikelen ditetapkan, diberlakukan pula Persbreidel Ordonnantie
(Ordonansi Pembredelan pers). Kedua peraturan itu sangat merugikan pihak yang didakwa, antara lain
karena tidak diberi kesempatan membela diri. Pengekangan terhadap kebebasan pers ini dimaksudkan
untuk mengendalikan keadaan pada jaman yang tengah bergulir berubah.
Pada mulanya pers merupakan budaya Belanda. dimiliki, dikelola dan dibaca oleh orang Belanda
atau orang yang berbahasa Belanda. Minat baca untuk itu tergolong tinggi. Pada tahun 1920 misalnya,
ada sekitar 20 surat kabar dengan tiras berkisar sekitar 60.000 eksemplar dan jumlah orang Belanda di
negara kita diperkiirakan 170.000 orang. Dengan demikian. Koran dibaca oleh lebih dari 35 persen orang
belanda.
Media massa tercetak juga bersaing dengaan sesamanya dalam merebut jumlah pembaca. Kensikan
jumlah pembaca dari tahun ke tahun relatif kecil: menurut suatu penelitian hanya sekitar empat persen.
Sedangkan jumlah penerbitan pers di negara kita lebih dari 150 (60 persen koran dan 40 persen majalah). Untuk
meningkatkan jumlah pembaca, pemerintah menyelenggarakan program koran masuk desa, yang sekaligus juga
untuk mengurangi keetimpangan informasi antara kota dan desa. Penduduk kola hanya sekitar 20 persen dan
desa 80 persen. Namun arus inform:si terjadi sebaliknya: dari kota 8O persen dan sisanya dari desa.
Bentuk persaingan yang lain adalah lpada segi memperoleh dan mengola berita. Masing-masing
berusaha mendapatkan berita yang ekslusif dan cepatdari sumber yang tepat dan diolah selengkap-lengkapnya.
Suatu berita yang menarik dikembangkan pada edisi-edisi berikutnva, baik dengan cara menyajikan
kelanjutanperistiwa yang diberitakan ataupun dikomentari oleh orang yang tepat memberikan pendapat. Surat
kabar juga berlomba menuliskan berit:a yang menarik secara Iengkap, misalnya dengan ditambah Iatar
belakang, perbandingnn dan komentar.
Perkembangan surat kabar, selama dasawarsa-dasawarsa terakhir dalam berbagi segi sangat cepat. Hal
ini sangat kontras dengan masa awal pertumbuhannya pada masa silam yang jauh, yang perkembangannya
lamban dan bersahaja.
V. Perkembangan surat kabar
Kegiatan jurnalisme terkait erat dengan perkembangan teknologi publikasi dan informasi. Pada
masa antara tahun 1880-1900, ada berbagai kemajuan dalam publikasi jurnalistik. Yang paling menonjol
adalah mulai digunakannya mesin cetak cepat, sehingga deadline penulisan berita bisa ditunda hingga malam
hari dan mulai munculnya foto di surat kabar.
Pada 1920-an, surat kabar dan majalah mendapatkan pesaing baru dalam pemberitaan, dengan
maraknya radio berita. Namun demikian, media cetak tidak sampai kehilangan pembacanya, karena berita
yang disiarkan radio lebih singkat dan sifatnya sekilas. Baru pada 1950-an perhatian warga sedikit
teralihkan dengan munculnya televisi.
Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat pada era 1970-1980 juga ikut mengubah cara
dan proses produksi berita. Selain deadline bisa diundur sepanjang mungkin, proses cetak, copy cetak yang
bisa dilakukan secara massif, perwajahan, hingga iklan, dan